Professional Documents
Culture Documents
Heru Supriyadi
Pendahuluan
Simfoni Dua merupakan kumpulan sajak karya Subagio Sastrowardoyo yang keenam,
diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul
Simphoni (1957), kedua Daerah Perbatasan (1970), ketiga Keroncong Matinggo (1975),
keempat Buku Harian (1979), kelima berjudul Hari dan Hara (1982).
Kumpulan sajak Simfoni Dua terdiri atas dua kumpulan yaitu Simfoni I (h. 19-42), dan
Simfoni II (h. 43-103). Kumpulan sajak Simfoni I pada prinsipnya merupakan sajak-
sajak yang termuat dalam Simphoni (1957), sedangkan Simfoni II terdiri atas sajak-
sajaknya yang dicipta setelah diterbitkan Hari dan Hara (1982).
Simfoni I terdiri atas 19 sajak, antara lain berjudul "Dewa telah Mati", "Jarak", "Stasion",
"Sajak", "Ali Baba", "Adam di Firdaus", "Kapal Nuh", "Bulan Ruwah", "Ekspresi", "Rasa
Dosa", "Sodom dan Gomorha". Simfoni II terdiri atas 46 sajak, antara lain sajak "Doa
Seorang WTS", "Dunia Kini Tidak Peka", "Gending Dolanan", "Lamunan Aborijin", "Motif
II", "Berilah Aku Kota", "Petualangan", "Soneta Laut", "Perempuan Tua", "Senja",
"Pertemuan", "Pada Daun Gugur", "Variasi pada Tema Maut", dan "Nada Akhir".
Kumpulan sajak Simfoni I terdiri atas sajak-sajak religius. Simfoni II didominasi sajak-
sajak yang mengungkap situasi sosial, tentang kebobrokan moral dan kemiskinan.
Berkaitan dengan judul makalah, penulis hendak membuat deskripsi dan eksplanasi
sajak-sajak Simfoni Dua dalam hubungannya dengan penggunaan majas. Aminuddin
(1990:72) sehubungan dengan hal tersebut berpendapat bahwa analisis majas dapat
digunakan untuk memahami puisi secara keseluruhan. Dalam analisis ini pendekatan
yang digunakan ialah eklektik. Pendekatan ini menggabungkan dua atau lebih
pendekatan sekaligus dengan maksud untuk menghasilkan analisis yang lebih berbobot
dan lebih komprehensip (M. Atar Semi, 1993: 91-92).
Kata "majas" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 545) berarti cara
melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain. Istilah
tersebut disebut juga bahasa kiasan atau bahasa figuratif (Atmazaki, 1993: 49).
Masalah majas penulis gunakan sebagai skup analisis makalah ini karena aspek majas
dalam sajak-sajak Simfoni Dua sangat dominan. Berkaitan dengan hal tersebut, Dick
Hartoko, (1986: 187) berpendapat bahwa majas sebagai ciri khas bagi jenis sastra
puisi.
Mohamad Ngafenan (1990: 105) dan Liberatus Tengsoe (1989: 201) menyatakan
bahwa majas skupnya meliputi majas perbandingan, majas sindiran, majas penegasan,
dan majas pertentangan. Majas perbandingan terdiri atas metefora, personifikasi,
asosiasi, alegori, parabel, simbolik, tropen, metonimia, litotes, sinekdoke, eufemisme,
hiperbola, alusio, antonomasia, dan preterito. Majas sindiran terdiri atas ironi, sinisme,
dan sarkasme. Majas penegasan terdiri atas pleonasme, repetisi,paralelisme, tautologi,
klimaks, antiklimaks, inversi, elipsis, retoris, koreksio, asindeton, polisindeton, interupsi,
eksklamasi, enumerasia, dan preterito. Majas pertentangan terdiri atas paradoks,
antitesis, kontradiksi interminis, okupasi, dan anakronisme.
