You are on page 1of 8

TUNTUTLAH ILMU SAMPAI KE NEGERI CINA

A. Pendahuluan
Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
ِ ‫صي‬
‫ن‬ ّ ‫طُلُبْوا الِعْلَم َوَلْو في ال‬
ْ ‫ُا‬
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”

Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang
akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan
keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut
hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah
hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat
hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji
pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana
penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada
posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk
pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.
Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan
Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan
dalam hal ini.

B. Penjelasan Derajat Hadits


Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits
dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi (2/207), Abu Nu’aim
(Akhbar Ashbahan: 2/106), al-Khotib (Tarikh: 9/364 dan ar-Rihlah: 1/2), al-
Baihaqi (al-Madkhol: 241, 324), Ibnu Abdil Barr (Jami’ Bayanil Ilmi: 1/7-8)
dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata):
Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas
secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam).
Mereka semunya menambahkan:

‫سِلٍم‬
ْ ‫ل ُم‬
ّ ‫عَلى ُك‬
َ ‫ضٌة‬
َ ‫ب اْلِعْلِم َفِرْي‬
ُ ‫طَل‬
َ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati
akan kelemahannya. Al-Bukhori Rohimahulloh berkata: “Munkarul hadits.”
An-Nasa‘i Rohimahulloh berkata: “Tidak terpercaya.” Abu Hatim
Rohimahulloh berkata: “Haditsnya hancur.”
Al-Marwazi Rohimahulloh bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di
sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Ibnul Jauzi
Rohimahulloh mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan
berkata: Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui
as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah hlm. 63)
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain
yang menguatkannya. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 416)
Mengkritik Matan Hadits Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rohimahulloh—
setelah menjelaskan lemahnya hadits ini—berkata:
“Seandainya hadits ini shohih maka ia tidaklah menunjukkan tentang
keutamaan negeri Cina dan penduduknya karena maksud hadits ini—kalaulah
memang shohih—adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus
menempuh perjalanan yang sangat jauh (1). Alasannya, menuntut ilmu
merupakan perkara yang sangat penting karena ilmu merupakan penyebab
kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah
maksud hadits ini adalah negeri Cina itu sendiri melainkan karena Cina adalah
negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas bagi orang yang mau
memperhatikan hadits ini.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits
Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)
Tambahannya Shohih? Adapun tambahan dalam hadits ini dengan
lafazh:
‫سِلٍم‬
ْ ‫ل ُم‬
ّ ‫عَلى ُك‬
َ ‫ضٌة‬
َ ‫ب اْلِعْلِم َفِرْي‬
ُ ‫طَل‬
َ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Tentang tambahan di atas Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata:


“Lafazh ini diriwayatkan dalam banyak sekali jalur dari Anas Rodhiyallohu
‘anhu sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh al-
Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan
jalur. Selain Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya
seperti: Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ali. Saya
sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga
bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah.
Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua
puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah al-Faqr (48-62) dan saya
menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan.” (at-Tuhfatul Karimah Fi
Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)
Al-Hafizh as-Suyuthi Rohimahulloh juga telah mengumpulkan jalur-
jalur hadits ini dalam sebuah risalah khusus, Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi
Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, yang disunting Syaikh Ali bin Hasan al-
Halabi dan dicetak oleh Dar Ammar, Yordania. Namun, perlu kami ingatkan
di sini, bahwa hadits ini memiliki tambahan yang populer padahal tidak ada
asalnya yaitu lafazh “dan muslimah”.

‫سِلَمٍة‬
ْ ‫سِلٍم َوُم‬
ْ ‫ل ُم‬
ّ ‫عَلى ُك‬
َ ‫ضٌة‬
َ ‫ب اْلِعْلِم َفِرْي‬
ُ ‫طَل‬
َ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.”


