You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

Sebelum kita mempelajari hadits, haruslah terlebih dahulu kita mempelajari ulumul-
hadits, minimal untuk mengetahui mana hadits yang maqbul, dan mana hadits yang
mardud, mengingat kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah
al-quran, sebagai mana yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7 :

‫عْنُه َفاْنَتُهوا‬
َ ‫خُذوُه َوَما َنَهاُكْم‬
ُ ‫سوُل َف‬
ُ ‫َوَما َآَتاُكُم الّر‬
“Apa yang diperintahkan rasul, laksanakanlah, dan apa yang dularang rasul, berhentilah”
Hadis diyakini sebagai sumber hokum kedua dalam Islam setelah Al Quran, sebagaimana
fungsinya yakni menjelaskan kandungan Alquran yang bersifat Universal,
mempelajarinyapun adalah suatu keharusan.
Alquran tidak diragukan lagi keotentikannya, karena Allah telah menjaminnya dalam
firman-firman-Nya, sedangkan hadis masih diperlukan penelitian secara mendalam,
dikarenakan hadis sampai kepada kita adalah dari mulut ke mulut manusia, yang
memiliki kemungkinan besar untuk terjadi kesalahan/cacat dalam penyampaiannya, yang
mungkin datang dari para perowinya (orang yang menyampaikan hadis).
Dari penelitian tersebut ditemukan sebagian dari apa yang dinyatakan oleh masyarakat
sebagai hadis, ternyata pernyataan-pernyataan tersebut sangatlah lemah untuk dinyatakan
sebagai hadis. Bagaimanapun juga, hal itu dapat membawa dampak bagi masyarakat
karena penyebarannya, baik positif atau negatife.
Jadi, dalam makalah ini pemakalah tidak membahas masalah saheh tidaknya satu hadist,
tapi dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang hadist nabawi dan hadist
mutawatir yang qouli.

BAB II
PEMBAHASAN
HADITS NABAWI YANG QAULI DAN HADITS MUTAWATIR

1. Pegertian Hadis Nabawi


Hadits (baru) dalam arti bahasa lawan dari kata qadim (lama). Dan, yang dimaksud hadis
ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik
kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik dalam keadaan jaga
maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, Alquran dinamakan hadis.

"Hadis (kata-kata) siapakah yang lebih benar selain dari pada Allah?" (An-Nisa: 87).

Begitu pula yang terjadi pada manusia, di waktu tidurnya juga dinamakan hadis"... dan
engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya
mimpi." (Yusuf: 101).
Adapun menurut istilah, pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi
saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Yang berupa
perkataan seperti perkataan Nabi saw., "Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan
niat. Dan, setiap orang bergantung pada niatnya ...."(HR Bukhari).
Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana
cara mengerjakan salat, kemudian ia mengatakan, "Salatlah seperti kamu melihat aku
salat." (HR Bukhari).
Juga, mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji, dalam hal ini Rasulullah saw.
bersabda, "Ambillah dariku manasik hajimu." (HR Muslim).
Adapun yang berupa persetujuan adalah seperti ia menyetujui suatu perkara yang
dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya
ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya, seperti makanan biawak yang
dihidangkan kepadanya. Dan, persetujuannya dalam satu riwayat, Rasulullah saw.
mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat
yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu
kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. berkata, "Tanyakan kepadanya mengapa ia
berbuat demikian?" Mereka pun menanyakan, dan orang itu menjawab, "Kalimat itu
adalah sifat Allah dan aku senang membacanya." Maka Rasulullah saw. menjawab,
"Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia." (HR Bukhari dan Muslim).

Bentuk-bentuk Hadits Nabawi:


1. Hadits Qauli

2. Hadits Fi’li

3. Hadits Taqriri

4. Hadits Hammi

5. Hadits Ahwali

Yang dimaksud dengan hadits qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, baik berupa perkataan ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud
syara’, peristiwa dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak atau lainnya.
Di antara contoh hadits qauli adalah hadits tentang doa Rasulullah Saw. Yang
ditunjukkan kepada orang-orang yang mendengar, menghafal dan menyampaikan ilmu.

‫نظرال امرأ سمع منا حديثا فحفظه وبلغه غيره فرب حامله فقه ليس بنقيه ثلث ل يغل عليهن قلب مسلم إخلص‬
‫العمل ل ومناصحة ولة المور و لزوم الجماعة فإن دعوته تخيط من وراءهم‬
.
“Semoga Allah memberikan kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan
dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain karena banyak
orang berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang dapat
menghindari timbulnya rasa dengki di hati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepada
Allah Swt., saling menasihati dengan pihak penguasa, dan patuh atau setia terhadap
jamaah. Karena sesungguhnya doa mereka akan membimbing dan menjaganya dari
belakang.”
Contoh lain, hadits tentang bacaan alfatihah dalam shalat, yang berbunyi:

‫لصلة لمن لم يقرأ بأم الكتاب‬


.
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca ummul quran (al-fatihah).
Hadits Qudsi dan hadist nabawi sama-sama merupakan perkataan Rasulullah SAW.
Sumbernya juga sama yaitu dari Allah SWT. Yang membedakannya adalah bahwa dalam
hadits qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, atau Rasulullah SAW
meriwayatkan dari Tuhan-Nya dan keterangan sejenis. Sedangkan dalam hadits nabawi,
tidak disebutkan bahwa Allah SWT berfirman begini dan bagini. Namun seolah-olah
hanya perkataan Rasulullah SAW saja. Meski pada hakikatnya bersumber dari Allah
SWT juga.

