You are on page 1of 17

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
KESIMPULAN.........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN MAZHAB...................................3
2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist...........................................................................................3
A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADIST................................................................................3
B. METODE PERIWAYATAN HADIST.......................................................................................4
C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABI...................................................................6
D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS...................................................................8
2.2 Dari segi lapad...............................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................14
KESIMPULAN.......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................15

i
KESIMPULAN

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya
juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada saya
sehingga saya dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini. Saya telah
berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang
Konsep Bimbingan dan konseling.
            Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna,
karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu saya mohon
bantuan dari rekan-rekan serta dosen yang bersangkutan.
            Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan,
saya mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima
kasih.

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan ulama dalam masalah hukum Islam yang tidak bersifat prinsip,
yaitu yang dihasilkan oleh ijtihad, dalam sejarah Islam sering menyebabkan
munculnya peristiwa-peristiwa yang memilukan. Padahal, perbedaan-perbedaan
seperti itu sudah muncul sejak masa Rasulullah saw. sendiri masih hidup, dan hal
itu sama sekali tidak menimbulkan hal-hal yang menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Nabi Muhammad saw. mentolelir terjadinya perbedaan di antara
sahabatnya. Perbedaan-perbedaan yang sudah ada sejak masa sahabat semakin lama
semakin banyak jumlahnya terutama sejak wilayah kekuasaan Islam semakin
meluas. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab
hukum yang berbeda di kalangan kaum muslimin. Namun, sebagaimana para
sahabat, imam-imam mujtahid dan imam-imam mazhab pun tidak fanatik dengan
pendapatnya. Sikap mereka itu, seharusnya menjadi teladan bagi generasi sekarang
ini.
Makalah ini membahas tentang sebab-sebab yang berkenaan dengan
perbedaan pendapat yang dalam istilah fiqih disebut khilafiyah atau ikhtilaf.
Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) Dari segi periwayatan
hadist(2) Dari segi lapazd

B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini yang akan di bahas di mulai dari Bab I.
Pendahuluan yang mencangkup, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan
Tujuan Penulisan. Bab II Pembahasan mencangkup tentang sebab-sebab perbedaan
pendapat dilihat dari segi lapazd dan dari segi periwayatan hadist

1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan Latar Belakang di atas, tujuan dari Penulisan makalah ini
adalah.
1. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dilihat dari segi lapazd

2. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dilihat dari segi periwayatan


hadist

2
BAB II

PEMBAHASAN
SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN
MAZHAB

2.1 Dari Segi Periwayatan Hadist


A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADIST
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang
dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-rwayah
adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).
Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan
riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud
dengan al-riwayah adalah:
“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu
kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang
telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis
itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada
dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1) orang yang melakukan periwayatan hadis
yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-
marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang

3
disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan
yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa
ada al- Hadis).

B. METODE PERIWAYATAN HADIST


Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah pada tahun 610 M
yaitu dengan menerima wahyu al-Qur’an, menjadi kewajiban Muhammad untuk
menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada umatnya. Pada saat itulah
tahapan dakwah dimulai karena adanya perintah tabligh dan dengan begitu dimulai
pula fase pertama terjadinya hadis. Permulaan terjadinya hadis adalah seiring
bersamaan dengan awal turunya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia
hadis adalah seusia al-Qur’an sendiri.
Penyampaian hadis oleh nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan
alamiyah, sesuai dengan tugasnya dengan audiens sahabat sebagai penerimanya,
tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakan kata-kata (alat)
penyampai yang sekarang disebut at-Tahamul wa al-ada’ yang rumit, kecuali bahwa
sahabat mendengar dan melihat ucapan dan praktik Nabi baik secara langsung
maupun tidak.
Karena berbagai factor dan seiring dengan semakin menyebarnya sahabat,
kesempatan mereka untuk menimba ilmu dan mengikuti Nabi antar mereka tidak
sama. Hal ini menjadikan pengetahuan mereka mengenai hadis nabi tidak sama.
Diantara merak ada banyak menerima dan meriwayatkan hadis dan adapula yang
sedikit. Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong
mereka untuk eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir
dalam majelisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir.
Dari dorongan nabi tersebut lahir emberio salah satu cabang ilmu hadis yaitu ilmu
riwayah.
Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang
lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar
mengajarhadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode
periwayatan hadis kepada delapan macam: (i) al-sama’ min lafzh al-syaikh; (ii) al-