Tambahan lafazh ‫سسِلَمٍة‬
ْ ‫ َوُم‬tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits.
Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Hadits ini masyhur pada zaman
sekarang dengan tambahan ‫سِلَمٍة‬
ْ ‫ َوُم‬padahal tidak ada asalnya sedikit pun. Hal
ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhowi. Beliau berkata dalam al-Maqoshid
al-Hasanah (hlm. 277):
‘Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan
‫سسِلَمٍة‬
ْ ‫ َوُم‬padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikit pun.’”
(Takhrij Musykilatul Faqr hlm. 48-62)
Walaupun begitu, makna tambahan ini benar, karena perintah
menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita. Syaikh Muhammad Rosyid
Ridho Rohimahulloh berkata:
“Hadits menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim juga mencakup
wanita dengan kesepakatan ulama Islam, sekalipun tidak ada tambahan lafazh
dan muslimah. Akan tetapi, matan-nya adalah shohih dengan kesepakatan
ulama.” (Huquq Nisa’ Fil Islam hlm. 18)
Semoga Alloh merahmati al-Hafizh Ibnul Jauzi tatkala berkata:
“Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama karena ilmu
adalah cahaya yang menyinari. Hanya, saya memandang bahwa para wanita
lebih utama dengan anjuran ini dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan
menguatnya hawa nafsu pada diri mereka.” Lanjutnya: “Wanita adalah
manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib atasnya menuntut ilmu
agar dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan.” (Ahkam Nisa‘
hlm. 8-11)
Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi
para ulama dalam bidang agama, al-Qur‘an, hadits, syair, kedokteran, dan
sebagainya. (Lihat kisah-kisah mereka dalam kitab Huquq Mar‘ah kar. Dr.
Nawwal binti Abdulloh hlm. 285-293, ’Inayah Nisa‘ Bil Hadits Nabawi kar.
Syaikh Masyhur Hasan Salman)
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah
membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya
‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-
hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam‘ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau
tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al
Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas
radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini.
Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan
tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy,
beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan,
sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan.
Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah
(wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai
status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if
(lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan
Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa
diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini
tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini
dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan
hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat
sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa
sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih
dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari
periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini,
penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada
penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus
didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits
ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua
periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat
hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat,
dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para
ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).

C. Seandainya Hadits Ini Shohih


Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan
negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China.
Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –
seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut
ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama
sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan
mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai
keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang
sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini
jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah
sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.

D. Hadits-Hadits Lemah Tentang Ilmu


Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu merupakan suatu
keharusan bagi seorang muslim. Namun, bukanlah hal itu berarti kita
menganjurkan mereka dan memompa semangat mereka dengan hadits-hadits
dusta yang disandarkan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang
mulia seperti yang dilakukan oleh banyak penceramah dan penulis. Misalnya
hadits:

‫حِد‬
ْ ‫ن اْلَمْهِد ِإَلى الّل‬
َ ‫طُلُبْوا اْلِعْلَم ِم‬
ْ ‫ا‬
“Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.”

TIDAK ADA ASALNYA. Demikianlah yang ditegaskan Samahatusy


Syaikh Abdul Aziz bin Baz. (Lihat Ahadits Mardudah kar. Sa’id bin Sholih al-
Ghomidi hlm. 12)
Juga:

‫ن َأَراَدُهَما َفَعَلْيِه ِباْلِعْلِم‬


ْ ‫ َوَم‬،‫خَرَة َفَعَلْيِه ِباْلِعْلِم‬
ِ‫ل‬َ ‫ن َأَراَد ا‬
ْ ‫ َوَم‬،‫ن َأَراَد الّدْنَيا َفَعَلْيِه ِباْلِعْلِم‬
ْ ‫َم‬

“Barang siapa yang menghendaki dunia maka hendaknya dia berilmu.


Dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka hendaknya dia berilmu.
Dan barang siapa yang menghendaki dunia dan akhirat maka hendaknya dia
berilmu.”

TIDAK ADA ASALNYA. Yang benar ini adalah ucapan Imam asy-
Syafi’i bukan ucapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan masih banyak lagi hadits lemah lainnya yang sering dibawakan untuk
menganjurkan manusia agar bersemangat menuntut ilmu. Sekali lagi, kita
tidak butuh kepada hadits-hadits lemah. Cukuplah bagi kita dalil-dalil dari al-
Qur‘an, hadits yang shohih, dan ucapan para ulama. (Lihat kitab Jami’ Bayanil
Ilmi wa Fadhlihi kar. Imam Ibnu Abdil Barr dan Miftah Dar Sa’adah kar.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah)

E. Penutup
Pembicaraan tentang ilmu panjang sekali. Namun, satu poin penting
yang ingin kami tekankan di sini, bahwa banyak para penulis dan penceramah
tatkala membawakan dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits—baik yang shohih
maupun tidak shohih—tentang menuntut ilmu mereka memaksudkannya
untuk ilmu dunia. Hal itu adalah suatu kesalahan, karena setiap ilmu yang
dipuji oleh dalil-dalil tersebut maksudnya adalah ilmu agama, ilmu tentang al-
Qur‘an dan sunnah. Kita memang tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti
kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya tetapi ilmu-
ilmu duniawi itu bukanlah yang dimaksudkan dalam dalil-dalil tersebut.
Hukumnya (ilmu-ilmu duniawi itu) tergantung pada tujuannya. Apabila ilmu-
ilmu duniawi tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila
digunakan dalam kejelekan maka jelek. Perhatikanlah hal ini baik-baik,
semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu.

Nama : Arista Ayu TW.


No : 07
Kelas : XII IPA 2

You might also like