You are on page 1of 8

Sejarah dan Perkembangan 

Hermeneutika
Posted by: abdurrahmanbinsaid on: 1 Februari, 2010
Kita berhak bertanya, apakah istilah Hermeneutika telah digunakan dalam tradisi
filsafat kuno? Sebagaimana dalam berbagai buku dinyatakan bahwa istilah tersebut yang
dalam bahasa inggris hermeneutics, berasal dari kata dalam bahasa Yunani hermeneuine
dan hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.[1] Persoalannya, kata
latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali
saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer
(1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus
Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat
terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada
interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri
hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi
yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.[2]
Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika
sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari
sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami.[3]
Sementara Wilhelm Dilthey, sejarawan pertama tradisi Hermeneutika, menyatakan
bahwa hermenetika telah muncul satu abad lebih awal oleh Protestantisme, sesaat
setelah lahirnya prinsip Sila Scriptura Luther.[4] Namun dari laporan Dilthey, kita akan
kesulitan menemukan dari tulisan-tulisan apa yang dapat disebut Hermeneutika dalam
semangat Luther. Baru dalam karya para pengikut Luther seperti Philipp Melanchton
(1497-1560) dan Flacius Illyricius (1520-1575).[5]
Pada gilirannya seorang filosof pengikut protestan berkebangsaan Jerman
Schleiermacher dinilai sebagai orang yang bertanggung jawab membawa Hermeneutika
dari ruang biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga ia kemudian dianggap
sebagai “pemrakarsa Hermeneutika modern”. Menurutnya apa saja yang berbentuk teks
dapat menjadi objek Hermeneutika, dan tidak terbatas hanya pada teks kitab suci.
Selanjutnya Hermeneutika dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey sendiri yang menggagas
hermeneurika sebagsi landasan ilmu-ilmu kemanusiaan, lalu Hans-Georg Gadamer yang
mengembangkannya menjadi metode filsafat, dan dilanjutkan oleh para filosof
kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault,
Lyotard, Jean Baudrillard, dan yang lain.[6]
Sementara dalam filsafat kuno sebetulnya telah terlihat tradisi mencari hal-ihwal yang
dapat dianggap sebagai Hermeneutika dalam teks-teks klasik seperti De Interpretation
Aristoteles, yang sering diterjemahkan dalam bahasa Jerman dengan “Hermeneutika
Aristoteles”.[7] Orang Yunani menggunakan kata “ermenia” untuk mendeskripsikan apa
yang sekarang kita sebut sebagai penerjemahan, atau lebih tepat diartikan sebagai
penafsiran.[8]
Sementara ketika bahasa tulis (teks) muncul, Aristotels menegaskan bahwa “tanda-tanda
tertulis itu hanyalah simbol bagi ucapan lisan”, sebagaimana penegasan Plato tentang hal
ini, bahwa “wacana tertulis, yang paling baik sekalipun, tetap saja berfungsi sebagai re-
memorasi”. Di sini, keduanya sepakat untuk mengembalikan media tertulis ke kata yang
terucap, sedangkan kata terucap ini adalah simbol bagi kata batin (inner word).[9]
Kata Batin – Kata Terucap – Kata Tertulis.
Dari tiga horizon ini, Aristoteles mengasumsikan bahwa tidak ada yang benar-benar
hilang dalan rangkaian transmisinya. Artinya, kata tertulis tanda yang dengan persis
mewakili kata batin. Sementara Plato menekankan perbedaan antara horizon-horison
itu, menurutnya tidak ada jaminan bahwa kata tertulis akan dapat dipahami dengan
tepat.[10]
Beberapa Varian Hermeneutika
Hermeneutika tidak secara tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah filsafat,
namun pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal
dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentitas
dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika perkembang
menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang lebih luas.[11]
Dan pada bagian ini, penulis sengaja akan sedikit mengungkapkan beberapa informasi
historis yang akan menekankan pada perkembangan Hermeneutika menjadi berbagai
varian-varian prinsip dan metodologis.
Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat kontemporer yang
terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan antara satu dengan lain,
kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada diskursus filosofis yang terpecah-
pecah, yaitu diskursus yang bercirikan interpretasi. Filsafat yang mencoba menghadapi
situasi seperti ini bisa disebut sebagai “Hermeneutika”.[12]
1. Hermeneutika Romantis
Sebagai sistem metodologi pemahaman, Hermeneutika romantis berangkat dari
pertanyaan sederhana: “sebenarnya bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana
pemahaman itu terjadi?”. Dan jawaban bagi pertanyaan ini, menurut perspektif
Hermeneutika jenis ini, ada pada lima unsur yang terlibat dalam proses memahami
sebuah wacana, yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks
kultural.[13]
Tokoh dari pemahaman ini adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834),
seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestanisme Liberal
berkebangsaan Jerman. ia dianggap sebagai “pemrakarsa  Hermeneutika modern”
karena menjadi filosof jerman pertama yang terus-terus menerus memikirkan
Hermeneutika, sehingga dapat menghidupkannya kembali sebagai seni penafsiran dalam
tradisi gereja. Ketertarikannya pada kajian ini menguat sejak di Universitas Halle, ketika
ia bertemu dengan tiga serangkai pemikir lainnya, yaitu F.A. Wolf seorang filolog klasik,
Reil seorang professor kedokteran dan Steffens seorang filosof.[14]
Mengenai pertanyaan di atas, Schleiermacher mengajukan dua teori pemahaman
Hermeneutikanya: pertama: pemahaman ketatabahasaan (grammatical understanding)
terhadap semua ekspresi, dan kedua: pemahaman psikologis terhadap pengarang.
Berpijak dari keduanya, Hermeneutika menjadi sebuah intuitive understanding, yang
bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Sehingga pemahaman hanya dapat
diperoleh tidak hanya dari pemahaman kesejarahan dan budaya pengarang saja, namun
lebih dari itu harus melibatkan subjektivitas pengarang. Jadi proses penafsiran berawal
dari penafsir ke teks melalui konteks sejarah dan cultural untuk menangkap kembali
maksud penulis aslinya. Dan penafsiran akan semakin baik, jika dilandasi dengan
pengetahuan tentang latar belakang sejarah pengarang teks. Sebagaimana dinyatakan
Thiselton yang dikutip Mudjia, “The more we learn about an author, the better equipped
we are for interpretation”.[15] Menurut Schleiermacher, dalam setiap kalimat yang
diucapkan terdapat dua momen pembahasan, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks
bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Hal ini karena bisa saja terjadi apa yang
dikatakan penutur bahasa tidak sama dengan yang ia pikirkan. Selain itu, pembicara
mempunyai aspek tempat dan waktu, dan bahasa yang cenderung dimodifikasi menurut
kedua hal itu. Sehingga makna bukan sekedar apa yang dibawa oleh bahasa, sebab
bahasa dapat mengungkap sebuah realitas dengan sangat jelas, tapi pada saat yang sama
dapat menyembunyikannya rapat-rapat, ini tergantung pemakainya.[16]
Perspektif seperti ini yang membuatnya disebut sebagai Hermeneutika romantis, yang
dalam bahasa Gadamer disebut historical romanticism.[17] Dimana pengarang dan
segala latar belakang subjektivitasnya menjadi sentral kebenaran dari pemahaman suatu
teks. Dan pemahaman harus mengikuti hukum bahwa “kesalahpahamanlah” yang justru
muncul secara otomatis atau alamiah, sedangkan pemahaman harus dicari. Oleh karena
itu pemahaman dapat dicari dengan cara menelusuri segala kesalahpahaman yang dapat
dan mungkin terjadi.[18]
Secara ringkas, model kerja Hermeneutika romantis meliputi dua hal: pertama:
pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa
pengarang, dan kedua: penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara
intuitif dengan menempatkan diri penafsiran dalam dunia batin pengarang.[19]
2. Hermeneutika Metodis
Hermeneutika Metodis adalah “tekanik memahami akspresi tentang kehidupan yang
tersusun dalam bentuk tulisan”.[20] Sebagaimana teori sebelumnya dalam
Hermeneutika romantic, Hermeneutika metodis juga menekankan pada sisi psikologis
pengarang untuk memahami suatu pernyataan. Namun perbedaannya, Hermeneutika
metodis lebih menekankan pada sisi sejarah (history) pengarang.[21]
Hermeneutika metodis berawal dari kritik tajam terhadap teori Schleiermacher dalam
Hermeneutika romantisnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bahasa.
