You are on page 1of 97

DIKTAT KULIAH TL-3104

PENGELOLAAN SAMPAH

Disiapkan oleh

Prof. Enri Damanhuri


Dr. Tri Padmi

Program Studi Teknik Lingkungan


Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Edisi Semester I - 2010/2011
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Kata Pengantar

Diktat ini pertama kali disusun sebagai bahan kuliah bagi Mahasiswa Program
Sarjana, Program Studi Teknik Lingkungan ITB yang mengambil mata kuliah Pengelolaan
Sampah pada Semester Ganjil Kurikulum ITB 2003. Edisi pertama diktat ini dikeluarkan pada
Semester I - 2004/2005. Sedangkan diktat ini merupakan edisi ke-empat yang merupakan
revisi (perbaikan) dari edisi pertama dan diterbitkan pada Semester I - 2010/2011. Bahan
kuliah ini merupakan ringkasan dari Buku Ajar yang sedang dalam persiapan dengan judul
yang sama, yang merupakan materi wajib bagi mahasiswa peserta Program Sarjana Teknik
Lingkungan.
Bahan yang terdapat dalam diktat ini merupakan kumpulan pengalaman dan informasi
dalam pengelolaan sampah di Indonesia, dilengkapi dengan bahan-bahan yang berasal dari
literatur-literatur terkait, serta dari makalah-makalah Penyusun dalam masalah Persampahan
di Indonesia. Daftar referensi yang digunakan disusun berdasarkan urutan nomor
pengutipannya. Dalam beberapa hal diupayakan agar materi kuliah ini mengacu pada kondisi
nyata yang ada di Indonesia, dan mahasiswa dapat membandingkan dengan kondisi yang ada
di negara maju melalui referensi yang umumnya berbahasa Inggris. Bahan yang terdapat
dalam diktat ini mungkin dapat pula digunakan oleh praktisi dalam pengelolaan persampahan
di Indonesia.
Penyusun mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada berbagai
pihak yang memungkinkan terbitnya diktat ini, khususnya kepada Saudara Ir. I Made Wahyu
Widyarsana, MT. yang telah berkontribusi dalam penyiapan diktat ini.
Semoga diktat ini bermanfaat bagi yang menggunakan.

Bandung, 30 Agustus 2010

Penyusun
Enri Damanhuri dan Tri Padmi

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 2
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

BAGIAN 1 PENDAHULUAN 5
1.1 Terminologi Umum 5
1.2 Terbentuknya Limbah Secara Umum 6
1.3 Penggolongan Jenis Sampah 7
1.4 Permasalahan Persampahan di Indonesia 8

BAGIAN 2 SUMBER, KARAKTERISTIK, DAN TIMBULAN SAMPAH 13


2.1 Sumber dan Timbulan Sampah 13
2.2 Komposisi Sampah 15
2.3 Karakteristik Sampah 17
2.4 Metode Pengukuran 18
2.5 Sampah Berbahaya dari Rumah Tangga 20

BAGIAN 3 PENGELOLAAN SAMPAH MELALUI PENGURANGAN 22


3.1 Konsep Minimasi Limbah 22
3.2 Konsep Pengurangan 23
3.3 Pembatasan Timbulan sampah 25
3.4 Guna-Ulang dan Daur-ulang Sampah 28

BAGIAN 4 DAUR ULANG SAMPAH 31


4.1 Alasan Daur-Ulang 31
4.2 Daur-Ulang Limbah Secara Umum 31
4.3 Potensi Daur Ulang Sampah 32
4.4 Daur Ulang Sampah di Indonesia 34
4.5 Peran Sektor Informal 37

BAGIAN 5 PENANGANAN SAMPAH 41


5.1 Pendahuluan 41
5.2 Stakeholders Pengelola Sampah Kota 41
5.3 Tingkat Pengelolaan 41
5.4 Daerah Pelayanan 42
5.5 Teknik Operasional Pengelolaan Sampah 45
5.6 Pengelolaan Sampah Terpadu 46
5.7 Pengelolaan Sampah Regional 49

BAGIAN 6 PEWADAHAN, PENGUMPULAN DAN TRANSFER 51


6.1 Pewadahan Sampah 51
6.2 Pengumpulan Sampah 52
6.3 Beberapa Kriteria yang Berlaku di Indonesia 56
6.4 Pemindahan Sampah 57
6.5 Pengumpulan Sampah di Negara Maju 58

BAGIAN VII PENGANGKUTAN SAMPAH 59


7.1 Pengangkutan Sampah secara Umum 59
7.2 Metode Pengangkutan Sampah 61
7.3 Operasional Pengangkutan Sampah 63
7.4 Pola Pengangkutan Sampah 63

BAGIAN VIII PENGOLAHAN SAMPAH 66


8.1 Pengolahan Sampah Secara Umum 66
8.2 Pengomposan (Composting) 66

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 3
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

8.3 Insinerator 67
8.4 Instalasi Waste-to-energy di Negara Industri 72
8.5 Pirolisis dan Gasifikasi 72
8.6 Proses Termal dengan Gasifikasi Plasma 79

BAGIAN IX PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH 80


9.1 Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) Secara Umum 80
9.2 Perkembangan Landfilling 80
9.3 Jenis Landfil 82
9.4 Aplikasi landfill 87
9.5 Langkah Kerekayasaan dalam Aplikasi Pengurugan 88
9.6 Penyiapan Sarana dan Prasarana 90
9.7 Pengoperasian landfill di TPA 92
9.8 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota di Indonesia 93

DAFTAR REFERENSI 95

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 4
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 1
PENDAHULUAN
Bagian ini menjelaskan terminologi yang terkait dengan limbah, bagaimana limbah
terbentuk dari sebuah proses produksi, penggolongan sampah serta permasalahan sampah
dan kondisi pengelolaanya di Indonesia secara umum

1.1 Terminologi Umum

Limbah [1]:
Semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan yang berbentuk padat, lumpur
(sludge), cair maupun gas yang dibuang karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun
dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang–kadang masih
dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku .

Pembagian limbah: antara lain dibagi berdasarkan sumbernya, seperti :


- Limbah kegiatan kota (masyarakat)
- Limbah industri
- Limbah pertambangan
- Limbah pertanian.
Berdasarkan fasanya/bentuknya:
- Limbah padat
- Limbah berlumpur (sludge)
- Limbah cair
- Limbah padat.
Berdasarkan sifat bahayanya:
- Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
- Limbah domestik : dihasilkan dari aktivitas primer manusia.

Limbah domestik:
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan rutin (sehari-hari) manusia, umumnya dalam bentuk:
- Cair: dari kegiatan mencuci pakaian dan makanan, mandi, kakus (tinja dan air seni), menyiram, dan
kegiatan lain yang menggunakan air di rumah
- Padat: dikenal sebagai sampah (domestik).

Pengelolaan limbah:
Penanganan limbah secara keseluruhan agar limbah tersebut tidak mengganggu kesehatan, estetika,
dan lingkungan. Penanganan tersebut mencakup cara memindahkan dari sumbernya, mengolah, dan
mendaur-ulang kembali.

Sampah (UU-18/2008):
Definisi sampah menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah [68] adalah sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.

Pengelolaan sampah (UU-18/2008):


Adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan
penanganan sampah.

Catatan: pengertian pengelolaan bukan hanya menyangkut aspek teknis, tetapi mencakup juga aspek
non teknis, seperti bagaimana mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan
masyarakat penghasil limbah agar ikut berpartisipasi secara aktif atau pasif dalam aktivitas penanganan
tersebut.

Penghasil sampah (UU-18/2008):


Setiap orang atau kelompok orang atau badan hukum yang menghasilkan timbulan sampah.

Sampah yang diatur dalam UU-18/2008


• Sampah rumah tangga
• Sampah sejenis sampah rumah tangga
• Sampah spesifik

Sampah rumah tangga (UU-18/2008):


Sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah
spesifik.
Sampah sejenis sampah rumah tangga (UU-18/2008):

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 5
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial,
fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya

Sampah spesifik (UU-18/2008):


• Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
• Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
• Sampah yang timbul akibat bencana;
• Puing bongkaran bangunan
• Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
• Sampah yang timbul secara tidak periodik

Timbulan sampah [1]:


Banyaknya sampah dalam :
- Satuan berat: kilogram per orang perhari (Kg/o/h) atau kilogram per meter-persegi bangunan perhari
2
(Kg/m /h) atau kilogram per tempat tidur perhari (Kg/bed/h), dsb
2
- Satuan volume: liter/orang/hari (L/o/h), liter per meter-persegi bangunan per hari (L/m /h), liter per
tempat tidur perhari (L/bed/h), dsb. Kota-kota di Indonesia umumnya menggunakan satuan volume.

Sumber sampah [1]:


- Berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga, pertokoan (kegiatan
komersial/perdaganan), penyapuan jalan, taman, atau tempat umum lainnya, dan kegiatan lain
seperti dari industri dengan limbah yang sejenis sampah
- Sampah yang dihasilkan manusia sehari-hari kemungkinan mengandung limbah berbahaya, seperti
sisa batere, sisa oli/minyak rem mobil, sisa bekas pemusnah nyamuk, sisa biosida tanaman, dsb.

1.2 Terbentuknya Limbah Secara Umum

Terdapat keterkaitan antara bahan baku, enersi, produk yang dihasilkan dan limbah dari sebuah proses
industri, maupun aktivitas manusia sehari-hari. Bahan terbuang (limbah) dapat berasal dari proses
produksi atau dari pemakaian barang-barang yang dikonsumsi, yang dapat digambarkan sebagai berikut
(Gambar 1.1). Dengan mengenal keterkaitan tersebut, maka akan lebih mudah mengenal bagaimana
limbah terbentuk dan bagaimana usaha penanggulangannya.

Banyak cara untuk mengidentifikasi limbah dengan tujuan utama untuk mengevaluasi resiko yang
mungkin ditimbulkan dan untuk mengevaluasi cara penanganannya. Setidaknya ada 5 (lima) kelompok
bagaimana limbah terbentuk [3]:

Bahan baku sekunder

Pemakaian
Produk
produk
Bahan baku primer Proses Produksi

Bahan terbuang

Gambar 1.1 : Proses pembentukan buangan [3]

1. Limbah yang berasal dari bahan baku yang tidak mengalami perubahan komposisi baik secara kimia
maupun biologis. Mekanisme transformasi yang terjadi hanya bersifat fisis semata seperti
pemotongan, penggergajian, dan sebagainya. Limbah kategori ini sangat cocok untuk dimanfaatkan
kembali sebagai bahan baku. Sampah kota banyak termasuk dalam kategori ini
2. Limbah yang terbentuk akibat hasil samping dari sebuah proses kimia, fisika, dan biologis, atau
karena kesalahan ataupun ketidak-optimuman proses yang berlangsung. Limbah yang dihasilkan
mempunyai sifat yang berbeda dari bahan baku semula. Limbah ini ada yang dapat menjadi bahan
baku bagi industri lain atau sama sekali tidak dapat dimanfaatkan. Usaha modifikasi proses akan
mengurangi terbentuknya limbah jenis ini
3. Limbah yang terbentuk akibat penggunaan bahan baku sekunder, misalnya pelarut atau pelumas.
Bahan baku sekunder ini tidak ikut dalam reaksi proses pembentukkan produk. Limbah ini
kadangkala sangat berarti dari sudut kuantitas dan merupakan sumber utama dari industrial waste
water. Teknik daur ulang ataupun penghematan penggunaan bahan baku sekunder banyak
diterapkan dalam menanggulanginya
4. Limbah yang berasal dari hasil samping proses pengolahan limbah. Pada dasarnya semua pengolah
limbah tidak dapat mentransfer limbah menjadi 100% non limbah. Ada produk samping yang harus

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 6
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

ditangani lebih lanjut, baik berupa partikulat, gas, dan abu (dari insinerator), lumpur (misalnya dari
unit pengolah limbah cair) atau bahkan limbah cair (misalnya dari lindi sebuah lahan urug)
5. Limbah yang berasal dari bahan samping pemasaran produk industri, misalnya kertas, plastik, kayu,
logam, drum, kontainer, tabung kosong, dan sebagainya. Limbah jenis ini dapat dimanfaatkan
kembali sesuai fungsinya semula atau diolah terlebih dahulu agar menjadi produk baru. Sampah
kota banyak terdapat dalam kategori ini.

1.3 Penggolongan Jenis Sampah

Di negara industri, jenis sampah atau yang dianggap sejenis sampah, dikelompokkan berdasarkan
sumbernya seperti [4]:
- Pemukiman: biasanya berupa rumah atau apartemen. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain
sisa makanan, kertas, kardus, plastik, tekstil, kulit, sampah kebun, kayu, kaca, logam, barang bekas
rumah tangga, limbah berbahaya dan sebagainya
- Daerah komersial: yang meliputi pertokoan, rumah makan, pasar, perkantoran, hotel, dan lain-lain.
Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain kertas, kardus, plastik, kayu, sisa makanan, kaca, logam,
limbah berbahaya dan beracun, dan sebagainya
- Institusi: yaitu sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lan-lain. Jenis sampah yang
ditimbulkan sama dengan jenis sampah pada daerah komersial
- Konstruksi dan pembongkaran bangunan: meliputi pembuatan konstruksi baru, perbaikan jalan, dan
lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain kayu, baja, beton, debu, dan lain-lain
- Fasilitas umum: seperti penyapuan jalan, taman, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain. Jenis
sampah yang ditimbulkan antara lain rubbish, sampah taman, ranting, daun, dan sebagainya
- Pengolah limbah domestik seperti Instalasi pengolahan air minum, Instalasi pengolahan air
buangan, dan insinerator. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain lumpur hasil pengolahan,
debu, dan sebagainya
- Kawasan Industri: jenis sampah yang ditimbulkan antara lain sisa proses produksi, buangan non
industri, dan sebagainya
- Pertanian: jenis sampah yang dihasilkan antara lain sisa makanan busuk, sisa pertanian.

Penggolongan tersebut di atas lebih lanjut dapat dikelompokkan berdasarkan cara penanganan dan
pengolahannya, yaitu [5]:
- Komponen mudah membusuk (putrescible): sampah rumah tangga, sayuran, buah-buahan, kotoran
binatang, bangkai, dan lain-lain
- Komponen bervolume besar dan mudah terbakar (bulky combustible): kayu, kertas, kain plastik,
karet, kulit dan lain-lain
- Komponen bervolume besar dan sulit terbakar (bulky noncombustible): logam, mineral, dan lain-lain
- Komponen bervolume kecil dan mudah terbakar (small combustible)
- Komponen bervolume kecil dan sulit terbakar (small noncombustible)
- Wadah bekas: botol, drum dan lain-lain
- Tabung bertekanan/gas
- Serbuk dan abu: organik (misal pestisida), logam metalik, non metalik, bahan amunisi dsb
- Lumpur, baik organik maupun non organik
- Puing bangunan
- Kendaraan tak terpakai
- Sampah radioaktif.

Pembagian yang lain sampah dari negara industri antara lain berupa [6]:
- Sampah organik mudah busuk (garbage): sampah sisa dapur, sisa makanan, sampah sisa sayur,
dan kulit buah-buahan
- Sampah organik tak rnembusuk (rubbish): mudah terbakar (combustible) seperti kertas, karton,
plastik, dsb dan tidak mudah terbakar (non-combustible) seperti logam, kaleng, gelas
- Sarnpah sisa abu pembakaran penghangat rumah (ashes)
- Sarnpah bangkal binatang (dead animal): bangkai tikus, ikan, anjing, dan binatang ternak
- Sampah sapuan jalan (street sweeping): sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun
- Sampah buangan sisa konstruksi (demolition waste), dsb

Sampah yang berasal dari pemukiman/tempat tinggal dan daerah komersial, selain terdiri atas sampah
organik dan anorganik, juga dapat berkategori B3. Sampah organik bersifat biodegradable sehingga
mudah terdekomposisi, sedangkan sampah anorganik bersifat non-biodegradable sehingga sulit
terdekomposisi. Bagian organik sebagian besar terdiri atas sisa makanan, kertas, kardus, plastik, tekstil,
karet, kulit, kayu, dan sampah kebun. Bagian anorganik sebagian besar terdiri dari kaca, tembikar,
logam, dan debu. Sampah yang mudah terdekomposisi, terutama dalam cuaca yang panas, biasanya
dalam proses dekomposisinya akan menimbulkan bau dan mendatangkan lalat.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 7
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Pada suatu kegiatan dapat dihasilkan jenis sampah yang sama, sehingga komponen penyusunnya juga
akan sama. Misalnya sampah yang hanya terdiri atas kertas, logam, atau daun-daunan saja. Apabila
tidak tercampur dengan bahan-bahan lain, maka sebagian besar komponennya adalah seragam. Karena
itu berdasarkan komposisinya, sampah dibedakan menjadi dua macam :
- Sampah yang seragam. Sampah dari kegiatan industri pada umumnya termasuk dalam golongan
ini. Sampah dari kantor sering hanya terdiri atas kertas, karton dan masih dapat digolongkan dalam
golongan sampah yang seragam
- Sampah yang tidak seragam (campuran), misalnya sampah yang berasal dari pasar atau sampah
dari tempat-tempat umum.
Bila dilihat dari status permukiman, sampah biasanya dapat dibedakan menjadi:
- Sampah kota (municipal solid waste), yaitu sampah yang terkumpul di perkotaan
- Sampah perdesaan (rural waste), yaitu sampah yang dihasilkan di perdesaan.

Di Indonesia, penggolongan sampah yang sering digunakan adalah sebagai (a) sampah organik, atau
sampah basah, yang terdiri atas daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak,
sayur, buah, dan lain-lain, dan sebagai (b) sampah anorganik, atau sampah kering yang terdiri atas
kaleng, plastik, besi dan logam-logam lainnya, gelas dan mika. Kadang kertas dimasukkan dalam
kelompok ini. Sedangkan bila dilihat dari sumbernya, sampah perkotaan yang dikelola oleh Pemerintah
Kota di Indonesia sering dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu [7]:

Sampah dari rumah tinggal: merupakan sampah yang dihasilkan dari kegiatan atau lingkungan rumah
tangga atau sering disebut dengan istilah sampah domestik. Dari kelompok sumber ini umumnya
dihasilkan sampah berupa sisa makanan, plastik, kertas, karton / dos, kain, kayu, kaca, daun, logam, dan
kadang-kadang sampah berukuran besar seperti dahan pohon. Praktis tidak terdapat sampah yang biasa
dijumpai di negara industri, seperti mebel, TV bekas, kasur dll. Kelompok ini dapat meliputi rumah tinggal
yang ditempati oleh sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang berada dalam suatu kawasan
permukiman, maupun unit rumah tinggal yang berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga dapat
dihasilkan sampah golongan B3 (bahan berbahaya dan beracun), seperti misalnya baterei, lampu TL,
sisa obat-obatan, oli bekas, dll.

Sampah dari daerah komersial: sumber sampah dari kelompok ini berasal dari pertokoan, pusat
perdagangan, pasar, hotel, perkantoran, dll. Dari sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa kertas,
plastik, kayu, kaca, logam, dan juga sisa makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa
sayur, buah, makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini adalah mirip
dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang berbeda.

Sampah dari perkantoran / institusi: sumber sampah dari kelompok ini meliputi perkantoran, sekolah,
rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, dll. Dari sumber ini potensial dihasilkan sampah seperti halnya
dari daerah komersial non pasar.

Sampah dari jalan / taman dan tempat umum: sumber sampah dari kelompok ini dapat berupa jalan
kota, taman, tempat parkir, tempat rekreasi, saluran darinase kota, dll. Dari daerah ini umumnya
dihasilkan sampah berupa daun / dahan pohon, pasir / lumpur, sampah umum seperti plastik, kertas, dll.

Sampah dari industri dan rumah sakit yang sejenis sampah kota: kegiatan umum dalam lingkungan
industri dan rumah sakit tetap menghasilkan sampah sejenis sampah domestik, seperti sisa makanan,
kertas, plastik, dll. Yang perlu mendapat perhatian adalah, bagaimana agar sampah yang tidak sejenis
sampah kota tersebut tidak masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota.

1.4 Permasalahan Persampahan di Indonesia

Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota-kota metropolitan di Indonesia seperti Jakarta,
mengakibatkan munculnya persoalan dalam pelayanan prasarana perkotaan, seperti masalah sampah.
Diperkirakan hanya sekitar 60 % sampah di kota-kota besar di Indonesia yang dapat terangkut ke
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), yang operasi utamanya adalah pengurugan (landfilling). Banyaknya
sampah yang tidak terangkut kemungkinan besar tidak terdata secara sistematis, karena biasanya
dihitung berdasarkan ritasi truk menuju TPA. Jarang diperhitungkan sampah yang ditangani masyarakat
secara swadaya, ataupun sampah yang tercecer dan secara sistematis dibuang ke badan air [9]. Tabel
1.1 merupakan proporsi penduduk yang dilayani oleh Dinas Kebersihan setempat.

Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah: KUMPUL – ANGKUT dan
BUANG [10], dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampahnya adalah
pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Pengelola kota cenderung kurang memberikan
perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah kasus-kasus kegagalan TPA. Pengelola
kota tampaknya beranggapan bahwa TPA yang dipunyainya dapat menyelesaikan semua persoalan
sampah, tanpa harus memberikan perhatian yang proporsional terhadap sarana tersebut. TPA dapat

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 8
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

menjadi bom waktu bagi pengelola kota [11]. Gambar 1.2 berikut merupakan skema pengelolaan
sampah secara umum di Indonesia.

