Professional Documents
Culture Documents
العّباسدين
Kekhalifahan Abbasiyah
←
750–1258 →
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Pendahuluan
• 2 Menuju puncak keemasan
• 3 Pengaruh Mamluk
• 4 Pengaruh Bani Buwaih
• 5 Pengaruh Bani Seljuk
• 6 Kemunduran
○ 6.1 Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
○ 6.2 Persaingan antar Bangsa
6.2.1 Yang berbangsa Persia:
6.2.2 Yang berbangsa Turki:
6.2.3 Yang berbangsa Kurdi:
6.2.4 Yang berbangsa Arab:
6.2.5 Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
○ 6.3 Kemerosotan Ekonomi
○ 6.4 Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
○ 6.5 Ancaman dari Luar
○ 6.6 Perang Salib
○ 6.7 Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
• 7 Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
• 8 Silsilah para khalifah
• 9 Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo
• 10 Referensi
• 11 Sumber Lain
• 12 Lihat pula
[sunting] Pendahuluan
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah
Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas
al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan
menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh
Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah
mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai
Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada
awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia
mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya
Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan
hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
[sunting] Menuju puncak keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah,
dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah
Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258
M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan
Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-
Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri
oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754
M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat
kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri
yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena
tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755
M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan
ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi
dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif
dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah
Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata.
Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman
negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan
peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada
masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-
daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan.
Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
Agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama Isa
“ ‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam.
Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada
kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu
menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari
perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan
pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan
kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama
mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga ”
[sunting] Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-
faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan,
orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II
(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di
antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon
yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh
perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
[sunting] Perang Salib
ABBAS
pendiri Bani
Abbasiyah
Ibnu Abbas
Ali
Muhammad
1. AS-SAFFAH 2. AL-MANSUR
Ibrahim Musa
(k. 750-754) (k. 754-775
3. AL-MAHDI
(k. 775-785)
5. AR-RASYID 4. AL-HADI
Ibrahim al-Mubarak
(k. 786-809) (k. 785-786
10. AL-
9. AL-WATSIQ 12. AL-MUSTA'IN
MUTAWAKKIL
(k. 842-847) (k. 862-866)
(k. 847-861)
16. AL-
MU'TADHID
(k. 892-902)
17. AL-
18. AL-MUQTADIR 19. AL-QAHIR
MUKTAFI
(k. 908-935) (k. 932-934)
(k. 902-908)
26. AL-QA'IM
(k. 1031-1075)
27. AL-MUQTADI
(k. 1075-1094)
28. AL-
MUSTAZHIR
(k. 1094-1118)
29. AL-
30. AL-MUQTAFI
MUSTARSYID
(k. 1136-1160)
(k. 1118-1135)
32. AL-
30. AR-RASYID
MUSTANJID
(k. 1135-1136)
(k. 1160-1170)
33. AL-
MUSTADHI'
(k. 1170-1180)
34. AN-NASHIR
(k. 1180-1225)
35. AZH-ZHAHIR
(k. 1225-1226)
37. AL-
MUSTA'SHIM
(k. 1242-1258)
[1]
Catatan:
• k. merupakan tahun kekuasaan
• Angka, merupakan nomor urut seseorang menjadi khalifah.
• Nama dengan huruf kapital merupakan khalifah yang berkuasa.
[sunting] Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo
• Al-Mustanshir II 1261 • Al-Mutawakkil I (kembali berkuasa)
• Al-Hakim 1262-1302 1389-1406
• Al-Mustakfi I 1302-1340 • Al-Musta'in 1406-1414
• Al-Wathiq I 1340-1341 • Al-Mu'tadid II 1414-1441
• Al-Hakim II 1341-1352 • Al-Mustakfi II 1441-1451
• Al-Mu'tadid I 1352-1362 • Al-Qa'im 1451-1455
• Al-Mutawakkil I 1362-1383 • Al-Mustanjid 1455-1479
• Al-Wathiq II 1383-1386 • Al-Mutawakkil II 1479-1497
• Al-Mu'tasim 1386-1389 • Al-Mustamsik 1497-1508
• Al-Mutawakkil III 1508-1517
PENDAHULUAN
Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi sejarah
peradaban Dinasti[ii] Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656 H) ke dalam
dua periode utama.[iii] Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H, dimana pada masa
itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian mampu melahirkan sebuah
kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai ”Era Keemasan” (the Golden Age). Akan tetapi periode ini
juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir
masa ini
Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah secara
faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya terhadap sejumlah
wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylāt) yang memerdekakan diri. Karakteristik lain
dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh kemajuan peradaban Islam era keemasan yang
terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin keilmuan (`ulūm), pembangunan (`umrān), tercapainya
kesejahteraan, hingga pada level berikutnya yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup
bermewahan (taraf). Periode Dinasti Abbasiyah ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke
tangan bangsa Mongol di bawah komando Hulagu Khan.
