You are on page 1of 8

http://nuruliman1972.blogspot.

com/2009/04/panggih-temanten-dalam-perkawinan-
adat.html.
A. Pra Wacana
Perkawinan merupakan hak dan sunnah kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang
dalam kehidupan "normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan
rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman hidup
itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan mengasihi, serta
dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang tentram, dan
sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi
satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi
pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin
(menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan) (Rasjid: 2004, 174). Peristiwa hukum berupa
pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai bentuk, mulai penyebutan
sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti oleh setiap insan beriman atau
sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah.
Diantara bukti telah sahnya sebuah hubungan perkawinan adalah diselenggarakannya
acara resepsi perkawinan atau walimah. Pesta perkawinan ini mengambil bentuk atau
formatnya sendiri yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo, yang paling populer
adalah resepsi perkawinan yang menggabungkan budaya jawa dan Islam sekaligus
sebagai bukti telah terjadinya “dialog budaya”, adaptasi, dan akulturasi (peleburan) di
dalamnya.
Pembahasan tentang resepsi perkawinan di Ponorogo dapat dianggap penting mengingat
belum pernah dilakukannya penelitian tentang hal ini disamping terjadinya
perkembangan dan dinamika dalam penyelenggaraan resepsi perkawinan adalah
fenomena menarik untuk dicermati. Pembahasan difokuskan pada resepsi perkawinan
model Islam-Jawa terutama pada acara Panggih/Temu Temanten, dinamika bentuk
resepsi, hiasan, simbol-simbol yang digunakan serta pemaknaan terhadap semua hal yang
berkaitan dengannya.

B. Prosesi Perkawinan dan Perkembangannya


Panggih temanten atau temu adalah resepsi pernikahan yang dilaksanakan di rumah
mempelai wanita. Dalam resepsi dengan basis budaya Jawa-Islam, susunan acaranya
secara berurutan dapat dibedakan dalam 2 kegiatan pokok, yaitu:
1. Ritual adat
a. Jemuk (Temu) Manten
Dalam ritual ini, susunan acaranya berupa:

a) Balangan
Balangan adalah kegiatan saling lempar antar pengantin yang hendak dipertemukan pada
saat jarak mereka sekitar tiga meter. Dalam balangan, bungkusan yang dilemparkan berisi
daun sirih, dan jadah (makanan dari ketan) yang ditali dengan benang putih. Mereka
saling melempar dengan penuh semangat dan tertawa. Dengan melempar daun sirih satu
sama lain, menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian yang
menyamar jadi pengantin. Selain itu, jadah --yang kenyal dan lengket-- dalam ritual ini
melambangkan keeratan cinta kasih dan kesetiaan.
b) Salaman
Sebagai ungkapan kedatangan, penganten pria mengucapkan salam dan disambut
penganten wanita, lalu mereka bersalaman. Penganten putri juga mencium tangan
suaminya sebagai bentuk penghormatan.
c) Ubengan
Dengan panduan perias, penganten wanita berjalan memutari pasangannya selama tiga
kali di sekitar pasangan sapi (rangkaian bambu untuk 2 sapi yang diletakkan di depan
kereta untuk memudahkan tarikan) yang telah disediakan. Kegiatan ini dimaksudkan
sebagai bentuk “perkenalan” antara kedua pengantin. Lewat perkenalan ini, diharapkan
masing-masing saling memahami kelebihan dan kekurangan pasangannya .
d) Injak telur (wiji dadi)
Pengantin pria melepaskan sandalnya dan menginjak telor ayam dengan telapak kakinya.
