You are on page 1of 16

DASAR-DASAR TERAPI

CAIRAN DAN ELEKTROLIT

PENDAHULUAN
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita dalam
kegawatan, yang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan
kematian. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit
tubuh dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
Penyebab utama gangguan cairan dan elektrolit adalah diare, muntah-
muntah, peritonitis, ileus obstruktif, puasa, terbakar, atau karena pendarahan yang
banyak. Tiap penyakit memiliki gangguan tersendiri sehingga sasaran terapinya
juga berbeda. Agar terapi cairan dan elektrolit kena pada sasarannya, diperlukan
selain pengatahuan tentang patofisiologi penyakit, juga fisiologi dari cairan dan
elektrolit tubuh kita. Berikut ini akan dibahas tentang dasar-dasar terapi cairan
dan elektrolit agar sasaran terapi sesuai dengan kebutuhan penderita.

KANDUNGAN CAIRAN DALAM TUBUH

Jumlah total cairan tubuh (Total Body Water = TBW) seseorang bervariasi
antara 55-70% dari berat badannya. Variasi ini tergantung dari banyaknya lemak
yang dikandung tubuhnya. Semakin gemuk seseorang semakin kurang air yang
dikandungnya, sebab lemak kurang mengandung air. Oleh karena itu, cairan
tubuh pada wanita relatif kurang dibandingkan dengan pria, sebab wanita
umumnya memiliki lemak lebih banyak dari pria (1).

Rata-rata TBW: * Pria : 60% BB


* Wanita : 55% BB

Secara anatomis, cairan tubuh kita dibagi atas dua kompartemen, yakni :
• Cairan intraseluler (intracellular fluid = ICF) : 40% BB
• Cairan ekstraseluler (extracellular fluid = ECF) : 20% BB

Kedua kompartemen tersebut di atas dipisahkan oleh dinding sel yang


bersifat semipermeabel, artinya permeabel terhadap air tetapi tidak atau kurang
permeabel terhadap elektrolit maupun zat -zat lainnya.
Selanjutnya cairan ekstraseluler sendiri terbagi atas cairan interstisial
(interstitial fluid) 15% BB, yaitu cairan yang berada diantara sel, dan cairan
intravaskuler (intravascular fluid) 5% BB yaitu cairan yang berada dalam
pembuluh darah. Keduanya dipisahkan oleh dinding kapiler yang terdiri dari
selapis endotel. Oleh karena itu zat-zat dengan molekul kecil seperti : air,
elektrolit, dan glukosa mudah melewati dinding kapiler tersebut, sedangkan zat-
zat dengan molekul besar seperti koloid, protein plasma, atau eritrosit tidak dapat
melewati dinding kapiler tersebut.
Sebenarnya masih ada lagi kompartemen cairan yang oleh karena
jumlahnya relatif kecil dan tidak banyak berperan dalam perubahan cairan tubuh
sehingga secara fungsional dapat diabaikan dalam perhitungan jumlah cairan
tubuh; cairan tersebut adalah cairan transeluler (transcellulair fluid) : 2% BB,
misalnya cairan serebrospinal, cairan dalam sendi (sinovial), cairan dalam korpus
vitreum, traktus biliaris, pleura, cairan peritoneal, dan lain-lain.

Jadi secara anatomis cairan tubuh dibagi atas : (lihat Gambar 1.)
♦ Cairan intraseluler : 40 % BB
♦ Cairan ekstraseluler : 20 % BB, yang terdiri dari :
• cairan interstisial : 15 % BB.
• cairan intravaskuler : 5 % BB
♦ Cairan transeluler : 2 % BB

Walaupun cairan intravaskuler atau cairan plasma hanya 5% dari BB, namun
peranannya amat penting dalam mempertahankan hemodinamik tubuh kita.

Dengan mengetahui struktur anatomi cairan tubuh tersebut di atas, maka dapat
dimengerti bahwa :

1. Pemberian cairan dextrose 5% dapat dengan mudah melewati baik dinding


endotel kapiler maupun dinding sel. Jadi pemberian infus dextrose 5% akan
berakhir di dalam sel. Dextrose 5% di dalam sel akan segera mengalami
metabolisme menjadi H20 dan CO2.

Cairan intraseluler Cairan ekstraseluler


Dextrose 5%
!
Ringer laktat
40% ! 5% NaCl 0,9%

20 L ! Koloid
15% 4L Protein plasma
! Darah

!
12
L !

!
Interstisiel Intravaskuler

2
Gambar 1. Anatomi cairan tubuh

2. Pemberian cairan kristaloid isotonis, seperti Ringer laktat atau NaCl 0,9%
fisiologis akan mudah melewati dinding endotel kapiler tetapi tidak mudah
melewati dinding sel. Jadi pemberian infus cairan tersebut akan berakhir di
ruang interstisial.