4
qira’ah ala syaikh; (iii) al-ijazah; (iv) al-muanwalah; (v) al-mukatabah; (vi)
al-‘i’lam; (vii) alwasiyah; (viii) al-wijadah.
Pertama, sama’.Yaitu seorang guru membacakan hadis untuk muridnya.
Cara ini mencakup bentuk berikut: membaca secara lisan, membaca dari buku-
buku, Tanya jawab, dan dikte. Menurut M.M Al-Azami cara ini tersebar luas pada
masa Sahabat.
Kedua, al-qiraah ala al-syaikh atau biasa disebut dengan qiraah atau ardh
adalah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayat sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakanya dan dia
mendengarkan. Riwayat hadis yang dibacanya itu dapat berasal dari catatanya, atau
dapat juga dari hafalanya. Guru hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimaknya
melalui hafalanya sendiri atau melalui catatan yang paling teliti yang ada padanya.
Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua
Hijriyah.
Ketiga, Ijazah (Pemberian izin), yaitu memberikan izin kepada seseorang
untuk meriwayatkan sebuah hadis atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang
ahli tertentu yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku
tersebut kepadanya terlebih dahulu. Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu
indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini
tentang keabsahan metode ini.
Keempat, Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid. Praktik ini
sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 –124 H)
memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-Awza’I, dan
Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di
awal masa kelahiran Islam.
Kelima, Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadis menuliskan hadis
yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan.
praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan
diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-
surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadis yabg diriwayatkan oleh
para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadis-hadis dan

5
mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang
menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.
Keenam, I’lam (memberikan informasi tentang hadis), yaitu seorang guru
hadis memberikan informasi kepada seseorang bahwa pemberi informasi telah
memberikan izin kepadanya untuk meriwayatkan sebuah buku tertentu di bawah
bimbingan para ahli. Dan gambaran metode ini sudah dilacak di awal masa periode
Islam.
Ketujuh, washiyah yaitu: mewariskan buku kepada seseorang yang dapat
meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan orang yang memberikan
washiyah tersebut. Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-
buku hadisnya kepada Ayyub al-Syaukani.
Kedelapan, wajadah yaitu: seseorang menemukan buku hadis orang lain
tanpa ada rekomnedasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan
kewenangan seseorang. Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadis,
akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah
buku Sa’ad ibn ubaidah (w.15).

C. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADIS NABI


Dalam studi periwayatan hadis, persolan bentuk periwayatan juga menjadi
isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi
terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu
hadis harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup
dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.
1. Periwayatan Hadis dengan Lafadz.
Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis
dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran
kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata.
Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak
periwayatan hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy
dan Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali
dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari

6
gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya. Ibn Shalah
sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab
Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.

2. Periwayatan Hadis dengan Makna.


Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadis dengan
lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan,
perbuatan dan takrir ataupun sifat nabi. Dan periwayatan hadis bil al-makna yang
diperselisihkan para ulama adalah hadis qauly atau perkataan Rosulullah yang
diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana
dilafalkan oleh Nabi saw.
Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadis bi al-Makna memberikan
persyaratan khusus, yaitu : Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa
kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung
makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat
membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama
dalalahnya.Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang
dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadis itu bukan
lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan
bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-Kalim) dan Keempat,
memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang
tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.
Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn
Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’
‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadis-hadis Rasulullah
baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi wafat. Ia mengakui
bahwa bahwa periwayatan hadis dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya
disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli
sesuai dengan ucapan Nabi.
Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara
lafadz hadis dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama

7
juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadis oleh perawi yang tidak
mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat
mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-
perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan
periwayatan hadis dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan
periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.

D. SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN HADIS


Menurut bahasa sanad adalah thariqah (jalan) atau sandaran. Sedangkan
menurut istilah sanad berarti jalan yang menyampaikan kepada matan hadits. Atau
dengan ungkapan lain sanad hadits sama dengan susunan mata rantai periwayatan
hadits.
Masalah sanad/ Isnad hadis menjadi perdebatan dan persolan polemis. Dan
perdebatab tersebut berputar pada sekitar kapan pemakaian isnad/ sanad dalam
hadis. Pedebatan tersebut menjadi isu yang sangat controversial. Bagi kalangan
yang skeptis berpandanagn bahwa pemakaian isnad dalam hadis jauh belekangan
dan merupakan buatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan
demikian mereka menolak keberadaan hadis Nabi sebagai kenyataan sejarah. Dalam
konteks ini ada beberapa teori yang menyatakan asal-mula sanad hadis
Pertama, Teori skeptis yang dikemukakan oleh orientalis, seperti: Joseph
Scacth, Juinboll, Caetani, Sprenger dan lai-lain. Menurut Caetani, orang pertama
yang menghimpun hadits nabi adalah Urwah (w. 94 H), meskipun ia belum
menggunakan metode sanad, dan juga tidak menyebutkan sumber-sumbernya. Hal
ini terlihat jelas dalam kitab Tarikh ath-Thabari yang banyak mengambil sumber
dari Urwah. Selanjutnya, Caetani juga mengatakan bahwa pada masa Abdul Malik
(sekitar 70-80 H), yakni enam puluh tahun lebih setelah mwninggalnya nabi,
penggunaan sanad adalam periwayatan hadits juga belum dikenal. Dari sini Caetani
berkesimpulan bahwa pemakaian sanad baru dimulai pada antara Urwah dan Ibn
Ishaq (w. 151 H). Oleh karena itu, sebagaian sanad-sanad yang terdapat dalam
kitab-kitab hadits adalah bikinan ahli-ahli hadits abad ke dua, bahkan abad ketiga.
Sprenger juga berpendapat sama, di mana ia berkata bahwa tulisan-tulisan Urwah
yang dikirimkan kepada Abdul Malik tidak menggunakan sanad. Oleh karena itu,

8
pendapat yang mengatakan bahwa Urwah pernah menggunakan sanad adalah
pendapat orang-orang belakangan.
Kedua, teori yang dikemukakan olehHorovits yang tidak sepakat dengan
pendapat Caetani dan Sprengar. Menurutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa
Urwah tidak memakai sanad adalah karena mereka belum mempelajarai kitab-kitab
Urwah berikut sanad-sanadnya. Horovits menunjuk adanya perbedaan dalam sistem
penulisan, antara tulisan yang menjadi jawaban atas suatu pertanyaan, dengan
tulisan yang memang sejak semula disuguhkan kepada orang-orang yang terpelajar.
Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam periwayatan hadits
sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijri.
Ketiga, teori yang dikemukanan oleh Musthafa al-Sibai, yang menyatakan
periwayatan pada era sahabat, dilakukan dengan tidak mempersoalkan otentisitas
dan kredibilitas as-sunnah. Dan keadaan ini berubah dengan adanya fitnah dan
tampilnya seorang Yahudi celaka Abdullah Ibn Saba’ yang melancarkan dakwah
jahat yang dibangun atas dasar paham Syi’ah ekstrem, yang berpandangan baghwa
Ali adalah Tuhan. Semenjak saat itu, para ulama dari kalangan Sahabat dan tabi’in
membangun sifat kehati-hatian dalam penuturan dan penerimaan hadis. Dan kehati-
hatian tersebut diformulasikan dalam system isnad. Ibn Sirin dalam penuturanya
yang dibuat oleh Imam Muslim dalam pendahuluan Kitab Sahihnya menyatakan”
Para sahabat itu tidak pernah bertanya tentang isnad (mata rantai periwayat), setelah
fitnah terjadi mereka berkata; ‘Sebutkan untuk kami tokoh-tokohmu’.Karena
pentingnya isnad hadis sampai al-Zuhri menyatakan bahwa” Isnad adalah bagian
dari keagamaan kalau tidak ada isnad maka siapapun akan dapat berkata tentang
apapun”.
Kempat, teori yang dikemukakan oleh M.Musthafa al-Azami, yang
menyatakan bahwa sebelum Islam datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang
mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak jelas sejauh
mana metode itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam kitab Yahudi, Mishna.
Begitu pula dalam penukilan syair-syair Jahiliah, metode sanad sudah dipakai.
Namun urgensi metode sanad ini baru tampak ketika digunakan dalam periwayatan
hadits.

