You are on page 1of 23

1

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA


DALAM PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006
TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

Chandra Darusman S, S.H.*)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang berbentuk

republik. Sebagai wujud negara kepulauan, Indonesia terbagi dalam beberapa

daerah provinsi dengan status otonomi yang seluas-luasnya. Hal tersebut

ditandai dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 disebutkan bahwa:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah


provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, and Walikota masing-masing sebagai kepala
pemrintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.

*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana


Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun,
Hukum dan Perundang-undangan (La-QUHP) Aceh

1
2

Pasca amandemen UUD 1945 telah terjadi pergeseran system

pemerintahan daerah, dimana pada masa orde baru masih menekankan system

sentralistik berubah menjadi system desentralisasi. Pemberian status otonomi

kepada pemerintahan daerah ditujukan guna mempermudah daerah dalam

melakukan pembangunan disegala bidang.

Salah satu daerah propinsi yang mendapatkan status otonomi

khusus dalam lingkup negara Indonesia adalah Aceh. Pemberian Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk

tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan

kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah

ditanggapi secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun

eksekutif bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga

swadaya masyarakat.

Hal tersebut ditandai dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dimana sebelumnya telah diberlakukan UU No. 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Sementara itu,

payung hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur

dalam undang-undang Perubahan isi pasal 18 UUD 1945 menghendaki


3

pengaturan yang lebih ketat dari UU No. 22 Tahun 1999, yang dituangkan

dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagai berikut :

a. Prinsip Otonomi Daerah, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hirarkis


Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945
UU No.32 Tahun 2004 menganut asas otonomi luas
b. Pemilihan Kepala Daerah, dengan menganut sistem pemilihan lansung
memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih sendiri kepala
daerah dan wakilnya
c. Pertanggungjawaban Kepala Daerah, UU No, 32 Tahun 2004
menggariskan bahwa pemerintah daerah tidak bertanggungjawab
kepada DPRD adalah (hubungan kemitraan)
d. .Sistem Pengawasan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ketentuan
tentang pengawasan diseimbangkan dengan pembinaan melalui
pengawasan represif yakni pengawasan berupa produk-produk daerah
dengan cara dan sampai waktu tertentu. Seperti Perda, kepkeda,
khususnya retribusi, pemungutan pajak
e. Keuangan Daerah, berdasarkan pasal 79 UU Tahun 1999 digariskan
bahwa sumber pendapatan daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah
dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri
dari DAU dan DAK
f. Kepegawaian Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa
kebijakan kepegawaian dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan manajemen kepegawaian di daerah menyangkut mutasi dan
pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan oleh kepala daerah tanpa
ada keharusan untuk berkonsultasi dengan gubernur atau pemerintah
pusat. Pada pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen PNS di daeran
dalam satu kesetaraan penyelenggaraan manajemen PNS secara
nasional. Dan di dalam pasal 130 disebutkan bahwa pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian pada jabatan eselon II pada
pemerintah provinsi ditetapkan oleh gubernur dan eselon II pada
pemerintah kabupaten dan kota ditetapkan oleh bupati dan walikota
setelah berkonsultasi dengan gubernur.
g. Pemberhentian Kepala Daerah.
h. KKN di Daerah
i. Penyebab KKN

Penyempurnaan otonomi khusus dilakukan dengan ditetapkan UU

No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagai pengganti UU No.

18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh


4

Darussalam. Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan

umum UUPA yang menyatakan:

“…Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang


Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian
otonomi seluasluasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan
mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance
yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif
dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh.
Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat
Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan,
melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan
daerah.”

Terkait kewenangan pemerintahan disebutkan dalam Pasal 12 UU

No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa:

(1) Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota menyelenggarakan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali yang menjadi
kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2).
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan
Aceh/kabupaten/kota.

Sementara itu urusan wajib pemerintahan kabupaten/kota meliputi

diantaranya:

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota


merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
5

j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup;


k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; dan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
1
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.

Sebagai wujud kemandirian otonomi, pemerintah kabupaten/ kota

dapat mendayagunakan sumber daya alam dalam melaksanakan

pembangunan baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan

suprastruktur.

Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud di atas,

Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan mempunyai

fungsi :

(1) pelaksanaan pengelolaan dan analisa data hasil program dan kegiatan
pembangunan daerah;
(2) Pelaksanaan pemantauan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan hasil
program dan kegiatan pembangunan di daerah;
(3) pelaksanaan penyajian data dan informasi perencanaan pembangunan
di daerah;
(4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan pembangunan di daerah;
(5) pelaksanaan koordinasi dengan instansi dan atau lembaga terkait
lainnya di bidang penelitian, pengembangan, pengendalian dan
evaluasi pembangunan; dan
(6) pelaksanaan tugas-tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sesuai dengan tugas
dan fungsinya.

Melihat ketentuan yang telah disebutkan di atas, implementasi di

lapangan menunjukkan bahwa pemerintah kota/kabupaten dalam melakukan

pengembangan pembangunan belum sesuai dengan standard an norma yang

berlaku. Dimana pembangunan yang dilakukan di Aceh tidak didahului

1
Pasal 17 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
6

dengan ketentuan yang berlaku. Pada tahap perumusan kebijakan seharusnya

pemerintah kabupaten/ kota diharuskan melakukan beberapa hal yaitu:

a) Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian


pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.
b) Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
c) Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah
kecamatan/desa.

Selain itu, setiap pembangunan yang dilakukan tidak adanya

penetapan dan pertimbangan tentang dampak dari pembangunan tersebut

terhadap masyarakat, sehingga setiap pembangunan lebih banyak

mengganggu aktifitas masyarakat sebagaimana biasanya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil

beberapa rumusan masalah diantaranya:

1. Apakah pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan perencanaan

pembangunan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?

2. Bagaimanakah dampak dari perencanaan pembangunan yang tidak

mengedepankan aspek kesejahteraan masyarakat?

3. Bagaimanakah solusi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan

pembangunan?
7

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pemerintah kabupaten/kota dalam

melakukan perencanaan pembangunan telah sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

2. Untuk mengetahui dan mengkaji dampak dari perencanaan

pembangunan yang tidak mengedepankan aspek kesejahteraan

masyarakat

3. Untuk mengetahui dan mengkaji solusi yang dapat diterapkan dalam

pelaksanaan pembangunan

D. KERANGKA PIKIR

a. Landasan Teoritis

1) Teori Negara Hukum

Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan

dalam dua pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal

(sempit/klasik) ialah negara yang kerjanya hanya menjaga agar jangan

sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum,

seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-undang),

yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya

secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau


8

penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam

lapangan ekonomi adalah prinsip laiesez, faire, laiesizealler.2

Kedua, negara hukum dalam arti materiil (luas modern) ialah

negara yang terkenal dengan istilah welfare state (walvaar staat),

(wehlfarstaat), yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-

luasnya, yaitu keamanan sosial (sosial security) dan menyelenggarakan

kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan

adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan

terlindungi. 3

Dalam perkembangannya negara hukum, unsur-unsur yang

dikemukakan oleh F.J. Stahl tersebut kemudian mengalami

penyempurnaan yang secara umum dapat dilihat sebagaimana tersebut:

a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan


rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban
harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah
pengaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;

2
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3
3
Ibid.
9

g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian


yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran
negara. 4

Perumusan tentang konsep negara hukum juga pernah dilakukan

oleh International Commission of Jurist, yakni organisasi ahli hukum

internasional pada tahun 1965 di Bangkok. Organisasi ini merumuskan

tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hukum/pemerintah yang

demokratis yang diperkenal ulang oleh Dahlan Thaib, yakni:

a) Adanya proteksi konstitusional,


b) Pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
c) Pemilihan umum yang bebas,
d) Kebebasan untuk menyatakan pendapat,
e) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan oposisi,
f) Pendidikan kewarganegaraan5

Berdasarkan perspektif teori di atas, maka dalam kaitannya

dengan keberadaan pemerintah daerah (pemerintah kabupaten/kota)

merupakan organ/ lembaga yang terpisah dengan pemerintah daerah.

