You are on page 1of 13

Tentang Pendidikan Karakter

Posted on 20 Agustus 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia
tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika
Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh
soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak
didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu
pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,
proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP
sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi
yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi
dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,


Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur
dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan
dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat
1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki
peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%.
Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar
30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter
peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan
di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif
terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga
dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di
sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama
dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata


pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada
setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah
satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan
oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di
sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang
perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta


didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya
ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada
di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil


pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi
lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya
sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di


Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik,
guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini.
Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter
dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan
ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang
utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan
budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan
menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator


oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP,
yang antara lain meliputi sebagai berikut:

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan


remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi
dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber
lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang
dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik
Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya


budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus
berlandaskan nilai-nilai tersebut.

=============

Untuk melihat kajian toeritis tentang Urgensi Pendidikan Karakter bisa dilihat
DISINI

Contoh ilustrasi langkah-langkah penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran


dapat dilihat DISINI

=============

Sumber:

Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama .


Jakarta

Pendidikan Karakter
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses
pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter
merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme
pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard
Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal
abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang
pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan
pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal
dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan
karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang
sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si
subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan
sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang
pribadi diukur.

Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior
di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap
tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-
nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara
individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior
dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas
retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-
religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan
panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang
lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan
pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang
menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter
sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan
baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga
belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat
anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita?
Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme
dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi
eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas
dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah
determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan


dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan
sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri
hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah
pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi
perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita.
Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita,
terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan
dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi
nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang
mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan
religiusitas itu sendiri.

Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Kepausan Salesian, Roma

Sumber: Kompas Cyber Media


Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa.
Written by Yoggi Herdani
Thursday, 03 June 2010 07:46
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian
dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan
mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di
lingkungan Kemdiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh
jenjang pendidikan yang dibinannya. Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan
karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar, kemarin (1/06) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan Rembuk Nasioanal dengan tema “ Membangun
Karakter Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan”. Acara yang digelar di Balai
Pertemuan UPI ini, dibidani oleh Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan UPI.

Selain Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof.dr.Fasli Jalal, Ph.D, hadir pula menjadi
pembicara seperti Prof.Dr.Mahfud,MD,SH, SU. Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH.
Prof.Dr.Djohermansyah Djohan, M.A. Prof.Dr.H.Sunaryo Kartadinata,M.Pd.
Prof.Dr.H.Dadan Wildan, M.Hum dan Drs. Yadi Ruyadi, M.si.

Wamendiknas dalam acara ini mengungkapkan arti penting pendidikan karakter bagi
bangsa dan negara, beliau pun menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan
dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma
Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”

Dari bunyi pasal tersebut, Wamendiknas mengungkapkan bahwa telah terdapat 5 dari 8
potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan
pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya
pelaksanaan pendidikan karakter.

Wamendiknas pun mengatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai
dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam
prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini dangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga
lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku.

Oleh karena itu Wamendiknas mengatakan bahwasanya sekolah sebagai bagian dari
lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Wamendiknas menganjurkan agar
setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , dimana setiap
sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk.
Lebih lanjut Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga
pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut.

Wamendiknas juga mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan
kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu
mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang
istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan.

Prihal pengembangannya sendiri, Wamendiknas melihat bahwa kearifan lokal dan


pendidikan di pesantern dapat dijadikan bahan rujukan mengenai pengembangan
pendidikan karakter, mengingat ruang lingkup pendidikan karakter sendiri ssangatlah luas.

Sehari sebelum acara yang digelar di UPI ini ( 31/05), di Ruang Rapat Komisi X, DPR-
RI, diadakan Rapat Kerja yang membahas pendidikan karakter. Hadir dirapat tersebut
selain 25 anggota fraksi, adalah Menkokesra, Mendiknas, Menag, Menbudpar, Menpora,
Wamendiknas, Perwakilan Kementerian Dalam Negeri, serta para pejabat eselon 1
kementerian terkait.

Dalam Rapat Kerja tersebut dibahas mengenai kesiapan masing-masing kementerian


mengenai pendidikan karakter tersebut. Menkokesra sebagai koordinator perumus
pendidikan karakter ini menyebutkan bahwa setiap kementerian yang terikat memiliki
program-program berencana mengenai pendidikan karakter yang nantinya diajukan
sebagai bahan untuk mengagas lahirnya Keppres mengenai pendidikan karakter.
Menkokesra pun menyebutkan bahwa nantinya pendidikan karakter ini akan dijadikan
aksi bersama dalam pelaksanaannya.

Para anggota fraksi pun melihat pendidikan karakter ini sangat penting dalam membentuk
akhlak dan paradigma masyarakat Indonesia. Semoga pendidikan karakter ini tidak hanya
menjadi proses pencarian watak bangsa saja, melainkan sebagai corong utama titik balik
kesuksesan peradaban bangsa.

DAMPAK PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP AKADEMI ANAK


3
April

Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Tetapi


yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf jenjang
pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). sementara pada jenjang
sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di
Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila,
kewarganegaraan dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran
aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangkit dari
ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem pendidikan yang ada saat ini.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter
terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab
pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan
oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz
dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah
dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat
keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu
yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter
tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala
macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku yang
baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi
anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko
penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata
bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri,
kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati,
dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar,
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah
dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia
dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Pendidikan
karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di
dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari
keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua
yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain
itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam
mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih
mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan
memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan
di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini
saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang
mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk
diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-
90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia
dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan
dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah
“memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai.
Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter,
dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak
mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan
menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan
mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja
kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu
lulusan SMP dan SMU. Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu
yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD,
SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin
mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa
karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that
is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari
pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a
person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang
dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya
kepada masyarakat)..