Kritik ini dilontarkan oleh Willhem Dilthey (1833-1911) seorang filosofis historis dari
Jerman, ia sebenarnya pengagum berat Schleiermacher dengan kemampuannya dalam
menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya filsafat.[22] Namun dalam
hal ini, ia berbeda dengan Schleiermacher, menurutnya, manusia tidak sekedar makhluk
bahasa, yang hanya mendengar, menulis dan membaca untuk kemudian mehamami dan
menafsirkan. namun lebih dari itu, manusia merupakan makhluk eksistensial, yang
memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya, dimana ekspresi
kebahasaan adalah hasil dari pengalaman penutur bahasa.[23] Dan manusia akan dapat
memahami sejarah, karena ia adalah “pencipta” sejarahnya sendiri.[24] Maka sisi
psikologi manusia tidak dapat dipisahkan dari sisi “eksternal-nya”, karena manusia
adalah produk system social yang membentuknya sedemikian rupa. Sehingga pada
akhirnya, menurutnya, Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, yang berarti
bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu
berubah menurut modifikasi sejarah. Mudjia menyontohkan penulisan sejarah Indonesia
yang tidak hanya ditulis sekali untuk selamanya.[25]
3. Hermeneutika Fenomenologis
Hermeneutika fenomenologi adalah pemahaman teks dengan cara membebaskan diri
dari prasangka dan membiarkan teks “berbicara” sendiri. Artinya, teks merefleksikan
kerangka mentalnya sendiri, dan penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsure-
unsur subjektifnya atas objek.[26]
Tokoh penggagas teori ini adalah Edmund Husserl (1889-1938), seorang filosof aliran
fenomenologi, yang sebenarnya jika ada sumbangsih-nya pada Hermeneutika, dapat
dipastikan itu diluar maksud utamanya. Karena, walaupun tidak sepenuhnya, Husserl
“alergi” terhadap pemikiran yang kita pandang sebagai “Hermeneutika”, gagasannya
tentang teori interpretasi fenomena bukan yang fundamental,  akan tetapi fenomena itu
sendiri yang menarik baginya.[27]
Mengenai fenomena, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif bersifat
tidak pasti. Menurutnya, apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sudah diwarnai
oleh apparatus sensor yang tidak sempurna dari tubuh manusia dan dari aktivitas-
aktivitas rasional maupun dari abstraksi pikiran. Dengan begitu, ketika berusaha meraih
pengetahuan yang pasti tentang dunia objektif, sesungguhnya kita sedang memastikan
“dunia persepsi kita – dunia fenomena”.[28]
Husserl menawarkan fenomenologi untuk melacak keteraturan sistemik dalam persepsi
dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif. Yaitu dengan
cara menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena, dan menggambarkannya
secara jujur.[29]
4. Hermeneutika Dialektis
Hermeneutika dialektis adalah upaya intepretasi dengan asumsi bahwa pemahaman
adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Karena itu, menurut
teori ini, untuk memahami teks, tidak hanya dengan melacak makna yang letakkan oleh
pengarang dalam teks, namun juga harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan
sesuatu yang ditunjukkan oleh teks tersebut. Ini berarti makna bukan sesuatu yang
tunggal, namun yang ada adalah keragaman makna dan dinamika eksistensial. Dengan
demikian, pembacaan dan penafsiran akan selalu merupakan pembacaan ulang dan
penafsiran ulang, sehingga pembacaan satu teks secara baru akan mendatangkan
pemahaman dengan makna yang baru pula.[30]
Tokoh teori ini adalah Martin Heidegger (1889-1976), salah satu murid Husserl yang
sejak awal tertarik dengan filsafat, khususnya fenomenologi Husserl. Namun kendati
demikian, ia adalah filosof yang dengan keras menentang Hermeneutika fenomenologi
Husserl, yang mengharuskan netralitas penafsir. Menurutnya, pemahaman harus
didahului dengan prasangka-prasangkan akan objek.[31]
5. Hermeneutika Dialogis
Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang
benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan.
Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna
teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-
kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan
dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi,
kepentingan praktis bahasa dan budaya.[32]
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran
Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada
tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und
Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi rujukan kajian Hermeneutika
kontemporer sampai saat ini.[33]
6. Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh
kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power
interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa
setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik,
ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan
menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis)
terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan
agama.[34]
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman yang juga
belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa sebagai unsure
fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan
simbol-simbol sebagai simbol dari fakta.[35] Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer
dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer,
pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas
pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi
kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami
suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari
tradisi dan prasangka.[36]
7. Hermeneutika Dekonstruksionis
Hermeneutika dekonstruksionis adalah pemahaman yang didapatkan melalui upaya
membangun relasi sederhana antara pananda dan petanda, dengan asumsi bahwa,
bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan sesuatu yang tidak stabil. Makna tulisan
akan selalu mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya. “meaning
is contextualized to the relationship between the text and its reader”.[37]
Tokoh dari teori ini adalah Jacques Derrida (1930-) seorang filosof post-strukturalisme
kelahiran  Aljazair. Dalam filsafat bahasa, Derrida membedakan antara “tanda” dan
“simbol”. Dan dalam kaitannya dengan teks, ia memberikan analisis yang cukup cermat.
Menurutnya, objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini
disebut “teks”. Tidak ada sesuatu diluar teks, sebab segala sesuatu yang ada selalu
ditandai dengan tekstualitas.[38]
B. Fungsi dan Metodologi
Tugas Hermeneutika, dari sejak plato sampai sekarang, adalah untuk mempertahankan
makna hakiki kata, baik yang tertulis ataupun yang terucap, dengan menghubungkan
kembali kepada maksud, makna asli, cakupan dan konteksnya.[39] Jika demikian, maka
yang menjadi pertanyaan adalah, apa sebenarnya “makna”?. Pertanyaan ini adalah
jantung pembahasan Hermeneutika.
Makna atau dalam bahasa inggris “meaning”, berasal dari bahasa Jerman “meinen”, yang
menunjuk pada pengertian: “ada di pikira atau benar”.[40] Makna adalah tanda
linguistic, yang tiap tanda terdiri atas dua unsure, yang diartikan (unsure makna) dan
yang mengartikan (unsure bunyi). Keduanya disebut sebagai intralingual dan merujuk
pada suatu referen (seperti maksud) yang merupakan unsure ekstralingual. Dan pada
umumnya, kata memiliki makna majemuk. Setiap kata memiliki makna denotative, yaitu
makna yangvtidak mengandung arti tambahan, dan makna konotatif, yaitu makna yang
mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna
dasar yang umum. Itu sebabnya makan sbuah teks bias lebih luas dari pada maksud
penulis sekalipun. Sebab, tafsir atas teks nyaris tidak terbatas dan tidak sepenuhnya bias
dikontrol oleh si penulis sendiri. Bahkan, Ricoeur menegaskan, maksud si penulis pun
bukan satu-satunya tafsir terbaik.[41]
Berdasarka jenisnya, menurut Brodbeck, yang dikutip Mudjia, paling tidak terdapat tiga
jenis makna; 1) makna referensial, yaitu makna suatu istilah yang berupa objek, pikiran,
idea tau konsep, 2)  arti istulah itu sendiri, dimana lambing atau istilah itu “berarti”
sejauh ia berhubungan dengan istilah atau konsep lain, dan 3) makna intensional, yaitu
arti suatu istilah, lambing, atau teks tergantung pada maksud produsernya sendiri.[42]

[1] Lihat misalnya : Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme


dan Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 27. Lihat juga: Richard E. Palmer,
Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer,
edisi terjemahan Indonesia oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammed,
Hermeneutika, teori mengenai interpretasi, Pustaka Belajar, 2005, hal: 14-15. Dannhauer
memberikan dua pengertian tentang Hermeneutika, yaitu sebagai seperangkat prinsip
metodologis penafsiran, dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak
dapat dihindari dalam kegiatan memahami. Lihat: Mudjia Raharjo, Hermeneutika
Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 89.
[2] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 54. Lihat juga: Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-
Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 45-46
[3] Mudjia Raharjo, Ibid, hal: 29
[4] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 45-46. Prinsip
Sola Scriptura digunakan untuk meruntuhkan otoritas tradisi yang disokong Gereja
Katolik, merupakan satu-satunya norma penafsiran Injili (Biblical exegesis).
[5]
Ibid, hal: 47
[6] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 30 dan 37.
[7] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 48.
