Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia yang merupakan amanat seluruh rakyat ketika
memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda selama 350 tahun dan dari penjajahan Jepang selama
3,5 tahun untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang merdeka untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar negara Indonesia, merupakan dasar dalam
menyusun sistem negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Dalam perjalanannya sebagai bangsa yang merdeka, Negara Republik Indonesia baru menganggap penting
Persaingan Usaha yang Sehat pada tahun 1999 setelah 54 tahun merdeka, suatu proses belajar yang cukup
panjang. Setelah 50 tahun lebih Negara Indonesia merdeka barulah lahir Undang-Undang No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain setelah 50 tahun lebih
merdeka, barulah rakyat Indonesia yang bekerja sebagai pelaku usaha atau pebisnis diproklamasikan
kemerdekaannya dalam berusaha pada tahun 1999 dengan ditanda tanganinya UU No.5 tahun 1999 oleh Presiden
pada saat itu Prof.Dr.ing. B.J. Habibie. Selama 50 tahun lebih praktek monopoli dan praktek anti persaingan tidak
diatur secara hukum alias dihalalkan dalam dunia usaha di Indonesia. Persekongkolan antara
Pemerintah/Lembaga Negara dengan pelaku usaha/BUMN menciptakan diskriminasi dan Kesempatan berusaha
yang tidak sama antara pelaku usaha (besar, menengah dan kecil), dengan menghilangkan persaingan antar pelaku
usaha (lessening competition) dan menciptakan konsentrasi kelompok interest atau pasar berbentuk oligopolistik,
yang akhirnya mematikan sistem inovasi nasional bahkan berjalan dengan waktu secara sistemik menciptakan
pengangguran, inflasi yang tinggi dan kemiskinan di masyarakat.
3. Paper ini berusaha menjelaskan bagaimana fenomena persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli
yang ada dalam sistem pembangunan ekonomi nasional dapat menghancurkan sistem inovasi nasional,
melemahkan sektor riil UMKM dan menciptakan kemiskinan rakyat Indonesia secara struktural dalam sektor-
sektor penting seperti pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, kerajinan rakyat, pasar
tradisional dsb.
4. Paper ini juga berusaha merumuskan rekomendasi harmonisasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum
harmonis dengan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat.
1
Lihat Emil Salim, Ekonomi Pancasila. Prisma-LP3ES tahun 1979
kiri dan ke kanan, dari liberal ke sosialis dan ke arah liberal lagi tetapi, menurut teknokrat orde
baru itu, akhirnya mencapai titik keseimbangan di tengah-tengah yang disebutnya Sistem
Ekonomi Pancasila, yaitu sistem pasar yang dikendalikan melalui intervensi negara. Dari
perspektif dua pendekatan kapital dan manusia sebagai modal utama, sistem ekonomi orde baru
tampaknya cenderung pada pendekatan kapital pascakolonial, tetapi ciri-cirinya tetap sama
dengan pendekatan kapital-kolonial, meminjam istilah Hatta. Dengan meminjam istilah Peter B
Evans,2 pembangunan yang terjadi adalah pembangunan ketergantungan (dependent
development). Dualisme sosial-ekonomi yang merupakan ciri ekonomi kolonial tetap
berlangsung, bahkan dalam derajat yang lebih parah. Perekonomian Indonesia bergantung pada
luar negeri dalam hal modal dan teknologi.
