You are on page 1of 7

Pesan Didaktif Sang Utuy dalam Drama Sangkuriang*

(Analisis Perbandingan Drama Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani


dengan Cerita Rakyat Sangkuriang)

David Setiadi
180820100503

Pendahuluan

Utuy Tatang Sontani bukan sekedar nama, tetapi bisa merupakan sebuah
tafsir lain yang harus dimengerti. Tentunya ada alasan mengapa harus seperti
itu memaknai sosok seorang Utuy. Dalam geliat kesusastraan Indonesia, nama
Utuy Tatang Sontani merupakan sebagian dari pionir sastra (dalam hal ini
drama) yang banyak menghasilkan karya sastra dengan mengangkat ide
ceritanya dari khazanah kesusastraan Nusantara. Salah satunya yaitu karya
Drama tiga babaknya yang berjudul Sangkuriang.

Utuy Tatang Sontani seorang sastrawan yang lahir 13 Mei 1920 di Cianjur,
Jawa Barat merupakan sastrawan yang mengalami kemapanannya pada medio
1950-1960-an. Tentunya dengan genre sastra drama yang banyak ditulisnya,
sebagai bagian lengkap yang patut disandingkan dengan nama seperti Rivai
Apin (puisi), dan Pramoedya Ananta Toer (prosa). Ketiganya merupakan corong
bagi pergerakan sastra di bawah bendera Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Jauh sebelum aktif di Lekra, karya drama Utuy sudah banyak diapresiasi dan
dipentaskan pada medio dekade 50-an. Tentunya sebagai bagian dari organisasi
yang bergerak dalam lingkup seni untuk rakyat, karya-karya yang dilahirkan
olehnya selalu mengabdi pada kepentingan rakyat secara umum, dan
subjektifitas seorang Utuy pun menjadi bagian dari setiap karya yang
dihasilkannya untuk mengaplikasikan ideologinya pada sebuah karya sastra.

Drama Sangkuriang diterbitkan oleh Balai Pustaka untuk pertama kalinya


pada tahun 1953. Akhir tahun 50-an dan memasuki awal tahun 60-an keadaan
sosial politik di Indonesia sedang marak karena telah terjadi pemilihan umum
(pemilu). Tentunya geliat kebudayaan (sastra) menjadi bagian penting dalam
perkembangan sosial politik tersebut. Drama Sangkuriang yang ditulis oleh Utuy

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
Tatang Sontani tentunya memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan
cerita Sangkuriang yang sejauh ini ada sebagai bagian dari khazanah cerita
rakyat pasundaan. Perlu dicermati adalah konteks waktu dan kepentingan apa
yang melatarbelakangi pembuatan drama Sangkuriang tersebut ditulis oleh
seorang Utuy Tatang Sontani.

Oleh karena itu, sebagai analisis satra bandingan tentunya ada beberapa
hal yang akan dibandingkan. Perbandingan tersebut ada pada aspek cerita
dengan tentunya aspek sosiologis yang (mungkin) ada pada pengembangan
tranformasi cerita Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani.

Cerita Sangkuriang dalam Drama Sangkuriang Utuy Tatang Sontani

Cerita Sangkuriang merupakan cerita rakyat yang berasal dan besar di


tataran priangan. Cerita tersebut berpusat (intinya) pada permasalahan Oedipus
complex yaitu di mana ketika seorang anak (lelaki) mencintai ibunya sendiri. Itu
pula yang terdapat pada cerita Sangkuriang. Ringkasnya, cerita tersebut akan
dipaparkan sebagai berikut.

Seorang Raja tengah berburu di hutan belantara, yang pada saat ketika
berburu tersebut sang Raja ingin membuang hajat. Lalu sang Raja tersebut
membuang air kecil. Tak lama setelah itu datanglah seekor babi betina (yang
sebenarnya merupakan titisan Dewi), lalu meminum air seni dari sang Raja
tersebut. Hingga akhirnya babi tersebut hamil kemudian melahirkan seorang
anak perempuan. Kelak anak perempuan tersebut ditemukan oleh sang Raja
kemudian diberi nama Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi tumbuh menjadi dewasa, kegemarannya yaitu menenun.


