Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita dalam
kegawatan, yang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan
kematian. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit
tubuh dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
Penyebab utama gangguan cairan dan elektrolit adalah diare, muntah-
muntah, peritonitis, ileus obstruktif, puasa, terbakar, atau karena pendarahan yang
banyak. Tiap penyakit memiliki gangguan tersendiri sehingga sasaran terapinya
juga berbeda. Agar terapi cairan dan elektrolit kena pada sasarannya, diperlukan
selain pengatahuan tentang patofisiologi penyakit, juga fisiologi dari cairan dan
elektrolit tubuh kita. Berikut ini akan dibahas tentang dasar-dasar terapi cairan
dan elektrolit agar sasaran terapi sesuai dengan kebutuhan penderita.
Jumlah total cairan tubuh (Total Body Water = TBW) seseorang bervariasi
antara 55-70% dari berat badannya. Variasi ini tergantung dari banyaknya lemak
yang dikandung tubuhnya. Semakin gemuk seseorang semakin kurang air yang
dikandungnya, sebab lemak kurang mengandung air. Oleh karena itu, cairan
tubuh pada wanita relatif kurang dibandingkan dengan pria, sebab wanita
umumnya memiliki lemak lebih banyak dari pria (1).
Secara anatomis, cairan tubuh kita dibagi atas dua kompartemen, yakni :
• Cairan intraseluler (intracellular fluid = ICF) : 40% BB
• Cairan ekstraseluler (extracellular fluid = ECF) : 20% BB
Jadi secara anatomis cairan tubuh dibagi atas : (lihat Gambar 1.)
♦ Cairan intraseluler : 40 % BB
♦ Cairan ekstraseluler : 20 % BB, yang terdiri dari :
• cairan interstisial : 15 % BB.
• cairan intravaskuler : 5 % BB
♦ Cairan transeluler : 2 % BB
Walaupun cairan intravaskuler atau cairan plasma hanya 5% dari BB, namun
peranannya amat penting dalam mempertahankan hemodinamik tubuh kita.
Dengan mengetahui struktur anatomi cairan tubuh tersebut di atas, maka dapat
dimengerti bahwa :
20 L ! Koloid
15% 4L Protein plasma
! Darah
!
12
L !
!
Interstisiel Intravaskuler
2
Gambar 1. Anatomi cairan tubuh
2. Pemberian cairan kristaloid isotonis, seperti Ringer laktat atau NaCl 0,9%
fisiologis akan mudah melewati dinding endotel kapiler tetapi tidak mudah
melewati dinding sel. Jadi pemberian infus cairan tersebut akan berakhir di
ruang interstisial.
Komposisi cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar 2. di bawah ini. Disini
jelas bahwa Na+ dan Cl- merupakan elektrolit utama dari cairan ekstraseluler,
sedangkan K+ dan PO4- merupakan elektrolit utama dari cairan intraseluler.
Konsentrasi Na+ cairan ekstraseluler adalah 142 mEq/L sedangkan K+ 5 mEq/L,
sebaliknya konsentrasi K+ intraseluler adalah 150 mEq/L dan Na+ 10 mEq/L.
154 mEq/L 154 mEq/L 153 mEq/L 153 mEq/L 200 mEq/L 200 mEq/L
Na+ 142 Cl- 103 Na+ 144 Cl- 114 K+ 150 HPO4--
HCO3- 27 HCO3- 30 SO4-
SO4- SO4- 3 HCO
PO4--
3
praktis dalam keadaan normal Na+ lebih banyak diluar sel dan K+ lebih banyak di
dalam sel. Untuk menjalankan pump ini dibutuhkan energi yang diperoleh dari
adenosin triphosphat (ATP).
TEKANAN OSMOTIK
Walaupun besar molekul glukosa lebih besar dari Na2SO4 namun tekanan
osmotik yang ditimbulkan oleh 1 mol Na2SO4 lebih besar dari 1 mol glukosa.
Jadi tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding sel yang bersifat
semipermiabel. Kedua kompartemen tersebut memiliki tekanan osmotik yang
sama sekitar 300 milliosmol.
