You are on page 1of 6

Memaknai “CSR untuk Pendidikan”

Renungan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2007

Berbagai Program CSR untuk Pendidikan

A da banyak perusahaan yang telah menyatakan memiliki komitemen untuk


melakukan CSR dan memilih pendidikan sebagai salah satu fokus perhatiannya.
Kiranya masuk akal bagi banyak perusahaan untuk melakukan CSRnya dalam
bidang ini mengingat bahwa pendidikan merupakan permasalahan publik yang tampaknya
belum juga bisa dipecahkan dengan memuaskan oleh pemerintah. Anehnya, ketika
amandemen UUD 1945 telah mengamanatkan bagi pemerintah untuk mengalokasikan 20%
dari APBN untuk pendidikan, namun pelaksanaannya terus menerus ditunda—atau
“bertahap” menurut dalih pemerintah. Dengan demikian, sektor pendidikan memang
masih—dan mungkin akan selalu—membutuhkan partisipasi pihak lain, seperti perusahaan.

Kalau diamati secara selintas, ada berbagai cara perusahaan menjalankan CSR dalam bidang
pendidikan. Mungkin ada tiga yang paling menonjol: bantuan sarana pendidikan khususnya
infrastruktur bangunan sekolah, pemberian beasiswa, dan penayangan iklan layanan
masyarakat. Bantuan infrastruktur adalah bentuk CSR yang sangat popular, karena bentuk
fisiknya tampak sehingga kemudian sangat mudah untuk dilaporkan. Perusahaan biasa
memotret proses pembangunannya sebagai bagian dari laporan kemajuan, serta memotret
bangunan yang sudah ditempati dengan senyum para murid di laporan akhir tahun
perusahaan. Pemberian beasiswa juga kerap dilakukan. Sampoerna Foundation—yang
merupakan yayasan yang terpisah dari bisnis HM Sampoerna namun memperoleh
sokongan dana utama darinya—tampak paling menonjol dalam hal ini. Berbagai jenis
beasiswa diberikan, termasuk beasiswa ke luar negeri untuk belajar ilmu-ilmu manajemen.
Banyak perusahaan lainnya memiliki juga program beasiswa walau tidak secanggih
Sampoerna Foundation. Iklan layanan masyarakat tentang pentingnya pendidikan yang kini
paling menonjol mungkin adalah yang bertutur mengenai sekumpulan anak yang harus
berenang menyeberangi sungai untuk bisa bersekolah. Iklan itu dipersembahkan oleh
Gudang Garam.

Masing-masing jenis kegiatan itu sangatlah penting untuk membantu masyarakat secara
Perusahaan biasa umum. Bangunan fisik sekolah di banyak tempat memang kerap merupakan hal yang harus
memotret proses dipenuhi. Bukan saja karena di banyak tempat masih langka, namun juga banyak bangunan
pembangunannya yang memang sudah lapuk di makan usia. Beberapa bulan yang lalu kita kerap mendengar
sebagai bagian
dari laporan
sindiran media massa atas buruknya mutu bangunan sekolah bahkan yang beradai di atau
kemajuan,........... tidak jauh dari ibukota Jakarta. “Robohnya Sekolah Kami” atau “Ada Sekolah yang Lebih
Bobrok Daripada Kandang Ayam” adalah judul-judul artikel di media massa yang
kemudian menimbulkan kontroversi. Namun kebenarannya tidaklah bisa disangkal. Dan,
kalau di tempat-tempat di atau dekat Jakarta saja kondisinya demikian memprihatinkan,

1
apalagi di tempat yang ribuan kilometer jaraknya. Kalau demikian, tidaklah salah kalau
perusahaan banyak yang membantu mendirikan atau merenovasi bangunan sekolah.

