You are on page 1of 31

INDUSTRI BIOPROSES

PRODUKSI FENILALANIN

MAKALAH

Tugas Mata Kuliah TK-2222 – Dasar-dasar Bioproses

Oleh:

ANDY WIRANATA WIJAYA


13009008

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2011
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Sejarah Perkembangan Proses Produksi Fenilalanin, Penemuan-


Penemuan, Penelitian, serta Perkembangan Teknologi

Menurut catatan sejarah yang ada, fenilalanin pertama kali ditemukan oleh
ilmuan biokimia asal Jerman, J.Heinrich Matthaei dan ilmuan biokimia asal Amerika,
Marshall Nirenberg pada tahun 1961. Pada saat itu fenilalanin dikenal sebagai suatu
senyawa aktif yang mempengaruhi kerja system saraf (neuron). Kemudian setelah
diteliti fenilalanine dapat dikategorikan sebagai suatu asam amino karena mempunyai
strustur bangun utama yang sama dengan asam amino lainnya. Kemudia fenilalanin
dikategorikan sebagai asam amino esensial karena tidak mampu diproduksi oleh tubuh
makhluk hidup (mamalia).
Dari berbagai catatan sejarah yang penulis dapat, dapat disimpulkan bahwa
industri bioproses dengan produk fenilalanin pertama kali berkembang seiring dengan
industri makanan dan pemanis rendah kalori (L-aspartylphenylalanine). Fenilalanin
merupakan asam amino yang biasa terdapat pada makanan-makanan dan pemanis
rendah kalori seperti aspartam (aspratam mengandung sekitar 50% fenilalanin).
Industri fermentasi asam amino mulai berkembang di Jepang mulai tahun 1956.
Kemudian pada tahun 1969 proses produksi asam amino telah menggunakan
bioreactor dengan enzim amobil guna meningkatkan efisiensi produksi asam amino.
Pada tahun 1986, teknik DNA rekombinan pada kultur yang digunakan untuk proses
produksi telah diimplementasikan.
Berbagai penelitian juga dilakukan untuk meningkatkan proses produksi
fenilalanin karena permintaan pasar yang besar terhadap asam amino esensial ini.
Berbagai metode produksi fenilalanin sudah diteliti, mulai dari sintesis fenilalanin
secara kimiawi sampai dengan teknologi fermentasi yang melibatkan mikroorganisme
dengan berbagai substrat, reagen tambahan ataupun enzim. Berbagai jalur biosintesis
fenilalanin juga telah berhasil diidentifikasi dan dipelajari oleh para ilmuan. Dengan
mengetahui berbagai jalur biosintesis fenilalanin untuk masing-masing mikroorganisme,
diharapkan dapat meningkatkan yield produk, yaitu yield fenilalanin sendiri. Biasanya
mikroorganisme yang digunakan cenderung dipilih yang memiliki jalur biosintesis
fenilalanin yang sederhana dan pendek agar produk yang dihasilkan mempunyai
selektivitas yang tinggi.

1
2

Temperatur optimum kerja aminocilase amobil. Aktivitas dari enzim pada


berbagai temperatur diukur menggunakan metode standar. Temperatur
optimum yaitu temperatur dimana aktivitas relatifnya 100%.
[M. Lee, Pat, H. Kong Lee and Yew S. Siaw, (1993), Covalent Immobilization
of Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine Production, Journal of Chem.
Tech. Biotechnol, 59, 65-70]

Dari penelitian yang dilakukan oleh Pat M. Lee (Indiana University – Malaysia)
serta Kong H. Lee dan Yew S. Siaw (Universiti Pertanian Malaysia) dalam jurnalnya
yang berjudul Covalent Immobilization of Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine
Production disebutkan bahwa biokatalis mempunyai tingkat kerja yang berbeda pada
suhu yang berbeda tergantung karakteristik dari biokatalis itu sendiri. Banyak sekali
penelitian yang dilakukan untuk menentukan suhu optimum perkembangan dan
produksi dari suatu mikrooganisme yang digunakan dalam industri.
Setelah menentukan substrat, mikrooganisme yang akan digunakan serta
mendapatkan berbagai data proses optimum untuk fermentasi fenilalanin,
perkembangan lain yang banyak diteliti yaitu skala produksinya. Dari jurnal yang
berjudul Enhanced pilot-scale fed-batch L-phenylalanine production with recombinant
Escherichia coli by fully integrated reactive extraction, M.R. Gerigk dan tim penelitinya
sudah berhasil mengembangkan proses produksi fenilalanin skala pilot yang langsung
diintegrasikan dengan ekstraksi (pemurnian produk). Dari penelitian yang mereka
lakukan juga sudah dikembangkan teknologi-teknologi otomatisasi dengan
menggunakan bantuan komputer dan berbagai instrument pengendali yang dipasang.
Dari diagram proses dan instrumentasi di bawah dapat dilihat bahwa M.R. Gerigk dan
3

tim penelitinya tidak menggunakan metode manual dalam proses produksi fenilalanin
skala pilot yang dikembangkan mereka.

Proses produksi L-fenilalanin menggunakan reactor fed-batch


[Gerigk, M.R. et.al (2002), Enhanced pilot-scale fed-batch L-phenylalanine
production with recombinant Escherichia coli by fully integrated reactive
extraction, Bioprocess Biosyst. Engineering, 25, 43-52]

B. Struktur Kimia, Sifat Fisik dan Sifat Kimiawi Fenilalanin

Struktur kimia fenilalanin dapat dilihat pada gambar di samping. Fenilalanine


(biasanya disingkat dengan Phe atau F) mempunyai gugus karbonil berupa asam
karboksilat dan gugus amin seperti asam-asam amino pada umumnya. Ciri khas
fenilalanin dibandingkan dengan asam-asam amino lainnya yaitu fenilalanin
mempunyai rantai R pengganti C- yang merupakan gugus benzil (mengandung gugus
aromatik) yang mirip dengan Tirosin dan Tryptopan. Nama IUPAC dari fenilalanin
sendiri yaitu asam -aminobenzenpropanoat(S) dengan rumus molekul C 9H11NO2.