3. Pemberian cairan koloid, plasma, atau darah akan menetap di dalam


intravaskuler, sebab tidak dapat melewati dinding endotel kapiler kecuali
dalam keadaan patologis misalnya pada keadaan kombusio. Jadi dalam
keadaan normal cairan ini akan menetap dan menambah volume intravakuler
untuk jangkah waktu yang cukup lama.

KOMPOSISI CAIRAN TUBUH

Komposisi cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar 2. di bawah ini. Disini
jelas bahwa Na+ dan Cl- merupakan elektrolit utama dari cairan ekstraseluler,
sedangkan K+ dan PO4- merupakan elektrolit utama dari cairan intraseluler.
Konsentrasi Na+ cairan ekstraseluler adalah 142 mEq/L sedangkan K+ 5 mEq/L,
sebaliknya konsentrasi K+ intraseluler adalah 150 mEq/L dan Na+ 10 mEq/L.

154 mEq/L 154 mEq/L 153 mEq/L 153 mEq/L 200 mEq/L 200 mEq/L

Kation Anion Kation Anion Kation Anion

Na+ 142 Cl- 103 Na+ 144 Cl- 114 K+ 150 HPO4--
HCO3- 27 HCO3- 30 SO4-
SO4- SO4- 3 HCO
PO4--

K+ 4 Organic- K+ 4 Organic- Mg++ 40 HCO3- 10


Ca++ 5 acids 5 Ca++ 5 acids 5 Na+ 10

Mg++ 3 Proteins 16 Mg++ 2 Proteins 1 Proteins 40


PLASMA INTERSTITIEL INTRASEL
FLUID FLUID

Gambar 2. Komposisi elektrolit kompartemen cairan tubuh (dalam mEq/liter)

Tingginya konsentrasi Na+ di luar sel dan tingginya konsentrasi K+ di


dalam sel disebabkan karena setiap kali Na+ masuk ke dalam sel selalu
dipompakan keluar melalui mekanisme “sodium potassium pump“, sehingga

3
praktis dalam keadaan normal Na+ lebih banyak diluar sel dan K+ lebih banyak di
dalam sel. Untuk menjalankan pump ini dibutuhkan energi yang diperoleh dari
adenosin triphosphat (ATP).

TEKANAN OSMOTIK

Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau


milliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya
partikel yang larut dalam suatu larutan. Dengan kata lain makin banyak partikel
yang larut makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya.
Sebagai contoh, misalnya : suatu molekul NaCl berionisasi penuh menjadi
1 ion Na+ dan 1 ion Cl- akan menghasilkan 2 milliosmol, di lain pihak 1 molekul
Na2SO4 yang berionisasi penuh menjadi 2 ion Na+ dan 1 ion SO4- akan
menghasilkan 3 milliosmol. Demikian pula halnya dengan satu molekul glukosa
yang tidak berionisasi menghasilkan 1 milliosmol dari suatu larutan.

1 mol NaCl ------------- > 1 ion Na + 1 ion Cl


1 mol Na2SO4 ------------- > 2 ion Na + 1 ion SO4
1 mol Glukosa ------------- > 1 mol Glukosa

Walaupun besar molekul glukosa lebih besar dari Na2SO4 namun tekanan
osmotik yang ditimbulkan oleh 1 mol Na2SO4 lebih besar dari 1 mol glukosa.
Jadi tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding sel yang bersifat
semipermiabel. Kedua kompartemen tersebut memiliki tekanan osmotik yang
sama sekitar 300 milliosmol.
Meskipun total tekanan osmotik suatu larutan merupakan penjumlahan
tekanan dari masing-masing zat terlarut dalam suatu larutan, namun effective
osmotic pressure tergantung dari partikel-partikel yang tidak dapat melewati suatu
dinding yang bersifat semipermeabel. Itulah sebabnya protein yang terlarut
dalam plasma yang tidak melewati dinding kapiler merupakan faktor penentu
effective osmotic pressure antara plasma (cairan intravaskuler) dengan cairan
interstisiel. Tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh protein yang tidak dapat
melewati dinding kapiler inilah yang disebut colloid osmotic pressure. Dengan
kata lain tekanan onkotik dalam plasma ditentukan oleh konsentrasi protein yang
larut dalam plasma.
Oleh karena Na+ merupakan ion yang terbanyak dalam cairan
ekstraseluler, maka Na+ memegang peranan terpenting dalam menentukan
tekanan osmotik cairan ekstraseluler. Disamping itu zat-zat seperti protein dan
glukosa yang tidak bebas melewati dinding sel juga akan menambah effective
osmotic pressure.
Air secara bebas melewati dinding sel sehingga effective osmotic pressure
antara kedua kompartemen tersebut dianggap sama sehingga setiap keadaan yang
mengganggu atau mengubah effective osmotic pressure kedua kompartemen akan
menghasilkan redistribusi air antara keduanya. Air akan mengalir atau berpindah