Beasiswa kerap diberikan kepada para siswa dan mahasiswa yang berprestasi untuk dapat
menyelesaikan pendidikan di jenjang yang mereka sedang selesaikan atau untuk meraih
jenjang yang lebih tinggi. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pendidikan
merupakan jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih layak. Ada penelitian yang
membuktikan bahwa naik strata sosial secara lintas-generasi (anak mencapai strata sosial
yang lebih tinggi dibandingkan orangtuanya) utamanya dimediasi oleh pendidikan. Ini
mendorong pemberian beasiswa kepada mereka yang berprestasi memang diperlukan, agar
mereka bisa memperoleh kesempatan hidup yang lebih baik. Argumentasi lainnya adalah
bahwa mereka yang berprestasi diharapkan dapat memberikan sumbangan balik kepada
pemberi beasiswa maupun masyarakat yang lebih luas. Ini artinya pemberian beasiswa
adalah investasi yang kelak bisa menuai hasil.

Peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan terus-menerus diperlukan, dan tahapan


pertama untuk menanamkan kesdaran itu adalah pesan yang dibuat untuk khalayak ramai.
Dalam teori-teori komunikasi—terutama yang berkaitan dengan adopsi inovasi—
dinyatakan bahwa tahapan awareness dicapai dengan pesan umum. Ketika tahapan
berikutnya hendak dicapai—yaitu interest, evaluation, trial dan adoption—maka pesan harus
dibuat semakin khusus. Karenanya, jasa perusahaan untuk beriklan layanan masyarakat
dalam hal pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting, untuk menjaga kesadaran
masyarakat Indonesia. Apresiasi juga harus diberikan karena iklan-iklan itu telah
menunjukkan pencapaian yang luar biasa dalam kreativitas memberi pesan maupun aspek
sinematografisnya. Harus diakui bahwa iklan-iklan itu jauh lebih bagus dibandingkan rata-
rata iklan komersial, dan walaupun sarat pesan namun tidak disampaikan dalam nada
menggurui—bandingkan dengan iklan-iklan layanan masyarakat buatan pemerintah.

Komentar dan Saran Perbaikan


Kalau pertanyaan “apa yang masih harus diperbaiki?” dilontarkan, maka kita dapat
memikirkan hal-hal yang membuat program CSR pendidikan ini menjadi lebih baik dan
bermakna. Pembuatan sarana fisik sekolah perlu untuk diteruskan, dengan berbagai
pertimbangan. Pertama, janganlah sampai pembuatan bangunan sekolah dijadikan ajang
korupsi bagi pemerintah daerah setempat. Di banyak daerah, berbagai program
pembangunan infrastruktur ditengarai telah menjadi lahan yang subur untuk korupsi.
Modus operandi-nya sederhana: pemerintah daerah yang sesungguhnya sudah memiliki
anggaran untuk pembangunan, malahan meminta perusahaan untuk melaksanakan
pembangunan itu dengan “dana CSR” atau “dana CD” yang juga tersedia. Setelah selesai,
pemerintah daerah yang korup tersebut tinggal mengklaim bahwa itu adalah hasil
pembangunan yang dilaksanakannya. Target pembangunan “tercapai” dan anggaran pun
utuh di kantong oknum-oknum pemerintahan. Karena korupsi bertentang dengan nilai-
nilai CSR—yang menjadikan ketaatan pada hukum sebagai prasyarat minimumnya—maka
sudah seharusnya program CSR pendidikan menghindari kemungkinan penyalahgunaan
program itu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Infrastruktur sekolah. Kecenderungan untuk segera “melihat hasil” kerap membuat


mereka yang hendak mengambil keputusan program CSR cenderung pada projek-projek
pembangunan infrastruktur. Kecenderungan itu bisa mengabaikan banyak hal lain yang
seharusnya dipertimbangkan. Pertama, apakah memang sebuah bangunan sekolah yang
dibutuhkan? Sudah barang tentu sangat banyak tempat di Indonesia yang membutuhkan

2
Hampir setiap gedung sekolah, namun yang paling penting dipikirkan adalah peningkatan kualitas
perusahaan yang pendidikan masyarakat yang hendak dibantu. Jangan-jangan bukanlah bangunan baru atau
mengaku memiliki renovasi yang dibutuhkan, melainkan hal-hal yang lain. Dalam meningkatkan personal capital
program CSR masyarakat—pendidikan adalah salah satunya, lainnya adalah kesehatan, demikian menurut
berkait dengan
pakar pengembangan masyarakat Jim Ife—dikenal adanya dua kebutuhan, yaitu perangkat
pendidikan
memberikan keras dan perangkat lunak. Para pengambil keputusan kerap terburu nafsu untuk
beasiswa mengambil keputusan yang mudah namun sebetulnya tidak tepat. Ketika perangkat lunak
lebih dibutuhkan, mereka enggan melakukannya karena “sulit diukur keberhasilannya”.
Karenanya, setiap keputusan harus disandarkan pada kebutuhan apa yang benar-benar ada
di masyarakat, bukan apa yang ingin ditampilkan perusahaan.