Yang diarsir : Gugus pengganti R yang berupa fenil


[L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008),
Lehninger: Principles of Biochemistry 5th Edition,
W.H. Freeman and Company, New York, 75]
4

Struktur garis fenilalanin

Data-data fisik fenilalanin (R. Lide, David (2009), Handbook of Chemistry and Physics
90th Edition, CRC Press, Boca Raton, Florida, 3-424):
Nama Senyawa (Trivial) Fenilalanin
Nama IUPAC asam -aminobenzenpropanoat(S)
Rumus Molekul C9H11NO2
Berat Molekul Relatif 165,189 g/mol
Bentuk Fisik Kristal / prisma (H2O)
Titik leleh 283
Titik didih -
Kelarutan Larut dalam H2O
Keasaman (pKa) 1,83 (karbonil); 9,13 (amino)

Pendeteksian eksistensi asam amino dalam suatu sampel dapat digunakan


berbagai metode, misalnya dengan spektroskopi menggunakan sinar ultraviolet.
Fenilalanin menyerap cahaya dengan baik dengan panjang gelombang antara 260-280
nm. Maka dari itu fenilalanin dapat dideteksi menggunakan sinar ultraviolet. Gambar di
bawah [L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of
Biochemistry 5th Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 76] menunjukkan
gambar serapan sinar UV oleh asam amino tirosin dan tryptopan yang gugusnya
hamper sama dengan fenilalanin. Dasar hukum yang digunakan yaitu Hukum Lambert-
Beer yang menyatakan hubungan serapan foton-foton spectrum oleh suatu molekul

tertentu yang dapat ditulis dengan persamaan :


5

Tabel data fisik berbagai asam amino

[L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of Biochemistry 5th
Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 73]

Selain menggunakan sinar UV, saat ini banyak digunakan alat-alat uji kuantitatif
dan kualitatif dengan menggunakan MS (Mass Spectroscopy), Infla-Red Spectroscopy
maupun NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Berbagai alat uji ini biasanya menguji
berdasarkan daya serap spektrum yang berbeda-beda untuk tingkat energi ikatan yang
berbeda-beda.
6

Contoh hasil uji fenilalanine dengan spectrum IR dalam pelat KBr:

[Gambar di atas diuduh dari server National Institute of Advanced Industrial


Science and Technology (AIST) Research Information Database (RIO-DB) yang
berada di Jepang]

Contoh hasil uji fenilalanine dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance):


7

[Gambar di atas diuduh dari server National Institute of Advanced


Industrial Science and Technology (AIST) Research Information
Database (RIO-DB) yang berada di Jepang]

Selain menggunakan metode fisis, metode-metode kimiawi juga sering


digunakan untuk mendeteksi kandungan fenilalanin dalam suatu sampel, misalnya uji
xanthoproteic untuk menguji kandungan cicin benzene dalam suatu sampel protein, uji
Guthrie yang menggunakan sampel sebagai medium tumbuh bagi mikroorganisme
contohnya Basillus subtilis dan menganalisis pertumbuhan mikroorganisme tersebut
dalam medium sampel yang dibuat. Pengujian terhadap fenilalanin dapat dilakukan
juga dengan menggunakan enzim deaminase.

C. Kegunaan, Fungsi Fenilalanin dan Volume Produksi Fenilalanin

Secara umum fenilalanin merupakan senyawa yang ditambahkan sebagai zat-zat


aditif dalam makanan dan perasa makanan. Asam amino bergugus aromatik, L-
fenilalanin, merupakan building block penting untuk sistesis aspartam, pemanis buatan.
Selain itu, fenialanin juga mempunyai peranan penting dalam mencukupi asupan asam
amino esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia yang artinya asam
amino ini hanya didapat dari asupan makanan sehari-hari. Fenilalanin juga diproduksi
sebagai bahan baku untuk produksi pakan ternak.

Fenilalanin merupakan asam amino esensial yang diperlukan pada sistem pusat
saraf agar dapat berfungsi dengan baik. Senyawa ini sudah berhasil digunakan untuk
membantu mengendalikan gejala-gejala depresi dan rasa sakit yang kronis, serta rasa
sakit lainnya yang terhubung dengan sistem saraf pusat.
Fenilalanin sangat efektif khususnya untuk mengobati gangguan otak karena
mampu menembus barrier darah-otak. Barrier darah otak merupakan lapisan
pelindung yang dibentuk oleh sel-sel darah merah dan glia otak yang melindungi otak
dari racun, bakteri dan virus yang beredar melalui pembuluh darah. Hanya senyawa
kimia tertentu yang dapat melalui barrier ini dan berhubungan langsung dengan otak.

Tubuh manusia memerlukan fenilalanin untuk mensintesis epinefrin, dopamin


dan norepinefrin yang merupakan neurotransmitter (senyawa jembatan antar saraf),
yang pada dasarnya mengendalikan cara kita memandang dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Asupan fenilalanin dapat membantu seseorang merasa lebih
bahagia, kurang lapar dan lebih waspada, mengobati rasa sakit kronis dan
8

meningkatkan memori dan konsentrasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa


fenilananin, yang membantu dalam sintesis melatonin, mungkin efektif untuk
pengobatan vitiligo, yaitu suatu kondisi yang menyebabkan bercak putih pada kulit.

Sampai saat ini, keberadaan asam amino dalam pasar-pasar hanya sebagian
kecil dari pasar secara keseluruhan. Produksinya mencapai sekitar 100 ton per tahun
pada perusahaan Ajinomoto Co. Inc di Kawasaki, Jepang. Dari 100 ton per tahun
fenilalanin yang diproduksi di Ajinomoto Co. Inc, sebagian besar digunakan sebagai
bahan baku untuk industri makanan lainnya dalam bentuk larutan. Penggunaan L-
aspartyllphenylalanine (aspartam) sebagai pemanis menyebabkan peningkatan
kebutuhan fenilalanin dalam pasar, serta asam aspartat.

D. Potensi di Indonesia

Berikut merupakan data statistik impor aspartam ke dalam negeri yang dihimpun oleh
BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2011 :

Januari Januari Februari Februari


Nama Komoditi Nilai (US $) Berat (kg) Nilai (US $) Berat (kg)
Aspartam 927008 49024 1857168 100668
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia

Dari data statistik yang didapat dari BPS (Badan Pusat Statistik), didapatkan
bahwa Indonesia mengimpor aspartam dalam jumlah yang cukup tinggi sedangkan
Indonesia sama sekali tidak mengekspor aspartam. Dari data impor yang cukup tinggi,
dapat disimpulkan bahwa tingkat penggunaan aspartam yang cukup tinggi di Indonesia
9

sehingga penulis dapat mengklaim bahwa industri bioproses dengan hasil fenilalanin
yang merupakan bahan baku untuk produksi aspartam ini sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia terlebih lagi nilai impor aspartam yang cukup tinggi. Pada
bulan Januari 2011 nilai impor aspartam sebesar US$ 927 008 yaitu hampir setara
dengan Rp9.270.000.000,00 (9 milyar rupiah) dan lebih tinggi lagi pada Februari 2011.
Kebutuhan aspartam yang tinggi juga memicu peningkatan impor aspartam ke dalam
semakin tinggi.

