You are on page 1of 12

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia.

Frasa ini berasal dari bahasa


Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata
neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam
Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka
Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi
pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat
Buddha.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,


Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.


Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

DI setiap ruangan pejabat publik di negeri ini seharusnya dipasang tulisan berbunyi ‘Tan Hana
Dharma Mangrwa’, melengkapi semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, terdapat dalam simbol
Republik Indonesia, Garuda Pancasila, yang selalu terpasang di setiap ruangan kantor pejabat
pemerintahan.
Biar pejabat publik di negeri ini selalu ingat akan spirit dan etos kerja diserukan oleh semboyan
itu, untuk selalu melayani publik, mengabdi pada kepentingan umum, pada kemanusiaan, kepada
kesejahteraan setiap warga negara, tanpa membedakan asal-usul keturunan, golongan, ras dan
agama. Barangkali, gara-gara semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ itu tidak lengkap ditulis, —
seharusnya dilengkapi dengan kata-kata ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ di belakangnya — maka
pelayanan publik kita menjadi tidak efektif seperti kita rasakan sekarang ini.
Negara semakin dituntut mengeluarkan kebijakan publik, regulasi, dan perbaikan kualitas
kebijakan, yang pro-rakyat, pro-kemanusiaan, untuk melindungi warganya. Tidak main-main,
bukan hanya sekadar latah, atau mengejar popularitas politik, ketika para pendiri republik ini
mengambil semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sebagai semboyan republik tercinta. Hanya
mungkin, karena terbatasnya tempat, kata-kata ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ tidak ditulis dalam
simbol Garuda Pancasila.
Kalimat yang bermakna, untuk mengabdi pada kemanusian, untuk terciptanya perdamaian abadi
dan keadilan sosial di bumi Nusantara. Semboyan itu sendiri diambil dari Kitab Sotasoma,
karangan Mpu, Maha Guru, Tantular. Dimaksudkan untuk mengingatkan mahapatih, panglima
perang, Gadjah Mada, agar tidak mempersatukan Nusantara dengan perang, represif dan cara-
cara kekerasan. Sebaliknya, mempersatukannya dengan cara damai, menyebarkan cinta kasih,
dan kerja kemanusiaan pada sesama.
Menghadapi berbagai dampak sosial-kemanusiaan akibat krisis ekonomi dan bencana alam ini,
para pejabat publik, elite politik dan pemimpin partai politik kita, seharusnya tidak perlu
bersaing mengklaim diri sebagai yang paling benar, demi mengejar popularitas politik dan
kekuasaan. Sementara rakyat dibiarkan tanpa disertai penanganan kebijakan memadai. Tetapi,
yang penting adalah ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ mereka; kebijakan nyata, dharma-nya, bagi
kemanusiaan, semata untuk perbaikan kesejahteraan rakyat, karena tidak ada dharma
kemanusiaan yang sifatnya mendua, semua berpusat pada perbaikan kualitas hidup manusia.
Kekuasaan tidak bisa ditipu dan dimanipulasi, hanya dengan ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’
merekalah akhirnya terbukti, baik buruknya kepemimpinan mereka.
Barangsiapa mampu memimpin negeri ini dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma
Mangrwa’, maka kelak para pemimpin, pejabat daerah, dan rakyat di seluruh kepulauan
Nusantara akan mendatanginya, mengabdi kepadanya, memberikan dukungan dan legitimasi
politiknya. Begitu ampuhnya akuntabilitas ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ itu. Sebaiknya para
pejabat publik di seluruh negeri ini mempraktikkannya. Dan, sekali lagi, sebaiknya memasang
semboyan ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ di ruangan kerja mereka, sebagai pengingat agar selalu
mengabdi pada pelayanan publik, pada kemanusiaan, untuk perbaikan nasib hidup kesejahteraan
warganya.

Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/1776891-tan-hana-dharma-
mangrwa/#ixzz1LlMzCulS

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan terbaik saat ini, ia mampu menyediakan ruang yang
lebih luas untuk masyarakat dalam pemerintahan, pada suatu kesempatan pula kita mengatakan
demokrasi merupakan sistem yang rapuh dan bahkan ‘utopis’.
Demokrasi menjadi ‘utopis’ ketika dalam kenyataan selalu saja dijumpai dalam sebuah regim
yang mengedepankan demokrasi dalam pemerintahannya masih saja bersikap tertutup pada
masalah-masalah yang seharusnya di dengar publik. Terlebih lagi, ketika kita mulai menyadari
bahwa dalam sistem demokrasi yang terlalu terbuka memberikan kesempatan bagi masuknya
paham-paham yang saling bertentangan untuk ikut tumbuh dalam masyarakat, bahkan paham
yang anti terhadap demokrasi sekalipun, komunis misalnya.
Dibaca dari pengertiannya, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Demokrasi Indonesia merupakan demokrasi Pancasila, demokrasi yang dijalankan berdasarkan
nilai-nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan identitas bangsa
Indonesia dalam masyarakat internasional.
Secara ringkas, demokrasi Pancasila berprinsip kekeluargaan dan kegotong royongan, dimana
segala permasalahan diselesaikan bersama, setiap masalah baik politik, sosial budaya bahkan
ekonomi. Masalah kemiskinan suatu daerah adalah masalah bersama yang harus diselesaikan
secara bersama.
Selain kelima sila dalam sila Pancasila, terdapat juga istilah ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang
bermakna berbeda tetapi satu jua, Dari istilah ini bisa dipahami keragaman itulah yang menjadi
faktor kekuatan dan sekaligus kelemahan bangsa ini.
Dengan perbedaan maka suatu masalah dapat dilihat, dibaca dari beragam sisi, tidak hanya
didominasi dan dimonopoli oleh salah satu pihak, inilah simpul kekuatan masyarakat
ber’bhineka tunggal ika’. Keberagaman inipun dapat menjadi senjata yang mematikan bagi
bangsa Indonesia yang dapat melukai dirinya sendiri jika tidak dikelola dengan baik, dalam
masyarakat yang serba plural sudah pasti memiliki kepentingan-kepentingan yang prural pula,
dan yang lebih ekstrim dengan munculnya fanatisme sempit ataupun semangat kedaerahan yang
kerap kali muncul dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai ‘keseharusan’, masyarakat ber‘bhineka tunggal ika’ sudah seharusnya mampu
menerjemahkan istlah ‘Bhineka Tunggal Ika’ ini sebagai prinsip kekeluargaan dalam
keberagaman mengingat istilah ini merupakan sebuah peringatan bagi Gajah Mada oleh Mpu
Tantular, agar tidak mempersatukan Nusantara dengan perang, represif dan cara-cara kekerasan.
Sebaliknya, mempersatukannya dengan cara damai, menyebarkan cinta kasih, dan kerja
kemanusiaan pada sesama.
Lebih jauh, Bhineka Tunggal Ika sebenarnya harus dilengkapi dengan semboyan ‘Tan Hana
Dharma Mangrwa’ yang akan lebih memberi makna lugas tentang pengabdian kepada
kemanusiaan.
Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa begitu semboyan yang digali dari Kitab
Sotasoma, karangan Mpu, Maha Guru, Tantular. yang kurang lebih bermakna "Beraneka ragam
itu satu, tiada kebenaran ganda" yang pada dasarnya merupakan seruan untuk memelihara
persatuan dalam keragaman, bukan penyeragaman, dan pengabdian terhadap kemanusiaan.
Jangan pernah berpikir, semua orang berpikir sama denganmu, setiap orang tidak berpikiran
sama, bahkan dapat menentangmu, tapi semua orang melangkah bersamamu menuju gerbang
yang sama denganmu.

Richadiana Kartakusuma

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa
Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana
mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana
didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat
Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA =
Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra.

Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan
keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder)
tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari
terakhir).

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada
dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan
keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah
memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah
sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka
Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan
lambang NKRI Garuda Pancasila.

Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan
pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan
masyarakat Majhapahit.

Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan
diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap
perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan
nusaantara raya.

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika
berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya
memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia.

Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan
Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28
Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan
Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat
rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.

Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang
Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang
bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas
dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”
sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang
dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan
aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga
sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota
masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.

Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa
Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka
tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit.
Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai
hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan
sejarah sejak awal.

Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping
mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala
sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun
kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di
kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majhapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di
Majhapahit;
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou
(terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk
agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di
atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur

Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur disamping dewa-
dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus
berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah
yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang
Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda.

Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan menjadi saksi serta
merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam
Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga
dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang
berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama
Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke
timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa
bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan
Majhapahit.

Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha
terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang
pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur.
Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang
yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke
pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di
kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global
dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan.

Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung
yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden
sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan
mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala
kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas
(bangsawan).

Gejala pendewaan terhadap raja atau kepada seseorang yang telah meninggal merupakan akibat
pembauran antara pemujaan arwah leluhur dan Hindu-Budha masa Singhasari- Majhapahit.
Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca mencatat pujaan tertinggi Bhre Hyang Wkas ing Sukha
(Hayam Wuruk) adalah Sanghiyang Acalapati (Raja Gunung = Roh yang bersemayam di
Gunung)

Kedudukan arca dewa sebagai raja pada hakekatnya sama dengan kedudukan menhir dalam
budaya megalitik masa prasejarah. Konsep menhir didirikan sebagai tanda jasa kepala suku yang
menyelenggarakan pesta jasa, feast of merit, untuk dinikmati masyarakatnya. Setelah kepala
suku tersebut meninggal, menhir, yang semula sebagai simbol jasa ketika masih hidup kemudian
berubah menjadi simbol (lambang) kepala suku. Roh kepala suku dianggap sebagai pelindung
desa dan pembimbing masyarakat diundang turun masuk menhir melalui upacara tertentu, maka
masyarakat langsung berhubungan dengan Roh Leluhurnya.

Faktor pendorong utama kebangkitan kepercayaan asli masa Majhapahit adalah situasi sosial
politik yang kian goncang akibat inovasi Islam. Saat yang sama penganut kepercayaan pribumi
tetap menjalankan eksistensinya bahkan kian merasuk teguh menjiwai konsep Hindu-Budha.

Maka serentak hadir gerakan millenarisme, gerakan menyelamatkan dan kebangkitan, yakni
mengembalikan kepercayaan Asli pribumi dimana gunung merupakan tempat bersemayamnya
arwah nenek moyang atau nenek moyang yang didewakan. Yang pada hakekatnya adalah
Hiyang, Sang Rumuhun, Leluhur.

Gejala millenarisme tersebut dihubungkan dengan dipahatkannya relief-relief cerita ruwatan atau
kaleupasan seperti yang ter-cermin pada bangunan-banguan suci yang mengacu kepada
karyasastra keagamaan bertemakan konsep dewa-dewa asli, Pribumi. Diantaranya cerita
Suddhamala Bhimaruci, Bubuksah Gagang Aking, Tantu Pangglaran.

Gunung Pananggungan, Gunung Arjuna,dan Gunung Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi


kehadiran gejala millenarisme “kebangkitan” unsur kepercayaan asli dengan corak dan gaya seni
ciri Majhapahit akhir yang sangat jauh berbeda dengan Hindu-Budha. Ciri kesenian asli lebih
nampak alami, pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal,
arca-arca tanpa mahkota mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk, perut
dan pantat besar. Penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional sebenarnya
adalah elemen-elemen naturalis yang asli Pribumi.

Gejala kesengajaan dilatari konsep kepercayaan asli, mengutamakan simbolis daripada ketepatan
susunan anatomisnya, sebab lebih dilatari dan ditujukan langsung kepada nilai spiritual dan
magis dari pada nilai keindahannya. Senarai pemikiran personifikasi nenek moyang yang telah
meninggal dunia sehingga diupayakan berkesan statis sesuai kondisi seseorang yang telah
meninggal, yang bersemayam di puncak gunung.

Gejala mesianik memuja yang dianggap akan atau mampu menyelamatkan dunia adalah untuk
memperoleh kalepasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting. Gejala mesianik
yang disebut milenarisme adalah sejajar dengan ajaran para Resi yang sejak awal telah ada dan
merupakan kelompok spiritual dengan memilih kehidupan di dalam lingkungan yang sunyi-
terpencil. Semacam padepokan dengan menampilkan tokoh Bhima sebagai simbol utama ruwat
dan kalepasan.