Berkaitan dengan itu, kedua, apakah hanya bangunan yang dibutuhkan? Terlampau sering
terdapat kasus di mana setelah bangunan sekolah dibuat namun pendidikan formal juga
tidak bisa berjalan dengan mulus. Yang harus diperhatikan adalah bahwa untuk berjalannya
pendidikan dibutuhkan integrasi banyak faktor. Kalau bangunan sekolah ada, namun
misalnya tiada guru yang bisa mengajar maka pendidikan juga tidak berjalan. Demikian juga
dengan absennya faktor-faktor lain. Dalam sebuah kondisi yang lebih baik, bantuan
perusahaan mungkin hanya diperlukan pada satu hal saja—misalnya bangunan—tapi pada
kebanyakan kondisi di daerah terpencil, ketiadaan seluruh faktor mungkin dihadapi
perusahaan. Kalau berbagi sumberdaya atau matching recources bisa dilakukan—misalnya
dengan Dinas Pendidikan atau masyarakat setempat—maka hal itu sangat baik. Namun
ketika komponen lain tidak bisa menyumbang sumberdaya apapun, sesungguhnya
perusahaan yang serius tidak memiliki pilihan selain menyediakan seluruh sumberdaya itu.

Ketiga, di mana bangunan harus diletakkan? Mengingat adanya kecenderungan untuk pamer
pada perusahaan-perusahaan tertentu, maka bangunan sekolah biasanya diletakkan di
tempat yang mudah dijangkau oleh mereka yang diperkirakan perlu meninjaunya—misalnya
CEO perusahaan tersebut atau pejabat Depdiknas. Akibatnya, bangunan sering dibuat di
tempat yang lebih “kota”. Kalau tempat itu mudah dijangkau oleh kebanyakan siswa yang
bersekolah di situ tidaklah mengapa, namun agaknya kecenderungan untuk membuat
sekolah di tempat yang mudah dikunjungi orang kota sering menimbulkan masalah.
Kebanyakan siswa mengalami kesulitan akses karena memang mereka yang membutuhkan
bantuan pendidikan umumnya berada di tempat-tempat yang selama ini sulit dijangkau
sehingga tangan Depdiknas “enggan” untuk sampai ke tempat itu. Dengan kondisi ini,
maka perusahaan yang ingin mendirikan bangunan sekolah sangat perlu untuk memetakan
dari mana saja siswa yang akan bersekolah itu berasal. Pertimbangan kemudahan akses dan
kemurahan biaya transportasi bagi mereka harus menjadi yang utama. Pemetaan itu juga
akan membantu perusahaan untuk menentukan berapa besar kapasitas ruang yang akan
dibangun. Kerap juga terlihat bahwa bangunan sekolah begitu besar dan mentereng namun
ternyata hanya terisi seperempatnya saja atau bahkan kurang. Pemetaan ini sangat penting
untuk menghindari pemborosan sumberdaya, baik dari masyarakat maupun perusahaan.

Program beasiswa. Hampir setiap perusahaan yang mengaku memiliki program CSR
berkait dengan pendidikan memberikan beasiswa. Ada dua jenis beasiswa yang diberikan,
yaitu untuk siswa dan mahasiswa yang berprestasi—ini yang paling sering ditonjolkan—dan
untuk mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Beasiswa untuk mereka yang
berprestasi, baik untuk melanjutkan pendidikan di dalam maupun luar negeri, sangatlah
diperlukan, karena memang biaya pendidikan semakin mahal. Entah mengapa, ketika
pemerintah mulai mencantumkan wajib belajar 9 tahun kemudian disusul dengan
amandemen UUD 1945 dengan amanat meningkatkan proporsi anggaran pendidikan

