You are on page 1of 2

Gus Musleh Mumtazz

Tuhan Maha Suci bersifat berbeda dengan mahluk-Nya. Dia lepas dari segala sifat
kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ini terapresiasi dalam kalimat “tasbih”. Dan, Dia
juga Maha Pencipta atas segala sesuatu di alam raya ini, yang bisa dimanfaatkan dan
dirasakan semuanya oleh manusia sebagai nikmat. Sebagai terima kasih atas itu, bisa
dimanifestasikan dengan pujian kepada-Nya. Ini terapresiasi dalam kalimat "hamdalah".
Keduanya merupakan lafadz dzikir yang ringan diucapkan, berat dalam timbangan amal,
dan disukai oleh-Nya.

“Dua kalimat, keduanya ringan diucapkan lidah,

keduanya berat dalam timbangan amal, dan keduanya disukai Allah adalah Subhâna
Allah wa Bihamdihi Subhâna Allah al-’Azhîm.”

(HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah)

Kata subhâna terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti “menjauh”. Seorang
yang berenang dilukiskan dengan kata sabaha karena pada hakikatnya dengan berenang,
ia menjauh dari posisinya semula.

“Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “menjauhkan Allah dari segala sifat
kekurangan dan ketidaksempurnaan”. Dengan mengucapkan Subhâna Allâh, si pengucap
mengakui bahwa Allah Mahasuci dari segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra,
dikhayalkan oleh imajinasi, diduga oleh waham, atau yang terlintas dalam hati dan
pikiran. Dengan ucapan ini diakui bahwa tidak ada sifat, perbuatan, atau ketetapan-Nya
yang tidak adil, baik terhadap mahluk lain maupun si pengucap.

Ucapan Subhâna Allâh akan mengantarkan seseorang sadar siapa sebenarnya yang
ditimpa malapetaka, apakah cobaan itu baginya atau terjadi akibat kesalahannya sendiri,
dan ketika itu juga timbul kesadaran atau permohonan kiranya ada hikmah di balik hal
tersebut, serta terlintas juga dalam benaknya bahwa malapetaka ini dapat terjadi lebih
parah daripada apa yang telah terjadi. Ini semua pada gilirannya mengundang ucapan
Alhamdulillâh yang muncul dari lubuk hati dan terlontar dari bibirnya. Di sini, antara
lain, terlihat kaitan antara Subhâna Allâh dan Alhamdulillâh.

Kata al-hamd seringkali diterjemahkan dengan “segala puji”. Ada tiga hal yang harus
dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia atau perbuatannya mendapat pujian, yaitu: indah
(baik), diperbuat secara sadar, dan tidak terpaksa/dipaksa. Karena kata al-hamd itu
ditujukan kepada Allah, maka berarti Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi
ketiga unsur yang disebutkan di atas.

Segala puji bagi Allah berarti bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu dan segalanya
diciptakan dengan baik, penuh kesadaran, dan tanpa paksaan. Kalau demikian, maka
segala perbuatan-Nya terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan-Nya jua. Jika
anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada
akhirnya harus dikembalikan kepada Allah Swt, sebab kebaikan dan kecantikan itu
bersumber dari-Nya. Jika anda memuji seseorang karena kekuasaannya, maka pujian
itupun harus tertuju sebelumnya kepada Allah Swt.

Di sisi lain, kalau pada lahirnya ada ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kaca mata
manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah
akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolak ukur penilaiannya. Pasti ada
sesuatu yang luput dari jangkauan pandangan manusia, sehingga penilaiannya menjadi
demikian.

Kematian seorang yang dicintai dapat dinilai oleh yang ditinggal sebagai sesuatu yang
negatif, tetapi ajaran Alhamdulillah mengharuskan pengucapnya menyadari bahwa pasti
ketetapan itu ada baiknya. Walhasil, segala puji bagi Allah.

Selanjutnya, wajar dicatat bahwa tidak ditemukan dalam al-Quran redaksi pujian kepada
Allah Swt, kecuali merupakan pengajaran langsung dari-Nya, baik disebut secara tegas
maupun secara tersirat. Kepada Nabi Nuh As. sebagai rasul pertama, Allah
memerintahkan, “Dan katakanlah: segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami
dari orang-orang yang berbuat aniaya.” (QS. Al-Mu’minûn [23]: 28). Demikian pula
kepada Nabi Muhammad Saw. yang merupakan nabi dan rasul terakhir, “Dan
katakanlah: Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda
kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya.” (QS. An-Naml [27]: 93).

Yang menyebut nama Allah atau memuji-Nya, selalu mendahulukan ucapan Tasbîh
(penyucian Allah). Hal ini dapat juga memberi kesan bahwa ada semacam kehati-hatian
dari para pengucap pujian itu, jangan sampai pujian mereka tidak sesuai dengan
kebesaran Allah Swt. Perhatikanlah firman-Nya pada QS. Asy-Syurâ [42]: 5 : “Malaikat-
malaikat bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.” Demikian juga halnya
dengan makhluk-makhluk lainnya yang dilukiskan oleh QS. Al-Isra’ [17]: 44 yang
menyatakan: “Dan tak ada sesuatu pun kecuali bertasbih sambil memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengetahui tasbih mereka.” Kita pun ketika ruku’ dan sujud mengucapkan
hal yang sama, yakni “Subhâna Rabbiy al-'Azhîmi wa Bihamdihi” dan “Subhâna Rabbiy
al-A’lâ wa Bihamdihi”. Mengapa demikian? Agaknya, karena kita juga tidak mampu
melukiskan dengan kata-kata yang tepat bagaimana seharusnya menyampaikan pujian
kepada Allah Swt. Kita bersyukur bahwa Allah mengajarkan kita redaksi singkat
penyucian dan pujian, di mana Rasul Saw. menyampaikan kepada kita, “Kalimat yang
paling disenangi Allah ada empat, yaitu: Subhâna Allâh, Alhamdu li ِAllâh, Lâ Ilâha Illâ
Allâh, dan Allâhu Akbar. (H.R. Muslim dan Ahmad).

You might also like