Kapasitas Produksi Gula di Indonesia 2010:


No. Pabrik Gula Produksi Gula (ribu ton/ tahun)
1. PTPN II 100
2. PTPN VII 120
3. PTPN IX 260
4. PTPN X 570
5. PTPN XI 500
6. PTPN XIII 50
7. PTPN XIV 80
8. PT Trigunabina 110
9. PT Candi 30
10. PT Rajawali I 200
11. PT Rajawali II 205
12. PT Gunung Madu Plantation 200
13. PT Gula Putih Mataram 500
Jumlah 2925
Sumber : BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)

Kemudian tinjauan potensial pembangunan industri bioproses dengan produk


fenilalanin dilanjutkan dari sisi ketersediaan bahan baku. Pada makalah ini, bahan
baku untuk industri fermentasi fenilalanin digunakan glukosa dan molase. Molase
merupakan hasil samping dari industri gula sukrosa yang berarti ketersediaan molase
dapat diasumsikan sebanding dengan tingkat produksi gula sukrosa.

Table di atas menyatakan produktivitas gula sukrosa di Indonesia selama satu


tahun. Dari table tersebut didapat hasil produksi gula sukrosa di Indonesia selama
setahun mencapai 2925 ribu ton yang artinya molase yang didapat juga akan
mencapai 2000an ton per tahunnya. Akan tetapi penggunaan molase terus meningkat
10

karena berkembangnya berbagai proses yang melibatkan molase sebagai substrat,


misalnya dalam produksi bioetanol, asam asetat, dan asam-asam amino lainnya.
Dengan mempertimbangkan bahwa skala produksi fenilalanin termasuk industri skala
kecil, industri fermentasi fenilalanin dinilai oleh penulis sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia dengan dengan pengembangan pencarian bahan baku
baru pengganti molase yang melimpah di Indonesia.
12

BAB II
POKOK BAHASAN

A. Mikroorganisme, Jenis Strain, Pemeliharaan dan Strain Development


dalam Industri Bioproses Fenilalanin

Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, fermentasi fenilalanin


dilangsungkan menggunakan bakteri Bacillus subtilis (Gibson dan Pittard, 1968),
Brevibacterium flavum (Shiio, 1982), Corynebacterium parvum (Hagino dan Nakayama,
1974a). Adapun jamur yang pernah digunakan dalam penelitian produksi fenilalanin
yaitu Rhodotorula glutinis (Michael J. Fiske, 1984). Selain jamur dan bakteri,
Actinomycetes juga pernah digunakan dalam penelitian fermentasi fenilalanin yaitu
Amycolatopsis methanolica. (A. Abou-Zeid, 1995)

Dari mikroorganisme di atas yang pernah digunakan dalam fermentasi fenilalanin,


Bacillus subtilis merupakan mikrooganisme yang paling sering ditemukan dalam
industri bioproses penghasil fenilalanin. Mikroorganisme lainnya yang pernah
digunakan untuk fermentasi fenilalanin kebanyakan merupakan mikrooganisme yang
telah melalui proses pemuliaan ataupun perubahan struktur DNA, misalnya bakteri
E.coli liar tidak bisa memproduksi fenilalanin, akan tetapi setelah mengalami pemuliaan
dan didapatkan strain E.coli CWML2, maka jenis strain E.coli ini dapat menghasilkan
fenilalanin. Adapun mikroorganisme yang sudah berhasil dimuliakan untuk proses
fermentasi fenilalanin yaitu: Corynebacterium glutamicum ATCC 13032,
C.acetoacidophilum ATCC 13870, C.herculis ATCC 13868, C.lilium ATCC 15990,
C.melassecola ATCC 17965, Brevibacterium divaricatum ATCC 14020, B.flavum
ATCC 14067, B.immariophilium ATCC 14068, B.lactofermentum ATCC 13869,
B.thiogenitalis ATCC 19240.
Saat ini banyak dikembangkan strain dari bakteri genus Corynebacterium dan
Brevibacterium. Kedua genus tersebut mampu memproduksi asam-asam amino
bergugus aromatik dan mempunyai aktivitas enzim transketolase yang lebih tinggi
daripada strain-strain sebelumnya. Strain mutan yang mempunyai aktivitas
transketolase yang tinggi daripada strain induk bisa diperoleh dari cara mutagenesis
konvensional seperti penambahan N-metil-N’-nitro-N-nitrosoguanidin dan radiasi sinar
X-ray atau menggunakan metode rakayasa genetika. Selain itu, Aspergillus niger juga
dikembangkan dalam fermentasi yang menghasilkan L-fenilalanin.

12
13

Dalam hal metode rekayasa genetik, strain mutan yang termasuk ke dalam
genus Corynebacterium atau Brevibacterium yang mempunyai aktivitas enzim
transketolase lebih tinggi daripada strain induk diperoleh dengan cara mengkloning
(memperbanyak dengan struktur gen yang sama) gen transketolase dan menempelkan
gen tersebut ke plasmid lalu ditanamkan ke genus Corynebacterium atau
Brevibacterium dengan teknik DNA rekombinan. Mikroorganisme apapun dapat
digunakan sebagai pendonor gen transketolase selama mikroorganisme tersebut
mempunyai aktivitas enzim transketolase dalam metabolismenya. Dalam hal ini lebih
diutamakan gen dari bakteria yang merupakan sel prokariotik, contohnya strain dari
genus Escherichia, Corynebacterium, Brevibacterium atau Bacillus.
Gen transketolase dapat diklon dengan mengisolasi DNA kromosomal dari
mikroorganisme pendonor, memecah DNA kromosomal tersebut dengan enzim
restriksi yang tepat untuk membuat fragmen DNA, menggabungkan fragmen DNA
dengan vektor DNA untuk membuat ligation mixture (campuran ligase), mengubah
resipien asam shikimik yang bersifat auxotrof dengan campuran ligase, memilih
transforman asam shikimik yang bersifat prototrof, dan mengisolasi DNA rekombinan
yang mengandung gen transketolase dari transforman.
Sebuah DNA rekombinan tersusun dari sebuah vektor DNA dan sebuah fragmen
DNA yang mengandung gen transketolase yang dapat diperoleh sebagai sebuah
campuran dengan berbagai rekomninan DNA sesuai dengan metode di atas,
contohnya dengan memutuskan DNA donor dan vektor DNA dengan enzim restriksi
yang cocok dilanjutkan dengan perlakuan terhadap pemutusan tersebut dengan DNA
polymerase lalu menyambungkan DNA-DNA tersebut dengan DNA ligase. [Methods in
Enzymology, 68 (1979)].

