You are on page 1of 367

1

TITIK-TITIK KISAR DI PERJALANANKU


(Otobiografi Ahmad Syafii Maarif)

I. BUMI KELAHIRAN, IBU-BAPAK, dan SAUDARA-


SAUDARAKU

A. Sumpur Kudus, Makkah Darat, dan Perdagangan


Aku lahir di bumi Calau, Sumpur Kudus, Sumatera
Barat, pada 31 Mei 1935. Sumpur Kudus “Makkah
Darat” (Makah Darek dalam Bahasa Minang) adalah
bumi bersejarah. “Makkah Darat” adalah ungkapan yang
sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit nagari itu,
rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya. Apakah
mereka paham makna yang sebenarnya di belakang
ungkapan historis itu, tentu sulit untuk dikatakan.
Mungkin sebagian kecil orang tua masih agak
mengetahuinya secara remang-remang melalui cerita
yang diwariskan dari mulut ke mulut, tetapi pasti tidak
akan bisa menjelaskannya secara utuh dan mendalam.
Fakta dan legenda di sini sering telah
bercampuraduk. Era orang-orang tua itu dengan kejadian
sejarah yang dimaksud telah dibatasi oleh jarak waktu
yang jauh. Dengan wafatnya Raja Ibadat di awal abad ke-
19 Sumpur Kudus telah berhenti jadi pusat perhatian
dalam sejarah Minangkabau. Akibatnya sedikit sekali
orang Minang modern yang tahu di mana letak Sumpur
Kudus itu karena makna historisnya telah tertimbun di
bawah debu zaman selama hampir dua abad. Baru
2

setelah sejarah Minangkabau dibuka, nama itu pasti


muncul.
Apalagi dengan generasiku, jarak itu sudah semakin
menjauh saja. Dipisahkan tidak saja oleh lapisan tahun,
tetapi juga oleh perkisaran abad. Kalaulah tersedia
keterangan tertulis yang memadai, tentu akar sejarahnya
tidak sulit untuk ditelusuri. Catatan tertulis yang agak
memadai tentang ini tidak mudah didapatkan. Ada
semacam kekosongan atau rantai yang terputus antara
meninggalnya Raja Adityawarman (1347-1375) dari
Pagaruyung dengan proses masuknya Islam
menggantikan posisi Hinduisme/Budhisme yang semula
tertanam kuat di seluruh Minangkabau, termasuk di
kawasan Sumpur Kudus. Adityawarman sendiri
beragama Budha Tantrayana.
Sekiranya Islam tidak pernah bertapak kuat secara
politik dan kultural di kampungku di masa dulu, nama
Sumpur Kudus boleh jadi tidak akan pernah muncul
dalam peta. Atau di zaman modern, sekiranya
P.D.R.I.(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pada
1949 tidak menjadikannya sebagai pusat pemerintahan
Indonesia sekitar tiga minggu, siapa yang mau berurusan
dengan desa terpencil dan miskin ini. Juga sekiranya
P.R.R.I. (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
tidak menjadikan Sumpur Kudus sebagai sebagai salah
satu tempat persembunyian di akhir 1950-an atau awal
1960-an, kawasan ini pasti akan jarang disebut.
Baru pada permulaan abad ke-21, nagari ini mulai
mendapat perhatian dari teman-teman Jakarta, tetapi dari
perspektif lain: pembangunan sarana publik yang
langsung menyentuh secara kongkret kehidupan rakyat
banyak, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh.
Oleh sebab itu aku berharap agar rakyat Sumpur Kudus
3

setelah diguyuri rahmat dan ni’mat, pandai-pandailah


bersyukur, karena pada masa revolusi nagari atau
kecamatan ini cukup beruntung. Namanya sempat
terbaca di peta politik nasional, sementara puluhan ribu
desa lainnya di seluruh nusantara tidak dikenal orang,
sekalipun juga punya jasa dalam satu dan lain peristiwa
sejarah. Politik Jakarta yang sentralistik telah
menyebabkan daerah dianaktirikan selama puluhan
tahun dengan segala akibat buruknya bagi perjalanan
bangsa ini secara keseluruhan.
Menurut rekaman sejarah Indonesia kuno,
Adityawarman lahir dan dibesarkan dalam kerajaan
Majapahit, punya darah campuran Sumatera-Jawa. Dia
datang ke Sumatera tahun 1340-an untuk menguasai
kawasan pengekspor emas Dhamasraya di hulu sungai
Batanghari yang sejak 1270-an sebagai pembayar upeti
kepada kerajaan Hindu-Jawa yang berpusat di Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Tetapi beberapa prasasti sejak
1347 menunjukkan bahwa dia telah melepaskan
kesetiaannya kepada Majapahit, kemudian dia pindah ke
Tanah Datar untuk mendirikan kerajaan independen.
Adityawarman memakai gelar Maharajadiraja dan
Kanakamedinindra (penguasa bumi yang mengandung
emas).
Pusat kerajaannya berada di sekitar Bukit Gombak
dan Saruaso. Sumpur Kudus sebagai salah satu pusat
perdagangan emas adalah bagian dari daerah kekuasaan
Adityawarman ini. Sistem kerajaannya tidak saja
mengikuti pola Majapahit, unsur Minangkabau sangat
dominan. Di bawah kekuasaannya Minangkabau mulai
mengembangkan kebudayaan tingginya sendiri, dengan
seni, bahasa, dan tulisannya sendiri. Terjadilah di sini
perpaduan dan perkawinan antar unsur Melayu dan
4

unsur Jawa. Tetapi setelah raja Minang-Jawa ini wafat,


kerajaannya mulai berantakan. Perang saudara pecah,
sebab tak seorang pun dari keturunannya yang mampu
meneruskan kepemimpinannya.1
Pada abad berapa Sumpur Kudus dan kawasan
sekitarnya berubah dari penganut Hinduisme-Budhisme
menjadi penganut Islam sehingga dijuluki Makah Darek?
Tidak mudah untuk dikatakan. Sejarah Minangkabau
secara keseluruhan adalah sejarah yang galau, serba
simbolik, tidak berterus terang. Semuanya dibungkus
dalam kemasan petatah-petitih, sekalipun punya nilai
sastra yang tinggi. Tetapi kematian Adityawarman telah
membawa perubahan besar bagi sejarah Minangkabau.
Kaum bangsawan yang telah terpecah itu mencari daerah
tempat berpijaknya masing-masing. Sebagian menetap di
lembah Batang Sinamar, di sekitar Buo, Sumpur Kudus,
dan Pagaruyung yang masih terletak di sekitar Kumanis
sekarang. Batang Sinamar menjadi sangat vital bagi
perjalanan perahu para saudagar emas, lada, dan kopi
untuk mengangkut barang dagangannya menuju
Inderagiri, kawasan yang sudah dikuasai oleh pedagang-
pedagang Muslim.
Di daerah baru ini, yang terjadi tidak saja interaksi
komersial, tetapi juga interaksi relijius. Maka di seputar
pertengahan abad ke-16, Sumpur Kudus, Buo,
Pagaruyung, dan kawasan sekitarnya mengalami proses
Islamisasi secara berangsur tetapi pasti.2 Salah satu
akibatnya adalah Hinduisme/Budhisme secara formal
semakin menghilang dari peredaran digantikan Islam,
sekalipun dalam praktik, unsur-unsur lama itu tetap

1
Lih. Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-
1847. London & Malmo: Curzon Press, 1983, hlm. 61-63
2
Ibid., halaman 63 - 64
5

bertahan. Bahkan dalam berbagai kebiasaan penduduk,


Islam hanyalah sampai di lapisan kulit saja. Praktik
Hinduisme-Budhisme dan tradisi lokal masih saja diikuti,
seperti yang juga dialami oleh unit-unit peradaban lain di
muka bumi. Apa yang disebut sinkretisme juga berlaku
di sini.
Pada bagian akhir abad ke-16 di seluruh
Minangkabau penyebaran Islam tampaknya sudah
merata dengan kualitas yang masih sinkretik itu. Sultan
Alif rupanya adalah raja Muslim pertama di
Minangkabau, sekalipun penduduknya mungkin sudah
lebih dulu masuk Islam. Anehnya, kapan Sultan Alif ini
lahir dan tahun berapa mulai naik takhta, semuanya
serba gelap. Yang banyak disebut adalah tahun wafatnya
pada 1580, bahkan ada yang mengatakan tahun 1680,
berbeda satu abad bukan?.3
Akibat Sultan Alif tidak punya keturunan langsung,
politik jadi kacau, perebutan takhta pun terjadi. Kerajaan
terpaksa dikeping menjadi tiga. Inilah yang dikenal
kemudian sebagai “Tungku Nan Tigo Sajarangan” atau
“Tali Sapilin Tigo”. Maksudnya terdapat tiga raja (rajo)
yang sama-sama naik takhta. Ada Yang Dipertuan Raja
Alam sebagai koordinator kerajaan di Pagaruyung, ada
Raja Ibadat di Sumpur Kudus yang menangani masalah
hukum syarak, ada Raja Adat di Buo yang bertanggung
jawab dalam soal adat dan lembaga. Ketiga raja inilah
yang disebut “Rajo Tiga Selo”, atau lengkapnya “Rajo
Nan Tigo Selo”.4
Ungkapan Makah Darek ternyata punya akar sejarah
panjang dalam proses pergumulan Islam dengan kultur
3
Lih. Asmaniar Idris, “Kerajaan Pagaruyung” dalam Kamardi Rais Dt. P. Simulie, Khairul jasmi,
dan Syofiardi Bachyul Jb. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia-
LKAAM Sumatra Barat, 2002, hlm. 68
4
Ibid., hlm. 68-69
6

Hindu-Budhis di pedalaman Minangkabau. Ia adalah


simbol dari pusat gerakan dan kajian Islam yang terletak
jauh dari pantai, baik pantai barat mau pun pantai timur
di daerah Riau sekarang. Istilah “adat nan menurun,
syarak nan mendaki” harus dilihat dari gerak adat dari
tempat yang tinggi dari Pariangan Padangpanjang di
lereng gunung Merapi. Syarak mendaki dari dataran
rendah pantai Timur dan dari Ulakan di pantai barat
menuju tempat yang tinggi.5
Gerak turun dan gerak mendaki inilah kemudian
membuahkan formula strategis berupa “adat bersendi
syarak, syarak bersendi Kitabullah”, dan “syarak mengata
adat memakai” (syarak mangato adaik mamakai, dalam
Bahasa Minang), sekalipun masih banyak unsur adat itu
yang berlawanan dengan agama. Keengganan Syekh
Ahmad Khatib Sulaiman untuk pulang ke Minangkabau
dan memilih menetap di Makkah sebagai salah seorang
imam besar Masjidil Haram harus dilihat dalam
perspektif adat yang dinilai masih bercampur dengan
unsur-unsur lokal yang dinilainya tidak Islami ini. Tetapi
ide dasarnya adalah bahwa adat tidak boleh berlawanan
dengan ajaran Islam. Dari sisi formulasi sudah benar,
tetapi dalam implementasi tidak selalu mudah. Lapisan
adat kebiasaan yang sudah berusia bilangan abad amat
sulit diubah secara total, apalagi jika da’wah kurang
menampilkan dimensi-dimensi yang lebih fundamental
dari ajaran Islam.
Makah Darek dikaitkan dengan Makkah al-
Mukarramah di Arabia ketika Islam mulai menapakkan
kakinya di kawasan pedalaman itu. Penamaan Sumpur
Kudus sebagai Makah Darek sekaligus menunjukkan

5
Lih. Kamardi Rais Dt. P. Simulie dalam Kamardi Rais Dt. P. Simulie dkk, op.cit., hlm. xvi.
7

keberhasilan Islam secara formal menundukkan hati


manusia di kampungku dan sekitarnya. Tentu telah
terjadi pergumulan antar Islam dengan
Hinduisme/Budhisme plus kepercayaan lokal yang telah
berakar terlebih dulu. Catatan di bawah ini menunjukkan
bahwa istana raja Pagaruyung punya pengawal dengan
jumlah yang fantastik. Itu artinya keadaan belum
sepenuhnya aman karena masih memerlukan pengawalan
ketat dengan jumlah personil yang besar. Biasa, sebuah
masa peralihan ditandai oleh ketegangan, jika bukan
bentrokan. Tetapi berapa lama proses ini berlangsung,
perlu kajian lebih lanjut. Berapa jumlah penduduk ketika
itu, susah juga untuk dikatakan.
Tetapi Dobbin mencatat bahwa Thomas Diaz,
seorang Portugis yang menjadi utusan Belanda pada
1684 telah berkunjung ke Pagaruyung yang ketika itu
masih berpusat di sekitar Kumanis. Menurut Diaz,
penduduk Pagaruyung pada waktu itu sekitar 8000, tidak
termasuk kawasan pinggiran. Sumpur Kudus sendiri juga
punya penduduk sejumlah itu. Menariknya adalah Diaz
dalam sebuah kunjungannya ke suatu tempat diiringi
oleh 4000 pengawal istana. Bahkan ketika utusan
Belanda ini bergerak meninggalkan Pagaruyung menuju
Siluka, tidak kurang dari 3000 perajurit bersenjata yang
mengawalnya. Para prajurit ini terus saja menembakkan
bedilnya ke udara.6
Kita bisa membayangkan bagaimana ngeri atau
gelinya rakyat menyaksikan prajurit raja yang ugal-ugalan
itu, main tembak segala, sebuah kebiasaan primitif yang
belum sepenuhnya hapus di era modern. Aku tidak tahu
bagaimana perasaan si Portugis ini diperlakukan seperti

6
Dobbin, op.cit., hlm. 68.
8

itu. Mungkin dia senang karena merasa begitu


dimuliakan oleh seorang raja beragama Islam. Tetapi
juga dapat ditafsirkan bahwa petinggi Pagaruyung begitu
bangganya dengan kedatangan si bule ini. Sebuah
suasana inferiority complex (rasa rendah diri) boleh jadi
berlaku di sini. Apalagi V.O.C. (Kompeni India Timur)
sudah mulai beroperasi di daerah-daerah tertentu di
nusantara sejak 1602, 82 tahun sebelum Diaz
mengunjungi pusat kerajaan Pagaruyung di tepi Batang
Sinamar itu.
Yang aku heran adalah kemana penduduk dan
prajurit dalam jumlah besar itu menghilang dalam
perjalanan waktu kemudian. Sebab sekarang saja (2006)
jumlah penduduk untuk seluruh kecamatan Sumpur
Kudus hanyalah sekitar 20.000 jiwa. Apakah dalam
pergumulan Islam dengan kepercayaan sebelumnya
harus minta korban, kita tidak tahu. Atau lebih banyak
korban karena alasan ekonomi yang tidak bisa lagi
memberi kehidupan layak, orang lalu berpindah ke
kawasan lain. Apakah dalam proses Islamisasi di kawasan
ini tidak berlaku teori penetration pacifique (masuk atau
menembus secara damai), masih galau bagiku. Tetapi
bahwa korban pasti ada, sebab di Ranah Minang
sebelum datangnya Islam juga dikenal banyak parewa
(preman) dengan segala perbuatannya yang buruk dan
merusak masyarakat, sebagaimana yang akan disoroti
lebih lanjut.
Jadi Makah Darek bukan suatu ungkapan sederhana
biasa yang hanya bisa dibaca sambil lalu. Secara kultural,
ia melambangkan sebuah gerak perlawanan terhadap apa
yang bernama kultur hitam jahiliyah yang dikuasai
preman sangar di daerah pedalaman, sekalipun
petingginya beragama Hindu atau Budha, atau bahkan di
9

masa Islam sampai hari ini, parewa ini belum hilang.


Gerak Islam ini bertujuan untuk mencerahkan hati dan
mencerdaskan otak manusia agar terbebas dari segala
macam kelakuan buruk dan jahat yang merusak dan
mengancam masyarakat yang tak berdaya. Kultur
preman adalah kultur hukum rimba yang mengutamakan
otot, bukan kultur otak, sebagaimana yang masih saja
kita jumpai di zaman modern. Islam datang untuk
melunakkan hati manusia dan melepaskannya dari
pasungan yang mencekam fisik dan jiwanya. Agama
wahyu terakhir ini ingin membentuk manusia merdeka,
santun, dan bertanggungjawab, baik terhadap sesama
mau pun terhadap Tuhan, maha Pencipta.
Kampungku termasuk salah satu pusat penting
dalam gerakan perlawanan kultural itu. Akhirnya Islam
mencatat kemenangan abadi, setidak-tidaknya secara
statistik. Maka jika aku bangga dengan kemenangan
Islam dalam pertarungan kultur itu, rasanya cukup punya
alasan, sekalipun proses Islamisasi tidak pernah
mengenal batas akhir. Ia bergerak terus secara dinamis
dan kreatif untuk mencari pendukung baru, di sisi
meningkatkan kualitas dirinya, suatu on-going process, kata
teori antropologi. Untuk mempercepat proses Islamisasi
kualitatif ini, peran organisasi kemasyarakatan, seperti
Muhammadiyah menjadi sangat penting dan strategis.
Kesulitan yang dihadapi Muhammadiyah di berbagai
daerah adalah salah satu fakta kurangnya pemimpin yang
mengerti agama dan rela berkorban dalam makna yang
luas.
Aku sendiri di hari tua ini juga terlibat secara tidak
langsung dalam proses memajukan kegiatan
Muhammadiyah di kampung sendiri, sekalipun mencari
kader yang handal dalam jumlah yang memadai ternyata
10

sulit sekali. Gerakan Muhammadiyah sudah memasuki


kampungku setahun menjelang meledaknya P.D. (Perang
Dunia) II (1939-1945), atau 13 tahun setelah gerakan
Islam modern ini menancapkan kukunya di
Sungaibatang Tanjungsani, Maninjau, pada tahun 1925.
Pelopor utamanya adalah Dr. H. Abdulkarim Amrullah,
Jusuf Amrullah, A.R. Sutan Mansur, Hamka, dan diikuti
oleh generasi sesudahnya. Tokoh-tokoh yang
berkepribadian kokoh inilah yang menanamkan urat
tunggang Muhammadiyah di Ranah Minang.
Oleh sebab itu siapa pun yang mengaku menjadi
pemimpin Muhammadiyah di Ranah Minang tetapi tidak
kenal dengan pribadi-pribadi besar tersebut adalah
sebuah malapetaka sejarah. Mereka akan kehilangan
pedoman dan acuan dalam bermuhammadiyah. Dr.
Karim Amrullah sekalipun menjadi penggerak awal
Muhammadiyah, dia sendiri tidak pernah secara resmi
menjadi anggota persyarikatan ini. Mungkin punya kartu
anggota itu tidak penting baginya. Itu hanyalah urusan
administrasi. Yang pokok bagi sahabat Dahlan ini adalah
agar Muhammadiyah harus menjadi masa depan
Minangkabau, jika ranah ini tidak mau terus hanyut
dalam gelombang tarekat dengan berbagai aliran yang
“memperbudak” jiwa manusia di samping punya tujuan-
tujuan ekonomi.
Sumpur Kudus tidak saja dikenal karena Rajo
Ibadatnya sebagai petinggi agama, tetapi dahulunya juga
sebagai kawasan perdagangan emas dan kopi. Aku tidak
tahu di mana lokasi tambang emas itu dahulunya, sebab
bekasnya tidak ditemukan lagi. Mungkin saja terletak di
nagari lain di sekitar Sumpur Kudus. Ada memang nama
kampung Tombang (Tambang?) dalam kenagarian
Sumpur Kudus. Apakah di sekitar tempat ini dahulu
11

terdapat tambang emas, amat sulit untuk disimpulkan.


Semuanya kini telah berubah sejalan dengan bergulirnya
waktu dalam rentangan yang panjang. Kalau kopi tentu
tidak sulit ditelusuri, karena sampai hari ini masih ada
saja warga masyarakat yang menanamnya. Tanaman kopi
dan lada adalah komoditas yang dapat diperbarui terus
menerus, sedangkan emas jika sudah habis, ya habis,
tidak dapat diperbarui lagi.
Dari kawasan inilah a.l. dahulu barang dagangan itu
diangkut ke Singapura via Riau sekarang, kemudian ke
Eropa. Aku hanya terkaget-kaget membaca catatan
sejarah masa lampau ini tentang kampungku, tetapi
sekaligus tentu memuat kebanggaan khusus, sekalipun
semuanya itu kini tinggal kenangan belaka. Sebuah
kelampauan yang indah telah berlalu digilas perputaran
roda zaman. Siapa nama-nama saudagar kampungku
ketika itu, semuanya gelap bagiku, atau mungkin mereka
hanya pekerja tambang dan petani kopi melulu. Tentu
mereka semua buta huruf Latin, tetapi sudah mengerti
bahwa emas dan kopi adalah komoditas komersial yang
memberi kemakmuran kepada penduduk. Ini hanya
sekadar perkiraanku belaka. Bagaimana kenyataan yang
sebenarnya, perlu dikaji lebih jauh oleh orang lain yang
berminat dan punya waktu. Membongkar masa lampau
kemudian membangunnya kembali adalah pekerjaan sulit
dan melelahkan, tetapi itulah tugas sejarawan yang cukup
menantang.
Mengapa kukatakan mereka buta huruf, itu
berdasarkan alasan yang sederhana saja, karena sekolah
di kampungku adalah salah satu gejala abad ke-20,
berupa sebuah S.R. (Sekolah Rakyat) di pusat “kota”
Sumpur Kudus. Inilah sekolah dasarku dan sekolah
dasar generasi jauh sebelumku. Aku menyelesaikan
12

sekolah di sini pada tahun 1947. Aku tidak tahu tahun


berapa persisnya sekolah ini didirikan oleh pemerintah
kolonial. Mungkin pada dasa warsa pertama awal abad
ke-20, sekolah ini sudah muncul. Ayahku kelahiran 1900
adalah alumnus sekolah itu juga. Inilah satu-satunya
sekolah dulu untuk “mencerdaskan” nagari-nagari
Unggan, Silantai, Sumpur Kudus, dan Mangganti,
sewaktu aku masih kecil.
Ke pusat “kota” inilah para pelajar berdatangan
dengan berjalan kaki yang berjarak antara 2-7 km.
Umumnya dengan kaki telanjang, termasuk aku. Aku
sendiri yang tinggal di Calau hanya berjalan kaki
sepanjang 2 km. Pernah juga terjadi sekali-kali
perkelahian sesama pelajar, antar anak Sumpur dan anak
Silantai, antar anak Sumpur dan anak Calau. Anak
Sumpur banyak yang sombong. Mungkin karena mereka
merasa sebagai orang “kota” yang memandang enteng
anak kampung. Aku masih ingat betul pernah bacakak
(berkelahi) dengan Amirusjid (alm.), teman sekelas di
S.R. Sumpur Kudus ini. Rasanya tidak ada yang kalah,
tidak dia dan tidak aku. Aku sudah lupa siapa yang
menghasung kami sampai bacakak itu. Sebenarnya
fisikku tidaklah terlalu kuat untuk adu otot. Mungkin
akan lebih baik kalau yang diadu itu kemampuan otak.
Sekarang keadaannya sudah jauh berubah. Sejalan
dengan pertambahan penduduk, terjadi pulalah
pemekaran pusat-pusat pendidikan dasar. S.D. (Sekolah
Dasar) sudah bertebaran di mana-mana. Satu nagari saja
bisa punya lima S.D. Dengan perubahan positif ini, tentu
sudah sulit mencari anak-anak usia sekolah yang masih
buta huruf, sekalipun karena alasan ekonomi mereka
belajar di SD tidak sampai tamat. Dalam soal pendidikan
dasar ini, kemerdekaan bangsa bagi kampungku punya
13

makna yang sangat berarti. Dari sisi ini, Sumpur Kudus


sudah agak lama “merdeka”. Tetapi jangan ditanya
tentang sarana-sarana publik lain yang baru pada tahun-
tahun belakangan ini saja diperhatikan.
Sarjana Skandinavia Christine Dobbin dalam
karyanya di atas dengan cukup menarik menggambarkan
betapa pada abad-abad permulaan era penjajahan
Belanda, nagari-nagari seperti Sumpur Kudus, Kumanis,
Unggan, Mangganti, Durian Gadang, Siluka, dan lain-
lain, memang merupakan pusat-pusat perdagangan yang
terkenal. Nama Silantai dan Sisawah tidak muncul dalam
buku itu, mungkin keduanya adalah nagari baru yang
menyusul kemudian, aku pun tidak bisa menjelaskan7.
Nama Sumpur Kudus sendiri disebut dalam 11
halaman8. Biasanya jika ada pembukaan sebuah kampung
baru, rakyat meneroka (babat alas, dalam Bahasa Jawa)
lebih dulu. Secara berangsur sesudah itu berdirilah
kampung atau nagari baru, memisah dengan induknya.
Belakangan Sisawah telah mekar pula menjadi dua
nagari: Sisawah dan Kabun. Maka jumlah nagari dalam
kecamatan Sumpur Kudus setelah pemekaran menjadi
sembilan, dengan Kabun sebagai nagari termuda. Dan
juga tidak tertutup kemungkinan kecamatan ini akan
dipecah pula pada waktunya.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, mekar
pulalah nagari, kecamatan, kabupaten, kota, propinsi,
asal masih dalam koridor sebuah bangsa yang utuh.
Bagiku masalah keutuhan bangsa menjadi sesuatu yang
sangat mutlak. Pada berbagai forum dan kesempatan,
aku hampir tidak pernah lupa menekankan perlunya
keutuhan bangsa ini dijaga dan dipertahanlan. Karena
7
Lih. indeks buku Dobbin hlm. 298.
8
Ibid.
14

sikapku inilah barangkali Bung Taufik Kiemas (suami


Presiden Megawati, 2000-2004) menilaiku sebagai
seorang yang “memiliki komitmen kebangsaan yang
tinggi”.9 Jakarta: Maarif Institute, 2005, hlm. 369).
Rasanya penilaian semacam itu tidaklah keliru karena
cintaku kepada bangsa ini adalah sebuah cinta yang tulus
dan autentik. Tidak dibuat-buat, tidak pula untuk
mencari posisi duniawi. Latar belakang Minang dan
keislamanku turut menjadi faktor penting mengapa aku
menyayangi Indonesia.
Perkembangan politik di Indonesia pada tingkat
akar rumput di awal abad ke-21 dengan berlakunya UU
Otonomi Daerah tampaknya sedang bergerak dan
berubah secara dinamis. Bukan saja propinsi dan
kabupaten yang dimekarkan, kecamatan dan desa pun
berlomba untuk memekarkan diri, untuk tujuan baik atau
karena ingin memunculkan raja-raja lokal. Ada
peribahasa: “Jika tak jadi buaya di lautan, jadi gerundang
(anak katak) di kubangan pun jadi.” Tetapi marilah kita
berbaik sangka bahwa semua proses ini memang
merupakan tuntutan alamiah dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan pertimbangan masalah jarak
dengan ibu kota kecamatan, kabupaten, atau propinsi.
Tentu pada saatnya kelak akan tercapai keseimbangan
dalam sebuah tatanan Indonesia baru, sekalipun pasti
akan menimbulkan banyak gesekan dan persoalan.
Tetapi tanpa gesekan bukanlah politik namanya. Asal
saja gesekan itu tidak membawa bencana perpecahan.
Jika perpecahan ini yang berlaku, sudah pasti akan
menelan biaya tinggi dan menguras energi.

9
Lih. Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (ed.), Cermin Untuk Semua: Refleksi 70 Tahun
Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: Maarif Institute, 2005, hlm. 369
15

Sumpur Kudus itu sendiri di samping nama nagari,


juga nama kecamatan di era modern. Sungainya pun
bernama Batang Sumpur tanpa dilengkapi dengan
Kudus. Tepian tempat mandiku di kala kecil ya di sungai
ini, persis seperti anak-anak kampung yang lain. Bahkan
aku disunat (dikhitan) juga di sebuah tepian mandi di
Calau. Sebelum disunat aku dilomeh (diguyur) dengan air
Batang Sumpur sampai menggigil untuk menghilangkan
rasa sakit ketika disunat. Bibirku sampai berubah warna
karena kedinginan. Banyak sekali teman sambil bersorak-
sorai mengguyur sekujur tubuhku yang ditutupi
dedaunan. Sekalipun badanku sudah gemetar keras
karena kedinginan yang sangat menusuk, ketika upacara
khitan itu berlangsung, rasanya masih perih sekali,
berdenyut sampai ke otak. Maklumlah bius ala kampung
yang dikomandani oleh seorang dukun bernama Dt.
Bagindo Tanomeh. (Tanomeh= sutan emas). Orangnya
berkumis, tinggi sedang, agak langsing, pakaiannya putih
necis. Tetapi dia adalah tukang jagal bagian tubuh anak
lelaki yang ditakuti. Jangan main-main dengannya. Aku
tentu berterima kasih kepadanya yang telah
“mengislamkanku” melalui cara yang dramatis itu. Kata
orang kampungku, hanya orang kafir yang tidak
bersunat. Oleh sebab itu bersunat=menjadi orang
Islam.
Batang Sumpur mengalir dari utara ke selatan
menuju Sisawah dan Padang Lawas. Pertemuan Batang
Sumpur dengan Batang Sinamar disebut juga Muara
Sumpur (dalam Bahasa Minang: Muaro Sumpu). Di kala
kecil, aku pun pernah naik perahu dari Sisawah ke muara
itu. Tranportasi perahu sangat menyenangkan, sebab kita
dapat bersahabat dengan air sebagai sumber kehidupan.
Di sini aku harus berterus terang bahwa pada saat naik
16

perahu itu apresiasiku terhadap lingkungan alam terasa


dingin-dingin saja, belum menggeliat, jika bukan tumpul
sama sekali. Bagaimana mau menggeliat, wawasanku
hanyalah sebatas Batang Sumpur dan Bukit Bakul,
sebuah bukit yang membatasi kampungku dengan
wilayah Riau. Bacaanku nol, paling-paling buku pelajaran
membaca tingkat S.R. berjudul Cahaya. Bacaan lain
sangat langka, dan itu pun tidak ada yang mendorong
rasa ingin tahu lebih jauh. Ada juga bacaan Arab-Melayu,
tetapi aku sudah lupa judulnya.
Gembira ya gembira duduk santai di atas perahu
sambil mengulurkan tangan ke air, tetapi jauh dari
suasana renungan. Apa yang mau direnungkan. Yang ada
ketika itu adalah perasaan lepas, samasekali tidak takut
kalau-kalau perahunya karam, karena aku tokh bisa
berenang. Maklumlah masih dalam usia S.R. dan tidak
ada orang yang mengusik batinku untuk mencintai alam.
Perasaan itu tumbuh dan berkembang kemudian secara
alamiah dengan merangkaknya usia dan bertambahnya
bacaan serta pengalaman. Prosesnya berjalan lamban
sekali, karena memang apa yang dikenal belakangan
dengan teori eko-sistem sangat asing bagi penalaranku
pada saat naik perahu itu. Dan akan menjadi hal yang
luar biasa jika teori serba canggih itu diketahui bocah
ingusan seperti aku.
Bersamaan dengan melajunya perahu yang dikayuh
juru mudi, melaju pulalah tatapan mataku menumbuk
berbagai jenis pepohonan yang tumbuh dengan subur di
kiri kanan Batang Sumpur. Sebagian daunnya ada
menjulai menyentuh air, sebagian telah menguning
ditelan usia untuk kemudian berguguran menyatu
dengan bumi. Pulang ke asalnya, persis seperti manusia,
siapa pun dia, tak seorang pun yang mampu mengelak
17

dari ketentuan Langit ini. Dan memang tidak perlu


mengelak. Dari tanah kita berasal, ke tanah kita pasti
akan kembali, hanya cara dan prosesnya yang mungkin
berbeda.
Sejak dari hulu jauh di utara nagari Unggan sampai
ke Muaro Sumpu, Batang Sumpur hampir tidak ada yang
lengang dari pepohonan, tempat burung, kera, tupai, dan
bermacam jenis makhluk bermain, bersenda gurau, dan
mencari makan. Sebuah eko-sistem yang harmonis
sekali. Pohon memberi kehidupan kepada makhluk di
atas, sementara kotorannya yang jatuh ke tanah memberi
kesuburan kepada pepohonan. Masing-masing saling
memerlukan, saling mendukung. Oleh sebab itu para
perusak hutan, apalagi hutan lindung adalah manusia
yang tidak beradab, tetapi sering mendapat perlindungan
dari aparat, demi upeti. Cara kasar inilah yang telah
merusak Indonesia sampai batas-batas yang sangat jauh.
Jika pada satu saat ada pulau di nusantara berubah
menjadi padang pasir yang tandus, maka itu adalah
akibat dari dosa dan dusta kolektif mereka yang main
dalam proses penggundulan hutan itu. Hutan di
Indonesia sekarang sudah berada dalam tahap rentan
dan berbahaya. Kayu ulin (kayu besi) misalnya yang
tumbuh di Kalimantan dan Sumatera, kabarnya sudah
hampir punah, padahal jenis ini tidak dapat
dibudidayakan karena pertumbuhan batangnya teramat
lambat.
Demikianlah Batang Sumpur akhirnya merelakan
dirinya untuk lebur ke dalam Batang Sinamar yang
perkasa. Kemudian di Muaro Sijunjung, Batang Sinamar
menyatu dengan Batang Kuantan yang jauh lebih
perkasa. Air Batang Sumpur sekarang telah menyatu
dengan air yang berasal dari sungai-sungai lain, sebelum
18

semuanya itu menyatukan diri dengan laut lepas yang


telah berubah rasa. Apalah daya air Batang Sumpur yang
lemah berhadapan dengan lingkungan raksasa lain yang
serba asin. Air sungai ini pun larut menjadi asin, sebab
pilihan untuk tetap tawar tidak ada lagi. Sungai mana
pula di muka bumi ini yang kuasa melawan dan
menundukkan laut? Semua sungai pasti mengarah dan
bermuara ke laut. Itulah undang-undang alam yang serba
keras dan pasti untuk dipatuhi oleh apa pun, oleh siapa
pun. Air Batang Sumpur diangkut ke laut oleh Batang
Kuantan yang merupakan gabungan dari banyak sekali
sungai sejak dari hulu sampai ke muara. Batang Ombilin
yang berasal dari danau Singkarak itu sebelumnya telah
ditelan oleh Batang Sinamar untuk menyatukan diri ke
dalam Batang Kuantan.
Tidak hanya berhenti di situ. Dari lautan maha luas
itu air dengan sistemnya sendiri menguap ke angkasa
lepas untuk kemudian turun lagi menjadi hujan,
sementara rasa asinnya tidak dibawa terbang. Hujan
membasahi dan menyuburkan bumi untuk kepentingan
makhluk hidup. Alangkah teratur dan dahsyatnya
perputaran ini. Tetapi jika manusia tidak cukup cerdas
membaca perkisaran ini, lalu lingkungan dirusak semau
gue tanpa memperhatikan dampaknya bagi kehidupan
berjenis makhluk, air hujan akan mendatangkan banjir
yang dapat meluluhlantakkan kampung dan kota, sawah
dan ladang, bahkan peradaban.
Jangan main-main dengan air. Prilakunya mesti
dipelajari. Ia senantiasa bergerak dari tempat yang lebih
tinggi menuju tempat yang rendah. Manusia dapat
kehilangan segala-galanya, termasuk jiwanya sendiri
diamuk banjir. Bencana ini dapat terjadi pada semua unit
peradaban. Tinggallah kesigapan dan kemampuan
19

manusia untuk menanggulanginya. Teknologi


menjinakkan air sangat diperlukan untuk menghadapi
bahaya banjir yang dapat marah sewaktu-waktu,
khususnya pada musim hujan. Indonesia makin lama
makin tak berdaya menghadapi bahaya banjir dan tanah
longsor yang telah membunuh banyak manusia, gara-
gara orang menzalimi hutan dan lingkungan. Akibatnya
yang fatal adalah bahwa tanah kehilangan kekuatan
penyanggahnya. Kerakusanlah yang menjadi sebab
utama kerusakan lingkungan ini.
Rasanya aku pernah juga naik perahu bersama
ayahku dari Sisawah ke Muaro Sumpu ini. Alangkah
gembiranya berakit bersama ayah. Seterusnya kami
melintasi Batang Sinamar untuk naik ke Padang Lawas
menuju Tanjung Ampalu, ke rumah adik-adik seayahku.
Sekarang semua kenangan ini masih terekam dalam
memoriku dengan bayangan yang tidak terlalu jelas.
Tidak urut, tidak teratur. Tahun-tahun yang persis tidak
bisa lagi ditentukan. Tetapi jelas sebelum aku belajar ke
Lintau tahun 1950, sewaktu masih di S.R. sampai tahun
1947 plus masa menganggur selama tiga tahun
kemudian. Selama menganggur, tidak ada rasanya
sesuatu yang besar yang melintas dalam otak dan angan-
anganku. Semuanya berlalu begitu saja. Tidak ada juga
kegelisahan yang terbersik untuk menghadapi masa
depan. Semuanya mengalir begitu saja.
Dari kejauhan semua kenangan masa silam itu
tampak serba indah dan elok, puitis sekali, sedangkan
ketika dijalani tidak ada sesuatu yang istimewa yang
dirasakan, tidak ada kesan yang mendalam. Semakin
lama orang berpisah dengannya, semakin mengecil dan
menciut pula gambaran yang tersisa, bersamaan dengan
bergantinya musim, bertukarnya tahun. Bahkan sudah
20

berjalan puluhan tahun ketika gigi-gigiku mulai


berguguran, pertanda usia sudah semakin mendekati
hari-hari terakhir. Fisik pun sudah mulai renta, sekalipun
rasa ingin tahu tidak pernah menyusut, seakan-akan
segalanya tidak sedang bergerak menuju tempat
perhentian terakhir.
Dari mana asal-usul nama Sumpur Kudus ini,
sampai saat menulis bagian ini, aku pun tidak tahu.
Zulfahmi (Emi), adik iparku yang sedikit tahu tentang
sejarah Sumpur Kudus, mengatakan bahwa nama itu
berarti sampurna suci yang diberikan oleh Syekh Ibrahim,
penyebar Islam di kampungku. Sebelumnya bernama
Koto Ijau (Koto Hijau) yang lokasinya di Koto Tuo. Ada
kemungkinan syekh ini berasal dari Aceh sekitar abad
ke-16. Syekh inilah tampaknya yang mengubah Sumpur
Kudus dari kawasan hitam menjadi hunian putih.

B. Syekh Ibrahim dan Dinamika Sejarah


Dengan menerima Islam Sumpur Kudus menjadi
beradab. Sebelumnya mungkin merupakan tempat yang
dikuasai preman dengan judi, rampok, dan sabung ayam
sebagai profesinya. Sisa dari kebiasaan buruk masa
lampau ini, yaitu menyabung ayam dengan bertaruh,
belum terlalu lama hilangnya. Kebiasaan berjudi di
kampungku kadang-kadang masih juga kambuh sampai
sekarang. Tetapi sport adu ayam tanpa taruhan adalah
juga bagian dari hidup masa kecilku. Ke mana-mana
seekor ayam jantan aku kundang (bawa) mencari
lawannya. Tidak jarang kepala ayam itu berdarah-darah
setelah bertempur mati-matian. Tabiat buruk ini tentu
tak perlu kusesali, karena itu merupakan bagian dari
sport masa anak-anak, asalkan tidak pakai taruhan.
Sekiranya pakai taruhan, di mana pula aku dapat uang?
21

Ayahku pasti akan marah, sebagaimana pernah


memarahi abangku yang suka berjudi.
Akibatnya tidak jarang tungau (kutu kecil berwarna
merah yang bersembunyi di balik bulu ayam atau
burung) sering menyerang bagian-bagian badanku untuk
menghisap darah sebagai bukti bahwa ayam adalah
sahabat aduanku. Gigitan makhluk kecil ini
menimbulkan rasa gatal yang luar biasa. Ia menggigit dan
terus menggigit, dan baru berhenti setelah tubuhnya
menggelembung penuh darah, lalu kondisinya seperti tak
bertenaga lagi. Aku kenal sekali dengan binatang ini,
karena di masa kecilku sering berurusan dengan ayam
jantan untuk diadu. Sepengetahuanku tak ada seekor
ayam pun yang bebas dari serangan tungau, si warna
merah penghisap darah, tidak peduli darah apa pun,
darah siapa pun.
Kita kembali ke Tanah Bato. Sampai hari ini orang
kampungku pasca panen padi masih mendatangi Tanah
Bato, tempat berkuburnya Syekh Ibrahim yang terletak
di seberang Batang Sumpur. Mereka ke sana untuk
berkaul (Bahasa Jawa: khol). Wakil-wakil dari berbagai
suku dengan perasaan bahagia berbondong membawa
jamba (makanan lengkap di atas piring besar atau talam)
ke sana. Di saat kecilku, aku pun tak ketinggalan
meramaikan tempat itu. Bukankah makan bersama anak-
anak lain merupakan sebuah kegembiraan tersendiri yang
serba mengasyikkan? Semuanya berbahagia menghadapi
jamba yang sarat dengan aneka sambal khas kampungku,
dan tentu nasi sebagai menu pokoknya tidak boleh
ketinggalan. Tidaklah bernama makan tanpa nasi,
sekalipun perut misalnya sudah diisi penuh dengan
makanan lain. Tetapi setelah aku sedikit kenal
Muhammadiyah yang melarang orang makan di tempat-
22

tempat yang dianggap keramat, seperti kuburan, aku


tidak lagi ke sana. Bahkan lebih dari itu. Minatku untuk
mengenal siapa Syeh Ibarahim menjadi hilang. Ini adalah
sikapku yang kurang dewasa, tidak bisa memisahkan
mana yang sejarah, mana pula yang berbau syirik. Syekh
Ibrahim adalah tokoh sejarah penyampai Islam di
Sumpur Kudus yang layak dikenal lebih jauh.
Muhammadiyah memang sangat ketat menjaga
masyarakat agar tidak tercebur ke dalam perbuatan
syirik. Pertanyaannya adalah apakah makan-makan di
Tanah Bato ini syirik atau lebih bercorak budaya,
tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Aku sendiri
memang tidak pernah lagi ke sana untuk berkaul itu.
Tetapi ada segi buruknya, Tanah Bato yang bernilai
historis menjadi luput dari perhatianku. Aku kemudian
menganggap tempat itu sebagai pusat syirik belaka.
Dalam kasus semacam ini, pengaruh wahabi memang
dirasakan di lingkungan Muhammadiyah, serba puritan,
untuk tujuan baik tentunya, sekalipun kadang-kadang
merugikan dari sisi sejarah.
Sumpur Kudus jelas sangat berutang budi kepada
Syekh Ibrahim melalui jasa da’wahnya itu. Si alim inilah
yang menerangi batin orang kampungku dan sekitarnya
dengan cahaya Islam. Menurut cerita Zulfahmi lagi,
syekh ini juga mengerti ilmu irigasi dan pertanian yang
kemudian mengajarkannya kepada penduduk. Karena dia
memasuki kawasan hitam, besar kemungkinan syekh ini
juga ahli silat kenamaan yang dapat menundukkan
preman yang sok jagoan. Orang kampungku dengan rasa
hormat memanggil syekh ini dengan sebutan Iniak
Tanahbato (Nenek Tanahbato), sebuah sebutan yang
diturunkan dari generasi ke generasi yang datang silih
berganti.
23

Tempat ini dulunya dilingkari pohon-pohon tinggi


yang rindang, tetapi belakangan kabarnya telah banyak
dirusak oleh tangan-tangan jahil. Tanah Bato jelas punya
nilai sejarah yang sangat penting bagi penyebaran Islam.
Tampaknya syekh ini dan pembantunya memang
berkubur di Tanah Bato. Ini menurut Azwir Ma’ruf yang
pernah meneliti tempat itu bersama Dr. M. Sanusi Latief,
Sjamsu Anwar, dan Jafri Dt. Bandaro Lubuk Sati. Masih
terdapat dua kuburan panjang di situ: satu makam syekh,
yang lain mungkin makam pembantunya. Ada informasi
bahwa Syekh Ibrahim bekerja sama dengan Rajo Ibadat,
entah yang ke berapa, dalam mengembangkan Islam.
Wilayah yang menjadi obyek da’wahnya kira-kira
meliputi kecamatan Sumpur Kudus sekarang ditambah
kawasan-kawasan lain yang bisa dijangkaunya. Tentu
dengan berjalan kaki atau paling-paling dengan
menggunakan kuda tunggangan. Dapat dibayangkan
betapa sukarnya medan yang harus dilalui dan betapa
pula tabah dan sabarnya para pekerja da’wah ini, jika
dibandingkan dengan keadaan kita di zaman modern.
Jika arti Sumpur Kudus memang adalah “sempurna
suci”, alangkah bagus dan elok nama itu, sekalipun masih
perlu diteliti lebih lanjut tentang kebenarannya. Ini pun
sebenarnya tidak aneh, karena ada sejumlah ribuan nama
kota, desa, nagari, jorong, dan lain-lain yang kita tidak
tahu makna dan asal-usulnya. Sejarah sebenarnya juga
bertugas meneliti itu, seperti sejarah Kota Solok, Kota
Semarang, Kota Sawahlunto, Kota Banjarmasin, Kota
Klaten; sejarah nagari Tamparungo, nagari Unggan,
taratak Talao di Calau, dan 1001 yang lain yang sulit
diketahui sejarah awalnya. Tetapi sejarah hanya tertarik
kepada sesuatu yang benar dan bermakna, sebagaimana
A.J.Toynbee pernah berteori dalam karyanya A Study of
24

History, 12 jilid, tetapi ada ringkasannya dalam satu jilid


dengan judul yang sama. Bagaimana menentukan yang
benar dan bermakna itu?
Menentukan yang bermakna itu pun dalam sejarah
bersifat relatif di kalangan sejarawan. Mereka terikat
dengan “hukum” relativisme manusia. Umur manusia
terbatas, sejarah terbatas, kemampuan juga terbatas,
sementara rasa keingintahuannya adalah tanpa batas.
Orang tak mungkin mengetahui masa lampau secara
utuh. Yang dikumpulkan adalah fragmen-fragmen yang
berserakan, kemudian disusun dalam sebuah bangunan
yang kelihatan utuh dengan alur logika yang cermat di
belakangnya. Itulah sejarah yang kita sebut sebagai
sebuah gambaran masa lampau yang sebenarnya. Di
antara sejarawan sendiri belum tentu sama dalam melihat
masa silam itu. Tetapi setidak-tidaknya para sejarawan
telah berupaya menghadirkan masa lampau itu, betapa
pun masih banyak lobang yang harus ditutupi oleh
mereka yang datang kemudian.
Jika kehendak hati diperturutkan, rasanya pikiran
dan kemauan ingin “berdansa” terus menerus tanpa
henti, sampai pada suatu ketika saraf-saraf otak yang
jumlahnya milyaran itu kehabisan daya dan tenaga untuk
kemudian menyerah. Ujung dan perhentian terakhirnya
itulah yang bernama maut. Bila sudah sampai di titik ini
dian kehidupan itu akan padam secara tiba-tiba tanpa
pemberitahuan lebih dulu. Berlakulah di sini sebuah
ketegangan kreatif antara keingintahuan dan
keterbatasan, yang terus berlanjut dari satu generasi ke
generasi yang lain tanpa henti. Selama matahari masih
bersifat dermawan memberikan cahayanya, selama itu
pulalah roda kehidupan bergerak tanpa henti. Sekali
25

cahaya itu padam, maka padam pulalah lampu kehidupan


untuk seluruh makhluk.
Apa yang disebut kemajuan sebenarnya adalah hasil
dan buah dari ketegangan itu. Ada pun bagi manusia
yang malas berpikir, ketegangan itu tidak begitu
dirasakan. Saraf otaknya terlalu dimanjakan. Semuanya
dibiarkan berlalu begitu saja, setelah itu menghilang
tanpa bekas. Mereka singgah ke dunia hanyalah untuk
beranak pinak, setelah itu berlalu tanpa ada sesuatu yang
bermakna yang dapat dikenang orang. “Dan pada
pergantian malam dan siang dan pada apa yang
diturunkan Allah dari langit berupa rezki, yang
menghidupkan bumi setelah mati, dan pada perkisaran
angin, merupakan ayat-ayat bagi kaum yang
menggunakan akalnya.”10 Al-Qur’an sangat simpati
kepada manusia yang mau berpikir. Ayat 13 dalam surat
yang sama mengatakan yang artinya: “Dan [Allah] telah
menundukkan bagimu apa-apa yang ada di langit dan
apa-apa yang ada di bumi seluruhnya yang berasal
dariNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
merupakan ayat-ayat bagi kaum yang berpikir.”11
Tetapi mengapa kemudian umat Islam berhenti
berpikir selama ratusan tahun? Tidak ada lagi karya besar
yang dapat disumbangkan untuk kepentingan
kemanusiaan, padahal risalah Islam itu dialamatkan
untuk kebahagiaan alam semesta, tanpa pilih kasih. Inilah
sebuah keteledoran sejarah yang terlalu parah, parah
sekali, sementara sikap mereka menghadapi serba
ketertinggalan sangat beragam, bahkan saling
berlawanan. Belum ada bahasa yang sama dalam upaya
mencari jalan ke luar dari kondisi ketertinggalan ini.
10
Makna ayat al-Qur’an s. al-Jatsiyah: 5
11
Makna ayat al-Qur’an s. al-Jatsiyah : 13
26

Umat Islam sampai permulaan abad ke-21 masih saja


berada di persimpangan jalan, bahkan belum banyak
beranjak dari buritan peradaban.
Keadaan semacam ini jelas merisaukan mereka yang
berpikir. Alangkah sukarnya membangun kembali
peradaban Islam itu. Kesukaran itu justru lebih banyak
berasal dari dalam, dari suasana batin umat Islam sendiri
yang jauh dari cahaya pencerahan, meskipun ada saja
kelompok yang merasa tercerahkan terus. Hanya
parameter yang dipakainya bersifat parokial, subjektif,
sulit diterima pihak lain yang ingin mendapatkan ukuran
objektif yang standar. Dengan kata lain, pilihan yang
terbuka bagi umat Islam adalah berpikir dan beramal
terus sambil berinteraksi dengan peradaban lain untuk
dijadikan perbandingan dengan situasi kita. Hidup tanpa
perbandingan dapat membuat orang bersikap serba
linear, sempit, dan merasa serba cukup serta bangga diri.
Ini adalah pertanda sebuah kebangkrutan peradaban.
Adapun apa yang mungkin dilakukan oleh seorang
sejarawan atau peminat sejarah hanyalah ibarat menating
sebuah bata untuk bangunan, bangunan peradaban,
setelah itu menghadap Allah. Generasi yang datang
kemudian meneruskan kerja itu, sekiranya mereka punya
minat. Terlalu bertimbun masalah dan sasaran penelitian
yang tidak mungkin diselesaikan oleh manusia seumur
hidupnya, oleh otak jenius sekalipun. Allah maha tahu
segala-galanya, sedangkan kemampuan ilmu manusia
teramat sedikit dan sangat terbatas. Serba keterbatasan
ini adalah bagian dari hakekat manusia yang nisbi. Betapa
pun hebatnya daya nalar manusia, dia tidak akan pernah
berada pada posisi maha kuasa atau maha tahu. Atribut
serba maha ini bukan milik manusia. Ia sepenuhnya
27

kepunyaan Langit yang berada di luar kemampuan


manusia untuk mengukurnya.
Jika kemauan hati tidak dikendalikan, rasanya umur
1000 tahun pun tidak memadai. Ditambah 1000 tahun
lagi, juga tidak akan cukup. Penyair Chairil Anwar (1922-
1949) yang mau “hidup seribu tahun lagi,” meninggal
dalam usia 27 tahun. Manusia adalah makhluk misterius
yang ingin menggapai dan menaklukkan segala-galanya,
tetapi tidak mungkin kecapaian. Maka tidaklah heran
kita, para malaikat kehabisan argumen berhadapan
dengan Tuhan yang tidak bergeming untuk membela
kehadiran manusia dengan segala kekuatan dan
kelemahannya. Protes malaikat tidak mempan. Manusia
didatangkan juga ke muka bumi untuk membangun
dunia dan peradaban, sekalipun di antara mereka ada
pula jenis pengrusak dan penghancur kejam yang pernah
dicemaskan para malaikat dalam dialognya dengan
Tuhan pada saat Adam diciptakan.12
Kembali kepada cerita kampungku. Khusus untuk
Sumpur Kudus di masa lampau, selain sebagai pusat
bisnis, juga sebagai pusat kajian Islam seperti terlukis di
atas. Informasi ini bagiku sekarang menjadi luar biasa
pentingnya. Paling tidak ada rasa bangga menyelinap
dalam diriku bahwa kampungku punya masa lampau
yang diperhitungkan. Aku yang lahir di kawasan ini tidak
pernah tahu sebelumnya secara agak mendalam, sampai
peneliti asing itu menerbitkan karyanya yang kubaca
sewaktu sedang bertugas di Univ. McGill, Montreal,
Kanada, 1993-1994, sebagai dosen tamu, atas kebaikan
Munawir Sjadzali (alm.), menteri agama waktu itu.

12
Tentang penciptaan Adam, reaksi malaikat dan iblis, serta sikap Tuhan kepada reaksi mereka itu, lih.
al-Qur’an s. Thaha: 115-124; s. al-A’raf: 11-25; al-Baqarah: 30-39
28

Bahwa di sana terdapat kuburan Rajo Ibadat dan


makam Syekh Ibrahim, batu bersurat, aku sudah lama
diberi tahu, tetapi hanya sekadar itu. Rasa ingin tahuku
selama 18 tahun tinggal di sana memang belum muncul
untuk mengenal lebih jauh sejarah kampung halaman
sendiri. Setelah dewasa hidupku kemudian malah lebih
banyak “bertualang” di rantau orang mengikuti garis-
garis nasib yang tidak kukuasai, sehingga sisi-sisi historis
Sumpur Kudus tidak singgah lagi dalam otakku, kecuali
dalam bentuk cerita remang-remang di atas yang
kudengar sambil lalu.
Sesungguhnya kita tidak perlu heran benar
mengapa kawasan tersuruk itu pernah punya nilai
historis bila diukur dengan kondisi zaman dan
lingkungan pada waktu itu. Bukankah sampai abad ke-18
keadaan tranportasi hampir sama saja di seluruh
Minangkabau, yaitu bendi, pedati, perahu, kuda
tunggang, dan kuda beban. Bahkan ada manusia yang
dijadikan kendaraan oleh manusia lain dengan upah
tertentu. Ruas dan luas jalan pun ketika itu masih serba
terbatas. Jadi sebenarnya tidak hanya Sumpur Kudus
yang tersuruk dan terisolasi, daerah lain kurang lebih
sama kondisinya. Baru setelah kereta api dan kendaraan
bermesin lainnya ditemukan orang dan menjamah
daerah tertentu di kawasan itu, kampungku tetap
terpencil, karena memang lingkungan alamnya yang
rentan dan sulit untuk ditaklukkan.
Beberapa ruas jalan sekitar delapan km menjelang
memasuki kampungku sampai hari ini masih banyak
tempat yang rentan, mudah runtuh karena terdiri dari
tanah pasir yang rapuh. Diperbaiki berulang kali,
kemudian runtuh lagi dan runtuh lagi. Tetapi itulah
sarana jalan menuju nagari Sumpur Kudus dengan
29

julukan Makkah Darat itu. Arah jalan dari utara dan


selatan masih dalam proses pembangunan untuk
membuka isolasi itu. Sekali terbuka, rakyat kampungku
akan lebih lincah dalam kegiatan ekonominya. Yang aku
heran, termasuk heran terhadap diri sendiri, adalah rasa
cinta kepada kampung halaman yang tersuruk itu tidak
pernah surut sampai sekarang, setelah lebih setengah
abad kutinggalkan. Inilah daya tarik kampung yang tak
pernah sirna dari perasaanku.
Aku tidak tahu apakah teman-teman perantau yang
lain yang seangkatan denganku punya perasaan seperti
itu pula. Bagiku mereka bukan hanya harus punya
perasaan cinta kampung, tetapi juga mau bekorban
untuk bumi tempat kelahirannya dalam batas
kemampuan mereka tentunya. Tanpa rantau, ranah tidak
mungkin berkembang. Lahannya terlalu sempit dan
sumber-sumber alamnya serba terbatas. Bahkan P.A.D.
(Penghasilan Asli Daerah) Sumatera Barat hanyalah
sekitar 30%, samasekali tidak memadai untuk
menghidupi rakyatnya, apalagi untuk pembangunan.
Kata orang, daerah ini lebih baik mengembangkan
industri otak, yaitu terus meningkatkan sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi sebagai syarat untuk
meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Sumpur Kudus
termasuk kawasan yang sulit sekali untuk dikembangkan,
karena letak geografisnya yang tersuruk dan alamnya
yang kurang bersahabat. Hasil-hasil alam seperti karet,
gambir, dan terakhir soklat, menghadapi kendala dalam
masalah biaya transportasi. Biaya angkutan Sumpur
Kudus-Padang Rp. 500 per kg, sama dengan ongkos
Padang-Jakarta. Ayahku dan diikuti oleh yang lain selama
bertahun-tahun malah mengalihkan transportasi karet via
Batang Sumpur menuju Padang Lawas atau Muaro.
30

Tidak jarang karet itu hilang dalam perjalanan jika


Batang Sumpur lagi menguap pada musim hujan.
Kadang-kadang karet itu “menghilang” ditelan air terjun
yang curam. Maka para pekerja harus berjibaku
mengeluarkannya. Mengenang ini semua, alangkah
bersyukurnya aku karena dimudahkan Allah pada
akhirnya dalam upaya mencari rezki.
Sebagai seorang peminat sejarah, perhatianku
kemudian memang lebih terpusat pada masalah-masalah
nasional dan global: agama, kebudayaan, pemikiran,
politik, dan dunia Muslim pada umumnya. Pada usiaku
menjelang malam, aku juga seorang kolumnis, menyoroti
berbagai masalah bangsa yang tak putus juga dirundung
malang. Sejarah kampung sendiri luput dari agenda
kajianku. Sekali-sekali nama Sumpur Kudus muncul juga
dalam kolomku. Semestinya kawasan yang punya sejarah
tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, sekalipun
kondisi alamnya serba sulit, khususnya dalam jarak
beberapa km menjelang mencapai nagari Sumpur
Kudus.
Bukan untuk apa-apa, tetapi masa lampau sebuah
kawasan yang menyimpan peristiwa-peristiwa penting
jika direkonstruksi secara teliti, objektif, dan bertanggung
jawab tentu akan mengilhami generasi yang datang
kemudian. Siapa tahu dari kawasan ini akan lahir
manusia yang dihitung orang setidak-tidaknya secara
nasional pada suatu ketika. Kalau untuk tingkat
kabupaten atau propinsi, sudah ada beberapa anak
Sumpur Kudus yang berperan, baik sebagai anggota
legislatif mau pun di birokrasi pemerintahan. Ada satu
dua orang dari kecamatan itu yang menjadi pegawai di
Jakarta. Satu saat, entah kapan, aku ingin melihat sosok
pengusaha yang berhasil dari Sumpur Kudus, tetapi yang
31

tetap punya ikatan batin dengan kampung halamannya,


sekalipun mungkin ikatan itu tidak akan sekuat teman-
teman Sulit Air (Solok) yang fenomenal itu.
Mengingat begitu pentingnya posisi kawasan itu
di masa lampau bila diukur dalam konteks zamannya,
maka tidaklah mengherankan benar mengapa salah
seorang rajo (raja) Tigo Selo, yaitu Rajo Ibadat,
berkedudukan di Sumpur Kudus. Dua rajo yang lain
bertahta di Pagaruyung (Rajo Alam), dan Rajo Adat
berkedudukan di Buo. Pagaruyung dan Buo sekarang
merupakan bagian Kabupaten Tanah Datar, sedangkan
Sumpur Kudus belakangan berada di lingkungan
Kabupaten Sawahlunto atau Sijunjung dengan ibu
kabupaten sekarang Muaro. Dulu kabupaten ini meliputi
kawasan hilir sampai ke Pulau Punjung, sekarang karena
pemekaran wilayah, bagian hilir telah membentuk
kabupaten baru dengan nama Dhamasraya, sebuah nama
yang juga bersejarah pada masa dulu.
Dalam catatan Dobbin Rajo Ibadat terakhir wafat
pada 1817, empat tahun sebelum meledaknya Perang
Paderi (1821-1837) melawan kaum adat dan Belanda.
Puteri Raja Ibadat terakhir ini bahkan dikawini oleh
Tuanku Lintau, tokoh Paderi, yang perkasa dan kejam
setelah berhasil meluluhkanlantakkan Pagaruyung
dengan senjata, kemudian menggabungkan kedudukan
Raja Adat dan Raja Ibadat, berpusat di Lintau. Tuanku
Lintau adalah pendatang baru yang membawa paham
wahabi ke Pagaruyung. Raja Alam terakhir Sultan Arifin
Muning Alamsyah yang renta, berusia sekitar 70 tahun
bersama cucunya berhasil lari ke Lubuk Jambi di
Inderagiri, sedangkan dua puteranya terbunuh.13 Sejak itu

13
Dobbin, op.cit., hlm. 136-137
32

Sumpur Kudus berhenti menjadi salah satu pusat


kekuasaan, dan seluruh bangunan kerajaan Pagaruyung
hancur.
Adapun rakyat Sumpur Kudus yang mengaku
keturunan raja jumlahnya cukup banyak, tetapi tidak jelas
mereka berasal dari pohon silsilah yang mana.
Kehidupan raja-raja kecil ini kemudian tak ubahnya
seperti rakyat biasa, banyak yang melarat, bahkan ada
yang menjadi tukang kampo (mengolah daun gambir
untuk diambil getahnya), sebuah pekerjaan yang berat
sekali. Mereka tak punya kebanggaan apa-apa lagi,
kecuali sebagian masih menyandang rajo atau sutan di
awal namanya bagi laki-laki, atau puti bagi perempuan.
Yang dipertuan Negeri Sembilan di Malaysia kabarnya
juga punya hubungan darah dengan Sumpur Kudus.
Tidak mustahil memang, karena nenek moyang raja-raja
Negeri Sembilan di Malaysia memang adalah migran dari
Pagaruyung. Adat istiadat dan bahasa ala Minang masih
bertahan di sana dengan modifikasi tertentu, seperti
sistem tanah ulayat milik suku yang tidak bisa diganggu-
gugat oleh negara.
Aku sendiri sebenarnya sudah tidak begitu tertarik
untuk melacak silsilah raja-raja ini, karena sistem serba
kerajaan adalah produk sejarah belaka, tidak berasal dari
doktrin Islam yang otentik, jika bukan sebuah
penyimpangan. Tetapi sebagai bagian dari sejarah,
pelacakan itu memang diperlukan, asal bukan bertujuan
untuk melanggengkan sistem kerajaan yang sudah usang
dan ditolak semangat zaman. Orang memang perlu
bercermin ke masa lampau, apalagi belum terlalu jauh.
Yang jauh pun dikaji orang, itulah profesi kaum
arkeolog. Tugasnya menggali dan menggali, jika perlu
33

sampai ke pitala bumi, menelusuri dan mencari jejak-


jejak peninggalan manusia purba.
Sejarawan melacak kelampauan dari bekas-bekas
yang sudah ada tulisan. Siapa tahu melalui jejak-jejak
kelampauan itu kita dapat bercermin dan menemukan
kearifan lokal sebagai bagian dari kekayaan budaya
nasional Indonesia yang masih dalam proses mencari
bentuk dan jati-diri yang kokoh. Indonesia sebagai
bangsa dan negara adalah hasil temuan baru pada 1920-
an dan 1940-an. Sebelum itu tidak ada Indonesia, yang
ada Hindia Belanda. Jauh sebelum itu pula di nusantara
telah berkembang kerajaan-kerajaan independen, tanpa
ikatan nasional sama sekali. Sekiranya nusantara ini tidak
pernah dijajah, apakah bangsa dan negara yang bernama
Indonesia itu akan muncul dalam peta dunia? Belum
tentu bukan? Di samping penjajahan itu memang jahat
dan eksploitatif, ternyata ada juga segi positifnya. Mereka
melicinkan jalan untuk sebuah Indonesia merdeka yang
berdaulat menjelang pertengahan abad ke-20.
Akibat sudah tidak lagi menjadi salah satu pusat
kerajaan, jadilah kampungku itu terlupakan selama
hampir dua abad. Lengang, gelap (bila malam), miskin,
tertinggal, itulah gambaran kampung itu setelah
Indonesia merdeka. Dan baru pada tanggal 29 Januari
2005 terjadi terobosan baru, digelar upacara peresmian
listrik masuk ke sana berkat uluran tangan banyak pihak
dengan penekanan tombol oleh Dr. Ir. Herman Darnel
Ibrahim, direktur produksi dan transmisi P.L.N.
(Perusahaan Listrik Negara) pusat yang sengaja datang
untuk maksud itu. Aku turut mendampinginya dalam
upacara yang cukup meriah ala kampung, disambut
dengan tari gelombang segala. Sebagai bagian dari tradisi
Minangkabau, Sumpur Kudus masih memelihara apa-
34

apa yang bercorak Minang. Proses listrik masuk desa ini


tergolong sangat cepat, hanya dalam hitungan bulan
kemudian menjadi kenyataan. Luar biasa memang
perhatian para sahabat terhadap Sumpur Kudus. Aku
sungguh berterima kasih kepada mereka yang empati
terhadap kampungku.
Sejak cahaya itu masuk, Sumpur Kudus sudah
mulai “merdeka,” jika syarat merdeka itu adalah listrik
dan aspal, sekalipun aspalnya masih belum merata
sampai akhir 2006. Ternyata harus menanti 60 tahun
pasca proklamasi, Sumpur Kudus beroleh cahaya listrik.
Tentu jika ditengok dari kepentingan bisnis P.L.N.,
aliran api ke kampungku tidak menguntungkan, mungkin
malah rugi. Tetapi membaca peta kepentingan bangsa
tidak boleh hanya dilihat dari untung rugi secara materi.
Ada nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang harus
dipertimbangkan. Dari sisi inilah barangkali P.L.N.
bersedia memberi cahaya listrik ke pelosok itu,
sementara beberapa kawasan lain dalam kabupaten
Sawahlunto atau Sijunjung masih ada yang gelap di
malam hari.

C. Kewajiban pada Tanah Kelahiran dan P.D.R.I


Aku bersyukur kepada Allah atas segala kurnia yang
tak ternilai ini bagi kampungku. Semoga rakyatnya patuh
dan disiplin dalam pembayaran rekening listrik setiap
bulan sebagai tanda rasa bersyukur pula. Demikian
gembiranya rakyat di kecamatan itu, pada 29 Januari
2006 diadakan upacara syukuran listrik masuk desa
bertempat di nagari Silantai. Hari itu sungguh luar biasa
artinya bagi rakyat pedesaan. Tamu-tamu berdatangan
dengan membawa dana bantuan untuk kepentingan
35

masyarakat desa. Aku masih akan menulis tentang listrik


ini pada bagian akhir otobiografi ini.
Sehari sebelum itu, yaitu tanggal 28 Januari,
diselenggarakan pula Peringatan Ulang Tahun P.D.R.I.
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ke-56 di nagari
Sumpur Kudus, seperti tahun yang lalu diadakan di Bidar
Alam, Solok Selatan. Aku pun hadir di Bidar Alam dan
memberikan makalah di sana. Terasa Sumpur Kudus
yang gelap di kala malam itu, kini sudah mulai bernafas
dan menggeliat kembali, meni’mati kurnia kemerdekaan
bangsa yang penuh makna. Dengan listrik ini, ekonomi
rakyat kecil pun mulai menggelinding dan berkembang,
asal mereka pandai membaca dan memanfaatkan
peluang dan fasilitas yang telah tersedia.
Tempat kelahiranku sendiri bernama Calau, sebuah
taratak (jorong) kecil dan lengang sekitar dua km ke arah
selatan nagari Sumpur Kudus. Bagaimana keadaan
kampung ini, akan kututurkan pada saatnya. Menurut
cacatan kakak sulungku, almarhumah Rahima, kupanggil
kaktuo Hima, aku lahir pada hari Sabtu, 31 Mei 1935,
sebuah hari yang keras menurut tuturan orang
kampungku. Bagiku hari itu sama saja, tidak ada yang
keras atau lembut. Bagaimana keadaan cuaca juga akan
tergantung pada musim apa, panas, hujan, atau
mendung, dan di lokasi mana seseorang berada.
Informasi tentang tanggal kelahiranku itu kulihat tertulis
dengan kapur di dinding selatan beranda rumah
kelahiranku yang bertanduk empat sewaktu aku masih
duduk di bangku S.R. (Sekolah Rakyat), jika ingatanku
tidak keliru.
Pada waktu itu dinding itu sudah mulai dimakan
asai (kutu bubuk), padahal belum terlalu lama dibangun
ayahku. Asai makhluk kecil dan lembut, tetapi bukan
36

main ganasnya. Kayu sekeras itu dapat dijadikan


mangsanya. Dengan sabar dinding itu digerogotinya dari
dalam sampai lapuk, sekalipun dari luar belum tentu
selalu kelihatan kerapuhannya. “Bak kayu dimakan
bubuk,” kata peribahasa Melayu, “di luar tampak rata
dan licin, di dalam remuk.” Inilah makhluk kecil yang
dilengkapi dengan kelebihan untuk menghancurkan
bangunan besar, sekalipun dilihat dari sisi kepentingan
manusia cukup merugikan, bukan? Tetapi penciptaannya
oleh Allah pasti punya tujuan yang kita belum tentu tahu.
Dengan keampuhan air liurnya yang mungkin lebih
tipis dari embun pagi, kayu dibuatnya tak berkutik,
kecuali kayu besi, jati, dan sungkai yang tidak bisa
ditaklukkannya. Allah maha kuasa memberi rahasia
kekuatan kepada makhluk alit ini. Anai-anai (rayap) juga
punya keampuhan yang mirip dengan asai dalam
menaklukkan kayu. Bangunan besar yang terbuat dari
kayu tetapi tak terpelihara dengan baik dapat
dirubuhkannya, lambat tetapi pasti. Oleh sebab itu orang
tidak boleh menganggap enteng setiap makhluk Allah,
betapa pun terlihat lemah, kecil, dan seperti tak berguna.
Dalam serba kelemahannya itu, tersembunyi kekuatan
dahsyat, bila diukur dengan tubuhnya yang rapuh dan
lembut itu. Allah menciptakan semua makhluk pasti
punya tujuan, tidak pernah sia-sia. Mencari hikmah di
balik penciptaan itu sangat dianjurkan kepada umat
manusia oleh al-Qur’an.14
Tulisan kapur Rahima di dinding itu tentu sangat
penting bagiku untuk menentukan kapan aku
meninggalkan rahim ibuku untuk kemudian datang ke
muka bumi. Tetapi beberapa tahun setelah itu aku

14
lih. misalnya surat Ali ‘Imran: 190-191
37

menemukan catatan ayahku bahwa aku lahir pada 24 Mei


1935 pada hari yang sama, seminggu lebih tua dari
cacatan kakakku. Mana yang benar di antara dua catatan
itu, aku tidak dapat memastikannya karena tidak sempat
minta konfirmasi kepada keduanya semasa mereka masih
hidup. Belakangan baru terasa keperluan untuk
menanyakan masalah itu, tetapi semuanya sudah berlalu,
tidak bisa dikejar lagi. Inilah di antara kritikku kepada
diri sendiri, kurang peka pada momen-momen tertentu
yang ternyata penting bagiku, setidak-tidaknya untuk
keperluan penulisan ini agar lebih akurat.
Peminat sejarah sangat memperhatikan akurasi
dalam penulisan, baik dalam menentukan sumber mau
pun metode dalam analisis. Sepintas lalu perbedaan
seminggu tidak punya arti banyak, tetapi kalau hari-hari
itu memuat kejadian sejarah, masalahnya tentu menjadi
lain. Namun bagi diriku, perbedaan tanggal itu tidaklah
bermakna banyak, tidak ada kejadian sejarah yang berarti
masa itu. Aku lahir sama persis dengan kelahiran anak-
anak kampung. Kalau ada bedanya, karena ayahku
seorang terpandang di lingkungannya. Pasti semua anak,
termasuk aku, lahir dengan bantuan dukun beranak,
karena bidan belum ada di kampungku ketika itu.
Dalam ijazah dan riwayat hidupku, aku
menggunakan tanggal 31 Mei, karena itu yang lebih dulu
kuketahui, sekalipun boleh jadi yang benar adalah catatan
ayahku. Dengan demikian umur pensiunku sebagai
pegawai negeri berlebih satu minggu. Amat kusayangkan
karena cacatan ayahku dalam bentuk sebuah buku tulis
kecil telah hilang entah ke mana, mungkin sewaktu aku
kuliah pada Universitas Cokroaminoto Surakarta tahun
1960-an, di saat banjir dahsyat melanda kota Sala.
Banyak dokumenku yang lenyap ditelan bencana air itu,
38

sedangkan aku lagi tidak berada di tempat saat itu.


Dalam catatan ayahku itu, tanggal kelahiran kami empat
beradik tertulis di dalamnya.
Pada saat otobiografi ini mulai ditulis pada 2
September 2003 (-dan terus mengalami perubahan dan
perbaikan-), batang usiaku sudah berangkat jauh, yaitu
68 tahun 92 hari, padahal usia ayahku sewaktu wafat
pada 5 Oktober 1955 hanyalah sekitar 55 tahun,
sementara ibuku Fathiyah, sudah meninggalkanku
sewaktu usiaku 18 bulan. Ibuku wafat pada 1937 dalam
usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun mengasuh dan
menyusuiku, tetapi aku tidak mengenal wajahnya. Orang
mengatakan bahwa ibuku cukup cantik. Mungkin saja
demikian, sebab jika tidak, mana mungkin ayahku mau
mengawininya. Bukankah ayahku seorang terpandang di
kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat
menjadi Kepala Nagari tahun 1936? Ayahku tentu punya
selera tinggi dalam mencari pasangan hidup. Setidak-
tidaknya cantik menurut ukuran nagari tentu tampak
pada diri ibuku.
Ibuku lahir kira-kira tahun 1905, sedangkan ayahku
sekitar tahun 1900, terpaut lima tahun usia keduanya.
Pada masa itu tidak ada Akte Kelahiran, sehingga
kepastian tanggal dan tahun kelahiran tidak dapat
dilacak. Mereka kawin tentu karena dijodohkan oleh
keluarga kedua belah pihak, sebab pada masa itu hampir
tidak ada orang yang mencari pasangannya sendiri,
seperti yang berlaku pada masa modern. Tetapi ajaibnya
hal serupa kemudian justru juga berlaku pada diriku. Aku
tidak mencari jodoh sendiri, tetapi dicarikan pihak
keluarga. Dari sisi ini, aku tidaklah tergolong modern,
bahkan kuno. Sudah merantau ke mana-mana, bini saja
harus dicarikan, tetapi memang itulah aku. Untung ada
39

gadis yang mau bersuamikan anak rantau si bujang


lapuak yang tidak punya apa-apa secara materi dalam
usianya yang hampir mencapai 30 tahun ketika itu.
Aku tidak sempat merasakan betapa manis atau
pun pahitnya hidup bersama ibu. Juga aku tidak diberi
tahu bagaimana suasana rumah tangga orang tuaku.
Apakah mereka selalu akur saja, atau kadang-kadang
terjadi pula gesekan, sesuatu yang lumrah dalam
kehidupan sebuah rumah tangga, aku pun tidak tahu.
Apakah ibuku memanggil ayahku dengan kaktuo (kakak
tertua, karena ayahku adalah putera tertua dari tujuh
bersaudara) atau sebutan dan panggilan lain, aku tidak
bisa mengatakannya.
Panggilan seorang isteri kepada suaminya di
kampung punya kekhasannya sendiri. Ada yang
memanggilnya kaktuo, kakoncu, onga, udo, dan datuk
jika suaminya menyandang gelar suku. Bahkan ada yang
memanggilnya inyo. Jarang yang memanggil suaminya
uda, karena itu sudah berbau kota dan akan lucu
kedengarannya di telinga orang kampung. Memang
belakangan ini, cara-cara kota telah semakin merasuk ke
kawasan pedalaman. Kata-kata om, tante, uda, dan uni,
sudah mulai terdengar di pelosok Minang yang jauh
tersuruk. Apalagi sekarang dengan masuknya listrik, t.v.,
dan parabola akan semakin mempercepat gaya kota
menular ke pedesaan. Desa semakin kehilangan ciri
kedesaannya.
Tetapi apakah itu merupakan sebuah yang patut
ditangisi? Belum tentu juga, sebab berkat kemajuan
komunikasi dan informasi, kawasan pedesaan sudah
semakin mengecil digusur oleh kekuatan urbanisasi.
Menurut teori Ibn Khaldun (1332-1406), orang desa
bergairah sekali untuk meniru dan menyerap pola hidup
40

kota, sekalipun di dalamnya sarat dengan unsur yang


tidak sehat. Hanya sering muncul perasaan kehilangan
akan sesuatu yang khas dan unik desa. Jika semuanya
sudah beruda-uda, bertante-tante, ber-om-om, di mana
panggilan kaktuo, kakonga, kakudo, dan kakoncu, mak
oncu, pak oncu harus ditempatkan? Dibiarkan sirna
digilas arus urbanisasi? Rasanya tak rela juga. Kampung
sekalipun lengang menyimpan suatu kedamaian dan
ketenangan yang belum tentu dimiliki kota.
Yang aku risaukan adalah budaya kota yang serba
bebas juga akan menular ke lingkungan kampungku
akibat tv dan parabola. Di sinilah penerangan dan
pendidikan agama sangat perlu diintensifkan. Nagari
sebagai warisan Rajo Ibadat dan Iniak Tanahbato jangan
sampai binasa oleh pengaruh buruk media elektronik
modern ini. Warga Muhammadiyah khususnya jelas
punya tanggung jawab yang besar untuk tetap menjaga
moral masyarakat kampung agar tidak larut dalam
budaya kota yang negatif. Tentu tidak semua yang
sifatnya serba kota itu buruk. Bahkan tidak jarang
berlaku kondisi moral di kota tertentu jauh lebih baik
dari suasana kampung yang citra moralnya tidak dijaga
oleh para elit yang seharusnya bertanggungjawab untuk
itu.
Kembali kepada lingkungan ayah-ibuku. Kira-kira
ibuku sangat hormat kepada ayahku, sebagaimana
hormatnya ibu-ibu tiriku kepadanya. Apalagi ayahku
sebagai kepala suku Malayu dengan menyandang gelar
Datuk Rajo Malayu yang dijabatnya sampai wafat. Pun
secara ekonomi ayahku termasuk dalam kategori elit di
kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai
masalah, tidak saja yang menyangkut masalah ekonomi,
juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari.
41

Pengetahuan agama ayahku diperolehnya dengan


membaca. Bahwa ayahku cerdas, semua orang kampung
mengakui. Aku sendiri sering menyaksikan betapa rasa
hormat masyarakat kepada ayahku. Orang yang
menemui ayahku, pasti datang dengan sikap sopan
sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak
untuk itu.
Untuk ibuku, tidak ada lagi tanda-tanda yang dapat
kutelusuri, kecuali pusaranya yang juga tidak jauh dari
rumah tempat kelahiranku. Potretnya tidak kutemui
sama sekali di rumah kelahiranku itu, padahal waktu itu
tukang foto sudah ada. Apakah ibuku memang tidak
pernah difoto? Kini yang tersisa dari rumah itu tinggallah
bekasnya belaka. Bangunan utamanya dengan
bergulirnya waktu telah rubuh atau dirubuhkan karena
sudah lapuk. Rumah buatan ayahku ini bertanduk empat,
seperti umumnya gaya arsitektur Minangkabau masa
lampau.
Karena ibuku wafat masih muda, aku tinggal di
rumah ini kurang dari dua tahun untuk kemudian ayahku
menitipkanku pada bibiku Bainah (kupanggil etek) yang
tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat
kelahiranku. Seakan-akan akulah yang menjadi anak
pertamanya, sebelum Saiful Wahid, adik sepupuku, lahir
tahun 1939. Saiful punya dua orang adik kandung:
Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia
yang relatif muda. Etekku Bainah wafat pada 1973 dalam
usia yang belum terlalu tua. Sepengetahuanku, semua
adik perempuan ayahku tidak ada yang disekolahkan.
Jadi mereka sepanjang usianya hidup dalam “rahmat”
buta huruf. Alangkah sedihnya, alangkah pilunya.
Kemenakanku dan keturunannya yang menempati
bekas rumah kelahiranku, kulihat tak seorang pun yang
42

bermaya (Bahasa Malaysia: berhasil) secara ekonomi.