Tahun 1973-1974, Indonesia mengalami boom minyak pertama, negara mendadak mendapat
harta kekayaan luar biasa besarnya. Sebagaimana diamati Richard Robinson dan Jeffrey
Winters,3 rezeki minyak yang melimpah erfungsi untuk menyisihkan kaum teknokrat-ekonom
dari posisi mereka sebagai perancang utama kebijakan ekonomi. Dengan dukungan negara,
sejumlah industri hulu padat modal dibangun atas nama membangun kapasitas perekonomian
Indonesia untuk berdiri sendiri. Proyek penjalinan secara struktural dan menyeluruh berbagai
sektor ekonomi Indonesia di bawah pimpinan negara-dulu disebut dengan “Indonesia
Incorporation.” – mendapat dukungan kuat kelompok teknokrat insinyur (dan banyak ditentang
kaum teknokrat ekonom). Dan akhirnya BJ Habibie muncul dengan model pembangunan melalui
8 wahana industri strategis yang berteknologi tinggi tanpa memperhatikan apa yang disebut oleh
para ekonom sebagai faktor comparative advantage perekonomian Indonesia.4
Di sisi lain, Pembangunan nasional, pada masa Soeharto sangat sentralistik, mengandalkan
keunggulan komparatif sdm murah dan kekayaan sumberdaya alam, tanpa implementasi UU dan
kelembagaan yang mengawasi persaingan usaha yang sehat, sehingga sarat dengan praktek
Oligopoli dan monopoli, korupsi, kolusi/persekongkolan dan nepotisme. Strategi industrialisasi
2
Lihat, Peter B Evans, Dependent Development: The Alliance of Multinational, State, and Local Capital in Brazil
(New Jersey: Princenton, University Press, 1979).
3
Lihat, Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Unwin, 1986); Jeffrey A Winters, Power
in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (Ithaca: Cornell University Press, 1996).
4
Lihat, Ian Chalmers dan Vedi R Hadiz (eds), The Politics of Economic Development in Indonesia: Contending
Perspective (London: Routledge, 1997), terutama Bab 3 dan Bab 7; Vedi R Hadiz, Krisis Ekonomi Dunia dan
Indonesia (Prisma No.1. 2009).
banyak mengandalkan akumulasi modal, perlindungan (proteksi), dan padat teknologi tinggi
telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan. Fakta menunjukkan
bahwa di dalam sektor manufaktur yang modern hidup berdampingan kelompok yang tidak
dilindungi (non-protected industry) dan yang dilindungi (protected industry). Dualisme dalam
sektor manufaktur tersebut tampak nyata jika dilihat dari kinerjanya. Kelompok perusahaan besar
dan protektif tumbuh karena fasilitas yang mereka terima, sementara yang lain harus bersaing
dengan kemandirian dan daya saingnya.
Industri nasional juga berkarakter pada dikotomi antara pelaku-pelaku usaha berorientasi ekspor
yang efisien dan pelaku-pelaku usaha yang tidak efisien dan berorientasi ke dalam negeri. Pelaku
usaha yang tidak efisien dilindungi oleh tarif impor yang relatif tinggi dan juga perlindungan
bukan-tarif. Konsumen pembeli produk manufaktur di dalam negeri harus membayar lebih tinggi
dibandingkan tingkat harga internasional. Dilain pihak, kelompok pelaku usaha yang dominan
didalam negeri yang menikmati perlindungan dari pemerintah, tidak mampu bersaing dengan
produk-produk sejenis dari luar negeri. Sebagai contoh produk-produk yang dilindungi pada era
orde-baru seperti besi-baja, logam, kertas, dan sebagainya.
Dalam derajat tertentu, pembangunan pada masa orde baru, perlu diakui telah menghasilkan
kemajuan-kemajuan ekonomi seperti stabilitas moneter, pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi (rata-rata 7 persen per tahun), peningkatan pendapatan masyarakat disertai dengan
pengurangan derajat kemiskinan dan pembentukan modal masyarakat. Suatu hal yang belum
banyak berubah dalam pembangunan ekonomi nasional di era orde baru, atau boleh dikatakan
konstan dalam semua perkembangan diuraikan di atas, adalah ketidak berdayaan rakyat dalam
mengontrol sumberdaya ekonomi Indonesia supaya tidak dipergunakan untuk memupuk modal
pribadi dengan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dan cara-cara yang
mengakibatkan kemiskinan masyarakat dengan dalih nasionalisme/proteksionisme atau pasar
bebas. Perekonomian Indonesia menjadi semakin terproteksi dan tidak efisien. Modal asing
dibatasi lewat sejumlah kebijakan yang merintangi masuknya mereka dalam berbagai sektor
perekonomian yang mengharuskan investor asing mengikut sertakan mitra dalam negeri. Pada
masa orde baru itu pula, akibat kebijakn pemberian monopoli serta subsidi dan kredit negara
secara sangat tidak transparan, muncul konglomerat-konglomerat raksasa semacam Salim Group.
