Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Qawa’id fiqhiyyah sebagai landasan umum dalam perilaku sosial memberikan
panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Tulisan
ini melaporkan hasil penelitian terhadap qawa’id dan implikasinya dalam pemikiran
dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan
untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan
fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan
qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat
manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk
ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun
qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa,
sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.
Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para
ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada
sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari
keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan
rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis
panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu
dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada
ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk
melakukan ijtihad dengan berbagai caara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui
ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihul-mursalah) dan sebagainya untuk
mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah
SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya
para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah
menjadi sesuatu yang amat penting.
2
Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para fuqaha
dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981) memandang qa’idah sebagai
sebuah perangkat yang cukup penting sebagai panduan untuk menurunkan kaidah
yang memerlukan pembuktian. Para fuqaha terdahulu menyusun qawa’id dalam
suatu panduan yang disebut al-Asybah wan-Nazhaair. Istilah ini dipakai pertama kali
oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika menunjuk Abu Musa al-‘Asycari menjadi
Qadhi di Bashra, dengan menyatakan “Fahami tentang penampakan dan kemiripan
suatu masalah (al-Asybah wan-Nazhaair), kemudian tetapkan qiyas untuk masalah
yang serupa.” Para fuqaha sepakat bahwa proses pemahaman dan penurunan
qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para usuliyyun dalam
menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah berdasarkan metode
qiyas.
1.3. METODOLOGI
1.3.1. Sumber Pustaka
Penelitian ini berbentuk studi literatur yang berkaitan dengan topik utama yaitu
qawa’id fiqhiyyah. Sumber-sumber pustaka didapatkan dari sumber-sumber berikut:
a) Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY);
b) Koleksi buku-buku pribadi penulis tentang ekonomi Islam;
c) Perpustakaan International Islamic University Malaysia (IIUM); dan
3
d) Sumber-sumber lain yang dirasa perlu.
4
BAB 2
STUDI TENTANG QAWA’ID FIQHIYYAH
Dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) kata qa’idah (
)قاعدة atau jama’nya qawa’id ( )قواعدsecara literal berarti: asas, landasan, dasar,
basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam
pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan,
formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki makna yang sama dengan ‘asas’ atau
‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya (al-Nadwi,
1991).
Dari sisi pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al-Jurjani (Djazuli,
2006) mendifinisikan qai’dah sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang
dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya
(juz’iyyah). Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan
umum yang mencakup sebagian besar (aghlabiyyah) dari bagian-bagiannya
(Nadwi). Mukhtar dkk (1995b) menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang
diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
5
Qa’idah
Al-Qur’an Ushul Fiqh
Fiqh Fiqhiyyah
Al-Hadits
Qa’idah
Fiqhiyyah Fiqh Qanun
Gambar 1: Proses penyusunan Qawa’id Fiqhiyyah
Proses penerapan aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmassani (1980) sama
dengan penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam usul
fiqh. Apabila aturan rinci sebagaimana dijumpai pada al-Asybah wan-Nazhair
muncul dari kasus yang serupa, maka qa’idah dengan sendirinya dapat diterapkan.
Nadwi (1991) dan Mahmassani berpendapat bahwa tulisan tentang qawa’id
fiqhiyyah tersusun sejak mulai abad ke delapan Hijriyah, melalui karya Ibnul Wakil
as-Syafi’i (716 H), Tajuddin as-Subki (771 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), dan yang lebih
monumental lagi karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H). Satu karya yang juga tak kalah
pentingnya adalah berasal dari madzhab Hanafi yaitu karya Ibnu Nujaim (970 H).
