You are on page 1of 15

TOKOH-TOKOH MUHAMMADIYAH

1. K.H. AHMAD DAHLAN

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 -


meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang
ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa
itu.

a. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia


merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan
yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang
terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana
Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang
Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas,
Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh,
Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya


sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi
Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik
Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula
menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]

KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

1
b. Pengalaman Organisasi

Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan


dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan
yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan
profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan


mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah
diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga
dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
SAW.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi


Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin
mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal
18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan
bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga


mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi
agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-
niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta
bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan
priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan
sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada
pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan


permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan
badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan
Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu
hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah
lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul
Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah

2
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam.

Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan


dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya
Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal
birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin,
Syahratul Mubtadi.[5]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang
diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan
tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak
ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[6].

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad


Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga
melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata
mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di
Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah
makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan


dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin
dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene
Vergadering (persidangan umum).

c. Pahlawan Nasional

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran


bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-
dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam


untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan
umat, dengan dasar iman dan Islam;

3
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal
usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

2. AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

Ahmad Syafi'i Ma'arif (lahir di Sumpurkudus, Kabupaten Sijunjung,


Sumatera Barat, 31 Mei 1935; umur 75 tahun) adalah mantan Ketua Umum
Pengurus Pusat Muhammadiyah, yang juga dikenal sebagai seorang tokoh
dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya
yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai Bapak
Bangsa. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang
dikritik itu adalah temannya sendiri.

a. Masa Muda

Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Lulus dari
Ibtidaiyah Sumpurkudus, ia melanjutkan ke Madrasah Muallim Lintau,
yang kemudian pindah ke Yogyakarta di sekolah yang sama. Ia memang
mengambil seluruh pendidikan menengahnya di Mualimin
Muhammadiyah. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas
Hukum Universitas Cokroaminoto, Solo, hingga memperoleh gelar
sarjana muda. Setamat dari Fakultas Hukum, ia melanjutkan
pendidikannya ke IKIP Yogyakarta, dan memperoleh gelar sarjana
sejarah.

Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus


meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di
Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya
diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat,
Universitas Chicago, AS, dengan disertasi Islam as the Basis of State: A
Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent
Assembly Debates in Indonesia.

Selama di Chicago inilah, anak bungsu di antara empat bersaudara ini,


terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan
bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur
Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan
Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan
doktornya.

Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil


Ahmad Syafi'i Maarif, yang berjudul 'Si Anak Kampung'.

4
b. Aktivitas

Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP


Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di
samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di
samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar
tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di
sejumlah media cetak. Selain itu, ia juga menuangkan pikirannya dalam
bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, berjudul Dinamika
Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh
Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan,
yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun
2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari
pemerintah Filipina.

c. Karya Tulis

 Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan


FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975
 Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
 Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
 Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984
 Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985

3. AMIEN RAIS

Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur
66 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua
MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR
hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.

Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat


akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik
dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut
mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua
Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.

Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai "King Maker". Julukan itu


merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan
presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun
2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam
pemilu 1999.

5
a. Awal Karier

Lahir di solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga


aktivis Muhammadiyah yang fanatik. Orangtuanya, aktif di
Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak
dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan
lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984
dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame,
Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois,
Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah


Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT,
dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru,
Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap
dijuluki Lokomotif Reformasi.

b. Terjun ke Politik

Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien


membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform
nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN,
Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua
MPR.

Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan


politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam
pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan
meraih hampir 15% suara nasional.

Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT.
Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding
Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian
dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.[1]

Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye


pemilihan umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter
Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan
Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa
pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana
dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan
wakil presiden.