Tahun 1980-1985, terjadi lagi perubahan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu
berakhirnya boom minyak secara mendadak. Perubahan ini memicu krisis baru atas sumber
pendapatan negara yang kemudian memicu terbitnya deregulasi dengan kebijakan-kebijakan
yang lebih pro-pasar bebas. Namun demikian, perubahan tersebut tidak menandakan
kemenangan mutlak “pasar bebas” di Indonesia, dengan berakhirnya peran negara dan mereka
yang menguasainya. Yang terjadi justru penunggangan kebijakan deregulasi oleh kepentingan-
kepentingan predatoris dengan berubahnya pola monopoli sektor-sektor tertentu dalam
perekonomian dari negara kepada monopoli swasta yang dipegang oleh para pengusaha yang
dekat dengan penguasa. Karena itu aktor-aktor ekonomi yang diuntungkan oleh fase
proteksionisme, kembali mengeruk keuntungan besar setelah krisis ekonomi awal than 1980-an
dengan mendesakkan perubahan kebijakan (deregulasi). Kebijakan deregulasi perbankan,
misalnya, yang sempat dipuji oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, memungkinkan para
konglomerat memanfaatkan bank-bank baru sebagai sapi perahan-sumber untuk mendapatkan
dana murah dari masyarakat tanpa menghiraukan azas perbankan yang sehat. Akhirnya,
penggabungan cronyism politik dengan keikut sertaan dalam pasar global secara bebas
membawa perekonomian Indonesia pada titik nadir baru pada 1997-1998 dan menyebabkan
tumbangnya orde baru.
Ditambah lagi, iklim usaha pada masa orde baru, masih menghalalkan praktek monopoli dan
perilaku pengusaha yang anti persaingan. Dapat diambil contoh monopoli BPPC dalam distribusi
cengkeh, masuknya PT.Timor sebagai industri otomotif nasional dengan berbagai fasilitas dan
kemudahan, monopoli industri migas oleh Pertamina dsb, yang semuanya itu menciptakan
kondisi ekonomi nasional yang sangat tidak efisien dan ekonomi biaya tinggi. Pada masa orde
baru kemitraan pengusaha besar, sedang dan kecil masih sangat kurang. Karena praktek anti
persaingan dan monopoli melalui kemudahan, diskriminasi, bahkan fasilitas dukungan dana dari
pemerintah/penguasa, iklim usaha ini menciptakan abuse dari posisi yang dominan atau abuse
dari posisi yang dilindungi/disubsidi penguasa yang menciptakan entry-barrier bagi usaha
menengah dan kecil yang harus menghadapi konglomerasi atau integrasi vertikal pengusaha
besar yang dilindungi. Pada sisi konsumen akhirnya menciptakan harga yang tidak wajar dengan
keuntungan eksesif. Dan jika ini terjadi pada kebutuhan bahan pokok masyarakat adalah inflasi
yang tinggi yang akhirnya menciptakan kualitas hidup masyarakat yang semakin buruk, karena
terlilit hutang dan jatuh pada kemiskinan.
Sistem Inovasi Nasional Yang Semu
Jika pasar kental dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka tidak ada
persaingan di sana, yang berarti sistem inovasi tidak akan bekerja. Investasi yang sudah
dilakukan membangun LIPI, PUSPIPTEK, Perguruan Tinggi dengan lembaga risetnya, tidak
berperan signifikan dalam menciptakan efisiensi ekonomi, harga yang murah dan kualitas produk
yang tinggi, atau menciptakan inovasi dalam persaingan usaha. Pelaku usaha tidak didorong
melakukan inovasi atau R&D untuk mencapai harga yang murah dan kualitas barang yang tinggi
karena tidak adanya iklim persaingan usaha yang sehat. Kerjasama tripartit ABG yang sering
didengung-dengungkan Menristek pada masa orde baru dan pasca orde-baru, yaitu kerjasama
antara Academician-Businessman-Government (ABG) tidak akan pernah diarus-tengahkan
secara nyata dan alamiah (mainstreaming) dalam pembangunan ekonomi nasional. Jika
Prof.Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa kebocoran utang pembangunan mencapai
30% adalah hal yang dipercayai semua orang walaupun sampai saat belum ada penelitian yang
membuktikannya. Penulis beranggapan bahwa kebocoran tersebut pada masa orde baru, saat ini
masih belum banyak berubah, melihat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat melalui maraknya persekongkolan dalam tender pengadaan
barang dan jasa pemerintah, serta berpindahnya semua ini kedaerah karena implementasi
kebijakan otonomi daerah yang tidak dibarengi oleh kesiapan yang memadai dalam berbagai
aspeknya.