Hadist nabawi ada dua pembahagian yaitu:


Pertama, tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah
saw. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang
diterima dari pihak lain.
Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw.
menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan
Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan
yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan
di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah
secara pasti.
Dari sini, jelaslah bahwa hadist nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang
taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna
dari firman Allah tentang Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa
nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan
kepadanya." (QS An-Najm: 3--4).

2. Hadist Mutawatir

Pembagian khabar dengan di ‘itibar sampai mepada kita ada dua pembahagian:
1. maka jika sanadnya banyak (tidak terhasar) dikatakan dengan khabar mutawatir.
2. maka jika sanadnya sedikit (terhasar dengan bilangan) dikatakan dengan khabar ahad.
Mutawatir pada loqat isem fail yang diambilkan dari kata tawator yang berarti tatabo’
(beriring-iring), sebagai mana ucapan “tawattara mataru” yang artinya tatabu’u.
Adapun hadist mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain
sebagai berikut;

‫ما رواه جمع عن جمع تحل العادة تواطؤهم‬


“Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahel
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”
Sementera itu, Nur Ad-Din ‘Atar mendefinisikan:

‫الذى رواه جمع كثير ليمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إنتهاء السناد وكان مستنادهم الحس‬

“Hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada
pancaindera.”
Habsy As-Siddiqie dalakm bukunya ilmu mustalah Al-Hadist mendefinisikan debagai
berikut;

‫ماكان عن محصوص أخبر به جماعة بلغوا فى الكثرة مبلغا تحل العادة تواطؤهم على الكذب‬
.
“Hadist yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindera orang banyak yang
menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta”
Jadi dari definisi-definisi diatas dapat diambil kasimpulan bahwa, sebuah hadist itu
mutawatir harus ada empat syarat sebagai berikut;
1. Diriwayatkan oleh banyak perawi sedangkan jumlah minimal para perawi ada
beberapa persi hanya saja menurut kaul yang tertulis sepuluh orang.
2. Banyaknya perawi ditemukan dalam semua tingkatan sanad.
3. Secara adat mereka tidak mungkin berbohong dalam meriwayatkan hadist.
4. Sandaran hadist mereka hissi, penglihatan, pendengaran dan lain-lain (secara
pancaindera).

Hadist dari jihat sanad:


1. kualitas
a. saheh
b. hasan
c. zaif
2. kuantitas
a. ahad
mashur¬
¬ ‘aziz
Qharib¬
b. Mutawatir
¬ lafzi
ma’nawi¬

Hikmah
Mutawatir memberi faedah kepada “zaruri” yakni oleh karena itu hadist mutawatir
hukumnya makbul dan tidak perlu pembahasan dari kelakuan perawinya.
Pembagian hadist mutawatir ada dua yaitu:
1. Mutawatir Lafzi
Mutawatir lafzi: hadist yang mutawatir lafalnya dan ma’nany, contohnya:
.
‫من كذب علي متعمدا فاليتبوأ مقعده من النار‬

“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu yang tidak aku
katakana atau yang tidak aku kerjakan), hendaklah ia menempati neraka.”
2. Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir ma’nawi: hadist yang mutawatir ma’nanya ketiadaan lafalnya,
contohnya:

‫وقال أبو موسى الشعرى دعا النبى صلى ال عليه وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض إبطيه‬
.
“Abu Musa Al-Asyari berkata Nabi Muhammad Saw, berdoa kemudia ia mengangkat
kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”
Hadist tentang Nabi mengangkat dua tangan memang banyak tetapi belum tentu
mutawatir semua, tetapi jika hadist tersebut dikumpulkan maka baru hadist tersebut
mutawatir.
Hadist muwatir banyak sekali ditemukan diantaranya adalah hadist tentang mengusap dua
sepatu, hadist tenteng mengangkat dua tangan dalam salat dan lain-lain, hanya saja kalou
dibandingkan denagan hadist ahad, hadist mutawatir sangat sedikit jumlahnya.

Kitab-kitab mutawatir yang mashur:


1. Al-Azhar Al-Mutanassirah fi Al-Akbar Al-Mutawassirah karya As-Suyuthi.
2. Qatful Al-Azhar karya As-Suyuthi
3. Nazmul Al-Mutanassir minal Al-Hadisit Al-Almutawatirkarya Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani.
BAB III
SIMPULAN

Dari pembahasan di atas di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits qauli adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan
ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa dan keadaan yang
berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak atau lainnya.
Jadi hadits nabawi ada yang berupa qauli taqriri, ada yang berupa fi’li, ada yang hammi
dan ahwali. Hadits nabawi berbeda dengan hadits qudsi.
Sementara yang dimaksud hadits mutawatir ialah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta.

DAFTAR PUSTAKA

A. Qadir Hasan, Ilmu Mustalah Hadits, CV Dipengoro, Semarang: 2007


Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Mahmud Thahhan, Taysir Mustalah al-Hadits, Alharamain, Jeddah: 1985
http://assunnah.or.id

http://podoluhur.blogspot.com/2010/02/hadits-nabawi-yang-qauli-dan-hadits.html
(sumbernya)

You might also like