Sebenarnya Aristoteles bukan satu-satunya dalam zaman yunani kuno yang membahas
Peri Hermeneias, namun ada Demetrius, seorang pakar peripatetic, yang juga menulis
tentang ini. Lihat ibid, hal: 56
[8] Ibid, 2007, hal: 56.
[9] Ibid, hal: 62-63. Kesimpulan ini berbeda dengan tesis Derrida (1930-) seorang filosof
kontemporer aliran post-strukturalis asal Aljazair dengan Hermeneutika dekonstrusinya
yang memprioritaskan bahasa tulis. Menurutnya, bahasa secara kodrat adalah “tulis”,
sebab yang menjadi asal-mula arti adalah agasan yang didasarkan atas jejak, bukan
sebaliknya. Dengan demikian, tulisan merupakan fait accompli, sesuatu yang sudah
selesai pada saat orang berbicara. Lihat: Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika
antara Intersionalisme dan Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 49-51.
[10] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 63.
[11] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 53.
[12] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 17.
[13] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 57. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika
Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 95
[14] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 37.
[15] Ibid, hal: 58-59. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang
Press, Malang, 2007, hal: 96
[16] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 38-39. Dua tradisi yang mempengaruhi
Schleiermacher dalam pembentukan Hermeneutikanya; yaitu filsafat transidental dan
romantisisme, yang sistematikanya terdiri dari dua bagian; interpretasi gramatis dan
psikologis. Lihat: Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka baru,
Yogyakarta, 2003, hal: 10.
[17] Mudjia Raharjo, Ibid, hal: 58. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian,
UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 95. Dan lihat: Nashr Hamid Abu Zayd,
Hermeneutika Inklusif, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal: 11
[18] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 25.
Schleiermacher sebenarnya membagi romantismenya dalam dua bagian. Pengertiannya
yang ketat sebagaimana yang dicontohkan dalam tulisan ini. Dan pengertiannya yang
longgar, yaitu Hermeneutika yang hanya sebagai ilmu “bantu” pada ungkapan-ungkapan
ambigu saja, dan ini sangat jarang. Sehingga pemahaman dibiarkan berjalan secara
alamiah. Lihat: Ibid, hal: 24.
[19] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 40.
[20] Ibid, hal: 61. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang
Press, Malang, 2007, hal: 97.
[21] Karena itu Hermeneutika metodis disebut juga dengan nama Hermeneutika historis.
Lihat: Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan
Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 62.
[22] Ibid, hal: 41.
[23] Lihat: Ibid, hal: 60. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-
Malang Press, Malang, 2007, hal: 97.
[24] Ini adalah pernyataan yang digemakan Marx dan Dilthey. Lihat: Josef Bleicher,
Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka baru, Yogyakarta, 2003, hal: 13-14.
[25] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 42.
[26] Ibid, hal: 63.
[27] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 73. Husserl
lebih memilih istilah “Deuntung” dan “Auslegung” untuk makna interpretasi. Karena
itulah, Jean Grondin membahasnya dalam satu bab penuh berjudul “Sumbangan diam-
diam Husserl terhadap Hermeneutika”.
[28] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 63. Dikutip dari: Maulidin, Sketsa Hermeneutika,
Gerbang No. 14, Volume: V, 2003, hal: 16-17.
[29] Ibid, hal: 62.
[30] Ibid, hal: 65.
[31] Ibid, hal: 64. Lihat juga: hal: 43
[32] Ibid, hal: …..
[33] Ibid, hal: 64. Lihat juga: hal: 45. Walaupun bukunya berjudul “kebenaran dan
metode”, judul asli dalam bahasa inggris Truth and Method, dan dalam bahasa jerman
Wahrheit und Methode, berkali-kali Gadamer menolak Hermeneutika sebagai metode,
sebab metode justru dapat merintangi kebenaran. Ia ingin mencapai kebenaran bukan
melalui metode, melainkan melalui dialektika. Lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika
Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 112.
[34] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 68.
[35] Ibid, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 47-48.
[36] Ibid, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 68.
[37] Ibid, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 69-70.
[38] Ibid, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 49-51.
[39] Jean Grondin, sejarah Hermeneutik, Ar-Ruzmedia, Jogjakarta, 2007, hal: 72.
[40] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,
Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 64. Lihat juga: Ibid, hal: 73.
[41] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal:
58.
[42] Ibid, hal: 58-59.

You might also like