Tingginya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dalam iklim usaha nasional di era orde
baru dapat dimodelkan seperti diagram pada gambar 1 dibawah ini, yang dapat menyebabkan
entry barrier bagi sektor riil UMKM sehingga mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan.
Krisis moneter pada tahun 1998 yang menyebabkan nilai rupiah sangat jatuh dan mencapai
Rp.14.000 pada Juli 1998 terhadap US$, sehingga banyak perusahaan besar yang collapse karena
ketergantungan yang tinggi pada impor dalam proses produksinya yang akhirnya berdampak
pada Industri UMKM terkait, yang pada akhirnya menciptakan pengangguran dan kemiskinan
yang masif.
2. PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
MENIADAKAN INOVASI, MELEMAHKAN UMKM DAN MENCIPTAKAN
KEMISKINAN: TINJAUAN PADA ERA ORDE-BARU DAN TRANSISI ERA UU
PERSAINGAN, 1985-2010
Pada Bagian ini penulis ingin mengangkat berbagai contoh praktek monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat yang berdampak pada efisiensi ekonomi nasional yang buruk, inflasi dan
kemiskinan.
Kasus Petani Jeruk
Salah satu masalah serius yang sering dihadapi para petani di Indonesia adalah sistem tata niaga
yang merugikan mereka dengan adanya praktek monopoli dalam sistem tersebut. Masalah ini
dihadapi oleh petani-petani jeruk Pontianak, Kalimantan, terutama pada era orde baru (era
soeharto), tepatnya sekitar awal dekade 90-an ketika diberlakukan tata niaga jeruk yang
monopolistik oleh pemerintah. Setiap jeruk petani harus dijual kepada PT.Bina Citra Mandiri
(BCM) yang merupakan perusahaan milik Tommy Suharto. Bukan Cuma harga jeruk yang
ditentukan PT.BCM, tetapi quota jeruk juga diberlakukan dengan sangat ketat.
Sistem monopoli dalam tata niaga ini melarang petani menjual jeruk hasil produksinya yang
melimpah kepada pihak lain di luar PT.BCM. Pedagang pengumpul hanya boleh menjual sekitar
10% dari total omsetnya. Ketentuan ini dengan sendirinya membuat pasokan di pasar sedikit,
yang berakibat pada peningkatan harga jeruk yang significant dan yang mendapatkan
keuntungan dari kenaikan harga tersebut adalah hanyalah PT.BCM.
Sistem tata niaga jeruk seperti itu menjadi suatu faktor disinsentif bagi petani untuk meneruskan
atau meningkatkan produksinya. Bahkan sejak diterapkan kebijakan tata niaga itu, banyak petani
jeruk di Pontianak (dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia) membiarkan jeruk mereka
membusuk di kebun.
Saat ini mulai tahun 2000 dari pohon yang masih tersisa, Departemen Pertanian bekerjasama
dengan Universitas Tanjungpura Pontianak serta berbagai instansi lainnya yang peduli mulai
mengembangkan kembali jeruk Pontianak dengan bibit unggulan. Kini jeruk Pontianak perlahan-
lahan bangkit kembali dan petanipun mulai bergairah kembali menanam jeruk Pontianak. Hanya
satu yang diinginkan petani, jangan ada lagi tata niaga jeruk yang terbukti telah menghancurkan
jeruk Pontianak.