Dalam ketiga kitab al-Asybah wan-Nazhair karya Tajuddin as-Subki, Jalaluddin as-
Suyuti maupun Ibnu Nujaim (970 H), pembedaan antara qa’idah umum atau asas
dengan qa’idah khusus atau rinci (detail) dijelaskan secara memadai. As-Subki dan
as-Suyuti merumuskan Lima qa’idah asasiyyah yang dikenal dengan al-Asasiyyatul-
Khamsah, yang kemudian disusun dalam al-Majallah yang dikeluaran pada jaman
pemerintahan Turki Usmani, yaitu:
6
2) Artikel -4 Al-yaqiin laa yuzaalu bisy-syakk (بالشك )اليقين ل يزال yaitu
sesuatu yang pasti tidak dapat dihapus oleh keraguan. Dalam hal
3) Artikel -17Al-musyaqqah tajlibut taysiir (التيسير )المشقة تجلب atau kesulitan itu
mendatangkan kemudahan;
5) Artikel -36 Al-‘aadah muhakkamah (محكمة )العادة atau adat kebiasaan dapat
menjadi sumber hukum.
Sementara itu Ibnu Nujaim menambah satu lagi qa’idah asas sehingga menjadi
enam, yaitu laa tsawaaba illaa bin-niyyah
ل ثواب ال بالنية
atau tidak ada pahala bagi perbuatan yang tidak disertai dengan niat, yang
kemudian menjadi qa’idah asas yang berlaku di kalangan madzhab Hanafi.
Sementara itu di kalangan madzhab Maliki, qa’idah ini menjadi cabang dari qa’idah
al-umuur bimaqaasidihaa.
7
Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada
transaksi ekonomi dan muamalah.
Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-
mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
8
BAB 3
Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawa’id yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau
qawa’id asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-
Nasafi yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-
Asybaah wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan
madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam) qawa’id dasar (qawa’id al-
asasiyyah)—5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-
c
Adliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36—ditambah dengan 19 (sembilan belas)
9
qawa’id cabang atau al-furu’iyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan
luas dari berbagai kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan
atau komentar para fuqaha terkemudian, empat diantaranya adalah:
a) Tanwiir al-Bashaa’ir calal-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1005 H) oleh cAbdul-
Qadir Sharif uddin al-Ghazzi;
b) Ghamzu cUyuun al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1098 H)
oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c) c
Umdatu dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
(1099H.) karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri
al-Makkati.
d) cUmdatu an-Naadzir cala al-Asybaah wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-
Husaini.
Karya terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf, diulas dengan sajian ringkas oleh setidaknya
c
Abul-Hasan Ali ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi dalam al-Manhaj al-
Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli
al-Fasi al-Maghribi
10
al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang qawa’id dasar
(asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas.
Qawa’id ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di wilayah
negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di
kalangan madzhab Syafii, kelima qawa’id ini dianggap sebagai qawa’id yang utama.
Kitab 2 al-Asybaah wan-Nazhaa’ir berisi tentang qawa’id umum (‘amm) sebanyak
40 qawa’id, sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam kategori diperselisihkan
kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 – 7.
11
b) Al-‘Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan
kuliah-kuliah dari al-Isnawi
Secara ringkas, karya tentang qawa’id fiqhiyyah dan para penulis yang memberikan
kontribusinya dapat dipaparkan dalam Table 1 berikut ini:
Table 1
Qawa’id dalam Karya Empat Madzhab Fiqh
Periode
Jumah
Nama/Sebutan Kitab Penulis (Hijriyah
Qawaid
)
1) Hanafi
Usuul al-Karkhi al-Karkhi 260-340 36 (asl)
Ta’siis an-Nadzr Abi Zaid al- 430 86
Dabusi
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir Ibn Nujaim 6 Asas
19 Furu’
c
Majaami al-Haqaa’iq al-Khadimi 1176 154
Majallah al-Ahkaam al- Daulah al- 1286 99
c c
Adliyyah Usmaniyyah