Tabel 1.1 Proporsi pelayanan sampah di Indonesia [8]

Penduduk Penduduk dilayani % penduduk


Pulau
(juta-jiwa) (juta-jiwa) dilayani
Sumatera 49,3 23,5 48
Jawa 137,2 80,8 59
Bali dan Nusa Tenggara 12,6 6,0 47
Kalimantan 12,9 6,0 46
Sulawesi, Maluku dan Papua 20,8 14,2 68
Total 232,7 130,3 56

Penyingkiran dan pemusnahan sampah atau limbah padat lainnya ke dalam tanah merupakan cara yang
selalu digunakan, karena alternatif pengolahan lain belum dapat menuntaskan permasalahan yang ada.
Cara ini mempunyai banyak resiko, terutama akibat kemungkinan pencemaran air tanah. Di negara
majupun cara ini masih tetap digunakan walaupun porsinya tambah lama tambah menurun. Cara
penyingkiran limbah ke dalam tanah yang dikenal sebagai landfilling merupakan cara yang sampai saat
ini paling banyak digunakan, karena biayanya relatif murah, pengoperasiannya mudah dan luwes dalam
menerima limbah. Namun fasilitas ini berpotensi mendatangkan masalah pada lingkungan, terutama dari
lindi (leachate) yang dapat mencemari air tanah serta timbulnya bau dan lalat yang mengganggu, karena
biasanya sarana ini tidak disiapkan dan tidak dioperasikan dengan baik [10].

Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong
sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong hayati ini
untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-
hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup potensial, mulai dari sumber sampah (dari
rumah-rumah) sampai ke TPA. Sisanya (sekitar 2%) tergolong B3 yang perlu dikelola tersendiri [12].

Gambar 1.2 : Pengelolaan sampah kumpul – angkut – buang [9]

Berdasarkan hal itulah di sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB
memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) pada tingkat kawasan dengan sasaran
meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA sebanyak mungkin dengan melibatkan swadaya
masyarakat dalam daur-ulang sampah [13]. Konsep ini sempat diuji coba di beberapa kota termasuk di
Jakarta. Konsep sejenis sudah dikembangkan di Jakarta yaitu Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos
(UDPK) yang dimulai sekitar tahun 1991. Tetapi konsep ini tidak berjalan lancar karena membutuhkan
kesiapan semua fihak untuk merubah cara fikir dan cara pandang dalam penanganan sampah, termasuk
cara pandang Pengelola Kota setempat. Konsep yang sejenis diperkenalkan oleh BPPT dengan zero-
waste nya. Secara teknis keberhasilan cara ini banyak tergantung pada bagaimana memilah dan
memisahkan sampah sedini mungkin, yaitu dimulai dari sampah di rumah yang telah dipisah, gerobak

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 9
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

sampah yang terdiri dari beberapa kompartemen serta truk sampah yang akan mengangkut sampah
sejenis menuju pemrosesan [11].

Berdasarkan data tahun 2008, jenis penanganan sampah yang berlangsung di Indonesia adalah sebagai
berikut [8]:
- Pengurugan: 68,86%
- Pengomposan: 7,19%
- Open burning: 4,79%
- Dibuang ke sungai: 2,99%
- Insinerator skala kecil: 6,59%
- Non-pengurugan: 9,58%

Sampah yang dibuang ke lingkungan akan menimbulkan masalah bagi kehidupan dan kesehatan
lingkungan, terutama kehidupan manusia. Masalah tersebut dewasa ini menjadi isu yang hangat dan
banyak disoroti karena memerlukan penanganan yang serius. Beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan keberadaan sampah, di antaranya [4, 11]:
- Masalah estetita (keindahan) dan kenyamanan yang merupakan gangguan bagi pandangan mata.
Adanya sampah yang berserakan dan kotor, atau adanya tumpukan sampah yang terbengkelai
adalah pemandangan yang tidak disukai oleh sebagaian besar masyarakat.
- Sampah yang terdiri atas berbagai bahan organik dan anorganik apabila telah terakumulasi dalam
jumlah yang cukup besar, merupakan sarang atau tempat berkumpulnya berbagai binatang yang
dapat menjadi vektor penyakit, seperti lalat, tikus, kecoa, kucing, anjing liar, dan sebagainya. Juga
merupakan sumber dari berbagai organisme patogen, sehingga akumulasi sampah merupakan
sumber penyakit yang akan membahayakan kesehatan masyarakat, terutama yang bertempat
tinggal dekat dengan lokasi pembuangan sampah.
- Sampah yang berbentuk debu atau bahan membusuk dapat mencemari udara. Bau yang timbul
akibat adanya dekomposisi materi organik dan debu yang beterbangan akan mengganggu saluran
pernafasan, serta penyakit lainnya.
- Timbulan lindi (leachate), sebagai efek dekomposisi biologis dari sampah memiliki potensi yang
besar dalam mencemari badan air sekelilingnya, terutama air tanah di bawahnya. Pencemaran air
tanah oleh lindi merupakan masalah terberat yang mungkin dihadapi dalam pengelolaan sampah.
- Sampah yang kering akan mudah beterbangan dan mudah terbakar. Misalnya tumpukan sampah
kertas kering akan mudah terbakar hanya karena puntung rokok yang masih membara. Kondisi
seperti ini akan menimbulkan bahaya kebakaran.
- Sampah yang dibuang sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air buangan dan drainase.
Kondisi seperti ini dapat menimbulkan bahaya banjir akibat terhambatnya pengaliran air buangan
dan air hujan.
- Beberapa sifat dasar dari sampah seperti kemampuan termampatkan yang terbatas,
keanekaragaman komposisi, waktu untuk terdekomposisi sempurna yang cukup lama, dan
sebagainya, dapat menimbulkan beberapa kesulitan dalam pengelolaannya. Misalnya, diperlukan
lahan yang cukup luas dan terletak agak jauh dari pemukiman penduduk, sebagai lokasi
pembuangan akhir sampah. Volume sampah yang besar merupakan masalah tersendiri dalam
pengangkutannya, begitu juga dengan masalah pemisahan komponen-komponen tertentu sebelum
proses pengolahan.
- Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, kurangnya kemampuan pendanaan, skala
prioritas yang rendah, kurangnya kesadaran penghasil sampah merupakan masalah tersendiri
dalam pengelolaan sampah, khususnya di kota-kota besar.

Pertambahan penduduk yang demikian pesat di daerah perkotaan (urban) telah mengakibatkan
meningkatnya jumlah timbulan sampah. Dari studi dan evaluasi yang telah dilaksanakan di kota-kota di
Indonesia, dapat diidentifikasi masalah-masalah pokok dalam pengelolaan persampahan kota,
diantaranya [11]:
- Bertambah kompleksnya masalah persampahan sebagai konsekuensi logis dari pertambahan
penduduk kota.
- Peningkatan kepadatan penduduk menuntut pula peningkatan metode/pola pengelolaan sampah
yang lebih baik.
- Keheterogenan tingkat sosial budaya penduduk kota menambah kompleksnya permasalahan.
- Situasi dana serta prioritas penanganan yang relatif rendah dari pemerintah daerah merupakan
masalah umum dalam skala nasional.
- Pergeseran teknik penanganan makanan, misalnya menuju ke pengemas yang tidak dapat terurai
seperti plastik.
- Keterbatasan sumber daya manusia yang sesuai yang tersedia di daerah untuk menangani masalah
sampah.
- Pengembangan perancangan peralatan persampahan yang bergerak sangat lambat.
- Partisipasi masyarakat yang pada umumnya masih kurang terarah dan terorganisir secara baik.
- Konsep pengelolaan persampahan yang kadangkala tidak cocok untuk diterapkan, serta kurang
terbukanya kemungkinan modifikasi konsep tersebut di lapangan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 10
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan aktivitas penduduk yang berarti juga
peningkatan jumlah timbulan sampah. Masalah pengelolaan sampah perkotaan antara lain adalah
keterbatasan peralatan, lahan, dan sumber daya manusia. Masalah ini timbul di kota-kota besar ataupun
kota-kota kecil, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Pengelolaan persarnpahan mempunyai beberapa
tujuan yang sangat mendasar yang meliputi [6]:
- Meningkatkan kesehatan lingkungan dan masyarakat
- Melindungi sumber daya alam (air)
- Melindungi fasilitas sosial ekonomi
- Menunjang pembangunan sektor strategis.

Pengelolaan persampahan di negara industri sering didefinisikan sebagai kontrol terhadap timbulan
sampah, mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, proses, dan pembuangan
akhir sampah, dengan prinsip-prinsip terbaik untuk kesehatan, ekonomi, keteknikan/engineering,
konservasi, estetika, lingkungan, dan juga terhadap sikap masyarakat [4]. Keberhasilan pengelolaan,
bukan hanya tergantung aspek teknis semata, tetapi mencakup juga aspek non teknis, seperti
bagaimana mengatur sistem agar dapat berfungsi, bagaimana lembaga atau organisasi yang sebaiknya
mengelola, bagaimana membiayai sistem tersebut dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana
melibatkan masyarakat penghasil sampah dalam aktivitas penanganan sampah. Untuk menjalankan
sistem tersebut, harus melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti perencanaan kota, geografi, ekonomi,
kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, dan ilmu bahan. Sebelum UU-
18/2008 dikeluarkan, kebijakan pengelolaan sampah perkotaan (yang dikeluarkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum) di Indonesia memposisikan bahwa pengelolaan sampah perkotaan merupakan
sebuah sistem yang terdiri dari 5 komponen sub sistem, yaitu [14]:
• Peraturan / hukum
• Kelembagaan dan organisasi
• Teknik operasional
• Pembiayaan
• Peran serta masyarakat.
Namun bila diperhatikan, konsep ini sebetulnya berlaku tidak hanya untuk pendekatan pemecahan
masalah persampahan, tetapi untuk sektor lain yang umumnya terkait dengan pelayanan masyarakat.
Oleh karenanya kelima komponen tsb lebih tepat disebut sebagai aspek-aspek penting yang
mempengaruhi manajemen persampahan.

Peraturan/hukum:
Aspek pengaturan didasarkan atas kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana
sendi-sendi kehidupan bertumpu pada hukum yang berlaku. Manajemen persampahan kota di Indonesia
membutuhkan kekuatan dan dasar hukum, seperti dalam pembentukan organisasi, pemungutan
retribusi, ketertiban masyarakat, dan sebagainya. Peraturan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
sistem pengelolaan sampah di perkotaan antara lain adalah yang mengatur tentang:
- Ketertiban umum yang terkait dengan penanganan sampah
- Rencana induk pengelolaan sampah kota
- Bentuk lembaga dan organisasi pengelola
- Tata-cara penyelenggaraan pengelolaan
- Besaran tarif jasa pelayanan atau retribusi
- Kerjasama dengan berbagai fihak terkait, diantaranya kerjasama antar daerah, atau kerjasama
dengan fihak swasta.

Kelembagaan dan organisasi:


Aspek organisasi dan manajemen merupakan suatu kegiatan yang multi disiplin yang bertumpu pada
prinsip teknik dan manajemen yang menyangkut aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, dan kondisi fisik
wilayah kota, dan memperhatikan pihak yang dilayani yaitu masyarakat kota. Perancangan dan
pemilihan bentuk organisasi disesuaikan dengan:
- Peraturan pemerintah yang membinanya
- Pola sistem operasional yang diterapkan
- Kapasitas kerja sistem
- Lingkup pekerjaan dan tugas yang harus ditangani.

Kebijakan yang diterapkan di Indonesia dalam mengelola sampah kota secara formal adalah seperti
yang diarahkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai departemen teknis yang membina pengelola
persampahan perkotaan di Indonesia. Bentuk institusi pengelolaan persampahan kota yang dianut di
Indonesia:
- Seksi Kebersihan di bawah satu dinas, misalnya Dinas Pekerjaan Umum (PU) terutama apabila
masalah kebersihan kota masih bisa ditanggulangi oleh suatu seksi di bawah dinas tersebut
- Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah suatu dinas, misalnya Dinas PU terutama apabila
dalam struktur organisasi belum ada seksi khusus di bawah dinas yang mengelola kebersihan,

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 11
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

sehingga lebih memberikan tekanan pada masalah operasional, dan lebih mempunyai otonomi
daripada seksi
- Dinas Kebersihan akan memberikan percepatan dan pelayanan pada masyarakat dan bersifat nir-
laba. Dinas ini perlu dibentuk karena aktivitas dan volume pekerjaan yang sudah meningkat
- Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, merupakan organisasi pengelola yang dibentuk bila
permasalahan di kota tersebut sudah cukup luas dan kompleks. Pada prinsipnya perusahaan
daerah ini tidak lagi disubsidi oleh pemerintah daerah (pemda), sehingga efektivitas penarikan
retribusi akan lebih menentukan. Bentuk ini sesuai untuk kota metropolitan.

Teknik operasional:
Teknik operasional pengelolaan sampah kota meliputi dasar-dasar perencanaan untuk kegiatan:
- Pewadahan sampah
- Pengumpulan sampah
- Pemindahan sampah
- Pengangkutan sampah
- Pengolahan sampah
- Pembuangan (sekarang: pemrosesan) akhir sampah.

Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari pewadahan sampah
sampai dengan pembuangan akhir sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang
terdiri atas kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu
dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Pengelolaan sampah B3 rumah tangga dikelola
secara khusus sesuai aturan yang berlaku. Kegiatan pemilahan dapat pula dilakukan pada kegiatan
pengumpulan pemindahan. Kegiatan pemilahan dan daur ulang diutamakan di sumber.

Pembiayaan / retribusi:
Sebagaimana kegiatan yang lain, maka komponen pembiayaan sistem pengelolaan sampah kota secara
ideal dihitung berdasarkan:
- Biaya investasi
- Biaya operasi dan pemeliharaan
- Biaya manajemen
- Biaya untuk pengembangan
- Biaya penyuluhan dan pembinaan masyarakat.

Aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan di
kota tersebut dapat bergerak dengan lancar. Diharapkan bahwa sistem pengelolaan persampahan di
Indonesia akan menuju pada 'pembiayaan sendiri', termasuk disini dengan pembentukan perusahaan
daerah. Sektor pembiayaan ini menyangkut beberapa aspek, seperti:
- Proporsi APBN/APBD pengelolaan sampah, antara retribusi dan biaya pengelolaan sampah
- Proporsi komponen biaya tersebut untuk gaji, transportasi, pemeliharaan, pendidikan dan
pengembangan serta administrasi
- Proporsi antara retribusi dengan pendapatan masyarakat
- Struktur dan penarikan retribusi yang berlaku.

Retribusi persampahan merupakan bentuk konkrit partisipasi masyarakat dalam membiayai program
pengelolaan persampahan. Bentuk penarikan retribusi dibenarkan bila pelaksananya adalah badan
formal yang diberi kewenangan oleh pemerintah.

Peran serta masyarakat:


Tanpa adanya partisipasi masyarakat penghasil sampah, semua program pengelolaan sampah yang
direncanakan akan sia-sia. Salah satu pendekatan kepada masyarakat untuk dapat membantu program
pemerintah dalam kebersihan adalah bagaimana membiasakan masyarakat kepada tingkah laku yang
sesuai dengan tujuan program itu. Hal ini antara lain menyangkut:
- Bagaimana merubah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang tertib dan teratur
- Faktor-faktor sosial, struktur, dan budaya setempat
- Kebiasaan dalam pengelolaan sampah selama ini.

Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan,
yaitu di antaranya:
- Tingkat penyebaran penduduk yang tidak merata
- Belum melembaganya keinginan dalam masyarakat untuk menjaga lingkungan
- Belum ada pola baku bagi pembinaan masyarakat yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan
- Masih banyak pengelola kebersihan yang belum mencantumkan penyuluhan dalam programnya
- Kehawatiran pengelola bahwa inisiatif masyarakat tidak akan sesuai dengan konsep pengelolaan
yang ada.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 12
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 2
SUMBER, KARAKTERISTIK, DAN TIMBULAN SAMPAH
Bagian ini menjelaskan sumber, timbulan, komposisi dan karakteristik sampah. Dijelaskan
bagaimana metode sampling dan pengukuran timbulan sampah. Dijelaskan pula secara umum
jenis sampah yang berkatagori berbahaya yang dihasilkan oleh rumah tangga. Guna lebih
memahami, mahasiswa diminta mengamati selama seminggu jumlah timbulan sampah di
tempat tinggal masing-masing, beserta komposisinya.

2.1 Sumber dan Timbulan Sampah

Secara praktis sumber sampah dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:


a. Sampah dari permukiman, atau sampah rumah tangga
b. Sampah dari non-permukiman yang sejenis sampah rumah tangga, seperti dari pasar, daerah
komersial dsb.
Sampah dari kedua jenis sumber ini (a dan b) dikenal sebagai sampah domestik. Sedang sampah
non-domestik adalah sampah atau limbah yang bukan sejenis sampah rumah tangga, misalnya limbah
dari proses industri. Bila sampah domestik ini berasal dari lingkungan perkotaan, dalam bahasa Inggeris
dikenal sebagai municipal solid waste (MSW).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam pengelolaan sampah kota di Indonesia, sumber sampah kota
dibagi berdasarkan [14]:
a. Permukiman atau rumah tangga dan sejenisnya
b. Pasar
c. Kegiatan komersial seperti pertokoan
d. Kegiatan perkantoran
e. Hotel dan restoran
f. Kegiatan dari institusi seperti industri, rumah sakit, untuk sampah yang sejenis sampah permukiman
g. Penyapuan jalan
h. Taman-taman.
Kadang dimasukkan pula sampah dari sungai atau drainase air hujan, yang cukup banyak dijumpai.
Sampah dari masing-masing sumber tersebut dapat dikatakan mempunyai karakteristik yang khas
sesuai dengan besaran dan variasi aktivitasnya. Demikian juga timbulan (generation) sampah masing-
masing sumber tersebut bervariasi satu dengan yang lain, seperti terlihat dalam standar pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya [15, 16]


No. Komponen sumber sampah Satuan Volume (Liter) Berat (kg)
1. Rumah permanen /orang/hari 2,25 - 2,50 0,350 - 0,400
2. Rumah semi permanen /orang/hari 2,00 - 2,25 0,300 - 0,350
3. Rumah non-permanen /orang/hari 1,75 - 2,00 0,250 - 0,300
4. Kantor /pegawai/hari 0,50 - 0,75 0,025 - 0,100
5. Toko/ruko /petugas/hari 2,50 - 3,00 0,150 - 0,350
6. Sekolah /murid/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,020
7. Jalan arteri sekunder /m/hari 0,10 - 0,15 0,020 - 0,100
8. Jalan kolektor sekunder /m/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,050
9. Jalan lokal /m/hari 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025
10. Pasar /m2/hari 0,20 - 0,60 0,100 - 0,300

Data mengenai timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah merupakan hal yang sangat menunjang
dalam menyusun sistem pengelolaan persampahan di suatu wilayah. Data tersebut harus tersedia agar
dapat disusun suatu alternatif sistem pengelolaan sampah yang baik. Jumlah timbulan sampah ini
biasanya akan berhubungan dengan elemen-elemen pengelolaan sampah antara lain [15]:
− Pemilihan peralatan, misalnya wadah, alat pengumpulan, dan pengangkutan
− Perencanaan rute pengangkutan
− Fasilitas untuk daur ulang
− Luas dan jenis TPA.

Bagi negara berkembang dan beriklim tropis seperti Indonesia, faktor musim sangat besar pengaruhnya
terhadap berat sampah. Dalam hal ini, musim bisa terkait musim hujan dan kemarau, tetapi dapat juga
berarti musim buah-buahan tertentu. Di samping itu, berat sampah juga sangat dipengaruhi oleh faktor
sosial budaya lainnya. Oleh karenanya, sebaiknya evaluasi timbulan sampah dilakukan beberapa kali

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 13
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

dalam satu tahun. Timbulan sampah dapat diperoleh dengan sampling (estimasi) berdasarkan standar
yang sudah tersedia. Timbulan sampah ini dinyatakan sebagai [15]:
2
− Satuan berat: kg/o/hari, kg/m /hari, kg/bed/hari dan sebagainya
2
− Satuan volume: L/o/hari, L/m /hari, L/bed/hari dan sebagainya.
Di Indonesia umumnya menerapkan satuan volume. Penggunaan satuan volume dapat menimbulkan
kesalahan dalam interpretasi karena terdapat faktor kompaksi yang harus diperhitungkan. Sebagai
ilustrasi, 10 unit wadah yang berisi air masing-masing 100 liter, bila air tersebut disatukan dalam wadah
yang besar, maka akan tetap berisi 1000 liter air. Namun 10 unit wadah yang berisi sampah 100 liter, bila
sampah tersebut disatukan dalam sebuah wadah, maka volume sampah akan berkurang karena
mengalami kompaksi. Berat sampah akan tetap. Terdapat faktor kompaksi yaitu densitas.

Prakiraan timbulan sampah baik untuk saat sekarang maupun di masa mendatang merupakan dasar dari
perencanaan, perancangan, dan pengkajian sistem pengelolaan persampahan. Prakiraan rerata
timbulan sampah akan merupakan langkah awal yang biasa dilakukan dalam pengelolaan persampahan.
Satuan timbulan sampah ini biasanya dinyatakan sebagai satuan skala kuantitas per orang atau per unit
bangunan dan sebagainya. Bagi kota-kota di negara berkembang, dalam hal mengkaji besaran timbulan
sampah, agaknya perlu diperhitungkan adanya faktor pendaurulangan sampah mulai dari sumbernya
sampai di TPA.

Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari hari ke hari, antara satu daerah dengan daerah
lainnya, dan antara satu negara dengan negara lainnya. Variasi ini terutama disebabkan oleh perbedaan,
antara lain [17]:
− Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya
− Tingkat hidup: makin tinggi tingkat hidup masyarakat, makin besar timbulan sampahnya
− Musim: di negara Barat, timbulan sampah akan mencapai angka minimum pada musim panas
− Cara hidup dan mobilitas penduduk
− Iklim: di negara Barat, debu hasil pembakaran alat pemanas akan bertambah pada musim dingin
− Cara penanganan makanannya.