Majas Perbandingan
Berdasarkan observasi, majas perbandingan dalam sajak-sajak Simfoni Dua terdiri atas
metafora, personifikasi, simbolik. Dari ketiga majas tersebut, metaforalah yang paling
dominan. Panuti Sudjiman (1993: 29) sehubungan dengan itu mendefinisikan bahwa
metafora adalah merupakan majas perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata
atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna. Sejalan
dengan itu Geoffrey N. Leech (1976: 151) mengatakan "Every metaphor is implicitty of
the form..." M.H. Abrams (1971: 61) dalam hal ini mengatakan "In a metaphor a word
which in standard usage denotes one kind of thing, quality, or action is applied of
another, in the from of a statemen of identity instead of comparation."
Tuhan
Tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
(Simfoni Dua, 1990: 33)
Judul sajak "Sodom dan Gomorrha" diambil dari nama dua kota yang dikutuk oleh
Tuhan karena para penghuninya berakhlak sangat buruk. Dalam sajak tersebut penyair
mengungkapkan bahwa orang-orang yang tidak mengakui adanya kehebatan Tuhan
dimetaforiskan dengan "Tuhan tertimbun di balik surat pajak". Dalam hal ini Tuhan
dibandingkan sesuatu benda tertimbun di balik surat pajak. Pemanfaatan majas
tersebut menjadikan pernyataan lebih konkret.
Pada sajak yang lain, metafora dapat dilihat pada sajak "Lamunan Aborijin" di bawah
ini.
Berikut ini majas personifikasi. Majas ini diartikan sebagai majas yang melekatkan sifat-
sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Henry Guntur
Tarigan, 1985: 17). Sejalan dengan hal itu Hulon Willis mengatakan "Personifictaion
attributes human qualities to nonhuman objects... (1966: 242).
H.B. Jassin (1965: 99) maupun S. Suharianto (1981: 86) mengatakan bahwa
personifikasi disebut juga majas pengorangan. Slametmuljana (1951: 39) menamakan
majas tersebut bukan personifikasi atau pun pengorangan, melainkan penjelmaan.
Majas personifikasi dalam sajak-sajak Simfoni Dua terdapat pada sajak "Motif II", "Sajak
tak Pernah Mati, "Om", "Riwayat," "Jendela", "Pengakuan", "Perempuan Tua", "Motif
IV", "Senja", "Motif V", "Pada Daun Gugur", "Mabuk", "Bunga", dan "Sunyi". Untuk
memperoleh gambaran secara konkret, antara lain dapat dilihat melalui sajak "Motif 2"
dan "Sajak tak Pernah Mati" di bawah ini.
Motif II
Pada sajak di atas penyair mengungkapkan masalah penderitaan yang sangat dalam.
Hal ini dipersonifikasikan, sajak (beda mati) menyuarakan penderitaan. Di samping itu
"jerit sakit" dipersonifikasikan "menyayat malam sunyi".
Majas personifikasi dalam sajak-sajak Simfoni Dua memegang peranan penting untuk
menghidupkan lukisan. Dengan memanfaatkan majas personifikasi, ungkapan-
ungkapan yang tampak abstrak menjadi konkret, yang statis menjadi dinamis karena
dipersonifikasikan.
Berikut ini majas simbolik. Majas tersebut oleh Putu Arya Tirtawijaya (1983: 30)
diartikan sebagai hasil yang diperoleh dari alat untuk landasan buat meluncurkan
pikiran maupun perasaan secra ringkas bernas. Pendapat tersebut diperjelas oleh Adhy
Asmara (1982: 38) bahwa simbolik merupakan kata-kata yang kaya akan pengertian-
pengertian tambahannya. Hal itu didapat dari latar belakang kata-kata itu berada.
Sehubungan dengan itu, M.H. Abrams mengartikan simbolik dalam sastra sebagai
berikut: "...symbol is applied only to a word or set of words that signifies an object or
event which suggests a range of reference beyond itself" (1971: 168).
Dalam sajak-sajak Simfoni Dua majas simbolik terdapat pada sajak "Dewa telah Mati",
"Motif II", "Soneta Laut", "Surat" dan "Di Seberang Mimti". Untuk memperoleh gambaran
secara konkret, antara lain dapat dilihat melalui kutipan-kutipan sajak beserta uraian di
bawah ini.
Simbul yang mewakili sajak tersebut adalah kata "dewa", "gagak", "ular", dan "pertapa".