Mereka menjalani hidup seperti kebanyakan orang
kampung, bertani dan menyadap karet. Pernah kubantu
di antara mereka mendapatkan kerja di Jawa, tetapi tidak
punya nyali untuk hidup di rantau, lalu pulang ke
kampung dengan tangan kosong. Seorang lagi, cucu
kakakku Nursiah, kucarikan kerja di Medan sambil
kuliah, semoga yang satu ini tidak kandas pula di tengah
jalan.
Sejak pertengahan tahun 2005 semua bantuan
untuk yang kuliah di Medan kuhentikan agar belajar
berdikari, karena sudah kucarikan juga kerja sebagai
karyawan U.M.S.U. (Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara) dengan gaji yang sangat sederhana. Jika
yang seorang ini bisa menyelesaikan S1-nya, tentu
merupakan sesuatu yang patut dibanggakan oleh orang
tuanya, bukan? Dan dana yang dititipkan para pengusaha
dan sahabat-sahabat yang kusalurkan untuk kepentingan
pendidikan, semoga telah mengenai sasarannya, di
samping sasaran-sasaran yang lain di lingkungan
Muhammadiyah.
Aku bersyukur di hari tuaku, ada saja teman yang
tetap percaya memberi dana agar disalurkan untuk
kepentingan sosial, pendidikan, dan kemanusiaan.
Kepercayaan semacam ini bagiku sangat penting, sebab
dengan cara itu aku bisa membantu orang lain yang
memerlukan dalam jumlah yang lebih banyak., tidak saja
untuk kampungku, tetapi untuk beberapa amal-usaha
Muhammadiyah di berbagai bagian Indonesia yang
sangat memerlukannya. Setelah aku tidak lagi menjadi
Ketua P.P. Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di
Malang (3-8 Juli 2005), dana teman-teman itu masih
43

tersisa sedikit untuk terus kusalurkan pada sasaran-


sasaran yang tepat.
Yang aku agak heran dengan menantu kakakku
Nursiah sebagai ayah kandung anak yang kuliah di
Medan ini, seperti tidak ikut bertanggung jawab untuk
membantu kelanjutan studi anaknya. Mungkin untuk
membiayai kuliah secara penuh, memang kondisi
ekonominya tidak mengizinkan, tetapi untuk turut
memikirkan sebisanya kuliah anak kandungnya adalah
kewajiban seorang ayah, bukan kewajiban orang lain.
Tetapi sudahlah, tak perlu kuperpanjang cerita tentang
pendidikan anak ini. Contohnya cukup banyak di
kampungku di mana orang tua memang tidak hirau
dengan masalah pendidikan anaknya. Bahwa mereka
umumnya miskin, betul. Tetapi bukankah sudah ada
beberapa contoh bahwa dengan kondisi ekonomi yang
relatif sama, beberapa anak nagari Sumpur Kudus
berhasil menjadi sarjana, berkat perhatian yang serius
dari orang tua yang sadar tentang mutlaknya pendidikan
anak?
Pada Agustus 2005, yang kuliah di Medan ini sudah
duduk pada semester IV Fakultas Hukum pada
universitas itu. Namanya Indra Kurniawan. Semoga yang
seorang ini berhasil meraih sarjana hukum untuk bekal
hidupnya di kemudian hari, sekalipun modalnya dari
S.T.M. (Sekolah Teknik Menengah). Orang desa kalau
tidak gigih dan tabah untuk mengubah nasib, biasanya
tidak pernah beranjak dari tempat. Mereka tidak akan
mengalami apa yang disebut dalam teori sosiologi
sebagai proses mobilitas sosial secara vertikal. Beranak
pinak di situ, tanpa masa depan yang jelas, sementara
mereka yang gigih umumnya berhasil memperbaiki
kondisi hidupnya dengan belajar sambil merantau, tetapi
44

sekali-kali pulang kampung untuk bantu keluarga atau


buat rumah untuk hari tua bagi mereka yang ingin
berhari tua di sana.
Tidak mudah bagiku untuk menyadarkan keturunan
kakakku ini agar berani hidup menderita untuk meraih
sebuah cita-cita, sekiranya mereka memang punya cita-
cita itu, seperti yang bertahun-tahun kualami. Mereka
punya ibu-bapa sampai umur dewasa, sementara aku,
seperti sering kututurkan setelah dewasa, hanyalah
karena belas kasihan ombak dapat terdampar ke tepi.
Jalannya panjang dan berliku-liku, kadang-kadang tak
tentu saja kaki ini mau melangkah ke mana. Tetapi aku
tidak pernah patah harapan untuk terus belajar,
sekalipun sering tertatih-tatih dan menggapai ke kiri dan
ke kanan. Oleh sebab itu aku agak terlatih untuk
berurusan dengan berbagai ragam situasi yang berat
sekalipun. Tempaan hidup serba kekurangan selama
tahun-tahun yang panjang dalam perjalanan hidup
menjadi penting bagiku untuk tidak lupa kepada asal-
usul.
Di antara orang kecamatanku, anak-anak nagari
Silantai cukup pantas untuk disebut. Mereka yang tabah
dalam penderitaan, demi ilmu, umumnya berhasil
menjadi sarjana, bahkan dua telah menjadi guru besar
Universitas Andalas Padang (Novirman dan Novesar,
kakak beradik), juga dari suku Caniago, sukuku. Aku
bangga dengan mereka. Novirman doktor alumnus
sebuah universitas di Filipina dan Novesar doktor dari
I.T.B. Dari Novirman aku mendapat keterangan bahwa
ayahnya Djamarun (keluarga Muhammadiyah) dengan
susah payah menyekolahkan mereka agar menjadi
“orang” dengan bekal ilmu pengetahuan.
45

Tidak banyak orang tua di kecamatanku yang bisa


menandingi Djamarun dalam berjibaku untuk mendidik
anak-anaknya sampai tuntas. Djamarun yang hanya
tamatan SR ternyata punya cita-cita tinggi untuk
keturunannya agar tidak tetap menempel di kampung,
tanpa mobilitas menaik. Menurut logika biasa, anak
sepantasnya harus mengungguli orang tua dalam soal
pendidikan. Orang tua seperti Djamarun juga terdapat di
nagari-nagari lain dalam kecamatan Sumpur Kudus,
tetapi jumlahnya sangat kecil.
Tetapi aku tidak menyesali ayahku yang tidak terlalu
bersemangat untuk melanjutkan sekolahku karena beban
ekonomi dari dua rumah tangga sudah teramat berat
yang harus terpikul di bahunya seorang. Betapa pun
berat beban yang dipikul, ayahku jarang sekali mengeluh.
Seakan-akan semuanya berjalan biasa tanpa rintangan.
Ayahku pandai sekali menyembunyikan sesuatu yang
berat yang dirasakannya. Mungkin agar anak-anaknya
tidak terganggu oleh beban itu. Bagaimana pandanganku
tentang seorang laki-laki beristeri lebih satu, akan
kujelaskan pada bagian-bagian lain otobiografi ini,
setelah aku rampung belajar di Universitas Chicago pada
tahun 1982, 26 tahun sepeninggal ayahku, atau 45 tahun
setelah ditinggal ibuku. Masalah ini termasuk wacana
dalam kisaran pemikiran keislamanku menjelang usiaku
setengah abad.
Djamarun telah menandangi berbagai pekerjaan,
dari menyadab karet, bertukang, bahkan tidak jarang
harus menggadaikan barang yang ada, demi sekolah
anak, adalah contoh yang ditinggalkannya. Di hari tua
Djamarun dan isterinya telah pula menunaikan ibadah
haji. Sedikit sekali orang kecamatanku yang berhasil
menunaikan rukun Islam yang kelima itu, karena
46

memang tidak terjangkau oleh kemampuan ekonomi


mereka. Harapanku tentu saja agar mereka yang sudah
berjaya ini tidak melupakan kampung yang sudah
puluhan atau bahkan ratusan tahun hidup dalam serba
kekurangan, lahir batin. Ketabahan dan kerja keras untuk
meraih sebuah cita-cita umumnya membawa orang
kepada keberhasilan. Ini dalil sederhana belaka dalam
kehidupan manusia.
Siapa lagi yang diharapkan bisa membantu
kampung, jika bukan mereka yang terdidik, sekiranya
mereka punya kepekaan terhadap lingkungan yang telah
membesarkan mereka. Pada saat aku menulis kalimat ini
(Pebruari 2006), Novirman sedang menjabat Ketua
Kopertis untuk wilayah Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
Siapa yang bisa membayangkan sebelumnya bahwa
seorang anak yang dibiayai dengan susah payah oleh
ayahnya pada suatu hari akan memegang posisi setinggi
itu. Aku pun turut membantu di Direktorat Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta agar
proses pengangkatan Novirman ini berjalan lancar.
Ada lagi sepupuku dari pihak ayah Azwir Ma’ruf
dan kemenakanku Ramadhan, anak Rahima, adalah di
antara contoh manusia tabah. Azwir pada waktu ini
dosen negeri yang diperbantukan pada perguruan tinggi
swasta di Padang. Semula sebagai Kepala Biro A.U.A.K.
pada I.A.I.N. Imam Bonjol, kemudian beralih karier
sebagai dosen. Ramadhan seorang sarjana pertanian
bidang agronomi, sekarang bekerja sebagai peneliti di
Solok. Nama-nama yang kusebut ini, tentu masih ada
yang lain dari Tanjung Bonai Aur, Tamparungo, Unggan,
Mangganti, dan Sisawah, telah menjadi acuan bagi
mereka yang mau belajar dan bekerja keras, demi
47

mengubah status sosial sebagai anak desa yang hidup


dalam kondisi pas-pasan.
Dari Sisawah akan muncul seorang doktor dalam
kajian dakwah Islam tamatan U.K.M. (Universiti
Kebangsaan Malaysia). Namanya Sabiruddin, dosen Fak.
Dakwah I.A.I.N. Imam Bonjol Padang, pribadi yang
sangat gigih melawan segala keterbatasan, demi cita-cita
dan mobilitas sosial. Sabiruddin kelahiran Muaro karena
orang tuanya merantau lokal ke daerah itu. Dari keluarga
isteriku, yaitu sepupunya ada yang pula berhasil jadi
dokter A.D. (Angkatan Darat), yaitu Mayor dr.
Ruswandi Aswad, tetapi belum pernah menetap di
Sumpur. Dokter ini cukup santun dalam penampilannya,
pernah bertugas ke luar negeri (Bosnia) sebagai dokter
A.D. Dia adalah dokter pertama warga kampungku
lulusan Universitas Indonesia Jakarta, dengan ibu
Sumpur Kudus, ayah dari Tarusan, Painan. Ada lagi
dokter lulusan Universitas Sumatera Utara, orang tuanya
dari kecamatan Sumpur Kudus. Dokter ketiga masih
dalam pendidikan dari Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang yang kedua orang tuanya asli Sumpur
Kudus.
Sekiranya Indonesia tidak merdeka, kita bisa
membayangkan betapa gelapnya kondisi bangsa ini,
apalagi kawasan Sumpur Kudus yang sudah terpencil itu
pasti akan semakin terpuruk lagi. Dan aku sendiri tentu
hanya akan menikmati pendidikan tingkat S.R., setelah
itu membiarkan nasib ditarik oleh situasi yang serba tak
menentu, seperti layaknya anak kampung yang lain.
Rasanya tidak akan lebih maju dari itu. Oleh sebab itu,
kemerdekaan bagiku adalah sesuatu yang mutlak, tidak
dapat ditawar. Maka sangatlah besar jasa mereka yang
telah membelanjakan sebagian usia produktifnya untuk
48

berjuang dalam upaya meraih kemerdekaan bangsa,


dengan segala pengorbanan yang luar biasa dan beratnya
beban derita yang telah mereka tanggungkan, demi lepas
dari penjajahan durjana. Benarlah Pembukaan U.U.D.
1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sungguh padat dan
padu kalimat ini, sebuah perumusan sikap bangsa yang
bernilai strategis universal, sesuai dengan semangat
zaman yang sudah talak tiga dengan segala bentuk
penjajahan.
Kemerdekaan kemudian harus diisi dengan
mencerdaskan jiwa dan otak anak-anak bangsa. Memang
tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib kecuali
dengan cara bekerja keras, tabah, dan mau mengalami
proses pencerahan terus menerus. Tanpa kemauan keras
untuk maju, jangan berharap akan muncul dewi fortuna
dari langit untuk menolong. Nasib seseorang, di samping
di tangan Allah, akan banyak ditentukan oleh dirinya
sendiri. Allah baru mau intervensi manakala manusia
mengambil inisiatif untuk menentukan hari depannya.
Agama sangat tidak senang kepada mereka yang malas,
hidup tanpa inisiatif, dan lebih suka menadahkan tangan
minta bantuan. Bukankah tangan di atas lebih baik dari
tangan di bawah? Iqbal dengan filsafat ego-nya yang
terkenal mengatakan bahwa seseorang sebaiknya
menghindari harta warisan, sekalipun itu sesuatu yang
halal. Milik kita yang sejati ialah apa yang kita usahakan,
bukan suatu yang diwariskan kepada kita.
Setelah dilepas ke gelanggang, otak-otak Sumpur
Kudus ternyata tidak kalah dalam bersaing dengan otak
orang kota asal berani merebut kesempatan dan
49

membaca peluang untuk maju. Peluang itu tentu tidak


selalu datang. Sekalipun belakangan ini aku kadang-
kadang kesal melihat perilaku sebagian anak nagari
Sumpur Kudus yang tidak pandai bersyukur dan tidak
hirau dengan agama, cintaku kepada kampung ini tidak
pernah memudar. Aku tidak tahu mengapa begitu.
Masalah moral anak-anak muda kampung menjadi
bagian dari perhatianku, karena ini berkaitan dengan
masalah pendidikan yang banyak sekali tantangannya,
baik di kota mau pun di desa.
Di hari tuaku, aku sering mengunjunginya,
sekalipun belum tentu menginap agak satu malam. Salah
satu alasannya mungkin karena aku lahir di sana,
dibesarkan selama 18 tahun oleh air Batang Sumpur yang
tidak pernah berhenti mengalir itu. Sungai yang berhulu
jauh di utara menuju selatan, sampai bergabung dengan
Batang Sinamar di Padang Lawas, sebelum akhirnya
menuju ke laut lepas dan menjadi asin, seperti yang telah
kusinggung di muka. Kalau sudah lebur ke dalam
samudera, apalah artinya Batang Sumpur yang hanya
sebuah unsur kecil belaka di antara ratusan ribu sungai di
muka bumi?
Alasan lain yang tidak kalah pentingnya mengapa
aku tidak bisa melupakan Sumpur Kudus adalah karena
ibuku lahir dan berkubur di sana. Ibuku berasal dari
“kota” Sumpur Kudus, lahir di Tepi Balai. Aku tidak
tahu apakah kakak-kakak dan abangku juga lahir di Calau
atau di Sumpur Kudus. Boleh jadi, setelah ayahku
mengawini ibuku, mereka kemudian pindah ke dan
membangun rumah di Calau di tanah suku Caniago
belahanku. Ini memang adat kebiasaan orang
kampungku, membangun rumah di tanah suku isterinya.
50

Penyimpangan tentu selalu ada, tetapi untuk pedesaan


pola di atas seakan telah menjadi norma.
Repotnya adalah bila terjadi perceraian, si lelaki
harus meninggalkan rumah hasil jerih payahnya itu untuk
ditempati oleh lelaki lain yang mengawini jandanya.
Beruntung kalau si lelaki ini punya keturunan, rumah itu
pada gilirannya akan menjadi milik anaknya sendiri.
Malang bagi yang tidak, dia harus merelakan hasil jerih
payahnya itu untuk bekas isterinya. Pencarian apa yang
disebut gono-gini untuk tingkat kampung tidak terdapat
di sini. Oleh sebab itu seorang lelaki Minang yang belum
disentuh budaya kota harus menyiapkan mental, bila
berlaku perceraian, untuk pulang ke rumah orang tuanya
mungkin dengan tangan kosong. Jika rumah orang tua
tidak mencukupi, lelaki Minang tidak jarang tidur di
surau. Tentu pada zaman modern ini telah terjadi
perubahan di sana-sini, anak laki-laki punya kamar
tersendiri di rumah orang tuanya.
Kembali ke masalah rumah. Rumah kayu yang
bukan terbuat dari kayu jati atau kayu sungkai memang
tidak kebal dimakan bubuk zaman. Atapnya yang terbuat
dari seng juga pasti dimakan karat. Jika bisa bertahan 50-
75 tahun sudah cukup bagus. Sekarang di Minangkabau,
rumah model dan gaya semacam ini sudah semakin
sedikit peminatnya, karena memang tidak praktis.
Rumah bertanduk yang sering dihuni beberapa keluarga,
sungguh ruwet untuk dipertahankan. Sama sekali tidak
nyaman bagi mereka yang ingin hidup mandiri setelah
bersuami di antara sesama saudara perempuan.
Perbedaan tingkat ekonomi pasti akan menyulut masalah
dan sering menimbulkan ketegangan demi ketegangan.
Jarang yang bisa akur jika masing-masing sudah
berkeluarga.
51

Aku tidak tahu sudah berlangsung berapa abad


orang Minang bertahan dalam suasana komunal yang
berdesak-desakan semacam itu, sekalipun pada masa
modern ini, cara hidup semacam itu sudah banyak yang
ditinggalkan, dan memang harus ditinggalkan. Bagiku,
jika seseorang sudah berumah tangga harus memisah
dari lingkungan rumah bertanduk sebagai warisan itu.
Manusia memerlukan udara bebas dan iklim merdeka
sebagai unit keluarga baru yang memang harus belajar
hidup merdeka. Tanpa berusaha untuk menjadi manusia
bebas, dunia ini akan terasa semakin sempit, beban
melulu, dan sulit untuk bernapas lega.
Untuk kelangsungan hidupnya, orang Minang pada
mulanya sangat tergantung kepada tanah berupa sawah,
ladang, kebun, kolam ikan, atau pekarangan. Sebagian
giat dalam dunia perdagangan yang memang menjadi
salah satu ciri orang Minang. Bergantung kepada tanah
semata, jelas tidak memadai. Tanah adalah milik suku
atau keluarga. Jumlah anggota bertambah terus,
sementara luas tanah umumnya tidak bertambah bahkan
menyusut. Sebagian tanah tadi tidak saja berganti fungsi
tapi di atas sebagian tanah ini telah didirikan berbagai
bangunan. Kenyataan ini jelas mengundang masalah di
antara sesama saudara. Lahan sempit sedangkan jumlah
manusia yang memerlukannya berkembang biak,
risikonya hanya satu: terjadi proses pemiskinan, jika otak
tidak dipakai untuk mencari jalan ke luar. Syaratnya
hanya satu, tidak banyak: otak jangan dibiarkan
menganggur. Berpikir terus dan terus berpikir, jangan
menyerah kepada rintangan, jangan percaya kepada
kegagalan. Jadikan kegagalan sebagai tangga untuk
meraih keberhasilan bagi mereka yang berpikir positif.
Aku mungkin termasuk anak kampung yang berupaya
52

untuk tidak menyerah kepada rintangan, betapa pun


beratnya berbagai cobaan dan keprihatinan silih berganti
menerpa dan menghimpit perasaan pada suatu ketika.
Mungkin realitas sosio-ekonomi yang serba tidak
kondusif inilah yang merupakan salah satu faktor
pendorong kuat mengapa si Minang laki-laki khususnya
harus pergi merantau. Banyak sekali di antara mereka
yang berhasil di negeri orang. Maka istilah ranah merujuk
kepada bumi Minang dan mereka yang menetap di sana,
sementara rantau adalah negeri orang tempat warga
Minang mencari nafkah atau meniti karier. Ranah dan
rantau saling melengkapi. Para perantau tidak sedikit
mengirimkan bantuan untuk nagarinya masing-masing,
baik untuk keluarganya sendiri atau untuk keperluan
publik. Tanpa rantau, ranah Minang tidak mungkin
menghidupi diri sendiri. Ini fakta keras yang harus diakui
semua pihak.
Kabarnya lebih dari 50% penduduk Minang yang
mencari rezki di rantau, sekalipun banyak pula yang tidak
mau lagi mengaku sebagai berasal dari ranah Sumatera
Barat. Sebagian besar “merantau Cina”, tidak kembali ke
kampung secara permanen, tetapi ada pula sedikit yang
menetap kembali di kampung. Aku dan keluargaku
tampaknya termasuk dalam kategori “merantau Cina”
ini. Setelah proklamasi kemerdekaan, semakin banyak
saja orang Minang melakukan kawin campur dengan
suku-suku lain, sesuatu yang hampir tabu pada zaman
Siti Nurabaya atau Salah Asuhan, dua novel karya Marah
Roesli dan Abdoel Moeis tahun 1920-an. Dengan
terbentuknya Indonesia sebagai sebuah bangsa dan
negara persatuan, kawin lintas suku itu alamiah belaka.
Sesuatu yang semula dinilai tabu oleh adat Minang,
dengan perubahan sosial yang tidak bisa dibendung,
53

semuanya telah mencair dan berganti, sekalipun bukan


tanpa gesekan. Bagiku tidak ada masalah, asal nilai-nilai
dasar Islam tidak dilangkahi. Dalam masalah dasar ini,
aku jelas seorang yang berpihak, tidak mungkin netral.
Secara filosofis, seharusnya orang Minang itu tidak
saja berani merantau, tetapi juga berupaya untuk tampil
sebagai warga dunia dengan wawasan universal. Filosofi
itu berbunyi: “Alam terkembang jadi guru.” Dengan
berpegang kepada filosofi ini, orang Minang semestinya
tidak cuma belajar di bangku sekolah atau madrasah,
tetapi juga harus pandai membaca alam semesta. Dalam
perspektif ini, si Minang yang ciut nyalinya bila
memasuki kawasan kultur lain yang asing sifatnya, tidak
saja terkurung dalam kategori pengecut, tetapi memang
tidak paham filosofi dasar Minangkabau yang sering
dituturkan kaum adat pada upacara-upacara tertentu.
Filosofi ini jika dipahami secara benar dan dalam,
merupakan kekuatan pendorong yang dahsyat untuk
maju dan berkembang.
Bahwa banyak juga orang Minang yang tidak
meninggalkan rumah “mande” (ibu) seumur hidup tentu
selalu ada dan memang harus ada. Merekalah yang
umumnya menjadi penghuni dan penjaga nagari,
penyandang gelar suku, pengguna harta pusaka, dan
pewaris adat Minang. Jika semuanya merantau, apakah
ranah akan dibiarkan lengang tanpa penghuni? Tentu
mustahil bukan? Yang perlu diupayakan terus menerus
adalah agar ranah dan rantau tetap melangsungkan dialog
dan komunikasi untuk kemajuan si Minang dalam
bingkai Indonesia yang bersatu.
Di sinilah letak kepentingannya bagi si Minang
untuk mengetahui masa lampau Minangkabau dengan
karakteristiknya yang khas, demokratik, berani, dan
54

egalitarian. Dari rahim Ranah Minang sudah banyak


contoh yang patut disebut. Seorang Tan Malaka (lahir
1896 di nagari Pandan Gadang, Suliki, dan terbunuh
1949 di Jawa Timur) pernah tampil sebagai salah seorang
tokoh Komintern (Komunis Internasional) tentu
diilhami juga oleh doktrin “Alam terkembang jadi guru.”
Pandan Gadang adalah adalah nagari kecil dalam
Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Tokoh-
tokoh seperti Agus Salim, Hatta, Natsir, Sjahrir, Bahder
Djohan, Assaat, Halim, Sjabilal Rasjad, Hamka, Isa
Anshary, Rusjad Nurdin, adalah Minang belaka, tetapi
mereka jadi “orang” setelah bergumul dengan kultur lain
di rantau, sebab itu semua merupakan bagian dari “alam
terkembang.” Sekiranya mereka tidak beranjak dari
kampungnya masing-masing, potensi mereka yang luar
biasa tidak akan berkembang, dikungkung oleh alam
Minang yang sempit. Oleh sebab itu si Minang wajib
menghargai tanah rantau, sebab rantaulah yang memberi
peluang kepada mereka untuk maju dalam
mengaktualisasikan potensinya: baik secara spiritual,
intelektual, dan ekonomi.
Namun orang juga harus jujur, bahwa dalam
beberapa hal, ranah Minang itu bak sri-gunung, jauh
terlihat cantik, setelah didekati terlihat banyak boroknya.
Si Minang yang sudah pernah hidup di rantau, mungkin
seperasaan denganku, tidak betah lama-lama tinggal di
kampung. Banyak cara hidup itu yang sudah lapuk dan
rapuh bila ditengok melalui parameter perubahan zaman,
khususnya bagi mereka yang sudah mengenal unsur-
unsur positif dari sub-kultur suku-suku lain selama di
rantau.
Bahwa mereka tetap bangga dengan Minang,
memang adalah sebuah kenyataan, tetapi kebanggaan
55

mereka biasanya disertai sikap yang sangat kritikal.


Mungkin budaya egalitarian Minang sebagai fondasi
sistem demokrasi merupakan salah satu unsur budaya
yang dibanggakan itu, seperti juga yang aku rasakan dan
praktikkan selama ini. Orang Minang akan merasa sangat
gelisah hidup di bawah sebuah sistem politik otoritarian,
di mana penguasa sajalah yang benar-benar merdeka.
Filosofi sosial Minang mengajarkan agar semua orang
merdeka, semua orang setaraf dan sederajat. Kalau ada
yang lebih, itu semata-mata karena capaian pribadi yang
juga terbuka untuk semua orang untuk mencapainya.
Kita tengok lagi rumah gaya lama gaya Minang.
Memang kantor gubernur, bupati, wali kota, camat,
nagari, dan lain-lain, masih mengabadikan bangunan
gaya lama ini. Mungkin agar jejak sejarah yang serba
Minang tidak pupus begitu saja. Aku sendiri sudah tidak
tertarik lagi dengan rumah bertanduk empat itu. Aku
pun tidak percaya dengan pepatah: “tak lekang karena
panas, tak lapuk karena hujan,” kecuali bila itu
bersangkut paut dengan nilai-nilai dasar adat yang
dibenarkan Islam. Di luar semuanya itu boleh saja
diubah atau bahkan ditinggalkan. Tidak ada dosa sejarah
dengan mengambil sikap semacam ini. Bagiku parameter
yang benar dalam mengukur sesuatu yang menyangkut
adat adalah parameter Islam yang dipahami secara benar
sesuai dengan realitas zaman yang sedang dihadapi.
Ayahku telah membangun beberapa rumah. Selain
rumah tempat kelahiranku ini, juga rumah untuk adiknya
Bainah, etekku, dan rumah untuk kakak sulungku
Rahima. Rumah-rumah ini umumnya berdinding dan
berlantai kayu dengan atap seng. Pada waktu aku
berkunjung ke Sumpur Kudus pada Jan. 2005, rumah
kakakku itu masih berdiri, tetapi mungkin sudah tak
56

layak huni, kecuali kabarnya digunakan untuk


menyimpan padi oleh anak Rahima. Orang kampung
menyebutnya gudang Hima karena bentuknya sudah
meniru bangunan kota tanpa tanduk. Pokoknya sudah
mengikuti bentuk dan model arsitektur modern.
Mungkin rumah ini dibangun ayahku pada 1930-an
untuk menyambut anak perempuan pertamanya. Aku
pun sewaktu masih kecil pernah juga sekali-sekali
menginap di sana.
Gudang dalam pengertian di atas bukan untuk
menyimpan barang, tetapi rumah biasa untuk tempat
tinggal manusia. Aku tidak tahu mengapa orang
kampungku menyebutnya gudang. Aku bayangkan,
alangkah berhasilnya ayahku dalam membangun
ekonomi dirinya pada tahun 1930-an itu sehingga
mampu mendirikan beberapa rumah untuk adik, anak,
dan kemudian untuk dirinya sebelum dan sesudah ibuku
wafat. Ada yang masih bertahan, dan sekarang dijadikan
surau untuk mengaji. Surau ini dulu dipakai oleh pusat
pemancar radio P.D.R.I. pimpinan Sjafruddin
Prawiranegara tahun 1949 untuk mempertahankan
kemerdekaan bangsa. Salah seorang adik Lintauku lahir
di sini dan diberi nama Aurina Radiati oleh staf radio
pemancar P.D.R.I. itu yang memang tinggal di rumah
ayahku.
Sekalipun tersuruk, kampungku ternyata juga punya
andil untuk kemerdekaan. Kedatangan tokoh-tokoh
P.D.R.I. disambut hangat oleh orang kampungku. Apa
yang ada pada mereka telah disumbangkan, demi
membela kemerdekaan. Yang terbesar menyumbang
adalah Pak Halifah, pedagang gambir terkenal. Entah
sudah berapa ton beras yang disumbangkannya untuk
kepentingan revolusi kemerdekaan sejak 1945 sampai
57

1949 di samping uang, kerbau, sapi, dan komoditas lain.


Tetapi sebagaimana nasib kebanyakan desa di seluruh
Indonesia yang pernah berjasa untuk perjuangan
kemerdekaan, Sumpur Kudus termasuk yang tidak
diperhatikan selama puluhan tahun. Devisa negara
tersedot oleh para penguasa di kota, sementara sebagian
besar desa tetap dibiarkan sunyi tak dipedulikan. Suasana
semacam ini pun semakin menambah cintaku kepada
nagari yang memang perlu dibantu ini, terutama untuk
sarana-sarana publik melalui berbagai lobi yang
kulakukan di Jakarta pada usia tuaku. Tujuanku tidak lain
kecuali agar tanah kelahiranku dan sekitarnya merasakan
pula fasilitas modern, seperti jalan yang beraspal dan
listrik.
Untuk adik-adikku di Tanjung Ampalu dan Lintau,
juga dibuatkan rumah oleh ayahku, tetapi semuanya
sudah hancur. Yang di Tanjung Ampalu dibakar pada
zaman revolusi, ayahku sudah tidak mampu lagi
membangun yang baru. Di atas reruntuhan itulah ayahku
mendirikan bangunan baru yang sangat sederhana.
Revolusi banyak membawa bencana dan korban,
sekalipun bertujuan mulia untuk kemerdekaan. Setelah
pengakuan kedaulatan, ekonomi ayahku sudah tidak
pernah pulih seperti sediakala untuk menghidupi dua
rumah tangga sekaligus dengan adik-adikku yang masih
kecil-kecil. Rumah yang di Lintau juga hancur karena
sudah tua, kemudian adikku Nurhayati bersama
suaminya Herman telah pula membangun rumah baru di
atas bekas tanah perumahan yang didirikan ayahku itu.
Tanah itu sendiri adalah milik suku etek Lamsiah.
Kembali kepada ibuku. Pusara ibu inilah yang
sesekali aku ziarahi sewaktu aku pulang kampung,
berkunjung kepada ibuku dalam kenangan. Jasadnya
58

telah luluh menyatu dengan tanah, tanah sebagai asal-


muasalnya. Ibu yang tak terbayangkan seperti apa
perawakannya, seperti apa senyumnya, dan seperti apa
pula ketika dia menggendong anak-anaknya, yaitu tiga
orang kakakku. Tentu selagi aku masih bayi sempat juga
digendongnya. Alangkah bahagianya sekiranya ada foto
ibuku yang sedang menggendongku. Akan kutatap foto
itu berkali-kali sambil membiarkan air mataku meleleh
tak tertahankan.
Sulit sekali aku membayangkan sosok ibuku. Tentu
segalanya ini berlaku karena kelalaianku sendiri.
Mengapa sewaktu ayah, kakak-kakakku, dan paman-
pamanku masih hidup aku tidak menanyakan tentang itu.
Kesadaran sejarahku waktu itu masih tumpul dan lemah
sekali. Dan jelas tak seorang pun, termasuk aku dan
keluargaku, yang memperkirakan bahwa aku setelah
dewasa menjadi seorang peminat sejarah, bahkan guru
besarku adalah dalam filsafat sejarah pada Universitas
Negeri Yogyakarta. Setelah memasuki masa pensiun
pada 1 Juni 2005, aku malah “dipaksa” lagi untuk
menjadi guru besar emeritus di kampus yang sama,
sementara aku sendiri sebenarnya sudah jenuh memberi
kuliah. Tetapi demi menenggang perasaan teman-teman,
aku betahkan juga untuk membantu mereka dengan
alokasi waktu yang sangat terbatas.
Rahima, Nursahih, paman-paman, dan bibi-bibiku
pasti mengerti sifat-sifat ibuku. Juga mereka tentu ingat
bagaimana perawakan ibu, sebab mereka cukup lama
hidup bersama, sedangkan kakakku Nursiah pada tahun
1937 itu sudah berusia sekitar 10 tahun. Rahima bahkan
sudah punya anak satu (Zainal Abidin, lahir 1936)
sewaktu ibuku wafat. Aku sungguh menyesal mengapa
aku tidak bertanya tentang ibuku. Kepada kakakku
59

Nursahih yang dekat denganku, aku pun tidak pernah


bertanya tentang ibu yang setiap hari ada dalam
ingatanku.
Mengapa ibuku berangkat ke alam baka dalam usia
yang masih muda? Jawaban terhadap pertanyaan ini
bukan urusan manusia, tetapi sepenuhnya merupakan
rahasia Langit, kita hanya bisa mengira-ngira, tidak lebih
dari itu. Pada masa itu, jangankan dokter, menteri
kesehatan saja tidak ada di kampungku. Yang bertindak
sebagai tabib adalah para dukun yang biasa
menghembus-hembus penyakit seseorang dengan napas
mulutnya yang bercampur air liur. Dukun model ini
masih ada saja sisa-sisanya di pelosok-pelosok yang
belum tersentuh proses pencerahan, tetapi dengan
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang telah
berdiri dengan megah di kampungku sekarang, orang
kampung lebih memilih berobat ke dokter. Inilah di
antara rahmat kemerdekaan yang telah dirasakan oleh
orang kampungku sebagai warisan pemerintah Soeharto
yang dalam hal ini patut dipuji.
Aku pun tidak tahu betapa gembiranya ibuku
sewaktu menyambut kedatangan cucu pertamanya
Zainal. Usiaku dengan Zainal hanyalah berbeda setahun.
Tidak seperti aku yang tidak sempat mengenal wajah
ibuku, Zainal dan adik-adiknya betul-betul puas hidup
bersama kedua orang tuanya sampai keduanya wafat
dalam usia 80 tahunan. Tentu aku tidak boleh menyesali
semua yang berlaku ini, sebab rahasianya bukan di
tangan manusia. Allah bertindak menurut kemauan-Nya
yang tetap misteri bagi manusia sepanjang masa. Kita
hanya mampu berspekulasi menafsirkan kehendak-Nya
itu. Spekulasi tidak akan pernah memberi jawaban pasti,
60

sekalipun para filosuf telah mencobanya selama berabad-


abad.
Fungsi filsafat hanyalah agar otak manusia jangan
sampai lumpuh berhadapan dengan sesuatu yang tidak
rasional. Filsafat dalam kaitan ini adalah pembantu iman
dalam pergumulannya dengan serba realitas. Filsafat juga
melakukan kritik terhadap iman-iman palsu yang
menyimpang dari tauhid, yang dapat menyebabkan
manusia menjadi korbannya, menjadi budak spiritual,
jika anda mau mengatakannya demikian.
Tidak jarang memang sebagian manusia terpuruk
ke dalam lembah ini, karena mengabaikan filsafat sebagai
metode berpikir kritikal, radikal, dan rasional. Mereka
yang mendewakan keturunan raja, ulama, atau bahkan
keturunan nabi, termasuk dalam kategori perbudakan
spiritual ini, menurut pemahamanku. Bagiku gelar-gelar
sayid, syarifah, wali, habib, dan 1001 gelar lain, yang
mengaku keturunan nabi, atau keturunan raja,
hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak
lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan,
amir, dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian
orang, akan runtuh berkeping-keping berhadapan
dengan ayat al-Qur’an surat al-Hujurat 13:
“Sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi
Allah adalah kamu yang paling taqwa.” Apakah ada
doktrin Kitab Suci selain al-Qur’an yang menilai begini
tinggi kerja spiritual seseorang? Di sini apa yang dikenal
dengan ungkapan personal achievement (raihan pribadi)
menjadi sangat penting dan menentukan. Hubungan
darah sudah tidak punya makna apa-apa.
Untuk merebut posisi taqwa, terbuka bagi seluruh
orang beriman, tanpa terkait dengan latar belakang
keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan apa pun. Posisi
61

seseorang di dunia ini menurut yang kupahami


ditentukan oleh kualitas hidupnya, kualitas iman dan
amalnya, tidak oleh yang lain. Dengan paradigma
semacam ini, terbukalah peluang yang sama bagi semua
anak Adam untuk berfastabiqul khairat (berlomba untuk
kebaikan) di muka bumi ini. Islam bagiku pada akhirnya
sudah merupakan pilihan secara sadar, bukan hanya
karena keturunan.
Ayat di atas sungguh dahsyat dalam memberikan
status sama tanpa diskriminasi kepada manusia untuk
merebut martabat dan keagungan nilai ruhani sejauh
yang mungkin dicapai dalam batas kapasitas manusia.
Terserahlah kepada kesungguhan dan ketulusan manusia
untuk bergerak menuju posisi mulia yang terbuka itu.
Bagiku al-Qur’an adalah rujukan terakhir dan tertinggi
dalam merumuskan sikap hidup beragama. Inilah aku
setelah dewasa setelah belajar al-Qur’an pada Fazlur
Rahman selama beberapa tahun di Chicago, tempat
pendidikanku yang terakhir, sekalipun dalam usia yang
hampir mendekati setengah abad, karena memang
demikianlah jalan hidup yang harus dilalui.
Jika dengan ayah aku sempat bergaul sampai tahun
1953 sebelum aku berangkat ke Jogjakarta. Sesudah itu
aku tidak pernah lagi berjumpa secara fisik dengannya.
Wajahnya bersih, tinggi sedang, kulit agak hitam,
berkumis agak tebal, dan bila berjalan melenggok.
Kebiasaannya pakai kopiah sutera hitam. Rambutnya tak
pernah memutih secara total seperti rambutku juga,
sekalipun sudah menua. Makamnya terdapat di Tapi
Selo, di tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahku
sakit di Tanjung Ampalu, di tempat ibu tiriku mak
Maran, kemudian etek Lamsiah, ibu tiriku yang lain,
memboyongnya ke Tapi Selo sampai wafat di sana. Atas
62

saran adikku Nurhayati beberapa tahun yang lalu,


makam ayah kami telah kami pugar sekadar tanda bahwa
ayah kami berkubur di sana.
Setelah ibu-ayahku pergi, kewajibanku sebagai anak
bungsu dari isteri pertama ayahku adalah mendo’akan
ampunan bagi keduanya yang telah mengasuh dan
membesarkanku, suatu sikap ruhani yang memang
dituntunkan al-Qur’an. Pada saat-saat tertentu rinduku
kepada keduanya terasa sangat dalam dan dalam sekali,
dan tidak jarang aku menangis sendirian, dalam umur
yang setua ini. Aku pun tidak mengerti mengapa cintaku
kepada orang tuaku sampai berlarut-larut begini.
Mungkin karena aku tidak sempat hidup bersama
mereka dalam tempo yang relatif cukup lama, khususnya
dengan ibuku. Di atas itu semua aku tak sempat
membalas jasa keduanya, jasa yang tanpa batas dan tanpa
ujung itu. Ayah dan ibuku, beristirahatlah di sana, anak
bungsumu ini rasanya tidak lama lagi akan menyusulmu,
entah di bumi mana, aku pun tidak tahu. Entah ayah-
bundaku, apakah di akhirat kita dapat berkumpul
kembali, di alam yang lain sama sekali, sebuah alam yang
abadi menurut ajaran agama.
Uwoku (ibu dari ibuku) bernama Rajo Aminah,
sedangkan ayahnya (gayekku) berasal dari suku Melayu,
suku ayahku, yang pernah kujumpai sewaktu aku masih
kanak-kanak. Sayang aku lupa namanya. Ibuku
bersaudara seibu seayah ada tiga orang: ibuku dan
adiknya Marah, pamanku, sedangkan kakak ibuku
tampaknya wafat sewaktu masih kecil. Adiknya yang lain
A. Wahid, lain ayah dengan ibuku. Ada tiga lagi saudara
ibuku yang seayah berasal dari Silantai, nagari tetangga
Sumpurkudus, salah seorang dipanggil Ani, yang kata
orang rupanya mirip ibuku. Aku memanggilnya ande
63

Ani. Semuanya sudah tiada, tinggal lagi keturunannya


yang aku tidak tahu jumlahnya.
Karena tidak bergaul sejak dari kecil, kontak
psikologisku dengan saudara-saudara yang tinggal di
Silantai tidak begitu terasa. Beberapa tahun yang lalu,
adik perempuan ibuku di sana sedang sakit berat, dan
aku berkunjung menengoknya dalam keadaannya yang
setengah sadar. Tak lama kemudian adik ibuku ini wafat,
sementara dua adik laki-lakinya yang kupanggil datuk
telah lebih dulu pergi. Orang kampung memanggil ibuku
onga Tiah, yaitu mereka yang umurnya di bawah ibuku.
Onga adalah panggilan untuk anak kedua dalam tradisi
kampungku, baik laki-laki atau pun perempuan.
Ayahku bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan
Bailam) berjumlah tujuh: Ma’rifah, Karimah, Siti
Dariyah, Saidina Hasan, Bainah, Mattudin Rauf, dan
Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih kecil,
sementara Saidina Hasan (kupanggil pak oncu Naksan)
wafat pada 1949 di Rumah Sakit Sawahlunto dalam usia
sekitar 32 tahun karena sakit, tetapi punya dua keturunan
perempuan. Yang masih hidup tinggal satu, sementara
anak dan cucunya masing-masing entah berapa
jumlahnya. Isterinya bernama Saujah yang kupanggil
ande. Oncu Naksan amat menyayangiku. Dia tukang
kayu dan sekaligus pandai besi, merangkap dukun. Aku
pun pernah dibuatkannya lading (pisau panjang) yang
sering kubawa ke mana-mana. Pada saat wafatnya, aku
menangis sejadi-jadinya karena aku sungguh kehilangan
pak oncu yang dekat denganku. Tidak jarang aku makan
di rumahnya bersama adik-adik sepupuku yang masih
kecil-kecil, Baili, Nurbahri, dan Jiwahur (wafat waktu
kecil).
64

Dengan pakoncu Mattudin Rauf (pakoncu Tudin)


dan isteri pertamanya onga Sarikayo, hubunganku cukup
dekat. Sewaktu aku belajar di sekolah rakyat dan
madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, aku sering makan
di rumah pasangan ini di kawasan Patopang. Lebih dari
itu, bedil pakoncu Tudin biasa kupakai untuk menembak
binatang dan burung. Tentu aku bangga karena seumur
itu sudah biasa menembak. Sedangkan pakoncu Tudin
memang dikenal sebagai pemembak ulung. Sudah berapa
ekor rusa dan kijang yang direbahkannya dengan bedil,
jumlahnya aku tidak tahu. Yang jelas aku sudah biasa
menikmati daging hasil buruannya yang segar dan manis.
Aku masih ingat pada suatu sore di kampung
Patopang aku menembak jatuh seekor elang hantu
(Bahasa Sumpur: olang katutuih) yang biasa mencuri ikan
di kolam penduduk. Suara elang ini sungguh
menakutkan bila berbunyi di waktu malam. Matanya
tajam menembus. Mangsanya tidak hanya ikan; tikus,
ular, ayam, dan binatang lainnya adalah santapan
hariannya. Binatang-binatang ini disambarnya dengan
kukunya yang sangat kuat dan paruhnya yang tajam agak
membungkuk.
Saudara ayahku lain ibu (uwo Datun) ada tiga:
Raayan (sudah wafat), Raadin, dan A. Wahab, dengan
anak dan cucu yang juga berkembang biak. Pak enek
Wahab hampir seumur denganku. Orang tua ayahku
Abd. Rauf (dipanggil Badurau), gelar Manti Besar, dari
suku Domo, adalah seorang dukun dan tukang yang
cukup dikenal sampai ke nagari-nagari lain dalam
kecamatan Sumpur Kudus, tetapi aku tak pernah
bertemu dengannya. Ibu ayahku Bailam masih sempat
kujumpai pada saat kecilku. Aku memanggilnya uwo.
Ayahku sangat menghormati ibunya. Sampai tua uwo
65

Bailam di bawah tanggungan ayahku, di samping


membantu adik-adiknya. Oleh sebab itu, ayahku sangat
terhormat di mata adik-adik dan familinya.
Mungkin karena ibuku wafat muda, hubunganku
dengan keluarga ayah (suku Melayu) jauh lebih akrab
dibandingkan dengan keluarga pihak ibu (suku Caniago),
sukuku sendiri. Belakangan kekurangakraban ini
ditambah lagi oleh perbedaan organisasi antar kami: Perti
dan Muhammadiyah. Belahan sepupu ibuku dari pihak
ibu umumnya berpihak ke Perti. Ibuku sendiri sewaktu
wafat belum lagi mengenal Muhammadiyah karena
memang gerakan pembaruan ini belum lagi menjamah
kampungku.
Suami Rahima, M. Nalam (alumnus Normaal School),
seorang guru S.R. / S.D. yang pandai berbahasa Belanda,
adalah salah seorang pelopor Muhammadiyah di
kampungku. Kariernya sebagai guru dan Kepala Sekolah
cukup lama. Bahkan sempat bertugas di Pitala (Padang
Panjang) dan di Kubang Sirakuk (dalam Kabupaten
Sawahlunto atau Sijunjung). Pada waktu itu dan bahkan
sampai sekarang orang kampungku yang pandai
berbahasa Belanda adalah kakak iparku itu, dan mungkin
juga Rivai dari suku Piliang yang pernah menjadi camat
Sumpur Kudus.
Yang aku sedikit menyesal, seperti telah
kusinggung, adalah karena aku tidak pernah bertanya
kepada ayahku tentang ibuku, watak dan sifat-sifatnya
bagaimana. Maklumlah anak desa yang tidak cukup
punya angan-angan sejauh itu untuk bertanya. Sekiranya
itu aku lakukan, tentu ayahku dengan senang hati akan
menuturkannya, sekalipun dia sudah berumahtangga
dengan isteri-isteri lain. Hubunganku dengan ayahku
akrab sekali, begitu juga dengan abangku Nursahih,
66

kupanggil onga Sahih, seorang pendekar yang baru


menjalankan salat setelah agak berumur. Dengan kakak-
kakak perempuanku, hubungan itu terasa biasa saja,
apalagi mereka pun telah berumah tangga dengan unit
keluarganya masing-masing.
Jarak umur antara kami bersaudara seibu-seayah
bervariasi. Antara Rahima dan Nursahih hanya terpaut
sekitar dua tahun, antara Nursahih dan Nursiah tujuh
tahun, dan antara Nursiah dan aku juga sekitar tujuh
tahun. Ayah-ibuku membina hidup bersama selama 18
tahun dengan membuahkan dua puteri dan dua putera
dengan keturunannya masing-masing jumlahnya
hitungan peleton dan siapa namanya aku pun tidak tahu.
Keturunan darah Abdurrauf-Bailam mungkin jumlahnya
sudah ratusan, bertebaran di seluruh nusantara,
khususnya Sumatera, Jawa, dan Malaysia. Aku sudah
sulit mengenal mereka semua. Bertemu di jalan mungkin
kami sudah tidak saling menegur karena jarang atau tidak
pernah berjumpa.
Aku sudah merantau sejak tahun 1953 dalam usia
18 tahun: ke Jogjakarta, Lombok, dan Surakarta.
Kemudian kembali ke Jogja untuk meneruskan kuliah
pada F.K.I.S.-I.K.I.P. dan menetap di kota ini sampai
saat tua. Dari kampus I.K.I.P. (sekarang Universitas
Negeri Yogyakarta, U.N.Y.) aku meneruskan studi ke
Amerika Serikat dengan mengunjungi tiga kampus:
Northern Illinois University (DeKalb), Ohio University
(Athens), dan the University of Chicago (Chicago) antara
tahun 1972-1982. Tentang kuliah ini akan kuuraikan
pada porsinya.
Akhirnya di mana aku akan menetap bila tugas-
tugas kemasyarakatanku telah usai, aku pun tidak tahu.
Mungkin akan sangat tergantung kepada kondisi
67

kesehatanku dan pertimbangan isteriku Hj. Nurkhalifah


dan anak tunggal kami: Mohammad Hafiz. Pun di mana
aku akan berkubur, semuanya itu adalah rahasia Allah,
tak seorang pun yang dapat menentukan. Semboyanku
sederhana saja, yaitu kita jalani hidup ini secara wajar dan
sebaik mungkin, alamiah, jangan terlalu ngoyo (Bahasa
Jawa: tak sabaran, terlalu menguras enerji untuk
mencapai sesuatu). Bahwa aku seorang pekerja keras,
mungkin banyak orang yang sudah tahu, sekalipun
kamar kerjaku sering berantakan dan sumpek (Jawa: tidak
segar) karena dipadati buku, majalah, dan dokumen yang
tak sempat kuatur, karena sempitnya ruangan yang
tersedia. Dalam soal kerapian kamar kerja aku memang
tidak dapat dicontoh. Banyak dokumen yang tidak
berguna, kubiarkan saja “berkeliaran” dalam ruang kerja
yang sekaligus kamar tidurku. Dalam kamar inilah aku
menulis, membaca, dan merenung. Apa yang
direnungkan, kadang-kadang juga tidak jelas benar.
Sesaat setelah ibuku wafat, aku diberi tahu bahwa
ayahku menggendongku ke tepi Batang Sumpur, tak jauh
dari rumah kelahiranku sebelah barat melalui pematang
sawah. Sungai ini tak pernah kering, sumber
penghidupan para petani yang merupakan mayoritas
penduduk kampungku. Batang Sumpur ini digambarkan
sebagai: “Airnya jernih, pasirnya putih, tebingnya landai,
dan ikannya jinak,” sekalipun dalam kenyataannya ketika
hujan lebat airnya keruh juga, dan ikannya tidak pernah
jinak, kecuali yang sakit atau pingsan. Tetapi begitulah
caranya orang kampung memuja tanah kelahirannya,
semuanya serba dielokkan, semuanya serba dilebih-
lebihkan. Di kala kecil, aku juga gemar memuja
kampungku, karena memang di situ duniaku, sekalipun
penduduknya serba sederhana, dan banyak yang miskin.
68

Sampai setua ini, aku masih sering berkunjung ke


kampung, membantunya dalam batas-batas
kemampuanku, sebagaimana telah kusinggung
sebelumnya. Saat sering pulang, aku masih cukup dikenal
oleh penduduk Sumpur Kudus, apalagi oleh mereka
yang sudah berumur tua.
Ayah sewaktu ditinggal ibuku jelas merasa gundah
dan sangat kesepian. Aku hanya bisa membayangkan
betapa runtuh dan remuk perasaannya ketika ditinggal
isteri pertamanya dalam usia yang masih muda dengan
meninggalkan seorang anak kecil yang sudah piatu dan
samasekali belum paham apa makna kematian seorang
ibu bagi dirinya. Selagi sehat kabarnya ibuku kalau
bepergian biasa naik kuda dengan selendang sarung
Bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan
yang tak terlalu lazim di kampungku. Tetapi sebagai isteri
orang terkemuka pada tingkat nagari, masyarakat dapat
memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barangkali
ketika sedang berada di atas punggung kuda.
Gambaran tentang sosok ibuku hanyalah terbayang
dalam imajinasiku yang serba kabur, tidak lebih dari itu.
Tetapi kerinduanku kepada ibu tidak pernah surut.
Terasa teramat dalam dan tulus. Selain ibuku yang sering
menunggang kuda, menurut keterangan Nasaruddin
(lahir 1928), kemudian menjadi kakak iparku, adalah mak
Sarialam, ande Lia, seorang perempuan kaya di
kampungku, ande Karang, mak Rasia, ibunda Sanusi
Latief, kakak sesukuku di kampung. Mereka ini semua
adalah perempuan-perempuan elit pada masanya, sebuah
panorama yang tidak lagi diikuti oleh generasi
berikutnya. Apalagi budaya naik kuda sudah lampau,
digantikan oleh kendaraan serba bermesin, berasap, dan
tentu mengotori lingkungan.
69

Aku bayangkan betapa gagahnya perempuan-


perempuan yang menjadi ibu itu di punggung kuda.
Mereka menunggang kuda dengan jarak sekitar 60 km,
yaitu dari Sumpur Kudus ke pasar Kumanis pergi-
pulang. Mereka ke sana untuk berbelanja membeli
keperluan sehari-hari, berangkat hari Senen, kembali hari
Rabu. Hasil belian itu dibawa pulang oleh kuda beban
dengan seorang pengiring. Istilah kuda beban
menunjukkan profesi seseorang yang tugasnya
mengangkut barang: dari Sumpur bawa gambir, karet,
dan hasil hutan lainnya; dari Kumanis bawa barang
dagangan keperluan harian penduduk. Hari Selasa
merupakan pasar besar di Kumanis. Para pedagang
berdatangan ke sana dari berbagai kabupaten, seperti dari
Tanah Datar, Payakumbuh, bahkan dari Bukit Tinggi
dan Padang. Kumanis memang dikenal sebagai pasar
serba ada. Di sana terdapat pula pasar ternak. Juga pasar
kera dan beruk. Binatang pemanjat ini dilatih untuk
memetik buah kelapa, durian, mangga, petai, dan lain-
lain. Aku pun pernah memelihara beruk yang dikaryakan
ini. Sesekali dapat juga upah sebagai hasil menurunkan
buah kelapa orang lain. Di Minang, budaya beruk dan
cigak (kera) ini tetap lestari sampai hari ini, terbanyak di
daerah Pariaman sebagai gudang kelapa. Keadaan ini
sangat kontras dengan apa yang kusaksikan di Sulawesi
Utara, di mana peran manusia pemanjat kelapa sangat
besar dan menentukan. Mengapa mereka tidak belajar
kepada orang Minang dalam perkara manjat memanjat
ini? Seekor beruk atau cigak mampu menurunkan kelapa
sampai dalam jumlah ratusan sekali main, dengan syarat
disediakan makanan bergizi, seperti telor dan tebu.
Kembali kepada perempuan dan kuda. Apa bukan
merupakan sesuatu yang luar biasa, kaum perempuan
70

melebihi sebagian besar kaum pria yang bisa dan biasa


naik kuda pada masa itu. Aku yang laki-laki dalam
perkara menunggang kuda ini jauh tertinggal oleh ibuku,
karena aku memang tak pernah dilatih untuk itu.
Sekarang jangankan naik kuda atau memelihara kuda
beban, setelah ada mobil, orang kampungku sudah tak
pernah lagi melihat kuda, kecuali dalam tv atau pergi ke
daerah lain yang masih memelihara kuda, terutama untuk
menarik delman (bendi). Sungguh besar perubahan
akibat revolusi transporatasi dengan kekuatan mesin,
bensin, dan solar. Akibatnya roda peradaban pun
berputar semakin cepat. Entah untuk berapa miliar
tahun lagi, tak seorang pun yang bisa mengatakan. Tetapi
iman menyebutkan, bahwa perputaran itu akan berhenti
suatu ketika, matahari sudah tidak akan bersinar lagi,
sinar yang memberikan kehidupan kepada seluruh
makhluk.
Dengan budaya naik kuda, bukankah itu berarti
pula bahwa posisi perempuan di kampungku sangat
terhormat, tidak kalah dengan kaum pria? Dalam kultur
Minangkabau yang matrilinial, kaum perempuan secara
teori memang punya posisi dominan, tetapi kebiasaan
menunggang kuda, apakah terkait dengan konsep itu?
Aku tidak tahu! Yang pasti adalah bahwa ibuku
merupakan salah seorang di antara yang pandai
menunggang kuda. Aku pun bangga mendengar cerita
semacam ini, karena ibuku ternyata bukanlah manusia
kolot pada saat Indonesia masih berada di bawah sistem
penjajahan. Di sebuah nagari yang tersuruk, kebiasaan
perempuan naik kuda, bagiku adalah sebuah lambang
kemajuan dan kesetaraan. Dan salah seorang di
antaranya adalah ibu kandungku, Fathiyah, dipanggil
Patiah. Orang kampung menyebutnya onga Tiah.
71

Sepeninggal ibuku aku dipelihara bibiku Bainah,


adik ayahku, yang kemudian kawin dengan pamanku A.
Wahid, adik ibuku seibu. Tampaknya ayahku sengaja
menitipkan anaknya pada adiknya sendiri mungkin agar
dapat diawasinya dari dekat, karena rumah ayahku sangat
berdekatan dengan rumah bibiku. Sebelum aku pergi
merantau, selama 16 tahun pada periode pertama aku
hidup bersama bibi dan pamanku. Mereka berdua telah
sangat berjasa memelihara dan membesarkanku dengan
segala suka-dukanya. Aku tak sempat membalas jasanya
secara berarti. Kemudian sebelum aku berumah tangga
pada 1965, jika pulang kampung, aku masih juga ke
tempat bibiku Bainah yang sangat menyayangiku.
Kabarnya yang turut mencarikan isteriku Nurkhalifah
adalah bibiku ini melalui pendekatan antar keluarga,
khususnya antara dia dan mertuaku Sarialam.
Semasa di kampung biaya hidupku umumnya
dibantu ayahku. Bersama paman dan bibiku, aku juga
membantu bekerja di sawah, bahkan aku turut
mengembalakan sapi milik mereka. Menyabit dan
menjunjung rumput untuk makanan sapi tidaklah asing
bagiku, sekalipun yang aku pelihara hanyalah seekor sapi
jantan warna putih tetapi luar biasa berani (bagak)-nya.
Sapi (disebut jawi di kampungku) ini milik Saiful, adik
sepupuku yang pernah kuasuh dan kuajar mengaji selagi
kecil karena umur kami berjarak empat tahun.
Sapi ini sering kuadu dengan sapi-sapi lain yang
jauh lebih besar dan gagah. Yang menang pastilah sapi
peliharaanku. Kadang-kadang aku dan teman-teman
pergi ke Menganti (sekitar 5 km dari tempat tinggalku)
untuk mencari lawan sapi peliharaanku ini. Seingatku,
sapi putih yang bertanduk tumpul ini belum pernah
terkalahkan. Aku bangga memang dengan si bagak ini.
72

Sifat burukku adalah ini: suka mengadu sapi dan


mengadu ayam. Tentu bersama teman-teman sekampung
yang sebagian masih hidup sampai awal 2006. Mereka
rata-rata sudah berusia 70 tahunan seperti halnya aku.
Kejadian lain yang masih terekam dalam memoriku
adalah bahwa aku dan temanku Makdiah “mengerjain”
teman lain. Namanya Husin yang tak pandai berenang,
sementara air Batang Sumpur ketika itu sedang naik,
warnanya keruh kemerah-merahan. Suatu hari kami
bimbing dia menyeberangi sungai itu persis di sebuah
tepian di Calau, lalu ditinggal di seberang sana. Jelas saja
Husin menangis sejadi-jadinya. Tak lama kemudian kami
jemput lagi, tentu dengan perasaannya yang sangat
mendongkol akibat ulah buruk kami. Orang kampung
yang tak pandai berenang, apalagi laki-laki, jelas
merupakan sebuah kekurangan dan agak aneh. Bukankah
anak-anak muda di kampungku ketika itu suka bersianyut
(berenang dari arah hulu ke hilir)? Kadang-kadang
dengan menggunakan perahu batang pisang dan jerami.
Perkara badan menjadi gatal oleh miang jerami, tak
diraskan ketika itu. Pokoknya bersianyut sepanjang dua
km.
Tidak saja bersianyut, menjala ikan dan memancing
di Batang Sumpur, juga memerlukan kepandaian
berenang. Aku tidak tahu apakah Husin sampai tua tidak
pandai berenang atau keadaannya tetap saja seperti kami
“kerjain” puluhan tahun yang lalu. Aku berharap agar
otobiografi ini akan sempat dibaca teman-teman
sekampungku yang masih hidup, untuk bernostalgia
tentang kehidupan kampung yang penuh warna-warni
dan kadang-kadang menggelikan. Sebagai lukisan tentang
masa anak-anak yang ceria tanpa beban, tanpa angan-
angan yang membubung ke langit tinggi. Aku dan
73

teman-teman sebaya sama-sama menikmati suasana


penuh nostalgia itu.
Kembali ke sapi. Alangkah kagetnya aku kemudian,
sewaktu aku sudah belajar di Mu’allimin Lintau, aku
melihat sapi yang pernah kupelihara itu ternyata sudah
dijual dan dibawa orang ke arah Payakumbuh. Cukup
berat batinku dibuatnya, tetapi aku tidak dapat berbuat
apa-apa karena bukan aku yang punya. Selamat jalan sapi
peliharaanku untuk tidak mungkin berjumpa lagi.
Andaikata engkau mengerti, tentu engkau paham betapa
luluh perasaanku sewaktu engkau melewati Madrasah
Mu’allimin Lintau pada saat aku sedang istirahat. Engkau
ditarik orang untuk dijual atau disembelih, entah di
mana, aku pun tidak tahu. Kenangan akan keberanianmu
menghadapi lawan berkelahi tak pernah pupus dari
ingatanku.
Ternyata seorang anak manusia seperti aku dapat
saja punya kaitan batin yang dalam dengan seekor
hewan, apalagi hewan itu bagak sekali, tak pernah
terkalahkan. Sapi gagah bertanduk panjang dan runcing
belum tentu menang bertarung dengan sapi bertanduk
tumpul, tetapi punya semangat tempur yang dahsyat.
Mungkin juga manusia tidak banyak berbeda dengan
hewan. Seorang yang tungkainya gagah perkasa, tetapi
semangat hidupnya lembek, merengek, dan sering
menggerutu, memandang hidup ini dari sisi negatif
melulu, biasanya tak pernah berjaya. Sebaliknya sosok
manusia kecil tetapi punya élan vital (semangat hidup
yang perkasa), ungkapan ini berlaku baginya: “alu
tertarung patah tiga,” untuk sekadar mengutip bagian
kalimat lagu Minang, jika hal itu boleh digunakan di sini.
Bagiku, Islam menyatakan “ya” terhadap hidup, dengan
segala tantangan dan risikonya. Mungkin aku
74

dipengaruhi puisi Iqbal dalam Israr-e Khudi (Rahasia


Pribadi) dan karya-karya lain yang sudah menjadi klasik
itu. Di antara bait itu berbunyi: “Tak kan kukayuh
bidukku ke lautan tanpa buaya.” Iqbal sampai batas-
batas tertentu dalam hal kehebatan manusia terpengaruh
juga oleh sebagian gagasan F. Nietzsche, filosuf Jerman,
yang kontroversial itu.
Usiaku sekarang sudah jauh melampaui usia
ayahku, apalagi usia ibuku. Dari empat bersaudara seibu
seayah (Rahima, Nursahih, Nursiah, dan aku), tinggallah
aku yang dikurniai Allah hidup sampai sekarang,
sedangkan saudara seayah dari dua ibu yang lain yang
masih hidup (Jan. 2006) berjumlah sembilan: Safinar,
Yusnaini, Nurhayati, Amrina, Aurina Radiati, Asnarti,
Syukri, Agustar, dan Armayulis. Seluruhnya sudah
berkeluarga, bahkan sebagian sudah punya cucu,
sedangkan aku dengan putera tunggal (yang hidup),
jangankan punya cucu, punya menantu pun belum pada
saat otobiografi ini mulai ditulis. Baru bulan pada 10 Juni
2005 Hafiz putera kami menikah dengan puteri Jawa
Ginda Pramita Sari di Cimahi, Jawa Barat, karena
besanku punya rumah dan sekolah di sana. Adik-adikku
di Bandung turut jadi panitia dalam perkawinan ini
sebagai wakil orang tua Hafiz.
Di atas sudah kukatakan bahwa desa kelahiranku
bernama Calau (pernah diubah menjadi Koto Salo, entah
apa alasannya) dalam lingkungan kenagarian Sumpur
Kudus, kabupaten Sawahlunto atau Sijunjung, Sumatera
Barat. Kondisi nagari ini, 244 meter di atas permukaan
laut, sangat sederhana, tersuruk, 30 km dari jalan raya.
Penduduknya umumnya bertani. Ayahku Ma’rifah Rauf
Dt. Rajo Malayu, di samping bertani juga berdagang
gambir dan karet, sebagaimana telah kusebut
75

sebelumnya. Tetapi aku tidak pernah tahu apakah ayahku


pernah pula mencangkul di sawah sewaktu mudanya.
Ketika aku berusia setahun pada 1936 ayahku diangkat
menjadi Kepala Nagari yang dijabatnya sampai tahun
1945. Jadi ibuku setidak-tidaknya pernah pula menjadi
nyonya Kepala Nagari, sekalipun hanya sebentar
kemudian dia dipanggil Allah. Tetapi kira-kira bagi ibuku
menjadi nyonya orang penting atau bukan tidak banyak
bedanya. Budaya P.K.K. (Program Kesejahteraan
Keluarga) belum muncul ketika itu.
P.K.K. baru dikenalkan sejak masa pemerintahan
Jenderal Soeharto (1966-1998) yang berlanjut sampai
sekarang. Jadi ibuku tidak pernah jadi ketua P.K.K.
nagari. Andaikan itu terjadi, boleh jadi ibuku tidak bisa
melakukannya, karena kadang-kadang harus berpidato
dan memberi pengarahan (entah apa yang mau
diarahkan), sesuatu yang mustahil bagi seseorang seperti
ibuku yang boleh jadi buta huruf.
Sewaktu kecilku tidak ada cita-cita tinggi yang ingin
diraih, tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa,
karena memang lingkungan nagari yang sempit dan
sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi
sosok yang melebihi orang kampungnya. Semasa kecilku,
pengaruh kota belum menjalar ke kampungku, karena
televisi saat itu belum lagi ada. Wawasanku pun hanyalah
sebatas nagari Sumpurkudus. Paling-paling sekiranya aku
pandai berpidato di masjid kampung, rasanya sudah luar
biasa. Sudah merasa dihargai orang banyak. Cita-citapun
hanya tertumbuk sampai di situ.
Aku memang mengagumi orang yang mahir
berpidato. Sewaktu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus, aku pernah dibuatkan
teks pidato oleh A. Rahman Gafur (guru S.R.), adik
76

Muchtar Gafur, salah seorang tokoh Muhammadiyah


yang pernah menjabat sebagai Ketua D.P.R.D. Kab.
Sawahlunto atau Sijunjung dari partai Masyumi tahun
1950-an. Aku masih ingat di antara teks pengantar
pidatoku itu ada ungkapan yang kira-kira berbunyi:
“Dengan hati gedebak-gedebur saya beranikan diri
berdiri di depan para hadirin dan hadirat yang mulia.”
Sebagai pengagum pidato orang, kata-kata pembukaan
yang dibuatkan Rahman itu masih melekat di benakku,
sekalipun mungkin tidak persis seperti kutipan itu karena
terjadi lebih setengah abad yang lalu. Tetapi ungkapan
“gedebak-gedebur” memang ada dalam teks pengantar
pidato itu. Dasar anak kampung, kelahiran Calau lagi,
membuat ungkapan “gedebak-gedebur” saja harus minta
bantuan segala.

D. Dinamika Retorika dan Mu’allimin Balai Tangah atau


Lintau.
Dalam kehidupan sehari-hari aku bergaul dengan
teman-teman sekampung, mengadu sapi, mengadu ayam,
mengail, menjala, menembak burung dengan senapan
angin milik abangku, dan gembala sapi, seperti telah
disinggung di atas. Pernah juga aku mencangkul sawah
(batobo) bersama pak enek A. Wahab, adik bungsu
ayahku lain ibu. Itu terjadi antara tahun 1947-1950,
sewaktu aku masih belum belajar ke madrasah Muallimin
Lintau di Balai Tangah dalam kabupaten Tanah Datar.
Usiaku ketika itu sedang merangkak menuju 15 tahun,
sangat belia bukan? Sebuah usia yang penuh canda, tidak
banyak yang menjadi beban.
Di madrasah Mu’allimin Balai Tangah aku belajar
antara 1950-1953. Di tempat baru ini, sudah tentu
wawasanku sudah semakin luas, tetapi cita-cita untuk jadi
77

sarjana tidak terbayang sama sekali. Jangankan terbayang,


kata sarjana itu sendiri aku pun tidak paham. Di tahun
1950-an itu di Lintau seorang tamatan S.M.A. saja sudah
sangat dihormati. Begitu tingginya posisi seorang
terpelajar masa itu, karena populasinya masih sangat
langka. Salah seorang guruku dalam mata pelajaran
aljabar dan ilmu ukur di Lintau yang berasal dari
Kamang kabarnya tidak tamat S.M.A., tetapi sudah
diminta jadi guru Mu’allimin. Karena kurang berbakat
dalam ilmu serba eksak ini, hubunganku dengan guru ini
tidak begitu akrab.
Tempat tinggalku di Lintau berpindah-pindah.
Pernah juga di rumah etek Lamsiah, di Tapi Selo. Dua
dari adik Lintauku, aku yang memberi nama: Agustar
dan Armayulis. Agus seorang insinyur teknik industri
dan Arma tamatan D3, semuanya di kota Bandung, jauh
sepeninggal ayah kami. Sesekali kami masih saling
mengunjungi. Maklumlah masing-masing terbenam
dengan kesibukan hidupnya di rantaunya masing-masing.
Adik-adik Lintau ini tak seorang pun yang tinggal di
kampung asalnya. Rantau telah menjadi tumpuan hidup
mereka. Sebuah catatan perlu kutambahkan di sini.
Belakangan ini adik-adik ini tidak lupa menyiapkan
seekor sapi qurban untuk disembelih di kampung
ayahnya, sebuah sikap yang patut dipuji. Mereka tidak
lupa bahwa separo darahnya berasal dari Sumpur Kudus
dan pernah dibesarkan oleh air Batang Sumpur.
Di antara adik-adikku, baru Syafril (alm.) dan
Nurhayati yang paling berhasil mendidik anak-anaknya.
Ada yang jadi dokter, insinyur. Pokoknya sebagian besar
anaknya jadi sarjana. Dengan modal pendidikan ini
mereka memperbaiki status sosialnya, jauh melebihi
orang tuanya sendiri. Sekiranya kami semua masih
78

“terbenam” di Calau, tidak tahulah ke mana biduk nasib


ini akan dikayuh selanjutnya. Atau tidak akan bergerak ke
mana pun, berhimpit dan berdesak-desak di Sumpur
Kudus, sulit untuk dikatakan. Kematian seorang ayah
memang sangat ditangisi dan terasa pilu sekali, tetapi di
balik itu ternyata selalu tersimpan hikmah yang baru
kemudian dapat dirasakan. Allah mengatur semuanya ini,
sementara manusia hanya bisa mengancang-ancang,
tidak lebih dari itu.
Sebagai Kepala Nagari dan pedagang, ayahku cukup
disegani masyarakat. Dialah tempat orang bertanya dan
mengadu, tetapi aku belum pernah tahu apakah ayahku
pernah naik podium untuk berpidato. Sebagai kepala
suku Malayu, ayahku sangat paham adat nagari dalam
bingkai alam Minangkabau. Sekalipun pendidikannya
hanyalah sampai tingkat S.R. lima tahun, karena
kesukaan dan hobinya membeli dan membaca buku,
pengetahuannya di atas rata-rata orang kampung. Setelah
wafat, buku-buku peninggalannya terserak entah ke
mana. Sekiranya masih tersimpan dengan baik, aku tentu
bisa melihat buku-buku apa saja yang pernah dibaca
ayahku dan yang telah mempengaruhi pola fikirnya.
Saat masa kecilku tinggal bersama bibi dan paman,
aku dekat sekali dengan tempat tinggal ayahku bersama
ibu tiriku: Maran dan Lamsiah, yang didatangkan secara
bergiliran ke Calau. Keduanya berasal dari kecamatan
yang berbeda: Koto VII dan Lintau Buo yang dikawini
ayahku tahun 1938, setahun setelah ibuku wafat. Ayahku
masih punya tiga isteri yang lain, tetapi tidak punya
keturunan. Seingatku, ayahku pernah hidup bersama tiga
isteri, salah seorang dari nagari Sisawah, dalam waktu
yang bersamaan, tetapi yang bertahan sampai ajalnya
hanyalah dengan mak Maran dan etek Lamsiah, nama-
79

nama yang telah kusebut di atas. Sepengahuanku, mak


Maran dan etek Lamsiah jarang sekali bertengkar bila
bertemu. Hanya sekali aku ingat mereka berkelahi, saling
menarik rambut, cara perempuan untuk menunjukkan
kebolehannya dalam menundukkan saingannya. Tentu
ketika saling menarik rambut itu, celoteh Minang
berhamburan ke luar tanpa kendali.
Sewaktu ibuku masih hidup, ayahku pernah pula
menikahi seorang perempuan desa, Kariman, tetapi tidak
bertahan lama. Kabarnya ibuku tidak bisa dimadu. Demi
menenggang perasaan ibuku, ayahku berpisah dengan
isteri keduanya ini. Sampai saat ibuku wafat pada 1937,
ayahku tidak menambah isterinya. Salah satu sifat ayahku
adalah bahwa dia tidak pernah menyia-nyiakan anak-
anaknya. Dari satu ayah dengan tiga isteri kami
bersaudara berjumlah 15, sebagian sudah wafat. Semua
anaknya dirawat, dibesarkan, dan dididiknya, sekalipun
hanya sampai S.R. atau S.D., S.M.P. (Syafril), dan
madrasah Muallimin, yaitu aku. Di antara 15 bersaudara,
aku lebih daripada bersyukur, karena pendidikanku
sampai tuntas, Ph.D. dari Universitas Chicago (1983),
Amerika Serikat, sesuatu yang tak terbayangkan oleh
ayah apalagi oleh ibuku.
Hanya Engkaulah ya Allah yang memahami betul
betapa dalamnya rasa syukurku kepadaMu. Arwah ayah-
bundaku tentu akan tersenyum menyaksikan anak
bungsunya sampai belajar jauh ke Barat. Tanpa
bimbinganMu ya Allah, anak piatu yang digendong
ayahnya ke tepi Batang Sumpur setelah ibunya wafat
boleh jadi tidak akan ke mana-mana. Paling-paling jadi
pedagang kecil tingkat desa atau kecamatan, lalu beranak
pinak di sekitar itu. Oleh sebab itu jangan biarkan aku
lengah dalam bersyukur kepadaMu. Jangan Engkau
80

biarkan aku mati rasa setelah bergunung ni’matMu


dilimpahkan kepadaku sekeluarga, ni’matMu yang tanpa
putus, tanpa batas.
Kebiasaan beristeri lebih dari satu ini di Sumpur
Kudus bukanlah dimonopoli ayahku sendiri. Sebagian
teman-teman sebayanya jika kondisi ekonominya
memungkinkan juga melakukan hal serupa. Yang tidak
masuk akal adalah, seorang lelaki yang tak mampu secara
ekonomi, juga ada yang berpoligami. Aku heran,
mengapa perempuan juga mau dimadu dengan kondisi
semacam ini? Sekarang kebiasaan itu di desaku sudah
jauh berkurang, tetapi hobi kawin-cerai masih
berlangsung dengan segala akibat buruknya, terutama
bagi anak-anak yang dihasilkannya. Tidak berbeda
dengan ayahku, pamanku Mattudin, dan kakakku
Nursahih yang juga beristeri lebih dari satu juga yang
tidak pernah menelantarkan anak-anaknya. Sebagian laki-
laki orang kampungku bila sudah bercerai, anaknya
umumnya menderita tanpa belas kasih dari ayahnya.
Maka terserahlah kemudian kepada bekas isterinya untuk
menghidupi anak-anak yang telah ditinggal hidup
ayahnya sendiri. Sebuah tabiat yang buruk sekali dari
manusia yang tidak bertanggungjawab. Sebagian manusia
kampungku memandang praktik kawin-cerai sebagai
suatu yang enteng saja. Bagaimana akibat buruknya bagi
keturunannya tidak dipikirkan jauh.
Sumpur Kudus, desa tertinggal, sampai 2003 belum
lagi mengenal listrik, kecuali dengan diesel. Aspal sudah,
tetapi tidak ada yang bertahan lama karena kualitas
campurannya yang tidak baik. Di usia lanjutku, di Jakarta
aku turut melobi ke sana ke mari agar desaku ini
diperhatikan. Agar rakyatnya juga merasakan bagaimana
rasanya hidup di lingkungan fisik yang agak modern
81

dengan aspal dan listrik. Aku senantiasa berharap pada


waktu itu, mudah-mudahan lobi-lobi ini bakal
membuahkan hasil dalam tempo dekat. Di antara pejabat
P.L.N. pusat yang paling berjasa adalah Dr. Herman
Darnel Ibrahim, salah seorang direktur, yang dikenalkan
kepadaku oleh Al Hilal Hamdi, mantan menteri era
reformasi. Pertemuanku dengan Herman di Kantor P.P.
Muhammadiyah Jakarta, kemudian juga dikuatkan oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Poernomo
Yusgiantoro, akhirnya telah membuahkan suatu hasil
yang sangat spektakuler: listrik masuk kampungku dan
ke nagari lain dalam kecamatan Sumpur Kudus. Bahkan
Bung Herman berkunjung sendiri ke kampungku dan
berjanji bahwa listrik akan mengalir ke nagari tersuruk
itu. Peresmiannya dilakukan tanggal 29 Januari 2005,
sebuah tanggal hasil rundinganku dengan Bung Herman
yang akan datang sendiri untuk menekan tombol. Dapat
dibayangkan betapa bahagianya orang kampungku
karena mendapat “durian runtuh” ini. Biaya yang
dikeluarkan untuk itu sekitar Rp. 3 miyar, kemudian
membengkak menjadi Rp. 4,3 milyar, sebuah angka yang
sangat besar bagi ukuran kampungku. Keberhasilan lobi
ini tentu tidak bisa dilepaskan dari posisiku sebagai
Ketua P.P. Muhammadiyah (periode 1998-2005).
Sebelum aku melanjutkan cerita tentang perjalanan
hidupku semasa di kampung, aku teringat pada suatu
hari aku dibawa ke Padang dalam usia kelas II atau kelas
IV S.R. Aku menginap di sebuah hotel di kota itu.
Mungkin itulah aku pertama kali mengenal lampu listrik
yang bisa dihidupkan atau dimatikan hanya dengan
menekan tombolnya di dinding. Seingatku aku bertanya
kepada kaktuo Djarah, sahabat kakakku Nursahih, yang
juga menginap di hotel itu: apakah listrik itu bisa dibawa
82

ke kampung. Tentu saja dijawab bahwa itu tidak bisa.


Cobalah bayangkan betapa pandirnya aku yang ingin
membawa listrik ke kampung, seperti orang membawa
lampu minyak tanah saja. Tentu cerita “orang pandir” ini
tidak ada kaitannya dengan masuknya listrik ke
kampungku puluhan tahun sesudah aku bertanya kepada
kaktuo Djarah pada tahun 1940-an. Kaktuo Djarah
pernah menjabat Kepala Nagari Sumpur Kudus setelah
ayahku.
Sekolah rakyat enam tahun aku tamatkan di
Sumpurkudus pada tahun 1947, tanpa ijazah karena
sekolah kami pada masa revolusi kemerdekaan itu tidak
mengeluarkannya. Seharusnya aku baru tamat pada 1948,
tetapi karena aku termasuk mereka yang pernah naik dua
kali dalam setahun, maka pendidikan S.R. cukup
kutempuh dalam masa lima tahun. Pada masa revolusi,
semuanya berantakan, semuanya tidak teratur. Guru-
guru pun tidak pernah lengkap. Bahkan aku masih ingat
salah seorang guru kami lantaran sulitnya hidup (aku
agak lupa apakah pada masa Jepang atau masa revolusi),
sampai-sampai merotasikan letak celananya. Kadang-
kadang bagian muka diputar ke belakang dan sebaliknya
agar lebih tahan lama. Aneh memang, tetapi itulah risiko
kesulitan hidup yang hampir-hampir tak tertahankan,
namun proses belajar-mengajar tetap berlangsung. Itulah
panggilan seorang guru yang tidak mengenal putusasa
dalam mendidik anak-anak kampung. Jasa mereka semua
telah turut mengisi otak dan hatiku melalui pendidikan
S.R. Tanpa pengabdian mereka tentu anak-anak usia
sekolah di kampungku akan terlantar dan buta aksara.
Alangkah hinanya, bukan?
Pada sore hari untuk beberapa lama aku belajar
agama pada Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah
83

Sumpur Kudus. Di madrasah inilah aku mulai mengenal


gerakan Islam yang bernama Muhammadiyah. Malamnya
di surau di Calau aku belajar mengaji al-Qur’an dengan
guru utamanya A. Wahid, pamanku. Muhammadiyah
masuk ke Sumpur Kudus sekitar tahun 1937/1938,
sewaktu usiaku dua atau tiga tahun. Tokoh-tokoh
Muhammadiyah setempat di antaranya: Harun Malik, A.
Latief Dt. Rajolelo, Syamsuar, Muchtar Gafur, M. Nalam
(suami Rahima, wafat pada 3 Jan. 2004 dalam usia yang
sudah sangat lanjut), A. Wahid, Rivai Dt. Rajo Malayu,
M. Tari, Makkah, Suki Khatib Rajo, Rajo M. Rusjid,
Sutan Bachtiar, Mattudin Rauf (adik ayahku, wafat pada
2 Mei 2004, jam 6.40 pagi di Calau dalam usia 87 tahun),
Maangkat, dan Kahar, sementara pamanku Marah lebih
dekat ke Perti. Zulkifli Mahmud, tokoh Muhammadiyah
dari Lintau, juga berjasa dalam mengembangkan
Muhammadiyah di kampungku.
Kecuali Kahar, nama-nama di atas di saat bagian ini
ditulis telah tiada semua. Ayahku sendiri tampaknya
tidak terlibat langsung dalam Muhammadiyah. Mengapa
demikian, aku tidak tahu. Mungkin karena kedudukannya
sebagai kepala nagari harus bersikap netral, tidak
berpihak kepada Perti atau kepada Muhammadiyah.
Atau mungkin juga karena kesenjangan umur antara
ayahku dan pimpinan Muhammadiyah. Jadi terdapat
jarak psikologis dengan mereka. Ayahku tampaknya juga
pengagum Hamka lewat Tasawuf Modern-nya.
Dari famili senenek pihak ibu, kami terbelah dalam
paham agama dalam arti fiqh harian, sebagian besar
pendukung Perti, sebagian pendukung Muhammadiyah,
seperti telah disinggung di muka. Terasa sekali bahwa
pada masa-masa itu di Sumpur Kudus antar Perti dan
Muhammadiyah senantiasa bersaing, saling berebut
84

pengaruh. Masa kecilku ditempa dalam suasana


persaingan itu. Sebenarnya tidak ada masalah besar
tentang agama yang diperbincangkan mereka. Paling-
paling berdebat tentang persoalan khilafiah, soal qunut
subuh, ushalli, permulaan puasa dan hari raya, rakaat
tarawih, dan masalah kenduri orang mati. Dari delapan
nagari dalam kecamatan Sumpur Kudus sampai baru-
baru ini, hanyalah Sumpur Kudus dan Silantai yang
berhasil ditembus oleh Muhammadiyah.
Nagari-nagari yang lain: Unggan, Mangganti,
Sisawah, Tamparungo, Tanjung Bonai Aur, dan
Kumanis, seakan-akan tertutup bagi gerakan Islam non-
mazhab ini. Ya, biasa Muhammadiayah dinilai sebagai
gerakan pembawa agama baru yang merusak Islam.
Dalam perjalanan waktu, anehnya adalah semua gerakan
pembaru di mana pun di muka bumi, telah dilawan dan
dimusuhi, tetapi kemudian diam-diam diikuti, karena
gerakan ini berbuat sesuatu yang kongkret untuk
kepentingan masyarakat banyak. Maka perjalanan
Muhammadiyah di seluruh tanah air sering ditandai oleh
sikap-sikap permusuhan, antipati, dan yang sebangsa itu,
ketika Muhammadiyah belum mereka pahami.
Namun sejak tahun 2000, Muhammadiyah telah
mulai mengembangkan sayapnya ke seluruh nagari dalam
kecamatan Sumpur Kudus, sesuatu yang tak
terbayangkan 50 tahun yang lalu. Perhatian terhadap
Muhammadiyah di sana kini besar sekali hingga
beberapa ranting telah resmi berdiri. Sudah tentu aku
bangga mengikuti perkembangan itu semua karena
berlaku pada waktu aku menjabat Ketua P.P.
Muhammadiyah, sesuatu yang tidak pernah kuimpikan
sebelumnya. Kepada pengurus cabang Sumpur Kudus
yang sekarang selalu kukatakan agar energi jangan
85

dihabiskan untuk masalah khilafiah. Tunjukkan secara


tulus dan dengan bukti bahwa Muhammadiyah adalah
gerakan untuk kepentingan orang banyak bagi upaya
pencerdasan, penyantunan, penyadaran, dan pencerahan.
Melalui metode dan pendekatan model ini, lambat atau
cepat, Muhammadiyah akan menjadi milik masyarakat
tanpa kecuali. Muhammadiyah harus memahami dengan
baik tradisi dan kondisi lokal agar gerak da’wahnya
berjalan lebih lancar dan efektif.
Sudah tentu ide-ide besar di atas tidak pernah
singgah dalam benakku sewaktu aku terlibat dalam debat
khilafiah di kampungku tempo doeloe. Suatu metode
da’wah yang menguras tenaga, tetapi untuk jangka
panjang tidak bernilai strategis harus ditinjau kembali
oleh kalangan Muhammadiyah. Harus disusun strategi
baru dengan mengemukakan pandangan dunia al-Qurán
yang menilai kehidupan dunia ini penting, sekalipun
bukan tujuan, hubungan antar tauhid dan keadilan,
konsep persaudaraan universal sesama Muslim dan antar
Muslim dan non-Muslim, tentang mutlaknya penguasaan
ilmu pengetahuan, prilaku hidup yang jujur, bersih, dan
prinsip egalitarian. Semua atribut mulia ini kuketahui
setelah aku mengembara ke berbagai bagian dunia sambil
membaca beberapa literatur, khususnya setelah aku
belajar di Chicago. Tetapi amal kongkret untuk
menyantuni masyarakat yang sudah menjadi merek paten
Muhammadiyah wajib diteruskan dan dikembangkan
secara kreatif.
Pengalaman masa kecil dan masa belajar di S.R. di
Sumpur Kudus tentu ada pengaruhnya dalam
pembentukan kepribadianku kemudian. Tapi kebiasaan
cara desa tetap saja melekat pada diriku di usia senja ini.
Hobi berbelanja ke pasar atau ke lepau kecil sekalipun
86

sampai hari ini masih belum berpisah dari diriku. Banyak


orang bertanya tentang ini kepadaku, tetapi kujawab
dengan penuh kebanggaan, karena itulah aku. Bagi
sementara orang, cara hidupku ini terlalu bersifat desa.
Betul, sebab aku tidak mungkin menjadi pribadi lain
selain diriku. Aku tidak pernah merasa jadi kecil dengan
kebiasaan semacam ini. Juga tidak merasa besar kalau
hidup ala kampung itu kutinggalkan.
Dalam usia di atas 70 tahun aku masih biasa
menyetir mobil sendiri, asal tidak untuk perjalanan yang
terlalu jauh. Bahkan lebih jauh dari itu, jika isteriku tidak
ada di rumah, aku biasa berbelanja dan memasak sendiri.
Dalam budaya hidup mandiri ini, aku termasuk yang
beruntung karena merasa tidak ada kecanggungan sama
sekali. Untuk membuat menu sambal yang agak lezat,
aku sering minta diajari isteriku. Sekarang untuk jenis
makanan rebus ikan, aku bisa bertanding dengan siapa
saja dari segi rasa, tanpa bumbu masak yang aneh-aneh,
tanpa ajinomoto.
Bahkan aku malah merasa bangga karena ciri
kedesaan tetap melekat pada diriku. Apa sulitnya bagiku
untuk hidup seperti orang desa, karena memang aku
orang desa. Bukankah aku selama 18 tahun telah
dibentuk oleh suasana lingkungan desa? Desa yang
sampai sekarang masih sering kukunjungi, sekalipun aku
tidak punya rumah lagi untuk tinggal di sana. Jika pulang
kampung, aku sering menginap di rumah anak kakakku
Suherman, atau di rumah sepupuku Asril Ma’ruf. Jika
pulang bersama keluarga, tentu aku menginap di rumah
saudara isteriku setelah aku berumah tangga pada
Pebruari 1965 yang pada gilirannya akan kubicarakan apa
adanya tentang suasana perkawinanku yang serba
sederhana.
87

Pengalaman selama di Lintau


Di atas sudah disinggung bahwa aku melanjutkan
pelajaran ke Lintau setelah menganggur selama tiga
tahun akibat revolusi. Bila dibandingkan dengan Sumpur
Kudus, Lintau jauh lebih maju. Masalah sarana jalan raya
sudah lama dimilikinya, dan lokasinya pun mudah
dicapai. Seorang tokoh Chairul Saleh, orang penting
pada era Bung Karno, berasal dari Lubuk Jantan, salah
satu nagari di Kecamatan Lintau-Buo. Jadi jika aku
belajar ke sana, memang sudah sepantasnya. Bukankah
Buo dikenal sebagai tempat Rajo Adat dalam tambo
Minangkabau setelah Islam? Dari trio raja tigo-selo, Rajo
Alam di Pagarruyung, Rajo Adat di Buo, dan Rajo Ibadat
di Sumpur Kudus, untuk sekadar mengulangi apa yang
sudah kusebutkan. Aku tidak tahu mengapa seorang rajo
(raja) pernah bertahta di Sumpur Kudus. Tetapi dari
tuturan sejarah, Sumpur Kudus memang dikenal sebagai
Mekkah Darat, sebab di sanalah pada abad-abad yang
lalu terdapat pusat kajian Islam, di samping pusat
perdagangan emas, kopi, dan lain-lain. Kemudian pusat
itu berpindah, maka Sumpur Kudus ditinggalkan, dan
jadilah ia sebagai desa yang lengang dan miskin, seperti
berulang telah kututurkan pada halaman-halaman lain.
Ada beberapa catatan penting yang patut
direkamkan di sini dalam proses dan selama aku belajar
di Balai Tangah, Lintau.
Pertama, Lintau tidak terlalu jauh dari kampungku,
yaitu sekitar 48 km. Bila terpaksa, berjalan kaki pun
mungkin, dan cara itu pernah kujalani sewaktu libur
kuwartal untuk pulang kampung, sekalipun tidak selalu.
Tetapi yang terus kulakukan adalah berjalan kaki dari
Sumpur ke Kumanis sepanjang 27 km, dan sebaliknya.
88

Jika rata-rata 5 km per jam, perjalanan Lintau-Sumpur


akan memakan tempo sekitar 11 jam plus istirahat di
jalan. Tentu aku tidak sendirian “lawalata” sejauh itu,
sebab teman-teman Sumpur dan Silantai banyak juga
yang belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Balai Tangah. Aku mungkin adalah generasi ketiga yang
belajar di sana. Sebelum itu telah pula belajar ke sana
Djuli Taha, Sjafril Tahar, keduanya dari Sumpur Kudus.
Kemudian menyusul Ali Akbar (Silantai), Nawadir
Makkah, Damhuri Gafur, Ismael Rusyid, Sjamsu Kamar.
Enam teman ini setahun di atasku. Generasi sesudahku
masih ada juga yang belajar ke sana.
Kedua, pada awal 1950-an di kampungku beredar
berita bahwa madrasah Muallimin Lintau itu hebat sekali.
Dalam tempo tiga tahun orang akan mendapatkan ilmu
agama melebihi dari sekolah-sekolah lain dengan sistem
belajar yang lebih lama. Maka sepakatlah keluargaku
untuk meneruskan sekolahku ke sana, tetapi harus
melalui ujian masuk. Ujian itu aku lalui dengan susah
payah karena bekal S.R.-ku sama sekali tidak memadai.
Hasilnya sudah dapat diduga: aku tidak lulus. Namun
karena berasal dari desa terpencil, aku terpaksa diterima
juga. Seorang anak udik tampaknya perlu disantuni oleh
guru-guru madrasah pada waktu itu, apalagi antara
Muhammadiyah Sumpur Kudus dengan Muhammadiyah
Lintau telah terjalin hubungan yang rapat. Ini
menguntungkan posisiku yang tidak lulus tes masuk.
Ketiga, setelah aku secara berangsur dapat
menyesuaikan diri dengan suasana belajar, maka pada
ujian kenaikan dari kelas satu ke kelas dua, aku semula
meraih ranking nomor lima. Tetapi malangnya karena
salah hitung angka rapor, aku diturunkan menjadi nomor
enam, sebab ternyata ada murid lain yang seharusnya
89

mendapat nomor dua, semula terlupa tidak dimasukkan.


Pengumunan mengatakan bahwa ranking nomor enam
terpaksa diadakan karena kesalahan kalkulasi di atas.
Tetapi bagiku tidak mengapa karena ranking enam bagi
orang yang tak lulus ujian masuk adalah suatu prestasi
yang luar biasa. Tidak dapat ranking pun, aku gembira.
Mungkin jika tidak naik kelas, tentu aku akan merasa
malu, karena itu dapat diartikan sebagai seorang yang
tidak layak untuk belajar lanjut ke tingkat sekolah
menengah. Bayangkan, usia 15 tahun baru masuk kelas
satu Mu’allimin, gara-gara revolusi kemerdekaan. Seumur
itu ibuku sudah berumah tangga dengan ayahku. Dalam
keadaan normal, usia sekian itu sudah ancang-ancang
untuk melanjutkan ke S.M.A. atau yang sederajat. Tetapi
tanpa perlawanan dalam revolusi, apakah pada 17
Agustus 1945, Indonesia sudah merdeka?
Keempat, kecuali ujian terakhir kelas tiga, aku selalu
menjadi juara nomor satu sejak kelas dua. Pada ujian
penghabisan, aku turun menjadi nomor dua karena
kelalaianku sendiri. Pada saat-saat menjelang ujian, aku
belajar naik sepeda sewaan dengan semangat tinggi di
lapangan bola di Balai Tangah, hingga waktu belajarku
menjadi tersita karenanya dan kakiku terluka sampai
berdarah-darah, tetapi bangganya bukan main, orang
kampung bisa naik sepeda. Selain ujian sekolah, murid
kelas tiga Mu’allimin harus ikut ujian bersama
Mu’allimin-Mu’allimin yang lain, bertempat di Bunian,
Payakumbuh. Aku lulus dengan baik dalam ujian
bersama itu. Apa tidak hebat Muhammadiyah daerah
ketika itu, demi menjaga mutu, diadakan ujian persamaan
Mu’allimin dalam satu propinsi. Aku pun merasa bangga
dapat turut dalam ujian ini. Perasaanku ketika itu,
alangkah rancak-nya kota tempat ujian persamaan ini.
90

Rancak (bagus), tentu bila dibandingkan dengan


kampungku dan Lintau.
Payakumbuh bagiku pada waktu itu adalah sebuah
kota yang ramai. Bahkan tentu lebih ramai bila
dibandingkan dengan Lintau, tempatku belajar selama
tiga tahun. Adapun kampungku demikian sunyinya,
kadang-kadang di kala malam, ngauman harimau masih
terdengar dengan penuh wibawa dan sangat menakutkan
penduduk. Belakangan kabarnya harimau itu sudah
menghilang, jejaknya saja sudah sulit untuk dijumpai, di
dalam hutan yang jauh sekalipun, dikalahkan oleh
manusia yang memburunya untuk tujuan komersial.
Pencinta lingkungan hidup dan satwa tentu risau dengan
menghilangnya raja hutan ini, sekalipun sewaktu
mengganas, orang kampung pernah diterkamnya. Akibat
menghilangnya harimau ini, babi hutan yang biasa
menjadi makanan empuk raja hutan ini menjadi
merajalela. Untunglah orang Minang punya hobi berburu
babi untuk santapan anjing-anjing mereka. Dengan cara
ini, populasi babi hutan sebagai musuh petani dapat
dikurangi.
Kelima, aku harus mengucapkan rasa terima kasih
yang tulus kepada semua guruku selama aku belajar di
Lintau. Tanpa didikan mereka, aku tak mungkin
mengembara begini jauh. Khusus untuk guru-guru
agama menurut kesanku mereka semua adalah ahli di
bidangnya. Penguasaan Bahasa Arab mereka cukup
bagus hingga bila diukur dengan standar pesantren di
Jawa, mereka semua adalah para kiyai yang mumpuni.
Khath (tulisan Arab) mereka bagus sekali. Kini sebagian
besar mereka telah tiada. Pada saat tulisan ini dibuat,
mungkin ada dua guruku yang masih hidup: Dt. Bandaro
Ratih dan Ustaz Mahyuddin Dt. Indomadjo, guru
91

Bahasa Arab dan guru Bahasa Inggris/Bahasa Indonesia,


tiga pelajaran yang sangat kugemari. Dt. Bandaro Ratih
dalam usia hampir 90 tahun masih kuat pergi
meninggalkan Lintau. Bahkan pada waktu syukuran
setahun listrik masuk desa tanggal 29 Januari 2006,
guruku ini malah datang menemuiku di nagari Silantai,
sekitar 2 km utara Sumpur Kudus. Seharusnya muridlah
yang mengunjungi guru. Tetapi karena keterbatasan
waktu aku tidak dapat berbicara agak lama dengan
beliau.
Keenam, selama belajar di Lintau aku bersama
teman-teman dari Sumpur Kudus dan Silantai hidup
secara berdikari, belanja dan masak sendiri dengan menu
yang serba sederhana. Yang penting aku akhirnya dapat
menyelesaikan madrasah Mu’allimin dengan prestasi
yang tidak mengecewakan, tetapi bagaimana selanjutnya?
Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dipecahkan, karena
pada waktu itu kondisi ekonomi ayahku tidak lagi kuat,
sementara adik-adikku masih kecil-kecil dari dua rumah
tangga.
Sebenarnya sewaktu aku hampir merampungkan
belajar di Mu’allimin Lintau, sudah terbetik pikiran untuk
berdagang kecil-kecilan ke daerah hilir (daerah Riau
Daratan sekarang). Pikiran ini pernah kusampaikan
kepada etek Lamsiah dan mendapat dukungan. Tetapi
pertemuan dengan Sanusi Latief di kampung telah
mengubah jalan hidupku, berlaku perkisaran secara
mendasar, sekalipun kemudian sering tertatih-tatih dan
berliku-liku. Kemana aku setelah Mu’allimin Lintau,
sementara usiaku sudah 18 tahun?
Jawaban terhadap pertanyaan ini berkait erat
dengan peran M. Sanusi Latief, pelopor gerakan
pencerahan intelektual Sumpur Kudus. Sanusi kelahiran
92

1928 adalah pekerja keras dan sosok yang sangat gigih


dalam mencapai cita-cita. Akhirnya dia berjaya. Liku-liku
perjalanan hidupnya yang penuh warna akan dapat
mengilhami generasi yang datang kemudian di nagari itu,
sekiranya mereka mau mengambil pelajaran. Di Jogja
untuk mempertahankan hidup, Sanusi pernah
merangkap jadi tukang potong rambut di pinggir jalan.
Sebuah contoh kegigihan dari seorang pekerja keras,
demi ilmu pengetahuan. Aku tidak bisa membayangkan
masa depanku jika seorang Sanusi, perintis pendidikan
tinggi tidak lahir dari rahim Sumpur Kudus.

