You are on page 1of 49

Chandikolo.

net
• Masukan (RSS)
• Komentar (RSS)

• Beranda
• Ekspresi
• Pustaka
• Teropong

KAPITALISME: SEBUAH MODUS EKSISTENSI*


senja di ujung kemarau

LATAR BELAKANG SEJARAH


KABUPATEN LAMONGAN.
Posted by: chandikolo on: 30 Agustus 2009

• In: Lamonganku | Sejarah


• Comment!

Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten Lainnya


di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang beredar
di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar Lamongan
mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya, kita ambil
contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan sejarah adipati
Ranggalawe-nya yang juga terkenal pada era pemerintahan kerajaan Majapahit. Sejarah tidak
banyak mencatat tentang keberadaan Kabupaten/wilayah Lamongan segamblang Kadipaten
atau Kerajaan Tuban terlebih bila dibandingkan dengan Majapahit.

Berikut ini merupakan sekilas penggalan sejarah Kabupaten Lamongan yang telah berhasil
dihimpun oleh Pemerintah Daerah Lamongan dan juga beberapa sumber lain yang saling
menguatkan terhadap kesejarahan tersebut.

I. Kurun Pra-Sejarah

Wilayah kabupaten Lamongan sebenarnya sudah dihuni oleh manusia semenjak jaman
sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang,
candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup.
Beberapa penemuan lain berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo
Kecamatan Kedungpring. Benda-benda tersebut menurut periodesasi prasejarah termasuk
dalam masa perundagian di Indonesia yang berkembang semenjak lebih kurang 300 SM.

Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada
prasejarah ialah ditemukannya kerangka manusia, dan manik-manik kaca, lempengan emas,
kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain juga di Desa
Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem penguburan dengan menggunakan nekara
sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian.
Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah
no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.

II. Masa Perkembangan Hindu

Pengaruh agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini
terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di wilayah
Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan, Paciran, Modo,
Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah
Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.

Hingga sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu
tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun munculnya
nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting wilayah ini bagi
kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah Lamongan dalam
Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti
peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.
Menilik dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa
eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping merata,
juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan meliputi Kecamatan
Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9
buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1
Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.

Dari 43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan 4 lainya diguris diatas
lempengan tembaga, yang dikenal dengan Pasasti Biluluk I,II,III, dan IV yang saat ini
disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode E.97 a-d. Prasasti ini berasal dari zaman
Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Wikramawhardana (1389-1429). Prasasti tersebut
ditulis dalam huruf jawa kuno dan telah di transkrip oleh Dr. Callenfels dalam
OV.1917,1918, dan 1919. H.M Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari
terjemahannya kedalam bahasa Indonesia dalam bukunya Tata Negara Majapahit Parwa II .
Museum Nasional menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional I, dan
Pigeaud membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th
Century.

Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah
lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit,
secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain kyang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan
antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.

Prasasti biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M
merupakan suarat atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga
kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.

Isi prasasti itu antara lain;


1. Orang biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara
pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dulu asal tidak
diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan dikenakan cukai.
2. Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga
siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan yakni akan
menderita kecelakaan, seperti antara lain; apabila mereka berada dipadang tegalan
akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk
rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
3. Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan
seperti ; berdagang , membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar
(menurut pigeaud, membuat tepung, gula aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa
dipungut pajak.
4. Status daerah perdikan biluluk dan tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima
menjjadi daerah swatantra, sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang
dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan
makan seerta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah.
Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun
bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah,
pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali
besi, pinggan rotan dan kapas.
5. Petunjuk bahwa daerah bluluk dan tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak
dikuasai oleh sang katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan
terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan
dan ketentraman.
6. Kegiatan perekonomian diwilayah kerajaan majapahit umumnya di biluluk dan
tanggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk sendiri.
Komoditi perdagangan dari biluluk yang menonjol adalah; garam gula kelapa atau
aren, dan daging dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan
komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat biluluk sendiri, perdagangan dendeng
sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di biluluk ialah pencelupan
atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari
tepung umbi atau kentang.
7. Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai
promosi berbagai macam barang dagangan.

Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran banda peninggalan purbakala di


wilayah lamongan sekarang, kata biluluk secara pasti dapat diidentifikasi dengan Bluluk
sekarang. Kata tangulunan agaknya tidak lain adalah Tenggulun yang sekarang menjadi
sebuah desa diwilayah Kecamatan Paciran berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini
dalam buku Sejarah Brigade Ronggolawe disebut sebagai desa trenggulunan. Sedangkan kata
pepadang agaknya tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di
wilayah kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian bengawan solo sebelah
barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecmatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.

Dengan demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi kedalam dua daerah swatantra
atau daerah otonom, yaitu Bluluk dibagian selatan dan barat dan Tanggulunan dibagian utara
dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah kekuasaan lebih dari satu di
Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan
1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan (zouden de heersers Lamongan).
Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan dalam prasasti Biluluk I,
yaitu “makanguni kang adapur ing majapahit, siwihos kuneng yan hanang rubuhakna
wangsyaningon kang biluluk, kang tanggulunan amangguha papa,…..”, artinya “pertama
sekali kepada dapur majapahit, tetapi sekiranya ada yang merugikan rakyatku di Biluluk dan
Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita kecelakaan……” Kata adapur menurut
pigeaud adalah kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di Majapahit
mendapat pujian dan penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan
langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.

Dari isi prasasti juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Mjapahit, yakni
Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah
ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban (Sedayu) sebagai Pelabuhan
utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas
dengan hak-hak istimewa yang menyangkut kewenangan mengatur perangkat pemerintahan,
masyarakat, perpajakan, dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah
otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai dari pemerintahan kerajaan Majapahit.
Untuk memantapkan kekuasaan penguasa dan rakyatnya, maka kedua daerah tersebut
dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja hayam wuruk sendiri yang bernama Sri
Paduka Bathara Parameswara.

Dalam hubunganya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Biluluk


dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi cukup penting, karena jalur utama antara pusat
kerajaan Majapahit dengan palabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur
perdagangan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke pamotan –
Wateswinangun-Lamongrejo- Ngimbang- Bluluk- Modo-Babat-Pucuk-Pringgoboyo-Laren-
terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat pringoboyo dengan
terlebih dahulu menyusuri Bengawan solo.

Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuno, diperkirakan sudah menjadi tempat
yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat
kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memeungut
cukai barang dagangan yang melewati jalur tersebut (bengawan solo).

Daerah Biluluk dan Tanggulunan diatas merupakan daearah penghasil daging yang
dikeringkan (dendeng) dan juga Kerajinan tangan, disamping komoditi ekspor garam, gula
aren dan merica.

Dalam hubunganya dengan kepercayaan keagamaan, berdasarkan temuan arca-arca syiwa


yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu
beragama hindu aliran syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas pengaruhnya
kedalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk
bangunan gapura yang berbentuk candi bentar dikompleks masjid sendang dhuwur.
Kompleks masjid dan makam dengan gapura tersebut didirikan disuatu bukit yang disebut
gunung Amintuno (Gunung pembakaran).

Tentang pengaruh agama budha di Lamongan agaknya juga ada. Sekalipun tidak ada bukti
peninggalan sejarah seperti arca budha dan lainya, tetapi dari penuturan orang-orang tua
didesa-desa bahwa agama orang zaman dulu itu agama budha dan zamanya bukan zaman
hindu, melainkan zaman kabudhan. Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar
sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau Zaman Hindu.
bersambung…………………………>>>>>>>>>>>>>> era perkembangan Islam

19 Votes

• Share this:
• Digg

Kaitkata: artikel, resensi


Suka
One blogger likes this post.

12 Tanggapan to "LATAR BELAKANG SEJARAH


KABUPATEN LAMONGAN."

1 | sudiro
31 Oktober 2009 pada 5:59 AM

1
0

Rate This

dear, penulis

alhamdulillah terima kasih saudara penulis dengan karya anda kami bisa sedikit tahu tentang
latar belakang sejarah kota lamongan sekali lagi terimah kasih.

salam, bunder glagah

sudiro

Balas

chandikolo
31 Oktober 2009 pada 4:17 PM

1
0

Rate This
sama-sama bro, thanks atas kunjunganya,..mungkin dilain waktu saya bisa melanjutkan
tulisannya,…

Balas

2 | eric la
28 November 2009 pada 1:26 PM

4
0

Rate This

aku sangat suka dengan latar belakang sejarah kota lamongan di atas. aku dapat mengerjakan
tugas dari guruku yang di suruh membuat sejarah tentang kota kota di Indonesia.

salam

arek wukir glagah

Balas

3 | chandikolo
24 Desember 2009 pada 10:10 AM

1
0

Rate This

glagah juga punya catatan tersendiri pada zaman kekuasaan majapahit,..kalo tidak salah
diwilayah glagah dahulu adalah tempat penggemblengan prajurit majapahit,..sayang aya
belum menemukan referensi yang akurat terkait cerita tersebut,.. buku yang saya baca juga
lupa judulnya apa,…..!!!!

Balas

4 | aryna
9 Februari 2010 pada 3:56 PM

0
1
Rate This

terimakasih bung!
saya ambil ilmu ini untuk mengisi materi kepariwisataan dan sejarah seputar lamongan
izinkan!

Balas

5 | LATAR BELAKANG SEJARAH KABUPATEN LAMONGAN. (via Chandikolo.net) «


Yaxzein's Blog
28 Agustus 2010 pada 11:46 AM

0
0

Rate This

[...] Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten


Lainnya di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang
beredar di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar
Lamongan mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya,
kita ambil contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan
sejarah adipati Ranggalawe-nya yang j … Read More [...]

Balas

6 | LATAR BELAKANG SEJARAH KABUPATEN LAMONGAN « Yaxzein's Blog


28 Agustus 2010 pada 12:23 PM

0
0

Rate This

[...] Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten


Lainnya di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang
beredar di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar
Lamongan mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya,
kita ambil contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan
sejarah adipati Ranggalawe-nya yang j … Read More [...]

Balas

7 | fitri
19 Oktober 2010 pada 6:18 AM
0
0

Rate This

makasih banyak dengan tulisan ini saya bisa tahu sejarah dan semua mengenai lamongan……
tapi yang saya bingung apakah lamongan mempunyai perpustakaan daerah???
karena saya ingin sekali tau perpusda lamongan sehingga ketika saya ada tugas kuliah saya
ingin menulis tentang lamongan……

Balas

chandikolo
10 Desember 2010 pada 2:56 PM

0
0

Rate This

gak jaminan ketika ada perpusda terus tersedia berita atau koleksi tentang Lamongan, gedung
perpusda tepat disebelah timur terminal Lamongan, tapi anda kalo cari buku sejarah terkait
Lamongan,…dijamin bakal pulang dengan tangan hampa,…..apa yang aku lakuka sekarang
dengan menuliskan sebagian literatur yang aku miliki dan didukung dengan penelusuran situs
di lapangan,..adalah akibat dari kekecewaan terhadap rendahnya perhatian pemerintah daerah
terhadap potensi budaya dan kesejarahan yang dimilikinya,…

Balas

8 | KADE AHIMSA
23 November 2010 pada 7:03 AM

0
0

Rate This

Wah, aku baru ngerti mas, kalo di kecamatanku, sambeng pernah,menjadi persinggahan raja
airlangga

Balas

chandikolo
10 Desember 2010 pada 2:58 PM
0
0

Rate This

aku pikir bukan hanya persinggahan,…tapi merupakan basis pemerintahan raja


Airlangga,..sekitar Ngimbang, Sambeng, Sugio, Bluluk, sampai Babat….

Balas

9 | miemip
27 Mei 2011 pada 11:16 AM

0
0

Rate This

terima kasih, karna sudah membantu saya mengerjakan makalah saya

Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *

Nama *

Email *

Situs web

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.


Pembaca Blog

• 11,295 hits

Coretan Terkini

• JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BHUMI LAMONGAN


• Menguak Ajaran Kehidupan Serat Niti Sruti
• Profil: Garda Revolusi Iran
• IBNU BATUTA- Sang Penjelajah Dunia
• Kamal Al-Din Al-Farisi Ahli Fisika Agung Dari Persia
• Prediksi Gempa Bumi di Cina – Dengan Memantau Prilaku Hewan
• Gurun Sahara di Masa Lalu
• “Suara” dari bawah tanah memberi perenungan tentang makna kehidupan.
• Inilah Mata Semesta
• Filsafat Ketuhanan Whitehead
• Potret Buruk Anak Indonesia
• Mencari Asal Usul Fenomena Hidup Sedang, Topik Utama Bagi Para Saintis (1)
• Mengapa Bangunan Ambruk Menghadap ke Tenggara?
• Aneh, Tak Ada Korban Jiwa di Mentawai
• Sejarah Gempa dan Tsunami di Jawa Timur

Agustus 2009
S S R K J S M
Sep »
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
31

Respon Tulisan

miemip on LATAR BELAKANG SEJARAH KABUPAT…


priyo aksamala kalac… on JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BHUMI…

chilkid on JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BHUMI…

capcay on ULASAN BUKU ASIA TENGGARA, TAN…

aline on JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BHUMI…

Pencarian untuk:

Fotoku

More Photos
Lihat videoku
alun alun nganjuk jambu alas tayub

tak gendong versi tayub


Follow me on Vodpod

Meta

• Daftar
• Masuk log
• RSS Entri
• RSS Komentar
• WordPress.com

Top Rated

Comments

All | Today | This Week | This Month

• aku sangat suka dengan latar belakang sejarah kota lamongan di atas. aku dapat
mengerjakan tugas dari guruku yang di suruh membuat sejarah tentang kota kota di
Indonesia.salamarek wukir glagah...
4↑ 0↓ (4 votes)
• tolong kirim senopati pamungkas 2 sampai tamat dong, kalo bisa sih...... tks...
3↑ 0↓ (3 votes)
• Mari, jayakan kembali nusantara....
2↑ 0↓ (2 votes)
• tragis ya ... :(...
1↑ 0↓ (1 vote)
• dear, penulisalhamdulillah terima kasih saudara penulis dengan karya anda kami bisa
sedikit tahu tentang latar belakang sejarah kota lamongan sekali lagi terimah
kasih.salam, bunde...
1↑ 0↓ (1 vote)

Halaman

• Ekspresi
• Pustaka
• Teropong

Spam Blocked

240 spam comments

Kategori

• Budaya (2)
• Buku (10)
• Lamonganku (2)
• Pengetahuan (16)
• Sejarah (9)

Blogroll

• ALANG ALANG KUMITIR


• hanaoki
• kidoengrakyat

download ebook

• Chandikolo.net
• SurajayaNews

Blog pada WordPress.com.

Theme: Albeo by Design Disease.

Dulu Lamongan merupakan Pintu Gerbang ke Kerajaan Kahuripan, Kerajaan


Panjalu, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Singosari atau Kerajaan Mojopahit, berada
di Ujung Galuh, Canggu dan kambang Putih ( Tuban). Setelah itu tumbuh
pelabuhan Sedayu Lawas dan Gujaratan (Gresik), merupakan daerah amat ramai
, sebagai penyambung hubungan dengan Kerajaan luar Jawa bahkan luar Negeri.

Zaman Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur, Di Lamongan berkembang


Kerajaan kecil Malawapati ( kini dusun Melawan desa Kedung Wangi kecamatan
Sambeng ) dipimpin Raja Agung Angling darma dibantu Patih Sakti Batik
Maadrim termasuk kawasan Bojonegoro kuno. Saat ini masih tersimpan dengan
baik, Sumping dan Baju Anglingdarma didusun tersebut. Di sebelah barat berdiri
Kerajaan Rajekwesi di dekat kota Bojonegoro sekarang.
Pada waktu Kerajaan Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk (1350 -1389)
kawasan kanan kiri Bengawan Solo menjadi daerah Pardikan. Merupakan daerah
penyangga ekonomi Mojopahit dan jalan menuju pelabuhan Kambang Putih.
Wilayah ini disebut Daerah Swatantra Pamotan dibawah kendali Bhre Pamotan
atau Sri Baduga Bhrameswara paman Raja Hayam Wuruk ( Petilasan desa
Pamotan kecamatan Sambeng ), sebelumnya. Di bawah kendali Bhre Wengker
( Ponorogo ). Daerah swatantra Pamotan meliputi 3 kawasan pemerintahan
Akuwu , meliputi Daerah Biluluk (Bluluk) Daerah Tenggulunan (Tenggulun
Solokuro) , dan daerah Pepadhangan (Padangan Bojonegoro).

Menurut buku Negara Kertagama telah berdiri pusat pengkaderan para cantrik
yang mondok di Wonosrama Budha Syiwa bertempat di Balwa (desa Blawi
Karangbinangun) , di Pacira ( Sendang Duwur Paciran), di Klupang (Lopang
Kembangbahu) dan di Luwansa ( desa Lawak Ngimbang). Desa Babat kecamatan
Babat ditengarahi terjadi perang Bubat, sebab saat itu babat salah satu tempat
penyeberangan diantar 42 temapt sepanjang aliran bengawan Solo. Berita ini
terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Musium Gajah Jakarta, berupa
lempengan tembaga serta 39 gurit di Lamongan yang tersebar di Pegunungan
Kendeng bagian Timur dan beberapa temapt lainnya.

Menjelang keruntuhan Mojopahit tahun 1478M, Lamongan saat itu dibawah


kekuasaaan Keerajaan Sengguruh (Singosari) bergantian dengan Kerajaan
Kertosono (Nganjuk) dikenal dengan kawasan Gunung Kendeng Wetan
diperintah oleh Demung, bertempat disekitar Candi Budha Syiwa di Mantup.
Setelah itu diperintah Rakrian Rangga samapi 1542M ( petilasan di Mushalla
KH.M.Mastoer Asnawi kranggan kota Lamongan ). Kekuasaan Mojopahit di bawah
kendali Ario Jimbun (Ariajaya) anak Prabu Brawijaya V di Galgahwangi yang
berganti Demak Bintoro bergelar Sultan Alam Akbar Al Fatah ( Raden Patah )
1500 – 1518, lalu diganti anaknya, Adipati Unus 1518 -1521 M , Sultan
Trenggono 1521 – 1546 M.

Dalam mengembangkan ambisinya, sultan Trenggono mengutus Sunan Gunung


Jati ( Fatahilah ) ke wilayah barat untuk menaklukkan Banten, Jayakarta,
danCirebon. Ke timur langsung dpimpin Sultan sendiri menyerbu Lasem, Tuban
dan Surabaya sebelum menyerang Kerajaan Blambangan ( Panarukan). Pada
saat menaklukkan Surabaya dan sekitarnya, pemerintahan Rakryan Rangga Kali
Segunting ( Lamong ), ditaklukkan sendiri oleh Sultan Trenggono 1541 . Namun
tahun 1542 terjadi pertempuran hebat antara pasukan Rakkryan Kali Segunting
dibantu Kerajaan sengguruh (Singosari) dan Kerajaan Kertosono Nganjuk
dibawah pimpinan Ki Ageng Angsa dan Ki Ageng Panuluh, mampu ditaklukkan
pasukan Kesultanan Demak dipimpin Raden Abu Amin, Panji Laras, Panji Liris.
Pertempuran sengit terjadi didaerah Bandung, Kalibumbung, Tambakboyo dan
sekitarnya.

Tahun 1543M, dimulailah Pemerintahan Islam yang direstui Sunan Giri III, oleh
Sultan Trenggono ditunjuklah R.Abu Amin untuk memimpin Karanggan Kali
Segunting, yang wilayahnya diapit kali Lamong dan kali Solo. Wilayah utara kali
Solo menjadi wilayah Tuban, perdikan Drajat, Sidayu, sedang wilayah selatan kali
Lamong masih menjadi wilayah Japanan dan Jombang. Tahun 1556 M R.Abu
Amin wafat digantikan oleh R.Hadi yang masih paman Sunan Giri III sebagai
Rangga Hadi 1556 -1569M Tepat hari Kamis pahing 10 Dzulhijjah 976H atau
bertepatan 26 mei 1569M, Rangga Hadi dilantik menjadi Tumenggung Lamong
bergelar Tumenggung Surajaya ( Soerodjojo) hingga tahun 1607 dan
dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan kecamatan Lamongan dikenal dengan
Makam Mbah Lamong. Tanggal tersebut dipakai sebagai Hari Jadi Lamongan.

Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, daerah Lamongan menjadi daerah


garis depan melawan tentara pendudukan Belanda, perencanaan serangan 10
Nopember Surabaya juga dilakukan Bung Tomo dengan mengunjungi dulu Kyai
Lamongan dengan pekikan khas pembakar semangat Allahu Akbar. Lamongan
yang dulunya daerah miskin dan langganan banjir, berangsur-angsur bangkit
menjadi daerah makmur dan menjadi rujukan daerah lain dalam pengentasan
banjir. Dulu ada pameo “ Wong Lamongan nek rendeng gak iso ndodok, nek
ketigo gak iso cewok “ tapi kini diatasi dengan semboyan dari Sunan Drajat,
Derajate para Sunan dan Kyai “ Memayu Raharjaning Praja “ yang benar –benar
dilakukan dengan perubahan mendasar, dalam memsejahterahkan rakyatnya
masih memegang budaya kebersamaan saling membantu sesuai pesan kanjeng
Sunan Drajat “ Menehono mangan marang wong kangluwe, menehono paying
marang wong kang kudanan , menehono teken marang wong kang wutho,
menehono busaono marang wong kang wudho “

Kabupaten Lamongan yang kini dikomandani H.Masfuk sebagai Bupati periode


ke 2 dan H.Tsalis Fahmi sebagai wakil Bupati melejit bagaikan Sulapan , dengan
terobosannya yang menjadi perbincangan Nasional. Yang menonjol selama ini
menjadi Ikon Wisata Bahari Lamongan (Lamongan Ocean Tourism Ressort) ,
Lamongan Integrated Sharebased, Proyek Pelabuhan Rakyat, dan Proyek
Lapangan Terbang dan Eksplorasi minyak Balong Wangi Sarirejo,memungkinkan
datangnya investasi baik dari dalam negeri maupun investor luar negeri. Dengan
tangan dinginnya PKL ditata rapi, Kelancara jalan desa dan pengairan ditata
sedemikian rupa, termasuk memberikan Bea siswa bagi siswa dan mahasiswa
berprestasi yang ekonominya kurang beruntung, dan nantinya jika telah
menyelesaikan studynya bisa kembali dan menyumbangkan pikiran dan
kemampuannya demi kemajuan Lamongan. Kegiatan HJL kali ini juga
dumeriahkan oleh Dewan Kesenian Lamongan (DKL) parade Teater dan Pameran
Senirupa kerja sama dengan STKW Surabaya di gedung Handayani tanggal 26
mei dilanjutkan Sarasehan seni rupa oleh Agus Koecing Surabaya , mengusung
Peran dan perkembangan seni rupa jawa timur dan Management berkesenian ,
27 mei 2007
NGAN

DENGAN RACHMAD ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA.


RAKYAT DAN PEMERINTAH DERAH TINGKAT II LAMONGAN TELAH BERHASIL
MENEMUKAN HARI JADI LAMONGAN, YAITU PADA HARI KAMIS PAHING TANGGAL
10 DZULHIJAH TAHUN 976 HIJRIYAH, ATAU HARI KAMIS PAHING TANGGAL 26 MEI
1569 MASEHI.

BAHWA SESUNGGUHNYA HARI JADI ATAU HARI KELAHIRAN LAMONGAN


TERSEBUT DIAMBIL DAN DITETAPKAN DARI HARI DAN TANGGAL DIWISUDANYA
ADIPATI LAMONGAN YANG PERTAMA, YAITU TUMENGGUNG SURAJAYA.

Waktu mudanya bernama Hadi, karena mendapatkan pangkat rangga, maka ia


lalu disebut Ranggahadi. Ranggahadi kemudian juga bernama mBah Lamong,
yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyat daerah ini.

Karena Ranggahadi pandai Ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan mahir
menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh rakyatnya, dari asal
kata mbah Lamong inilah kawasan ini lalu disebut Lamongan.

Adapun yang mewisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang


pertama, tidak lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen.
Wisuda tersebut bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan
di Puri Kasunanan Giri di Gresik, yang dihadiri oleh para pembesar yang sudah
masuk agama Islam dan para Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan
Pasamuan Agung tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam yaitu
Idhul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.

Berbeda dengan daerah-daerah Kabupaten lain khususnya di Jawa Timur yang


kebanyakan mengambil sumber dari sesuatu prasasti, atau dari suatu Candi dan
dari peninggalan sejarah yang lain, tetapi hari lahir lamongan mengambil
sumber dari buku wasiat. Silsilah Kanjeng Sunan Giri yang ditulis tangan dalam
huruf Jawa Kuno/Lama yang disimpan oleh Juru Kunci Makam Giri di Gresik.
Almarhum Bapak Muhammad Baddawi di dalam buku tersebut ditulis, bahwa
diwisudanya Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan dilakukan dalam
pasamuan agung di Tahun 976 H. Yang ditulis dalam buku wasiat tersebut
memang hanya tahunnya saja, sedangkan tanggal, hari dan bulannya tidak
dituliskan.

Oleh karena itu, maka Panitia Khusus Penggali Hari Jadi Lamongan mencari
pembuktian sebagai dasar yang kuat guna mencari dan menetapkan tanggal,
hari dan bulannya. Setelah Panitia menelusuri buku sejarah, terutama yang
bersangkutan dengan Kasunanan Giri, serta Sejarah para wali dan adat istiadat
di waktu itu, akhirnya Panitia menemukan bukti, bahwa adat atau tradisi kuno
yang berlaku di zaman Kasunanan Giri dan Kerajaan Islam di Jawa waktu itu,
selalu melaksanakan pasamuan agung yang utama dengan memanggil
menghadap para Adipati, Tumenggung serta para pembesar lainnya yang sudah
memeluk agama Islam. Pasamuan Agung tersebut dilaksanakan bersamaan
dengan Hari Peringatan Islam tanggal 10 Dzulhijjah yang disebut Garebeg Besar
atau Idhul Adha.

Berdasarkan adat yang berlaku pada saat itu, maka Panitia menetapkan wisuda
Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang pertama dilakukan
dalam pasamuan agung Garebeg Besar pada tanggal 10 Dzulhijjah Tahun 976
Hijriyah. Selanjutnya Panitia menelusuri jalannya tarikh hijriyah dipadukan
dengan jalannya tarikh masehi, dengan berpedoman tanggal 1 Muharam Tahun
1 Hijriyah jatuh pada tanggal 16 Juni 622 Masehi, akhirnya Panitia Menemukan
bahwa tanggal 10 Dzulhijjah 976 H., itu jatuh pada Hari Kamis Pahing tanggal 26
Mei 1569 M.