4
dari tekanan osmotik rendah ke tekanan osmotik yang tinggi sampai pada
gilirannya yang kedua kompartemen tersebut memiliki effective osmotic pressure
yang sama. Jadi bila terjadi kenaikan effective osmotic pressure pada cairan
ekstraseluler yang biasanya akibat dari naiknya konsentrasi Na+ (hipernatremia)
akan menyebabkan mengalirnya air dari intraseluler ke ekstraseluler, demikian
pula sebaliknya. Akan tetapi seandainya terjadi kehilangan volume cairan
ekstraseluler tanpa perubahan konsentrasi maka hampir tidak akan terjadi
perpindahan air, yang terjadi hanyalah perubahan volume cairan ekstraseluler
saja.
Istilah tekanan osmotik harus dibedakan dengan tekanan onkotik (oncotic
pressure atau colloid osmotic pressure). Tekanan osmotik suatu larutan
tergantung atas banyaknya partikel yang terlarut, jadi semakin kecil partikelnya
semakin banyak yang dapat terlarut, semakin tinggi tekanan osmotik yang
ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya manitol memiliki berat molekul yang
kecil sehingga dapat meningkatkan tekanan osmotik bila diberikan secara
intravena.
Sebaliknya, senyawa seperti albumin, dekstran yang memiliki berat
molekul sekitar 80.000 tidak dapat menaikkan tekanan osmotik yang tinggi, akan
tetapi senyawa ini dapat menaikkan tekanan onkotik karena tidak dapat melewati
dinding kapiler. Oleh karena itu, infus albumin atau dekstran dapat menaikkan
tekanan onkotik plasma darah, tetapi hampir tidak mempengaruhi tekanan
osmotik plasma darah. Selain itu, tekanan onkotik diukur dengan mmHg
sedangkan tekanan osmotik diukur dengan mmOsm.

TONISITAS

Istilah tonisitas menggambarkan osmolaritas suatu larutan dibanding


dengan larutan-larutan lainnya. Larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) dan Ringer
laktat, misalnya memiliki osmolaritas yang sama dengan cairan esktraseluler
yakni sekitar 300 milliosmol. Cairan tersebut disebut sebagai cairan isotonik
terhadap cairan ekstraseluler. Cairan yang memiliki osmolaritas yang lebih tinggi
dari osmolaritas cairan ekstraseluler disebut cairan hipertonik misalnya
aminovel, aminofusin dan lain-lain. Sedangkan cairan yang lebih rendah
osmolaritasnya disebut cairan hipotonik.

KLASIFIKASI PERUBAHAN CAIRAN TUBUH

Gangguan cairan tubuh dapat berupa perubahan :


1. Volume
2. Konsentrasi
3. Komposisi

Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu


dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian dapat

5
juga terjadi secara terpisah atau tersendiri yang memberi gejala-gejala tersendiri
pula (4,5,7). Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.

Gangguan volume dapat dalam bentuk :

Hipovolemik :
* Dehidrasi :
- Puasa yang lama
- Muntah-muntah, diare
- Peritonitis, ileus obstruktiva
* Hipovolemi :
- Perdarahan akut
- Kombusio
Hipervolemik :
* Overload :
- Pemberian cairan isotonis, koloid, plasma atau darah
yang berlebihan
* Intoksikasi air :
- Pemberian cairan hipotonis yang berlebihan.

PERUBAHAN VOLUME

Apabila seorang mendapat infus berupa cairan elektrolit yang isotonis


misalnya NaCl 0,9% fisiologis atau Ringer laktat, maka yang berubah atau
bertambah adalah volume cairan ekstraseluler saja. Sebaliknya bila tubuh
seseorang kehilangan cairan isotonis misalnya pada diare, ileus obstruktif,
peritonitis dan lain-lain; maka yang berubah atau berkurang adalah volume
ekstraseluler sebab cairan yang hilang pada keadaan tersebut di atas dianggap
isotonis. Dengan kata lain tidak akan terjadi perpindahan cairan dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler sepanjang osmolaritas kedua kompartemen tersebut
tetap sama. Lain halnya bila penderita mendapat infus yang banyak dengan cairan
hipotonis misalnya air atau Dextrose 5% (glukosa bila telah mengalami
metabolisme tinggal air), maka akan terjadi perubahan volume baik volume
cairan ekstraseluler maupun volume cairan intraseluler, sebab air akan mengalir
dari ekstraseluler masuk ke dalam intraseluler sampai terjadi kesamaan tekanan
osmotik. Dengan kata lain baik cairan ekstraseluler maupun intraseluler terjadi
perubahan volume (lihat Gambar 3).

