Professional Documents
Culture Documents
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh,
Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
1
b. Pengalaman Organisasi
2
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang
diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan
tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak
ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[6].
c. Pahlawan Nasional
3
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal
usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
a. Masa Muda
Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Lulus dari
Ibtidaiyah Sumpurkudus, ia melanjutkan ke Madrasah Muallim Lintau,
yang kemudian pindah ke Yogyakarta di sekolah yang sama. Ia memang
mengambil seluruh pendidikan menengahnya di Mualimin
Muhammadiyah. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas
Hukum Universitas Cokroaminoto, Solo, hingga memperoleh gelar
sarjana muda. Setamat dari Fakultas Hukum, ia melanjutkan
pendidikannya ke IKIP Yogyakarta, dan memperoleh gelar sarjana
sejarah.
4
b. Aktivitas
c. Karya Tulis
3. AMIEN RAIS
Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur
66 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua
MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR
hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
5
a. Awal Karier
b. Terjun ke Politik
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT.
Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding
Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian
dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.[1]
6
4. K.H. FAKHRUDDIN
Fakhruddin dianggap sebagai seorang tokoh yang serba bisa. Karena itu, silih
berganti tugas penting diserahkan kepadanya, antara lain mengurus bagian
dakwah, bagian taman pustaka, dan bagian pengajaran. Tahun 1921 ia diutus
ke Mekah selama 8 tahun untuk meneliti nasib para jemaah haji yang berasal
dari Indonesia karena mereka seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari
pejabat-pejabat Mekah. Sekembalinya, memprakarsai pembentukan Badan
Penolong Haji. Selain itu, ia pernah pula diutus ke Kairo sebagai wakil umat
Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam.
5. KI BAGOES HADIKOESOEMO
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil
Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa
Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus
7
menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat
hingga tahun 1953.
Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara
dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan
Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan
(1941), dan Poestaka Iman (1954).
6. MAS MANSOER
a. Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas
Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di
Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan
Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib
di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
b. Pendidikan
8
Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik
di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif
Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan
Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas
Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat
itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang
dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup
karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering
berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari
masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan
setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di
Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad
Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik
melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan
kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa
dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang
lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah
dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke
Indonesia.
c. Menikah
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami
baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir,
yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan
modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi.
Pada saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal
sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai
Penasehat Pengurus Besar SI.
e. Kegiatan di Muhammadiyah
9
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam
organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya
dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah
sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur
selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang
dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya,
kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak
dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Gaya kepemimpinan
10
menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji,
melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah
tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer
juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar
Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga
dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari
Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali
menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing,
Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik
bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah
memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang
tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
f. Kegiatan Politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang
cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab
Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr.
Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif
dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang
berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat
serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan
Mas Mansur.
11
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan
dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali
ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh
Ki Bagoes Hadikoesoemo.
g. Meninggal Dunia
7. SALEH P. DAULAY
1. Sejarah hidup
12
Budaya, Filsafat Sejarah, Filsafat Ilmu, Filsafat Islam, dan juga Filsafat
Umum. Selama menyelesaikan pendidikannya di Ciputat, ia juga
menyempatkan diri untuk mengajar di Fakultas Taribiyah dan Ilmu
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mata kuliah yang
diajarkannya di sana adalah FIlsafat Islam dan Filsafat Pasca Ibnu
Rusyd.Selain itu, ia juga mengajar di berbagai Universitas Swasta di
kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Bulan Mei 2007, Saleh P Daulay terpilih menjadi salah seorang penerima
beasiswa Ford Foundation. Beasiswa itu kemudian mengantarkannya
untuk menambah pengetahuan di negeri Paman Sam, tepatnya di Colorado
State University Amerika Serikat. Di kampus ini, ia memperdalam bidang
filsafat yang beberapa tahun belakangan menjadi minat terpenting dalam
hidupnya. Namun kali ini, ia berkonsentrasi untuk mendalami
[[environmental philosophy dan environmental ethics yang
dikolaborasikannya dengan Islamic Philosophy.
13
animal right. Ia juga berkenalan dengan Prof. Philip Cafaro yang juga
mendalami filsafat lingkungan, khususnya epistemology in natural world.
8. SIRAJUDDIN SYAMSUDDIN
14
Sejalan dengan itu, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam
menggunakan label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka.
Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam justru sangat
merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun pada
skala global.
Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan hanya
karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karena
kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen umat
beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama
lainnya.
15