3
hingga 20% APBN malahan biaya pendidikan dilaporkan terus meningkat. Buat
kebanyakan kalangan, berprestasi atau tidak, biaya pendidikan menjadi demikian mahalnya.
Apalagi, untuk mereka yang hendak meneruskan pendidikan di luar negeri. Indonesia yang
belum sepenuhnya pulih dari hantaman krisis moneter 1997 mengalami penurunan nilai
mata uang yang luar biasa besar. Nilai rupiah sekarang hanya lebih besar sedikit dari
seperempat nilai sebelum krisis. Tentu saja, dengan pertimbangan investasi dalam otak-
otak cemerlang yang dimiliki Indonesia, maka beasiswa untuk mereka yang berprestasi
harus terus diteruskan.

Namun, yang juga tidak kalah—atau bahkan lebih—penting adalah pemberian beasiswa
bagi mereka yang tidak mampu. Kalau logika pendidikan yang semakin mahal itu
diterapkan, maka sebetulnya kaum miskinlah yang paling disengsarakan dengan
peningkatan biaya itu. Biaya pendidikan dasar memang “gratis” namun keperluan lain
seperti buku masih harus membuat para orang tua tak mampu mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Karenanya, perusahaan-perusahaan juga sangat perlu untuk menyisihkan
sebagian (besar) dana beasiswanya untuk kalangan ini. Mereka yang berprestasi tentu akan
lebih mudah untuk memperoleh beasiswa dari tempat lain, termasuk dari universitas yang
dituju maupun lembaga donor. Akses yang lebih berat ada pada mereka yang tak mampu.

Dengan demikian memang proporsi terbesar dana untuk beasiswa seharusnya diberikan
kepada mereka yang tidak mampu, terutama kalangan tidak mampu yang berada dalam
wilayah dampak perusahaan. Pemetaan pemangku kepentingan lagi-lagi akan sangat
berguna untuk menentukan siapa saja dan berapa banyak sebetuknya kalangan miskin yang
memiliki anak usia sekolah dan membutuhkan bantuan beasiswa. Ini diperlukan untuk
memastikan bahwa beasiswa yang diberikan tidak salah sasaran. Data di tingkat kecamatan,
kelurahan, dan sekolah—apabila tersedia—akan sangat membantu perusahaan untuk tiba
pada kesimpulan berapa besar bantuan yang harus diberikan dan kepada siapa bantuan itu
diberikan. Sumber data lain yang mungkin bisa membantu adalah dari BKKBN dan Dinas
Sosial.

Kalau pertimbangan atas dua jenis beasiswa ini digabungkan, maka ada setidaknya dua
konsekuensi. Pertama, beasiswa untuk siswa yang tidak mampu sangat diperlukan untuk
“menemukan” atau memberikan kesempatan bagi siswa-siswa cemerlang yang berasal dari
kelompok itu. Kalau tidak ada kesempatan untuk bersekolah, maka kecemerlangan prestasi
mereka tidak akan bisa ditemukan juga. Kalau, misalnya, Septinus George Saa yang
memenangkan lomba fisika di tingkat internasional itu tidak diberikan kesempatan untuk
terus bersekolah dengan gratis, maka kita tidak akan pernah mengetahui kehebatannya itu.
Kedua, ketika pilihan harus diambil untuk menentukan manakah siswa yang harus
mendapatkan beasiswa di antara mereka yang menunjukkan prestasi yang setara, maka
hendaknya mereka yang berasal dari kelompok ekonomi yang lebih lemahlah yang
dimenangkan. Kalau dua bentuk pertimbangan ini dipegang, maka fungsi beasiswa sebagai
bentuk tindakan afirmatif atau affirmative action akan dapat dipenuhi. Dalam jangka panjang,
kalau pertimbangan ini terus dipergunakan, maka ketimpangan pendidikan—antara mereka
yang berpunya dan tidak—akan dapat dikurangi melalui beasiswa dari perusahaan-
perusahaan.