6
4. K.H. FAKHRUDDIN

KH Fakhruddin atau sering dipanggil Muhammad Jazuli, (lahir di


Yogyakarta 1890 - Yogyakarta, 28 Februari 1929[1]) adalah seorang pejuang
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga tokoh Muhammadiyah. Ia tidak
pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pelajaran agama
mula-mula diterima ayahnya, H. Hasyim, kemudian dari beberapa ulama
terkenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fakhruddin dianggap sebagai seorang tokoh yang serba bisa. Karena itu, silih
berganti tugas penting diserahkan kepadanya, antara lain mengurus bagian
dakwah, bagian taman pustaka, dan bagian pengajaran. Tahun 1921 ia diutus
ke Mekah selama 8 tahun untuk meneliti nasib para jemaah haji yang berasal
dari Indonesia karena mereka seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari
pejabat-pejabat Mekah. Sekembalinya, memprakarsai pembentukan Badan
Penolong Haji. Selain itu, ia pernah pula diutus ke Kairo sebagai wakil umat
Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam.

Kesibukannya mengurus Muhammadiyah dan usahanya, membuatnya kurang


memperhatikan kesehatannya. Menjelang kongres Muhammadiyah di
Yogyakarta pada tahun 1929, ia jatuh sakit. Pada tanggal 28 Februari 1929, ia
akhirnya meninggal dunia di Yogyakarta dan dikebumikan di Pakuncen,
Yogyakarta.

5. KI BAGOES HADIKOESOEMO

Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Jogjakarta,


24 November 1890 - meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63
tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman
dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890).
Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim,
seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.

Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di


pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam
sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama
Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari
seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.

Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua


Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926),
dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan
perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-
kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang
kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).

Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil
Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa
Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus

7
menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat
hingga tahun 1953.

Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota


BPUPKI dan PPKI. Ki Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam
perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan,
kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan
memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu
disetujui oleh semua anggota PPKI.

Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara
dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan
Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan
(1941), dan Poestaka Iman (1954).

Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai


Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

6. MAS MANSOER

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 - meninggal di


Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan
pahlawan nasional Indonesia.

a. Keluarga

Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas
Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di
Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan
Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib
di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

b. Pendidikan

Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan


Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di
samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai
Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur
berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan
mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia
belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia,
sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke
Surabaya.

Belajar di Mekkah dan Mesir


Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang
tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah
pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Jawa

8
Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik
di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif
Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan
Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas
Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat
itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang
dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup
karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering
berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari
masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan
setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di
Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad
Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik
melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan
kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa
dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang
lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah
dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke
Indonesia.

c. Menikah

Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri


Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya.
Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu
Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek.
Di samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan
Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung
lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal
dunia.

d. Bergabung dengan Sarekat Islam

Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami
baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir,
yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan
modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi.
Pada saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal
sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai
Penasehat Pengurus Besar SI.

e. Kegiatan di Muhammadiyah

Mulai aktif di Muhammadiyah

9
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam
organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya
dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah
sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur
selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang
dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya,
kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak
dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.

Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah

Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah


dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober
1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu
ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan
Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan,
yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi
melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda
Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar
Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam
(Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja'
sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).

Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di


Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak
memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di
lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi
dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.

Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo


diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia
yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan
kepada Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada
mulanya Mas Mansoer menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia
bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda


dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa
Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap
aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah,
bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar
Muhammadiyah pada periode Mas Mansoer juga banyak didominasi oleh
angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.

Gaya kepemimpinan

Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah


meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk

10
menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji,
melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah
tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer
juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar
Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga
dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari
Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali
menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing,
Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik
bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah
memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya.
Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang
tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut


Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang
dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk
pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang
hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa
secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa
perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang
kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan
dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian
ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam
kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan
guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.

f. Kegiatan Politik

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang
cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab
Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr.
Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif
dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang
berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat
serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan
Mas Mansur.

Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke


Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan
kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang

11
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan
dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali
ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh
Ki Bagoes Hadikoesoemo.

g. Meninggal Dunia

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar


dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada
barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA).
Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok.
Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas
Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya
dimakamkan di Gipo Surabaya.

7. SALEH P. DAULAY

Saleh P. Daulay adalah salah seorang aktivis Angkatan Muda


Muhammadiyah. Dia memulai aktivitas organisasinya sejak menjadi
mahasiswa di Universitas Sumatera Utara. Dia pernah menduduki dua kali
jabatan Ketua Umum Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas
Sastra, yang kemudian mengantarkannya untuk menjadi salah seorang Ketua
Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kotamadya Medan.

