Professional Documents
Culture Documents
1
2. KH. Ibrahim
Sebelum Dahlan wafat, ia berpesan pada sahabat-sahabatnya agar
tongkat kepemimpinan Muhamadiyah sepeniggalnya diserahkan kepada Kiai
Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar
menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun
atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa
dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam
Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan
Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah
Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232). KH. Ibrahim dilahirkan di kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra dari KH. Fadlil
Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta
pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias
Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti
Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil
menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan
ibu Moesinah putri ragil dari KH. Abdulrahman (adik kandung dari ibu
Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup
panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998.
Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim
merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar
silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering
dikatakan sebagai ibu teladan (Suara `Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan
diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing
memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH.
M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula
menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia
pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
KH. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban
dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, KH.
Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang
berduyun-duyun untuk mengaji kehadapan KH. Ibrahim. Beliau termasuk
seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya
dan disegani. Ia hafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca Al-Quran),
serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh
banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an
dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato
pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia
menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
2
KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan
beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama
Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan
Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan
`Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas
Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan bagian Taman
Poestaka.
Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton.
Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam
menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda, yaitu
1) Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu
mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk
anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu.
2) Pada waktu sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00
dengan cara weton, yaitu cara mengajar mengaji dengan cara Kyai
membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang
kitabnya masing-masing.
3
di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan
gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan
beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada
tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar
(dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus
Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
d. KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh
kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia lebih
banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk
mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di
samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk
semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan
kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula
dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
e. Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah
dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan
Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh
persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk
mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-
budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB
mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan
untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk
mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan
demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin
besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama
dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda.
Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam
kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-
cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa
fitnahan tersebut tidak benar.
f. Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh
kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah
Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah
yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun,
pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama. Di bawah
kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun
1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH.
Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh
tanah air .
4
3. KH. Hisyam
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kiai Haji
Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun
1934. Ia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan, yang juga adalah
seorang abdi dalem ulama dalam Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November
1883 dan wafat pada tanggal 20 Mei 1945. Ia memimpin Muhamadiyah
selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-
23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres
Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya
dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta)
pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi
dan manajemen organisasi pada zamannya. Pada periode kepemimpinannya,
titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah
pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan
umum. Hal ini tercermin dari pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di
beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya
disekolahkan menjadi guru yang saat itu disebut sebagai bevoegd yang
akhirnya menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan
Yogyakarta. satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool
di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europese Kweekschool
Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan
Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang
untuk mengajar HIS Gubernemen.
Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan
Hisyam mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa
ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin mantap. Hal ini
terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan
sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis
Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah
membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan
menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen.
Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya.
Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool
Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial
Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka
Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan,
Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an
Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah
mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu
diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga
selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang
5
didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin
memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus
memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial,
karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang
mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan
masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka.
Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-
sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan
pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau
bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan
keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan
tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen
saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah
mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat
itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun Hisyam berpendirian bahwa
subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh
pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam.
Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk
membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya
juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut
lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka
subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan
pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme
Belanda.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada
periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah
memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School
(HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan
menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setingkat
SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas
V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat
menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah
Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk
masyarakat, maka ia pun akhirnya mendapatkan penghargaan dari pemerintah
kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van
Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan
Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam
sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
6
4. KH. AR. Sutan Mansyur
Ranah Minang pernah melahirkan salah seorang tokoh besar
Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Ia lahir di Maninjau,
Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah
yang bertepatan dengan 15 Desember 1895 Masehi. Ia anak ketiga dari tujuh
bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu
Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti
Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah
tokoh dan guru agama di kampung Air Angat Maninjau. Ahmad Rasyid
memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari
kedua orang tuanya.
Di samping itu, untuk pendidikan umum, ia masuk sekolah Inlandshe
School (IS) di tempat yang sama (1902-1909). Di sinilah ia belajar berhitung,
geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari
untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut
Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru
setelah lulus sekolah tersebut. Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena ia
lebih tertarik untuk mempelajari agama, di samping saat itu ia sudah dirasuki
semangat anti-penjajah Belanda.
Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya,
penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi
bahkan seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar
agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau sacara tidak langsung
dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi
Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Tidaklah mengherankan bila pada
tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah
Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam
dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah
Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan
kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa
sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian
hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar
murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat
dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia
belajar kepada Haji Rasul, Dr. Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh
pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-
1917) ia belajar tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-
ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur'an, tafsir, dan hadits
dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr.
Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak
Buya HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim
gurunya ke Kuala Simpang Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala
Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.
7
Pemberontakan melawan Inggris yang terjadi di Mesir untuk
melanjutkan studinya di universitas tertua di dunia, Universitas al-Azhar
Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan
menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim
lainnya. Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan
pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia
berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk
bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan
Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul
Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang Maninjau yang telah masuk
Muhammadiyah di Pekalongan. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide
yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan
yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada
ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari
karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat Islam
terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Di samping itu, ia
menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata
dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail
sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk
mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-
anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat
Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
Pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang
Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan
menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan
keberadaan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah cabang
Pekajangan, Kedung Wuni di samping tetap aktif mengadakan tabligh dan
menjadi guru agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan
orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus
Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah
yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau. Kepemimpinan dan cara
berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para
pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat
diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1927
bersama Fakhruddin, ia melakukan tabligh dan mengembangkan
Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaannya dan
kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah
setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat
didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun
berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala
Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929
tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.