Cairan intraseluler Cairan ekstraseluler

140 mEq 140 mEq

30 ltr 15 ltr

6
+ 3 L Ringer Laktat Normal + 3 L Dex 5%

C. intraseluler C.ekstraseluler C.intraseluler C.ekstraseluler

140 mEq 140 mEq 130 mEq 130 mEq

30 ltr 18 ltr 32 ltr 16 ltr

Infus 3 liter cairan isotonis Infus 3 liter air


hipotonis

Gambar 3. Perubahan volume cairan intraseluler dan ekstraseluler.

PERUBAHAN KONSENTRASI

Berbeda dengan keadaan di atas, apabila seseorang mendapat infus air


atau glukosa 5% (glukosa setelah masuk dalam tubuh akan mengalami
metabolisme sehingga tinggal air saja), maka akan terjadi perubahan konsentrasi
zat yang terlarut, khususnya Na+. Turunnya konsentrasi Na+ dalam ekstraseluler
akan menurunkan osmolaritas cairan tersebut sehingga air akan mengalir dari
ruang ekstraseluler ke ruang interstisiel sampai terjadi keseimbangan kembali.
Oleh karena ion Na+ merupakan ion yang terbanyak dalam cairan
ekstraseluler, maka selain Na+ merupakan ion penentu tekanan osmotik, juga ion
Na+ merupakan penentu perubahan konsentrasi sehingga dikenal istilah
hiponatremia atau hipernatremia.
Normal konsentrasi ion Na+ dalam cairan ekstraseluler sebanyak 140 mEq,
maka disebut hipernatremia bila konsentrasi ion Na+ lebih dari 140 mEq dan
sebaliknya hipernatremia bila konsentrasi ion Na+ kurang dari 140 mEq.

Hiponatremia dapat dikoreksi dengan menggunakan rumus seperti di


bawah ini. Contoh, konsentrasi Na+ = 130 mEq berarti terjadi defisit sebanyak 10
mEq. Untuk mengembalikan konsentrasi Na+ menjadi normal dibutuhkan : 0,6 x
BB x 10 mEq. Jika BB = 50 kg, maka dibutuhkan Na+ sebanyak = 0.6 x 50 x 10
mEq = 300 mEq.

PERUBAHAN KOMPOSISI

Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi


osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh, misalnya kenaikan konsentrasi
K+ dalam darah dari 4 mEq/L menjadi 8 mEq/L, tidak akan mempengaruhi
osmolaritas cairan ekstraseluler, tetapi sudah cukup menganggu otot jantung.

7
Demikian pula halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan
hipokalsemia (kadar Ca kurang dari 8 mEq/L), sudah akan timbul kelainan klinik
tetapi belum banyak menimbulkan perubahan osmilaritas.

KEBUTUHAN DASAR AIR DAN ELEKTROLIT

Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar cairan dan elektrolit ialah


kebutuhan cairan dan elektrolit yang diperlukan dalam sehari tanpa aktifitas yang
berlebihan guna mengganti cairan yang hilang baik yang melalui urine dan faeces
maupun yang hilang melalui kulit dan paru-paru yang lazim disebut sebagai
insensible loss. Dengan kata lain kebutuhan dasar adalah kebutuhan minimal yang
dibutuhkan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang setiap harinya.
Kebutuhan minimal untuk dipertahankan hemodinamik yang adekuat,
ditentukan oleh air yang hilang bersama urine dan faeces, serta yang hilang
melalui kulit dan paru-paru, dikurangi dengan air yang diproduksi tubuh sebagai
hasil metabolisme. Jumlah produksi urine dianggap cukup untuk membuang
ampas-ampas tubuh sebagai hasil metabolisme, khususnya urea adalah sebanyak
1500 ml/24 jam, sedangkan insensible loss untuk daerah tropis tanpa keringat :
700 ml/m2 BSA/hari, sedangkan air yang hilang melalui faeces sekitar 100
ml/hari.

Jadi jumlah air yang harus hilang selama 24 jam adalah :

• Produksi urine per 24 jam : 1.500 ml


• Insensible loss 1,3 x 700 ml : 900 ml
(luas permukaan tubuh orang Indonesia rata- rata 1,3 m2)
• Air bersama faeces : 100 ml
---------------------------------
Jumlah : 2.500 ml

Sedangkan air yang diproduksi tubuh sebagai hasil metabolisme sebanyak


350 /m2 BSA : 1,3 x 350 ml = 500 ml. Jadi jumlah kebutuhan minimal air
dalam 24 jam : 2.500 ml - 500 ml = 2.000 ml (penderita tanpa febris).