Kata "dewa" dapat berarti makhluk Tuhan yang berasal dari sinar yang ditugasi
mengendalikan kekuatan alam. Kata "dewa" dapat pula berarti orang atau sesuatu yang
sangat dipuja-puja. Kata "gagak" mengandung arti nama burung yang berbulu hitam,
pemakan bangkai dan suaranya keras. Berdasarkan mitologi, gagak digunakan sebagai
simbul pembawa berita kematian. Dalam sajak tersebut mengisyaratkan anggapan
bahwa Tuhan telah tiada (telah hilang dari bumi). Kata "ular" mengandung arti binatang
menjalar, tidak berkaki, tubuhnya agak bulat, memanjang, kulitnya bersisik, hidup di
tanah atau di air. Dalam sajak "Dewa Telah Mati", ular sebagai simbul kejahatan, Kata
"pertapa" berarti orang suci atau orang yang tidak banyak dosanya.
Simbul-simbul tersebut dalam sajak "Dewa Telah Mati" oleh Subagio Sastrowardoyo
digunakan untuk mengekpresikan kehidupan orang-orang kafir. Dalam sajak tersebut
diungkapkan bahwa Tuhan telah mati (hilang dari bumi). Yang ada hanya orang-orang
jahat. Yang lebih ngeri, orang suci tersebut ke dunia mesum.
Berikut ini penulis kutip sajak "Motif II". Simbul-simbul yang terdapat pada sajak
tersebut ialah kata "senja", "suling", "gender", "rebab", dan "mengatruh".
Motif II
Kata "senja" secara harafiah berarti waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari
terbenam. Dalam sajak tersebut, kata "senja" mengandung simbul yang melukiskan
kurun waktu nyaris penghabisan. Kata tersebut dapat pula bersimbul kesedihan. Suling,
gender, dan rebab merupakan instrumen musik tradisional. Dalam sajak "Motif II",
ketiga kata tersebut bersimbul kehidupan yang tulus, jujur, murni, dan lepas dari dosa.
Kata "megatruh", berarti bentuk komposisi tembang macapat. Dalam sajak tersebut
kata "megatruh" sebagai simbul yang melukiskan kekecewaan atau kesedihan yang
mendalam.
Majas Sindiran
Majas Penegasan
Dalam kumpulan sajak Simfoni Dua, majas penegasan yang terdapat di dalamnya
berupa anafora, paralellisme, dan retoris. Anafora diartikan sebagai majas repetisi
(perulangan) kata pada awal larik atau awal kalimat (Henry Guntur Tarigan, 1986: 192).
Sehubungan dengan hal tersebut, Raymond Chapman (1973: 79) berpendapat
"Anaphore, sometimes used of verbal repetition in general, is specifically the repetition
of a word or phrase at beginning successive stages..." Majas ini dalam Simfoni Dua
terdapat pada sajak "Jarak", "Stasiun", "Sajak", "Ali Baba", "Adam di Firdaus", "Bulan
Ruwah', "Afrika Selatan", "Dunia Kini Tidak Peka", "Gending Dolanan", "Lamunan
Aborijin", "Motif II", "Berilah Aku Kota", "Petualangan", "Soneta Laut", "Perempuan Tua",
"Senja", "Pertemuan", "Pada Daun Gugur", "Variasi Pada Tema Maut", dan "Air". Untuk
memperoleh gambaran secara konkret, antara lain dapat dilihat pada kutipan sajak
"Afrika Selatan" dan sajak "Dunia Kini Tidak Peka" berserta uraiannya.
Afrika Selatan
............
sehari lamanya
orang menyayangkan nasibmu
dan melemparkan kesalahan:
kepada binimu
yang selalu bilang kau tak becus cari duit
kepada anakmu
yang malu bapanya hanya buruh kecil
kepada majikanmu
yang tidak menaikkan upah kerja
................................
(Simfoni Dua, 1990: 51)
Pada sajak di atas penyair mengungkapkan nasib buruh kecil yang serba salah serta
hubungan dengan majikan yang disharmonis. Hal tersebut ditekankan dengan majas
anafora berupa kata "kepada" dan "yang" diulang-ulang pada awal larik. Perulangan
tersebut menjadikan pernyataan lebih intens.