8
Selain dalam Muhammadiyah, Sutan Mansur--sebagaimana Ahmad
Dahlan--pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam
dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya
ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih
Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi
anggota Muhammadiyah.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930)
memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur
Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Oleh karena itu,
pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah
(sekarang : Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) daerah Minangkabau
(Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga
tahun 1944. Bahkan sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat
oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah
untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.
Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan
Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin
Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas.
Di sini dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang
menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan
daerah-daerah sekitar. Kelak muballigh-muballigh ini akan memainkan peran
penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda
persyarikatan Muhammadiyah. Ia oleh Konsul-konsul daerah lain di Sumatera
dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, Sutan
Mansur menjadi penasehat agama Islam bagi Bung Karno. Pada masa
pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi salah
seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan
DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949
oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru
Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera,
berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, ia diminta menjadi
Penasehat TNI Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat
(MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke
semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada
tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden
dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke Jakarta.
Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat
tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
Dalam konggres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil
Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah pemilihan umum 1955, ia terpilih
sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota
Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkannya
oleh presiden Soekarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, ia pun berada di
9
tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan
kediktatoran Bung Karno, meskipun peran yang dimainkannya dalam
pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.
Ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua
kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas
Purwokerto pada tahun 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB
Muhammadiyah periode tahun 1953-1956. Oleh karena itu, ia pun pindah ke
Yogyakarta. Pada kongres berikutnya yaitu kongres Muhammadiyah ke-33
tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi ketua PB Muhammadiyah
periode tahun 1956-1959. Dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan
roh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah
digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama, merebut
khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji,
menanam roh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan
buq'ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing,
mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak
beribadah dan mengaji al-Qur'an, mengaji al-Qur'an untuk mengharap rahmat,
melatih puasa sunat hari senin dan kamis, juga pada tanggal 13 ,14, dan 15
bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap
menghidupkan taqwa. Di samping itu juga diupayakan kontak-kontak yang
lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi
kerja diantara majelis dengan cabang atau ranting banyak di selenggarakan.
Dalam periode kepemimpinannya, Muhammadiyah berhasil
merumuskan khittahnya tahun 1956-1959 atau yang populer dengan Khittah
Palembang, yaitu :
1) menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan
memperdalam dan mepertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan
khusyu' dan tawadlu', mempertinggi akhlak, memperluas ilmu
pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh
keyakinan dan rasa tanggung jawab;
2) melaksanakan uswatun hasanah;
3) mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi;
4) memperbanyak dan mempertinggi mutu anak;
5) mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader;
6) memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan islah
untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan; dan
7) menuntun penghidupan anggota.
Meskipun setelah 1959 tidak lagi menjabat ketua, Sutan Mansur yang
sudah mulai uzur tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dari periode ke periode. Ia meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat,
konferensi, tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah akan tetapi ia tetap
menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.
10
Islam nampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang
tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia
uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan
ayat demi ayat dengan keterangan al-Qur'an sendiri dan hadits.
11
menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa
Timur menggantikan Mas Mansur pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk
pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah
seorang staf ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang
meninggalnya, ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di
Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun jabatan itu sempat diemban
hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha
Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan
Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. AR Fachruddin.
Faqih Usman pun banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang
sangat membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin
majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah wilayah Jawa
Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan
pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat,
seperti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Pada tahun
1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia
menjadi anggota Komite Nasional Pusat dan Ketua Komite Nasional
Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat
(Panjimas) bersama-sama dengan Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan
Joesoef Ahmad. Majalah ini merupakan majalah yang memiliki ikatan yang
erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam pendirian Partai
Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar
Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus
Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan
tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan. Pembubaran Masyumi
pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para
tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan
rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (Mantan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang sudah meninggal) dan Anwar
Haryono (Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota
politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal
dengan Nota KH. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI
Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang.
Faqih Usman pun banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini.
Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama
pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak tanggal 21 Januari 1950
sampai dengan tanggal 6 September 1950, dan pada tahun 1951 ia ditunjuk
sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak
stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya
kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo sejak tanggal 3
April l952 sampai tanggal 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih
Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan
konflik politik antara Masyumi dan NU. KH. Abdul Wahab Hasbullah yang
merupakan representasi kubu Nahdhatul Ulama menuntut agar jabatan
12
Menteri Agama tetap diberikan kepada unsur NU. Namun setelah diadakan
pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang
terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya
justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai
anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang
diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah
seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik
dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan
Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik
antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-
rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti
Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara
untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang
saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan
bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaannya tersebut, akhirnya ia kembali ke
Muhammadiyah sebagai basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada periode kepengurusan Badawi yang pertama, yakni antara tahun 1962-
l965, ia merumuskan seuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan
Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, dan akhirnya
diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
13
dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar
andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk
dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Ki Bagus
Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD
1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban,
dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-
landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota
PPKI.
Secara formal, disamping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi
Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM
Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-
1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian
rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta
perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi
Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan
dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh
Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari
muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah,
yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya.