Kebutuhan air dalam 24 jam dapat disederhanakan menjadi 35 ml/kgBB.


Jadi seorang penderita dengan BB = 65 kg membutuhkan air sebanyak 65 x 35 ml
= 2.000 ml/ 24jam. Pada penderita dengan febris, maka setiap kenaikan suhu 1o
Celcius, menyebabkan kenaikan kebutuhan air sebanyak 10%-15% dari total
kebutuhannya.

JENIS CAIRAN YANG DIGUNAKAN

Cairan yang umum digunakan adalah cairan elektrolit (kristaloid), cairan


non- elektrolit, dan cairan koloid. Berdasarkan penggunaannya, cairan ini dibagi

8
atas beberapa golongan , yaitu cairan pemeliharaan, cairan pengganti dan cairan
defisit.

1. Cairan pemeliharaan (maintenence)


Cairan pemeliharaan adalah cairan yang diberikan pada seseorang sesuai
dengan kebutuhan mereka selama 24 jam. Jumlah cairan pemeliharaan yang
dibutuhkan tergantung pada bebarapa faktor antara lain umur, berat badan dan
suhu. Telah ditetapkan bahwa jumlah kebutuhan minimal cairan selama 24 jam
pada penderita dewasa tanpa febris adalah 2.000 ml perhari.

2. Cairan defisit
Cairan defisit adalah kekurangan cairan yang terjadi pada seseorang
sebelum melakukan tindakan. Keadaaan ini dapat ditemukan pada penderita
dehidrasi, hipovolemik oleh karena kombusio atau pendarahan akut.

3. Cairan pengganti (replecement)


Cairan pengganti yang hilang oleh karena faktor sekuestrasi atau proses
patologis seperti fistula, asites, drainase lambung dan sebagainya. Cairan
pengganti ini dapat dibagi atas :
a. Pengganti cairan third space (sekuestrasi)
Cairan third space adalah cairan yang hilang oleh karena faktor stress atau
karena manipulasi pada pembedahan. Kemana cairan ini hilang, masih
dalam perdebatan. Cairan ini dapat masuk ke dalam jaringan lemak,
jaringan kolagen, fascia atau ke dalam ruang interstisiel.
• Pada operasi yang kecil diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 4 cc/kgBB/jam.
• Pada operasi yang sedang diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 6 cc/kgBB/jam.
• Pada operasi yang besar diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 8 cc/kgBB/jam.
b. Cairan pengganti darah yang hilang
c. Pengganti cairan yang hilang melalui drainage, fistel atau maag slang dan
sebagainya.

Point a dan b merupakan cairan pengganti selama pembedahan, sedangkan


point c merupakan cairan pengganti pascabedah.

KEBUTUHAN NATRIUM DAN KALIUM

Kebutuhan Natrium perhari 2-3 mEq/kgBB. Kadar Natrium dalam plasma


berkisar 135-145 mEq/L, yang distribusinya terutama dalam cairan ekstraseluler.
Natrium keluar dari tubuh bersama urine dan keringat, hanya sedikit yang keluar
bersama faeces.
Kebutuhan Kalium perhari 1-2 mEq/kgBB. Kadar Kalium dalam plasma
berkisar 3,5-5 mEq/L, yang distribusinya terutama dalam cairan intraseluler.
Kalium sebagian besar keluar tubuh bersama urine dan sebagian kecil hilang

9
bersama faeces. Kadar Kalium dalam plasma sangat dipengaruhi oleh keadaan
asam basa dalam tubuh.
Keadaaan asidosis biasanya menyertai hiperkalemia dan sebaliknya
keadaan alkalosis menyertai hipokalemia. Konsentrasi K+ sangat mempengaruhi
otot jantung, terutama pada penderita yang mendapat digitalis, sebab akan
memudahkan timbulnya fibrilasi ventrikel sampai henti jantung (cardiac arrest),
baik pada hiperkalemia maupun pada hipokalemia.
Oleh karena itu pemberian Kalium dosis tinggi harus memenuhi beberapa
persyaratan, yakni : produksi urine harus cukup, diberikan perinfus dengan
kecepatan tidak melebihi 20 mEq/jam, dan tidak lebih 200 mEq dalam 24 jam
(4,5,6,7).