Meskipun total tekanan osmotik suatu larutan merupakan penjumlahan
tekanan dari masing-masing zat terlarut dalam suatu larutan, namun effective
osmotic pressure tergantung dari partikel-partikel yang tidak dapat melewati suatu
dinding yang bersifat semipermeabel. Itulah sebabnya protein yang terlarut
dalam plasma yang tidak melewati dinding kapiler merupakan faktor penentu
effective osmotic pressure antara plasma (cairan intravaskuler) dengan cairan
interstisiel. Tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh protein yang tidak dapat
melewati dinding kapiler inilah yang disebut colloid osmotic pressure. Dengan
kata lain tekanan onkotik dalam plasma ditentukan oleh konsentrasi protein yang
larut dalam plasma.
Oleh karena Na+ merupakan ion yang terbanyak dalam cairan
ekstraseluler, maka Na+ memegang peranan terpenting dalam menentukan
tekanan osmotik cairan ekstraseluler. Disamping itu zat-zat seperti protein dan
glukosa yang tidak bebas melewati dinding sel juga akan menambah effective
osmotic pressure.
Air secara bebas melewati dinding sel sehingga effective osmotic pressure
antara kedua kompartemen tersebut dianggap sama sehingga setiap keadaan yang
mengganggu atau mengubah effective osmotic pressure kedua kompartemen akan
menghasilkan redistribusi air antara keduanya. Air akan mengalir atau berpindah
4
dari tekanan osmotik rendah ke tekanan osmotik yang tinggi sampai pada
gilirannya yang kedua kompartemen tersebut memiliki effective osmotic pressure
yang sama. Jadi bila terjadi kenaikan effective osmotic pressure pada cairan
ekstraseluler yang biasanya akibat dari naiknya konsentrasi Na+ (hipernatremia)
akan menyebabkan mengalirnya air dari intraseluler ke ekstraseluler, demikian
pula sebaliknya. Akan tetapi seandainya terjadi kehilangan volume cairan
ekstraseluler tanpa perubahan konsentrasi maka hampir tidak akan terjadi
perpindahan air, yang terjadi hanyalah perubahan volume cairan ekstraseluler
saja.
Istilah tekanan osmotik harus dibedakan dengan tekanan onkotik (oncotic
pressure atau colloid osmotic pressure). Tekanan osmotik suatu larutan
tergantung atas banyaknya partikel yang terlarut, jadi semakin kecil partikelnya
semakin banyak yang dapat terlarut, semakin tinggi tekanan osmotik yang
ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya manitol memiliki berat molekul yang
kecil sehingga dapat meningkatkan tekanan osmotik bila diberikan secara
intravena.
Sebaliknya, senyawa seperti albumin, dekstran yang memiliki berat
molekul sekitar 80.000 tidak dapat menaikkan tekanan osmotik yang tinggi, akan
tetapi senyawa ini dapat menaikkan tekanan onkotik karena tidak dapat melewati
dinding kapiler. Oleh karena itu, infus albumin atau dekstran dapat menaikkan
tekanan onkotik plasma darah, tetapi hampir tidak mempengaruhi tekanan
osmotik plasma darah. Selain itu, tekanan onkotik diukur dengan mmHg
sedangkan tekanan osmotik diukur dengan mmOsm.
TONISITAS
5
juga terjadi secara terpisah atau tersendiri yang memberi gejala-gejala tersendiri
pula (4,5,7). Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.
Hipovolemik :
* Dehidrasi :
- Puasa yang lama
- Muntah-muntah, diare
- Peritonitis, ileus obstruktiva
* Hipovolemi :
- Perdarahan akut
- Kombusio
Hipervolemik :
* Overload :
- Pemberian cairan isotonis, koloid, plasma atau darah
yang berlebihan
* Intoksikasi air :
- Pemberian cairan hipotonis yang berlebihan.
PERUBAHAN VOLUME
30 ltr 15 ltr
6
+ 3 L Ringer Laktat Normal + 3 L Dex 5%
PERUBAHAN KONSENTRASI
PERUBAHAN KOMPOSISI
7
Demikian pula halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan
hipokalsemia (kadar Ca kurang dari 8 mEq/L), sudah akan timbul kelainan klinik
tetapi belum banyak menimbulkan perubahan osmilaritas.
8
atas beberapa golongan , yaitu cairan pemeliharaan, cairan pengganti dan cairan
defisit.
2. Cairan defisit
Cairan defisit adalah kekurangan cairan yang terjadi pada seseorang
sebelum melakukan tindakan. Keadaaan ini dapat ditemukan pada penderita
dehidrasi, hipovolemik oleh karena kombusio atau pendarahan akut.