Iklan layanan masyarakat. Agak sulit juga mencari apa yang harus diperbaiki dari
bentuk-bentuk iklan layanan masyarakat tentang perlunya pendidikan. Mungkin, yang
sangat penting kita ketahui melalui penelitian yang mendalam adalah apakah enrollment
ratio—perbandingan antara anak yang bersekolah dengan anak usia sekolah di suatu

4
tempat—itu lebih ditentukan oleh kesadaran orang tua dan anak ataukah oleh faktor-faktor
lain, misalnya ekonomi. Kalau ternyata kesadaran untuk bersekolah sudah cukup tinggi
namun hambatannya datang dari faktor lain, maka iklan layanan masyarakat dapat dikurangi
frekuensi atau panjang tayangannya. Sebagaimana yang diketahui umum, biaya untuk
menayangkan iklan di stasiun tevelisi sangatlah tinggi. Kalau keefektifan iklan itu ternyata
rendah, maka jauh lebih baik sumberdaya itu dipergunakan untuk kegiatan langsung—
seperti penyediaan infrastruktur sekolah atau pemberian beasiswa—yang benar-benar bisa
membantu siswa untuk bersekolah. Jadi, kiranya diperlukan pemahaman yang tepat tentang
ada di mana persoalan sebetulnya pendidikan ini. Kalau meminjam konsep-konsep dari
Teori Adaptasi Inovasi: apakah persoalan itu ada di awareness, interest, evaluation, trial atau
adoption? Tentu saja kita tidak seharusnya jorjoran memasang iklan layanan masyarakat kalau
ternyata masalahnya bukan di awareness atau interest.

Kalau kita sudah tahu persis mengenai hal itu, namun kemudian ternyata perusahaan-
perusahaan tertentu tetap memilih untuk “menggarami air laut” dengan iklan yang mahal
itu, maka pertanyaan motivasi perlu kita kemukakan. Bahaya paling besar dari mengaku
melakukan CSR adalah company greenwash atau pengelabuan citra perusahaan. Perusahaan
kerap tergoda untuk menampilkan dirinya lebih baik dari kinerja sosial dan lingkungan yang
............ diperlukan sesungguhnya, dan ini difasilitasi oleh media massa yang lapar pemasukan iklan. Media
pemahaman yang massa sama sekali tidak pernah memeriksa kebenaran isi “iklan CSR” apalagi motivasi
tepat tentang ada perusahaan yang memasangnya. Mereka berlindung di balik pernyataan “isi di luar
di mana persoalan
sebetulnya
tanggung jawab percetakan” atau yang semacamnya—yang juga berlaku untuk media massa
pendidikan ini. elektronik. Padahal, dari sudut pandang CSR, citra hanya boleh ditampilkan setara dengan
kinerja. Greenwashing adalah perbuatan tercela.

Ada kerumitan baru dalam masalah ini kalau kita ingat bahwa sebagian besar pengiklan
layanan masyarakat pendidikan adalah industri rokok. Baru-baru ini dirilis hasil penelitian
di Indonesia yang mengungkapkan bahwa konsumsi rokok di kalangan orang miskin terus
menerus meningkat proporsinya dari tahun ke tahun. Dalam penelitian itu juga
diungkapkan bahwa konsumsi bahan makanan pokok malahan mengalami penurunan. Kita
mengetahui bahwa berbagai jenis kebutuhan itu “bersaing” untuk mendapatkan proporsi
dari total sumberdaya yang dimiliki seseorang. Dengan meningkatnya proporsi rokok,
maka dipastikan ada kebutuhan lain yang dikorbankan. Di penelitian itu sangat jelas
terungkap bahwa para perokok dari kelompok miskin bahkan mengobankan makanan.
Kita tidak tahu persis apakah pendidikan juga dikorbankan karena konsumsi rokok. Kalau
demikian, ada paradoks di sini: industri yang mengiklankan baiknya pendidikan ternyata
adalah industri yang membuat banyak anak terganggu kesempatan pendidikannya. Kaitan
paradoksikal ini memang masih berupa hipotesis dan pengujiannya harus dilakukan. Jika
terbukti bahwa kebutuhan pendidikan anak juga dikalahkan oleh kebutuhan rokok
orangtua, maka strategi CSR industri rokok harulah memperhitungkan hal ini. Industri
rokok—sebagai konsekuensi logis atas dampak yang ditimbulkannya—harus memberikan
pemahaman bahwa merokok bukan saja membahayakan kesehatan, namun membahayakan
pendidikan—yaitu kedua jenis personal capital yang membuat manusia bisa hidup dengan
baik. Selain itu, kompensasinya harus diperhitungkan dengan saksama dan diberikan
dengan tepat.