Buku karyanya antara lain ialah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq
Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935),
Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan
Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin
komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen
tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki
kecenderungan kuat untuk menginstutisionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus
pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi,
politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh
eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya
terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan
agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah
kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus
dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para
ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang
diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat
melalui penetapan ordonansi 1931. Kekecewaannya ia ungkap kembali saat
menyampaikan pidato di depan sidang BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional,
yaitu pecahnya perang dunia II. Kendatipun Ki Bagus Hadikusuma
menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada kongres ke-26 tahun
1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas
untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketika Mas mansur
14
dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di
Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang,
Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo
berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas
dan kejam untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah
melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa
Matahari.
Ia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun
(1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
15
mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di
mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun
demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang
tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup--karena tidak mendapatkan kiriman
uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup--harus
dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan
mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung
kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya
dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh
Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui
media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini
dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan
mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua
tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah
selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri
Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari
hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah,
Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Di samping
menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia
menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua
tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik
di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu
munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal
baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat
itu, SI dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi
yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus
Besar SI.
Di samping itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama
Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala
Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya
yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan
mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang
mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para
ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di
rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan
dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah
politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas
lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-
16
Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah
yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah
Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan
(Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air)
di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan
yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka
terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa
Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari
belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain
itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau
permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah,
ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansur
dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang
menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot.
Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah
yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan
sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh
masyarakat. Oleh karena itu, Majalah Suara Santri mendapat sukses yang
gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan
oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan
bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana
untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih
mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas
Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan
kekolotan. Di samping itu, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur
majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Majalah Siaran dan
Majalah Kentungan di Surabaya; Penaganjur dan Islam Bergerak di
Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di
Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide
dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawiyah;
Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-
Munadlarah.
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam
organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam
dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa
angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai
organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu
dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni
setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul
Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah
ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada
tahun 1937-1943.
17
Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada
bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang
saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap
kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan
pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah
Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam).
Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar
Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisyam (Ketua
Pengurus Besar, KH. Mukhtar (Wakil Ketua), dan KH. Syuja' sebagai Ketua
Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26
di Yogyakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak
memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di
lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog,
ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo
diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia
yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas
Mansur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas
Mansur menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda
dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa
Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi
kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi
kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada
periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda
Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Terpilihnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Yogyakarta bersama
keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak
memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari
sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas
Mansur juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus
Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga
dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus
Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan
Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu
menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi,
karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta
segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk
18
menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di
rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut
Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang
dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula
dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank,
yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama
keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank
adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu
sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika
ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu,
maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis.
Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk
memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat
Islam.
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansur juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup
berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam
A'la Indonesia (MIAI) bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah
yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya
Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai
perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur
termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan,
yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki
Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.
Katerlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke
Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada
Ki Bagus Hadikusumo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa
terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat
serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan
kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar
dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada
barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di
tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur
meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan
di Gipo Surabaya.
19
8. KH. Yunus Anis
Muhammad Yunus Anis dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta
pada tanggal 3 Mei 1903. Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang
abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari
Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada
tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih ada hubungan kekerabatan
dengan Sultan Mataram. Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang
tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an dan pendidikan
akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah
Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad
di Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, seorang
kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut
membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.
Setelah menamatkan pendidikannya, Yunus Anis mengaktifkan diri
sebagai muballigh. Ia banyak terjun ke masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah. Ia juga
banyak mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia.
Ia dikenal juga sebagai organisator dan administrator. Tahun 1924-
1926 ia menjabat sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah di Batavia.
Kepemimpinannya semakin menonjol dan memperoleh kepercayaan dari
keluarga besar Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1936 dan 1953-1958 ia
dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kepiawaiannya dalam pengetahuan agama menyebabkan banyak
orang percaya kepadanya, termasuk tentara. TNI pada tahun 1954
mengangkatnya sebagai Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia
(Imam Tentara). Berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai imam tentara,
ia banyak memberikan pembinaan mental bagi tentara saat itu.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi yang buruk terhadap
ummat Islam, karena ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen saat itu
(DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, ia diminta oleh beberapa orang,
termasuk oleh AH. Nasution, untuk bersedia menjadi anggota DPRGR yang
sedang disusun oleh Presiden Soekarno sendiri. Kesediaannya menjadi
anggota DPRGR sebenarnya mengundang banyak kritikan dari para tokoh
Muhammadiyah saat itu, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung
kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi dan bertindak
secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun kritik itu dijawab bahwa
keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka
pendek, tetapi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat
Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali
UUD'45 dalam negara kesatuan republik Indonesia menimbulkan berbagai
macam peristiwa politik yang tidak sehat. Manuver dan intrik yang dilakukan
oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia, sangat
membahayakan bagi kondisi politik yang sehat di negeri ini. Dalam situasi
seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat
20
Muhammadiyah periode 1959-1962 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34
di Yogyakarta.
Pada periode kepemimpinannya diusahakan melahirkan Rumusan
Keperibadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah team
yang diketuai oleh KH. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad
Muhammadiyah.
21