Berikut ini majas paralel. Majas tersebut berasal dari kata "paralel" dan "isme". Kata
"paralel" mengandung arti sejajar, sedangkan "isme" berarti aliran. Hal tersebut
diartikan sebagai suatu cara berbahasa berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama. Majas ini lahir dari struktur kalimat yang beimbang (Henry
Guntur Tarigan, 1986: 136). Geofrey N. Leech (1956: 67) dalam hal ini mengatakan
"Every parallelism sets up a relationship of equivalence between two or more element:
the element which a singled out by the pattern as being parallel".
Dalam kumpulan sajak Simfoni Dua, majas paralel terdapat pada sajak "Ekspresi",
"Rasa Dosa", "Simfoni", "Kenikmatan-Kenikmatan", "Variasi Pada Tema Maut" dan
"Mabuk". Untuk memperoleh gambaran secara konkret, antara lain dapat dilihat di
bawah ini.
Ekspresi
Kepada Affandi Luka terlalu parah
tak tertampung dalam cermin.
Tubuh yang terbayang
sepi - menepiskan bentuk.
Bahkan merah hitam
yang terpalut di atas kanpas
tak kuasa menjeritkan
derita - menikam dalam.
Hanya darah, mungkin.
Darah sendiri yang tergarit dengan jari
di dinding - jari yang gemetar dalam lapar.
(Simfoni Dua, 1990: 25)
Sajak di atas ditujukan kepada Affandi, seorang pelukis beraliran ekspresionisme. Sajak
tersebut mengungkapkan penderitaan hidup yang begitu mencekam sehingga
diekspresikan melalui seni lukis saja tidak cukup. Pemecahannya diperlukan semangat
hidup, siap dengan segala resiko. Hal tersebut ditekankan dalam majas palalel, tampak
pada larik keempat dengan larik kedelapan dan kesebelas yang berbunyi "sepi -
menepiskan bentuk", "derita - menikam dalam" dan "di dinding - jari yang gemetar
dalam lapar". Dengan memanfaatkan majas paralel, pernyataan menjadi lebih jelas dan
membuat larik-larik sajak mudah diingat.
Berikut ini sajak "Rasa Dosa"; terdiri atas delapan bait. Bait ketiga struktur dan
bentuknya paralel dengan bait keempat, lima, dan enam. Majas paralel yang demikian
ini oleh penyair dimanfaatkan untuk mengungkapkan perasaan berdosa yang selalu
diselimuti suasana tidak menyenangkan.
Rasa Dosa
semua kekal
nyawa
jejak membekas di lumpur hati
kata
Suara bergema di ruang abadi
tangan
jari gemetar menyaput sajak
mata
kenangan akhir membakar diri
Dengan struktur dan bentuk yang paralel, sajak di atas tampak lebih puitis.
Berikut ini majas retoris. Majas ini memanfaatkan kalimat tanya yang tidak
menghendaki jawaban (Gorys Keraf, 1981: 120). Dengan memanfaatkan majas retoris,
penyair tidak bermaksud bertanya, akan tetapi hendak menyatakan sesuatu dengan
setegas-tegasnya. Hal tersebut terjadi karena dalam majas ini sebenarnya sudah
terkandung jawaban yang pasti. Dalam sajak-sajak Simfoni Dua, majas retoris terdapat
pada sajak "Stasion", "Sajak", "Bulan Ruwah", "Ananda Sayang", "Paskah di Kentucky
Fried Chiken", dan "Seakan-akan". Untuk memperoleh gambaran secara konkret antara
lain dapat dilihat di bawah ini.
Setasion
Secara universal pembaca tahu bahwa sorga adalah alam akhirat yang
membahagiakan roh manusia yang hendak tinggal di dalamnya dalam keabadian.
Dengan demikian ungkapan berupa pertanyaan penyair pada sajak bergaris bawah
tertera di atas tidak perlu dijawab.
Sajak
Berkaitan dengan sajak di atas, sajak sebagai salah satu cipta sastra sebaiknya
menyenangkan dan berguna. Hal ini dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren
"duice et utile" (1977: 30). Lain halnya pada sajak di atas, sajak menjadi tidak berarti
karena situasi yang menyedihkan, anak semalam batuk-batuk, gaji tekor buat dokter,
bujang, dan untuk makan sehari, serta terbayang pentalon sudah sebulan sobek tak
terjahit, hidup ini makin mengikat dan makin mengurung. Dengan memanfaatkan majas
retoris tersebut, menjadikan sajak lebih intens.