Bacillus subtilis, dikenal dengan hay bacillus atau grass bacillus, merupakan
bakteri gram positif, katalase-positif, kemohetrotop yang umunya ditemukan di tanah.
B.subtilis dapat diisolasi dari air, udara maupun sisa-sisa tanaman yang sudah
membusuk. Bakteri ini tidak bersifat patogenik, tidak seperti beberapa kerabat bakteri
dari genus Bacillus, seperti B.anthracis.
Ukuran sel bakteri ini lebih besar daripada E.coli, sekitar 0,5-2,5 μm lebar dan
1,2-10 μm panjang. Bakteri ini merupakan anggota genus Bacillus, berbentuk batang
dan mempunyai kemampuan membentuk endospora yang keras yang menyebabkan
bakteri ini tahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. B.subtilis diklasifikasikan
sebagai bakteri aerob obligat walaupun penelitian mutakhir menunjukkan bahwa hal itu
tidak sepenuhnya benar.
14

Ciri utama bakteri ini yang membedakannya dari E.coli yaitu dari struktur dinding
sel dan kemampuan membentuk spora. Dinding sel B.subtilis merupakan tipe dinding
sel bakteri gram positif yang lebih sederhana daripada dinding sel bakteri gram negatif
seperti E.coli. Dinding sel bakteri ini mempunyai ketebalan 20-50 nm dan terdiri dari
20-25 lapisan peptidoglikan. Di luar dinding sel, B.subtilis memproduksi sebuah kapsul
polipeptida yang mengandung asam D-glutamat dan asam L-glutamat. Bakteri ini juga
mempunyai flagella sebagai alat gerak.

Klasifikasi Bacillus subtilis :

Domain : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Species : B.subtilis

Kromosom B.subtilis lebih kecil daripada kromosom E.coli, yaitu 4188 kbp.
B.subtilis bereproduksi dengan cara transversal binary fission, yaitu dengan membelah
dirinya menjadi 2 sel bakteri anak. Cara lain B.subtilis bereproduksi yaitu membentuk
spora pada keadaan lingkungan yang ekstrim dan kurang menguntungkan seperti
panas, asam dan tingkat salinitas yang tinggi agar dapat bertahan hidup. Endospora
juga dibentuk pada keadaan waktu nutriotional stress yang memungkinkan bakteri ini
bertahan hidup sampai kondisi lingkungan membaik.
Kehilangan nutrisi membuat bakteri ini memulai tahap sporulasi melalui sinyal-
sinyal kimiawi. Pembelahan sel yang tidak seimbang menghasilkan forespore yang
lebih kecil dan sel induk yang lebih besar dengan pembentukan sebuah sekat asimetris
dekat salah satu kutub dari sel. Sebuah dinding sel primordial (yang terbentuk dari
awal) peptidoglikan lalu terbentuk sekitar sel forespore, yang kelak akan menjadi
dinding sel dari sel vegetatif yang nampak ketika spora mulai tumbuh. Dinding sel
primordial ini kemudian ditindih oleh lapisan peptidoglikan kompleks yang lebih tebal
yang dikenal dengan korteks spora.
Korteks spora ini mempunyai komposisi spesifik yang unik, dimana 50% dari
residu asam muramat pembentuk korteks ini hadir dalam bentuk asam muramat δ-
laktam. Setelah korteks mengendap, struktur spora akhirnya tertutup di antara mantel
15

protein, dan sel induk di sekitarnya spora tersebut mati dan mengalami lisis untuk
menghasilkan spora. Spora ini sangat tidak aktif (dorman), terlihat dari kurangnya
metabolisme yang terjadi, dan sangat tahan terhadap kekeringan, panas, radiasi dan
pemberian zat-zat kimia keras. Spora-spora ini dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Ketika berada dalam kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya, spora ini
bergerminasi (berkecambah) membentuk sel vegetatif.
Ada banyak penelitian yang saat ini sedang dilakukan terhadap B.subtilis. Satu
proyek penelitian baru-baru ini berfokus pada ketahanan spora B.subtilis terhadap
panas, radiasi dan bahan kimia. Telah diketahui bahwa spora dapat bertahan hidup
ratusan, bahkan juatan tahun dalam keadaan tidak aktif. Studi ini meneliti faktor
penting yang berkontribusi terhadap spora perlawanan. Peneliti menemukan bahwa
mantel bakteri ini adalah faktor utama karena mantel menyediakan penghalang bagi
organinsme terhadap agen beracun, radiasi ultraviolet dan enzim litik. Membrane
dalam juga ditemukan mempunyai peranan yang penting karena permeabilitas yang
rendah terhadap bahan racun. Perbaikan DNA juga ditemukan mempunyai peranan
penting karena dapat mengontrol kerusakan DNA akibat radiasi, panas dan racun.
Spora B.subtilis juga tahan terhadap panas lembab, terutama dengan kadar air inti
yang rendah. Semakin rendah kadar air di inti spora, semakin tahan spora tersebut
terhadap panas lembab. (Setlow 2006)

Corynebacterium glutamicum merupakan bakteri dari genus Corynebacterium,


yang merupakan kelompok bakteri gram positif dan berbentuk batang. Genus bakteri
ini tersebar banyak dan merata di alam. C.glutamicum merupakan bakteri yang
awalnya digunakan pada industri MSG (Mono Sodium Glutamate), yaitu bakteri yang
menghasilkan asam glutamat. Pada perkembangannya, C.glutamicum tidak hanya
digunakan untuk menghasilkan asam glutamat, akan tetapi juga berbagai asam amino
lainnya seperti L-lisin dan L-fenilalanin. Pengembangan dan pemuliaan strain
C.glutamicum menyebabkan tingkat produktivitas yang kian meningkat dan selektivitas
dari bakteri ini yang terus meningkat.

Klasifikasi Corynebacterim glutamicum:

Domain : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Order : Actinomycetales
Sub-order : Corynebacterineae
Family : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Species : C.glutamicum
16

Secara spesifik, C.glutamicum merupakan bakteri kecil, tidak dapat bergerak


yang tersebar banyak di tanah-tanah maupun sisa tanaman. Bakteri ini tidak dapat
memproduksi spora. Bakteri ini mempunyai katalase dan dapat memecah karbohidrat
dalam rantai metabolismenya. C.glutamicum pertama kali ditemukan di Jepang pada
tahun 1950an dan mempunyai peranan penting dalam industri bioproses dan
bioteknologi. C.glutamicum tidak bersifat patologi. Selain tidak bersifat patologi,
C.glutamicum sudah mulai digunakan dalam proses bioremediasi pada pengolahan
limbah arsen.
Pada proses metabolismenya, C.glutamicum memecah karbohidrat dalam proses
fermentasi. Bakteri ini dapat menggunakan sumber karbon dari berbagai senyawa,
misalnya beberapa senyawa aromatik. Karena C.glutamicum dapat menerima /
mencerna berbagai nutrisi sumber karbon, C.glutamicum memiliki 127 protein yang
terkait dengan fungsi regulasi pada bakteri ini dan pengendalian metabolisme. Dari
struktur sel yang dimiliki C.glutamicum, dinding sel bakteri ini merupakan bagian yang
paling unik. Selain mengandung lapisan peptidoglikan, dinding sel C.glutamicum juga
mengandung rantai pendek dari asam mikolat dan pasangan-pasangan dari lipid yang
tidak umum ditemukan (misalnya asam meso-diaminopimelik dan polimer arabino-
galaktan).

