You are on page 1of 3

Kerangka Hofstede untuk Pengelolaan Organisasi  

Global
Posted in Ekonomi, Manajemen by efendi arianto on August 19, 2008

sumber gambar: http://www.fig.net


Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan
memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Geert Hofstede telah
mengajukan konsep budaya dalam teori organisasi, dalam hal ini sebagai salah satu dimensi dalam
memahami perilaku organisasi. Konsep ini menjadi penting dalam teori ekonomi dan manajemen
saat ini, dalam era globalisasi, ketika banyak perusahaan mutinasional beroperasi di berbagai negara
dengan berbagai ragam budaya yang berbeda.

Power Distance
Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu
power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang dianggap lebih superior
dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran,
pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk power distance yang tinggi. Pada
negara yang memiliki power distance yang tinggi, masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang
lebih autokratik dan patrenalistik. Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah
cenderung untuk melihat persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai
daripada yang disandang oleh seseorang.
Individualisme vs. Kolektivisme
Individualisme adalah lawan dari kolektivisme, yaitu tingkat di mana individu terintegrasi ke dalam
kelompok. Dari sisi individualis kita melihat bahwa terdapat ikatan yang longgar di antara individu.
Setiap orang diharapkan untuk mengurus dirinya masing-masing dan keluarga terdekatnya.
Sementara itu dari sisi kolektivis, kita melihat bahwa sejak lahir orang sudah terintegrasi ke dalam
suatu kelompok. Bahkan seringkali keluarga jauh juga turut terlibat dalam merawat sanak saudara
dan kerabatnya.
Uncertainty Avoidance
Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan dengan
ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap perubahan. Pada
negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung menjunjung tinggi
konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga
ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi
seorang negotiator dari luar untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
Pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi
untuk ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah,
memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari
masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan.
Contoh kasus: Mutasi GM dari AS ke Korea
John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke Korea
Selatan. Guna mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver dapat
menggunakan hasil studi Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada dimensi Power
Distance, Uncertainty Avoidance dan Individualism.

Kajian Hofstede yang secara ringkas membandingan Amerika Serikat dan Korea Selatan (dan
Thailand) adalah sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah. Dengan mengacu pada Hofstede
Framework tersebut, maka dapat dilihat bahwa Korea Selatan (dan Thailand) relatif terhadap
Amerika Serikat adalah:
1. Lebih tidak dapat menerima ketidakpastian
2. Power distance tinggi dan
3. Tingkat individualisme rendah.
Diolah dari sumber: Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed. Pp. 76-77
Gambar Hofstede Framework
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang berasal dari
Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:

1. Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa orang


lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan,
kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya.

2. Menyesuaikan dengan budaya Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas dan
keamanan

3. Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko

4. Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea
Selatan

5. Memahami bahwa di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman
yang terdekat

6. Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih
autokratik dan patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas, misalnya
posisi hierarki.

Referensi:
1. Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed.
2. The “Et cetera, et cetera, et cetera King” dan Hofstede; analisa film “The King and I (1956)” –
http://yolagani.wordpress.com
3. Wikipedia – http://en.wikipedia.org/wiki/Geert_Hofstede
Tagged with: Hofstede, organisasi

You might also like