Contoh timbulan sampah adalah seperti tercantum dalam Tabel 2.2 yang berasal dari kota Bandung
pada tahun 1994. Beberapa studi memberikan angka timbulan sampah kota di Indonesia berkisar antara
3
2-3 liter/orang/hari dengan densitas 200-300 kg/m dan komposisi sampah organik 70-80%. Untuk
memberikan gambaran tentang timbulan sampah ini, beberapa angka tentang timbulan sampah
diberikan dalam Tabel 2.3 (Jakarta tahun 2000 dan 2005), 2.4 dan 2.5 di bawah ini, yang merupakan
rangkuman dari beberapa laporan hasil penelitian sebagai gambaran.

Tabel 2.2: Timbulan sampah kota Bandung, 1994 [18]


No. Sumber sampah Timbulan Satuan
Pemukiman:
1. Rumah: Permanen 2,04 l/o/h L/o/h
Semi permanen 1,77 l/o/h L/o/h
Non permanen 2,14 l/o/h L/o/h
Rerata 1,98 l/o/h L/o/h
Non pemukiman:
2. Pasar 5,35 L/m2/h
3. Jalan 516,94 L/km/h
4. Toko 24,0 L/unit/h
5. Kantor 85,5 L/unit/hari
6. Rumah makan 356,3 L/unit/h
7. Hotel 2,5 L/bed/h
8. Industri 0,54 L/pegawai/h
9. Rumah sakit 7,86 L/bed/h

Tabel 2.3: Jumlah sampah di Jakarta [19]


Sources 2000 2005
(Ton/hari) (%) (Ton/hari) (%)
Rumah tangga 4169 65 3067 51
Pasar 280 5
Sekolah 308 5
Komersial 963 15 1583 26
Industri/institusi 641 10 516 9
Jalan, saluran dll 640 10 246 4
Total 6413 100 6000 100

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 14
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 2.4: Timbulan Sampah di Beberapa Negara [20]


Kota Timbulan (kg/orang/hari)
Paris 1,100
Damaskus 0,635
Fes 0,625
Rabat 0,550
Konakry 0,440
Karachi 0,550
Singapura 0,870
Manila 0,550
Jakarta 0,650

Tabel 2.5: Jumlah sampah di Indonesia 2008 [19]


Jumlah sampah kota
Pulau
(ribu ton)
Sumatera 8,7
Jawa 21,2
Bali dan pulau-pulau Nusa Tenggara 1,3
Kalimantan 2,3
Sulawesi, Maluku dan Papua 5,0
Total 38,5

Menurut SNI 19-3964-1995 [21], bila pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung
besaran sistem, dapat digunakan angka timbulan sampah sebagai berikut:
− Satuan timbulan sampah kota besar = 2 – 2,5 L/orang/hari, atau = 0,4 – 0,5 kg/orang/hari
− Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5 – 2 L/orang/hari, atau = 0,3 – 0,4 kg/orang/hari
Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah tangga, maka untuk
perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat dianggap sudah meliputi sampah yang
ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai kegiatan dan berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan,
pasar, hotel, taman, kantor dsb. Namun tambah besar sebuah kota, maka tambah mengecil porsi
sampah dari permukiman, dan tambah membesar porsi sampah non-permukiman, sehingga asumsi
tersebut di atas perlu penyesuaian, seperti contoh di bawah ini.

Contoh :
Jumlah penduduk sebuah kota = 1 juta orang. Bila satuan timbulan sampah = 2,5 L/orang/hari atau 0,5
3
kg/orang/hari, maka jumlah sampah dari permukiman adalah = 2,5x1.000.000 /1000 m /hari = 2500
3
m /hari atau setara dengan 500 ton/hari. Bila jumlah sampah dari sektor non-permukiman diasumsi
berkontribusi 35% dari total sampah di kota tersebut, maka total sampah yang dihasilkan dari kota
3
tersebut = 2500/0,65 = 3846 m /hari, atau = 769 ton/hari. Bila dikonversi terhadap total penduduk, maka
3
kota tersebut dapat dinyatakan menghasilkan timbulan sampah sebesar 3846 m /har/1 juta orang/hari,
atau = 3,85 L/orang/hari, yang merupakan satuan timbulan ekivalensi penduduk.

2.2 Komposisi Sampah

Pengelompokan berikutnya yang juga sering dilakukan adalah berdasarkan komposisinya, misalnya
dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau % volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet,
plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain. Tabel 2.6 menggambarkan tipikal komposisi sampah
pemukiman di kota di negara maju. Sedang Tabel 2.7 menggambarkan contoh komposisi sampah kota di
beberapa tempat di dunia. Komposisi dan sifat-sifat sampah menggambarkan keanekaragaman aktivitas
manusia.

Tabel 2.6: Komposisi sampah domestik [22]


Kategori sampah % Berat % Volume
Kertas dan bahan-bahan kertas 32,98 62,61
Kayu/produk dari kayu 0,38 0,15
Plastik, kulit, dan produk karet 6,84 9,06
Kain dan produk tekstil 6,36 5,1
Gelas 16,06 5,31
Logam 10,74 9,12
Bahan batu, pasir 0,26 0,07
Sampah organic 26,38 8,58

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 15
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 2.7: Komposisi sampah di beberapa kota (% berat basah) [17]


Komponen London Singapura Hongkong Jakarta Bandung
Organik 28 4,6 9,4 74 73,4
Kertas 37 43,1 32,5 8 9,7
Logam 9 3 2,2 2 0,5
Kaca 9 1,3 9,7 2 0,4
Tekstil 3 9,3 9,6 - 1,3
Plastik/Karet 3 6,1 6,2 6 8,6
Lain-lain 11 32,6 29,4 8 6,1

Pengertian sampah organik seperti tercantum dalam Tabel di atas lebih bersifat untuk mempermudah
pengertian umum, untuk menggambarkan komponen sampah yang cepat terdegradasi (cepat
membusuk), terutama yang berasal dari sisa makanan. Sampah yang membusuk (garbage) adalah
sampah yang dengan mudah terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian
pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan, pembuangan, maupun
pengangkutannya. Pembusukan sampah ini dapat menghasilkan bau tidak enak, seperti ammoniak dan
asam-asam volatil lainnya. Selain itu, dihasilkan pula gas-gas hasil dekomposisi, seperti gas metan dan
sejenisnya, yang dapat membahaykan keselamatan bila tidak ditangani secara baik. Penumpukan
sampah yang cepat membusuk perlu dihindari. Sampah kelompok ini kadang dikenal sebagai sampah
basah, atau juga dikenal sebagai sampah organik. Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses
dengan bantuan mikroorganisme, misalnya dalam pengomposan atau gasifikasi.

Sampah yang tidak membusuk atau refuse pada umumnya terdiri atas bahan-bahan kertas, logam,
plastik, gelas, kaca, dan lain-lain. Sampah kering (refuse) sebaiknya didaur ulang, apabila tidak maka
diperlukan proses lain untuk memusnahkannya, seperti pembakaran. Namun pembakaran refuse ini juga
memerlukan penanganan lebih lanjut, dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara yang
bermasalah, khususnya bila mengandung plastik PVC. Kelompok sampah ini dikenal pula sebagai
sampah kering, atau sering pula disebut sebagai sampah anorganik.

Di negara beriklim dingin, sampah berupa debu dan abu banyak dihasilkan sebagai produk hasil
pembakaran, baik pembakaran bahan bakar untuk pemanas ruangan, maupun abu hasil pembakaran
sampah dari insinerator. Abu debu di negara tropis seperti Indonesia, banyak berasal dari penyapuan
jalan-jalan umum. Selama tidak mengandung zat beracun, abu tidak terlalu berbahaya terhadap
lingkungan dan masyarakat. Namun, abu yang berukuran <10 µm dapat memasuki saluran pernafasan
dan menyebabkan penyakit pneumoconiosis.

Sampah berbahaya adalah semua sampah yang mengandung bahan beracun bagi manusia, flora, dan
fauna. Sampah ini pada umumnya terdiri atas zat kimia organik maupun anorganik serta logam-logam
berat, yang kebanyakan merupakan buangan industri. Sampah jenis ini sebaiknya dikelola oleh suatu
badan yang berwenang dan dikeluarkan ke lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sampah
jenis ini tidak dapat dicampurkan dengan sampah kota biasa. Lihat uraian butir 2.5.

Komposisi sampah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor:


− Cuaca: di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah juga akan cukup tinggi
− Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah dikumpulkan maka semakin tinggi tumpukan
sampah terbentuk. Tetapi sampah organik akan berkurang karena membusuk, dan yang akan terus
bertambah adalah kertas dan dan sampah kering lainnya yang sulit terdegradasi
− Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang sedang berlangsung
− Tingkat sosial ekonomi: Daerah ekonomi tinggi pada umumnya menghasilkan sampah yang terdiri
atas bahan kaleng, kertas, dan sebagainya
− Pendapatan per kapita: masyarakat dari tingkat ekonomi rendah akan menghasilkan total sampah
yang lebih sedikit dan homogen dibanding tingkat ekonomi lebih tinggi.
− Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan mempengaruhi. Negara
maju cenderung tambah banyak yang menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan negara
berkembang seperti Indonesia banyak menggunakan plastik sebagai pengemas.

Dengan mengetahui komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang tepat dan yang paling
efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Tipikal komposisi sampah didasarkan atas
tingkat pendapatan digambarkan pada Tabel 2.8 di bawah ini. Tambah sederhana pola hidup
masyarakatnya, tambah banyak komponen sampah organik (sisa makanan, dsb). Suatu penelitian
(1989) yang dilakukan di beberapa kota di Jawa Barat menggambarkan hal tersebut dalam skala kota,
seperti tampak dalam Tabel 2.9 berikut ini. Tambah besar dan beraneka ragam aktivitas sebuah kota,
maka tambah kecil proporsi sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga, yang umumnya

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 16
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

didominasi sampah organik. Tabel 2.10 menggambarkan contoh komposisi sampah berdasarkan
sumbernya. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa pemukiman merupakan sumber sampah
terbesar dengan komposisi sampah basah atau sampah organik sebesar 73-78%. Dengan kondisi
seperti itu disertai kelembaban sampah yang tinggi, maka sampah akan sangat cepat membusuk.

Tabel 2.8: Tipikal komposisi sampah pemukiman (% berat basah) [20]


Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Komposisi
low income middle income high income
Kertas 1-10 15-40 15-40
Kaca, keramik 1-10 1-10 4-10
Logam 1-5 1-5 3-13
Plastik 1-5 2-6 2-10
Kulit, karet 1-5 - -
Kayu 1-5 - -
Tekstil 1-5 2-10 2-10
Sisa makanan 40-85 20-65 20-50
Lain-lain 1-40 1-30 1-20

Tabel 2.9: Tendensi komposisi sampah di Jawa Barat (%berat basah) [15]
Sumber sampah Jakarta Bandung Cirebon Pelab.Ratu
Rumah tangga 49,3 53,1 73,4 77,0
Pasar 16,4 16,9 2,8 14,5
Komersial 17,4 17,4 4,5 1,0
Industri 15,8 - - -
Jalan 1,1 7,6 0,8 1,2
Sekolah - - 1,9 1,2
Kantor - - 3,6 -
Lain-lain - 5,0 5,0 5,0

Tabel 2.10: Komposisi sampah kota Bandung berdasarkan sumber (% berat basah ) 1988 [23]
Permukiman
Komposisi dengan pendapatan Pasar Pertokoan Sapuan TPS TPA
Rendah Sedang Tinggi
Sampah 78,72 75,95 73,41 86,36 67,03 42,23 82,76 87,78
basah
Daun-daun 1,70 2,14 3,51 1,25 0,05 29,30 3,76 -
Kertas 6,10 7,68 9,32 5,77 0,05 18,16 4,94 4,60
Tekstil 1,94 0,53 1,69 0,45 17,38 0,19 1,03 0,76
Karet 1,80 0,17 0,19 0,14 2,89 - 0,07 0,35
Plastik 6,31 7,91 9,15 5,67 - 8,16 4,85 4,71
Kulit 0,85 2,13 0,52 - 11,96 - 0,06 0,10
Kayu 0,77 0,59 0,55 - 0,29 - 0,43 1,13
Kaca 0,51 0,48 0,80 0,19 0,29 - 0,28 0,10
Logam 0,79 0,72 1,18 0,09 0,10 - 0,19 0,12
Lain-lain 0,51 1,81 0,69 0,08 0,01 1,96 1,16 1,35

2.3 Karakteristik Sampah

Selain komposisi, maka karakteristik lain yang biasa ditampilkan dalam penanganan sampah adalah
karakteritik fisika dan kimia. Karakteristik tersebut sangat bervariasi, tergantung pada komponen-
komponen sampah. Kekhasan sampah dari berbagai tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda-beda
memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di negara-negara yang sedang berkembang
akan berbeda susunannya dengan sampah kota di negara-negara maju.

Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:


- Karakteristik fisika: yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar volatil, kadar abu, nilai
kalor, distribusi ukuran (Gambar 2.1 merupakan skematis berat bahan)
- Karakteristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri
dari unsur C, N, O, P, H, S, dsb.

Menurut pengamatan di lapangan, maka densitas sampah akan tergantung pada sarana pengumpul dan
pengangkut yang digunakan, biasanya untuk kebutuhan desain digunakan angka [24] :
3
− Sampah di wadah sampah rumah: 0,01 – 0,20 ton/m
3
− Sampah di gerobak sampah: 0,20 – 0,25 ton/m

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 17
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

3
− Sampah di truk terbuka: 0,30 – 0,40 ton/m
3
− Sampah di TPA dengan pemadaran konvensional = 0,50 – 0,60 ton/m .
Tabel 2.11 merupakan contoh karakteristik sampah yang sering dimunculkan di Indonesia. Tabel 2.12
merupakan contoh karakteristik di kota sebuah TPS di kota Bandung pada tahun 2007.

Berat basah
Kadar air hilang pada 105oC

Volatil hilang pada 550oC Berat kering

Fixed carbon hilang pada 850oC


Abu pada 550oC

Karbonat

Gambar 2.1: Posisi bahan pada temperatur pembakaran

Tabel 2.11: Karakteristik sampah kota Bandung 1988 [25]


Parameter Persentase
Kadar air (% berat basah) 64,27
pH 6,27
Materi organik (% berat basah) 44,70
Karbon (% berat kering) 44,70
Nitrogen (% berat kering) 1,56
Posfor (% berat kering) 0,241
Kadar abu (% berat kering) 23,09
Nilai kalor ( kkal/kg) 1197

Tabel 2.12 Contoh karakteristik sampah


Kadar air Kadar volatil Kadar abu
Komponen
(% berat basah) (% berat kering) (% berat kering)
Sisa makanan 88,33 88,09 11,91
Kertas-tissu 5,03 99,69 0,31
Daun 34,62 96,92 3,08
Botol kaca 1,30 0,52 99,48
Botol/cup plastik 2,57 88,48 11,52
Karton 6,57 94,45 5,55
Kertas putih 50,65 80,00 20,00
Tekstil 3,41 86,32 13,68
Plastik macam-macam 68,45 98,21 1,79

Informasi mengenai komposisi dan karakteristik sampah diperlukan untuk memilih dan menentukan cara
pengoperasian setiap peralatan dan fasilitas-fasilitas lainnya dan untuk memperkirakan kelayakan
pemanfaatan kembali sumberdaya dan energi dalam sampah, serta untuk perencanaan fasilitas
pembuangan akhir.

2.4 Metode Pengukuran [15, 21]

Timbulan sampah yang dihasilkan dari sebuah kota dapat diperoleh dengan survey pengukuran atau
analisa langsung di lapangan, yaitu:
a. Mengukur langsung satuan timbulan sampah dari sejumlah sampel (rumah tangga dan non-rumah
tanga) yang ditentukan secara random-proporsional di sumber selama 8 hari berturut-turut (SNI 19-
3964-1995 dan SNI M 36-1991-03)
b. Load-count analysis: Mengukur jumlah (berat dan/atau volume) sampah yang masuk ke TPS,
misalnya diangkut dengan gerobak, selama 8 hari berturut-turut. Dengan melacak jumlah dan jenis
penghasil sampah yang dilayani oleh gerobak yang mengumpulkan sampah tersebut, sehingga
akan diperoleh satuan timbulan sampah per-ekivalensi penduduk
c. Weigh-volume analysis: bila tersedia jembatan timbang, maka jumlah sampah yang masuk ke
fasilitas penerima sampah akan dapat diketahui dengan mudah dari waktu ke waktu. Jumlah
sampah sampah harian kemudian digabung dengan perkiraan area yang layanan, dimana data

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 18
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

penduduk dan sarana umum terlayani dapat dicari, maka akan diperoleh satuan timbulan sampah
per-ekuivalensi penduduk
d. Material balance analysis: merupakan analisa yang lebih mendasar, dengan menganalisa secara
cermat aliran bahan masuk, aliran bahan yang hilang dalam system, dan aliran bahan yang menjadi
sampah dari sebuah sistem yang ditentukan batas-batasnya (system boundary)

Dalam survey, frekuensi pengambilan sampel sebaiknya dilakukan selama 8 (delapan) hari berturut-turut
guna menggambarkan fluktuasi harian yang ada. Dilanjutkan dengan kegiatan bulanan guna
menggambarkan fluktuasi dalam satu tahun. Penerapan yang dilaksanakan di Indonesia biasanya telah
disederhanakan, seperti:
− Hanya dilakukan 1 hari saja
− Dilakukan dalam seminggu, tetapi pengambilan sampel setiap 2 atau 3 hari
− Dilakukan dalam 8 hari berturut-turut.

Metode yang umum digunakan untuk menentukan kuantitas total sampah yang akan dikumpulkan dan
diangkut ke TPA adalah sebagai berikut:
− Rata-rata angkutan per hari dikalikan volume rata-rata pengangkutan dan dikonversikan ke satuan
berat dengan menggunakan densitas rata-rata yang diperoleh melalui sampling
− Mengukur berat sampel di dalam kendaraan angkut dengan menggunakan jembatan timbang,
kemudian rata-ratanya dikalikan dengan total angkutan per hari
− Mengukur berat setiap angkutan di jembatan timbang di TPA.

Jumlah sampah yang sampai di TPA sulit untuk dijadikan indikasi yang akurat mengenai timbulan
sampah yang sebenarnya di sumber. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kehilangan sampah di setiap
tahapan proses operasional pengelolaan sampah tersebut, terutama karena adanya aktivitas
pemulungan atau pemilahan sampah.

Untuk keperluan tertentu, misalnya menentukan volume yang dibutuhkan untuk pewadahan sampah atau
menentukan potensi daur ulang, perlu diupayakan untuk mengukur jumlah sampah di sumber. Hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan sampling sampah langsung di sumbernya. Karena aktivitas domestik
bervariasi dari hari ke hari dengan siklus mingguan, sampling sampah di sumber harus dilaksanakan
selama satu minggu (umumnya 8 hari berturut-turut).

Penentuan jumlah sampel yang biasa digunakan dalam analisis timbulan sampah adalah adalah dengan
pendekatan statistika, yaitu:
a. Metode stratified random sampling: yang biasanya didasarkan pada komposisi pendapatan
penduduk setempat, dengan anggapan bahwa kuantitas dan kualitas sampah dipengaruhi oleh
tingkat kehidupan masyarakat.
b. Jumlah sampel minimum: ditaksir berdasarkan berapa perbedaan yang bisa diterima antara yang
ditaksir dengan penaksir, berapa derajat kepercayaan yang diinginkan, dan berapa derajat
kepercayaan yang bisa diterima.
c. Pendekatan praktis: dapat dilakukan dengan pengambilan sampel sampah berdasarkan atas jumlah
minimum sampel yang dibutuhkan untuk penentuan komposisi sampah, yaitu minimum 500 liter atau
sekitar 200 kg. Biasanya sampling dilakukan di TPS atau pada gerobak yang diketahui sumber
sampahnya.

Metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah di Indonesia biasanya
dilaksanakan berdasarkan SNI M 36-1991-03 [21]. Penentuan jumlah sampel sampah yang akan diambil
dapat menggunakan formula berikut:
6
a. Bila jumlah penduduk ≤ 10 jiwa
P = Cd. Ps ................................................................................................................(2.1)
Keterangan:
6
Ps= jumlah penduduk bila ≤ 10 jiwa
Cd = koefisien
Cd = 1 bila kepadatan penduduk normal.
! Cd < 1 bila kepadatan penduduk jarang.
Cd >1 bila kepadatan penduduk padat.
6
b. Bila jumlah penduduk > 10 jiwa
P = Cd.Cj. Ps ..... ………………………………………………………………… (2.2)
" penduduk
Cj =
10 6
Contoh :
- Jumlah penduduk = 900.000 jiwa.
- Cd = 1.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 19
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Penyelesaian :
2
P = 1 x 900.000 = 9,5.10 jiwa = 950 jiwa.
Setiap 1 rumah diasumsikan terdiri atas 6 jiwa
950
Jumlah rumah = = ± 160 rumah
6
Jumlah sampel yang harus diambil dari masing-masing strata pendapatan, yaitu :
! High income = X→
X
x160
(X +Y +Z )
Y
Medium income = Y→ x160
! (X +Y +Z )
Z
Low income = Z → x160
(X +Y +Z )
!
Untuk memprediksi timbulan sampah dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
! n .......................................................................................................
Qn = Qt(1+Cs) (2.3)
![1+ (Ci + Cp + Cqn ) / 3]
dengan Cs= [1+ p ]
.................................................................................... (2.4)
dimana :
! Qn: timbulan sampah pada n tahun mendatang.
Qt: timbulan sampah pada tahun awal perhitungan.
Cs: peningkatan/pertumbuhan kota.
Ci: laju pertumbuhan sektor industri.
Cp: laju pertumbuhan sektor pertanian.
Cqn: laju peningkatan pendapatan per kapita.
P: laju pertumbuhan penduduk.