Dimana kewenangan pemerintah daerah diatur tersendiri dalam konstitusi.

Namun disatu sisi, keberadaan pemerintah daerah ditinjau dari

kewenangan merupakan pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat, hal

ini ditandai dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

4
Sri Sumantri, Prosedur dan Tata Cara Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
2001, hal. 31
5
Dahlan Taib, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 43
10

2) Konsep Otonomi Daerah

Otonomi pada dasarnya adalah sebuah konsep politik (pendapat

Koesoemahatmadja, dan Miftah Thoha). Dari berbagai pengertian

mengenai istilah ini, pada intinya apa yang dapat disimpulkan bahwa

otonomi itu selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian

kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonom jika sesuatu

itu dapat menentukan dirinya sendiri, membuat hukum sendiri dengan

maksud mengatur diri sendiri, dan berjalan berdasarkan kewenangan,

kekuasaan, dan prakarsa sendiri. Muatan politis yang terkandung dalam

istilah ini, adalah bahwa dengan kebebasan dan kemandirian tersebut,

suatu daerah dianggap otonom kalau memiliki kewenangan (authority)

atau kekuasaan (power) dalam penyelenggaran pemerintahan terutama

untuk menentukan kepentingan daerah maupun masyarakatnya sendiri. 6

Harris menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah (local self

government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badanbadan

daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi

pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi

(kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol

oleh kekuasaan yang lebih tinggi.

De Guznon dan Taples menyebutkan unsur-unsur Pemerintahan

Daerah yaitu :

6
J. Kaloh, Hukum Pemerintahan Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 12
11

a. Pemerintahan Daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan bangsa


dan Negara;
b. Pemerintahan Daerah diatur oleh hukum;
c. Pemerintahan Daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih
oleh penduduk setempat;
d. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan
peraturan perundangan;
e. Pemerintahan Daerah memberikan pelayanan dalam wilayah
jurisdiksinya.

Dengan merujuk pada uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

otonomi daerah berhubungan dengan Pemerintahan Daerah otonom (Self

Local Government). Pemerintahan Daerah otonom adalah Pemerintahan

Daerah yang badan pemerintahannya dipilih penduduk setempat dan

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri

berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan

kedaulatan nasional. 7

Keberadaan otonomi daerah di Indonesia merupakan proses

menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, sesuai dengan amanat

Konstitusi. Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi

pemerintah pusat terhadap daerah dalam rangka mengurus rumah

tangganya. Aspek demokrasi yang dimaksud disini adalah adanya

optimalisasi peran serta masyarakat di daerah dalam membangun atau

mengurus daerahnya sesuai dengan prakarsa dan kreativitas masyarakat

tanpa semuanya harus di urus oleh pusat.

7
Agus Salim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum. Bogor
: Ghalia Indonesia. 2007, hal 114
12

3) Asas Pelaksana Otonomi Daerah

Berbicara landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan

dijumpai tiga asas pokok yag selama ini sering digunakan banyak Negara

yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan

(medebewind).

- Asas Desentralisasi

Pemaknaan asas desentralisasi mejadi perdebatan

dikalangan para pakar, dari pemaknaan para pakar tersebut Agus

Salim Andi Gadjong mengklasifikasikan desentralisasi sebagai

berikut:

1) Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan


kekuasaan dari pusat ke daerah
2) Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan
kewenangan
3) Desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran,
dan pemberian kekuasan dan kewenangan
4) Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan
pembentukan daerah pemerintahan.

Sementara itu, Logemen membagi desentralisasi menjadi

dua macam yakni pertama dekonsentrasi atau desentralisasi

jabatan (ambelitjke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan

dari tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan

pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Kedua

desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige decentralisatie) yaitu

pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada

daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya, dari desentralisasi


13

ini dapat dibagi dalam dua macam yakni desentralisasi teritorial

dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah

penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud

adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah

penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi

tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu

sendiri. 8

Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah

dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep daerah otonom

dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur

dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan

substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat yang

memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak

pembentukan daerah otonom. 9 Yang perlu kejelasan lebih lanjut

adalah materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah.