Dengan demikian jelas bahwa perkembangan daerah Lamongan sampai


akhirnya menjadi wilayah Kabupaten Lamongan, sepenuhnya berlangsung di
jaman keislaman dengan Kasultanan Pajang sebagai pusat pemerintahan. Tetapi
yang bertindak meningkatkan Kranggan Lamongan menjadi Kabupaten
Lamongan serta yang mengangkat/mewisuda Surajaya menjadi Adipati
Lamongan yang pertama bukanlah Sultan Pajang, melainkan Kanjeng Sunan Giri
IV. Hal itu disebabkan Kanjeng Sunan Giri prihatin terhadap Kasultanan Pajang
yang selalu resah dan situasi pemerintahan yang kurang mantap. Disamping itu
Kanjeng Sunan Giri juga merasa prihatin dengan adanya ancaman dan ulah para
pedagang asing dari Eropa yaitu orang Portugis yang ingin menguasai Nusantara
khususnya Pulau Jawa.

Siapakah sebenarnya Tumenggung Surajaya itu ? didepan sudah diungkapkan


nama kecil Tumenggung Surajaya adalah Hadi yang berasal dari dusun Cancing
yang sekarang termasuk wilayah Desa Sendangrejo Kecamatan Ngimbang
Kabupaten Lamongan. Sejak masih muda Hadi sudah nyuwito di Kasunanan Giri
dan menjadi seorang santri yang dikasihi oleh Kanjeng Sunan Giri karena
sifatnya yang baik, pemuda yang trampil, cakap dan cepat menguasai ajaran
agama Islam serta seluk beluk pemerintahan. Disebabkan pertimbangan itu
akhirnya Sunan Giri menunjuk Hadi untuk melaksanakan perintah menyebarkan
Agama Islam dan sekaligus mengatur pemerintahan dan kehidupan Rakyat di
Kawasan yang terletak di sebelah barat Kasunanan Giri yang bernama
Kenduruan. Untuk melaksanakan tugas berat tersebut Sunan Giri memberikan
Pangkat Rangga kepada Hadi.

Ringkasnya sejarah, Rangga Hadi dengan segenap pengikutnya dengan naik


perahu melalui Kali Lamong, akhirnya dapat menemukan tempat yang bernama
Kenduruan itu. Adapu kawasan yang disebut Kenduruan tersebut sampai
sekarang masih ada dan tetap bernama Kenduruan, berstatus Kampung di
Kelurahan Sidokumpul wilayah Kecamatan Lamongan.

Di daerah baru tersebut ternyata semua usaha dan rencana Rangga Hadi dapat
berjalan dengan mudah dan lancar, terutama di dalam usaha menyebarkan
Agama Islam,mengatur pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Pesantren
untuk menyebar Agama Islam peninggalan Rangga Hadi sampai sekarang masih
ada.

Jejak Situs dan Prasasti Airlangga di


Kabupaten Lamongan
REP | 25 May 2011 | 00:08 39 4 1 dari 1 Kompasianer menilai menarik

Oleh; SUPRIYO “Yok’s Aksamala Kalachakra”

Tulisan berikut merupakan ringkasan sementara dari hasil penelusuran penulis


terhadap situs dan prasasti yang ada di Kabupaten Lamongan selama 3 tahun
terakhir.

Pendahuluan

Keberadaan Lamongan dalam panggung sejarah sangatlah menarik. Dengan


letak geografis yang menguntungkan sebagai daerah agraris, yakni keadaan
tanah yang subur berupa perbukitan kapur, dataran rendah, rawa-rawa, serta
dua sungai (sungai Bengawan Solo dan sungai Lamong) menjadikan wilayah ini
tetap eksis tampil dalam panggung sejarah Jawa Timur. Disamping itu Lamongan
juga memiliki pantai utara jawa yang merupakan tempat berkembangnya
pelabuhan-pelabuhan kuno seperti Sedayu Lawas. Hal ini yang menyebabkan
daerah Lamongan memiliki banyak benda cagar budaya dari kurun waktu yang
berbeda.

Letak dan keadaan geografis Lamongan yang sangat menarik tentu saja
merupakan satu alasan mengapa pada masa lalu Lamongan merupakan suatu
wilayah penting dalam perjalanan sejarah di Jawa Timur. Hal ini bisa dilihat dari
persebaran benda cagar budaya dalam jumlah banyak yang tersebar di wilayah
Lamongan. Keberadaan benda cagar budaya tersebut berkaitan erat dengan
sejarah Kabupaten Lamongan.
Besar kemungkinan daerah Lamongan dihuni oleh manusia prasejarah adalah
dengan ditemukannya benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan
gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup.
Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni
manusia pada era prasejarah adalah ditemukannya fosil manusia, manik-manik,
lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang
binatang dan lain-lain yang juga terdapat di Desa Kradenanrejo Kecamatan
Kedungpring.

Masa klasik di wilayah Lamongan bisa ditarik garis mundur dari masa pemerintahan
Airlangga bahkan mungkin jauh sebelum itu. Namun pembuktian secara artefaktual baru bisa
memastikan bahwa masa klasik Lamongan dimulai pada masa Airlangga dengan didukung
berbagai penemuan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga atau pejabat tingginya.
Ada sekitar 33 buah prasasti yang dikeluarkan dan sebagian besar ditemukan di wilayah
Lamongan. Walaupun ada sebagian bukti arkeologis tersebut yang sudah tidak terbaca dan
kondisinya tidak utuh sebagamana mestinya. Ditengarai juga masih banyak jejak-jejak
terpendam yang masih belum terungkap hingga saat ini. Dan upaya pengungkapan terhadap
peradaban masa lalu yang masih terpendam saat ini, adalah pekerjaan ekstra yang sangat
melelahkan dan jauh dari keramaian.

Pada masa klasik, daerah sepanjang alur kali Lamong pada abad ke XI merupakan
jalur penting dalam dunia perdagangan dan pemerintahan pada saat itu. Tanah shima
semacam pamotan, patakan, lawan, drujugurit, hingga biluluk, mendapat tempat istimewa
pada era kerajaan kuno. Daerah-daerah ini pada zaman pemerintahan Raja Airlangga sudah
berkembang pesat ditandai dengan jajaran prasasti yang menetapkan tanah-tanah shima
karena jasa perorangan maupun penduduknya selama masa konsolidasi pemerintahan yang
dilakukan oleh pemerintahan Raja Airlangga. Wilayah dari sekitar Mantup, Sambeng,
Ngimbang, Bluluk, Modo, Babat, hingga ke wilayah pesisir utara adalah jejak-jejak
peradaban kuno yang Berjaya pada zamannya.

Bukan hanya temuan pada masa perundagian dan era kerajaan Airlangga, temuan lain
yang terkait dengan sejarah pada zaman peradaban Majapahit juga banyak ditemui di
Lamongan. Hanya saja selama ini masih minim publikasi. Kajian-kajian terhadap keberadaan
prasasti dan situs-situs kuno di Lamongan masih sangat jarang dilakukan, bahkan oleh
mereka yang berada di bidangnya. Tidak heran jika kemudian pengetahuan masyarakat
terkait dengan keberadaan cagar budaya yang harusnya dilindungi justru luput dari pantauan.

Dengan dalih melindungi atau bahkan melestarikan, disana-sini justru banyak terjadi
perusakan dan pencurian benda cagar budaya. Mulai dari motif yang sederhana seperti butuh
batu bata untuk membangun rumah hingga yang mencuri prasasti dan arca dengan alasan
ekonomi dan koleksi. Motif kepercayaan sedikit banyak juga mempengaruhi terjadinya
kerusakan cagar budaya ini. Dan semua terjadi karena masih lemahnya pengetahuan akan
kesejarahan dan lemahnya jati diri yang ditandai dengan rendahnya kesadaran untuk
melindungi hasil kebudayaan leluhur.

Pengetahuan tidak semata-mata untuk melakukan produksi sosial, tapi


juga lebih penting adalah membentuk fondasi bagi terbentuknya tatanan sosial
yang lebih baik. Tatanan sosial yang berkarakter akan melahirkan sebuah
masyarakat yang kuat dan bermartabat, serta kokoh dalam menghadapi
pengaruh negatif dari budaya lain. Kesadaran itulah yang diharapkan akan
bersemi dihati kita ketika membaca kebesaran sejarah leluhur sehingga tumbuh
sebagai jati diri yang tangguh.

Sejarah Singkat Wilayah Lamongan

Dilihat dari bukti, Lamongan memiiiki sejarah panjang jauh sebelum masa
pemerintahan Airlangga yang berarti wilayah Lamongan mengalami seluruh
periodisasi sejarah, mulai zaman prasejarah sampai zaman kolonial.

Berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-
gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup menjadi bukti akurat
bahwa Lamongan sudah dihuni manusia sejak zaman pra sejarah. Beberapa penemuan lain
berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo Kecamatan
Kedungpring. Benda-benda tersebut termasuk dalam masa perundagian di Indonesia yang
berkembang semenjak lebih kurang 3000-2000 SM. Nekara ini digunakan sebagai wadah dan
tutup kubur, dengan tipe nekara pejeng sebagai wadahnya dan nekara tipe heger I sebagai
tutupnya. Jasad yang tersimpan dalam nekara tersebut adalah jasad mayat anak-anak.
Didalam nekara kedungpring ini juga disertakan bekal kubur yang berupa kalung emas
bertumpuk. Bukti lain yg memperkuat adalah ditemukannya kerangka manusia, manik-manik
kaca, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan
lain-lain yang juga terdapat di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem
penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda
milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan
di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.

Sementara dari berbagai bukti arkeologi masa klasik bisa ditarik sebuah kesimpulan
bahwa Lamongan pada masa itu memiliki peranan yang signifikan dalam panggung sejarah di
Jawa Timur. Keberadaan prasasti-prasasti yang berjumlah puluhan (lebih dari 20 prasasti),
lingga Yoni, dan bekas-bekas reruntuhan candi serta persebaran benda-benda prasasti yang
hampir merata di seluruh wilayah, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa Wilayah
Kabupaten Lamongan pada zaman dahulu (Kerajaan kuno) merupakan wilayah yang telah
berkembang dengan sangat pesat dan menempati posisi sentral dalam zaman kejayaan
kerajaan-kerajaan kuno tersebut, baik dalam bidang pemerintahan, perdagangan, dan juga
keagamaan.

Puncak dari kejayaan zaman klasik di Kabupaten Lamongan dapat terlihat dari
keberadaan prasasti-prasasti yang rata-rata dibuat pada pertengahan abad XI, tepatnya pada
era pemerintahan Raja Airlangga Hal ini terbukti dari seluruh prasasti yang terdata oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, data dari BP3 Trowulan, dan data hasil penelusuran
LSAPS sebagian dikeluarkan Raja Airlangga, diantaranya; prasasti pasar legi, prasasti
Sendang Gede, prasasti Pamotan (Pamwatan), prasasti Drujugurit, prasasti Lemahbang,
prasasti Wotan, prasasti Sumbersari, prasasti Kedungwangi, prasasti Sugio, prasasti Sumber
sari I, prasasti Sumber Sari II, dan beberapa prasasti yang menurut hasil pembuktian ilmiah
merupakan peninggalan Raja Airlangga.

Peranan sentral Wilayah Lamongan dalam perdagangan, pemerintahan, dan


keagamaan masih sangat kuat hingga era Majapahit, dengan dua buah sungai besar yang
membelah wilayah Lamongan dari Timur ke arah barat, Lamongan menjadi jalur transportasi
strategis yang melahirkan tanah-tanah perdikan yang disegani oleh pemerintahan pada saat
itu. Ungkapan ini tertuang dalam prasasti Biluluk I-IV yang dikeluarkan oleh Pemerintahan
Kerajaan Majapahit. Biluluk pada saat itu berstatus Sima Swatantra yang memiliki begitu
banyak keistimewaan hak hampir menyamai istana Majapahit, komoditi perdagangan dan
juga industri tenun berkembang pesat di Biluluk. Prasasti Biluluk sendiri dikeluarkan oleh 2
(dua) periode pemerintahan Raja Majapahit, yang menandakan arti penting Biluluk bagi
Pemerintah Majapahit.
Pada masa akhir Pemerintahan Majapahit, kemunduran juga di alami oleh perdikan
Biluluk di Lamongan yang berpusat di Wilayah Lamongan selatan, tepatnya sekitar kali
Lamong. Namun di wilayah utara islam justru berkembang dan melahirkan perdikan-
perdikan islam seperti Sedayu, Drajat dan Sendang Dhuwur. Munculnya perdikan pusat islam
ini tak lepas dari berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro dibawah Pemerintahan Raden
Patah.

Perdikan Drajat (1475 S / 1553 M) dipimpin oleh Sunan Drajat yang juga merupakan
keturunan Sunan Ampel. Sementara perdikan Sendang Dhuwur (1483 S / 1561 M) dibawah
kendali Sunan Sendang atau Raden Nur Rahmat. Hingga sekarang jejak ke dua pemimpin
besar Islam di wilayah Lamongan tersebut masih tegak berdiri, berupa kompleks Makam dan
bangunan gapura yang menyerupai candi.

Di wilayah tengah, tepatnya di Tumenggungan dan sekitar wilayah kota sekarang,


berkembang pemerintahan dibawah kendali Rangga Hadi yang kemudian bergelar
Tumenggung Surajaya ( 1569 - 1607 M). Wilayah Lamongan kota dan sekitarnya termasuk
dalam kendali Kasunanan Giri di bawah Kepemimpinan Sunan Giri.

Masa era kolonial, perdagangan VOC sudah berkembang di Lamongan Semenjak


tahun 1709 M. Wilayah pantura (Paciran dan Brondong) Lamongan tepatnya disekitar
pelabuhan Sedayu Lawas dan Brondong telah menjadi tempat berlabuh bagi kapal-kapal
VOC dalam pengangkutan komoditi perdagangan seperti merica, garam, padi dan kayu jati.

Lamongan secara resmi jatuh dalam pangkuan VOC pada 18 Mei 1747 M, sesuai
dengan isi perjanjian Gianti No.2 tentang penyerahan wilayah, …”Compagnie sebagai
pengganti Sri Baginda, memerintah semua Bupati Pesisir yang adat dan peraturannya seperti
sediakala. Tanah pesisir itu adalah ; Tegal, Brebes, Tuban, Kaliwungu, Lamongan, Sidoarjo,
dan Sidayu”.

Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, secara resmi pemerintah belanda baru
mengadakan tindakan pembenahan administratif atas kabupaten Lamongan pada tahun 1824.
Hal ini terlihat dari adanya hirarki-birokrasi model barat dalam struktur pemerintahan
kabupaten tersebut.
Pembentukan Kabupaten Lamongan sebagai daerah otonom bersama 29 kabupaten
lainnya di Jawa Timur diawali dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950
tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur. Kemudian pembentukan Propinsi Jawa Timur
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat dengan pembentukan kabupaten yang ada di wilayah
Jawa Timur yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Timur.

Demikian sekilas sejarah Kabupaten Lamongan mulai masa prasejarah, masa klasik,
masa Islam, dan masa kolonial beserta sumber dari bukti arkeologi yang telah ditemukan
dilapangan

egenda Asal-Usul Gajah Mada dari Lamongan


August 17, 2009 — har

LEGENDA ASAL-USUL GAJAH MADA DARI LAMONGAN

Oleh: Har [www.haarrr.wordpress.com]

PROLOG:

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber. Alasan penggunaan judul ‘legenda’ sendiri tak
lepas dari kenyataan bahwa asal-usul Gajah Mada (1299-1364) sampai detik ini masih
simpang-siur. Sebagian besar penelusuran asal-asul Gajah Mada bersumber pada cerita rakyat
(folklore) dan pengkaitan nama dengan sejarah lokalitas/etinisitas daerah tertentu. Belum ada
bukti otentik yang bisa menjelaskan darimana sebenarnya Gajah Mada. Dan karena masih
sebatas dari mulut ke mulut (tutur-tinular), maka subyektifitas pun tak terhindarkan dalam
setiap upaya menyingkap sejarah Gajah Mada.

Tapi, demikianlah Sejarah. Akan selalu ada bagian yang dipenuhi ambiguitas dan selalu
terkait dengan sudut kepentingan kekuasaan pada masa tersebut. Ada faktor-faktor yang
membutuhkan legitimasi dan justifikasi pada keberlangsungan kekuasaan. Dan, itu bisa diraih
dengan pengkultusan dan senses of curiosity yang ujungnya adalah untuk mendapatkan
keabsahan kekuasaan (power legitimacy) serta kebanggaan identitas sosial (the pride of
social identity) pada tokoh bersangkutan.

Sejarah Indonesia, seperti halnya sejarah bangsa-bangsa lain, memiliki bab-bab yang
‘samar’ dan multi interpretasi. Dimulai dari raja-raja nusantara, zaman pergerakan, masa
kemerdakaan, orde lama, orde baru hingga dekade sekarang ini, sebagian besar mempunyai
babakan yang memunculkan heterogenitas opini dan bahkan kontroversi. Beberapa di
antaranya sebagai contoh, ada peranan Demak dalam pengambilalihan kekuasaan imperium
Majapahit. Demikian halnya dengan pembentukan dinasti Sutawijaya yang menggerogoti
Demak dan memunculkan trah Mataram. Belum lagi ditinjau dari segi sosial religi berkaitan
dengan penyebaran Islam dan memudarnya kekuasaan Hindu.

Pada konteks zaman pergerakan nasional, multi interpretasi terhadap latar belakang
perjuangan melawan kolonialis pun beragam. Hal inilah yang memunculkan keberagaman
definisi; pejuang ataukah pemberontak, pahlawan ataukah penghianat. Sebuah contoh
sederhana, sejarah perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Sampai detik ini, masih sering terjadi
perdebatan dalam memandang sosok Aru Palakka (Arung Palakka) berkaitan dengan
perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap Belanda. Di Buku Sejarah pelajaran sekolah,
sebagian besar tahu bahwa Sultan Hasanuddin adalah pahlawan nasional sementara Aru
Palakka bukan. Standar bakunya ialah, siapapun yang melawan Belanda, dia adalah
pahlawan. Bagi sebagian orang yang paham kultur Bugis – Makassar, tidak segampang itu
menarik garis dikotomi antara pahlawan dan penghianat untuk dua tokoh tersebut. Ada faktor
histeriografi, etnisitas dan power politik yang ikut melatarbelakangi.

Tapi, sekali lagi, itulah sejarah.

Pada dimensi tertentu, pasti melahirkan bermacam analisa dan perdebatan. Apalagi, dengan
rentang waktu yang jauh ke belakang, berjarak sekian generasi. Sementara yang ‘baru-baru’
saja sering tak bisa diungkap dengan gamblang. Beberapa pemberontakan pasca
kemerdekaan, Supersemar, kasus-kasus masa reformasi, penculikan, dan serentetan peristiwa
konflik horizontal, adalah contoh betapa kompleknya menyusun sebuah catatan sejarah.

Meski demikian, satu hal yang pasti: sejarah adalah catatan berdasar fakta dan keobyektifan.
Kalaupun dari keobyektifan tersebut lantas melahirkan multi interpretasi dan kontroversi,
sah-sah saja. Adalah wajar muncul perdebatan. Yang tak wajar ialah, jika dalam proses
pengambilan kesimpulan, ada upaya rekayasa, pembelokan, bahkan penghilangan fakta
sejarah. Sejarah dicatat, demi pembentukan bangsa yang cerdas dan bukan sebaliknya:
bangsa bebek.

Tulisan ini, sekali lagi, ialah legenda. Kalaupun kemudian ada langkah penelitian berkenaan
legenda Gajah Mada ini, tentu sudah lain soal. Yang jelas, legenda ini hidup di masyarakat
tertentu, titur-tinular dari generasi ke generasi.

Dalam perspektif ke-Indonesiaan, Gajah Mada juga tidak bisa dipandang sebagai milik
wilayah, etnis, atau apalagi orang tertentu. Sosoknya yang memang pernah eksis di
percaturan politik global abad ke-13, sudah terintegral dengan sejarah nusantara, sehingga
tentu saja sudah menjadi milik Indonesia. Sejarah tersebut bisa juga menjadi inspirasi di era
ke-kinian dalam memajukan bangsa ini, semacam discovering in the old; revitalizing in the
future.

Tulisan berikut terdiri dari dua bagian: (1) Legenda Gajah Mada dari Lamongan, (2)
Beberapa Pendapat dan Dugaan lain berkaitan Asal-Usul Gajah Mada, di antaranya: Dari
Sumatera, Bali, Kalimantan, NTB dan Mongol.

Beberapa referensi yang jadi sumber tulisan ini:

1. http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_Mada
2. http://tempointeraktif.com
3. http://kaskus.us
4. http://lamongan.go.id
5. http://forumbebas.com
6. http://igardu.com
7. http://panjiwinoto.co.cc
8. http://amongraga.multiply.com
9. http://unggulsetiadi.blogspot.com
10.http://nursatwika.wordpress.com
11.http://haarrr.wordpress.com
12.Dan beberapa sumber lain yang tak sempat disebutkan.

Catatan: untuk download tulisan ini (versi pdf) , silahkan klik di sini>>>…

Terima Kasih

(1) LEGENDA ASAL-USUL GAJAH MADA DARI LAMONGAN

Desa Cancing – Gunung Ratu terletak di ketinggian sekitar 700 meter di


atas permukaan laut, berada di wilayah Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Secara Geografis,
daerah tersebut berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Mojokerto (tempat pusat
kerajaan Majapahit).

Penulis sendiri kebetulan dilahirkan di Desa Sekidang, sekitar 10 km sebelah utara Gunung
Ratu. Sewaktu kecil, saat itu Desa Sekidang belum ‘digusur’ menjadi areal Waduk Gondang,
penulis sedikit banyak mendengar cerita rakyat tentang Gajah Mada. Beberapa diantaranya
Tersingkirnya Dewi Andongsari (Ibu Gajah Mada) dari Keraton Majapahit, Peristiwa Kucing
dan Ular, Tempat Joko Modo (Gajah Mada) mengembala kerbau (angon kebo), dan beberapa
kisah masa kecil Joko Modo. Waktu SD dulu, lebih dari 20 tahun yang lalu, selain
menggembala sapi dan cari kayu bakar, penulis sering ikut kegiatan Pramuka. Yang paling
berkesan ialah saat Penjelajahan. Sekali waktu, rute penjelajahan yaitu Desa Sekidang,
Jegreg, Plapak dan Cancing (Gunung Ratu).

Untuk menuju ke makam tersebut, harus melewati tangga undakan. Saat itu, saya dan
beberapa teman menghitung berapa undakan yang dilewati. Hasilnya, bervariasi. Sampai di
atas, saya melihat makam Dewi Andongsari kelihatan sering diziarahi orang, nampak dari
banyaknya taburan bunga. Hal yang sama juga nampak ditempat Kucing dikubur—yang
ditandai dengan bongkahan batu. Menurut cerita yang beredar, situs pemakaman tersebut
sering disalahgunakan, misal mencari ilmu atau juga ngalap berkah.

Foto_penunjuk jalan ke gunung ratu

Kondisi pemakaman saat ini, jelas jauh berbeda. Lokasi tersebut sudah direhab oleh Pemkab
Lamongan dan difungsikan sebagai Peninggalan Situs Bersejarah sekaligus tempat Wisata
Sejarah. Setiap hari tempat tersebut dikelola dan dirawat oleh Mbah Sulaiman, seorang juru
kunci dari Makam tersebut. Menurut Mbah Sulaiman inilah bukti fisik akan keberadaan asal
usul Gajah Mada. Gunung atau biasa juga disebut bukit Ratu, dulunya merupakan petilasan
dari Dewi Andong Sari yang diusir dari Majapahit karena iri hati dari permaisuri Dara Petak
dan Dara Jingga karena dikhawatirkan memiliki seorang putra. Di bukit inilah tempat Dewi
Andongsari menjalani hari-harinya sampai akhirnya melahirkan Joko Modo (Gajah Mada).

Kisah berawal ketika pada suatu hari Desa Cancing kedatangan sekelompok prajurit
Majapahit yang sedang mengiringkan istri selir Raden Wijaya yang sedang mengandung.
Sekelompok prajurit tersebut mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan (mungkin
membunuh) Dewi Andong Sari, tapi karena suatu hal Dewi Andong Sari tidak dibunuh
melainkan hanya disembunyikan di desa Cancing yang terletak di dalam hutan jauh dari pusat
pemerintahan majapahit (± 35 km arah barat laut dari Trowulan). Jalur desa tersebut dekat
dengan jalur perjalanan Majapahit-Kadipaten Tuban.

Saat itu, desa tersebut dipimpin oleh Ki Gede Sidowayah yang juga mempunyai keahlian
membuat senjata pusaka (Mpu).

Setelah usia kandungan cukup maka lahirlah bayi laki-laki, tapi sayang Dewi Andong Sari
tidak berumur panjang. Pada saat putranya masih kecil ia meninggal dunia dan dimakamkan
di tempat tersembunyi yaitu di atas bukit dan di tengah rimbunnya hutan. Bukit itulah yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Gunung Ratu.
Foto_ jalan (tangga berundak) ke gunung ratu_cancing

Pernah pada suatu ketika, saat Gajah Mada masih bayi, Dewi Andongsari turun dari bukit
hendak mengambil air di telaga (sendang) yang terletak di bawah bukit. Gajah Mada
ditinggal sendirian, hanya ditemani kucing setia milik Dewi Andongsari. Pada saat itulah
seekor ular hendak mematok Gajah Mada. Kucing milik Dewi Andongsari menghalanginya
sehingga terjadi perkelahian. Si kucing berhasil menggigit ular hingga mati. Beberapa saat
kemudian, Dewi Andongsari datang dan langsung melihat kucing yang mulutnya penuh
darah. Dewi Andongsari menyangka bahwa kucing tersebut telah menggigit Gajah Mada.
Kucing itu pun kemudian dia pukul. Tapi Dewi Andongsari pun kemudian tersadar ketika tak
jauh dari bayinya, terlihat bangkai ular. Dewi Andongsari menyesal bukan main, apalagi tak
lama kemudian kucing itupun mati.

Sampai sekarang keberadaan telaga tersebut masih ada, demikian juga dengan tempat
dikuburkannya kucing tersebut.

Tak lama setelah peristiwa itu, Dewi Andongsari pun meninggal. Oleh warga desa Cancing
jenazahnya dimakamkan di bukit tersebut, tak jauh dari kuburan kucing kesayangannya. Bayi
Gajah Mada sendiri kemudian diambil oleh Ki Gede Sidowayah…

Ki Gede Sidowayah tidak mempunyai istri. Dia merasa kasihan dan khawatir bayi tersebut
tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, bayi tersebut diserahkan pada adik perempuannya
(janda Wara Wuri) yang tinggal di desa Modo. Bayi laki-laki tersebut tumbuh sehat dan
cerdas yang kemudian dipanggil dengan nama Joko Modo (pemuda dari Modo).
Foto_lokasi area makam dewi andongsari

Seperti pemuda desa pada umumnya, Joko Modo pun ikut bekerja membantu orang tua
angkatnya yaitu sebagai pengembala kerbau. Karena kecakapanya Joko Modo oleh sesama
teman penggembala dianggap sebagai pemimpin. Meskipun hanya sebagai pemimpin
sekelompok anak gembala, ternyata bakat kepemimpinannya mulai nampak.

Untuk memudahkan mengawasi kerbau-kerbau yang sedang digembala tersebut, Joko Modo
dan kawan-kawan gembala lainnya naik di atas bukit kecil sehingga jarak pandangnya
menjadi jauh dan luas. Bukit tersebut sampai sekarang masih ada dan oleh masyarakat
setempat dinamakan Sitinggil (Siti= tanah, Inggil= tinggi) artinya tanah yang tinggi.