Contoh:
 Timbulan sampah suatu kota saat ini (tahun 2004) = 2,32 l/o/hari.
 Ci = 9,37%; Cqn = 3,49%; Cp = 0,82%.
 P = 1,88%
Berapa besar timbulan sampah pada tahun 2005, 2010, 2020?
Penyelesaian :

[1+ ( 9 , 37% + 0 ,82% + 3, 49%) / 3]


Cs = [1+1,88%]
= 1,03%
Jadi:
1
Q(2005) = 2,32.(1+0,0103) = 2,34 l/o/hari.
6
Q(2010) = 2,32.(1+0,0103) = 2,47 l/o/hari.
16
Q(2020) = 2,32.(1+0,0103) = 2,73 l/o/hari.

2.5 Sampah Berbahaya dari Rumah Tangga [27]

Bahan sehari-hari yang digunakan di rumah tangga dewasa ini, khususnya di kota, tidak terlepas dari
penggunaan bahan berbahaya. Bila bahan tersebut tidak lagi digunakan, maka bahan tersebut akan
menjadi limbah, yang kemungkinan besar tetap berkategori berbahaya, termasuk pula bekas
pewadahannya seperti bekas cat, tabung bekas pewangi ruangan. Bahan-bahan tersebut digunakan
dalam hampir seluruh kegiatan di rumah tangga, yaitu:
− di dapur, seperti pembersih saluran air, soda kaustik, semir, gas elpiji, minyak tanah, asam cuka,
kaporit atau desinfektan, spiritus / alkohol
− di kamar mandi dan cuci, seperti cairan setelah mencukur, obat-obatan, shampo anti ketombe,
pembersih toilet, pembunuh kecoa
− di kamar tidur, seperti parfum, kosmetik, kamfer, obat-obatan, hairspray, air freshener, pembunuh
nyamuk
− di ruang keluarga, seperti korek api, alkohol, batere, cairan pmbersih,
− di garasi/taman, seperti pestisida dan insektisida, pupuk, cat dan solven pengencer, perekat, oli
mobil, aki bekas

Di lingkungan pedesaan serta di lingkungan yang terlihat asri, penggunaan bahan berbahaya agaknya
juga sulit dihindari, seperti penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian, yang dampaknya disamping
akan menghasilkan residu yang terbuang pada badan penerima alamiah, namun dapat pula masih
tersisa pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti dalam sayur mayur dan buah-buahan.
Kegiatan agrowisata, seperti adanya lapangan golf dan sebagainya menambah intesifnya penggunaan
bahan biosida yang umumnya resistan dan bersifat biokumulasi serta mendatangkan dampak negatif
dalam jangka panjang bagi manusia yang terpaparnya.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 20
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Pada dasarnya bahan berbahaya tidak akan menimbulkan bahaya jika pemakaian, penyimpanan dan
pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pencampuran dua atau lebih dapat pula
menimbulkan masalah. Efek pada kesehatan manusia yang paling ringan umumnya akan terasa
langsung karena bersifat akut, seperti kesulitan bernafas, kepala pusing, lamban, iritasi mata atau kulit.
Oleh karenanya, pada kemasan bahan-bahan tersebut biasanya tertera aturan penyimpanan, misalnya
tidak terpapar pada temperatur atau diletakkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak.

Survai yang dilakukan di Amerika Serikat menggambarkan porsi limbah berbahaya pada sampah kota
yang berasal dari bahan yang biasa digunakan di rumah di Amerika Serikat, seperti tertera dalam Tabel
2.13 di bawah ini.

Tabel 2.13: Limbah berbahaya dari rumah tangga [4]


Komponen Persen
Penggunaan untuk pembersih 40,0
Penggunaan untuk perawatan badan 16,4
Produk untuk otomotif 30,1
Cat dan sejenisnya 7,5
Penggunaan rumah tangga lain 6,0

Contoh di bawah ini lebih lanjut menggambarkan karakteristik bahaya dari bahan yang biasa digunakan
di rumah tangga tersebut di atas:
a. Produk pembersih:
− bubuk penggosok abrasif: korosif
− pembersih mengandung senyawa amunium dan turunannya : korosif
− pengelantang: toksik, korosif
− pembersih saluran air: korosif
− pengkilap mebel: mudah terbakar
− pembersih kaca: Korosif (iritasi)
− pembersih oven: korosif
− semir sepatu: mudah terbakar
− pengkilap logam (perak): mudah terbakar
− penghilang bintik noda: mudah terbakar
− pembersih toilet dan lantai: korosif
− pembersih karpet/kain: korosif, mudah terbakar
b. Perawatan badan:
− shampo (anti ketombe): toksik
− penghilang cat kuku: toksik, mudah terbakar
− minyak wangi: mudah terbakar
− kosmetika: toksik
− obat-obatan: toksik
c. Produk otomotif:
− cairan anti beku: toksik
− oli: mudah terbakar
− aki mobil: korosif
− bensin, minyak tanah: mudah terbakar, toksik
d. Produk rumah tangga lain:
− cat: mudah terbakar, toksik
− pelarut / tiner: mudah terbakar
− baterei: korosif dan toksik
− khlorin kolam renang: korosif dan toksik
− biosida anti insek: toksik, mudah terbakar
− herbisida, pupuk: toksik
− aerosol: mudah terbakar, mudah meledak
Bahan tersebut dapat pula menimbulkan bahaya lain bila bercampur satu dengan yang lain, seperti
timbulnya gas toksik bila pembersih mengandung senyawa amonia bercampur dengan pengelantang
yang mengandung khlor, atau menimbulkan ledakan bila tabung sisa aerosol terbakar di bak sampah.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 21
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 3
PENGELOLAAN SAMPAH MELALUI PENGURANGAN
Bagian ini menjelaskan konsep utama pengelolaan sampah yang bertumpu pada pengurangan
(minimasi) sejak sebelum sampah itu terbentuk. Dijelaskan bahwa 3R (reduce, reuse dan
recycle) merupakan dasar penanganan sampah menurut UU-18/2008. Pengelolaan sampah
hendaknya bersifat terpadu sesuai dengan karakteristik sampah itu sendiri.

3.1 Konsep Minimasi Limbah

Dilihat dari keterkaitan terbentuknya limbah, khususnya limbah padat, ada 2 (dua) pendekatan yang
dapat dilakukan untuk mengendalikan akibat adanya limbah, yaitu:
a. Pendekatan proaktif: yaitu upaya agar dalam proses penggunaan bahan akan dihasilkan limbah
yang seminimal mungkin, dengan tingkat bahaya yang serendah mungkin.
b. Pendekatan reaktif: yaitu penanganan limbah yang dilakukan setelah limbah tersebut terbentuk

Pendekatan proakatif merupakan strategi yang diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an dalam dunia
industri, dikenal sebagai proses bersih atau teknologi bersih yang bersasaran pada pengendalian
atau reduksi terjadinya limbah melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan yang akrab
lingkungan. Konsep ini secara sederhana meliputi:
− Pengaturan yang lebih baik dalam manajemen penggunaan bahan dan enersi serta limbahnya
melalui good house keeping
− Penghematan bahan baku, fluida dan enersi yang digunakan
− Pemakaian kembali bahan baku tercecer yang masih bisa dimanfaatkan
− Penggantian bahan baku, fluida dan enesi
− Pemodivikasian proses bahkan kalau perlu penggantian proses dan teknologi yang digunakan agar
emisi atau limbah yang dihasilkan seminimal mungkin dan dengan tingkat bahaya yang serendah
mungkin
− Pemisahan limbah yang terbentuk berdasarkan jenisnya agar lebih mudah penanganannya

Pendekatan reaktif, yaitu konsep yang dianggap perlu diperbaiki, adalah konsep dengan upaya
pengendalian yang dilakukan setelah limbah terbentuk, dikenal sebagai pendekatan end-of-pipe.
Konsep ini mengandalkan pada teknologi pengolahan dan pengurugan limbah, agar emisi dan residu
yang dihasilkan aman dilepas kembali ke lingkungan. Konsep pengendalian limbah secara reaktif
tersebut kemudian diperbaiki melalui kegiatan pemanfaatan kembali residu atau limbah secara langsung
(reuse), dan/atau melalui sebuah proses terlebih dahulu sebelum dilakukan pemanfaatan (recycle)
terhadap limbah tersebut.

Secara ideal kemudian pendekatan proses bersih tersebut dikembangkan menjadi konsep hierarhi
urutan prioritas penanganan limbah secara umum, yaitu [28]:
a. Langkah 1 Reduce (pembatasan): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan sesedikit mungkin
b. Langkah 2 Reuse (guna-ulang): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan memanfaatkan
limbah tersebut secara langsung
c. Langkah 3 Recycle (daur-ulang): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan
baku maupun sebagai sumber enersi
d. Langkah 4 Treatment (olah): residu yang dihasilkan atau yang tidak dapat dimanfaatkan kemudian
diolah, agar memudahkan penanganan berikutnya, atau agar dapat secara aman dilepas ke
lingkungan
e. Langkah 5 Dispose (singkir): residu/limbah yang tidak dapat diolah perlu dilepas ke lingkungan
secara aman, yaitu melalui rekayasa yang baik dan aman seperti menyingkirkan pada sebuah
lahan-urug (landfill) yang dirancang dan disiapkan secara baik
f. Langkah 6 Remediasi: media lingkungan (khusunya media air dan tanah) yang sudah tercemar
akibat limbah yang tidak terkelola secara baik, perlu direhabilitasi atau diperbaiki melalui upaya
rekayasa yang sesuai, seperti bioremediasi dan sebagainya.

Konsep proses bersih di atas kemudian diterapkan lebih spesifik dalam pengelolaan sampah, dengan
penekanan pada reduce, reuse dan recycle, yang dikenal sebagai pendekatan 3R. Upaya R1, R2 dan R3
adalah upaya minimasi atau pengurangan sampah yang perlu ditanganii. Selanjutnya, usaha
pengolahan atau pemusnahan sampah bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
bila residu tersebut dilepas ke lingkungan. Sebagian besar pengolahan dan/atau pemusnahan sampah
bersifat transformasi materi yang dianggap berbahaya sehingga dihasilkan materi lain yang tidak
mengganggu lingkungan. Sedangkan penyingkiran limbah bertujuan mengurangi volume dan bahayanya

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 22
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

(seperti insinerasi) ataupun pengurugan dalam tanah seperti landfilling (lahan-urug). Gambar 3.1 adalah
skema umum yang sejenis seperti dibahas di atas melalui pendekatan 3R, yang diperkenalkan di Jepang
sebagai Masyarakat Berwawasan Bahan-Daur (Sound Material Material-Cycle Society) dengan langkah
sebagai berikut [29]:
a. Langkah 1: Penghematan penggunaan sumber daya alam
b. Langkah 2: Pembatasan konsumsi penggunaan bahan dalam kegiatan sehari-hari, termasuk dalam
proses produksi di sebuah industri
c. Langkah 3: Penggunaan produk yang dikonsumsi berulang-ulang
d. Langkah 4a: Pendaur-ulangan bahan yang tidak dapat digunakan langsung
e. Langkah 4b: Pemanfaatan enersi yang terkandung dalam sampah, yang biasanya dilakukan melalui
teknologi insinerasi
f. Langkah 5: Pengembalian residu atau limbah yang tidak dapat dimanfaatkan lagi melalui disposal di
alam secara aman dan sehat

Langkah 1:
Hemat penggunaan
SDA
Langkah 2:
Batasi (reduksi)
Input SDA konsumsi penggunaan
bahan baku bahan
Proses Produksi
Manufaktur, Distribusi

Langkah 4a: Konsumsi Langkah 3:


Daur-ulang bahan yg tidak Gunakan
dapat di-reuse sebagai bahan bahan
baku berulang-kali

Residu

Langkah 4b: Pengolahan


Permanfaatan (Recycling,
enersi dari bahan Pengomposan
yang tidak terdaur- Insinerasi)
ulang, dan tidak ada
alternatif lain

Langkah 5:
Pemrosesan Kembalikan residu yg tidak
Akhir dapat dimanfaatkan lagi,
secara sehat dan aman

Gambar 3.1: Konsep sound material-cycle society [modifikasi dari 29]

3.2 Konsep Pengurangan dalam Pengelolaan Sampah menurut UU-18/2008

Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat 2 kelompok utama pengelolaan sampah,
yaitu:
a. Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah R1),
guna-ulang (R2) dan daur-ulang (R3)
b. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari:
− Pemilahan: dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah
− Pengumpulan: dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke
tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu
− Pengangkutan: dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke
tempat pemrosesan akhir
− Pengolahan: dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 23
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Pemrosesan akhir sampah: dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

UU-18/2008 ini menekankan bahwa prioritas utama yang harus dilakukan oleh semua fihak adalah
bagaimana agar mengurangi sampah semaksimal mungkin. Bagian sampah atau residu dari kegiatan
pengurangan sampah yang masih tersisa selanjutnya dilakukan pengolahan (treatment) maupun
pengurugan (landfilling). Pengurangan sampah melalui 3R menurut UU-18/2008 meliputi:
a. Pembatasan (reduce): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan sesedikit mungkin
b. Guna-ulang (reuse): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan memanfaatkan limbah tersebut
secara langsung
c. Daur-ulang (recycle): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat dimanfaatkan secara
langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku
maupun sebagai sumber enersi

Ketiga pendekatan tersebut merupakan dasar utama dalam pengelolaan sampah, yang mempunyai
sasaran utama minimasi limbah yang harus dikelola dengan berbagai upaya agar limbah yang akan
dilepas ke lingkungan, baik melaui tahapan pengolahan maupun melalui tahan pengurugan terlebih
dahulu, akan menjadi sesedikit mungkin dan dengan tingkat bahaya sesedikit mungkin.

Gagasan yang lebih radikal adalah melalui konsep kegiatan tanpa limbah (zero waste). Secara teoritis,
gagasan ini dapat dilakukan, tetapi secara praktis sampai saat ini belum pernah dapat direalisir. Oleh
karenanya, gagasan ini lebih ditonjolkan sebagi semangat dalam pengendalian pencemaran limbah,
yaitu agar semua kegiatan manusia handaknya berupaya untuk meminimalkan terbentuknya limbah atau
meminimalkan tingkat bahaya dari limbah, bahkan kalau muingkin meniadakan.

Konsep pembatasan (reduce) jumlah sampah yang akan terbentuk dapat dilakukan antara lain melalui:
− Efisiensi penggunaan sumber daya alam
− Rancangan produk yang mengarah pada penggunaan bahan atau proses yang lebih sedikit
menghasilkan sampah, dan sampahnya mudah untuk diguna-ulang dan didaur-ulnag
− Menggunakan bahan yang berasal dari hasil daur-ulang limbah
− Mengurangi penggunaan bahan berbahaya
− Menggunakan eco-labeling
Konsep guna-ulang (reuse) mengandung pengertian bukan saja mengupayakan penggunaan residu atau
sampah terbentuk secara langsung, tetapi juga upaya yang sebetulnya biasa diterapkan sehari-hari di
Indonesia, yaitu memperbaiki barang ynag rusak agar dapat dimanfaatkan kembali. Bagi prosdusen,
memproduksi produk yang mempunyai masa-layan panjang sangat diharapkan. Konsep daur-ulang
(recycle) mengandung pengertian pemanfaatan semaksimal mungkin residu melalui proses, baik sebagai
bahan baku untuk produk sejenis seperti asalnya, atau sebagai bahan baku untuk produk yang berbeda,
atau memanfaatkan enersi yang dihasilkan dari proses recycling tersebut.

Beberapa hal yang diatur dalam UU-18/2008 terkait dengan upaya minimasi (pembatasan) timbulan
sampah adalah [2]:
a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan:
− menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu
− memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan
− memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan
− memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang
− memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
b. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan menggunakan bahan produksi yang menimbulkan
sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh
proses alam.
c. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah menggunakan bahan yang dapat
diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam
d. Pemerintah memberikan:
− insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah
− disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah
Ketentuan tersebut di atas masih perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah agar dapat
dilaksanakan secara baik dan tepat sasaran.

Sebagai pembanding, Jepang membagi stakeholders utama dalam pengelolaan sampah yang berbasis
3R dalam 5 kelompok, yang masing-masing mempunyai peran utama dalam membatasi sampah yang
akan dihasilkan, yaitu [29]:
a. Masyarakat penghasil sampah:
− Memahami dampak akibat sampah yang dihasilkan
− Mempertimbangkan ulang pola hidupnya

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 24
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Memilih barang dan pelayanan yang berwawasan lingkungan


− Berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah, misalnya pemilahan sampah
− Berpartsipasi dalam pengembangan pengelolaan sampah berbasis 3R
b. LSM:
− Mempromosikan kegiatan-kegiatan positif 3R dalam level masyarakat
− Mempromosikan peningkatan kesadaran
− Menyiapkan-melakukan training dan sosialisasi
− Memantau upaya-upaya yang dilakukan oleh kegiatan bisnis dan pemerintah
− Memberikan masukan kebijakan yang sesuai
c. Fihak Swasta:
− Menyiapkan barang dan jasa yang berwawasan lingkungan
− Melaksanakan kegiatan ’take-back’, guna-ulang dan daur-ulang terhadap produk bekas-nya
− Mengelola limbah secara berwawasan lingkungan
− Mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan
− Memberi informasi yang jujur kepada konsumen melalui label dan laporan
d. Pemerintah Daerah:
− Memastikan diterapkannya peraturan dan panduan
− Menyiapkan rencana tindak
− Mendorong ’green purchasing’, dan peningkatan pemahaman masyarakat
− Menjamin masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
− Bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan 3R dan fihak bisnis
− Bertindak sebagai koordinator lokal dalam pengembangan masyarakat berwawasan daur-bahan
− Menyedian ruang dan kesempatan untuk saling bertukar barang-bekas dan informasi antar
stakeholders
− Promosi kerjasama internasional
e. Pemerintah Pusat:
− Mengembangkan sistem, termasuk aspek legal yang dibutuhkan
− Memberikan subsidi dan pengaturan pajak untuk fasilitas, penelitian dan pengembangan untuk
membangun masyarakat yang berwawasan daur-bahan
− Memberikan dorongan dan infoirmasi bagi warga dan LSM yang akan melaksanakan kegiatan
secara sukarela
− Menyiapakan dasar yang dibutuhkan bagi kegiatan seluruh stakeholders
− Mempromosikan kerjasama dan dialog internasional terkait dengan kegiatan 3R

3.3 Pembatasan (Reduce) Timbulan Sampah

Di Eropa dan USA, sekitar 30 % sampah kota merupakan bahan pengemas (packaging). Diestimasi
pula bahwa sepertiga dari seluruh produk plastik adalah untuk penggunaan jangka pendek, yaitu sebagai
pengemas produk [2]. Pengemas untuk makanan merupakan residu yang paling banyak dijumpai di
tingkat konsumen. Beberapa negara industri telah menerapkan program kemasan yang ramah
lingkungan, yang mensyaratkan penggunaan kemasan yang kandungan terdaur-ulangnya maksimum,
tidak mengandung bahan berbahaya, serta volume/massanya yang sesedikit mungkin.

Terdapat berbagai tingkat fungsi pengemasan, yaitu [3]:


− Produk yang tanpa pengemas sama sekali
− Pengemas level-1 (primary packaging): pengemas yang kontak langsung dengan produk
− Pengemas level-2 (secondary packaging): pengemas suplementar dari primary packaging
− Pengemas level-3 (tertiary packaging): pengemas yang dibutuhkan untuk pengiriman.
Beberapa jenis produk kadang membutuhkan kemasan yang komplek, terdiri dari beragam komponen
dengan pengemasan yang berbeda karena mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan mengurangi
pengemas ini, maka akan mengurangi sampah yang harus ditangani serta akan mengurangi biaya
pengangkutan. Namun dermikian, tidak semua pengemas otomatis akan menghasilkan limbah yang
harus ditangani, karena beberapa di antaranya berupa kemasan yang dapat dipakai berulang-ulang,
seperti botol minuman.

Pengemas yang diinginkan adalah yang mudah dipisahkan satu dengan lain. Pengemas yang sulit
dipisah misalnya bahan polyethylene yang dilapis karton, disatukan dengan lem secara kuat dan
sebagainya, yang sulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan demikian dalam konsep reduksi
sampah, tingkatan pengemas yang diinginkan adalah [3]:
− Tanpa packaging
− Minimal packaging
− Consumable, returnable, reusable packaging
− Recyclable packaging

Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang biasa didaur-ulang.
Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus mengalami proses terlebih dahulu untuk

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 25
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

menjadi bahan baku baru. Bahan buangan ini banyak dijumpai, biasanya merupakan bahan pengemas
produk. Bahan inilah yang pada tingkat konsumen kadang menimbulkan permasalahan, khususnya
dalam pengelolaan sampah kota. Di negara industri, pengemas yang mudah didaur-ulang akan menjadi
salah satu faktor dalam meningkatkan nilai saing produk tersebut di pasar.

UU-18/2008 menggaris bawahi bahwa pengurangan sampah dilakukan sebelum sampah tersebut
terbentuk, misalnya melalui penghematan penggunaan bahan. Kewajiban pengurangan sampah
ditujukan bukan saja bagi konsumen, tetapi juga ditujukan pada produsen produk. Di Indonesia, upaya
mereduksi sampah masih belum mendapat perhatian yang baik karena dianggap rumit dan tidak
menunjukkan hasil yang nyata dalam waktu singkat. Upaya mereduksi sampah sebetulnya akan
menimbulkan manfaat jangka panjang seperti:
− Mengurangi biaya pengelolaan dan investasi.
− Mengurangi potensi pencemaran air dan tanah.
− Memperpanjang usia TPA.
− Mengurangi kebutuhan sarana sistem kebersihan.
− Menghemat pemakaian sumber daya alam.