Selain B.subtilis dan C.glutamicum, Aspergillus niger juga sering dijumpai dalam
fermentasi fenilalanin. Aspergillus niger merupakan fungi berfilamen haploid dari filum
Ascomycota. A.niger mempunyai hifa yang termasuk ke dalam jenis hifa yang non-
coenocytic (hifa septate). A.niger dapat ditemukan dimana-mana, di tanah, sisa
tumbuhan, bahkan udara sekeliling kita. A.niger biasanya merupakan penyebab
bercak-bercak hitam pada buah, sayur, bawang dan kacang tertentu. Pada industri
pangan, A.niger biasanya dikenal sebagai jamur kontaminan. A.niger digunakan
secara luas untuk pengolahan limbah dan biotransformasi karena memproduksi enzim
ekstrasellular.
Klasifikasi Aspergillus niger:

Domain : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Eurotiales
Family : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Species : A.niger
17

A.niger ditemukan berkoloni yang terdiri dari bulu-bulu halus (felt) kuning dan
putih yang ditutupi oleh spora aseksual yang berwarna hitam. Misellium atau benang
hifa mempunyai septum dan trasnparan. Konidia (spora aseksual) A.niger biasanya
berkisar 900-1600 pm panjang dan dapat ditemukan bulatan-bulatan yang disebut
globose vesicle dengan ukuran diameter yang berkisar 40-60 μm. Globose vesicle
biasanya juga dikenal dengan kantong askus pada fungi Ascomycota.
Pada industri bioproses, A.niger terkenal sebagai jamur yang berperan dalam
proses fermentasi asam sitrat ketika ditemukan pertama kalinya. Dalam
pengembangannya, A.niger dengan berbagai strain yang sudah ada sekarang mampu
berperan dalam berbagai fermentasi, misalnya : fermentasi asam-asam amino,
fermentasi minuman beralkohol dan lain sebagainya.

B. Bahan Baku, Penanganan Bahan Baku, Medium Fermentasi, Substrat


(Sumber Karbohidrat), Nutrien Lain dan Cara Sterilisasi.

Pada buku COMPREHENSIVE BIOTECHNOLOGY : The Principles, Applications


and Regulations of Biotechnology in Industry Agricultural and Medicine (1985) pada
artikel yang ditulis oleh H. Enei dan Y. Hirose, penelitian yang dilakukan oleh
Ajinomoto Co. Inc menggunakan bahan baku glukosa dan molase sebagai sumber
karbon dan didapat perbandingan yield produk L-fenilalanin yang dihasilkan sebagai
berikut :

b
L-Phe formed Yield
a -1
Strain Marker Substrate (g.l ) (%)
r
Bacillus subtilis 5FT Glucose 6.0 7.5
r r r - -
Brevibacterium lactofermentum 5MT , PFP , Dec , Tyr , Met Glucose 25.0 19.0
r r -
Corynebacterium glutamicum PFP , PAP , Tyr Cane mollases 9.5 9.5
a
Singkatan : 5FT, 5-fluorotryptophan; 5MT, 5-methyltryptophan; PFP, p-fluorophenylalanine;
PAP, p-aminophenylalanine; Dec, decoyinine. b g phenylalanine / g substrate consumed 100.
Keterangan : Molase adalah produk sampingan dari industri sukrosa (gula tebu) yang
mempunyai nilai kegunaan yang rendah. Molase biasanya digunakan sebagai bahan
baku untuk berbagai industri fermentasi lainnya misalnya fermentasi alkohol,aseton,
asam sitrat, gliserol, asam-asam amino lainnya.

Kandungan berbagai senyawa dalam beet dan cane molasses:


18

[Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology, Science


Publishers, Enfield, NH, USA, 61]

Pada jurnal yang ditulis oleh M. R. Gerigk dan tim penelitinya : Enhanced pilot-
scale fed-batch L-phenylalanine production with recombinant Escherichia coli by fully
integrated reactive extraction (2002), proses produksi menggunakan bakteri E.coli
W3110-4 menggunakan glukosa sebagai sumber karbon dan L-Tyr sebagai bahan
bakunya. Amoniak digunakan sebagai pengendali pH dengan cara titrasi. Adapun
formulasi medium fermentasi yang digunakan yaitu : 3,0 g/L MgSO4.7H2O; 0,015 g/L
CaCl2.H2O; 3,0 g/L KH2PO4; 1,0 g/L NaCl; 5,0 g/L (NH4)2SO4; 0,075/0,1 g/L
FeSO4.7H2O/ Na-Sitrat; 0,075 g/L tiamin; 0,3 g/L L-Tyr; 0,1 g/L ampicilin; 15 g/L
glukosa dan 1,5 ml/L larutan sisa yang mengandung 2,0 g/L Al2(SO4).18H2O; 0,75 g/L
CoSO4.7H2O; 2,5 g/L CuSO4.5H2O; 0,5 g/L H3BO3; 24 g/L MnSO4.H2O; 3,0 g/L
Na2MoO4.2H2O; 2,5 g/L NiSO4.6H2O; dan 15,0 g/L ZnSO4.7H2O. Medium yang sama
digunakan sebagai medium prakultur dengan beberapa perubahan sebagai berikut: 0,3
g/l MgSO4.7H2O; 0,1 g/l NaCl; 0,0075 g/l tiamin HCl; 0,08 g/l L-Tyr; 5,0 g/l glukosa
dan tambahan 12 g/l K2HPO4 (pH akhir 7,2).
Medium pertumbuhan biokatalis yang digunakan sama seperti medium yang
dijelaskan di atas yang dimodifikasi sehingga mengandung komponen-komponen
berikut: 30 mM (NH4)2SO4; 6,6 mM K2HPO4; 3,7 mM KH2PO4; 1 mM MgSO4; 50 Μm
CaCl2; 0,2 mM FeCl2; dan 0,3 μM vitamin B1. 100 μL/L polipropilen ditambahan
sebagai antifoam agent untuk mencegah terbentuknya buih pada saat fermentasi.
Sumber karbon glukosa dibuat pada 50% (w/v) larutan cadangan dan disterilisasi
menggunakan autoclave secara terpisah pada 121 selama 20 menit. Untuk
pemeliharaan plasmid pSY130-14, medium ditambahkan dengan ampcilin 100 mg/L.
(Christian Weikert, Uwe Sauer, dan James E. Bailey; Institute of Biotechnology –
Switzerland; 1998)
19