Pada saat Joko Modo diatas bukit sambil mengawasi kerbau-kerbaunya itu tidak sengaja ia
pun kadang-kadang melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya
dari Tuban menuju majapahit. Hal ini terjadi karena letak Modo memang berada diantara
Majapahit dan Tuban.

Dari seringnya melihat iring-iringan prajurit Majapahit yang gagah-gagah tersebut membuat
hati Joko Modo tertarik, kelak suatu saat ia ingin menjadi prajurit Majapahit juga.

Ki Gede Sidowayah sendiri diberi hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang. Hadiah
tersebut nampaknya sebagai penghargaan pada Ki Gede yang diam-diam berhasil
menyelamatkan Dewi Andongsari dan memelihara bayinya. Ki Gede Sidowayah tidak lupa
mengajak pula Joko Modo ke Songgoriti, dengan pertimbangan agar jiwa, sikap, serta cara
berpikir Joko Modo yang cerdas dan cakap bisa berkembang dengan baik. Hal ini
dimungkinkan karena Songgoriti daerahnya lebih subur dan makmur jika dibandingkan
dengan Modo atau Ngimbang Lamongan yang letaknya jauh di dalam lebatnya hutan
belantara.
foto_makam dewi andongsari di gunung ratu

Karena kecakapan dan kepandaiannya tersebut dan didukung oleh pengaruh Ayah angkatnya
yaitu Ki Gede Sidowayah maka Joko Modo akhirnya tercapai cita-citanya yaitu menjadi
prajurit Majapahit, yang kelak Kemudian kariernya terus menanjak sehingga menjadi Patih
Gajah Mada, seorang tokoh besar di Kerajaan Majapahit.

Berikut ini analisa seputar Legenda Gajah Mada dari Lamongan:

1. Peristiwa penculikan Dewi Andong sari dari Keraton Majapahit (1299 M)

Adanya peristiwa rencana pembunuhan terhadap istri Selir Raden Wijaya yang sedang
mengandung yaitu Dewi Andong Sari sangat mungkin terjadi atas kehendak Putri Indreswari
yaitu Dara Petak yang berasal dari Melayu.

Dara Petak adalah Putri Melayu yang datang ke Majapahit bukan atas kehendak sendiri,
melainkan dibawa oleh Kebo Anabang (Pemimpin ekspedisi Pamalayu) sebagai putri
rampasan sebab negerinya ditaklukkan oleh Singosari / Majapahit. Ketika ia diperistri oleh
Raden Wijaya tentu bukan bukan atas dasar cinta tapi karena terpaksa karena itu punya
gagasan dalam hati yaitu Melayu bisa tunduk pada Majapahit tapi keturunan Melayu yaitu
anaknya suatu saat harus jadi Raja Majapahit.

Ketika ia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Kalagemet (Jayanegara) tahun 1294 M.
Ia sangat senang, sebab kedua anak Raden Wijaya permaisuri yang lain semuanya wanita,
yaitu : Diyah Tribhuana Tungga Dewi dan Diyah Wiyat Sri Raja Dewi. Dengan demikian
cita-citanya pasti terwujud, sebab sepeninggal Raden Wijaya tahta Kerajaan pasti jatuh ke
tangan anaknya.

Tapi perasaan gembira itu berubah jadi cemas setelah tahu istri Selir Raden Wijaya yaitu
Dewi Andong Sari teryata hamil, jika nanti Dewi Andong Sari melahirkan anak laki-laki
tentu akan jadi Bantu sandungan bagi cita-citanya. Karena itu sebelum Dewi Andong Sari
melahirkan ia harus segera segera dilenyapkan.

2. Ditinjau dari segi geografis


Posisi Desa Cancing, Ngimbang dengan Trowulan (pusat kerajaan Majapahit) jika ditarik
garis lurus 35 km, suatu jarak yang masuk akal sebagai jalur pelarian untuk tempat
sembunyinya Dewi Andong sari, apalagi Cancing berada di dalam lebatnya hutan. Demikian
juga dengan letak Modo (sekarang Kec. Modo). Diceritakan, Joko Modo sering melihat iring-
iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju Majapahit, itu
sangat masuk akal sebab Modo memang terletak di antara jalur Majapahit dengan Tuban.

3. Ditinjau dari segi politik

Pada saat pemberontakan Ra Kuti (1319) Gajah Mada yang saat itu menjadi kepala pasukan
Bhayangkara menyelamatkan Raja Jaya Negara dengan sembunyi di Desa Badander. Para
sejarawan banyak yang menduka bahwa Badander yang dimaksud itu adalah Dander di
Bojongoro, padahal tidak. Sebab ada lagi nama Desa yang namanya persis sepert yang
disebut dalam Negara Kertagama yaitu Badander (buah dander) yang berada di kecamatan
Kabuh Kabupaten Jombang.

Jarak antara Desa Badander dengan Cancing, Ngimbang hanya 10 km, sedang jarak Badander
Trowulan 25 km, sehingga sangat mungkin yang dimaksud Desa Badander tempat
persembunyian Raja jayanegara kerena adanya pemberotakan Rakuti adalah Badander
tersebut (bukan Dander Bojonegoro).

Suatu kebiasaan, jika ada kerusuhan di ibu koa maka para pembesar ibu kota berusaha
menyelamatan diri ke Daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Dengan pertimbangan itu, tentu mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat
sekitarnya, di samping juga menguasai medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan
berikutnya.

Demikian juga halnya dengan Gajah Mada, kemungkinan besar benarya ia tidak senaja
sembunyi di Desa Badander melainkan ke Desa Cancng (Ngimbang) tempat ia berasal. Tapi
karena kondisinya pada saat itu tidak memungkinkan disamping letak Badander dengan
Ngimbang sangat dekat apalagi adanya jaminan perlindungan dari Ki Buyut Badander, maka
dipilihnya Badander sebagai tempat persembunyian sementara sambil menyusun siasat untuk
merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak Ra Kuti.

4. Ki Gede Sidowayah mendapat hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang.

Dalam sejarah adalah hal yang wajar jika seseorang mendapat hadiah tanah perdikan dari
Raja sebagai imbalan karena orang tersebut berjasa besar pada Raja atau Negara. Demikian
juga halnya dengan Ki Gede Sidowayah yang mendapat tanah perdikan di Singgoriti.

Ada dua kemungkinan Ki Gede Sidowayah mendapat tanah perdikan di Songgoriti yaitu :

(a). Sebagai seorang Mpu mungkin Ki Gede Sidowayah pernah membuat sejenis pusaka yang
ampuh untuk Raden Wijaya. Tapi kemungkinan ini lemah, sebab diantara banyak pusaka
peninggalan Majapahit tdak dikenal buatan Mpu Sidowayah. Disamping itu dalam sejarah
belum pernah ada seseorang mendapat hadiah tanah perdikan hanya karena berjasa membuat
pusaka untuk Raja.

(b). Karena Ki Gede Sidowayah berjasa besar yaitu menyelamatkan garwo selir R. Wijaya
yang sedang mengandung hingga melahirkan dengan selamat. Untuk menjaga kerahasiaan
tersebut Ki Gede Sidowayah diberi hadiah tanah perdikan yang letaknya sangat jauh dari
Lamongan yaitu di Songgoriti Malang. Sebab jika diketahui bahwa R. Wijaya punya anak
laki – laki selain Kalagamet, maka bias timbul masalah besar dalam proses pergantian raja
sepeninggalan R. Wijaya nanti. Mungkin kedua inilah yang agak lebih mendekati kebenaran.

5. Peristiwa Tanca tahun 1.328 M (Bhasmi bhuto nangani ratu = 1250 C)

Dalam Pararaton disebutkan selama Ra Tanca menjalankan tugas pengobatan terhadap raja
Jayanegara Gajah Mada mengawasinya, begitu Tanca membunuh Jayanegara maka Gajah
Mada langsung membunuh Ra Tanca

Dalam Pararaton tersebut dengan jelas mengatakan kalau Jayanegara meninggal karena
dibunuh oleh Ra Tanca, kemudian Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses
pengadilan. Kita semua sependapat jika Ra Tanca membunuh Jayanegara karena sakit hati
sebab istrinya pernah diganggu oleh Jayanegara. Tapi mengapa Ra Tanca langsung dibunuh
oleh Gaja Mada tanpa proses pengadilan? Tidak ada orang mempermasalahkan .

Kalau kita memperhatikan cerita rakyat Ngimbang tentang Joko Modo, sangat mungkin
bahwa peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh Ra Tanca adalah hasil skenario Gajah Mada
sendiri. Sebab ibunda Gajah Mada Yaitu Dewi Andong Sari dilenyapkan dari istana oleh
ibunda Jayanegara yaitu Dara Petak. Peristiwa itu tentu sangat menyakitkan hati Gajah Mada,
sehingga timbullah niat balas dendam yaitu melenyapkan Jaya negara melalui tangan Ra
Tanca, setelah itu Ra Tanca langsung dibunuhnya untuk menutup rahasia selamanya.

6. Peristiwa Bubat tahun 1357 M (Sanga Turangga Paksa Wani = 1279 C)

Ketika raja Hayam Wuruk sudah cukup dewasa untuk menikah, maka dikirimkan ke segala
penjuru untuk mencari wanita yang paling cantik, segala lukisan yang dikirimkan ke
Majapahit tidak ada yang menarik kecuali lukisan putri Sunda yaitu “ Diyah Pitaloka“. Maka
dipinanglah Diyah Pitaloka untuk menjadi permaisuri Raja Hayam Wuruk.

Pada saat upacara pernikahan terjadilah beda pendapat antara Gajah Mada dengan keluarga
pihak pengantin putrinya yaitu : Gajah Mada menghendaki agar raja Sunda menyerahkan
putrinya kepada Raja Majapahit sebagai upeti, sedang raja Sunda menghendaki upacara
pernikahan sebagaimana mestinya, yaitu putrinya harus dijemput oleh keluarga Majapahit
denga upacara pernikahan sebagaimana biasanya.

Beda pendapat tersebut tidak dapat diselesaikan maka terjadilah perang yang mengakibatkan
terbunuhnya semua orang Sunda termasuk calon permaisuri yaitu Diyah Pitaloka. Peristiwa
tersebut terjadi di lapangan Bubat karena itu dinamakan perang Bubat dan terjadi tahun 1256
C /tahun 1357 M. Peristiwa Bubat tersebut jelas kesalahan besar Gajah Mada, akibat tindakan
Gajah Mada tersebut tidak saja berakibat gagalnya pernikahan Hayam Wuruk tapi juga
meninggalnya calon permaisuri Diyah Pitaloka beserta keluarga pengiringnya Karena
kesalahan itu kemudian Gajah Mada diberi sanksi yaitu dibebas tugaskan selama 2 (dua)
tahun (1357 1359 M).

Mengapa kesalahan Gajah Mada yang begitu besar terhadap raja hanya mendapat hukuman
ringan? Mengapa pula Gajah Mada terlibat begitu dalam soal pernikahan Hayam Wuruk?
Banyak kemungkinan untuk menjawabnya, diantara jawaban itu ialah: Hayam Wuruk tahu
bahwa Gajah Mada itu pamanya sendiri. Hal ini terjadi karena Gajah Mada adalah adik
ibunda Hayam Wuruk (Diyah Tribhuwana Tungga Dewi) satu ayah lain ibu. Gajah Mada
anak R. Wijaya dari istri selir (Dewi Andongsari), sedangkan Diyah anak R. Wijaya dari
permaisuri Gayatri.

7. Gajah Mada tidak mau kudeta terhadap kekuasaan Hayam Wuruk

Pada saat Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja, ia baru berusia 17 tahun. Segala urusan
pemerintahan diserahkan kepada Gajah Mada. Bahkan sejak masa pemerintahan ibunda
hayam Wuruk yaitu Tribhuwana Tungga Dewi urusan pemerintahan seolah diserahkan
sepenuhnya kepada Gajah Mada.

Keadaan seperti itu sangat memungkinkan jika Gajah Mada mau kudeta, dalam arti Gajah
Mada mau kudeta maka tidak akan ada hambatan yang berarti. Lalu timbul pertanyaan
mengapa Gajah Mada tidak melakukan kudeta? banyak kemungkinan untuk menjawab,
diantaranya jawaban itu ialah : “karena raja Hayam Wuruk masih Keponakan Gajah Mada
sendiri “.

***

(2) Beberapa Pendapat dan Dugaan lain berkaitan Asal-Usul Gajah Mada

Berikut ini penulis tampilkan ringkasan artikel berkaitan dengan asal-usul Gajah Mada.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Gajah Mada berasal dari Sumatera, Bali, Kalimantan,
NTB dan Mongol.

1. Versi Sumatera

Seperti kita kita ketahui bersama, jaman dahulu nama orang identik atau disimbolkan dengan
nama-nama hewan. Raja Majapahit yang terkenal, H(ayam) Wuruk sendiri mempunyai arti
ayam jantan. Beberapa nama hewan yang biasa dipakai antara lain : Mahesa(Sapi), Lembu,
Kebo, Banyak (Angsa) dll.

• Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah


Lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian
menurunkan Raden Wijaya.
• Ronggolawe, adalah putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja bupati
Sumenep yang membantu Raden Wijaya saat dikejar-kejar tentara
JayaKatwang.
• Mahesa Anabrang, atau juga disebut dengan nama Kebo Anabrang dan
Lembu Anabrang, adalah seorang mantan senapati Singasari (Ketua
Ekspedisi Pamalayu) yang membunuh Ranggalawe, pada saat Ranggalawe
memberontak pada Majapahit.
• Dara Petak (harafiah berarti “Merpati Putih”) adalah istri kelima dari
Raden Wijaya, merupakan putri dari Raja Shri Tribhuana Raja
Mauliwarmadhewa dari Kerajaan Dharmasraya. Dari perkawinannya
dengan Raden Wijaya, Dara Petak melahirkan seorang putra yaitu
Kalagemet atau Sri Jayanegara yang menjadi penerus tahta ayahnya di
Majapahit.