Salah satu upaya sederhana, namun sangat sulit dibiasakan di Indonesia khususnya pada masyarakat
urban, adalah pembatasan adanya sampah sebelum barang yang kita gunakan menjadi sampah, melalui
penggunaan bahan berulang-ulang, seperti penggunaan kantong plastik yang secara ’manja’ disediakan
secara berlimpah bila kita berbelanja di toko. Membawa kantong sendiri adalah salah satu upaya yang
sangat dianjurkan agar timbulan sampah dapat dikurangi. Di Jepang, terdapat seni membuat kantong
dari kain biasa untuk membawa barang keperluan sehari-hari termasuk barang yang dibeli dari toko atau
pasar, yaitu Furoshiki (Gambar 3.2). Kain tersebut sebelum digunakan, biasanya dilipat secara rapi, dan
disimpan dalam tas tangan yang digunakan sehari-hari. Jepang termasuk negara dengan kebijakan
Pemerintahnya yang sangat mendorong upaya 3R, termasuk upaya pembatasan limbah, bukan saja
terhadap penghasil sampah rumah tangga, juga terhadap kegiatan industri dan pengusaha lainnya.

Gambar 3.2: Seni Furoshiki dalam pembatasan sampah melalui 3R di Jepang [29]

Terkait dengan pengemas produk yang dibahas di atas, maka peran produsen yang menggunakan
pengemas untuk memasarkan produknya menjadi mata rantai awal yang diatur oleh UU tersebut.
Dikenal konsep Extended Producer Responsibility (EPR), yaitu strategi yang dirancang dengan
menginternalkan biaya lingkungan ke dalam biaya produksi sebuah produk, tidak terbatas pada produk
utamanya, tetapi termasuk pula pengemas dari produk utama tersebut. Dengan demikian biaya
lingkungan, seperti biaya penangan residu atau limbah yang muncul akibat penggunaan produk tersebut
menjadi bagian dari komponen harga produk yang dipasarkan tersebut. Gambar 3.3 adalah langkah EPR
yang diterapkan di Jepang, melalui beberapa langkah:
− Langkah 1: penghematan bahan baku di proses produksi
− Langkah 2: memproduksi barang yang berumur panjang, mendorong reparasi pada barang yang
rusak, termasuk servis bergaransi
− Langkah 3: menerima pengembalian produk bekas termasuk pengemas, menggunakan bahan baku
atau menghasilkan produk yang berasal dari hasil daur-ulang serta mengupayakan penggunaan dan
pengembangan teknologi daur-ulang
Disamping mendorong produsen untuk menerapkan EPR, di beberapa negara maju, peran dan tanggung
jawab produsen dimasukkan dalam pengelolaan limbah secara menyeluruh yang dikenal sebagai

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 26
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

internalisasi biaya lingkungan dalam biaya produk. Dengan demikian, biaya penanganan limbah dan
dampaknya sudah termasuk di dalamnya.

1. Langkah 1: 2. Langkah 2:
Reduksi di sumber Reparasi, produk dengan
umur layan panjang,
servis bergaransi
REUSE (R2)

HULU Produksi Distribusi Konsumsi Pengolahan Disposal HILIR

RECYCLING (R3)

Langkah 4
Reuse – recycling produk Langkah 3:
bekas, pembuatan produk Pengembalian produk
dan bahan baku dari bahan telah terpakai
bekas, pengembangan
teknologi recycling

Gambar 3.2: Kaitan 3R dengan extended producer responsibility (EPR) [29]

Bila di Indonesia baru tersedia sebuah UU yang mengatur pengelolaan sampah, maka di Jepang
tersedia paling tidak 9 (sembilan) UU yang terkait dengan sampah, yaitu Undang-undang tentang:
− Masyarakat bebasis daur-bahan (material-cycle society)
− Pengelolaan limbah dan kebersihan
− Penggunaan secara efektif sumberdaya
− Recycling wadah dan pengemas
− Recycling peralatan rumah tangga
− Recycling sisa makanan
− Recycling puing bangunan
− Recycling end-of-life Kendaraan
− Promosi produk hijau

60% sampah kota di Jepang merupakan wadah dan pembungkus. Berdasarkan UU-tentang Recycling
Wadah dan Pengemas, maka yang diatur untuk didaur-ulang adalah:
− Gelas/botol (tidak berwarna, coklat dan hijau)
− Botol PET (untuk minuman beralkohol dan non alkohol, serta botol saus kedele)
− Wadah dan pembungkus dari kertas
− Wadah dan pembungkus dari plastik

Mekanisme EPR di Jepang untuk wadah dan pengemas adalah sebagai berikut [30]:
− Pemerintah kota bertanggung jawab untuk membiaya pengumpulan, pemilahan dan penyimpanan,
sedang pengusaha bertanggung jawab untuk biaya recycling dan pemrosesan
− Pengusaha bertanggung jawab terhadap pengemas atau wadah yang mereka buat atau mereka jual
bersama produknya
− Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, Pemerintah Jepang menugaskan Japan Containers and
Packaging Recycling Association (JCPRA) untuk melaksanakan aktivitas daur-ulang atas nama
pengusaha yang membayar recycling-fee kepada JCPRA

Dalam hal alat-alat elektronik rumah tangga, berdasarkan UU-tentang peralatan rumah tangga, maka
setiap pengusaha yang memproduksi atau menjual mempunyai kewajiban untuk mendaur-ulang paling
tidak 60% AC, 55% TV set, 50% refrigerataor dan 50% mesin cuci untuk di-reproduksi. Mekanisme yang
diterapkan adalah sebagai berikut [30]:
− Konsumen membayar biaya pengumpulan barang bekasnya: TV (2.835 Yen), AC (3.675 Yen),
kulkas (4.830 Yen) dan mesin cuci (2.520 Y). Kurs 1 Yen = Rp. 85

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 27
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Pengusaha retailer yang menjual barang tersebut sebelumnya bertanggung jawab untuk
mengumpulkan dan mengangkut menuju titik pengumpulan yang telah ditentukan
− Pabrik dan importir bertanggung jawab mendaur-ulang barang yang mereka buat atau import yang
telah dikumpulkan oleh retailer.

Hal lain yang diatur dalam tanggung jawab EPR antara lain [30]:
− PC yang mempunyai label, maka bila PC tersebut sudah tidak berfungsi akan bebas biaya recycling,
sedang yang tidak mempunyai label harus membayar
− Pemilik kendaraan bermotor membayar antara 10.000Y- 65.000Y untuk setiap kendaraan yang
'dibuang' atau yang menurut inspeksi dianggap tidak layak jalan.

Salah satu upaya EPR yang biasa diterapkan terhadap produk yang dipasarkan adalah pencantuman
eco-labeling, yang menandakan bahwa produk tersebut dibuat dengan memperhatikan aspek
lingkungan, seperti tercantum dalam Gambar 3.3 berikut. Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai
simbol tentang eco-labeling.

Gambar 3.2: Simbol eco-labeling dari beberapa negara [30]

(1) Blue Angel (Jerman) (2) European Union Ecolabel (3) Green Seal (USA) (4) Terra Choise (Kanada)
(5) China Environmental Labeling (6) Jepang (7) Nordic White Swan (8) Austria (9) Taiwan (10) India (11) Israel
(12) Milijeukeur (Belanda) (13) Environment 2000 (Zimbabwe) (14) Korea Selatan (15) Aenor (Spanyol)
(16) Green Label (Muangthai) (17) Green Label (Hongkong)

3.4 Guna-ulang (Reuse) dan Daur-ulang (Recycle) Sampah

Daur-ulang limbah pada dasarnya telah dimulai sejak lama. Di Indonesiapun, khususnya di daerah
pertanian, masyarakat sudah mengenal daur ulang limbah, khususnya limbah yang bersifat hayati,
seperti sisa makanan, daun-daunan dsb. Dalam pengelolaan persampahan di Indonesia, upaya daur-
ulang memang cukup menonjol, walaupun umumnya baru melibatkan sektor informal, seperti pedagang
sampah (tukang loak), tukang servis alat-alat elektronika, petugas sampah, pemulung, bandar/lapak dsb.

Dalam usaha mengelola limbah atau sampah secara baik, ada beberapa pendekatan teknologi, di
antaranya penanganan pendahuluan. Penanganan pendahuluan umumnya dilakukan untuk memperoleh
hasil pengolahan atau daur-ulang yang lebih baik dan memudahkan penanganan yang akan dilakukan.
Penanganan pendahuluan yang umum dilakukan saat ini adalah pengelompokan limbah sesuai jenisnya,
pengurangan volume dan pengurangan ukuran. Usaha penanganan pendahuluan ini dilakukan dengan
tujuan memudahkan dan mengefektifkan pengolahan sampah selanjutnya, termasuk upaya daur-ulang.
Dalam pengelolaan sampah, upaya daur-ulang akan berhasil baik bila dilakukan pemilahan dan
pemisahan komponen sampah mulai dari sumber sampai ke proses akhirnya.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 28
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Upaya pemilahan sangat dianjurkan dan hendaknya diprioritaskan sehingga termasuk yang paling
penting didahulukan. Persoalannya adalah bagaimana meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Pemilahan yang dianjurkan adalah pola pemilahan yang dilakukan mulai dari level sumber atau asal
sampah itu muncul, karena sampah tersebut masih murni dalam pengertian masih memiliki sifat awal
yaitu belum tercampur atau terkontaminasi dengan sampah lainnya.

Terminologi daur-ulang di Indonesia sudah cukup lama digunakan, namun selama ini pengertiannya
bukan hanya identik dengan recycle, tapi digunakan juga untuk menjelaskan aktivitas lain, seperti reuse
dsb. Jadi terminologi ’daur-ulang’ di Indonesia biasanya digunakan untuk seluruh upaya pemanfaatan
kembali. Sebelum terminologi 3R menjadi acuan umum dalam penanganan sampah dikenal beragam
terminologi yang menggunakan ”R”, seperti recovery, reduce, reuse, recycle, refurbishment, repair,
sampai kepada rethinking dan masih banyak lagi. Dari sebuah literatur, masing-masing kosa kata
tersebut mempunya pengertian yang berbeda, seperti yang tercantum dalam Gambar 3.3 berikut ini yang
intinya adalah upaya pemanfaatan limbah, dengan penekanan pada [31]:
- Reduce: upaya mengurangi terbentuknya limbah, termasuk penghematan atau pemilihan bahan
yang dapat mengurangi kuantitas limbah serta sifat bahaya dari limbah
- Recovery: upaya untuk memberikan nilai kembali limbah yang terbuang, sehingga bisa
dimanfaatkan kembali dalam berbagai bentuk, melalui upaya pengumpulan dan pemisahan yang
baik.
- Reuse: upaya yang dilakukan bila limbah tersebut dimanfaatkan kembali tanpa mengalami proses
atau tanpa transformasi baru, misalnya botol minuman kembali menjadi botol minuman
- Recycle: misalnya botol minuman dilebur namun tetap dijadikan produk yang berbasis pada gelas.
Bisa saja terjadi bahwa kualitas produk yang baru sudah mengalami penurunan dibanding produk
asalnya. Kosa kata inilah yang paling sering digunakan. Mungkin dalam bahasa Indonesia kosa kata
yang sepadan adalah daur-ulang.
- Reclamation: bila limbah tersebut dikembalikan menjadi bahan baku baru, seolah-olah sumber daya
alam yang baru. Limbah tersebut diproses terlebih dahulu, sehingga dapat menjadi input baru dari
suatu kegiatan produksi, dan dihasilkan produk yang mungkin berbeda dibanding produk asalnya.

Resources
RECLAMATION
RECYCLING

Fluida REUSE
RECOVERY /
Raw Proses Produk ke
REDUCE RECUPERATION
Material Produksi Konsumen
Residual by
Energi product
Waste Energy Waste Waste

Gambar 3.4 : Konsep daur-ulang sampah [dimodifikasi dari Ref. 31]

Semua fihak di Indonesia sepakat bahwa program 3R dinilai sangat bermanfaat, tetapi sampai saat ini
upaya-upaya nyata belum terlihat. Perlu kemauan semua fihak, bukan hanya penghasil sampah, tetapi
juga stakeholders lainnya, termasuk pemerintah untuk secara nyata menerapkan konsep ini. Manfaat
dari upaya tersebut dalam jangka panjang antara lain adalah [13]:
− Berkurangnya secara drastis ketergantungan terhadap tempat pemrosesan akhir.
− Lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sarana dan prasarana persampahan.
− Terciptanya peluang usaha bagi masyarakat dari pengelolaan sampah (usaha daur ulang dan
pengomposan).
− Terciptanya jalinan kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dan antara pemerintah dan
masyarakat/swasta dalam rangka menuju terlaksananya pelayanan sampah yang lebih berkualitas.
− Adanya pemisahan dan pemilahan sampah baik di sumber timbulan maupun di tempat pembuangan
akhir dan adanya pemusatan kegiatan pengelolaan akan lebih menjamin terkendalinya dampak
lingkungan yang tidak dikehendaki.

Daur-ulang limbah tidak selalu harus diartikan bahwa upaya ini adalah yang paling baik, sehingga harus
selalu dilaksanakan. Pilihan daur-ulang hendaknya disertai alasan yang rasional seperti bagaimana
aspek biaya, enersi, dan kualitas produk yang dihasilkan. Dari sudut permasalahan sampah di suatu

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 29
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

kota atau daerah, maka harus dilihat bahwa sekian ratus atau ribu ton sampah harus ditangani setiap
tahun, sebagian besar penanganannya hanya dengan pengurugan sederhana, dan hanya sebagian kecil
saja yang didaur-ulang atau dikompos. Daur-ulang akan merupakan salah satu solusi bersama solusi
yang lain yang perlu dipertimbangkan.

Secara sederhana, daur-ulang adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dari sampah,
seperti kertas koran diproses agar tinta-nya disingkirkan (deink), atau repulping yang akan dihasilkan
bahan kertas baru. Dikenal terminologi lain, seperti reuse, direct recycling, indirect recycling:
• Reuse: contoh botol minuman, dipakai ber-ulang dari produsen minuman ke konsumen setelah
melalui proses pencucian dan pengisian minuman. Reuse adalah opsi yang paling diinginkan,
karena enersi dan biaya yang dibutuhkan paling sedikit
• Direct recycling: contoh botol minuman, suatu ketika botol tersebut setelah tiba di produsen
minuman dianggap kurang layak untuk diteruskan, lalu botol tersebut dikirim ke pabrik pembuat
botol untuk dilebur untuk dijadikan bahan pembuat botol baru. Biaya yang dibutuhkan akan lebih
tinggi dibandingkan reuse. Bila bahan cullet (bahan kaca) ini ternyata lebih mahal dibandingkan
biaya dari bahan baku murni, misalnya karena adanya biaya pengangkutan, maka opsi ini jelas
kurang menguntungkan untuk diteruskan. Bahan yang diproses dengan cara ini kemungkinan
mengalami degradasi dari segi kualitas, misalnya kertas atau plastik. Serat kertas yang diproses
berulang-ulang akan mengalami penurunan kualitas, ukurannya akan tambah lama tambah
memendek. Jadi aspek biaya dan kualitas perlu menjadi perhatian utama pada saat memutuskan
apakah perlu dilakukan direct recycling.
• Indirect recycling: misalnya botol minuman di atas, ternyata dari sudut kualitas bahan kurang baik,
sudah pecah dan bercampur dengan gelas warna lain yang, serta pengotor lain. Untuk memisahkan
dibutuhkan upaya yang mengakibatkan biayanya menjadi mahal. Maka pemanfaatan lanjut adalah,
bahan ini digunakan sebagai campuran bahan pelapais dasar pembuatan jalan. Plastik yang
ternyata tidak dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan wadah yang baik, akan mengalami
penurunan derajat, misalnya digunakan untuk bahan baku barang yang tidak membutuhkan
persyaratan estetika (warna, dsb) atau sifat-sifat lain. Atau dimanfaatkan sebagai sumber enersi (a)
memproduksi gas bahan bakar dalam prirolisis atau (b) bahan bakar langsung dalam pabrik semen
dalam eco-cement. Proses indirect recycling ini dinilai mempunyai level yang terendah, Biasanya,
bila sebuah bahan telah mengalami proses indirect recycling, akan sulit dan mahal biayanya bila
hendak didaur-ulang kembali, apalagi bila hendak dikembalikan pada posisi sebagai raw-material
aslinya. Penanganan akhir dari bahan yang demikian adalah biasanya landfilling atau insinerasi.
Jadi sebetulnya landfilling atau insinerasi adalah digunakan sebagai upaya menangani limbah yang
telah tidak mempunyai nilai lagi untuk didaur-ulang.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 30
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 4
KEGIATAN DAUR ULANG SAMPAH DI INDONESIA
Bagian ini menjelaskan mengapa daur-ulang diperlukan, bagaimana potensi daur-ulang
sampah kota, khususnya plastik dan kertas di Indonesia. Juga dijelaskan tentang peran
sektor informal dalam daur-ulang sampah di Indonesia. Guna lebih memahami, mahasiswa
diminta mengamati aktivitas daur-ulang yang terjadi di lingkungannya.

4.1 Alasan Daur-Ulang

Daur-ulang (yang dimaksud di sini adalah reuse dan recycling) limbah pada dasarnya telah dimulai sejak
lama. Di Indonesiapun, khususnya di daerah pertanian, masyarakat sudah mengenal daur ulang limbah,
khususnya limbah yang bersifat hayati, seperti sisa makanan, daun-daunan dsb. Dalam sistem
pengelolaan persampahan, upaya daur-ulang memang cukup menonjol, dan umumnya melibatkan
sektor informal. Beberapa alasan mengapa daur-ulang mendapat perhatian [31]:
a. Alasan ketersediaan sumber daya alam: beberapa sumber daya alam bersifat dapat terbarukan
dengan siklus yang sistematis, seperti siklus air. Yang lain termasuk dalam katagori tidak
terbarukan, sehingga ketersediaannya di alam menjadi kendala utama. Berdasarkan hal itu, maka
salah satu alasan daur-ulang adalah ketersediaan sumber-daya alam
b. Alasan nilai ekonomi: limbah yang dihasilkan dari suatu kegiatan ternyata dapat bernilai ekonomi
bila dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan tersebut dapat dalam bentuk pemanfaatan enersi, atau
pemanfaatan bahan, baik sebagai bahan utama ataupun sebagai bahan pembantu
c. Alasan lingkungan: alasan lain yang paling mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap
lingkungan. Komponen limbah yang dibuang ke lingkungan dalam banyak hal mendatangkan
dampak negatif pada lingkungan dengan pencemarannya. Pengolahan limbah akan menjadi
kewajiban. Namun bila dalam upaya tersebut dapat pula dimanfaatkan nilai ekonomisnya, maka hal
tersebut akan menjadi pilihan yang cukup menarik.
Dalam beberapa hal alasan-alasan tersebut saling terkait seperti yang lain dan saling mendukung,
sehingga upaya daur-ulang menjadi lebih terarah dan menarik.

Bentuk lain pemanfaatan limbah dalam daur-ulang adalah kemungkinannya sebagai sumber enersi.
Paling tidak terdapat dua bentuk enersi hasil daur-ulang yang telah biasa dijumpai di lapangan, yaitu
[32]:
− Sebagai enersi panas seperti yang dikeluarkan dari sebuah insinerator dengan bahan bakar limbah
bernilai kalor tinggi,
− Sebagai enersi kimia seperti yang dikeluarkan dari sebuah reaktor anaerob atau sebuah landfill
limbah organik seperti sampah, yaitu dalam bentuk gas metan
Kemungkinan lain dari pemanfaatan limbah misalnya sebagai sumber protein atau bahan lain, baik
dengan rekayasa yang sistematis seperti dalam pembuatan alkohol, maupun sebagai bahan makanan.
Sebagai bahan makanan pendekatan ini telah banyak digunakan di Indonesia, khsususnya dari limbah
yang berkatagori organik, misalnya sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing.

Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang biasa didaur-ulang.
Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus mengalami proses terlebih dahulu untuk
menjadi bahan baku baru. Bahan buangan ini banyak dijumpai, dan biasanya merupakan bahan
pengemas produk. Bahan inilah yang pada tingkat konsumen kadang menimbulkan permasalahan,
khususnya dalam pengelolaan sampah kota. Di negara industri, aplikasi pengemas yang mudah didaur-
ulang akan menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan nilai saing produk tersebut di pasar.
Sebenarnya sampah mempunyai potensi untuk didaur-ulang. Proses daur ulang harus memperhatikan
komposisi dan karakteristik limbah yang dominan, terutama bila daur ulang dilakukan di tempat
pembuangan akhir. Hal lain yang mempengaruhi adalah ketersediaan tenaga operasional agar proses
berkelanjutan. Proses daur ulang juga dilakukan di sumber timbulan dan tempat penampungan
sementara, atau pada skala kawasan. Daur ulang yang dilakukan di sumber maupun penampungan
sementara atau di skalab kawasan, dapat meminimalkan biaya pengangkutan ke pembuangan akhir.

4.2 Daur-Ulang Limbah Secara Umum

Proses daur-ulang pada umumnya membutuhkan rekayasa dalam bentuk [33]:


a. Pemisahan dan pengelompokan: yaitu untuk mendapatkan limbah yang sejenis. Kegiatan ini
dapat dilaksanakan secara manual (dilakukan dengan tangan manusia secara langsung)
maupun secara mekanis (dilakukan oleh mesin).