Pada sewaktu sedang menenun, Dayang Sumbi tak kuasa menahan rasa kantuk
yang ada sehingga alat yang digunakan untuk menenun tersebut jatuh. Saking
kuatnya rasa kantuk tersebut, Dayang Sumbi sampai tak kuasa untuk
mengambil alat menenun tersebut. Hingga terucaplah suatu perkataan, bahwa
jika ada seseorang yang mau mengambilkan alat tersebut jika perempuan akan
diangkat menjadi saudarinya, dan jika seorang lelaki akan dijadikan suaminya.
Kemudian muncullah seekor anjing jantan (yang sebenarnya adalah Dewa)
mengambilkan untuknya. Tak lama setelah itu akhirnya Dayang Sumbi

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
melaksanakan janjinya yang telah terucap. Dayang Sumbi menikah lalu
dikaruniai seorang anak lelaki yang diberi nama Sangkuriang.

Sangkuriang tumbuh menjadi dewasa dan kemana pun dia pergi selalu
ditemani oleh si Tumang. Selang waktu, Sangkuriang diminta oleh ibunya untuk
mencari hati mencak (kijang) di hutan. Dengan ditemani oleh si Tumang,
Sangkuriang pun pergi. Lama di hutan Sangkuriang tidak menemukan kijang
untuk dimangsanya, lalu datanglah seekor babi kemudian si Tumang diperintah
untuk menangkap babi tersebut. Tumang yang mengetahui bahwa babi tersebut
merupakan ibu dari Dayang Sumbi diam tak mau menuruti perintah
Sangkuriang. Dengan serta merta Sangkuriang menjadi marah, lalu dibunuhlah
si Tumang tersebut. Kemudian hatinya dibawa pulang untuk diserahkan kepada
ibunya. Mengetahui bahwa hati yang dibawanya adalah hati si Tumang ayahnya
sendiri meledaklah amarah Dayang Sumbi. Sangkurian dipukul hingga
terjungkal, dan diusir dari rumahnya. Setelah peristiwa tersebut Sangkuriang pun
pergi. Dayang Sumbi kemudian mengucilkan diri di hutan, dan menjadi petapa di
hutan belantara seorang diri.

Sangkuriang menemukan perempuan cantik di tengah hutan belantara,


yang dengan serta merta mendorong hasratnya untuk mencintai perempuan
tersebut. Mereka berdua memadu kasih hingga pada suatu ketika perempuan
tersebut (Dayang Sumbi) melihat tanda bekas luka di kepala lelaki kekasihnya
tersebut. Dayang Sumbi dengan naluri keibuaannya lalu meyakini bahwa lelaki
tersebut adalah anaknya yang dulu pernah diusirnya. Dayang Sumbi dengan
usahanya berupaya meyakinkan lelaki tersebut bahwa ia merupakan anaknya.
Namun, lelaki itu tidak bisa menerima pernyataan dari Dayang Sumbi tersebut.
Sangkuriang tidak percaya sebab menurutnya tidak masuk akal jika benar
perempuan itu ibunya tentu sekarang sudah tua tidak secantik apa yang
dilihatnya saat ini.

Sangkuriang terus berusaha mendesak Dayang Sumbi untuk mau dinikahi


olehnya. Tawaran tersebut akhirnya dikabulkan oleh Dayang Sumbi denga
mengajukan beberapa syarat. Syarat tersebut berupa Sangkuriang harus
membuat telaga yang dilengkapi dengan perahu dan harus jadi selama satu
malam. Tak lama Sangkuriang menyanggupinya, kemudian dengan bantuan jin
Sangkuriang mulai melaksanakan syarat yang dibebankan padanya. Selang

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
waktu, Sangkuriang hampir berhasil melaksanakan syarat tersebut. Dayang
Sumbi yang mengetahui hal tersebut tidak bisa menerima kenyataan yang
terjadi, lalu dengan upayanya berusaha menggagalkan rencana Sangkuriang
tersebut. Sebelum semua syarat itu terwujud, Dayang Sumbi telah meminta
kepada Dewa untuk menggagalkan rencana itu dengan muculnya ufuk di timur,
ditambah dengan kokok ayam yang menandakan pagi sudah menjelang.
Gagallah rencana Sangkuriang untuk menikahi Dayang Sumbi.