II. KE YOGYAKARTA dan PERAN SANUSI LATIEF

A. M. Sanusi Latief dan Hijrah Menuntut Ilmu


Peranan kakak sesukuku M. Sanusi Latief
(kemudian bergelar Dt. Bandaro Hitam) cukup besar
dalam mengubah jalan hidupku. Dialah yang mengajakku
belajar ke Jogjakarta bersama dua adik sepupunya: Azra’i
dan Suwardi. Reaksi ayahku terhadap ajakan ini tidaklah
terlalu positif, mungkin karena mengingat biaya,
sedangkan pak oncuku Mattudin Rauf memberikan
dorongan kuat, sementara abangku Nursahih bersikap
biasa-biasa saja. Akhirnya diputuskan bahwa aku
berangkat meneruskan sekolah pada madrasah
Muallimin Jogjakarta yang memakai sistem lima tahun.
Kampung dan teman-teman harus aku tinggalkan, entah
untuk berapa lama. Untuk selanjutnya, akan ke mana
kaki ini melangkah setelah merantau ke Jawa, pada waktu
itu belum dibayangkan. Pokoknya melangkah dan terus
melangkah, toh pada akhirnya akan sampai jua setelah
melewati liku-liku hidup yang sarat dengan beban, tetapi
penting bagi pembentukan karakter.
93

Merantau ke Jawa bagi orang kampungku ketika itu


bukan perkara biasa. Tanpa Sanusi Latief, perjalanan
jauh ini tidak akan terjadi. Dengan menompang dek
kapal laut kami berangkat menuju Jawa dengan perasaan
yang bercampur-aduk. Maklumlah anak kampung yang
belum biasa merantau jauh, apalagi ke tanah Jawa,
sesuatu yang agak luar biasa pada waktu itu. Memang
Sanusi Latief adalah pionir pertama yang paham betul
apa makna pendidikan lanjut bagi anak kampung seperti
kami.
Merantau ke Jawa telah mengubah seluruh jalan
hidupku, berkat Sanusi Latief, seperti telah kusinggung
di atas. Rasa terima kasihku yang dalam tak pernah
kulupakan terhadap guru besar pertama yang lahir dari
bumi Sumpur Kudus. Kalau sejarah pendidikan lanjut
Sumpur Kudus ditulis, maka nama Sanusi Latief harus
diletakkan paling atas sebagai pelopor utamanya. Tanpa
Sanusi Latief, aku barangkali akan tetap sibuk dengan
senapan angin, milik kakakku, menjala, dan memancing,
meneruskan kebiasaaanku sebelum ke Lintau. Aku akan
melebur kembali dalam tradisi kampung, sebagaimana
banyak anak nagari berbuat serupa. Akan berlaku
involusi dalam cara pandangku membaca kenyataan yang
terus berubah. Aku tidak akan ke mana-mana. Rantaulah
kemudian yang mengubah cara berpikirku. Interaksiku
dengan sub-kultur suku lain telah memaksaku untuk
mengatakan bahwa Minang bukanlah segala-galanya.
Apalagi Sumpur Kudus yang hanya sebuah sekrup
belaka dalam kultur Minang yang selalu kusanjung itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan darat-laut-
darat, tibalah kami di kota tujuan. Sesampai di Jogja
semula kami berempat tinggal dalam satu kamar
berukuran kecil di Kauman sebelum kemudian kami
94

berpisah tempat. Kami masak bersama secara


bergantian. Di antara yang berempat itu, aku sendirilah
yang tidak punya kasur untuk tidur. Azra’i dan Suwardi,
jika tak salah, membawa kasur dari kampung. Coba
bayangkan pada waktu itu, kasur saja harus diangkut dari
kampung. Di dek kapal kasur itu dipakainya, sementara
aku cukup tidur di atas tikar. Bagiku keadaan seperti ini
tidak menjadi halangan, karena di kampung pun aku
tidur tanpa kasur. Bahkan tidak jarang aku tidur di sela-
sela goni gambir milik ayahku, kadang-kadang bersama
sahabatku Khaidir, kemenakan ayahku dari suku Melayu,
sekalipun tidak kemenakan kandung. Aku berangkat ke
Jogja dengan sebuah kopor besi kuno, sisa zaman
Belanda. Kopor ini adalah juga saksi hidup tentang
betapa sederhananya keluarga bibi dan pamanku. Untuk
bekal berangkat ke Jawa bibiku juga merendangkan
daging burung kikiak hasil tembakanku di daerah Ranah
Payo, jalan ke Mangganti.
Sampai di Jogja, tugas pertama yang kuurus adalah
masalah sekolah karena itu tujuan utama berangkat ke
Jawa. Aku datang ke Jogjakarta dengan membawa ijazah
kelas tiga Muallimin Lintau. Semula diperkirakan tidak
akan ada halangan apa-apa untuk masuk ke kelas empat.
Mengapa aku ternyata tidak bisa langsung diterima?
Mengapa nasibku setengah kandas untuk masuk
Mu’allimin Jogja? Pertanyaan ini sangat mengganggu
benak seorang anak desa seperti aku. Kenapa berbeda
sekali sikap pimpinan Mu’allimin Lintau dengan
Mu’allimin Jogja. Mungkin Lintau lebih mengenal
lingkungan dari mana aku berasal, oleh karena itu perlu
disantuni, sekalipun nilai ujian masukku tak memenuhi
syarat. Sekiranya aku ditolak masuk, tentu kisah hidupku
akan berbeda dengan apa yang aku jalani kemudian,
95

entah bagaimana jadinya. Semuanya berada dalam rahim


sejarah yang tidak akan pernah dibuka, karena memang
tidak terjadi. Kita boleh saja berandai-andai, tetapi di sini
tak perlu diteruskan, sebab hanya akan memperpanjang
cerita yang tak pernah ada.
Bermacam alasan dari pihak madrasah yang masih
aku ingat .
Pertama, kelas empat sudah penuh, karena gedung
baru di Jl. Tamansari No. 68 itu belum lagi rampung
untuk ditempati. Jadi bangku tidak tersedia untukku.
Kedua, dari seorang guru aku mendengar bahwa
kualitas pelajaran di Jogja lebih tinggi dibandingkan
dengan Mu’allimin daerah lain. Jadi aku akan mengalami
kesulitan bila langsung masuk ke kelas empat. Jelas aku
merasa terhina oleh pernyataan ini, tetapi aku tidak
mampu berbuat apa-apa kecuali pasrah. Akibatnya aku
harus menganggur, jika aku tidak mau mengulang kelas
tiga. Perasaanku jelas sangat tertusuk oleh sikap
penolakan ini. Ada semacam keangkuhan yang kuterima
di sini.
Jika di Lintau tidak lulus ujian masuk tetapi
terpaksa diterima karena orang desa, di Jogja aku
membawa ijazah dengan nilai tinggi, tetapi ditolak untuk
meneruskan ke kelas empat karena katanya kualitas tidak
sama. Dua situasi berbeda yang sulit aku lupakan.
Apakah di sini berlaku semacam keangkuhan Jawa vis a
vis Luar Jawa? Tentu tidak akan sejauh itu, apalagi
sesama Muhammadiyah. Namun aku tetap bersyukur,
sebab mungkin tanpa pengalaman-pengalaman pahit
seperti itu aku tidak akan menjadi orang yang tabah
dalam menghadapi goncangan demi goncangan yang
datang silih berganti, sampai saat tuaku ini, termasuk
96

goncangan dalam keluarga yang berkali-kali mendera


kami.
Siapa mengira bahwa pada satu saat aku diangkat
jadi guru Madrasah Mu’allimin Jogja untuk mata
pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, tetapi
pengalaman di atas tak pernah kuceritakan kepada para
pelajar. Semuanya sudah berlalu dan dijadikan modal
untuk melangkah ke depan dengan membuang semua
perasaan yang tidak enak untuk dihanyutkan melalui
Batang Sumpur. Mungkin inilah sikap yang bijak yang
harus kukembangkan di mana pun berada. Tidak peduli
berhadapan dengan siapa, budaya lapang dada mungkin
yang terbaik yang tidak boleh hilang dari diriku selama
hidup di dunia.
Bahwa semula aku bingung dan kecewa adalah
wajar belaka. Dalam keadaan seperti itu, dengan
persetujuan onga Sanusi aku bersama Azra’i mengikuti
sekolah montir di Jl. Ngabean (sekarang Jl. Ahmad
Dahlan). Azra’i yang semula masuk S.M.P. swasta juga
tidak betah lama di sana. Setelah sekian bulan belajar
montir, teori dan praktik, aku lulus, tetapi kemudian
kebingungan mulai mendera lagi. Akan diteruskan ke
sekolah sopir atau melamar lagi ke Mu’allimin? Lagi onga
Sanusi memberi nasehat agar aku bersedia masuk ke
Muallimin, sekalipun dengan perasaan terhina, sementara
Azra’i pindah ke Purwokerto untuk sekolah sopir,
mengikuti mentornya dari Jogja yang pindah ke kota itu.
Adapun Suwardi bernasib lebih baik, masuk S.M.P.
Muhammadiyah dan terus ke S.M.A. Muhammadiyah,
tetapi karena satu dan lain sebab tidak sampai selesai.
Lalu pulang ke kampung. Kedua sahabatku ini sekarang
menetap di daerah kelahirannya, kembali mengikuti
irama hidup secara kampung. Suwardi pindah ke Unggan
97

mengikuti isterinya yang memang berasal dari nagari itu.


Teman yang satu ini tetap setia dengan isteri satu.
Kontakku dengan keduanya masih terjalin sampai
sekarang. Azra’i kini bergelar Dt. Rajo Lelo dari suku
Melayu-Kampai, gelar yang dulu disandang oleh A.
Latief, ayah kandung Sanusi Latief, paman kandung
Azra’i. Suwardi adalah saudara satu ayah dengan dua
profesor Unand yang telah kusebut di atas, tetapi jalan
hidupnya berbeda, sesuatu yang harus diterima apa
adanya. Azra’i telah berapa kali membina rumah tangga.
Terakhir dengan perempuan Mancang Labuah, sekitar 1
km dari Calau. Aku tidak tahu sudah berapa jumlah
anaknya dari berbagai isteri itu.
Pengalaman Jogja tentu tidak pernah kami lupakan,
karena sudah tersimpan dalam memori kolektif kami
bertiga. Suka dan duka terekam dalam memori itu. Tak
terasa, waktu telah bergulir lebih setengah abad sejak
kami meninggalkan Kauman Jogjakarta, meniti titian
nasib masing-masing. Di Kauman inilah kami mengenal
bakmi, jenis makanan asal Cina tetapi yang sudah
dijawakan. Luar biasa aku menyukainya, tetapi apa daya
sering aku membelinya hanya separo piring saja seharga
50 sen ketika itu, mengingat sangat terbatasnya uang
sakuku. Azra’i juga sangat menyenangi jenis makanan
yang satu ini. Kesukaan kepada bakmi ini tidak pernah
punah sampai usia tuaku kemudian. Teman-teman
masjid Nogotirto amat sering “berkeliaran” bak
kelelawar di malam hari untuk mencari bakmi di
berbagai sudut kawasan di Jogjakarta. Karena kondisi
ekonomi sudah semakin membaik, pesan setengah piring
sudah tidak pernah terjadi lagi. Gara-gara lapar di
Kauman tahun 1950-an, kesukaan kepada bakmi tetap
berlanjut. Tentu tidak ada yang salah di sini bukan?
98

Masih tentang bakmi. Semakin aku ingat


pengalamanku di Kauman sekarang ini dengan porsi
separo piring itu, semakin tinggi rasanya seleraku untuk
tidak berpisah dengan makanan ini. Isteriku Nurkhalifah
suatu saat juga suka sekali memasak bakmi dengan
campuran daging ayam hampir sepertiga ekor. Sangat
berbeda dengan pengalamanku sewaktu tinggal di
Kauman. Dia dan anaknya Hafiz menyukai bakmi
goreng, sementara aku tetap saja jenis rebus dengan kuah
yang melimpah, kadang-kadang juga nyemeg (antara
goreng dan rebus). Perbedaan selera ini tetap bertahan di
antara kami sampai hari ini. Kami sangat toleransi dalam
hal perbedaan ini. Bukan saja dalam selera makan, juga
tidak jarang dalam selera politik, perbedaan itu sering
mengemuka. Bagiku, semuanya ini lumrah belaka, tidak
perlu dijadikan gesekan. Dibandingan dengan Hafiz yang
kurang menyukai politik, Nurkhalifah, ibunya, cukup
bergairah dalam masalah ini. Tidak jarang, dia
mengajakku berdebat dalam soal politik. Kadang-kadang
penilaian kami terhadap seorang figur berlawanan sama
sekali, sebuah keadaan yang harus disikapi dengan lapang
dada.
Kembali kepada masalah sekolah. Dengan perasaan
yang serba bercampur, aku siapkan mental untuk
mengulang kwartal terakhir kelas tiga Mu’allimin.
Ternyata tidak seperti bayangan guru di atas, aku bisa
mengikuti pelajaran, dan dengan mudah kemudian aku
naik ke kelas empat. Tetapi ada pengalaman penting di
kelas tiga yang cukup dahsyat kualami, kalau tak salah,
pada hari pertama aku masuk kelas. Seorang guru Ilmu
Hitung marah-marah di muka kelas karena nilai mata
pelajarannya di kalangan murid umumnya buruk. Tidak
sekadar marah, guru ini bahkan menancapkan pisau ke
99

punggung meja dengan tangan bergetar. Melihat


panorama ini, aku cukup ngeri, sebab pengalaman
macam ini sangat baru dan asing bagiku. Guru ini
dengan segala hormatku kepadanya suka sekali bercerita
tentang keluarganya di muka kelas, dan kami harus
mendengarnya, sekalipun belum tentu menarik. Nilaiku
dalam Ilmu Hitung, Aljabar, Ilmu Ukur, dan Ilmu Alam,
memang tidak pernah sangat tinggi. Nilai ujian
terakhirku pada kelas lima untuk mata pelajaran di atas
adalah: 8, 7, 7, dan 6.
Dengan tancapan pisau di meja, semakin sadarlah
aku bahwa aku harus siap untuk kena marah oleh guru
Ilmu Hitung ini pada suatu saat. Untunglah di kelas
empat guru ini tidak lagi mengajar. Sebab jika dia tetap
mengajar, persiapan mental ekstra kuat amat diperlukan.
Jangan-jangan pisau tertancap lagi di punggung meja.
Bila semuanya ini kukenang kemudian, yang tersisa
hanyalah rasa geli sebagai intermezo di masa sekolah di
Mu’allimin Jogja.
Madrasah Mu’allimin telah banyak mencetak kader
Muhammadiyah yang tangguh. Tetapi betapa pun jua,
aku wajib berterimakasih kepada guruku ini karena telah
mengajarku Ilmu Hitung, sekalipun diawali dengan
tancapan pisau. Tanpa tancapan pisau ini, tentu dimensi
human interest (menarik secara manusiawi) yang agak
menegangkan ini tidak terangkum di sini. Sampai tahun
2005, alumnus Mu’allimin Jogja yang pernah menjabat
Ketua P.P. Muhammadiyah barulah aku. Yang lain
seperti Djarnawi Hadikusumo, Djindar Tamimy, pernah
menjadi wakil ketua. Tetapi A.R. Fachruddin yang
terlama menjadi Ketua P.P., juga pernah belajar di
Mu’allimin, tetapi tidak jadi rampung. Seorang yang
semula ditolak untuk masuk Mu’allimin Jogja, kemudian
100

malah terpilih menjadi Ketua P.P. Muhammadiyah yang


membawahi madrasah ini. Inilah dunia yang tidak mudah
diperkirakan ke mana dia akan bergerak.
Kelas empat dapat kulalui secara wajar tanpa
rintangan yang berarti. Kemudian aku naik ke kelas lima
dengan nilai yang tidak mengecewakan. Namun batinku
tergoncang keras sewaktu aku sedang duduk di kelas
lima. Seperti telah disinggung di muka sebelum aku
menyelesaikan pelajaran di Mu’allimin, aku dapat cobaan
berat dengan wafatnya ayahku yang kucintai, setelah aku
berpisah dengannya sejak 1953. Tetapi aku bersyukur
karena sempat hidup bersama ayah selama 18 tahun.
Salah salah satu kekuatan Mu’allimin Yogya
barangkali terletak pada suasana pendidikan bagi
pembentukan watak untuk jadi pemimpin yang pandai
berpidato. Tiap pagi murid-murid dilatih bicara secara
bergiliran di lapangan terbuka. Aku tak lagi ingat berapa
kali aku mendapat giliran itu. Para guru Mu’allimin
umumnya punya wibawa karena kemampuan ilmunya
yang mumpuni.
Beberapa nama perlu kusebut di sini: K.H. Djazarie
Hisjam (Ushul Fiqh), Mohammad Mawardi (Ilmu Guru),
Djarnawi Hadikusumo (Bahasa Inggris), K.H. Mahfudz
Siradj (Ilmu Tafsir), Balija Umar (Musthallah Hadits),
Fakih (Bahasa Arab), Wiludjeng (Bahasa Inggris), Sjafii
Sulaiman (Bahasa Indonesia dan Sejarah), Muhammad
Djamil (Ilmu Hayat), Rowijan (Aljabar), Sudiro (Ilmu
Alam), dan masih banyak yang lain, tak terekam dengan
baik dalam ingatanku. Tetapi ada seorang guru Bahasa
Arab baru didatangkan ke Mu’allimin, tamatan Mekkah,
Muhammad Thajib namanya, masih sangat muda.
Ternyata paham agamanya kuno, tak sesuai dengan yang
kami pelajari selama ini di lingkungan Muhammadiyah.
101

Dasar anak Mu’allimin yang “nakal”, suka berdebat,


tak peduli dengan siapa pun. Aku adalah salah seorang di
antara yang “nakal” itu. Terjadilah perdebatan berkali-
kali dengan guru ini. Kadang-kadang sangat keras.
Masalah yang dibicarakan apa lagi kalau bukan soal
khilafiah. Aku yang sudah agak terlatih berdebat sejak di
Mua’llimin Lintau, merasa kesempatan semacam itu
sangat menggairahkan, apalagi dengan guru tamatan
Mekkah yang konservatif. Aku pun pada saat itu sudah
sejak lama mengikuti A.Hassan dalam buku soal-
jawabnya yang sangat kusukai, karena selalu disertai dalil
agama yang ditafsirkan secara tegas dan jelas. A. Hassan
adalah salah seorang guru agama Mohammad Natsir
sewaktu masih tinggal di Bandung, sama-sama mengurus
Persis (Persatuan Islam) yang lebih radikal dalam soal
agama dibandingkan Muhammadiyah.
Sewaktu berdebat, aku tak ingat lagi bahwa aku
membayar uang asrama di bawah harga teman-teman.
Tentu apa pula hubungannya perdebatan ini dengan
urusan asrama segala, bukan? Melalui tulisan ini aku
berterimakasih kepada seluruh guruku di Mu’allimin
Jogja, termasuk yang mau berdebat dengan kami para
pelajar. Pelajar Mu’allimin menurut penilaianku memang
dididik untuk menjadi manusia penuh yang merdeka,
tetapi sopan dalam pembawaan, sekalipun kadang-
kadang lupa soal kesopanan ini waktu berdebat. Pak
Djazarie, guru Ushul Fiqh adalah seorang alim dengan
wawasan agama yang sangat luas. Aku amat berutang
budi kepadanya, di sisi sifatnya yang penyabar.
Di Mu’allimin aku juga turut aktif dalam kepanduan
Hizbul Wathan, sekalipun aku tak sempat agak lama
dilatih di sana. Aku masih ingat betul celana panjang biru
dan baju warna soklat plus topi H.W. yang aku
102

banggakan itu. Aku tak ingat lagi sepatu yang kupakai,


tetapi pasti yang harga murah, sesuai dengan kondisi
keuanganku yang serba mepet. Kalau tak khilaf aku
dipilih sebagai sekretaris H.W. Mu’allimin sedangkan
ketuanya Muhammad Badjuri yang kemudian ditugaskan
ke Bintuhan, Bengkulu Utara, setelah tamat sekolah.
Pengalaman Mu’allimin Jogja ini di kemudian hari
ternyata menjadi faktor penting bagiku untuk menjadi
Ketua P.P. Muhammadiyah (1998-2005). Bukankah aku
dengan demikian adalah tamatan sekolah kader,
sekalipun tidak pernah dilatih dalam perkaderan I.P.M.
(Ikatan Pelajar Muhammadiyah) atau I.M.M. (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah). Apakah aku masih
memerlukan itu semua sebagai syarat sekiranya aku pada
suatu ketika naik ke puncak dalam Persyarikatan?
Pelajar Mu’allimin juga menerbitkan majalah
bernama Sinar sebagai media cetak untuk berlatih
menulis. Aku pernah menjadi pemimpin redaksinya.
Melalui majalah inilah aku belajar mengarang. Sempat
beberapa artikelku muncul dalam majalah ini. Tulisan-
tulisanku umumnya bermuatan politik pro-Masyumi dan
anti-P.K.I. Kalau tidak khilaf, pada 1954 aku
mengirimkan sebuah tulisan pula untuk majalah Hikmah,
milik dan suara resmi Partai Masyumi, sebuah partai
yang pada saat itu menjadi idolaku. Tulisan itu baru
dimuat pada 1957. Tentang apa? Apalagi kalau bukan
tentang kampungku Sumpurkudus. Sekalipun memakan
waktu lebih tiga tahun baru dimuat, gembiraku luar
biasa. Sebuah majalah Masyumi memuat tulisanku selagi
aku masih di Mu’allimin, apa bukan hebat, sekalipun
pada tahun itu aku sudah meninggalkan Jogja.
Begitulah perasaanku ketika itu. Aku memandang
terlalu tinggi orang yang pandai menulis. Itulah sebabnya
103

bila tulisanku dimuat di sebuah majalah di Jakarta, rasa


percaya diriku jelas semakin meningkat. Pada usia senja
menjelang malam ini, aku tetap saja menulis dan
menulis. Mungkin baru berhenti setelah tanganku tidak
bisa digerakkan lagi karena sudah renta dan keriput. Aku
tidak tahu dari aliran darah mana bakat menulis ini
kuwarisi. Mungkin bukan dari siapa-siapa, sebab ibu-
ayahku jelas tidak pernah menyusun karangan. Ayahku
paling-paling terlatih menulis surat biasa atau catatan
untuk kepentingan dagangnya. Ibuku sendiri mungkin
belum pernah menulis. Jadi barangkali karena pengaruh
lingkunganlah aku belajar menulis, sebuah profesi yang
ternyata dikemudian hari juga sebagai tambahan rezki
pada saat-saat kepepet. Sampai pada usia tua ini aku tak
pernah menghitung sudah berapa puluh atau malah
ratusan juta rupiah aku menerima honorarium dari kerja
tulis menulis ini, termasuk menulis makalah untuk
berbagai forum, dalam dan luar negeri.
Sewaktu aku duduk di kelas lima Mu’allimin, aku
sudah turut kampanye Pemilu 1955 ke daerah Bantul
untuk kemenangan Masyumi. Pada waktu itu aku sedang
gila-gilaan dengan Masyumi, sekalipun setelah studi lanjut
di Amerika Serikat aku kemudian juga mengeritiknya,
karena partai ini tidak selalu mendasarkan keputusan
yang diambilnya pada data sosiologis yang cermat dan
akurat. Tetapi pada tataran moral politik, partai ini
hampir tidak ada tandingannya di Indonesia. Partai ini
juga dikenal sebagai pembela yang paling gigih terhadap
sistem demokrasi dan konstitusi, dan bahkan partai ini
dibubarkan dalam proses pembelaan itu. Di kelas lima
Mu’allimin aku memilih jurusan A: akan cepat terjun ke
masyarakat dan tidak akan meneruskan, karena bayangan
suram untuk biaya menyambung sekolah sudah
104

terpampang di pelupuk mata. Keinginan untuk belajar


lanjut harus ditekan, karena syarat untuk itu memang
tidak tersedia.

B. Perginya Seorang Ayah dan Nasib Anak-Anaknya.


Sewaktu ayahku wafat, anak-anaknya yang sudah
dewasa barulah dua kakakku dan seorang abangku.
Selebihnya dari aku ke bawah belum seorang pun yang
mandiri, apalagi adik-adik seayahku telah menjadi yatim
semuanya. Kami kemudian mengikuti garis dan guratan
nasib masing-masing, sementara peninggalan ayah
hampir-hampir tidak ada lagi. Berita tentang wafatnya
ayahku pada 5 Oktober 1955 diberikan oleh adikku alm.
Syafril Maarif, anak sulung dari etek Lamsiah, yang wafat
beberapa tahun yang lalu di Lampung dalam usia 56
tahun.
Betapa parah dan gundahnya perasaanku
mendengar kepergian ayahku di Lintau, jauh dari diriku.
Patahlah sudah salah satu tempat pergantunganku.
Untunglah ada abangku Nursahih yang turut membantu
beaya sekolahku dengan standar yang minim, karena
tanggungannya yang juga cukup berat. Aku masih ingat
betul, beaya asrama Muallimin pada waktu itu adalah Rp.
175 per bulan, tetapi karena sudah ditinggal orang tua,
aku diberi keringanan dengan hanya membayar Rp. 125.
Terimakasih Muallimin, madrasahku yang telah turut
menyuburkan kepekaan jiwaku dan telah meringankan
beaya belajarku!
Aku tamat Mu’allimin pada 12 Juli 1956. Dalam
ijazah tertulis nama Majlis Ujian: Pemimpin H. Djazarie,
Penulis R. Muhammad, sedangkan Pengurus
Muhammadiyah Majlis Pengajaran tertanda Moh.
Mawardi dan Penulis Moh. Faried Ali. Fotoku yang
105

tertempel pada ijazah sungguh sangat belia, pakai kopiah


agak tinggi dan baju lorek-lorek, tampaknya seperti baju
kaos, aku tak ingat lagi. Raporku pada Mu’allimin Lintau
hilang entah ke mana, padahal di dalamnya ada nilai 10
untuk Bahasa Arab.
Kematian ayah benar-benar kurasakan terlalu berat,
apalagi itu berlaku jauh dari diriku. Setiap mengingat
sosok ayahku, yang terbayang adalah pakaiannya berupa
celana batik dan baju teluk belanga, kopiah sutera hitam
yang mudah dilipat, khususnya kalau pergi salat Jum’at
ke mesjid Sumpurkudus dengan berjalan kaki, seperti
umumnya orang kampungku. Jika sewaktu ibuku wafat,
aku tidak paham apa makna kematian itu, tetapi sewaktu
ayahku menyusul 18 tahun kemudian, batinku benar-
benar remuk dan tercabik-cabik dengan pukulan yang
datang secara tiba-tiba itu.
Akan pulang kampung? Tidak banyak gunanya, di
samping tidak ada biaya untuk itu. Sekiranya itu aku
lakukan, beban batinku akan bertambah berat
menyaksikan adik-adikku yang masih kecil-kecil,
ditinggal seorang ayah yang menjadi tulang punggung
ekonomi dan payung pelindung mereka selama ini.
Semuanya berantakan, semuanya mengalir begitu saja,
tanpa payung pelindung. Ayah kami pergi untuk tidak
kembali. Bila peristiwa perih ini kukenang, air mataku
meluncur tak tertahankan. Mengapa batinku begitu
remuk ditinggal ayah? Karena cintaku kepadanya hampir
tanpa batas, sedangkan aku tak punya kesempatan
membalas jasa itu, kecuali dalam do’a. Melalui do’a inilah
aku berdialog dengan arwah ayahku. Semoga Allah
mengampuni segala kesalahan dan dosanya dan
melupakan segala kekurangannya. Ayah, anakmu yang
dulu digendong ke tepi Batang Sumpur sewaktu ibunya
106

meninggal tak pernah melupakan segala jasa dan


kebaikan ayah. Sepanjang ingatanku ayah tak pernah
marah kepadaku, tetapi aku juga tidak pernah dimanja.
Kedua ibu tiriku bersama anak-anaknya kemudian
terpaksa meninggalkan Sumpur Kudus untuk selama-
lamanya, kembali ke nagari asalnya, karena memang
demikianlah yang biasa berlaku di ranah Minang, setidak-
tidaknya untuk Sumpur Kudus, setelah mereka hidup
bersama ayahku selama 17 tahun. Adik-adikku beserta
ibunya masing-masing meninggalkan kampung Ma’rifah
Rauf tanpa kepastian masa depan. Mereka harus
mengarungi bahtera hidupnya tanpa suami dan ayah
yang selama ini menjadi pelindungnya. Tetapi etek
Lamsiah untuk beberapa tahun kemudian masih
berulang ke kampung suaminya sambil berdagang kecil-
kecilan, demi menghidupi adik-adikku yang telah
kehilangan ayah. Hubungan abangku Nursahih dengan
etek Lamsiah sepeninggal ayahku tampaknya akrab
sekali, mungkin juga karena terkait dengan urusan
dagang.
Kemudian jauh sepeninggal ayahku, aku pernah
mengunjungi etek Lamsiah dan adik-adikku di Bandung.
Sewaktu kami duduk-duduk sambil bercerita, etek
Lamsiah berucap: “Sekitar tiga bulan sebelum wafat,
bapak Pi’i ingin mengunjungi Pi’i ke Jogja.” Pi’i adalah
panggilan namaku di kampung. Mendengar ini, jiwaku
bergetar lagi, sebab keinginan itu tidak pernah menjadi
kenyataan. Sekiranya niat itu dapat diwujudkan, tentu
ayahku akan menemuiku di asrama Mu’allimin, tempatku
dididik oleh Muhammadiyah. Setahuku ayahku memang
tidak pernah mengunjungi pulau Jawa seumur hidupnya.
Teritorial jelajahnya hanyalah berputar di sekitar
107

Sumatera Barat (waktu itu Sumatera Tengah karena


meliputi Riau dan Jambi).
Bagi orang kampungku, pergi ke Jawa pada zaman
itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Jangankan
berlayar ke Jawa, aku berkunjung ke Padang saja
misalnya, sepulangnya pasti banyak cerita yang akan
disampaikan kepada teman-teman di kampung. Tentu
saja cerita-cerita sepele, seperti cerita tentang lampu
listrik yang dihidupkan tanpa korek api, kereta api,
menginap di hotel, dan yang sebangsa itu. Alangkah jauh
perbedaannya bila diukur dengan situasi sekarang. Orang
kampungku pada dasa warsa belakangan ini bukan saja
telah merantau ke Jawa, yang mengadu nasib ke Malaysia
pun sudah ratusan jumlahnya. Tidak sedikit pula yang
dikategorikan sebagai pendatang haram oleh polisi
Malaysia, tetapi mereka tidak pernah jera, sebab tekanan
ekonomi di kampung belum banyak berubah, sekalipun
nagari ini tetap saja digambarkan oleh penduduknya
sebagai: “Sumpurkudus Makkah Darat, ikannya jinak,
tebingnya landai, pasirnya putih,” seperti yang telah
disinggung sedikit di depan.
Dari perantauan tidak sedikit devisa masuk ke
kampungku, khususnya dari mereka yang berhasil dan
bersikap hemat di negeri orang. Sumpurkudus sebagai
bagian dari tanah Minang, sesungguhnya kebiasaan
merantau jauh ini barulah terjadi pasca proklamasi
kemerdekaan, dan orang kampungku termasuk yang
agak terlambat untuk urusan ini. Mungkin letak
geografisnya yang terisolasi sehingga dorongan untuk
merantau dirasakan tidak terlalu kuat. Ini berbeda sekali
misalnya dengan orang Sulit Air, Solok. Jauh sebelum
merdeka mereka sudah mengelana ke ujung-ujung
nusantara. Banyak di antara mereka yang berhasil secara
108

finansial. Dan mereka punya kebiasaan pulang sekali


setahun, pada hari raya ‘Idul Fithri. Nagari Sulit Air tentu
banyak sekali mendapat bantuan untuk perbaikan dari
para perantau yang jumlahnya mungkin ratusan.

III. UJUNG TOMBAK MU’ALLIMIN

A. Bertugas di Lombok Timur


Sebelum aku tamat belajar di Mu’allimin Jogja,
datanglah konsul Muhammadiyah dari Lombok mencari
seorang guru untuk bertugas di Pohgading, Pringgabaya,
Lombok Timur. Konsul itu adalah H. Harist, tamatan
Darul Hadist Mekkah. Penguasaan Bahasa Arab dan
Ilmu Agamanya tentu saja sangat mumpuni. Paham
agamanya modern. Ahli debat yang cukup dikenal.
Entah mengapa konsul ini ingin mencari tamatan
Mu’allimin yang berasal dari Sumatera Barat, sesuatu
yang tidak mudah untuk dijawab. Pada waktu kalau tidak
salah hanya ada dua orang di Mu’allimin Jogja: Hasan
Basri (asal Lubuk Jantan, Lintau) dan aku. Hasan adalah
kakak kelasku dan ditugaskan di daerah lain. Maka
tinggallah aku yang jadi pilihan.
Sebagai anak panah Muhammadiyah (begitu kami
dijuluki pada waktu itu) tidak lama setelah aku tamat,
berangkatlah aku ke Lombok sendirian dalam usia 21
tahun. Tamatan jurusan A banyak yang bertebaran ke
berbagai sudut tanahair, menjadi guru dan muballigh
Muhammadiyah. Masih segar dalam ingatanku, sewaktu
akan aku naik kereta api dari Tugu menuju Surabaya, Pak
Djazarie turut mengantarkanku. Alangkah baiknya orang
tua itu. Alangkah mulia hatinya. Dengan bekal pas-pasan,
aku kini menuju Lombok, sebuah pulau yang belum
109

pernah kukunjungi sebelumnya. Bermalam semalam di


kantor Muhammadiyah Surabaya. Bismillah, aku mulai
melangkahkan kaki untuk belajar hidup mandiri, karena
memang tempat bergantung sudah tak dapat diharapkan
lagi. Inginnya meneruskan sekolah, tetapi pijakan
ekonomi sudah rapuh semua. Abangku (kupanggil onga)
Nursahih sudah tidak mungkin lagi membantuku.
Tanggungannya terhadap keluarganya sendiri sudah
cukup berat dengan anak-anaknya yang masih kecil.
Sedangkan dari paman-paman aku hampir tidak
mendapatkan bantuan yang berarti. Maklumlah kondisi
ekonomi mereka juga pas-pasan saja.
Dari stasiun Semut menuju kantor Muhammadiyah,
aku naik becak tanpa kutawar sewanya terlebih dulu,
padahal bekal perjalananku sedikit sekali. Sampai di
tempat tujuan, aku bayarlah sewa becak itu, aku tak ingat
berapa jumlahnya. Pokoknya tidak banyak. Bang becak
dengan kasar menolak, minta ditambah lagi. Maka dari
pada bertengkar, aku lemparkan lagi sewa tambahan itu.
Masalahnya selesai dengan perasaan yang kurang enak.
Aku melapor kepada pengurus kantor untuk menginap
semalam. Besok harinya aku akan naik kapal menuju
Mataram, menginap semalam di rumah Pak Asmo,
seorang tokoh Muhammadiyah untuk kemudian terus ke
Pohgading dengan bus plat nomor DR. Pak Asmo
terlalu ramah untuk kukenang. Selama menginap di
rumahnya, aku bebas makan dan minum, termasuk
disuguhi kopi coklat yang manis sekali.
Di tengah perjalanan perutku meronta kesakitan.
Mungkin akibat minuman coklat yang kelewat manis.
Aku minta turun sebentar untuk ke belakang. Ternyata
aku harus membuang celana dalamku ke sungai kecil
karena tidak dapat dipakai lagi. Malu rasanya, tetapi
110

bagaimana lagi, sesuatu yang harus kulakukan.


Untunglah jarak antara Mataram dan Pohgading tidak
terlalu jauh. Aku tak ingat lagi jam berapa aku sampai di
tempat tujuan. Yang jelas sakit perutku telah sembuh,
sekalipun menyimpan kenangan yang agak getir dan rasa
malu.
Kedatanganku di Lombok Timur disambut oleh
pengurus Muhammadiyah setempat. Aku ditempatkan di
kampung Batuyang, di rumah Pak Subki, adik kandung
H. Harist yang juga sebagai kepala desa. Di sinilah aku
tinggal selama setahun: mengajar pada P.G.A.
Muhammadiyah Pohgading yang terletak di pinggir
sungai. Santoso, tamatan S.G.A. dari Blitar, adalah teman
mengajarku di sana. Ilmu Pasti adalah mata pelajaran
yang dipegang Santoso. Aku pegang macam-macam,
agama dan umum, yang tidak terlalu kuingat lagi.
Pada suatu saat Santoso pulang ke Blitar. Lalu siapa
yang harus mengajar Ilmu Pasti sementara? Timbullah
masalah yang agak gawat, karena aku tidak menguasai
ilmu itu. Tetapi apa boleh buat, terpaksa juga aku
lakukan, karena memang tidak ada pilihan lain.
Bayangkan untuk mengajar besok pagi aku harus berjaga
malam-malam untuk menyiapkan Ilmu Pasti itu. Sebab
kalau tidak, bisa keluar keringat dingin. Akhirnya bisa
juga, tetapi jelas tidak memuaskan. Seperti terlihat dalam
ijazahku, nilaiku dalam ilmu itu sedang-sedang saja,
bahkan aku dapat angka enam dalam Ilmu Alam.
Untunglah aku tidak pernah mengajar Ilmu Alam itu.
Memang tamatan Mu’allimin kelas lima, ilmu yang kita
dapat sebenarnya serba tanggung. Mungkin untuk
mengajar S.D. tidak ada masalah. Untuk sekolah
menengah, jelas perlu tambahan ilmu. Tampaknya
tamatan S.G.A. lebih siap dibandingkan aku untuk
111

mengajar mata pelajaran umum. Sebelum kami datang


sudah ada sebelumnya dua guru tamatan Mu’allimat
Jogja, berasal dari Bangka dan Sulawesi Selatan, tetapi
tidak sempat mengajar bersama kami karena sudah harus
pulang ke daerahnya masing-masing.
Demikianlah, hampir setiap hari aku bertugas
mengajar dalam tempo setahun, untuk kemudian aku
kembali ke Jawa. Sebagai guru Muhammadiyah di tempat
yang tingkat ekonominya serba sederhana, aku mengerti
bagaimana pengurus Muhammadiyah mencari infaq
untuk honorarium guru yang besarnya hanyalah sekedar
untuk bertahan hidup. Dipungut dari sana-sini. Tetapi
karena berasal dari keluarga desa, aku tak terkejut
menghadapi kondisi yang semacam itu. Sebagai alumnus
Mu’allimin, aku langsung diminta menjadi khatib tetap
pada hari Jum’at di desa Batuyang (Pohgading). Kalau
perkara khotbah ini, aku sudah agak terlatih sejak dari
Mu’allimin, tidak memerlukan persiapan seperti
mengajar Ilmu Pasti yang dapat menyebabkan kita
terengah-engah ditambah kurang tidur lagi.
Ada kebiasaan orang Lombok yang aku suka dalam
perkara makanan yang serba pedas dan merangsang,
yaitu kelapa muda yang dibubuhi sambal trasi. Lalu
dicampuraduk dalam tempurungnya yang dipotong pada
bagian kepala dan langsung siap untuk disantap. Air
mata biasanya menjadi berlelehan karena kepedasan,
tetapi di situlah nikmatnya. Berkali-kali aku diajak pesta
kelapa muda plus sambal trasi ini, dan tidak pernah
kapok. Memang dalam masalah makanan aku tidak
merasa kesulitan apa pun. Dasar lidah Minang yang suka
pedas-pedas, makanan orang Lombok banyak sekali
miripnya dengan makanan kampung saya di Sumpur
112

Kudus. Memang pedas, sesuai dengan nama pulaunya:


Pulau Lombok (lada).
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Sekitar bulan
Maret 1957 pada saat usiaku 22 tahun, aku pulang
kampung dengan membawa bibit bawang merah
sekeranjang dengan maksud untuk dikembangbiakkan di
kampungku. Perjalanan Lombok-Padang memakan
tempo 11 hari dengan kapal laut. Ada sebuah anekdot
dalam masalah bawang merah ini yang sampai sekarang
aku agak malu mengenangnya. Tetapi itu perlu
direkamkan di sini sebagai bumbu otobiografi ini.
Sesampai di Padang aku tidak langsung ke hotel
mengingat persediaan sangu yang serba terbatas,
sekalipun telah jadi pak guru selama beberapa bulan.
Keranjang bawang itu aku bawa ke tempatku menginap
di rumah pak Halifah, saudagar terkaya menutut ukuran
kampungku. Semua anaknya aku kenal, termasuk yang
puteri: Rahmah (alm.) dan Rosma. Ada adiknya lagi
seorang puteri yang dipanggil Lip. Malam itu aku main
remis dengan kakak-kakaknya. Kadang-kadang dia
pindah ke ruang lain, kami terus saja main. Nanti pada
saatnya akan kusambung lagi cerita ini.
Jarak antara Padang dan Sumpur Kudus sekitar 148
km. Dari Padang aku menompang truk pak Halifah
menuju Kumanis, pasar untuk Kecamatan Sumpur
Kudus. Mengapa dengan truk? Jawabannya langsung:
karena tidak perlu dibayar, sekalipun aku singgah dulu di
Padang Panjang, tidak terus dengan truk ke Kumanis.
Tentu saja bawang tetap setia bersamaku. Merantau
beberapa bulan di Lombok, yang aku dapat adalah
pengalaman yang berharga sebagai anak panah
Muhammadiyah yang memang disiapkan oleh
Mu’allimin. Kumanis-Sumpur Kudus masih 27 km lagi
113

yang harus ditempuh dengan jalan kaki, sementara


bawang ditompangkan pada kuda beban. Tidak ada yang
sukar bagiku menempuh jarak sekian itu, karena
memang sudah menjadi latihanku sejak usia sekolah
rakyat.
Di Kumanis adikku dari Tanjung Ampalu, Syukri
Maarif (dipanggil Buyung), datang menemuiku. Usianya
pada 1957 itu sekitar 13 tahun sebaya dengan si Celana
Merah, anak orang kaya itu. Kami dua beradik hanyalah
saling menangis mengenang ayah yang baru dua tahun
wafat. Yang dapat kuberikan kepadanya hanyalah sedikit
uang hasil pendapatanku yang kecil di Lombok.
Kemudian kami berpisah. Aku langsung ke kampung,
Buyung kembali ke Tanjung Ampalu. Luluh juga
perasaan pada waktu itu, seperti ayam kehilangan induk.
Tidak pasti akan ke mana kaki ini selanjutkan harus
dilangkahkan. Keinginanku untuk meneruskan sekolah
masih belum pudar. Lalu bagaimana tugasku di
Lombok? Sebab jika aku pergi harus dicarikan gantinya
dari Minang juga. Untuk itu aku harus mencarinya, jika
mungkin orang kampungku juga lepasan Mu’allimin
Lintau. Tentu warga Muhammadiyah Lombok masih
menginginkanku tetap bertugas di sana, tetapi jika itu
aku jalani, sejarah hidupku mungkin akan menempuh
arah lain lagi. Dengan berat hati pengurus
Muhammadiyah setempat harus melepasku untuk
kembali ke Jawa.

B. Lombok-Sumpurkudus-Surakarta
Sebelum pulang kampung, aku telah berembuk
dengan pengurus Muhammadiyah Cabang Pohgading
tentang siapa penggantiku sekiranya aku tidak lagi terus
mengajar di sana. Di kampung aku punya seorang
114

teman, namanya Bachtasar Tahar, alumnus Mu’allimin


Lintau. Dia adalah adik ipar kakakku Nursahih. Teman
inilah yang kemudian aku ajak mengajar di Lombok, dan
ia bersedia. Sayang teman ini tidak bisa lama tinggal di
sana. Mungkin tidak sampai setahun, ia harus pulang
kampung. Kalau tidak salah pada awal 1958 teman ini
telah kembali ke Sumpurkudus, tetapi mengalami
kesulitan dalam perjalanan karena pada waktu itu
pergolakan daerah pimpinan Letkol. Ahmad Husein
yang kemudian terkenal dengan P.R.R.I. (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) mulai memanas.
Hubungan Sumatera Barat dengan Jakarta mulai
memanas. Untunglah Bachtasar selamat sampai di
kampung, sementara aku ketika itu sudah berada di Jawa
lagi.
Mengapa aku ke Jawa? Tidak lain karena ingin
sekolah lagi, sementara usiaku sudah 23 tahun pada 1958
itu. Bersama temanku Muhammad Saman dari Krui
(Lampung), adik kelasku di Mu’allimin, aku semula ragu
akan melanjutkan ke mana. Ada pikiran kami untuk
masuk kelas 6 Mu’allimin agar punya ijazah tingkat
S.L.T.A. (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) untuk
kemudian terus ke perguruan tinggi. Tetapi setelah
ditimbang-timbang, rasanya tak enak juga kembali ke
Mu’allimin. Bukan karena apa-apa, hanya soal perasaan
kurang mantap untuk duduk bersama adik-adik kelas
yang juga meneruskan ke kelas 6. Karena beban
psikologis inilah kemudian kami pergi ke Surakarta cari
perguruan tinggi. Kami kemudian memutuskan untuk
mendaftar pada Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Karena dasar ijazahku hanya lima tahun, jelas aku
tidak bisa langsung mendaftar sebagai mahasiswa. Harus
masuk sekolah pendahuluan terlebih dulu karena
115

memang disediakan oleh universitas. Mata pelajaran di


sekolah ini hampir sama dengan kelas tiga S.M.A. Setelah
setahun aku belajar, lalu ujian. Aku lulus dengan baik,
sekalipun nanti sebelum ujian sarjana muda pada
F.K.I.P. jurusan Sejarah Budaya pada 1964, aku harus
menempuh apa yang disebut ujian Colluqium Doctum.
Tetapi yang kurang enak adalah dokumen nilaiku untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pengetahuan Umum,
dan Bahasa Inggris hilang entah kemana. Pimpinan
universitas lalu mengambil kebijakan untuk memberi
angka enam untuk tiga mata pelajaran itu. Jelas aku
dirugikan, tetapi karena ingin cepat rampung, ijazah aku
terima juga, sekalipun dengan perasaan mendongkol.
Dengan ijazah ini aku sekarang diizinkan untuk
menempuh ujian negara yang dilaksanakan oleh F.K.I.S.
(Fakultas Keguruan Ilmu Sosial) I.K.I.P. Jogjakarta. Ada
lima mata pelajaran yang diujikan dalam colluqium itu.
Selain yang tiga di atas ditambah lagi dengan Pancasila
dan Manipol R.I. serta Pengetahuan Sejarah, di mana
nilaiku masing-masing delapan dan tujuh.
Lama juga aku belajar di lingkungan Universitas
Cokroaminoto itu, 1957-1964. Bukan karena apa-apa,
tetapi aku harus bekerja menghidupi diri sendiri. Karena
pergolakan daerah, hubungan putus dengan kampung.
Maka mulailah aku bekerja apa saja untuk
melangsungkan kuliah, sekalipun bertele-tele. Pernah aku
mengajar mengaji anak orang Minang yang ada di Solo.
Pernah pula bekerja sebagai buruh dalam memilih besi
tua pada seorang pedagang asal Silungkang. Kemudian
aku diterima sebagai pelayan toko kain oleh Pak Burhan
dengan Toko Anti Mahal-nya pada 1958. Bermacam
tugasku di toko ini: pelayan, kasir, dan tidak jarang
disuruh beli barang ke Bandung dan Surabaya. Teman-
116

teman Minang yang diterima bekerja di toko ini adalah


M. Hawari, M. Nasai, Muchktar, dan aku. Temanku
Hawari wafat beberapa tahun yang lalu di rumah
keluarganya di Cirebon. Nasai pada waktu tulisan ini
dibuat masih tinggal di Solo setelah pensiun sebagai guru
agama pada Sekolah Teknik Negeri Solo. Pak Burhan
sudah lama wafat dan jauh sebelum itu tokonya sudah
dijual. Nasai adalah yang terlama bekerja pada toko kain
milik Pak Burhan ini.
Kuliah sambil bekerja terasa tidak mudah. Semula
aku masuk ke Fakultas Hukum, tetapi karena kuliahnya
teratur, aku tidak mungkin bisa. Maka pindahlah aku ke
F.K.I.P. jurusan Sejarah-Budaya, yang presensinya
dipegang oleh Jusuf, bagian pengajaran, berasal dari
Sulawesi Utara. Jusuf, mahasiswa Cokroaminoto, yang
juga putus hubungan dengan kampungnya gara-gara
pemberontakan Permesta (Perjuangan Semesta) yang
kemudian bergabung dengan P.R.R.I. Dengan Jusuf aku
dapat mengatur presensiku, sehingga pada saat ujian
tidak ada masalah. Jalan semacam ini harus aku tempuh
karena tidak ada cara lain. Dari segi disiplin presensi aku
jelas salah. Jusuf banyak menolongku dalam masalah
presensi ini. Maklumlah sama-sama perantau yang putus
hubungan dengan daerahnya masing-masing. Korban
pergolakan daerah. Sejak aku meninggalkan Solo tahun
1965, kontakku dengan Jusuf sudah putus samasekali.
Mungkin ia sudah beranak pinak di tanah kelahirannya.
Jusuf yang baik hati telah banyak menolongku sampai
berhasil mendapatkan sarjana muda, baik melalui ujian
lokal maupun ujian negara.
Kurang lebih setahun aku bekerja sebagai pelayan
toko kain sampai datanglah suatu hari teman sekelasku
di Mu’allimin Jogja berkunjung ke toko Anti Mahal.
117

Namanya Murdijo, asal Baturetno, Surakarta, yang


semula ditugaskan di Donggala (Sulawesi Tengah)
sebagai anak panah Muhammadiyah pula. Pertemuan
kami ternyata kemudian membawaku dan Hawari ke
Baturetno, meninggalkan posisiku sebagai pelayan toko.
Mula-mula dagang kecil-kecilan, ayam dan kambing,
tetapi semuanya merugi. Karena merugi, kami lalu jualan
rokok, tembakau, dan lain-lain bersama Pak Markum,
pemilik warung di Baturetno. Warung ini kami beri nama
Warung Ideal, sekalipun ternyata tidak ideal samasekali
untuk mengangkat ekonomi kami. Untunglah selain itu,
aku dan Hawari diminta jadi guru pada beberapa sekolah
menengah di kota kecamatan itu. Tugas sebagai guru
honorer ini sangat penting bagi kelangsungan hidup
kami di tanah rantau, Baturetno, yang tidak dapat
dipisahkan dari perjalanan hidupku. Sekiranya Murdiyo
tidak berkunjung ke toko Anti Mahal suatu ketika, entah
ke mana pula aku harus mengelana selanjutnya, tidak
dapat dikatakan. Pertemuan yang tak sengaja itu ternyata
telah turut menentukan perjalanan hidup seseorang.
Sampai menjelang usia 70 tahun ini, sesekali aku masih
bertemu dengan Murdiyo yang juga telah lama pindah
sebagai pedagang yang berhasil ke kawasan Jogjakarta.
Cukup lama aku bertugas sebagai guru pada
beberapa sekolah menengah di Baturetno. Sekiranya aku
punya ijazah negeri, besar kemungkinan aku akan
diangkat jadi guru tetap, sebab aku juga diminta
mengajar Bahasa Inggris di S.T.P.N. (Sekolah Teknik
Pertama Negeri) di sana. Pak Sujadi, kepala sekolah,
sangat menyukaiku mengajar di sekolah itu. Sebagai guru
honorer, tentu pendapatanku jangan dibandingkan
dengan pendapatan guru tetap. Tetapi setelah digabung
dengan apa yang dipungut di sana-sani, dapat jugalah aku
118

melangsungkan hidup secara sederhana. Keluarga Pak


Makruf dan keluarga Pak Baitani, sebagai tokoh
Muhammadiyah di sana telah berbuat baik
menyantuniku selama mengajar di kota kecil itu.
Kebaikan mereka tidak akan pernah kulupakan. Pada
saat menulis catatan ini, aku tidak tahu lagi apakah Pak
Sujadi masih hidup atau sudah wafat. Aku tinggal di
Baturetno selama beberapa tahun karena itulah jalan
yang harus kulalui. Aku harus tabah bergumul dengan
realitas, karena opsi lain pada waktu itu belum terbuka.
Ketertarikan Pak Sujadi kepadaku bermula dari
suatu kejadian pada saat gencar-gencarnya indoktrinasi
Manipol-Usdek (Manifesto Politik, Undang-undang
Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin). Slogan politik
Soekarno ini sedang membahanahi bumi dan udara
Indonesia ketika itu. Pembicara utama dalam pekan
indoktrinasi itu adalah Purwanto, dari kantor penerangan
kabupaten Wonogiri. Tampil dengan gaya Bung Karno.
Pada waktu itu Departemen Penerangan di seluruh tanah
air telah menjadi mesin politik Soekarno sebagai P.B.R.
(Pemimpin Besar Revolusi) yang tidak ada tandingannya.
Dikatakan bahwa revolusi belum selesai sebelum
masyarakat adil-makmur terwujud di Indonesia, atau
suatu permanent revolution dalam istilah V.I. Lenin.
Masalah revolusi selesai atau belum ini telah menjadi
wilayah perbedaan pandangan yang tajam antara
Soekarno dan Hatta. Bagi Hatta, tidak ada revolusi
berkepanjangan yang berlangsung di muka bumi ini.
Revolusi, kata Hatta, adalah perubahan radikal dalam
tempo yang relatif singkat, kemudian menyusullah masa
pembangunan. Tentu Hatta geli mendengar pidato
berapi-api yang meneriakkan revolusi yang tak pernah
119

rampung sampai ke pelosok-pelosok yang terpencil.


Rakyat Indonesia terbius oleh retorika politik yang serba
panas, tetapi kosong itu.
Bukan main bersemangatnya juru bicara Manipol
ini memuji Bung Karno dan pemikirannya yang terekam
dalam TUBAPI (Tujuh Bahan Pokok Revolusi
Indonesia). Pada saat ada kesempatan tanya-jawab, aku
tidak menyia-nyiakannya. Untuk menunjukkan bahwa
aku tidaklah terlalu kampungan, aku lalu teringat
beberapa kutipan Bahasa Inggris dari alm. Mr. Abdullah
Sjahir, dalam majalah Panji Masyarakat atau Gema Islam,
kedua majalah ini di bawah pimpinan Hamka. Di antara
kutipan itu adalah scientific approach dan scientific
consideration ( pendekatan ilmiah dan pertimbangan
ilmiah). Mendengar kutipan mentereng ini, Pak Sujadi
mengira bahwa aku pandai berbahasa Inggris. Mungkin
saja aku mengucapkan kutipan itu memang dengan cara
yang benar, sehingga dapat “mempesona” orang lain.
Sebuah trik anak desa yang belum percaya diri.
Bukankah kutipan-kutipan asing itu juga menjadi senjata
Soekarno di muka pengadilan kolonial jauh sebelum
proklamasi? Bedanya, Soekarno tokoh nasional dan
dunia, sedangkan aku masih sedang mencari jati diri pada
tingkat kecamatan. Tetapi cara itulah yang kulakukan,
dan ada buahnya untuk tambahan rezki. Perbedaan lain
adalah: Soekarno mengutip dari sumber aslinya, aku
hanyalah menghafal-hafal kutipan dari kutipan orang
lain, entah dari sumber mana diambilnya.
Maka tak lama kemudian, jadilah aku diangkat
sebagai guru di S.T. di atas, padahal Bahasa Inggrisku
masih terbata-bata. Andaikan aku punya ijazah negeri,
tidak mustahil aku akan diangkat jadi guru tetap di sana,
dan mungkin aku tidak akan ke mana-mana lagi, akan
120

menetap dan terpaku di sana bak perantau Cina (sebuah


ungkapan orang Minang perantau yang tidak pernah
kembali). Garis nasib ternyata kemudian bergerak ke
arah lain, aku tinggal mengikutinya saja.
Pada suatu ketika, beberapa tahun setelah itu, cerita
tentang pengalaman ini aku sampaikan kepada Bung M.
Amien Rais, dia hanya terkekeh-kekeh sambil
mengulangi kutipan Bahasa Inggris itu. Itulah aku, dasar
anak desa, dan aku malah bangga menuturkannya
kembali. Bung Amien, komentator yang tajam, dengan
terkekeh itu saja, malah menambah abrabnya
persahabatan kami.
Sebagai kader Muhammadiyah, alumnus Mu’allimin
Jogja lagi, untuk menjadi ketua cabang Baturetno, tentu
tidak akan terlalu sukar bagiku, sekiranya aku terus
“terbenam” dan membenamkan diri di Baturetno. Dan
tidak mustahil pula dalam musyawarah daerah, aku bakal
terpilih jadi Ketua P.D.M. (Pimpinan Daerah
Muhammadiyah) kabupaten Wonogiri. Jika itu yang
terjadi, tentu pada suatu hari sebagai Ketua P.D.M., aku
akan berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk memohon anggota P.P. memberi
pengajian kepada warga Persyarikatan di daerahku. Dan
tidak mustahil jawaban yang akan kuterima adalah bahwa
pada saat itu semua anggota P.P. sedang sibuk
menyiapkan Sidang Tanwir sehingga kunjungan ke
daerahku terpaksa ditunda. Semuanya ini kemudian
harus kulaporkan kepada pengurus P.D.M. dengan
menambahkan bahwa perlu dicari pembicara lain yang
bukan anggota P.P., setidaknya majelis tingkat P.P.
Demikian tinggi rupanya penghormatan daerah kepada
tokoh Muhammadiyah tingkat pusat. Aku percaya bahwa
pengurus tentu akan menyetujui saranku, karena kita
121

memang ingin selalu mendapat penyegaran dari


pimpinan yang lebih atas.
Demikianlah kalau kita berandai-andai, tidak akan
ada ujungnya. Yang jelas aku tidak pernah menjadi
Ketua Cabang atau Ketua P.D.M. Wonogiri yang
memohon anggota P.P. untuk berkunjung ke sana.
Tetapi sebagai selingan, berandai-andai ini perlu juga
untuk mengurangi ketegangan saraf bila beban otak
terlalu sarat dan berat, asal saja kita tidak membiarkan
diri tenggelam dalam lingkaran pengandaian itu.
Sekarang (tahun 2006) Muhammadiyah kabarnya
semakin berkibar di daerah itu, sesuatu yang selalu aku
banggakan. Siapa yang takkan bangga, jika Persyarikatan
yang telah turut membentuk kepribadiannya terus saja
melaju dan berkembang untuk beramal bagi kebaikan
sesama. Untuk turut serta dalam upaya mempercepat
proses pencerdasan dan pencerahan bangsa Indonesia
yang masih dilanda kesulitran, peran Muhammadiyah
tentu akan semakin penting dan strategis.
Di samping dapat sekadar uang, aku juga
mendapatkan tiwul (makanan dari tapioka kering)
sebagai tambahan gizi (kalau tiwul itu masih ada zat
gizinya) saban bulan. Tiwul merupakan makanan pokok
bagi sebagian rakyat Wonogiri. Geli juga rasanya aku
mengenang semuanya itu sekarang ini. Kutipan
perkataan Inggris di atas ternyata telah memancing orang
untuk memintaku menjadi G.T.T. (Guru Tak Tetap) di
sebuah sekolah negeri. Sekalipun hanya dalam posisi
G.T.T., bangga juga aku rasanya ketika itu. Pada saat
kondisi ekonomi yang lemah di tengah-tengah gencarnya
indoktrinasi Manipol-Usdek, aku mendapat sedikit rezki
dari sekolah negeri ini.
122

Pada tahun 1960-an itu, Abdullah Sjahir, di


samping Sidi Gazalba, adalah di antara penulis favoritku,
terutama karena kutipan-kutipan Bahasa Inggrisnya yang
memukauku. Tingkat intelektualitasku baru sampai di
situ. Mudah mengagumi orang-orang pintar yang kreatif
dan produktif. Aku sendiri pada waktu itu jelas belum
punya akses membaca buku-buku asing. Andaikan punya
akses, untuk memahami satu alinea saja, tentu kamus
harus dibuka, karena minimnya kosa-kata yang dikuasai,
padahal usiaku ketika itu sudah sekitar 25 tahun. Jika
kukenang semuanya ini, alangkah jauh tertinggalnya
wawasan dan pengetahuanku dibandingkan dengan
sebagian anak muda pintar dan kreatif belakangan,
sekalipun jumlahnya juga tidak banyak. Peluang untuk
berkembang dan maju lebih terbuka bagi mereka.
Pada tahun 1960-an itu di samping mengajar di
Baturetno, aku juga mengajar di kota Solo: di madrasah
Mu’allimat N.D.M. pimpinan Pak Suhardi, S.M.A. M.I.S.
(Modern Islamic School) pimpinan Pak Abdul Manan
Kadim. Mata pelajaran yang kuasuh umumnya sama
dengan yang di Baturetno: Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Cukup lama juga aku bolak-balik Solo-
Baturetno dengan kereta api. Aku naik di Pasar Pon
terus melaju ke Baturetno dengan jarak 52 km pada saat
itu. Sekarang kabarnya lebih jauh lagi karena harus
mengitari Waduk Mungkur yang dibangun setelah aku
meninggalkan daerah itu. Peta bumi Wonogiri telah
banyak mengalami perubahan dan kemajuan sejak aku
meninggalkannya sekian puluh tahun yang lalu. Sewaktu
masih kecil di Sumpur Kudus, tak seorang pun yang
mengira bahwa aku akan mondar-mandir antara Solo-
Baturetno, demi kelangsungan hidup sebagai anak rantau
yang “terlunta” akibat perang saudara.
123

K.A. Solo-Baturetno ini adalah kendaraan para


pedagang kecil (bakul), anak sekolah, dan rakyat umum.
Aku termasuk dalam kategori yang terakhir ini. Semua
ini kujalani tanpa perasaan gelisah yang menganggu,
karena cara inilah satu-satunya jalan bagiku untuk dapat
meneruskan kuliah di Solo: Universitas Tjokroaminoto.
Samasekali tidak ada bayangan waktu itu bahwa suatu
saat aku akan belajar dan mengajar ke dan di luar negeri:
Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada. Modal dasarku
ketika itu jauh di bawah batas minimal. Maka adalah
sebuah perbuatan gila kalau mengimpikan yang bukan-
bukan. Bukankah seperti sering kukatakan bahwa “aku
terdampar ke tepi semata-mata karena belas kasihan
ombak?” Kalaulah aku harus menyebut dua nama yang
telah turut mengubah perjalanan intelektualku di
samping peran “ombak”, maka alm. Prof. Dr. M. Sanusi
Latief dan Prof. Dr. M. Amien Rais, M.A. adalah yang
paling berjasa melalui caranya masing-masing.
Sanusi Latief berjasa karena telah membebaskanku
dari lingkungan kampung yang serba sederhana dan
rutin, dengan Batang Sumpurnya yang terus mengalir
tanpa henti, untuk kemudian berangkat ke Jogjakarta
setelah aku merampungkan Madrasah Mu’allimin Lintau
selama tiga tahun. Juga telah membebaskanku dari
kebiasaan menyandang bedil ke sana-ke mari sebagai
wujud kesukaanku menembak hewan. Sewaktu aku
belajar pada Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus,
Sanusi Latief pernah mengajarku, sebagai guru selingan,
manakala dia pulang kampung dari tempat belajarnya di
Bukit Tinggi. Amien Rais adalah sahabat yang
mengenalkanku dan yang meminta rekomendasi kepada
Fazlur Rahman agar aku dapat diterima untuk
meneruskan kuliah pada Universitas Chicago tahun
124

1979-1982. Jasa kedua tokoh ini sudah terekam baik


dalam memori hidupku. Keduanya adalah fasilitator yang
efektif bagiku untuk mengembara lebih jauh dengan
modal dasar yang semakin bertambah.
Sekalipun kadang-kadang berlaku perbedaan
pendapat, rasa terima kasihku takkan pernah sumbing
kepada keduanya. Mereka telah berperan penting pada
saat-saat aku sedang berada di persimpangan jalan dalam
menentukan pilihan. Perbedaan bagiku adalah kekayaan
ruhani untuk mempertajam wawasan kemanusiaanku.
Kemudian terserahlah kepada masyarakat luas untuk
menimbang-nimbang perbedaan-perbedaan kecil itu.
Tokh, kami bertiga berasal dari sub-kultur yang sama:
Muhammadiyah yang telah turut membentuk jiwa kami.
Persyarikatan inilah yang membebaskan kami dari
kerikatan yang kaku terhadap mazhab-mazhab pemikiran
Islam yang sudah berabad-abad usianya. Aku tidak dapat
membayangkan sekiranya K.H.A. Dahlan (1868-1923)
tidak berjaya membentuk dan mengembangkan
Muhammadiyah, tentu sebagian besar rakyat Indonesia,
apalagi masyarakat kampungku, akan tetap saja sebagai
pemuja kuburan yang dikeramatkan, dan perhatian
terhadap orang yang hidup tentu akan kecil sekali.
Muhammadiyah dengan demikian adalah gerakan
pembebasan teramat penting agar manusia Indonesia
tampil sebagai orang merdeka lahir-batin, tidak hanyut
dalam arus perbudakan fisikal dan spiritual. Bagiku
kemerdekaan adalah bagian yang menyatu dengan
bangunan imanku. Dengan demikian, perbudakan dalam
bentuk apa pun harus dilenyapkan dan dimusnahkan,
karena bertentangan dengan harkat dan martabat
manusia. Apalagi jika dikaitkan dengan doktrin tauhid
125

yang hanya kepada Allah sajalah orang boleh


menghambakan diri.

IV. MENITI BIDUK KEHIDUPAN

A. Mulai Dijodohkan
Sikitar tahun 1963 pada saat usiaku 28 tahun, terjadi
perkembangan baru dalam hidupku, seperti telah
kusinggung di depan. St. Ismael Rusyid (wafat 6
September 2005 di Payakumbuh, dikebumikan di
Sumpur Kudus 7 Sept.) , teman sekelasku di S.R.
Sumpur Kudus dan sepupu jauhku, suami Rahma, anak
Sarialam-Halifah, secara diam-diam telah menghubungi
etekku Bainah. Teman ini, seorang menteri kesehatan di
Simalanggang, Payakumbuh, memang sangat dekat
dengan keluarga etekku. Mereka tampaknya telah
merundingkan suatu masalah yang kemudian ternyata
telah menentukan pula perjalanan hidupku. Lifuarda
(namanya sewaktu di S.M.P. Tanjung Ampalu, kemudian
kembali menggunakan nama aslinya Nurkhalifah), adik
kandung Rahma, dikenalkan kepadaku melalui surat.
Tidak hanya dikenalkan, tetapi mau dijodohkan, jika aku
dan yang bersangkutan bersedia. Bagiku, ini merupakan
hiburan yang membanggakan. Mengapa tidak? Seorang
bujang lapuak diincar oleh keluarga kaya yang aku kenal,
tetapi terasa sebagai sesuatu yang hampir mustahil.
Sebagai seorang yang belum punya pilihan untuk
teman hidup, aku sempat termenung. Apakah mungkin
seorang gadis belasan tahun dari keluarga berada bisa
diajak membicarakan masalah rumah tangga dengan
seorang yang tak punya pencarian tetap, sudah tua lagi
jika dibandingkan dengan umurnya? Berkecamuk juga
126

perasaanku antara senang dan bimbang. Ibunya Sarialam


memang kenal diriku sebagai anak piatu yang kini sedang
berada di perantauan. Bukan sebagai pedagang yang
mapan seperti umumnya orang Minang, tetapi sebagai
mahasiswa dan guru pada beberapa perguruan sewasta
yang hidupnya pas-pasan, jika bukan kurang dari itu.
Tetapi surat Ismael seakan-akan telah memastikan
bahwa Lip (panggilan gadis itu) tidak keberatan.
Aku sendiri hampir seusia dengan Rahma (wafat
tahun 2003), isteri Ismael yang sudah berumah tangga
sejak 1959, tetapi aku juga kenal Lip ini pada saat usianya
13 tahun. Bulan Maret tahun 1957, seperti telah
kututurkan, dalam perjalanan pulang ke Sumpur Kudus
dari Lombok, aku singgah dan menginap di rumah
keluarga ini di Seberang Padang, Padang. Bersamaku,
ada sekeranjang bawang dari Lombok yang akan
dijadikan bibit untuk dikembangkan di kampung. Seperti
biasa, aku diterima dengan baik oleh keluarga ini, dan
besoknya aku menompang truk miliknya, kalau mungkin
sampai ke Kumanis, pasar gambir dan karet yang
terkenal di Kabupaten Sawah Lunto/Sijunjung. Ayah
Lip adalah seorang pedagang gambir yang terkenal
dengan beberapa truk yang menjadi miliknya.
Mengapa aku mau singgah di rumah orang kaya ini?
Pertimbangannya sederhana: untuk menompang
truknya. Alangkah geli bercampur malunya rasanya, bila
kukenang ini semua belakangan. Seorang guru
Muhammadiyah pulang kampung dari rantau hanya
punya biaya pas-pasan untuk naik bus sendiri. Aku agak
lupa, sampai di mana aku menompang truknya. Rasanya
tidak sampai ke Kumanis, sebab aku singgah dulu di
Padang Panjang untuk menemui teman-teman
127

Mu’allimin Lintau di sana. Baru setelah itu bergerak ke


Kumanis untuk kemudian berjalan kaki ke kampung.
Semalam di Seberang Padang rupanya telah
membentuk kenangan tersendiri bagiku di kemudian
hari. Sewaktu aku dan putera-puteri Sarialam-Halifah
main remis bersama, ada gadis dengan celana panjang
merah, sebentar muncul sebentar menghilang, karena
tidak ikut main. Nampaknya si celana merah ini manja
sekali. Mungkin saja dia tidak biasa main remis. Dalam
hati kecilku aku hanya bergumam, lincah juga gadis ini,
rambutnya panjang terurai, matanya tajam. Tetapi hanya
sekadar sampai di situ, sebab aku sadar betul akan
posisiku, apalagi usia terpaut jauh. Tidak ada fikiran
macam-macam pada malam itu. Semuanya berlalu begitu
saja. Akan dilirik kakak-kakaknya, Rahma (bintang desa)
dan Rosma, adiknya, juga tidak mungkin. Apa yang mau
ditawarkan oleh seorang guru swasta yang tidak jelas
penghasilannya, sementara mereka ini semua hidup
dalam kondisi serba ada dalam ukuran ekonomi.
Enam tahun kemudian, pada saat situasi politik
antara Jakarta dan bekas P.R.R.I. pimpinan Sjafruddin
Prawiranegara, masih belum mendingin betul, sekalipun
tokoh-tokohnya telah ditangkap, datanglah surat Ismael
di atas. Ingatan pertamaku adalah pada “peristiwa”
Seberang Padang itu: si celana merah dengan rambut
terurai itu, dengan sekeranjang bawang yang kubawa dari
Lombok langsung ke Teluk Bayur. Ismael jelas berjasa
dalam masalah ini. Aku tidak tahu bagaimana cara Mak
Sarialam memintanya untuk menemui etekku Bainah di
Calau untuk menjajaki persoalan Lip dan aku. Yang juga
aku heran adalah: mengapa si kecil ini mau dihubungkan
dengan pemuda tua yang jarak usianya sekitar sembilan
tahun, miskin lagi.
128

Tak lama kemudian, aku pulang kampung pada


tahun 1963 itu, tentu dengan perasaan bercampur-aduk
antara senang, ragu, dan malu. Senang, karena akan
bertemu dengan si kecil; ragu jangan-jangan dia sudah
berbalik arah dan haluan; malu, karena tak punya apa-
apa, sekalipun bajuku ketika itu tidaklah terlalu buruk,
hanya badanku agak kurus. Pada waktu itu Mak Sarialam
masih hidup, sekalipun sudah sakit-sakitan karena asma.
Ke mana aku singgah dulu sebelum ke kampung?
Ke mana lagi, jika bukan ke Rimbo Kaluang, rumah
si kecil yang baru yang belum beberapa tahun dibangun
ayahnya di kawasan elit Padang Baru, Padang. Rumahnya
gagah dan kokoh, dibangun di atas tanah 1000 meter
persegi. Di depannya beberapa truk biasa diparkir,
sebagai simbol keluarga pedagang terkenal, setidak-
tidaknya di beberapa kawasan Sumatera Barat, apalagi di
kalangan orang kampungku. Truknya diberi nama
Sumpur Kudus, diambil dari nama kampung yang sama-
sama kami cintai. Dengan truk yang menyandang nama
kampung yang biasa berkelana antar propinsi, Sumpur
Kudus setidak-tidaknya sedikit dikenal orang ramai.
Ayah si kecil adalah seorang pedagang yang gigih dan
ulet, semula dari posisi sebagai sopir selama bertahun-
tahun, kemudian menjadi pengusaha yang berhasil secara
mandiri. Anda bisa bayangkan seorang guru swasta mau
dijodohkan dengan keluarga pengusaha! Apakah ini
bukan sesuatu yang lucu? Apakah nanti bisa bertahan
lama?
Setelah melewati jalan Raden Saleh, aku kemudian
berbelok dengan berjalan kaki ke arah rumah si kecil.
Dari kejauhan, aku melihat perempuan tiga beradik
sedang duduk-duduk di tras beranda rumah. Kalau tak
salah, di situ ada Rahma (yang sudah punya anak), ada
129

Rosma (juga sudah punya anak), ada si kecil, yang waktu


itu sudah berusia 19 tahun. Jadi bukan kecil lagi
sebenarnya. Setelah melihat penampilanku dari kejauhan
yang melenggok-lenggok, kabarnya Rahma berkomentar:
“Tampaknya yang datang itu orang susah!” Maklumlah
aku agak kurus, mungkin kurang gizi, sekalipun telah
merantau sambil sekolah selama 10 tahun sampai saat
itu, termasuk merantau dekat ke Lintau selama tiga tahun
sebelumnya.
Tetapi itulah aku dalam keadaan polos, dalam
keadaan apa adanya. Aku memang tidak berbakat jadi
aktor, pandai bertanam tebu di bibir. Umpamanya,
sebelum berkunjung ke rumah si kecil, aku pinjam
pakaian dan sepatu teman untuk menunjukkan bahwa
aku orang berada, agar kelihatan agak sedikit parlente,
bukanlah caraku, sekiranya di Padang aku punya teman.
Jika itu aku lakukan, tentu aku adalah seorang pemain
sandiwara yang suka berpura-pura, demi gensi, tetapi
tidak autentik. Perkara si kecil kemudian mau berpaling
arah, mencari yang lain, aku tentu tak dapat berbuat apa-
apa. Sebuah risiko harus dihadang, bukan? Bagi si piatu
yang sudah terbiasa malang melintang mengarungi nasib,
tidak ada yang harus terlalu dirisaukan. Dalam serba
kesederhanaan, aku terbiasa berdiri di atas kaki sendiri.
Masalahnya adalah aku akan berumah tangga. Apakah
masih boleh aku berpikir seperti sendirian? Apalagi
calonku ini tidak terbiasa hidup miskin. Ini persoalan
besar yang tidak mudah dipecahkan. Galau dan bimbang
juga fikiran dibuatnya.
Yang aku heran adalah mengapa Mak Sarialam,
bibiku Bainah, dan kakakku Rahima bersikeras
menjodohkanku dengan si kecil gesit yang biasa manja.
Apa pun yang diingininya secara materi selama ini di
130

lingkungan keluarganya selalu tersedia, sementara aku


masih terombang-ambing di putaran roda nasib yang
tidak menentu. Teman sekelas si kecil di S.M.P. Tanjung
Ampalu di akhir 1950-an, Herry Komar (wafat 13 Feb.
2006 di Jakarta), mantan wartawan senior Indonesia,
pernah menyebut si kecil sebagai bunga kelas. Apakah
kawin dengan bunga kelas ini tidak akan menimbulkan
masalah di kemudian hari? Di samping jarak usia yang
jauh, juga terbentang jarak psikologis, pengalaman
hidup, dan jarak ekonomi yang tentu tidak mudah
dijembatani dan dipertemukan.
Perasaan semacam ini pada waktu itu memang
tidak terlalu tajam kurasakan. Tetapi bibiku dan kakakku
demikian kuat mendorong agar aku cepat berumah
tangga karena batang usiaku telah bergulir semakin larut,
teman-teman sepermainan di kampung sudah beranak
pinak, sekalipun secara ekonomi dalam kenyataannya
aku sama sekali tidak siap. Bagaimana akan siap, aku
belum punya pekerjaan tetap. Sampai tahun 1963 itu, tak
secarikpun ijazah sekolah negeri yang terpegang di
tanganku. Dalam kondisi semacam itu, aku tak mungkin
melamar jadi pegawai negeri. Baru setahun kemudian
melalui ujian negara pada Universitas Cokroaminoto
Surakarta, aku mendapatkan ijazah persamaan negeri
untuk tingkat sarjana muda, di samping ijazah hasil ujian
lokal untuk derajat yang sama. Sekalipun aku telah
mengantongi dua ijazah B.A. pada 1964, tokh aku tetap
saja sebagai seorang setengah penganggur dengan
mengajar di sana-sini di daerah Surakarta, demi
kelangsungan hidup dalam keadaan tertatih-tatih,
sekalipun tidak lapar.
Sebelum aku kembali ke Jawa dari kampung pada
tahun 1963 itu, ada kejadian kecil yang mungkin baik
131

juga diungkapkan di sini. Si bunga kelas juga pulang


kampung beberapa hari kemudian. Sebelum berbelok ke
rumahnya, tidak jauh dari Simpang Balai, Sumpur
Kudus, pada suatu pagi aku dan teman-teman, termasuk
Manirun, kakak sepupuku dari pihak ayah, berselisih
jalan dengannya. Ia baru datang dari Padang. Tampaknya
ia sangat pemalu, langkahnya bergegas, agak menjauh ke
tepi jalan. Seingatku ia pakai baju putih, baju anak
sekolah. Kami tidak saling berteguran, sekalipun orang
kampung sudah tahu semua bahwa kami telah
dijodohkan, bukan atas inisiatif kami berdua. Aku hanya
meliriknya sepintas lalu, dia membuang muka ke arah
lain. Aku tidak tahu apakah hatinya semakin mantap atau
sebaliknya semakin hambar berselisih jalan denganku.
Yang jelas aku menyukainya, karena sebelumnya belum
pernah aku bercinta secara serius yang menuju ke
perkawinan.
Si kecil ini ternyata kemudian memang bukan
seorang materialistik, yang memburu kekayaan.
Kekayaan mana pula yang mau diburu dari seorang aku
yang kurang gizi? Tetapi aku harus jujur, dalam
perjalanan hidup kami kemudian sekalipun banyak
pancarobanya, rezki secara berangsur terus mengalir,
khususnya setelah usia perkawinan kami agak lanjut,
sebagaimana yang akan kututurkan.
Andaikan pada waktu itu dia merasa bosan
melihatku, aku akan pasrah, tidak akan pergi ke dukun
untuk minta “obat pekasih” demi melunakkan hatinya.
Andaikan pertalian itu akan patah di tengah jalan, aku
pun tidak akan bertingkah di luar jalur agama. Aku ini
anak Muhammadiyah alumnus Madrasah Mu’allimin
Lintau dan Jogjakarta yang dilarang berbuat macam-
macam di luar bingkai dan alur tauhid. Semuanya biar
132

berjalan secara alamiah, sekalipun sekiranya nasib malang


yang akan menimpa, tentu batin ini akan terluka juga.
Tetapi betapa pun perihnya hati, agama melarangku
untuk main mata dengan tukang guna-guna yang di
kampungku cara itu masih sering disebut-sebut orang.
Dalam perkara ini, aku sangat kokoh, tidak akan
berganjak sedikit pun. Inilah di antara jasa
Muhammadiyah yang cukup penting dalam membentuk
pribadiku.
Aku tak bisa membayangkan sekiranya
Muhammadiyah tidak berhasil menembus kampungku,
tentu aku ini tidak akan pernah mengalami proses
pencerahan batin yang teramat menentukan bagi
perjalanan hidupku. Bagiku pada sisinya yang terdalam,
Muhammadiyah lebih dari pada gerakan sosial
keagamaan yang giat menyantuni manusia;
Muhammadiyah adalah gerakan pembebasan manusia
menuju posisi tauhid sejati dan persaudaraan universal
umat manusia dengan segala perbedaan yang ada. Maka
salah satu buahnya yang elementer adalah membebaskan
manusia dari segala macam bentuk kepercayaan yang
menyimpang dari tauhid, yang berbau syirik.
Memang di masa kecil aku pernah pula diajar oleh
seorang dukun perempuan dari nagari Menganti baca-
bacaan yang serba karut itu, jauh sebelum aku mengenal
Muhammadiyah. Dukun ini kenal baik dengan bibiku
Bainah. Di antara bacaan untuk menyembuhkan
penyakit sijundai (semacam sakit kepala) yang masih
terngiang-ngiang dalam ingatanku adalah sebagai berikut
(aslinya dalam Bahasa Minang):
Hai sungsang,
Muhammad sungsang,
Qul huwallah sungsang.
133

Akan dirantai Allah-lah engkau,


Akan dibelenggu Muhammad-lah engkau.
Aku memantrakan obat parang sijundai.
Masuk sekalian tawar,
Keluar sekalian penyakit
Berkat do’a, do’a Malin Karimun
Baris kedua dan ketiga jelas gawat, masakan
Muhammad dan ayat Allah dikatakan sungsang.
Sungsang artinya kaki di atas kepala di bawah, atau
seperti bayi yang lahir kakinya lebih dulu keluar. Aku
pun tidak tahu siapa itu Malin Karimun yang disebut itu.
Mungkin nama salah seorang dukun dalam legenda
Minangkabau yang sudah berbau Islam, sebab ada gelar
malin dan ungkapan-ungkapan bernafas Islam. Nama
malin di sini dikaitkan dengan orang yang dianggap tahu
agama merangkap dukun. Ini tentu berbeda dengan
cerita Malin Kundang, si anak durhako dalam Hikayat
Sabai Nan Aluih itu.
Ilmu andai-andai di atas sengaja kutuliskan dalam
kaitannya dengan serba kemungkinan hubunganku
dengan si kecil, semata-mata sebagai bunga dan bumbu
penuturan, sekalipun di dalamnya termuat juga sebuah
keyakinan agama yang mendalam yang menjadi
peganganku. Artinya aku tidak boleh oleng menghadapi
apa pun yang mungkin terjadi. Bukankah perjalanan
hidupku sampai detik itu belum pernah merasakan apa
yang bernama hidup berkelapangan? Pernah berbulan-
bulan di Solo aku tak pernah merasakan enaknya daging,
sebab tak terjangkau oleh kantongku. Pendeknya suasana
hidup miskin adalah pakaianku sehari-hari selama
bertahun-tahun. Gontai dan tertatih langkah ini untuk
berumah tangga pada waktu itu sering benar dibayangi
oleh situasi yang serba kekurangan itu. Goncang batinku
134

juga tidak terlepas dari lingkaran situasi yang masih serba


melilit itu.
Oleh sebab itu, aku paham benar apa makna
kemiskinan, apa makna serba kesulitan hidup bagi
manusia. Mudah-mudahan semuanya ini akan tetap
mendidikku untuk tidak lupa terhadap masa-masa sulitku
yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh
proses pembentukan diriku. Jangan sampai aku merasa
diri seperti orang yang lupa daratan, lupa lautan, tidak
memperhatikan orang miskin, tidak peduli terhadap
masalah kemiskinan bangsa. Apalagi kemiskinan di
Indonesia bukan disebabkan oleh langkanya sumber
daya alam yang langka. Penyebab utamanya terletak pada
kualitas kepemimpinan pada semua tingkat yang tidak
serius mencarikan jalan ke luar dari serba kekurangan
yang menimpa rakyat banyak ini.
Tidak banyak memang yang dapat kuperbuat
kemudian, tetapi dengan segala keterbatasan, aku
setidak-tidaknya telah berbuat sesuatu untuk
kepentingan orang banyak. Sumpur Kudus dan
Kabupaten Sawah Lunto/Sijunjung, dan beberapa
daerah Muhammadiyah di seluruh tanah air setidak-
tidaknya mengerti apa yang aku maksud. Inilah yang
sedikit membahagiakan batinku, sekalipun itu semua aku
lakukan di saat batang usiaku telah beranjak jauh. Tetapi
pada masa itulah kesempatan untuk berbuat itu datang.
Ini jelas terkait dengan kiprahku sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah dan masa-masa sesudah itu. Interaksiku
dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas kultural, lintas
etnis, para jenderal, birokrat, dan pengusaha, Muslim dan
non-Muslim, sungguh sangat subur di hari-hari tuaku.
Pada tempatnya nanti aku akan mengulas lagi masalah
ini.
135

Kita kembali kepada alur cerita semula. Selama


beberapa hari di kampung, aku suka juga bertandang ke
rumah si celana merah yang disertai Mak Sarialam yang
anggun dan dermawan itu. Aku pun tak tahu mengapa
ibu yang ramah ini mau menjodohkan anaknya
denganku, apakah ada akar sejarah masa lampau, tidak
jelas bagiku. Orang tua seorang teman di kampung
kabarnya pernah pula mendatangi Mak Sarialam untuk
menjodohkan anaknya dengan si kecil. Entah bagaimana
akhirnya, tidak ada kelanjutannya, sementara si kecil
kabarnya tidaklah keberatan benar. Itu aku dengar
sendiri dari si kecil setelah ia kemudian menjadi isteriku.
Aku hanya senyum-senyum ketika mendengarnya, sebab
siapa tahu, sekiranya itu menjadi kenyataan, mungkin si
kecil akan lebih bahagia bersamanya dibandingkan hidup
bersamaku. Sudahlah, ini perkara jodoh, kita tak perlu
selidik menyelidik lagi. Kita terima suratan nasib
sebagaimana adanya, kemudian hadapi kenyataan secara
wajar dan penuh optimisme. Jika muncul masalah,
selesaikan sebaik dan seadil mungkin.
Beberapa kali aku bertandang ke rumah si kecil
selama di kampung sungguh menyenangkan, sekalipun ia
tidak terlalu terbuka untuk menyampaikan isi hatinya.
Mungkin karena jarak usia yang jauh, yaitu sembilan
tahun, menjadi salah satu kendala baginya untuk berkata
terus terang. Aku pun tidak bisa bertutur banyak tentang
masa depan, karena aku belum punya peta masa depan.
Aku belum punya pegangan apa-apa dalam masalah
ekonomi. Aku masih gamang. Apa yang mau diucapkan
tentang kemungkinan masa depan segala. Bukankah
semuanya itu belum ada dalam agendaku? Mengapa mau
bicara agenda segala, apa yang akan diagendakan? Seperti
136

seorang pengusaha saja dengan menyusun anggaran


segala!
Aku tak perlu malu mengatakan bahwa aku tak
punya agenda apa-apa, tetapi itulah aku dalam keadaan
polos, lugu, dan mungkin kekanak-kanakan. Paman,
abang, dan famili yang lain, juga tidak memberi saran
apa-apa, karena mereka pun telah terlalu sibuk dengan
urusan diri dan rumah tangganya masing-masing.
Wawasan mereka pun sebatas kecamatan, kabupaten,
dan sedikit sebatas propinsi. Bukankah pada masa itu,
ekonomi bangsa sedang morat-marit di bawah sistem
D.T. (Demokrasi Terpimpin, 1959-1966) dengan politik
mercu suar yang tidak berpijak di bumi? Politik sebagai
panglima!
Sumpur Kudus sebagai bagian tersuruk dari
Indonesia, tidak pelak lagi juga merasakan dampak buruk
dari cara Jakarta mengurus negeri yang sedang kelaparan
itu. Ditambah lagi konfrontasi dengan Malaysia yang
banyak menyedot energi dan perhatian publik, sebuah
kebijakan untuk mengalihkan perhatian rakyat dari
suasana perut keroncong karena negara dibiarkan berada
dalam kondisi centang-perenang secara ekonomi dan
politik. Dengan kalimat lain, Indonesia pada waktu itu
adalah sebuah Indonesia yang sedang terkapar, lapar,
karena kesalahan pemimpin di tengah-tengah
kerumunan rakyat yang menderita penyakit amnesia
(pelupa).
Bung Karno sebagai P.B.R. (Pemimpin Besar
Revolusi) tetap saja berpidato di mana-mana, membakar
semangat rakyat yang sering kedinginan lantaran perut
kosong. Antri beras, antri minyak, antri sabun, antri
garam, antri bensin dan antri apa lagi, merupakan
pemandangan dan panorama sehari-hari pada masa itu.
137

Atap-atap rumah, gedung-gedung, sekolah, semuanya


dihiasi dengan tulisan Manipol-Usdek dengan huruf-
huruf besar untuk menunjukkan bahwa revolusi belum
selesai. Partai-partai yang masih tersisa turut pula dalam
koor manipolis itu dengan segala kepura-puraan yang
memuakkan mereka yang siuman. Selama periode yang
panas ini, apa yang dikenal dengan pelacuran intelektual
terjadi secara besar-besaran dalam masyarakat Indonesia.
Dalilnya adalah: “If you cannot beat them, join them.”
(Jika anda tidak mampu memukul mereka, ikuti mereka).
Kebanyakan orang telah menjual hati nurani dan
kemerdekaan pribadinya, demi keamanan dan
kelangsungan hidup yang serba sulit dan penuh risiko.
Warga negara terbelah menjadi dua: pendukung atau
pengeritik konsep revolusi yang tak pernah selesai itu. Di
antara pengeritik yang paling vokal, argumentatif, dan
berpengaruh adalah Bung Hatta yang menulis artikel
dalam majalah Panji Masyarakat bulan Mei 1960 dengan
judul “Demokrasi Kita”. Dalam artikel inilah Hatta
meramalkan bahwa sistem kekuasaan otoritarian itu
tidak akan bertahan lama, paling-paling seumur
penciptanya. Sekalipun Hatta tidak ditangkap, majalah
pimpinan Hamka itu akhirnya diberangus. Dalam sejarah
kontemporer Indonesia tulisan Hatta ini (sudah dicetak
dalam bentuk buku kecil) telah menjadi klasik. Sudah
lebih 40 tahun karya penting ini tetap saja dikutip
manakala orang berbicara tentang masalah demokrasi di
Indonesia. Hatta menurut penilaianku adalah seorang
demokrat dalam teori dan praktik par excellence. Dialah
sebenarnya Bapak Demokrasi Indonesia yang autentik.
Suasana politik bangsa panas sekali. Rasanya kita
sedang berada dalam kondisi kebingungan dan konflik
semesta. Aku yang sudah agak mengerti politik dan
138

simpatisan berat Partai Masyumi yang telah dibubarkan,


sungguh merasa amat terpukul oleh situasi yang serba
manipolis itu. P.K.I. (Partai Komunis Indonesia) yang
memang terlatih dalam jor-joran politik berperan amat
sentral dalam mendukung konfrontasi Bung Karno.
Partai-partai lain pada umumnya tinggal menari saja
mengikuti irama genderang yang sedang ditabuh,
termasuk partai-partai Islam selain Masyumi. Genderang
politik manipolis serta yel-yel konfrontasi dengan
semangat tinggi adalah panorama sehari-hari. Aku pun
heran, kecuali Hatta dan para pengikutnya, tokoh-tokoh
yang dulu pernah ditempa oleh dan dalam P.I.
(Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda seperti turut
menikmati bunyi genderang manipolis itu. Ternyata akal
sehat dalam situasi tidak menentu sering tidak berfungsi
secara wajar. Ini yang terlihat dalam sikap sebagian
alumni P.I. yang mendukung D.T.
Orang boleh mengeritik dan menyayangkan sikap
mereka mengapa harus demikian, tetapi itulah fakta yang
tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Salah seorang tokoh
P.I., Ali Sastroamidjojo, diplomat ulung, mantan duta
besar di Washington D.C., dan dua kali menjabat
perdana menteri sebelum era D.T., juga larut dalam
kompetisi manipolis ini, terpaksa atau sukarela, aku tidak
tahu. Otak normal sulit sekali membaca peta politik yang
sedang berkembang. Sesungguhnya Ali sebagai formatur
kabinet pasca Pemilu 1955 pernah melihatkan taringnya
sewaktu “membentak” Bung Karno karena dipaksa juga
membentuk kabinet berkaki empat dengan memasukkan
P.K.I., tetapi yang ditolak oleh partai-partai lain.
Akhirnya Bung Karno “menyerah,” maka kemudian
terbentuklah Kabinet A.R.I. (Ali-Roem-Idham, P.N.I.-
Masyumi-N.U.), sekalipun Bung Karno gerah dibuatnya.
139

Tetapi mengapa kemudian Ali seperti tidak berkutik


pada masa D.T? Inilah politik yang kadang-kadang sulit
dikalkulasi dan dipahami oleh pikiran jernih dan rasional.
Sejarah Indonesia pasca proklamasi sarat dengan
contoh-contoh yang lucu-lucu tetapi melelahkan ini.
Di mana rasionalitas, di mana akal sehat, aku pun
tidak bisa menjelaskannya. Sungguh luar biasa Indonesia
pada waktu itu. Romantisme perjuangan telah
mengalahkan akal sehat dengan segala akibat buruknya.
Menengok fenomena ini, kita sebenarnya tidak perlu
terlalu heran, sebab Jerman yang maju itu, dari buminya
telah lahir puluhan filosuf, pernah pula memuja Hitler
yang haus darah dan ekspansif selama bertahun-tahun,
termasuk filosuf eksistensialis Martin Heidegger (1889-
1976) yang membingungkan kalangan yang masih
berpikir nalar. Semua noda hitam sejarah ini tidak
mungkin dihapus dari memori kolektif kita, kita tinggal
memberikan penafsiran yang cerdas dan jujur mengapa
semuanya harus itu terjadi dalam kondisi dan situasi
tertentu, dan diharapkan tidak terulang lagi.
Dalam suasana politik semacam itulah aku
menganyam dan menjalin cinta dengan si kecil. Tentu
akan ada yang bertanya, apa pula hubungan cinta dengan
revolusi yang tak kunjung selesai menurut Bung Karno?
Pertanyaan semacam ini biarlah tetap menggantung,
karena tidak ada jawabannya. Aku pun tidak tahu apakah
cinta itu tertarik revolusi atau ungkapan-ungkapan
politik yang membosankan. Usiaku pada waktu itu sudah
28 tahun, sebuah usia yang layak untuk berumah tangga.
Aku tidak bertanya apakah si kecil mengikuti politik atau
tidak. Baginya serba kesulitan mungkin tidak begitu
terasa karena roda bisnis ayahnya masih berputar dan
bergulir, sekalipun mulai agak melemah.
140

Berbeda denganku yang gamang menentukan


langkah, karena ketidakpastian ekonomi yang
membayangiku selama bertahun-tahun dalam usia
dewasaku. Bagaimana mau menikahi seseorang,
sementara awak tak punya apa-apa. Jadi bila akhirnya
aku kawin dengan si kecil, itu adalah bagian dari sikap
nekatku. Mengapa dia mau kawin dengan seorang yang
nekat, inilah pertanyaannya, sementara tidak sedikit
pemuda yang telah lama mengintainya, tetapi aku tak
pernah cemburu kepadanya, seperti dia cemburu
kepadaku kemudian. Bukankah dia bunga kelas dalam
pandangan Bung Herry Komar, wartawan kawakan
Indonesia, temannya sewaktu belajar di S.M.P. Tanjung
Ampalu di masa pergolakan daerah, seperti telah disebut
sebelumnya?
Dampak P.R.R.I., 1958-1963, yang melawan Jakarta
sungguh gawat bagi Sumatera Barat, dan Sumpur Kudus
pernah pula menjadi pusatnya, seperti halnya P.D.R.I.
pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Sejak itu sosok Sjafruddin telah menjadi tokoh
kontroversial dalam sejarah kontemporer Indonesia
sampai hari ini. Seharusnya dua situasi sejarah yang
berbeda tajam itu jangan dicampuraduk. Dapatkah orang
membayangkan sebuah republik yang sedang panik
tanpa P.D.R.I.?
Aku sangat hormat kepada Sjafruddin karena
integritas pribadinya sebagai salah seorang pemimpin
bangsa yang moralis, tetapi keterlibatannya dalam
P.R.R.I. perlu kajian ulang. Apakah memang tidak ada
cara lain pada waktu itu untuk menginsafkan Bung
Karno agar tetap setia kepada U.U.D. 1950 selain
memberontak yang ternyata berakibat fatal bagi
keutuhan Indonesia, di samping darah anak bangsa yang
141

tak berdosa telah banyak pula yang tertumpah secara sia-


sia? Jawaban terhadap pertanyaan semacam ini belum
selesai di otakku sampai sekarang. Aku yang semula pro-
P.R.R.I., tetapi melihat korban yang begitu banyak, perlu
mempertanyakan cara-cara berjuang untuk menekan
Jakarta dengan membentuk pemerintah tandingan.
Soekarno dengan egonya yang kelewat besar menjadi
tidak stabil bila dilawan dengan senjata pemberontakan
itu. Bukankah Bung Karno dalam istilah W.S. Rendra
adalah penganut doktrin “daulat tuanku?”
Di usia tuaku, aku bersahabat dengan anak-anak
dan menantu Sjafruddin, karena kami sama-sama sering
berbicara tentang P.D.R.I. yang selama sekian tahun
tidak dihargai oleh Jakarta. Bahkan Bung Karno dalam
Pidato 17 Agustus 1950, setelah Sjafruddin baru saja
menyerahkan mandat kepadanya bulan Juli 1949 sebagai
Ketua P.D.R.I., sama sekali tidak menyebut P.D.R.I. dan
pemimpinnya, padahal pemerintahan gerilya ini selama
tujuh bulan yang kritikal adalah penyelamat Republik
Indonesia setelah Soekarno-Hatta ditangkap Belanda
pada 19 Desember 1948 di istana Jogjakarta. Memang
harus diakui secara jujur bahwa bintik-bintik hitam
sebenarnya tidak elok berlaku dalam sejarah modern
Indonesia, jika pemimpinnya berjiwa besar dan
demokratik. Demokrasi Indonesia lebih banyak
dituturkan dari pada dipraktikkan dalam kehidupan
nyata.
Aku yang pada masa itu pro-P.R.R.I., seperti baru
saja kukatakan, belakangan mulai mempertanyakan
sikapku itu, apakah sudah benar atau karena larut dalam
emosi anti komunis yang mendukung Manipol-Usdek.
Situasi saat itu sangat sulit bagi mereka yang bersikap
kritikal, apalagi bagi simpatisan Masyumi dan P.S.I. yang
142

aku heran adalah sikap rakyat umumnya tetap saja


terpaksa mendukung rezim otoritarian itu, sekalipun
mereka lapar. Sungguh berlaku yang aneh-aneh, ada
kalanya kita sulit memahami sikap politik rakyat banyak.
Karena Sumpur Kudus pernah pula menjadi pusat
P.R.R.I., adik sepupuku Azwar Makruf (siswa S.M.P.
kelas 1), putera Mattudin Rauf-Sarikayo terbunuh kena
bom pada saat pesawat A.U.R.I. menjatuhkan bom di
desa itu. Sebuah kehilangan yang berat bagi kami. Azwar
adalah adikku yang sangat lincah dan pandai bergaul. Dia
panggilku kakoncu. Sampai hari ini suara Azwar masih
terngiang-ngiang di telingaku. Dia korban sengketa
politik daerah-pusat, seperti ratusan anak Minang yang
lain yang juga menjadi korban. Sungguh peristiwa ini
sangat menyayat hati, seorang anak manusia tak berdosa
harus terbunuh dalam konflik elit politik bangsa. Siapa
yang bertanggungjawab dalam tragedi seperti ini? Rakyat
kecil hanya korban. Korban sengketa politik para elit
bangsa yang sering lupa diri. Tidak memikirkan nasib
rakyat kecil yang menderita karena kelakuan mereka.
Kembali kepada dunia dagang ayah si kecil. Dengan
susah payah pak Halifah membangun dan
mempertahankan dunia bisnisnya dalam situasi yang
serba manipolis itu. Entah sudah berapa harta bendanya
dikorbankan semasa krisis itu. Di pedesaan P.K.I. juga
mengganas dan merajalela karena merasa sedang berada
di atas angin. Jumlah anggota P.K.I. di Kecamatan
Sumpur Kudus tidak seberapa, tetapi situasi politik
sungguh berpihak kepada mereka. Bahkan posisi sebagai
sebagai Wali Nagari Sumpur Kudus pernah dijabat oleh
seorang P.K.I. dari suku Caniago, bukan karena dipilih,
tetapi karena diangkat. Bayangkan ketika itu, P.K.I. dapat
menyelusup ke kampung yang sangat jauh itu, dan
143

sekaligus menjadi wali nagari. Semuanya ini berlaku


terutama karena P.R.R.I. kalah perang. Bukankah di
antara isu politik yang diangkat P.R.R.I. adalah isu anti
komunisme?
Untungnya ayah si kecil tidak dikenal sebagai orang
politik, sehingga usaha dagangnya masih bisa berjalan di
sela-sela kemelut politik yang panas itu. Sebagai seorang
yang merangkak dari bawah dalam dunia dagang, ayah si
kecil demikian piawai dan tabah dalam mengatasi
berbagai rintangan yang datang silih berganti. Sikap
optimisme dalam berdagang tidak pernah surut. Dalam
keadaan sulit, naluri saudagarnya “berdansa” terus.
Barulah setelah ditinggal mak Sarialam pada 1964, ayah
si kecil tidak terlalu berjaya lagi dalam membangun
bisnisnya, khususnya dagang gambir dan karet yang
diangkut ke Padang. Mak Sarialam dikenal sebagai
perempuan yang bertangan dingin dalam mendampingi
suaminya, mengelola perusahaan, sekalipun tidak secara
langsung. Rupanya peran isteri dalam karier suami sering
sangat menentukan, tidak saja di dunia dagang, tetapi
juga di arena kehidupan yang lain. Aku pun merasakan
betul seorang isteri dalam setiap langkah yang
kuayunkan.

B. Kembali ke Jawa dan Pulang untuk Menikah


Aku kembali ke Solo tahun 1963 itu juga, jika
ingatanku tidak salah. Si kecil kembali ke Padang
meneruskan sekolahnya ke S.M.A. Negeri di sana. Aku
dan si kecil bersama rombongan berangkat
meninggalkan kampung dengan jalan kaki ke Kumanis
untuk kemudian naik bus menuju tempat persinggahan
masing-masing. Sebelum meninggalkan kampung mak
Sarialam telah membuatkan rendang daging sapi untuk
144

kubawa ke Jawa. Terlalu baik dan lembut calon


mertuaku ini, mungkin lebih lembut dibandingkan si
kecil yang sering keras kepala. Sayang sekali usia Mak
Sarialam tidak berlanjut sampai pada saat kami berumah
tangga. Damailah di sana, di seberang makam, wahai
mertuaku yang baik hati!
Selama ini dalam soal perjodohan dan perkawinan
anak-anaknya, peran mak Sarialam begitu besar,
sementara pak Halifah biasanya tinggal menyetujui saja
siapa pun yang akan menjadi calon menantunya. Semua
diserahkan kepada mak Sarialam yang anggun ini. Tetapi
ada satu hal yang memberi harapan bahwa pak Halifah
akan membantu biaya perkuliahanku jika aku
meneruskan sekolah setelah kawin dengan anaknya.
Sesunggguhnya perasaan kecilku tidak terlalu enak
dijanjikan biaya semacam ini setelah kawin, tetapi aku
sedang kepepet, tidak punya pilihan lain. Kapan pula aku
tidak kepepet? Jika kukenang sekarang, aku merasa malu,
sekalipun bapak si kecil akan dengan tulus memberi
bantuan itu. Bukankah kedua orang tua si kecil dikenal
dermawan?
Di Solo aku kembali mengajar di berbagai sekolah
demi kelangsungan hidup. Sampai Desember 1964, aku
dan si kecil selalu bersurat-suratan, saling menjajaki.
Selama masa pertunangan itu berbagai berita tentang aku
telah sampai kepada si kecil. Salah satunya adalah info
yang diterimanya bahwa aku sudah punya anak di
Baturetno. Akibatnya si kecil menderita dan tertekan
sekali, padahal aku bukanlah pribadi seperti yang
digambarkan info itu. Memang sekiranya aku punya mata
pencarian tetap sebelumnya, mungkin aku sudah lama
berumah tangga, entah di mana. Kenyataannya,
jangankan menghidupkan orang lain, menghidupi diri
145

sendiri saja bertele-tele. Sejak di Mu’allimin Lintau, Jogja,


sampai tahun 1960-an itu, aku belum pernah merasakan
hidup lapang yang layak untuk dibanggakan. Aku adalah
di antara anak Minang yang tidak terjun ke dunia dagang,
karena masih ingin sekolah juga, sekalipun harus hidup
menderita. Apalagi pada era D.T., kondisi ekonomi
bangsa benar-benar terpuruk dan sarat tangis rakyat
lapar. Jangankan orang seperti aku yang saban hari
mengais ke sana ke mari, para pegawai pun yang
berpenghasilan tetap menjerit dihimpit dan dililit serba
kekurangan.
Jodoh memang tidak dapat direncanakan. Begitulah
aku dan si kecil akhirnya berumah tangga setelah diterpa
berbagai info yang negatif tentang diriku, tetapi
pertunangan tidak sampai kandas di tengah jalan. Cincin
pertunangan yang dipasang di jari si kecil jangan dikira
aku yang membelikan. Dia beli sendiri. Dengan apa
kubelikan, bukan? Tetapi ada yang sedikit menghibur. Si
kecil pernah mengatakan sebelumnya kepadaku bahwa ia
ingin merantau, tidak akan betah tinggal di Sumatera
Barat, apalagi ibu yang sangat dekat dengannya telah
dipanggil Allah pada bulan Juli 1964. Pertemuan
terakhirku dengannya adalah sewaktu memberikan
rendang ke tanganku. Rendang ini kubawa sampai ke
Jawa. Terima kasih mak! Sejak bertunangan, batinku
rasanya sudah agak tenang, sekalipun gamang juga bila
mengingat bagaimana nanti menghidupi anak orang yang
terbiasa manja, sangat kontras dengan perjalanan
hidupku.
Awal 1965 aku pulang kampung untuk menikah.
Secara materi aku tak punya bekal apa pun, termasuk
tidak punya persiapan untuk sekadar membayar mas
kawin. Tetapi inilah potretku yang sebenarnya yang tak
146

perlu kututupi. Si kecil tahu betul keadaanku, tetapi


sebuah pertanyaan tetap saja belum hilang dari hatiku:
mengapa dia mau? Jawaban yang paling sederhana
adalah karena suratan nasib sudah menetapkan begitu.
Jawaban lain adalah memang kami sedang mencari jodoh
masing-masing. Perkara kondisi tidak seimbang, baik
dalam umur mau pun dalam ekonomi, adalah di antara
persoalan yang harus dihadapi dan dipecahkan. Dari
pihak keluargaku, kakak, paman, dan lain-lain, tidak ada
bayangan akan membantu proses perkawinanku ini.
Seakan-akan aku dibiarkan berjalan seorang diri. Bahkan
sebagian khawatir bahwa aku akan menjadi pengiring
truk milik ayah si kecil, sesuatu yang tak pernah
terbayangkan olehku. Dan si kecil pun tidak akan
membolehkanku berstatus sebagai pengiring itu. Si kecil
memang berhati keras. Seluruh saudara kandungnya
berpendapat demikian. Kekuatannya terletak pada
sifatnya yang mudah tersentuh melihat orang menderita.
Sifat ini tampaknya menetes dari darah orang tuanya.
Dalam masalah ini, aku banyak belajar padanya.
Memang kawin dengan keluarga berada bisa
mengundang berbagai persoalan yang tidak mudah
diatasi. Banyak sudah contoh yang dialami orang lain.
Tetapi apakah aku harus pula seperti itu? Perkembangan
selanjutnya ternyata tidak demikian. Kalau ditanya siapa
yang paling proaktif dalam proses perkawinanku ini?
Jawabannya jelas, yaitu etek Bainah dan kakakku
Rahima, tetapi ekonomi mereka juga pas-pasan, tidak
mungkin mampu mengeluarkan biaya yang sederhana
sekalipun. Pedih juga rasanya bila mengenang ini semua.
Untungnya, baik etek mau pun kakakku punya hubungan
yang sangat baik dan erat dengan mak Sarialam.
147

Mungkin inilah di antara modal mereka untuk


menjodohkanku dengan si kecil.
Etek dan kakakku sudah terlalu terpukau oleh si
kecil, entah apa sebabnya. Mungkin saja karena mereka
tidak ingin aku “hilang” di rantau, sebagaimana banyak
yang menimpa si Minang. Suami etekku A.Wahid, entah
dari mana ia dapat “ilmu”, memang pernah mengatakan
bahwa si kecil adalah ibarat “jawi bangka” yang bertuah.
Entahlah! Aku tidak berfikir apakah bertuah atau tidak,
sebab itu akan tergantung kepada kesediaan pasangan
untuk memahami satu sama lain untuk membina hidup
bersama, sesuatu yang menuntut kesabaran tingkat
tinggi. Dua makhluk lain jenis dengan latar belakang
yang berbeda dan usia yang berjarak jauh tentu perlu
pendekatan khusus. Di sinilah terletak salah satu
kelemahan dan kekuranganku. Pada tingkat usia 30
tahun itu, seharusnya aku punya kearifan dalam
memahami calon isteriku. Ternyata itu tidak kumiliki.
Kukira semuanya akan lancar begitu saja setelah akad
nikah.
Aku dinikahkan oleh engku kadi Sumpur Kudus,
tokoh spiritual Perti, sesudah salat Jum’at di masjid Rajo
Ibadat pada tanggal 5 Februari 1965 di rumah si kecil
yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah
upacara sederhana. Engku kadi mengatakan bahwa aku
dengan lancar mengucapkan lafaz akad nikahku.
Bagaimana tidak akan lancar, bukankah aku alumnus
madrasah Mu’allimin dari dua tempat? Biaya perkawinan
sepenuhnya ditanggung oleh keluarga si kecil. Potong
kambing segala, tetapi jelas tidak ada kemewahan dalam
serimoni itu. Ini berbeda kabarnya dengan upacara
perkawinan kakak-kakak si kecil sebelumnya yang relatif
meriah. Ini dapat dipahami karena dua hal. Pertama, mak
148

Sarialam sudah wafat tujuh bulan sebelumnya, sehingga


peran utama yang biasa dimainkannya tidak ada lagi yang
dapat menggantikan. Kedua, sekalipun kekayaan
keluarga si kecil masih ada, tetapi sudah jauh menyusut
setelah kepergian mak Sarialam.
Kedua faktor inilah tampaknya sebagai penyebab
mengapa pesta perkawinan kami berjalan biasa saja,
sekalipun cukup membahagiakan. Kenekatanku akhirnya
memetik hasil. Masa membujangku berakhirlah sudah.
Etekku Bainah dan kakakku Rahima bulan main
senangnya, karena buah kelapa tidak sampai jatuh di
tanah rantau. Pemuda Sumpur Kudus mendapatkan
gadis Sumpur Kudus, sekalipun lahirnya di Payakumbuh
pada saat orang ayahnya memusatkan bisnisnya di sana.
Payakumbuh tempatku menempuh ujian persamaan
Mu’allimin se Sumatera Tengah pada 1953.
Sekalipun upacara perkawinan kami berlangsung
sederhana, si kecil, untuk seterusnya kupanggil Lip,
sempat juga berarak keesokan harinya ke rumah etekku
Bainah, sebuah tradisi kampungku yang masih bertahan
sampai sekarang. Seharusnya Lip berarak ke rumah
kakakku Rahima dari suku Caniago, tetapi etekku Bainah
dari suku Melayu telah lama berfungsi sebagai pengganti
ibuku. Maka akan sangat eloklah kalau Lip dengan
rombongan dengan pihak keluarganya berarak ke sana
dengan berjalan kaki sepanjang dua km. Aku tak ingat
berapa jumlah rombongan itu, sementara aku
menunggunya di rumah etekku itu bersama teman-teman
dengan perasaan “gedebak-gedebur”. Indah juga untuk
dikenang upacara dalam tradisi kampung model ini,
sekalipun jauh dari suasana mewah.
Di atas sudah kusinggung nama Nasaruddin, kakak
Lip atau kakak iparku yang kupanggil uda Nasar. Selama
149

beberapa tahun uda Nasar menjadi pengikut agama lain,


entah apa penyebabnya. Beberapa hari sebelum
perkawinanku, aku berdebat dengannya tentang masalah
agama bertempat di sebuah madrasah Sumpur Kudus.
Yang hadir ramai sekali, termasuk abangku Nursahih.
Aku tidak ingat berapa lama perdebatan itu berlangsung.
Di akhir perdebatan uda Nasar mengakui bahwa Islam
adalah agama yang lebih masuk akal, tetapi ia masih tetap
dalam agamanya. Sebenarnya pihak keluarganya,
khususnya mak Sarialam sangat risau dan gundah dengan
perpindahan agama anaknya ini. Apalagi penduduk
Sumpur Kudus 100% sebagai pemeluk Islam, kecuali
seorang kakak iparku itu. Di akar rumput, masalah
pindah agama ini sangat peka dan jadi omongan tak
habis-habisnya sampai di kedai-kedai.
Alhamdulillah beberapa tahun yang lalu uda Nasar
sudah kembali kepada agama aslinya, yaitu Islam. Karena
kejadian ini untuk ukuran kampung merupakan sesuatu
yang penting, maka kami mengadakan upacara syukuran
di rumah Mandailing dengan memotong kambing.
Hampir semua orang penting tingkat nagari diundang
untuk menyaksikan kejadian itu. Aku jelas bersyukur
karena pada akhirnya kerisauan keluarga gara-gara
pindah agama dari seorang anggotanya telah terobat.
Uda Nasar pada saat syukuran itu memakai kopiah
hitam, dan semua yang hadir menyalaminya tanda
senang dan gembira. Dengan kembalinya uda Nasar ke
pangkuan Islam, maka angka 100% pemeluk Islam di
Sumpur Kudus menjadi sempurna kembali.
Bukan main pihak keluarga senangnya, sebab
apabila wafat pada suatu saat tidak akan ada lagi masalah
dalam proses upacara penguburan jenazahnya. Bagiku
kejadian ini tentu mengingatkan perdebatan sekitar
150

puluhan tahun yang lalu, tetapi yang ketika itu belum


membuahkan hasil yang berarti. Sekarang dari sisi agama,
tidak ada lagi penduduk Sumpur Kudus yang beragama
lain selain Islam, sekalipun belum tentu semua
menjalankan ibadah harian. Sayangnya, mak Sarialam
dan pak Halifah sudah lama wafat ketika anak yang
dirisaukannya itu telah kembali kepada agama yang
dianut ibu-bapaknya. Perkara rajin salat atau malah
sering ditinggalkan adalah masalah disiplin yang perlu
latihan terus menerus. Kekurangan Sumpur Kudus
belakangan ini adalah langkanya guru agama yang
mampu menyampaikan Islam dengan bahasa sederhana,
tetapi mencakup nilai-nilai fundamentalnya yang
universal, tahan bantingan sejarah.

C. Belajar Sambil Bekerja


Sewaktu aku menikah usiaku sudah 30 tahun dan
belum punya pekerjaan tetap, seperti telah kujelaskan.
Tingkat pendidikanku baru sarjana muda dari F.K.I.P.
Universitas Cokroaminoto Surakarta pada 1964. Setelah
beberapa hari di kampung, aku dan Lip berangkat ke
Padang untuk tinggal sementara di rumahnya di kawasan
Padang Baru Barat dalam persiapan untuk ke Jawa. Ke
mana? Tentu ke Solo dulu karena aku masih punya
harapan untuk dapat meneruskan sekolah pada tingkat
doktoral F.K.I.P. jurusan sejarah Universitas
Cokroaminoto, sesuatu yang ternyata tidak menjadi
kenyataan.
Lip yang jarak usianya terpaut jauh denganku mulai
gelisah di Solo karena merasa tidak enak untuk terus
menompang di rumah uni Nudiar, anak pak Burhan,
induk semangku sewaktu aku menjadi pelayan tokonya
di Solo. Kegelisahan itu dipicu lagi oleh kabar bahwa aku
151

katanya pernah akan dijodohkan dengan seorang gadis


asal Sulit Air yang sudah lama menetap di Solo bersama
keluarganya sebagai pedagang buku dan alat tulis. Kabar
itu sebenarnya tidak betul, sebab tidak mungkin seorang
gadis anak pedagang mau menjadi isteri si penganggur.
Anak itu memang datang ke rumah uni Nudiar, tetapi
Lip tidak mau ke luar kamar untuk menemuinya.
Terjadilah sedikit gesekan antar kami, tetapi hikmahnya
cukup besar, yaitu mempercepat proses keberangkatan
ke Jogja untuk meneruskan kuliah di I.K.I.P. Negeri
Yogyakarta. Bukankah aku sudah punya ijazah negeri
tingkat sarjana muda melalui ujian negara?
Sekalipun sudah lengkap dengan ijazah negeri, pada
mulanya cukup sulit bagiku untuk mendaftarkan diri
pada F.K.I.S.-I.K.I.P. Yogyakarta jurusan pendidikan
sejarah. Drs. Lafran Pane, pendiri H.M.I. (Himpunan
Mahasiswa Islam) pada 1947, adalah pembantu dekan I
pada fakultas yang akan kumasuki itu tidak mudah
menerimaku, entah apa sebabnya. Berbagai upaya telah
kulakukan agar bisa meneruskan kuliah. Maka bantuan
Drs. Wuryanto, ketua jurusan pendidikan sejarah
F.K.I.S. (kemudian jadi professor dan pernah pula jadi
rektor I.K.I.P. Semarang dan anggota D.P.R. R.I.) sangat
besar untuk memuluskan jalanku memasuki perguruan
tinggi ini dengan memberiku surat rekomendasi agar aku
diterima. Juga bantuan Komandan Lasykar Ampera
Padamulia Lubis (alm.) yang mengantarkanku menemui
Lafran Pane menguatkan rekomendasi Pak Wuryanto.
Jika aku tak salah ingat Drs. M. Sanusi Latief yang pada
saat itu sudah menjadi dosen I.A.I.N. Sunan Kalijaga
Jogjakarta juga menulis surat kepada Lafran Pane agar
aku dapat diterima.
152

Melalui berbagai upaya itu, akhirnya aku dapat


diterima untuk tingkat doktoral F.K.I.S.-I.K.I.P.
Yogyakarta, sementara biaya kuliahku dibantu oleh pak
Halifah, mertuaku. Karena aku tak punya cukup uang
untuk menyewa rumah sendiri, sahabatku sewaktu kuliah
di Cokroaminoto alm. Bakir Amir sungguh sangat
berjasa membantu mengatasi kesulitanku dalam masalah
tempat tinggal ini. Kami ditawarkannya untuk tinggal di
rumah ibunya Nyai Amir di Kotagede Jogjakarta, sekitar
6 km dari kota tanpa menyewa. Nyai Amir adalah kakak
seibu Prof. Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang
penanda tangan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Prof.Kahar sendiri tinggal hanya beberapa meter saja
jaraknya dengan rumah Nyai Amir. Kami hampir selalu
berjamaah salat maghrib di emper rumah Nyai Amir
dengan Prof. Kahar sebagai imamnya.
Banyak pengalaman yang kudapat selama menetap
di Kotagede ini. Selain memperoleh ilmu dari Prof.
Kahar dalam berbagai pertemuan, aku juga sering
diminta jadi khatib Juma’at di Masjid Gede Kotagede
dan Masjid Perak, tempat alm. K.H. Amir (suami Nyai
Amir) mengasuh dan memberikan pengajian. Kiyai Amir
pernah menjadi anggota Majelis Tarjih P.P.
Muhammadiyah, tetapi aku tak sempat menjumpainya
karena sudah wafat sewaktu kami tinggal di Kotagede.
Informasi yang sampai kepadaku adalah bahwa Kiyai
Amir adalah seorang alim besar yang sangat dihormati
oleh umat Islam umumnya, apalagi oleh kalangan
Muhammadiyah.
Keuntungan lain yang kudapat di Kotagede adalah
perkenalanku dengan Kiyai Dja’far Amir (sekarang alm.),
abang Bakir Amir, seorang penulis buku-buku pelajaran
agama untuk sekolah. Aku diajaknya menulis bersama.
153

Tentu aku menjadi senang karena setidak-tidaknya dapat


menambah sumber biaya hidup kami. Dia sendiri adalah
guru P.G.A. Negeri Surakarta. Ada beberapa judul buku
pelajaran sekolah yang kami tulis bersama yang
diterbitkan oleh Penerbit Kota Kembang Jogjakarta,
milik seorang pedagang Sunda. Sekalipun honorarium
yang kuterima tidak banyak, kegiatan sampingan ini ada
juga manfaatnya, yaitu aku telah turut menulis buku
pelajaran untuk kepentingan siswa. Buku-buku itu
meliputi: sejarah Islam, masalah ibadah, dan masih ada
yang lain yang aku tak ingat lagi, karena arsipnya sewaktu
menulis autobiogarfi ini belum ketemu.
Di Kotagede inilah kami mengalami peristiwa
G30S/P.K.I. yang kemudian mengakhiri sebuah periode
sejarah Indonesia, dari era Bung Karno ke era Pak Harto
bersama Generasi ’66 yang banyak dipuja dan dielukan
kala itu. Peralihan periode ini sungguh dramatis dan
bermandikan darah. Perang saudara sesama anak bangsa
tidak dapat dihindari. Kekuatan komunis yang merajalela
sebelumnya harus berhadapan dengan kekuatan anti-
komunis dengan intinya Angkatan Darat plus anak-anak
K.A.P.P.I. (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)
dan K.A.M.I. (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Yel-yel anti-komunis bertaburan di mana-mana. Situasi
bangsa sangat genting dan berbahaya. Peranku selama
masa bergolak itu tidak ada yang penting. Sekalipun
masih mahasiswa, usiaku sudah bergerak tua,
berkeluarga, miskin lagi.
Selama setahun lebih tinggal di Kotagede, pada
bulan Maret 1966 lahirlah anak kami yang pertama di
P.K.U. Muhammadiyah Jogjakarta yang kami beri nama
Salman. Kondisi ekonomi kami jauh dari memadai,
sementara aku sedang kuliah. Ada tawaran dari pak
154

Halifah untuk menambah kiriman, tetapi Lip dan aku


tidak sampai hati mengiyakannya. Untuk perlengkapan
tempat tidur, hanya Salman saja yang kami belikan kasur
pendek, sementara Lip dan aku tidur tanpa kasur. Bagiku
keadaan semacam ini tidaklah menjadi persoalan besar,
karena sudah terbiasa sejak kecil. Tetapi bagi Lip tentu
sangat tidak nyaman. Namun itulah yang harus dijalani
dengan penuh keprihatinan, sekalipun aku kemudian
diterima menjadi tukang koreksi membantu alm. A.
Bastari Asnin untuk majalah Suara Muhammadiyah,
pimpinan alm. H.A. Basuni, B.A. dan alm. Mohammad
Diponegoro. Di samping sebagai korektor, aku juga
disuruh mengurus iklan untuk majalah. Ada lagi sedikit
tambahan penghasilan. Mungkin sebagian kecil hasil
iklan terselip dalam kantongku, aku lupa-lupa ingat
berapa.
Keadaan umum masyarakat Indonesia sungguh
memprihatinkan pada masa ini. Ekonomi morat-marit,
demonstrasi merebak di mana-mana. Tuntutan mereka
terkristal dalam Tritura yang dicetuskan pada 12 Januari
1966: Bubarkan P.K.I., Bersihkan Kabinet dari Unsur
G30S/P.K.I., Turunkan Harga dan Perbaiki Ekonomi.
Sekalipun ujung tombak demo sebenarnya sudah
mengarah kepada pimpinan tertinggi negara, bahasa yang
dipakai masih sangat samar-samar, karena peta kekuatan
politik belum terlalu jelas. Sebagai seorang yang bukan
aktor, aku tetap saja kuliah sambil bekerja, seraya
mengikuti perkembangan keadaan sebisanya.
Untung ada beberapa koran di kantor S.M. (Suara
Muhammadiyah), lantai II Kantor P.P. Muhammadiyah
yang lama, Jl. K.H.Dahlan 99. T.V. masih belum ada
ketika itu. Andaikan ada, tokh aku tidak mungkin
memilikinya. Kasur pun hanya punya separo, khusus
155

untuk anak yang baru lahir, bukan? Perkara hidup


melarat ini sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan,
sebab sebagian besar rakyat Indonesia ketika itu lebih
parah dibandingkan keadaanku. Jika aku masih sendirian,
tentu tidak ada persoalan. Beban mentalku menjadi
berat, karena ada isteri dari keluarga kaya plus anak yang
masih bayi yang memerlukan susu tambahan. Ini yang
membuatku kadang-kadang pusing memikirkannya.
Dengan menempuh 6-7 km dari Kotagede aku
mengayuh sepeda tua yang catnya sudah berantakan
menuju kota Jogjakarta: mengoreksi S.M. pagi dan kuliah
sore hari. Isteri dan anak tinggal di rumah seharian di
rumah Nyai Amir di Selokraman. Mungkin lebih setahun
kami menetap di sana, sementara kondisi Salman tidak
selalu sehat. Perkembangan fisiknya berjalan lambat,
mungkin sewaktu dalam kandungan kekurangan gizi.
Ruang tempat tinggal pun tidak cukup mendapatkan
cahaya matahari. Karena kondisi ekonomi rumah tangga
kami sangat sederhana, tidak jarang nasi dibagi sebelum
disuap. Bila kiriman pak Halifah agak terlambat
datangnya, perhiasaan emas Lip beberapa kali dilego ke
rumah gadai. Untung dia punya perhiasan. Kalau aku apa
yang mau digadaikan.
Pernah suatu hari benar-benar tidak beras, tetapi
tiba-tiba muncul wesel honorarium tulisanku sebesar Rp.
20 dari sebuah majalah di Solo. Cukup untuk membeli 4
kg beras pada waktu itu. Bukan main bahagianya
perasaan. Masalah beras cepat teratasi. Selama di
Kotagede, Lip tidak pernah gemuk, sekalipun sudah
tambahan penghasilan dari S.M., tetapi jumlahnya tidak
seberapa. Seorang tukang koreksi tentu penghasilannya
jauh di bawah redaksi. Setelah sekian lama aku jadi
korektor, posisi redaksi kemudian diberikan kepadaku
156

sampai aku berhenti bekerja di sana karena mau


berangkat ke Amerika Serikat Juli 1972. Suara
Muhammadiyah telah turut menyelamatkan ekonomi
rumah tangga kami yang sering mengalami kekurangan
dan kegoncangan.
Kepada Bung Bastari aku berterima kasih atas
bimbingannya dalam kerja koreksi. Sayang sahabat yang
satu ini tidak berusia panjang untuk meneruskan
kariernya sebagai sastrawan Indonesia bersama dengan
yang lain. Bastari adalah salah seorang penandatangan
Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 untuk
mengimbangi gerak laju Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) milik P.K.I., salah seorang tokoh utamanya
adalah Pramudya Ananta Toer. Manifes atas desakan
P.K.I. akhirnya dibubarkan Soekarno dalam
pernyataannya pada 8 Mei 1964, dituduh sebagai
kekuatan anti Manipol. Bung Karno waktu itu seperti
kena hipnotis oleh komunis. Klaim sebagai penyambung
lidah rakyat yang sering diucapkan Bung Karno dalam
berbagai kesempatan, kini telah berubah menjadi
penyambung lidah P.K.I. Sangat disayangkan.

V. MUSIBAH SILIH BERGANTI

A. Lip ke Padang Bersama Salman (1966-1967)


Aku lupa pada bulan apa Lip dan anaknya kembali
sementara ke Padang, sedangkan aku tetap kuliah di
Jogja, tetapi tempat tinggal sudah pindah dari Kotagede
agar tidak terlalu jauh dari tempat bekerja dan kuliah.
Alasan utama mengapa mereka pulang tidak lain karena
masalah ekonomi. Salman yang sering sakit sampai di
Padang dalam beberapa bulan malah semakin parah.
157

Ayahnya jauh di rantau, sedangkan ibunya merasai


(menderita) bersama anaknya. Sudah lebih dua tahun
kami berumah tangga, bayangan perbaikan ekonomi
secara mandiri belum kunjung kelihatan. Kalaulah pak
Halifah menghentikan bantuannya terhadap kami pada
tahun pertama perkawinan, bolehjadi kuliahku tidak akan
pernah selesai. Setelah Lip dan Salman berada di Padang,
biaya hidupku sudah kutanggung sendiri, sebab jika
dibantu pula, maka ini namanya “pemerasan” oleh
menantu. Anaknya sudah diberikan, ayahnya “diperas”
lagi.
Oleh sebab itu jasanya untuk kelanjutan kuliah
menantunya cukup penting dan menentukan, sekalipun
bantuan itu tidak pernah cukup. Jika kukenang sekarang,
untung ia mau membantu. Coba kalau tidak, entah ke
mana pula langkah ini harus diayunkan. Inilah di antara
buahnya Lip kawin dengan orang yang nekat, seperti
telah kusebutkan di depan. Semoga arwah mak Sarialam
dan arwah pak Halifah diterima Allah dan ditempatkan
di tempat yang terpuji. Amin. Bantuannya yang tulus
tentu dihargai Allah, padahal dari sisi agama tidak lagi
menjadi kewajibannya.
Pada waktu Lip dan anaknya tinggal di Padang, ada
sedikit kemajuan dari sember penghasilanku, yaitu aku
diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten
Perguruan Tinggi tertanggal 1 Juni 1967 dengan gaji per
bulan Rp. 868 (delapan ratus enam puluh delapan
rupiah) plus pendapatanku di Suara Muhammadiyah yang
aku lupa berapa angkanya. Pada saat-saat sulit itu,
tambahan pendapatan tentu sedikit menolong, sekalipun
masih serba kurang. Ingat tingkat inflasi Indonesia saat
itu sudah mencapai 650%, sebuah angka yang sangat
mengerikan. Suasana negara dalam masa peralihan dari
158

era Soekarno ke era Soeharto sungguh sangat


melelahkan dan berbahaya. Nasib pegawai negeri
kempas-kempis, apalagi aku yang baru masuk dengan
pangkat E/II berdasarkan ijazah sarjana mudaku lewat
ujian negara pada tanggal 5-7 Nopember 1964 pada
F.K.I.P. Universitas Cokroaminoto Surakarta jurusan
Sejarah Budaya. Tetapi sekarang setidak-tidaknya aku
buat pertama kali punya ijazah negeri.
Pintu masuk melalui asisten Perguruan Tinggi
menjadi sangat penting bagi perjalanan karierku di
kemudian hari. Tanpa pintu itu, sulit kubayangkan akan
ke mana perjalanan hidup ini mau mengarah. Jika
kinerjaku dinilai baik, tentu aku akan dapat melanjutkan
tugas sebagai dosen pada saatnya. Sebagai asisten aku
diberi tugas mengajar Sejarah Indonesia Kuno pada
F.K.I.S. I.K.I.P. Yogyakarta, di samping juga menjadi
asisten Sejarah Islam pada Fakultas Syari’ah dan
Tarbiyah U.I.I. (Universitas Islam Indonesia) atas
bantuan pak Drs. M. Sanusi Latief yang telah menjadi
orang penting pula di sana. Pak Sanusi sering muncul
membantuku pada saat-saat aku perlu pertolongannya.
Berbeda dengan situasi sewaktu akan masuk
I.K.I.P. Yogya yang menghadapi banyak sekali kendala,
justru sekarang Pak Lafran yang mengusulkanku untuk
diangkat sebagai pegawai negeri. Sejak itu hubunganku
dengan Pane adalah ibarat hubungan bapak-anak, baik
sekali, sampai ia wafat beberapa tahun setelah
dikukuhkan menjadi guru besar Hukum Tata Negara
pada F.K.I.S.-I.K.I.P. Yogyakarta. Dengan kenyataan ini,
pak Lafran Pane juga turut melicinkan karierku sebagai
tenaga pengajar di perguruan tinggi. Rasa terima kasihku
kepadanya sungguh besar, sebab jika sikapnya tetap
seperti ketika aku mau meneruskan kuliah di F.K.I.S.,
159

tentu akan menjadi tidak jelas pula akan ke mana aku


setelah gelar sarjana kuperoleh. Tampaknya perjalanan
hidupku ini tidak pernah linear, selalu berliku-liku. Nasib
seseorang ternyata tidak bisa dirancang secara pasti. Pak
Lafran yang semula begitu ketus terhadapku, kemudian
berubah 180 derajat menjadi bapak dan pembimbingku,
apalagi aku adalah anggota H.M.I. sejak dari Solo. Lafran
Pane adalah pendiri H.M.I. pada 1947 pada saat
Indonesia masih dalam era revolusi untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Untuk Sejarah Indonesia Kuno, aku beruntung
karena sewaktu belajar pada Universitas Cokroaminoto,
mata kuliah ini dipegang oleh Drs.R. Pitono dari I.K.I.P.
Malang, seorang dosen yang ahli di bidang ini. Pitono
datang sekali sebulan ke Solo dan selalu diberi fasilitas
oleh sahabatku Bakir Amir (alm.), pengusaha batik,
teman sekelasku di Cokroaminoto. Sekalipun
pengetahuanku tentang sejarah kuno Indonesia sudah
banyak yang lupa, kuliah Pitono yang menarik sungguh
sangat membantuku sebagai asisten di perguruan tinggi
negeri.
Kembali kepada suasana rumah tanggaku.
Kegaduhan rumah tangga sudah berkali-kali terjadi pada
tahun-tahun pertama itu kerena berbagai sebab: gizi yang
tidak memadai (ini perkiraan semula) dan cemburu
sebagai bawaannya dari dalam kandungan. Dan cemburu
ini ternyata masih setia sampai saat tua, sekalipun sudah
kelebihan gizi. Bukankah sewaktu Lip masih dalam
rahim ibunya, perkelahian antara ibu dan bapaknya
sering terjadi, gara-gara ibunya tidak mau dimadu?
Katanya sejak bayi sudah diberi air susu panas oleh sang
ibu. Entahlah. Seperti ayahku juga, pak Halifah pernah
mengawini beberapa perempuan. Selain mak Sarialam,
160

ada tiga yang diberi keturunan, tetapi saudara seayah Lip


yang hidup sampai sekarang tinggal seorang perempuan,
tinggal di Tanjung Ampalu. Gaduh ya gaduh, tetapi
ternyata rumah tangga kami masih bertahan lebih 40
tahun.
Bagaimana seterusnya, tidak usah dibicarakan.
Dalam Pidato Pengukuhanku sebagai Guru Besar
Filsafat Sejarah pada 4 Januari 1997, aku menulis:
“Kepada isteriku Nurkhalifah dan anakku Mohammad
Hafiz yang telah betah hidup bersama dalam keadaan
suka dan duka, dalam keadaan “perang dan damai,”
disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
tak terbatas.” Ungkapan “perang dan damai,” sekalipun
dikurung dalam dua tanda kutip, realitas yang sebenarnya
memanglah demikian. Sudah tentu iklim damainya jauh
lebih lama, sedangkan perang yang melelahkan pecah
juga sekali-kali. Kesimpulannya adalah cemburu tidak
ada kaitannya dengan gizi, setidak-tidaknya dalam kasus
rumah tanggaku. Bisa jadi, semakin sempurna gizi,
semakin menjadi pula sifat yang satu ini.
Semula aku kira faktor kesulitan ekonomilah yang
menjadi penyulut utama cemburu plus terlalu banyak
tinggal di rumah. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, setelah dua faktor itu hilang, “penyakit”
yang satu itu tetap setia. Rupanya memang sudah
bawaan dari lahir, atau dalam Bahasa Jawa “gawan
bayen,” sesuatu yang harus kuterima dengan
menjadikannya sebagai pendorong untuk maju. Lip
tampaknya juga menyadari bahwa cemburunya sebuah
penyakit yang tidak bisa diatasi. Dia menderita, aku pun
menderita. Untunglah iklim semacam itu datang sekali-
sekali, sementara karierku tetap saja melaju dan melaju.
161

Kesulitan telah dibaca sebagai peluang untuk bergerak


terus tanpa henti.
Kadang-kadang hubungan kami sudah berada di
ujung tanduk, terasa berat sekali. Seperti telah kukatakan,
aku semula memang tidak siap untuk berumah tangga,
ditambah lagi jarak usia dan jarak psikologis yang jauh
serta kondisi ekonomi yang tidak seimbang. Pada suatu
ketika semasa tinggal di Kotagede, aku punya sedikit
uang untuk mengganti baju Lip yang sudah lusuh.
Pergilah kami ke toko Ramai, di kawasan perbelanjaan di
Jogja. Aku masih ingat warna baju yang dibeli itu
jambon, sedangkan roknya biru muda berombak-ombak.
Lumaian jugalah, sekalipun badan kurus, dibungkus
dengan baju baru yang tidak mahal, cantik juga kelihatan,
karena memang aslinya adalah bunga kelas, seperti
pengakuan Bung Komar. Sebelum kawin denganku,
harga pakaiannya pasti di luar jangkauan orang
kebanyakan. Dibandingkan dengan ayahku yang beristeri
banyak, bagiku seorang saja rasanya sudah kewalahan.
“Jawi Bangka” yang “bertuah” ini memang termasuk
manusia sulit dan rumit, sekalipun aku banyak belajar
padanya, terutama sikap hidupnya yang dermawan dan
pengiba terhadap orang yang terlantar. Masalah
kebersihan, jangan ditanya lagi, dialah juaranya.
Untuk makanan anaknya saja, misalnya, dibasuhnya
berkali-kali, sampai-sampai kukatakan: “Yang terakhir
cucilah dengan air susu,” untuk menunjukkan orang
tidak boleh berlebihan dalam kebersihan. Kelebihan lain,
Lip sangat rapi dalam mengatur rumah, sekalipun di hari
tuanya agak menurun. Perhatiannya terhadap tanaman
untuk menghias pekarangan malah semakin dahsyat. Bisa
berjam-jam ia merawat tanaman itu hampir saban hari.
Tanah, tanaman, dan bunga adalah sahabatnya yang
162

setia. Mungkin juga ini semua sebagai hiburan yang


mengasyikkan baginya.
Salman sejak lahir tampak lamban dan di biji salah
satu matanya terlihat bintik putih kecil. Aku cukup
banyak menggendongnya, termasuk di malam hari,
ketika Lip sudah sangat lelah. Rasa sayang kepada anak
ini terasa dalam sekali, apalagi pada usia yang seharusnya
sudah berjalan, Salman belum bisa. Setelah sakit
beberapa lama di Padang, Salman akhirnya dipanggil
Allah pada usia kurang sedikit dari 20 bulan. Pada waktu
aku pulang ke Padang, berita kematian inilah yang
disampaikan Lip kepadaku. Kalimatnya berbunyi:
“Maman (panggilannya) sudah tidak ada kak oncu.”
Bayangkan perasaanku waktu itu sungguh remuk. Anak
pertama wafat tidak di depan ayahnya. Hanya ibunyalah
dibantu famili Lip yang lain yang menjaga dan merawat
Salman sampai wafat.
Sebagai orang beragama, aku dan Lip tidak punya
pilihan lain, kecuali merelakan kepergian anak pertama
kami, pergi untuk tidak kembali. Sewaktu Salman wafat,
aku masih duduk pada doktoral dua F.K.I.S. I.K.I.P.
Yogyakarta, jurusan sejarah. Dalam tulisan-tulisanku, aku
sering benar meminjam nama anak ini, tetapi ditambah
dengan kata Sumpur. Jadi Salman Sumpur sebagai nama
samaranku, demi cintaku kepada anak ini.
Kuburan Salman di pinggir laut, sekarang sudah
tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan ombak.
“Anakku, engkau pergi tanpa dosa, sementara ayahmu
belum tentu lagi nasibnya. Sewaktu ayahmu menulis
bagian ini (Oktober 2005), engkau telah meninggalkan
kami selama 38 tahun, dihitung sejak tahun wafatmu
pada bagian akhir tahun 1967. Sungguh nak,
kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat goncang,
163

tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui.


Engkau wafat dalam keadaan ekonomi orang tuamu
masih kucar-kacir, sehingga kami tidak mampu
memeliharamu secara maksimal. Maafkan nak. Air mata
ayah terus saja meleleh sewaktu menulis kalimat ini,
sekalipun usia ayah sudah di atas 70 tahun. Kenangan
kepadamu kembali menguat, dan itu melukai batin ayah
yang terasa sangat dalam.”
Beban mental akibat kematian anak hampir-hampir
tak terpikul. Hanya iman saja yang dapat menolong agar
tidak terus larut dalam suasana ketidakstabilan jiwa.
Inilah perasaanku selanjutnya ketika menulis bagian ini:
“Salman, sewaktu engkau wafat, usia ayahmu baru 32
tahun, sedangkan ibumu Nurkhalifah 23 tahun. Masih
panjang rantau yang harus ditempuh, dan itu menjadi
bagian yang menyatu dengan pengalaman dan
penderitaan tahun-tahun awal berumah tangga ayah-
ibumu nak. Ketika keadaan kami sudah mulai membaik,
engkau telah pergi, anakku.” Enam tahun kemudian,
kematian anak kedua berlaku pula. Bertimpa-timpa,
beruntun, selama delapan tahun berumah tangga, hilang
satu, hilang dua. Ini surat kecil Lip sebagai pengantar
kiriman kalamai (dodol model Minang untukku di Jogja:
Kanda, ini kalamai adinda kirimkan sedikit. Yang
pakai kacang yang enak. Berilah teman-teman
kakanda di kantor. Kalau masih ada, kirimi si
Tatang, anak sdr. Abduh. Salman waktu
memasukkan kalamai ini, dia tertawa-tawa. Adinda
bisikkan padanya bahwa kalamai ini untuk ayah
Maman yang jauh di rantau orang.
Wassalam dan maaf, adinda
Nurkhalifah
19 Januari 1967
164

Kiriman yang mengharukan ini kuterima jam 11.25


tanggal 1 Februari 1967. Abduh, adik Mohammad
Diponegoro, adalah teman sekerjaku di Suara
Muhammadiyah. Siapa menyangka tidak lama setelah itu,
Salman pergi meninggalkan ayah-bundanya untuk tidak
kembali.

B. Kembali ke Jogja, lulus S1, dan Lahirnya Ikhwan


Tidak lama sesudah Salman pergi, aku dan Lip
kembali ke Jogja dalam proses penyelesaian kuliahku.
Seingatku, dalam beberapa bulan kemudian Lip hamil
yang kedua yang nanti akan melahirkan anak kedua pada
2 Nopember 1968 yang kami beri nama Ikhwan. Tanggal
ini aku ingat karena bertepatan dengan dimulainya
kongres Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) di Malang
yang kemudian memilih Mohamad Roem sebagai ketua
umum, tetapi yang ditolak oleh rezim Soeharto. Roem
tokoh moderat Masyumi masih ditakuti rezim karena
pengaruhnya dalam masyarakat masih cukup kuat.
Kelahiran Ikhwan tentu sedikit mengobat hati yang
luka. Sungguh besar harapan orang tua agar anak kedua
ini berusia panjang. Aku tidak selalu ingat berapa kali
kami harus pindah rumah sewaktu Iwan (panggilan anak
ini) masih kecil. Pernah di sekitar Rumah Sakit
Mangkulayan kami pindah dua kali. Pertama di bekas
rumah sewaan sahabatku alm. A. Bastari Asnin,
sastrawan terkenal, kelahiran Muara Dua, yang wafat
dalam usia 40 tahun. Asnin pernah memenangkan
Hadiah Sastra dari majalah Sastra dengan cerpennya “Di
Tengah Padang.” Seperti telah kuceritakan bahwa
Asninlah yang mengajarku jadi korektor majalah Suara
Muhammadiyah di Percetakan Negara, Jl. Jenderal
Katamso, Jogjakarta. Berbulan-bulan aku dan Asnin
165

bekerja di percetakan itu, sebuah pengalaman yang tak


terlupakan. Aku bergaul dengan para karyawan
percetakan yang umumnya bergaji kecil. Mereka wajib
minum susu segar tiap hari untuk menghindari T.B.C.
karena selalu bergumul dengan timah percetakan.
Karena aku sudah kenal baik para karyawan, akan
dengan mudah saja aku minta tolong untuk dibuatkan
stempel namaku dari timah: Ahmad Syafii Maarif, B.A.
Mentereng bukan? Pakai B.A. segala, tetapi pada 1960-an
itu gelar sarjana muda belum terlalu mengalami inflasi.
Berbeda dengan abangnya Salman, Iwan sejak lahir
tampak sehat dan ceria. Serasa usianya akan panjang.
Tetapi setelah menginjak usia sekitar dua tahun, Iwan
diserang virus miningitis, radang selaput otak, entah dari
mana asalnya. Mungkin sewaktu kami tinggal dekat
Mangkulayan, setelah kami pindah dari rumah sewaan
Asnin. Suasana sekitar rumah itu memang lembab.
Cukup lama Iwan menjadi pasien alm. Prof. Ismangun,
dokter ahli anak terkenal di Jogja. Segala macam obat
yang diwajibkan, betapa pun pahitnya, ditelan Iwan
tanpa ragu. Kadang-kadang malah dikunyahnya, karena
lidahnya sudah kebal. Melihat itu, batinku terenyuh
pedih, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi. Kalau
dikenang sekarang, seperti tak kuat batin ini
menanggungkannya.
Dalam perjalanan hidupnya yang masih sangat
bocah itu, Iwan telah bergumul dengan radang itu, dan
kami telah mengobatnya dalam batas kemampuan kami.
Sumber penghasilanku ada dua pada waktu itu: pegawai
negeri dan redaktur Suara Muhammadiyah merangkap
korektor. Bantuan dari pak Halifah memang sudah agak
lama kami hentikan, karena sudah mulai bisa berdikari,
meskipun masih kuliah. Adapun untuk keperluan obat
166

Iwan tidak boleh sampai terlambat, dan itu sangat kami


utamakan, sekalipun mengalahkan keperluan yang lain.
Aku merampungkan kuliah untuk tingkat S1 pada
1968, bulan-bulan menjelang Iwan lahir. Skripsi yang
kutulis berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-
1954),” bimbingan Pak Dharmono Hardjowidjono,
dosen Sejarah Asia Tenggara. Berbulan-bulan aku
menyiapkan skripsi ini sambil tetap bekerja pada Suara
Muhammadiyah sebagai redaktur. Dengan Bahasa
Inggrisku sudah jauh lebih baik, sumber-sumber untuk
skripsiku umumnya berasal dari bahasa itu. Entah apa
sebabnya aku begitu tertarik dengan komunisme yang
pada waktu itu memang masih menjadi musuh terbesar
dari blok kapitalisme, khususnya Amerika Serikat. Ijazah
S1-ku Jurusan Sejarah tertanggal 28 Agustus 1968
ditandatangani oleh Dekan F.K.I.S. Dochak Latief,
Sekretaris Gading Tua Siregar (alm.), dan Rektor I.K.I.P.
Sutrisno Hadi dengan materai Rp. 1. (Bandingkan
dengan materai senilai Rp. 6000 setelah tiga dasa warsa
kemudian). Sejak tanggal itu resmilah aku menjadi
sarjana plus pegawai negeri pula yang sudah kujalani
sejak setahun sebelumnya.
Mata kuliah untuk tingkat doktoral yang tercantum
dalam ijazah selain skripsi adalah: Kapita Selekta Sejarah
Asia Selatan, Kapita Selekta Sejarah Eropa, Kapita
Selekta Sejarah Indonesia Kuno, Kapita Selekta Sejarah
Afrika, Kapita Selekta Sejarah Asia Tenggara, Kapita
Selekta Sejarah Indonesia Baru, Teori Sejarah,
Bimbingan Tesis, Manipol/Pancasila. Dosen penguji
tesisku selain Dharmono Hardjowidjono adalah alm.
Drs. Sasjardi, dosen senior jurusan sejarah. Untuk mata
kuliah Manipol/Pancasila, aku harus mengayuh sepeda
burukku ke Bulak Sumur (gedung unit V kampus
167

Universitas Gadjah Mada) karena perkuliahan


indoktrinasi itu dipusatkan di sana. Entah berapa ratus
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang wajib itu
yang menumpuk dalam sebuah ruangan besar. Dosennya
Kunto Wibisono dari Fakultas Filsafat U.G.M., yang
setelah bertahun-tahun kemudian menjadi sahabatku.
Kami sering bertemu dalam berbagai seminar, tetapi aku
tidak pernah menyentuh soal Manipol segala. Yang
berlalu, biarlah berlalu, tak perlu terlalu dirisaukan
karena penguasa memang senang indoktrinasi, demi
melanggengkan kekuasaan yang otoritarian.
Untuk teman-teman seangkatan, aku adalah lulusan
pertama. Bangga juga rasanya, sekalipun usia sudah 33
tahun. Ada catatan kecil yang tidak boleh dilewatkan
sewaktu aku menghadapi ujian ini. Peraturan fakultas
mengatakan agar dalam menempuh ujian skripsi (waktu
itu dipakai istilah tesis), mahasiswa harus memakai baju
putih lengan panjang berdasi, sementara aku tak punya.
Maka kupinjamlah baju temanku Hermansjah Nazirun
yang juga redaktur Suara Muhammadiyah, berasal dari
Curup, kemudian menjadi anggota D.P.R. Pusat dari
P.A.N. (Partai Amanat Nasional), periode 2004-2009,
sarjana hukum alumnus Universitas Gadjah Mada.
Dengan baju pinjaman itulah aku merampungkan kuliah
pada F.K.I.S.-I.K.I.P. Jogjakarta setelah aku berulang ke
kampus sebagai mahasiswa sejak 1965. Tentu sesudah itu
aku masih terus ke kampus sebagai tenaga pengajar yang
kujalani sampai pensiun pada 1 Juni 2005, sebuah karier
yang cukup panjang, bukan?
Dari kampus I.K.I.P. atau U.N.Y. dan dari kantor
pusat Muhammadiyah aku selama bertahun-tahun
kemudian berulang kali menapak berbagai bagian dunia
sebagai pembawa makalah, tenaga pengajar, dan atau
168

sebagai tamu undangan. Negara-negara yang telah


kukunjungi sampai akhir tahun 2005 selain Amerika
Serikat, tercatat Singapura, Malaysia, Thailand, Pakistan,
India, Iran, Iraq, Jordan, Malta, Libia, Saudi Arabia,
Qatar, Chad, Jerman, Inggris, Belgia, Belanda, Australia,
Kanada, Italia, Roma, Yunani (hanya menginjakkan kaki
di bandara semata-mata untuk menyentuh bumi yang
pernah melahirkan para filosuf dengan izin awak
pesawat), dan Hong Kong.
Dengan rampungnya kuliahku sekalipun melalui
berbagai kesulitan, sebuah tanggungjawab telah
terlampaui. Pada waktu itu aku sekeluarga tinggal di
rumah sewaan di Patang Puluhan. Selama menyiapkan
tesis, aku bekerja di ruang tamu dan sekaligus tidur di
atas kursi yang terbuat dari rotan di bawah sorotan
lampu. Warna rotan itu kemudian telah berubah menjadi
kemerah-merahan akibat cucuran keringatku. Bukan saja
warnanya yang telah berubah, pada bagian-bagiannya
malah sudah ada jamurnya. Aku memang agak urakan,
mungkin sampai hari ini masih belum sembuh sama
sekali.
Sekalipun masih pinjam baju segala, keadaan
ekonomi rumah tangga tidaklah terlalu parah lagi.
Bukankah aku sudah menjadi pegawai negeri sejak Juni
1967 di samping redaktur S.M. (Suara Muhammadiyah).
Gaji dari kedua sumber itu memang pas-pasan, tetapi
paling tidak sudah ada yang diandalkan secara pasti tiap
bulan. Keadaan ekonomi Indonesia saat itu sama sekali
belum pulih sebagai akibat dari sistem Demokrasi
Terpimpin yang menelantarkan bangsa dan negara
dengan proyek mercu suarnya yang terkenal itu. Bakat
menulisku banyak disalurkan melalui S.M. Bermacam
topik yang kutulis, tetapi umumnya menyangkut masalah
169

agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada S.M.,


aku pun pernah menjadi anggota P.W.I. (Persatuan
Wartawan Indonesia) cabang Jogjakarta. Kartuku
ditandatangani oleh alm. Mahboeb Djunaidi sebagai
ketua P.W.I. Pusat ketika itu.
Pada tahun-tahun itu aku memang pengagum Abul
A’la Maududi dan Maryam Jemeelah, mualaf dari
Amerika Serikat yang menjadi murid Maududi di
Pakistan. Beberapa tulisan Maududi kuterjemahkan
untuk dimuat dalam S.M.. Kemudian sebagian distensil
untuk dipakai sebagai bahan kuliah pada F.K.I.S. untuk
sejarah Asia Barat, salah satu mata kuliah yang kuasuh
selama bertahun-tahun. Maududi memang seorang
penulis prolifik yang produktif, apalagi karya-karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Inggris,
Arab, dan Indonesia. Baru setelah belajar di Chicago,
aku mulai bersikap kritis terhadap pengarang ini,
sekalipun dikagumi oleh tokoh-tokoh Masyumi. Mulai
terasa perbedaan-perbedaan signifikan dalam pemikiran
politik terutama antara aku dan tokoh-tokoh yang aku
banggakan itu. Adapun sikap moralnya, aku junjung
tinggi sampai sekarang. Beruntunglah rahim bumi
Indonesia telah melahirkan para moralis yang sukar
dicari tandingannya.
Semuanya ini menunjukkan bahwa bacaanku baru
sampai ke batas itu, apalagi tokoh-tokoh Masyumi
mengagumi Maududi yang dipandangnya sebagai salah
seorang pemikir besar abad ke-20. Bukankah aspirasi
politikku berkiblat kepada Masyumi sejak aku masih
belajar pada madrasah Mu’allimin Jogja? Hampir semua
tokoh puncak partai itu aku hafal namanya sampai
sekarang, apalagi Muhammadiyah memang menjadi
anggota istimewa Masyumi. Nama-nama mereka itu
170

adalah: Soekiman Wirjosandjojo, Mohammad Natsir,


Prawoto Mangkusasmito, Mohamad Roem, Sjafruddin
Prawiranegara, Jusuf Wibisono, Kasman Singodimedjo,
Zainal Abidin Ahmad, Abu Hanifah, Junan Nasution,
Ny. Hafni Abu Hanifah, Ny. Soekapti Mangunpuspito,
Burhanuddin Harahap, Muhammad Isa Anshary,
Mohammad Sardjan, Amelz. Di antara nama itu ada tiga
orang yang pernah menjadi ketua umum, yaitu Soekiman
Wirjosandjojo, Mohammad Natsir, dan Prawoto
Mangkusasmito. Dan di antara meerka itu ada tiga orang
yang pernah menjabat Perdana Menteri Republik
Indonesia: Natsir, Soekiman, dan Burhanuddin. Pada
saat Masyumi dibubarkan pada akhir 1960, yang menjadi
ketua umum adalah Prawoto Mangkusasmito dengan
sekretaris umum M. Junan Nasution, sementara Natsir,
Sjafruddin, dan Burhanuddin sedang berada di
pedalaman Sumatera Barat untuk memimpin P.R.R.I.,
sebuah perjuangan yang gagal untuk memaksa Soekarno
kembali kepada rel U.U.D.. Mana mungkin aku masih
ingat nama-nama mereka, sekiranya aku bukan
pengagum partai itu? Sekiranya partai ini bisa bertahan
lama, tidak mustahil kondisi demokrasi di Indonesia
akan jauh lebih baik, karena ada kekuatan politik yang
menjadi penyanggahnya. Adapun kritikku kepada partai
ini, akan kujelaskan pada ruang yang lain.

C. Tahun-Tahun Kritis Sampai Iwan Wafat pada 1973


Lulus ujian pada Agustus 1968 dan kedatangan
Iwan pada Nopember 1968 semestinya menandai
momen-momen bahagia dalam kehidupan kami. Apalagi
kehilangan Maman telah sedikit terobati dengan
kehadiran Iwan sebagai anak kedua. Sumber ekonomi
rumah tangga belum berubah: pegawai negeri dan
171

redaksi Suara Muhammadiyah. Kegemaran menambah


ilmu semakin kugalakkan dengan jalan membaca dan
membaca, sekalipun batin sering goncang. Bahasa
Inggrisku sudah mulai lancar, sementara Bahasa Arab
kurang terpelihara setelah aku tamat Mu’allimin pada
1956. Ini amat disayangkan, sekalipun kaedah pokok
dalam nahwu-sharaf masih melekat di otakku. Paham
keislamanku belum banyak beranjak sampai aku pada
suatu hari aku belajar di Chicago.
Di kampus “orientalis” inilah otakku dicuci melalui
kajian al-Qur’an dari Fazlur Rahman. Sekiranya aku
sempat membaca kuliah-kuliah H.A. Salim di Cornell
tahun 1953, proses pencucian otak ini seharusnya telah
lama kualami. Tetapi semuanya tidak terjadi karena
catatan kuliah Bapak Kaum Intelektual Muslim
Indonesia itu baru terbit melampaui setengah abad
kemudian, dan aku turut memberi kata pengantar.
Terlalu lama otakku “berdansa” di panggung paham
keislaman yang kurang mencerahkan. Muhammadiyah
sendiri lebih menekankan kepada amal saleh dan kurang
pada pemikiran. Virus politik untuk sebuah Negara
Islam di Indonesia telah banyak menguras energi umat,
tetapi yang berakhir dengan sebuah kegagalan. Tetapi
semuanya ini tidak perlu disesali, karena proses dan
perkembangan pemikiran tidak datang dengan tiba-tiba.
Ia memerlukan waktu dan pancingan-pancingan radikal
dan serius secara intelektual dari berbagai pihak dan
sumber. Pancingan semacam inilah yang tidak kuperoleh
sebelum ke Chicago.
Periode antara 1950-an sampai dibubarkannya
Majelis Konstituante pada 5 Juli 1959, dan bahkan
sampai tahun akhir 1970-an aku adalah salah seorang
pendukung kuat gagasan Negara Islam Indonesia.
172

Pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi adalah


rujukan primerku. Cobalah ikuti pernyataan vulgarku di
depan Rahman di Chicago sekitar tahun 1979: “Profesor
Rahman, please just give me one fourth of your
knowledge of Islam, I’ll convert Indonesia into an
Islamic State” (Profesor Rahman, mohon limpahkan
kepadaku seperempat dari ilmumu tentang Islam, saya
akan mengubah Indonesia menjadi sebuah Negara
Islam). Tentu Rahman geli mendengar ucapan ingusan
ini, tetapi dengan sopan dijawab: “You can take all of my
knowledge.” (Anda boleh ambil seluruh ilmuku). Coba
anda bayangkan bahwa di akhir 1970-an dalam usia
menjelang 40 tahun aku masih satu perahu dengan
Masyumi dalam masalah Negara Islam ini. Pembicaraan
yang agak mendalam mengenai isu ini harus ditunggu
sampai aku kuliah di Chicago awal 1980-an.
Kita kembali kepada pokok tuturan pada bagian
ini. Menginjak dua tahun usia Iwan, anak mungil ini
jatuh sakit sampai wafat bulan Oktober 1973 setelah tiga
tahun menjalani pengobatan terus menerus di bawah
pengawasan Prof. Dr. Ismangoen (alm.). Saat-saat di
akhir hayatnya kesehatan Iwan tampak membaik, Dr.
Ismangoen menyuruh hentikan obat utamanya. Periode
ini, kalaulah iman tidak kuat, mungkin aku tidak akan
memikirkan kuliah lanjut, tetapi memusatkan perhatian
semata-mata pada kesehatan anak. Lip sungguh telah
berkorban terlalu banyak untuk anak yang satu ini.
Dengan tetap berkonsentrasi pada masalah anak,
tes-tes Bahasa Inggris tetap kujalani. Dengan segala
pertimbangan keluarga, pada tahun 1972 aku terpilih
untuk kuliah lanjut ke N.I.U. (Northern Illinois
University), DeKalb, Illinois untuk bidang sejarah
dengan beasiswa Fulbright. Pemeliharaan Iwan
173

kemudian sepenuhnya berada di tangan ibunya yang


sengaja pulang ke Padang agar dekat dengan familinya.
Mungkin orang lain menilaiku sebagai egoistis, tega-
teganya meninggalkan anak yang sedang sakit, sekalipun
tidak parah pada mulanya.
Tetapi setelah kuliah berjalan selama dua semester,
Lip sudah tidak mampu menghadapi anaknya tanpa
ayahnya. Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali
pulang ke tanah air dengan risiko gagal untuk meraih
M.A. dalam sejarah. Keadaan anak yang semakin kritis
harus lebih diutamakan, lupakan kuliah. Bulan Maret
1973 aku pulang ke Padang untuk menjemput Lip dan
Iwan. Selama beberapa bulan kesehatan agak membaik,
apalagi tempat tinggalku saat itu di asrama Mu’allimin
Mancasan, di depan lapangan sepak bola. Hampir saban
pagi aku menjemur Iwan sambil melatihnya berjalan.
Terasa banyak kemajuan, sekalipun tubuhnya sarat oleh
suntik plus obat yang terus menerus, sehingga sulit
melangkah sendiri.
Seperti telah kusinggung di atas, Dr. Ismangoen
menghentikan pemakaian obat untuk Iwan karena sudah
banyak kemajuan. Tetapi Allah punya ketetapan lain.
Tidak selang berapa lama setelah obat dihentikan, Iwan
jatuh sakit lagi, dan harus menginap di rumah sakit
Pugeran, masih di bawah pengawasan Dr. Ismangoen.
Siang malam aku dan Lip menunggui Iwan di Pugeran,
kadang-kadang bergantian. Maka hari berkabung yang
sangat tidak diharapkan itu akhirnya datang jua. Dini
hari, Iwan meninggalkan dunia fana ini, kembali kepada
Pemilik yang sebenarnya, Allah! Sebelum nyawanya
dicabut malaikat, aku mendengar suara Iwan: Ibu!
Kebetulan ibunya sedang pulang ke rumah malam itu.
Habislah sudah upaya duniawi kami untuk membesarkan
174

Iwan. Subuh itu aku dan sahabat tetangga pak guru


Sugeng (guru S.D. Muhammadiyah) membawa jenazah
Iwan ke Mancasan dengan becak untuk besok harinya
dimakamkan di pekuburan Kuncen. (Untuk sementara
bagian ini harus kuhentikan pada jam 21. 50 tanggal 2
Desember 2005 karena beban perasaan mengenang anak
yang telah tiada menjadi sangat berat kembali. Terngiang
panggilan Iwan terhadap ibunya sebelum wafat. Semoga
jiwaku akan cepat pulih untuk meneruskan otobiografi
ini).
Sudah dua anak kami yang dipanggil Allah dalam
usia 20 bulan dan lima tahun kurang sedikit. Pada saat
Iwan wafat, usiaku sudah 38 tahun, sementara Lip 29
tahun dalam keadaan hamil antara 3-4 bulan. Dapat
dibayangkan betapa luluh perasaan kami ditinggal anak
kedua ini. Demi meringankan beban batin, aku dan Lip
menyingkir ke Cangkringan (Sleman, Jogja), ke rumah
pak Sukadijono, kepala S.D. Muhammadiyah
Wirobrajan. Kami berterima kasih kepada keluarga pak
Kad, panggilannya sehari-hari. Tempat ini di daerah
pegunungan yang sepi dan dingin. Sekitar dua minggu
kami tinggal di sana menenangkan perasaan yang pilu
dengan membaca al-Qur’an dan berzikir. Terasa sangat
tidak mudah melupakan Iwan, wajahnya selalu
terbayang. Sewaktu aku latih berjalan di lapangan
Mancasan, anak ini cukup ceria. Jika kutanyakan siapa
nama ibunya, akan dijawab: Nun Epah, untuk sebutan
Nurkhalifah, isteriku.
Yang terkenang dari anak ini di samping
penderitaannya, adalah kelucuannya. Lucu dalam
penderitaan selama tiga tahun, di Jogja-Padang-Jogja.
“Anakku, terlalu berat nak melepas kepergianmu pada
21 Oktober 1973 menyusul abangmu Salman, delapan
175

bulan setelah kepulangan ayahmu dari DeKalb.”


(Terpaksa kuhentikan menulis sementara pada jam 08.20
pagi tanggal 3 Desember 2005, air mataku meluncur tak
tertahankan).
Kepergian Iwan telah menyebabkan aku dan Lip
menjadi kesepian dan perasaan tidak menentu,
sementara Lip tengah hamil sekitar 2-3 bulan. Ada
kekhawatiran kalau musibah ini akan mempengaruhi
kandungannya karena batin yang goncang berat, jauh
dari stabil. Berhari-hari perasaan lengang itu menerpa
kami. Anak satu-satunya telah berangkat pula menyusul
abangnya Salman. Mengapa cobaan beruntun semacam
ini menimpa kami? Hanya iman sajalah yang menjaga
kami tidak larut dalam kebingungan. Hilang satu, hilang
dua. Boleh jadi musibah ini sebagai teguran Allah
kepadaku, aku pun tidak dapat menjawabnya. Kalaulah
boleh digantikan, maulah rasanya aku yang lebih dulu
pergi, bukan anak. Tetapi perkara ini bukan urusan
manusia. Jangankan aku yang lemah dan sarat dosa ini,
nabi pun mengalami cobaan demi cobaan. Kematian
Ibrahim anak laki-laki beliau satu-satunya adalah bukti
bahwa nyawa bukan di tangan manusia. Rasul pun tidak
dapat berbuat apa-apa bila perintah Allah telah datang.

VI. SECERCAH HARAPAN dan BERAGAM


TANTANGAN

A. Kelahiran Hafiz dan Keinginan Sekolah Lagi


Setelah perasaan berangsur pulih, aku bertugas
seperti biasa, memberi kuliah. Untuk sementara
keinginan belajar lanjut tidak dipikirkan dulu sampai
suatu saat jiwa telah stabil. Memang serba dilematis,
176

seorang dosen yang hanya berijazah S1 pasti akan


mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya,
sebab yang diajar berada dalam tingkat yang sama.
Pengalamanku di DeKalb, sekalipun semula terasa
sangat berat, suasana kampus dengan perpustakaan yang
hampir lengkap tidak pernah lupa dari ingatanku.
Mudah-mudahan aku bukanlah orang yang
mementingkan diri sendiri jika aku ingin belajar lagi ke
Barat.
Kecemasan aku dan Lip bahwa kandungannya
mungkin akan mengalami gangguan serius, alhamdulillah
tidak terbukti, sekalipun anak kami yang ketiga lahir
prematur pada 25 Maret 1974. Kami beri nama
Mohammad Hafiz dengan berat badan hanya 2.20 kg.
Karena kondisi yang belum stabil ini Hafiz harus
menjadi penduduk R.S. P.K.U. Muhammadiyah
Jogjakarta selama satu bulan, kemudian baru boleh
dibawa pulang. Di saat lahir dan selanjutnya Hafiz
berada di bawah pengawasan ahli kebidanan Dr. Hardjo
Djojodarmo (alm). Tiap hari kami berulang ke P.K.U.
menengok perkembangan Hafiz yang dari ke hari
menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang positif.
Dalam pada itu setelah anggota keluarga bertambah
satu yang kami syukuri benar, pada tahun 1974 itu aku
dan Husain Haikal, teman dosen jurusan sejarah,
mencoba mengadu untung dengan mengikuti tes untuk
ke Saigon, demi perbaikan ekonomi. Alhamdulillah kami
tidak diterima. Gelar doktorandus memang tidak laku
jual, kecuali penyandangnya dikenal luas oleh lembaga-
lembaga asing. Adapun aku saat itu, siapa yang kenal?
Sebenarnya keinginan bekerja di luar negeri lebih banyak
bertujuan untuk perbaikan ekonomi rumah tangga. Gaji
sebagai dosen hanyalah sekadar untuk menutup biaya
177

hidup sederhana dari bulan ke bulan. Jika ingin beli buku


harus difikir matang-matang lebih dulu, apakah tidak
akan menggangu asap dapur.
Sampai awal abad ke-21, nasib pegawai negeri di
Indonesia belum juga mengalami perbaikan yang
mendasar. Itu pun orang banyak masih berebut untuk
menjadi pegawai. Alasan utamanya tidak lain karena
lapangan kerja yang sulit sekali, sementara jumlah
angkatan kerja semakin membengkak dari tahun ke
tahun. Tampaknya negara ini belum berhasil
menciptakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya,
sementara praktik korupsi belum semakin berkurang.
Korupsi yang sudah menggurita terjadi di sebuah bangsa
Muslim terbesar di dunia. Kenyataan pahit ini amat
memberatkan batinku.
Tahun berikutnya Husain dan aku berputar arah ke
L.P.P.D. (Lembaga Pendidikan Pos Doktoral) yang
melekat dengan I.K.I.P. Bandung. Setelah mengikuti tes,
aku tidak lulus karena kurang nilai setengah, sementara
Husain berhasil. Baru tahun berikutnya lagi aku lulus dan
diterima untuk belajar di lembaga itu selama satu
semester. Para dosen yang memberi kuliah di lembaga
ini sebagian besar adalah guru besar, atau setidak-
tidaknya menyandang gelar doktor. Mereka adalah Prof.
Dr. Garnadi Prawirodirdjo, Prof. Dr. Sikun Pribadi,
Prof. Dr. S. Nasution, Prof. Dr. Achmad Sanusi, Dr.
Supardjo, dan masih ada yang lain.
Pada tanggal 10 Maret 1976 aku lulus dari L.P.P.D.
dengan nilai tanpa A. dari lima mata kuliah, yaitu Filsafat
Pengetahuan Alam/Sosial (B+), Kepemimpinan &
Manajemen (B), Filsafat Ilmu & Pendidikan (B+), Sistim
Pengembangan Kurikulum (B+), dan Bahasa Inggris (B).
Itulah prestasi akademikku di Bandung, agak sedikit
178

memalukan. Tanpa nilai A, aku jelas tidak puas, tetapi


itulah kenyataan yang harus diterima, padahal sewaktu
belajar di DeKalb, nilaiku jauh lebih baik. Apakah para
guru besar Bandung ini memang terlalu hebat sehingga
nilai A adalah untuk mereka? Aku tidak boleh
berprasangka demikian, terimalah apa adanya. Dan jika
masih punya kesempatan belajar ke Barat, tunjukkan
bahwa nilai A juga milik mahasiswa, termasuk milikku
tentunya.
Ada pengalamanku yang agak aneh dan
menggelikan dengan Prof. Sikun. Pada suatu malam aku
dan teman dari I.K.I.P. Semarang diundang ke rumahnya
untuk ditemukan dengan Suryadi, tokoh spiritual Prof.
Sikun, padahal yang yang bersangkutan adalah bekas
mahasiswanya di U.N.P.A.D. (Universitas Padjadjaran)
Bandung sampai tingkat sarjana muda. Suryadi malam
itu menjelaskan masalah alam semesta yang dipelihara
oleh banyak tuhan, tetapi ada Tuhan dengan huruf T
besar dengan nama Robina sebagai kepala dari tuhan-
tuhan itu. Prof. Sikun hanya tunduk mengiyakan tuturan
gurunya. Aku yang geli mendengar cerita karut ini telah
melabrak habis ocehan Suryadi yang berlangsung sampai
larut malam, sementara teman dari Semarang karena
hormat kepada Prof. Sikun bersikap lebih banyak diam.
Isteri Prof. Sikun yang malam itu mendampingi
suaminya sesaat mendengar perkataan Robina berucap:
“Kok seperti nama perempuan ya!” Aku hanya semakin
geli dengan suasana semacam ini dan bertanya dalam
hati: “Mengapa seorang profesor begitu mudahnya
menjadi budak spiritual dari seorang Suryadi dari
Cirebon itu?” Kurekamkan kembali episode ini bukan
untuk mengurangi rasa hormatku kepada mendiang
Prof. Sikun sebagai salah seorang guru besar di program
179

L.P.P.D. yang hubungannya denganku cukup baik,


sekalipun aku sering mendebatnya dalam perkuliahan.
Ternyata seorang guru besar filsafat pendidikan tanpa
dasar tauhid yang jelas dan kuat dengan mudah saja
menjadi pengikut dukun klenik seperti Suryadi.
Ini penting kuungkapkan di sini karena banyak
sekali pejabat, jenderal, dan kaum elit negeri ini yang
minta nasehat dukun dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana bangsa kita akan cerdas dan cerah jika
sebagian para elitnya lebih mempercayai dukun dari pada
akal sehat dan pertimbangan rasional dalam proses
mengambil keputusan untuk kepentingan negara? Tidak
hanya sampai di situ. Di antara para elit itu bahkan ada
yang pergi ke kuburan untuk mohon petunjuk dan
berkat. Dalam perkara ini, tidak banyak bedanya antara
mereka yang terdidik dan berpangkat dengan sebagian
rakyat awam yang memang biasa minta-minta kepada
orang mati. Aku yang sejak kecil dilatih dalam kultur
Muhammadiyah tentu hanya punya satu sikap: lawan
segala bentuk klenik itu, karena hanya akan
merendahkan harkat dan martabat manusia merdeka!
Lebih dari itu, klenik dengan segala cabangnya hanyalah
akan memasung manusia secara kejiwaan.
Tidak selang berapa lama sebelum meninggalkan
Bandung untuk kembali ke Jogja, aku telah menempuh
ujian TOEFL (Test of English as Foreign Language) dalam
upaya meneruskan kuliah yang terbengkalai karena Iwan
sakit sebelum wafat. Hasil tes lumayan, sudah di atas
500, sekalipun masih di bawah 600. Karena hasil itu aku
dapat diterima di Univeritas Hawaii dan O.H. (Ohio
University, Univeritas Ohio) di Athens. Tentu aku
senang. Ringkas cerita dengan beasiswa Fulbright untuk
kedua kalinya aku pilih Ohio untuk mendapat M.A. pada
180

departemen sejarah. Lip dan Hafiz harus ditinggal lagi,


tetapi mereka rela, sekalipun tentu dengan perasaan berat
mengingat pengalaman traumatik yang pernah diderita.
Pertengahan tahun 1976 aku berangkat lagi ke Amerika
dan kuliah di Ohio selama empat kuartal. Kali yang
kedua ini alhamdulillah berhasil dengan mengantongi
ijazah M.A. dalam bidang sejarah dengan tesis “Islamic
Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959-
1965) di bawah penyelia Prof. William H. Frederick,
Ph.D., seorang ahli sejarah Indonesia dan sejarah Jepang
yang teramat baik denganku. Bahkan terlalu baik.
Sekalipun kuliahku telah rampung di akhir tahun
1977, penulisan tesisku masih terbengkalai menanti saat
aku sudah mengambil program Ph.D. di Universitas
Chicago. Dengan nilaiku dari NIU dapat dipindahkan ke
Ohio sebanyak 51 kredit, maka beban kuliahku di
kampus baru ini agak sedikit ringan. Aku hanya
mengambil delapan mata kuliah plus tesis dengan nilai
B+, A, A-, B, A, A-, A-, B+, dan A- untuk tesis. Rata-
rata A- atau I.P.K. (Indeks Prestasi Kumulatif)3,67.
Cukup lumaian bukan, bila dibandingkan dengan nilaiku
di L.P.P.D., tanpa nilai A satu pun. Ijazahku dikeluarkan
pada tanggal 7 Juni 1980 dari O.H., tahun ke-176 dari
usia universitas. Mengapa lama? Karena tesis yang
kutulis baru rampung pada 1979, sekalipun akhir 1978
aku sudah berada di Chicago. Di Athens, seorang
sahabat dosen jurusan sejarah dari Jogjakarta, Doddy
Soejono, seorang seniman dari suku Sunda, sudah lebih
dulu belajar di Universitas Ohio. Setelah meraih gelar
M.A. dia kembali mengajar di Jogja sampai pensiun.
Sebenarnya cukup berat bagiku menyelesaikan tesis
sambil kuliah S3. Di sinilah peran penting dari Prof.
Frederick yang selalu memberikan “komando” dari
181

Athens agar aku tetap menggarap tesis. Dorongan


semacam ini sangat penting, apalagi dari seorang
penyelia yang begitu ingin agar tesisku cepat
dipertahankan di depan tim penguji. Alhamdulillah,
akhirnya aku diuji pada 7 Juni dengan hasil seperti telah
kusebutkan di atas. Untuk keperluan ini aku harus
terbang dari Chicago menuju Columbus, dan dari sana
meluncur ke Athens, kampus lamaku. Di samping Prof.
Frederick, tim penguji yang lain adalah Prof. Gerald
Doxie, dosen sejarah Asia Barat dan Afrika Utara,
seorang Katholik yang taat dan sangat bagus dalam
memberikan kuliah. Semua nilaiku dari dosen ini
bergerak antara A- dan A. Jadi tidak terlalu buruk,
bukan?

B. Periode Athens: Status Quo dalam Pemikiran


Selama periode Athens (1976-1978), dari segi
pemikiran keislamanku belum ada perkembangan yang
berarti, sebagaimana telah kusinggung selintas di atas
pada waktu menyebut Fazlur Rahman. Aku masih
terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada
Maududi, Maryam Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan,
Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal,
pemikir dan penyair besar Pakistan itu memang telah
ikuti, tetapi ruh ijtihadnya belum singgah secara mantap
di otakku yang masih bercorak aktivis, belum reflektif
dan kontemplatif. Apalagi aku aktif dalam M.S.A.
(Muslim Students’ Association), yang masih sangat
merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu
negeri. Seakan-akan dengan merek serba Islam itu,
semuanya akan menjadi beres. Betapa sederhananya cara
berpikir seperti ini.
182

Di Athens aku tinggal bersama teman-teman


Malaysia yang juga aktivis M.S.A. yang masih serba belia,
sementara usiaku sudah di atas 30 tahun. Di lingkaran
M.S.A., aku bergaul dengan teman-teman dari Saudi
Arabia, Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Aljazair, di samping
teman-teman dari Indonesia dan Malaysia. Dari segi
moral pergaulan, M.S.A. sungguh bagus, hati-hati, dan
saling menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut
dalam budaya serba bebas ala Barat. Di Athens, aku
adalah salah seorang khatib pada hari Jum’at yang kami
selenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan
kampus. Dari segi menjaga nilai-nilai keislaman harian
anggotanya, M.S.A. sangat berjasa. Budaya saling
menasehati dan mengawasi anggota merupakan bagian
penting dari missi M.S.A. Jadi secara moral, dunia M.S.A.
adalah ibarat sebuah pulau tersendiri di tengah
gelombang peradaban sekuler. Ilmu Barat dipelajari,
tetapi nilai-nilai budayanya yang serba bebas sejauh
mungkin dihindari.
Kesulitanku adalah: apakah secara moral dalam
makna umum, negeri Muslim lebih baik dari Barat?
Bagaimana tentang korupsi yang merebak di dunia
Muslim, dan bagaimana pula disiplin sosial yang sangat
rapuh? Apakah dengan memberi label Islam kepada
suatu negara, semuanya akan membaik? Inilah di antara
pertanyaan krusial yang susah dijawab. Itu belum lagi
kita berbicara tentang betapa kuatnya pengaruh Amerika
di negeri-negeri Muslim, seperti Saudi dan Kuwait
misalnya. Dengan membaca peta semacam ini, kita perlu
mempertanyakan sampai di mana kedaulatan sebuah
negara Muslim, kalau pemerintahnya bergantung di
ketiak asing. Bagiku semuanya ini tidak lain dari pada
akibat kerapuhan negeri-negeri Muslim secara politik,
183

ekonomi, ilmu, dan teknologi. Dengan demikian label


Islam belum bisa menolong selama masalah-masalah
mendasar itu belum diatasi. Bukankah dunia Muslim
sampai di awal abad ke-21 masih berkutat di buritan
peradaban? Pada periode Athens, pertanyaan-pertanyaan
besar itu belum singgah di otakku sebagai bawaan dari
Indonesia. Pokoknya dengan negara Islam, dunia kita
atur. Semua seakan-akan menjadi beres semua dengan
sebuah negara Islam itu.
Pemikir lain yang juga kukutip dalam khutbah dan
tulisan adalah Hossen Nasr, tokoh syi’ah moderat dari
Iran. Nasr meninggalkan negerinya setelah revolusi
Khomeini berhasil secara dramatis menggulingkan rejim
Shah pada 1979. Rupanya berbeda dengan Ali Shariati
yang melawan Shah, Nasr bukanlah tipe itu. Oleh sebab
itu tumbangnya kekuasaan Shah berarti tanah Iran sudah
tidak nyaman bagi seorang Nasr yang lebih banyak
berfilsafat, menggali khazanah klasik Islam yang kaya itu.
Dia tidak terlibat dalam gerakan di bawah tanah untuk
meruntuhkan rezim diktatur dengan dukungan penuh
dari Amerika Serikat. Maka tidaklah mengherankan Nasr
sampai usia tuanya adalah guru besar pada Universitas
Washington untuk kajian-kajian keislaman, tetapi tak
satu pun yang mencoba berangkat dari pandangan dunia
al-Qur’an. Karyanya cukup banyak yang meliputi
berbagai bidang kajian keislaman yang umumnya
diterbitkan di Barat. Sebagai penulis prolifik, Nasr cukup
populer di kalangan kaum akademisi, Muslim dan Barat.
Beberapa pemimpin M.S.A. yang datang ke Athens
dari berbagai negara bagian Amerika dan Kanada hampir
semuanya adalah aktivis yang dipengaruhi Ikhwan dan
Jama’at Islami. Beberapa teman dari Saudi yang hidup
kesehariannya sangat saleh, tetapi cara berpikirnya terasa
184

kaku dan buntu. Mereka begitu menilai tinggi


Muhammad bin Abdul Wahab, pencetus gerakan puritan
di Arabia pada abad ke-18. Dari nama inilah dunia
kemudian mengenal gerakan Wahabi yang banyak
diilhami oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan penerusnya
Ibn Taimiyah. Bedanya adalah Ibn Taimiyah, di samping
seorang aktivis, dia juga seorang intelektual kelas satu
pada masanya yang kemudian mengilhami gerakan-
gerakan pembaruan di seluruh dunia Muslim. Ibn
Taimiyah juga turut angkat senjata melawan pasukan
Mongol yang menjarah negerinya. Adapun gerakan
Wahabi lebih banyak mengambil sisi aktivisme dari Ibn
Taimiyah, sementara dimensi intelektual dilupakan. Di
sini tragedi intelektual itu terjadi. Inilah salah satu sebab
mengapa sarjana-sarjana Saudi sedikit sekali yang bisa
diajak berpikir filosofis radikal. Kekayaan minyak yang
melimpah di Saudi bolehjadi merupakan salah satu sebab
mengapa kaum intelektualnya menjadi manja dan malas
berpikir.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang
puritan begitu dominan di Saudi sehingga pemikiran lain
yang berbeda tidak boleh berkembang. Dari sisi
terobosan intelektual Islam, Saudi hampir tidak ada yang
dapat ditiru karena sudah terkurung dalam pasungan
Wahabisme yang menyatu dengan penguasa otoritarian.
Teman-teman Indonesia alumni Saudi rata-rata tidak
bisa diajak berpikir melampaui guru-gurunya di sana,
kecuali mereka yang berani membuka hati dengan
membaca sumber-sumber pemikiran dari sarjana Muslim
yang lain. Kenyataan ini merupakan kesulitan tersendiri
bagi umat Islam Indonesia karena begitu beragamnya
hasil pemikiran keislaman yang lahir dalam sejarah
kontemporer Indonesia. Mereka yang tamatan Barat
185

sering dicurigai sebagai pengikut kaum orientalis yang


digambarkan serba merusak Islam. Dialog terbuka dan
mendalam tentang pemikiran Islam yang beragam belum
terjadi di Indonesia secara mendalam dan tuntas.
Di Athens, lingkungan pergaulanku berada di
tengah-tengah orang-orang saleh, dermawan, tetapi
hampir sepi dari pemikiran yang memungkinkan kita
keluar dari kebuntuan intelektual yang sudah berabad
diderita dunia Muslim. Teori-teori keislaman yang
bertolak dari sikap anti asing (baca Barat) ternyata tidak
mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas
yang semakin sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah
paradoks berlaku di sini. Para pendukung Maududi,
Qutb, yang mengeritik Barat in toto, umumnya tidak
betah tinggal di negerinya sendiri, karena berhadapan
dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan ulama
yang konservatif. Justru mereka memilih hidup di Barat
yang dijadikan sasaran kritik itu. Bahkan anak Maududi
seorang dokter malah tinggal di Buffalo, New York.
Kasus Said Qutb sedikit berbeda. Dia menjadi pembela
negara Islam dan anti Barat setelah pernah tinggal di
Amerika sekitar tiga tahun. Setidak-tidaknya dia telah
mengenal Barat melalui pengalaman langsung dan
pendidikan. Bahkan mendapatkan M.A. dalam ilmu
pendidikan dari Wilson’s Teachers College (Kolorado)
pada 1950. Dia mengakui perkembangan ilmu dan
ekonomi di Amerika dan Barat lainnya, tetapi dia sangat
ngeri menyaksikan rasisme, kebebasan seks, dan pro-
Zionisme. (Lih. Sharough Akhavi, “Qutb, Sayyid” dalam
John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the
Modern Islamic World. New York-Oxford: Oxford
University Press, 1995, hlm. 401). Qutb bukanlah
186

termasuk pendiri Ikhwan, sebab dia bergabung dengan


gerakan ini setelah pulang dari Amerika.
Di dunia ini ternyata kita tidak boleh memakai kaca
mata hitam putih. Di antara mahasiswa Muslim yang
datang dari berbagai penjuru dunia, tidak sedikit yang
menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat.
Bahkan sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah
airnya masing-masing belum tentu mereka mengenal
salat dan praktik-praktik harian Islam lainnya, di Barat
justru muncul kesadaran baru untuk menjadi Muslim
yang baik. Bahkan terlalu “baik” sehingga menjadi kaku
dan sempit. Ini fakta keras sejarah yang tidak boleh
dimungkiri oleh siapa pun. Oleh sebab itu akan lebih
bijak bila orang bersikap lapang dada saja, jangan
ekstrem anti sesuatu, sebab Barat-Timur itu milik Allah.
Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur.
Orang bisa saja menemukan kearifan itu di mana
saja asal dicari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan
otak yang terbuka semata-mata karena rindu kepada
kebenaran. Mengurung diri dalam pasungan pemikiran
sempit atau hanya mengenal satu alur aliran pasti akan
memperlama orang berada dalam suasana kebuntuan
intelektual yang pengap. Bahkan bisa membawa orang
hidup dalam dunia semu, tidak menyentuh realitas.
Padahal Islam menurut pandanganku haruslah senantiasa
bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,
tetapi malah wajib berupaya mengubah realitas yang
pengap menjadi sesuatu yang asri, adil, dan penuh
rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.
Sampai aku meninggalkan Athens tahun 1978,
rasanya tidak ada yang dapat kutawarkan untuk
menembus kebuntuan intelektualisme Islam. Dalam usia
43 tahun, wawasan keislamanku tidak pernah melampaui
187

Ikhwan, Maududi, dan Masyumi. Dominasi politik


begitu terasa. Dalam masalah ibadah harian tidak ada
masalah, sebab paham Muhammadiyah sudah lama
menjadi bagian menyatu dengan diriku. Pada saat usia
yang sudah demikian jauh, status quo pemikiran
sebenarnya patut disayangkan, tetapi aku tidak bisa lebih
dari itu. Teman-teman M.S.A. memang banyak yang
idealis, tetapi jalan keluar dari kebuntuan belum
ditemukan. Fazlur Rahman hampir tidak dikenal di
lingkungan M.S.A. Ini berbeda dengan Ismail al-Faruqi
dan Naquib al-Attas dengan proyek islamisasi ilmu
pengetahuannya cukup populer di kalangan mereka.
Dengan al-Faruqi, aku belum pernah berdialog
secara langsung, sementara dengan al-Attas pernah
berjam-jam di rumahnya di kawasan Petaling Jaya,
Malaysia. Kesanku adalah bahwa al-Attas adalah seorang
al-Ghazalian yang kental, seakan-akan al-Ghazali adalah
segala-galanya. Konsepsinya tentang pendidikan Islam
dipopulerkan oleh Prof. Dr. Wan Mhd. Nor Wan Daud,
salah seorang murid Rahman di Chicago, dan teman
dekatku. Hanya kami berbeda dalam menilai al-Attas dan
guru spiritualnya al-Ghazali. Aku hormat kepada al-
Ghazali, tetapi tidak pernah menempatkannya sebagai
yang terhebat. Dalam arti intelektual, aku mungkin lebih
dekat kepada Ibn Taimiyah, sekalipun beberapa hadits
yang dikutip dalam teori politiknya telah kupertanyakan
secara serius dalam disertasiku di Chicago.
Tentang al-Attas dengan segala kelebihannya, aku
merasakan sesuatu yang kurang pas pada dirinya: anti
egalitarianisme, yang bagiku merupakan bagian dari
tauhid sejati. Al-Attas kelahiran Bogor, kemudian hijrah
ke Malaysia. Proyek I.S.T.A.C. (International Institute of
Islamic Thought and Civilization)-nya sesungguhnya sangat
188

strategis bagi pengembangan pemikiran Islam, tetapi


Mahathir Mohamad karena bentrok dengan Anwar
Ibrahim yang dipandang sebagai orang dekat al-Attas,
proyek ini akhirnya digabungkan dengan Universitas
Islam Internasional Malaysia. Karena proyek al-Attas
berupa I.S.T.A.C. kehilangan kemandiriannya, ruhnya
menjadi sirna. Yang positif dari al-Attas adalah bahwa
I.S.T.A.C. mau dijadikannya pusat kajian ilmiah bagi
pemikiran Islam yang sangat beragam. Rahman pada
saat-saat terakhir cukup diapresiasi di sana. Bahkan
seluruh perpustakaan Rahman telah dibeli dan diboyong
ke kampus I.S.T.A.C. Amat disesali, politisi Malaysia
tidak paham makna dari proyek besar al-Attas yang ingin
membangun sebuah peradaban alternatif setidak-
tidaknya di kawasan Asia Tenggara terlebih dulu. Orang
boleh berseberangan dengan al-Attas, tetapi karya
besarnya harus dijunjung tinggi dan dikembangkan lebih
jauh.

C. Chicago I: Sebelum Titik Kisar


Tidak mudah bagiku untuk meneruskan belajar ke
Universitas Chicago, sekalipun aku sudah diterima untuk
program Ph.D. dalam pemikiran Islam. Bantuan
sahabatku M. Amien Rais, sebagaimana telah kukatakan
terdahulu, sungguh menjadi penting bagiku untuk belajar
Islam ke kampus “orientalis” ini. Lagi Profesor
Frederick turut membantuku untuk mendapatkan
beasiswa dari Ford Foundation dan U.S.A.I.D. melalui
perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan
banyak pihak, beasiswa itu kudapatkan. Pada saat-saat
awal itu tidak terbayang dalam otakku bahwa Chicago
akan mengubah secara fundamental sikap intelektualku
tentang Islam dan kemanusiaan. Kalau Rahman masih
189

belum alergi menggunakan ungkapan negara Islam, aku


pada akhirnya tidak tertarik lagi dengan proyek serba
mewah itu.
Sebelum kuteruskan tuturan yang agak berbau
intelektual ini, ada masalah lain yang pribadi dan
keluarga sifatnya, tetapi tidak boleh dibiarkan berlalu
begitu saja. Tanpa penyelesaian yang bijak tentang
persoalan keluarga ini, periode Chicago-ku bisa buyar
berantakan di tengah jalan. Egoismeku untuk terus
belajar tidak boleh dibiarkan mengelana sebebas-
bebasnya, karena aku punya tanggung jawab keluarga
yang sarat dengan beban traumatik, seperti telah
kujelaskan sebelumnya. Pihak Ford Foundation melalui
kantor Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial di Jakarta yang
mendanai transportasiku memberi syarat yang sangat
berat jika aku ingin mengikutsertakan keluarga ke
Chicago. Syarat itu adalah bahwa pada semester pertama
aku harus meraih nilai A untuk semua mata kuliah yang
kuambil. Gila bukan? Otak sudah tua, beban mental
dalam bekeluarga tidak ringan, disuruh cari nilai A lagi.
Aku stres menghadapi “ancaman” semacam ini.
Isteriku Lip sudah lama menderita karena ditinggal
pergi oleh dua anak pertamanya, sekarang suami pergi
lagi untuk ketiga kalinya. Sepintas lalu bagi sementara
orang apa yang kulakukan ini sudah tidak pada
tempatnya. Hanya si gila saja yang berbuat begitu.
Bukankah keluarga harus lebih diutamakan dari pada
belajar terus dan terus belajar. Di mata mereka hanya
orang nekat saja yang mau pergi terus dengan
meninggalkan isteri dan anak. Sudah kujelaskan bahwa
sebutan nekat itu bukan asing bagiku. Perkawinanku
dengan Lip adalah buah dari kenekatanku. Mungkin
istilah nekat bisa diganti dengan “berani” agar lebih
190

beradab kedengarannya, sekalipun hakekatnya tidak


banyak berbeda. Dalam pepatah Minang ada ungkapan:
“Tak kaya berani pakai.” Aku anak Minang yang juga
dibesarkan dalam budaya petatah-petitih itu, jauh
sebelum aku mengenal lontaran puisi Iqbal: “Takkan
kukayuh bidukku ke lautan tanpa buaya,” seperti telah
kukutip terdahulu.
Sebenarnya aku tidaklah seberani itu. Aku punya
rasa takut dan cemas. Memang jika dibandingkan dengan
rata-rata orang Indonesia, aku tidaklah termasuk dalam
kategori pengecut, apalagi dengan kebanyakan orang
kampungku Sumpur Kudus yang tetap saja ingin
bersianyut di Batang Sumpur. Rasa cemasku akan menjadi
sangat berat jika masalah keluarga tak dapat
terselesaikan, dan tantangannya adalah bagaimana upaya
untuk memboyong mereka segera ke Chicago. Dengan
do’a dan kerja keras nilai A untuk semester pertama
harus kuupayakan agar menjadi kenyataan. Jika upaya itu
kandas, maka beban batin akan semakin bertambah dan
bisa runyam akibatnya. Maka terjadilah pergumulan yang
menegangkan selama beberapa bulan antara kemampuan
otak dalam usia tua dengan persoalan keluarga yang
sering goncang oleh bermacam persoalan. Yang
menguntungkanku, Lip tidak melarangku untuk terus
belajar, sekalipun dia menderita. Ini bagiku sebuah
modal yang luar biasa nilainya. Coba bayangkan kalau dia
merengek dan memberontak, tentu semua langkah akan
terhenti seketika, tidak mungkin bergerak lebih jauh.
Untuk sikapnya ini aku berterima kasih kepadanya.
Aku mendaftar di Departemen Bahasa-Bahasa
Timur Dekat dan Peradaban dengan fokus kajian
tentang pemikiran Islam di bawah payung Studi
Kearaban dan Islam. Sekarang aku harus belajar Bahasa
191

Arab lagi plus Bahasa Persi, di samping mata kuliah yang


diasuh Rahman. Juga harus lulus Bahasa Perancis
sebelum ujian disertasi. Setelah kursus Bahasa Perancis
selama 75 jam, aku lulus dengan angka P+, artinya baik
sekali, sekalipun sekarang sudah lupa semua. Selama
semester pertama aku harus belajar keras, bukan semata-
mata untuk meraih prestasi akademik yang tinggi, tetapi
juga karena terkait dengan masalah keluarga. Tantangan
di depanku ketika itu sangat nyata: tanpa nilai rata-rata
A, keluarga tidak bisa dibiayai untuk berangkat ke
Chicago. Biaya sendiri mana mungkin, sekalipun
misalnya dengan menggadaikan sawah milik familiku di
Sumpur Kudus yang memang hampir tak pernah
kumanfaatkan. Rantau telah mendidikku untuk tidak
bermain-main dengan harta warisan.
Andaikan kuusulkan untuk menggadai, pasti
seluruh saudaraku akan menentang dan kampung akan
turut gaduh, sebab kelangsungan hidup mereka sangat
tergantung kepada keberadaan sawah itu. Cemeeh dari
mulut ke mulut akan berkeliaran ke mana-mana.
Bunyinya kira-kira demikian: “Sawahnya telah tergadai
untuk ongkos sekolah di luar negeri, padahal hasilnya
belum jelas. Syafii hanya memikirkan diri sendiri.”
(Dalam Bahasa Minang: “Sawahnyo alah tagadai untuak
ongkos sekolah di lua nagari, padahal hasiahnyo alun jaleh.
Syafii hanya mamikiahkan dironyo sorang”). Bukankah
Minangkabau dikenal sebagai pusat cemeeh di muka
bumi? Aku terbebas dari lingkaran cemeeh itu karena
harta keluarga tidak kusentuh untuk belajar di luar
negeri.
Bahkan sawah-sawah yang tergadai oleh paman dan
abang, sebagian sudah kutebus untuk kepentingan agama
sebelum kuserahkan kembali kepada pihak keluarga
192

setelah sekian tahun. Aku adalah di antara berempat


anak Fathiyah-Ma’rifah yang sedikit sekali memanfaatkan
harta warisan. Aku tentu bangga dengan ini semua,
berkat rantau. Sekiranya tidak merantau, bukan mustahil
pula aku akan menggadaikan harta warisan, lantaran
desakan hidup misalnya. Apalagi jika menyandang gelar
suku. Tidak sedikit orang kampungku yang hobi dalam
transaksi gadai menggadai ini. Harta keluarga dibawa ke
rumah bini dan anak. Ini pasti membuahkan gunjingan
demi gunjingan. Akibatnya wibawa mamak jatuh di mata
kemenakan. Di kalangan keluarga dekatku, kelakuan
semacam ini juga terjadi. Rantau telah menyelamatkanku
dari segala macam perbuatan melego harta pusaka itu.
Kembali kepada nilai A pada semester pertama
1978-1979. Dengan nafas agak terengah-engah pada
musim gugur aku mengikuti kuliah, menulis makalah,
dan menempuh ujian akhir. Tesis S2 untuk Athens
sementara dilupakan dulu. Konsentrasi adalah untuk
meraih nilai A. Nilai A= keluarga datang. Alhamdulillah,
harapan untuk meraih nilai A bagi tiga mata kuliah
benar-benar menjadi kenyataan. Bukan main rasa
syukurku. Segera Lip dan perwakilan Ford Foundation di
Jakarta dikontak untuk menyampaikan kabar gembira ini.
Lip diminta menyiapkan mental untuk berangkat ke
Chicago bersama anaknya yang baru berusia kurang
sedikit dari lima tahun pada Februari 1979. Pendek cerita
semuanya berjalan dengan lancar sekalipun tanpa bekal
Bahasa Inggris. Dalam perjalanan sejauh itu mereka
berangkat dengan bantuan bahasa isyarat.
Biaya cukup, entah berapa ratus dolar Lip diberi
Ford yang disimpan begitu saja dalam tas tangannya.
Terbanglah mereka dua beranak dengan mengucapkan
bismillah dengan pesawat apa, aku lupa. Mungkin
193

dengan pesawat Thai Air dari Jakarta-Hong Kong dan


dengan North Western Hong Kong-Chicago . Tidak
langsung ke Chicago, harus singgah di jalan, yaitu
menginap di hotel mewah di Hong Kong yang lengkap
dengan berbagai fasilitas. Hafiz, nama anak kami,
kebetulan sampai di hotel tidak minta minum. Mungkin
karena lelah, mereka tidak sempat membuka kulkas yang
menyimpan berbagai jenis minuman. Baru keesokan
harinya di bandara mereka beli air minuman kaleng.
Pagi-pagi buta Lip dan anaknya sudah berangkat ke
bandara, tanpa menunggu jemputan yang sudah
disiapkan Ford dari Jakarta. Tuhan memudahkan
perjalanan mereka ke Chicago hampir tanpa rintangan
yang berarti. Tugasku kemudian menjemput mereka ke
bandara O’Hare yang sangat sibuk itu. Semua itu
kulakukan dengan rasa lega dan bersyukur.
Kami dapat berkumpul di rantau asing setelah
sering berpisah dengan berbagai trauma yang
menyertainya. Perjalanan panjang itu kini telah jadi
kenangan. Liku-liku perjalanan jauh banyak menyimpan
cerita lucu, kadang-kadang menegangkan, dan semuanya
itu telah terekam dengan baik dalam memori kolektif
kami. Sebelum masuk S.D., Hafiz belajar pada Taman
Kanak-Kanak lebih dulu. Karena anak kecil, Hafiz cepat
sekali menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu.
Bahasa Inggris pun cepat dikuasainya.
Sampai di Chicago masalah lain datang pula. Lip
tidak betah menganggur. Hafiz sekolah, aku hampir tiap
hari ke kampus. Ini masalah baru yang harus dicarikan
jalan ke luar. Rintangan bahasa dapat diatasi. Tokh
dalam pergaulan harian, bahasa Inggris itu akan
dipahami juga. Setelah beberapa minggu di Chicago, cari
informasi ke sana dan ke mari, Lip akhirnya dapat kerja
194

sebagai baby sitter (pengasuh anak), demi membantu


beasiswaku yang kecil. Lebih tiga tahun Lip bekerja
sebagai pengasuh anak ke tempat yang agak jauh dari
rumah kami di lingkungan kampus. Mula-mula dengan
keluarga hitam-putih (suami hitam isteri putih), terakhir
dengan keluarga putih (suami Yahudi, isteri Kristen).
Pagi-pagi buta Lip berangkat sendirian ke tempat
kerja. Di musim dingin harus berjuang dengan es yang
menggumpal. Pernah juga kuantar dengan mobil. Cuaca
dingin sekali, tetapi harus diadang dan dilalui dengan
tabah. Lip punya sifat tabah ini. Di musim panas, dia
berangkat dengan sepeda. Dengan kerja delapan jam per
hari, Lip telah jadi “orang kaya” baru. Untuk biaya hidup
kami sehari-hari Lip tidak pernah kikir menyerahkan
sebagian penghasilannya, demi menambah beasiswaku.
Jika aku tak salah ingat gaji pertama yang diterimanya per
hari $3,50 x lima hari kerja per minggu menjadi $140 x 4
=$560 per bulan. Beasiswaku ya sekitar itu. Kurs ketika
itu $1=Rp. 750. Pendapatan total per bulan rata-rata
dinilai dengan rupiah adalah Rp. 419.000 pada saat
rupiah masih belum terjun bebas. Tahun terakhir gajinya
meningkat menjadi $5 per jam. Pada waktu aku pertama
kali jadi pegawai negeri bulan Juni 1967 gajiku hanya Rp.
868 per bulan, bukan? Tahun 1979, gajiku sekitar Rp.
60.000 per bulan. Dibandingkan dengan pendapatan Lip
Rp.419.000 per bulan pada waktu yang sama bedanya
teramat jauh. Bila dijumlah dengan besiswa yang
kuterima $560 juga, maka penghasilan kami berdua
dalam rupiah menjadi 2x Rp. 419.000=Rp. 838.000.
Tahun 1979 kami sudah berani beli sebuah mobil merek
Pinto buatan Ford tahun 1974 dengan harga $900, tidak
menghabiskan gaji gabungan per bulan. Sebelum pulang
ke tanah air, Pinto ini kujual kepada teman bengkel kulit
195

hitam dengan harga $250, setelah dikaryakan sekitar


empat tahun.
Bulan-bulan terakhir menjelang pulang pada awal
Januari 1983, penghasilan isteriku cukup tinggi, yaitu
lima dolar per jam, sebagaimana yang baru saja
kujelaskan. Bekerja delapan jam per hari kali kali lima
hari seminggu. Cukup fantastik hasilnya, apalagi bila
dibandingkan dengan penghasilan di Indonesia, sungguh
jauh nian bedanya. Selama bekerja, melaksanakan salat
menjadi cukup sulit, begitu juga berpuasa. Jalan ke
luarnya adalah salat dikumpulkan seluruhnya setelah
pulang, puasa dengan membayar fidyah. Aku tidak tahu
apakah fiqh mengizinkan dalam kondisi yang serba sulit
itu. Sisa pendapatan dari baby sitter itulah yang kami
gunakan untuk membayar uang muka rumah K.P.R.
(Kredit Perumahan Rakyat) tipe 70 di Nogotirto yang
kami tempati sejak tahun Nopember 1985, sekalipun
kemudian telah mengalami perombakan setelah rezki
agak sedikit mengalir. Luas tanahnya 230 m2. Sebelum
pulang ke tanah air, kami sempat melalukan ibadah
‘umrah.

D. Chicago II: Setelah Titik Kisar


Titik kisar ini berlaku sejak sekitar 1979 sampai
selanjutnya di usia tuaku. Sudah kututurkan bahwa
selama periode Athens tidak banyak yang berubah dalam
pola pemikiranku tentang Islam. Baru di Chicago
perubahan mendasar itu terjadi. Aku merasa sedang
mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam
bagiku adalah sumber moral utama dan pertama. Al-
Qur’an adalah Kitab Suci dengan sebuah benang merah
pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan acuan
tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam
196

berpolitik. Pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman


selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidupku
dengan secara sangat mendasar.
Bagiku Rahman dengan segala kelebihan dan
kekurangannya adalah seorang pemikir Muslim yang
sangat akrab dengan kajian Islam klasik dan modern plus
pengetahuannya yang luas tentang tetapi sangat kritikal
terhadap dunia modern. Ilmu seorang alim ada di
tangannya, sementara kajian orientalis tentang Islam
telah lama dikuasainya. Entah berapa bahasa asing yang
dikuasainya. Bandingannya untuk Indonesia adalah H.A.
Salim. Bedanya, Rahman belajar secara teratur sampai
memperoleh Ph.D. di Inggris, sementara Salim mengenal
Islam lebih banyak dengan belajar sendiri berkat
penguasaan bahasa asing sampai jumlahnya sembilan
macam. Keinginan Salim untuk belajar menjadi dokter di
negeri Belanda kandas karena ketiadaan beasiswa.
Sekiranya Salim sempat pula belajar Islam seperti
Rahman, kira-kira kualitas pemikiran Islam di Indonesia
tentu sudah terbang jauh ke angkasa. Persoalan
hubungan Islam dan negara tidak perlu menguras energi
umat Islam Indonesia selama bertahun-tahun, dan tak
kunjung selesai. Pandangan Maududi dan Said Qutb
tentang kaitan Islam dan negara terlalu dominan,
terutama di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia
selama lebih 20 tahun. Karya merekalah yang banyak
dijadikan rujukan untuk memperjuangkan tegaknya
sebuah negara Islam di Indonesia. Kaum santri tinggal
ikut saja dengan gagasan mewah itu, termasuk aku
sebelum titik kisar pemikiranku terjadi di Chicago
periode kedua.
Kelas Rahman tidak pernah terlalu ramai. Berbagai
latar belakang mahasiswa datang menghadiri kuliah-
197

kuliahnya tentang ilmu-ilmu keislaman, kelasik dan


modern. Ada dari Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Iraq,
Saudi, Malaysia, Indonesia, dan dari negara lain. Ada
Muslim (sunni dan syi’i), ada Kristen, ada Yahudi,
semuanya dengan tekun mengikuti kuliah-kuliahnya yang
selalu hangat dan menantang. Otakku mau tidak mau
telah mengalami pencucian: aktivisme tanpa kontemplasi
yang mendalam akan bermuara dengan kesia-siaan, ibarat
sumur tanpa dasar. Argumen-argumen Rahman tentang
Islam jauh dari sifat menda’wahi. Mungkin baginya,
jumlah besar tanpa kualitas yang prima lebih merupakan
beban sejarah. Dan itulah situasi umat Islam sampai hari
ini.
Para pemikir modern Muslim sejak abad ke-18
sampai permulaan abad ke-21 telah datang dan pergi.
Ada Shah Wali Allah (India), Jamal al-Din al-Afghani
(Iran/Afghanistan), Muhammad Abduh (Mesir), Ahmad
Khan (India), Muhammad Rasyid Ridha (Suria), Iqbal
(India/Pakistan), Agus Salim (Indonesia) Malek Bennabi
(Aljazair), Muhammad Asad (Austria/Pakistan), Fazlur
Rahman (Pakistan), Hossein Nasr (Iran), Ismail al-Faruqi
(Palestina/Amerika), Muhammad Al-Naquib al-Attas
(Indonesia/Malaysia), Mohammad Natsir (Indonesia),
Hamka (Indonesia), Bassam Tibi (Suria), Muhammad
Arkoun (Aljazair), Abdullahi Ahmed An-Na’im
(Sudan), Muhammad Abed Al-Jabiri (Maroko),
Abdulaziz Sachedina (Iran), Nurcholish Madjid
(Indonesia), Khaled M. Abou El Fadl (Kuwait),
Muhammad Amin Abdullah (Indonesia), dan beberapa
nama lagi yang bisa ditambahkan. Mereka ini telah
menghasilkan karya keislaman yang cukup banyak dan
bermutu. Kecuali Shah Wali Allah, Rasyid Ridha, Natsir,
Hamka, Al-Attas, al-Faruqi, dan Hossein Nasr yang
198

kurang bersikap kritikal terhadap khazanah pemikiran


kelasik, para pemikir lainnya telah mencoba melakukan
dekonstruksi terhadap berbagai aspek pemikiran Islam
abad pertengahan itu. Banyak persamaan di antara
mereka, tetapi rekonstruksi yang lebih utuh untuk Islam
masa depan masih perlu dikerjakan lebih lanjut oleh
pemikir Muslim yang datang kemudian.
Kita kembali ke ruang kelas Rahman. Semua kuliah
disampaikan Rahman dengan jelas, tegas, mendalam,
obyektif, kritikal, dan komprehensif. Terserah kepada
mahasiswa untuk menilainya. Mereka diberi kebebasan
penuh untuk mendebat. Mata kuliah yang diasuhnya
adalah tentang al-Qur’an, filsafat Islam, tasawuf, teori
politik Islam, modernisme Islam, hukum, dan masih ada
yang lain. Pokoknya di Universitas Chicago, kiyai
besarnya tentang Islam adalah Rahman sampai dia wafat
pada 1988. Setelah beberapa bulan kuliah dengannya,
aku tidak lagi berucap: “Professor Rahman, please give
me one fourth of your knowledge of Islam, I will
convert Indonesia into an Islamic state?” Kalau kalimat
masih juga kuucapkan, berarti aku masih berada dalam
perahu fundamentalisme yang penuh semangat tetapi
sunyi dari pemikiran kontemplatif yang mendalam. Tidak
ada manfaatnya aku pergi belajar jau-jauh ke rantau
asing.
Satu mata kuliah pilihan selama satu kuartal yang
mahasiswanya hanyalah aku seorang adalah Readings in
Iqbal dengan sumber-sumber Bahasa Inggris dan Bahasa
Persi. Malam hari sebelum kuliah besoknya aku dengan
susah payah membaca sajak-sajak Iqbal dalam Bahasa
Persi dengan bantuan terjemahan dalam Bahasa Inggris.
Selama belajar di Chicago, bahkan selama aku belajar di
perguruan tinggi, hanya dalam mata kuliah Iqbal ini nilai
199

A+ kudapatkan, dan itu dari Rahman. Mungkin memang


jawaban ujianku untuk yang satu ini mendekati
sempurna. Selama kuliah di Chicago, aku telah
mengambil sebanyak 25 mata kuliah dengan nilai: satu
A+,15 A, satu A-, lima B+, tiga B. Untuk disertasi aku
juga mendapatkan nilai A. Dengan demikian nilai A
menjadi 16. Berdasarkan angka-angka itu, maka I.P.K.
yang kuperoleh adalah 3,84. Lebih baik dari apa yang
kudapatkan di Ohio yang hanya 3,67. Tentu aku berhak
merasa bangga dengan prestasi akademik semacam ini
dalam usiaku menjelang setengah abad. Jadi tidak sia-sia
aku belajar sampai larut malam di perpustakaan
Regeinstein Universitas Chicago yang cukup melelahkan
selama empat tahun empat bulan.
Sekalipun disertasi telah kupertahankan pada
tanggal 3 Desember 1982, wisuda baru diadakan pada
tanggal 10 Juni 1983, pada saat aku sudah berada di
tanah air. Lebih satu jam aku diuji oleh sebuah Tim
Penguji yang terdiri dari enam guru besar. Dalam
menghadapi peristiwa penting ini, aku didampingi oleh
dua sahabatku alm. Nurcholish Madjid dan Salim Said.
Dukungan moral keduanya telah semakin menguatkan
batinku dalam menghadapi ujian disertasi sebagai tugas
akademik terakhir sebelum aku mengucapkan sayonara
kepada almamaterku: the University of Chicago, biasa
disingkat U.C.
Yang aku agak heran, Rahman masih sedikit
meragukan tentang kemampuan Bahasa Arab Iqbal,
padahal gelar M.A.-nya dalam bahasa al-Qur’an itu.
Tetapi dalam membaca realitas umat Islam, Iqbal dengan
bahasa puisinya tidak bisa ditandingi Rahman yang
memang sering mengutip bait-bait puisi itu dalam
perkuliahan. Terlalu banyak yang dihafalnya, sekalipun
200

kritiknya terhadap Iqbal kadang-kadang cukup keras.


Dalam tradisi akademik cara-cara semacam ini rupanya
lumrah belaka.
Bagaimana dengan gagasan negara Islam? Rahman
sendiri masih menggunakan istilah itu dan berpendapat
bahwa proyek itu adalah sebuah kemungkinan dengan
berbagai syarat yang harus dipenuhi. Di antara syarat itu
adalah agar cita-cita al-Qur’an bagi pembentukan sebuah
masyarakat yang bermoral dan beretika betul-betul
dijadikan tujuan dan pedoman utama. Di luar itu, merek
Islam adalah sebuah kemewahan belaka, sementara
isinya sarat dengan korupsi dan prilaku elit yang tidak
senonoh. Syarat lain yang bisa kutangkap dari Rahman
adalah agar seluruh produk teori politik yang pernah
berkembang dalam sejarah Islam ditinjau kembali secara
cerdas dan kritikal dengan mengambil al-Qur’an dan
praktik nabi sebagai rujukan utama. Dengan kata lain,
sebuah proses dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi
secara radikal dan besar-besaran harus dilakukan.
Teori politik Islam yang diciptakan dalam
lingkungan budaya imperial dan dinastik harus
dibongkar. Tanpa pembongkaran ini, Islam akan menjadi
tawanan dari berbagai kepentingan dan intrik politik
yang a-moral. Kegagalan umat Islam berurusan dengan
kekuatan modernitas tidak boleh lalu lari berlindung
dalam kungkungan masa lampau yang diidolakan secara
tidak cerdas dan kritikal. Dari perspektif ini, aku gagal
memahami upaya segelintir gerakan Islam untuk
membangun kembali sistem kekhilafahan yang telah
hancur di ujung era Turki Usmani. Bagiku upaya model
ini hanya akan menghabiskan tenaga, fikiran, dan dana.
Buahnya sudah bisa diperkirakan: kegagalan untuk
membangun peradaban Islam yang penuh wibawa
201

sebagai alternatif bagi peradaban sekuler yang zalim dan


kering.
Bagiku sendiri mungkin karena terikat juga oleh
suasana Indonesia, sebutan negara Islam itu tidak
diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus
menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan,
jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang
adil dan makmur. Ada pun perangkat hukum-hukum
Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional
melalui proses demokratisasi. Ungkapan Hatta yang kira-
kira berbunyi: ”Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak
tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak
tetapi terasa,” sering kukutip untuk menjelaskan posisiku
dalam masalah hubungan Islam dan negara. Oleh sebab
itu, Pancasila yang sudah disepakati itu harus
membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar
wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara
sekuler akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya
dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku,
hanyalah akan memperpanjang derita bangsa ini,
sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah
masyarakat adil dan makmur akan semakin menjauh
juga.
Dengan cara ini, masalah hubungan Islam dan
negara yang masih mengundang kontroversi akan dapat
dikurangi dan ditiadakan. Setelah 60 tahun merdeka,
sebagian orang belum mau berpikir ke arah yang
kuusulkan ini. Masih saja misalnya muncul kelompok-
kelompok kecil radikal yang bercita-cita untuk
mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia, bahkan di
Asia Tenggara. Bagiku cara berfikir semacam ini bukan
saja usang dan tidak realistik, tetapi merupakan sebuah
202

halusinasi politik yang sia-sia. Selama empat tahun lebih


di Chicago, perkisaran cara berpikirku ini sungguh terasa
sekali. Bahwa aku pernah dituduh sebagai antek kaum
orientalis, biarlah tuduhan itu diteriakkan terus, sikap
moral yang kubuktikan selama ini akan menjelaskan di
mana sebenarnya posisiku dalam soal bernegara ini. Aku
lebih mementingkan substansi yang memberi solusi
terhadap masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan,
bukan merek luar dengan isi yang penuh borok politik.
Aku sudah lama kehilangan kepercayaan kepada
kelompok-kelompok radikal yang sesungguhnya sangat
haus kekuasaan itu.
Amat disayangkan, pada abad modern belum ada
satu contoh pun tentang negara Islam yang dapat
dijadikan teladan. Semuanya bermasalah. Islam malah
sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan
duniawi. Dalam ungkapan lain, nama Tuhan sering
dibajak untuk tujuan-tujuan rendah. Aku tidak rela dan
bahkan berontak melihat kenyataan buruk semacam ini.
Aku tidak mau lagi menyaksikan bilamana Islam
dijadikan “barang dagangan” dengan harga murah. Islam
adalah pedoman hidup maha sempurna. Aku melihat
proyek negara Islam yang diawali abad ke-20 tidak satu
pun yang berdasarkan hasil penelitian komprehensif dan
mendalam dengan menyiginya di bawah cahaya al-
Qur’an dengan konsep syuranya yang menempatkan
manusia pada posisi setara dan sejajar.
Jika upaya serba radikal ini gagal, dan memang tidak
punya syarat untuk berhasil, maka sebab utamanya
adalah karena sebuah gagasan besar dikerjakan oleh
otak-otak kecil yang lebih banyak dikuasai oleh emosi,
bukan oleh kekuatan penalaran yang mantap secara teori.
Ada mereka bangun semacam teori, tetapi belum
203

berangkat dari pemahaman al-Qur’an dan sunnah nabi


secara autentik. Suasana dunia Islam yang terjepit telah
dijadikan dasar tak langsung dari teori yang coba
dibangun itu. Hasil akhirnya pasti akan kacau balau
karena suasana batin yang marah menghadapi realitas
telah dijadikan pangkal tolak dalam membangun teori.
Pasti akan sia-sia.
Sekalipun aku sendiri belum melahirkan sebuah
teori yang utuh tentang hubungan Islam dan negara,
setidak-tidaknya aku telah merintis kerja ke arah itu
dalam beberapa buku yang telah kuhasilkan. Beberapa
orang telah menulis tentang beberapa aspek pemikiranku
untuk skripsi, tesis, dan bahkan kabarnya juga disertasi.
Nguyen Canh Toan dari departemen luar negeri
Vietnam yang belajar pada Universitas Gadjah Mada
telah menulis tesis tentang padanganku mengenai
pluralisme budaya dan agama selama aku menjadi Ketua
P.P. Muhammadiyah (1998-2005). Mungkin saja hasil
pemikiranku ini baru berupa fragmen-fragmen, tetapi
telah mulai menarik minat orang untuk mengkajinya.
Titik kisar dalam pemikiranku tentang Islam tidak
hanya bertalian dengan teori kekuasaan. Masalah
toleransi inter dan antar agama, juga mendapat porsi
yang penting setelah aku “dibasuh” di Chicago.
Sementara keyakinanku kepada Islam Qur’ani (jika
ungkapan ini boleh kugunakan) semakin kuat dan utuh,
sikap toleransiku terhadap pemeluk agama dan
keyakinan lain juga semakin mendasar. Bukan saja
terhadap pemeluk agama lain, aku pun bisa hidup
berdampingan dengan seorang yang mengaku sebagai
ateis. Syaratnya tentu saja agar masing-masing pihak
saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup
berdampingan secara damai di muka bumi ini di atas
204

dasar formula: “Bersaudara dalam perbedaan, dan


berbeda dalam persaudaraan.” Prinsip ini telah
kupasarkan dalam berbagai forum pertemuan dengan
rasa kepercayaan diri yang sangat tinggi. Teman-teman
lintas agama sangat akrab denganku, karena sikap
dasarku dibangun di atas formula itu. Dengan formula
ini, imanku rasanya tidak semakin lemah, malah semakin
kokoh, sementara hubungan persaudaraan dengan siapa
pun dapat terjalin secara bebas dan bermartabat.
Kalau aku mengatakan bahwa Islam merupakan
pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula
diberikan secara penuh kepada siapa saja yang
mempunyai keyakinan selain itu. Semuanya ini kulakukan
berdasarkan pemahamanku terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dalam surat al-Baqarah: 256, surat Yunus: 99, dan masih
ada beberapa ayat lagi. Bagiku planet bumi ini bukan
hanya untuk pemeluk Islam, tetapi untuk semua, apakah
mereka beriman atau pun tidak. Semuanya punya hak
yang sama untuk hdup dan memanfaatkan kekayaan
bumi ini di atas dasar keadilan dan toleransi. Tak seorang
pun punya hak monopoli atas bumi ini. Oleh sebab itu
umat Islam semestinya secara aktif mengembangkan
budaya toleransi ini dengan syarat pihak lain pun berbuat
serupa. Jika ada gerakan agama atau politik yang ingin
mengusir pihak lain dari muka bumi, maka mereka
adalah musuh peradaban dan kemanusiaan yang harus
dilawan.
Ada pun sebagian besar pemeluk Islam telah kalah
dalam persaingan dalam memanfaatkan isi bumi, itu
semata-mata karena kelalaian mereka yang tidak mau
belajar bagaimana memenangkan kompetisi. Dalam
ungkapan lain, mereka yang selalu menyalahkan pihak
lain manakala kalah dalam perlombaan, maka itulah
205

mereka yang tak mau belajar secara sungguh-sungguh


untuk menang. Sudah berulang kali kusampaikan agar
umat Islam tidak hanya pandai mengarahkan telunjuknya
kepada pihak lain, tetapi harus lebih sering telunjuk itu
dihadapkan kepada diri sendiri. Tengok diri secara berani
pada kaca kehidupan dan kemudian simpulkan apa yang
salah pada diri kita: kalah berkepanjangan selama
berabad-abad!
Tanpa perubahan sikap yang nendasar dalam
masalah ini, masih akan panjang waktu yang diperlukan
sampai umat Islam mau berkaca diri secara jujur,
sungguh-sungguh, dan cerdas. Jangan harapkan pihak
lain akan menolong kita, jika kita tidak siap menolong
diri sendiri. Barangkali saja usiaku yang menjelang malam
ini tidak akan punya kesempatan lagi untuk menyaksikan
kebangkitan peradaban Islam yang autentik, toleran, dan
berkualitas tinggi. Tetapi setidak-tidaknya aku dengan
bekal dari “pesantren” Chicago tidak pernah tinggal
diam dalam menyuarakan pemikiran-pemikiran
terobosan, sekalipun nilainya belum seberapa dikaitkan
dengan harapan yang teramat besar untuk sebuah
perubahan yang fundamental dengan al-Qur’an sebagai
hakim yang tertinggi.
Dalam pemahamanku terhadap syura (mutual
consultation), sistem politik demokrasi rasanya lebih sesuai
untuk dilaksanakan dalam konteks modern. Demokrasi
tidak harus bercorak Barat. Aspek-aspek sekuler dari
sistem ini dapat saja disingkirkan, sehingga tidak ada
alasan bagi umat Islam untuk menolaknya. Kita ambil
contoh, sebutlah misalnya parlemen sebuah negara
menghalalkan judi karena didukung oleh lebih 50%
anggotanya. Dalam sistem demokrasi Barat, judi dengan
demikian menjadi halal. Dalam sistem politik syura, hal
206

itu tidak mungkin berlaku, sekalipun didukung oleh


100% anggota parlemen sebagai perumus dan pembuat
undang-undang. Dalam sistem syura, di atas parlemen
ada ketentuan agama yang tidak boleh dilanggar dengan
alasan apa pun, kecuali dalam kondisi yang sangat
darurat. Seperti bolehnya memakan daging babi dalam
kondisi terpaksa, demi mempertahankan hidup
seseorang. Dalam kondisi normal, memakan daging babi
adalah haram mutlak, sekalipun misalnya parlemen
membolehkannya.
Mengapa demokrasi lebih ditekankan? Karena
sistem ini menempatkan manusia pada posisi sama
dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan
bersama. Di sini doktrin egalitarian mendapatkan
tempatnya secara wajar, sementara dalam sistem kerajaan
yang masih berlaku pada beberapa negara Muslim, rakyat
tidak punya hak untuk berkuasa. Pada waktu membahas
konsep “daulat rakyat” dan “daulat tuanku” sebelumnya
aku sudah menyinggung masalah ini. Dengan demikian
di mana posisiku dalam masalah sistem politik ini sudah
sangat jelas, tidak perlu diperpanjang lagi, kecuali dalam
konteks yang sangat memerlukan. Tetapi jika aku
berbicara tentang demokrasi, hendaklah dibaca dalam
konsep “demokrasi yang berkeadilan.” Tanpa keadilan,
sistem politik mana pun tidak lebih dari panggung
sandiwara yang mengatasnamakan rakyat. Banyak
contoh sudah dalam sejarah, demokrasi hanya dipakai
sebagai kedok untuk keuntungan pribadi dan kelompok.
Jika ini yang berlaku, maka kesimpulan kita adalah
bahwa orang telah berkhianat dengan topeng demokrasi.
Perkembangan pemikiran lain akibat Chicago
adalah tentang posisi perempuan dalam politik. Bagiku
tidak ada masalah dan halangan seorang perempuan
207

dipilih jadi bupati, gubernur, dan bahkan presiden,


sesuatu yang tabu dalam khazanah kelasik Islam. Tidak
saja pada masa kelasik, di era modern pun masih cukup
banyak ulama dan sarjana Muslim yang menolak
perempuan untuk jadi pemimpin dengan berbagai alasan.
Tentu tidak asal perempuan. Harus dicari untuk dipilih
pribadi yang benar-benar punya kemampuan prima,
bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun pada
saat ia telah lebih longgar untuk berkiprah di bidang
politik. Rintangan-rintangan alamiah sebagai risiko
menjadi perempuan sudah sangat berkurang. Dengan
demikian perhatian untuk membela rakyat menjadi
terbuka lebar. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin
suaminya, sekiranya ia masih bersuami.
Pendapatku ini sudah tentu bertabrakan dengan
pendapat sebagian ulama yang masih terikat dengan
warisan kelasik. Tetapi biarlah wacana semacam ini
berkembang terus karena masing-masing pihak punya
alasan dari sudut agama dan kemaslahatan rakyat.
Tafsiran mana yang mendekati kebenaran, biarlah
perkembangan masyarakat yang akan menilai. Aku
setidak-tidaknya sejak seperempat abad yang lalu telah
mengemukakan pendapat ini, sementara Rahman sendiri
tidak terlalu banyak berbicara tentang masalah krusial ini.
Pendapatku tentang masalah kepemimpinan
perempuan ini berangkat dari diktum al-Qur’an tentang
terbukanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka
yang paling taqwa, laki-laki mau pun perempuan (lih.
surat al-Hujurat: 13 dan ayat-ayat lain yang saling
mendukung). Seorang Muslim laki-laki dan perempuan
yang bertaqwa dijamin ayat ini untuk meraih kemuliaan
di sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-
sungguh. Posisi pemimpin formal (laki-laki dan
208

perempuan) akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia


bertaqwa dengan menegakkan keadilan dan siap bekerja
keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Adil adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang tepat.
Sebaliknya zalim adalah meletakkan sesuatu pada tempat
yang salah. Pemimpin laki-laki atau perempuan yang adil
haruslah memenuhi kriteria yang elementer tetapi cukup
mendasar ini.
Dengan pemikiran semacam ini aku ingin melihat
dunia ini tanpa diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan. Dalam wacana modern, keadilan gender
harus ditegakkan secara proporsional. Kaum perempuan
yang merasa tertindas selama berabad-abad, tidak
terkecuali di dunia Islam, dengan pendapat ini telah
memperoleh hak-haknya yang sejati. Tidak lagi
dimainkan oleh ketentuan fiqh yang pada umumnya
ditulis oleh laki-laki. Sebenarnya dalam sejarah nusantara,
kasus Aceh adalah contoh yang menarik, di mana kaum
perempuan pernah menduduki posisi puncak dalam
militer dan pemerintahan. Jadi telah ada contoh empirik
untuk kemudian kita bangunkan teorinya berdasarkan
pemahaman yang benar dan cerdas terhadap al-Qur’an.
Pendapat klasik yang tidak didukung Kitab Suci ini harus
dibongkar dan diganti dengan teori yang lebih adil
terhadap perempuan.
Masih terkait dengan masalah perempuan ini adalah
mengenai sistem perkawinan, monogami atau poligami.
Dalam masalah ini, pendapat Rahman cukup dominan
dalam mempengaruhi pendirianku. Pokoknya sistem
perkawinan yang benar menurut al-Qur’an adalah
monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat
terpaksa dengan syarat-syarat yang berat. Memang dalam
209

surat al-Nisa: 3 terkesan selintas kebolehkan beristeri


lebih dari satu. Tetapi kesan itu akan berguguran dengan
menghubungkan pernyataan kebolehan itu dengan ayat
129 pada surat yang sama. Kalau ayat tiga mensyaratkan
berlaku adil terhadap isteri-isteri, ayat 129 menegaskan
bahwa keadilan itu tidak mungkin, sekalipun sang suami
ingin sekali berbuat adil. Dengan memadukan kedua ayat
ini, maka aku menyimpulkan bahwa perkawinan dalam
Islam adalah monogami, sedangkan pintu poligami
tertutup rapat kecuali dalam kasus-kasus yang sangat
darurat.
Memang di Arabia sebelum dan pada masa awal
Islam, praktik poligami itu sangat merebak. Tidak
mungkin diubah dalam sekejap mata. Maka di sini
berlaku hukum evolusi: secara berangsur tetapi pasti,
sistem perkawinan dalam Islam haruslah menuju kepada
sistem isteri tunggal dengan catatan kaki seperti di atas.
Jangan dibalik: sistem perkawinan dalam Islam pada
dasarnya adalah poligami, kecuali bagi yang tidak mau.
Pendapat ini jelas bersikap tidak adil terhadap
perempuan, seakan-akan laki-laki sudah ditakdirkan
bersifat polygamous dan perempuan monogamous. Sebelum
berangkat ke Chicago, aku berada dalam biduk yang
sama dengan para ulama yang pro-poligami, sekalipun
aku tidak melakukannya karena memang tidak mungkin
dan karena trauma Lip yang menderita karena ibunya
dimadu.
Pendapatku tentang sistem monogami sudah final
berdasarkan pemahamanku terhadap dua ayat dalam
surat al-Nisa di atas. Tidak ada kaitannya dengan sistem
Barat yang lebih banyak hipokritnya. Isteri satu, tetapi
bini tak resmi berkeliaran di mana-mana. Seks bebas
telah menghancurkan sistem famili dan pasti akan
210

berakibat destruktif bagi perjalanan peradaban manusia


jangka panjang. Di Barat sekarang konsep single parent
(orang tua tunggal) bukan lagi suatu yang ditutupi.
Konsep ini menunjukkan bahwa si anak hanya mengenal
ibunya, sementara bapaknya entah siapa. Atau bapaknya
diketahui tetapi telah berpisah dengan ibunya. Apa yang
disebut anak hasil kumpul kebo sudah hampir merata di
Barat.
Kabarnya di kota-kota besar Indonesia, praktik seks
bebas ini juga mulai menggejala, sesuatu yang bila tidak
dihentikan, struktur keluarga lambat atau cepat akan
berantakan. Ironisnya lagi, mayoritas penduduk
Indonesia secara statistik sebagai pemeluk Islam dengan
Pancasila sebagai dasar negara. Sila pertama Ketuhanan
yang maha esa semestinya dijadikan panduan moral
dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga seks bebas,
terang-terangan atau secara sembunyi harus distop dan
tidak dibiarkan meracuni generasi yang baru muncul
yang masih relatif bersih.
Aspek pemikiranku yang lain berkaitan aliran-aliran
dan firqah-firqah yang marak dalam sejarah umat Islam
pada umumnya berpangkal dari konflik politik berdarah
yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang
Shiffin pada 37 H/657 M dan kemudian diikuti oleh
Tahkim di Daumat al-Jandal yang menghebohkan itu.
Bagaimana pendapatku tentang tragedi ini, baiklah
kuturunkan kolomku dengan judul “Mengapa Sunisme,
Syi’isme Masih Juga Diberhalakan?” yang dimuat dalam
Republika, 22 Maret 2005, halaman 12 dengan sedikit
modifikasi.
Sepanjang pengetahuan saya, pada masa nabi
Muhammad, umat Islam tunggal, tidak berkeping-
keping. Munculnya kelompok Suni, Syai’i, dan Khawarij
211

baru seperempat abad setelah wafatnya nabi. Kelahiran


mereka adalah akibat tahkim (perundingan) di Daumat al-
Jandal pada 657 antara kelompok Ali dan kelompok
Mu’awiyah untuk mengakhiri Parang Shiffin yang
berdarah-darah dan membuahkan perpecahan itu.
Ketua perunding dari pihak Ali yang dipimpin oleh
Abu Musa al-Asy’ari dikalahkan secara telak oleh
kepiawaian “Amr ibn al-‘Ash sebagai pendukung setia
Mu’awiyah. Al-Qur’an dan nabi yang kemudian dibawa-
bawa dalam sengketa politik ini jelas merupakan
penghinaan dan sekaligus pengkhianatan, sadar atau
tidak sadar, terhadap kedua sumber ajaran pokok Islam
itu.
Perbelahan yang kita warisi sampai hari ini berasal
dari pertikaian politik di antara puak-puak Arab di atas.
Pertanyaannya adalah: mengapa umat Islam yang datang
kemudian mau pula turut berkubang dalam sengketa
yang dipicu oleh persoalan kekuasaan itu? Di mana kita
mendudukkan al-Qur’an sebagai al-Furqan (kriterium
pembeda antara benar dan salah)?
Sebagian pendukung Ali yang menentang
perundingan itu marah besar kepada Ali yang dinilai
terlalu lemah menghadapi lawan, padahal kemenangan
sudah hampir di tangan. Sempalan dari Ali ini dikenal
dalam sejarah dengan sebutan khawarij (yang
memisahkan diri). Kelompok inilah yang kemudian
merencanakan makar terhadap Mu’awiyah, Ali, dan Ibn
al-‘Ash yang mereka percayai sebagai pemicu perpecahan
umat. Hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Ibn Muljam
pada tahun 661 M di Kufah, sedangkan dua yang lain
selamat. Dengan terbunuhnya Ali, maka lapanglah jalan
bagi Mu’awiyah untuk menjadi penguasa pasca al-
212

Khulafa al-Rasyidun, sesuatu yang sudah lama


diincarnya.
Perpecahan yang terjadi akibat Perang Shiffin dan
Perundingan Daumat al-Jandal ternyata berdampak
sangat jauh dan dalam bagi bangunan persaudaraan umat
yang kemudian terbelah menjadi tiga: Suni (golongan
terbesar) yang umumnya berpihak kepada pemenang,
Syi’i, pembela Ali, dan Khawarij, yang anti terhadap
keduanya. Perang saudara ini adalah yang kedua
sepeninggal nabi.
Yang pertama adalah Perang Jamal antara ‘Aisyah
dan Ali, yang dimenangkan pihak Ali. Anda bisa
bayangkan bahwa yang berperang adalah ‘Aisyah, isteri
nabi, dan Ali, sepupu dan menantu nabi, sekalipun isteri
Ali, Fathimah, puteri nabi bersama Khadijah, sebab
‘Aisyah tidak dikurniai keturunan. Siapa yang meragukan
kualitas iman mereka ini semua. Tak seorang pun,
bukan?
Tetapi kita harus senantiasa ingat bahwa mereka
adalah manusia biasa yang tidak kebal dari kesalahan.
Dengan kata lain, politik ternyata dapat menyeret
manusia ke jurang perpecahan dan peperangan, tidak
terkecuali para sahabat nabi yang mulia ini. Ini fakta
keras sejarah yang tak seorang pun dapat menutup dan
membantahnya.
Tinggal lagi bagaimana kita menyikapi kejadian-
kejadian tragis itu dengan penuh kearifan, sesuatu yang
tidak selalu mudah, sekalipun bukan mustahil, dengan
syarat al-Qur’an dijadikan pedoman dan acuan utama
dan pertama dalam merumuskansetiap langkah duniawi
kita. Jika tidak demikian, al-Qur’an menjadi tidak relevan
untuk memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan
213

kita yang selalu timbul dan berkembang sepanjang


zaman.
Timbul pertanyaan, mengapa luka-luka lama itu
diungkit-ungkit juga, sebab itu hanyalah akan menambah
beban psikologis umat yang sedang kalah ini?
Jawabannya sederhana saja: bagaimana mau
menutupinya karena luka itu masih tetap saja
memancarkan darah segar dari tubuh umat ini di
berbagai belahan dunia: Iraq, Afghanistan, Palestina, dan
di mana lagi, tragedy berdarah yang tak kunjung usai jua.
Inilah realitas kita yang tidak perlu diingkarai, tetapi
harus dihadapi dengan jiwa besar dan sabar, sambil
diupayakan pemecahannya sejujur dan secerdas
mungkin, kecuali jika kita memang mau membuang al-
Qur’an ke dalam limbo sejarah dan digantikan oleh
“Islam” dalam jubah sunisme, syi’isme, dan isme apa
lagi, seperti yang berlaku berabad-abad. Bukankah semua
ini adalah berhala politik yang tidak layak diteruskan, jika
memang kita mengaku setia kepada al-Qur’an?
Semangat di atas pernah saya lontarkan di depan
forum ulama dan sarjana Suni di Kuala Lumpur dan di
depan ulama dan sarjana Syi’ah di Teheran beberapa
tahun yang lalu. Saya ingin mereka bersedia mendekati
al- Qur’an dengan melepaskan jubah-jubah politik dan
teologi sebagai ekor Perang Shiffin yang membawa
malapetaka panjang itu. Selama jubah-jubah itu tetap saja
disandang, saya amat khawatir keluhan rasul kepada
Allah sedang dialamatkan kepada dunia Islam sekarang
ini. “Dan mengeluh [aslinya berkata] rasul: Ya Tuhanku,
sesungguhnya kaumku telah menyebabkan al-Qur’an ini
ditelantarkan.” 15

15
(Lih. al-Qur’an s. al-Furqan: 30).
214

Kalau realitasnya memang demikian, mengapa umat


Islam di bagian-bagian lain dunia hanya mengekor saja
terhadap apa yang berlaku dalam masyarakat Arab yang
sarat dengan konflik dan pertengkaran? Benar, Islam
lahir pertama kali di Arabia, tetapi Islam tidak sama
dengan Arab. Mereka yang berbahasa Arab belum tentu
faham Islam. Sama halnya dengan orang yang berbahasa
Indonesia, banyak yang bahlul tentang Indonesia.
Oleh sebab itu kebangkitan Islam yang sering
disebut-sebut itu tidak harus muncul dari bumi yang
berbahasa Arab, sekalipun untuk memahami agama
secara dalam, penguasaan Bahasa Arab merupakan
sesuatu yang mutlak. Bagiku, jalan terbaik dan benar
untuk mengukur apakah suatu aliran pemikiran bersifat
Islam atau bukan, ialah dengan menggandengkannya
dengan al-Qur’an yang dipahami secara jujur, adil, dan
cerdas (bi al-‘uqul al-shahihah wa al-qulub al-salimah). Tentu
sebagai manusia yang relatif, pemahaman seseorang
terhadap Kitab Suci belum tentu sama persis. Tetapi
setidak-tidaknya, bila kejujuran dan sikap rindu kepada
kebenaran yang dikedepankan, perbedaan pemahaman
itu tidak akan terlalu jauh, apalagi saling bertentangan
secara tajam. Bagiku tidak ada masalah yang terlalu sulit
untuk dipecahkan, sekiranya semua pihak memakai
pikiran jernih, dada lapang, dan punya ilmu yang
memadai.

VII. BERKIPRAH MENYONGSONG MASA DEPAN

A. Perkisaran Abad, Harapan, dan Kecemasanku


Siapa pun berhak berbicara tentang masalah-
masalah besar yang menyangkut hari depan umat
215

manusia. Dalam berbagai tulisanku yang tersebar di


media cetak, aku telah agak sering berbicara tentang
dunia modern yang terlepas dari jangkar transendental
sejak 300-400 tahun yang lalu, khususnya yang terlihat di
belahan bumi barat. Sub-bagian berikut sebagian
kuambil dari kolomku dengan judul “Peradaban di
Tengah Harapan dan Kecemasan” (Republika, 14 Juni
2005, hlm. 12) dengan perubahan dan tambahan di sana-
sini. Sebagai orang yang pernah mengajar sejarah
peradaban Islam, tentu tidak terlalu sukar bagiku untuk
berbicara tentang topik semacam ini, betapa pun belum
mendalam.
Adalah Richard Falk, guru besar hukum
internasional pada Universitas Princeton, Amerika
Serikat, yang sering berbicara tentang masalah-masalah
besar yang tengah menerpa dunia dan kemanusiaan di
abad modern atau pasca-modern. Dua tahun sebelum
pergantian abad ke-20 ke abad ke-21, Falk menulis:
“Kedatangan milenium baru setidak-tidaknya
mendorong imajinasi. Ia adalah sebuah alat penunjuk
yang dilemparkan ke pantai di gelap malam sementara
sungai sejarah mengalir dengan deras. Yang kita lihat
tidak lebih dan tidak kurang selain apa yang diizinkan
imajinasi, terutama harapan-harapan kita yang terdalam
dan kecemasan-kecemasan kita yang mengerikan.
Berlalunya milenium ini mendorong kutub-kutub
harapan [ke arah] yang serba berlawanan: berakhirnya
dunia atau bermulanya sebuah tatanan baru.” (Lih. Just
Commentary, No. 8, Jan. 1998, hlm. 1).
Sungai sejarah telah mengalir selama tujuh tahun
sejak tulisan Falk muncul. Dunia memang belum
berakhir, tetapi tatanan baru yang lebih ramah dan
manusiawi juga belum tampak bayangannya. Afghanistan
216

berantakan, Iraq kacau balau, dan Palestina belum juga


merdeka, padahal Presiden Bush pernah mengatakan
bahwa tahun 2005 adalah kemerdekaan bagi bangsa
Arab yang sudah terlalu lama menderita akibat
kekejaman Israel dengan dukungan dari Amerika.
Dunia Islam? Apakah ada dunia Islam? Yang ada
bangsa-bangsa Muslim yang belum tentu terikat dengan
agamanya. Tetapi baiklah istilah dunia Islam tetap kita
pakai, sekalipun prilaku sebagian para elitnya belum
tentu mencerminkan ajaran Islam autentik dan sejati.
Dunia Islam masih tetap rentan karena juga belum
siuman untuk berbenah diri di bawah tekanan atau
rayuan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Indonesia, sebagai bangsa Muslim terbesar di muka
bumi, keadaannya setali tiga uang, masih belum pula
bebas dari berbagai penyakit sosial dan politik yang
parah, di samping harus menerima pukulan alam berupa
gempa dan tsunami yang telah meluluhlantakkan
sebagian wilayah republik tercinta ini. Alangkah sukarnya
menciptakan sebuah dunia yang beradab melalui
parameter universal di tengah arus global yang semakin
sekuler dan bahkan ateistik. Negara-negara maju dengan
teknologi super canggih belum juga sadar tentang
tanggung jawab globalnya untuk menolong dunia miskin.
Bahkan yang berlaku adalah dunia miskin masih saja
dihisap oleh negara kaya dengan berbagai dalih dan tipu.
Jika abad pertengahan di Eropa dianggap tidak
menghormati martabat manusia demi Tuhan, diawali
terutama sejak renaisans, situasinya terbalik 180 derajat.
Gagasan besar tentang Tuhan menjadi tertindas, demi
manusia. Memang pengakuan dan penghormatan
lahiriah terhadap Tuhan masih tampak di berbagai unit
peradaban, tetapi laku manusia pada umumnya sudah
217

lama tidak menghiraukan-Nya. Bahkan Tuhan dianggap


sebagai penghalang kemajuan dan kebebasan manusia.
Tuhan memang masih disebut pada koin Amerika
misalnya, tetapi perang neo-imperialisme terhadap
bangsa-bangsa yang tak berdaya di bawah komando
Amerika Serikat tetap saja berlangsung dengan seribu
dalih dan retorika murahan. P.B.B. (Perserikatan Bangsa-
Bangsa) telah lama mandul untuk menyetop agresi
biadab negara kuat. Akankah abad ke-21 yang baru di
awal jalan ini menawarkan secercah harapan untuk
sebuah dunia yang lebih ramah dan adil?
Sulit kita menjawabnya. Tokoh-tokoh agama besar
telah sering berkumpul di berbagai belahan bumi, di
mana aku sering juga terlibat, dalam upaya mencari titik
temu untuk merumuskan sumbangan agama terhadap
perdamaian, tetapi belum pernah efektif. Salah satu
sebabnya adalah kenyataan bahwa masalah internal
agama sendiri masih jauh dari suasana damai, sementara
manusia sekuler modern telah muak terhadap apa yang
bernama iman. Abad kita sekarang sedang berada di
antara jepitan sekularisme ateistik dengan harapan besar
manusia untuk kembali mengenal Tuhan. Apakah
sebuah keseimbangan baru akan tercipta, di mana
martabat manusia tetap dalam terhormat, tetapi Langit
diundang untuk menyapa bumi kembali. Membiarkan
situasi disikuilibrium (ketidakseimbangan) seperti
sekarang, rasanya sudah sangat berat.
Abad modern yang semakin jauh dari nilai-nilai
moral-transendental terasa semakin gersang dan ganas
saja. Tetapi, apakah Tuhan masih belum juga mau
mendengar jeritan mayoritas manusia menderita di
tengah-tengah kemewahan kelompok minoritas yang
angkuh dan mati rasa? Atau apakah jeritan itu masih
218

belum sungguh-sungguh padahal air mata hamba Allah


sudah banyak yang kering? Kita pun tidak bisa
menjawabnya. Imajinasi kita dapat menjadi liar, jika kita
mencoba menyahutinya dengan pasti. Kita tidak tahu
apa sebenarnya yang ada di balik kesenjangan yang parah
ini.
Tetapi menurut apa yang kurenungkan, ada satu
yang pasti: dunia tanpa Tuhan adalah dunia yang tanpa
rujukan. Prinsip moral tertinggi menjadi musnah tanpa
Tuhan. Bumi kehilangan wasit sejati, tempat manusia
dan kemanusiaan mangadu mencari keadilan yang
autentik. Dalam ungkapan lain, tanpa sapaan Langit,
bumi akan tetap diterpa ketidakadilan dan penderitaan
panjang. Untuk berapa lama?
Pertanyaan ini terutama harus dijawab oleh mereka
yang mengaku beragama. Sampai berapa lama mereka
memperalat Tuhan untuk kepentingan-kepentingan
duniawi jangka pendek yang jauh dari suasana yang
diajarkan Langit? Secara teoretis, semua agama
mengajarkan kebaikan dan keutamaan, tetapi mengapa
doktrin ini sering benar dilanggar? Iman di tangan
mereka yang berhati sempit pasti akan melahirkan
malapetaka, hampir serupa dengan laku mereka yang
telah meelupakan Tuhan.
Kesimpulannya: fundamentalisme agama yang
bernafsu memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan
berakibat tidak jauh berbeda dengan sekularisme-ateistik
yang telah talak tiga dengan apa yang bernama iman.
“Maka, ambillah pelajaran wahai kamu yang mempunyai
penglihatan,” seru al-Qur’an dalam surat al-Hasyr: ayat 2.
Penglihatan yang tajam inilah yang susah kita dapatkan
di lingkungan peradaban yang lebih terpaku dan
terpukau oleh kilauan yang serba kulit, lupa hakekat.
219

Dunia Islam juga belum punya kesadaran yang cerdas


tentang missi Islam yang sebenarnya: menebarkan
rahmat untuk alam semesta. Alangkah mulianya tujuan
missi ini, tetapi alangkah kecilnya otak manusia
pendukungnya, termasuk aku di dalamnya. Batin
meronta keras, namun realitas tidak beranjak juga.

B. Kegiatanku di Indonesia Pasca Chicago


Kegiatan ini berlangsung sejak aku kembali ke
tanah air awal tahun 1983 sampai saat aku menulis
bagian ini (Peb. 2006). Sampai di mana ujungnya nanti
akan sangat tergantung kepada kesehatanku dan
tanggapan masyarakat luas terhadap pikiran-pikiran
kusampaikan. Jika pikiran itu dinilai sudah usang, tidak
lagi menantang, dengan sendirinya kegiatan
kemasyarakatanku akan menyusut, karena tidak ada hal-
hal baru yang dilontarkan. Sajian itu ke itu juga yang
mengundang kebosanan. Bila itu terjadi, aku harus sadar
bahwa tidak saja fisik yang sudah melemah, syaraf otak
pun tidak lagi dapat berfungsi secara prima. Semuanya
sudah berada dalam proses laruik sanjo (larut senja)
menuju tempat perhentian terakhir: kuburan. Harapanku
tentunya agar tidak menyusahkan keluarga dan
masyarakat sebelum aku sampai ke ujung jalan
kehidupan dunia itu.
Kegiatan pertamaku setelah pulang adalah mengajar
pada Jurusan Sejarah F.P.I.P.S. I.K.I.P. Yogyakarta
(sekarang F.I.S. Universitas Negeri Yogyakarta).
F.P.I.P.S., Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
kemudian berubah menjadi F.I.S., Fakultas Ilmu Sosial,
untuk menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan
penting dari bentuk I.K.I.P. ke universitas. Selama dua
tahun tempat tinggalku dan keluarga masih berpindah-
220

pindah karena belum punya tempat tinggal permanen.


Baru akhir tahun 1985, kami pindah ke rumah permanen
di Nogotirto melalui K.P.R. (Kredit Perumahan Rakyat)
dari perusahaan P.T. Nitibuana yang berpusat di Kudus.
Bung Profesor Ichlasul Amal Achmad, teman lama sejak
dari DeKalb, mantan rektor U.G.M., pada suatu ketika
sambil bergurau mengatakan bahwa perumahan model
K.P.R. itu adalah bak sarang merpati. Ya, tetapi itulah
yang baru dapat dijangkau secara mencicil oleh seorang
pemegang ijazah Ph.D. tamatan Amerika.
Untuk pembayaran uang muka rumah K.P.R.,
untung Lip punya sisa uang dari hasil baby sitter-nya di
Chicago. Sedangkan kekayaanku kalau tidak salah hanya
tinggal di bawah $22. Miskin bukan, sementara gaji
sebagai pegawai negeri tidak cukup untuk menghidupi
tiga jiwa dengan standar yang sangat sederhana. Aku
yang sudah beroleh Ph.D. dari salah satu universitas
terkenal harus puas dengan kondisi kesejahteraan
pegawai yang demikian itu. Semua pegawai bernasib
sama. Solusinya adalah aku harus memberi kuliah di
perguruan lain, negeri atau swasta. Cara ini harus
ditempuh, sebab tanpa itu kehidupan kami sekeluarga
akan tetap saja tidak berubah seperti sebelum berangkat.
Dua perguruan tinggi I.A.I.N., U.I.I., dan U.N.S. adalah
tempatku memberikan kuliah, selain mengemban tugas
pokokku di I.K.I.P. Mata kuliah yang kupegang
bervariasi. Ada sejarah Islam, agama, pemikiran ideologi,
dan bahkan Pancasila. Tahun 1984 I.A.I.N. membuka
program pasca sarjana. Aku diminta sebagai salah
seorang tenaga pengajar. Tugas ini kupegang selama
beberapa tahun.
Tahun 1986 selama 100 hari aku diminta untuk
mengajar studi keislaman di Universitas IOWA. Rektor
221

I.K.I.P. kala itu adalah mendiang Drs. St. Vembriarto.


Agak aneh bin ajaib, aku dihalangi untuk berangkat
tanpa alasan yang jelas. Tetapi pihak IOWA memotong
rintangan itu melalui Jakarta, dan berhasil. Vembriarto
tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah. Maka aku
dan Prof. Barnadib, mantan rektor I.K.I.P., sama-sama
berangkat ke universitas yang sama. Gaji tidak besar,
tetapi jauh lebih baik dari pendapatanku di Indonesia.
Pulang dari sana ada sisa uang yang kubelikan sebuah
pickup Suzuki yang sudah tua, mungkin setua mobil
yang pernah kupakai selama kuliah di Chicago dengan
merek Pinto buatan Ford. Inilah mobil stasiun pertama
yang kumiliki di Indonesia pada saat aku sudah
menginjak usia 51 tahun. Isteriku Nurkhalifah pernah
juga memakai pickup ini untuk mengantarkan Hafiz ke
sekolah ketika aku tidak di Jogja. Kemudian menjadi
kapok ketika mobil berhenti seketika di belakang bus
kota. Atas kebaikan awak bus, pickup tua ini diantar ke
Nogotirto. Sejak itu ibu Hafiz tak mau lagi pegang stir,
sekalipun S.I.M. (Surat Izin Mengemudi) diurus juga.
Pengalaman lain dengan Vembriarto adalah
menahan proses kenaikan pangkatku selama beberapa
bulan. Padahal sewaktu masih di Chicago aku telah
membantunya dengan mengopikan buku-buku yang
diperlukannya di Indonesia. Suasana politik di kampus
sewaktu Daud Jusuf menjadi menteri pendidikan
memang cukup tegang dan panas. Sebagai seorang yang
dilahirkan merdeka, aku tidak mau tinggal diam. Rektor
harus kudatangi untuk menanyakan apa pasal penahanan
kenaikan pangkatku, yang pada waktu itu baru sampai
pada tahap penandatanganan D.P.3. Terjadi dialog.
“Mungkin pak rektor berbuat begini karena saya tak mau
pakai pakaian seragam”. Dijawab: “Itu antara lain.”
222

Peluang ini kumanfaatkan untuk memberi tekanan


kepadanya. “Mohon D.P.3 saya ditandatangani
secepatnya.” Hanya dalam tenggang waktu dua-tiga hari
semuanya menjadi beres. Ternyata manusia ini begitu-
begitu saja. Berlagak seperti orang yang tak dapat
disentuh. Setelah didatangi dengan sikap percaya diri,
semua keangkuhan itu menjadi berguguran. Aku adalah
di antara sedikit dosen I.K.I.P. yang tetap menjaga
kemerdekaan di tengah-tengah tekanan politik untuk
serba seragam selama berada di kampus. Semua orang di
I.K.I.P. paham kelakuanku ini. Aku jelas bangga karena
tidak hanyut dalam budaya yang serba menyerah di
bawah payung sistem politik negara yang otoritarian di
era Orde Baru.
Kegiatan lain adalah di Muhammadiyah. Sejak
tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, aku diminta aktif
sebagai anggota Majelis Tabligh P.P. Muhammadiyah
yang dipimpinnya. Aku sekalipun pernah menjadi anak
panah Muhammadiyah yang dikirim ke Lombok,
tampaknya perlu menyegarkan diri kembali dengan
memasuki majelis yang menjadi ujung tombak P.P.
Muhammadiyah ini. Amat rajin majelis ini mengadakan
rapat reguler saban minggu di kantor P.P. yang lama, Jl.
K.H. A. Dahlan 99, Jogjakarta. Sebagai alumnus
Madrasah Mu’allimin, tentu tidak sulit bagiku untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini.
Sebelumnya sewaktu bekerja pada majalah Suara
Muhammadiyah aku pun pernah menjadi anggota Majelis
Pustaka P.P. Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni,
B.A. yang sekaligus pimpinan majalah. Majelis Pustaka
ini kurang aktif dalam menjalankan kegiatannya.
Dalam berkiprah pada Majelis Tabligh ini aku mulai
berkunjung ke daerah-daerah. Majelis pimpinan M.A.
223

Rais ini sangat aktif dalam menjalankan missi da’wahnya,


tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan. Di
samping Rais, Dr. A. Watik Pratiknya juga merupakan
motor dari majelis ini. Suasana kerja dengan demikian
menjadi sangat hidup dan menggairahkan. Seakan-akan
majelis ini adalah P.P. dalam P.P. Nama Rais melambung
melalui Majelis Tabligh ini. Yang lain mengikuti.
Posisiku dalam Muhammadiyah belum begitu kuat,
karena memang belum terlalu dikenal pada tingkat akar
rumput. Ini terbukti dalam Muktamar ke-42 tahun 1990
di Jogjakarta, aku menempati nomor buntut kedua dari
bawah, yaitu 12. Posisi 13 diisi oleh A.R. Fachruddin,
tokoh yang paling lama memimpin Muhammadiyah,
kemudian tidak bersedia lagi jadi ketua. Angka 12 yang
jatuh atas diriku sesungguhnya tidak terlalu
mengherankan karena beberapa bulan sebelum
muktamar aku sudah bertolak ke Malaysia menjadi dosen
tamu pada U.K.M. (Universiti Kebangsaan Malaysia),
1990-1992.
Sekalipun berada pada angka 12, aku sudah masuk
ke dalam jajaran P.P. Muhammadiyah, sebuah posisi
yang tidak selalu mudah dimasuki oleh kader
persyarikatan. Akibat aku tidak bisa aktif sebagai anggota
P.P., posisi bendahara diberikan kepadaku, sedangkan
aku seumur hidup belum pernah terlibat dalam urusan
keuangan organisasi. Pengalamanku dalam soal ini adalah
nol. Rupanya posisi ini diberikan kepadaku, karena tokh
fungsi bendahara sehari-hari dapat dijalankan oleh
bagian keuangan, tidak terlalu tergantung pada
bendahara P.P. Maka jadilah aku sebagai bendahara
simbol sampai kembali dari Malaysia. Teman-teman P.P.
cukup baik dengan mengizinkanku untuk tidak bertugas
224

aktif. Kasus semacam ini pernah juga berlaku pada


teman-teman P.P. yang lain.
Untuk lebih memberi gambaran tentang konfigurasi
kepemimpinan Muhammadiyah sebagai hasil Muktamar
Jogja, kutipan di bawah tentang hasil perolehan suara
perlu diturunkan sebagai berikut: Ahmad Azhar Basyir
(997), M. Amien Rais (993), Ismail Suny (890), Sutrisno
Muhdam (830), Rusjdi Hamka (774), A. Rosjad Sholeh
(748), Fahmy Chatib (701), Djarnawi Hadikusumo (676),
Ramli Thaha (671), Ahmad Watik Pratiknya (655), S.
Prodjokusumo (638), Ahmad Syafii Maarif (557),
Abdurrozak Fachruddin (516). Angka-angka ini sekaligus
menunjukkan bahwa aku, sekalipun alumnus Madrasah
Mu’allimin, belum begitu berakar dalam
Muhammadiyah. Ini ditambah lagi dengan
keberangkatanku ke Malaysia, seperti tersebut di atas.
Para pemilih kadang-kadang cukup jeli dalam
menentukan siapa yang seharusnya menjadi anggota P.P.
itu.
Dalam daftar di atas, nama Lukman Harun dan
Djazman al-Kindi yang juga berseberangan tidak
muncul. Muktamar Jogja karena ada gesekan-gesekan
internal ini menjadi panas. Sama sekali tidak sehat. Aku
pada waktu itu masih partisan, sebuah sikap yang
kemudian aku koreksi secara total. Bagiku, dalam
organisasi seperti Muhammadiyah, budaya saling
menjegal sesama teman adalah a-moral. Dan Tuhan pun
menurut perasaanku tidak suka bahkan benci dengan
cara-cara demikian itu, sebab jika ada perbedaan,
selesaikan melalui mekanisme musyawarah, seperti yang
dituntunkan al-Qur’an (lih. s. Ali ‘Imran: 159, s. al-Syura:
38). Mengapa kita sulit sekali menyesuaikan langkah
dengan perintah al-Qur’an? Dalam masalah ini, kader
225

Muhammadiyah belum tentu selalu setia kepada Kitab


Suci ini. Aku kemudian benar-benar menyadari
ketelodoranku karena pernah menjadi partisan, ikut-ikut
teman, tanpa berfikir panjang dan dalam. Semoga Allah
memaafkan.
Sekalipun suasana muktamar pernah memanas,
tujuan utama tercapai juga. Rapat anggota P.P. terpilih
kemudian menetapkan pengurus harian P.P. sebagai
berikut: Ketua: Ahmad Azhar Basjir, Wakil Ketua: M.
Amien Rais, Wakil Ketua: Ismail Suny, Sekretaris:
Ahmad Watik Pratiknya dan Ramli Thaha, Bendahara: S.
Prodjokusumo dan Ahmad Syafii Maarif. Yang lain di
samping sebagai anggota P.P., juga merangkap ketua
bidang, kecuali A. Rosjad Sholeh karena kesibukannya di
Departemen Agama. Jika aku tidak berangkat ke
Malaysia, tentu aku akan ditempatkan pada jabatan yang
lebih sesuai. Dua tahun aku bertugas di U.K.M., selama
itu pulalah aku tidak menunaikan amanah secara
langsung sebagai bendahara, sekalipun dengan
persetujuan P.P.
Proses keberangkatan ke Malaysia dimulai dari
informasi Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, tokoh
pergerakan Islam yang bersahabat dekat dengan Anwar
Ibrahim. Bang Imad memberi tahukan bahwa U.K.M.
memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan
kualifikasi Ph.D. dalam kajian Islam. Ijazahku dari
Chicago memang dalam bidang itu. Maka dimulailah
proses pengurusan izin dari I.K.I.P. Yogya dan proses
pelamaran untuk U.K.M., termasuk menekan kontrak
untuk dua tahun. Semua proses ini relatif berjalan lancar.
Statusku tetap sebagai dosen I.K.I.P., bukan dengan
status cuti di luar tanggungan negara, dengan tetap
menerima gaji bulanan, tetapi tanpa tunjangan
226

fungsional. Dengan kata lain, aku ditugaskan negara


untuk memberi kuliah di Malaysia. Ini bagiku
menguntungkan, sebab jika statusku bertugas di luar
tanggungan negara, untuk kembali ke lembaga asal
bukan main sulitnya. Pasti berliku-liku. Allah yang maha
penyayang ternyata masih memudahkan jalan hidupku.
Teman-teman kampus pun tidak ada yang mencoba
menghalangi. Vembriarto pada waktu itu sudah bukan
rektor lagi.
Karena I.K.I.P. terlalu berbaik hati, maka setelah
pulang sebagian gaji kuserahkan kepada karyawan
fakultas sebagai tanda terima kasihku kepada lembaga
yang telah mengizinkanku untuk bertugas di luar negeri
selama dua tahun. Dengan pertimbangan bahwa sewaktu
berangkat pangkatku di I.K.I.P. belum guru besar, maka
gaji yang diterima di U.K.M. disesuaikan dengan
kepangkatanku di tanah air. Ini memang menurut
peraturan yang berlaku di sana. Tidak masalah bagiku,
sebab pendapatan di U.K.M. jauh lebih besar dari yang
kuterima dari I.K.I.P., yaitu sekitar empat kali lipat ketika
itu, sementara ongkos hidup harian tidak banyak
perbedaan. Maka mulailah aku menabung sebagai
persiapan untuk hidup di Indonesia selanjutnya setelah
tugas di U.K.M. berakhir.
Semula kami berangkat tiga beranak: aku, Lip, dan
Hafiz, anak kami satu-satunya. Setelah setahun belajar di
S.M.A. Indonesia di Kuala Lumpur, Hafiz kembali ke
Jogja, karena berbagai pertimbangan. Tinggallah aku dan
Lip yang menetap sementara di Malaysia, setahun setelah
Hafiz memisahkan diri untuk meneruskan pelajarannya
di S.M.A. 8 Jogja sampai rampung. Selama belajar di
S.M.A. Indonesia, Hafiz malah mengalami kemunduran
dalam pelajarannya. Teknis tranportasi dari Kajang ke
227