Al-Faraa’id al-Bahiyyah fil- Ibn Hamzah al- 1305 30
12
Qawaacid al-Fawaa’id al- Husaini
Fiqhiyyah
2) Maliki
Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar Syihabuddin al- 260-340 548
wal-Anwaa’; or Kitab al- Qarafi
Anwaar wal-Qawaacid as-
Sunniyyah
Al-Qawaacid al-Muqarri 758 100
4) Hanbali
al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah ibn Taymiyyah 661-728 -
al-Fiqhiyyah
al-Qawaacid al-Fiqhiyyah Syarifudin al- 771
13
Maqdisi
Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir Ibn Rajab al- 795 160
al-Fawaa’id (al-Qawaacid) Hanbali
al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al- ibn cAbd al- 1309-
Dhawaabit al-Fiqhiyyah Hadi 1359
(Qawaacid) Majallah al- Ahmad 1309- 160
Ahkaam al-Shar ciyyah calaa c
Abdullah al- 1359
Madzhab al-Imaam Ahmad Qari
ibn Hanbal
BAB 4
APLIKASI QAWA’ID DALAM PEMIKIRAN EKONOMI
4.1. PENDAHULUAN
Analisa dalam baba ini lebih terfokus pada pembahasan qawa’id yang terkait
dengan persoalan ekonomi. Oleh sebab beberapa kendala, termasuk waktu dan
pendanaan, penelitian dibatasi pada qawa’id yang terdapat dalam al-Majallah al-
Ahkaam al-cAdliyyah terbitan Daulah Turki Usmani yang disusun sekitar tahun 1286
H. Cakupan qawa’id dalam al-Majallah ini dirasa cukup lengkap dan
merepresentasikan hampir semua qawa’id yang pernah ditulis oleh para
fuqaha/ulama dari keempat madzhab, sekalipun tidak dapat dipungkiri, bahwa al-
Majallah merupakan karya kumpulan qawa’id yang dihasilkan oleh para ulama
14
madzhab Hanafi. Sebagaai konsekwensinya, banyak qawa’id yang tidak dapat
diakomodasi dalam penelitian ini, baik dari kalangan madzhab Hanafi sendiri
maupun yang lainnya.
Apabila diperbandingkan dengan tulisan Jazuli (2006), maka hasil penelitian ini
memberi gambaran bahwa jumlah qawa’id yang terkait dengan masalah ekonom
ijauh lebih banyak, dari pada jumlah yang terkait dengan transaksi muamalah
sebagaimana ditulis karya Jazuli. Akan tetapi perlu dicatat pula bahwa dari 20
qawa’id yang ditulisnya, hanya ada 8 (delapan) qawa’id yang sama, sedangkan
selebihnya didapatkan dari karya-karya ulama lainnya. Kedelapan qawa’id tersebut
dipaparan dalam Tabel 2 berikut:
Table 2
Qawa’id sebagai dalam Pemikiran Ekonomi/Muamalat dalam
al-Majallah dan dalam kKarya Jazuli (2006)
Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa إذا بطل الشيء بطل ما فى
1 yang ada didalammnya
ضمنه
2 Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ ل يتم التبرع إل بقبض
15
(pemberian) kecuali setelah diserahkan,
(sebelum diminta sudah diberi)
Hak mendapat hasil itu sebagai ganti الخراج بالضمان
3
kerugian (yang ditanggung)
Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak الجر والضمان ل يجتمعان
4
datang secara bersamaan
5 Risiko itu sejalan dengan keuntungan الغرم بالغنم
Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat الجواز الشرعي ينافي الضمان
6
dijadikan beban/tanggungan
Perintah menasarufkan (memanfaatkan) المر بالتصرف فى ملك الغير
7 barang orang lain (tanpa ijin pemiliknya)
adalah batal
باطل
Tidak boleh bagi seorang pun merubah ل يجوز لحد أن يتصرف فى
8 /mengganti milik orang lain tampa izin
ملك الغير بل إذنه
pemiliknya.
Ini memberitahukan kepada kita betapa jumlah qawa’id yang disusun para
ulama/fuqaha terdahulu jumlahnya cukup banyak dan susah ditentukan secara
pasti. Pada sisi lain, ia juga memberi gambaran betapa keseriusan mereka benar-
benar luar biasa, sehingga generasi terkemudian dapat memanfaatkannya dengan
lebih mudah.
16
BAB 5
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial
memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan
sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkuit beberapa aspek kehidupan
seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainya
sampai pada masalah pernikahan
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan
untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan
fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan
qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat
manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk
ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun
qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa,
sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.
Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para
ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada
sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari
keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan
rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.
17
ekonomi. Untuk itulah penelitina secara lebih detail untuk setiap aspek perlu
dilakukan secara terpisah.
DAFTAR PUSTAKA
18
Alwani, Taha Jabir al-. Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Usul al-Fiqh al-
Islami, Revised English Ed. By Yusuf Talal DeLorenzo and Anas S. Al-Shaikh-Ali.
Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1415/1994.
Muchtar, Kamal, dkk (1995). Ushul Fikh (Jilid 1), Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti
Wakaf.
Shiddieqy, T.M. Hasbi, ash-, 1981, Pengantar Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta.
LAMPIRAN
QAWA’ID FIQHIYYAH DALAM
19
AL-MAJALLAH AL-AHKAAM AL-CADLIYYAH
2
Setiap perkara (perbuatan) itu tergantung المور بمقاصدها
pada tujuannya.
Patokan dalam akad (Ibrah) diambil dari العبرة فى العقود للمقاصد
3 maksud/tujuan dan maknanya bukan dari
ungkapan dan bentuknya
والمعاني ل لللفاظ والمباني
Sesuatu yang sudah diyakini tidak dapat اليقين ل يزال بالشك
4 dihapus oleh keragu-raguan
()اليقين ل يزول بالشك
Yang menjadi patokan adalah tetapnya الصل بقاء ما كان على ما كان
5
sesuatu menurut keadaan semula
Sesuatu yang lama akan ditinggalkan القديم يترك على قدمه
6
sebagaimana asalnya
7 Kemadharatan tidak akan terjadi sejak awal الضرر ل يكون قديما
Bebas dari tanggungan adalah prinsip yang الصل براءة الذمة
8
mendasar.
Asal dari sifat-sifat yang nyata (terlihat) الصل فى الصفات العارضة
9 adalah ketiadaan
العدم
Sesuatu yang tetap pada zamannya akan وما ثبت بزمان محكم ببقائه مالم
10 dinilai kekal kecuali terdapat dalil yang
يوجد دليل على خلفه
membuktikan penolakannya.
20
Asal suatu perubahan pristiwa baru الصل إضافة الحادث إلى
dianggap sebagai peristiwa yang
11
berlangsung dalam waktu terdekat (dari
أقرب أوقاته
sekarang)
Asal dalam perkataan itu adalah hakikat. الصل فى الكلم الحقيقة
(Artinya jika ada perkataan yang bisa
12
diartikan secara hakiki dan majasi, maka
perkataan mesti diartikan secara hakiki)
Tidak perlu ambil perhatian terhadap dalil ل عبرة للدللة في مقابلة
13 apabila ada pernyataan yang jelas
التصريخ
Tidak ada tempat untuk berijtihad jika ada لمساغ للجتهاد فى مورد
14 nasth yang menerangkannya (al-Qur’an dan
النص
al-Hadits)
Sesuatu yang tetap atas penolakan ما ثبت على خلف القياس
15 terhadap qiyas maka tidak (boleh dipakai)
untuk menetapkan qiyas yang lain.
فغيره ل يقاس عليه
Sebuah ijtihad tidak dapat membatalkan الجتهاد ل ينقض بمثله
16
yang semisalnya (ijtihad yang lain)
17 Kesulitan itu akan menarik kemudahan المشقة تجلب التيسير
Perkara yang berlaku dalam kesempitan, المر إذا ضاق إتسع
18 harus diberikan kelonggaran atasnya
()إذا ضاق المر إتسع
Madharat tidak bisa diselesaikan dengan ل ضرر ول ضرار
19
kemadharatan juga
20 Kemadharatan itu harus dihilangkan. الضرر يزال
Keadaan darurat membolehkan sesuatu الضرورات تبيح المحظورات
21
yang dilarang
Sesuatu yang dibolehkan karena darurat itu الضرورات تقدر بقدرها
22 mesti disesuaikan dengan kadar
kedaruratannya.