Bima di sini dihubungkan dengan “Pahlawan Keagamaan” berkenaan dengan unsur bersatunya
kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha Suksma. Selaras peristiwa yang dialami
Bhima tatkala keluar dari dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada
saudara-saudaranya. Keagamaan Majhapahit lebih mempertegas hubungan konvensional dan
kepercayaan lingkungan alam, yang sesungguhnya adalah representasi mental yang pernah
berlaku sejak awal dengan fokus utama keyakinan kepada nenek moyang yang disebut leluhur,
rumuhun atau Sang Hyang

Lambang negara Thai dikenali sebagai Phya-Khrut dalam bahasa Thai. Phya bermakna "raja" atau
"ketua" dan Khrut bermakna "Garuda"; seekor burung mitos yang berbadan dan berkepala manusia dan
mempunyai kepak dan kuku burung helang. Phya Khrut adalah lambang kebangsaan Thai dan oleh itu
dipamerkan dan diperlakukan dengan cara yang hormat. Hanya perniagaan-perniagaan besar dan
berpengaruh diberi izin oleh kerajaan Thai untuk mempamerkan lambang Phya-Khrut di hadapan
bangunan mereka.

======================================…
Garuda konon merupakan hasil adopsi dari keberadaan hewan yang dipercaya menjadi kendaraan Dewa
Wisnu. Di kompleks Prambanan, Garuda terlihat di bangunan candi Garuda. Candi ini menyimpan kisah
tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda.

Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap
merah, berparuh, dan bersayap mirip elang.
Diperkirakan,sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu yang memiliki arti terbit atau bersinar,
dan biasa diasosiasikan dengan keberadaan Dewa Re dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam
mitologi Yunani Kuno.

Konon Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna yang merupakan kakaknya yang terlahir
cacat dengan mencuri Tirta Amerta atau air suci para dewa. Kemampuan menyelamatkan itu yang
dikagumi banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia
mempergunakannya sebagai lambang negara.

"Konon,pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini," ujar Kepala Unit Candi
Prambanan PT Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko Bambang Subandono.

Negara lain yang dipercaya mengadopsi Garuda sebagai lambang negara adalah Thailand.

Dari informasi yang ada, alasan negeri Gajah Putih juga memiliki alasan yang sama ketika mengadopsi
Garuda sebagai lambang negara. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Bagi Anda yang penasaran bagaimanakah bentuk Garuda yang diadopsi menjadi lambang negara
tersebut, Anda saat ini sedang beruntung.

Karena baru candi Wisnu dan Garuda saja yang saat ini bisa dikunjungi langsung oleh para wisatawan
pascagempa 2006 lalu. Sementara beberapa candi utama lainnya masih dalam perbaikan.

======================================…

Garuda dan Garuda


By enda on April 28, 2003 11:02 AM | Permalink | Comments (95)

Waktu gue kecil gue kira Garuda itu emang sebuah jenis burung beneran. Abis waktu gue ke Taman
Burung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ada burung yang emang dinamain burung Garuda.

Jadi gue kira, dari spesies burung inilah simbol nasional Indonesia, burung garuda, diambil. Rupanya
anggapan itu salah, dan sayangnya kok dari kecil (SD) ga pernah ada yang ngajarin ya? Taunya Garuda
aja. Kenapa Garuda, ga pernah diterangin dan ga pernah juga ditanya. Atau mungkin SD gue doang ya?
hehehe..

Setelah di Thailand ini gue baru noticed kalo orang Thai punya Garuda juga, dan namanya bener2x sama
Garuda. Dan mereka pake sebagai simbol nasional juga. Yang bedanya cuma visualisasinya aja, dan kalo
liat sumber sejarahnya sih emang kayaknya visualisasi mereka emang lebih bener, daripada si Garuda
Pancasila kita.

Garuda ini sebenernya burung mitos, kayak burung mitos2x lainnya, burung Phoenix dan lain-lain.
Asalnya dari mitologi Hindu dimana Garuda, setengah burung dan setengah manusia adalah alat
transportasinya dewa Wisnu.

Dalam mitologi Timur, Hindu dan Budha, Garuda disebut "The Bird of Life". Dalam salah satu cerita,
Garuda ini diceritakan membebaskan ibunya dari perbudakan. Jadi katanya, karena pembebasan ini
makanya burung garuda digunakan sebagai simbol negara Indonesia, karena kita juga membebaskan diri
dari penjajahan.

Anehnya buat gue, gue baru denger cerita tentang Garuda ini yang sebagai kendaraannya dewa Wisnu
dan bahwa dia punya arti tentang pembebasan juga. Mungkin... karena asalnya dari cerita Hindu, maka
jadinya cerita ini ga dicerita-ceritain dan ga dimasukin di kurikulum di negara yang mayoritas
penduduknya muslim ini?

Mungkin. Abis suka aneh2x sih hasil akhirnya dari sentimen keagamaan ini.