C. Lintasan Biosintesis Fenilalanin

Jalur biosintetik dengan produk L-fenilalanin dan L-tirosin. Singkatan : PAT =


Prephenate aminotransferase
[Rippert, Pascal, et. al (2009), Tyrosine and Phenylalanine Are Synthesized within
the Plastids and Arabidopsis, Plant Physiology,149, 1251-1260]
20

Jalur biosintetik dari prephenate dan arogenate menjadi fenilalanin pada tanaman
dan mikrooganisme
[Ho Cho, Man, et. al (2007), Phenylalanine Biosynthesis in Arabidopsis thaliana :
Indentification and Characterization of Arogenate Dehydratases, The Journal of
Biological Chemistry, 282, 30827-20835]

Jalur biosintesis fenilalanin dalam E.coli dan hubugannya dengan sintesis asam-
asam amino bergugus aromatik dan vitamin-vitamin lainnya. Singkatan : PEP,
Phosphonolpyruvate; E4P, erythrose-4-phosphate; DAHP, 3-deoxy-D-
arabinoheptulosonic acid-7-phosphate; SA, shikimic acid; CA, chorismic acid; PA,
prephenic acid; PPA, phenylpyruvic acid.
[Gowrishankar, J. And Pittard, James (1982), Regulation of Phenylalanine
Biosynthesis in Escherichia coli K-12: Control of Transcription of the pheA Operon,
Journal of Bacteriology, 150, 1130-1137]

Jalur biosintetik asam amino. Simbol : 1, DAHP synthase-Phe; 2, DAHP synthase-


Tyr; 3, DAHP synthase-Typ; 4, CMI; 5, CMII; 6, prephenate dehydrase; 7,
anthanilate synthase. Singkatan : E4P, erythrose-4-phosphate; PEP,
phosphoenolpyruvate; CHA, chorismate; PPA, prephenate; PPY, phenylpyruvate;
HPP, hydroxyphenylpyruvate; ANT, anthanilate; PHE, phenylalanine; TYR,
tyrosine; TRP, tryptophan.
21

[J. Fiske, Michael and F. Kane, James (1984), Regulation of Phenylalanine


Biosynthesis in Rhodotorula glutinis, Journal of Bacteriology, 160, 676-681]

Jalur biosintetik konversi prephenate menjadi L-fenilalanin dan L-tirosin pada


Amycolatopsis methanolica. Tanda panah dengan panjang yang berbeda-beda
digunakan untuk mengindikasikan tingkat kepentingan relatif dari isoenzim yang
terdeteksi pada strain WV2. Simbol : a, prephenate dehydrase; b dan c, Phe AT
(Phe ATI dan –II berurutan); b,d dan e, (Ppa ATI, -II dan –III berurutan); f,
arogenate dehydrogenase; b dan c, tyrosine AT (Tyr ATI dan II berurutan).
[Aboud-Zeid, A. , et.al (1995), Biosynthesis of L-Phenylalanine and L-Tyrosine in
the Actinomycete Amycolatopsis methanolica, Applied and Environmental
Microbiology, 61, 1298-1302]
22

[G. Villas-Boas, Silas, et.al (2005), High-Throughput Metabolic State Analysis: The
Missing Link in Integrated Functional Genomics of Yeasts, Biochemisty Journal,
388, 669-677]

[Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology,


Science Publishers, Enfield, NH, USA, 95]

D. Pengembangan Inokulum

Kultur persediaan yang disimpan pada suhu -80 dalam medium Luria-Bertani
(LB) yang mengandung 20% gliserol dan 25 mg/L kanamicin. Untuk prakultur, 200 mL
medium LB ditambahkan dengan 40 mg/L kanamicin, 20 g/L glukosa dan 1 tetes dari
antifoam (Adecanol 19). pH campuran disesuaikan ke 7,5 dengan menggunakan
NaOH. Satu mililiter dari kultur persediaan tersebut diinokulasi dan dikembangkan
23

selama 12 jam pada gelas 12-L Sakaguchi pada suhu 37 dan ditempatkan pada
reciprocal shaker (sejenis alat pengaduk).
Komposisi dari medium sintetik untuk produksi L-fenilalanin sama seperti yang
disebutkan sebelumnya (Konstantinov et. al, 1990b) kecuali pada konsentrasi
AlCl3.6H2O, MnSO4.nH2O, Na2MoO4.2H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O dan H3BO3
yang dikalikan tiga dan 4,5 mg/L dari CuCl2.2H2O dan 15,0 mg/L dari CoCl2.6H2O
ditambahkan. Konsentrasi glukosa awal yaitu 20 g/L. Setelah kadar glukosa menipis,
penambahan larutan 30% (w/v) glukosa dilakukan secara berkala.
Beberapa set dari 3 g L-tirosin dan 250 mg dari tiamin HCl ditambahkan secara
berkala untuk mengkompensasi defisiensi genetik dari strain yang digunakan ketika
densitas optikal pada 660 nm (OD660) mencapai 45, 70, 80 dan 30, 60, 80, 90. Setelah
penambahan dari L-tirosin selesai dilakukan, larutan 2 g/L L-tirosin dalam larutan
amoniak (2,8%) diumpankan secara berkala. Dua ratus miligram dari kanamicin
diumpankan ketika OD660 mencapai 50, 80 dan 90, dan dengan kadar yang sama
KH2PO4, K2HPO4, CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O dan Na-glutamat seperti pada medium
sebelumnya diumpan ketika OD660 80. Antifoam ditambahkan ketika diperlukan.
Pengembangan kultur dilakukan dalam fermentor (13,5 L, MBF-1350, Tokyo Rika
Co. Ltd., Jepang) dengan kondisi-kondisi sebagai berikut: inokulum awal, 300 mL;
volume kultur awal 5L; temperatur 38,5 ; pH 7,0 (dikendalikan dengan menambahkan
28% air amoniak); DO 20% udara jenuh (dikendalikan dengan meningkatkan laju
agitasi mencapai 1000 putaran per menit dan mencampurkan oksigen murni dengan
gas inlet); tekanan gauge dalam 0,5 kg/cm 2; laju alir udara 0,5 L/menit. Pengontrolan
kondisi operasi ini dilakukan dengan perangkat lunak (software) yang diprogram
menggunakan bahasa C yang dijalankan pada perangkat keras (hardware) IBM AT-
compatible. [Takagi, Mutsumi, et al, (1996), Osaka University]