Contoh kasus ini jelas menunjukkan bahwa persaingan yang tidak sehat, akan menghilangkan
persaingan itu sendiri yang selanjutnya menghilangkan inovasi (R&D) yang pada akhirnya
berdampak negatif terhadap sisi suplai/produksi, yang selanjutnya mengurangi kesempatan kerja
dan meningkatkan kemiskinan. Andaikata setiap petani jeruk mengerjakan rata-rata dua orang
buruh tani, dapat dibayangkan berapa besarnya peningkatan kemiskinan di daerah-daerah yang
merupakan sentra-sentra perkebunan jeruk jika semua pemilik perkebunan jeruk menghentikan
produksi mereka. Terkecuali jika mereka beralih ke komoditas-komoditas lainnya, maka dampak
negatifnya bisa lebih kecil.
Kasus Sektor Penerbangan
Melalui saran pertimbangan, KPPU juga berkontribusi terhadap dinamika sektor penerbangan
yang makin meningkat. Salah satu contoh perubahan kebijakan sebagai respon terhadap saran
KPPU adalah terkait dengan saran pertimbangan dalam industri penerbangan. Pada tahun 2000,
KPPU mengamati adanya indikasi kartel dalam industri penerbangan, karena penetapan tarif
dilakukan oleh INACA (Indonesian National Air Carrier Association). Para operator
penerbangan bersepakat malakukan penetapan harga yang kemudian diajukan untuk dilegalkan
oleh pemerintah.
Menindaklanjuti temuan tersebut, KPPU kemudian memberikan saran pertimbangan kepada
Pemerintah untuk mencabut kewenangan INACA dalam menetapkan tarif.
Terhadap saran pertimbangan KPPU tersebut, Pemerintah melakukannya dengan mencabut
kewenangan INACA dan pemerintah menetapkan tarif batas atas. Dampak kebijakan adalah
terjadinya penurunan tarif mencapai hampir 50 % lebih dalam setiap rute. Kemudian rute-rute
baru pun bermunculan seiring dengan kemunculan maskapai penerbangan yang baru.
Masyarakat yang tadinya tidak mampu menggunakan moda transportasi penerbangan karena
mahal, kini dengan mudah memilih maskapai dengan tarif yang sangat kompetitif. Pada tahun
2008 saja, penumpang pesawat terbang tercatat mencapai sekitar 38 juta penumpang. Bila saja
ada penghematan sebesar Rp 50.000 saja per penumpang, maka total penghematan yang dicapai
adalah sebesar Rp 1.9 Triliun. Dalam hal ini banyak sekali manfaat yang dapat dirasakan oleh
masyarakat dengan adanya iklim persaingan yang semakin sehat dan adil.
Selain kasus kartel tarif oleh maskapai penerbangan nasional, belakangan ini terjadi lagi kasus
kartel Fuel Surcharge oleh maskapai penerbangan dengan jalur penerbangan berjadwal domestik.
Seharus penerapan fuel surcharge yang memang diijinkan oleh pemerintah mengantisipasi
kenaikan aftur, dibebankan kepada konsumen sesuai dengan selisih kenaikannya jadi tidak ada
yang tersisa menjadi pendapatan fuel surcharge yang masuk ke maskapai penerbangan. Dalam
perkara ini KPPU menemukan dengan bukti-bukti dan analisis ekonominya adanya penetapan
harga fuel surcharge antar airline yang eksesif. Berdasarkan perhitungan KPPU diperkirakan
kerugian konsumen dalam bentuk kelebihan FS yang ditarik dari konsumen pada 2006-2009
adalah sekitar Rp.13,84 triliun. Dengan terbuktinya kartel FS ini, KPPU menghukum denda
mencapai Rp.80 milyar dan ganti rugi mencapai Rp. 505 milyar.
Tabel Kerugian Konsumen akibat perbedaan harga wajar dan harga kartel semen nasional 2006-
2008.
5
Lihat , Tresna P.Soemardi, Kartel Internasional: Fenomena Kartel Internasional dan Dampaknya Terhadap
Persaingan Usaha dan Ekonomi Nasional. Studi Kasus Industri Semen di Indonesia dan Studi Banding Kartel Industri
Kimi di Amerika Serikat, (Jurnal Persaingan Usaha, KPPU, Edisi 2, tahun 2009, hal.41-71).