Secara garis besar, dalam drama Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani
pun bercerita kurang lebih sama dengan yang diceritakan pada sinopsis di atas.
Drama yang ditulisnya dapat dikatakan sebagai bagian dari reader response
seorang Utuy dalam meresepsi sebuah karya yang ada sebelumnya (teks
hipogram). Adapun perbedaannya hanya sebagian kecil saja, hal tersebut
tampak dibagian awal cerita Drama Sangkuriang. Utuy langsung memulai cerita
pada bagian saat Dayang Sumbi sudah berada di hutan belantara untuk bertapa.
Kemudian drama tersebut berlanjut sampai dengan gagalnya Sangkuriang untuk
melaksanakan syarat yang diajukan oleh Dayang Sumbi. Sampai bagian ini,
dalam dramanya relatif Utuy mengafirmasi cerita Sangkuriang yang ada
sebelumnya. Hal yang menarik adalah ketika drama ini diakhiri dengan terus
dikejarnya Dayang Sumbi oleh Sangkuriang, yang merupakan pengembangan isi
cerita. Utuy mencoba memberikan konklusi dalam drama yang ditulisnya
walaupun tetap saja cerita tentang pengejaran Dayang Sumbi oleh Sangkuriang
dibiarkan menggantung tanpa ada kepastian akan nasib keduanya, dan tentunya
nasib dari fenomena Oedipus Complex tersebut berujung. Hal tersebut dapat di
lihat pada kutipan drama Sangkuriang di bawah ini:

Dan melihat Dajang Sumbi berdiri, Sangkuriang jang tadi lesu mendadak
djadi menggalak. Ketika dilihatnja Dajang Sumbi terus berlari keluar, terus
sadja ia membahak:

..Ha-ha-ha, petapa itu lari djuga!”

Dan ia terus melemparkan keris kearah gedongan. Dan setelah


melemparkan keris, ia terus berlari mengedjar seraja katanja:

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
..lari kemanapun djuga akan selalu kukedjar. Sebelum didapat, tidak nanti
aku berhenti mentjari!” (sontani, 1953)

Mulai dari bagian inilah yang banyak menimbulkan berbagai macam


pengembangan cerita Sangkuriang. Sehingga kalaupun ada perbedaan, tentunya
setiap pengarang yang menulis kembali cerita ini akan berupaya mengafirmasi
bagian awal dari cerita Sangkuriang ini bermula. Mulai dari peristiwa di hutan
belantara, lahirnya Dayang Sumbi, pertemuan Dayang Sumbi dengan Tumang,
lahirnya Sangkuriang, hingga diusirnya Sangkuriang oleh Dayang Sumbi
kemudian bertemu lagi dan timbullah cinta. Selebihnya, cerita Sangkuriang ini
banyak menimbulkan tafsir yang berbeda.

Salah satu gagasan atau konsep sosiologi sastra adalah bahwa sastra
merupakan cerminan zamannya, atau merupakan dokumen sosiokultural.
Konsep ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa karya sastra merupakan
cermin langsung dari berbagai struktur sosial. Tentunya sastrawan sebagai
bagian dari masyarakatnya, memiliki memori akan situasi dan kondisi sosial
ketika karya itu dibuat. Hal tersebut dapat terlihat pada drama Sangkuriang
karya Utuy Tatang Sontani. Ada muatan didaktif yang coba disisipkan pada
drama ini, setidaknya seperti itulah tafsiran penulis atas karya drama ini. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan drama di bawah ini:

Bagai jang kena api Dajang Sumbi mendadak merah padam. Mendenging
bunji kata jang dilemparkannja:

,,Njahlah kau! Disini tiada tempat untuk orang jang kemasukan.”