Sebuah sistem multireaktor Sixforce (Infors AG), yang terdiri dari 6 reaktor
dengan volume masing-masing 350 mL, digunakan untuk semua proses batch dan
experimen sel. Kondisi pengembangan kultur sebagai berikut: pH 7,0 0,1
(dikendalikan dengan 4 M NaOH atau 2 M H 3PO4); temperatur 37 ; agitasi 500
putaran per menit; aerasi 1,5 vvm dengan udara yang sudah disaring dan disterilkan.
Bioreaktor mengandung medium-medium dengan komposisi yang sudah dibahas pada
sub-bab sebelumnya dan antifoam yang disterilkan dengan autoclave pada suhu 121
selama 30 menit. Larutan steril dari MgSO4, CaCl2, FeCl2 dan sumber karbon
ditambahkan secara terpisah pada suhu 37 . Inokulum (1/10 volume) dikembangkan
pada kondisi aerob dalam 100 mL medium yang sama pada gelas kocok 500 mL yang
ditempatkan ke dalam rotary shaker dari kultur segar (12 jam, 37 ).
24

Perkembangan sel selama pengembangan inokulum dipantau melalui perubahan


pada OD420 pada pengenceran yang sesuai dalam 0,9% formaldehida. Untuk
penentuan berat sel kering (BSK), sejumlah volume tertentu dari kaldu fermentasi
disentrifugasi pada gelas kaca yang sudah ditimbang pada 2000g (2000 kali
percepatan gravitasi) selama 10 menit menggunakan alat sentrifugasi Beckman SC 6R.
Granul-granul sel kemudian dibersihkan dengan PBS buffer dan dilanjutkan dengan air,
tabung-tabung kemudian dikeringkan pada suhu 90 selama 12-16 jam sampai berat
yang terukur konstan. Total konsentrasi protein sel ditentukan dengan metode Lowry
yang sudah dimodifikasi (Lowry et al., 1951). Granul-granul sel dari 1 mL sampel kultur
dibersihkan dengan PBS dan kembali disuspensi dalam 1 mL 0,4 M NaOH. Suspensi
tersebut kemudian diinkuasi selama 15 menit pada 100 . Larutan 400 μL yang
mengandung 10 mM CuSO4; 50 mM natrium-kalium tartrat; 0,25 M NaOH; dan 40 mM
kalium iodida ditambahkan pada suhu ruangan, dan campuran diikubasi selama 30
menit pada 37 . Sisa-sisa sel yang hancur dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada
3300g selama 15 menit dan absorbansi supernatan diukur pada panjang gelombang
576 nm. (Ingraham et al., 1990) [Weikert, Christian et al., Institute of Biotechnology –
Switzerland, 1998]

Pengembangan kultur dilakukan dalam bioreaktor 20 L (ISF 200, Infors,


Switzerland) termasuk ke dalam batasan-batasan berikut: 10% inokulum, volume awal
7,5 L; temperatur 37 ; pH 6,5 (pH dikendalikan dengan 25% amoniak dalam air); 50
jam fermentasi. Operasi dikendalikan oleh perangkat lunak terintegrasi (Infors,
Switzerland) Untuk pra-optimasi dari parameter dasar proses, sebuah sistem 12 gelas
kocok pada reciprocal incubator (inkubator yang dilengkapi dengan pengocok)
digunakan (Infors, Switzerland). Inkubator kemudian ditambahkan dengan sistem
pararel pengukur pH dan pengendali pengumpan substrat (Dasgip GmbH, Germany)
untuk masing-masing labu. Dengan sistem fermentasi 12 pengendali pH fed-batch
dapat dilakukan secara pararel dalam labu kocok.
Fermentasi skala pilot dilakukan dalam bioreaktor 300 L Chemap (Chemap,
Switzerland) termasuk di dalamnya bioreaktor yang digunakan untuk pengembangan
kultur (30 L) dengan batasan-batasan sebagai berikut: bioreaktor 30 L, volume awal
(medium pengembangan kultur) 11.0 L; pH 7,2 (tidak dikendalikan); 6 jam fermentasi.
Bioreaktor 300 L: volume awal (medium fermentasi) 123 L; pH 6,5 (dikendalikan
dengan air amoniak 25%); 50 jam fermentasi. Operasi dikendalikan oleh perangkat
lunak terintegrasi. [R. Gerigk, M. et al., 2002]
25

E. Proses Produksi, Jenis Proses, Proses Flowsheet

Proses produksi L-fenilalanin dengan reactor fed-batch


[R. Gerigk, M. et.al (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine
Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive
Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52]

Pengembangan fermentasi skala lab untuk penggunaan biokatalis E.coli dimulai


dengan pendekatan pengendalian proses secara manual dan mengarah ke variasi
kinerja proses yang sangat signifikan yang ditunjukkan oleh kadar glukosa yang sangat
bervariasi, konsentrasi L-Tyr dan L-Phe yang mengalir. Misalnya pembatasan glukosa
yang harus dihindari untuk mencegah penurunan tingkat produksi. Namun, akumulasi
glukosa juga tidak seharusnya tidak terjadi oleh karena pembentukan produk
sampingan (terutama asetat). Dengan demikian, pendekatan proses yang dilakukan
dapat ditingkatkan dengan tujuan reproduktivitas tinggi, kesesuaian untuk strain
produksi yang berbeda dan kemampuan upscale.
Sebuah pengendali glukosa tipe loop tertutup dipasang yang terdiri dari unit
ultrafiltrasi (penyaringan) untuk pengambilan sampel secara berkala, OLGA untuk
pengukuran substrat langsung dan sebuah penyaring Kalman yang dikombinasikan
dengan pengendali dengan variance minimum untuk pengendalian laju umpan. Untuk
pengembangan proses lebih lanjut, analisis komponen utama digunakan untuk
26

menganalisis hasil fermentasi. Dengan cara ini, L-Tyr telah diidentifikasi sebagai
variable kunci fermentasi. Oleh karena itu, analisis tambahan dilakukan untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi L-Tyr pada kinerja proses. Sebuah analisis yang
dilakukan terhadap 10 kali fermentasi menunjukkan bahwa efek dari L-Tyr pada akhir
titer L-Phe. [R. Gerigk, M. et al., 2002]

F. Perolehan Produk, Tipe Perolehan Produk

Proses produksi L-fenilalanin dengan reactor fed-batch dan dilanjutkan ke unit


ekstraksi.
[R. Gerigk, M. et.al (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine
Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive
Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52]