Pengantin putri lalu membasuh kaki pengantin pria dengan air kembang dari bokor
(bejana) yang sudah disiapkan. Kegiatan ini dapat diartikan sebagai kesiapan pengantin
pria untuk menjadi kepala rumah tangga dan kesediaan pengantin wanita untuk melayani
suaminya. Di dalam rumah tangga yang baru dibentuk ini diharapkan juga akan diperoleh
hasil yang baik pula termasuk anak keturunan.
e) Minum parem
Kedua mempelai lalu diberi minum oleh kedua orang tua mempelai wanita. Ibu terlebih
dahulu meminumkan parem kepada keduanya lalu dilanjutkan oleh bapak. Minum parem
memberikan makna bahwa kedua penganten hendaknya marem (puas) dengan pasangan
yang dipilihnya. Perkawinan adalah proses memilih pasangan hidup yang telah
berlangsung lama. Fokus dalam melihat pasangan hidup, dan kelebihannya diharapkan
dapat menutup kekurangannya.
Prosesi ini juga memberikan peringatan kembali tentang pentingnya peran kedua orang
tua dalam membesarnya anak-anaknya. Mereka adalah orang yang pertama “menyuapi”
anak-anak. Karenanya, lewat kegiatan meminumkan parem kepada kedua pengantin,
kewajiban berbakti kepada mereka hendaknya mendapatkan perhatian bahkan setelah
para anak berkeluarga dan mendapatkan keturunan.
f) Gendong manten (pakai sindur) menuju pelaminan
Setelah acara wiji dadi (injak telur), ayahanda pengantin putri mendahului berjalan
dimuka menuju kursi pengantin, ibu pengantin putri memasang selendang (sindur)
menutupi pundak kedua pengantin. Selendang berisi kedua mempelai lalu ditarik oleh
ayahanda dan didorong oleh ibu. Gendong manten mengandung makna bahwa ayahanda
pengantin seharusnya menunjukan jalan kehidupan bagi kedua putranya sedang ibunda
mendukung dari belakang. Selain itu, acara ini juga memberikan lambang bahwa kedua
orangtua pengantin perempuan telah ngentaske atau menyelesaikan tugas/kewajiban
mereka kepada anaknya lewat menikahkannya dengan pengantin pria.
g) Tukar kembang mayang
Dalam upacara Panggih, kembar mayang biasanya berjumlah empat buah dan diletakkan
di sebelah kanan dan kiri dekor/rono. Ketika upacara panggih akan dimulai, dua buah
kembar mayang dikeluarkan oleh dua orang manggolo (yang ditunjuk untuk menjemput
pengantin pria), sedangkan dua kembar mayang yang lain dibawa oleh dua orang putri
domas mengiringi penganten putri. Saat ritual adat berlangsung dalam jemuk pengantin,
dua buah kembar mayang yang mengiringi pengantin pria (dari luar) ditukarkan dengan
dua kembar mayang yang mengiringi pengantin putri. Kedua kembar mayang dari luar
tersebut selanjutnya mengiringi kedua mempelai hingga pelaminan. Sedangkan dua
kembar mayang yang lain dibawa keluar dari tempat resepsi dan biasanya dibuang di atas
genting tuan rumah (orang tua pengantin wanita).
Pertukaran kembang mayang memberikan arti telah “ditukarnya” kedua mempelai dan
bergabungnya mereka dalam keluarga baru mertuanya sehingga menjadi ibarat anak
sendiri.
b. Mapag Besan
Ketika ritual jemuk berlangsung, kedua orang tua mempelai pria tidak mengikuti ritual
tersebut dan sebaliknya berada di luar ruang resepsi. Lalu setelah jemuk selesai, kedua
orang tua pengantin wanita menjemput kedua orang tua pengantin pria dipintu rumah dan
mereka berjalan bersama menuju tempat upacara. Para ibu di depan dan para bapak
mengikuti di belakang. Kemudian pasangan orang tua pria ini duduk disamping kanan
kursi pengantin. Sedangkan orang tua pengantin putri duduk disebelah kiri dari kursi
pengantin. Prosesi ini menandakan bentuk penghormatan tuan rumah kepada kadang
besan (saudara) mereka.