Oleh karena itu, disamping pembentukan daerah otonom tercakup

dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang

atau disebut oleh perubahan Pasal 18 UUD 1945 urusan

pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan


8
Harsasi dan Muh. Dawam, Faktor Yang Mempegaruhi Keberhasilan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (Analisis Sosio-Ekonomi-Budaya), Lembaga Penelitian Universitas Terbuka,
2002, hal. 21
9
Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam
Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV Utomo, Bandung, 2005, hal. 44
14

pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara

Pemerintah dan daerah otonom. 10

Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah

ialah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan

oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk

diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan

kemampuannya daerah. 11

- Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari

pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah

dan/atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka Negara

Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat

memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi

kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan

keputusan.

Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi,

dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi, tetapi desentralisasi tidak

selalu berarti dekonsentrasi. Stronk berpendapat bahwa

dekonsentrasi merupakan perintah kepada para pejabat

10
Bhenyamin Hoessein, Makalah: Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, Disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dalam Jangka Panjang, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengernbangan Otonomi Daerah,
BAPPENAS, tanggal 27 November 2002, hal 4
11
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta:PSH FH-UII, 2001
hal. 174
15

pemerintah atau dinas-dinas yang bekerja dalam hierarchi dengan

suatu badan pemerintahan untuk mengindahkan tugas-tugas

tertentu dibarengi dengan pemberian hak mengatur dan

memutuskan bebetapa hal tetentu dengan tanggung jawab terakhir

tetap berada pada badan pemerintahan sendiri.

Menurut Laica Marzuki dekonsentrasi merupakan

ambtelijke decentralisastie atau delegative van bevoegdheid,

yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di

pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan

tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan

Pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan

melaksanakan tugas atas nama Pemerintahan Pusat.12

- Asas Medbewind (Tugas Pembantuan)

Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan

pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang

kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut.

Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan

tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang

tersusun secara vertikal. Jadi medebewind merupakan

kewajibankewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan

yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu:

12
Laica Marzuki, Berjalan-jalan Di Ranah Hukum, Pikiran Lepas Laica Marzuki,
Sekjen MKRI, Jakarta, 2006, hal. 54
16

1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga


daerah-daerah otonom untuk melaksanakannya.
2) Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom
itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala
sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan
mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu,
3) Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya
daerahdaerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat
pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.

Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat

“membantu” dan tidak dalam konteks hubungan “atasan-

bawahan”, tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah

tidak mempunyai hak untuk menolak. Hubungan ini timbul oleh

atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-

undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan adalah tugas

melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.

Daerah terikat melaksanakan peraturan perundangan-undangan,

termasuk yang diperintah atau diminta dalam rangka tugas

pembantuan.

Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini

dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses

integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena

dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh

daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang

tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. 13

13
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai
Pustaka, Jakarta, 1998, hal 51
17

Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak

hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan

kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi

juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke

masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok

dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.

Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah

yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang

keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa

ini. 14

b. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Pembangunan

Secara Umum

Sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta

masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan

mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta

14
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hal 33
18

potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. 15

Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu

perubahan sosial budaya. Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang

dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan

struktur sosialnya. Jadi bukan hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha

pemerintah belaka. Pembangunan tergantung dari suatu innerwill, proses

emansipasi diri. Dan suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan

hanya menjadi mungkin karena proses pendewasaan.

Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses

multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional,

disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan

ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada

hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan terjadinya perubahan

secara total suatu masyarakat atau penyesuaian system sosial secara

keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan

keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada

didalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang

serba lebih baik, baik secara material maupun spiritual. 16

Apabila pembangunan tersebut adalah Pembangunan ekonomi

yang berusaha untuk meningkatkan output, menciptakan lapangan kerja,


15
Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004
16
Tjokroamidjojo, Bintoro; Mustopadidjaja, Pengantar Pemikiran tentang Teori dan
Strategi Pembangunan nasional, PT.Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal. 61
19