Setelah umpan melalui bioreaktor dan mengalami fermentasi, kemudian proses


dilanjutkan ke tahap ekstraksi untuk pemisahan L-fenilalanin dari hasil fermentasi.
Proses ekstraksi ini menggunakan larutan berumatan yang dapat menarik ion-ion
tertentu. Pada gambar dapat dilihat bahwa larutan yang berisi sel-sel yang tidak
digunakan dalam proses fermentasi digunakan pada unit pemisahan produk. Pada
larutan H2SO4 1 M, sebuah ion proton ditambahkan.
Larutan tersebut dialirkan pada organic cycle (pada gambar) yang mengandung
pelarut organik bersamaan dengan zat pembawa (D 2EHPA). Pemisahan terjadi pada
lapisan antara fasa aqueous (polar) dan fasa organik. Setelah dipisahkan antara L-
fenilalanin dan sisa produk lainnya, kemudian L-fenilalanin dilepaskan pada unit
27

stripper setelah melewati unit ekstraksi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pada
unit ekstraksi, sistem ekstraksi terdiri dari asam di-2-etil-heksil-fosfat (DEHPA) dalam
10% (v/v) kerosene dan 1 mol asam sulfat yang merupakan sistem optimal untuk
ekstraksi L-fenilalanin dari hasil fermentasi.

G. Pengolahan Limbah, Bentuk Limbah dan Jenis Pengolahan Limbah

Pada berbagai industri asam amino atau lebih spesifiknya industri fenilalanin
sering kali tidak ditemukan limbah yang berbahaya. Aliran keluaran dari bioreaktor
pada jurnal ‘Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine Production with
Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive Extraction’ berupa
campuran substrat dan fenilalanin yang dipisahkan pada kolom ekstraksi
menggunakan DEHPA lalu dilanjutkan pemisahan pada stripper. Sisa ekstraksi dari
kolom ekstraksi yang bukan fenilalanin dialirkan kembali ke dalam bioreaktor untuk
dikonversi karena proses yang dilakukan bersifat fed-batch atau lebih tepatnya semi
fed-batch karena hanya ada aliran produk yang dikehendaki yang keluar, yaitu L-
fenilalanin.
REFERENSI

1. J. Waites, Michael, et al., (2001), Industrial Microbiology : An Introduction, T.J.


International Ltd., Padstow, Cornwall, England, 12-13
2. Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology, Science
Pyblishers, Enfield, NH, USA, 388-396
3. Setlow, P., (2006), Spores of Bacillus subtilis : Their Resistance to and Killing by
Radiation, Heat and Chemicals, Journal of Applied Microbiology, 101, 514-525
4. Koukol, Jane and Eric E. Conn, (1961), The Metabolism of Aromatic Compounds in
Higher Plants, The Journal of Biological Chemistry, 236, 2692-2698
5. R. Lide, David (2009), Handbook of Chemistry and Physics 90 th Edition, CRC Press,
Boca Raton, Florida, 3-424
6. L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of Biochemistry
5th Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 76
7. Mary Ederer, Grace, Jackie H. Chu and Donna J. Blazevic, (1970), Rapid Test for
Urease and Phenylalanine Deaminase Production, Apllied Microbiology, 21, 545
8. D. Fernstrom, John and Madelyn H. Fernstrom, (2011), Tyrosine, Phenylalanine and
Catecholamine Synthesis and Function in The Brain, The Journal of Nutrition, 137,
1539S-1547S
9. MD, Josefweglage, et al., (2001), Individual blood-brain barrier phenylalanine
transport determines clinical outcome in phenylketonuria, Annals of Neurology, 50,
463-467
10. Rippert, Pascal et al., (2009), Tyrosine and Phenylalanine Are Synthesized within
The Plastids in Arabidopsis, Plant Physiology, 149, 1251-1260
11. Camakaris, H. and J. Pittard, (1973), Regulation of Tyrosine and Phenylalanine
Biosynthesis in Escherichia coli K-12 : Properties of the tyrR Gene Product,
Journal of Bacteriology, 115, 1135-1144
12. J. Fiske, Michael and James F. Kane, Regulation of Phenylalanine Biosynthesis in
Rhodotorula glutinis, Journal of Bacteriology, 160, 676-681
13. Gowrishankar, J. and James Pittard, Regulation of Phenylalanine Biosynthesis in
Escherichia coli K-12 : Control of Transcription of the pheA Operon, Journal of
Bacteriology, 150, 1130-1137
14. R. Gerigk, M., et al., (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine
Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive
Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52

29
15. Gerigk, M., et al., (2002), Process Control for Enhanced L-Phenylalanine
Production Using Different Recombinant Escherichia coli Strains, Biotechnology
and Bioengineering, 80, 746-754
16. Ho Cho, Man et al., (2007), Phenylalanine Biosynthesis in Arabidopsis thaliana,
The Journal of Biological Chemistry, 282, 30827-30835
17. Weikert, Christian, Uwe Sauer and James E. Bailey, Increased Phenylalanine
Production by Growing and Nongrowing Escherichia coli Strain CWML2,
Biotechnol. Prog., 14, 420-424
18. Takagi, Mutsumi, et al., (1996), Control of L-Phenylalanine Production by Dual
Feeding of Glucose and L-Tyrosine, Biotechnology and Bioengineering, 52, 653-
660
19. Ziehr, H., M.R. Kula, et al., (1986), Continuous Production of L-Phenylalanine by
Transamination, Biotechnology and Bioengineering, XXIX (29), 482-487
20. Abou-Zeid, A., et al., (1995), Biosynthesis of L-Phenylalanine and L-Tyrosine in the
Actinomyceta Amycolatopsis methanolica, Applied and Environmental
Microbiology, 61, 1298-1302
21. W. Nester, Eugene and Alice L. Montoya, (1976), An Enzyme Common to
Histidine and Aromatic Amino Acid Biosynthesis in Bacillus subtilis, Jounal of
Bacteriology, 126, 688—705
22. Katsumata, Ryoichi, et al., (1995), Process For Producing L-Tryptophan, L-
Tyrosine or L-Phenylalanine, United States Patent, 5605818
23. M. Lee, Pat, H. Kong Lee and Yew S. Siaw, (1993), Covalent Immobilization of
Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine Production, Journal of Chem. Tech.
Biotechnol, 59, 65-70
24. Ali, S. and Haq, (2010), Production of 3,4—dihydroxy L-phenylalanine by a Newly
Isolated Aspergillus niger and Parameter Significance Analysis by placket-Burman
Design, BMC Biotechnology, 10:86

30

You might also like