Sesuatu yang dibolehkan karena uzur, ما جاز لعذر بطل بزواله
23 maka batallah sebab hilangnya uzur
tersebut
Apa bila hilang penyebab yang melarang إذا زال المانع عاد الممنوع
24 sesuatu maka yang dilarang itu boleh
dilakukan
Kemadharatan tidak boleh dihilangkan الضرر ل يزال بمثله
25
dengan kemadharatan yang semisal
Menanggung suatu Kemadharatan khusus يحتمل الضرر الخاص لمنع
26 untuk menolak Kemadharatan umum.
الضرر العام
Kemadharatan yang lebih besar/ berat الضرر الشد يزال بالضرر
27 dihilangkan dengan Kemadharatan yang
lebih ringan
الخف
28 Apabila dua kerusakan bertabrakan maka إذا تعارض مفسدتان روعي
21
dilihat/dipilih yang lebih ringan أعظمهما ضررا بارتكاب
أخفهما
29 Memilih yang lebih kecil dari dua keburukan يختار أهون الشرين
Menolak suatu kerusakan didahulukan dari درء المفاسد أولى من جلب
30 pada menarik kemaslahatan.
المنافع
Kemadharatan itu sedapat mungkin harus الضرر يدفع بقدر المكان
31
ditangkis
Kebutuhan bisa menjadi sesuatu الحاجة تنزل منزلة الضرورة
32
kepentingan
Sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa إن الضطرار ل يبطل حق
33 ditawar-tawar lagi tidak membatalkan hak
bagi yang lain
الغير
Sesuatu yang diharamkan mengambilnya ما حرم أخذه حرم اعطاؤه
34
maka diharamkan juga memberikannya
Sesuatu yang haram mengerjakannya maka ما حرم فعله حرم طلبه
35
haram juga meminta mengerjakannya
36 Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum العادة محكمة
Jika manusia sudah sepakat dengan sesuatu استعمال الناس حجة يجب
37 (kesepakatan umum) maka wajib dikerjakan
العمل بها
Larangan adat adalah menjadi larangan الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
38
sebenarnya (secara hakikat)
Tidak dipungkri perubahan hukum dengan ل ينكر تغير الحكام بتغير
39 adanya perubahan zaman
الزمان
Suatu kenyataan akan ditinggalkan الحقيقة تترك بدللة العادة
40
berdasarkan adat
Hanya akan dianggap sebagai suatu adat إنما تعتبر العادة إذا اضطردت
41 jika apa bila menjadi suatu mayoritas dalam
أو غلبت
masyarakat
Perhatian lebih diberikan pada kejadian العبرة للغالب الشائع ل للنادر
42 yang sering (mayoritas), bukannya yang
jarang (minoritas)
Sesuatu yang dikenal akan menjadi adat المعروف عرفا كالمشروط
43 seperti yang disyaratkan menjadi syarat
شرطا
Sesuatu yang dikenal diantara masyarakat المعروف بين التجار
44 itu seperti menjadi syarat dikalangan
mereka
كالمشروط بينهم
Penetapan secara adat seperti penetapan التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
45
secara nash (teks)
Apa bila bercampur suatu larangan dengan إذا تعارض المانع والمقتضى
46 perintah maka didahulukan larangan
يقدم المانع
Sesuatu yang terkait dengan sebuah obyek, التابع تابع
47
maka ia diakui keabsahannya
22
Sesuatu yang terkait dengan sebuah obyek التابع ليفرد بالحكم
48
tidak dihukumi secara terpisah.
Seseorang yang memiliki sesuatu maka ia من ملك شيئا ملك ما هو من
49 juga memiliki segala kepentingan atasnya
ضروراته
Apabila terputus sesuatu yang dasar maka إذا سقط الصل سقط الفرع
50
terputus pula suatu cabangnya
Sesuatu yang terputus itu tidak akan الساقط ل يعود كما أن المعدوم
51 kembali seperti sesuatu yang hilang tidak
ل يعود
kembali
Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa إذا بطل الشيء بطل ما فى
52 yang ada didalammnya
ضمنه
Apa bila batal suatu yang dasar /asal maka إذا بطل الصل يصار الى
53 ia merubah menjadi perubahan,maka asal
البدل
itu menjadi berubah
Tidak diperbolehkannya sesuatu yang يغتفر التوابع مال يغتفر فى
terkait dengan barang tidak berarti
54
dilarangnya yang lain yang terkait dengan
غيرها
barang tersebut
Sesuatu yang dilarang dengan cara yang يغتفر فى البقاء ما ل يغتفر فى
55 baru, mungkin diperbolehkan dengan cara
melanjutkan.