Anyway. Ini gambar Garuda kita dan gambar Garudanya Thailand, dan dibawah, kamu bakal nemuin
naskah Pancasila dalam bahasa Inggris yang gue temuin pas gue nyari2x info tentang Garuda ini.

Kenapa pasang2x Pancasila segala? Yah.. kenapa nggak? Hehe.. abis banyak anak2x skrg yang pada lupa
sih isinya Pancasila apaan. :D

garuda indonesia garuda thailand

Pancasila in English:
1. BELIEF IN THE ONE AND ONLY GOD
2. JUST AND CIVILIZED HUMANITY
3. THE UNITY OF INDONESIA
4. DEMOCRACY GUIDED BY THE INNER WISDOM IN THE UNANIMITY ARISING OUT OF DELIBERATIONS
AMONGST REPRESENTATIVES
5. SOCIAL JUSTICE FOR THE WHOLE OF THE PEOPLE OF INDONESIA

Sumber naskah Pancasila

materi referensi:
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

www.indofamilytravel.com

Lambang Thailand
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Krut Pha, lambang negara Thailand

Lambang negara Thailand menampilkan Garuda, burung mitologi dalam kepercayaan Hindu
dan Buddha. Di Thailand figur ini digunakan sebagai lambang keluarga kerajaan dan otoritas.
Lambang ini disebut Krut Pha, yang berarti "garuḍa sebagai wahana dewa Wishnu." Lambang
ini menjadi lambang negara Thailand sekaligus lambang Raja Thailand. Garuda juga merupakan
Lambang Negara Indonesia serta lambang kota Ulan Bator (ibu kota Mongolia).

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Sejarah
 2 Galeri
 3 Referensi
 4 Pranala luar

[sunting] Sejarah

Pada tahun 1873, Raja Chulalongkorn merancang lambang negara Siam (nama lama Thailand),
dalam gaya lambang Barat. Empat puluh tahun kemudian, ia memutuskan bahwa lambang itu
terlalu kebarat-baratan dan tidak ada gambar Garuda (yang digunakan oleh raja-raja Kerajaan
Ayutthaya sebagai lambang kekuasaannya). Ia kemudian memerintahkan saudaranya, Pangeran
Naris, untuk membuat lambang negara baru. Pada mulanya , Naris merancang lambang yang
menampilkan Garuda, Naga, dan dewa Wishnu. Lambang ini hanya digunakan sebentar, sebelum
akhirnya raja memerintahkan gambar Wishnu dan Naga dihapus.

Setelah pemerintahan Chulalongkorn, Raja Vajiravudh memerintahkan Phra Dhevabhinimit


(bahasa Thai: พระเทวาภินม ิ มิต (ฉาย เทียมศล ิ ปชย
ั )) untuk membuat lambang baru. Lambang
tetap menampilkan lambang Chulalongkorn, tetapi ditambahkan lingkaran di tepinya yang
dibubuhi tulisan diraja. Setiap upacara naik takhta, lambang diganti dengan membubuhkan nama
raja baru yang memerintah. Setelah Raja Prajadhipok turun takhta pada tahun 1935, Raja Ananda
Mahidol naik takhta, tetapi ia tidak pernah dimahkotai dan dilantik, sehingga lambang yang
digunakan tetap lambang Chulalongkorn.

Kini, lambang Garuda tanpa lingkaran digunakan sebagai lambang Thailand. Lambang ini
dicetak di atas dokumen resmi dan surat kenegaraan. Patung Krut Pha boleh dipasang sebagai
restu dan anugerah Raja Thailand atas pihak perusahaan, organisasi perniagaan, kebudayaan atau
kenegaraan, yang secara sah terikat kontrak dengan pihak rumah tangga kerajaan Thailand.
[sunting] Galeri

Lambang negara Siam yang menampilkan Garuda, Naga, dan Dewa Wishnu. Digunakan sebagai lambang
negara sebelum pemerintahan Rama V.

Lambang Siam karya Pangeran Naris. Hanya digunakan sebentar.

Lambang Thailand versi kini. Versi ini digunakan sebagai bagian tengah lambang kerajaan Thailand, dan
ditambahkan nama resmi raja yang berkuasa di sekelilingnya.

Patung Garuda, pemberian raja Thailand sebagai anugerah restu kerajaan.


Lambang negara Thailand di depan Kedutaan Besar Thailand di Praha.

You might also like