c. Sungkeman
Kedua pengantin haruslah minta doa restu dari kedua orang tua, pertama kepada orang
tua pengantin wanita, dan selanjutnya kepada orang tua pengantin pria. Kedua pengantin
berjongkok dan (seakan) menyembah orang tua mereka. Para orang tua menerima
sungkem kedua mempelai mengan mengulurkan tangan kanan untuk dijabat dan dicium,
sedangkan tangan kiri mengelus kepala pengantin. Kegiatan memohon doa restu ini
disebut sungkeman. Selama sungkeman, perias mengambil dan menyimpan keris yang
dipakai pengantin pria dan dipakaikan kembali setelah sungkeman selesai.
d. Kacar kucur
Acara ini juga sering disebut dengan Tampa Kaya. Dengan dipandu perias, pasangan
pengantin berjalan bergandengan pada jari kelingking menuju ke sebuah kursi yang telah
diletakkan didepan rono/dekorasi manten. Pengantin pria menuangkan campuran kedele,
kacang tanah, beras, beras ketan, jagung disertai rempah-rempah, bunga dan mata uang
logam dengan berbagai nilai. Pengantin wanita menerima itu dengan selendang kecil
setelah itu kemudian dilipat.
Kacar kucur melambangkan bahwa seorang suami harus memberikan penghasilannya
kepada sang istri. Sebaliknya, seorang pengantin wanita haruslah siap menjadi istri yang
baik dalam menerima pemberian suami, bersikap peduli, hemat dan juga teliti.
e. Dulangan Sega Punar (Dahar Kembul)
Pasangan pengantin makan bersama dan saling menyuapi. Perias memimpin upacara ini
dengan memberikan piring berisikan nasi kuning dan lauk pauk, kemudian pasangan
pengantin ini mengambil sesendok kecil nasi dengan lauk pauknya dan pertama kali
pengantin wanita menyuapi pengantin pria dan selanjutnya pengantin pria menyuapi
pengantin wanita. Acara dulangan ini diakhiri minum teh manis. Ini melambangkan
bahwa kedua mempelai menikmati kebersamaan mereka. Kehidupan keluarga juga
diharapkan selalu berakhir “manis” meskipun kegetiran dan perjuangan merupakan hal
yag nyata dalam perkawinan. (Hasil wawancara dengan Modin Ibn Batutah dan Perias
Ibu Lia ).
Prosesi ritual adat tersebut merupakan “versi lengkap” dari sebuah adat pernikahan
Islam-Jawa. Dalam banyak kasus, ritual tersebut berlangsung tidak lengkap dan
disederhanakan dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Dalam perkawinan Panggih
Temanten antara Listia Puspitorini, ST dan Beny Sukanto, SS ., ritual adat hanya berupa
salaman, wijik suku, ubengan, gendongan, dan Tukar kembang mayang. Acara kemudian
dilanjutkan dengan mapag besan, sungkeman, dan dahar kembul. Prosesi balangan dan
kacar kucur ditiadakan. Sedangkan injak telur (wiji dadi) disederhanakan menjadi wijik
suku atau membasuh kaki suami saja. Menurut Ibu Lia, perias pengantin, prosesi ritual
adat dalam banyak perkawinan lain sangat sederhana dan hanya berupa salaman, minum
parem, gendongan, sungkeman, dan dulangan atau dahar kembul. Sedangkan balangan,
injak telur atau wiji dadi, kacar kucur, dan mapag besan sering ditinggalkan. Alasan yang
sering digunakan adalah menghemat waktu. (Observasi dan wawancara dengan perias Ibu
Lia)
Sementara itu juga muncul usaha-usaha “islamisasi” ritual adat tersebut. Injak telur (wiji
dadi) misalnya, ketika pengantin pria menginjak telur di geneman (bungkusan) kembang
setaman, telur langsung pecah dan biasanya menyebabkan bau yang amis. Menyadari hal
tersebut, ada kiat untuk membungkus telur di plastik, sehingga mengurangi bau amis dan
menghindari praktek mubadzir, karena telur yang pecah masih bisa dimanfaatkan sesudah
itu dengan digoreng atau dimasak. (wawancara dengan modin Ibn Bathutah).