البتداء
Meneruskan sesuatu lebih mudah dari pada البقاء أسهل من البتداء
56
memulainya
Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ ل يتم التبرع إل بقبض
57 (pemberian) kecuali diberikan/diserahkan,
(sebelum diminta sudah diberi)
Tasharruf (tindakan –pemimpin-) terhadap التصرف على الرعية منوط
58 rakyat harus dihubungkan dengan
kemashlahatan -kepentingan umum-.
بالمصلحة
Kewenangan khusus (pribadi) lebih kuat الولية الخاصة أقوى من
59 dari pada kewenangan umum (publik)
الولية العامة
Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih إعمال الكلم أولى من إهماله
60 utama dari pada mengabaikannya (menyia-
nyiakannya)
Apabila maksud hakiki tidak dapat إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى
61 ditangkap, maka pengertian majazi
المجاز
(metaforis) dapat dipakai
Apabila perkataan itu lemah dalam إذا تعذر إعمال الكلم يهمل
62
pelaksanaan maka abaikan saja
Hubungan terhadap bagian-bagian yang ذكر بعض مال يتجزأ كذكر كله
63 takterpisahkan dinilai seperti hubungan
terhadap keseluruhan
64 Sesuatu yang mutlaq berjalan dengan المطلق يجري على إطلقه ما
kemutlakannya selama tidak ada nash atau
23
dalil yang mengikatnya لم يقم دليل التقييد نصا أو دلله
Sifat yang tampak tidak memiliki nilai الوصف فى الحاضر لغو وفى
65 kebenaran, maka sifat yang tidak tampak
dapat dipakai
الغائب معتبر
66 Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban السؤال معاد فى الجواب
Perkataan tidak dapat dinisbatkan kepada لكن،ل ينسب إلى ساكت قول
orang yang diam, tetapi diam adalah sama
السكوت فى معرض الحاجة
dengan pernyataan, ketika bicara
67 diperlukan. (Artinya orang yang diam ketika بيان
berbicara itu menjadi keharusan, maka ia
dianggap membuat pernyataan
(menyetujui/menolak).
Bukti atas sesuatu yang tidak jelas دليل الشيئ فى المور الباطنة
68 dikembalikan pada kedudukannya
يقوم مقامه
Tulisan seseorang itu seperti halnya الكتاب كالخطاب
69
perkataan
Isyarat yan dikenal karena kebisuan seperti الشارات المعهودة للخرس
70 suatu keerangan dengan lisan
كالبيان باللسان
71 kata terjemahan diterima secara mutlaq. يقبل قول المترجم مطلقا
Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang ل عبرة للظن البين خطؤه
72 berdasarkan pada Dhon -persangkaan yang
kuat- yang jelas salahnya.
Tidak di jadikan hujjah sesuatu yang ل حجة مع الحتمال الناشئ عن
73 berdasarkan kemungkinan yang
دليل
berlawanan dengan dalil
Tidak bia dijadikan patokan sesuatu yang ل عبرة للتوهم
74
bimbang/was-was
Keputusan dengan bukti yang otentik الثابت بالبرهان كالثابت بالعيان
75 seperti kepastian melihat dengan mata
kepala sendiri
Bukti dituntut atas orang yang البينة على المدعي واليمين على
76 menggugat/menuduh, sedangkan sumpah
من أنكر
atas yang menolak/ mengingkarinya
Bukti adalah untuk memastikan sesuatu البينة لثبات خلف الظاهر
yang berlawanan secara lahiriyah, sedang
77
sumpah untuk memastikan sesuatu yang
واليمين لبقاء الصل
asal
Bukti adalah kepastian mutlak (bagi fihak البينة حجة متعدية والقرار
78 ketiga), sedang ikrar (pengakuan) hanyalah
bukti relatif bagi yang menyatakannya.