3. PERAN HUKUM, KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN PERSAINGAN USAHA
DALAM MEMPERKOKOH SISTEM INOVASI NASIONAL DAN PENGENTASAN
KEMISKINAN: 1999-SAAT INI
Dipandang dari konteks Pembangunan ekonomi nasional, sistem inovasi nasional, sdm-barang
dan jasa unggulan yang mampu bersaing secara global, UMKM yang kuat dan Pengentasan
Kemiskinan, sudah banyak dibuktikan oleh negara-negara maju bahwa implementasi hukum dan
kebijakan persaingan usaha yang sehat merupakan suatu iklim dan nilai-nilai yang harus
diciptakan oleh suatu negara jika ingin mencapai daya saing yang tinggi dan kesejahteraan rakyat
yang hakiki.
Lahirnya Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat serta Pembentukan KPPU-RI, dalam rangka penegakan hukum, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia memiliki tugas dan kewenangan
melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan serta memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait.
Meskipun menghadapi berbagai kendala, KPPU RI telah melakukan berbagai upaya untuk
menegakkan hukum persaingan di Indonesia. Bahkan, dalam usia yang relatif pendek (9 tahun),
lembaga PBB, yakni UNCTAD, telah memberikan sebuah award sebagai penghargaan kepada
KPPU RI atas kinerja dan efektifitasnya yang relatif baik. Berbagai keberhasilan tersebut dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
Pertama, kesadaran stakeholder terhadap pentingnya persaingan usaha yang sehat dapat
mengalami peningkatan yang ditandai antara lain dengan peningkatan jumlah laporan dari
masyarakat. Perkembangan laporan ke KPPU oleh masyarakat terus meningkat, dari tahun ke
tahun. Sampai saat ini laporan yang masuk telah mencapai 1200 lebih laporan dari tahun 2000
sampai 2009, dan 5 tahun terakhir rata-rata 200 laporan yang masuk. Perkembangan juga
menunjukkan bahwa sebaran pelaporan juga semakin merata dan meningkat, hal ini terjadi
seiring dengan adanya peningkatan daya jangkau KPPU melalui kehadiran kantor perwakilan di
5 (lima) daerah ditambah dengan upaya advokasi dan sosialisasi ke berbagai daerah.
Perkembangan sebaran laporan dapat dilihat dari grafik berikut ini.
Kedua, penanganan perkara juga terus meningkat intensitasnya. Selain bersumber dari laporan,
perkara di KPPU juga berasal dari hak inisiatif KPPU, yang dilakukan melalui kegiatan kajian
industri, penelitian, dan monitoring pelaku usaha. Sejak tahun 2000 sampai 2009, KPPU telah
melaksanakan sebanyak 110 kegiatan (seratus sepuluh). Saat ini porsi perkara terkait
persekongkolan tender mencapai 62.5%, masih mendominasi penanganan perkara di KPPU,
walaupun telah menurun dari periode awal yang mencapai antara 70%–80%.
Dari laporan masyarakat dan hak inisiatif, KPPU telah melakukan proses penanganan perkara
yang sampai dengan saat ini jumlahnya telah mencapai 205 (dua ratus lima) perkara (termasuk
yang sedang berjalan). Dari proses penanganan perkara, terdapat sejumlah perkara yang telah
selesai berupa putusan 139 dan penetapan 21 dan sisanya masih sedang ditangani.
Dari perkara yang telah diputus oleh KPPU, beberapa di antaranya diajukan keberatan oleh
terlapor ke pengadilan negeri dan selanjutnya kasasi ke mahkamah Agung. Dari 139 (seratus tiga
puluh sembilan) putusan oleh KPPU, sampai dengan bulan Oktober terdapat 100 (seratus)
putusan yang menyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap UU No 5 tahun 1999. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 52 atau 52% perkara diajukan keberatan ke pengadilan negeri.