Contoh Perhitungan Kebutuhan Cairan Maintenance

Penderita dengan BB = 65 kg membutuhkan :


• jumlah air / 24 jam = 65 x 35 ml = 2.000 ml
• jumlah Na / 24 jam = 65 x 2 mEq = 130 mEq
• jumlah K / 24 jam = 65 x 1 mEq = 65 mEq

Pemberian kalium pascabedah dapat ditunda sampai hari ke-3 jika pada
waktu itu penderita belum dapat intake oral. Dengan demikian untuk hari ke-1
dan 2 pascabedah cukup diberikan air 2.000 ml dan Natrium 130 mEq. Natrium
sebanyak 130 mEq dapat diperoleh dari 1.000 ml Ringer Laktat dan sisanya 1.000
ml lagi dari Dextrose 5%. Jadi perbandingan Dextrose 5% dan Ringer Laktat
adalah 2 : 2 = 2.000 ml dengan jumlah tetesan :

2.0 ml x 20 tetes
= 27,7 tetes/menit
= 28 tetes/menit
24 x 60

Umumnya 1 ml cairan melalui infus set biasa setara dengan 20 tetes,


sedangkan transfusi set setara dengan 15 tetes dan infus pediatrik (microdrips)
setara dengan 60 tetes.

DEHIDRASI

Perdefinisi dehidrasi berarti kekurangan atau defisit air saja tetapi dalam
praktek keadaan ini hampir tidak pernah ditemukan, sebab setiap keadaan
dehidrasi, selain kehilangan air juga senantiasa disertai dengan kehilangan
elektrolit utamanya ion natrium. Jadi dehidrasi berarti defisit air dan elektrolit.
Secara anatomis dehidrasi berarti defisit cairan ekstraseluler utamanya
cairan interstisiel yang pada gilirannya diikuti dengan berkurangnya cairan
intravaskuler. Oleh karena cairan interstisiel merupakan bantalan dari jaringan
dan mukosa, maka gejala yang menonjol akibat defisit cairan interstisiel adalah
gangguan kulit dan mukosa dengan gejala :

10
• Turgor kulit yang jelek
• Mata cekung
• Ubun-ubun cekung (pada bayi dan anak)
• Mukosa bibir dan kornea kering
Selanjutnya, jika defisit cairan interstisiel diikuti dengan defisit cairan
intravasculer maka gejala selain gangguan kulit dan mukosa juga disertai dengan
gangguan hemodinamik . Gejala gangguan hemodinamik berupa :
• Hipotensi
• Takikardi
• Vena-vena mengkerut (kolaps)
• Capillary refilled time memanjang
• Oliguri
• Syok (renjatan)

Etiologi dari suatu dehidrasi dapat disebabkan oleh karena intake air dan
garam yang kurang atau oleh karena output air dan garam terlalu banyak.
1. Intake kurang :
• Tidak minum dan makan .
2. Output yang banyak :
• Penguapan dari kulit dan paru -paru : febris tinggi, berkeringat
banyak
• Diuresis yang banyak
• Muntah-muntah, diare
• Translokasi air dan elektrolit pada : ileus obstruktif, peritonitis

Pada keadaan ileus obstruktif dan peritonitis, walaupun tak nampak


adanya cairan elektrolit yang keluar dari tubuh, namun dehidrasi berat dapat
terjadi akibat banyak cairan dan elektrolit yang mengalami perpindahan tempat
(translokasi). Pada kasus ileus obstruktif, translokasi cairan dan elektrolit terjadi
pada lumen usus yang dapat mencapai 5-8 liter. Sedangkan pada peritonitis,
translokasi cairan dan elektrolit terjadi dalam peritoneum. Seperti diketahui
bahwa luas peritoneum sekitar 1-1,5 m2 sehingga setiap penebalan peritoneum 2-
3 mm saja dapat mengandung cairan dan elektrolit sebanyak 3-5 liter. Cairan
yang mengalami translokasi tersebut umumnya bersifat isotonis sehingga harus
diganti dengan cairan yang isotonis pula (4,5,6). Tergantung dari jenis cairan
yang hilang maka dehidrasi dapat dibedakan atas dehidrasi isotonis, dehidrasi
hipertonis dan dehidrasi hipotonis (lihat Tabel 1).
Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang,
maka dehidrasi dapat dibagi atas :

1. Dehidrasi ringan (defisit 4% BB)


Tanda-tanda interstisiel minimal, sedangkan tanda-tanda intravaskuler belum
nampak.
2. Dehidrasi sedang (defisit 8% BB)
Tanda-tanda interstisiel jelas disertai tanda-tanda intravaskuler yang minimal.
3. Dehidrasi berat (defisit 12% BB)
Tanda-tanda interstisiel dan intravaskuler semakin jelas.

11
4. Syok (defisit lebih dari 12% BB)

Tabel 1. Jenis-jenis dehidrasi dan penyebabnya.