حجة قاصرة
79 Seseorang itu terikat oleh pengakuannya المرء مؤاخذ بإقراره
80 Sesuatu yang diperdebatkan tidak bisa ل حجة مع التناقض ولكن ل
dijadikan hujjah, tetapi jga tidak dapat
يختل معه حكم الحاكم
24
menafikan keputusan hakim
Sesungguhnya ditetapkannya cabang itu قد ثبت الفرع مع عدم ثبوت
81 tidak berarti dengan meniadakan yang
الصل
asal/pokok
Fihak yang dibebani oleh syarat wajib المعلق بالشرط يجب ثبوته عند
82 memenuhinya ketika syarat disebutkan.
ثبوت الشرط
Lazimnya pemenuhan syarat itu sesuai يلزم مراعة الشرط بقدر
83 kemampuan yang memungkinkan
المكان
Janji yang diiringi persyaratan adalah lazim المواعيد باكتساء صور التعاليق
84
تكون لزمة
Hak mendapat hasil itu sebagai ganti الخراج بالضمان
85
kerugian (yang ditanggung)
Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak الجر والضمان ل يجتمعان
86
datang secara bersamaan
Risiko itu sejalan dengan keuntungan (yakni ) يعني إن من- الغرم بالغنم
orang yang memperoleh manfaat atas
87
sesuatu, pada saat yang sama ia harus mau
) ينال نفع شيئ يحتمل ضرره
berkorban).
Kenikmatan itu setaraf dengan النعمة بقدر النقمة والنقمة بقدر
88 pengorbanan dan pengorbanan setaraf
النعمة
dengan kenikmatan
Perbuatan itu disandarkan pada pelakunya يضاف الفعل الى الفاعل ل
89 kecuali pada suatu kasus yang belum
terjabarkan
المر مالم يكن مجبرا
Apabila terdapat dua orang terlibat suatu إذا اجتمع المباشر والمتسبب
perkara, yang seorang terlibat langsung
يضاف الحكم الى المباشر
90 dan yang lain hanya terlibat sebab-sebab,
maka hukum dibebankan pada orang yang
terlibat secara langsung saja
Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat الجواز الشرعي ينافي الضمان
91
dijadikan beban/tanggungan
Orang yang berbuat sesuatu, meskipun المباشر ضامن وان لم يتعمد
92 tanpa sengaja, tetap harus menanggung
beban
Tidak dikenai beban orang yang terlibat المتسبب ل يضمن ءال بالتعمد
93 dalam sebab suatu kejadian kecuali dengan
sengaja ia hendak melakukannya
Tidak ada beban yang terkait dengan جناية العجماء جبار
94 kecelakaan disebabkan oleh binatang atas
kemauanya sendiri.
Perintah menasarufkan (memanfaatkan) المر بالتصرف فى ملك الغير
95 barang orang lain (tanpa ijin pemiliknya)
باطل
adalah batal
25
Tidak boleh bagi seorang pun merubah ل يجوز لحد أن يتصرف فى
96 /mengganti milik orang lain tampa izin
pemiliknya.
ملك الغير بل إذنه
Tidak boleh bagi seseorang mengambil ل يجوز لحد أن يأخذ مال أحد
97 milik orang lain tanpa sebab syar’i
بل سبب شرعي
Perubahan sebab kepemilikan barang تبدل سبب الملك قائم مقام تبدل
98 adalah setara dengan perubahan pada
barang itu sendiri
الذات
Barang siapa yang mendahulukan sesuatu من استعجل الشيئ قبل أوانه
99 sebelum waktunya, maka ia dibebani atas
عوقب بحرمانه
larangan yang ada didalamnya
Barang siapa berusaha menyanggah من سعى فى نقض ما تم من
100 perbuatannya sendiri, maka usahanya itu
tertolak
فسعيه مردود عليه،جهته
26