Kuala Lumpur juga tidak sederhana. Dinihari Lip sudah


harus bangun untuk menyiapkan pakaian sekolah Hafiz.
Kecuali Ahad, tiap hari Hafiz harus naik bus ke Kuala
Lumpur. Sore kembali ke Sungai Jelok. Cukup menguras
fisik dan mental.
Di U.K.M. aku diberi tugas untuk mengajar mata
kuliah Sejarah Perang Salib, Islam dan Perubahan Sosial
di Asia Tenggara, dan masih ada lagi mata kuliah lain
yang aku lupa. Mata kuliah Perubahan Sosial terbuka
untuk mahasiswa dari jurusan lain. Karena buku-buku
sumber untuk mengajar relatif mudah didapatkan di
perpustakaan U.K.M., maka dalam menyiapkan
perkuliahan tidak banyak rintangan yang kuhadapi.
Sebagai dosen aku diberi sebuah ruangan kantor yang
cukup mewah, sesuai dengan perkembangan ekonomi
negara tetangga itu. Di ruang inilah aku membaca dan
menyiapkan perkuliahan sambil menulis artikel untuk
koran Indonesia dan koran Malaysia. Berbeda dengan
Indonesia, seorang dosen di U.K.M. harus berada di
kampus sehari penuh. Berangkat pagi dengan bus dari
Sungai Jelok kembali sore juga dengan bus. Ini semua
kujalani selama dua tahun. Kadang-kadang sewaktu
pulang, aku menompang kendaraan Profesor Ibrahim
Abu Bakar yang tinggal di kawasan Kajang. Abu Bakar
dari jurusan Ushuluddin U.K.M. adalah di antara teman
dosen yang sering berbincang denganku dalam berbagai
kesempatan.
Ada catatan penting yang perlu kurekamkan
sebelum masa kontrakku di U.K.M. berakhir. Pada tahun
1992, Dr. Watik menelponku dari Jogja untuk dijadikan
sebagai salah seorang Naib Amiril Hajj. Lip juga akan
turut. Kebetulan kami memang belum menunaikan
rukun Islam ke-5 itu. Karena itu aku harus pulang
228

dengan tidak memperpanjang kontrak di U.K.M.,


padahal pihak U.K.M. masih membujukku untuk
meneruskan tugasku. Profesor Dr. Faisal Othman, dekan
Fakulti Pengkajian Islam, dan Dr. Abdullah Zin, ketua
Jururan Da’wah dan Kepimpinan, (sekarang Menteri
Agama Malaysia) datang ke rumah tempat tinggalku di
Sungai Jelok, Kajang. Keduanya meminta dengan serius
agar aku masih mau melanjutkan tugas di U.K.M.
Rasanya tidak sekali mereka mendatangiku untuk tujuan
serupa.
Setelah ditimbang masak-masak, aku dan Lip
memutuskan untuk pulang, berkat telepon sahabatku Dr.
Watik yang bertujuan mulia itu. Agar aku memperkuat
barisan P.P. Muhammadiyah secara langsung, tidak
hanya menjadi bendahara tituler. Di lingkungan
Muhammadiyah, ada ketentuan moral yang harus ditaati.
Jika terpilih sebagai pimpinan berarti amanah yang harus
ditunaikan. Aku terpilih, dan itu adalah sebuah amanah
yang tidak boleh dianggap enteng. Aku sendiri setelah
aktif di P.P. Muhammadiyah beberapa bulan kemudian,
baru tahu betul apa makna amanah itu. Tidak ringan
memang, tetapi dari sudut iman nilainya mulia dan
tinggi.
Semula terasa agak bimbang juga untuk
memutuskan: antara pulang atau meneruskan kontrak,
apalagi pihak U.K.M. benar-benar memintaku untuk
memperpanjang dan memperbarui kontrak. Tetapi
mengingat kedudukanku sebagai anggota P.P.
Muhammadiyah yang belum pernah kujalani, maka
imbauan Watik yang menang. Aku dan Lip harus
kembali ke Jogja sambil menyiapkan mental untuk
menunaikan ibadah haji. Alhamdulillah, semuanya
berjalan lancar tanpa gangguan yang berarti. Hafiz
229

kembali berkumpul dengan orang tuanya, setelah


setahun belajar hidup sendiri di rumah sewaan yang tidak
jauh dari rumah kami.
Berbeda denganku yang terbiasa mengurus diri
sendiri sejak kecil, Hafiz kutemui di rumah kontrakannya
yang masih di lingkungan Nogotirto, masya Allah.
Semuanya berantakan, sarung bantal dan kain sarung
hampir tidak pernah dicuci. Sudah mengeras dengan
baunya yang lumayan. Entah sudah berapa lama tidak
disentuh air. Rupanya, inilah perbedaannya dengan orang
yang sudah mandiri sejak usia masih sangat kecil.
Mencuci pakaian, membersihkan kamar tidur, adalah
bagian dari kerja masa kecilku. Aku cukup terlatih. Hafiz
terbiasa manja, terutama oleh ibunya. Semuanya
disiapkan. Hafiz tinggal menggunakan. Enaknya punya
ibu, bukan? Tetapi sisi negatifnya adalah menjadikan
seseorang tidak bisa mengurus diri sendiri.
Jika pada satu saat Hafiz membaca tulisan ini,
harapanku adalah agar dia tidak pernah lupa kepada
kebaikan ibunya. Terhadap ayahnya, terserah sajalah.
Aku tidak berharap banyak kepada anak ini. Sekiranya
dia bisa hidup layak dengan agama yang mantap, rasanya
aku sudah bahagia. Ibunya sebenarnya punya sikap
serupa. Tidak ada yang kami harapkan dari anak, kecuali
dia hidup secara benar, tidak kikir, dan tidak pernah lupa
beribadah. Sederhana, bukan? Sekiranya pada suatu saat
rezkinya cukup, aku mengharapkan agar Hafiz tidak lupa
kepada Muhammadiyah yang telah digumuli ayah selama
bertahun-tahun. Benar, Muhammadiyahlah yang
membebaskan ayahnya dari sikap taqlid buta dalam
memahami agama. Tanpa Muhammadiyah ayahnya
entah ke mana, entah di mana, dan entah jadi siapa.
Hafiz harus paham benar apa yang kukatakan ini,
230

sekalipun misalnya tidak aktif dalam kegiatan


Muhammadiyah.
Aku sekarang beralih kepada masalah tugas-tugas
kemasyarakatanku. Dengan aktif di Majelis Tabligh
sambil memberi kuliah, aku mulai sibuk. Rasa cintaku
kepada Muhammadiyah menjadi semakin dalam. Inilah
tempat beramal yang tepat bagiku. Kalau dalam partai
politik, selalu ada pahala jangka dekat yang dijanjikan
atau diharapkan, apakah itu jadi pejabat eksekutif,
legislatif, atau posisi di B.U.M.N. (Badan Usaha Milik
Negara). Bahasa politik selalu menjurus kepada janji-janji
seperti itu, diakui atau tidak. Berbeda dengan
Muhammadiyah yang hanya menjanjikan pahala jangka
jauh di akhirat. Itu pun jika seseorang ikhlas beramal.
Jika tidak, pahala jauh itu pun tidak akan diraih. Agama
mengajarkan sesuatu yang sangat halus ke dalam batin
manusia. Aku sendiri tidak tahu, apakah aku ikhlas atau
tidak. Biarlah Allah yang menilai. Ada formula filosofis
yang pernah kusampaikan kepada Bung Shofwan Karim,
waktu itu sebagai Ketua P.W.M. (Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah) Sumatera Barat. Formula itu berbunyi:
“Mengurus Muhammadiyah itu melelahkan, tetapi
sekaligus membahagiakan!” Shofwan Karim katanya
telah mengulang-ulang formula ini selama berkiprah
dalam Muhammadiyah.
Ada sedikit catatan tentang Shofwan Karim ini
dalam kaitannya dengan Muhammadiyah Sumatera
Barat. Tokoh ini punya komunikasi publik yang cukup
bagus. Bahasa Inggris lancar. Sudah berkali-kali
berkunjung ke luar negeri. Dosen tamu di Singapura, dan
sederetan kiprah yang lain. Sangat giat mendatangi
daerah, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah di
lingkungan P.W.M. Sumbar tidak asing baginya. Tetapi
231

mengapa dalam Musywil (Musyawarah Wilayah) bulan


Desember 2005 di Kota Sawahlunto, Shofwan tidak
termasuk dalam daftar calon 39, ketentuan yang hampir
baku di lingkungan persyarikatan. Dia terpental ke
nomor 43. Bagiku kejadian ini luar biasa. Mungkin baru
pertama kali terjadi di lingkungan Muhammadiyah, tidak
saja untuk Sumatera Barat, tetapi untuk Indonesia.
Kepada Dr. Yunahar Ilyas, salah seorang Ketua
P.P. Muhammadiyah pilihan Muktamar Malang Juli 2005
yang menghadiri Musywil itu, kejadian dramatis ini telah
kusampaikan. Dijawab, memang di luar dugaan,
kemudian Yunahar malah balik bertanya, apakah
kejadian ini positif atau negatif menurut pendapatku.
Tidak mudah kujawab, tetapi perlu dikaji agak mendalam
mengapa semuanya itu harus berlaku. Aku tidak tahu
bagaimana perasaan Shofwan sendiri. Aku hanya
berharap agar semuanya ini diterima dengan tenang
sambil berkaca diri, sebagaimana semua kita perlu
berkaca.
Dalam menghadapi kasus-kasus tertentu, anggota
Muhammadiyah di akar rumput sangat peka, terutama
bila bersentuhan dengan isu politik. Apakah karena
sikap-sikap politiknya, Shofwan tidak terpilih, aku tidak
bisa mengatakannya. Biarlah kejadian ini menjadi
pelajaran bagi semua kader Muhammadiyah, khususnya
untuk Sumatera Barat. Di balik itu semua pasti ada
hikmah yang dapat ditelusuri yang berguna bagi semua
pihak yang terlibat dan yang tak terlibat. Shofwan telah
cukup dewasa menghadapi kejadian seperti ini. Mungkin
lebih dari itu sudah pernah dialaminya. Tetapi betapa
pun juga, apa yang dialami Shofwan termasuk sesuatu
yang langka di lingkungan Muhammadiyah.
232

Jika perhatianku agak sedikit beralih ke Sumatera


Barat, bukan tanpa alasan. Bukankah aku dibesarkan
dalam lingkungan budaya Minang dengan pepatah-
petitihnya yang antara lain mengatakan: “Alun takilek
alah tabayang.” (Belum terkilat sudah terbayang). Kadang-
kadang orang Minang ini terlalu peka terhadap sesuatu
yang belum tentu diketahuinya secara lengkap.
Kesimpulan cepat diambil, tetapi belum tentu benar.
Apakah kasus tidak terpilihnya Shofwan berada dalam
kategori pepatah-petitih itu, sulit untuk mengatakannya.
Hubungannya denganku cukup akrab. Oleh sebab itu
aku terkejut dengan kejadian yang dialaminya. Tetapi
sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Ke depan orang
harus lebih hati-hati dalam memimpin Muhammadiyah,
jangan sampai berlaku gesekan yang tidak perlu, sebab
hanya akan melemahkan persyarikatan yang sama-sama
dicintai.
Jalan hidupku memang tidak pernah linear. Belum
sampai setahun aku aktif di P.P. Muhammadiyah, datang
pula tawaran dari Menteri Agama Munawir Sjadzali
untuk mengajar di Universitas McGill, Kanada, di bawah
program Lembaga Studi Islam antara 1993-1994. Aku
berangkat lagi bersama Lip, sekalipun ada perasaan
kurang enak dengan teman-teman Muhammadiyah.
Balum begitu lama pulang dari Malaysia, kini pergi pula
Kanada. Hubunganku dengan pak Munawir demikian
akrabnya. Jauh sebelum tawaran ke Kanada ini, melalui
jasa baik pak Munawir pula sebuah masjid Y.A.M.P.
(Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila) didirikan di
perumahan Nogotirto Elok Jogjakarta. Masjid ini
diresmikan pada 1989 oleh pak Munawir sendiri sebagai
wakil yayasan yang didirikan Presiden Soeharto itu.
233

Dana yayasan ini berasal potongan gaji pegawai


negeri yang beragama Islam setiap bulan, tidak terasa.
Kabarnya sudah hampir 1000 masjid yang didirikan
Y.A.M.P. ini sampai tahun 2005, sekalipun dana yang
masuk dari pegawai sudah dihentikan sejak turunnya
Soeharto. Sebenarnya gagasan ini cukup mulia, tetapi
karena bersifat serba Soeharto akhirnya dihentikan. Sulit
bangsa Indonesia berpikir dielektik. Seharusnya yang
baik dan positif diteruskan, sekalipun rezim telah
berganti, suasana telah berubah.
Selama dua semester aku memberi kuliah di McGill
tentang masalah-masalah keislaman, termasuk Islam di
Indonesia. Seperti perpustakaan-perpustakaan lain di
Barat, di McGill perpustakaannya hampir lengkap,
termasuk mengenai sumber-sumber Islam dalam
berbagai aspek dalam berbagai bahasa. Mahasiswa yang
mengambil kuliahku berasal dari berbagai negara: Iran,
Jepang, Mesir, Kanada, dan Indonesia. Ada beberapa
mahasiswa Iran alumni Qum yang mengambil kuliahku.
Pada saat berbicara tentang sunni dan syi’ah, biasanya
perdebatan menjadi ramai. Posisiku sudah kujelaskan
kepada mereka: tidak sunni tidak syi’ah, sebab kedua
aliran itu tidak lain dari pada produk sejarah dengan latar
belakang politik.
Dengan pengetahuanku tentang sejarah Islam agak
lumayan, sanggahan-sanggahan mahasiswa tidak terlalu
sulit untuk kujawab. Aku sudah lama tidak tertarik
dengan konsep-konsep ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, syi’ah,
salafiyah, dan lain-lain. Semuanya ini adalah produk
manusia pasca nabi yang dapat senantiasa dipertanyakan
dengan mengambil al-Qur’an sebagai hakim tertinggi,
sebagaimana telah kujelaskan sebelumnya. Aku
berkeyakinan bahwa tidak ada kusut yang tak dapat
234

diselesaikan, asal orang pergi ke pangkal: al-Qur’an yang


dipahami secara jujur, autentik, dan cerdas.
Jika al-Qur’an tidak lagi dapat menyelesaikan
masalah-masalah umat dan manusia pada umumnya,
maka ada dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama, kita tidak jujur kepada Kitab Suci ini,
akibatnya solusi fundamental tentang masalah-masalah
umat dan kemanusiaan sulit sekali ditemukan. Latar
belakang sosio-politik dan kultural sering menjadi
kendala untuk membiarkan al-Qur’an berbicara tentang
dirinya. Dengan kata lain, egoisme kultural dan
subjektivisme sejarah sering ditempatkan lebih tinggi dari
al-Qur’an, disadari atau tidak disadari. Ini merupakan
salah satu pangkal benang kusut itu.
Kedua, pendekatan yang serba parsial dan ad hoc
terhadap Kitab Suci ini telah melahirkan pandangan
dunia yang sempit, jauh dari filosofi rahmatan lil-‘alamin
(lih. surat al-Anbiya: 107). Selama bertugas di McGill aku
cukup banyak membaca. Modal Chicago telah
kukembangkan lebih jauh, sekalipun masih saja terasa
kurang. Kelemahanku terletak pada kenyataan bahwa
aku belum juga mampu menulis sebuah karya yang lebih
berbobot yang dapat menjelaskan secara lebih detil
lontaran-lontaran pendapat yang telah kusampaikan
selama 22 tahun terakhir. Sebagai alasan dapat saja
kukatakan bahwa kegiatan kemasyarakatanku telah
menyita waktu terlalu banyak untuk merenung dan
menulis secara lebih dalam, sistematis, dan Qur’ani.
Tetapi ini hanyalah sekadar alasan. Alasan yang
sebenarnya adalah bahwa kemampuanku untuk berkarya
yang lebih komprehensif tentang Islam dan kemanusiaan
tidaklah seperti yang diperkirakan orang. Aku ternyata
juga manusia lemah, sementara usia sudah lari dan lari
235

menuju perhentian terakhir. Entahlah, sampai di mana


nanti perjalanan intelektualku untuk memunculkan
karya-karya kreatif yang bermutu tinggi, aku pun tidak
bisa mengatakannya. Mungkin yang dapat kukerjakan
hanyalah menulis fragmen-fragmen, sedangkan gagasan
yang ada di belakangnya berkaitan dengan persoalan-
persoalan besar dan dahsyat yang memerlukan otak
besar yang tulus dan jujur, bukan otak-otak besar yang
culas dan curang.
Otakku adalah otak desa yang terlambat untuk
maju dan berkembang. Tetapi di atas itu semua, aku
wajib bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya
yang tak putus-putusnya kuterima. Kurnia itu mengalir
dan terus mengalir. Sebagai anak kampung yang
tersuruk, aku telah sempat menyelesaikan studi Islam
sampai ke ujung. Apakah aku kemudian dinilai
sementara orang menjadi semakin sekuler, liberal, atau
sebaliknya, kuserahkan sepenuhnya kepada yang menilai.
Penilaian terakhir, sepenuhnya di tangan Allah. Inilah
aku dengan segala kekurangan dan kelemahan yang
melekat pada diriku.

C. Kiprahku dalam Memimpin Muhammadiyah


Aku pulang dari Kanada bulan Maret 1994 setelah
mengajar selama dua semester dengan berbagai
pengalaman dan rezki yang telah kukumpulkan. Sewaktu
di Kanada inilah berita duka tentang wafatnya Prof. M.
Sanusi Latief pada 3 Maret 1994 dalam usia 66 tahun
disampaikan kepadaku. Aku tidak dapat berbuat apa-apa
kecuali berdo’a semoga amal-baktinya selama hidup
diterima di sisi Allah dan kemudian ditempatkan pada
tempat yang baik bersama orang-orang yang beramal
saleh selama hidup di dunia. Sanusi dimakamkan di
236

pekuburan Tunggul Hitam, tidak jauh dari bandara


Tabing, Padang. Pelopor pencerahan intelektual Sumpur
Kudus ini telah pergi untuk selama-lamanya dengan
meninggalkan tiga anak, dua puteri dan satu putera.
Ketiganya adalah sarjana dan sudah hijrah ke Jakarta
bersama pasangannya masing-masing. Anak bungsu
pasangan Sanusi-Salima (Salima berasal dari Bukittinggi)
Ahmad Hanif masih sering mengirimkan bantuan untuk
kepentingan kampung ayahnya. Seperti telah kuakui
dengan jujur bahwa tanpa Sanusi Latief, aku setamat dari
Mu’allimin Lintau entah akan ke mana melangkah, tidak
ada kepastian. Onga Sanusilah yang memberi kepastian
itu. Terima kasih ongaku. Engkau adalah guru besar
pertama dari Sumpur Kudus, dari suku Caniago lagi,
sukuku. Sekali-kali menyebut nama suku untuk maksud
baik tidak apa-apa, bukan?
Sesampainya di Indonesia aku kembali melakukan
kegiatan seperti sebelum berangkat: mengajar, menulis,
dan mengurus Muhammadiyah. Tetapi bulan Juni 1994,
musibah kedua terjadi lagi. Kalau Sanusi Latief bukan
bagian dari P.P. Muhammadiyah, musibah kedua ini
benar-benar menggoncangkan, yaitu wafatnya Ahmad
Azhar Basjir, Ketua P.P. Muhammadiyah sejak
Muktamar Jogjakarta 1990 dalam usia yang hampir
sebaya dengan Sanusi Latief. Muhammadiyah berduka
dalam, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh
seluruh warga persyarikatan modern itu. P.P.
Muhammadiyah segera mengadakan sidang untuk
memilih dan menetapkan siapa yang akan menggantikan
Pak Azhar sebagai Pejabat Ketua sebelum tanwir
menentukan yang definitif.
Tidak diragukan lagi bahwa bola kepemimpinan itu
pasti jatuh ke tangan tokoh enerjetik, intelektual,
237

alumnus Universitas Chicago Departemen Ilmu Politik


tahun 1980: Dr. Mohammad Amien Rais. Tokoh ini
sebelumnya telah menjabat sebagai salah seorang Wakil
Ketua P.P. Muhammadiyah era Azhar. Rais adalah
generasi ketiga dalam lingkungan keluarganya yang aktif
terlibat dalam Muhammadiyah, sedangkan aku adalah
generasi kedua. Aku tidak perlu berkecil hati dalam
urutan generasi ini. Kampung Kemasan (Solo), “tanah
air” Rais terlalu dekat dengan Jogja untuk dijamah
Muhammadiyah. Sedangkan Sumpur Kudus yang
lengang, “tanah airku,” nun tersuruk di lembah Bukit
Barisan di pulau Andalas. Untung saja Muhammadiyah
“tersesat” ke sana.
Sekiranya Muhammadiyah tidak merayap ke lembah
ini menjelang P.D. (Perang Dunia) II, boleh jadi aku
tidak akan melebihi nasib kebanyakan orang kampungku.
Paling-paling menjadi saudagar alit (kecil) tingkat
kecamatan. Itu pun sudah merupakan sebuah prestasi.
Tentu aku akan kenal dengan nama besar M. Amien Rais
dan Cak Nur (Nurcholish Madjid), anggota “mafia
Chicago,” melalui media cetak yang kadang-kadang
sampai juga ke kampungku dan melalui media elektronik
sambil mengaguminya dari jarak jauh sebagai idolaku.
Keduanya tidak mungkin mengenalku, dan untuk apa
pula. Tidak ada alasan sama sekali. Tetapi retak tangan
telah menentukan lain. Keduanya adalah sababatku,
sama-sama dari kelompok “mafia Chicago,” dengan
perbedaan-perbedaan kecil yang telah memperkaya
wawasan antar kami bertiga. Nurcholish telah berangkat
lebih duluan pada 29 Agustus 2005 untuk tidak kembali.
Aku hadir dan memberi sambutan di depan jenazahnya
yang padat dengan para takziah di aula Paramadina.
Hatiku hanya menangis melepas seorang sahabat
238

cendekiawan besar Indonesia. Bertahun-tahun aku


bergaul dengan Cak Nur, berbagai masalah kami
bicarakan. Banyak persamaan, di samping ada perbedaan
di sani-sini.
Adapun aku dan M. Amien Rais sudah sama-sama
“luluh” dalam Muhammadiyah dalam tempo yang
panjang. Benarlah Bung Haedar Nashir, sekretaris P.P.
di masaku dan salah seorang ketua P.P. pasca Muktamar
Malang bahwa M. Amien Rais dan aku tetap menjaga
kesetiaan yang utuh terhadap Muhammadiyah. Mudah-
mudahan penilaian itu benar-benar didukung oleh
kenyataan seterusnya. Siapakah aku tanpa
Muhammadiyah? Itulah salah satu pertanyaan sentral
yang perlu disampaikan. Jika aku mengeritik
Muhammadiyah, itu sama artinya dengan mengeritik diri
sendiri yang memang harus dilakukan terus menerus.
Tanpa kritik diri, proses kemunduran, jika bukan
pembusukan, akan berlaku dalam gerakan apa pun.
Di bawah nahkoda M. Amien Rais,
Muhammadiyah mulai dibawa ke tengah-tengah kisaran
politik bangsa yang semakin panas, tak menentu, tinggal
menanti momen yang tepat kapan berakhirnya sebuah
rezim. Gejala pembusukan kekuasaan otoritarian ini
sudah agak lama dilihat para pengamat. Bukankah dalam
Tanwir Surabaya tahun 1993, M. Amien Rais telah
melontarkan bola panas berupa perlunya suksesi
kepemimpinan nasional? Karena peserta tanwir
umumnya adalah mereka yang bersifat ‘amal-oriented
(beroriensi kepada kerja), terobosan M. Amien Rais jelas
menimbulkan kegoncangan yang membawa panik. Saya
rasa M. Amien Rais telah mengantisipasi suasana
semacam itu, tetapi tanwir dinilai sebagai forum strategis
untuk melontarkan sebuah gagasan penting yang
239

menyangkut nasib bangsa secara keseluruhan. M. Amien


Rais cukup piawai dalam membuat move-move
semacam ini.
Sudah dapat diperkirakan bahwa tanwir akhirnya
menolak gagasan itu, tentu bukan karena substansinya,
tetapi karena takut nasib yang akan menimpa
Muhammadiyah di tengah-tengah budaya politik yang
bertuan seorang itu. Ada peserta tanwir yang
mengatakan bahwa lontaran itu tidak sesuai dengan etika
Muhammadiyah, seperti dia saja yang paham etika
Muhammadiyah itu. Sewaktu gagasan itu dilontarkan
aku bersama Rusjdi Hamka berada di meja pimpinan.
Cukup panas suasana tanwir waktu itu. Tetapi dasar
orang Muhammadiyah yang rasional dan lugu, suasana
panas tidak membawa perpecahan. Paling-paling saling
menggerutu, setelah itu mendingin kembali. M. Amien
Rais sepanjang yang aku amati memang punya naluri
politik yang kuat. Ini berbeda denganku, mungkin karena
umur yang sudah semakin lanjut. Pekerjaan politik pasti
menuntut pengerahan energi yang lebih besar, sementara
energiku sudah berkurang ditelan usia.
Aku yang sudah muak dengan suasana politik
bangsa yang pengap mendukung lontaran M. Amien
Rais itu. Tetapi apalah artinya aku yang ketika itu kata
orang masih berada di bawah bayang-bayang Amien
Rais. Intelektualisme Fazkur Rahman yang sedikit
kuwarisi dari Chicago belum tentu selalu efektif bila
dihadapkan kepada realitas politik keras yang bergerak
dengan kencang sekali. M. Amien Rais tampaknya
meni’mati perubahan yang penuh risiko itu. Bukan saja
meni’mati, tetapi ingin memimpin dan mengarahkan
perubahan itu jika mungkin. Keinginan inilah kemudian
yang mengkristal dalam pencalonannya sebagai kandidat
240

presiden yang berpasangan dengan Siswono Yudo


Husodo dari sub-kultur nasionalis.
Pengalamanku dengan politik bangsa sangat
terlambat dimulai, dan itu pun lebih terbatas pada dunia
wacana. Sebagaimana telah kuakui bahwa usiaku tidak
memungkinkan lagi aku menerjuni dunia politik praktis,
sekalipun bakat untuk itu mungkin ada. Bukankah aku
sejak di Mu’allimin Jogja sudah turut berkampanye untuk
partai Masyumi pada pemilihan umum pertama tahun
1955? Dalam usia lanjut itu, dunia Muhammadiyah
tampaknya lebih nyaman dan sesuai untukku, sekalipun
tidak kurang pula banyak masalah yang harus dicarikan
jalan ke luar. Kadang-kadang bertele-tele juga. Tetapi
dibandingkan dengan iklim partai politik yang sarat
gesekan dan intrik, dunia Muhammadiyah terasa lebih
tenang dan damai. Bahwa sekali-sekali pimpinan harus
pukul meja, bukanlah pertanda buruk, tetapi hanyalah
sebuah dinamika dalam berorganisasi.
Kembali ke Surabaya. Sekalipun tanwir menolak
gagasan “gila” M. Amien Rais, gaungan pesannya terus
bergulir selama berbulan-bulan pasca tanwir. Koran-
koran terus saja mengulasnya. Maklumlah iklim politik
sejak awal tahun 1990-an itu sudah mulai dirasakan
pengap dan oleng. Puncaknya kemudian adalah turunnya
Soeharto sebagai presiden yang dijabatnya lebih dari tiga
dasa warsa. Nama M. Amien Rais sejak Tanwir 1993
semakin melambung tinggi di balantara perpolitikan
bangsa, sementara sebagian warga Muhammadiyah yang
tidak suka gejolak menjadi gamang dan cemas. Bahkan
tidak kurang sebagian anggota P.P. merasa kecut dengan
gagasan M. Amien Rais itu, tetapi mereka segan untuk
berterus terang.
241

Para peserta tanwir yang pegawai negeri, tidak saja


dari Sumatera Barat tetapi juga dari daerah lain,
umumnya menjadi resah dengan gagasan suksesi itu.
Namun cinta mereka terhadap M. Amien Rais tidak
pernah menyusut. Di sinilah dilema itu terletak. M.
Amien Rais dicintai, tetapi gagasannya menakutkan. Ada
istilah manis kemudian yang digunakan seorang
wartawan dalam melukiskan sosok M. Amien Rais
sebagai seorang “yang telah putus urat takutnya.”
Memang di saat-saat kritikal pada tahun-tahun terakhir
ORBA (Orde Baru), tidak ada di antara anak bangsa ini
yang melebihi keberanian M. Amien Rais dalam
mengeritik rezim. Ada pun kemudian setelah rezim
otoritarian itu tumbang, M. Amien Rais tidak berhasil
melakukan konsolidasi kekuatan penentang adalah
perkara lain yang belum saatnya direkamkan di sini.
Pada tahun 1994 itu Muhammadiyah mulai
disibukkan oleh persiapan muktamar yang akan diadakan
pertengahan tahun 1995 di Banda Aceh. Pak Azhar baru
saja wafat. Duka Muhammadiyah belum lagi hilang.
Untungnya M. Amien Rais yang telah tampil sebagai
tokoh utama bangsa mulai bergerak mencari dana
muktamar yang jumlahnya tidak kecil. Bagi M. Amien
Rais masalah dana ini ternyata tidaklah terlalu sulit untuk
dipecahkan. Jaringannya yang sudah cukup luas dengan
berbagai kalangan akan memudahkannya mendapat dana
itu. Tugasku waktu itu hanyalah membantu-bantu di
mana yang mungkin. B.J. Habibie sebagai wakil presiden
masa itu punya hubungan yang baik dengan M. Amien
Rais. Keduanya juga sebagai tokoh I.C.M.I. (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dibentuk pada
akhir 1990 sewaktu aku masih bertugas di Malaysia. Jadi
aku tidaklah termasuk salah seorang bidan I.C.M.I, tetapi
242

aku mendukungnya, dan bahkan kemudian menjadi salah


seorang penasehat di dalamnya.
Sekalipun masalah dana bukanlah masalah besar
bagi M. Amien Rais, ada persoalan politik yang cukup
pelik dan rawan yang harus dihadapi. Umum sudah tahu
bahwa sejak Tanwir Surabaya, Presiden Soeharto sudah
tidak bahagia melihat kiprah M. Amien Rais yang mulai
menghadapkan tombak berbisa kepada rezim yang
dipimpinnya. Gagasannya tentang suksesi kepemimpinan
nasional sungguh menyakitkan hatinya. Kultur politik
Jawa pedalaman yang semi feodal tidak boleh
diperlakukan secara “kurang ajar” itu. Itulah sebabnya
menjelang Muktamar Aceh (6-10Juli 1995), pihak istana
berusaha keras agar M. Amien Rais tidak terpilih menjadi
Ketua P.P. Muhammadiyah. Tetapi M. Amien Rais
sudah terlanjur sangat populer tidak saja di lingkungan
Muhammadiyah, di kalangan bangsa pun hampir tidak
ada yang tidak mengenalnya. Jika koran dan tv cukup
berjasa dalam menokohkan sosok ini, memang sudah
pada tempatnya, tidak berlebihan. Maka segala upaya
untuk membendungnya agar tidak terpilih dalam
muktamar adalah sebuah kesia-siaan. Tak ada gunanya.
Warga yang penakut pun akan memilih M. Amien Rais,
karena dialah pilihan yang paling tepat ketika itu.
Pada masa-masa genting itu hubunganku dengan
Rais sungguh dekat sekali, apalagi kedudukanku sebagai
salah seorang Wakil Ketua P.P. Muhammadiyah setelah
Pak Azhar wafat tahun 1994. Sekalipun usiaku sembilan
tahun lebih tua dari padanya, dalam menghadapi isu-isu
besar politik bangsa, posisiku tidak bisa dibandingkan
dengan M. Amien Rais. Aku kadang-kadang hanya
menasehatinya agar lebih bijak dan hati-hati dalam
melontarkan kritik, sekalipun belum tentu didengar dan
243

diperhatikannya. Di sini letaknya salah satu kelemahan


M. Amien Rais. Suasana semacam ini berlangsung terus
sampai satu ketika agak mendingin pada tahun-tahun
ketika mulai menghangatnya iklim pemilihan presiden
pada permulaan abad ke-21.
Kita tengok sebentar suasana menjelang Muktamar
Aceh tahun 1995 dan jalannya muktamar itu sendiri.
Ketegangan hubungan M. Amien Rais dan Soeharto
mewarnai dengan kental bulan-bulan menjelang
muktamar. Dalam rapat-rapat P.P. Muhammadiyah
bahkan muncul pendapat agar faktor Soeharto jangan
terlalu dipertimbangkan benar. Muhammadiyah bisa saja
melangsungkan muktamar tanpa dibuka presiden. Tetapi
yang lain berpendapat bahwa jika itu terjadi, apakah
bukan sebuah preseden yang kurang baik. Hubungan
Muhammadiyah dengan negara bisa jadi akan semakin
memburuk. Apalagi akar budaya oposisi tidaklah terlalu
kuat di kalangan warga Muhammadiyah. Masalah yang
memberati otak warga adalah nasib yang akan menimpa
amal-usaha persyarikatan yang tidak bisa dilepaskan
sepenuhnya dari lingkungan birokrasi pemerintah.
Kondisi semacam ini sangat mengganggu bagi
Muhammadiyah untuk bersikap terlalu tegas terhadap
penguasa. Aku rasa persasaan seperti ini wajar-wajar saja.
Tetapi rasa takut yang keterlaluan dapat mengurangi nilai
tauhid.
Jadi jika ada dari kalangan warga yang takut dengan
gerak M. Amien Rais, sesungguhnya berdasarkan
pertimbangan pragmatis saja: nasib amal-usaha yang
ribuan jumlahnya boleh jadi akan mengalami kesulitan,
seperti baru saja disinggung di atas. Muhammadiyah
belum bisa lepas sepenuhnya dari birokrasi
pemerintahan. Jika hubungan dengan pusat kekuasaan
244

memburuk, dampaknya akan dirasakan sampai jauh ke


pelosok tanah air, di mana amal-usaha Muhammaiyah
yang sudah bertebaran akan dihadapkan kepada “raja-
raja lokal” yang membebek ke Jakarta. Ada pengalaman
sejarah pahit yang dirasakan Muhammadiyah misalnya
terjadi pada waktu Masyumi dibubarkan Presiden
Soekarno akhir tahun 1960-an. Masyarakat luar ketika itu
susah sekali membedakan antara Masyumi dan
Muhammadiyah. Kasus yang hampir mirip mengenai
hubungan Muhammadiyah dengan politik juga berlaku
pada saat P.A.N. (Partai Amanat Nasional) dibentuk
pada Agustus 1998 dengan pimpinan tertingginya M.A.
Rais. Masalah ini akan aku berikan uraian khusus dan
sikap yang kuambil menghadapinya setelah aku menjadi
Ketua P.P. Muhammadiyah.
Pengalaman Muhammadiyah pada era 1960-an itu
benar-benar pahit. Warganya dihadapkan kepada situasi
yang sangat sulit dan rumit, karena tidak saja sebagai
salah satu pendiri partai itu, sekaligus menjadi anggota
istimewa Masyumi. Trauma masa lampau ini masih segar
dalam ingatan kalangan warga Muhammadiyah,
khususnya mereka yang sudah agak berumur. Politik itu
dirasakan sangat menyakitkan, sekalipun tidak bisa
dihindari. Pertimbangan inilah yang menjadi salah satu
alasan dalam Muktamar Ujung Pandang 1971 yang
memutuskan bahwa Muhammadiyah harus menjaga
jarak yang sama dengan semua kekuatan politik. Saran-
saran Kasman Singodmedjo dan A. Malik Ahmad telah
menjadi bahan pertimbangan penting oleh muktamar
menghadapi perkisaran angin yang semakin sulit
diperkirakan. Keputusan ini masih tetap dijadikan acuan
Muhammadiyah selanjutnya selama puluhan tahun,
sekalipun tidak selalu mudah dilaksanakan di lapangan.
245

Warga Muhammadiyah yang libido politiknya tinggi


amat sulit untuk tidak mengaitkan persyarikatan ini
dengan partai yang didukungnya. Kecenderungan ini
sebenarnya lebih menyangkut kepentingan pribadi
jangka pendek warga yang terlibat, sekalipun tidak diakui
terus terang. Muktamar 1971 yang telah memberi
kebebasan kepada setiap warga untuk menentukan
sendiri pilihan politiknya malah membuka peluang untuk
terperangkap ke dalam formula: “Seiring bersimpang
jalan.” Dengan demikian di lapangan ternyata sering
terjadi gesekan sesama warga, sekalipun tidak sampai
berdarah-darah seperti yang pernah dialami oleh warga
organisasi Islam lain yang tak perlu kutulis namanya di
sini. Dalam hal ini Muhammadiyah masih lebih dewasa
dan berlapang dada dibandingkan dengan yang lain.
Dalam berpolitik, tampaknya orang tidak boleh
memakai parameter yang serba idealis. Gesekan di
lapangan pasti terjadi, keras atau lunak. Jika itu yang
digunakan, maka dunia ini pasti terlihat gelap belaka,
Muhammadiyah dikatakan sudah hancur. Politik di mana
pun di muka bumi ini, pasti sarat dengan intrik dan
gesekan itu, tidak peduli siapa pelakunya, beragama atau
ateis. Ini fakta keras dalam sejarah. Yang membedakan
mereka yang beragama punya rujukan moral yang pasti.
Tergantung kemudian, apakah acuan moral itu dipakai
atau dibuang pada saat-saat kritikal. Jika dibuang, kita
akan sukar membedakan antara mereka yang percaya
kepada wahyu dengan mereka yang telah membebaskan
dirinya dari agama.
Warga Muhammadiyah sepanjang pengetahuanku
tidaklah ada yang terlalu larut dalam godaan kekuasaan.
Kalau pun ada, jumlahnya tentu sedikit sekali, dan akan
tersingkir dari persyarikatan, lambat atau cepat.
246

Muhammadiyah terlalu besar untuk hanya dijadikan kuda


tunggangan politik. Menurut tuturan R.B. Khatib Kayo,
Ketua P.W.M. Sumatera Barat sebagai hasil Musyawarah
Sawahlunto awal Desember 2005, dalam Muktamar
Ujung Pandang Kasman Singadimedjo pernah berkata:
“Muhammadiyah tidak boleh dijadikan onderbouw
(bawahan) atau oderdil partai politik,” sebuah penegasan
yang patut direnungkan. Kasman Singodimedjo yang
sudah kenyang dengan asam garam politik sejak zaman
penjajahan, paham betul apa yang sengaja dilontarkannya
secara terang-terangan itu, demi menjaga independensi
Muhammadiyah. Jika boleh kutambahkan: “Menjadikan
Muhammadiyah sebagai tangga untuk naik dalam
urusan-urusan duniawi, risikonya hanya satu: pasti
menyesal pada akhirnya karena telah berkhianat terhadap
kepribadian persyarikatan.”
Dengan bergulirnya waktu, Muktamar Aceh
semakin mendekat. Persiapan secara finansial, seperti
kukatakan, bukan masalah besar. Tetapi gesekan politik
antara M. Amien Rais dengan Soeharto harus dicermati
betul menjelang muktamar. Salah-salah langkah bisa
sangat menyulitkan. Apalagi di kalangan tokoh
Muhammadiyah ada satu dua yang Soehartois.
Muhammadiyah mau tidak mau harus menemui presiden
sebelum muktamar. Itu sudah menjadi adat tak tertulis
dalam budaya politik Indonesia sejak proklamasi. Akan
menjadi sangat lucu di mata publik jika P.P.
Muhammadiyah dalam pertemuan dengan presiden itu
tidak dipimpin oleh M. Amien Rais. Aku terus mengikuti
perkembangan ini dari jarak yang sangat dekat sejalan
dengan dekatnya hubunganku dengan M. Amien Rais.
Demikianlah beberapa bulan menjelang muktamar
P.P. Muhammadiyah lengkap pada suatu hari diterima
247

Presiden Soeharto di Istana Negara, dan dipimpin


langsung oleh ketuanya Mohammad Amien Rais. Anda
bisa membayangkan betapa “semaraknya” suasana ketika
itu. Aku melihat bibir M. Amien Rais selalu komat-
kamit, entah apa yang dibacanya, sebab akan berhadapan
dengan seorang penguasa yang kabarnya punya ilmu
kebatinan yang tangguh. M. Amien Rais yang sudah
terlatih dalam budaya tauhid Muhammadiyah tentu tidak
perlu terlalu risau, tetapi juga tidak boleh sombong.
Kami anggota P.P. yang lain berupaya bersikap biasa
saja, sebab tokh kita hanya akan berhadapan dengan
seorang anak manusia yang kebetulan jadi presiden,
mengaku Muhammadiyah lagi.
Setelah menunggu beberapa saat di ruang tamu,
kami semua dipanggil protokol untuk bertemu presiden
di tempat yang telah ditentukan. M. Amien Rais berjalan
paling depan menuju ruang pertemuan itu, kemudian
diikuti oleh yang lain. Perasaanku ketika itu tidak ada
gejolak yang berarti. Komandan pertemuan dari pihak
Muhammadiyah adalah M. Amien Rais, bukan aku. Jadi
tidak perlu persiapan mental yang serba ekstra dari
diriku. Apalagi aku yang sudah diajar Muhammadiyah
untuk tidak takut kepada sesuatu selain Allah, ingin tetap
bersikap sebagai manusia merdeka berhadapan dengan
siapa pun. Maka sejurus kemudian berlangsunglah
pembicaraan antara Rais dan Soeharto. M. Amien Rais
menjelaskan maksud kedatangan P.P. hari itu dengan
memohon kesediaan presiden membuka muktamar.
Permohonan lain (ini biasa kita lakukan) ialah minta
bantuan presiden untuk meringankan beban panitia
muktamar yang akan digelar dalam tempo dekat.
Seperti yang diharapkan dari awal, ternyata Presiden
Soeharto mengabulkan semua permohonan ini. Bantuan
248

akan diguyurkan setengah milyar, sekalipun yang sampai


kepada panitia kabarnya kurang dari jumlah itu. Bukan
karena keleledoran Soeharto, tetapi itulah wajah
birokrasi Indonesia sampai hari ini, suatu birokrasi yang
sarat dengan upeti. Maka sekarang bereslah segalanya.
Kendala politik telah teratasi. M. Amien Rais tak perlu
komat-kamit lagi. Missinya berhasil hampir tanpa
rintangan. Dengan iklim semacam ini, diharapkan
Muktamar Aceh akan berjalan mulus pada saatnya. Ilmu
kebatinan Soeharto luluh berhadapan dengan kekuatan
tauhid M. Amien Rais. Tetapi apakah semuanya sudah
mulus?
Benar, semua yang tampak di permukaan seakan-
akan tidak ada persoalan antara M. Amien Rais dengan
Soeharto, aman-aman saja, sekalipun kita tahu persis
pihak istana sudah sejak sekitar dua tahun menjadi gerah
karena sikap-sikap politik Ketua P.P. itu. Muatan politik
di lingkungan Muhammadiyah di bawah nakoda M.
Amien Rais memang terasa sekali. Tetapi semua ini
adalah pengalaman penting bagi persyarikatan untuk
memberi bobot tambahan yang lebih menyeluruh
terhadap missi da’wahnya dalam formula “amar ma’ruf
nahi munkar”. Adapun banyak rangkaian gerbong
persyarikatan belum tentu siap untuk mengangkut tugas
akibat perubahan orientasi yang radikal itu, adalah
persoalan adaptasi belaka, sekalipun dirasakan oleh
sebagian pimpinan tidak sederhana. M. Amien Rais terus
melaju dengan agenda-agendanya, baik dalam tanwir,
muktamar, maupun setelah terpilih jadi ketua dalam
muktamar.
Muktamar Aceh relatif berjalan tenang. Tetapi ada
sebuah catatan kaki yang tidak boleh dibiarkan berlalu
begitu saja dalam masalah “persaingan” kepemimpinan
249

yang segera akan muncul. Ada sementara kader


Muhammadiyah, a.l. Lukman Harun, Din Sjamsuddin,
Hajriyanto Y. Thohari, dan para pendukungnya yang
berupaya mengusung tokoh sepuh Jenderal H.S.
Prodjokusumo untuk dicalonkan menjadi Ketua P.P. di
medan muktamar. Tentang kesetiaan jenderal pensiun ini
terhadap Muhammadiyah, tak seorang pun yang
meragukan. Hampir seluruh hidupnya telah dibaktikan
untuk persyarikatan. Dia adalah menantu Muljadi
Djojomartono, tokoh penting Muhammadiyah sejak
zaman penjajahan sampai wafatnya. Selain itu Muljadi
sangat dekat dengan Presiden Soekarno. Bahkan pernah
menjadi menteri dalam kabinet di era itu. Karena sikap
politiknya yang sangat akomodatif, Muljadi sering dipuji
Bung Karno. Keduanya bahkan saling memuji.
Dengan adanya Muljadi dalam pemerintahan, posisi
Muhammadiyah menjadi sedikit aman, sekalipun
tudingan dari kekuatan kiri sebagai antek Masyumi tetap
saja berjalan. Muljadi pernah memimpin Masyumi Jawa
Tengah, tetapi sikap oposisi keras partai ini kepada rezim
Soekarno telah membuatnya memisahkan diri.
Hubungannya dengan Muhammadiyah tidaklah putus,
karena persyarikatan ini memang memerlukan payung
pelindung dari kekuasaan, demi kelangsungan amal-
usahanya yang sekian banyak. Inilah politik, kawan dan
lawan sering tidak berumur panjang. Tidak putusnya
hubungan Muhammadiyah dengan Muljadi semakin
memperkuat apa yang kukatakan di atas bahwa untuk
membangun sikap oposisi total terhadap penguasa,
betapa pun korup dan otoritariannya tidak selalu mudah
bagi Muhammadiyah.
Aku yang mengusung M. Amien Rais untuk
menjadi nahkoda, terpaksa sedikit bergesekan dengan
250

Lukman dan Din di arena muktamar. Ya, gesekan ala


Muhammadiyah, tidak menjurus kepada permusuhan
abadi. Jenderal Prodjo sebenarnya secara fisik sudah
kurang sehat, tetapi untuk membendung M. Amien Rais,
dicoba diusung juga. Dalam gesek menggesek ini, aku
mungkin telah bersikap kurang arif ketika itu. Telah ke
luar dari mulutku perkataan yang menyinggung perasaan
alm. Lukman, sahabat lamaku yang pernah sangat dekat
denganku sampai tahun 1993. Untuk itu aku mohon
dimaafkan. Aku akui pada tahun-tahun itu seakan-akan
ada formula ini: “Lawan Amien Rais seolah-olah telah
menjadi lawanku.” Begitu kokoh dan eratnya hubungan
itu. Tetapi bukan terhadap semua orang. M. Amien Rais
yang juga berseberang jalan dengan alm. Djazman al-
Kindi, persahabatanku dengan pendiri I.M.M. ini tetap
utuh, tak berubah, sampai dia wafat. Berbagai
pandangannya tentang M. Amien Rais sering
disampaikan kepadaku, padahal dia tahu bahwa aku
adalah teman M. Amien Rais.
Lukman dan M. Amien Rais memang sudah agak
lama bersilang jalan karena politik dan faktor lain. Begitu
juga antara Lukman dan Djazman yang sudah sejak lama
susah untuk berlayar dalam satu biduk. Pokoknya ada
yang lucu-lucu juga dalam Muhammadiyah, bukan?
Tetapi ada alasan lain mengapa aku tidak selalu sejalan
dengan Lukman, yaitu sikap politiknya yang mudah ganti
kendaraan. Dari Parmusi ke P.P.P. (ini masih nalar), lalu
terakhir bergabung dengan Golkar (Partai Golongan
Karya), kendaraan politik ORBA. Aku dalam persoalan
ini boleh dinilai sebagai “konservatif”, tetapi itulah
caraku memandang politik. Namun di atas itu semua,
Lukman adalah sahabatku dan juga sahabat M. Amien
Rais dalam Muhammadiyah.
251

Lukman, sang politikus, tidak kurang tajam


menyerangku sebagai seorang yang terlalu cepat naik ke
puncak, padahal tidak pernah menjadi pengurus ranting
atau cabang, katanya. Betul, aku tak pernah mengurus
ranting dan cabang secara langsung, tetapi sebagai
alumnus Madrasah Mu’allimin Lintau dan Jogjakarta, apa
sulitnya bagiku untuk mendaki ke puncak, kalau warga
menginginkan. Yang jelas aku tidak pernah membuat
rekayasa atau manuver dalam bentuk apa pun agar
dipilih dalam muktamar. Itu bukan watak dan tabiatku.
Semua orang Muhammadiyah paham ini. Bukanlah
caraku untuk bergerak ke atas dengan membentuk tim-
tim sukses agar menang, karena aku tahu secara diam-
diam warga Muhammadiyah telah menjadi tim suksesku
secara sukarela. Mungkin dari sisi inilah aku lebih baik
tidak memasuki partai politik yang selalu ramai dengan
tim-tim sukses yang saling berebut menjual barang
dagangannya dengan retorika yang kadang-kadang sangat
murahan.
Muktamar Aceh akhirnya dibuka Presiden
Soeharto. Biasa, Muhammadiyah dipuji. Tetapi ada yang
di luar kebiasaan. Di luar teks pidato, presiden berucap,
kira-kira a.l. berbunyi: “Tanpa tedeng aling-aling, aku
adalah bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi
Indonesia.” Mungkin tidak persis demikian, tetapi
intinya begitu. Hebat bukan? Pak Harto berpuisi.
Muktamar gaduh dalam kesenangan. Ada bibit yang
menjadi presiden. Berbulan-bulan setelah itu masih
banyak mulut Muhammadiyah yang mengulang-ulang
pujian itu. Ucapan inilah kemudian yang disebarkan
setelah dicetak bagus di berbagai daerah oleh warga
Muhammadiyah. Mereka merasa mendapatkan
252

perlindungan yang lebih kuat dalam situasi politik yang


serba bercorak “daulat tuanku” itu.
Bukan karena latah tentunya, tetapi bertujuan untuk
lebih mengamankan posisi Muhammadiyah di mata
penguasa setempat. Pejabat mana yang berani
berhadapan dengan Pak Harto sebagai bibit
Muhammadiyah, sekalipun di panggung bangsa dia
sedang dilawan oleh bibit yang lain. Jadi ada
“pertempuran” antara bibit dengan bibit. Menarik dan
menegangkan. Dalam perjalanan waktu beberapa tahun
kemudian, bibit pertama jatuh dari kekuasaan secara
dramatis, bibit yang kedua kalah dalam pemilihan
presiden Juli 2004 dengan segala kenangan yang
berwarna-warni. Inilah dunia, tetapi Muktamar Aceh
berjalan relatif lancar. M. Amien Rais terpilih dengan
suara terbanyak. Lukman pun setelah melalui
pemungutan suara ulangan di tanwir karena urutan
namanya berada di ujung, akhirnya masuk pula dalam
pencalonan, dan kemudian terpilih menjadi anggota P.P.
urutan nomor 10 setelah lima tahun ditinggalkannya
sejak Muktamar Jogja tahun 1990. Aku sendiri masuk
nomor tiga, selisih satu suara dengan Pak Sutrisno
Muhdam, yang berada pada urutan kedua, sebagaimana
akan terlihat dalam daftar di bawah.
Jika pada Muktamar Jogja, aku berada pada nomor
bontot kedua, di Aceh aku sedang bergerak ke pucuk
secara alamiah, sekalipun masih kurang layak di mata
Bung Lukman karena tidak pernah memimpin ranting
dan cabang. Bagiku, komentar-komentar model ini
adalah intermezo belaka sebagai bagian yang
memperkaya proses titik kisar di perjalanan hidupku.
Kalaulah sekarang Bung Lukman masih hidup, aku akan
mendatanginya untuk rekonsiliasi permanen. Tidak ada
253

gunanya melanggengkan formula “seiring bersimpang


jalan, serumah berlain rasa,” sekalipun dalam kenyataan
pergaulan manusia tidak selalu mudah, betapa pun
terdidiknya mereka.
Mukatamar Aceh telah memilih 13 anggota P.P.
Muhammadiyah dengan urutan suara sebagai berikut: M.
Amien Rais (1245), Sutrisno Muhdam (1048), Ahmad
Syafii Maarif (1047), A. Watik Pratiknya (886), A. Rosjad
Sholeh (874), Yahya A. Muhaimin (866), Ramli Thaha
(852), Asjmuni Abdurrahman (802), M. Muchlas Abror
(730), Lukman Harun (660), Anhar Burhanuddin (628),
Rusjdi Hamka (624), M. Sukriyanto (589). Pada waktu
pemungutan suara aku tidak memilih diri sendiri
sehingga yang kuperoleh kurang satu di bawah Sutrisno
Muhdam. Tetapi dibandingkan dengan Muktamar
Jogjakarta, aku telah melompati sembilan nama. Di
antara mereka ada yang sudah puluhan tahun mengurus
PP Muhammadiyah. Dari 13 nama itu, ditetapkan tujuh
anggota yang menjadi pengurus harian sebagai berikut:
Ketua: M. Amien Rais, Wakil Ketua: Sutrisno Muhdam,
Wakil Ketua: Ahmad Syafii Maarif, Sekretaris: A. Rosjad
Sholeh, Sekretaris: M. Muchlas Abror, Bendahara: Anhar
Burhanuddin, Bendahara: M. Sukriyanto A.R.
Sebenarnya salah satu alasan mengapa muktamar
diadakan di Aceh adalah untuk menunjukkan kepada
dunia bahwa propinsi itu cukup aman. Muktamar
Muhammadiyah adalah di antara test-case-nya. Memang
selama muktamar berlangsung, hampir tidak ada
gangguan yang berarti, sebab pengamanan sangat ketat.
Tetapi pada tahun 1995 itu, situasi yang sebenarnya di
lapangan adalah bahwa Aceh jauh dari aman. Peluru dari
G.A.M. dan T.N.I. masih saling menyalak. Korban
sesama anak bangsa tetap saja berjatuhan tanpa henti.
254

Dari sisi ini, muktamar di kawasan tak aman itu adalah


sebuah keberanian yang luar biasa. Apakah pernah
Muhammadiyah tidak berani? Berani yang dibungkus
dalam kesopanan sering dibaca orang sebagai pengecut
dalam kemasan berani. Terserah sajalah segala penilaian
itu. Sikap Muhammadiyah memang lentur berhadapan
dengan fluktuasi politik karena mengingat kondisi
lapangan seperti tersebut di atas. Di atas itu semua,
Muhammadiyah adalah gerakan da’wah, bukan partai.
Ingat ketua panitia lokal adalah seorang jenderal
Angkatan Darat yang sekaligus ketua Golkar propinsi
Aceh. Ini saja sudah menunjukkan bahwa pengamanan
muktamar harus ekstra ketat. Amat disesali, beberapa
tahun yang lalu jenderal ini ditembak mati oleh kekuatan
gelap tidak jauh dari masjid raya Baiturrahman, Banda
Aceh. Tentu tragedi maut ini tidak ada hubungannya
dengan peran Jenderal Djohan dalam penyelenggaraan
Muktamar Muhammadiyah ke-43 di ibu kota propinsi
bergolak itu. T. Djohan telah bekerja maksimal untuk
mensukseskan Muktamar Aceh, dan karena itu
Muhammadiyah berutang budi kepadanya.
Alasan lain berupa harapan agar muktamar itu akan
dapat memberi suntikan dan dorongan kepada warga
Muhammadiyah setempat untuk bangkit dalam kerangka
sebuah Indonesia yang utuh. Di mata kebanyakan warga
Muhammadiyah, opsi merdeka untuk Aceh tidak
realistik, tetapi diakui bahwa Jakarta telah
memperlakukan propinsi secara tidak adil selama
bertahun-tahun, sebagaimana terbaca dalam puisi yang
kutulis sembilan tahun pasca muktamar pada saat Aceh
dihantam gempa dan tsunami dahsyat pada 26
Desember 2004.
255

Itulah bagian-bagian human interest dari panggung


Muktamar Aceh yang digelar dengan meriah, dibuka
oleh bibit, dan ketua terpilih kemudian juga seorang bibit
lain yang lebih autentik sedang berseberangan jalan
dengan bibit pertama. Sebagai pencinta Aceh, beberapa
hari pasca tsunami, aku menulis puisi historis untuk
menunjukkan duka yang teramat dalam pada bait-bait
berikut:
Aceh: Mengapa Harus Dihukum?
Aceh,
bumimu mengandung kekayaan
minyak, emas, tembaga, kayu, dan mungkin yang lain.
Sebagian telah dikuras
untuk engkau berikan kepada Indonesia
secara paksa atau suka rela.
Sementara engkau sendiri
Menderita dan menjerit,
Sampai hari ini.

Aceh,
dari sisi sejarah,
engkau adalah bumi pahlawan,
laki-laki dan perempuan.
Mereka telah menyerahkan segala yang terbaik
untuk membela kehormatan dan martabat manusia,
sebagai wujud dari harga diri
untuk melawan si kafe dan kezaliman.

Aceh,
juga dari sisi sejarah,
engkau adalah wilayah
yang tersingkat dijajah Belanda.
Perang Aceh berakhir pada 1912.
Sejak itulah engkau resmi dijajah,
tapi hanya 30 tahun.
256

Pada 1942 si kafe pontang-panting dihalau Jepang,


Tanahmu lepas dari Belanda.

Aceh,
di masa revolusi kemerdekaan,
engkau kembali menunjukkan keperkasaanmu,
karena engkau pantang dijajah,
Belanda sangat takut kepadamu.
Engkau bela republik dengan darah,
engkau sumbang Indonesia dengan harta
untuk beli pesawat, demi kemerdekaan
yang telah engkau perjuangkan
dalam rentang waktu berbilang musim.

Aceh,
pada tahun 1950-an,
engkau berontak
karena merasakan dilecehkan Jakarta.
Perang saudara berlangsung
selama beberapa tahun,
dengan meninggalkan korban dan dendam,
untuk kemudian berdamai.
Tapi tidak bertahan lama,
engkau kembali melawan,
dengan sisa-sisa kekuatanmu yang terpecah dan
terbelah.
Sebagian besar rakyatmu
ingin tetap bersama Indonesia,
karena engkau turut mendirikannya,
sekalipun telah dianiaya.

Aceh,
perang saudara belum usai,
luka-luka tubuhmu
masih memancarkan darah segar.
Tanpa dinyana, tanpa ada tanda-tanda,
257

alam tiba-tiba mengamuk dengan garang.


Akibat gesekan lempeng bumi,
lahirlah gempa dan tsunami
yang meluluhlantakkan tubu dan jiwamu,
sebagian wilayahmu menjadi rata dengan bumi.
Sekitar 200.000 rakyatmu menjadi mayat
sebagai syuhada’,
berserakan di mana-mana,
akibat kemurkaan alam.
Indonesia meratap tanpa air mata,
karena sudah kering.
Dunia berduka dan terluka, perih sekali!
Sebuah pertanyaan
tetap saja tak terjawab:
mengapa Aceh harus dihukum?
Bukankah ia telah berkorban dan berkorban
untuk kepentingan Indonesia?
Sebuah rahasia
yang belum dibukakan Langit
kepada kita semua.
Allahu ‘alam!

Jogja, 1 Jan. 2005

Puisi ini dimuat pertama kali sebagai “Resonansi”


dalam harian Republika, 4 Januari 2005, halaman 12,
kemudian dimuat lagi dalam kumpulan tulisanku,
Menerobos Kemelut: Refleksi Cendekiawan Muslim, dengan
penyunting Hery Sucipto, Anton Syafriuni, dan Husni
Amriyanto Putra. Jakarta: Grafindo, 2005, hlm. 131-132.
Itulah Aceh, Tanah Pahlawan, Tanah Rencong, tempat
Muktamar Muhammadiyah ke-43 digelar dengan meriah,
sembilan tahun sebelum diserang gempa dan tsunami
yang menyebabkan kita semua bertanya: mengapa Aceh
258

harus dihukum? Sebuah pertanyaan yang tak mungkin


dijawab manusia. Allah maha tahu segala akibat perkara.
Melalui perundingan Helshinki 10 tahun kemudian
antara Jakarta dan G.A.M. (Gerakan Aceh Merdeka)
pada Agustus 2005, akhirnya Bumi Rencong berdamai
sudah, darah sudah tak tertumpah lagi, sesuatu yang
lama kurindukan agar menjadi kenyataan. Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden telah diberi tugas oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah berbuat maksimal
untuk merampungkan tragedi Aceh, dan alhamdulillah
berhasil. Selamat Bumi Rencong, selamat Indonesia.
Yang berlalu, biarlah berlalu, jangan diulang lagi. Luka-
luka sengketa sesama anak bangsa lambat laun akan
sembuh secara alamiah. Mari kita saling memaafkan.
Jakarta harus lebih arif menghadapi daerah yang terlalu
lama dianaktirikan sebagai ciri utama dari politik
sentralistik a-moral yang dipraktikkan sekian lama.
Sebagai warga Muhammadiyah aku harus berterima
kasih kepada Bumi Rencong yang telah menjaga jalannya
Muktamar Aceh 1995 dengan aman, damai, dan berhasil,
sekalipun saat itu belum ada perdamaian antara Jakarta
dan G.A.M.. Peluru masih mendesing di mana-mana,
tidak terkecuali di Banda Aceh. Peranan Jenderal Tengku
Djohan sebagai ketua panitia lokal muktamar sangat
penting dan menentukan keberhasilan perhelatan
Muhammadiyah itu. Amat disayangkan beberapa waktu
kemudian jenderal yang berjasa ini telah ditembak mati
oleh kekuatan gelap di Banda Aceh, seperti tersebut di
atas. Semoga arwahnya diterima Allah dan ditempatkan
pada tempat terhormat sesuai dengan amal-baktinya
semasa hidup di dunia. Maka adalah sebuah rahmat
Allah, muktamar bisa berlangsung tanpa gangguan di
bumi sengketa tahun 1995 itu. Tentu dengan
259

pengamanan ekstra ketat dari aparat di bawah


pengarahan Jenderal Djohan, dibantu oleh bagian
keamanan Muhammadiyah. Imam Syuja’ adalah Ketua
Wilayah Muhammadiyah saat muktamar berlangsung
dan masih dijabatnya sampai tahun 2005. Syuja’
kemudian menjadi politikus sebagai anggota parlemen di
Jakarta dari P.A.N.
Di Jakarta aku sendiri juga turut membicarakan
penyelesaian masalah Aceh ini bersama Ali Alatas,
Surjadi Sudirdja, Ali Yafie, Nurcholish Madjid, di
samping teman-teman Aceh yang tinggal di Jakarta.
Tsunami memang merupakan kiamat kecil, tetapi di
balik itu ada saja segi positifnya, yaitu terwujudnya
perdamaian setelah perang saudara bertahun-tahun,
karena masing-masing pihak, Jakarta dan G.A.M.,
semula sama-sama keras kepala. Jakarta selalu saja
memandang Aceh dari kaca mata negara kesatuan,
sementara G.A.M. menuntut keadilan. Benturan antara
dua kutup ini harus dibayar dengan harga mahal sekali.
Kembali ke Muhammadiyah. Posisi M. Amien Rais
setelah Muktamar Aceh semakin kokoh. Segera disusun
pengurus lengkap P.P., aku ditempatkan sebagai salah
seorang wakil ketua di samping Sutrisno Muhdam. Di
bawah komandan Rais P.P. yang baru dipilih ini segera
menyusun pengurus lengkap, disusul oleh majelis, badan,
dan lembaga. Ada sebuah perkembangan baru pada
Majelis Tarjih dengan tambahan tugasnya menjadi
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Untuk ketuanya aku usulkan Dr. M. Amin Abdullah dari
Fakultas Ushuluddin I.A.I.N. Sunankalijaga, bukan dari
Fakultas Syari’ah seperti biasanya. Usul ini disetujui rapat
pimpinan.
260

Dengan Amin Abdullah diharapkan majelis ini


tidak hanya membicarakan masalah-masalah hukum
agama, tetapi juga akan meluas ke kawasan pemikiran
Islam, sesuai dengan nama baru yang disandangnya. Di
bawah kepemimpinan Abdullah, majelis ini telah
melakukan terobosan-terobosan, di antaranya melalui
diterbitkannya buku Tafsir Tamatik yang cukup penting.
Tetapi kekuatan konservatif dalam Muhammadiyah
ternyata tidak menyukai buku ini, karena dinilai telah
berangkat terlalu jauh dalam penafsiran al-Qur’an.
Majelis Tarjih sekalipun diprotes, buku ini tetap saja
beredar sampai sekarang. Bagiku munculnya buku ini
sangat strategis dalam upaya memberikan dimensi
intelektual kepada warga yang selama ini terasa lemah
sekali.
Aku menyayangkan bahwa sesuatu yang tidak
terlalu elok telah berlaku belakangan. P.P.
Muhammadiyah hasil Muktamar Malang 2005 mengubah
lagi nama Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan
Tajdid. Rupanya di kalangan sebagian warga
persyarikatan istilah pengembangan pemikiran dinilai
berbahaya bagi Muhammadiyah. Dikhawatirkan berbagai
aliran pemikiran akan merambat ke dalam lingkungan
warga, sementara tidak semua mereka memiliki saringan
yang kuat. Dari sudut pandangan ini mungkin benar.
Tetapi mengapa tidak dipertimbangkan dari dimensi lain
untuk merangsang kegiatan intelektual di kalangan
warga. Pemikiran di dunia ini tidak pernah statis, juga di
bumi Muslim.
Bagiku kekhawatiran ini berlebihan, sebab salah
satu akibatnya adalah otak-otak cerdas dan kreatif tetapi
tetap beriman akan merasa sesak nafas dalam lingkungan
Muhammadiyah. Ini akan sangat merugikan warga jika
261

Muhammadiyah memang punya keinginan untuk juga


tampil sebagai gerakan ilmu, suatu gagasan yang sudah
kulontarkan sejak tahun 1985. Kepada anak-anak muda
yang gelisah terhadap gejala konservatisme ini, aku selalu
mengingatkan agar mereka jangan sampai hengkang dari
Muhammadiyah, karena berbahaya bagi kemajuan
berpikir. Sebab bila hal itu terjadi, Muhammadiyah akan
lengang dari otak-otak kreatif di tengah-tengah
gelombang pertarungan pemikiran yang semakin sengit
dan dahsyat. Pertanyaan yang muncul dalam hatiku
adalah: apa sebenarnya yang dicemaskan terhadap
pemikiran baru yang lebih segar selama masih dikawal
oleh koridor Kitab Suci?
Apa yang ditakutkan, sementara al-Qur’an sendiri
telah menantang manusia untuk beriman atau tidak
beriman dengan risikonya masing-masing. Selama
sebagian warga Muhammadiyah hanya berkutat di
lingkungan yang sempit, selama itu pulalah mereka tidak
akan kenal cara berpikir pihak lain. Pendiri
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, sepanjang
pengetahuanku adalah sosok yang tidak pernah gamang
berhadapan dengan siapa saja. Bahkan dia bergaul kaum
komunis, Kristen, dan siapa saja. Mengapa kemudian
sebagian warga Muhammadiyah tidak percaya diri?
Jawabannya hanya tunggal: kurang bacaan! Inilah salah
satu sebab mengapa Muhammadiyah dinilai sebagian
pengamat sebagai gerakan yang gersang dari kerja-kerja
intelektual, sekalipun dengan perkembangan terakhir
penilaian semacam itu sudah tidak benar. Belakangan
anak-anak muda persyarikatan telah tampil ke
gelanggang intektualisme Indonesia. Mari sama kita ikuti
apakah mereka akan menjadi semakin sekuler, liberal,
atau semakin beriman.
262

Bagiku konservatisme dan sekularisme dalam


kenyataan tidak banyak bedanya. Pendukung kekuatan
pertama seperti sangat beriman, tetapi agama tidak
disentuhkan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang
semakin akut dari tahun ke tahun akibat perubahan
sosial yang kencang. Mereka tidak punya poin lagi yang
dapat ditawarkan untuk mengarahkan perubahan itu
sebagaimana dituntut oleh wahyu. Sebaliknya kaum
sekuler hanya mau menempuh jalan pintas saja dengan
membuang secara kasar apa saja yang berbau agama dan
nilai-nilai kenabian sebagai sumber satu-satunya dari
keamanan ontologi. Beberapa tulisanku yang sudah
diterbitkan banyak menyinggung persoalan-persoalan
fundamental yang tengah dihadapi dunia modern yang
sekuler-ateistik, di samping menyoroti dunia Muslim
yang tak berdaya. Ia dikepung oleh berbagai kekuatan
yang saling bersaing karena potensi bahan bakar yang
tersimpan di buminya.

D. Keruntuhan Rezim, Habibie, Muhammadiyah, dan Aku


Dengan sub judul ini, bukanlah maksudku untuk
menunjukkan bahwa aku orang penting. Sama sekali
tidak, sebab menonjolkan diri bukanlah watakku. Semua
teman tahu. Yang hendak kututurkan pada bagian ini
adalah bahwa dengan kejatuhan ORBA yang dipimpin
oleh “bibit” Muhammadiyah, getaran kuatnya sangat
dirasakan oleh warga persyarikatan, berkat M. Amien
Rais. Sedangkan aku sebagai sebuah skrup kecil dalam
Muhammadiyah juga sangat diusik oleh getaran itu.
Dengan keterangan ini, aku berharap tidak ada yang
salah tafsir terhadap judul bagian ini.
Aku adalah anak kampung, dan tetap anak
kampung. Adapun pikiranku telah menerawang jauh
263

memasuki berbagai arus peradaban, itu adalah karena


Muhammadiyah telah mengajarku untuk menjadi
manusia merdeka yang berani. Tidak ada yang perlu
ditakuti kecuali Yang Tunggal. Jadi mohon dimaklumi
anak didik Muhammadiyah ini telah memilih jalan seperti
itu secara sadar. Dengan keterangan ini, tuduhan-
tuduhan yang sering dialamatkan kepadaku sebagai
orang sekuler didikan Barat, biarlah sejarah pada
akhirnya yang akan memberi keputusan tentang siapa
yang sekuler sesungguhnya. Aku tak peduli lagi.
Apa yang digulirkan M. Amien Rais sejak 1993
akan perlunya sebuah suksesi kekuasaan di Indonesia
setelah rentang waktu lima tahun akhirnya menjadi
kenyataan. Dipicu oleh krisis moneter pada 1997 yang
semula menghantam Thailand, dalam tempo hanya
beberapa bulan Indonesia diterjangnya dengan pukulan
yang lebih dahsyat. Jaminan seorang menteri keuangan
yang menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu cemas
dengan krisis yang melanda adalah jaminan yang rapuh.
Tidak punya dasar. Dikatakan bahwa fundamental
ekonomi Indonesia cukup kuat ternyata tidak didukung
oleh data empirik. Presiden Soeharto gelagapan. I.M.F.
(International Monetary Fund) segera menawarkan “jasa
baiknya” kepada pemerintah. Dalam keadaan bingung,
tawaran itu diterima. Maka jadilah Indonesia kemudian
masuk dalam perangkap kapitalisme yang bernama
I.M.F. itu. Akan ke luar, susahnya bukan main, sebab
Indonesia sudah dalam tawanannya. Resep terus
diberikan, tetapi tak satu pun yang mujarab. Akhirnya
Presiden Soeharto yang “bibit” ini menyerah. Berbeda
dengan sikap yang diambil pemerintah Indonesia yang
membungkuk kepada I.M.F., Mahathir Mohamad dari
Malaysia justeru melawan badan keuangan dunia yang
264

dikuasai Amerika ini. Pernyataan Mahathir di bawah ini


menjelaskan dengan sangat terang siapa I.M.F. itu.
Dengan ekonomi yang compang-camping,
pemerintah harus meminjam dari I.M.F., tetapi
pinjaman itu hanyalah akan diberikan jika
pemerintah menyerahkan manajemen ekonomi
kepada I.M.F. dan mengizinkan para bangsawan
kulit putih asing untuk mengambil bank-bank dan
perusahaan-perusahaan lokal yang lagi jatuh
nilainya. (Lih. Mahathir Mohamad, Globalisation and
the New Realities. Subang Jaya: Pelanduk
Publications, 2202, hlm. 15).
Dalam perspektif ini Mahathir adalah pahlawan, penjaga
kedaulatan ekonomi negaranya.
Aku yang tidak begitu paham masalah keuangan,
campur tangan asing yang terlalu jauh terhadap masalah
domestik suatu negara tidak lain dari pada bentuk neo-
imperialisme yang berlagak dermawan, tetapi tetap
menghisap darah orang yang sedang sekarat. Indonesia
ketika itu adalah salah satu negara yang nafasnya sedang
kembang-kempis. Amat disesalkan para ekonom ORBA
telah kehilangan kapekaan patriotiknya dengan
menyerahkan leher bangsa RI kepada I.M.F. untuk
dibantai. Malaysia yang jumlah penduduknya hanya
sepersepuluh Indonesia ternyata masih punya harga diri
untuk menjaga kedaulatannya sebagai negara merdeka.
Ekor dari kebijakan ekonomi yang memalukan ini masih
cukup panjang untuk diselesaikan Indonesia yang lagi
kepayahan itu. Mahathir bahkan mengatakan bahwa
I.M.F. dan badan-badan keuangan dunia lainnya sebagai
predators (pemangsa), suatu penegasan yang berani sekali.
(Lih. ibid., hlm. 122).
265

Pada tanggal 21 Mei 1998, hari naas bagi Soeharto


berlakulah sudah. Dia menyerahkan kekuasaannya
kepada B.J. Habibie yang sedang menjabat Wakil
Presiden ketika itu. Muhammadiyah di bawah nahkoda
M. Amien Rais sangat pro-aktif dalam menggumuli
perubahan cepat yang sedang terjadi antara tanggal 19-21
Mei itu. Aku ingat betul pada tanggal 19 Mei M. Amien
Rais memintaku segera ke Jakarta untuk membantunya
membaca peta perkembangan politik. Sebagai wakil
ketua aku segera terbang, tetapi penglihatanku terhadap
apa yang sedang terjadi tidak cukup tajam. M. Amien
Rais bukan main sibuknya. Mondar-mandir antara
Gedung Muhammadiyah Menteng Raya dengan
kediaman Dirjen Bimbaga Islam A. Malik Fadjar di Jalan
Indramayu. Fadjar adalah Rektor Universitas
Muhammadiyah Malang merangkap Universitas
Muhammadiyah Surakarta sebelum diangkat menjadi
dirjen.
Dalam situasi yang sangat kritikal itu, karena faktor
M. Amien Raislah Muhammadiyah secara tidak langsung
telah terlibat dalam pusaran politik bangsa dalam
bilangan bulan. Yang aku gagal memahami adalah sikap
M. Amien Rais yang terlalu kritikal terhadap Habibie
setelah beberapa bulan menjadi presiden. Dua tokoh
yang semula begitu akrab, karena berdasarkan kalkulasi
politik masing-masing, hubungannya dari hari ke hari
semakin memburuk dan renggang. Aku sangat
menyayangkan mengapa hal itu harus terjadi. Komukasi
antar keduanya mulai tidak lancar sebagai pertanda
bahwa kongsi mereka telah hampir buyar. Hubunganku
dengan M. Amien Rais pada waktu itu masih terjaga
baik, sekalipun beberapa catatan kaki telah kumiliki.
266

Pada waktu Habibie membentuk kabinet, peran M.


Amien Rais cukup besar untuk membantu teman-teman
yang punya selera politik tinggi. Masuknya Adi Sasono
dan Malik Fadjar menjadi menteri tidak lepas dari peran
M. Amien Rais. Aku masih ingat betul sewaktu Adi
Sasono datang menemui M. Amien Rais di P.P.
Muhammadiyah agar ia benar-benar diperjuangkan
menjadi menteri koperasi dalam kabinet. Aku hanya
membantu di sana-sini bila diperlukan. Adapun
kemudian setelah Adi jadi menteri, sikapnya semakin
dingin terhadap M. Amien Rais adalah sesuatu yang
aneh. Saya rasa M. Amien Rais tidak mengaharapkan
apa-apa dari Adi, kecuali hubungan baik. Maka semakin
mengertilah aku bahwa kekuasaan itu sering
membutakan dan memekakkan manusia. Aku banyak
belajar pada tahun-tahun transisi yang menegangkan itu.
Malik Fadjar tetap menjaga hubungan baik dengan
banyak orang, termasuk dengan M. Amien Rais,
sekalipun belakangan mengalami fluktuasi yang agak
dramatis.
Sebagai seorang tokoh yang punya hubungan
international luas, terutama dengan Eropa, tidak sulit
bagi Habibie mengajak negara-negara lain untuk
membangun kembali Indonesia yang sedang terpuruk.
Inflasi yang telah mencapai titik puncak yang sangat
berbahaya, secara berangsur tetapi pasti ditekan
demikian rupa. Habibie berhasil. Rupiah yang terjun
bebas berhadapan dengan dolar Amerika berbanding
1:15 ($1=Rp. 15.000) dalam beberapa bulan turun
menjadi 1: 6,7). Ini prestasi yang luar biasa dari seorang
presiden untuk menolong sebuah negeri yang sedang
sekarat. Kran demokrasi dibukanya untuk memenuhi
267

tuntutan masyarakat, khususnya kaum elit dan para


mahasiswa.
Pada 22 Mei 1998 Habibie membentuk kabinet
yang diberi nama K.R.P. (Kabinet Reformasi
Pembangunan). Aku yang sedikit tahu tentang proses
pembentukan kabinet ini pada 24 Mei menulis sebuah
tanggapan yang dimuat dalam Harian Republika tanggal 3
Juni 1998, hlm. 6. Untuk mengingat kembali apa yang
kukatakan tentang proses itu, di bawah ini direkamkan
lagi secara lengkap pendapat itu:
Minggu ketiga bulan Mei 1998 benar-benar
merupakan hari-hari bersejarah yang sangat kritikal.
Krisis politik sedang berada di puncaknya dan
Indonesia tengah memasuki babak baru dalam
sejarah nasionalnya setelah sebelumnya ratusan
anak bangsa mati tertembak dan terbakar sebagai
tumbal reformasi yang dipekikkan mahasiswa
Indonesia yang perkasa. Orde Baru yang
disimbolkan mantan Presiden Soeharto telah
tumbang sewaktu beliau menyerahkan
kekuasaannya pada 21 Mei kepada wakilnya B.J.
Habibie yang kemudian dilantik menjadi presiden
R.I. yang ketiga. Pada 22 Mei Presiden Habibie
mengumumkan nama-nama menteri kabinet baru
dengan nama KRP (Kabinet Reformasi
Pembangunan) menggantikan Kabinet Reformasi
yang hanya berusia dua bulan lebih sedikit, umur
kabinet terpendek sepanjang sejarah Orba. Jika
KRP gagal mengatasi krisis dalam tempo yang
singkat boleh jadi akan bernasib sama dengan
kabinet yang digantikannya. Ini tantangan terberat
bagi Habibie, apalagi kabinet ini adalah kabinet
gado-gado. Di dalamnya berkumpul kekuatan
268

reformasi dan kekuatan anti-reformasi. Habibie


tampaknya tidak cukup punya daya untuk
membentuk kabinet yang sepenuhnya pro-
reformasi. Ini dilema terbesar baginya.
Keterkaitannya dengan mantan Presiden Soeharto
selama lebih seperempat abad menyulitkan dirinya
untuk mengambil posisi yang tegas dan mantap.

Sekiranya Habibie berani banting stir setelah


mendapat pelimpahan kekuasaan dengan membentuk
sebuah kabinet reformis, posisinya secara moral dan
politik akan jauh lebih kuat. Tetapi politik tidak semudah
yang kita bayangkan. Atau mungkin juga Habibie
memang tidak punya asisten reformis yang piawai yang
siap memberikan masukan kepadanya secara pas dan
demi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Sebagian
asistennya barangkali lebih banyak memikirkan posisi
birokrasinya masing-masing tinimbang didorong oleh
pertimbangan kepentingan bangsa. Menurut A.H.
Nasution, salah satu kelemahan Habibie adalah tidak
pernah selektif dalam memilih pembantu. Seharusnya
menurut saran saya, dua syarat perlu dipenuhi oleh para
asisten: loyal tetapi kritikal. Bahwa Habibie seorang jujur,
lugu, dan selalu punya sangka baik kepada setiap
manusia, tak seorang pun yang meragukan. Di sinilah
terletak kekuatan dan sekaligus kelemahannya. Dan sifat
semacam inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-
orang “dekatnya” untuk menggunting dalam lipatan.
Pemungutan suara dalam DPR baru-baru ini
tentang proses penurunan presiden adalah salah satu
bukti tentang apa yang kita gambarkan di atas. Dengan
perbandingan suara 229 lawan 175, DPR akhirnya
sepakat hanya menurunkan Soeharto bukan dalam satu
269

paket dengan Habibie. Siapa pelopor kekuatan yang


meraih suara 175 yang ingin menurunkan Soeharto dan
Habibie dalam satu paket? Tidak lain adalah adik “teman
dekat” Habibie yang kini masih bercokol dalam kabinet.
Keluguan Habibie telah dimanfaatkan orang dengan cara
yang tidak bermoral.
Untuk menghadapi masa transisi yang sangat
kritikal ini saya menyarankan agar Presiden Habibie
secepatnya mengangkat tim penasehat presiden yang
piawai, punya watak negarawan, dengan kriteria di atas:
loyal tetapi kritikal. Dengan cara ini diharapkan Habibie
akan dapat memutuskan sesuatu kebijakan secara tepat,
bijak, dan efektif. Jumlah penasehat itu cukup lima atau
tujuh orang saja. Tim penasehat ini harus punya on-line
setiap saat dengan presiden. Habibie benar-benar
berlomba dengan waktu.
Itulah analisisku tentang perkembangan politik
dalam masa transisi yang gaduh. Para oportunis tentu
akan terus kasak-kusuk untuk melihat peluang bagi
dirinya dalam pemerintahan. Bukankah masuk kabinet
dirindukan oleh banyak anak bangsa?
Dalam pada itu antara bulan Mei dan Agustus 1998,
juga terjadi proses dinamika internal yang cepat dalam
Muhammadiyah. Lagi-lagi faktor Amien Rais sebagai
penyebab utamanya. Anggota P.P. yang lain umumnya
lebih banyak mengikuti, adakalanya dengan perasaan
khawatir. Lukman yang belum juga akur dengan Amien
Rais dan aku, kadang-kadang juga memunculkan riak-
riak yang agak mengganggu, tetapi diabaikan saja, sebab
pengaruhnya di Muhammadiyah sudah jauh merosot.
Seperti sudah kukatakan sahabat yang satu ini tidak
masuk dalam Kabinet Muhammadiyah dalam Muktamar
Jogjakarta tahun 1990 karena sikap-sikap politiknya yang
270

dinilai kurang pas di mata warga persyarikatan. Sampai


jatuhnya Orba, Lukman masih bagian dari Golkar,
kendaraan politik Soeharto selama ini. Untuk
menentukan sikap P.P. menghadapi perkembangan
politik bangsa setelah Soeharto jatuh atau menjatuhkan
diri dan Habibie telah jadi presiden, diadakanlah rapat
pleno P.P. pada bulan Mei itu bertempat di Rumah Sakit
Islam Cempaka Putih dengan agenda tunggal, yaitu
bagaimana menyikapi perkembangan politik yang sedang
hangat.
Setelah berdiskusi agak lama, sebagian besar
anggota P.P. menginginkan Amien Rais agar mundur
dari politik agar dapat sepenuhnya berkonsentrasi
mengurus Muhammadiyah. Tokh tugas utamanya
menjatuhkan rezim telah rampung. Aku dan Dr. Watik
berpendapat lain. Amien Rais harus maju terus dalam
perjuangannya untuk memperbaiki kondisi bangsa yang
sedang rusak. Kalau mandi, jangan kepalang basah.
Amien Rais jelas sangat setuju dengan pendapat ini,
karena aku tahu betul naluri politiknya sangat kuat,
sebagaimana yang telah kusebut sebelumnya. Seandainya
rapat tidak menyetujui langkah Amien Rais untuk terus
maju ke pentas politik, saya rasa seorang diri pun dia
akan bergerak. Tokh pendukungnya sudah semakin
meluas. Dengan kata lain, teman-teman PP yang lain
tampaknya kurang menyadari kenyataan psikologis
seorang petanding politik yang mau naik ring ini.
Dukungan kuatku dan Watik terhadap Amien Rais
tentu sedikit banyaknya akan meringankan perasaannya
dalam mengambil langkah-langkah strategis selanjutnya.
Pada waktu itu aku benar-benar mendorongnya untuk
bergerak tidak kepalang tanggung. Siapa tahu dengan
majunya Amien Rais ke gelanggang politik, dia akan
271

berbuat banyak untuk kepentingan bangsa ini secara


keseluruhan. Jelas di sini aku juga punya naluri politik,
tetapi tidak sekuat Amien Rais. Pada waktu itu aku
menyadari bahwa pengaruhku mulai dirasakan dalam
lingkungan Muhammadiyah. Dalam rapat di atas P.P.
tidak diadakan pemungutan suara untuk melepas Amien
Rais ke medan yang lebih luas, karena memang di situ
habitat yang tepat baginya. Adapun kemudian gagal
mencapai puncak tertinggi, itu adalah karena garis tangan
yang belum mengizinkan.
Persoalan belum selesai dengan keputusan rapat
P.P. itu. Perlu langkah-langkah selanjutnya untuk
merumuskan sikap yang lebih pasti tentang bentuk
langkah Amien Rais itu. Pikiran inilah kemudian yang
“memaksa” P.P. untuk mengadakan Rapat Pleno yang
diperluas di Semarang bulan berikutnya dengan
mengundang P.W.M. (Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah) se Indonesia. Ramai sekali yang hadir.
Warga Muhamadiyah yang selera politiknya juga
mencuat, seperti A.M. Fatwa, juga tidak ketinggalan
hadir dalam pertemuan itu, bahkan turut bersuara
memberi masukan kepada peserta. Fatwa, mantan
tahanan politik ORBA, akhirnya cita-citanya tercapai
juga untuk menjadi seorang pemain politik kelas bantam
di Indonesia. Yang lain juga mengikuti, sekalipun tidak
banyak kemudian yang tetap setia kepada
Muhammadiyah, rumah tangga asli mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba. Rais diberi mandat penuh
untuk merumuskan langkah-langkah politiknya untuk
kepentingan bangsa dan Muhammadiyah. Tetapi ada
masalah yang sedikit pelik. Sekiranya langkah Rais itu
mengarah kepada pembentukan partai baru, lalu siapa
yang akan menjadi ketuanya? Aku sejak awal sudah
272

menentukan pilihan agar Rais yang tetap maju, bukan


yang lain. Entah dipengaruhi siapa, Rais sendiri semula
agak ragu-ragu. Anehnya dia menyebut aku yang akan
menjadi ketua partai baru itu. Akibatnya wartawan mulai
menguntitku. Biasa, jawabanku lugu. Politik bukan
duniaku. Biarlah orang yang berbakat yang harus
memikul tugas politik itu. Selesai rapat aku hengkang ke
Jogja sebagai isyarat kuat untuk tidak mau terlibat dalam
permainan politik, karena energiku lebih baik digunakan
untuk yang lain. Tokh peminat politik di kalangan
Muhammadiyah cukup tersedia, untuk maksud baik atau
sebaliknya.
Antara Juni-Agustus 1998, Rais dan pendukungnya,
termasuk aku, mulai sibuk melobi ke sana-sini dalam
upaya mencari format yang pas bagi kendaraan politik
yang akan dibentuk itu. Di ujung upaya, maka berdirilah
P.A.N. (Partai Amanat Nasional) pada 20 Agustus 1998
yang dideklarasikan di Jakarta dengan Ketua Umumnya
Mohammad Amien Rais. Lalu bagiamana posisinya
sebagai Ketua P.P. Muhammadiyah? P.P. bertindak
cepat, tidak boleh terlambat. Rapat Pleno yang diperluas
diadakan lagi pada 22 Agustus 1998, bertempat di kantor
P.P. Muhammadiyah Jakarta. Acara pokoknya tunggal
lagi: siapa yang akan menggantikan Rais sebagai Pejabat
Ketua P.P. Muhammadiyah sampai Sidang Tanwir
berikutnya.
Amien Rais dan sebagian besar peserta memilihku
untuk tampil, kecuali sahabatku K.H. Djamaluddin
Amin, Ketua P.W.M. Sulawesi Selatan yang bersikukuh
agar Amien Rais tetap merangkap sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah selain memimpin partai. Ini luar biasa
memang. Fanatiknya kepada Amien Rais sudah berada di
luar nalar, tetapi kuhargai seperti biasa, tanpa merasa
273

tersinggung sedikit pun. Sampai hari ini, persahabatanku


dengan kyai ini tetap utuh, sekalipun aku pernah
menasehatinya agar tidak turut bermain di arena politik
praktis. Nasehat ini mungkin didengarnya, tetapi kondisi
Muhammadiyah setempat mengharuskannya memimpin
P.A.N. tingkat wilayah. Maka jadilah Djamaluddin Amin
mulai dikenal sebagai tokoh politik di samping tokoh
Muhammadiyah. Mungkin semula dia berharap agar
Amien Rais juga begitu, tetapi teman yang terakhir ini
lebih arif dalam memposisikan diri. Aku kemudian
belum sempat bertanya lagi kepada kiyai Sulawesi ini,
apakah dia merasa lebih bermanfaat di politik atau tetap
mengurus Muhammadiyah yang telah digelutinya selama
puluhan tahun.
Setelah bola mulai terpegang di tanganku sebagai
pejabat ketua P.P., aku semula merasa agak gamang juga.
Alasannya sederhana saja. Aku menggantikan posisi
seorang yang sedang berada di atas angin. Namanya
disebut di mana-mana. Semua wartawan berduyun-
duyun mengejarnya, tidak peduli ke tempat yang
tersembunyi sekalipun. Ini tidak mengherankan, karena
debut politiknya secara lebih mengarah sudah dimulai
sejak Tanwir Surabaya. Inilah sosok yang aku gantikan.
Repot bukan? Memang repot! Salah-salah melangkah,
aku akan tenggelam. Muhammadiyah juga akan kurang
diperhitungkan orang. Tidak seperti di bawah
kepemimpinan Amien Rais yang telah membawa
Muhammadiyah bersinar terang, sekalipun bukan tanpa
masalah di lapangan. Mungkin kritik Lukman Harun
kepadaku ada unsur kebenarannya. Aku tidak terlatih
menjadi orang pertama, bahkan tidak di tingkat ranting
atau cabang. Sekarang tahu-tahu sudah berada di pucuk
pimpinan Muhammadiyah, orang Minang kedua sesudah
274

A.R. Sutan Mansur. Tokoh piawai inilah yang batinnya


ditaklukkan Dahlan untuk menceburkan diri ke dalam
Muhammadiyah. Dan panggilan batin itu dilakukannya
dengan sepenuh hati. Tokoh inilah yang senantiasa
mengarahkan Hamka untuk tetap istiqamah dalam
hidup. Tokoh ini pulalah dulu yang sering menasehati
Soekarno agar pandai-pandai menjaga amanah
kekuasaan. Aku bukanlah sosok yang sepiawai itu.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah
Muhammadiyah merosot di bawah kepemimpinanku,
biarlah orang banyak yang menjawab.Tanyalah tokoh-
tokoh N.U., K.W.I., P.G.I., Budha, Hindu, cendekiawan,
budayawan, warga Muhammadiyah, pejabat, politisi,
militer, dunia kampus, atau siapa saja. Merekalah yang
punya otoritas untuk menentukan citra publik dalam
menilai kepemimpinanku. Bukan aku. Tetapi harus
kuakui, setelah ditetapkan menjadi ketua definitif sampai
muktamar berikutnya dalam Sidang Tanwir Bandung,
Des. 1998, selama setahun aku harus belajar banyak
tentang bagaimana sebaiknya aku melangkah. Kata
orang, selama setahun pertama aku masih berada di
bawah bayang-bayang Amien Rais. Bagiku hal ini baik
saja, sebab masih ada bayang-bayang yang melindungi
bukan?
Tahun 1998 itu ada lagi perkembangan lain yang
menyangkut diriku. Orang kantor Akbar Tanjung,
sekneg (Sekretaris Negara) ketika itu, bulan Mei
mengontak Lip (karena aku tidak berada di tempat)
untuk menanyakan apakah aku bersedia menjadi anggota
D.P.A. (Dewan Pertimbangan Agung). Lip menjawab:
“Saya tidak tahu, tanyakan langsung saja nanti.”
Sebelumnya tidak ada pembicaraan apa-apa tentang
masalah ini, tetapi orang seumurku mungkin memang
275

dinilai cocok sebagai penasehat presiden. Apakah


presiden mau dinasehati atau sebaliknya, bukanlah
urusan D.P.A.. Pada 11 Juni 1998 aku dilantik bersama
anggota D.P.A. yang lain, termasuk Sutrisno Muhdam,
juga dari Muhammadiyah.
Lebih lima tahun aku menjadi anggota D.P.A.,
berhadapan dengan tiga presiden bertutut-turut: B.J.
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
Kemudian pada akhir tahun 2003, D.P.A. dilikuidasi
karena M.P.R. menganggapnya tidak diperlukan lagi.
Aku diberi hak pensiun sebagai anggota D.P.A. pada
tahun itu juga. Dengan bergabung ke dalam dewan yang
terdiri dari mereka yang umumnya sudah berumur lanjut,
aku seakan-akan memasuki sekolah baru dalam politik
secara langsung. Aku mulai belajar bagaimana caranya
merumuskan sebuah pertimbangan dan pernyataan yang
padat dan mengenai sasaran yang tepat, tetapi dibungkus
dalam kemasan bahasa yang sopan. Para mantan
menteri, mantan jenderal, mantan anggota parlemen,
mantan sekretaris jenderal, politisi, dan mantan-matan
petinggi lainnya. Sebagai seorang yang sudah agak melek
politik, aku tidak merasa canggung bergabung dengan
mereka. Pengetahuanku tentang sejarah Indonesia sangat
membantu tugasku sebagai anggota dewan.
D.P.A. selama periodeku bukan main aktifnya
membuat berbagai pertimbangan dan saran untuk
disampaikan kepada presiden. Entah berapa ribu
halaman kertas yang telah digunakan untuk tujuan itu.
Dari pengamatanku, memang tidak banyak dari
pertimbangan dan saran itu yang dipakai rujukan oleh
presiden, kecuali oleh B.J. Habibie yang kebetulan punya
hubungan baik dengan Ketua D.P.A., baik A.A.
Baramuli, maupun Achmad Tirtosoediro. Itulah
276

sebabnya barangkali ada orang yang membaca D.P.A.


sebagai Dewan Pensiunan Agung, karena dinilai kurang
efektif dan banyak diisi oleh para pensiunan, baik sipil
maupun militer. Sewaktu aku masuk D.P.A., umurku
sudah menginjak 63 tahun, sedangkan Tirtosudiro dan
Sulasikin Moerpratomo, agak jauh di atasku.
Bagiku apa pun kata orang, aku sungguh banyak
belajar dari anggota-anggota lain yang sudah kenyang
dengan pengalaman dalam menangani berbagai masalah
bangsa dan negara ini. Semua anggota D.P.A. secara
berangsur telah menjadi teman baikku, tanpa kecuali.
Apakah itu jenderal, marsekal, politisi, kiyai, tokoh
masyarakat, mereka terlalu baik denganku. Sampai hari
ini yang selalu saja berkomunikasi denganku adalah
Jenderal Marinir Gafur Chalik. Melalui Gafur, aku
banyak dikenal di kalangan korps marinir, bahkan
pernah memberikan makalah di depan para elitnya di
Jakarta bersama Profesor Joewono Soedarsono, menteri
pertahanan dalam kabinet SBY-Kalla. Di samping
banyak belajar pada teman-teman anggota,
penghasilanku dengan sendirinya juga meningkat. Ini
juga meringankan P.P. Muhammadiyah untuk tidak
selalu memikirkan ongkos perjalananku sebaagi ketua.
Sambil mengurus Muhammadiyah di Jakarta, aku
hampir saban minggu bolak-balik Jogja-Jakarta-Jogja
untuk menghadiri sidang-sidang D.P.A. Aku mendaftar
sebagai anggota Komisi Politik sampai saat-saat terakhir.
Dengan demikian aku punya dua kantor di Jakarta, satu
di Mentang Raya untuk Muhamadiyah dan di Jalan
Veteran, dekat istana presiden, untuk D.P.A. Sutrisno
Muhdam, Wakil Ketua P.P. Muhammadiyah, di samping
A. Rosjad Saleh setelah Amien Rais mundur, tidak
sampai rampung menjalankan tugasnya sebagai anggota
277

D.P.A. karena wafat setelah sakit beberapa lama.