Majas Pertentangan
Dalam sajak-sajak Simfoni Dua, majas pertentangan yang terdapat di dalamnya berupa
paradoks. Majas ini oleh Ahmad Badrun (1983: 199) didefinisikan sebagai majas yang
mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Jika ditinjau
secara sepintas, paradoks menyatakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Akan tetapi
jika dianalisis lebih lanjut, pernyataan dapat dinalar. Majas ini menarik perhatian karena
kebenarannya. Dalam sajak-sajak Simfoni Dua, majas paradoks terdapat pada sajak
"Adam di Firdaus", "Kenikmatan-Kenikmatan", "Doa Seorang W.T.S.", "Rumah", "Di
Stasion", "Motif IV", dan "Mabuk". Untuk memperoleh gambaran secara konkret, antara
lain dapat dilihat melalui kutipan sajak sebagai berikut.
Kenikmatan-Kenikmatan
....................................
Dua makhluk asing menemukan kejemuan
Perkenalan memang saling menggali
sampai relung paling rahasia, tapi
makin dalam makin terbenam hati dalam
kesepian
.....................................
(Simfoni Dua, 1990: 73)
Setelah penulis menganalisis sajak-sajak Simfoni Dua, penulis membuat penilaian. Hal
ini diperlukan karena membicarakan atau menganalisis karya sastra tanpa melakukan
penilaian menjadi kehilangan sebagian rasanya. Dalam suatu karya sastra, yang
menarik adalah sifat seninya, dan estetiknyalah yang dominan (Pradopo, 1994: 30).
Kesimpulan
Berdasarkan diskripsi dan eksplanasi yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan
sebagai berikut.
Kumpulan sajak Simfono Dua terdiri atas dua kumpulan, Simfoni I dan Simfoni II.
Kumpulan sajak Simfoni I terdiri atas sajak-sajak religius; Simfoni II terdiri dari atas
sajak-sajak yang mengungkap situasi sosial, tentang kebobrokan moral dan
kemiskinan.
Untuk membuat deskripsi dan eksplanasi sajak-sajak Simfoni Dua dalam hubungannya
dengan penggunaan majas, penulis menggunakan pendekatan eklektik, suatu
pendekatan yang menggabungkan beberapa pendekatan secara konprehensif. Dalam
analisis ini penulis menggabungkan pendekatan objektif dan ekspresif.
Dari analisis yang penulis lakukan, majas perbandingan dalam Simfoni Dua terdiri atas
metafora, personifikasi, dan simbolik. Dari ketiga majas ini, metaforalah yang paling
dominan.
Majas sindiran skupnya meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Dalam kumpulan sajak
Simfoni Dua, majas-majas tersebut tidak terdapat di dalamnya.
Majas penegasan dalam Simfoni Dua, meliputi anafora, paralelisme, dan retoris. Dari
ketiga majas tersebut, anaforalah yang paling dominan. Jika dibandingkan dengan
metafora, majas anafora lebih dominan.
Majas pertentangan dalam Simfoni Dua hanya paradok. Ini pun jumlahnya tidak
dominan. Meskipun demikian, majas tersebut menambah nuansa keanekaragaman
majas dalam Simfoni Dua.
Dari deskripsi dan eksplanasi yang telah penulis lakukan pada titik pangkalnya, Subagio
Sastrowardoyo dalam Simfoni Dua mengungkapkan masalah religius (Simfoni I), dan
situasi sosial tentang kebobrokan moral dan kemiskinan (Simfoni II). Hal ini oleh
Subagio diungkapkan dengan bahasa yang sederhana, namun mengandung arti yang
luas dan dalam. Di samping itu, ia sering menggunakan kata-kata yang tidak biasa
dipakai oleh penyair lain. Dengan demikian, pemakaian majas dalam Simfoni Dua
membuat sajak-sajaknya lebih segar, menarik, dan mengkonkretkan pernyataan