Dehidrasi isotonis, misalnya pada :


• Ileus obstruktif
• Peritonitis
• Diare
• Berkeringat banyak
• Fistel usus
• dan lain-lain

Dehidrasi hipertonis, misalnya pada :


*0 Febris yang tinggi
*1 Puasa
*2 Trakeostomi tanpa humadifikasi
*3 Hiperelementasi lama
*4 Poliuri
• dan lain-lain

Dehidrasi hipotonis, misalnya pada :


• Rehidrasi dengan Dextrose
5% yang belum cukup
• Gangguan reabsorpsi Na

Perlu ditekankan disini bahwa perkiraan defisit di atas tidak selalu tepat,
sebab yang penting adalah adanya pedoman atau patokan untuk segera memulai
tindakan. Yang terpenting dari segalanya adalah pemantauan (monitoring) yang
ketat tentang keadaan penderita selama terapi dilakukan (7).
Contoh kasus :
Seorang laki-laki umur 35 tahun dengan BB = 50 kg menderita peritonis
dan mengalami dehidrasi berat. Bagaimana resusitasi cairannya ?
caranya :
1. Pemilihan jenis cairan adalah Ringer laktat oleh karena yang terjadi adalah
dehidrasi isotonis.
2. Jumlah perkiraan defisit = 12% BB (dehidrasi berat). Jadi jumlah defisit = 50
kg x 12% = 6 liter = 6.000 ml.
3. Teknik pemberian cairan adalah :
a) Setengah (50%) dari 6.000 ml (3.000 ml) diberikan dalam 8 jam pertama.
Sedangkan 50% sisanya (3.000 ml) diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) Agar gangguan hemodinamik cepat teratasi maka 1 jam pertama diberikan
20 ml/kgBB, maka dalam 1 jam pertama diberikan = 20 ml x 50 = 1.000
ml.

12
RESUSITASI CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA LUKA BAKAR

Kalau luka bakar luasnya 20% pada orang dewasa dan kurang dari 10%
pada anak-anak, maka umumnya tidak diperlukan resusitasi cairan. Resusitasi
cairan dan elektrolit dilakukan bila luas luka bakar lebih dari 20% pada orang
dewasa atau lebih dari 10% pada anak-anak.

Berbagai formula yang dapat dipakai antara lain :

a. Elektrolit + koloid + dextrose :


Elektrolit Koloid Dextrose 5%
Evans (1952) 1 ml/kgBB/% NaCl 0,9% 1 ml/kgBB/% 2.000 ml
Brooke (1953) 1,5 ml/kgBB/% Ringer 0,5 ml/kgBB/% 2.000 ml
Laktat
Mount - 2,5 ml/kgBB/% 2.000 ml
Vermon

b. Hanya Ringer Laktat : cara yang populer dilakukan adalah :

Formula Baxter / Parkland (1974) : 4 ml/kgBB/% luka bakar.

Dengan menggunakan formula di atas, maka luas luka bakar


diperhitungkan maksimal 50%. Caranya : jumlah cairan yang dipergunakan
diperhitungkan menurut persentase luas luka bakar. Separuh dari volume
tersebut diberikan dalam 8 jam pertama setelah terjadi kebakaran dan bukan
setelah saat permulaan pengobatan. Separuh diberikan dalam 16 jam
berikutnya.
Keuntungan dari Ringer Laktat ialah :
• Ringer Laktat adalah larutan garam yang seimbang.
• Perbandingan laktat (sebagai Bikarbonat) terhadap klorida adalah 27 :
103 dan pHnya 7,4. Ini mendekati komposisi dari cairan
ekstraseluler.
• Dengan pemberian RL, asidosis dapat dikurangi.
• Dengan NaCl 0,9% (kadar Na+ 145 mEq) maka kadar Na+ dalam
serum akan meninggi dapat menambah beratnya asidosis.
• Kadar K+ dalam RL sebesar 4 mEq/L dapat ditolerir oleh tubuh.
• Cairan RL gampang diperoleh.

Pemberian koloid dalam 24 jam pertama menurut banyak ahli tidak dapat
dibenarkan, sebab zat-zat koloid akan lolos melalui kapiler-kapiler yang rusak
tadi. Sesudah 24 jam, permeabilitas kapiler-kapiler sudah hampir pulih kembali
dan pemberian koloid baru dapat dibenarkan untuk dapat mempertahankan
tekanan osmotik koloid dengan batas normal. Pada anak-anak, permeabilitas tadi

13
sudah pulih kembali dalam 18 jam sehingga pemberian koloid diberikan lebih
awal.
Pemberian darah dalam 24 jam pertama tidak diperlukan walaupun pada
luka bakar terjadi hemolisis, sepanjang kehilangan Hb tidak melebihi 10% dari
keseluruhannya, sebab penambahan darah akan meninggikan viskositas darah.