Hubunganku dengan Muhdam manis sekali, karena
pribadinya selalu kalem dan tulus. Aku tidak tahu,
apakah dirinya bagian dari Muhammadiyah atau
Muhammadiyah bagian dari dirinya. Begitu menyatunya
hubungan itu.
Muhdam adalah menantu A.R. Fachruddin, ketua
P.P. yang terlama, penuh kharisma. Aku sungguh banyak
belajar dengan Pak A.R. Rasa humornya tinggi. Satu
ketika aku bertanya: “Pak A.R. banyak merokok bukan?”
Jawabannya pendek, cepat, segar, dan sedikit
menggelikan. “Tidak, hanya satu-satu.” Mana pula orang
memasukkan rokok dua sekaligus ke mulutnya. Itulah
gaya Pak A.R., mertua Muhdam. Semoga Allah
menerima semua amal-bakti mereka yang tulus selama
hidup. Muhammadiyah kehilangan dengan kepergian
mereka, dan semua kita pasti akan menyusul pula. Hanya
soal waktu. Kepemimpinan Pak A.R. dikenal oleh warga
sebagai sesuatu yang teduh dan sejuk, alon-alon asal
kelakon (pelan tetapi dilaksanakan), biar lambat asal
selamat. Amien Rais dan aku mungkin agak berbeda,
cepat selamat. Apakah kemudian Muhammadiyah benar-
benar selamat, biarlah publik yang menilai.
Setelah aku membicangkan sedikit tentang D.P.A.,
sekarang kusambungkan lagi dengan masalah langkah
Habibie dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.
Catatanku tentang ini adalah sebagai berikut. Tidak
diragukan lagi bahwa presiden ketiga ini punya niat luhur
untuk memulihkan kedaulatan rakyat sesuai dengan
konstitusi yang selama ini diabaikan oleh sistem “daulat
tuanku”, sebagaimana telah kusinggung lebih dari sekali
sebelumnya. Karena upaya beraninya ini, aku pernah
menyebut Habibie sebagai Bapak Demokrasi Kedua
278

sesudah Hatta. Seluruh dunia memujinya. Tetapi ada


catatan lanjutannya.
Karena Indonesia sedang berada dalam proses
transisi kritikal dari rezim sebelumnya yang anti-
demokrasi ke era demokrasi, pemerintah tampaknya
cukup khawatir kalau tidak cepat-cepat memenuhi
tuntutan masyarakat yang ingin berubah spontan. Kran
demokrasi dibukanya terlalu lebar, sehingga yang
berjalan bukan demokrasi yang sehat dan
bertanggungjawab, tetapi ultra-demokrasi yang penuh
eforia. Keadaan sukar sekali dikontrol, masyarakat
menjadi liar. Situasi ini dimanfaatkan kaum elit yang
berseberangan dengan Habibie untuk menangguk di air
keruh. Amien Rais juga turut mengeritik Habibie dengan
keras, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya.
Tampak di sini Amien Rais juga kurang sabar dalam
membaca peta persoalan yang sedang berkembang.
Dalam menghadapi Habibie, aku tidak selalu bisa
mengikuti Amien Rais. Mengapa Habibie tidak diberi
waktu yang cukup untuk membuktikan kemampuannya
sebagai negarawan. Bahwa Habibie pernah sangat dekat
dengan Soeharto, semua orang tahu. Tetapi setelah
teraju kekuasaan tergenggam di tangannya, apakah
Habibie masih Soehartois? Ternyata ‘kan tidak. Kran
demokrasi yang dibukanya adalah bukti telanjang bahwa
dia telah mengoreksi secara tegas pendahulunya. Inilah
yang kurang diapresiasi para elit, termasuk Amien Rais.
Dalam situasi serba dilematis ini, Habibie memang
telah melangkah terlalu jauh dengan mengizinkan
penyelesaian masalah Timtim (Timor Timur) melalui
referendum. Pemerintah mendapat data dan informasi
yang keliru tentang Timtim ini ketika itu. Informasi itu
mengatakan bahwa hampir 80% rakyat pasti akan
279

berpihak kepada Indonesia. Setelah referendum


diadakan, hasilnya adalah kebalikan 100% dari perkiraan
pemerintah itu. Hanya sekitar 22,5% rakyat Timtim yang
ingin tetap bergabung dengan Republik Indonesia. Aku
tidak tahu siapa penasehat politik Habibie yang telah
memberikan data tidak akurat ini tentang Timtim.
Kondisi semacam ini jelas fatal bagi Habibie,
sekalipun sebenarnya jika dilihat dari sejarah
penggabungan Timtim itu, langkah pemerintah cukup
antisipatif. Dengan kata lain, pengambilalihan Timtim
telah lama dituduh sebagian orang sebagai langkah
imperialistik dari Indonesia. Aku rasa tuduhan itu tidak
berlebihan. Apa hak politik kita untuk mengambil secara
paksa tanah orang lain yang dulu tidak merupakan
bagian dari Hindia Belanda? Satu-satunya alasan adalah
karena dikhawatirkan Timtim akan menjadi sebuah
negara marxis setelah ditinggal Portugis. Soeharto
memang dikenal dunia sebagai seorang piawai dalam
menghancurkan komunisme.
Yang patut dicatat adalah Amerika Serikat yang
biasanya sangat peka dalam masalah invasi suatu negara
terhadap bangsa lain, kali ini malah mendukung
pemerintah Soeharto, bahkan sering dipuji oleh I.M.F.
dan Bank Dunia. Politik memang sarat dengan
kepentingan pragmatis. Amerika Serikat yang masih
takut dengan marxisme/komunisme malah merasa
sangat senang dengan invasi Indonesia ini, sekalipun itu
bertentangan dengan hukum internasional. Tetapi apa
pula urusan Amerika dengan hukum internasional segala
jika invasi itu menguntungkan politik luar negerinya
yang anti komunis? Itu perkara kecil baginya. Tetapi
penyerbuannya terhadap Afghanistan dan Iraq belum
280

lama ini tidak ada perkataan lain yang tepat ditembakkan


kepadanya kecuali tindakan biadab.
Habibie jelas salah hitung dengan Timtim. Kritik
terhadapnya semakin merebak, Abdurrahman Wahid
tidak ketinggalan menghantamnya. Suara keras Wahid
dan Amien Rais sungguh telah semakin melemahkan
posisi Habibie. Orang melihat pemimpin dua organisasi
besar Islam: N.U. dan Muhammadiyah tidak lagi
mendukung Habibie. Padahal aku tahu bahwa warga
kedua organisasi itu belum tentu sepakat dengan
pemimpinnya. Tetapi siapa pula yang akan
mempertimbangkan suara silent majority (mayoritas yang
diam) dalam sebuah sistem demokrasi yang belum sehat?
Inilah tragedi Habibie yang memang agak terlambat
mengenal watak bangsanya sendiri. Terlalu lama berada
di rantau asing: Jerman.
Ringkas kaji, Sidang M.P.R. digelar untuk
“mengadili” Habibie terhadap langkah-langkah
politiknya yang dinilai merugikan, sekalipun ekonomi
bangsa telah diperbaikinya. Power politics (politik
kekuasaan) begitu dominan menguasai pendapat para
politisi yang tidak berpikir jauh. Seperti sudah
diperkirakan oleh banyak pengamat bahwa M.P.R. akan
menolak pertanggungjawaban Habibie, dan ternyata
memang itulah yang terjadi. Golkar sendiri tidak
sungguh-sungguh mempertahankan Habibie. Tidak
selang lama setelah sidang, Salahuddin Wahid dan aku
menemui Habibie di kediamannya di Patra Kuningan.
Kami menanyakan kepadanya apakah masih akan maju
sebagai calon presiden setelah tidak didukung oleh suara
mayoritas dalam M.P.R. Jawaban yang kami dapat adalah
jawaban seorang negarawan bahwa dia sebagai kesatria
tidak akan maju lagi, sekalipun tidak ada aturan
281

konstitusi yang melarangnya. Aku dan Salahuddin hanya


terpaku dan kagum atas sikap yang diambilnya. Habibie
sangat tahu diri dan menghormati keputusan M.P.R.,
sekalipun telah membidik dirinya sendiri. Sebuah teladan
demokrasi yang baik dalam praktik telah diwariskan
Habibie kepada bangsanya. Masa kekuasaan Habibie
hanya 17 bulan, tetapi dia telah berbuat banyak untuk
kepentingan Indonesia yang sedang menghadapi masa-
masa sulit sebagai warisan dari masa sebelumnya. Krisis
moneter adalah penyebab utama mengapa Presiden
Soeharto harus meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998
itu.
Sekalipun aku tidak sependapat dengan Amien Rais
dalam menilai Habibie, persahabatan kami tidaklah
rusak. Kejatuhan Habibie telah membuat politisi bangsa
menjadi sangat sibuk, termasuk Amien Rais. Pertanyaan
yang hendak dicari jawabannya adalah: siapa pengganti
Habibie? Amien Rais sebagai tokoh gerakan reformasi
pada saat-saat kritikal itu tetap menjadi sorotan publik.
Aku senantiasa mengamatinya dari dekat, apalagi pada
waktu itu sudah menjadi Pejabat Ketua P.P.
Muhammadiyah yang harus sedikit banyaknya tahu
situasi yang sedang berkembang. Aku beruntung karena
bersahabat dengan Amien Rais yang selalu bergerak dari
satu tempat ke tempat lain, tidak peduli siang atau
malam. Seolah-olah rasa lelah tidak pernah singgah di
otaknya. Maklumlah, politik adalah habitat yang
sebenarnya baginya. Disiplin ilmunya pun, baik pada saat
belajar di Universitas Gadjah Mada, di Indiana, mau pun
di Universitas Chicago adalah ilmu politik.
Ada perkembangan yang agak sulit rumit untuk
dipahami. Muncul gagasan Poros Tengah yang kabarnya
berasal dari Dr. Fuad Bawazir, penasehat dan salah
282

seorang penyandang dana Amien Rais dalam politik.


Tetapi sewaktu kuajukan pertanyaan kepada Bawazir
tentang siapa pencetus gagasan Poros Tengah,
jawabannya adalah: “Jujur saja, gagasan Poros Tengah
lahir dari suatu proses perenungan dan diskusi-diskusi
yang diadakan segera setelah Pemilu 1999 di mana
partai-partai Islam kalah dari P.D.I.P. dan Golkar.
Intinya dari tokoh-tokoh P.A.N., P.K.S., dan P.P.P.
Dengan membentuk Poros Tengah, maka mereka
(P.A.N., P.K.S., P.P.P.) merasa sejajar dengan P.D.I.P.
dan Golkar.” (SMS 26 Januari 2006 jam 22.49/51. Tata
tulis disesuaikan dengan EBJ). Poros inilah yang
mengusung Abdurrahman Wahid untuk menjadi
presiden pengganti Habibie. Amien Rais cukup
bersemangat mendukung pemimpin N.U. ini untuk
ditandingkan dengan Megawati dari P.D.I.P. dalam
Sidang M.P.R. Amien Rais sendiri baru saja dipilih
menjadi ketua M.P.R. mengalahkan Matori Abdul Djalil
dari P.K.B. (Partai Kebangkitan Bangsa).
Wahid sesungguhnya bukanlah orang yang tepat
untuk menjadi presiden mengingat fisiknya yang
bermasalah. Tetapi di mata Poros Tengah dari pada
memilih Megawati biarlah Wahid yang tampil. Wahid
yang sebelumnya dinilai sebagian orang sebagai tokoh
pluralis dan kulturalis, sebenarnya punya naluri politik
yang tinggi. Sekalipun N.U. yang dipimpinnya telah
kembali ke khittah 1926 pada Muktamar N.U. 1984 di
Situbondo, tokoh-tokohnya rupanya sangat sulit
berpisah dengan politik praktis, termasuk Wahid. Inilah
dilema N.U. yang tidak mudah diatasi. Sejak N.U. keluar
dari Masyumi pada tahun 1952 dan mengubah dirinya
menjadi partai politik, gagasan kembali ke khittah selalu
dihadapkan kepada realitas lapangan yang bertolak
283

belakang dengan harapan itu. Sementara itu


Muhammadiyah relatif lebih aman, sekalipun beberapa
kadernya juga punya selera politik tinggi.
Kalau kemudian orang bertanya mengapa bukan
Amien Rais yang diusung jadi presiden? Agak berbelit
cerita tentang ini. Aku mengikuti kejadian ini dari jarak
yang agak dekat, sekalipun aku sendiri bukan bagian dari
partai. Sebenarnya dalam pertemuan di rumah Habibie
pada tanggal 21 Oktober 1999 subuh, semua yang hadir
mengarahkan mata mereka kepada Amien Rais. Aku
lihat yang hadir itu di samping Habibie, banyak yang lain,
di antaranya Jenderal Wiranto, Akbar Tandjung, Hamzah
Haz, Yusril Ihza Mahendra, Marzuki Darusman, Adi
Sasono, Dawam Rahadjo. Semuanya meminta agar
Amien Rais yang maju, tetapi tetap ditolaknya. Pada saat
itu siapa yang dapat mengatakan bahwa itulah momen
yang tepat bagi Amien Rais untuk tampil sebagai
pemimpin puncak bangsa. Ibarat jago silat, setelah babak
belur, baru teringat silatnya. Tetapi siapa tahu pula,
pilihan penolakan itu yang terbaik bagi Amien Rais di
kemudian hari. Jadi kita hanya bisa berandai-andai dalam
ungkapan bersayap “siapa tahu.” Situasinya memang
rumit sekali.
Aku sangat setuju sekiranya Amien Rais tidak
terlanjur menyebut Wahid untuk dicalonkan. Ini
mengingat hubungan Muhammadiyah-N.U. di akar
rumput bisa gaduh, jika Rais yang maju. Selain itu, ini
aku dengar dari Rais sendiri, dia baru saja 10 hari
menjabat Ketua M.P.R. Jadi tidaklah elok tampil lagi
sebagai calon presiden. Adi Sasono Dawam Rahardjo
subuh itu mengatakan kepadaku bahwa jangan risau
dengan hubungan N.U.-Muhammadiyah. Mereka yang
akan mengatasi. Seperti mereka faham saja watak umat
284

di akar rumput. Aku yang pada waktu itu sudah menjadi


Ketua P.P. pasti akan kewalahan jika di masyarakat
bawah terjadi huru-hara antara massa N.U. dan massa
Muhammadiyah. Umpamanya dalam huru-hara itu ada
yang mati, maka eskalasinya bisa jadi akan sangat meluas.
Tidak mungkin seorang Adi Sasono atau Dawam
Rahardjo bisa memadamkannya. Jadi memang serba
dilematis.
Sebelum aku mendampingi Amien Rais pergi ke
tempat Habibie, atas inisiatif sendiri aku menemui
Wahid di sebuah kamar Hotel Mulia. Ada Alwi Shihab
dan seorang lagi yang setia menemani A. Rahman Wahid
yang sedang bersiap-siap menjadi presiden keempat
setelah Habibie. Dinihari itu A. Rahman Wahid
mengatakan kepadaku: “Besok pagi mata saya akan
melihat, diobat oleh para kiyai.” Aku lalu bertanya: “Para
kiyai itu datang ke sini, atau Gus Dur yang akan
menemuinya.” Dia menjawab: “Saya yang akan
mengunjungi mereka.” Lalu sebelum pamit aku ucapkan
selamat kepadanya. Shihab hanya senyum-senyum
mendengar A. Rahman Wahid yang berharap macam-
macam itu. Tetapi itulah A. Rahman Wahid yang punya
rasa percaya diri yang kuat sekali.
Ada cerita lain yang terkait dengan naluri politik A.
Rahman Wahid ini. Sekitar bulan Juni 1998 sewaktu
menemuiku di kantor P.P. Muhammadiyah Jakarta, A.
Rahman Wahid sudah yakin bahwa dia akan jadi
presiden. Bahkan kabinet bayangan telah dibentuknya.
Katanya akan ada dua wakil Muhammadiyah dalam
kabinet yang dirancangnya itu, padahal Habibie waktu itu
masih berkuasa. Saksi yang hadir dalam pertemuan di
atas adalah H. Azidin, S.E., Ketua Umum Alwasliyah
yang pada waktu itu kami sama-sama menjadi anggota
285

D.P.A. Di samping berbicara tentang kabinet,


Abdurahman Wahid juga menyebut nama Matori Abdul
Djalil yang akan dijadikannya sebagai Ketua D.P.R.
Bahkan Abdurahman Wahid mengatakan: “D.P.R. perlu
dipimpin oleh preman.” Padahal Matori bukan preman
setahuku. Abdurahman Wahid memang suka berbicara
seenaknya. Saya dan Azidin hanya tertawa geli dalam hati
mendengar tuturan Abdurahman Wahid itu. Aneh bin
ajaib kemudian berlaku. Poros Tengah dengan Amien
Rais sebagai salah seorang tokoh puncaknya malah
mengusung Abdurahman Wahid untuk dicalonkan jadi
presiden menghadapi Megawati. Dan Abdurahman
Wahid terpilih betul. Bukankah ini sebuah keajaiban
dalam sejarah Indonesia modern? M.P.R.-pun tidak
mempersoalkan tentang kesehatan jasmani dan ruhani
sebagai syarat bagi seorang calon presiden. Pada hari-hari
itu memang beredar kasak-kusuk A.B.M. (asal bukan
Mega) di kalangan anggota M.P.R. dan masyarakat
tertentu.
Dengan terpilihnya Abdurahman Wahid sebagai
presiden oleh M.P.R. mengalahkan Megawati untuk
menggantikan Habibie, sempat sebentar terjadi
ketegangan antara pendukung Abdurahman Wahid dan
mendukung Megawati. Tetapi tidak menimbulkan
kegoncangan yang berbahaya, sebab keajaiban
berikutnya juga terjadi. Megawati bersedia dicalonkan
menjadi wakil presiden. Entah itu keinginan Mega
sendiri atau karena dorongan teman-teman P.D.I.-P.
yang tidak mau kehilangan segala-galanya. Perasaan saya
adalah karena faktor yang kedua ini, sekalipun pada era
Habibie hubungan Abdurahman Wahid dengan Mega
ibarat kakak beradik. Mereka biasa pergi bersama ke
makam Bung Karno di Blitar atau ke Tebu Ireng, tempat
286

berkuburnya Syekh Hasjim Asj’ari, kakek Abdurahman


Wahid, bapak spiritual N.U. Ziarah-ziarah politik ini
memang telah membuahkan kursi presiden dan wakil
presiden untuk mereka, sekalipun kemudian kongsi
mereka pecah lagi oleh berbagai sebab.
Tampilnya Abdurahman Wahid sebagai presiden,
umumnya disambut dengan antusiasme yang tinggi oleh
berbagai golongan dalam masyarakat plural Indonesia.
Wahid memang telah lama dikenal sebagai seorang
tokoh pluralis yang bersemangat. Teman-temanku dari
pihak Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha, semula punya
harapan yang besar bahwa Abdurahman Wahid akan
bisa memperbaiki kondisi bangsa yang sudah rusak ini.
Bukan saja mereka, seorang A.M. Fatwa, tokoh P.A.N.
sampai sujud syukur di gedung M.P.R. sebagai tanda
bahagia dengan terpilihnya Abdurahman Wahid.
Hubungan N.U.-Muhammadiyah jangan ditanya lagi.
Mereka semuanya gembira. Apalagi dikaitkan dengan
peran Amien Rais sebagai Ketua M.P.R. yang cukup
menentukan bagi terpilihnya Abdurahman Wahid. Lebih
dari itu, dalam lingkup nasional, untuk pertama kali
terjadi negara Indonesia dipimpin oleh para santri:
Abdurahman Wahid, Amien Rais, dan Akbar Tandjung
sebagai Ketua D.P.R. Abdurahman Wahid mewakili
puak N.U., Amien Rais puak Muhammadiyah, Akbar
puak H.M.I.
Luar biasa bukan? Santri sekarang sedang
memimpin Indonesia. Pertanyaannya adalah: untuk
berapa lama mereka dapat bertahan? Apakah mereka
bersatu hati dan strategi untuk membangun Indonesia
dengan cara-cara demokratis? Ingat, ini kongsi politik
yang sering rentan diterpa berbagai virus kepentingan
yang tidak sederhana, apalagi dengan kondisi moral
287

bangsa Indonesia yang masih rapuh dan tak menentu.


Tiga figur santri: Amien Rais, Abdurahman Wahid, dan
Akbar Tandjung telah tampil sebagai pemain utama di
pentas politik nasional, sebuah peristiwa yang baru sekali
ini terjadi sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17
Agustus 1945. Mereka yang naluri politiknya tidak begitu
tajam berharap betul bahwa kongsi tiga tokoh ini akan
bertahan lama. Tetapi mereka yang sudah kenal dengan
watak ketiga pemain itu tidak terlalu berharap bahwa
ketiganya akan bebas dari macam-macam gesekan politik
yang akan membuyarkan kongsi mereka secara dramatis.
Sepintas lalu, seperti ungkapan dalam bait lagu
Minang pada akhirnya yang berlaku pada diri mereka
adalah: “sepayung berjauh hati, serumah berlain rasa.”
Belum sampai dua tahun, cabinet Abdurahman Wahid
diterpa angin limbubu. Sebelum jatuh sama sekali, para
pengikutnya telah berupaya mempertahankan
Abdurahman Wahid dengan segala cara, termasuk
dengan jalan yang sama sekali tidak masuk akal. Tidak
kurang para kiyai pun telah terjun ke gelanggang, demi
menolong posisi idolanya yang sedang oleng. Iklim
politik menjadi panas, tidak saja di kalangan elit. Rakyat
jelata pun tidak kurang antusiasnya mengikuti gonjang-
ganjing politik yang diciptakan para elit. Aku, M. Deddy
Julianto, seorang pengusaha pribumi, dan Dr. Umar
Wahid (adik Presiden Wahid) berupaya agar umat di akar
rumput dapat dikendalikan, tidak saling bertarung dalam
mempertahankan kedudukan pemimpinnya masing-
masing. Tetapi alangkah sukarnya, sebab kata mereka
Abdurahman Wahid dan Amien Rais tidak saja sedang
“berjauhan hati,” tetapi sudah bertarung, dan memang
keduanya adalah petarung sejati. Padahal yang
menurunkan Abdurahman Wahid adalah M.P.R., bukan
288

Amien Rais, karena dinilai telah menyalahgunakan


kekuasaannya dalam masalah bantuan dana dari Brunai.
Tetapi umat banyak sukar sekali membedakan M.P.R.
dan ketuanya M. Amien Rais.
Akibatnya sangat nyata. Di akar rumput
Muhammadiyah juga telah kena getahnya. Beredar berita
bahwa Amien Rais adalah tokoh utama yang
menggoyang kepresidenan Abdurahman Wahid.
Khususnya di Jawa Timur, masjid-masjid dan bangunan
lain milik Muhammadiyah dirusak, warga diteror dengan
diberi tanda X di rumahnya. Sekolahnya pun ada yang
dibakar hangus seperti di Situbondo. Dalam situasi serba
sulit ini, tidak mudah bagiku memimpin
Muhammadiyah, sekalipun aku punya hubungan baik
dengan elit N.U., termasuk dengan Ketua Umumnya
K.H. Drs. A. Hasjim Muzadi. Akibat emosi akar rumput
susah dikendalikan, P.B. N.U. tidak berhasil meredakan
ketegangan situasi, khususnya bagaimana agar
Muhammadiyah tidak dijadikan sasaran kemarahan
mereka yang mengaku pengikut Abdurahman Wahid.
Menghadapi keadaan yang mencemaskan itu, Pimpinan
Muhammadiyah Jawa Timur telah bertindak sangat arif.
Bukan dengan membalas perbuatan brutal dengan cara
serupa, tetapi dengan menulis semacam buku putih
sebagai dokumen yang memaparkan secara objektif apa
yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ini adalah reaksi
yang cukup beradab yang dilakukan oleh
Muhammadiyah wilayah itu.
Karena kejadian itu cukup menegangkan, maka
pernyataan P.W.M. (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah)
Jawa Timur yang ditandatangani oleh ketua dan
sekretarisnya: Prof. DR. H. Fasich, Apt. dan H. Nadjib
289

Hamid, S.Sos., tertanggal 5 Februari 2001, perlu kukutip


di bawah ini.
1. Mendukung gerakan demokrasi dengan cara
damai dan konstitusional.
2. Menyesalkan pelbagai tindakan yang mengarah
kepada anarkisme dan perusakan.
3. Menyerukan kepada aparat keamanan untuk
dapat segera mengantisipasi timbulnya kerusuhan
dan perusakan serta secepat mungkin mengusut
dan menindak tegas tindakan yang melawan
hukum.
4. Menghimbau kepada masyarakat Jawa Timur
agar tetap tenang dan waspada terhadap
kemungkinan adu domba dari pihak-pihak tertentu.
(Lih. Ainur R. Sophiaan, Faaisol Taselan, Nadjib
Hamid, Muhammadiyah Korban Kekerasan Politik.
Surabaya: P.W.M. Jawa Timur, 2002, hlm. 89).
Bacalah pernyataan itu baik-baik yang dengan cara
sopan mengimbau aparat untuk cepat bertindak terhadap
siapa pun yang mengacau keadaan, tanpa menyebut
golongan mana mereka. Dengan menyembunyikan nama
pelaku teror ini, Muhammadiyah tidak ingin dan tidak
rela karena gara-gara politik, persaudaraan umat di
tingkat akar rumput menjadi kacau dan berantakan. Apa
yang terjadi di Jawa Timur ini menjadi perhatian
utamaku bersama anggota P.P. yang lain. Kontak dengan
P.W.M. Jawa Timur terus dilakukan, sambil mendesak
aparat agar tidak membiarkan tindakan kekerasan itu
semakin meluas. Anak-anak muda N.U. yang dekat
denganku terus dihubungi agar menggunakan jasa-jasa
baik mereka untuk turut meredakan keadaan, tetapi
mereka menemui kesulitan karena massa emosional
sangat sulit dikendalikan. Cukup banyak milik
290

Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan brutal


dan kekerasan selama berbulan-bulan sampai
Abdurahman Wahid benar-benar harus rela
meninggalkan kursi kepresidenannya.
Di antara spanduk yang mengancam
Muhammadiyah terdapat misalnya di Jl. K.H. Kholil
Gresik, berbunyi: “Generasi Muhammadiyah Gresik
jangan ikut-ikut munafiq seperti Pimpinan MD Pusat
yang cacat mulut sbb: Syafii Maarif, Dien Syamsuddin,
A.M. Fatwa: …bajingan negara. (Ibid., hlm. 55, dengan
sedikit perbaikan ejaan, tetapi isi tidak berubah). Bagiku
semuanya harus dimaafkan, tetapi jangan diulang lagi di
masa yang akan datang. Aku dan teman-teman telah
bekerja keras agar Muhammadiyah-N.U. benar-benar
bisa bahu membahu untuk memperbaiki moral bangsa
dan negara yang terlanjur rusak ini. Janganlah energi
dihabiskan untuk tujuan yang sia-sia. Alhamdulillah
beberapa bulan kemudian setelah Abdurahman Wahid
tidak berkuasa lagi, hubungan N.U.-Muhammadiyah di
tingkat bawah berangsur pulih secara perlahan, tetapi
pasti. Kata orang, aku cukup berperan dalam proses
pemulihan hubungan ini.
P.B. N.U. bukan tidak mengakui bahwa milik
Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya dan karena
itu menawarkan bantuan untuk turut memperbaikinya
kembali. Tetapi P.W.M. Jawa Timur dengan cara sopan
telah menolaknya karena… “secara spontan warga
Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan-
perbaikan.” ( Ibid., hlm. 94). Aku yang telah bekerja keras
sejak Muktamar Muhammadiyah Juli 2000 untuk merajut
persaudaraan tulus dengan N.U., tentu sangat kecewa
dengan apa yang dialami Muhammadiyah berupa
ancaman teror dan pengrusakan di atas. Tetapi awal
291

tahun 2002 upaya itu kuteruslan lagi dan secara


berangsur semakin tampak hasilnya, sekalipun
Muhammadiyah harus banyak berkorban. Inilah risiko
yang harus dilalui persyarikatan karena masyarakat
tertentu belum bisa membedakan figure Amien Rais
sebagai Ketua M.P.R. dengan Muhammadiyah yang pada
waktu itu berada di bawah pimpinanku.
Kita surut sebentar ke belakang untuk menengok
Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, 8-11 Juli
2000, di mana akhirnya aku terpilih sebagai ketuanya
dengan perolehan suara yang cukup tinggi. Gambaran
urutannya adalah sebagai berikut: Ahmad Syafii Maarif
(1282), M. Din Syamsuddin (1048), A. Malik Fadjar
(1041), A. Rosjad Sholeh (1034), Yahya A. Muhaimin
(971), M. Amin Abdullah (940), Ismail Suny (921),
Mohammad Dawam Rahardjo (910), Ahmad Watik
Pratiknya (803), M. Muchlas Abror (788), Asjmuni
Abdurrahman (769), Haedar Nashir (748), M. Sukriyanto
A.R. (706).
Tidak lama sesudah itu, Rapat Pleno P.P.
Muhammadiyah telah menyusun pengurus P.P. periode
2000-2005 dengan pengurus harian sebagai berikut:
Ketua: Ahmad Syafii Maarif, Wakil-wakil Ketua: A.
Malik Fadjar, A. Rosjad Sholeh, Din Syamsuddin, M.
Amin Abdullah; Sekretaris: Haedar Nashir dan Goodwill
Zubir; Wakil Sekretaris: Hajryanto Y. Thohari dan Abdul
Munir Mulkhan; Bendahara: M. Sukriyanto A.R.
(kemudian digantikan oleh Dasron Hamid karena Sukri
minta berhenti) dan Husni Thoyar (kemudian
mengundurkan diri dan digantikan oleh Bambang
Sudibyo). Thoyar ingin memusatkan perhatiannya
sebagai Ketua P.W.M. Daerah Khusus Jakarta.
292

Karena masih menjabat ketua pada waktu


muktamar dilangsungkan, aku harus menyampaikan apa
yang sudah menjadi tradisi Muhammadiyah: Pidato
Iftitah pada pembukaan yang dihadiri oleh para
pembesar Indonesia: Presiden Abdurrahman Wahid,
Ketua M.P.R. M. Amien Rais, Ketua D.P.R. Akbar
Tandjung, dan banyak yang lain. Inilah a.l. isi Pidato
Iftitah itu:
Sampai dengan Muktamar ke-41 Surakarta 1985,
Muhammadiyah telah mengubah dan memperbarui
Anggaran Dasarnya sebanyak 12 kali, dan Anggaran
Rumah Tangga sebanyak tujuh kali. Persyarikatan ini
tidak pernah mensakralkan Anggaran Dasarnya, apalagi
memberhalakannya, sebab bila itu terjadi resikonya
hanya satu: memasung diri dalam kepengapan dan
kebuntuan kultural. Analog dengan ini pula, UUD 1945
yang “disucikan” selama sekian dasa warsa adalah salah
satu sebab utama mengapa kita masih saja kebingungan
dalam mencari format dan sistem politik yang lentur dan
pas bagi bangunan sebuah bangsa dan negara modern.
Pengalaman ini semestinya mengajarkan kepada kita
bahwa “pemberhalaan” suatu ciptaan dan hasil
pemikiran adalah pertanda dari lonceng kebangkrutan
dan kematian yang dapat menyebabkan kita kehabisan
agenda dan wacana.
Sudah berjalan hampir 60 tahun pasca proklamasi,
kita belum juga memiliki sistem politik yang mantap,
sementara korban manusia karena sistem-sistem
otoritarian yang diberlakukan telah ribuan jumlahnya.
Semoga jumlah ini tidak bertambah lagi. Cukup sampai
di sini saja penderitaan yang ditimpakan atas jiwa dan
raga rakyat banyak. Akrobatik dan petualangan politik
yang amoral jangan lagi diteruskan! Para politisi yang
293

masih rabun ayam (myopic) diharapkan agar mempertajam


visi masa depannya, agar lebih mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, dan
untuk jangka panjang. Maka Muhammadiyah
menawarkan diri kepada seluruh komponen kekuatan
masyarakat yang memiliki sense of crisis untuk bahu
membahu dalam menjaga dan memelihara bangsa ini
agar tidak terus bergerak dan meluncur menuju jurang
kehinaan dan kehancuran. Muhamadiyah sadar betul
bahwa tanggung jawab kita sebagai manusia yang
beriman tidak hanya terhenti di dunia fana ini saja, tetapi
berlanjut sampai ke seberang makam. Oleh sebab itu,
masa hidup yang pendek dan singkat ini tidak boleh
dihabiskan untuk sesuatu yang sia-sia. …
… Muhammadiyah dengan filsafat sosialnya yang
telah teruji tidak akan pernah putus asa dan patah
harapan. Bangsa ini adalah milik kita semua. Kita
tidak akan lari meninggalkan bangsa yang sedang
dililit banyak masalah ini. Oleh sebab itu dalam
kapasitas dan posisi kita masing-masing, kita harus
berbuat yang terbaik untuk kepentingan semua dan
sesama, berapa pun biaya yang perlu dikeluarkan
untuk itu. Ayat 105 surat al-Taubah yang juga
tertulis pada dinding atas bagian utara aula kantor
Pusat Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta telah
menjadi landasan filsafat sosial Persyarikatan ini.
Ayat itu berbunyi [yang dikutip di sini artinya saja]--
Dan katakan: “Beramallah kamu, maka Allah,
rasulnya, dan orang-orang beriman akan
memperhatikan (hasil) amalmu itu. Kemudian
kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui
yang ghaib dan yang nyata. Lalu kepadamu akan
294

diberitakanNya (hasil dan jejak) dari apa-apa yang


telah kamu kerjakan….
Dari kutipan sebagian Pidato Iftitah itu aku ingin
mengatakan bahwa Muhammadiyah menurut jalan
pikiran ini tidak boleh hanya berkutat di kandangnya
sendiri. Sayap amalnya harus mampu melindungi siapa
saja yang perlu dilindungi, tanpa melihat latar belakang
sosial, agama, suku, dan sejarah. Islam adalah untuk
menebarkan kasih sayang untuk semua.
Muktamar Jakarta cukup semarak, tetapi pers,
seperti biasa, pada umumnya lebih tertarik kepada
pemilihan pimpinan. Apalagi di kalangan publik luas
sudah beredar isu bahwa akan ada pertarungan segi tiga
antara Ahmad Syafii Maarif, A. Malik Fadjar, dan Din
Syamsuddin untuk posisi ketua. Masyarakat memang
demam pertandingan, apalagi pertarungan antar figur.
Sekitar tiga bulan sebelum muktamar, Amien Rais
sempat khawatir bahwa aku akan terjungkal dalam
pemilihan, karena kurang mengunjungi wilayah dan
daerah. Jawabanku biasa dan datar, terserah saja kepada
para pemilih di muktamar. Jika dipilih sebagai ketua
berarti aku meneruskan kepemimpinanku melalui
muktamar untuk lima tahun lagi. Bilamana sebaliknya
yang berlaku, aku betul-betul terjungkal, ya diterima saja.
Berarti aku memang belum berakar kuat di kebun
Muhammadiyah. Biar orang lain yang dipilih, apalagi
usiaku ketika itu sudah 65 tahun lebih sedikit.
Tetapi sekitar sebulan sebelum muktamar Amien
Rais baru yakin bahwa pendukungku sudah meluas,
sekalipun tanpa tim sukses, sesuatu yang memang tidak
kusukai. Sekalipun Muhammadiyah bukan partai politik,
menghadapi pemilihan pimpinan pusat terasa juga
nuansa politik itu ikut “mengacau” keadaan, tetapi masih
295

dalam batas-batas yang tidak terlalu jauh, seperti main


uang, misalnya. Sepengetahuanku, apa yang disebut
permainan politik uang belum menjangkiti
Muhammadiyah. Semoga begitu seterusnya, sebab sekali
Muhammadiyah dibencanai oleh praktik a-moral ini,
wibawa organisasi ini akan sangat merosot di depan
publik. Ongkosnya teramat mahal jika Muhammadiyah
dijadikan ajang pertarungan duniawi yang bernilai rendah
itu. Warga dan simpatisan Muhammadiyah tampaknya
sungguh berharap agar gerakan Islam ini terhindar dari
praktik-praktik busuk dan pengap itu. Dalam perkara
yang satu ini, Muhammadiyah jangan sampai menjadi
bagian dari Indonesia yang sudah oleng secara moral.
Suasana partai politik jangan ditanya lagi. Permainan
uang seakan telah menjadi norma. Orang melakukannya
tanpa rasa dosa dan salah. Ini pertanda bahwa kepekaan
moral telah semakin terkikis dilanda nafsu
mumpungisme. Bagaimana berharap agar negeri ini
semakin membaik, jika para pemain politik dan
ekonominya banyak yang bermental maling?
Segera setelah angka-angka di atas diketahui, ketiga
belas yang terpilih di atas mengadakan rapat pertama
untuk menetapkan siapa Ketua P.P. Muhammadiyah
yang akan diusulkan kepada muktamar. Rapat berjalan
sangat singkat dan secara aklamasi menetapkanku
sebagai ketua, sekalipun dalam tradisi Muhammadiyah
tidak ada ketentuan bahwa yang memperoleh suara
terbanyak pasti otomatis menjadi ketua. Dalam rapat
kilat itu, seingatku yang pertama angkat bicara adalah
Malik Fadjar yang mengusulkanku untuk menjadi Ketua
P.P. Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Anggota
yang lain setuju saja. Dengan kenyataan ini, mentalku
harus benar-benar disiapkan, sebab jika usia masih
296

dipanjangkan, periode lima tahun cukup berat bagiku,


sekalipun aku sudah sedikit punya pengalaman dalam
memimpin gerakan Islam modern yang perkasa dalam
amal kongkret ini.
Muktamar Jakarta telah semakin membawaku ke
pusaran masalah bangsa dan negara yang semakin
kompleks dan penuh ranjau politik. Aku mulai
melepaskan diri dari bayang-bayang Amien Rais yang
sudah dikenal sebagai tokoh politik nasional terkemuka.
Adalah Jeffrie Geovanie dan Rizal Sukma yang dengan
jeli melihat bahwa aku sudah tidak dibayangi oleh siapa
pun lagi, sekalipun keduanya melihat tahun yang
berbeda. Geovanie bahkan mengatakan bahwa sejak
menjadi Ketua P.P. Muhammadiyah, tak seorang pun
yang mempengaruhiku. Geovanie melalui SMS tanggal 6
Januari 2006 jam 22:08 menulis: “Dibayangi dalam
pengertian mempengaruhi kepemimpinan Buya di P.P.
Muhammadiyah sebagai ketua menurut saya tidak
pernah. Kepemimpinan Buya bernuansa sangat berbeda
dengan pendahulu-pendahulu yang mana pun. Kalau
dalam muktamar seolah-olah Buya terbayangi oleh yang
sebelumnya lebih karena perkubuan Yogya saja.” Artinya
aku sudah mandiri dalam menentukan sikap.
Sukma lebih spesifik mengatakan bahwa antar
muktamar dan tanwir, aku terlihat “mengalah.”
Selengkapnya berbunyi: “Sejak Muktamar Jakarta sampai
Tanwir [Makassar?], buya menurut saya menunjukkan
sikap “mengalah” karena persahabatan dan menjaga agar
tidak ada friksi dalam Muhammadiyah, namun tidak bisa
didikte oleh MAR. Jadi, periode itu adalah periode ‘let
wisdom prevailed [sic] by itself. Ketika segelintir orang di
sekitar MAR pushed it, buya revealed to all of us that there was
a boundry that no one should ever crossed. Bravo.” (SMS pada
297

6 Januari 2006 jam 22.24, ejaan disesuaikan). Lebih jauh


Sukma menulis: “After Tanwir Makassar, if you ordered me to
pull my support for MAR, I would have listened gladly. Saya
kan pernah menyampaikan ke buya sekitar bulan Mei
2004, saya mau keluar saja dari tim karena tidak tahan
atas cara mereka mempersepsikan buya. Jawaban buya
sangat jelas: Jangan, bantulah dia sebisanya.” (SMS pada
6 Januari 2006 jam 22.30, ejaan disesuaikan). Bagiku
sendiri, jika ada sikap-sikap yang kurang proporsional
pada saat-saat suku politik sedang mendidih dapat
dimaklumi, sekalipun kadang-kadang menyakitkan.
Mengapa dua anak muda ini aku kutip? Karena
mereka cukup faham peta gerak Muhammadiyah,
khususnya yang menyangkut langkah-langkahku dalam
memimpin persyarikatan ini dalam situasi yang sarat
dengan kepentingan politik jangka pendek. Mungkin
Sukma benar dalam membaca sikapku yang “mengalah”
berhadapan dengan MAR dan pendukungnya, demi
menjaga keutuhan Muhammadiyah. Dalam suasana yang
tidak normal itu, aku kadang-kadang merasa seperti bika,
di bawah panas di atas panas. Tetapi jika tidak demikian,
bika tidak akan masak, bukan? Bagiku yang penting
adalah agar citra Muhammadiyah di depan publik tidak
rusak sebagai kekuatan sipil yang independen vis-à-vis
politik kekuasaan. Banyak pujian yang disampaikan
kepadaku dari berbagai kalangan karena aku dinilai
berhasil menjaga Muhammadiyah dari tarikan politik
kanan kiri.
Tetapi perasaan yang kurang sedap pada suatu
ketika dengan bergulirnya musim akan sirna dengan
sendirinya. Aku mau berdamai dengan siapa saja, asal
dilakukan dengan tulus dan autentik. Hidup yang singkat
ini tentu tidak elok dipakai untuk sesuatu yang sia-sia.
298

Inilah filosofi hidupku yang sederhana yang terasa


semakin tajam setelah aku menjadi Ketua P.P.
Muhammadiyah. Pergumulanku dengan berbagai
kalangan yang masih mempertahankan idealisme selama
tujuh tahun terakhir telah semakin menyuburkan
kepekaan batinku untuk tidak larut dalam suasana saling
curiga yang hanya membuahkan kesia-siaan. Al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 12 menegaskan yang maksudnya:
“Hai orang-orang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
kamu tentu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.”
Bagiku pesan ayat ini terlalu gamblang, tetapi
mengapa aku pada saat-saat tertentu di masa lampau
kurang atau bahkan tidak menghiraukannya? Aku
menyesal karena pada saat Muktamar Jogja dan Aceh
aku belum bebas dari iklim yang kurang sehat karena
mata sering terpaku kepada masalah kepemimpinan. Aku
belajar banyak dari pengalaman muktamar ke muktamar,
sekalipun pasti ada saja kekeliruan yang kulakukan.
Barangkali usia yang telah merangkak jauh semakin
menyadarkanku untuk lebih berhati-hati dalam menjaga
hubungan dengan sesama, baik teman seagama maupun
dengan teman lintas agama yang sampai sekarang tetap
terjaga dengan baik. Apalagi Muhammadiyah adalah
gerakan da’wah, bukan gerakan politik yang tidak bebas
dari budaya “menohok kawan seiring, menggunting
dalam lipatan”. Itulah sebabnya dalam Pidato Iftitah di
299

Sidang Tanwir Denpasar, Bali, 24 Januari 2002, aku


mencoba menarik garis pembeda antara politik dan
da’wah:
Politik mengatakan:
Si A adalah kawan
Si B adalah lawan
Da’wah mengoreksi:
Si A adalah kawan
Si B adalah sahabat.
Politik cenderung berpecah dan memecah
Da’wah merangkul dan mempersatukan.
Sesungguhnya jauh sebelum Muktamar Jakarta, aku
sudah bertekad untuk tidak turut lagi dalam “permainan”
internal politik dalam Muhammadiyah. Apa yang
kukatakan di atas adalah endapan dan kristalisasi dari apa
yang sudah agak lama kurenungkan.
Tanwir Denpasar relatif berlangsung manis, tetapi
ada sedikit bintik kecil yang perlu direkamkan di sini.
Rapat Pleno P.P. Muhammadiyah sebelumnya sudah
memutuskan untuk mengundang Presiden Megawati
agar memberi sambutan dalam tanwir dalam rangka
sosialisasi da’wah kultural. Dan undangan itu
dikabulkannya. Presiden yang didampingi oleh suaminya
Taufik Kiemas telah memberikan sambutan pada waktu
pembukaan Tanwir. M. Amien Rais yang diundang
secara khusus untuk menghadiri Sidang Tanwir semula
juga datang. Tetapi setelah dia tahu bahwa Megawati
juga hadir, sahabatku ini membatalkan niatnya untuk
hadir dalam pembukaan. Kami anggota P.P. telah
berupaya meyakinkan agar Amien Rais jangan
membatalkan niatnya, tetapi sia-sia belaka. Din
Syamsuddin disalahkan karena dikira dialah yang
mengundang Mega dan aku tak bisa mengontrol Din.
300

Yang benar bukan begitu. P.P. yang mengundang Mega,


dan aku mendukung. Jadi tidak benar Din dijadikan
sasaran kecurigaan dalam kasus ini.
Amien Rais akhirnya tidak mau hadir, lalu
meninggalkan Bali. Di antara kalimat yang diucapkannya
yang masih terngiang di teligaku adalah: “Dulu kita
sudah sepakat untuk tidak membungkuk-bungkuk
kepada penguasa.” Jawabanku adalah: “Siapa yang
membungkuk-bungkuk? Tidak seorang pun. P.P.
mengundang presiden adalah dalam rangka da’wah
kultural dan itu melalui keputusan rapat, bukan kemauan
seseorang.” Amien Rais tidak mau dengar semua alasan
ini. Akhirnya Sidang Tanwir berjalan bagus dan semarak
tanpa Amien Rais.
Informasi lain datang dari Rizal Sukma yang ketika
itu merupakan bagian dari tim Amien Rais.
Dikatakannya bahwa di lingkungan terdekat Amien Rais
ada kecurigaan bahwa aku sedang mempertimbangkan
untuk menerima tawaran menjadi cawapres (calon wakil
presiden) Megawati (SMS tanggal 11 Januari 2006, jam
17.15). Dengan anggapan yang bersimpang siur ini, maka
dapatlah dipahami mengapa Amien Rais merasa
terganggu di Denpasar dengan kedatangan Megawati itu.
Untuk menanggapi kabar-kabar burung model ini, jauh
sebelum itu aku sudah mengatakan: “Sesama bus kota
tidak boleh saling mendahului.” Ungkapan ini telah
banyak dikutip pers. Dr. Sulastomo bahkan telah
menjadikannya untuk judul tulisannya dalam rangka 70
tahun usiaku. Dengan demikian di mana posisiku telah
teramat jelas. Amien Rais dari Muhammadiyah, aku pun
dari Muhammadiyah. Apakah layak dari sudut moral dan
etika jika aku mempersulit Amien Rais sebagai calon
presiden, sekiranya aku turut pula dalam perlombaan
301

politik yang melelahkan itu? Jika itu dilakukan aku harus


“bertempur” dulu dengan isteri dan anakku yang sama
sekali tidak rela kalau suami dan ayahnya memasuki
gelanggang politik praktis.
Semenjak Tanwir Denpasar inilah aku semakin sulit
memahami cara berpikir Amien Rais yang kadang-
kadang begitu emosional dan temperamental, padahal
yang memilih Megawati sebagai presiden adalah M.P.R.
pimpinan M. Amien Rais setelah M.P.R. mencabut
mandat Presiden Abdurrahman Wahid. Aku melihat
permainan politik itu kejam, ganas, kawan dan lawan
sering berubah tergantung kepada kepentingan jangka
pendek. Kutipan Pidato Iftitah di atas adalah refleksiku
dalam membaca perseteruan politik kekuasaan di
Indonesia di era reformasi. Dalam perseteruan ini, aku
menyaksikan betul bahwa apa yang bernama iman yang
mengharuskan orang menjaga persaudaraan sering tidak
berfungsi. Kekuasaan itu, kata orang, memang dapat
membutakan hati manusia. Kearifan dalam bersikap
sering pupus begitu saja ditiup angin politik yang bertiup
tak terkendali.
Pada bulan-bulan pasca Muktamar Jakarta,
mobilitasku memang meningkat drastis. Tamu-tamu
berdatangan ke P.P. Muhammadiyah Jakarta, asing atau
domestik, siang dan malam. Undangan dari dalam dan
luar negeri juga banyak sekali. Tidak jarang aku baru bisa
tidur setelah larut malam. Saudara Zaenuddin dan
Hefinal dari sekretariat P.P. Muhammdiyah tahu betul
tentang kesibukanku ini, sebab merekalah yang mengatur
agendaku. Kepada kedua anak muda ini aku wajib
menyampaikan rasa terima kasih yang dalam atas segala
kebaikan dan ketekunan mereka dalam menjalankan
tugas. Keduanya cukup profesional, tidak ada urusan
302

yang tidak beres. Kadang-kadang mereka tidak mengenal


waktu dalam bertugas. Keikhlasan mereka terlihat di
wajahnya yang tidak pernah menampakkan rasa tidak
senang, sekalipun lelah.
Perkawananku dengan tokoh-tokoh lintas agama
semakin meyakinkanku bahwa sikap-sikap yang
kuperlihatkan dalam memimpin Muhammadiyah
mendapat apresiasi yang tinggi dari mereka. Tidak saja
dari mereka, tetapi dari berbagai kalangan birokrat,
jenderal, menteri, mantan menteri, pengusaha,
budayawan/seniman, dan banyak yang lain, sangat
menghargai sikap dan pernyataanku untuk konsumsi
publik. Mungkin mereka melihatku sebagai seorang tua
tanpa agenda pribadi untuk sebuah jabatan penting.
Dengan demikian tak seorang pun yang akan rugi bila
bersahabat denganku. Rasanya apa yang kukatakan
memang tidak dibuat-buat. Semuanya keluar dari hati
tanpa agenda jangka pendek. Dengan kata lain,
perasaanku dengan mudah ditangkap oleh kawan-kawan
itu, mungkin karena ada gelombang yang sama.
Sejak aku muncul sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah dan sesudahnya, aku telah biasa
berdialog dengan tokoh-tokoh seperti B.J. Habibie, M.
Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, M. Jusuf
Kalla, Abdurrahman Wahid, Megawati, Hatta Rajasa,
Todung Mulia Lubis, Nurcholish Madjid, H.S. Dillon,
Adnan Buyung Nasution, Salim Said, Sri-Edi Swasono,
Denny J.A., Gunawan Mohamad, Achmad Tirtosudiro,
Tarub, M. Dawam Rahardjo, Hidayat Nur Wahid, Romo
Benny, Muchlas Abror, Din Syamsuddin, Bambang
Sudibyo, M.S. Kaban, Fuad Amsyari, Franz Magnis
Suseno, Biku Pannyavaro, Josef Handojo, Pdt. Weinata
Sairin, A.A. Gewanggoe, Fuad Bawazir, Ajib Rosidi,
303

Anas Urbaningrum, Ramadhan K.H., Taufik Abdullah,


Sulaiman Abdul Manan, Taufiq Ismail, Ahmad Hasyim
Muzadi, Salahuddin Wahid, Achmad Bagdja, Masdar F.
Mas’udi, Umar Wahid, Siswono Yudo Husodo, M.
Deddy Julianto, Mustofa Bisri, A.M. Fatwa, Sutrisno
Bachir, Handojo S. Muljadi, Bambang Widjojanto,
Muhammad Najib, A.M. Hendropriyono, Sjafri Sairin,
Zamroni, Syamsir Siregar, Rusdi Latif, Herman Darnel
Ibrahim, Jakob Utama, Rosihan Anwar, Jusuf Wanandi,
Matori Abdul Djalil, Sofyan Wanandi, Sudhamek AWS,
Fasli Djalal, Gafur Chalik, Albert Hasibuan, Suyanto, A.
Rosjad Sholeh, Dasron Hamid, Haedar Nashir, M. Amin
Abdullah, Jeffrie Geovanie, Rizal Sukma, Hamid
Basyaib, T. Jacob, Sulasikin Murpratomo, A. Watik
Pratiknya, A. Malik Fadjar, Kuntowijoyo, Yunahar Ilyas,
Muhammad Muqoddas, dan puluhan yang lain, termasuk
dengan anak-anak muda dari berbagai latar belakang.
Beberapa duta besar asing juga menyambut kehadiranku
sebagai teman yang bisa diajak bertukar pikiran.
Untuk teman-teman sebangsa dan setanah air yang
seide, kita semua berpendapat bahwa Indonesia adalah
milik bersama, tak seorang pun yang berhak mengklaim
bahwa dirinya punya hak-hak istimewa di sini. Tentu
prinsip-prinsip demokrasi harus pula dijadikan pegangan
agar orang mampu berpikir secara proporsional dan adil.
Pertukaran pikiran dengan berbagai kalangan itu, aku
sungguh banyak belajar, tidak terkecuali dengan kaum
muda yang tidak jarang punya gagasan-gagasan
cemerlang. Di dalamnya termasuk anak-anak muda
Muhammadiyah yang aktif menulis pada berbagai media
cetak.
Dengan duta besar Ralph L. Boyce (Amerika), Lu
Shumin (Cina), Edward Lee (Singapura), Richard
304

Gozney (Inggris), untuk menyebut hanya berapa nama,


aku sudah bertemu dan berbincang. Dengan Boyce
malah sering, sekalipun menghadapi masalah-masalah
krusial tertentu yang menyangkut tuduhan terhadap
seseorang, aku dan dia bersimpang jalan, seperti menilai
kasus Abu Bakar Baasyir yang dituduh Amerika sebagai
gembong teror. Aku memang tidak sepaham dalam
banyak hal dengan Baasyir, tetapi menuduhnya sebagai
Godfather kaum teroris, aku belum punya bukti.
Pernah juga atas prakarsa Jeffrie Geovanie, pada
tanggal 19 Desember 2003 aku berdialog hampir dua
jam dengan Alvin Toffler, tokoh yang pada tahun 1980-
an sangat populer di Indonesia, terutama melalui
karyanya Future Shock yang banyak dikomentari itu. Di
antara pertanyaan sentral yang diajukan Toffler adalah
mengenai sebab-sebab mengapa posisi Islam pada
tataran global dinilai banyak pihak sebagai tertinggal jauh
di buritan. Seperti biasa jawabanku lugas tanpa basa-basi,
a.l.:
Pertama kukatakan bahwa sebagian besar umat
Islam tidak berorientasi ke depan, tetapi tenggelam
dalam imajinasi kebesaran masa lampau yang bukan
mereka sebagai penciptanya. Dalam kondisi yang
semacam itu akan sulitlah bagi mereka untuk berani
mengeritik diri sendiri, karena pikirannya tidak lagi
bersentuhan dengan realitas yang sebenarnya. Maka aksi
teror yang melibatkan sekelompok amat kecil Muslim
harus dibaca dari kacamata ketidakberdayaan atau
keputusasaan yang mereka rasakan sangat kejam dan
menghimpit. Tetapi mengapa mereka memakai jubah
agama?
Kedua, kepada Toffler kujelaskan bahwa jika Islam
itu dipahami secara benar dan autentik dalam perspektif
305

tradisi spiritual nabi Ibrahim yang bertujuan menebarkan


rahmat di muka bumi, dan ini sangat Qur’ani, maka
orang tidak akan dengan mudah mencap Islam sebagai
agama anti peradaban. Ya, Islam sejak tragedi 11
September 2001 telah dijadikan agama tertuduh oleh
pers Barat yang tidak mau meneliti lebih dalam apa Islam
itu sebenarnya. Toffler, seorang Yahudi, tetapi katanya
kepadaku sudah tidak beragama lagi.
Pergaulanku dengan berbagai ragam manusia telah
semakin menyadarkanku bahwa manusia itu sungguh
banyak sekali dimensinya. Entah apa alasan dan daya
pikatnya, hubungan mereka denganku terasa begitu
akrab, baik sebelum mau pun sesudah Muktamar Jakarta,
termasuk dengan beberapa pengusaha. Ini sangat
memudahkanku mencari dana muktamar, sesuatu yang
semula sangat aku khawatirkan. Amien Rais sudah sibuk
dengan dunianya, maka masalah dana muktamar harus
aku ambilalih. Allah maha pemurah. Cukup banyak
tangan yang diulurkan kepadaku untuk meringankan
beban panitia penyelenggaraan muktamar dengan biaya
besar itu. Memang dari amal-usaha modal dasar sudah
disiapkan untuk setiap muktamar, tetapi belum cukup.
Untuk mencari tambahan dana inilah yang menjadi salah
tugasku sebagai ketua. Menariknya, tugas ini sering
kulakukan sambil lalu.
Kabarnya konon para Ketua P.P. itu dipercaya
banyak pihak. Aku ingat misalnya ketika Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta sangat memerlukan dana
untuk membeli tanah untuk membangun kampus
barunya di Kasihan, Bantul. Pak A.R. Fachruddin cukup
hanya dengan menulis surat singkat dalam Bahasa Jawa
kepada Presiden Soeharto. Menurut keterangan Rektor
U.M.Y. Dasron Hamid (ketika itu), surat itu dikirimkan
306

via Kolonel Ali Afandi dari sekneg (sekretaris negara),


seorang perwira yang sangat dipercaya Pak Harto. Tidak
perlu menunggu lama, dana itu telah turun dengan
mudah. Jumlahnya Rp. 500.000.000, sebuah angka yang
cukup besar kala itu. Jadi orang boleh mengeritik Pak
Harto, seperti yang kulakukan juga, tetapi harus dicatat
bahwa tanah kampus Universitas Muhammadiyah di
kawasan Bantul itu diperoleh berkat hubungan baik A.R.
Fachruddin dengan presiden Indonesia kedua itu.
Aku hanya meneruskan apa yang telah dicontohkan
oleh para pendahuluku. Hasilnya memang di luar
dugaan. Muhammadiyah ternyata punya tempat
tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Ada yang datang
langsung ke P.P. Muhammadiyah Menteng Raya dengan
membawa dolar, seperti yang dilakukan Bung Dokter
Hariman Siregar, pemimpin demonstrasi tahun 1970-an,
tanpa meminta kuitansi. Pada waktu itu kami belum
akrab, sekalipun sudah saling mengenal nama. Donatur
yang lain berdatangan satu persatu, besar-besar lagi.
Melihat kenyataan ini, kepercayaanku kepada diri sendiri
semakin kuat. Ternyata, aku pun bisa. Kadang-kadang
pihak calon donatur hanya dihubungi melalui HP (telpon
genggam) saja. Aku benar-benar bersyukur atas segala
kepercayaan yang diberikan oleh berbagai kalangan,
termasuk dari sahabat-sahabat non-Muslim. Hubungan
baik dan akrab sahabat-sahabat ini denganku tampaknya
tetap bertahan. Semoga aku pandai menjaga amanah,
sebagaimana umumnya pemimpin Muhammadiyah
sebelumku.
Dalam upaya pencarian dana ini, peran Bung
Sumaryono dari Rumah Sakit Islam Jakarta sebagai
tangan kanan Bendahara P.P. Dasron Hamid sungguh
besar. Dialah yang berkeliaran ke mana-mana menemui
307

para donatur yang telah kutentukan. Dana-dana besar


yang pernah kuterima dari pihak luar, tidak saja untuk
muktamar, tetapi juga untuk PP Muhammadiyah adalah
dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Taufik Kiemas
(ini yang terbesar disampaikan via adik iparnya Drs. H.
Herianto), Hatta Rajasa, Jenderal Muchdi, Jenderal A.M.
Hendropriyono, Al Hilal Hamdi, M.S. Kaban, Fuad
Bawazir, pimpinan pabrik rokok Sampoerna (aku lupa
namanya), dan masih ada yang lain. Jadi aku pernah juga
“bergelimang dengan uang” yang berasal dari bantuan
berbagai pihak itu.
Ada sekadar catatan kecil lagi. P.W.M. D.K.I. yang
sewaktu Sidang Tanwir di Banjarmasin menjelang
Muktamar Jakarta telah memenangkan wilayahnya untuk
menjadi tuan rumah muktamar. Mereka begitu
menggebu untuk menanggung sebagian biaya muktamar
sampai 60%, ternyata kemudian kempis, tidak menjadi
kenyataan. Maka tugasku dan teman-teman P.P. menjadi
semakin berat dalam masalah dana ini. Tetapi untunglah,
kepercayaan masyarakat sudah semakin kuat. Jaringan
persahabatan dengan berbagai pihak telah mulai dirajut.
Suasana semacam ini sangat membantu tugasku dalam
bermasyarakat dan mengurus Muhammadiyah.
Dana datang tanpa diduga. Kadang-kadang diantar
dalam tas kertas besar sejumlah Rp. 500.000.000 dengan
pecahan Rp. 50.000 lagi yang harus kuangkut ke Jogja
untuk diserahkan kepada panitia. Tidak sekali cara ini
kualami. Oleh sebab itu terima kasihku kepada para
darmawan ini sangat dalam dan tulus. Tanpa uluran
tangan mereka, Muhammadiyah akan kesulitan dalam
penyelenggaraan muktamar di ibu kota yang serba mahal
itu. Bilamana kuceritakan tentang bantuan ratusan juta
ini kepada isteriku, reaksinya sangat biasa, datar. Uang
308

tampaknya memang tidak pernah menggiurkannya,


tetapi jika tak punya, dia pusing juga. Coba kalau isteri
mata duitan, tentu sedikit banyaknya akan jadi beban
batin yang mempersukar gerakku di Muhammadiyah.
Karena dana yang masuk cukup lumayan
jumlahnya, panitia akhirnya bisa menyisihkan sebagian
untuk membangun kantor P.P. yang baru di Jl. Cik Di
Tiro No. 23, Jogja. Hampir Rp. 4 miliar kantor baru
yang cukup megah ini menelan biaya. Sewaktu masih
dalam proses pembangunan Bung Hatta Rajasa,
menristek ketika itu, kuajak meninjaunya, tentu sambil
“merogoh” kantongnya. Rajasa dengan mudah
menyediakan dana sebesar Rp. 400.000.000. Rajasa tidak
hanya membantu pembangunan gedung ini. Sebagai
menteri perhubungan dalam Kabinet SBY-Kalla, aku
mohon lagi dibelikan sebuah mobil kijang untuk Majelis
Tabligh P.P. Muhammadiyah. Itu pun dikabulkannya.
Kantor yang baru ini diresmikan pemakaiannya pada
tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002 dengan
penandatangani sebuah prasasti. Masih ada yang lain.
Dengan bantuan Bung Muhammad Najib, beasiswa
untuk anakku Hafiz yang belajar di Negeri Belanda, juga
dibantu Rajasa. Kurekamkan semuanya di sini bukan
untuk apa-apa, tetapi untuk mengatakan bahwa banyak
pihak yang membantuku dalam hidup ini. Oleh sebab itu
sifat-sifat mulia seperti ini juga harus kita tiru dalam
batas kemampuan kita.
Salah seorang sahabatku Sudhamek, ketua umum
Majelis Budhayana Indonesia, di akhir masa jabatanku di
P.P. Muhammadiyah pernah juga mengantarkan cek
sebesar Rp.75.000.000 untuk membantu pelaksanaan
Muktamar Malang. Jadi Muslim dan non-Muslim telah
menjadi sahabat-sahabatku yang akrab dan tulus.
309

Sewaktu aku masih menjadi Wakil Ketua P.P., suasana


semacam ini belum lagi tercipta. Rupanya orang
kemudian melihat bahwa kiprahku sebagai ketua sedikit
atau banyak telah turut membawa kesejukan dalam
masyarakat luas di Indonesia. Pengakuan tentang ini
beberapa kali telah kudengar langsung dari berbagai
kalangan, Muslim dan non-Muslim. Sekiranya aku
menjadi politikus, hubunganku dengan mereka tentu
akan berbeda. Pidato Iftitah yang kusampaikan di Bali
telah menjelaskan perbedaan antar sikap politik dan
sikap da’wah, seperti telah disinggung sebelumnya.
Da’wah selalu merangkul dan mempersatukan atau
mencari kawan sebanyak-banyaknya, sesuatu yang jarang
berlaku dalam dunia politik yang sarat dengan bahasa
retorika kepentingan pragmatis jangka pendek.

E. Sebagai Ketua P.P. Muhammadiyah, 1998-2005


Bagian ini adalah penekanan pada butir-butir
tertentu yang dipandang perlu tentang langkah-
langkahku sebagai Ketua P.P. Muhammadiyah yang di
sana-sini telah disinggung di depan menurut konteksnya.
Sekitar tujuh tahun aku dipercaya menjadi komandan
Muhammadiyah di era yang sering disebut Era
Reformasi setelah bangunan Orba runtuh. Di Era Orba,
jabatan tertinggiku adalah sebagai Wakil Ketua P.P.
Muhammadiyah setelah Ahmad Azhar Basjir wafat pada
Juni 1994, sedangkan sebagai ketua dijabat oleh
Muhammad Amien Rais yang sebelumnya adalah sebagai
salah seorang wakil ketua.
Muktamar Aceh 1995 mengukuhkan posisi Amien
Rais sebagai ketua dan aku sebagai salah seorang wakil
ketua. Sebagai wakil ketua tentu kiprahku lebih banyak
membantu ketua. Tetapi aku senantiasa belajar dan
310

mengikuti perkembangan Muhammadiyah dalam


kaitannya dengan dinamika masyarakat Indonesia yang
sedang berubah dengan cepat. Tanwir Surabaya pada
1993 yang “heboh” itu menjadi catatan tersendiri bagiku
dalam membaca peta perjalanan bangsa. Sejak itu
hubungan Muhammadiyah dengan Presiden Soeharto
agak sedikit terganggu, sebagaimana telah kusinggung
sebelumnya. Yang sedikit membantu keadaan adalah
karena yang menjadi Ketua P.P. Muhammadiyah waktu
itu bukan Amien Rais, tetapi Ahmad Azhar Basjir,
seorang alim yang tidak punya naluri politik. Wajahnya
adalah wajah Muhammadiyah sejati. Jadi tidak ada alasan
yang kuat untuk terus mencurigai Muhammadiyah,
apalagi move Amien Rais di Surabaya tidak didukung
secara formal oleh peserta tanwir.
Mujur yang tak dapat diraih, malang yang tak dapat
ditolak. Ahmad Azhar wafat bulan Juni 1994, dan Amien
Rais naik sebagai pajabat ketua sampai Sidang Tanwir
berikutnya menetapkan seorang ketua definitif. Tetapi
pada waktu itu tidak ada tokoh lain yang bisa menyaingi
Amien Rais. Namanya sedang jadi buah bibir publik.
Muhammadiyah otomatis menjadi bahan perbincangan,
apalagi antara Amien Rais dan Soeharto lagi dalam
suasana “tidak enak badan.” Sebagaimana telah
kujelaskan di muka Muktamar Aceh telah berjalan lancar
dan Amien Rais dikukuhkan lagi sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah periode 1995-2000. Tetapi perubahan
peta politik nasional telah mengubah pula jalan sejarah,
termasuk sejarah Muhammadiyah. Pada bulan Agustus
1998 Amien Rais meninggalkan P.P. untuk memimpin
P.A.N. Suasana inilah yang kemudian mendorongku
untuk menggantikan posisinya, semula sebagai pejabat
ketua sebelum ditetapkan sebagai Ketua P.P.
311

Muhammadiyah oleh Sidang Tanwir Bandung Desember


1998.
Bila dihitung dari Desember 1998 sampai dengan 8
Juli 2005, aku telah menjalankan tugas sebagai ketua
selama enam tahun delapan bulan lebih sedikit. Tetapi
kalau hitungannya dimulai sejak pejabat ketua, maka
periodeku menjadi tujuh tahun. Inilah masa-masaku
menggumuli Muhammadiyah secara intensif. Hampir
semua wilayah telah kudatangi, kecuali beberapa propinsi
baru yang belum sempat dikunjungi, yaitu Gorontalo,
Bangka-Belitung, dan Sulawesi Barat Daya. Interaksiku
dengan warga persyarikatan rasanya cukup lancar, tidak
saja dengan wilayah, tetapi beberapa P.D.M. (Pimpinan
Daerah Muhammadiyah) telah pula dikunjungi. Satu dua
cabang, bahkan ranting pernah pula didatangi. Keinginan
warga, jika mungkin, seluruh daerah jangan sampai
ditinggalkan. Aku paham betul tentang benarnya harapan
itu, tetapi tidak mungkin ditandangi. Sekitar 400 jumlah
P.D.M. terlalu dahsyat untuk dapat didatangi seorang
ketua, apalagi seumurku.
Kesanku selama kunjungan-kunjungan itu adalah
bila dibandingkan dengan gerakan sosial lain di
Indonesia, secara kuantitatif, Muhammadiyah dengan
segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tetapi
bila parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an
untuk menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang
bermoral, Muhammadiyah masih saja berada di awal
jalan. Suasana semacam ini memang memprihatinkan.
Tentu untuk bergerak ke sana merupakan tanggung
jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan
pemerintah yang juga harus bermoral.
Tetapi yang menjadi sorotan adalah karena
Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan
312

Islam, gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar.


Rumusan semacam ini mengisyaratkan tanggung jawab
yang besar sekali, sementara energi Muhammadiyah
lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial
kemasyarakatan. Masalah bangsa secara keseluruhan
sering tidak sempat terpikirkan secara mendalam.
Suasana moral bangsa yang terus meluncur sejak 25
tahun terakhir menunjukkan bahwa kiprah
Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah belum efektif.
Dalam berbagai forum aku sering mengatakan bahwa di
bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah
hanyalah sebagai pembantu pemerintah, tidak lebih dan
tidak kurang. Muhammadiyah belum mampu
menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan,
kesehatan, maupun untuk bidang-bidang kemanusiaan
lain yang selalu memerlukan perhatian khusus.
Jangankan menangani masalah-masalah yang punya
cakupan luas itu, mengurus dunianya sendiri saja
Muhammadiyah sudah kelelahan.
Selama tujuh tahun sebagai ketua, ternyata belum
banyak yang dapat kulakukan. Tetapi di bidang
pemikiran keislaman, buahnya sudah mulai tampak
dengan munculnya potensi pemikir-pemikir muda
Muhammadiyah yang senantiasa kudorong dan diberi
payung perlindungan. Sebagian dekat dengan Dr.
Muslim Abdurrahman, seorang kiyai-antropolog,
sebagian yang lain muncul sebagai penulis-penulis bebas.
Yang kukenal hanya sebagian kecil saja. Menurut Fuad
Fanani, beberapa nama telah muncul sebagai penulis, di
antaranya Ahmad Najib Burhani, Pradana Boy ZTF,
Zuly Qodir, Asep Purnama Bahtiar, Hilman Latief, Abd.
Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Ahmad Fuad
Fanani, Hery Sucipto, Zakiyuddin Baydhawi, A. Norma
313

Permata, M. Abduh Hisyam, Kuni Khoirun Nisa’, Sukidi


Mulyadi, Mun’im A. Sirry, Promono U. Thantowi, M.
Hilaly Basya, Andar Nubowo, Ilham Mundzir, Fajar Riza
Ul Haq, Rahayu Arman, Budi Asyhari Arman, Nur
Hidayah.
Entah berapa orang di antara nama itu yang akan
tampil menjadi pemikir kaliber nasional, kita belum bisa
mengatakan. Akan sangat tergantung kepada kesetiaan
mereka kepada idealisme yang telah mulai tertanam
dalam diri mereka dengan membaca sebanyak-
banyaknya, sekuat-kuatnya secara kritikal. Aku ulangi di
sini filosofi Minangkabau yang mungkin baik juga untuk
mereka perhatikan, demi wawasan mondial yang perlu
dikembangkan sebagai pemikir: “Alam terkembang jadi
guru.”
Kepada anak-anak muda Muhammadiyah aku
tekankan benar bahwa yang harus dibela adalah
persyarikatan sebagai institusi. Maka jika tidak mantap
misalnya dengan pimpinan, jangan lalu meninggalkan
Muhammadiyah, bergabung dengan yang lain. Terlibat
dalam Muhammadiyah menuntut kesabaran tingkat
tinggi. Berbagai masalah pasti muncul, kadang-kadang
bertubi-tubi. Tidak jarang pula terjadi gesekan sesama
pengurus karena masalah sepele. Orang yang tidak sabar
lalu hengkang sambil menjelekkan pengurus yang lain.
Cara semacam ini hanyalah akan menambah beban
Muhammadiyah, padalah niat semula adalah untuk
beramal. Ada contoh yang terjadi sesudah Muktamar
Malang Juli 2005. Seorang pengurus terpilih yang punya
pengaruh besar minta saran kepadaku untuk mundur
dari P.P. karena alasan tertentu. Jawabanku adalah:
“Jangan. Keterikatan kita bukan dengan manusia, tetapi
dengan cita-cita persyarikatan. Kita aktif di
314

Muhammadiyah adalah karena didorong panggilan iman


untuk beramal secara teratur, bukan karena yang lain.”
Kadang-kadang memang sesama pengurus tidak bisa
kompak karena faktor macam-macam. Di sinilah
perlunya kesabaran dan niat baik untuk senantiasa dijaga
dan dipertahankan.
Bahwa kadang-kadang terjadi gesekan sesama
pengurus, itu bukan hal baru. Sepanjang sejarah
Muhammadiyah ada saja peristiwa yang tidak sedap
dirasakan, tidak saja di tingkat bawah, di tingkat P.P.
pun, seperti telah kukatakan, hal serupa terjadi. Yang
penting jika ada masalah cepat diselesaikan, jangan
dibiarkan membusuk. Iman seorang Muslim tidak
membuka peluang untuk “seiring bersimpang jalan.”
Bagiku tidak ada resep yang mujarab untuk membangun
persaudaraan yang ramah dan produktif, kecuali kembali
kepada ruh agama, kepada niat tulus untuk bergerak dan
aktif beramal dalam Muhammadiyah. Kekuatan
Muhammadiyah selama ini banyak ditentukan oleh
adanya figur-figur yang benar-benar paham untuk apa
persyarikatan ini didirikan pada 1912/1330, hampir satu
abad yang lalu. Karena masyarakat terus bergerak, maka
pemimpin Muhammadiyah harus pula punya wawasan
dan otak yang tidak boleh diam. Muhammadiyah harus
dibaca sebagai gerakan Islam dengan cara kreatif, kritikal,
tetapi tetap berada dalam koridor kepribadian yang telah
dirumuskan.
Selama periodeku memimpin Muhammadiyah, ada
beberapa kegiatan samping yang kulakukan. Sekalipun
tidak sempat aktif benar, pada akhir Nopember 1999 aku
dipilih sebagai salah seorang presiden internasional dari
W.C.R.P. (World Confrerence on Religions for Peace) dalam
sidangnya yang ke-7 di Amman, Yordania. Posisi ini
315

sebelumnya diduduki oleh Abdurrahman Wahid dari


N.U. Kantor pusat W.C.R.P. berada di New York
dengan sekjennya Dr. William F. Vendley, seorang
Katolik yang taat. Alamat kantor pusat W.C.R.P. adalah:
777 United Nations Plaza, New York, NY 10017, U.S.A.
Karena kesibukan dalam Muhammadiyah, setelah
pertemuan Amman, beberapa undangan yang dikirimkan
kepadaku tidak sempat dihadiri seperti pertemuan di
Nairobi pada Juni 2002, tetapi aku mengirimkan surat
permohonan maaf kepada Vendley.
Dalam pergaulan lintas iman, seorang sahabatku
Dr. I. Suharyo, Uskup Agung Semarang, menulis:
“Melepaskan diri dari belenggu-belenggu sejarah
bukanlah perkara mudah dan dapat dilaksanakan
dalam waktu singkat. Yang jelas, haruslah dibangun
sejarah baru yang tidak membelenggu, tetapi
sebaliknya sejarah yang membebaskan dan
memberi harapan. Untuk itu dituntut mutlak peran
para tokoh sejarah. Bapak Syafii adalah salah
seorang tokoh terkemuka yang sudah lama
memainkan peranan itu—dengan pemikiran-
pemikiran beliau yang cerdas, terbuka, inspiratif,
dan langkah-langkah moral beliau yang berani—
dan kita harapkan akan terus memerankannya.16
Rasanya Dr. Suharyo agak berlebihan menilai
peranku. Selama dalam pergaulan lintas iman itu, aku
belum berbuat maksimal untuk kepentingan semua
pihak pihak. Tetapi tidak-tidaknya dalam segala
keterbatasanku, aku telah membawa Muhammadiyah
sebagai salah satu tenda besar untuk turut serta
memayungi semua pemeluk agama di Indonesia.

16
Lih. Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, op.cit., hlm. 555.
316

Rupanya sikap-sikap yang kubangun itu telah dirasakan


sebagai suatu yang sangat positif oleh teman-teman lain
yang berbeda iman. Ungkapan Suharyo tentang “sejarah
yang membebaskan dan memberi harapan”
mencerminkan apresiasi itu.
Kegiatan samping lain sejak Nopember 2002, atas
dorongan seniman W.S. Rendra, aku dimasukkan
menjadi anggota A.J. (Akademi Jakarta) di samping 26
anggota yang lain. Kami memilih Prof. Dr. Koesnadi
Hardjasoentri untuk mengetuai akademi ini yang tidak
pernah absen dalam memimpin rapat. Orangnya
penyabar menghadapi para seniman dan intelektual yang
banyak tingkah. Aku belajar kepada teman-teman
anggota yang terdiri dari para seniman, cendekiawan,
wartawan, dan para penulis terkenal. Anggota A.J. yang
rajin menghadiri rapat-rapat adalah: Rosihan Anwar,
Taufik Abdullah, Gunawan Mohamad, Rendra, Nh.
Dini, Endo Suanda, Ramadhan K.H., A.D. Firous,
Sardono W. Kusumo, Saini K.M., Ajib Rosidi, Misbach
Yusa Biran, Toeti Heraty N. Rooseno, Slamet Abdul
Syukur, Tatiek Maliyati W.S., Ahmad Syafii Maarif. Rata-
rata usia anggota A.J. di atas 60 tahun.
Kadang-kadang aku merasa malu sendiri berbicara
dengan mereka karena pengetahuanku tentang seni
sangat terbatas. Pada saat Prof. Sardono W. Kusumo,
Rektor Institut Kesenian Jakarta, pada 12 Pebruari 2006
menghadiahkan buku tentang Aceh, aku sungguh merasa
rikuh karena ada tulisan: “Untuk guruku Bpk Syafii.”
Apakah ini bukan terbalik? Akulah yang banyak berguru
kepada para anggota A.J. yang sarat dengan pengalaman
hidup dan renungan mendalam tentang bangsa dan
hakekat kemanusiaan.
317

Dengan belajar ini, aku semakin mengerti bahwa


manusia tetap manusia dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Demikianlah pada suatu rapat yang juga
dihadiri oleh anggota sastrawan Sitor Situmorang, aku
menonton debat singkat antara Gunawan dengan Sitor.
Sitor begitu emosi karena usulnya tentang sesuatu
kurang mendapat perhatian dari rapat. Dia berdiri dan
dengan suara garang mengancam akan keluar dari A.J.
Gunawan dengan tenang menjawab: “Adalah hak anda
untuk keluar.” Tentu debat semacam ini tidak ada
kaitannya dengan “sengketa” antara pendukung Manifes
Kebudayaan (Gunawan) dan Sitor yang kekiri-kirian pada
era Demokrasi Terpimpin dan menentang keras
kehadiran Manifes bersama Pramoedya Ananta Toer dan
kameradnya.
Kenggotaanku dalam A.J. telah semakin meluaskan
radius pergaulanku dengan para seniman/sastrawan
Indonesia di luar A.J. Pada tanggal 22 Nopember 2005
oleh Dewan Kesenian Jakarta aku diminta untuk
menyampaikan Pidato Kebudayaan dengan judul
“Pengkhianatan Kaum Intelektual Dalam Perspektif
Kebudayaan”. Banyak tokoh nasional yang hadir pada
malam itu. Anggota A.J. seniman Endo Suanda yang
hadir malam itu mengomentari pidatoku itu di bawah
judul “Pahlawan dan Pengkhianat”:
Dua kata di atas merupakan isu pokok dalam
Pidato Kebudayaan Buya Syafii Maarif, di Gedung
Graha Bhakti Budaya, TIM, 22 Nopember 2005
lalu. Kaum intelektual, ungkapnya, akan menjadi
berkah pada umat, jika kecerdasannya dia
sumbangkan untuk kepentingan kemanusiaan: dia
akan jadi pahlawan. Tapi sebaliknya, jika dia gunakan
318

kekuatannya itu untuk kepentingan dirinya, dengan


menghancurkan yang lain: ia akan jadi pengkhianat.
… Dalam mendengarkan pidato Buya Syafii…, kita
pun tidak cuma mendengar kata yang terucap,
melainkan kalbu yang berujar—seperti melihat
tinta, pena, tangan, dan pribadi pengarangnya,
ketika kita membaca suatu karya sastra. Kejujuran di
situ terasa, karena pendengar umumnya tahu siapa
Buya Syafii. Itu berarti bahwa selama
mendengarkan sekitar satu jam pidato, ingatan kita
terhadap kiprah pembicara puluhan tahun sebelum
berucap di podium, sadar ataupun tidak, sangat
menentukan. Jadi, pemaknaan kita bukan yang
eksplisit saat itu, melainkan titik-titik yang
merentang panjang, yang mengantarkan kita pada
peristiwa pidato. Ya, memang, untuk bisa jujur,
pantangannya jangan berdusta.17
Sewaktu kusampaikan kepada Endo bahwa
pernyataan di atas telah menjadikanku tersanjung terlalu
tinggi yang belum pada tempatnya, jawaban yang
kuterima adalah: “… saya menulis secara jujur saja, dan
kejujuran rasanya satu-satunya modal yang saya punya.
Salam”.(SMS tanggal 15 Feb. 2006, 16:23:58, ejaan
disesuaikan). Semoga saja aku tidak hilang keseimbangan
bila dihargai seorang teman atau siapa pun.
Karena berasal dari ranah Minang, aku sering
dipanggil buya, sedangkan aku sendiri merasa tidak layak
untuk menduduki posisi itu. Dalam perkataan buya jika
saja disisipkan huruf a di antara bu dan ya, akan terbaca
buaya, bukan? Aku menyaksikan di ranah Minang pada
permulaan abad ke-21 ini, setelah para buya masuk
17
Lih. [Endo Suanda], “Pahlawan atau Pengkhianat” dalam Gong: Media Seni dan Pendidikan Seni, No.
77/VIII/2006, hlm. 3.
319

politik, integritasnya sebagai buya sering berantakan,


wibawanya merosot ke titik nol. Oleh sebab itu aku takut
menyandang suatu atribut yang mungkin aku tak kuasa
memikulnya. Aku lebih senang dipanggil nama tanpa
atribut. Salah-salah tingkah dapat menimbulkan cibiran
dan cemeeh yang menyakitkan.