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 31
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

b. Pemurnian: yaitu untuk mendapatkan bahan/elemen semurni mungkin, baik melalui proses
fisik, kimia, biologi, atau termal.
c. Pencampuran: yaitu untuk mendapatkan bahan yang lebih bermanfaat, misalnya sejenis
limbah dicampur dengan limbah lain atau dengan bahan lain
d. Pengolahan atau perlakuan: yaitu untuk mengolah buangan menjadi bahan yang siap pakai.
Sasaran utama dari rekayasa tersebut adalah bagaimana mendapatkan bahan yang sebaik mungkin
sesuai fungsi dari bahan daur-ulang tersebut. Upaya pertama daur-ulang adalah bagaimana
memisahkan limbah di sumbernya, yang sebetulnya merupakan kegiatan yang mudah dilaksanakan.

Tabel 4.1 berikut adalah potensi daur-ulang dari sampah. Banyak pengolahan limbah (padat, cair dan
gas) menghasilkan residu seperti sludge atau debu, atu residu lain, yang pada gilirannya harus ditangani
lebih lanjut. Kadangkala limbah yang terbentuk tersebut, seperti sludge, menjadi bermasalah karena
berkatagori sebagai limbah berbahaya.

Tabel 4.1: Sampah anoganik dalam sampah [32, 33]

BAHAN YANG DIDAUR-ULANG JENIS PENGGUNAAN


Alumunium Wadah soft drink, beer
Kertas :
• Kertas koran
• Corrugated cardboard • Kardus packaging
• Kertas kualitas tinggi • Kertas komputer, kertas tulis HVS
• Kertas campuran • Campuran kertas bersih, koran, majalah, putih/berwarna
Plastik dan nomor kelompoknya:
• PETE : Kode 1 • Botol soft drink, film
• HDPE : Kode 2 • Botol air, Botol susu
• PVC : kode 3 • Pipa, ember, botol
• LDPE : kode 4 • Bungkus tipis, lain-lain bahan film bungkus
• PP : kode 5 • Label untuk botol/kontainer, casing battery
• PS : kode 6 • Packaging komponen listrik/ elektronik, tableware, plate
• Multilayer dan lain-2 : kode 7 • Packaging multilayer, beberapa botol
• Plastik campuran : 4 % • Kombinasi di atas
Glass Botol dan wadah warna jernih, hijau, coklat
Logam ferrous Tin cans
Metal non-ferrous Alumunium, tembaga, timah
Limbah bahan bangunan Tanah, aspal, beton, kayu, logam
Kayu Kotak kontainer, scrap, sisa proyek
Oli bekas Proses ulang oli bekas
Ban daur ulang : macam-macam
Batteri accu (Lead-acid) Daur-ulang : asam, plastik, Pb
Batteri rumah tangga Daur-ulang Zn, Hg, Ag

4.3 Potensi Daur Ulang Sampah

Daur Ulang Kertas Bekas


Di negara maju kertas merupakan komponen sampah yang paling banyak dijumpai. Bersama dengan
wadah karton gelombang serta boxboard, jumlahnya sekitar 25 - 40 % berat. Beberapa jenis kertas yang
dijumpai dalam sampah adalah [4]:
− Kertas campuran: kertas beraneka ragam dengan kualitas yang bervariasi, seperti majalah, buku,
arsip kantor, karton, kertas pembungkus.
− Karton bergelombang
− Kertas kraft putih maupun berwarna yang belum dicetak.
− Kertas koran: surat kabar
Masing-masing mempunyai tingkat kualitas tertentu, tergantung pada jenis serat, sumber, homogenitas,
cetakan yang ada, karakteristik fisik dan kimia. Kertas berkualitas tinggi, seperti kertas komputer, kertas
kantor, mempunyai serat panjang dengan persentase tinggi. Persentase jenis kertas bekas yang biasa
dijumpai di Amerika Serikat adalah [4]:
− Kertas koran: 17,7 %
− Buku dan majalah: 8,7 %
− Cetakan komersial: 6,4 %
− Kertas kantor: 10,1 %
− Paperboard lain: 10,1 %
− Packaging kertas: 7,8 %
− Paper non-packaging lain: 10,6 %
− Tissu dan pembersih: 5,9 %
− Bahan corrugated: 22,7 %

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 32
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Prinsip daur ulang kertas secara sederhana yang banyak dijumpai di Indonesia, khususnya pada sektor
informal adalah:
• Kertas direndam dalam air hingga menjadi lembut untuk memudahkan proses penghancuran
menjadi bubur kertas.
• Bubur kertas yang terbentuk diletakkan dalam suatu cetakan dengan ukuran tertentu.
• Setelah tercetak, kertas yang masih basah dikeluarkan dari cetakan kemudian dikeringkan di terik
matahari.
• Untuk skala besar, digunakan mesin pencetak daur ulang kertas.
Gambar 4.2 adalah contoh bentuk skema pembuat kertas yang dibuat oleh PPT ITB.

Kertas Daur Ulang


Siap Dikerin gkan Bubur Kertas di
Atas P encetak
Alas Pencetak Kertas

Motor Penggerak
Mesin Daur Ulang
Mesin Pembuat Kertas Daur Ulang

Gambar 4.1: Mesin pembuat kertas daur ulang

Daur Ulang Plastik [4]

Walaupun plastik telah dipakai lebih dari 60 tahun yang lalu, namun penggunaannya sebagai packaging
meningkat secara tajam dalam 35 tahun terakhir ini. Hampir semua plastik packaging akhirnya dibuang,
sehingga jumlahnya dalam sampah meningkat dari 3 % berat (1970-an) menjadi 7 % (1990-an).
Penggunaan plastik sebagai packaging mempunyai keunggulan dibanding yang lain, baik sebagai bahan
kontainer (wadah) maupun sebagai pembungkus, karena:
− Lebih ringan
− Lebih kuat
− Lebih mudah dibentuk
− Dapat diatur agar fleksibel atau kaku
− Merupakan isolator yang baik
− Dapat digunakan untuk pengemas makanan dingin atau panas

Bahan plastik dijumpai dalam bentuk 7 kelompok seperti yang disebutkan dalam Tabel 4.1, dengan
uraian ringkas sebagai berikut [4]:
• Polyethylene terephthalate (PETE/1):
− Didaur ulang sebagai fiber polyester untuk sleeping bag, bantal, baju dingin
− Post consumer PETE digunakan untuk fiber karpet, film, kontainetr makanan, plastik otomotif
− Dari daur-ulang konvensional, sekarang terdapat upaya pembuatan botol depolymerisasi
menjadi ethylene glycol dan terephthalic acid, kemudian repolimerisasi menjadi resin botol soft
drink, misalnya coca-cola
• High-density polyethylene (HDPE/2):
− Sifatnya berbeda satu dengan lain tergantung produk yang akan dihasilkan
− Botol susu dari resin dengan indeks leleh rendah
− HDPE rigid terbuat dari resin dengan indeks leleh yang tinggi
− Misalnya digunakan pada lapis dalam dari botol oli yang terdiri dari 3 lapis
• Polyvinyl chloride (PVC/3):
− Banyak digunkan untuk packaging makanan, kabel listrik, isolasi kabel, pipa plastic, ember
− Produk daur-ulang lain: kontainer non-makanan, floor tile, selang kebun, mainan, pot bunga,
pipa drainage
• Low-density polyethylene (LDPE/4): misalnya untuk packaging makanan. Sebagian besar berakhir
pada sampah dan landfill.
• Polypropylene (PP/5): biasanya untuk bungkus batere, tutup botol, label, atau kadangkalan untuk
kontainer makanan.
• Polystyrene (PS/6)
• Lain-lain bahan-bahan plastik multilayer (7)

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 33
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Disamping itu, plastik biasanya diklasifikasi dalam 2 katagori umum, yaitu:


− Clean commercial grade scrape (plastik awal)
− Post consumer scrap (plastik limbah)
Dua jenis plastik post consumer yang paling sering didaur ulang adalah PETE(1), yang banyak
digunakan untuk botol soft drink, dan HDPE(2), biasanya untuk wadah susu, botol air kemasan, atau
pembungkus detergen.

Beberapa permasalah pemasaran plastik:


• Harga plastik daur-ulang relatif murah, karena bahan bakunya juga relatif murah. Perlu ada insentif
untuk pengangkutan
• Pengangkutan dan pengolahan plastik bekas belum tersedia secara luas, sehingga konsumer
kesulitan menemukan outletnya
• Specific weight yang rendah: rasio volume-ke-berat plastik sangat tinggi, terutama PS untuk produk
busa spons.
• Terkontaminasi dengan bahan lain seperti makanan, dsb yang menyulitkan dalam daur-ulangnya

Pengolahan plastik secara profesional meliputi:


• Tahap bale breaking dan sorting:
− Pemilahan awal (presorted) dipecah kemudian dipilah kembali
− Botol PETE misalnya secara manual dipisah berdasarkan warna. Plastik yang tidak diinginkan
dibuang.
• Granulation dan washing:
− Botol dipotong-potong, kemudian dicuci dengan air panas, detergen, diaduk untuk
menghilangkan label, lem dan kotoran lainnya
− Pemisahan: setelah dicuci, diendapkan (PETE) sedang yang ringan (HDPE) mengapung.
− Pengeringan: untuk menghilangkan air, kemudian dikeringkan dengan udara panas agar
kelembaban mejadi lebih kecil dari 0,5 %
− Air classification: pemisahan bagian plastik ringan (missal tutup polypropylene) dengan yang
berat
− Pemisahan electrostatic: missal memisahkan tutup alumunium
− Ekstrusi resin: resin kemudian difluidisasi menggunakan extruder, dan dilelehkan, dikenal
sebagai melt filtration
• Pelletizing: melt extruder berbentuk seperti spageti. Selanjutnya melalui orifice, kemudian dipotong
kecil-kecil, lalu didinginkan dengan air. Pelet dipasarkan dengan kadar air kurang dari 0,5 %.

Pengolahan plastik sederhana di sektor informal di Indonesia (lihat Gambar 4.2):


• Plastik bekas yang terkumpul, dikeringkan melalui matahari kemudian ditutup dengan ram kawat
agar plastik (terutama plastik kresek) tidak beterbangan.
• Setelah kering, plastik dimasukkan dalam cetakan kemudian dipanaskan/dibakar di dalam tungku
pembakar sampai terbentuk cairan plastik.
• Cairan plastik yang terbentuk kemudian didinginkan dengan direndam dalam air.
• Setelah dingin, lembaran plastik dikeluarkan dari cetakan. Cetakan yang digunakan berupa logam
agar plastik cair tidak lengket

4.4 Daur-ulang dalam Penanganan Sampah Kota

Upaya 3R bukan saja terbatas dilakukan pada sumber sampah, tetapi sangat dianjurkan untuk
dillaksanakan dalam seluruh rangkaian penanganan sampah, yaitu mulai dari TPS sampah ke titik akhir
di TPA. Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan akhir,
penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama, yaitu:
a. Penanganan sampah tingkat sumber
b. Penanganan sampah tingkat kawasan, dan
c. Penanganan sampah tingkat kota.
Uraian lanjut tentang penanganan sampah terdapat pada Bagian 5 Diktat ini.

Secara umum, upaya daur-ulang (R2 dan R3) dalam sistem penanganan sampah kota adalah sebagai
berikut:
- Guna menentukan potensi daur-ulang, dibutuhkan adanya survei tentang persentase sampah pada
masing-masing sumber, dan pada masing-masing tingkat penanganan sampah, sehingga dapat
dibuat neraca alur sampah mulai dari sumber sampai ke TPA.
- Contoh neraca persentase sampah dari mulai sumber sampai ke TPA adalah seperti terlihat dalam
Gambar 4.3 di bawah ini.
- Langkah awal agar upaya kegiatan R2 dab R3 berhasil adalah melakukan pemilahan.
- Pemilahan sampah di sumbernya paling tidak dilakukan dengan mengelompokkan sampah menjadi
dua kelompok besar, yaitu sampah hayati (sampah organik) dan sampah non-hayati (sampah non-
organik).

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 34
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

- Pemilahan di sumbernya seperti di rumah tangga, di industri, di pasar, dsb, sangat membantu
upaya R2 dab R3 karena akan memperoleh bahan dengan kondisi bersih.

Cerobong Asap

Tempat Pemasukkan
Cetakan Plastik

Ruang
Bakar

Pintu Ruang
Bakar

Tem pat Cetakan Plastik

Gambar 4.2 : Mesin daur ulang plastik [35]

SAMPAH
100%

Sampah
Sampah Organik Sampah B 3
Anorganik
70% 2%
28%

Pengomposan Pemanfaatan lain Residu Residu Daur-ulang


30-40% 2% 28-38% 3-13% 15-25%

Residu
4%
Insinerasi
Sampah
25%

Residu
4%

Tempat
Pemerosesan
Akhir (TPA )

Gambar 4.3: Contoh neraca persentase sampah mulai sumber sampai ke TPA

- Untuk memudahkan penggunaan, disamping kriteria yang terkait dengan fungsi, maka dibutuhkan
pengaturan warna:
o Sampah organik: warna gelap
o Sampah anorganik: warna terang
o Sampah B3 rumah tangga: warna merah (standar internasional)
- Pemilahan sampah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sampah seperti :
o Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos
o Sampah kering, yang digunakan sebagai bahan daur ulang
- Teknik-teknik pengolahan dan pemanfaatan sampah antara lain adalah:
o Pemotongan sampah
o Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 35
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

o Pengomposan sampah secara vermi-kompos


o Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio
o Pembakaran dalam Insinerator.

Beberapa contoh kegiatan upaya 3R adalah sebagai berikut:


- Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah perumahan dan fasilitas sosial tercantum dalam Tabel
4.2.
- Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah fasilitas umum (perkantoran, sekolah, rumah sakit)
tercantum dalam Tabel 4.3.
- Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah komersial (pasar, pertokoan, restoran, hotel) tercantum
dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.2: Contoh pengerjaan 3R pada perumahan dan fasilitas sosial


Penanganan 3R Contoh Cara Pengerjaan
1 Pilih produk dengan pengemas yang dapat didaur-ulang
2 Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar
R1
3 Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill)
4 Kurangi penggunaan bahan sekali pakai
1 Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya
2 Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulang-ulang
R2 3 Gunakan baterai yang dapat di-charge kembali
4 Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak yang memerlukan
5 Lakukan penanganan untuk sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat
1 Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah terurai
R3 2 Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi kompos dengan berbagai cara yang telah
ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreativitas masing-masing

Tabel 4.3: Contoh pengerjaan 3R pada fasilitas umum


Penanganan 3R Cara pengerjaan
1 Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi
2 Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali
3 Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas)
R1 4 Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali
Khusus untuk rumah sakit, gunakan incinerator untuk sampah medis
5 Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill)
6 Kurangi penggunaan bahan sekali pakai
1 Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-ulang
R2
2 Gunakan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali
1 Olah sampah kertas menjadi kertas/karton kembali
R3 2 Olah sampah organik menjadi kompos

Tabel 4.4 : Contoh pengerjaan 3R pada daerah komersial


Penanganan 3R Cara pengerjaan
1 Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat
digunakan kembali
2 Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/bungkusan untuk produk yang
dibelinya
3 Memberikan kemasan/bungkusan hanya kepada produk yang benar-benar memerlukannya
R1
4 Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar
5 Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik belanjaan
6 Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang memerlukannya
7 Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang
diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia
1 Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkkan untuk produk lain, seperti pakan
R2 ternak
2 Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman)
1 Jual produk-produk hasil daur ulang sampah dengan lebih menarik
2 Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur ulang sampah
3 Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat bagi proses lainnya
R3
4 Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau memanfaatkan sesuai dengan
kebutuhan
5 Lakukan penanganan sampah anorganik

Fungsi pemilahan dapat dilaksanakan dengan pengaturan:


− Penyekatan sarana pengumpulan-pengangkutan sesuai dengan jenis sampah
− Penjadwalan waktu pengumpulan sampah yang mudah membusuk, hendaknya diangkut paling
lama 2 hari sekali, sedang sampah non-hayati (anorganik) diangkut dengan frekuensi seminggu
sekali.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 36
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

4.5 Peran Sektor Informal di Indonesia

Daur ulang sampah di Indonesia banyak dilakukan oleh sektor informal, terutama oleh pemulung, mulai
dari rumah tangga sampai ke TPA. Tetapi metode daur ulang yang dilakukan oleh pemulung terbatas
pada pemisahan/pengelompokan. Berdasarkan komposisinya, sampah terbagi dalam dua kategori
besar, yaitu sampah organik (atau sampah basah) dan sampah anorganik (atau sampah kering). Dari
komposisi sampah tersebut, para pemulung memungut sampah anorganik yang masih bernilai ekonomis
dan dapat didaur ulang sebagai bahan baku industri atau langsung diolah menjadi barang jadi yang
dapat dijual. Barang-barang buangan yang dikumpulkan oleh para pemulung adalah yang dapat
digunakan sebagai bahan baku primer maupun sekunder bagi industri tertentu. Bahan-bahan anorganik
yang biasa dipungut oleh para pemulung mencakup jenis kertas, plastik, metal/logam, kaca/gelas, karet,
dan lain-lain. Sampah yang dipisahkan umumnya adalah sampah yang dapat dimanfaatkan kembali
secara langsung, misalnya sampah botol, kardus, koran, barang-barang plastik, dan sebagainya.
Terdapat pula aktivitas pemilahan sampah sisa makanan dan/atau sampah dapur yang dapat digunakan
sebagai makanan ternak, bahan kompos dan sebagainya, seperti terlihat di Denpasar.

Berdasarkan cara kerja pemulung yang sebagian besar beroperasi di kawasan-kawasan pemukiman,
pasar, perkantoran maupun di TPS sampai ke TPA, maka dapat dikatakan bahwa sampah anorganik
yang diserap oleh pemulung merupakan sampah yang belum dapat tertanggulangi oleh Pemerintah
Daerah. Hal ini di satu sisi menunjukkan bahwa kegiatan pemulungan memberikan kontribusi kepada
Pemerintah Daerah dalam hal penanganan sampah. Namun di sisi yang lain, bantuan kegiatan
pemulungan terhadap penaggulangan masalah sampah menjadi tidak nyata terasa manfaatnya, karena
mungkin Pemerintah Daerah menganggap bahwa kegiatan pemulungan merupakan hal yang sudah
semestinya terjadi, dengan mengabaikan segi bantuannya terhadap penanganan kebersihan kota.

Menurut prakiraan Agenda 21 Indonesia [36] potensi daur-ulang sampah kering adalah 15-25%, sedang
potensi sampah basah yang dapat dikomposkan adalah 30-40%, sehingga potensi daur-ulang sampah
diprakirakan sebesar 45-65 %. Namun tingkat daur-ulang di kota-kota di Indonesia baik melalui usaha
pemulung maupun usaha daur-ulang di rumah tangga, dan pengomposan jumlahnya diprakirakan tidak
lebih dari 10% (satuan berat). Bila perhitungan yang digunakan berdasarkan volume, maka angka
tersebut akan menjadi tinggi karena faktor densitas, misalnya botol plastik yang mempunyai volume
besar, tetapi dengan berat yang rendah.

Kehadiran kelompok pemulung dalam sistem pengelolaan persampahan menimbulkan dua pendapat
controversial yang berbeda, yaitu mereka yang menganggap bahwa aktivitas ini disamping memberikan
kesempatan pada masyarakat tidak mampu untuk berusaha di sektor ini, juga akan membantu
mengurangi sampah yang harus diangkut. Pendapat lain menganggap bahwa upaya ini dari sudut harga
diri bangsa tidaklah baik. Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga akan berkurang beratnya sesuai
dengan perjalanan sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir. Secara skematis aktivitas
pemulungan ini ditunjukkan dalam Gambar 4.3 berikut ini.

Suppliers
Recovered materials Bandar and Factories Market
Intermediate

Bos Lapak Prcocessed Goods

Waste Trades

Mobile Scavengers

Scavengers
Temporary Dumping

Scavengers
Final Disposal

Handcart Crews

Drivers Team

Gambar 4.3 : Alur aktivitas daur-ulang sector informal [modivikasi dari Ref. 37]

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 37
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Sampah yang dipisahkan umumnya sudah tidak murni lagi (kotor, basah, dan sebagainya) karena
sampah tersebut sudah tercampur dengan sampah lainnya dari berbagai sumber. Oleh karena itu,
kondisi sampah yang dihasilkan oleh pemulung umumnya memiliki kualitas yang tidak begitu baik
dibandingkan dengan yang dipisahkan di sumber sampah. Pemisahan sampah oleh pemulung ini relatif
masih sedikitl, diprakirakan kurang dari 2% dari jumlah sampah yang terkumpul di TPS. Selain di TPS,
pemulungan sampah juga terjadi di TPA. Seperti halnya pemulungan di TPS, hasil pemulungan sampah
di TPA juga memiliki kualitas yang rendah atau bahkan lebih rendah dibandingkan di TPS. Tetapi bila
dibandingkan dengan di TPS, pemulungan di TPA memiliki persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira
5% dari sampah yang tiba di TPA.