2. Acara resepsi perkawinan
Dengan dipandu seorang pembawa acara
a. Pembukaan
b. Bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an
Untuk mengharapkan berkah dari Allah Swt, setelah acara dibuka maka dilanjutkan
dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara ayat-ayat yang sering dibaca oleh seorang
qari’ dalam sebuah resepsi adalah QS. al-Nisa : 1, 34, dan Qs. al-Rum: 21.
c. Atur mangayu bagya (ucapan selamat datang)
Kegiatan ini merupakan sambutan oleh tuan rumah yang diwakili oleh seorang juru
bicara. Sambutan meliputi ucapan selamat datang kepada para tamu, ucapan terima kasih
atas kehadiran mereka, dan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam
penyelenggaraan resepsi pernikahan. Selain itu disampaikan pula ucapan terima kasih
terhadap kerabat, tetangga, dan segenap pihak yang membantu terselenggaranya resepsi.
d. Tedhak sungging (Photo)
Acara pengambilan photo (tedhak sungging) disisipkan diantara acara resepsi pernikahan
sejak awal. Pembawa acara mengambil peran penting dalam kesuksesan acara
dokumentasi perkawinan ini. Kegiatan photo diawali dari keluarga pengantin pria
(sebagai bentuk kehormatan), para undangan terpilih, dan diakhiri dengan keluarga
pengantin wanita sendiri sebagai tuan rumah.
e. Atur pasrah pinanganten
Sambutan ini disampaikan oleh wakil keluarga penganten pria dan para pengiringnya.
Juru bicara keluarga besan (orang tua pengantin pria) ini menyerahkan pengantin pria dan
“pendidikan”nya untuk dapat menjadi suami yang baik. Ia juga menyampaikan terima
kasih atas segala keramahan tuan rumah dan hidangannya, serta memohon maaf atas
segala kekurangan dan tingkah laku para pengiring selama resepsi berlangsung.
Selebihnya ia menyampaikan undangan untuk acara sepasaran (resepsi di rumah
pengantin pria) dan memohon pamit untuk diri sendiri dan rombongannya.
f. Atur panampi
Atur panampi merupakan jawaban tuan rumah atas seluruh isi sambutan juru bicara
pengantin pria. Karenanya, di dalamnya disampaikan kesediaan keluarga untuk menerima
anak menantu dan mendidiknya ke arah kebaikan, ucapan terima kasih kepada seluruh
pengiring pengantin, dan ungkapan “sama-sama” atas permohonan maaf mereka. Selain
itu disampaikan pula kesediaan keluarga pengantin putri untuk memenuhi undangan
sepasaran keluarga pengantin pria.
g. Mau’idzah hasanah (pesan/nasehat perkawinan)
Mau’idzah hasanan adalah pesan/nasehat pernikahan yang disampaikan oleh seorang
muballigh atau pemuka agama sebagai “bekal” bagi kedua mempelai untuk mengarungi
kehidupan rumah tangga.
h. Bacaan Do’a
Untuk mendapatkan barokah dari pada tamu undangan, maka keluarga pengantin
memohon doa restu dari mereka lewat bacaan do’a yang dipandu oleh seorang atau
beberapa orang kyai. Dalam keadaan tertentu, do’a sering dipanjatkan oleh lebih dari satu
orang kyai.
i. Penutup
Sebelum acara resepsi ditutup, pembawa acara meminta perias temanten untuk memandu
kedua pengantin dan rombongannya menuju pintu keluar (masuk). Acara ditutup dan para
tamu undangan menyalami pengantin dan keluarga sambil berjalan pulang.
Sebagai penyela dan penghangat suasana, diadakan acara hiburan berupa pemutaran
kasset, CD, dan MP3 lagu-lagu maupun elekton dan seni hadrah secala live. Para
penyanyi tidak jarang yang menyapa dan menyanyi di tengah para tamu undangan. Lagu
demi lagu diperdengarkan di sela-sela acara “resmi” resepsi berlangsung. Pembawa acara
mengendalikan sepenuhnya acara hiburan sesuai dengan situasi dan kondisi resepsi yang
sedang berlangsung.
Dalam prakteknya, menurut modin Ibn Batuthah, acara sambutan atur mangayu bagya
saat ini sering digabung dengan atur panampi. Sehingga wakil tuan rumah dan orang tua
pengantin wanita cukup berdiri memberikan sambutan sekali saja. Penggabungan ini
dimaksudkan untuk menghemat waktu. Mau’idzah hasanah atau khutbah walimah juga
disampaikan secara ringkas dan jelas. Bahkan untuk bacaaan do’a, tren yang berkembang
adalah diletakkan di awal acara setelah bacaan ayat suci al-Qur’an. Hal ini merupakan
“siasat” tuan rumah agar acara do’a yang dipanjatkan lebih berjalan khidmat dengan tamu
undangan yang masih utuh. Dengan pemampatan dan pengaturan acara sedemikian rupa,
diharapkan resepsi dapat berlangsung lebih cepat dengan durasi waktu maksimal tidak
lebih dari dua jam. (wawancara dengan modin Ibn Bathutah)

C. Simbol-simbol, Hiasan, dan Maknanya


Budaya Jawa dikenal sangat dipengaruhi oleh tradisi kratonnya. Dalam perkawinan yang
berlatar belakang budaya ini banyak sekali simbol-simbol budaya dan hiasan yang
memiliki makna tertentu yang berasal dari tradisi kraton tersebut. Latar belakang budaya
Islam yang diusung dalam sebuah perkawinan turut pula menyumbangkan pengaruhnya.
Diantara hal tersebut adalah:
1. Patah
Patah adalah dua anak kecil putri yang berjalan di depan pengantin. Ketika pengantin
duduk, mereka bertugas untuk mengipasi keduanya.
2. Domas dan Manggolo
Domas atau putri domas adalah dua orang gadis muda yang mengiringi pengantin wanita.
Sedangkan manggolo adalah dua orang anak muda yang mengiringi pengantin pria,
meskipun sesungguhnya berasal dari keluarga pengantin wanita. Masing-masing domas
dan manggolo membawa kembar mayang dan saling menukarkannya ketika prosesi
jemuk berlangsung. Putri domas dalam pernikahan ibarat dayang-dayang bagi seorang
ratu. Sedangkan para manggala adalah ibarat para punggawa kerajaan.
3. Janur kuning
Rangkain janur/bleketepe kuning dipasang di gerbang atau pintu masuk tempat acara
resepsi. Dari pemasangan ini diharapkan akan hilang kemungkinan yang tidak diinginkan
dan sebagai tanda bahwa adanya pernikahan yang akan berlangsung dirumah tersebut.
Janur juga dapat dimaknai dengan “jalarane nur” atau bahwa rumah tangga sebagai
sarana untuk menghadirkan cahaya “pepadang” dalam sebuah kehidupan.
4. Kembar mayang
Kembar mayang merupakan rangkaian yang dibuat dari bermacam daun dan banyak
ornamen dari janur yang dirangkai dan ditancapkan pada potongan pohon anak pisang.
Dari janur dibuat ornamen berbentuk tugu-tuguan/gunungan, uler-uleran, keris, manukan,
dan pecut. Sementara macam daun yang digunakan adalah daun beringin, andong,
gondoroso, dan mayang jambe.
Ornamen berbentuk tugu atau gunung melambangkan simbol sosok laki laki yang (harus)
penuh pengetahuan, pengalaman dan kesabaran. Ornamen seperti keris memberikan
makna bahwa pasangan pengantin hendaknya berberhati-hati dalam kehidupan, pintar
dan bijaksana laksana sebuah keris. Ornamen uler-uleran merupakan simbol keajegan
bergerak dalam hidup terutama dalam keluarga dan lingkungan. Ornamen seperti pecut
memberikan dorongan untuk sikap energik, cepat berpikir dan mengambil keputusan
untuk menyelamatkan keluarga. Sedangkan ornamen seperti burung melambangkan
motivasi tinggi untuk kehidupan.

5. Pohon pisang lengkap dengan buah dan ontong-nya


Pohon pisang diletakkan di sebekah kiri kanan gapura/pintu masuk tempat resepsi. Lebih
diutamakan jika buah pisang yang dipasang tersebut telah matang. Diantara makna yang
dikandung adalah bahwa suami hendaknya menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan
bermasyarakat. Seperti pohon pisang yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun
dengan lingkungan, diharapkan keluarga baru yang dipimpin suami ini juga akan hidup
bahagia, sejahtera dan rukun dengan lingkungan sekitarnya.
6. Cengkir gading
Cengkir gading atau kelapa kecil berwarna kuning, melambangkan kencang dan kuatnya
pikiran baik, sehingga diharapkan kedua mempelai akan dengan sungguh-sungguh terikat
dalam kehidupan bersama yang saling mencinta.
7. Dekorasi (kwade) pengantin
Dekorasi atau background hiasan pernikahan adalah sebuah kwade yang terdiri dari
sebuah rono (krobongan) dengan lebar sesuai dengan kapasitas ruangan. Hiasan bunga
hidup atau palsu melengkapi keindahan rono yang ada. Jika memungkinkan, taman dan
air mancur seringpula ditambahkan di depan rono.
Pemilihan bentuk dekorasi dan warnanya turut menentukan corak dan warna pakaian
yang akan dikenakan oleh pengantin dan keluarganya dalam resepsi perkawinan.
8. Pakaian
Pada saat acara Jemuk penganten berlangsung, kedua penganten mengenakan pakaian
kebesaran kanalendran solo seperti layaknya seorang raja dan ratu. Pengantin pria
memakai baju hitam beskap bludru lengkap dengan keris dan kuluk (topi tinggi khas raja
jawa) nya, atau jika terpaksa –seperti tinggi badan yang lebih dan tidak seimbang dengan
pengantin wanita-- maka ia menggunakan blangkon. Hiasan tambahan yang
dikenakannya adalah dasi kupu-kupu, kalung dan bros dari roncen bunga melati.
Pengantin wanita juga memakai baju bludru solo putri dengan gelungan dan hiasan
rangkaian bunga melati di rambut dan tiba dada (roncen melati yang menjuntai dari
gelungan rambut terus ke dada) di dada sebelah kiri. Nuansa gebyar, “menyala” (warna
mencolok), dan mewah biasanya sangat nampak untuk membedakan pengantin dengan
yang lainnya.
Pakaian orang tua (ayah) kedua pengantin adalah pakaian kejawen berupa beskap
lengkap dengan angkin, sabuk, dan kerisnya. Kain (jarit) adalah motif truntum yang
bermakna harapan masa depan yang cerah. Pakaian ibu pengantin adalah kebaya dengan
angkin slindur. Kain yang dipakai sama dengan para bapak, yakni motif truntum.
Ketika acara resepsi berlangsung dilakukan kirab temanten dan selanjutnya rombongan
berjalan menuju ruang ganti untuk lukar busana (ganti pakaian) yang bernuansa
mataraman dan lebih santai. Seluruh “rombongan” yang terdiri dari patah, domas,
manggolo, dan kedua pasang bapak-ibu turut berganti pakaian dan menyesuaian dengan
corak yang dipakai kedua pengantin.
Menutut perias Ibu Lia, tren pakaian pengantin dan “keluarga” nya saat ini adalah busana
jawa muslim. Tren ini sangat nampak pada pengantin wanita, para ibu pengantin, patah,
dan domas. Pengantin wanita memakai jilbab melati dengan daleman (lapisan di bawah
jilbab) berwarna hitam seperti rambut atau warna kuning. Para wanita selain pengantin
wanita memakai kerudung dengan rambut tetap di-gelung.
