Professional Documents
Culture Documents
Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama
Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan
Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu
sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan
saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II,
masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan
Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda
(perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama
lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain
menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler
baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap
sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan
antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan
juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun
1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir
1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812
ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam
perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan
Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono
II.
Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk
menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan
menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah
ke Ambon.
Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil
Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3
tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain
beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya
sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang
berlangsung 1825 – 1830. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan
Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang
ini.
Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam
senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk
mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat menggantikannya
dan tahta diserahkan pada adiknya.
Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada
tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih dari 80
tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai
penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera
mahkota (GRM. Akhadiyat) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia
dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan
putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang
aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai
sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan
Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup, bahkan
menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota
yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam
istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai
kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII
pernah mengatakan “Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya” yang
artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal
di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di
luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat
Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri.
Hamengkubuwono VII meninggal di keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan
dimakamkan di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda
untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang
Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya
dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin
Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di
bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa
jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil
presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan
sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif
seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University Medical
Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di
Imogiri.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap
harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh
dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban
yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah
saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau
tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang
demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke
jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan
pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara
damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan
tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena
memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan
penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku
Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung
gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia
mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran
dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam
jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan
itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang
jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—
mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar
(ringin kurung)—Soeharto pun lengser.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia
menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008
berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan
mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya
untuk kepentingan bangsa dan negara.