Pengadilan Negeri telah memutus keberatan terhadap Putusan KPPU sebanyak 47 putusan
dimana 55% atau sebanyak 26 Putusan Pengadilan Negeri menyatakan menguatkan Putusan
KPPU dan sebesar 45% atau sebanyak 21 Putusan membatalkan Putusan KPPU. Beberapa pihak
yang tidak menerima putusan Pengadilan Negeri, kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Saat ini terdapat 42 perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung. Dari 42 perkara
tersebut, 25 perkara sudah selesai diputus dengan proporsi 18 atau 72 % menguatkan dan 7 atau
28% membatalkan putusan KPPU.
Perkembangan ini tentu saja menggembirakan, karena lembaga Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung telah mengambil peran aktif dalam memberdayakan posisi dan peran KPPU
RI dan penegakan hukum persaingan di dalam sistem hukum dan peradilan Indonesia.
Sejumlah perkara yang pernah ditangani KPPU RI yang menarik perhatian publik dan
berdampak luas:
a. Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002)
b. Kasus Diskriminasi Cineplex 21 (2002)
c. Kasus Persekongkolan Tender divestasi VLCC Pertamina (2004)
d. Kasus Persekongkolan tender Tinta KPU (2004)
e. Kasus Penyalahgunaan posisi dominan oleh Carrefour (2005)
f. Kasus Kartel oleh Semen Gresik (2005)
g. Kasus diskriminasi Logo Pertamina (2006)
h. Kasus kepemilikan silang Temasek (2007)
i. Kasus kartel tarif SMS (2007)
j. Kasus penyelenggaraan hak siar liga Inggris oleh Astro (2008)
k. Kasus penyalahgunaan posisi dominan oleh Carrefour (2009)
l. Kasus kartel Fuel Surcharge Airlines (2010)
m. Kasus Kartel Minyak Goreng (2010)
n. Kasus Kartel Semen (2010)
o. Kasus Kartel obat (2010)
Dari seluruh pelaksanaan tugas dan fungsinya, KPPU RI memilih prioritas yang menjadi fokus
program dan langkah-langkah kegiatan, di antaranya pada sektor/industri/ pelaku usaha dengan
indikasi:
• Adanya penetapan atau kenaikan harga yang tidak wajar (excessive)
• Adanya kelangkaan atau hambatan dalam pasokan pasar;
• Adanya praktek monopoli atau penguasaan pasar oleh pelaku usaha (terutama
oleh BUMN/BUMD) dalam sektor pelayanan publik;
• Adanya persekongkolan dalam pemberian konsesi/ lisensi (hak monopoli)
dari pemerintah serta dalam pengadaan barang/ jasa
Beberapa sektor yang telah dan sampai saat ini mendapat perhatian khusus dari KPPU antara lain
:
a. Minyak dan Gas
b. Air Minum
c. Telekomunikasi
d. Ketenagalistrikan
e. Bahan Pokok : Gula, Beras, Minyak Goreng, Tepung Terigu, Susu, Kedelai
f. Semen
g. Transportasi (Darat, Laut dan Udara serta Perkeretaapian)
h. Penyelenggaraan Haji
i. Penyiaran
j. Perbankan
k. dan sebagainya
Selain itu, jumlah dan kualitas saran pertimbangan kepada pemerintah juga mengalami
kemajuan. Kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah sering mendapat perhatian
KPPU RI dan berujung pada pemberian saran pertimbangan untuk melakukan tindakan korektif
jika terdapat potensi pelanggaran terhadap UU No.5/1999. Dalam kaitan ini, sejumlah saran
pertimbangan dari KPPU telah diakomodasi dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan
melakukan perbaikan terhadap kebijakan/regulasi yang diduga menyimpang dari prinsip-prinsip
persaingan sehat sesuai UU No.5/1999.
