You are on page 1of 45

Bani Abbasiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

‫العّباسدين‬
Kekhalifahan Abbasiyah


750–1258 →

Wilayah kekuasan terluas Bani Abbasiyah

Ibu kota Bagdad, Kairo


Arab(resmi), Aram,
Armenia, Berber,
Bahasa Georgia, Yunani,
Yahudi, Persia
Tengah, Turkik
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sejarah
- Didirikan 750 M
- Dibubarkan 1258 M
Bani Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: ‫العّباسدين‬, al-Abbāsidīn) adalah
kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan
ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan
menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini
berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali
Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang
termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk
ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus
ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya
bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan
memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti
setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan
Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin
Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari
pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di
timur laut Tikrit, Iraq sekarang.

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Pendahuluan
• 2 Menuju puncak keemasan
• 3 Pengaruh Mamluk
• 4 Pengaruh Bani Buwaih
• 5 Pengaruh Bani Seljuk
• 6 Kemunduran
○ 6.1 Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
○ 6.2 Persaingan antar Bangsa
 6.2.1 Yang berbangsa Persia:
 6.2.2 Yang berbangsa Turki:
 6.2.3 Yang berbangsa Kurdi:
 6.2.4 Yang berbangsa Arab:
 6.2.5 Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
○ 6.3 Kemerosotan Ekonomi
○ 6.4 Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
○ 6.5 Ancaman dari Luar
○ 6.6 Perang Salib
○ 6.7 Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
• 7 Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
• 8 Silsilah para khalifah
• 9 Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo
• 10 Referensi
• 11 Sumber Lain
• 12 Lihat pula

[sunting] Pendahuluan
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah
Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas
al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan
menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh
Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah
mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai
Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada
awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia
mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya
Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan
hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar
Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
[sunting] Menuju puncak keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah,
dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah
Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258
M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan
Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-
Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri
oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754
M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat
kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri
yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena
tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755
M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan
ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi
dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif
dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah
Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata.
Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman
negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan
peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada
masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-
daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan.
Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:

Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan


“ Tuhan di bumi-Nya) ”
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut
Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat
Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan
belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-
Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid
(786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M),
dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan.
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid
Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia
juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian,
kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode
ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan
Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan
Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan,
semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara
Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani
Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh
dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi
kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah,
pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa
Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan
Bani Umayyah.
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas.
Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam
terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal
dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal
kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan
sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi
keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca,
menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak
zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan
itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia,
sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu,
bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh
India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa
khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua
berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-
bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga
ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode,
penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang
lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi
jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam
ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam
sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah
pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat
hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di
tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran
rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-
Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik
Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah.
Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820
M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistim
madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya
untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat
orang-orang non-Arab. Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa
pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara
bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang,
pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan
Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-
pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa
pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani
yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran
Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-
Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang
dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini
juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya
adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan
hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan
oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis
hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum,
terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan
astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan
ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan
Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-
Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia
juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu
kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi
al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama
Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke
benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat
bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa
al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu
aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya
adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan
interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang
filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana
terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam
mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar
pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan
filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan
Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada
masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani
yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan
ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini
kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini,
kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga
Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai
puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah
periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul
Musta’an.
[sunting] Pengaruh Mamluk
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-
tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-
tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber
dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang
digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah.
karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini
hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani
Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan
kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani
Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam
memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan
memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar
dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan
(simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.
[sunting] Pengaruh Bani Buwaih
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Buwayhiyah
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas,
karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh
dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor
lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di
pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam
sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang
terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal
berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah
sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil
merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa
berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada
periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
[sunting] Pengaruh Bani Seljuk
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Seljuk Raya
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro
(Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan
dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang
dianut oleh mereka.
[sunting] Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga
banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran
sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
[sunting] Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang
dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat
perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah
kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan
pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan
seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat
nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan.
Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan
nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah :
1. Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
2. Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di
Marokko.
2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin
bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu
pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan
khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa
khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan
saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha
menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak
awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-
pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat
mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami
kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang
profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru
seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan
selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada
periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan
berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping
persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik
dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam
hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka
tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka
yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai
masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama
di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup
mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan
awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di
antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah
Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur
luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara
Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan
Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan. Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
[sunting] Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani
Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua
sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka
merupakan warga kelas satu.
2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan).
Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan
bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka
menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai
bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka
disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang
merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping
fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan
syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki
dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani
Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh
bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa
bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan
kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan
sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah
adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh
Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti
Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad
pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
[sunting] Yang berbangsa Persia:
1. Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
2. Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
3. Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
4. Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
5. Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
[sunting] Yang berbangsa Turki:
1. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
2. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
3. Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
4. Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril
Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah
selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan
Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil
menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700 H/1077-
1299 M).
[sunting] Yang berbangsa Kurdi:
1. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
2. Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
3. al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-
ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
[sunting] Yang berbangsa Arab:
1. Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
2. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
3. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
4. 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
5. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
6. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
7. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
8. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
[sunting] Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
1. Umayyah di Spanyol.
2. Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama
antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga
dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
[sunting] Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal
penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj,
semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh
makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis
pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak
stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan
tak terpisahkan.
[sunting] Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan
yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur
berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus
untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik
antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh
konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam
Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik
yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan
agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-
862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti
Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq
atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara
dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833
M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara
dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap
Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan
horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam
secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk
yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara
sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-
pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah.
Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi
pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

Agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama Isa
“ ‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam.
Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada
kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu
menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari
perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan
pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan
kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama
mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga ”
[sunting] Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-
faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan,
orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II
(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di
antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon
yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh
perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
[sunting] Perang Salib

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Salib


Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh
dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara
Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 15.000
prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 2.000.000
orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa
ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun
kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam
kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah
kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
[sunting] Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Ilkhanat


Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di
salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad
(1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara
Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil
kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui
mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya
dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan
menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-
kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa
mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah
disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang.
Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan
wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher
dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota
Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui
tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan
kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan
Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri
kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan
peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
[sunting] Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
• 750 - Abu al-Abbas al-Saffah menjadi Khalifah pertama Bani Abbasiyah.
• 752 - Bermulanya Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
• 755 - Pemberontakan Abdullah bin Ali. Pembunuhan Abu Muslim.
• 756 - Abd ar-Rahman I mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol.
• 763 - Pembangunan kota Bagdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol.
• 786 - Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.
• 792 - Serangan ke utara Perancis.
• 800 - Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar diciptakan oleh Al-Khawarizmi.
• 805 - Kampanye melawan Byzantium. Merebut Pulau Rhodes dan Siprus.
• 809 - wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin dilantik menjadi khalifah.
• 814 - Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun. al-Amin terbunuh dan al-
Ma'mun menjadi khalifah.
• 1000 - Masjid Besar Cordoba dibangun.
• 1005 - Multan dan Ghur ditawan.
• 1055 - Baghdad dikuasai oleh tentara Turki Seljuk. Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk
dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika tentara Mongol menghancurkan Baghdad.
• 1071 - Peristiwa Manzikert. Sulthan Alp Arselan beserta pasukannya yang hanya
berjumlah 15.000 tentara berhasil mengalahkan gabungan tentara salib yang dipimpim
oleh Kaisar Romanus IV yang berjumlah 200.000 tentara.
• 1072 - Sulthan Alp Arselan berhasil menguasai Asia Tengah (Anatolia). dan
meneruskan kepungannya terhadap kerajaan Byzantium.
• 1085 - Tentara Kristen menawan Toledo, Spanyol.
• 1091 - Bangsa Norman merebut Sisilia, pemerintahan Muslim di sana berakhir.
• 1095 - Perang Salib pertama dimulai.
• 1099 - Tentara Salib merebut Baitulmuqaddis. Mereka membunuh semua
penduduknya.
• 1144 - Nur al-Din merebut Edessa dari tentara Salib. Perang Salib Kedua dimulai.
• 1187 - Salahuddin Al-Ayubbi merebut Baitulmuqaddis dari tentara Salib. Perang
Salib Ketiga dimulai.
• 1194 - Tentara Muslim merebut Delhi, India.
• 1236 - Tentara Salib merebut Cordoba, Spanyol.
• 1258 - Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan Baghdad. Ribuan penduduk
terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah di
Baghdad.
[sunting] Silsilah para khalifah
Dibawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai dari Abbas bin
Abdul-Muththalib sampai khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad.

ABBAS
pendiri Bani
Abbasiyah

Ibnu Abbas

Ali

Muhammad
1. AS-SAFFAH 2. AL-MANSUR
Ibrahim Musa
(k. 750-754) (k. 754-775

3. AL-MAHDI
(k. 775-785)

5. AR-RASYID 4. AL-HADI
Ibrahim al-Mubarak
(k. 786-809) (k. 785-786

6. AL-AMIN 7. AL-MA'MUN 8. AL-MU'TASIM


al-Qasim al-Mu'taman
(k. 809-813) (k. 813-833) (k. 833-842

10. AL-
9. AL-WATSIQ 12. AL-MUSTA'IN
MUTAWAKKIL
(k. 842-847) (k. 862-866)
(k. 847-861)

14. AL- 11. AL-


13. AL-MU'TAZZ 15. AL-MU'TAMID
MUHTADI MUNTASHIR al-Muwaffaq
(k. 866-869) (k. 870-892)
(k. 869-870) (k. 861-862)

16. AL-
MU'TADHID
(k. 892-902)

17. AL-
18. AL-MUQTADIR 19. AL-QAHIR
MUKTAFI
(k. 908-935) (k. 932-934)
(k. 902-908)

22. AL- 21. AL-


20. AR-RADHI 23. AL-MUTHI'
MUSTAKFI Ishaq MUTTAQI
(k. 934-940) (k. 946-974)
(k. 944-946) (k. 940-944)

25. AL-QADIR 24. ATH-THA'I


(k. 991-1031) (k. 974-991)

26. AL-QA'IM
(k. 1031-1075)

27. AL-MUQTADI
(k. 1075-1094)

28. AL-
MUSTAZHIR
(k. 1094-1118)

29. AL-
30. AL-MUQTAFI
MUSTARSYID
(k. 1136-1160)
(k. 1118-1135)

32. AL-
30. AR-RASYID
MUSTANJID
(k. 1135-1136)
(k. 1160-1170)

33. AL-
MUSTADHI'
(k. 1170-1180)

34. AN-NASHIR
(k. 1180-1225)

35. AZH-ZHAHIR
(k. 1225-1226)

1. AL- 36. AL-


MUSTANSHIR II MUSTANSHIR
Berkuasa di Kairo (k. 1226-1242)

37. AL-
MUSTA'SHIM
(k. 1242-1258)
[1]
Catatan:
• k. merupakan tahun kekuasaan
• Angka, merupakan nomor urut seseorang menjadi khalifah.
• Nama dengan huruf kapital merupakan khalifah yang berkuasa.
[sunting] Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo
• Al-Mustanshir II 1261 • Al-Mutawakkil I (kembali berkuasa)
• Al-Hakim 1262-1302 1389-1406
• Al-Mustakfi I 1302-1340 • Al-Musta'in 1406-1414
• Al-Wathiq I 1340-1341 • Al-Mu'tadid II 1414-1441
• Al-Hakim II 1341-1352 • Al-Mustakfi II 1441-1451
• Al-Mu'tadid I 1352-1362 • Al-Qa'im 1451-1455
• Al-Mutawakkil I 1362-1383 • Al-Mustanjid 1455-1479
• Al-Wathiq II 1383-1386 • Al-Mutawakkil II 1479-1497
• Al-Mu'tasim 1386-1389 • Al-Mustamsik 1497-1508
• Al-Mutawakkil III 1508-1517

Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah: Kajian Ringkas


Minggu, 15 November 2009 23:10 Artikel

Oleh: Muhamad Sahrul Murajjab[i]

PENDAHULUAN
Meski terdapat sejumlah perbedaan, para ahli sejarah banyak yang membagi periodisasi sejarah
peradaban Dinasti[ii] Abbasiyah yang berumur sekitar lima ratus tahun (750-1258 M / 132-656 H) ke dalam
dua periode utama.[iii] Periode pertama, berlangsung antara tahun 750-945M/132-334H, dimana pada masa
itu Dinasti Abbasiyah memiliki otoritas politik yang sangat kuat dan kemudian mampu melahirkan sebuah
kemajuan peradaban yang disebut-sebut sebagai ”Era Keemasan” (the Golden Age). Akan tetapi periode ini
juga sekaligus mencatat munculnya benih-benih kemunduran dan kelemahan politik yang terjadi di paruh akhir
masa ini
Sedangkan periode kedua (945-1258M) adalah rentang waktu dimana Dinasti Abbasiyah secara
faktual mengalami kemunduran politik dan para khalifah kehilangan otoritas kekuasaanya terhadap sejumlah
wilayah dibarengi dengan lahirnya negara-negara kecil (duwaylāt) yang memerdekakan diri. Karakteristik lain
dari periode ini adalah masih terlihatnya sisa-sisa pengaruh kemajuan peradaban Islam era keemasan yang
terwujud dalam perkembangan berbagai disiplin keilmuan (`ulūm), pembangunan (`umrān), tercapainya
kesejahteraan, hingga pada level berikutnya yang bersifat negatif yakni menggejalanya gaya hidup
bermewahan (taraf). Periode Dinasti Abbasiyah ini berakhir pada tahun 1258 M ketika Baghdad jatuh ke
tangan bangsa Mongol di bawah komando Hulagu Khan.
Pembagian sejarah Abbasiyah sebagaimana model di atas, meski diakui oleh beberapa kalangan
-seperti Eric Hanne sendiri- kurang tepat, ternyata mampu mempengaruhi nature atau gaya studi modern
terhadap Dinasti Abbasiyah, dimana mayoritas fokus kajiannya lebih banyak dititikberatkan pada periode
pertama.
Makalah ini, dengan mengenyampingkan periodisasi seperti diatas, secara spesifik akan membahas
dan memilah era kemajuan ilmu dan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, sekaligus menelisik
proses kejatuhannya dilengkapi dengan ulasan sejumlah faktor yang menyebabkannya.

LATAR BELAKANG KEMAJUAN PERADABAN


Selama beberapa dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil
melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era
kepemimpinan khalifah kedua, Abū Ja`far ibn `Abdullāh ibn Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754-775M),
menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar
dalam sejarah kepemimpinannya.[iv] Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh
(potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan
Abbasiyah;[v] Kedua, meninggalkan Al-Anbār[vi] dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang
beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansūr tersebut dan efek besar yang ditimbulkannya
terhadap perkembangan Dinasti Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan para sejarahwan
kemudian menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-muassis al-haqīqi li al-
dawlah al-`Abbasiyah).[vii]
Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansūr juga dikenal memiliki perhatian cukup
besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa mudanya atau sebelum menjadi seorang khalifah.[viii]
Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga
tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan
sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam.[ix]
Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadits, fiqh, sastra
serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula.[x] Konon, sebelum masa itu,
para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang
belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai
khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya
terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah.[xi]
Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansūr, kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti
Abbasiyah pada hakekatnya tidak datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling penting
merupakan buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui pula oleh
beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam: A Mosaic, Not a Monolith.[xii]
Kesimpulan tersebut jika ditilik dari perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian dengan teori
yang menyatakan bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan
élan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban.[xiii]
Di samping itu, faktor lain yang secara lebih lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban Dinasti
Abbasiyah adalah interaksi masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas masyarakat di
beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan peradaban Yunani seperti
Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat, khususnya Persia.[xiv]
Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu
menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga
sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-ilmu
keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah) secara masif. [xv] Selain tiga
hal di atas dapat ditambahkan pula perkembangan ilmu sains yang melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan legendaris
yang diakui tidak saja di dunia Muslim tetapi juga oleh kalangan akademisi Barat.

GERAKAN PENERJEMAHAN DI ERA ABBASIYAH


Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[xvi]
Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua, serta pada saat
keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah dilakukan meski dalam skala
kecil.
Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan, Khālid ibn Yazīd ibn Mu’awiyah pernah
memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa Arab
untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (Qibti), khususnya yang terkait dengan
ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab.[xvii] Selain itu, pada masa `Abdul Mālik ibn Marwān dan Al-
Walīd ibn `Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dīwān[xviii] dari bahasa aslinya, baik bahasa
Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.[xix]
Berbeda dengan upaya penerjemahan di masa Dinasti Umayyah yang berskala kecil atau bahkan
bersifat individual, gerakan penerjemahan di Era Abbasiyah, didukung oleh para khalifah yang rata-rata
memiliki kecenderungan keilmuan dan ketertarikan terhadap pengetahuan dari Yunani maupun Persia. Para
khalifah seperti Al-Mansūr misalnya, selalu mendorong para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dengan tanpa
membedakan agama maupun bangsa mereka, untuk menerjemahkan buku-buku sains, filsafat dan sastra dari
bahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Di era Al-Mansūr ini muncul tokoh penerjemah di bidang sastra seperti
`Abdullāh Ibn Al-Muqaffa` (757 M), seorang Majusi yang kemudian memeluk Islam, yang menerjemahkan
buku Kalīlah wa Dimnah,[xx] serta Hunayn Ibn Ishāq yang menerjemahkan buku-buku medis karya
Hippocrates[xxi] dan Galen.[xxii]
Pada era Hārūn al-Rashīd (170-194 H) para cendekiawan dan ilmuwan semakin banyak yang berdiam
di Baghdad. Sang Khalifah-pun mendirikan Bayt al-Hikmah,[xxiii] laiknya sebuah akademi ilmiah yang
menjadi pusat aktivitas keilmuan mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan. Lembaga ini
kemudian dikembangkan oleh Al-Ma’mūn dan mencapai puncaknya pada masa itu dibawah tanggungjawab
Hunayn Ibn Ishāq. Al-Ma'mun juga menambahkan bangunan khusus sebagai sebuah observatorium untuk
penelitian astronomi ke Bayt al-Hikmah.
Bayt al-Hikmah-pun menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak tertandingi dimana
penelitian ilmu-ilmu sosial maupun sains, meliputi metematika, astronomi, kedokteran, kimia, zoologi, geografi
dan lain-lain dilakukan. Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummahāt al-kutub) warisan
peradaban pra-Islam (Persia, India dan Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti buku-buku
Pythagoras, Plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus, Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata maupun
Brahmagupta.[xxiv] Maka tidak heran jika Philip K. Hitti menyatakan bahwa Bayt al-Hikmah merupakan
lembaga keilmuan paling penting yang pernah dibangun peradaban manusia setelah Perpustakaan Alexandria
yang didirikan sekitar paruh pertama abad ketiga sebelum Masehi.[xxv] Dengan gerakan penerjemahan ini
Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi berbagai karya keilmuan yang sangat agung. Bersamaan
dengan itu Baghdad juga menjadi kota besar paling kaya dan mempunyai populasi tertinggi mencapai satu juta
jiwa.[xxvi]
Popularitas Bayt al-Hikmah ini terus berlangsung sampai kepemimpinan Al-Mu`tasim (berkuasa 833-
842M) dan Al-Wātsiq (berkuasa 842-847M), tetapi mulai tenggelam dan mengalami kemunduran pada masa
kekuasaan Al-Mutawakkil (847-861M).[xxvii]
Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke dalam
bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Māsawayh, Hunayn
ibn Ishāq, Ishāq ibn Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi’i, Yahya ibn al-Bitrīq, Iqlīdis ibn
Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub, Qustā ibn Lūqā, Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-
Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan lain-lain masih banyak lagi.[xxviii]
Catatan menarik lainnya, bahwa gerakan penerjemahan ini ternyata tidak hanya menjadi perhatian
pemerintah dan para khalifah sahaja, melainkan juga oleh para pribadi dari kalangan elit semisal Banū Shākir
yang juga mengelola penerjemah-penerjemah handal yang bekerja siang malam untuk mereka.[xxix]
Keluarga elit lain diceritakan bahkan sangat getol mengeluarkan harta berlimpah untuk membayar para
penerjemah mereka, seperti dilakukan oleh Banū Al-Munajjim yang berani membayar 500 dinar kepada para
penerjemah tiap bulannya sebagai upah penerjemahan penuh waktu (li al-naql wa al-mulāzamah).[xxx]

KEMAJUAN ILMU-ILMU AGAMA


Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan
berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah
mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh. Khususnya sejak
tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir,
Hadits maupun Fiqh.
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah Ibn Jurayj (w. 150 H) yang menulis kumpulan
haditsnya di Mekah, Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis Al-Muwatta' nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah
Syam, Ibn Abi `Urūbah dan Hammād ibn Salāmah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyān al-Tsauri di Kufah,
Muhamad Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghāzi), Al-Layts ibn Sa’ad (w. 175H) serta
Abū Hanīfah.[xxxi]
Pada masa ini ilmu Tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadits. Buku tafsir lengkap dari
al-Fātihah sampai al-Nās juga mulai disusun. Menurut catatan Ibn al-Nadīm yang pertama kali melakukan
penyusunan tafsir lengkap tersebut adalah Yahya bin Ziyād al-Daylamy atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Al-Farrā.[xxxii] Tapi luput dari catatan Ibn al-Nadīm bahwa `Abd al-Razzāq ibn Hammam al-San`āni
(w.211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Farā juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
[xxxiii]
Ilmu Fiqh pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai
empat imam mazdhab fiqh hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanīfah (w.150 H), Mālik ibn Anas (w.179H), Al-
Shāfi`i (w.204) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241H).
Tidak jauh berbeda dengan perkembangan yang dialami oleh ilmu Tafsir dan ilmu Fiqh, ilmu Hadits
juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadits-hadits Nabi yang
memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas seperti Ibn Jurayj, Mālik ibn Anas, juga al-Rabī` ibn
Sabīh (w.160) dan Ibn Al-Mubārak (w. 181 H).
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadits Nabi dalam
bentuk musnad. Diantara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad ibn Hanbal, `Ubaydullah ibn Mūsa al-
`Absy al-Kūfi, Musaddad ibn Musarhad al-Basri, Asad ibn Mūsā al-Amawi dan Nu`aym ibn Hammād al-Khuzā`i.
[xxxiv]
Perkembangan penulisan hadits berikutnya, masih pada era Abbasiyah, yaitu mulai pada pertengahan
abad ketiga, muncul trend baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadits, yaitu
munculnya kecenderungan penulisan hadits yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadits-
hadits sahīh dari yang dla`īf sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari (w.256), Muslim (w.261), Ibn Mājah
(w.273), Abu Dāwud (w.275), Al-Tirmidzi (w. 279), serta Al-Nasā’i (w.303).[xxxv]
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah
adalah ilmu sejarah, yang awal penulisannya dilakukan oleh Ibn Ishāq (w. 152) dan kemudian diringkas oleh
Ibn Hisyām (w. 218). Selanjutnya muncul pula Muhamad ibn `Umar al-Wāqidi (w. 207) yang menulis buku
berjudul Al-Tārīkh al-Kabīr dan Al-Maghāzi. Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam
oleh sejarahwan Al-Tabari (838-923M). Sejarahwan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad ibn
Sa’ad (w.230 H) dengan Al-Tabaqāt al-Kubrā-nya serta Ahmad Ibn Yahya al-Balādhuri (w.279) yang menulis
Futūh al-Buldān.[xxxvi]

KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI


Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama
atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu
sains dan teknologi (`ulūm aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang
juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab
saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan
secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt al-atsar al-māddi fī hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir
(filsafat).[xxxvii]
Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban
manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini. Dalam bidang matematika misalnya, ada Muhamad
ibn Mūsa al-Khawārizmi[xxxviii] sang pencetus ilmu algebra. Algoritma, salah satu cabang matematika bahkan
juga diambil dari namanya.[xxxix]
Astronomi juga merupakan ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslim era Abbasiyah dan
didukung langsung oleh Khalifah Al-Mansūr yang juga sering disebut sebagai seorang astronom. [xl] Penelitian
di bidang astronomi oleh kaum muslimin dimulai pada era Al-Mansūr ketika Muhamad ibn Ibrāhīm al-Fazāri
menerjemahkan buku "Siddhanta" (yang berarti Pengetahuan melalui Matahari) dari bahasa Sanskerta ke
bahasa Arab.[xli]
Pada era Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma’mūn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan
dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-
Khawārizmi, Ibn Jābir Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir al-Dīn al-Tūsi (w.1274).
[xlii]
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam[xliii] atau yang dikenal di Barat
dengan sebutan Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui
eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga
dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana.[xliv]

Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal Jābir ibn Hayyān[xlv] (atau Geber
di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada Abu Bakr Zakariya al-Rāzi[xlvi] yang
pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol.[xlvii] Dari para
pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris
ke Eropa dan Isaac Newton banyak belajar.[xlviii]

Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi[xlix] yang pertama kali
mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi.[l] Atau
juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina[li] dan lain-lain.
Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa
pada zaman Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi
debagai dokter.[lii]
Di samping kemajuan beberapa disiplin ilmu sains sebagaimana yang telah dipaparkan di atas umat
Islam Era Abbasiyah juga mengalami kemajuan ilmu dibidang ilmu lainnya seperti biologi, geografi, arsitektur
dan lainnya yang tidak dapat dijeleaskan seluruhnya dalam makalah ini.
Era Keemasan Dinasti Abbasiyah juga mencatat penemuan-penemuan dan inovasi penting yang
sangat berarti bagi manusia. Salah satu diantaranya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas.
Kertas yang pertama kali ditemukan dan digunakan dengan sangat terbatas oleh bangsa China berhasil
dikembangkan oleh umat Muslim Era Abbasiyah, setelah teknologi pembuatannya dipelajari melalui para
tawanan perang dari Cina yang berhasil ditangkap setelah meletusnya Perang Talas.[liii] Setelah itu kaum
Muslim berhasil mengembangkan teknologi pembuatan kertas tersebut dan mendirikan pabrik kertas di
Samarkand dan Baghdad. Hingga pada tahun 900 M di Baghdad terdapat ratusan percetakan yang
mempekerjakan para tukang tulis dan penjilid untuk membuat buku. Perpustakaan-perpustakaan umum saat
itu mulai bermunculan, termasuk perpustakaan peminjaman buku pertama sepanjang sejarah. Dari Baghdad
teknologi pembuatan kertas kemuddian menyebar hingga Fez dan ahirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia
pada abad 13M.[liv]
PENUTUP
Setelah pemaparan singkat mengenai sejarah Dinasti Abbasiyah, khususnya terkait kemajuan ilmu
dan peradaban serta masa-masa kemunduran dan kehancurannya di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
antara lain bahwa sejarah peradaban Islam, melalui Dinasti Abbasiyah, telah berhasil menciptakan sebuah
peradaban agung yang mampu menampilkan kemajuan-kemajuan baik di bidang ilmu-ilmu keislaman maupun
ilmu sains yang kemudian disumbangkan bagi peradaban manusia dan diwarisi oleh pemegang tampuk
peradaban modern yaitu Barat.
Unsur paling penting dari kemajuan peradaban yang dibangun oleh umat Muslim Era Abbasiyah
tersebut adalah al-fikrah al-dīniyah, yang dalam konteks ini adalah nilai-nilai dan konsep-konsep yang
bermuara kepada sumber agama Islam itu sendiri yaitu wahyu. Unsur ini ditopang oleh unsur-unsur penunjang
lainnya yaitu sumberdaya manusia yang direpresentasikan utamanya oleh para khalifah serta tokoh-tokoh
ilmuan saat itu, serta ruang dan waktu yang mewujud dalam rentang sejarah yang berlaku. .
[insya Allah to be completed]

Senin, 21 April 2008


Dinasti abbasiyah
FAKTOR – FAKTOR MUNCULNYA DINASTI ABBASIYAH

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M
), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang
jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk
melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa
awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh
kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat
melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani
Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang
merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah.
Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan
serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang
menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali
mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat
kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka
atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132
M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan
di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.

KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA


Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad,
telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa
orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial
dan budaya.
Diantara kemjuan dalam bidang sosila budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan
asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak
positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk
memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi
kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu
pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni
bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain
sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembanguanan istana dan kota-kota, seperti
pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti
pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada mas inilah lahir
seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al
Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat
dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang
musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad,
pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang –bidang tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada
masa-maa awal pemerinath Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah
untuk mengembangakan dan memajukan pendidikan. Karna itu mereka kemudian mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingakat tinggi.

KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITER


Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok anatara pemerinatah Dinasti Bani
Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang
dikeluarkannya. Pemerinath Dinasti Bani Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkannya
selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara pemerinath Dinasti Bani
Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban
Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan
hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah
memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah
Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul
jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan
pertahanan keamanan.Pembentuka lembaga ini didasari atas kenyataan polotik militer bahwa
pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banayak terjadi pemebrontakan dan bahkan
beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasyi Abbasiyah

KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN


Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan
ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai
faktor yang mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah
terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset
yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Meraka diberikan fasilitas berupa materi
atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui
bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan
tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasyi ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu pengetahaun, seperti
Filsafat, filosuf yang terkenal saat itu antara lain adalah Al Kindi ( 185-260 H/ 801-873 M ).
Abu Nasr al-faraby, ( 258-339 H / 870-950 M ) dan lain-lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu
bumi, astronomi dan sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang pertama yang terkenal
yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq ( w. 152 H / 768 M ).
KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAM
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad ( 750-1258
M ), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama,
tidak lepas dariperan serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan kuat, baik
dukungan moral, material dan finansia, kepada para ulama. Perhatian yang serius dari
pemeruntah ini membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi
yang kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu
pengetahuan dan perdaban Islam. Dianata ilmu pengetahuan agama Islam yang berkembang
dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf

KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH


Setelah berkuasa lebih kurang lima abad ( 750-1258 M ), akhirnya Dinasti Abbasiyah
mengalami masa-masa suram. Masa suram ini terjadi ketika para pengusaha setelah Al-
Makmun, Al- Mu’tashim dan Al-Mutawakkil, tidak lagi memiliki kekuatan yang besar, sebab
para khalifah sesudahnya lebih merupakan boneka para amir dan para wajir dinasti
Buwaihiyah dan Salajikah. Para khalifah Abbasiyah pada periode terakhir lebih
mementingkan kepentingan peribadi, ketimbang kepentingan masyarakat umum. Mereka
saling melalaikan tugas-tugas sebagai pemimpin dan kepala negara, bahkan banyak di antara
mereka yang lebih memilih hidup bermewah-mewahan. Pada akhirnya mereka kehilangan
semangat juan untuk menegakan kekuasaan.
Kenyataan ini dipengaruhui denga situasi politik umat Islam ketika itu. Konflik antra etnis
dan suku bangsa sering terjadi, terutama perseteruan antara bangsa Arab dan bangsa Persia
dengan bangsa Turki. Perseteruan ini terjadi ketika bangsa Turki semakin memiliki posisi
strategis dipemerintahan dan menggeser posisi bangsa Arab dan Persia, yang merupakan dua
suku bangsa yang memiliki peran penting didalam proses berdirinya pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Pada masa pemerintahan khalifah al- Mutawakkil, pengaruh bangsa Turki
semakin kuat, sehingga bangsa Arab dan Persia merasa cemburu. Sikap anti Turki ini pada
akhirnya menimbulkan gerakan pemberontakan di setiap daerah, yang kemudian masing-
masing mendirikan kekuasaan-kekuasaan lokal.
Dianatara kekuatan lokal yang sangat berpengaruh dalam proses melemahnay kekuasaan
Dinasti Abbasiyah adalah dikarenakan luasnya wilayah kekuasaan sehingga tidak dapat
melakukan kontrol pemerintah denga baik ke seluruh wilayahnya, sehingga peluang ini
dimanfaatkan oleh penguasa daerah yang jauh dari pemerintah pusat untuk melepaskan diri
menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dianatar kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri
adalah Dinasti Buwaihiyah ( 945-1055 M ), Dinasti Salajiqah ( 1037-1157 M ). Dinasyi Bani
Fathimiyah yang didirikan di Tunisia pada tahun 297-323 H / 909-934 M oleh Al Mahdi.
Dinasti ini berkuasa cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin al- Ayyubi.
Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah ( 172-311 H/ 788-932 M ), Dinasti
Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab ( 184-296 H/ 800-909 M ), Dinasti
Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun ( 254-292 H/868-905 M ).
Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh Muhammad bin Tughj ( 323-358 H/ 935-969 M ), Dinasti
Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan ( 293-394 H/ 905-1004 M ), Dinasti
Thahriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein ( 205-259 H/ 821-873 M ), Dinasti Samaniyah,
didirikan oleh Saman Khuda ( 261-9-389 H/ 874-999 M ).
Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekuasaan dan wibawa
kerajaan Bani Abbas. Sebab paling tidak pemasukan dan pengaruh para khalifah Bani Abbas
berkurang. Lama kelamaan, akan membawa kelemahan, kemunduran dan kemudian
kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.
Persoalan lain yang juga memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah adalh konflik internal
dikalangan Bani Abbas. Konflik ini dimanfaatkan oleh para pendatang baru, seperti bangsa
Turki yang kemudian menguasai sistem pemerintahan Dinastu Abbasiyah. Bahkan bangsa
Turki mendirikan mendirikan kekuasaan di wilayah pemerintahan Bani Abbasiyah dan
menguasi Baghdad. Ketika para kalifah semakin lemah, baik secara militer atau ekonomi,
para tentara bayaran mendominasi kekuatan, sehingga mereka menciptakan ketergantunan
khalifah kepada tentara bayaran. Ketergantungan ini merupakan salah satu faktor penyebab
melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada saat semua mengalami kelemahan, kekuatan baru datang dan berusaha menghancurkan
Dinasti Abbasiyah, yaitu kekuatan bangsa Mongol. Dibawah pimpinan hulaghu Khan, kota
Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah diluluh lantakan pada tahun 1258 m.
Serangan bangsa Mongol ini manandai akhir dari masa kekuasaan dinasti Abbasiyah.

Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-
Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
“kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di
Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan
dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban”
(civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam
perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah
bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-
manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau
kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka
peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang.
Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang
semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi
bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban islam
yang masuk ke eropa melalui spanyol. Islam memang berbeda dari agama-agama lain,
sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian
dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a
complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu
peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam”
terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam
islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama
bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu
sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh
kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan
Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan
dan para pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa Dinasti Abbasiyah
dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang berdirinya kekhalifahan Abbasiyah,
kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan social.
Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah (750-847 M – 132-232 H)
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir
(jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada
khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani
Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi
Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima
abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi karena
kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur (754-775 M) yang banyak berjasa dalam
membangun pemerintahan dinasti Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke
Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota
pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan
sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang
kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan dinasti
Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
Kemajuan Dinasti Bani Abbas
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase
pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari
masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara
pemerintahan yang bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa bidang,
diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial. Pada masing-masing bidang
memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-
gerakan ini seperti sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-
khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa
serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
2. Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di sector
pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa
kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.
3. Bidang Sosial
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-
809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun
Al-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter. Disamping itu
pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada
zaman khalifah ini, kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang besar sekali,
meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind dan berakhir di negeri Spanyol. Ia
demikian kuatnya sehingga apabila seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat
bahwa usaha mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun
jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi oleh sejumlah
besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak sedikitpun memperoleh penghargaan
dan simpati dalam hati mereka. Itulah sebabnya belum sampai berlalu satu abad dari
kekuasaan mereka, kaum Bani Abbas berhasil menggulingkan singgasananya dan
mencampakannya dengan mudah sekali. Dan ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula
para rajanya, tidak seorangpun yang meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani Abbas ialah karena
mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah
keluarga yang paling dekat kepada Nabi saw, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-
Qur’an dan Sunnah rasul dan menegakkan syari’at Allah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al
Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid
(786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M),
dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia banyak
meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan mempunyai apresiasi
yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushirvan pada
tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat
pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Kehancuran Dinasti Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada
diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para
khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa
pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak dating secara tiba-tiba,
benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini
sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri cenderung berperan sebagai pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani
Umayyah berkuasa. Keduanya sama-saama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua
sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama,
sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka
merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas
`ashabiyyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan
bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka
menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran
yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya,
disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan
gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak
awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat
yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-
Mutawakkil, seorang khlaifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada
periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-
Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam
pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh
makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis
pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal
dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang
beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik
tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari
kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah,
sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam
Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik
atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin
ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan
kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan
mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas
manusia …telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat
dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa berharga”.
4. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping itu, ada pula factor-
faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama,
perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus
II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik
dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.13
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-
orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara
Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite
imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan
transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat
berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi
pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa
peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat
kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan
kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan
orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun,
al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai
penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan
Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-
makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada
tahun 813. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau
berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan.
Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan
ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun
juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-
Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir,
yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer
Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat
diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara
konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah
untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan
politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit
dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh
sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernuran besar.14
Senin, 05 April 2010
Sejarah Dinasti Abbasiyah
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil
dalam mengembangkan peradaban Islam.
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah
berdirinya Dinasti Abbasiyah dan perkembangan ilmu beserta ilmuwan
yang berpengaruh pada masa Dinasti Abbasiyah.
B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah?

b. Bagaimana perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh pada


masa dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah

b. Untuk mengetahui perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh


pada masa dinasti Abbasiyah

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya bani abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan
Bani Umaiyyah pada khalifah Hisyam ibn abdi al-Malik muncullah
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani
umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan bani hasyim yang
dipelopori keturunan al-Abbas ibn abd al-muthalib. Gerakan ini
menghimpun

a. Bani alawiyah pemimpinnya Abu Salamah

b. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-AIman

c. Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka


memusatkan kegiatannya di khurasan.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari golongan syiah dan
kaum mawali yang merasa di kelas duakan oleh pemerintahan bani
umayyah. Pada waktu itu ada beberapa factor yang menyebabkan
dinasti umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran,
akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah umayyah
dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad
dan pada tahun itu berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau
khalifah abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw., dinasti abbasiyah
didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H.
selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.
B. Perkembangan Ilmu dan Ilmuwan yang berpengaruh pada masa
Dinasti Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang
sangat peduli dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Upaya
ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari para ilmuwan. Sebab
pemerintahan dinasti abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk
kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang diberikan adalah
pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah,
majelis munadzarah dan pusat-pusat study lainnya.
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:

a. Filsafat
Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa dinasti bani
abbasiyah mengalami kemajuan cukup besar. Para penerjemah tidak
hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa
Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba mentransfernya ke
dalam bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil dalam
perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr al-
Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.

b. Ilmu Kalam

Menurut A. Hasimy lahirnya ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk
membela Islam dengan bersenjatakan filsafat. Kedua, karena semua
masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa kepada
pola akal dan ilmu. Diantara tokoh ilmu kalam yaitu: wasil bin Atha’,
Baqilani, Asy’ary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain.

c. Ilmu Kedokteran

Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami


perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa
itu telan didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan
sekolah farmasi. Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran
antara lain Al-Razi dan Ibnu Sina.

d. Ilmu Kimia

Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang


dikembangkan oleh kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka
memperkenalkan eksperimen obyektif. Hal ini merupakan suatu perbaikan
yang tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka
melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari
kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan
diantara tokoh kimia yaitu: Jabir bin Hayyan.

e. Ilmu Hisab

Diantara ilmu yang dikembangkan pada masa pemerintahan abbasiyah


adalah ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang karena
kebutuhand asar pemerintahan untuk menentukan waktu yang tepat.
Dalam setiap pembangunan semua sudut harus dihitung denga tepat,
supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan gedung-gedung
dan sebagainya. Tokohnya adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.

f. Sejarah

Pada masa ini sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu,
misalnya sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini
adalah Muhammad bin Sa’ad, Muhammad bin Ishaq

g. Ilmu Bumi

Ahli ilmu bumi pertama adalah Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad
ke-9 M, khususnya dalam studynya mengenai bidang kawasan arab.

h. Astronomi

Tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-fazani dan dikenal


sebagai pembuat astrolob atau alat yang pergunakan untuk mempelajari
ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim. Selain al-Fazani banyak
ahli astronomi yang bermunculan diantaranya adalah muhammad bin
Musa al-Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani, al-biruni, Abdurrahman al-
Sufi.
Selain ilmu pengetahuan umum dinasti abbasiyah juga
memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan antara
lain:

a. Ilmu Hadis

Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah imam bukhari, hasil
karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Imam muslim hasil
karyanya yaitukitab al-Jami’ al-shahih al-muslim, ibnu majjah, abu daud,
at-tirmidzi dan al-nasa’i.

b. Ilmu Tafsir

Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode
penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara member penafsiran al-
Qur’an dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Kedua, metode tafsir
bi al-ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih
banyak dari pada hadits. Diantara tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-
Thabary, al-sud’a muqatil bin Sulaiman.

c. Ilmu Fiqih

Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada masa bani abbasiyah
mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini misalnya,
imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih
al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I
menyusun kitab al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal
menyusun kitab al musnad ahmad bin hambal.

d. Ilmu Tasawuf

Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofi menimbulkan gejolak


pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara para pemikir
muslim mencoba mencari bentuk gerakan lain seperti tasawuf. Tokoh sufi
yang terkenal yaitu Imam al-Ghazali diantara karyanya dalam ilmu
tasawuf adalah ihya ulum al-din.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H.

Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada masa


dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia,
ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom.

Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada masa ini


yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah
ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang
membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
Aug 28, '06 10:54 PM
Sejarah Daulah Abbasiyah
for everyone
Oleh : Mardias Gufron
A. Pengantar
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan
istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari
bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-
cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan
mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh
Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan
yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
1. Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
2. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya
dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
3. Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga
mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
4. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang
terang-terangan. [1]
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan
toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah.[2] Keturunan Bani Hasyim dan Bani
Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka
mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah
Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin
Abbas, Muhammad serta Ibrahim.[3]
Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak
dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran.[4]
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda
dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari
golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada
mulanya mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh
anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang
gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani.
Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah
gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih
ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan
gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan
terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan
pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah
Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut
dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar.[5] Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H
(750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah
berdiri Daulah Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu
Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.
Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang
lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan
kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]
B. Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat
pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama.
Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat
pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar
yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama
Daulah Abbasiyah.
Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan
Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan
Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar
memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada
kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat
disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam
mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah
menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul
penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian
penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana
maupun perebutan kekuasaan secara internal. [7]
a. Bani Abbas (750-932 M)
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
b. Bani Buwaihi (932-1075 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
c. Bani Saljuk (1075-1258 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
C. Periodisasi dalam Daulah Abbasiyah
a. Periode pertama (750-847 M)
Diawali dengan tangan besi
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah
Abu Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan
Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas,
kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta
menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan
Bani Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani Umayah itu
diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]
Perlakuan kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup,
melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah
mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah
bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.[9] Sehingga akhirnya menimbulkan banyak
pemberontakan, namun pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu
Abbas. Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)
Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam.
Namun dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga
menjadi kuat dan kokoh, dia meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-
segan-segan melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu
pemerintahannya.[10]
Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang
diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota
indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga
dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan
terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-
menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan
pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana,
misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-
pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu
salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan,
antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun
oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu
berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga
Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[11]
Pergeseran Kebijakan
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809
M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada
pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada
masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi
unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih
mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi
terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.[12]
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin
suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah
di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang
yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah
(Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.[13]
Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat
hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber
alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat
dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.[14]
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa
itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan
intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.
Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti
perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-
prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat
dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.
Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba
melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke
Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode
pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah
Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam
pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun
Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah
universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk
membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai
pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku
kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya
para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan
sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.
Zaman Keemasan
Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang
digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan
Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu
didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya
adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah
1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan
pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.
Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama
kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu
diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil
diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat
anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal
dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat
etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah
yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari
sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M.
Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam
(meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan
beberapa sastrawan besar lainnya.[15]
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga
berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli
seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-
ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi,
Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam
sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang
pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah
muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki
pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
b. Periode kedua (847-945 M)[16]
Kebijakan Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki
dalam ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di
masa Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka
mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil
(847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah.
Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-
Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka.
Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun
resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu
mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara
kehidupan intelektual terus berkembang.
Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai
melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq,
Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara
(Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih
baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar,
selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan masih bermunculan pada periode ini, seperti pemberontakan Zanj di
dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun
bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah
sebagai berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, Yang kedua,
profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan
militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
c. Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan
ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa
sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani
Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian
selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah
Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi
menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin
Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan
pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950
M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan
kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga
mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan
rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah
terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan
tentara.
d. Periode Keempat (1055-1199 M)
Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah
Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik,
paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama
dikuasai orang-orang Syiah.
Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam
periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-
cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah
ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah melahirkan
banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode
ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi), Al-
Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu
perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad.
Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur
untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-
masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara
mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah
menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan
Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.
e. Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam
periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti
tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya
wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang
tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur
dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara
faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa
yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua,
terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang
berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai
akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat
perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.
Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang
salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah
faktor kedua yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu
Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu
perpustakaan di Baghdad.

Kekejaman Bangsa Mongol[17]

Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh
putra-putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh
tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah
itu mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam dab
ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas
semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-mesjid yang
mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai harganya, mereka
lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang luntur. Mereka
membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa kekejaman ini
berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan,
selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.
Daulah Abbasiyah Lenyap
Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur
dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.
Dalam masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah
pada 750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah
menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.
Penutup
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat
Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Pada
zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga dihasilkan
oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah Abbasiyah ini. Namun
ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan panjang Daulah Abbasiyah yang
selama berabad-abad menguasai dunia yakni agar umat Islam jangan terlena dengan
kekuasaan dunia, karena keterlenaan dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari
ajaran Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali bangkit
merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah Abbasiyah.

You might also like