dan mengentaskan kemiskinan, seringkali gagal di masa-masa lampau

hanya karena para ekonom dan perumus kebijakan lainnya lupa bahwa

perekonomian nasional merupakan suatu system sosial utuh, yang terdiri

dari kekuatan-kekuatan ekonomis dan non-ekonomis yang satu sama lain

saling tergantung. Segenap kekuatan itu selalu berinteraksi, terkadang

saling menunjang, tapi tidak jarang pula bersifat kontradiktif. 17

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent

secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi:

a) eksternalitas,

b) akuntabilitas, dan

c) efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan

pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. 18

Pertama, kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam

pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan

dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,

maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota,

apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional

menjadi kewenangan Pemerintah.19

17
Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori
Ekonomi pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 33
18
Baban Sobandi, Desentraliasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah,
Humaniora, Bandung, 2005, hal. 54
19
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Bani
Quraisy, Bandung, 2005
20

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib

dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat

wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan

secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan pemerintahan

wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan

dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup

minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan

yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan

daerah. 20

Urusan wajib yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan

Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi:

a) Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan


syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama;
b) Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c) Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah
materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; danPeran ulama
dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.

Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan

dalam hal:

a) Menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah


Tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan dan
b) Mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan
kewenangan ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota

20
Nyoman Sumaryadi, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra
Utama, Jakarta, 2005, hal. 23
21

Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas

kabupaten/kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu

lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan daerah

kabupaten/kota cukup dikoordinasikan di tingkat kabupaten/kota bagi

kelurahan/desa dan kecamatan yang ada di wilayahnya. Sedangkan usulan

kegiatan yang mencakup lintas kabupaten atau kota dan atau bersifat

strategis propinsi cukup dibahas ditingkat propinsi. 21

Pembangunan daerah yang memerlukan perencanaan sebagai

pedoman pelaksanaan, bertujuan secara umum untuk mensejahterakan

masyarakat daerah. Perencanaan yang efisien dan efektif yang diperlukan

sebagai pedoman pembangunan tersebut memerlukan suatu analisis yang

mendalam. 22 Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan mengetahui

subsektor yang unggul sangat penting dalam perencanaan pembangunan

ekonomi daerah. Sehingga apabila suatu daerah tidak mengetahui kegiatan

apa yang menjadi subsektor unggulan di daerahnya, akan menimbulkan

masalah atau kesulitan bagi daerah tersebut dalam pembangunan daerah.

21
J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan dan Prilaku
Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 54
22
Masykur dan Nur Rif’ah, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, PT Permata
Artistika Kreasi, Jakarta, 2001, hal. 11
22

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1989

Agus Salim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan


Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia. 2007

Baban Sobandi, Desentraliasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah,


Humaniora, Bandung, 2005

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta:PSH FH-


UII, 2001

Dahlan Taib, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Dalam Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV Utomo,
Bandung, 2005

Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi,


Balai Pustaka, Jakarta, 1998

Kaloh, J, Hukum Pemerintahan Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2007

________, Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan dan


Prilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009

Masykur dan Nur Rif’ah, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, PT


Permata Artistika Kreasi, Jakarta, 2001

Nyoman Sumaryadi, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah,


Citra Utama, Jakarta, 2005

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka


Bani Quraisy, Bandung

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar


Grafika, Jakarta, 2008

22
23

Sri Sumantri, Prosedur dan Tata Cara Perubahan Konstitusi, Alumni,


Bandung, 2001

Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori


Ekonomi pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Djambatan,
Jakarta, 1999

Tjokroamidjojo, Bintoro; Mustopadidjaja, Pengantar Pemikiran tentang


Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, PT.Rajawali Press,
Jakarta, 1984

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

C. Jurnal dan Makalah

Harsasi dan Muh. Dawam, Faktor yang Mempegaruhi Keberhasilan


Pelaksanaan Otonomi Daerah (Analisis Sosio-Ekonomi-
Budaya), Lembaga Penelitian Universitas Terbuka, 2002

Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Pikiran Lepas Laica


Marzuki, Sekjen MKRI, Jakarta, 2006

You might also like