Tapi Sangkuriang tetap berdiri, tetap tegak. Dan katanja dengan suara
tetap:

,,Betul, tak salah, kakang lagi kemasukan. Kemasukan oleh Jang


Mengadakan, Jang Tunggal, Jang Ada Dimana-mana, jang tidak beribu dan
tidak beranak!”

Berdasarkan kutipan di atas, Utuy coba memberikan muatan pada kata


yang ditekankan pada bagian tersebut, bahwa seolah ia ingin menjelaskan pada
pembacanya bahwa sebetulnya ’Jang Mengadakan’ atau Tuhan sebetulnya

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
sesuatu yang memang tidak ada. Seperti yang dikatakan oleh Sangkuriang, Utuy
memberikan makna laten bahwa sebagai manusia hendaknya kita selalu yakin
pada kemampuan diri sendiri dan tidak tergantung pada ’Jang Mengadakan’. Hal
tersebut diperkuat dengan kutipan di bawah ini, sebagai bentuk penegasan:

,,Tadinja aku menjangka, ”katanja, ,,bahwa Jang Mengadakan bisa


dipertjaja. Tadinja aku mengira bahwa matahari bisa didjadikan kawan.
Tapi buktinja tidak masuk diakal. Jang tjape, jang berdjuang mati-matian
mendapat kekalahan. Jang diam, jang tidak berbuat apa-apa mendapat
kemenangan.

Bahwa Jang Mengadakan itu adil, adalah dusta belaka!”

Kutipan di atas semakin mempertegas pesan yang ingin seorang Utuy


sampaikan kepada pembacanya. Melalui tokoh Sangkuriang, Utuy berbicara
dengan lantang bahwa Tuhan atau ’Jang Mengadakan’ tersebut tidak adil dan
bukan untuk dipercayai keberadaannya. Menurut Williams (dalam Damono,
1979:55), ada tujuh macam cara yang dipergunakan oleh pengarang untuk
memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel ; 1) mempropagandakannya
lewat novel, 2) menambahkan gagasan ke dalam novel, 3) memperbantahkan
gagasan dalam novel, 4) menyodorkannya sebagai konversi, 5) memunculkan
gagasan sebagai tokoh, 6) melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi, 6)
menampilkannya sebagai superstruktur.

Pesan didaktik yang disisipkan oleh Utuy dalam drama Sangkuriang ini,
semata-mata ditujukan untuk mengaplikasikan pesan ideologi pengarang yang
hadir dalam sebuah karya sastra. Apa yang terdapat dalam drama Sangkuriang
ini, dapat berupa bentuk propaganda sebagai bentuk konversi yang mengajak
pembacanya memercayai gagasan apa yang disampaikan pengarang dalam
drama tersebut.

Penutup

Menulis merupakan upaya merekontruksi bacaan. Seperti itulah kiranya


apa yang dilakukan Utuy dalam drama Sangkuriang yang ditulisnya. Sebagai
bagian dari cerita rakyat yang sangat populer, cerita Sangkuriang digubah
kembali oleh Utuy dengan tentunya sarat akan muatan dan kepentingan.

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono
Walaupun secara struktur cerita tidak banyak perubahan, namun dalam
beberapa bagian tentunya mendapat tekanan sebagai bagian dari muatan yang
ingin disampaikan kepada pembacanya. Setidaknya hal itulah yang penulis
temukan dalam perbandingan terhadap cerita Sangkuriang dengan drama
Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko.1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:


Pusat
Pembinaan dan pengembangan Bahasa.

. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat


Bahasa.

. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: editum.

Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sontani, Utuy Tatang. 1953. Sangkuriang-Dajang Sumbi: Drama 3 Babak. Djakarta

Sebagai Tugas Mata Kuliah Sastra Bandingan dengan Dosen Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono

You might also like