VIII. MASA DEPAN INDONESIA

A. Gerakan Moral Anti Korupsi dan Pencalonan K.K.R.


Adalah Nursam, S.S., sejarawan muda asal
Makassar dan seorang penulis prolifik yang kuminta
membaca draf otobiografi ini, menyarankan agar
kegiatan Muhammadiyah di bawah pimpinanku dalam
melawan korupsi perlu dimasukkan. Juga disarankan agar
proses pencalonanku untuk menjadi anggota K.K.R.
(Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) jangan sampai
ditinggalkan, karena itu semuanya itu telah terekam
dalam memori publik. Kedua saran ini setelah
kutimbang-timbang, rasanya memang tidak salah jika
dijadikan bagian dari riwayat hidupku.
Dalam sebuah deklarasi bulan Oktober 2003 yang
difasilitasi Dr. H.S. Dillon dari Lembaga Kemitraan
untuk Reformasi Tata Pemerintahan, Muhammadiyah
dan N.U. sepakat untuk turut menyadarkan masyarakat
bahwa korupsi adalah penyakit dan musuh semua agama
dan peradaban. Dalam pertemuan itu Ahmad Hasyim
Muzadi sebagai Ketua Umum N.U., aku, dan Dillon
menandatangani sebuah deklarasi untuk memulai
gerakan moral anti korupsi. Sekalipun kita tahu bahwa
korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan berlapis-lapis
sehingga untuk memberantasnya menjadi sesuatu yang
320

sangat sulit. Tetapi dengan deklarasi di atas, apalagi juga


didukung oleh semua kekuatan agama di Indonesia,
setidak-tidaknya masyarakat luas akan tergugah dan sadar
bahwa masyarakat sipil di bawah payung
Muhammadiyah dan N.U. belum tidur benar, masih mau
angkat senjata moral dengan mengumumkan perang
terhadap korupsi. Gemanya luar biasa. Menurut catatan
Dillon, tidak kurang dari 16 media nasional dalam
tajuknya telah menyambut gerakan moral ini dan
berharap akan ada hasilnya.18
Seorang jenderal polisi yang beragama Katholik
mengatakan kepada saya bahwa pada suatu ketika dia
gembira dengan gerakan moral ini. Saya, katanya, sebagai
orang dalam, mengerti betul betapa sulitnya melawan
penyakit sosial berupa korupsi itu. Saya berada di
belakang gerakan sipil ini. Tentu aku sangat berterima
kasih kepada jenderal yang punya gelombang nurani
yang sama dengan tokoh-tokoh agama yang mencoba
menyadarkan masyarakat bahwa hari depan Indonesia
akan tergantung kepada berhasil atau gagalnya bangsa ini
melawan korupsi ini. Jika berhasil, ada harapan bahwa
Indonesia masih punya masa depan. Sebaliknya jika
gagal, mungkin masih ada masa depan, tetapi sebuah
masa depan yang gelap-gulita.
Gerakan ini agak sedikit mengendor setelah Hasyim
Muzadi turut dalam pertandingan pemilihan
presiden/wakil presiden melalui duet Mega-Hasyim.
Seperti kita ketahui pemenang dalam pertandingan yang
digelar pada bulan Juli 2004 itu adalah pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono/Muhammad Jusuf Kalla. N.U.
sebagai salah satu sayap besar umat Islam di bawah
18
Lih. H.S. Dillon, “Syafii Maarif, Pemberantasan Korupsi, dan Penanggulangan Kemiskinan di
Indonesia” dalam Cermin Untuk Semua, op.cit., hlm. 290.
321

pimpinan Hasyim Muzadi semula diharapkan bersama


Muhammadiyah akan tetap teguh berada pada posisi
independen menghadapi tarikan politik praktis.
Sahabatku Hasyim Muzadi barangkali punya perhitungan
lain dalam mengambil langkah kontroversial itu. Pernah
dia menyampaikan kepadaku bahwa langkahnya itu
adalah juga untuk memperbaiki moral bangsa melalui
struktur kekuasaan. Allahu a’lam!
Gerakan moral anti korupsi ini adalah gerakan
penyadaran melalui bahasa dan media agama, bukan
gerakan eksekutor, karena itu semua adalah tugas aparat
negara penegak hukum. Sebagai gerakan penyadaran,
sampai batas-batas tertentu Muhammadiyah-N.U. telah
berhasil menyadarkan masyarakat bahwa korupsi adalah
penyakit sosial yang dapat membunuh peradaban, oleh
sebab itu merupakan sebuah jihad menurut ajaran agama
untuk memberantasnya. Selanjutnya tergantung kepada
alat penegak hukum untuk merespons apa yang telah
diteriakkan Muhammadiyah-N.U. ini. Sebagai kekuatan
sipil kedua sayap umat ini bersama dengan seluruh
kekuatan lintas agama dengan caranya masing-masing
akan tetap bersuara lantang dalam upaya memperbaiki
moral bangsa yang terlanjur rusak ini. Tetapi suara
lantang ini tidak akan punya dampak besar, sekiranya
pemerintah dan semua aparat penegak hukumnya tidak
membuka telinga terhadap suara-suara keras yang datang
dari masyarakat luas.
Memang aku sadar bahwa apa yang kami lakukan di
atas adalah untuk menyatakan bahwa hati nurani
masyarakat sipil belumlah mati suri, sekalipun sebagian
orang sudah putusasa dengan keadaan. Diharapkan
dengan gerakan moral di atas, masyarakat banyak masih
melihat titik-titik terang di ujung lorong gelap yang telah
322

menyiksa bangsa ini dalam bilangan dasa warsa. Anak-


anak muda Muhammadiyah dan anak-anak muda N.U.
dengan cara dan metodenya masing-masing cukup
proaktif dalam memasyarakatkan gagasan besar yang
terkandung dalam Deklarasi 15 Oktober 2003 di atas.
Sebuah pekerjaan melelahkan dan penuh duri telah
ditempuh Muhammadiyah-N.U. bersama kekuatan lintas
agama. Hasilnya sampai hari ini belum terlalu nyata.
Tekad SBY-Kalla untuk melawan korupsi sudah
mulai dilaksanakan, tetapi menurut para pengamat,
masih belum terlalu fokus. Setidak-tidaknya genderang
ke arah pemberantasan penyakit akut itu telah ditabuh
dengan suara keras, maka pemerintah tidak boleh main-
main dalam perkara yang satu ini. Indonesia jaya atau
bangkrut akan sangat tergantung kepada kesungguhan
atau kelalaian kita semua untuk berjihad melawan
korupsi yang sudah sangat menyesakkan nafas seluruh
anak bangsa.
Tentang pencalonan K.K.R., dapat kujelaskan
sebagai berikut. Beberapa tokoh muda Muhammadiyah
di Jakarta di awal tahun 2005, di antaranya Rizaluddin,
S.Ag., M.Si., telah menemuiku agar bersedia dicalonkan
menjadi anggota K.K.R. yang bertugas mencari solusi
terhadap konflik-konflik anak bangsa yang tidak bisa
diselesaikan oleh badan-badan hukum yang sudah ada.
Adanya K.K.R. ini merupakan pelaksanaan TAP M.P.R.
No. VI/2000 tentang Persatuan Nasional, kemudian
ditegaskan lagi dalam U.U. No. 26/2000 pasal 43.
Dikatakan bahwa pelanggaran H.A.M. (Hak-hak Asasi
Manusia) yang tidak dapat diselesaikan via pengadilan
H.A.M. Ad. Hoc., akan ditangani K.K.R.
Untuk masuk seleksi menjadi calon anggota, ada
beberapa syarat yang harus ada, a.l. surat keterangan dari
323

dokter. Aku yang sebenarnya tidak berminat untuk


masuk ke dalam komisi ini, tetapi demi rasa hormatku
kepada anak-anak muda Muhammadiyah, syarat-syarat
itu kuusahakan juga dan berhasil. Semula kuberharap
agar aku tidak lolos dalam seleksi. Namun setelah dua
seleksi berjalan, namaku terus muncul bersama dengan
nama-nama lain seperti Prof. Dr. Deliar Noer, Dr. Natan
Setiabudi, Dr. Anhar Gonggong, Dr. Asvi Warman
Adam. Melihat gelagat semacam ini, aku mulai khawatir
jangan-jangan nanti masuk betul. Maka setelah
berunding dengan beberapa anak muda, kuputuskan
untuk menarik diri dari pencalonan. Artinya aku tidak
lagi ikut seleksi selanjutnya.
Menurut Rizaluddin, keputusanku itu tidak diterima
secara aklamasi oleh anak-anak muda Muhammadiyah
dengan argumennya masing-masing. Mereka yang
menyetujui kemunduran diri itu adalah kelompok yang
sudah apatis dengan negara ini. Di mata mereka K.K.R.
ini tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya karena
pasti banyak rintangan, termasuk dari orang-orang
pemerintah sendiri. Bukankah K.K.R. juga akan melacak
akar-umbi penyebab konflik sesama anak bangsa yang
telah banyak menumpahkan darah itu. Setelah semuanya
dibongkar dan siapa yang bersalah juga sudah dikenali,
kemudian komisi ini bertugas mendamaikan mereka, dan
mereka saling memaafkan. Itulah idealnya yang hendak
dicapai oleh komisi ini, tetapi mereka yang apatis tidak
yakin bahwa harapan itu akan menjadi kenyataan.
Karena itu, kata Rizaluddin, aku akan menjadi kecil.
Pertanyaannya adalah: apakah aku pernah jadi besar?
Rasanya juga tidak.
Adapun kelompok yang mendukung pencalonanku
dan kecewa atas sikap mundurku berdalil bahwa komisi
324

itu akan dapat menjalankan tugasnya dengan


menunjukkan kinerja yang bagus. Serba kekurangan akan
dapat diperbaiki sambil berjalan. Kata kelompok ini aku
adalah orang yang dapat dipercaya. Tentu aku gembira
diberi penghargaan semacam ini, sekalipun sekiranya aku
masuk, belum tentu harapan-harapan itu akan menjadi
kenyataan. Komisi ini memang akan punya pekerjaan
berat: mendamaikan anak bangsa, sekalipun dahulunya
mereka, orang tua, atau nenek mereka telah saling
membinasakan. Umumnya karena perbedaan ideologi
politik.
Dalam hati kecilku, tugas komisi sebenarnya cukup
menantang dan bukanlah watakku untuk lari dari
tantangan. Tetapi mengapa aku mundur? Pertanyaan
inilah yang dinilai oleh sementara orang masih saja
mengambang karena aku belum memberikan keterangan
yang jelas kepada publik. Dr. Natan Setiabudi, mantan
Ketua Umum P.G.I. (Persatuan Gereja-gereja
Indonesia), seorang sahabatku, memang menyayangkan
mengapa aku mundur dari pencalonan. Menurut sahabat
ini, jika aku diterima masuk bersama dengannya,
mungkin kami dapat berbuat sesuatu untuk mendekati
tujuan komisi yang sarat tantangan itu. Agar masalah ini
tidak terus mengambang, keterangan di bawah ini
semoga sedikit atau banyak akan bisa menjawab
pertanyaan di atas.
Pada waktu dicalonkan aku masih menjabat sebagai
Ketua P.P. Muhammadiyah. Tetapi aku sudah berkali-
kali menyatakan tidak bersedia lagi untuk dicalonkan
menjadi anggota P.P. dalam Muktamar Malang,
sekalipun masih ada saja pihak yang berharap agar tetap
maju. Nah, seandainya aku diterima sebagai anggota
K.K.R., dan dalam pemilihan pimpinan aku terpilih
325

misalnya menjadi ketua, apakah ini tidak lucu? Akan ada


gumaman begini: menjadi Ketua K.K.R. bersedia
sementara P.P. Muhammadiyah ditinggalkannya. Ada
apa? Ini namanya membiarkan pertanyaan tergantung di
awang-awang. Tidaklah elok bagi semua.
Pertimbanganku yang kedua adalah karena
mengingat usia yang sudah di atas 70 tahun sebaiknya
tidak lagi memegang posisi penting dan strategis. Berilah
peluang kepada mereka yang lebih muda, energetik, dan
punya waktu yang lebih banyak. Orang seperti aku, jika
masih diperlukan, cukuplah menjadi penasehat,
pelindung, dan yang sebangsa itu. K.K.R. jika benar-
benar difungsikan dengan maksimal akan sangat
menguras energi. Bayangkan komisi ini tentunya akan
bertugas mendamaikan bekas-bekas D.I. (Darul Islam)
dan simpatisannya dengan P.K.I dan sisa-sisa
pendukungnya. Begitu juga mereka atau orang tuanya
yang pernah bermusuhan dengan tentara, komisi ini juga
akan mencari sebab pokoknya, kemudian saling
berkomukasi untuk berdamai dan memaafkan masa
lampau. Sungguh sangat mulia tujuan yang hendak
diraih. Oleh sebab itu aku mendukung dan memberi
selamat kepada teman-teman yang terpilih menjadi
anggota K.K.R. (sampai tanggal 23 Peb. 2006 pada saat
bagian digarap, nama-nama anggota K.K.R. komisi ini
belum juga diumumkan, entah mengapa). Dan jika aku
diminta pendapat dan saran untuk melancarkan tugas
komisi ini, aku tentu dengan senang hati akan
memberikannya.
Dengan keterangan yang tidak memuaskan ini, aku
berharap mundurnya aku dari pencalonan anggota
K.K.R. tidak lagi dijadikan bahan untuk diperkatakan,
khususnya di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah
326

dan teman-teman L.S.M. (Lembaga Swadaya


Masyarakat). Adapun bahwa bangsa ini harus kita bela
bersama sesuai dengan posisi dan kemampuan kita
masing-masing, tidak ada perbedaan di antara kita. Kita
satu. Perasaan satu bangsa inilah yang dicemaskan oleh
berbagai kalangan yang prihatin. Komitmen kebangsaan
dinilai sudah semakin memudar akibat salah tingkah
sebagian kaum elit yang tidak tahu diri.
Masalah B.P.I.
Di tengah-tengah gencarnya Muhammadiyah
melawan korupsi, di dalam diri sendiri ada masalah B.P.I.
(Bank Persyarikatan Indonesia ) yang cukup merepotkan
P.P. selama lebih tiga tahun. Semua ini terjadi di bawah
kepemimpinanku, maka kasus B.P.I. ini perlu
dimasukkan dalam otobiografi ini. B.P.I. adalah
singkatan dari Bank Persyarikatan Indonesia sebagai
perubahan dari Bank Swansarindo, sebuah bank swasta
yang diakusisi. Teman-teman Majelis Ekonomi P.P.
Muhammadiyah di bawah komandan Prof. M. Dawam
Rahardjo, S.E. sebagai Pembina Ekonomi
Muhammadiyah begitu bersemangat untuk terjun ke
dunia perbankan. Apalagi Muktamar Aceh mendorong
Muhammadiyah untuk bergerak ke sana. Aku yang tidak
paham soal bank, mengatakan kepada Bung Dawam
bahwa pintu masukku untuk masalah ini adalah Bung
Dawam sendiri sebagai ekonom dan pernah bekerja di
Bank Amerika di Jakarta.
Maka atas rekomendasi Majelis Ekonomi pada
tahun 2002, seorang yang bernama Lulu Harsono
dikenalkan kepada rapat P.P. sebagai seorang pakar
perbankan yang ingin membantu Muhammadiyah dalam
masalah keuangan. Bahkan Bung Dawam tidak
tanggung-tanggung mengatakan bahwa untuk dana
327

Muktamar Muhammadiyah yang akan datang, kita tidak


perlu lagi mencari dana ke luar. Cukup dari kegiatan
bisnis Muhammadiyah, termasuk di dalamnya
perbankan. Seperti begitu gampangnya mengelola
sebuah bank.
Dalam perjalanan waktu akhirnya berdirilah B.P.I.
dengan Bung Dawam sebagai Komut (Komisaris
Utama). Lulu yang katanya banyak punya uang cukup
bermain di belakang karena izin dari B.I. (Bank
Indonesia) untuk orang ini tidak mudah didapat karena
track record-nya tidak bagus. Tetapi Lulu dan teman-
teman Majelis Ekonomi selalu membela diri dan
mengatakan bahwa B.I. itu tidak benar. Aku sebenarnya
sudah mendapat peringatan dari Dirut B.N.I. (waktu itu)
Saefuddin Hasan, S.E., M.A. dan M. Deddy Julianto
bahwa Lulu punya rapor merah, tetapi Majelis Ekonomi
dan beberapa anggota P.P. yang lain tetap saja ingin
bekerja sama dengan Lulu, termasuk Din Syamsuddin
dan Hajriyanto Y. Thohari. Pada waktu aku mulai curiga
terhadap bisnis perbankan ini, Lulu dengan caranya
sendiri menemuiku di kantor P.P. Jogja sambil mencium
kakiku bahwa dia benar-benar berniat baik untuk
Muhammadiyah. Tidak ada motif macam-macam,
kecuali kebaikan.
Cerita ini kusampaikan dalam rapat Pleno P.P.,
tetapi tetap saja ada yang membela Lulu. Sebagai dari
permainan yang penuh misteri ini, aku dan Dawam
semula ditulis sebagai pemegang saham terbesar dalam
B.P.I., padahal tak sesen pun aku menyetorkan modal.
Jadi ini adalah saham fiktif. Dalam sebuah rapat P.P. di
Jakarta dan di Malang aku mengatakan bahwa P.P.
Muhammadiyah itu bahlul, sedangkan komandan bahlul
adalah ketuanya, yaitu aku sendiri. Ungkapan semacam
328

kulontarkan karena aku sangat kesal dengan bisnis


perbankan yang sangat mengecewakan.
Ada sebuah catatan kaki yang terkait dengan
masalah bank ini. Suatu hari melalui Hajri, Ketua P.P.
pernah ditawari Lulu mobil BMW atau Mercedes, tetapi
kutolak dengan sopan. Sekiranya kuterima, tentu riwayat
hidupku akan sedikit berbeda. Juga melalui si Minang
bernama Hatta Abdullah, orang kepercayaan Lulu, aku
diberi hadiah hari raya berupa komputer laptop mini
merek Sony. Hatta mengatakan bahwa itu bukan dari
Lulu. Tetapi setelah beberapa hari di tanganku ada
perasaan tidak nyaman dalam diriku, lalu hadiah itu
kuserahkan lagi kepada si Minang yang memberikan.
Membaca gelagatku itulah barangkali Lulu sengaja
menemuiku di Jogja bahwa dia benar-benar punya niat
baik untuk membantu Muhammadiyah, seperti tersebut
di atas.
Sekitar tahun 2003 sewaktu aku berkunjung ke
Jerman, Din Syamsuddin menelpon bahwa sebaiknya
Ketua P.P. melepaskan sahamnya di B.P.I. Aku
bergembira sekali dan langsung kusetujui. Kemudian
saham ini didistribusikan kepada beberapa teman. Ini
adalah sebuah blessing in disguise (sesuatu yang tampaknya
tidak enak, tetapi mengandung kebaikan di dalamnya)
bagiku. Untuk ini aku berterima kasih kepada Din yang
telah menyelamatkan posisi Ketua P.P. dari masalah
bank yang sarat kongkalingkong itu. Bung Dawam
sebagai Komisaris Utama yang digaji seharusnya
bertugas mengawasi cash flow (aliran dana) B.P.I., tetapi
semuanya tidak dilakukannya dengan baik. Baru di saat-
saat terakhir setelah keadaan semakin parah, Dawam
tidak lagi membela Lulu yang kemudian wafat karena
kanker hati.
329

Karena kondisi B.P.I. semakin memburuk dari hari


ke hari, Hajriyanto yang kemudian menggantikan posisi
Dawam sebagai Komut telah bekerja keras
menyelamatkan B.P.I., tetapi alangkah sulitnya. Berkali-
kali Hajri memintaku agar melakukan pendekatan politik
dengan menemui Wakil Presiden Mohammad Jusuf
Kalla (M.J.K.) dalam upaya mencari jalan ke luar. Semua
permintaan Hajri kujalankan, sampai aku merasa malu
sendiri dengan M.J.K. karena seringnya pertemuan itu.
Setelah terlihat titik-titik terang, sekalipun masih ada
ganjalan hukum, aku kirim SMS kepada M.J.K. untuk
mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan dan
bantuannya untuk menyelamatkan B.P.I. Jawaban
langsung dari M.J.K. yang kuterima berbunyi: “Demi
Muhammadiyah dan buya.”
Akhirnya setelah 17 langkah (istilah Hajri) B.P.I.
dapat “diselamatkan” melalui sebuah konsorsium yang
dipimpin oleh Bukopin sebagai investor baru. Setelah
aku tidak lagi menjabat sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah sejak Muktamar Malang Juli 2005, kalau
ada masalah B.P.I. aku masih saja dihubungi Hajri untuk
turut memikirkan. Sebagai orang yang dilibatkan dalam
soal perbankan ini sejak semula, sekalipun
pengetahuanku nol tentang bank, aku memang tidak bisa
lepas tangan, bukan karena Lulu pernah mencium
kakiku, tetapi ongkos yang harus kutanggung karena
sikap bahlul-ku.
Kalau aku melakukan refleksi tentang B.P.I. ini,
benarlah ucapan M.J.K. dalam sebuah pertemuan di
kediaman wakil presiden dengan mengutip sebuah
hadist: “Jika sebuah urusan diserahkan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggu sajalah saat kehancurannya.”
Ternyata Bung Dawam yang ekonom dan pendukungnya
330

dalam soal bank ini tidak kurang bahlul-nya dibandingkan


yang lain. Sebuah pengalaman pahit tetapi berharga
selama aku memimpin Muhammadiyah. Pada masa yang
akan datang, sebelum memutuskan segala sesuatu yang
menyangkut perbankan, pengalaman periodeku harus
dijadikan cermin untuk bersikap ekstra hati-hati. Usul
seorang ekonom tidak boleh lagi dijadikan acuan satu-
satunya untuk melangkah ke sebuah dunia yang sarat
masalah dan liku-liku.

B. Peluncuran Buku dan Ultah 70 Tahun


Ada dua orang anak muda Muhammadiyah, mantan
ketua umum dan sekretaris jenderal I.R.M. (Ikatan
Remaja Muhammadiyah), Raja Juli Antoni (Toni) dan
Rizaluddin Kurniawan (Rizal), yang bersemangat sekali
mengumpulkan dan kemudian menerbitkan kumpulan
tulisanku dengan judul: Mencari Autentisitas. Jakarta:
PSAP, 2004. Kedua anak muda ini menurut penilaianku
punya potensi untuk tampil sebagai intelektual sekaligus
aktivis, dengan syarat mereka mau terus belajar dan
belajar dengan menguasai satu atau dua Bahasa Asing.
Toni, anak Kuantan, Riau, dan berdarah Minang, telah
berhasil menyelesaikan S2-nya di Inggris, sementara
Rizal di U.I. (Universitas Indonesia). Keduanya telah
punya jaringan dengan berbagai pihak dalam upaya turut
memperbaiki kondisi moral bangsa Indonesia.
Kedua anak muda yang bersemangat ini bekerja
tidak tanggung-tanggung dalam proses menyiapkan
penerbitan buku di atas. Bahkan mereka sampai
menghubungi Prof. R. William Liddle, Ph.D., guru besar
Universitas Negeri Ohio, Columbus, Amerika Serikat,
untuk membubuhi kata pengantar. Liddle adalah salah
seorang guruku sewaktu aku kuliah di Universitas Ohio,
331

Athens, sekalipun aku hanya sebagai mahasiswa


pendengar di kelasnya. Liddle yang baik hati menulis
kata pengantar itu di bawah judul “Syafii Maarif dan
Indonesia.” Di ujung kata pengantarnya, Liddle menulis:
Local knowledge ‘pengetahuan setempat’, apakah dari
Sumatra, Jawa, atau pulau lain, tentu tidak boleh
diremehkan. Namun, local knowledge tersebut harus
dilengkapi dengan pemikiran dan keahlian yang
terbaik dari seluruh dunia. Hukum ini berlaku bagi
Mohammad Hatta dan Syafii Maarif. Kini, dia
berlaku bagi angkatan muda yang semoga saja akan
melihat lebih jauh sebab mereka berdiri di atas
pundak para pendahulu yang cemerlang dan berjasa
besar. Syafii Maarif, yang pernah belajar lama di
mancanegara dan berprofesi dosen di Tanah Air,
pasti akan menyokong pesan ini (lih. hlm. XX).
Sebagai anak Minang dengan filosofi “alam
terkembang jadi guru”, bagiku, pesan Liddle berfungsi
sebagai penguat apa yang telah ada di otak belakangku
sekian lama. Pesan ini sebenarnya merupakan salah satu
manifestasi atau wujud dari sekelumit ajaran hijrah,
terutama dalam bidang ilmu.
Buku setebal 220 halaman plus indeks diluncurkan
pada tanggal 8 Maret 2004, bertempat di Hotel Aryaduta,
Jakarta. Tamu yang hadir cukup banyak, di antaranya
Muhammad Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Wiranto, W.S.
Rendra, Taufiq Ismail, Rosihan Anwar, Natan Setiabudi,
Din Syamsuddin, Jakob Utama, Salahuddin Wahid,
Douglas Rumage, Jeffrie Geovannie, Rizal Sukma, H.S.
Dillon, M. Deddy Julianto, Muhammad Najib.
Peluncuran buku ini dinilai orang sebagai suatu yang
berhasil, terutama dilihat kepada jumlah tamu yang hadir.
Itu artinya simpatisan dan sambutan teman, sahabat,
332

baik yang seagama mau pun yang lintas agama cukup


tinggi. Sudah tentu aku berterima kasih kepada mereka
semua yang telah meluangkan waktu untuk hadir malam
itu.
Bulan Maret 2004 usiaku sudah mendekatan 69
tahun. Bulan 31 Mei 2005 aku 70 tahun, melampaui usia
nabi. Atas prakarsa anak-anak muda Muhammadiyah
yang aktif di Maarif Institute, sebagaimana sudah
membudaya di Indonesia, usiaku 70 tahun diperingati
sambil juga meluncurkan buku. Ada empat buku yang
diluncurkan malam itu: (1) Cermin untuk Semua (editornya
sudah disebut sebelumnya), berisi tulisan teman-teman
untuk menyambut 70 tahun usiaku. Tidak kurang dari 93
tulisan yang termuat dalam buku, termasuk dari penulis
asing. Karena jika diterbitkan dalam satu buku ternyata
cukup tebal, sementara tulisan teman-teman yang masuk
masih ada, maka dibuat buku (2) dengan editor sama,
yaitu Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay
dengan diberi judul Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif. Jakarta: Maarif Institute, 2005. Buku setebal 271
ini memuat 17 tulisan, sebagian cukup panjang, seperti
tulisan Gunawan Mohamad dan Wan Mohd Nor Wan
Daud (guru besar dari ISTAC Malaysia). (3) Kumpulan
makalah dan tulisan-tulisan lepasku, dieditori oleh Saleh
Partaonan Daulay. Diberi judul Menggugah Nurani Bangsa.
Jakarta: Maarif Institute, 2005, tebal 267 halaman dengan
indeks. (4) Kumpulan kolomku di harian Republika plus
beberapa tulisanku yang lain, dikumpulkan dan dieditori
oleh Hery Sucipto, Anton Syafriuni, Husni Amriyanto
Putra, Menerobos Kemelut: Refleksi Cendekiawan Muslim.
Jakarta: Grafindo, 2005, tebal 317 dengan indeks.
Tamu yang hadir agak di luar perkiraan banyaknya,
di antaranya Mantan Wakil Presiden Try Soetrisno,
333

Hidayat Nur Wahid, Bambang Sudibyo, Fadilah Supari,


Hatta Rajasa, H.S. Dillon, A. Hasyim Muzadi,
Sudhamek, Akbar Tandjung, Suyanto, M. Deddy
Julianto, Dani Pratomo (Dirut Indofarma), Kardinal
Julius Darmaatmadja, Natan Setiabudi, Sutrisno Bachir,
Syamsir Siregar, Herman Darnel Ibrahim, Salahuddin
Wahid, Sjafri Sairin, Rizal Sukma, Jeffrie Geovanie, A.
Malik Fadjar, Dasron Hamid, Hajriyanto Y. Thohari.
Tidak ketinggalan teman-teman dari Nogotirto dan para
dosen Jurusan Sejarah F.I.S., Universitas Negeri
Yogyakarta, yang sengaja meluangkan waktu ke Jakarta
untuk hadir di Hotel Aryaduta malam itu.
Untuk membiayai ultah dan peluncuran buku ini,
sumbangan datang dari berbagai penjuru. Ada dari
pengusaha Handojo S. Muljadi, M. Deddy Julianto dan
teman-temannya, Nasrullah Setiawan (staf khusus
Menteri Pendidikan Nasional), Jakob Utama, dan banyak
dermawan yang lain. Tidak kurang dari Rp. 700.000.000
dana yang masuk untuk keperluan ini. Sebuah angka
yang sangat besar bagiku. Dana yang masuk melaluiku,
seluruhnya kuserahkan kepada Maarif Institute. Panitia
penyelenggara umumnya berasal dari pimpinan Maarif
Institute dan anak-anak muda Muhammadiyah. Hiburan
tunggal diberikan oleh penyanyi Ebiet.

C. Muktamar Muhammadiyah Malang dan Sesudahnya


Seperti telah kusebutkan di atas bahwa aku harus
meninggalkan P.P. Muhammadiyah setelah tujuh tahun
aku pimpin. Sewaktu lembar pencalonan dikirimkan
kepadaku awal 2005, cepat kuisi dengan tidak bersedia
lagi dicalonkan. Masih ada teman-teman P.P. lama dan
banyak warga yang menyarankan agar putusanku itu
ditinjau kembali. Karena sudah lama kupertimbangkan,
334

maka aku berketapan hati untuk tidak masuk lagi dalam


jajaran pimpinan pusat. Semula jadi anggota penasehat
juga aku keberatan.
Tetapi dalam sebuah rapat di kediaman A. Malik
Fadjar di Malang sebelum susunan P.P. baru ditetapkan,
semua yang hadir, khususnya M.A. Rais, tetap meminta
agar aku mau dicalonkan menjadi salah seorang anggota
Penasehat P.P. Muhammadiyah. Akhirnya dengan berat
hati aku setujui. Maka jadilah P.P. pasca Muktamar
Malang menetapkan lima penesehat: Prof. Dr. M. Amien
Rais, M.A., Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., L.L.M., Prof.
Asjmuni Abdurrahman, Abdurrahim Nur, M.A., dan
Ahmad Syafii Maarif. Keenggananku ini bukan karena
ingin mengucapkan sayonara (selamat tinggal) kepada
Muhammadiyah, sesuatu yang tak mungkin kulakukan,
tetapi semata-mata ingin memberi peluang seluas-luasnya
kepada pimpinan baru untuk mengayuh biduk
Persyarikatan ini agar melaju lebih cepat, terarah, dan
benar-benar menjadi tenda bangsa, sesuatu yang telah
kurintis sebelumnya. Aku lebih menyukai istilah tenda
bangsa dari pada tenda umat. Bukankah Islam itu datang
ke muka bumi untuk memayungi semua makhluk,
termasuk mereka yang tidak beriman?
Beberapa bulan sebelum muktamar aku sudah
berkali-kali menekankan di berbagai forum Persyarikatan
agar Muktamar Malang berjalan mulus, anggun, dan
beradab. Alhamdulillah, harapanku ini menjadi
kenyataan, sekalipun ada beberapa kritikku terhadap
proses pemilihan. Aku masih mengamati berlakunya
kampanye yang kurang elok oleh sementara tim-tim
sukses, demi kemenangan jagonya. Tetapi praktik main
uang tidaklah terjadi dalam setiap Muktamar
Muhammadiyah sepanjang pengetahuanku. Bagaimana
335

penilaianku dengan Muktamar Malang (3-8 Juli 2005),


sudah kutuangkan dalam ruang Resonansi dengan judul
“Mulus, Anggun, dan Beradab”(Republika, 12 Juli 2005,
hlm. 12).
Agar penilaian itu menjadi bagian dari otobiografi
ini, apa yang kutulis di atas akan diturunkan
selengkapnya di bawah ini:
Judul di atas merupakan tiga kata kunci yang
memuat harapan agar Muktamar ke-45 Muhammadiyah
di Malang, 3-8 Juli 2005, berlangsumg dengan aman,
produktif, dalam bingkai moral yang prima. Sebagai
bagian dari lingkungan masyarakat Indonesia yang
umumnya belum pulih secara moral dan etika, terbersit
juga sedikit kekhawatiran jangan-jangan Muhammadiyah
akan mengikuti kekuatan-kekuatan sosio-politik yang
lain: gaduh dalam kongres yang memang menjadi tren
buruk dalam pembangunan demokrasi kita. Tetapi,
melihat suasana sidang tanwir yang melekat dengan
muktamar pada 1-2 Juli dengan agenda tunggal untuk
memilih calon tetap sebanyak 39 dari 126 nama yang
bersedia dan sah, kecemasan di atas sudah jauh
berkurang.
Tanwir berjalan dengan mulus, anggun, dan
beradab. Suasana yang sejuk seperti itu pulalah yang
berlaku dalam muktamar. Adapun telah terjadi cara-cara
kampanye yang kurang sehat dalam proses pemilihan
final untuk menetapkan 13 anggota PP, sehingga
memprihatinkan mereka yang lugu dalam politik, pada
muktamar yang akan datang jangan terulang lagi.
Muhammadiyah tidaklah pantas untuk diperlakukan
dengan cara itu. Tetapi dihindarkannya proses voting
untuk memilih ketua umum yang memperoleh suara
terbanyak, Din Syamsuddin, adalah agar muktamar ini
336

tetap berlangsung mulus dan beradab. Memang, bila


virus politik masuk ke tubuh organisasi sosial, gesekan
terselubung pasti terjadi. Warga Muhammadiyah harus
banyak belajar untuk tidak terbiasa dengan prilaku yang
dapat mencoreng wajah dakwah yang menjadi wataknya
selama ini.
Budaya tenggang rasa yang tinggi yang ditunjukkan
oleh berbagai pihak selama muktamar, agar keutuhan
tetap terjaga, patut disyukuri. Memang, tidak selalu
mudah untuk bersih 100 persen, karena Muhammadiyah
adalah bagian dari sebuah bangsa yang belum siuman
secara moral, sebuah penyakit yang masih mendera kita
semua.
Pembukaan muktamar oleh Presiden SBY pada 3
Juli malam dalam lingkaran sorotan cahaya yang sangat
cantik, penuh warna, dan spektakuler adalah sebagai
rahmat dari penggunaan teknologi informasi modern.
Keadaan ini semakin meyakinkan peserta dan anggota
muktamar bahwa perhelatan akbar itu akan berjalan
dengan baik, sekalipun harus tetap diwaspadai akan
adanya kemungkinan perilaku yang menyimpang yang
dapat saja terjadi, seperti yang telah disinggung di atas.
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005, saya
benar-benar berdoa agar akhir masa jabatan saya akan
husnul khatimah (ujung yang manis), sehingga tidak ada
lagi beban berat yang berarti yang harus dipikul setelah
tanggung jawab itu terlepas dari tangan.
Para sahabat dari berbagai kalangan dan kelompok
sama berharap agar saya jangan sampai meninggalkan
catatan kaki yang buruk di belakang hari. Kepada para
sahabat yang tulus ini, saya tidak punya kosa kata lain,
selain berterima kasih yang setulus-tulusnya atas segala
337

doa dan harapan yang telah mereka nyatakan melalui


SMS yang bertubi-tubi dan media lain.
Ternyata punya sahabat baik yang banyak itu adalah
sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan benda.
Saya semakin sadar bahwa hidup ini akan terasa
kerontang bila sunyi dari teman dan sahabat yang diikat
oleh tali batin yang kokoh, sekalipun belum tentu
seagama. Bukankah kemanusiaan itu tunggal?
Persahabatan yang semacam inilah yang telah
dirajut selama saya diberi amanah sebagai Ketua P.P.
Muhammadiyah, kemudian harus saya lepaskan untuk
tidak mau dicalonkan lagi. Kepada teman-teman lintas
agama dan kultural, para pengusaha, pejabat-pejabat
negara, yang masih berharap agar terus, saya mohon
maaf. Filosofi dasar saya ambil dari ucapan almarhum
Mohammad Natsir, “Memimpin adalah untuk
melepaskan.”
Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang
melekat pada diri saya, filosofi ini sebagai anutan yang
sering saya ulang-ulang menyebutnya. Mendiknas
Bambang Sudibyo menyalami saya sambil bertutur, “Pak
Syafii telah menyudahi akhir jabatan dengan cara yang
manis sekali.” Semoga penilaian salah seorang anggota
PP yang terpilih untuk periode 2005-2010 ini tidaklah
terlalu jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Dalam
muktamar Jakarta, tahun 2000, saya sama sekali tidak
pernah berkampanye dan membentuk tim-tim sukses,
karena semuanya itu bukanlah watak saya sebagai kader
Muhammadiyah.
Akhirnya, saya mohon maaf kepada semua pihak
atas segala salah tutur dan salah langkah yang saya
lakukan selama tujuh tahun kepemimpinan (1998-2005)
saya di PP Muhammadiyah. Kepada dua-tiga wilayah
338

baru yang belum sempat dikunjungi, saya juga mohon


dimaafkan. Jantung saya sudah berdetak selama lebih
dari 70 tahun. Kekuatan fisik sudah semakin terbatas.
Jagalah Muhammadiyah dari segala tarikan politik praktis
yang memang bukan kepribadian otentik dari gerakan
Islam ini.
Dari kutipan di atas sudah jelas bagaimana filosofi
dasarku dalam memimpin Muhammadiyah selama satu
setengah periode. Apa yang kukatakan, itulah aku, baik
di dalam mau pun di luar. Bagiku, hidup yang hanya
sekali ini tidak boleh dipermain-mainkan, sekalipun aku
sendiri sering lalai menjaga filosofi ini.
Pasca Malang, kegiatan kemasyarakatanku ternyata
tidak semakin berkurang, tetapi untuk menolak
undangan dari kalangan luar Muhammadiyah jauh lebih
ringan dibandingkan dengan undangan yang datang dari
kalangan sendiri. Beberapa undangan dari luar negeri,
baru dua yang kukabulkan, yaitu dari sebuah lembaga
kajian di Singapura akhir 2005, di mana aku memberikan
makalah, dan undangan departemen luar negeri
Indonesia untuk turut menghadiri dialog lintas iman di
Cebu, Filipina pada bulan Maret 2006. Karena aku sudah
semakin tua, kuajak isteriku Nurkhalifah untuk
menemani. Cara berjalanku kadang-kadang agak oleng
karena engsel lutut yang sering rewel.
Selanjutnya harapanku adalah agar Muhammadiyah
di bawah pimpinan yang baru akan jauh lebih maju,
dinamis, kreatif, tetapi tidak goyang dalam menjaga
khittah. Tidak mudah memang menjaga Persyarikatan
ini, khususnya bila menghadapi fluktuasi politik yang
tidak menentu di Indonesia. Aku sendiri yang sudah
berupaya agar tetap berada pada posisi independen, pada
saat pencalonan Amien Rais sebagai presiden masih
339

dikritik orang juga. Tetapi pemihakan Muhammadiyah


kepada pencalonan Rais adalah keputusan rapat pleno
yang diperluas dengan melibatkan semua wilayah. Jadi
keputusan itu adalah keputusan bersama yang harus
dilaksanakan. Adapun dalam kenyataannya tidak semua
warga Muhammadiyah mematuhi keputusan itu, kita
tidak dapat memaksa. Ini adalah pilihan politik sebagai
warga negara yang harus dihormati. Setelah Amien Rais
gugur dalam putaran pertama, warga Muhammadiyah
tidak terikat lagi dengan keputusan di atas. Diserahkan
sepenuhnya kepada mereka dalam menentukan pilihan
dengan berpedoman kepada suara hati nurani masing-
masing.

D. Komunitas Nogotirto-Trianggo
Ini adalah bagian akhir sebelum penutup dari
otobiografi ini. Aku harus menyertakan komunitas ini
karena aku sekeluarga telah tinggal di Nogotirto sejak
Nopember 1985, lebih 20 tahun yang lalu. Sebenarnya
nama Nogotirto ini telah kusebut juga pada bagian lain,
tetapi belum mendapatkan porsi khusus. Selama rentang
waktu 20 tahun usia tuaku telah “dibelanjakan” di sana,
mungkin sebagai terminal terakhir dari hidupku.
Nogotirto terdiri dari dua kata: nogo (naga) dan tirta
(air), artinya banyak air. Kawasan ini sebelumnya adalah
daerah pesawahan, kemudian oleh lurah (kepala desa)
dijual kepada P.T. Nitibuana untuk dijadikan perumahan
penduduk, sementara pihak kelurahan mendapatkan
tanah di tempat lain sebagai gantinya.
Kami mengangsur perumahan K.P.R. (Kredit
Prumahan Rakyat) kepada B.T.N. (Bank Tabungan
Negara) untuk jangka waktu 15 tahun. Sebagaimana
sudah kusebutkan bahwa untuk pembayaran uang muka,
340

bukan uangku yang dikeluarkan karena memang tidak


punya, tetapi diambilkan dari penghasilan isteriku
Nurkhalifah selama bekerja di Chicago. Untuk angsuran
saban bulan memang diambilkan dari gajiku sebagai
pegawai negeri sebesar Rp. 87.670, dimulai sejak
Desember 1985. Tetapi karena ekonomi rumah tangga
semakin membaik, belum sampai 15 tahun, pembayaran
rumah sudah lunas sama sekali. Dengan demikian aku
tak perlu lagi berulang menyetorkan angsuran rumah ke
bank.
Jumlah angsuran ini pada tahun 1980-an itu terasa
cukup berat. Tanpa aku bekerja sebagai dosen di
beberapa perguruan tinggi Jogja dan Solo, bisa jadi dapur
tidak berasap. Tetapi untunglah aku tidak pernah
menunggak untuk membayar kredit rumah ini.
Alhamdulillah tidak sampai 10 tahun aku telah melunasi
semua tuggakan rumah itu. Dengan demikian sebagian
gaji tak perlu lagi dipakai untuk rumah. Di perumahan
Nogotirto inilah muncul sebuah komunitas baru yang
berasal dari berbagai daerah di nusantara dengan latar
belakang etnis, jenis kerja, dan agama yang berbeda.
Sebagian besar tentu sebagai penganut Islam sesuai
dengan komposisi penduduk Indonesia. Ada yang
berasal dari Kalimantan, Sumatera, Madura, dan dari
lain-lain pulau. Yang mayoritas tentu berasal dari Jawa.
Dari jenis profesi, di antara mereka ada karyawan
bank, jaksa, dosen negeri dan swasta, dinas pubakala,
karyawan RRI, wiraswasta, pertamina, pegawai
departemen pendidikan nasional, tentara, polisi, dokter
manusia dan dokter hewan, dan mungkin masih ada dari
jenis pekerjaan lain. Beberapa pemegang Ph.D. (Doctor of
Philosophy) tamatan America dan Perancis adalah di
antara pendatang baru itu. Ada Prof. Dr. Mohtar
341

Masoed, Prof. Dr. Suyanto, keduanya tamatan Amerika;


ada juga Dr. Marchaban, alumnus Perancis. Kebetulan
mereka ini adalah jama’ah masjid Nogotirto. Mereka
yang sudah menunaikan ibadah sudah puluhan
jumlahnya. Tidak pernah putus saban tahun, ada saja
rombongan yang berangkat, padahal aku lihat mereka
umumnya adalah dari kelas menengah seperti aku juga.
Sebagaimana telah kujelaskan sebelumnya, masjid
Nogotirto ini adalah hasil perjuangan teman-teman
jama’ah kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
Sebelum ada masjid kami melakukan salat tarawih di
rumah-rumah yang belum ditempati ketika itu. Sekitar
empat tahun kami melakukan itu. Untuk salat Jum’at
kami bertebaran ke berbagai masjid, tergantung keadaan
masing-masing. Tetapi setelah masjid berdiri pada tahun
1989, tarawih dan Jum’at dipusatkan di masjid ini sampai
sekarang. Sungguh kami tidak bisa membayangkan jika
di perumahan baru ini tidak terdapat masjid. Hubungan
persaudaraan tanpa masjid juga tidak akan mudah,
sekalipun untuk tingkat R.T. (Rukun Tetangga) ada
kegiatan arisan. Kehadiran masjid di lingkungan kami
telah memberikan nuansa tersendiri bagi jama’ah.
Bagiku jama’ah masjid ini adalah teman-teman baru
yang mengesankan. Sewaktu menulis bagian ini,
terbayang olehku wajah Drs. H. Muhammad Romli
(darah Madura kelahiran Solo), yang pernah bekerja
sebagai kepala dinas purbakala selama puluhan tahun.
Agak sedikit emosional, tetapi hati dan dedikasinya
untuk kepentingan agama dan manusia kental sekali.
Hubungannya denganku sangat dekat. Beberapa tahun
menjabat ketua R.W. (Rukun Wilayah). Ada Drs. H.
Djumari, pimpinan P.P.P.G. (Pusat Pendidikan dan
Pengembangan Guru). Teman karibku ini pandai sekali
342

menyiasati harga tanah, entah sudah berapa ratus juta dia


meraup keuntungan dari jual-beli tanah ini. Ada saja
peluang untuk mendapatkan tanah yang diintainya. Salah
seorang anggota panitia pembangunan masjid yang sejak
awal telah terlibat adalah Drs. H. Muhammad Bachtiar,
M.Si., dosen fakultas psikologi UII. Setelah tidak banyak
bertugas ke luar Jawa, sahabat ini termasuk yang rajin
salat berjama’ah. Tidak jarang bersamaku tetap tinggal di
masjid antara maghrib dan ‘isya. Ada lagi bung Drs. Nur
Hidayat jama’ah tetap di samping sebagai imam favorit
karena bacaannya yang fasih. Kemudian Ahmad
Syamlawi, S.E.,M.Si., pernah menjabat Ketua R.T. VII.
Tugas sehari-hari adalah sebagai dosen sebuah perguruan
tinggi sewasta di Jojakarta. Kadang-kadang jadi muazzin
dan imam salat. Belakangan mulai pula aktif berjamaah
Drs. H. Heru, pengurus R.W. 16, dan karyawan pada
sebuah bank.
Dalam pada itu jika ada anggota yang tidak pernah
menolak menjadi sekretaris kepanitiaan dan kordinator
konsumsi untuk kegiatan masjid, maka nama Kastolani,
B.A. adalah yang paling menonjol. Berasal dari Prembun
(Kebumen), sahabat yang satu ini adalah guru dan wakil
kepala sekolah salah satu S.M.K. Negeri Jogjakarta.
Sahabat ini seakan-akan telah menjadi sekretaris abadi
kepanitiaan. Semua urusan di tangannya beres, tidak ada
yang tidak selesai.
Terbayang juga olehku sahabat jama’ah Sjamzaini,
S.H., mantan jaksa, penah bertugas di Timor Timur
sebelum daerah itu lepas dari Indonesia. Teman ini
diberi julukan “imam besar” masjid Nogotirto, karena
seringnya menjadi imam untuk salat subuh, maghrib, dan
‘isya’, juga tarawih. Ada lagi H. Duriat Subekti, mantan
kepala R.R.I. Sumenep. Sosok ini aktif sekali dalam
343

kegiatan masyarakat dan Muhammadiyah Nogotirto.


Kalau ada urusan pengeras suara, dialah ahlinya, sesekali
juga bertindak sebagai muazzin. Nama Ir. Irawadi
Buyung, M.T.,seorang sarjana teknik listrik, tidak boleh
dilupakan. Anak Lampung yang punya darah Minang-
Jawa ini adalah tempat mengadu jika masjid menghadapi
masalah lampu dan kipas angin. Dengan cepat dia akan
memperbaikinya. Tidak saja itu, dia juga seorang
muazzin dan komandan takbir bila hari raya datang.
Selama bulan puasa, dia juga pemegang aba-aba untuk
salat tarawih/witir. Mulai tahun 1426 hijriyah/2005
miladiyah Irawadi adalah salah seorang pelopor
pemotongan hewan qurban untuk blok tiga utara
sehingga meringankan tugas panitia masjid Nogotirto
dalam masalah distribusi daging. Sekalipun baru pertama
kali, jumlah korban sapi mencapai lima ekor plus
kambing.
Tampak pula wajah Dr. H. Eko Supriyanto, S.H.,
M.Pd., M.Si, dosen Universitas Muhammadiyah
Surakarta yang sarat dengan titel akademik. Inilah sosok
yang punya naluri L.S.M. (Lembaga Swadaya
Masyarakat). Tidak pernah menolak permintaan
masyarakat untuk membantu mereka. Dalam peribasa
tipe yang satu ini adalah “cepat kaki ringan tangan.” Ada
lagi Drs. H. Mohammad Hatta, M.Si., beberapa tahun
menjadi ketua takmir, di samping khatib Jum’at.
Dadanya lapang, pemaaf, dan humoris. Tinggal agak ke
utara masjid, ada Drs. Thohar Fuaedy, M. Pd., seorang
ahli komputer, di samping ketua Y.A.S.I.N. (Yayasan
Amal Sosial Islam Nogotirto). Jika komputerku sedikit
rewel, aku pernah minta tolong kepadanya. Tak jauh dari
rumah Bung Thohar, ada sahabat yang sangat ceria dari
pertamina. Namanya Hartoyo, karyawan perusahaan
344

minyak itu. Ketika bahuku pada suatu saat terasa agak


kaku, Hartoyo mengajakku untuk mencoba tusuk jarum
yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Pendeknya
kawan yang satu ini agak mirip dengan Eko: “cepat kaki
ringan tangan”. Berat badannya mungkin di atas 80 kg.
Jama’ah masjid yang hampir tidak pernah absen
salat berjama’ah ada beberapa orang, di samping
sebagian sudah kesebut di atas. Yang lain adalah Drs. M.
Miska Amin, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada, berasal dari Bengkulu. Dia dikenal sebagai
perisensi karya tulis orang lain. Entah berapa puluh
sudah resensinya yang telah dimuat di berbagai media
cetak. Ketika datang hari raya ‘Idul Qurban, dialah salah
seorang jagal yang ditakuti kambing. Jumlah kambing
yang telah “dihabisinya”, sudah puluhan jika bukan
ratusan. Teringat juga sosok Drs. Usmar Salam, M.A.,
dosen Fisipol Universitas Gadjah Masa, alumnus Jepang
yang mahir berbahasa Jepang. Berasal dari Lirik, Riau
Daratan. Perawakannya tinggi semampai. Kadang-
kadang rajin ke masjid, ada kalanya terlalu sibuk di luar.
Muazin yang sangat aktif sejak dua tahun terakhir adalah
Drs. Yulian Yamit, M.Si., dosen Fakultas Ekonomi UII
(Universitas Islam Indonesia), juga dari Bengkulu, dari
Manna. Aku pernah berkunjung ke kampungnya. Jika
ada orang yang ceria di Nogotirto, maka Yulian
termasuk dalam daftar teratas. Tertawanya yang keras
dengan menggerak-gerakkan kepala selalu mengundang
lingkungan untuk juga terbahak. Apalagi matanya, hilang
kala tertawa. Setiap ‘Idul Qurban, tugas pokoknya adalah
menimbang daging. Dia teliti sekali.
Ada pula si Minang kelahiran Jogja. Namanya H.
Hermansyah. Orang tuanya berasal dari Sulit Air. Dia
saudagar alat-alat tulis di Pasar Kranggan Jogja.
345

Seingatku jika untuk simpan menyimpan uang masjid,


Hermanlah orangnya, di samping H. Marsono, S.E. dari
unit Syari’ah bank B.R.I., dan H. Abdul Aziz dari
pertamina. Ketiga sahabat ini sangat amanah dalam
urusan uang. Ketiganya adalah jama’ah tetap masjid.
Jarang absen. Abdul Aziz sekalipun telah membangun
rumah pula di Pundong, masih juga sering datang ke
masjid Nogotirto utnuk bergabung dengan teman-
teman, apalagi pada hari Juma’at dan hari-hari raya. Bung
Marsono yang dulu adalah penggemar berat sate
kambing, sejak beberapa tahun terakhir telah talak tiga,
sebab bisa menaikkan tekanan darahnya. Berat badannya
sekitar 80 kg. Aku melihat wajah ketiga teman ini, seperti
wajah teman-teman lain, adalah wajah ikhlas. Bekerja
untuk kepentingan masjid tanpa pamrih.
Dosen Fakultas Ekonomi yang lain adalah Drs. H.
Warsono Muhammad, M.A., alumnus U.I.I. dan Hawaii,
berasal dari Bojonegoro. Pernah dua periode menjabat
dekan. Tambahan Muhammad ini dipakainya setelah
menunaikan ibadah haji. Aku tidak tahu apa alasannya.
Rasanya pernah dikatakannya, agar citra santrinya lebih
kentara. Teman inilah yang memprakarsai arisan Jum’at
sekali sebulan yang sangat bermanfaat untuk
kepentingan dana masjid Nogotirto. Aku lihat cara
berpikirnya cepat dan tangkas, analisis ekonominya tidak
kalah dibandingkan dengan para pengamat ekonomi
yang lain. Kecuali untuk jama’ah subuh, untuk maghrib
dan ‘isya sering datang. Dalam rangka mengurus daging
korban, Bung Warsono juga bersama Yulian bertugas
menimbang daging. Keduanya sama-sama ekonom. Ada
pula drh. H. Toto Purwantoro yang juga rajin salat
berjama’ah. Untuk memeriksa kesehatan sapi korban,
biasanya sahabat kita ini yang diminta untuk turut ke
346

tempat pembelian. Dia bekerja sebagai distributor


makanan ternak dengan kantor pusatnya di Semarang
yang dilajunya dari Nogotirto. Jama’ah lain adalah H.
Siswojo, S.E.,M.M. dari pimpinan Bank Mandiri U.G.M.
Kadang-kadang juga berfungsi sebagai muazzin dengan
suaranya yang cukup bagus. Mulai tahun 1426/2006 dia
menjadi penitia korban di perumahan utara masjid
Nogotirto.
Teman-teman lain masih banyak. Ada Drs. H.
Hilman Nadjib, M.Sc, mantan kepala L.P.P. (Lembaga
Pendidikan Perkebunan), berasal dari Kudus. Banyak
memberikan dana untuk urusan masjid. Sesekali masih
sempat berjama’ah di masjid jika kebetulan ada di
Nogotirto. Teman lain adalah Bambang Samiyo, pemilik
apotik di Bantul, sejak dua tahun terakhir juga aktif
sebagai jama’ah masjid. Yang juga mulai rajin ke masjid
adalah Drs. H. Sudiyono, M.Si., dosen Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, pindahan dari Kalimantan
Tengah; begitu juga dr. Idam Nawawi, spesialis anak,
asal Sumatera Selatan, adalah di antara sahabatku yang
aktif salat berjama’ah. Ada lagi Suharwidjono, mantan
kepala kantor pertanahan Sleman dan Gunung Kidul
yang rajin sekali salah berjamaah. Masih banyak yang lain
sehingga Masjid Nogotirto tidak pernah sepi dari
jamaah, khususnya untuk maghrib, ‘isya’, dan subuh.
Yang cukup menarik juga untuk dicatat adalah
kegiatan anak-anak muda di masjid. Hampir setiap
malam mereka membaca al-Qur’an, mengajar dan belajar
sesama mereka. Lingkungan masjid telah membentuk
mereka menjadi anak-anak muda yang taat, di samping
sekolah mereka yang lancar. Di antara mereka ada yang
kuliah di Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri
Yogyakarta, U.I.I., Universitas Muhammadiyah
347

Yogyakarta, dan mungkin masih ada yang kuliah di


tempat lain. Tidak semua mahasiswa, ada juga yang
masih belajar di sekolah menengah. Tidak seorang pun
di antara anak-anak muda ini yang mempunyai perilaku
menyimpang. Mereka tidak pernah terlibat dalam
berbagai minuman keras dan tindak kekerasan. Masjid
telah mendidik mereka menjadi manusia santun dan
bertanggung jawab. Dalam kegiatan kepanitiaan, mereka
selalu diikutsertakan, demi estafet generasi di lingkungan
masjid Nogotirto.
Komunitas Nogotirto/Trianggo sebagai unit
persahabatan baru bagiku sangat mengesankan. Begitu
mudahnya mendapatkan dana di sini untuk keperluan
sosial keagamaan. Infaq masjid tiap Juma’at rata-rata
sekitar Rp. 200.000, dan pendapatan bulan Ramadan
terus meningkat. Ramadan 1426 hijriyah mencapai
sekitar Rp. 6.000.000. Kemudian infaq yang
dikumpulkan Y.A.S.I.N. rata-rata Rp. 500.000 per bulan.
Dana ini dipakai untuk memberikan beasiswa kepada
sektor masyarakat yang kurang mampu. Itu kita belum
lagi berbicara tentang infaq insidental yang begitu mudah
didapatkan. Seperti telah kukatakan, anggota komunitas
baru ini tidak ada yang kaya “meletus”, istilah Minang
untuk jutawan.
Isteriku Nurkhalifah adalah di antara jama’ah
masjid yang aktif, di samping juga turut membayar iuran
untuk Y.A.S.I.N. dan iuran pengajian kaum ibu di masjid
Nogotirto. Dia juga dikenal sebagai juru masak kambing
dan sop buntut di lingkungan masjid dan R.T. VII
perumahan Nogotirto. Tampaknya banyak yang senang
hasil masakannya. Sebelum dihidangkan kepada tamu,
dia pasti tanya dulu padaku: bagaimana hasil
masakannya? Tentu aku jawab dengan mengangkat ibu
348

jari. Setiap Hari Raya Qurban, sudah menjadi tradisi


kami untuk masak dan makan bersama dalam rangka
penyembelihan hewan qurban. Bagiku pesta tahunan ini
sangat menyenangkan. Berbagai jenis masakan
dihidangkan, biasanya setelah salat zuhur. Hasil masakan
isteriku sepanjang pengetahuanku tidak pernah bersisa.
Sebagai manusia kelahiran Minang, salah satu
kelemahanku adalah suka makan, kadang-kadang
mungkin sudah sedikit berlebihan, khususnya pada Hari
Raya Qurban ini. Gulai kambing masakan isteriku
sungguh fantastik.
Selama 20 tahun menjadi penduduk Nogotirto,
beberapa taman jama’ah masjid telah mendahului kami.
Di antaranya Drs. M. Rusli Karim, M.A., asal
Palembang, seorang penulis prolifik. Biaya kuliahnya
pada I.K.I.P. Yogyakarta boleh dikatakan berasal dari
karya tulisnya. Entah berapa sudah karya tulis yang
dihasilkannya. Dia wafat dalam usia yang relatif muda.
Program S3 dengan biaya pribadi diambilnya pada
U.K.M. (Universiti Kebangsaan Malaysia), tempatku
memberi kuliah selama dua tahun, seperti yang telah
kusebut terdahulu. Disertasinya telah rampung ditulis,
tinggal menunggu ujian doktor yang ternyata tidak
terkejar oleh usianya. Bung Rusli adalah seorang aktivis
Muhammadiyah sejak masih mahasiswa. Aku benar-
benar merasa kehilangan dengan kepergian teman yang
satu ini. Bukan saja aku, Muhammadiyah pun
kehilangan. Dia dimakamkan di pemakaman kampung,
tidak jauh dari perumahan Nogotirto. Teman lain yang
sudah wafat adalah Sutjipto, mantan jaksa. Malamnya
masih menyanyi menyambut 17 Agustus 2005, dinihari
sudah dipanggil Allah.
349

Atas prakarsa isteri dan anakku Hafiz, rumah kami


di Nogotirto telah direnovasi agar lebih luas dengan
tiang baja. Rumah lama terasa terlalu sempit untuk
tempat bukuku yang terus saja berdatangan dari berbagai
penerbit. Kamar tidurku sebelum rumah dirombak
sudah tidak layak untuk ditiduri, karena harus bersaing
dengan buku dan kertas. Hafiz, seorang sarjana teknik
U.I.I. dan S2 di Rotterdam (Belanda), pernah mengeritik
ayahnya mengapa buku terlalu banyak. Bukankah itu
hanyalah kumpulan pikiran orang? Tentu saja pertanyaan
itu wajar saja karena disampaikan oleh sarjana teknik
yang tidak terlalu banyak memerlukan bacaan
sebagaimana yang dituntut oleh ilmu-ilmu sosial dan
humaniora.
Berbeda denganku, Hafiz belum begitu tertarik
dengan filsafat, kajian agama, politik, apalagi sejarah.
Perbedaan ini wajar saja. Bagiku seorang anak bebas saja
untuk menentukan bidang apa yang mau digelutinya.
Tetapi aku akan naik pitam, jika anak tidak tertarik untuk
belajar. Jika hal itu terjadi aku dan Lip benar-benar telah
gagal sebagai seorang ayah dan ibu. Alhamdulillah, Hafiz
berhasil menyelesaikan studi S2-nya sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Yang aku masih prihatin adalah
karena Hafiz belum serius menjalankan agama.
Harapanku adalah bahwa pada satu saat, agama akan
menjadi sesuatu keperluan mutlak bagi anak ini melalui
pilihannya yang sadar. Sebagai orang tua aku sering
kecewa terhadap sikapnya yang sering acuh tidak acuh
dalam melakukan salat, sekalipun sering aku peringatkan.
Untuk salat Jum’at tampaknya dia cukup rajin. Tetapi
dimensi kemanusiaannya tidaklah kurang, mungkin lebih
banyak diwarisi dari darah ibunya.
350

Salah satu faktor mengapa aku sering menolak


untuk memberi khutbah Hari Raya ‘Idul Qurban di luar
kota Jogjakarta adalah suasana qurban di sekitar masjid
Nogotirto yang benar-benar menyenangkan. Sejak dua
tahun terakhir aku tidak lagi banyak melakukan
penyembelihan sapi. Jagal-jagal lain yang lebih muda
telah bermunculan menggantikan posisiku. Untuk
penyembelihan kambing aku masih berperan aktif
dengan menggunakan pisau yang sangat tajam. Kubeli
ketika menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu.
Untuk mengasah pisau ini cukup digesekkan saja pada
sarungnya. Sangat praktis. Pisau ini selama masa
penyembelihan tersisip di pinggangku yang sewaktu-
waktu dikeluarkan untuk memotong leher sapi atau
kambing. Entah sudah berapa puluh leher hewan qurban
yang “dibinasakan” oleh pisau kesayanganku ini.
Di perumahan Nogotirto ini, ada juga teman-teman
Katolik dan Kristen yang berdampingan dengan
komunitas Muslim yang mayoritas. Hubungan lintas
agama di sini baik sekali. Saling membantu dan saling
menjenguk bila ada keperluan, seperti sakit atau
kematian. Perbedaan agama tidak pernah menjadi alasan
untuk tidak mengakrabkan persahabatan. Apalagi teman-
teman ini tahu betul bahwa aku berkawan dengan tokoh-
tokoh puncak mereka di Jakarta. Bahkan tetangga
dekatku adalah seorang penganut Katolik. Kami biasa
bersenda gurau, bicara macam-macam, politik, ekonomi,
dan keprihatinan yang sama terhadap keadaan bangsa
yang masih saja belum menggembirakan. Angka
pengangguran malah semakin bertambah. Teman ini
adalah pensiunan B.R.I., terakhir bertugas di Jayapura.
Ringkas kata, suasana lingkungan perumahan Nogotirto
cukup nyaman untuk didiami oleh masyarakat majemuk.
351

E. Syukuran Listrik
Sudah dijelaskan bahwa peresmian pemakaian
listrik untuk beberapa nagari di kecamatan Sumpur
Kudus berlangsung pada tanggal 29 Januari 2005. Atas
gagasan Prof. Novirman yang aku dukung sepenuhnya
pada tanggal 29 Januari 2006 diadakan syukuran setahun
listrik masuk desa bertempat di masjid Silantai, seperti
telah kusinggung sedikit terdahulu. Peristiwa ini bagi
orang kampungku sangat penting dan menggembirakan
untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah bahwa
pada akhirnya listrik yang sudah lama dirindukan
kedatangannya menjadi kenyataan.
Untuk mengenang suasana syukuran istimewa itu,
di bawah ini kuturunkan kembali apa yang kutulis dalam
“Resonansi” yang muncul dalam Republika 7 Pebruari
2006, halaman 12 dengan judul “Syukuran Listrik di
Silantai”:
Kabarnya konon sepanjang sejarah perlistrikan
di Indonesia peristiwa semacam ini adalah yang
pertama kali terjadi. Di bawah kordinasi M. Deddy
Julianto, yang saya sebut sebagai “Panglima Jawa”,
dan panitia lokal di bawah pengawasan Prof. Dr.
Novirman Djamarun, Kopertis Sumatera Barat,
Jambi, Riau, dibantu oleh Drs. Khairuddin Kanaan
dari Pemda Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, maka
digelarlah upacara syukuran itu pada 29 Januari
2006. Tamu yang hadir tidak tanggung-tanggung:
dari Jakarta, Bandung, Padang, Muaro, Solok,
Sijunjung, Lintau, dan tentu saja dari kecamatan
Sumpur Kudus dengan camatnya. Nagari Silantai
yang terletak sekitar dua km di utara nagari Sumpur
Kudus sebagai lokasi upacara seperti berada dalam
352

suasana mimpi yang tak terbayangkan sebelumnya.


Apalagi semula diperkirakan Menhub M. Hatta
Rajasa akan hadir, tetapi karena mendadak
dipanggil presiden, dia mengirim wakil dua orang
staf ahli dan staf khusus, keduanya alumni ITB
dengan memberikan bantuan untuk Panti Asuhan,
TK, dan Cabang Muhammadiyah Sumpur Kudus.
Tamu dari Jakarta a.l. adalah dua dirjen
departemen pendidikan nasional: manajemen
pendidikan dasar/menengah dan luar sekolah, karo
keuangan departemen pendidikan nasional, staf
khusus menteri pendidikan nasional, dua dari
departemen perhubungan, seperti tersebut di atas,
dirut Indofarma dan staf, direktur IGM (Indofarma
Global Medica), mantan dirut BNI, rektor
Universitas Negeri Jakarta, karo kesra wakil
presiden, dua orang dari Maarif Institute, puluhan
dari PLN di bawah komandan Dr. Ir. Herman
Darnel Ibrahim, salah seorang direktur PLN Pusat.
Tidak ketinggalan Ir. Sofyan Amin mantan General
Manager PLN Sumbar sebelum digantikan oleh Ir.
Sudirman, M.M.
Tamu-tamu yang datang tidak sekadar
menghadiri syukuran, tetapi telah mengguyurkan
bantuan untuk berbagai lembaga pendidikan, panti,
masjid, surau, ketrampilan, dan beberapa anak
miskin. Nilai keseluruhan bantuan, baik berupa
voucher mau pun uang kontan, saya hitung-hitung
lebih dari satu milyar, suatu angka yang terlalu amat
besar bagi desa yang tersuruk itu. Juga ada obat-
obat dan sedekah/infaq dari dirut Indofarma,
mantan dirut BNI, dan dari “Panglima Jawa” untuk
Puskesmas, TK dan panti. Sebelum bertolak ke
353

Silantai sesudah Subuh 29 Jan., Bupati Darius Apan


malam 28 Jan. telah menjamu dan menyediakan
penginapan bagi seluruh tamu yang datang. Seperti
perhelatan besar saja, bukan? Tentu bintang dalam
upacara syukuran itu adalah Bung Darnel Ibrahim
yang pada malam sebelumnya telah memberikan
“kuliah” memukau dan juga mencemaskan tentang
perlistrikan Indonesia yang, jika tidak waspada,
akan menghadapi masalah sangat serius pada masa
depan yang dekat. Oleh sebab itu pemerintah harus
memantau betul dan mengambil langkah dan
kebijakan yang tepat dalam soal listrik ini yang pasti
punya politik tinggi karena melibatkan dana
puluhan triliun rupiah. Menurut Darnel, sesudah
oksigen, seolah-olah listrik telah menempati posisi
kedua dalam kehidupan manusia. Dari seluruh
penggunaan tenaga listrik di muka bumi, Amerika
adalah yang terbanyak memakainya, yaitu 27%,
padahal penduduknya hanya 270 juta. Sisanya yang
73% adalah untuk bangsa-bangsa lain yang
bilangannya sekitar 200 itu.
Berapa jumlah kendaraan yang “menyerbu”
Sumpur Kudus hari itu? Karena berada di barisan
depan, saya tidak tahu berapa jumlah iringan mobil
yang mengangkut tamu ke lokasi. Kabarnya di atas
50, baik yang disediakan dephub, Indofarma, PLN,
pemda kabupaten Sawahlunto atau Sijunjung, serta
kendaraan pribadi. Sepintas lalu, jika orang tidak
membaca informasi tentang sumbangan di atas,
mungkin akan bertanya: apa-apaan ini? Tetapi
setelah mencermatinya, baru akan berucap: dalam
rangka membantu kawasan IDT (Inpres Desa
354

Tertinggal) dengan memanfaatkan syukuran


setahun listrik masuk desa.
Ada berita dari Silantai yang menyentuh batin
kita sewaktu menyambut tamu. Bunyi talempong
dan salung disertai ungkapan-ungkapan puitis khas
Minang yang mengharukan digelar, tetapi hanya
suara pelaku yang terdengar. Mereka
disembunyikan di belakang kerumunan manusia
yang berjubel. Mengapa? Novirman mengatakan
karena tidak punya pakaian seragam. Malu jika
dilihat tamu penting dari Jakarta. Padahal harga
pakaian mereka itu hanyalah sekitar Rp. 150.000
s/d Rp. 200.000 per orang. Sayang mereka
terlambat memberi tahu sehingga tidak sempat
dibelikan ke kota. Bukankah ini sebuah panorama
yang membuat kita iba? Tanpa kesediaan mereka
secara pribadi dalam melestarikan khazanah kelasik
itu, seni khas daerah itu pasti, lambat atau cepat,
akan punah dimakan musim.
Bupati dalam sambutannya pada upacara yang
dipusat kandi masjid Silantai yang masih
terbengkalai itu mengulangi lagi ucapannya bahwa
dia tidak sanggup memasukkan listrik ke Sumpur
Kudus tanpa Jakarta turun tangan. Karena
perhatian Jakarta inilah PLN Sumbar bergerak
cepat untuk memberi cahaya ke nagari-nagari itu
sejak setahun terakhir. Dan perlu dicatat keterangan
pimpinan PLN ranting Sijunjung bahwa tidak ada
tunggakan masyarakat di sana dalam pembayaran
rekening listrik setiap bulan. Jadi angka 100% lunas
adalah salah satu bentuk rasa syukur itu, bukan?
Tulisan ini kusiapkan di Air Dingin Padang, 31
Januari 2006 untuk Republika, seperti telah kusebutkan di
355

atas. Masjid Silantai yang terbengkalai itu mendapat


bantuan dari P.L.N. dan karo keuangan departemen
pendidikan nasional masing-masing Rp. 50.000.000 dan
Rp. 20.000.000. Dengan bantuan ini masjid ini dalam
beberapa bulan akan muncul sebagai masjid cantik di
nagari itu. Aku meminta takmirnya agar kebersihan
betul-betul dijaga, sehingga masjid ini akan melakukan
da’wah tanpa kata. Setiap orang yang masuk ke dalamnya
akan bergumam: alangkah bersihnya masjid ini. Tempat
wudhunya juga mencerminkan watak Islam sebagai
agama yang menjadikan kebersihan sebagai bagian dari
iman.
Dibandingkan dengan peresmian masjid Y.A.M.P.
Calau dan peresmian listrik masuk desa sebelumnya yang
cukup meriah, maka pertemuan kali ini jauh lebih besar,
baik diukur dari jumlah tamu yang hadir mau pun dari
suasana syukuran yang jauh lebih semarak. Barangkali ini
adalah peristiwa besar terakhir dalam hidupku di mana
aku turut mendorongnya, demi menggembirakan rakyat
Sumpur Kudus. Semoga tokoh-tokoh lain dari desa ini
akan muncul pula di kemudian hari untuk memajukan
kampung halaman yang sudah puluhan jika bukan
ratusan tahun berada dalam kategori desa tertinggal.

IX. AKHIRNYA

Inilah potret perjalanan hidupku yang diberi judul


“Titik-titik Kisar di Perjalananku”. Dari seorang anak
piatu di desa Calau, Sumpur Kudus, aku telah
merangkak mengikuti arah retak tangan, terlibat dalam
pusaran waktu yang cukup panjang dan berliku. Di kala
kecil tidak ada cita-cita tinggi yang hendak kuraih. Alam
356

Sumpur Kudus yang sempit dan terpencil di lembah


Bukit Barisan telah turut membentuk diriku untuk tidak
punya angan-angan besar yang aneh-aneh. Aku tumbuh
dan berkembang bersama teman-teman desa yang serba
sederhana. Aku menjala, memancing ikan di Batang
Sumpur, mengadu sapi, mengadu ayam bersama mereka.
Sekalipun aku lahir sebagai anak Kepala Nagari, hidupku
tidak ada bedanya dengan teman-teman kampung itu.
Seingatku sejak masa kanak-kanak sampai dewasa jarang
sekali aku tidur di atas kasur. Tikar kasar adalah sahabat
setiaku dalam rentang waktu yang panjang. Sampai setua
ini, aku akan bisa tidur nyenyak tanpa kasur, karena
sudah terlatih sejak kecil.
Titik kisar pertama terjadi pada waktu aku belajar di
madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tangah,
Lintau, setelah menganggur selama tiga tahun pasca S.R.
Dengan modal pendidikan Mu’allimin sedikit banyaknya
aku telah berani berpidato di depan publik kampung
yang jumlahnya terbatas. Bahkan lebih dari itu, aku
sudah berani pula memberi ceramah di tempat-tempat
lain. Dengan bekal ilmu agama yang serba kurang, aku
telah berani berdebat di masjid menghadapi kaum elit
Sumpur Kudus dengan semangat tinggi. Topik
perdebatan tidak melebihi masalah-masalah khilafiah di
tingkat kampung.
Paham agama Muhammadiyah yang telah
“dipompakan” ke dalam otak dan hatiku sejak masih
belajar di madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur
Kudus telah menjadi modalku untuk berkayuh lebih jauh
sampai ke lingkungan Universitas Chicago di Amerika
Serikat. Modal ini pernah “menghilang” sementara ketika
aku sibuk dengan ilmu-ilmu sekuler, kemudian hadir
kembali dengan fondasi yang lebih mantap dan kokoh.
357

Di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus


(sudah lama mati), aku mulai belajar agama menurut
paham Muhammadiyah. Salah seorang guruku di sini
adalah ibu Nurjannah dari Padang yang kemudian kawin
dengan Muchtar Gafur, seorang tokoh Masyumi tingkat
kabupaten. Harun Malik, A. Wahid dan M. Sanusi Latief
juga pernah mengajarku di madrasah ini, tetapi tidak
tetap. Sanusi Latief hanya mengajar ketika pulang
kampung dari Bukittinggi, tempat dia belajar di Sekolah
Menengah Islam.
Titik kisar kedua terjadi setelah meneruskan
pelajaran ke madrasah Mu’allimin Jogjakarta. Wawasan
semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang
“fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin
menguat. Bahkan sampai aku belajar sejarah pada
Universitas Ohio di Athens, Amerika Serikat, paham
agamaku belum banyak mengalami perubahan. Cita-cita
politikku tetap saja ingin “menaklukkan” Indonesia agar
menjadi negara Islam, padahal batang usiaku ketika itu
sudah di atas 40 tahun. Otak dan hatiku ketika itu belum
mendapatkan “virus” pencerahan untuk memasuki
gerbang titik kisar tahap ketiga, dan mungkin yang
terakhir sebelum maut menyudahi karierku di muka
bumi.
Di lingkungan kampus Universitas Chicago-lah aku
mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual yang
baru dan sekaligus merupakan titik kisar yang ketiga. Ini
adalah titik kisar dalam pemikiran keislaman dan
keindonesiaanku. Peran Fazlur Rahman, dengan segala
kritikku kepadanya, sungguh sangat besar. Strategi dan
pendekatan yang digunakannya agar aku menimbang
seluruh kekayaan khazanah Islam klasik dan modern
dengan al-Qur’an barangkali telah membuatku
358

mengalami titik kisar terakhir di perjalanan intelektualku.


Pertanyaannya adalah: apakah titik kisar yang ketiga ini
sudah berada di jalan yang lurus dan benar secara agama?
Aku tidak bisa mengatakannya. Biarlah para pengamat
yang menjawabnya. Aku sendiri hanya berharap bahwa
perjalanan hidupku tetap berada dalam koridor Islam
yang autentik, sementara keindonesiaanku telah lama
menyatu dengan keislamanku.
Memang pada akhirnya aku berkesimpulan bahwa
apa yang dikenal dengan kelompok sunni, syi’i, khawarij,
dan cicit-cicitnya yang telah berkembang biak selama
puluhan abad pada berbagai unit peradaban Muslim,
adalah hasil sejarah belaka yang boleh dan harus
dipertanyakan, diterima atau ditolak, dengan
menempatkan al-Qur’an sebagai hakim tertinggi.
Sebagaimana nenek mereka terdahulu, cicit-cicit ini juga
tidak jarang terlibat untuk saling bahu hantam yang tak
putus-putusnya, karena al-Qur’an tidak dijadikan rujukan
pertama dan utama. Al-Qur’an sudah terlalu lama
dicampakkan ke dalam limbo sejarah. Kesimpulan ini
adalah dari aku sendiri, bukan dari Rahman. Semua hasil
sejarah pasti terikat dengan ruang dan waktu. Masa
lampau adalah milik mereka yang menciptakan, bukan
milik kita. Milik kita hanyalah semua yang kita ciptakan,
sekalipun kita tidak mungkin melompat dari sebuah
kekosongan. Di sinilah perlunya orang belajar sejarah
secara cerdas, jujur, dan kritikal.
Untuk Indonesia ke depan, tugas yang cukup
menantang adalah bagaimana mengawinkan secara sadar
dan cerdas nilai-nilai dasar keislaman yang ramah dengan
unsur-unsur keindonesiaan. Pandangan Mohammad
Hatta dan H.A. Salim barangkali perlu dijadikan salah
satu rujukan untuk merumuskan proses integrasi Islam
359

dan Indonesia itu. Dalam perspektif ini Pancasila dengan


nilai-nilai luhurnya harus berhenti untuk hanya dijadikan
retorika politik. Semua nilai itu harus diterjemahkan ke
dalam format yang kongkret sehingga prinsip “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” benar-benar
menjadi kenyataan. Tanpa upaya yang serius ke arah
tujuan mulia ini, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk
bertahan sebagai sebuah bangsa dan negara yang
berdaulat dan adil. Dalam ungkapan lain, terpaan sejarah
yang berkali-kali memukul Indonesia, sesungguhnya
dapat dicari akar-umbinya pada kelalaian fatal para elit
bangsa dalam melaksanakan prinsip keadilan ini. Di
sinilah sebenarnya sumber pokok dari segala konflik
pusat-daerah yang berkali-kali kita alami dengan biaya
yang sangat tinggi. Tetapi alangkah sukarnya orang
belajar dari pengalaman pahit masa lampau.
Integrasi nasional bukanlah sesuatu yang sudah
final, ia adalah sebuah proses yang terus berlangsung,
tidak pernah berhenti. Islam bila dipahami dan
ditafsirkan secara benar dan autentik, di samping Bahasa
Indonesia, akan memberikan sumbangan yang sangat
menentukan bagi pemantapan proses integrasi ini.
Kepada teman-teman yang memilih radikalisme untuk
mencapai tujuan, aku ingatkan bahwa cara-cara semacam
itu sepanjang sejarah Indonesia hanya punya satu risiko:
gagal! Oleh sebab itu bacalah baik-baik peta sosiologis
masyarakat Indonesia sebelum melangkah terlalu jauh
dengan menggunakan cara-cara yang radikal yang sia-sia
itu.
Demikianlah otobiografi ini kususun dengan
lobang-lobang yang terdapat di sana-sini karena
kelemahanku semata. Jika aku menyebut nama seorang
teman secara kurang proporsional dan dari sudut etika
360

kurang tepat, permohonanku hanya tunggal: maafkan


aku! Tidaklah maksudku untuk menyinggung perasaan
seseorang sekiranya aku menyebut namanya. Semua itu
kulakukan semata-mata dalam konteks kiprahku,
khususnya selama memimpin Muhammadiyah dalam
bingkai bangsa dan negara Indonesia.
Selanjutnya dalam usia yang sudah sangat larut ini,
agenda utamaku adalah turut berbuat sesuatu, betapa
pun kecilnya, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan
negara tetap utuh, tidak terkoyak oleh berbagai
kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat.
Apakah angan-angan mewah ini akan menjadi kenyataan
sebelum aku tutup mata, tidaklah penting bagiku, sebab
aku sadar betul bahwa masalah Indonesia cukup ruwet
dan sarat dengan serba ketidakpastian. Tetapi setidak-
tidaknya sebagai warga negara biasa aku telah
menyampaikan sesuatu kepada bangsa yang kucintai ini.
Terserahlah kepada semua pihak untuk menilainya secara
bebas dan adil. Apalah artinya seorang aku yang hanya
sebagai sebuah skrup alit yang seperti kata dalam pepatah
Minang: “Bak melukut (pecahan beras karena ditumbuk)
di atas gantang. Masuk tidak menggenapkan, keluar tidak
mengurangi.” Tetapi aku mencintai bangsa ini secara
tulus dan dalam sekali. Bagiku membela bangsa adalah
dalam rangka membela Islam, karena Indonesia
merupakan bangsa Muslim terbesar di muka bumi yang
harus dijaga martabat dan kedaulatannya.
Dalam pergumulan pemikiranku pasca Chicago,
Indonesia dan Islam telah lebur menjadi satu. Islam yang
dianut mayoritas penduduk tidak boleh mau menang
sendiri. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi
berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan
secara adil dan proporsional. Adapun muncul kelompok
361

kecil Muslim yang mau menang sendiri tidak paham


esensi ajaran Islam yang mengajarkan persaudaraan
semesta dengan dasar saling menghormati. Tidak untuk
saling menggusur, apalagi saling meniadakan. Pihak
minoritas juga harus memahami dengan baik peta
sosiologis masyarakat Indonesia yang plural agar
gesekan-gesekan di akar rumput dapat ditiadakan dengan
terus membangun budaya saling pengertian. Planet bumi
hanya satu untuk tempat kediaman seluruh makhluk.
Umat Islam semestinya menjadi wasit dalam pergaulan
antar peradaban, sekalipun yang berlaku belakangan
mereka malah sering diwasiti karena kualitas di bawah
standar.
Karierku sebagai Ketua P.P. Muhammadiyah, 1998-
2005, telah membawaku ke pusaran perkembangan
politik, sosial, dan kultural secara nasional. Kampungku
Sumpur Kudus setidak-tidaknya telah sedikit terangkat
berkat perhatian dan bantuan teman-teman yang empati
dan simpati terhadap kawasan I.D.T. (Inpres Desa
Tertinggal) itu. Selanjutnya terserahlah kepada para
pengamat untuk menempatkanku pada posisi berhasil,
gagal, setengah berhasil, atau setengah gagal. Aku tidak
punya kosa-kata untuk mengomentari pendapat atau
penilaian yang diberikan oleh siapa saja, domestik atau
pihak asing, terhadap kiprahku selama delapan tahun
terakhir. Sebuah rentang waktu yang tersibuk bagi diriku.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai ketua P.P.,
diperkirakan semula kegiatan kemasyarakatanku akan
berkurang, ternyata tidak demikian. Diskusi, seminar,
simposium, dan yang sebangsa itu tetap saja kujalani,
sekalipun secara selektif. Undangan dari berbagai daerah
masih saja berdatangan, tetapi hanya sedikit yang dapat
362

kukabulkan, mengingat kondisi fisik yang belum tentu


selalu mendukung.
Kata orang dalam usia di atas 70 tahun, aku masih
terlihat sehat. Penyakit gula yang ada pada diriku sejak
beberapa tahun yang lalu, dengan pil amaryl ukuran 1
mm dan vitamin nerviton E, dapat dikontrol sebaik-
baiknya. Selain itu aku juga makan bawang putih satu
siung saban pagi, jika tidak lupa. Sebegitu jauh aku tidak
menghadapi kesulitan dalam soal makanan. Sebagai
pembawaan dari Minang, selera makanku belum
menyusut. Hanya gula pasir yang hampir tak pernah
kusentuh lagi. Sebagai gantinya aku minum susu kaleng
bercampur madu hampir tiap malam.
Selama hidup, alhamdulillah, aku baru sekali
menginap di Rumah Sakit Islam Jakarta selama beberapa
hari pada tahun 2004. Mungkin karena terlalu lelah,
pemandanganku berkunang-kunang dan jungkir-balik,
dunia terasa berputar kencang sekali. Langsung malam
itu dengan kebaikan Bung Hefinal, S.E. dan Zainuddin,
S.Ag., S.E., karyawan P.P. Muhammadiyah Jakarta, aku
dilarikan ke rumah sakit dan tinggal di sana sampai
kesehatanku pulih sama sekali. Untuk selanjutnya
permohonanku kepada Allah adalah bahwa jika sekiranya
aku jatuh sakit lagi, jangan sampai merepotkan orang
lain, termasuk tidak memberatkan kekuarga sendiri.
Otobiografi ini adalah potret terbuka tentang diriku
yang mudah-mudahan ada gunanya bagi keturunanku
atau bagi siapa saja yang sempat membacanya. Sebagai
seorang anak manusia yang serba kurang, tentu di sana-
sini terdapat kelemahan data karena sebagian besar
diolah dari ingatan yang masih melekat dalam otakku.
Unsur yang tak teringat mungkin lebih banyak lagi. Oleh
sebab itu setiap aku baca ulang draf ini, ada saja yang
363

perlu ditambah, dikurangi, atau bahkan dibuang. Tetapi


sudahlah, tidak ada gading yang tak retak. Jika tidak ada
disiplin untuk berhenti menulis, bisa jadi akan berlarut-
larut. Dibaca ulang, diperbaiki, ditambah, dikurangi lagi,
demikian seterusnya tanpa putus, tidak akan ada
ujungnya. Oleh sebab itu, aku harus memaksa komputer
berhenti sampai di sini saja bagi penulisan otobiografi
ini. Kepada para sahabat yang kuminta membaca draf ini
sebelum diterbitkan, aku menyampaikan rasa terima
kasih yang dalam atas segala saran yang telah diberikan,
khususnya kepada Bung Haedar Nashir Ketua P.P.
Muhammadiyah dan Bung Nursam, sejarawan, dari
Penerbit Ombak Jogjakarta.
(Draf sementara otobiografi ini mulai ditulis pada 2 September 2003 jam
20.42 di Perum Nogotirto Elok II, Jl. Halmahera D/76, dan rampung pada 28
Februari 2006 jam 10.00 di rumah sewaan Perum Nogotirto Elok II, Jl. Jawa no.
19, Jogjakarta 55292)
364

DAFTAR ISI
BAB Halaman
I BUMI KELAHIRAN, IBU-BAPAK, dan SAUDARA-SAUDARAKU . . 1
A. Sumpur Kudus, Makkah Darat, dan Perdagangan . . . . . . . . . . . 1
B. Syekh Ibrahim dan Dinamika Sejarah . .. . . . . . . . . . . . . . . 20
C. Kewajiban pada Tanah Kelahiran dan P.D.R.I . . . . . . . . . . . . 34
D. Dinamika Retorika dan Mu’allimin Balai Tangah atau Lintau . . . . 76
II KE YOGYAKARTA dan PERAN SANUSI LATIEF . . . . . . . . . 92
A. M. Sanusi Latief dan Hijrah Menuntut Ilmu . . . . . . . . . . . . . 92
B. Perginya Seorang Ayah dan Nasib Anak-Anaknya . . . . . . . . . . 104
III UJUNG TOMBAK MU’ALLIMIN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108
A. Bertugas di Lombok Timur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108
B. Lombok-Sumpurkudus-Surakarta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113
IV MENITI BIDUK KEHIDUPAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125
A. Mulai Dijodohkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125
B. Kembali ke Jawa dan Pulang untuk Menikah . . . . . . . . . . . . . . 143
C. Belajar Sambil Bekerja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150
V MUSIBAH SILIH BERGANTI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
A. Lip ke Padang Bersama Salman (1966-1967) . . . . . . . . . . . . . 156
B. Kembali ke Jogja, Lulus S1, dan Lahirnya Ikhwan . . . . . . . . . . 164
C. Tahun-Tahun Kritis Sampai Iwan Wafat pada 1973 . . . . . . . . 170
VI SECERCAH HARAPAN dan BERAGAM TANTANGAN . . . . . . 175
A. Kelahiran Hafiz dan Keinginan Sekolah Lagi . . . . . . . . . . . 175
B. Periode Athens: Status Quo dalam Pemikiran . . . . . . . . . . . . 181
C. Chicago I: Sebelum Titik Kisar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 188
D. Chicago II: Setelah Titik Kisar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 195
VII BERKIPRAH MENYONGSONG MASA DEPAN . . . . . . . . . . . 214
A. Perkisaran Abad, Harapan, dan Kecemasanku . . . . . . . . . . . . . 214
B. Kegiatanku di Indonesia Pasca Chicago . . . . . . . . . . . . . . . 219
C. Kiprahku dalam Memimpin Muhammadiyah . . . . . . . . . . . . . 235
D. Keruntuhan Rezim, Habibie, Muhammadiyah, dan Aku . . . . . . . 262
E. Sebagai Ketua P.P. Muhammadiyah, 1998-2005 . . . . . . . . . . . 309
365

VIII MASA DEPAN INDONESIA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 319


A. Gerakan Moral Anti Korupsi dan Pencalonan K.K.R. . . . . . . . . 319
B. Peluncuran Buku dan Ultah 70 Tahun . . . . . . . . . . . . . . . . 330
C. Muktamar Muhammadiyah Malang dan Sesudahnya . . . . . . . . . . 333
D. Komunitas Nogotirto-Trianggo . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 339
E. Syukuran Listrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 351
IX AKHIRNYA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 355
366

GLOSSARY
Halaman
1 Makah Darek = Makkah Darat
5 Rajo = Raja
6 Syarak mangato adaik mamakai = Syarak mengata adat memakai
8 inferiority complex = rasa rendah diri
penetration pacifique = masuk atau menembus secara damai
parewa = preman
9 on-going process = proses yang terus berjalan
12 bacakak = berkelahi
13 babat alas = pembukaan sebuah kampong baru
15 dilomeh = diguyur
gerundang = anak katak
tanomeh = sutan emas
16 Muaro Sumpu = Muara Sumpur
20 Koto Ijau = Koto Hijau
21 kundang = bawa
22 jamba = makanan lengkap di atas piring besar atau talam
23 Iniak Tanahbato = Nenek Tanahbato
taratak =
24 jorong =
31 puti = gelar untuk putrid yang merasa sebagai keturunan raja di
Minangkabau seperti halnya gelar rajo atau sutan untuk kaum pria
Tukang kampo = pengolah daun gambir untuk diambil getahnya
36 asai = kutu bubuk
alit = kecil
Anai-anai = rayap
38 lapuak = tua
kaktuo = kakak tertua
kaktuo, kakoncu, onga, udo, inyo, panggilan isteri terhadap suami
42 bermaya (Malaysia) = berhasil
52 rumah “mande” = rumah ibu
55 etek = bibi
61 uwo = ibu dari ibu
gayek = ayah dari ibu
personal achievement = raihan pribadi
berfastabiqul khairat = berlomba untuk kebaikan
62 ande = bibi
onga = panggilan untuk anak kedua baik pria atau wanita
oncu = paman
64 lading = pisau panjang
olang katutuih = elang hantu
67 ngoyo (Jawa) = tidak sabaran
sumpek (Jawa) = tidak segar
68 cigak = kera
71 bagak = berani
bersianyut = berenang dari arah hulu ke hilir
jawi = sapi
367

74 élan vital = semangat hidup yang perkasa


Israr-e Khudi = Rahasia Pribadi
76 batobo = sawah
90 rancak = bagus
91 Khath = tulisan Arab
98 nyemeg = antara goreng dan rebus
99 human interest = menarik secara manusiawi

You might also like