Diantara nama-nama yang menghiasi perjalanan sejarah Majapahit, bahkan kerajaaan


sebelumnya ataupun sesudahnya nama-nama seperti itulah yang populer dipakai oleh
golongan bangsawan maupun rakyat biasa. Karena hewan-hewan itu ada di lingkungan
mereka. Kecuali untuk nama hewan gajah, kita hanya mendapati satu nama, yaitu Gajah
Mada. Berangkat dari sinilah kalau Gajah Mada bukan orang Jawa. Satu-satunya pulau di
Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas,
Jambi. Dan kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik.

Seperti tulisan diatas, Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya
ada di Sumatra, yang dapat disampaikan sebagai berikut :

• Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan


yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya
terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara
Jambi.
• Hubungan antara Mahesa (Kebo) Anabrang, Dara Petak, Dara Jingga, dan
Jayanegara

Diduga kuat Mahesa Anabrang ini adalah orang yang sama dengan tokoh yang dikenal
sebagai Adwaya Brahman atau Adwayawarman, ayah dari Adityawarman yang disebutkan
dalam Prasasti Kuburajo I di Kuburajo, Limo Kaum, dekat Batusangkar, Sumatera Barat.
Menurut pembacaan Prof. H. Kern yang diterbitkan tahun 1917, tertulis bahwa batu prasasti
itu “dikeluarkan oleh Adityawarman, yang merupakan putra dari Adwayawarman dari
keluarga Indra. Dinyatakan juga bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini
(Swarnadwipa)“.

Dara Jingga adalah putri dari Tribuanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya
dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan sira alaki
dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman,
pemimpin Ekspedisi Pamalayu.

Nama tokoh ini juga ditemukan pada prasasti yang tertulis di alas arca Amoghapasa, yang
ditemukan di Padang Roco, dekat Sei Langsat, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Menurut pembacaan R. Pitono, tertulis bahwa arca itu adalah hadiah perkawinan Kertanagara
kepada seorang bangsawan Sumatera, dan “bersama dengan keempat belas pengiringnya
dan saptaratna, dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi” dan bahwa “Rakyan
Mahamantri Dyah Adwayabrahma” adalah salah seorang pengawal arca tersebut.

Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta
keluarganya dan Dara Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang
mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas
dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kediri.

Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden
Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja
Majapahit ke-2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang
dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.

Berdasarkan catatan-catatan diatas, dapat disimpulkan saat Mahesa Anabrang membawa Dara
Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan
tersebut yang bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta
dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi
pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti
tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit.

2. Versi Malang

Muhammad Yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka, cetakan ke
6, Tahun 1960, hal 13 mengungkapkan tokoh ini sebagai:

“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran
Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya
seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkanpada permulaan abad ke-14.

Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya
tidak dapat perhatian kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia
dilahirkan dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua
dilupakan dengan lalim oleh sejarah”

Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin, asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap,
walaupun ada dugaan bahwa Gajah Mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir
keselatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna, diperkirakan sekitar tahun 1300 M.

3. Versi Bali

Keinginan untuk mengetahui asal-usul Patih Gajah Mada sebagai Negarawan besar pada
Jaman Kerajaan Majapahit, telah lama menarik perhatian ahli sejarah, salah satunya I Gusti
Ngurah Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk Lontar-
lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana” (sekitar tahun 1974.
Salah satu lontar yang menarik perhatian diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad
Gajah Maddha”. Lontar tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar
lontar berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4 baris, memakai
huruf dan bahasa Bali-Tengahan.

Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai. Secara
garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikan

1. Asal Usul Gajah Mada

2. Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit

3. Emphu keturunan pada waktu memerintah di Bali

Yang menjadi perhatian dari sekian lontar tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut
adalah bagian yang menjelaskan tentang Asal-Usul/Kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.

“Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilwatikta, yang bernama Curadharmawysa dan


Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di
Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu
Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan
Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta
suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak
di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah
asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk
membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak
begitu jauh.

Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili
madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang
disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah), sehingga Mpu
Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu
arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan
dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih. Sebagai tipu muslihat
segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud, ”masiluman”) berwujud seperti
Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.

Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan
senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta
sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu
Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu, dan datanglah Mpu
Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja
menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari, bahwa akan
terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian
yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.

Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk
meninggalkan asrama itu, mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu
tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan
mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat
Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah
menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan, lalu suaminya mengajak ke
sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut.

Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju
ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh
seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”.

4. Versi Kalimantan

Ada pula yang meyakini Gajah Mada itu merupakan orang Dayak, Kalimantan Barat, yaitu
dari sebuah kampung di Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagian
masyarakat Dayak mempercayai hal ini berkaitan dengan kisah masyarakat Dayak Tobag,
Mali, Simpang dan Dayak Krio. Tokoh Gajah Mada di Dayak Krio dikenal dengan nama Jaga
Mada, namun masyarakat Dayak lainnya menyebutnya Gajah Mada, seorang Demung Adat
yang mempunyai tugas mempersatukan nusantara.

5. Versi Nusa Tenggara Barat

Masyarakat Bima khususnya Dompu percaya kalau Gajah Mada berasal dari daerah ini,
mengingat kemiripan dengan tokoh legenda masyarakat Dompu yaitu “ombu Mada Roo
Fiko”. Ombu artinya Tuan, Mada artinya saya, Roo artinya telinga dann Fiko artinya lebar.
Jadi ditafsirkan sebagi Tuan Mada bertelinga lebar (seperti gajah). Di daerah ini juga terdapat
kuburan kuno yang diyakini sebagai makam Gajah Mada.

6. Versi Mongol

Ada yang mengatakan bahwa Gajah Mada merupakan perwakilan atau utusan tersamar
Dinasti Yuan dari daratan Cina. Menurut seorang dosen Fisipol UGM, kota Trowulan yang
merupakan pusat kerajaan Majapahit, jika dipindai dengan tekno remote sensing, maka akan
nampak ada kanal-kanal yang disiapkan untuk jalur menuju laut.

LAIN-LAIN

A. Bunyi sumpah Palapa:

“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram,
tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana
isun amukti palapa”

“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan,
begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
pada waktu itu saya akan menikmati istirahat”

B. Bendera Majapahit: Merah Putih (bergaris)

C. Lambang/Simbol Kerajaan: Surya Majapahit

D. Peta Wilayah Kekuasaan Majapahit:

***
EPILOG:

Tulisan ini sama sekali tidak bertendensi pada pengklaiman terhadap sosok Gajah Mada
berdasarkan wilayah, etnisitas, dan apalagi golongan atau orang tertentu. Sampai detik ini,
segala legenda, mitos, maupun dugaan masih belum bisa menyingkap tabir asal-usul Gajah
Mada. Yang jelas, Gajah Mada adalah sejarah Indonesia, dan oleh sebab itu sudah menjadi
bagian integral bangsa ini; menjadi milik Indonesia.

Penulis menutup tulisan ini dengan mengutip sepenggal tulisan di buku karangan Langit
Kresna Hariadi:

“Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada di mana pun dalam waktu lama
tanpa harus terganggu oleh keinginan pulang. Lebih dari itu, aku berharap apa yang
kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir hidupku dalam semangat hamukti
moksa. Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal-usul, tak
diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana kuburnya, dan tak diketahui anak
turunnya. Biarlah Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak
kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara.” (Gajah Mada Madakaripura Hamukti
Moksa, Langit Kresna Hariadi, 2007).

Catatan: untuk download versi pdf, silahkan klik di sini>>>…

Thank you for visiting

www.haarrr.wordpress.com

education for all; education for a better life

• Share this:
• Email
• Facebook
• Print

Possibly related posts: (automatically generated)

• Penerimaan CPNS Kab. Lamongan 2010


• Novel Gajah Mada 1, 2 dan 3

Posted in artikel, karya ilimiah remaja, Pendidikan, penelitian. Tags: artikel,


berita, gajah mada, KIR, legenda, Pendidikan, penelitian, sejarah. 24 Comments
»
Like

Be the first to like this post.

24 Responses to “Legenda Asal-Usul Gajah Mada dari Lamongan”


1. Agus Suhanto Says:
August 18, 2009 at 2:46 pm

salam, sy Agus Suhanto, tulisan yg bagus … salam kenal yaa

Reply

o har Says:
August 18, 2009 at 4:05 pm

Mksih sudah mengunjungi blog ini


Salut pada Anda, masih muda tapi punya banyak prestasi
sukses slalu.

Reply

2. winos Says:
September 12, 2009 at 1:13 pm

kyknya yg masuk akal gajahmada berasal dari jawa timur….jgn sampe diklaim
malaysia lagi, salut buat lamongan

Reply

o har Says:
September 18, 2009 at 2:34 pm

Siip. Hentikan segala klaim palsu.


Makasih banyak sudah mampir di blog ini
Salam hangat

Reply

3. chandikolo Says:
November 8, 2009 at 11:16 pm

thanks bro tulisanya sangat bagus meski masih kurang referensinya, namun ini
merupakan sesuatu yang bagus untuk mengawali pencarian. berikutnya saya juga
tertantang untuk menggali lebih jauh tentang beberapa fakta maupun foklor sejarah
yang tersembunyi di lamongan.
berdekatan dengan wilayah cancing ngimbang juga terdapat sebuah foklor lokal
mengenai legenda anglngdarma yang tentunya berada di dekat wilayah
desa/kecamatan anda yaitu sekitar sambeng, juga mengenai peninggalan baju
anglingdarma.
di belahan utara muncul juga legenda tentang empu supa (seorang empu era
majapahit) yang mendapat gelar pangeran sedayu dan tanah perdikan sendang sedayu.
jika menyebut sedayu biasanya rujukan banyak orang adalah sedayu gresik, padahal
sedayu gresik adalah sebuah kota yang baru lahir pada era belanda. kalau kita merujuk
pada dokumen peta david rumsey maka terlihat bahwa sedayu (sidajoe) adalah sebuah
wilayah yang berdekatan dengan wilayah tuban yakni sedayu lawas lamongan yang
juga merupakan muara sungai kecil (SEKARANG DIJADIKAN SUDETAN
BENGAWAN SOLO ‘FLOODWAY’)yang tembus ke bengawan solo.
dari sungai kecil sedayu lawas yang menghubungkan laut utara dengan bengawan
solo inilah beberapa sejarawan memperkirakan masuknya panglima perang cina dan
pasukan china saat menyerang kediri dengan terlebih dahulu berkumpul di majapahit.
http://chandikolo.net.tc
salam warga Lamongan.

Reply

o har Says:
November 9, 2009 at 11:09 pm

Terima kasih banyak telah meluangkan waktu berkunjung ke sini.


Penelusuran sejarah zaman kerajaan kita sebagian besar memang berasal
dari folklore. Kendalanya, terbentur pada minimnya peninggalan otentik
semacam situs ataupun prasasti. Tapi secara substansial, timbulnya folklore
tersebut tentu berakar pada adanya kejadian atau peristiwa di masa silam, yang
karena memang masyarakat kita memiliki tradisi lisan, akhirnya secara turun-
temurun menjadi cerita, legenda bahkan dongeng. Perdebatan kemudian
muncul ketika ternyata ada banyak versi dan faktor minimnya bukti otentik.
Terlepas dari hal tersebut, sebenarnya esensi dari penelusuran sejarah ialah
merevitalisasi nilai-nilai luhur tradisionalisme untuk diaktualisasikan
berdasarkan konteks ke-kini-an.
Lamongan (dulu dikenal sebagai Pamotan), memiliki wilayah dengan status
sebagai tanah perdikan (merdeka, bebas dari pajak).Banyak folklore di
Lamongan terkait zaman Majapahit abad ke-13. Secara geografis memang
masuk akal jika ditinjau dari letak pusat kerajaan di Trowulan. Demikian
halnya dengan cerita Anglingdarma di wilayah Sambeng. Sayang belum
banyak sejarawan lokal Lamongan yang melakukan penelitian lebih lanjut.
Untuk pesisir utara Lamongan, sering dikenal sebagai benteng Maritim
Majapahit. Jika Anda menyempatkan diri berkunjung ke, misalnya Sendang
Dhuwur, Anda akan melihat bahwa tipikal geografis daerah tersebut mirip
dengan benteng. Letak Lamongan sendiri berdampingan dengan Tuban–yang
merupakan pelabuhan besar masa itu, yang juga diteruskan sampai era Demak.
Wah… asyik juga cerita tentang sejarah.
Jangan bosan berkunjung ke sini!!

Reply

4. Maslych Says:
November 14, 2009 at 8:39 pm
Hmm.. Complete, meskipun capek banget bacanya. Hehe..
Saya sebenarnya juga nulis sedikit tentang Gajah Mada (belum share), tapi bukan
tentang asal-usulnya.