1. Sejarah hidup

Setelah menamatkan pendidikan di USU pada tahun 1997, kemudian ia


melanjutkan kuliah Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tahun 1998. Di sana, ia mengambil Jurusan Sejarah Peradaban Islam.
Setahun kemudian (1999), ia juga melanjutkan pendidikan ke Universitas
Indonesia. Kali ini, ia mengambil jurusan Filsafat. Dengan demikian, ia
harus mengikuti kuliah magister di dua tempat pada waktu yang
bersamaan. Selain itu, ia juga masih menyempatkan diri untuk menjadi
salah seorang fungsionaris DPP. IMM periode Gunawan Hidayat. Meski
tidak seaktif pada waktu di Medan, namun menurut dia, aktivitasnya di
IMM kali ini sungguh mengesankan karena harus membagi waktu secara
efisien untuk juga mengurus kuliah.

Selama mengikuti perkuliahan, Saleh selalu beruntung karena mendapat


beasiswa dari berbagai pihak. Ketika di USU, misalnya, dia menerima
beasiswa dari Yayasan Supersemar untuk jangka waktu 3,5 tahun. Di UIN
Syarif Hidayatullah, ia menerima beasiswa dari Depag RI. Dan ketika
belajar di UI, ia mendapat beasiswa BPPS (beasiswa program
pascasarjana) dari Diknas. Selain itu, ia juga pernah tercatat sebagai
penerima Beasiswa dari Yayasan Sopo Godang Jakarta.

Pada tahun 2000, sesaat setelah menamatkan pendidikan di UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta, ia diterima sebagai dosen di IAIN Raden Fatah
Palembang. Ia ditempatkan pada Fakultas Adab. Tugasnya adalah untuk
mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan Filsafat, seperti Filsafat

12
Budaya, Filsafat Sejarah, Filsafat Ilmu, Filsafat Islam, dan juga Filsafat
Umum. Selama menyelesaikan pendidikannya di Ciputat, ia juga
menyempatkan diri untuk mengajar di Fakultas Taribiyah dan Ilmu
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mata kuliah yang
diajarkannya di sana adalah FIlsafat Islam dan Filsafat Pasca Ibnu
Rusyd.Selain itu, ia juga mengajar di berbagai Universitas Swasta di
kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Pada tahun 2000, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-3 di UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena sudah mulai tertarik dengan
persoalan filsafat dan pemikiran, maka ia memilih jurusan Pemikiran
Islam. Setelah menyelesaikan seluruh perkuliahan yang diwajibkan pada
program itu, ia selanjutnya kembali aktif di Muhammadiyah. Ia kembali ke
Menteng (Kantor PP. Muhammadiyah) pada tahun 2002 sebagai salah
seorang anggota departemen Luar Negeri. Dua tahun kemudian, dia
dipercaya untuk menjabat sebagai wakil sekretaris PP. Pemuda
Muhammadiyah.

Pada saat pelaksanaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Samarinda


pada tahun 2006 yang lalu, Saleh Partaonan Daulay adalah salah satu
kandidat Ketua Umum yang diunggulkan untuk bersaing dengan Izzul
Muslimin. Meski pada saat pemilihan dia kurang beruntung, namun dia
tetap terpilih sebagai salah seorang formatur dengan memperoleh suara
terbanyak urutan kelima dari 12 orang anggota formatur yang terpilih. Saat
ini ia menjabat sebagai Ketua Bidang Kader dan Pengembangan Sumber
Daya Insani PP. Pemuda Muhammadiyah periode 2006-2010.

Dalam rangka upaya regenerasi kepemimpinan di tubuh persyarikatan


Muhammadiyah, PP. Muhammadiyah hasil muktamar Malang menunjuk
Saleh Daulay sebagai Sekretaris Lembaga Hukum dan HAM PP.
Muhammadiyah periode 2005-2010. Dengan demikian, Saleh tidak saja
aktif di PP. Pemuda Muhammadiyah, tetapi ia juga aktif di PP.
Muhammadiyah.