Akhir kata
Kritik Sandra Waddock kepada CSR dalam artikelnya Corporate Citizenship: The Dark Side
Paradoxes of Success (2007) sangatlah relevan untuk direnungkan. Di antara berbagai
kelemahan yang menonjol dalam pelaksanaan CSR, sempitnya fokus adalah salah satunya.

5
Permasalahan sosial—baik yang berkaitan dengan dampak operasi perusahaan maupun
tidak—sesungguhnya selalu bersifat beragam. Tidak mungkin bagi satu perusahaan untuk
menyatakan bahwa ia hanya akan menangani satu aspek saja. Kalau itu dilakukan, berarti
perusahaan itu mengabaikan sejumlah besar permasalahan yang lain. Perusahaan yang
hanya memilih pendidikan sebagai satu-satunya atau fokus utama CSRnya bisa terjatuh ke
dalam kesalahan ini. Karenanya, walaupun sangat penting, perusahaan tidak dapat semata-
mata menyatakan ia hanya akan mengurus pendidikan dan mengabaikan masalah lainnya.

Sebagaimana telah digambarkan di atas, pendidikan sangat terkait dengan masalah ekonomi,
yaitu kemiskinan. Mereka yang miskin akan memiliki kesempatan pendidikan yang lebih
terbatas. Karenanya, perusahaan yang serius ingin membantu masyarakat meningkatkan
taraf pendidikan juga harus memikirkan keitan keduanya, lalu membuat program yang bisa
mengatasi kemiskinan itu. Ketika kemiskinan teratasi, maka sebagian (besar?) masalah
pendidikan (mungkin) taratasi. Orangtua yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik
tentu bisa memikirkan pendidikan anak-anaknya, bukannya meminta mereka menjadi
pencari nafkah sekunder atau bahkan primer.

Pendidikan juga terkait dengan akses transportasi. Akses jalan dan jembatan kerap menjadi
penghambat anak-anak yang hendak bersekolah. Kalau ini tidak dibereskan, maka
kesulitan-kesulitan siswa—ingat iklan berenang untuk menuju sekolah?—akan membuat
kesempatan memperoleh pendidikan juga mengecil. Lingkungan yang buruk juga akan
sangat mengganggu pendidikan. Bayangkan, pendidikan seperti apa yang bisa dibuat di
sekitar sungai yang tercemar berat, di jalanan yang berdebu parah, atau di tempat yang
udaranya dipenuhi polutan.

Karenanya, logika holistik harus benar-benar diperhatikan di sini. Pernyataan


“memfokuskan diri pada pendidikan” sebetulnya tidak bisa diterima mengingat keterkaitan
antara pendidikan dengan banyak masalah lain. Yang juga penting diingat adalah bahwa di
antara berbagai hal itu ada yang berada dalam jangkauan perusahaan—misalnya dampak
lingkungan—serta ada yang merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah. Ketika
pemerintah absen atau tidak mampu untuk memenuhi tanggung jawabnya, perusahaan
masih memiliki pilihan dalam menjalankan apa yang disebut Steve Hilton dan Giles
Gibbons (2004) sebagai corporate social leadership. Perusahaan dapat menghimpun
sumberdaya yang terserak di perusahaan-perusahaan lain, lembaga donor, ornop dan
sebagainya yang juga memiliki perhatian yang sama. Dengan demikian, tujuan eksistensi
perusahaa

Jakarta, 4 Mei 2007

Jalal, Lingkar Studi CSR

Rukan Permata Senayan No.A/6


Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan
Jakarta 12210, Indonesia
Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611
www.csrindonesia.com, e-mail: office@csrindonesia.com

You might also like