Daur-ulang sampah kota sudah sejak tahun 1980-an yang lalu telah dirasakan pentingnya, dalam upaya
pengurangan sampah yang harus diangkut. Aktivitas pemulung yang banyak dijumpai di kota-kota dalam
mendaur-ulang sampah kering dinilai dapat membantu menurunkan jumlah sampah yang harus diangkut
ke final disposal. Konsep kawasan industri sampah sudah diperkenalkan sejak tahun 1980-an oleh Prof.
Hasan Poerbo melalui PPLH ITB dalam upaya membantu pengelola persampahan mengurangi sampah
yang perlu diangkut. Sarana yang terletak di kawasan permukiman ini diproyeksikan menerima dan
memilah sampah sesuai jenisnya untuk didaur-ulang [13]. Residu sampah yang tidak terdaur-ulang akan
diangkut ke pembuangan akhir. Secara bertahap konsep pengolahan sampah secara terpadu tersebut
telah dicoba diterapkan dalam skala terbatas di beberapa kota di Indonesia, namun umumnya tidak
berlangsung lama. Konsep ini kurang mendapatkan tanggapan yang positif dari pemerintah kota,
khususnya dari sebagian besar pengelola persampahan. Terdapat kehawatiran mereka bahwa upaya ini
akan mengganggu sistem operasional yang telah baku yaitu dengan konsep “kumpul – angkut – buang”.
Penyebab lain adalah karena pengelola sampah di kota-kota Indonesia belum secara penuh
menganggap bahwa konsep ini sebagai bagian dari sistem penanganan sampah kota. Mereka lebih
melihat sarana ini sebagai upaya untuk memperoleh penghargaan dari pemerintah, bahwa mereka telah
memasukkan upaya daur-ulang dalam sistem pengelolaan persampahannya, khususnya dalam upaya
memperoleh penghargaan kota terbaik yang secara rutin diberikan oleh pemerintah [9].

Sampah kering merupakan obyek daur-ulang yang paling banyak dijumpai di kota-kota besar di
Indonesia, dengan melibatkan aktivitas sektor informal lainnya yaitu dari ibu rumah tangga, petugas
kebersihan, penjual barang bekas, juga pemulung. Baju bekas, kertas koran, botol bekas, kertas bekas
semen dsb dianggap bukan sampah tetapi barang yang dapat dijual kembali. Pedagang perantara hadir
di pelosok-pelosok kampung di kota-kota di Indonesia untuk membeli barang-barang bekas ini langsung
dari rumah ke rumah. Tabel 4.2 berikut menggambarkan pengurangan sampah dari sumber sampai ke
TPA, khususnya melalui aktivitas daur-ulang yang ada di Indonesia.

Tabel 4.2 : Pengurangan sampah dari sumber ke final disposal [28]


Sumber sampah Perlakuan sampah
Rumah Dipilah oleh ibu rumah tangga
Dipilah oleh pembantu
Dibakar, tercecer di tanah
Bak sampah Dipulung oleh pemulung
Dibakar, tercecer di tanah
Gerobak sampah Dipilah oleh petugas
Tercecer ke tanah
Penampungan sementara Dipulung oleh pemulung
Tercecer ke tanah
Pengangkutan sampah Dipilah petugas
Tercecer ke tanah
TPA Dipulung pemulung
Dikomposkan, dsb
Dibakar
Diurug dalam tanah

Studi yang dilakukan di Bandung [38] mengungkapkan bahwa sampah kering yang didaur ulang dari
lingkungan permukiman besarnya antara 10,9% - 14,6% untuk permukiman kelas menegah ke atas, dan
antara 21,9% - 26,5% untuk permukiman menengah ke bawah. Bahan yang didaur-ulang oleh aktivitas
pemulung adalah plastik (PE, PS, PP, HDPE, LDPE, PVC dan drum), kertas (warna, duplex, arsip, cone,
koran, HVS), logam (alumunium, tembaga, kuningan, seng, besi, drum), kain (majun, polyster, kapas),
gelas/kaca (botol bir, botol kecap, botol obat), dan karet. Sedang sampah yang dinilai tidak terdaur-ulang
oleh pemulung antara lain adalah sisa makanan, plastik kemasan makanan ringan, batu batere, lampu.

Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah yang mengandung bahan organik
biodegradabel (dapat diuraikan oleh mikroorganisme). Fungsi kompos adalah selain sebagai pupuk
organik, akan berfungsi pula untuk memperbaiki struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 38
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

menyerap dan menahan air serta zat hara yang lain. Dilihat dari komposisi, maka sebagian sampah kota
di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik, atau
sampah basah. Melihat komposisinya yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya
sampah dapur, maka jenis sampah ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme
yang berlimpah di alam ini. Bila ini terjadi, massanya akan berkurang dengan besar. Cara inilah yang
sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi. Namun bila
mekanisme ini berlangsung secara alamiah, khususnya di lingkungan yang sudah jenuh daya
dukungnya, maka akan timbullah masalah estetika serta gangguan lainnya terutama karena adanya bau,
seperti terjadi di timbunan sampah yang tidak terurus dengan baik. Dengan kondisi kelembaban yang
tinggi, serta temperatur yang relatif tinggi seperti di Indonesia ini, maka kecepatan mikroorganisme
dalam menguraikan materi-materi sampah yang biodegradabel ini akan lebih baik pula. Cara-cara inilah
yang mendorong misalnya untuk:
− Pengembangan ‘composter’ individual di rumah-rumah [39, 40] yang sudah diuji cobakan di
beberapa permukiman di Indonesia,
− Pembuatan kompos di lingkungan permukiman atau di final disposal [39]
− Uji coba penggunaan cacing tanah sebagai pemusnah sampah basah [41]

Dari penelitian terhadap porsi bagian sampah anorganik yang dianggap mempunyai nilai ekonomis,
ternyata bagian sampah yang terdaur-ulang antara 4-6% (berat), sementara sebagian besar yaitu 32-
34% (berat) tidak mempunyai nilai ekonomis (Tabel 4.3). Nilai ini diperoleh berdasarkan hasil pemilihan
bagian sampah yang dilakukan oleh pemulung yang biasa melakukan pemulungan sampah untuk dijual
pada lapan atau bandar.

Tabel 4.3: Contoh potensi daur-ulang dari sampah kering [19]


% berat basah
Komponen
TS-1 TS-2
Kertas keras 0,92 0,95
Kertas arsip putih 0,14 0,34
Botol gelas 1,77 0,50
Komponen terdau-ulang

Botol air minum 0,29 0,19


Gelas minum plastik 0,17 0,34
Can 0,22 0,32
Plastik PE 0,03 0,42
Plastik lain-lain 1,63 0,47
Alumunium 0,06 0,05
Karton/cardboard 0,33 0,31
Kertas koran 0,13 0,16
Logam 0,03
Total komponen ter-daur-ulang 5,69 4,08
Sisa makanan 33,90 58,04
Komponen

Daun dsb 12,32 2,21


organik

Tisu- kertas 11,02 1,78


Tekstil 0,89 0,90
kayu 1,98 0,70
Total komponen organik 60,10 63,62
Lain-lain: an-organik non-daur ulang 34,21 32,30

Pengomposan secara tradisional telah dikenal di Indonesia. Beberapa kota besar di Indonesia telah
menerapkan cara ini. Namun permasalahan utama yang dijumpai adalah masalah pemasaran. Banyak
usaha pengomposan tidak dapat berlanjut, karena tidak tersedianya pasar yang dapat menyerap produk
yang dihasilkan. Disamping masalah harga yang perlu memperhitungkan ongkos pengangkutan, juga
karena kualitas yang dihasilkan belum memenuhi keinginan pasar. Penelitian-penelitian skala
laboratorium maupun lapangan terus berlanjut untuk meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan,
misalnya mencampur dengan dedak, penggunaan enzim sellulase untuk mempercepat masa
pengomposan [39]. Uji coba individual composter telah menunjukkan hasil yang positif. Sebuah
composter dengan kapasitas 60 m3 yang rata-rata menerima sampah dapur dari 5 orang perhari, dapat
digunakan sampai 6 bulan. Setelah 6 bulan akan dihasilkan kompos yang kualitasnya cukup baik.
Beberapa kota di Indonesia telah mencoba cara ini di beberapa permukiman. Bila cara ini dapat
diterapkan dan diterima oleh masyarakat, maka sebagian sampah dari permukiman akan dapat
tertangani.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 39
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan sampah basah sebagai makanan cacing. Cacing
yang digunakan umumnya dari jenis Lumbricus. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah
pemisahan sampah di sumber, yaitu untuk memperoleh sampah yang cocok untuk makanan cacing.
Sampah yang telah dipilah tersebut kemudian dikomposkan selama 2 minggu. Berdasarkan uji coba
skala permukiman [41], maka sebanyak 40% sampah basah dari rumah tangga melalui pemilahan
manual yang dapat dimanfaatkan untuk makanan cacing. Dari kegiatan ini akan diperoleh casting yaitu
bahan sejenis kompos, dengan kualitas yang baik dan dengan ukuran butir yang sudah halus dan siap
dijual. Disamping itu dihasilkan biomas cacing yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein,
misalnya untuk pakan ternak dan ikan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 40
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 5
PENANGANAN SAMPAH KOTA
Bagian ini menjelaskan tentang tingkat pengelolaan, tingkat/kualitas pelayanan, daerah /
jenis pelayanan dari sistem pengelolaan sampah kota, serta stakeholders yang berperan
dalam pengelolaan sampah. Dijelaskan pula komponen teknis operasional dalam pengelolaan.
Tugas bagi mahasiswa adalah mengamati sistem pengelolaan sampah di lingkungannya.

5.1 Pendahuluan

Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat 2 kelompok utama pengelolaan sampah,
yaitu:
c. Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah, guna-
ulang dan daur-ulang
d. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari:
− Pemilahan: pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat
sampah
− Pengumpulan: pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu
− Pengangkutan: membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah
sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir
− Pengolahan: mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah
− Pemrosesan akhir sampah: pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya
ke media lingkungan secara aman.

Dalam terminologi pengelolaan sampah di Indonesia selama ini, penanganan sampah dikenal sebagai
teknik operasional persampahan. Dalam bahasan berikut diuraikan beberapa hal penting yang terkait
dalam kegiatan penanganan sampah dalam sistem pengelolaan sampah kota di Indonesia, khususnya:
− Tingkat pengelolaan
− Tingkat dan kualitas pelayanan
− Daerah pelayanan
− Jenis pelayanan.

Di samping sebagai bagian dari infrastruktur sebuah kota, pengelolaan sampah merupakan salah satu
dari sekian banyak upaya dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan
kadangkala terjadi penyimpangan pengelolaan, sehingga timbul ekses yang mengakibatkan dampak
negatif terhadap lingkungan itu sendiri. Kelemahan dalam manajemen dan keterbatasan biaya
operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan persampahan
merupakan faktor penyebab utama permasalahan tersebut.

Permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional penanganan persampahan di antaranya [42]:
− Kapasitas peralatan yang belum memadai
− Pemeliharaan alat yang kurang
− Lemahnya pembinaan tenaga pelaksana khususnya tenaga harian lepas
− Terbatasnya metode operasional yang sesuai dengan kondisi daerah
− Siklus operasi persampahan tidak lengkap/terputus karena berbedanya penanggungjawab
− Koordinasi sektoral antar birokrasi pemerintah seringkali lemah
− Manajemen operasional lebih dititikberatkan pada aspek pelaksanaan, sedangkan aspek
pengendaliannya lemah
− Perencanaan operasional seringkali hanya untuk jangka pendek.

5.2. Stakeholders Pengelola Sampah Kota

Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders yang terlibat
baik langsung maupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya masing-
masing. Dalam skala kota, peran Pemerintah Kota dalam mengelola sampah sangatlah penting, dan
pengelolaan sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan yang merupakan
bagian dari infrastruktur kota tersebut.

Stakeholders utama yang biasa terdapat dalam pengelolaan sampah di Indonesia antara lain [43]:
a. Pengelola kota, yang biasanya bertindak sebagai pengelola sampah
b. Institusi swasta (non-pemerintah) yang berkarya dalam pengelolaan sampah

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 41
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

c. Institusi swasta yang terkait secara langsung dengan persoalan sampah, seperti produsen yang
menggunakan pengemas bagi produknya.
d. Masyarakat atau institusi penghasil sampah yang menggantungkan penanganan sampahnya pada
sistem yang berlaku di sebuah kota
e. Institusi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk aktivitas daur-ulang,
seperti swasta, LSM, pengelola real estate, dsb yang aktivitasnya perlu berkoordinasi dengan
pengelola sampah kota
f. Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penanganan sampah, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misalnya kelompok pemulung yang memanfaatkan sampah sebagai
sumber penghasil
g. Institusi yang tertarik dan peduli (concern) terhadap persoalan persampahan, termasuk perguruan
tinggi.

Berdasarkan hal di atas, pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di sebuah kota, mengenal 3 (tiga)
kelompok pengelolaan, yaitu [43]:
a. Pengelolaan oleh swadaya masyarakat:
pengelolaan sampah mulai dari sumber sampai ke tempat pengumpulan, atau ke tempat
pemrosesan lainnya. Di kota-kota, pengelolaan ini biasanya dilaksanakan oleh RT/RW, dengan
kegiatan mengumpulkan sampah dari bak sampah di sumber sampah, misalnya di rumah-rumah,
diangkut dengan sarana yang disiapkan sendiri oleh masyarakat, menuju ke tempat penampungan
sementara.
b. Pengelolaan formal: biasanya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota, atau institusi lain termasuk
swasta yang ditunjuk oleh Kota. Pembuangan sampah tahap pertama dilakukan oleh penghasil
sampah. Di daerah pemukiman biasanya kegiatan ini dilaksanakan oleh RT/RW, dimana sampah
diangkut dari bak sampah ke TPS. Tahap berikutnya, sampah dari TPS diangkut ke TPA oleh truk
sampah milik pengelola kota atau institusi yang ditunjuk. Biasanya anggaran suatu kota belum
mampu menangani seluruh sampah yang dihasilkan.
c. Pengelolaan Informal: terbentuk karena adanya dorongan kebutuhan untuk hidup dari sebagian
masyarakat ,yang secara tidak disadari telah ikut berperan serta dalam penanganann sampah kota.
Sistem informal ini memandang sampah sebagai sumber daya ekonomi melalui kegiatan
pemungutan, pemilahan, dan penjualan sampah untuk didaur-ulang. Rangkaian kegiatan ini
melibatkan pemulung, tukang loak, lapak, bandar, dan industri daur-ulang dalam rangkaian sistem
perdagangan.

Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat
disejajarkan atau disederhanakan begitu saja, misalnya dengan penanganan sampah daerah pedesaan.
Demikian pula keberhasilan upaya-upaya sektor informal saat ini tidak dapat begitu saja diaplikasikan
dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Dibutuhkan waktu yang lama karena
menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk menerapkannya.

5.3 Tingkat Pengelolaan [44]

Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan atau akhir,
penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama tingkat
pengelolaan, yaitu:
d. Penanganan sampah tingkat sumber
e. Penanganan sampah tingkat kawasan, dan
f. Penanganan sampah tingkat kota.

Penanganan Sampah Tingkat Sumber:

Penanganan sampah tingkat sumber merupakan kegiatan penanganan secara individual yang dilakukan
sendiri oleh penghasil sampah dalam area dimana penghasil sampah tersebut berada. Beberapa ciri
penanganan sampah di tingkat ini:
− Sangat tergantung pada karakter, kebiasaan dan cara pandang penghasil sampah
− Dapat berbentuk individu atau kelompok individu atau dalam bentuk institusi misalnya kantor, hotel,
dsb
− Dapat berkarakter homogen, seperti dari sebuah rumah tinggal, atau bersifat heterogen, seperti
pejalan kaki di keramaian, pedagang kaki lima di tempat-tempat umum
− Keberhasilan upaya-upaya dalam penanganan sampah sangat tergatung pada tingkat kesadaran
masing-masing individu.
− Pada level ini peran serta masyakat sebagai penghasil sampah sangatlah dominan, sehingga
pendekatan penanganan sampah yang berbasiskan masyarakat penghasil sampah merupakan
dasar dalam strategi pengelolaan sampah.

Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat sumber:

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 42
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Penanganan sampah hendaknya tidak lagi hanya bertumpu pada aktivitas pengumpulan,
pengangkutan dan pembuangan sampah
− Penanganan sampah di tingkat sumber diharapkan dapat menerapkan upaya minimasi yaitu dengan
cara 3R
− Minimasi sampah hendaknya dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu dengan menghemat
penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih bahan yang mengandung
sedikit sampah, dsb
− Upaya memanfaatkan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya
seperti halnya pada penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. Upaya mendaur ulang
sampah dapat dilakukan dengan memilah sampah menurut jenisnya
− Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan dapat diterapkan di sumber
(rumah tangga, kantor, sekolah, dll) yang secara signifikan akan megurangi sampah pada tingkat
berikutnya.

Penanganan Sampah Tingkat Kawasan:

Penanganan sampah tingkat kawasan merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk melayani
sebagian atau keseluruhan sampah yang ada dalam area dimana pengelola kawasan berada. Beberapa
ciri penanganan sampah tingkat kawasan:
− Bersifat heterogen, sampah berasal dari sumber-sumber yang berbeda
− Dalam level ini akan bertemu dan saling berinteraksi stakeholders yang berasal dari tingkat sumber
dengan tingkat kota
− Keberhasilan upaya dalam penanganan sampah skala ini sangat tergatung pada level kesadaran
kelompok pembentuk tingkat kawasan, misalnya RT, RW, Kelurahan, atau lainnya. Oleh karena
kelompok ini terdiri dari individu-individu yang mungkin mempunyai pemahaman berbeda tentang
persampahan, maka peran organisasi pengelola serta dukungan inisiator dan atau stakeholders
penentu lainnya, seperti Ketua RT, Ketua RW, Lurah, atau LSM yang mengorganisir pengelolaan
sampah pada tingkat ini sangat penting
− Peran serta masyarakat seperti yang diharapkan terjadi pada tingkat sumber, pada tingkat kawasan
akan relatif lebih sulit dibangun
− Peran aktif pengelola kota sangat menentukan, agar sistem pengelolaan tingkat kawasan ini tetap
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pengelolaan sampah kota secara
menyeluruh.

Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kawasan:


− Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan upaya minimisasi sampah
untuk mengurangi beban pada pengelolaan tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA
− Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang berada dalam daerah
pelayanan yang telah ditentukan
− Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat pengolahan sampah tingkat
kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah
lainnya dari daerah yang bersangkutan
− Pemilahan sampah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sampah seperti:
o Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos
o Sampah kering, yang digunakan sebagai bahan daur ulang
o Sampah berbahaya rumah tangga, yang selanjutnya akan dikelola sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
− Insinerator skala kecil tidak direkomendasi karena biasanya belum sesuai dengan kondisi sampah
yang memiliki kandungan organik tinggi (> 60 %), kadar air tinggi (> 60 %) dan nilai kalor rendah
(< 1200 kkal/kg), karena akan menyebabkan tinginya konsumsi bahan bakar tambahan serta
menimbulkan pencemaran udara akibat tidak tersedianya fasilitas penanggulangan pencemaran
yang memadai.

Penanganan Sampah Tingkat Kota:

Penanganan sampah tingkat kota merupakan penanganan sampah yang dilakukan oleh pengelola
kebersihan kota, baik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, atau dilaksanakan oleh institusi lain yang
ditunjuk untuk itu, yang bertugas untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah yang ada dalam kota
yang menjadi tanggung jawabnya. Beberapa ciri penanganan sampah di tingkat ini:
− Pengelolaan sampah diposisikan sebagai bagian dari infrastruktur perkotaan
− Bila dikelola langsung oleh Pemerinta Daerah, maka bentuk pengelolaan dapat berupa Perusahaan
Daerah, Dinas, Unit Pelayanan Teknis (UPTD) atau sebagai Seksi dari sebuah Dinas.
− Terdapat kemungkinan bahwa pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh fihak luar atau swasta, baik
keseluruhan pelayanan, maupun sebagian dari pelayanan, dengan kontrol kualitas pelayanan tetap
dibawah kendali Pemerinta Daerah

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 43
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Ciri khas dari level ini adalah bagaimana memperlihatkan agar kota itu terlihat bersih, sehingga area
yang merupakan wajah sebuah kota akan lebih diprioritaskan pelayanannya.

Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kota:


− Sumber sampah dari kegiatan kota yang dianggap khusus, seperti jalan protokol, taman kota,
instansi penting, pusat perdagangan, dan sejenisnya dapat dilayani dengan sistem langsung (door-
to-door), dimana sampah langsung dikumpulkan dan diangkut oleh truk sampah ke tempat
pemrosesan akhir
− Prinsip pengolahan dan daur-ulang sampah adalah mengedepankan pemanfaatan sampah sebagai
sumber daya sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit
− Keberhasilan upaya pengolahan dan daur-ulang sangat tergantung pada adanya pemilahan sampah
mulai dari sumber, pada wadah komunal, pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga
sampah yang akan diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau komposisinya
− Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil penjualan produk pengolahan
atau daur-ulang, namun dasar pemikiran pengolahan dan daur-ulang sampah hendaknya
didasarkan atas pendekatan non-profit-center. Upaya tersebut bertujuan untuk mengurangi sampah
yang akan diurug di landfill
− Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan sampah berkatagori B3
dari kegiatan rumah tangga, untuk ditangani lebih lanjut
− Sampah yang telah terpisah di sarana tersebut siap untuk diangkut ke TPA oleh institusi yang
diserahi wewenang untuk pengangkutan sampah
− Konsep penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip, yaitu [45]:
o Penanganan sampah di sarana ini hendaknya terpadu
o Bahan yang masih bernilai ekonomis hendaknya diupayakan untuk didaur-ulang sebelum
dilakukan upaya terakhir dengan pengurugan sampah ke dalam tanah
o Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah, seperti pengomposan,
biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi syarat
o Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan berbahaya yang
terkumpul dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi pemrosesan yang sesuai
o Sarana ini dioperasikan secara bertanggung jawab, sehingga tidak mendatangkan pencemaran
lingkungan, dan tidak mendatangkan permasalahan terhadap kesehatan dan estetika bagi
masyarakat sekitarnya

5.4 Daerah Pelayanan

Tingkat pelayanan:
Tingkat pelayanan merupakan ukuran kemampuan pengelola kota untuk menyediakan pelayanan
kebersihan kepada masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Guna menentukan tingkat
pelayanan pengelolaan sampah di kota tersebut, digunakan 2 (dua) indikator utama, yaitu [14]:
− Persentase jumlah penduduk kota dan sarana lain yang memperoleh pelayanan dari sistem
− Persentase timbulan sampah yang dapat dikelola oleh pengelola sampah tingkat kota

Dalam merancang sistem pengelolaan sampah, maka persentase pelayanan setiap sumber sampah
perlu ditentukan, yang didasarkan atas kondisi serta kemampuan sistem itu sendiri, misalnya:
− Pelayanan bagi lingkungan permukiman saat ini baru mencapai 40%. Maka dalam 5 tahun ke depan
diproyeksikan menjadi 50%, dan 10 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 75%
− Pelayanan di daerah jalan protokol, pasar, rumah sakit, hotel, taman kota, perkantoran, dan fasilitas
umum mendapat prioiritas utama misalnya ditargetkan menjadi 100%.