9
Ketika nabi masih hidup para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadits
kepada kepada sahabat lain yang kebetulan tidak hadir dalam majelis pengajian
nabi. Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka dengar dari nabi, atau hal-hal
yang mereka lihat nabi mengerjakan sesuatau, mereka selalau menisbahkannya
kepada nabi. Bahkan nabi sendiri terkadang menyebutkan bahwa sumber
sabdanyaitu adalah Jibril as. Dan, para sahabat juga menuturkan sumber-sumber
berita yang diterimanya, baik dari nabi maupun dari sahabat yang lain. Apabila
yang meriwayatkan hadits itu tidak melihat sendiri kejadiannyadan tidak
mendengarnya langsung dari nabi maka dengan sendirinya ia akan menyebutkan
sumber hadits di mana ia menerima. Inilah yang disebut pemakaian sanad. Dan,
metede yang digunakan oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits itulah yang
kemudian melahirkan isnad atau metode pemakaian sanad. Tentu saja pada masa
nabi sistem isnad masih sangat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama
hijri, ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkembang.
Dari penjelasan dan pemaparan keempat teori tersebut nampak bahwa
argumen yang dikemukankan oleh M. Musthafa al-Azami lebih bisa diterima.
Karena orang-orang arab sebelum islam sudah terbiasa dengan periwayatan syair,
silisilah dan sebagainya yang hal itu tidak berkonotasi relegiousitas. Dengan
demikian periwayatan hadis yang merupakan symbol keagamaan penting islam,
lebih dimungkinkan untuk menjaganya dengan memakai system isnad.

2.2 Dari segi lapad


Adap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat
ulama, antara lain, sebagai berikut:Bingung dan kecewa dengan para ulama.
Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan
Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan
ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi
perbedaan pendapat itu.Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama
berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".Dalam merespon
sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan
pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan

10
pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub
mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri
"menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan
pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:
Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya
saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan
sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini,
sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala
perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya.
Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya
masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi).
Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada
ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'"
sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau
Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih
kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru"
yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf


"fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi
tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227
mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib
dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA"
dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan).
Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan
sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum
empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua

11
berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari
jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad,
dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum
('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya.
Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya,
bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu
memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi
al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah
khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah
ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena
kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis
harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk
mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"
itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke
dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu
ayat sbb:lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, ataulafaz umum tetapi
maksudnya untuk khusus; danlafaz khusus dan memang maksudnya khusus;
ataulafaz khusus tetapi maksudnya umum.Begitu juga perbedaan soal mujmal-
mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang
mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini
malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-
buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz
berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:al-aslu fil
amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)al-aslu fil amri
li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)al-aslu fil amri
lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz
"kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah,
tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn

12
nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk
perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab
Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).

13
BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Bahwa perjalanan hadis hingga era kodifikasi dalam korpus resmi telah
melewati beberapa fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari
rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi
tersebut, sampai masa pembukuanya secara resmi pada zaman Umar bin
Abdul aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata dan fatwa
sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi hadis menjadi
menggelembung, tetapi setelah diseleksi menjadi sedikit lagi.

2. Periwayatan hadis nabi sudah dimulai semenjak awal permulaan Islam. Dan
periwayatan hadis pada masa nabi berjalan secara alamaiyah, seiring dengan
perkembangan wilayah Islam yang luas dan untuk menghindari berbagai
pemalsuan maka kemudian menuntut adanya suatu metode yang disebut
dengan al-tahamul wa ada’ al-hadis. Dan ternyata metode ini telah digunkan
secara luas pada abad pertama Hijrah.

3. Untuk menjaga otentisitas hadis Nabi juga telah mencuatkan tentang


fenomena bentuk periwayatan hadis dengan lafazd atau makna. Demikian
juga untuk mejaga otentisitas dan kredibilitas hadis Nabi dalam
persambungan periwayatan antara satu generasi dengan generasi
sesudahnya, pada masa awal Islam telah lahir teori system Isnad. Sehingga
hadis Nabi yang diriwayatkan bisa dipertanggungjawabkan secara baik dan
benar.

14
DAFTAR PUSTAKA

Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, Ttp: Maktabah Libnan, tt

Fathurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.


Hamim Ilyas & Suryadi (Ed.), Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002
Al Hafidz Ibn Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-
Fikr, tt.
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh taqrib an-
NawawiBeirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1399 H/ 1979 M.
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1973

Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan


Bintang, 1988.
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah,
Bogor: Lentera Antar Nusa, 1992.
Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaditsun, Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1984.
M.M. Azami, Hadits Nabawi dan sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
M. Musthafa al-Azami, Metode Kritik Hadis, alih bahasa A. Yamin, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992.
Musthafa al-Sibai, Sunnah dan Peranya Dalam penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan kaum Sunni, Penerjemah dan Pengantar edisi Indonesia Oleh Nurcholish
Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
Muhammad al-Sabbagh, al-Hadits al-Nabawiy, Riyadh: Mansyurat al-Kutub al-
Islamiy, 1972.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdits, Tahqiq: Bahjah Baithar,
Kairo Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1961.

15

You might also like