O leh:

• Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)


• Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)
• Home
• Artikel
• Produk
• Tentang Kami

KELUARGA : WADAH PENGGODOKAN KETERAMPILAN


EMOSIONAL
6
January

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari emosi; dalam
lingkungan yang akrab ini kita belajar bagaimana merasakan perasaan kita sendiri dan
bagaimana orang lain menanggapi perasan kita; bagaimana berpikir tentang perasaan ini
dan pilihan-pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan
mengungkapkan perasaan, harapan dan rasa takut. Pembelajaran emosi ini bukan hanya
melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada
anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu
menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami istri.
Ada orang tua yang berbakat sebagai guru emosi yang sangat baik , ada yang tidak.

Ada ratusan penelitian yang memperlihatkan bahwa cara orangtua memperlakukan anak-
anaknya-entah dengan disiplin yang keras atau pemahaman yang empatik, entah dengan
ketidak pedulian atau kehangatan, dan sebagainya – berakibat mendalam dan permanen
bagi kehidupan emosional anak. Tetapi, baru belakangan ini terdapat data kuat yang
memperlihatkan bahwa mempunyai oran tua yang cerdas secara emosional itu sendiri
merupakan keuntungan yang besar sekali bagi seorang anak. Cara-cara yang digunakan
pasangan suami istri untuk menangani perasaan-perasaan di antara mereka –selain
tindakan langsung mereka pada seorang anak– memberikan pelajaran-pelajaran ampuh
kepada anak-anak mereka, karena anak-anak adalah murid yang pintar, yang sangat peka
terhadap transmisi emosi yang paling halus sekalipun dalam keluarga. pemelitian
menunjukkan bahwa pasangan yang secara emosional lebih terampil dalam
pernikahannya juga merupakan pasangan yang paling berhasil membantu anak-anaknya
menghadapi perubahan emosi.
Sejumlah orang tua suka memaksa, kehilangan kesabaran mengahadapi ketidakmampuan
anaknya, meninggikan suara dengan nada mencemooh atau putus asa, bahkan ada yang
mencap anaknya “tolol”–pendek kata, menjadi mangsa ke arah kecendrungan-
kecendrungan yang sama ke arah penghinaan dan kebencian yang menggerogoti
kehidupan perkawinan. Namun orang tua lainnya bersikap sabar terhadap kesalahan yang
dibuat anaknya, membantu anak mencoba sebuah permainan menurut caranya sendiri,
bukannya memakasakan kehendak mereka.
pada artikel yang lain anda bisa melihat ada beberapa gaya mendidik anak yang secara
emosional pada umumnya tidak efisien

Agar orangtua menjadi pelatih yang efektif dalam bidang pendidikan emosional anak ini,
mereka harus mempunyai pemahaman-pemahaman yang baik tentang dasar-dasar
kecerdasan emosional. Salah satu pelajaran emosi yang mendasar bagi seorang anak
adalah bagaimana membedakan perasaan; seorang ayah yang tidak merasakan
kesedihannya sendiri, misalnya tak mungkin menolong putranya memahami perbedaan
antara sedih karena seseorang yang meninggal, sedih karena menonton film yang
mengharukan, dan kesedihan yang muncul bila sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang
yang disayangi anak. Selain pembedaan ini, terdapat juga pemahaman-pemahaman yang
lebih canggih, misalnya amarah seringkali dipicu oleh perasaan sakit hati.

Sewaktu anak-anak tumbuh, pelajaran-pelajaran emosi khusus yang siap mereka terima –
dan mereka butuhkan –berubah-ubah, pelajaran dalam hal empati dimulai pada masa
bayi- pada masa ini orangtua menyetalakan diri dengan perasaan bayinya. Meskipun
beberapa ketrampilan emosional diasah dengan teman-teman selama bertahun-tahun,
orangtua yang terampil secara emosional dapat sangat membantu anak dengan memberi
dasar ketrampilan emosional berikut ini ; belajar bagaimana mengenali, mengelola, dan
memanfaatkan perasaan-perasaan; berempati; dan menangani perasaan-perasaan yang
muncul dalam hubungan-hubungan mereka.
Dampak pendidikan keluarga semacam ini terhadap anak-anak sangatlah luas. Penenlitian
menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak terampil menangani
perasaaan, orangtua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang
pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada
orangtuanya, serta lebih sedikit bentrok dengan orangtuanya. Selain itu anak-anak ini
juga lebih trampil mengelola emosinya, lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan
tidak sering marah. Secara biologis, anak-anak juga lebih santai dan memiliki kadar
hormon stress dan indikator fisiologis pembangkitan emosi yang lebih rendah.
Keuntungan-keuntungan lannya bersifat sosial; anak-anak ini lebih populer dan lebih
banyak disukai temannya dan oleh para gurunya dianggap anak yang lebih pandai
bergaul. Orangtua dan gurunyapun menilai anak-anak ini tidak banyak mempunyai
masalah tingkah laku, seperti kasar atau agresif. Terakhir, manfaat-manfaat ini bersifat
kognitif. anak-anak ini dapat berkonsentrasi dengan lebih baik. Seandainya IQ nya sama,
maka anak yang memiliki orang tua yang terampil sacara emosional, pada usia 5 tahunan,
akan memiliki angka prestasi lebih tinggi dalam matematika dan membaca saat anak-
anak tersebut mencapai usia SD (alasan kuat untuk mengajarkan ketrampilan emosional
untuk mempersiapkan anak belajar maupun hidup). Oleh karena itu, keuntungan bagi
anak-anak yang orangtuanya terampil secara emosional adalah serangkaian manfaat yang
menakjubkan, yang mencakup seluruh spektrum kecerdasan emosional bahkan lebih.

You might also like