Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem
imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ[1]. Lupus Eritematosus didefinisikan
sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri[2].
Menurut Myers SA and Mary HE (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar,
yaitu[4]:
1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE). Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe:
a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang
terjadi :
1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus
2) Oral Discoid lupus Erythematosus
3) LupusErythematosus panniculitis
b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)
2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), memiliki subtype yang jarang terjadi
yaitu Neonatallupus Erythematosus (NLE)
3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Etiologi lupus eritematosus seperti halnya penyakit autoimun lain adalah tidak diketahui[6].
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang pertama menyebutkan bahwa pada
perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh
produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies
(ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan
dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi
menyerang selnya sendiri. Teori lainnya menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan
lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA[2]. Faktor-faktor seperti
paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus
eritematosus sistemik. Apapun etiologinya selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC
(Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah
disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang sehingga memudahkan
terjadinya peningkatan autoantibodi[2].
Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA).
Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen
yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal[7]. Ada tiga
faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus yaitu: faktor genetik, lingkungan
dan kelainan pada sistem imun[6,8]. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita
[6,7,8]
lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot Studi
lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte
Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)
[6,8]
mengatur produksi autoantibodi spesifik . Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen seperti C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel
apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun[6]. Faktor lingkungan
dapat menjadi pemicu pada penderita lupus seperti radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan
virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan
pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan
bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung
dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi
sel permukaan dan apoptosis[8]. Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari
[6,8]
patogenesis lupus eritematosus sistemik . Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat
patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA) yang berperan dalam membentuk kompleks
imun yang kemudian merusak jaringan[8].
Penyakit Lupus Eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus” memiliki
[2,5,9]
manifestasi klinis yang bervariasi dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar 80% melibatkan
persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar
10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena [10].
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom klinis
utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada pembuluh
darah otak karena aktivitas lupus dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang
dibuat oleh American College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit
(lebih dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit) yang
ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis
like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah
infark singel atau multipel.
Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi antiphospholipid sebagai
bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan darah yang dapat menghambat pembuluh
darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak (disebut kejadian thromboembolic) dapat
terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau
tidak dapat bersuara.
Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45-50% pasien
lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus SSP aktif yang disertai
pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain
sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP.
Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan komplikasi
yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan dan bervariasi
mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai terjadinya paraplegia.
Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan
bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan
detak jantung, bernafas, berkeringat dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada terjadinya
gangguan kognitif, livedo reticularis ( amottled skin rash), rasa geli dan hilang rasa pada
ekstremitas. Pasien lupus yang mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa
kebingungan, kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran dan gangguan memori. Gejala
gangguan kognitif adalah intermiten.
Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien
lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan jaringan
parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental yang permanen atau
bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan kerusakan permanen pada SSP[13].
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada lupus eritematosus,
seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai
daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering
ditemukan pada palatum, mukosa bukal dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti
ulser tanpa rasa sakit[2].
Gambar 2.8 Ulserasi putih ireguler pada bukal Gambar 2.9 erosi pada bukal
Gambar 2.9 Erosi pada palatum
Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering, rasa
sakit dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Infiltrasi limfosit
kelenjar saliva minor ditemukan pada 50-75% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya rasa
kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate yang tidak terstimulasi menurun pada
banyak penderita lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi
komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrome[2].
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa aphtae (canker
sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis aphtous rekuren. Lesi ini
mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya berukuran kecil (kurang dari 1 cm),
terasa sakit dapat ditemukan pada mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih
lama, lebih besar dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai
plak berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus[21].
Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa lesi herpes
simpleks labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil blister pada bibir dan gusi. Lesi ada
selama dua sampai empat minggu, dapat sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus
eritematosus mendapatkan terapi imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering
yaitu hampir setiap bulan. Lesi non spesifik lainnya adalah Steven – Jhonson’s Syndrome (SJS).
Penyakit ini merupakan komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS
dipicu oleh obat-obatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan serta obat pain killer.
Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital dan kulit biasanya dua sampai
empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada kulit disebut ”target” karena adanya konfigurasi
melingkar. Bila lesi ini bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya
dirawat di rumah sakit[21].
Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan thrush yang
menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid
sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putih-merah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat
di rongga mulut. Lesi biasanya asimtomatik tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan
kesulitan menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi
imunosupresif adalah kanker pada mukosa seperti karsinoma sel skuamosa yang mempengaruhi
kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak putih (leukoplakia) atau plak
merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah[21].
Gambar 2.11 Thrush
Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor, yang pertama yaitu
komunikasi antara pasien dan tenaga medis, baik dokter atau dokter gigi. Pasien harus
menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya, termasuk riwayat pengobatan sebelumnya
sehingga dokter gigi dapat mengetahui keadaan medis pasien dengan baik, disamping
mendapatkan informasi langsung dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus
membutuhkan operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan dokter.
Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid dan memerlukan
antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai penyakit jantung. Pemeriksaan setelah
operasi harus lebih sering dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan
pasien non lupus. Faktor kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self
examination). Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap individu di
rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut dapat terdeteksi lebih
dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin menjaga kebersihan rongga
mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan rongga
mulutnya maka keadaan yang lebih parah dapat terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,
misalnya untuk kasus periodontal, satu-satunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang
baik minimal dua kali sehari. Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss, dental tape,
dan rubber tips[22].
Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulser atau apthae pada penderita lupus
eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan anti-metabolit seperti
azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil (Cell Cept) dengan cyclophosphamide.
Sebagai terapi tambahan dapat diberikan Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150
mg/hari atau thalidomide 100-200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada
diskoid lupus eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi obat topikal dan sistemik. Terapi
topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel (diaplikasikan 4-5 kali sehari) dengan
atau tanpa topikal tacrolimus ointment (2-3 kali sehari). Thalidomide 100-200 mg sehari dengan
atau tanpa hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif. Pemberian
terapi sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil atau leflunomide
(Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat meskipun jarang terjadi[21,22].
Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex labialis adalah dengan
mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan menggantinya dengan corticosteroid-
sparing drugs seperti azathioprine, mycophenolate mofetil dan cyclophosphamide yang
diberikan sejak awal. Pada beberapa penderita lupus eritematosus perlu juga memberikan terapi
herpes dengan obat antivirus seperti valacyclovir (valtrex) atau famciclovir (Famvir), sedangkan
untuk penatalaksanaan Steven Jhonson’s Syndrome tidak ada terapi yang efektif karena
penggunaan dosis tinggi obat kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan kematian karena
infeksi[21].
Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu untuk kandidiasis pada penderita lupus dapat
diberikan prednisone dengan dosis yang diturunkan, nystatinoral lozenges atau pil, dan obat
antifungal seperti fluconazole (Diflucan), sedangkan penatalaksanaan lesi prekanker seperti
leukoplakia atau eritroplakia dapat dilakukan dengan operasi, electrocautery dan freezing. Selain
itu dapat diberikan krim topical imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat dilakukan
penatalaksanaan dengan operasi pengangkatan secara luas dengan radiasi atau kemoterapi. Cara
terbaik untuk mencegah komplikasi ini pada penderita lupus eritematosus adalah dengan
penggunaan yang tepat agen imunosupresif[21]. Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik maupun
non spesifik, biasanya penderita lupus eritematosus mengeluhkan rasa mulut kering, rasa sakit
dan rasa terbakar pada rongga mulut. Dry mouth atau mulut kering pada penderita lupus
eritematosus dapat terjadi salah satunya dari penggunaan obat sistemik. Untuk membantu
menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet (yang mengandung
sorbitol, bukan sukrosa) atau pemberian obat kolinergik (sialogogues), tetapi terapi ini hanya
boleh diberikan oleh dokter spesialis mengingat efek samping yang bisa menyebabkan
bradikargi, berkeringat dan berkemih. Pyridostigmine dapat juga diberikan karena memberi efek
samping yang lebih kecil[23].
Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakit dan rasa terbakar pada penderita lupus
eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian terapi untuk faktor organik yang
menyebabkan ketidaknyamanan, misalnya terapi untuk kandidiasis atau lichen planus baik secara
sistemik maupun topikal, kemudian dapat dicoba pemberian vitamin B1 300 mg dan vitamin B6
50 mg sebanyak tiga kali sehari selama empat minggu sebagai placebo[23].
RINGKASAN
Disusun Oleh :
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA