Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
KESIMPULAN.........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN MAZHAB...................................3
2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist...........................................................................................3
A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADIST................................................................................3
B. METODE PERIWAYATAN HADIST.......................................................................................4
C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABI...................................................................6
D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS...................................................................8
2.2 Dari segi lapad...............................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................14
KESIMPULAN.......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................15
i
KESIMPULAN
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya
juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada saya
sehingga saya dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini. Saya telah
berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang
Konsep Bimbingan dan konseling.
Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna,
karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu saya mohon
bantuan dari rekan-rekan serta dosen yang bersangkutan.
Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan,
saya mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima
kasih.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan ulama dalam masalah hukum Islam yang tidak bersifat prinsip,
yaitu yang dihasilkan oleh ijtihad, dalam sejarah Islam sering menyebabkan
munculnya peristiwa-peristiwa yang memilukan. Padahal, perbedaan-perbedaan
seperti itu sudah muncul sejak masa Rasulullah saw. sendiri masih hidup, dan hal
itu sama sekali tidak menimbulkan hal-hal yang menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Nabi Muhammad saw. mentolelir terjadinya perbedaan di antara
sahabatnya. Perbedaan-perbedaan yang sudah ada sejak masa sahabat semakin lama
semakin banyak jumlahnya terutama sejak wilayah kekuasaan Islam semakin
meluas. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab
hukum yang berbeda di kalangan kaum muslimin. Namun, sebagaimana para
sahabat, imam-imam mujtahid dan imam-imam mazhab pun tidak fanatik dengan
pendapatnya. Sikap mereka itu, seharusnya menjadi teladan bagi generasi sekarang
ini.
Makalah ini membahas tentang sebab-sebab yang berkenaan dengan
perbedaan pendapat yang dalam istilah fiqih disebut khilafiyah atau ikhtilaf.
Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) Dari segi periwayatan
hadist(2) Dari segi lapazd
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini yang akan di bahas di mulai dari Bab I.
Pendahuluan yang mencangkup, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan
Tujuan Penulisan. Bab II Pembahasan mencangkup tentang sebab-sebab perbedaan
pendapat dilihat dari segi lapazd dan dari segi periwayatan hadist
1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan Latar Belakang di atas, tujuan dari Penulisan makalah ini
adalah.
1. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dilihat dari segi lapazd
2
BAB II
PEMBAHASAN
SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN
MAZHAB
3
disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan
yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa
ada al- Hadis).
4
qira’ah ala syaikh; (iii) al-ijazah; (iv) al-muanwalah; (v) al-mukatabah; (vi)
al-‘i’lam; (vii) alwasiyah; (viii) al-wijadah.
Pertama, sama’.Yaitu seorang guru membacakan hadis untuk muridnya.
Cara ini mencakup bentuk berikut: membaca secara lisan, membaca dari buku-
buku, Tanya jawab, dan dikte. Menurut M.M Al-Azami cara ini tersebar luas pada
masa Sahabat.
Kedua, al-qiraah ala al-syaikh atau biasa disebut dengan qiraah atau ardh
adalah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayat sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakanya dan dia
mendengarkan. Riwayat hadis yang dibacanya itu dapat berasal dari catatanya, atau
dapat juga dari hafalanya. Guru hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknya
melalui hafalanya sendiri atau melalui catatan yang paling teliti yang ada padanya.
Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua
Hijriyah.
Ketiga, Ijazah (Pemberian izin), yaitu memberikan izin kepada seseorang
untuk meriwayatkan sebuah hadis atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang
ahli tertentu yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku
tersebut kepadanya terlebih dahulu. Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu
indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini
tentang keabsahan metode ini.
Keempat, Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid. Praktik ini
sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 –124 H)
memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-Awza’I, dan
Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di
awal masa kelahiran Islam.
Kelima, Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadis menuliskan hadis
yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan.
praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan
diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-
surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadis yabg diriwayatkan oleh
para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadis-hadis dan
5
mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang
menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.
Keenam, I’lam (memberikan informasi tentang hadis), yaitu seorang guru
hadis memberikan informasi kepada seseorang bahwa pemberi informasi telah
memberikan izin kepadanya untuk meriwayatkan sebuah buku tertentu di bawah
bimbingan para ahli. Dan gambaran metode ini sudah dilacak di awal masa periode
Islam.
Ketujuh, washiyah yaitu: mewariskan buku kepada seseorang yang dapat
meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan orang yang memberikan
washiyah tersebut. Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-
buku hadisnya kepada Ayyub al-Syaukani.
Kedelapan, wajadah yaitu: seseorang menemukan buku hadis orang lain
tanpa ada rekomnedasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan
kewenangan seseorang. Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadis,
akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah
buku Sa’ad ibn ubaidah (w.15).
6
gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya. Ibn Shalah
sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab
Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.
7
juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadis oleh perawi yang tidak
mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat
mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-
perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan
periwayatan hadis dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan
periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.
8
pendapat yang mengatakan bahwa Urwah pernah menggunakan sanad adalah
pendapat orang-orang belakangan.
Kedua, teori yang dikemukakan olehHorovits yang tidak sepakat dengan
pendapat Caetani dan Sprengar. Menurutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa
Urwah tidak memakai sanad adalah karena mereka belum mempelajarai kitab-kitab
Urwah berikut sanad-sanadnya. Horovits menunjuk adanya perbedaan dalam sistem
penulisan, antara tulisan yang menjadi jawaban atas suatu pertanyaan, dengan
tulisan yang memang sejak semula disuguhkan kepada orang-orang yang terpelajar.
Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam periwayatan hadits
sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijri.
Ketiga, teori yang dikemukanan oleh Musthafa al-Sibai, yang menyatakan
periwayatan pada era sahabat, dilakukan dengan tidak mempersoalkan otentisitas
dan kredibilitas as-sunnah. Dan keadaan ini berubah dengan adanya fitnah dan
tampilnya seorang Yahudi celaka Abdullah Ibn Saba’ yang melancarkan dakwah
jahat yang dibangun atas dasar paham Syi’ah ekstrem, yang berpandangan baghwa
Ali adalah Tuhan. Semenjak saat itu, para ulama dari kalangan Sahabat dan tabi’in
membangun sifat kehati-hatian dalam penuturan dan penerimaan hadis. Dan kehati-
hatian tersebut diformulasikan dalam system isnad. Ibn Sirin dalam penuturanya
yang dibuat oleh Imam Muslim dalam pendahuluan Kitab Sahihnya menyatakan”
Para sahabat itu tidak pernah bertanya tentang isnad (mata rantai periwayat), setelah
fitnah terjadi mereka berkata; ‘Sebutkan untuk kami tokoh-tokohmu’.Karena
pentingnya isnad hadis sampai al-Zuhri menyatakan bahwa” Isnad adalah bagian
dari keagamaan kalau tidak ada isnad maka siapapun akan dapat berkata tentang
apapun”.
Kempat, teori yang dikemukakan oleh M.Musthafa al-Azami, yang
menyatakan bahwa sebelum Islam datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang
mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak jelas sejauh
mana metode itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam kitab Yahudi, Mishna.
Begitu pula dalam penukilan syair-syair Jahiliah, metode sanad sudah dipakai.
Namun urgensi metode sanad ini baru tampak ketika digunakan dalam periwayatan
hadits.
9
Ketika nabi masih hidup para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadits
kepada kepada sahabat lain yang kebetulan tidak hadir dalam majelis pengajian
nabi. Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka dengar dari nabi, atau hal-hal
yang mereka lihat nabi mengerjakan sesuatau, mereka selalau menisbahkannya
kepada nabi. Bahkan nabi sendiri terkadang menyebutkan bahwa sumber
sabdanyaitu adalah Jibril as. Dan, para sahabat juga menuturkan sumber-sumber
berita yang diterimanya, baik dari nabi maupun dari sahabat yang lain. Apabila
yang meriwayatkan hadits itu tidak melihat sendiri kejadiannyadan tidak
mendengarnya langsung dari nabi maka dengan sendirinya ia akan menyebutkan
sumber hadits di mana ia menerima. Inilah yang disebut pemakaian sanad. Dan,
metede yang digunakan oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits itulah yang
kemudian melahirkan isnad atau metode pemakaian sanad. Tentu saja pada masa
nabi sistem isnad masih sangat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama
hijri, ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkembang.
Dari penjelasan dan pemaparan keempat teori tersebut nampak bahwa
argumen yang dikemukankan oleh M. Musthafa al-Azami lebih bisa diterima.
Karena orang-orang arab sebelum islam sudah terbiasa dengan periwayatan syair,
silisilah dan sebagainya yang hal itu tidak berkonotasi relegiousitas. Dengan
demikian periwayatan hadis yang merupakan symbol keagamaan penting islam,
lebih dimungkinkan untuk menjaganya dengan memakai system isnad.
10
pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub
mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri
"menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan
pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:
Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya
saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan
sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini,
sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala
perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya.
Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya
masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi).
Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada
ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'"
sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau
Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih
kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru"
yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
11
berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari
jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad,
dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum
('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya.
Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya,
bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu
memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi
al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah
khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah
ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena
kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis
harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk
mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"
itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke
dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu
ayat sbb:lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, ataulafaz umum tetapi
maksudnya untuk khusus; danlafaz khusus dan memang maksudnya khusus;
ataulafaz khusus tetapi maksudnya umum.Begitu juga perbedaan soal mujmal-
mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang
mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini
malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-
buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz
berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:al-aslu fil
amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)al-aslu fil amri
li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)al-aslu fil amri
lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz
"kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah,
tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn
12
nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk
perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab
Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
13
BAB III
KESIMPULAN
2. Periwayatan hadis nabi sudah dimulai semenjak awal permulaan Islam. Dan
periwayatan hadis pada masa nabi berjalan secara alamaiyah, seiring dengan
perkembangan wilayah Islam yang luas dan untuk menghindari berbagai
pemalsuan maka kemudian menuntut adanya suatu metode yang disebut
dengan al-tahamul wa ada’ al-hadis. Dan ternyata metode ini telah digunkan
secara luas pada abad pertama Hijrah.
14
DAFTAR PUSTAKA
15