9
bersama faeces. Kadar Kalium dalam plasma sangat dipengaruhi oleh keadaan
asam basa dalam tubuh.
Keadaaan asidosis biasanya menyertai hiperkalemia dan sebaliknya
keadaan alkalosis menyertai hipokalemia. Konsentrasi K+ sangat mempengaruhi
otot jantung, terutama pada penderita yang mendapat digitalis, sebab akan
memudahkan timbulnya fibrilasi ventrikel sampai henti jantung (cardiac arrest),
baik pada hiperkalemia maupun pada hipokalemia.
Oleh karena itu pemberian Kalium dosis tinggi harus memenuhi beberapa
persyaratan, yakni : produksi urine harus cukup, diberikan perinfus dengan
kecepatan tidak melebihi 20 mEq/jam, dan tidak lebih 200 mEq dalam 24 jam
(4,5,6,7).
2.0 ml x 20 tetes
= 27,7 tetes/menit
= 28 tetes/menit
24 x 60
DEHIDRASI
Perdefinisi dehidrasi berarti kekurangan atau defisit air saja tetapi dalam
praktek keadaan ini hampir tidak pernah ditemukan, sebab setiap keadaan
dehidrasi, selain kehilangan air juga senantiasa disertai dengan kehilangan
elektrolit utamanya ion natrium. Jadi dehidrasi berarti defisit air dan elektrolit.
Secara anatomis dehidrasi berarti defisit cairan ekstraseluler utamanya
cairan interstisiel yang pada gilirannya diikuti dengan berkurangnya cairan
intravaskuler. Oleh karena cairan interstisiel merupakan bantalan dari jaringan
dan mukosa, maka gejala yang menonjol akibat defisit cairan interstisiel adalah
gangguan kulit dan mukosa dengan gejala :
10
• Turgor kulit yang jelek
• Mata cekung
• Ubun-ubun cekung (pada bayi dan anak)
• Mukosa bibir dan kornea kering
Selanjutnya, jika defisit cairan interstisiel diikuti dengan defisit cairan
intravasculer maka gejala selain gangguan kulit dan mukosa juga disertai dengan
gangguan hemodinamik . Gejala gangguan hemodinamik berupa :
• Hipotensi
• Takikardi
• Vena-vena mengkerut (kolaps)
• Capillary refilled time memanjang
• Oliguri
• Syok (renjatan)
Etiologi dari suatu dehidrasi dapat disebabkan oleh karena intake air dan
garam yang kurang atau oleh karena output air dan garam terlalu banyak.
1. Intake kurang :
• Tidak minum dan makan .
2. Output yang banyak :
• Penguapan dari kulit dan paru -paru : febris tinggi, berkeringat
banyak
• Diuresis yang banyak
• Muntah-muntah, diare
• Translokasi air dan elektrolit pada : ileus obstruktif, peritonitis
11
4. Syok (defisit lebih dari 12% BB)
Perlu ditekankan disini bahwa perkiraan defisit di atas tidak selalu tepat,
sebab yang penting adalah adanya pedoman atau patokan untuk segera memulai
tindakan. Yang terpenting dari segalanya adalah pemantauan (monitoring) yang
ketat tentang keadaan penderita selama terapi dilakukan (7).
Contoh kasus :
Seorang laki-laki umur 35 tahun dengan BB = 50 kg menderita peritonis
dan mengalami dehidrasi berat. Bagaimana resusitasi cairannya ?
caranya :
1. Pemilihan jenis cairan adalah Ringer laktat oleh karena yang terjadi adalah
dehidrasi isotonis.
2. Jumlah perkiraan defisit = 12% BB (dehidrasi berat). Jadi jumlah defisit = 50
kg x 12% = 6 liter = 6.000 ml.
3. Teknik pemberian cairan adalah :
a) Setengah (50%) dari 6.000 ml (3.000 ml) diberikan dalam 8 jam pertama.
Sedangkan 50% sisanya (3.000 ml) diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) Agar gangguan hemodinamik cepat teratasi maka 1 jam pertama diberikan
20 ml/kgBB, maka dalam 1 jam pertama diberikan = 20 ml x 50 = 1.000
ml.