Pembagian sejarah Abbasiyah sebagaimana model di atas, meski diakui oleh beberapa kalangan
-seperti Eric Hanne sendiri- kurang tepat, ternyata mampu mempengaruhi nature atau gaya studi modern
terhadap Dinasti Abbasiyah, dimana mayoritas fokus kajiannya lebih banyak dititikberatkan pada periode
pertama.
Makalah ini, dengan mengenyampingkan periodisasi seperti diatas, secara spesifik akan membahas
dan memilah era kemajuan ilmu dan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, sekaligus menelisik
proses kejatuhannya dilengkapi dengan ulasan sejumlah faktor yang menyebabkannya.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn Hayyān[xlv] (atau Geber
di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi[xlvi] yang
pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol.[xlvii] Dari para
pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris
ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.[xlviii]
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi[xlix] yang pertama kali
mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi.[l] Atau
juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina[li] dan lain-lain.
Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa
pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi
debagai dokter.[lii]
Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di atas umat
Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur
dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini.
Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang
sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas.
Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil
dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para
tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas.[liii] Setelah itu kaum
Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di
Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang
mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat
itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad
teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia
pada abad 13M.[liv]
PENUTUP
Setelah pemaparan singkat mengenai sejarah Dinasti Abbasiyah, khususnya terkait kemajuan ilmu
dan peradaban serta masa-masa kemunduran dan kehancurannya di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
antara lain bahwa sejarah peradaban Islam, melalui Dinasti Abbasiyah, telah berhasil menciptakan sebuah
peradaban agung yang mampu menampilkan kemajuan-kemajuan baik di bidang ilmu-ilmu keislaman maupun
ilmu sains yang kemudian disumbangkan bagi peradaban manusia dan diwarisi oleh pemegang tampuk
peradaban modern yaitu Barat.
Unsur paling penting dari kemajuan peradaban yang dibangun oleh umat Muslim Era Abbasiyah
tersebut adalah al-fikrah al-dīniyah, yang dalam konteks ini adalah nilai-nilai dan konsep-konsep yang
bermuara kepada sumber agama Islam itu sendiri yaitu wahyu. Unsur ini ditopang oleh unsur-unsur penunjang
lainnya yaitu sumberdaya manusia yang direpresentasikan utamanya oleh para khalifah serta tokoh-tokoh
ilmuan saat itu, serta ruang dan waktu yang mewujud dalam rentang sejarah yang berlaku. .
[insya Allah to be completed]
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M
), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang
jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk
melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa
awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh
kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat
melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani
Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang
merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah.
Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan
serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang
menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali
mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat
kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka
atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132
M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan
di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-
Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
“kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di
Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan
dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban”
(civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam
perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah
bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-
manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau
kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka
peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang.
Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang
semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi
bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban islam
yang masuk ke eropa melalui spanyol. Islam memang berbeda dari agama-agama lain,
sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian
dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a
complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu
peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam”
terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam
islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama
bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu
sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh
kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan
Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan
dan para pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa Dinasti Abbasiyah
dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang berdirinya kekhalifahan Abbasiyah,
kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan social.
Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah (750-847 M – 132-232 H)
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir
(jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada
khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani
Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi
Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima
abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi karena
kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur (754-775 M) yang banyak berjasa dalam
membangun pemerintahan dinasti Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke
Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota
pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan
sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang
kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan dinasti
Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
Kemajuan Dinasti Bani Abbas
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase
pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari
masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara
pemerintahan yang bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa bidang,
diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial. Pada masing-masing bidang
memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-
gerakan ini seperti sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-
khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa
serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
2. Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di sector
pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa
kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.