9. Musik kebogiro dan syrakalan
Dengan lantunan musik kebogiro yang dipergunakan mengiringi keseluruhan prosesi
ritual adat diharapkan menambah kehidmatan dan kesakralannya. Pemilihan musik
“kebogiro kedu” merupakan “bedah rangkah” atau pembuka acara selamatan/resepsi.
Disamping itu, musik syrakalan sering pula diperdengarkan untuk menggantikan
kebogiro atau diperdengarkan sebelum kebogiro. (Wawancara dengan Modin Ibn
Batutah, Ibu Lia, dan M. Khalil )
Simbol-simbol dan hiasan dalam pernikahan Jawa-Islam merupakan kekayaan budaya
yang kaya makna. Menurut praktisi dekorasi M. Khalil, selain memiliki akar pada budaya
jawa, hiasan pada pernikahan juga memiliki landasan agamis. Dengan mengutip kitab al-
Sab’iyyat yang merupakan hamisy kitab al-Majalis al-Saniyyah halaman 111, Khalil
menunjukkan hadith yang menyebutkan bahwa Allah memerintah para malaikat untuk
menghias surga ketika Adam dan Hawa hendak menikah. Hanya saja lanjut Khalil, semua
itu hanyalah “pelengkap” yang tidak perlu ditolak dan juga tidak perlu dipaksakan
keberadaannya. Yang lebih penting imbuhnya adalah sosialisasi “makna-makna” tersebut
agar dapat dipahami lebih baik oleh masyarakat. (Wawancara dengan M. Khalil)
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa aspek simbol-simbol dan hiasan pada
perkawinan memiliki makna yang cukup kaya dan mendalam. Kekayaan budaya ini
hanya akan berupa simbol dan hiasan kosong jika tidak ada upaya untuk
mensosialisasikannya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hanya orang-orang
tertentu saja seperti perias, modin, dan praktisi dekor yang memahami makna-makna
tersebut. Pemahaman yang baik ini pada gilirannya akan memberikan tuntunan yang
cukup bagi kedua mempelai dan masyarakat dalam mengarungi kehidupan keluarga,
disamping mengarahkan dan mengendalikan upaya-upaya modernisasi dan
“penyederhanaan” terhadap kekayaan budaya dalam panggih temanten agar tidak
terkesan “lepas” dan sekenanya.

Penutup
Panggih Temanten dalam perkawinan dengan adat Jawa-Islam memiliki “pakem” tertentu
baik dalam ritual adat, susunan acara resepsi, maupun hiasan dan simbol yang digunakan.
Dalam perkembangan terakhir didapati adanya upaya penyesuaian terhadap kemajuan
zaman dan efisiensi waktu dalam penyelenggaraan. Penyederhanaan ritual adat dilakukan
dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan dalam resepsi dilakukan
dengan penggabungan antara beberapa acara seperti atur mangayu bagya (sambutan
selamat datang) dengan atur panampi menjadi satu acara .
Simbol-simbol dan hiasan perkawinan yang kaya makna juga mengalami hal yang sama.
Penyesuaian terhadap mode dan efisiensi acara turut mempengaruhi penampilannya.
Disamping itu upaya islamisasi turut mempengaruhi pemaknaan dengan sudut pandang
berbeda disamping juga menghadirkan paduan baru dalam bentuk dan corak.
Makna dalam simbol-simbol dan hiasan dalam perkawinan adalah kekayaan budaya yang
memberikan banyak pelajaran hidup. Upaya untuk menggali dan mensosialisasikannya
merupakan hal urgen untuk melestarikan budaya tersebut. Upaya-upaya kontemporer
untuk menyederhakan ritual dan resepsi pernikahan juga akan tidak menjadi lepas
sekaligus begitu saja meninggalkan budaya ini jika makna-makna tersebut dipahami dan
tersosialisasi dengan baik. Wallahu a’lam.

You might also like