12
RESUSITASI CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA LUKA BAKAR
Kalau luka bakar luasnya 20% pada orang dewasa dan kurang dari 10%
pada anak-anak, maka umumnya tidak diperlukan resusitasi cairan. Resusitasi
cairan dan elektrolit dilakukan bila luas luka bakar lebih dari 20% pada orang
dewasa atau lebih dari 10% pada anak-anak.
Pemberian koloid dalam 24 jam pertama menurut banyak ahli tidak dapat
dibenarkan, sebab zat-zat koloid akan lolos melalui kapiler-kapiler yang rusak
tadi. Sesudah 24 jam, permeabilitas kapiler-kapiler sudah hampir pulih kembali
dan pemberian koloid baru dapat dibenarkan untuk dapat mempertahankan
tekanan osmotik koloid dengan batas normal. Pada anak-anak, permeabilitas tadi
13
sudah pulih kembali dalam 18 jam sehingga pemberian koloid diberikan lebih
awal.
Pemberian darah dalam 24 jam pertama tidak diperlukan walaupun pada
luka bakar terjadi hemolisis, sepanjang kehilangan Hb tidak melebihi 10% dari
keseluruhannya, sebab penambahan darah akan meninggikan viskositas darah.
Contoh :
Seorang dengan BB = 50 kg mengalami luka bakar dengan luas luka bakar 50%.
Cara pemberian cairannya adalah sebagai berikut :
Jumlah cairan yang dibutuhkan = 4 ml x 50 x 50 = 10.000 ml (10 liter/24
jam). Jadi, 5 liter harus habis dalam 8 jam pertama dan 5 liter dalam 16 jam
berikutnya. Dengan cara ini diperlukan monitoring berupa produksi urin dan
tekanan vena sentralis (CVP) untuk mengetahui apakah perfusi tetap terjadi dan
tidak overload cairan.
Pada 24 jam kedua, Baxter menganjurkan :
a. Jika keadaan umum memungkinkan, cairan sedapat mungkin diberikan secara
oral pada hari ke-2.
b. Jika cairan per os belum memungkinkan, maka infus dipertahankan dengan
Dextrose 5% sebanyak 2.000 - 5.000 ml/24jam.
Pemberian glukosa bertujuan untuk :
• kebutuhan metabolisme
• mengganti cairan yang hilang melalui sekuestrasi
• memudahkan ekskresi sodium sehingga kadar serum sodium
menjadi normal (138-142 mEq/L)
c. Pada hari ke 2, koloid sudah dapat diberikan karena permeabilitas membran
kapiler sudah pulih kembali. Koloid diberikan dalam bentuk Dextran atau
Plasma. Pada luka bakar kurang dari 50% diberikan koloid 500 ml,
sedangkan pada luka bakar lebih dari 70% diberikan koloid 1.500 ml.
Formula lain dari pemberian koloid ini adalah :
• pada luka bakar 30-50% adalah 0,3 ml/kgBB/% luka bakar
• pada luka bakar lebih dari 70% adalah 0,5 ml/kgBB/% luka bakar
Setelah 48 jam, apabila kehilangan akut sudah diatasi, maka tubuh masih
kehilangan plasma melalui luka bakar. Dan ini harus diganti, disamping
kebutuhan cairan seharinya. Untuk memperhitungkan jumlah cairan yang
menguap tadi dapat digunakan formula : (25 + % luas luka bakar) x m2 luas
permukaan tubuh = perkiraan jumlah cairan yang menguap perjam dalam
mililiter. Contoh : luas luka bakar 50% dengan luas permukaan tubuh 1,7 m2
maka penguapan = (25 + 50) x 1,7 = 125 ml/jam atau 24 x 125 = 3.000 ml/24
jam.
14
KESIMPULAN
Prinsip dasar terapi cairan dan elektrolit adalah :
1. Pemahaman tentang anatomi cairan tubuh yang terdiri atas cairan intraseluler
dan cairan ekstraseluler dengan komposisi elektrolit yang berbeda.
4. Keberhasilan terapi cairan dan elektrolit dapat dilihat dari hasil pengamatan
hemodinamik dan komposisi elektrolit darah dari penderita.
15
DAFTAR PUSTAKA
2. Ahlgen EW. Rational Fluid Theraphy for Children. ASA refresher course in
Anaesthesiology; 1979 : 1.
16