Contoh :
Seorang dengan BB = 50 kg mengalami luka bakar dengan luas luka bakar 50%.
Cara pemberian cairannya adalah sebagai berikut :
Jumlah cairan yang dibutuhkan = 4 ml x 50 x 50 = 10.000 ml (10 liter/24
jam). Jadi, 5 liter harus habis dalam 8 jam pertama dan 5 liter dalam 16 jam
berikutnya. Dengan cara ini diperlukan monitoring berupa produksi urin dan
tekanan vena sentralis (CVP) untuk mengetahui apakah perfusi tetap terjadi dan
tidak overload cairan.
Pada 24 jam kedua, Baxter menganjurkan :
a. Jika keadaan umum memungkinkan, cairan sedapat mungkin diberikan secara
oral pada hari ke-2.
b. Jika cairan per os belum memungkinkan, maka infus dipertahankan dengan
Dextrose 5% sebanyak 2.000 - 5.000 ml/24jam.
Pemberian glukosa bertujuan untuk :
• kebutuhan metabolisme
• mengganti cairan yang hilang melalui sekuestrasi
• memudahkan ekskresi sodium sehingga kadar serum sodium
menjadi normal (138-142 mEq/L)
c. Pada hari ke 2, koloid sudah dapat diberikan karena permeabilitas membran
kapiler sudah pulih kembali. Koloid diberikan dalam bentuk Dextran atau
Plasma. Pada luka bakar kurang dari 50% diberikan koloid 500 ml,
sedangkan pada luka bakar lebih dari 70% diberikan koloid 1.500 ml.
Formula lain dari pemberian koloid ini adalah :
• pada luka bakar 30-50% adalah 0,3 ml/kgBB/% luka bakar
• pada luka bakar lebih dari 70% adalah 0,5 ml/kgBB/% luka bakar

Setelah 48 jam, apabila kehilangan akut sudah diatasi, maka tubuh masih
kehilangan plasma melalui luka bakar. Dan ini harus diganti, disamping
kebutuhan cairan seharinya. Untuk memperhitungkan jumlah cairan yang
menguap tadi dapat digunakan formula : (25 + % luas luka bakar) x m2 luas
permukaan tubuh = perkiraan jumlah cairan yang menguap perjam dalam
mililiter. Contoh : luas luka bakar 50% dengan luas permukaan tubuh 1,7 m2
maka penguapan = (25 + 50) x 1,7 = 125 ml/jam atau 24 x 125 = 3.000 ml/24
jam.

Hal yang perlu diperhatikan dalam resusitasi cairan adalah : monitoring


ketat sangat diperlukan pada 24 jam pertama untuk mengetahui apakah resusitasi
cairan yang dilakukan cukup atau tidak. Tekanan darah, nadi, dan terutama
produksi urine (0,5 - 1 ml/kgBB/jam) merupakan parameter yang obyektif.

14
KESIMPULAN
Prinsip dasar terapi cairan dan elektrolit adalah :

1. Pemahaman tentang anatomi cairan tubuh yang terdiri atas cairan intraseluler
dan cairan ekstraseluler dengan komposisi elektrolit yang berbeda.

2. Penambahan atau pengurangan cairan dan elektrolit tubuh ditujukan untuk


mengembalikan volume cairan dan komposisi elektrolit kebatas yang normal.

3. Pemilihan cairan dan elektrolit yang tersedia didasarkan atas patofisiologi


penyakit yang diderita oleh penderita.

4. Keberhasilan terapi cairan dan elektrolit dapat dilihat dari hasil pengamatan
hemodinamik dan komposisi elektrolit darah dari penderita.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Scribner BH. Fluid and Electrolyte Balance. University Book Store,


University of Washington, Seattle, Revision; 1969: 4326.

2. Ahlgen EW. Rational Fluid Theraphy for Children. ASA refresher course in
Anaesthesiology; 1979 : 1.

3. Messmer K. Surgery Under Hemodilution, Post Operative Autoblood


Transfusion. Medical post graduate, 1979; 15 : 6.

4. Vigilio RW. Crystalloid vs Colloid Resuscitation, is one letter. Surgery,


1979; 85:2 : 129-139.

5. Massion WH. Effect of Counterpressureon Haemodymanic During Shock.


Anaesthesiology, September 1981; 55 : 3.

6. Masud ZK. Crystalloid versus Colloid Fluid Theraphy in Hemorrhagic


Shock. Anaesthesiology, September 1981; 55 : 3.

7. Wirjoatmojo K. Mengatasi Perdarahan dalam Pembedahan dengan


Cairan. Makalah “Simposium Cairan Tubuh”, Universitas Airlangga; 1970.

16

You might also like