3. Bidang Sosial
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-
809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun
Al-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter. Disamping itu
pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada
zaman khalifah ini, kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang besar sekali,
meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind dan berakhir di negeri Spanyol. Ia
demikian kuatnya sehingga apabila seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat
bahwa usaha mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun
jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi oleh sejumlah
besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak sedikitpun memperoleh penghargaan
dan simpati dalam hati mereka. Itulah sebabnya belum sampai berlalu satu abad dari
kekuasaan mereka, kaum Bani Abbas berhasil menggulingkan singgasananya dan
mencampakannya dengan mudah sekali. Dan ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula
para rajanya, tidak seorangpun yang meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani Abbas ialah karena
mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah
keluarga yang paling dekat kepada Nabi saw, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-
Qur’an dan Sunnah rasul dan menegakkan syari’at Allah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al
Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid
(786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M),
dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia banyak
meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan mempunyai apresiasi
yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushirvan pada
tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat
pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Kehancuran Dinasti Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada
diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para
khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa
pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak dating secara tiba-tiba,
benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini
sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri cenderung berperan sebagai pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani
Umayyah berkuasa. Keduanya sama-saama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua
sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama,
sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka
merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas
`ashabiyyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan
bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka
menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran
yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya,
disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan
gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak
awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat
yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-
Mutawakkil, seorang khlaifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada
periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-
Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam
pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh
makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis
pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal
dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang
beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik
tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari
kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah,
sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam
Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik
atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin
ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan
kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan
mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas
manusia …telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat
dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berharga”.
4. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping itu, ada pula factor-
faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama,
perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus
II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik
dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.13
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-
orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara
Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite
imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan
transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat
berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi
pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa
peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat
kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan
kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan
orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun,
al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai
penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan
Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-
makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada
tahun 813. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau
berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan.
Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan
ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun
juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-
Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir,
yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer
Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat
diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara
konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah
untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan
politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit
dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh
sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernuran besar.14
Senin, 05 April 2010
Sejarah Dinasti Abbasiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil
dalam mengembangkan peradaban Islam.
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah
berdirinya Dinasti Abbasiyah dan perkembangan ilmu beserta ilmuwan
yang berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya bani abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan
Bani Umaiyyah pada khalifah Hisyam ibn abdi al-Malik muncullah
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani
umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan bani hasyim yang
dipelopori keturunan al-Abbas ibn abd al-muthalib. Gerakan ini
menghimpun
a. Filsafat
Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa dinasti bani
abbasiyah mengalami kemajuan cukup besar. Para penerjemah tidak
hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa
Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba mentransfernya ke
dalam bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil dalam
perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr al-
Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
b. Ilmu Kalam
Menurut A. Hasimy lahirnya ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk
membela Islam dengan bersenjatakan filsafat. Kedua, karena semua
masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa kepada
pola akal dan ilmu. Diantara tokoh ilmu kalam yaitu: wasil bin Atha’,
Baqilani, Asy’ary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain.
c. Ilmu Kedokteran
d. Ilmu Kimia
e. Ilmu Hisab
f. Sejarah
Pada masa ini sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu,
misalnya sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini
adalah Muhammad bin Sa’ad, Muhammad bin Ishaq
g. Ilmu Bumi
Ahli ilmu bumi pertama adalah Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad
ke-9 M, khususnya dalam studynya mengenai bidang kawasan arab.
h. Astronomi
a. Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah imam bukhari, hasil
karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Imam muslim hasil
karyanya yaitukitab al-Jami’ al-shahih al-muslim, ibnu majjah, abu daud,
at-tirmidzi dan al-nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode
penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara member penafsiran al-
Qur’an dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Kedua, metode tafsir
bi al-ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih
banyak dari pada hadits. Diantara tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-
Thabary, al-sud’a muqatil bin Sulaiman.
c. Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada masa bani abbasiyah
mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini misalnya,
imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih
al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I
menyusun kitab al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal
menyusun kitab al musnad ahmad bin hambal.
d. Ilmu Tasawuf
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh
putra-putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh
tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah
itu mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam dab
ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas
semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-mesjid yang
mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai harganya, mereka
lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang luntur. Mereka
membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa kekejaman ini
berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan,
selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.
Daulah Abbasiyah Lenyap
Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur
dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.
Dalam masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah
pada 750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah
menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.
Penutup
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat
Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Pada
zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga dihasilkan
oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah Abbasiyah ini. Namun
ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan panjang Daulah Abbasiyah yang
selama berabad-abad menguasai dunia yakni agar umat Islam jangan terlena dengan
kekuasaan dunia, karena keterlenaan dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari
ajaran Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali bangkit
merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah Abbasiyah.