Bulan Mei 2007, Saleh P Daulay terpilih menjadi salah seorang penerima
beasiswa Ford Foundation. Beasiswa itu kemudian mengantarkannya
untuk menambah pengetahuan di negeri Paman Sam, tepatnya di Colorado
State University Amerika Serikat. Di kampus ini, ia memperdalam bidang
filsafat yang beberapa tahun belakangan menjadi minat terpenting dalam
hidupnya. Namun kali ini, ia berkonsentrasi untuk mendalami
[[environmental philosophy dan environmental ethics yang
dikolaborasikannya dengan Islamic Philosophy.

Di kampus ini, ia belajar kepada beberapa orang filosof Lingkungan


terkenal. Pada semester pertama, misalnya, ia mengambil mata kuliah
environmental philosophy dari Prof. Holmes Rolston III yang dijuluki
sebagai "the father of environmental philosophy". Prof. Holmes Rolston
III adalah ahli filsafat sekaligus filosof kenamaan yang reputasinya diakui
oleh dunia. Buku-bukunya tidak hanya dipakai sebagai text book di
universitas-universitas terkemuka AS, tetapi juga dipakai di hampir
seluruh dataran eropa. Di samping itu, Saleh juga bertemu dengan Prof.
Bernard E. Rollin, filosof yang mengkhususkan diri pada pengkajian

13
animal right. Ia juga berkenalan dengan Prof. Philip Cafaro yang juga
mendalami filsafat lingkungan, khususnya epistemology in natural world.

Pada mulanya, Saleh P Daulay tidak berminat untuk mendalami bidang


filsafat lingkungan. Ia bercita-cita memperdalam filsafat Islam. Namun,
setelah mengikuti beberapa perkuliahan yang ada dan beberapa
Colloquium serta seminar yang terkait dengan topik itu, ia lalu
memutuskan untuk mendalaminya. Ia merasa bahwa topik itu sangat
penting dan relatif baru di kalangan dunia akademis di Indonesia. Setelah
berada di Colorado State University itulah, menurut pengakuannya, ia
merasa benar-benar study. Ia mengatakan, Colorado State University telah
memperkenalkannya pada sebuah metode baru dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.

Saleh tentu bercita-cita untuk mengembangkan ilmu yang diperolehnya


untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Di samping akan kembali
ke kampus untuk mengajar, kelak ia akan kembali ke Muhammadiyah
untuk meniti langkah baru dalam memberikan pengabdiannya. Ia berharap,
suatu saat nanti, Indonesia akan bisa maju seperti Amerika Serikat. Ia
menambahkan, hanya melalui pendidikanlah bangsa Indonesia bisa
merdeka dan bebas. Bebas dari kebodohan, bebas dari rongrongan
kapitalisme global, bebas dari keserakahan orang-orang tamak yang
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, dan bebas dari kemiskinan
struktural.

8. SIRAJUDDIN SYAMSUDDIN

Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin


(lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958; umur 52
tahun), adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata,
dan memiliki 3 orang anak.

Ia menempuh pendidikan sarjana di IAIN Jakarta, dan kemudian melanjutkan


pascasarjana dan doktornya di University of California at Los Angeles
(UCLA) di Amerika Serikat.

Din pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai Direktur


Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah menjabat sebagai Ketua
DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985), Ketua Umum PP
Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), Wakil Ketua PP Muhammadiyah
(2000-2005), Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ketua
Litbang Golongan Karya.

Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk menghadiri


berbagai macam konferensi tingkat internasional berkenaan dengan masalah
hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Baru-baru ini, misalnya, ia
diundang ke Vatican untuk memberikan ceramah umum tentang terorisme
dalam konteks politik dan idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih
relevan bila dikaitkan dengan isu politik dibandingkan dengan isu idiologi.

14
Sejalan dengan itu, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam
menggunakan label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka.
Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam justru sangat
merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun pada
skala global.

Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan hanya
karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karena
kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen umat
beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama
lainnya.

Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda Indonesia


Penerbangan 200, ia mengalami luka ringan dalam penerbangan yang
menewaskan 21 orang tersebut.

15

You might also like