Macroeconomic and
Regulatory Context
Communication
Education and system
Training systems
Global innovation Networks
Firms
Capabilities
Innovation System
and Networks
Industries
Cluster of
National
Research Science
Bodies Systems
Supportin
g
Institution
s
Factor market
Product market conditions
conditions
National Innovation Capacity
Macroeconomic and
Regulatory Context
4. PENUTUP
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga terkait erat dengan praktek kolusi,
korupsi dan nepotisme, sudah menjadi penyakit kronis dan meluas di Indonesia. Berbagai upaya
mewujudkan iklim persaingan yang sehat dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan
dan regulasi dan penegakan hukum persaingan sudah dilakukan. Namun demikian, untuk
mainstreaming nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek pembangunan eknomi nasional tidak
dapat dilakukan hanya dengan penegakan hukum dengan kehadiran UU No. 5 dan lembaga
KPPU-RI. Gerakan Persaingan yang sehat dalam dunia usaha harus menjadi gerakan rakyat
secara nasional dan oleh semua lapisan. Tidak ada kata lain bagi bangsa Indonesia
selain melakukan segala upaya untuk memberantas praktek monopoli dan persaingan usaha yang
tidak sehat yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian nasiona, melemahkan sistem inovasi
nasional dan menciptakan kemiskinan dan kebodohan, terutama dalam kegiatan usaha dan bisnis
di Indonesia.
Dari sisi ilmu ekonomi, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengandung potensi
sangat besar menyuburkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Perilaku kartel, penyalahgunaan posisi
dominan, merger dan akuisisi, serta bentuk persekongkolan lainnya oleh pelaku usaha dengan
ekspektasi untuk memperoleh keuntungan supernormal. Meskipun hanya ekspektasi, pelaku
usaha dengan senang hati bersedia mengeluarkan sejumlah dana kepada pihak manapun agar
ekspektasi tersebut dapat terealisasi. Apalagi pernah berhasil meraup keuntungan supernormal,
maka potensi dana yang cukup besar telah tersedia untuk melakukan hal yang sama guna
merealisasikan ekspektasi berikutnya, mempertahankan keuntungan atau bahkan melakukan
ekspansi pasar. Demikian seterusnya sehingga pola hubungan korupsi dan persaingan tidak sehat
membentuk lingkaran setan (vicious circle) yang makin lama makin susah diputus.
Melalui upaya penegakan hukum persaingan usaha yang sehat akan mendorong terwujudnya
level playing field. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah juga akan lebih memperhatikan
aksesibilitas, perlakuan, dan kesempatan yang sama bagi pelaku usaha, tanpa diskriminasi.
Masyarakat tentu saja akan lebih sejahtera karena mampu menghemat pengeluaran atau income
saving dan melakukan pilihan-pilhan rasional di pasar. Sementara dunia usaha mampu tumbuh
menjadi besar jika iklim persaingan semakin sehat karena persaingan akan mendorong
peningkatan efisiensi, produktifitas, dan daya saing. Para pelaku usaha akan tetap memperoleh
keuntungan tetapi pada tingkat yang wajar dan sustainable. Selanjutnya, dengan keuntungan
pada tingkat yang wajar, maka semakin kecil potensi bagi pelaku usaha untuk memberikan kick
back atau suap kepada pejabat terkait.
Sangat diyakini oleh banyak negara maju, iklim persaingan usaha yang sehat, menjadi lokomotif
sistem inovasi nasional untuk bekerja, yang selama ini dapat dikatakan tidur dan kegiatan-
kegiatan riset selama ini masih tidak terkait langsung sebagai pendorong keberhasilan produk-
produk nasional dalam pembangunan ekonomi nasional untuk kebutuhan dalam negeri maupun
produk ekspor yang unggul dan diminati dalam menembus pasar global.
Dengan penegakan hukum, diseminasi nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek dan sendi-
sendi pembangunan ekonomi nasional secara konkrit seperti yang telah diungkap dalam tulisan
ini, dengan income saving dan tabungan serta daya beli masyarakat yang tinggi sebagai implikasi
harga wajar komoditi kebutuhan pokok masyarakat ditambah dengan kebijakan fiskal pajak
maka pembangunan UMKM khusus Usaha Mikro dan Kecil dapat dipacu untuk berkembang
menjadi usaha menengah yang tangguh, menciptakan usaha mikro-kecil lebih banyak lagi dan
akhirnya mengentaskan kemiskinan dengan kemandirian.
Semoga!