Bagi saya, ada pelajaran yang sangat berharga dari kisah Gajah Mada. Insya Allah
nanti saya share dengan judul “Kesalahan Fatal Patih Gajah Mada”. Hehe..

http://my.opera.com/Maslych/

Reply

o har Says:
November 15, 2009 at 2:05 pm

Siip. Ditunggu posting-nya, pasti menarik. Sosok Gajah Mada memang bisa
jadi pembahasan yang tak ada habisnya, termasuk dari segi kelemahannya.
Dijamin bakalan sering ke http://my.opera.com/Maslych/

Reply

5. asa bhakti Says:


December 28, 2009 at 9:40 pm

dari cerita yang saya dengar , gajah mada berasal dari riau . tepatnya Pasirpengaraian
kabupaten Rokan Hulu . kalau dari bahasa riau ,, gajah mada : gajah artinya tetap
gajah sedangkan mada artinya kuat, tahan banting , pantang menyerah. dan bahkan
sampai berarti nakal. jadi Gajah Mada adalah seorang yang bertenaga kuat , tahan
banting dan pantang menyerah . ini berasal dari bahasa Pasirpengaraian .

konon kabarnya , dibangun nya lapangan terbang di pasir pengaraian okak, itu adalah
untuk sarana presiden Suharto datang ke pasir pengaraian untuk menjemput pusaka
atau keris dari peninggalan dari Patih Gajah Mada yang harus langsung di terima
presiden Suharto .

tapi cerita ini belum lah pasti kebenarannya . ini hanyalah cerita yang saya dengar
sedangkan bukti otentik nya tidak lah ada .

Reply

o har Says:
January 4, 2010 at 1:43 pm

Wah, saya bangga sekali atas kunjangan P Asa Bakti. Satu lagi
perbendaharaan sejarah berkaitan asal usul Gajah Mada, dan ini dari
Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Menarik. Terutama pada poin makna “Mada”.
Sebaiknya Anda mengembangkan berita tersebut untuk kemudian bisa ditelaah
para ahli sejarah. Saya sangat tertarik dengan versi ini, karena pasti cerita ini
mengakar dan menjadi folklor masyarakat setempat, buktinya Presiden
Soeharto sampai menyempatkan diri untuk mengambil pusaka tersebut.
Saya tunggu artikel/komen Anda berikutnya.
Sukses selalu.

Reply

6. asa bhakti Says:


December 28, 2009 at 9:43 pm

dari cerita yang saya dengar , gajah mada berasal dari riau . tepatnya Pasirpengaraian
kabupaten Rokan Hulu . dan kembali bersemayam di Pasirpengaraian . kalau dari
bahasa riau ,, gajah mada : gajah artinya tetap gajah sedangkan mada artinya kuat,
tahan banting , pantang menyerah. dan bahkan sampai berarti nakal. jadi Gajah Mada
adalah seorang yang bertenaga kuat , tahan banting dan pantang menyerah . ini
berasal dari bahasa Pasirpengaraian .

konon kabarnya , dibangun nya lapangan terbang di pasir pengaraian okak, itu adalah
untuk sarana presiden Suharto datang ke pasir pengaraian untuk menjemput pusaka
atau keris dari peninggalan dari Patih Gajah Mada yang harus langsung di terima
presiden Suharto .

tapi cerita ini belum lah pasti kebenarannya . ini hanyalah cerita yang saya dengar
sedangkan bukti otentik nya tidak lah ada .

Reply

7. Rommie Says:
January 29, 2010 at 7:25 pm

salam kenal mas…, anda luarbiasa, salut deh TOP, kebetulan saya mencintai dan
memaknai legenda sejarah bangsa Indonesia, utamanya yg bersumber dari tanah jawa,
Simbah Gajahmada memang salah satu insan milik bangsa Indonesia yg luarbiasa :
sakti, cerdas, tenang, dan yg paling utama watak dan jiwa kenegaraan beliau setau
saya belum ada duanya di bumi Indonesia ini, meskipun ada juga karakter “nakal”,
bravo buat anda yg bisa mengumpulkan ceritera secara jujur, selamat dan sukses
selalu. Tuhan Memberkati Anda.

Reply

o har Says:
February 5, 2010 at 1:20 pm

Makasih banyak telah menyempatkan diri berkunjung ke sini. Saya tetap


beranggapan bahwa sebenarnya Indonesia adalah negara besar. Sayang
sekarang ini kita tidak bisa merevitalisasikan kecermelangan masa lalu. Anda
benar, Indonesia saat ini sangat membutuhkan negarawan sejati.
Sukses selalu.

Reply

8. gigan Says:
February 25, 2010 at 2:24 pm

salam kenal pak,postingnya sangat bagus.bisa tambah wawasan.saya dulu murid smpn
1 tikung angkatan ’88.salam buat guru2 smpn 1 tikung

Reply

o har Says:
February 25, 2010 at 11:53 pm

Terima kasih telah ber-silaturrahmi ke sini. Saya membayangkan, betapa


hebohnya andaikata alumni SMPN 1 Tikung mengadakan reuni akbar, mulai
angkatan 80-an sampai 2000-an. Pasti seru. Sayang ya… belum ada pionir-
pionir alumnus SNeT yang mengkoordinasikannya.
Salam, sukses selalu.

Reply

9. syafa azzam Says:


July 19, 2010 at 1:24 pm

mantab Pak, tulisan yang membuka alam pikiran dan khayal betapa indonesia pernah
punya orang sehebat GAJAH MADA

Reply

o har Says:
August 28, 2010 at 7:49 pm

Terima kasih telah menyempatkan diri memberikan komen.


Salam hangat.

Reply

10. fadlyrahman Says:


December 4, 2010 at 8:37 am

BENARKAH GAJAH MADA ORANG SUMATERA???


Majapahit mengalami kejayaan saat jabatan Mahapatih dipegang oleh Gajah Mada,
dan Majapahit mengalami kemunduran setelah ditinggal oleh Gajah Mada Apalagi
setelah wafatnya Raja Hayam wuruk. Kehebatan Gajah Mada meninggalkan misteri
tentang sejarah dirinya, didalam Nagarakretagama dan Pararaton tidak ada yang
mengungkapkan tentang sejarah diri Gajah Mada. Misteri itu mulai ungkapkan
dikalangan tertentu. Seperti diungkapkan oleh sebagian masyarakat Melayu yang
mengatakan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari Dara Petak.[1] Cerita tersebut
belum terlalu kuat kebenarannya. Menurut kepercayaan masyarakat Bali yang tertulis
dalam kitab Usana Djawa, Gajah Mada dilahirkan di pulau Bali Agung dan pada suatu
ketika berpindah ke Majapahit. Gajah Mada tidak mempunyai Ibu dan Ayah,
melainkan terpancar dari dalam buah kelapa sebagai penjelmaan Sang Hiang Narajana
ke atas dunia[2]. Menurut Mohammad Yamin, menduga bahwa Gajah Mada
dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan diantara kaki gunung
Kawi-Arjuna.[3] Cerita rakyat Lamongan mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah
anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo, Lamongan). Di wilayah
Lamongan bernama Pamotan.[4]

Patung Gajah Mada


Siapa sebenarnya Gajah Mada? Pada tahun 1285 raja Kertanegara mengirimkan
utusan ke Kerajaan Sriwijaya dibawah pimpinan Kebo Anabrang dan Mahapatih
Singosari Adityawarman membawa piagam Amoghapaca dan menawarkan (melamar)
pernikahan kepada kepada dua putri kerajaan Sriwijaya yang dikenal dengan sebutan
Pamalayu, karena hadiah tersebut Sri Maharaja srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa dan segenap rakyat Sriwijaya sangat gembira.

Chu-fan-chi yang disusun pada masa dinasti Sung (960 – 1279) menyebutkan wilayah
kekuasaan Kemaharajaan Melayu yang pusat kekuasaannya di Dharmasraya terdiri :

1) Pong-fong (Pahang)

2) Tong-ya-nong (Terengganu)

3) Ling-ya-si-kia (Langkasuka)

4) Ki-lan-tan (Kelantan)

5) Fo-lo-an (Selangor Selatan)

6) Ji-lo-ting (Jelotong)

7) Ts’ien-mai (Seumawe)
Pa-t’a (Batak)

9) Tan-ma-ling (Tamralingga)

10) Kia-lo-hi (Grahi)

11) Pa-lin-fong (Palembang)

12) Sin-to (Sunda)


13) Kien-pi (kampai)

14) Lan-mu-li (Lamuri)[5]

Kemudian para utusan dari Kerajaan Singosari kembali ke tanah Jawa dengan
membawa dua orang putri Melayu yakni Dara Petak dan Dara Jingga yang merupakan
putri-putri dari Maharaja Sriwijaya Trailokya Maulibhusanawarmadewa. Perjalanan
ke Jawa sangat jauh dan berbahaya apalagi dua putri Maharaja tersebut dibawa oleh
orang-orang yang belum dikenal dengan baik oleh mereka. Maharaja memerintahkan
beberapa orang prajurit tangguh untuk mengawal kedua putri tersebut diantaranya
adalah Gajah Mada yang masih masih berusia muda.

Gajah Mada bukan nama yang sebenarnya, itu hanya sebuah julukan atau gelar yang
diberikan kerajaan. Dahulu Maharaja Melayu selalu memberi julukan atau nama
kehormatan untuk para prajurit-parajurit terbaik mereka dan selalu menggunakan
nama-nama binatang seperti Harimau Campo, Kucing, Kambing Hutan, Anjing
Mualim, Gajah Tongga Ada juga dengan dengan sebutan si Binuang, Sigumarang, Si
Kinantan, Si Kumbang dan banyak lainnya.[6] Pemberian gelar tersebut masih
dilaksanakan sampai saat ini bagi orang-orang yang berjasa untuk Negara. Nama-
nama kehormatan itu selalu mempunyai arti dan makna begitu juga dengan sebutan
Gajah Mada. Mada dalam bahasa Melayu dialek Minangkabau diartikan sebagai
Bandel atau tidak bisa diatur, Jadi Gajah Mada itu maksudnya binatang yang
berbadan besar yang tidak bisa diatur atau Gajah Bandel. Ketangguhan dan kesetiaan
Gajah Mada dan rekan-rekannya terhadap kerajaan sudah diakui sehingga mereka
mendapat kepercayaan untuk mengawal putri-putri kerajaan ke Tanah Jawa.

Sampai di tanah Jawa mereka tidak menemukan lagi Kerajaan Singosari dan
Kertanegarapun telah meninggal dunia. Pada saat itu telah berdiri kerajaan baru yang
bernama Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya (Kertajasa Jayawardhana).
Raden Wijaya memperistrikan Dara Petak yang kemudian melahirkan Raja Majapahit
berikutnya yakni Jayanegara dan Dara Petak mendapatkan posisi sebagai Permainsuri
kerajaan Majapahit, sedangkan Dara Jingga diperistri oleh Mahapatih Dyah
Adwayabhrahma yang melahirkan Adityawarman yang kelak menjadi Maharaja tanah
Melayu. Semasa Dara Petak menjadi Permaisuri dan Jayanegara sebagai putra
Mahkota Majapahit, Gajah Mada dipercaya sebagai prajurit istana (Bhayangkara)
yang mengawal mereka. Dahulu seorang prajurit istana atau pengawal keluarga
kerajaan merupakan orang terdekat dan bisa dipercaya. Dikarenakan Gajah Mada
yang sejak awal sudah dipercaya oleh Kerajaan Melayu/Sriwijaya untuk mengawal
putri Dara Petak hingga pada masa di Majapahit dipercaya untuk memimpin prajurit
Bayangkara yang mengawal Dara Petak beserta putranya.

Pada tahun 1309, Raja Kertajasa Jayawardhana meninggal dunia, yang kemudian
posisi Raja digantikan oleh Jayanegara. Naiknya Jayanegara dapat pertentangan dari
berbagai kalangan di Istana Majapahit termasuk patih Nambi dan Wiraraja
dikarenakan Jayanegara adalah keturunan Melayu dan bukan keturunan asli Singosari.
Maka terjadilah pemberontakan keduanya, yang akhirnya dapat dipadamkan.
Ketidakpuasan didalam istana berlanjut, terjadi pemberontakan Kuti dan Semi.
Bermula dari peristiwa inilah, Karir Gajah Mada naik setelah dia berhasil
menyelamatkan Raja Jayanegara dari serangan Kuti dan Semi. Kemudian Gajah Mada
juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Atas jasanya itu, Gajah Mada di
angkat menjadi Patih Kahuripan dan dua tahun kemudian dipercaya sebagai Patih
Kediri.

Terjadi suatu peristiwa pembunuhan Raja Jayanegara oleh tabib Kerajaan yang
bernama Tanca. Pada saat Raja sedang mengalami sakit bisul seperti biasa Tanca
dipanggil untuk mengobatinya tapi ternyata dibalik itu ada maksud untuk
menyingkirkan Raja Jayanegara. Dalam Penjagaan oleh Gajah Mada tanpa curiga
akhirnya Tanca berhasil membunuh Raja Jayanegara. Dengan sangat terkejut, Gajah
Mada Spontan menarik kerisnya dan menancapkan ketubuh Tanca hingga tewas.
Peristiwa Tanca ini merupakan bagian dari pertentangan dan ketidaksenangan dalam
istana kepada Raja Jayanegara. Sepeninggal Jayanegara, terjadi kekosongan
kekuasaan.

Akhirnya Gajah Mada mengangkat Putri Tribuanatunggadewi sebagai Ratu Majapahit


dan bersama saudarinya Rajadewi memerintah Majapahit bersama-sama.
Pengangkatan seorang wanita sebagai pemimpin Majapahit tidak masalah bagi Gajah
Mada, dikarenakan dikampung halamannya seorang wanita atau ibu sangat dihormati
(Bundo Kanduang). Karir Gajah Mada makin meningkat, setelah berhasil
menaklukkan pemberontakan Keta dan Sadeng. Akhirnya Gajah Mada diangkat
sebagai Patih Majapahit. Kemudian didepan Ratu Tribuanatunggadewi, Gajah Mada
bersumpah untuk menaklukan Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit dan sumpah
tersebut dikenal dengan Sumpah Palapa.

(Tonggak Gajak Mada). Konon saat mengucapkan Sumpah Palapa, Gajah Mada
Menancapkan Tonggak ini
Bersama dengan Adityawarman dan rekan-rekan lainnya, Gajah mada berhasil
menaklukan Nusantara seperti Palembang, Tumasik (Singapura), Pulau Bintan,
Aru/Barumun, Tanjung Pura, Pahang, dan sebagainya. Pada masa Hayam Wuruk,
Gajah Mada memperluas taklukan seperti Pulau Seram, Bima, ambon, Buton, Sumba,
Timor, Makasar dan sebaginya. Keberhasilan ini membuat Gajah Mada diangkat
sebagai Mahapatih Majapahit. Ada beberapa kerajaan yang belum takluk dalam
kekuasaan Majapahit yakni Kesultanan Samudera/Pasai dan Kerajaan Sunda Galuh.
Kerajaan terakhir ini, yang membuat karir Gajah Mada jatuh.

Pada tahun 1357, Hayam Wuruk yang telah menggantikan ibunya sebagai penguasa
Majapahit, ada keinginan untuk berusaha menundukan kerajaan Sunda Galuh dengan
cara perkawinan. Hayam Wuruk melamar putri dari Maharaja kerajaan Sunda Galuh
yang bernama Dyah Pitaloka. Pada saat acara lamaran berlangsung, Gajah Mada
mempunyai keinginan kerajaan Sunda Galuh menggabungkan diri dan menjadi
kerajaan bawahan Majapahit. Gajah Mada telah banyak belajar dari sejarah
Majapahit, seperti yang dilakukan Kerajaan Melayu/Sriwijaya yang telah menerima
lamaran raja Kertanegara dari Singosari dan mengizinkan salah satu putrinya menjadi
istri raja Kertanegara walaupun akhirnya putri Dara Petak menikah dengan Raden
Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Kertanegara yang merupakan pendiri
Kerajaan Majapahit yang mengaku sebagai penerus Kerajaan Singosari.

Keinginan Gajah Mada tidak disambut dengan baik pihak Kerajaan Sunda Galuh,
hingga terjadi perang bubat yang mengakibatkan tewasnya rombongan pengantin
termasuk Maharaja Sunda Galuh dan akibatnya lagi, putri Dyah Pitaloka yang
mengetahui kejadian ini akhirnya bunuh diri. Hayam Wuruk marah dan memecat
Gajah Mada sebagai Mahapatih, kejadian itu berlangsung selama dua tahun. Tidak
ada yang bisa mengantikan kepiawaian Gajah Mada dalam memimpin kepatihan
Majapahit dan akhirnya Gajah diangkat kembali walaupun kekuasaannya sudah
dibatasi.

Pada tahun 1364, keinginan Gajah Mada pulang ke kampung halaman untuk
menghabiskan sisa hidupnya sangat besar, apalagi Adityawarman telah menjadi
Maharaja Suwarnabhumi. Seperti pepatah Melayu mengatakan Hujan Emas di negeri
orang, Hujan Batu di negeri sendiri yang maksudnya seenek-enaknya hidup dinegeri
lain lebih enak lagi menghabiskan hidup dinegeri sendiri. Penemuan kuburan yang
diduga makam Mahapatih Gajah Mada di Bengkulu Utara memperkuat asal usulnya
sebagai orang Melayu. Penemuan ini merupakan suatu bukti sejarah yang sangat
berharga.[7] Sejarah Gajah Mada yang disamar-samarkan menjadi jelas.

Sepeninggal Raja Hayam Wuruk dan Gajah Mada, terjadi pergolakan untuk
memperebutkan tahta Raja. Tahta Raja Majapahit berikutnya dikuasai oleh
Wikramawardhana yang merupakan keponakan dari Hayam Wuruk, sedangkan putra
Hayam Wuruk yang bernama Wirabumi merasa berhak mendapatkan kedudukannya
sebagai raja Majapahit. Pada tahun 1400, Wikramawardhana menyatakan mundur
sebagai raja dan memberikan kekuasaan kepada anaknya Ratu Sugita. Hal ini
membuat Wirabumi makin tidak senang, terjadilah pemberontakan selama bertahun-
tahun. Untuk membantu putrinya memadamkan pemberontakan, Wikramawrdhana
kembali dari pertapaannya yang akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
dan menewaskan Wirabumi. Sejak saat itu, Majapahit kehilangan kewibawaannya
dimata kerajaan bawahannya. Sehingga beberapa raja-raja bawahan menyatakan
kemerdekaannya dari Majapahit.

Jakarta, Fadly Rahman

Sumber :

[1] Basril Basyar dan Ampera Salim, Prosesi Penobatan SBY Yang Dipertuan
Maharajo Pamuncak Sari Alam, Website Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, 22
September 2006, Hal 4

[2] Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan Nusantara, Penerbit Balai Pustaka,
tahun 1953

[3] http://www.igardu.com, Wied, Peradaban Nusantara, Gajah Mada, dari mana


asalmu?, 17 Nopember 2007

[4] Sujatmiko, Asal-usul Patih Gajah Mada asli Lamongan Diteliti,


http://www.tempointeraktif.com, 22 juni 2009

[5] Prof. DR. Slamet Muljana, Sriwijaya, Penerbit LKIS, Tahun 2006

[6] Ampera Salim, Sejarah yang tercecer, Nagari tertua di Ranah Minang,
http://www.sumbarprov.go.id, Hal 1
[7] http://www.sinarharapan.co.id/berita/01017/23nus09.html, Diduga Makam Gaja
Mada, Sinar Harapan, Senin 23 Juli 2001

Reply

o har Says:
December 7, 2010 at 1:01 pm

Wah, senang dapat komen dari Pak Fadlyrahman, seorang entrepreneur muda
berbakat, seorang yang multi-talenta.
Sangat menarik menyimak analisa Pak Fadly. Sebagaimana saya sampaikan di
bagian awal posting saya, penelusuran asal-usul Gajah Mada dari Sumatera
sebenarnya merupakan pengembangan dari adanya pengkaitan nama Gajah
Mada dengan istilah atau sebutan yang menjadi ciri khas lokalitas atau daerah
tertentu. Gajah merupakan hewan khas Sumatera, sedangkan Mada dalam
bahasa setempat diartikan nakal/bandel.
Di Kalimantan, berkaitan dengan nama tokoh pemangku adat setempat: ‘Jaga
Mada’.
Di NTB, berkaitan dengan legenda tokoh ‘Ombu Mada Roo Fiko’.
Di Jawa Timur, berkaitan dengan nama tempat/desa: (1) Desa Maddha di
sekitar G. Semeru, yang merupakan pengembangan versi Bali. (2) Desa Modo,
Lamongan, yang waktu mudanya Gajah Mada lebih dikenal sebagai Joko
Modo (pemuda dari Modo). Untuk versi terahir ini telah dijabarkan di posting
saya, termasuk juga tentang Ibu Gajah Mada dan tinjauan geografis. Nah,
beberapa pendapat juga menyatakan ada keterkaitan dengan pengubahan bunyi
“O” menjadi “A” dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia, seperti:
Suroboyo-Surabaya, Mojopahit-Majapahit, Jowo-Jawa, Kalijogo-Kalijaga,
demikian juga Gajah Modo-Gajah Mada.

Kembali ke analisa Pak Fadly. Tentu hal utama dalam pencatatan sejarah
adalah waktu terjadinya peristiwa. Ketika pada tahun 1285 Kertanegara
mengirimkan utusan ke Sriwijaya (Melayu), pada saat itu, di Melayu,
dinyatakan bahwa pemuda Gajah Mada telah menjadi pengawal putri kerajaan,
Dara Petak. Dengan demikian Gajah Mada dilahirkan sekitar 15-20 tahun ke
belakang, yaitu sekitar tahun 1270. Ini menjadi hal menarik, memunculkan
kembali pertanyaan: apakah Gajah Mada dilahirkan Pada masa era Singosari
(sebelum Majapahit), ataukah di awal berdirinya Majapahit? Jika mengacu
pada versi P Fadly berarti ketika Majapahit berdiri, usia Gajah Mada sekitar
20 tahun. Berikutnya, Majapahit melakukan ekspansi besar-besaran di era
pemerintahan Hayam Wuruk (1350), pada saat tersebut usia Gajah Mada telah
80-an? Tentu bukanlah usia yang produktif di mana pada masa itulah jaman
kejayaan Gajah Mada.
(referensi: wikipedia-majapahit)

Hal lain berkaitan dengan nama Gajah… Meskipun gajah pada saat itu hanya
ada di Sumatera, apakah menjadikan orang-orang di luar Sumatera tidak
mengetahui tentang hewan tersebut? Para sejarawan sepakat bahwa ada
ikatan/hubungan yang kuat antara Majapahit dengan kerajaan-kerajaan di
Sumatera. Terjadi saling mengunjungi antara Majapahit dengan
Sriwijaya/Pamalayu. Jadi penduduk Majapahit, dari mulut ke mulut,
mengetahui cerita tentang tipikal hewan Gajah, di antaranya berbadan besar,
sebutan yang sesuai dengan perawakan Gajah Mada. Selain itu, di setiap
kerajaan biasanya memberikan gelar khusus kepada para tokoh-tokoh dari
negara sahabat yang dianggap berjasa atau memiliki kemampuan luar biasa.
Boleh jadi nama Gajah tersebut merupakan pemberian gelar buat tokoh
Majapahit…

Terlepas dari benar tidaknya semua versi asal-usul Gajah Mada, termasuk dari
Sumatera, ada satu poin penting yang bisa ditarik dari sejarah Gajah Mada.
Majapahit besar, dibangun dari adanya pluralisme. Pada masa di mana antar
kerajaan dibangun berdasarkan kesamaan ras dan etnis, Majapahit telah
menelurkan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah pemikiran yang sangat
visioner melihat kondisi keberagaman nusantara. Konsep itu pun pastilah
berdasarkan kenyataan bahwa di tubuh pemerintahan Majapahit sendiri diisi
oleh orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda, bukan hanya etnis
lokal.
Jadi, bangsa yang besar bukan dibangun dari eksklusivisme tapi dari
inklusivime dan pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada kenyataan
pluralisme.

Terima kasih pencerahannya P Fadly. Saya tunggu komen-komen berikutnya.


Semoga terus terlahir buku-buku dan karya-karya kritisnya… Sukses selalu.

Reply

 dildaar80 Says:
January 16, 2011 at 12:07 pm

Apakah pada jaman itu sudah ada kebun binatang kerajaan yg memuat
berbagai binatang?
Gajah juga menjadi kendaraan militer. Diimpor dari tempat asal Gajah.
Termasuk Gajah, sehingga penduduk Jawa mengenal Gajah dari situ.

Sejarah Panji Laras Liris


Ditulis Oleh KPDE Lamongan
Sunday, 15 June 2008
Sebuah tradisi yang diduga berhubugan dengan sejarah leluhur Lamongan,Panji Laras
Liris,masih di ugemi sebagian warga Soto.yakni ,calon pengantin perempuan harus
meminang(melamar)calon pengantin laki-laki.

Tradisi ini masih berhubungan dengan sejarah salah satu leluhur Kab.Lamongan yang
bernama Mbah Sabilan.Dalam riwayat panji laras liris di ungkapakan,pada sekitar tahun 1640-
1665 Kab.Lamongan dipimpin Bupati ketiga.Yakni, Raden Panji Puspa kusuma dengan gelar
Kanjeng Gusti Adipati.Bupati itu mempunyai dua putra yaitu panji laras dan panji
liris,sehingga mengakibatkan dua putri dari Adipati Wirasaba(wilayahnya sekitar kertosono
nganjuk) yakni Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari jatuh hati.

Karena Adipati Wirasaba didesak oleh ke dua putrinya akhirnya beliau menuruti keinginan
putrinya untuk melamar panji laras dan panji liris di Lamongan,yang pada saat itu wirasaba
belum memeluk agama islam,sedangkan di Lamongan islam sudah sangat melekat.

Untuk menyikapi hal itu panji laras dan liris meminta hadiah berupa dua genuk dan dua tikar
yang terbuat dari batu, sebab genuk mangandung isyarat tempat untuk mengambil air wudhu
sedangkan tikar untuk sholat yang mempunyai tujuan agar Dewi Andansari dan Dewi
Andanwangi mau masuk islam.

Kemudian Adipati wirasaba memenuhi permintaan itu,dan ke dua putrinya membawa


langsung benda-benda tersebut dengan naik perahu yang di kawal oleh prajurit.Kedatangan ke
dua putri tersebut di sambut langsung oleh panji laras liris di pinggir kali lamongan.

Ketika akan turun dari perahu kain panjang Dewi Andansari dan Dewi Andawangi terbuka
dan kelihatan betisnya.Melihat betis ke dua putri tersebut panji laras maupun panji liris
tercengang ketakutan karena melihat betis ke dua putri itu berbulu lebat.

Hal itu merupakan suatu penghinaan bagi prajurit Wirasaba,kemudian mereka mengejar panji
laras dan panji liris demikian pula prajurit dari lamongan juga harus melindungi kedua
pemuda tersebut yang akhirnya terjadi perang Babad.Dalam perang tersebut panji laras dan
panji liris tewas,termasuk Pati Mbah Sabilan.

Jenazah mbah Sabilan dimakamkan dikelurahan Tumenggungan ,sedangkan jenazah panji


laras dan panji Liris tidak ditemukan yang saat ini nama panji Laras dan panji Liris dan Dewi
Andansari serta Dewi Andanwangi menjadi nama jalan di kota lamongan.Jalan tersebut di beri
nama jalan Laras-Liris dan jalan Andanwangi serta jalan Andansari

Mbah Sabilan maupun panji laras dan panji liris dinilai meninggal dunia ketika sedang
berjuang untuk syiar Islam.

Berikut pergelaran Seni budaya 2007 dan menampilkan tarian Panji Laras Liris di TMII tahun
2007

You might also like