Pengertian penduduk kota yang dilayani biasanya tidak terbatas pada pelayanan dimana penduduk
tersebut bertempat tinggal, tetapi mencakup pula dimana penduduk itu beraktivitas. Pelayanan tidak
terbatas dalam arti hanya menyingkirkan sampah dari lingkungan sumber sampah, dan keluar dari kota
tersebut, tetapi juga mengandung pengertian bahwa pengelolaan sampah mencakup pelayanan agar
sampah yang ditangani tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan, khususnya bagi masyarakat dan
lingkungan yang bukan penghasil sampah yang ditangani tersebut, seperti yang tinggal di sekitar TPA.

Kualitas pelayanan:
Kualitas pelayanan meliputi frekuensi pengumpulan dan pengangkutan, dukungan dan kondisi
prasarana/sarana, serta estetika hasil pelayanan. Frekuensi pengumpulan dan pengangkutan akan
terkait dengan sistem pelayanan yang ada serta jenis sampah yang akan dikelola. Sampah basah sangat
dianjurkan untuk diangkut minimum 2 hari sekali, sedangkan sampah kering dapat dilakukan 1-2 kali
seminggu.

Daerah pelayanan:
Daerah pelayanan merupakan daerah yang berada dalam tanggung jawab pengelola sebuah kota, yang
dilayani pengelolaan sampahnya, paling tidak sampah didaerah tersebut diangkut menuju pengolahan

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 44
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

atau pemrosesan akhir. Daerah yang tidak dilayani diharapkan menangani sampahnya secara mandiri
baik secara individu, maupun secara komunal.

Beberapa pertimbangan yang biasa digunakan di Indonesia adalah [7]:


− Daerah dengan kepadatan rendah dianggap masih memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi
sehingga dapat menerapkan pola penanganan sampah setempat yang mandiri
− Daerah dengan tingkat kepadatan di atas 50 jiwa/ha perlu mendapatkan pelayanan persampahan
karena penerapan pola penanganan sampah setempat akan berpotensi menimbulkan gangguan
lingkungan.
− Prioritas daerah pelayanan dimulai dari daerah pusat kota, daerah komersial, permukiman dengan
kepadatan tinggi, daerah permukiman baru, kawasan strategis atau kawasan andalan
− Pengembangan daerah pelayanan diarahkan dengan menerapkan model “rumah tumbuh” yaitu
pengembangan ke wilayah yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan wilayah yang telah
mendapat pelayanan.

Jenis pelayanan:
Berdasarkan penentuan skala kepentingan daerah pelayanan, frekuensi pelayanan dapat dibagi dalam
beberapa kondisi sebagai berikut [7]:
− Kondisi-1: wilayah dengan pelayanan intensif, adalah daerah di jalan protokol, pusat kota, kawasan
pemukiman tidak teratur, dan daerah komersial
− Kondisi-2: wilayah dengan pelayanan menengah adalah kawasan pemukiman teratur
− Kondisi-3: wilayah dengan pelayanan rendah adalah daerah pinggiran kota
− Kondisi-4: wilayah tanpa pelayanan, misalnya karena lokasinya terlalu jauh, dan belum terjangkau
oleh truk pengangkut sampah.
Lebih lanjut, penentuan jenis pelayanan berdasarkan skala kepentingan daerah pelayanan dapat dilihat
pada Tabel 5.1, yang dilakukan berdasarkan pengembangan tata ruang kota.

Hasil perencanaan daerah pelayanan berupa identifikasi masalah dan potensi yang tergambar dalam
peta-peta sebagai berikut [3] :
− Peta problem : minimal menggambarkan kerawanan sampah, tingkat kesulitan pelayanan,
kerapatan timbulan sampah, tata guna lahan, jumlah penduduk, kepadatan rumah/bangunan.
− Peta pemecahan masalah : menggambarkan pola yang digunakan, kapasitas perencanaan, meliputi
alat dan personel, jenis sarana dan prasarana, potensi pendapatan jasa pelayanan serta rute dan
penugasan

Jenis pelayanan pengelola sampah dapat dibagi seperti terlihat dalam Tabel 5.1, yaitu:
− Penyapuan jalan
− Pengumpulan sampah
− Pengangkutan sampah
− Penanganan sampah

5.5 Teknik Operasional Penanganan Sampah

Teknik operasional penanganan sampah perkotaan meliputi dasar-dasar perencanaan untuk kegiatan-
kegiatan [4]:
− Pewadahan sampah
− Pengumpulan sampah
− Pemindahan sampah
− Pengangkutan sampah
− Pengolahan dan pendaur-ulangan sampah
− Pemrosesan akhir sampah.

Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari pewadahan sampah
sampai dengan pemrosesan akhir sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang
terdiri atas kegiatan pewadahan sampai dengan pemrosesan akhir sampah harus bersifat terpadu
dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Skema teknik operasional pengelolaan
persampahan dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut.

Sub sistem pengumpulan sampah dikenal dengan beberapa pola seperti:


− Pola individual: pada pola ini dilakukan pengumpulan sampah dari rumah ke rumah dengan alat
angkut jarak pendek seperti gerobak atau yang lainnya untuk diangkut ke penampungan
sementara. Pola ini dapat dilakukan juga dengan cara door-to-door menggunakan truk sampah
untuk langsung diangkut ke pengolahan/pemrosesan sampah.
− Pola komunal: pada pola ini pengumpulan sampah dari beberapa rumah dilakukan pada satu titik
pengumpulan, yang dilakukan langsung oleh penghasil sampah untuk kemudian diangkut ke TPA.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 45
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 5.1 : Skala kepentingan daerah pelayanan [7]


Nilai
No. Parameter Bobot Kerawanan Potensi
sanitasi ekonomi
1 Fungsi dan nilai daerah : 3 − −
a. Daerah di jalan protokol/pusat kota − 3 4
b. Daerah komersial − 3 5
c. Daerah perumahan teratur − 4 4
d. Daerah industri − 2 4
e. Jalan, taman, dan hutan kota − 3 1
f. Daerah perumahan tidak teratur, selokan − 5 1
2 Kepadatan penduduk : 3 − −
a. > 50 jiwa/ha < 100 jiwa/ha (rendah) − 1 4
b. > 100 jiwa/ha < 300 jiwa/ha (sedang) − 3 3
c. > 300 jiwa/ha (tinggi) − 5 1
3 Daerah pelayanan : 3 − −
a. Yang sudah dilayani − 5 4
b. Yang dekat dengan yang sudah dilayani − 3 3
c. Yang jauh dari daerah pelayanan − 1 1
4 Kondisi lingkungan : 2 − −
a. Baik (sampah dikelola, lingkungan bersih) − 1 4
b. Sedang (sampah dikelola, lingkungan kotor) − 2 3
c. Buruk (sampah tidak dikelola, lingkungan kotor) − 3 2
d. Buruk sekali (sampah tidak dikelola, lingkungan
− 4 1
sangat kotor), daerah endemis penyakit menular
5 Tingkatan pendapatan penduduk : 2 − −
a. Rendah − 5 1
b. Sedang − 3 3
c. Tinggi − 1 5
6 Topografi : 1 − −
a. Datar/rata (kemiringan < 5% − 2 4
b. Bergelombang (kemiringan 5-15%) − 3 3
c. Berbukit/curam (kemiringan > 15%) − 3 1
Keterangan : angka total tertinggi dari skor (bobot nilai) merupakan pelayanan tingkat pertama,
angka-angka berikut di bawahnya merupakan pelayanan selanjutnya.

Aspek penyimpanan dan pengumpulan membutuhkan pengetahuan dasar tentang karakteristik masing-
masing sampah agar tidak menimbulkan permasalahan, baik dari sudut biaya operasi maupun
keselamatan kerja dan lingkungan.

Subsistem pemindahan menerima sampah yang berasal dari sumber, untuk kemudian diangkut ke TPA.
Dikenal dua pola yaitu sistem yang permanen dan yang dapat diangkut (dipindahkan). Subsistem
pemindahan mempunyai sasaran-sasaran sebagai berikut:
− Sebagai peredam tingkat ketergantungan fase pengumpulan dengan fase pengangkutan
− Pos pengendalian tingkat kebersihan wilayah yang bersangkutan.

Subsistem pengangkutan terdiri atas tiga jenis, yaitu:


− Pengangkutan dari satu lokasi pemindahan ke TPA
− Pengangkutan dari kelompok pemindahan menuju ke TPA
− Pengangkutan dengan pola door-to-door.

Aspek pengangkutan sampah kadang dilupakan dan dianggap dapat berjalan dengan sendirinya
sehingga menjadi permasalahan besar apabila sampah harus diangkut ke luar dari sumber asalnya
guna diproses lebih jauh. Hal ini terutama menyangkut pengamanan selama perjalanannya.

5.6 Pengelolaan Sampah Terpadu

Secara historis, pengelolaan limbah berangkat dari fungsi kerekayasaan. Hal ini terkait dengan evolusi
masyarakat teknologi, yang memanfaatkan kemampuan berproduksi secara massal. Aliran bahan baku,
enersi dan fluida dalam masyarakat modern dan produk ikutannya yang berupa limbah ditunjukkan
dalam Gambar 5.2 berikut ini.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 46
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Timbulan Sampah

Penanganan Sampah :
Pemisahan – Pewadahan –
Proses di sumber

Pengumpulan

Pemindahan dan Pemisahan – Pemerosesan –


Pengangkutan dan Transformasi Sampah

Pembuangan Akhir
(Disposal)
Pemrosesan akhir

Gambar 5.1 : Skema teknik operasional pengelolaan sampah [modifikasi dari Ref. 4]

Bahan Baku Residu


Bahan
Proses
Residu
Residu
Manufacturing

Proses dan
2nd Manufacturing
Recovery

Konsumen
(Penggunaan
Produk)

Final Disposal

Gambar 5.2 : Aliran bahan baku dan limbah dalam masyarakat industri [32]

Pengelolaan sampah pada masyarakat modern bertambah lama bertambah kompleks sejalan dengan
kekomplekan masyarakat itu sendiri. Pengelolaan sampah pada masyarakat modern membutuhkan
keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya teknologi-teknologi
yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation), pengumpulan (collection),
pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemrosesan (processing), pembuangan akhir
(final disposal) sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi
sesederhana menghadapi masyarakat non-industri, seperti di perdesaan. Seluruh proses tersebut
hendaknya diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan masyarakat, pelestarian
lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat diterima.

Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural,
planning, kerekayasaan. Semua disiplin ini diharapkan saling berkomunikasi dan berinteraksi satu

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 47
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

dengan yang lain dalam hubungan interdipliner yang positif agar sebuah pengelolaan persampahan yang
terintegrasi dapat tercapai secara baik.

Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-teknik,
teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang
spesifik dari pengelolaan sampah. USEPA di Amerika Serikat [46] mengidentifikasi 4 (empat) dasar
pilihan manajemen strategi, yaitu:
a. Reduksi sampah di sumber
b. Recycling dan pengomposan
c. Transfer ke enersi (waste-to-energy)
d. Landfilling
Negara Bagian Kalifornia mengartikan konsep integrasi tersebut dengan menerapkan secara hierarkhi
pilihan teknologi tersebut, yaitu :
a. Reduksi sampah di sumber
b. Recycling dan pengomposan
c. Transformasi limbah
d. Landfilling
yang artinya transformasi sampah baru dipertimbangkan bila telah dilakukan upaya-upaya recycling atau
pengomposan sebelumnya, guna mengurangi secara kuantitatif sampah. Gambar 5.3 merupakan
konsep pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi.

Sumber Sampah
Permukiman

Pemilahan Sampah

Pengumpulan Ke Fasilitas
Curb side Pengumpulan Kembali
atau ke produsen ke Produsen
Penampung
Sampah Berbahaya

Pusat Pengemas , kaleng


Penerima minuman , dsb

TPS atau Pusat Recovery Sampah - Kertas


- Karton
- Plastik
- Aluminium
Fasilitas Transformasi - Gelas
Sampah - Besi

Landfill - Kompos
- Metan
- Enersi /gas

Gambar 5.3 Pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi [32]

Telah dibahas sebelumnya, bahwa penanganan sampah yang terintegrasi bertujuan untuk
meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju pemrosesan akhir. Pengelolaan
sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul-angkut-buang menyisakan banyak permasalahan
dan kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Daur ulang sampah sudah
menjadi dasar yang diamanatkan oleh UU-18/2008.

Masing-masing kota diperkirakan pada tahun-tahun mendatang akan mengalami penambahan penduduk
yang cukup besar sehingga pembuangan sampah akan mengalami peningkatan yang pesat pula,
terutama sampah organik yang merupakan jumlah sampah terbanyak. Persentase pemanfaatan kembali
sampah oleh masyarakat masih jauh dari jumlah sampah yang dihasilkan, sehingga volume sampah
yang belum tertanggulangi masih banyak. Untuk mendukung upaya pemerintah dalam strategi
pengurangan sampah tentunya pemanfaatan kembali sampah merupakan hal yang sangat penting dan
sangat diajurkan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 48
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Selain dapat mengurangi timbulan sampah yang berasal dari sumbernya sendiri, kegiatan pemanfaatan
kembali khususnya sampah an-organik ini banyak sekali manfaatnya bagi warga, seperti diperolehnya
usaha sampingan, pembukaan lapangan pekerjaan baru, memperkuat kepedulian terhadap lingkungan,
juga memperkuat peranserta masyarakat. Manfaat lain yang mungkin dirasakan oleh pemerintah adalah
mengurangi subsidi untuk penanganan sampah. Sampai saat ini timbulan sampah yang dapat ditangani
oleh pemerintah daerah belum mencapai 100%. Hal ini berarti masih terdapat sampah yang tertinggal
atau tidak tertangani oleh pemerintah daerah disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang
ada. Upaya pemanfaatan kembali, pengolahan dan kampanye pengurangan sampah terutama sampah
non-organik merupakan alternatif yang sangat positif sebagai kerangka untuk menjawab permasalahan
persampahan tersebut. Sektor informal yang berkecimpung dalam masalah pendaur-ulangan
barang-barang bekas atau sampah memiliki potensi dalam pengurangan sampah khususnya sampah
non-organik yang ada di perkotaan.

Sektor informal yang selama ini telah aktif dalam upaya daur-ulang sampah kota yaitu pemulung, lapak
dan bandar perlu diintegrasikan dalam sistem pengelolaan sampah kota yang berpusat pada sarana
pengelolaan sampah tersebut. Program daur-ulang pada dasarnya tidak hanya dilakukan di
sumber-sumber timbulan sampah, akan tetapi juga diterapkan di tempat transit sampah (TPS) yang
dapat disebut sebagai pengolahan skala kawasan, atau dalam lokasi pengolahan/pemrosesan akhir.
Penerapan program daur-ulang dan proses pengolahannya di tempat pengolahan/pemrosesan akhir,
dikenal dengan konsep Pengolahan Sampah Terpadu. Konsep ini prinsipnya menyatukan secara
terpadu kegiatan pembuangan akhir dengan kegiatan proses pemilahan, daur ulang, dan komposting,
dan upaya lainnya agar sampah yang akan diurug menjadi lebih sedikit. PPT dan PPLH ITB pada tahun
1980-an telah memperkenalkan dan menguji-coba konsep ini sebagai Kawasan Industri Sampah (KIS)
[13].

Salah satu skenario kegiatan dan proses dari pengolahan sampah terpadu ini dapat dilihat pada Gambar
5.4 berikut. Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari tempat
pemrosesan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak dominan karena
kapasitas sampah yang akan diurug lebih kecil daripada sampah yang dapat diolah atau dimanfaatkan
lagi, hal ini seiring dengan tahap pengembangan pengelolaan persampahan yang semakin meningkat.

5.7 Pengelolaan Sampah Regional

Dengan terbatasnya lahan untuk pemrosesan, serta makin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh
sebuah kota, maka idea pengelolaan sampah bersama dari daerah yang saling berdekatan atau beskala
regional, makin banyak mendapat perhatian di Indonesia. Konsep pertama yang muncul adalah berasal
dari Denpasar dan sekitarnya, dengan konsep pengelolaan sampah bersama antara Kota DenpaSAR,
Kabupaten BAdung, Kabupaten GIanyar dan Kabupaten TAbanan atau SARBAGITA.

Berdasarkan Peraturan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten
Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, nomor 660.2/2868/Sekret; nomor 840.B tahun 2000; nomor
658.1/3367/Ek; nomor 390.B tahun 2000 tanggal 24 Juli 2000, tentang Pokok-Pokok Kerjasama
Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Sampah antara Pemerintah
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, ditetapkan 4 (empat)
program pokok atau disebut program strategis yang mencakup [47]:
Penetapan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah lintas kabupaten/kota.
- Pembentukkan wadah kerjasama dalam suatu badan pengelola kebersihan Bali bagian Selatan
- Pembentukan wadah pengawasan independen
- Pembentukan Peraturan Pemerintah (Perda) yang mendukung pengelolaan sampah, seperti tarif,
organisasi, pengawasan, perencanaan, dan lain-lain.

Untuk meningkatkan kondisi lingkungan hidup daerah dan perkotaan di Propinsi Bali, khususnya di Bali
Selatan yang mengalami pertumbuhan urbanisasi yang sangat pesat, Pemerintah Pusat mendapat
bantuan dari Bank Dunia (IBRD) melalui Program Bali Urban Infrastructure Project (BUIP)-P3KT, yang di
dalam pelaksanaannya khusus menyangkut persampahan ditangani oleh Proyek Pengelolaan Sampah
Bali (Solid Waste Menagement in Bali) mulai Tahun Anggaran 1997/1998 sampai dengan 2001/2002.
Restrukturisasi pembentukan institusi pengelolaan persampahan di Bali Selatan, yang kemudian disebut
Sarbagita, telah disepakati melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 16 April 2001 di antara
keempat Pemerintah Daerah/Kota Sarbagita. Institusi atau badan yang telah disepakati untuk dibentuk
adalah : Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan Sarbagita (BPPKS), Badan Pengelola
Kebersihan Sarbagita (BPKS), dan Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan Sarbagita (BP2KS).
Institusi atau badan tersebut mempunyai fungsi dan tugas pokok masing-masing yang sudah ditetapkan
melalui Keputusan Bersama Pemerintah Daerah/Kota [47].

Konsep yang sama dicoba dikembangkan di Jakarta dan sekitarnya, yaitu pengelolaan sampah
bersama, khususnya dalam pengadaan TPA, bagi kota JAkarta, BOgor, DEpok, TAngerang dan BEKas,

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 49
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

atau JABODETABEK. Namun upaya yang mendapat dukungan dari Pemerintah pusat tersebut, sampai
saat ini belum terlihat realisasinya. Terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan diantara kota dan
kabupaten yang terlibat di dalamnya. Konsep sejenis berjalan cukup baik di Yoyakarta, yaitu antara
Daerah Istimewa YogyaKARTA, Kabupaten SleMAN dan dan Kabuoaten BanTUL, atau
KARTAMANTUL. Hal yang sama dirintis di tempat lain, seperti di metropolitan Makassar, Gorontalo dsb.
Sedang Bandung Raya menampilkan idea pengelolaan sampah bersama antara Garut, Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Cimahi [48] yang telah dirintais sejak tahun 2004.

Sumber Timbulan
Sampah

Swadaya Masyarakat

Tempat
Proses Pemisahan Pemrosesan Akhir
Sampah
(TPA)
Proses Pemilahan

Sampah Organik Sampah Anorganik

Layak Tak Layak Tak Layak Layak


Kompos Kompos Daur Ulang Daur Ulang

INSTALASI KOMPOS

Residu SLF

Abu

Abu Pilihan
Insinerator
Campuran Kompos

Produk Kompos Produk Lain Bahan Daur Ulang

Gambar 5.4 : Flow chart pengolahan sampah terpadu [47]

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 50
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 6
PEWADAHAN, PENGUMPULAN DAN PEMINDAHAN
Bagian ini menjelaskan aktivitas teknik operasional persampahan, mulai dari pewadahan
sampai ke transfer. Dijelaskan tentang jenis dan pola pewadahan, serta sistem transfer.
Dijelaskan pula subsistem ini di Indonesia dan di negara maju. Guna lebih memahami,
mahasiswa diminta mengamati aktivitas susb-sistem ini di lingkungannya.

6.1 Pewadahan Sampah

Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik individual
maupun komunal. Wadah sampah individual umumnya ditempatkan di muka rumah atau bangunan
lainnya. Sedangkan wadah sampah komunal ditempatkan di tempat terbuka yang mudah diakses.
Sampah diwadahi sehingga memudahkan dalam pengangkutannya. Idealnya jenis wadah disesuaikan
dengan jenis sampah yang akan dikelola agar memudahkan dalam penanganan berikutnya, khususnya
dalam upaya daur-ulang. Di samping itu, dengan adanya wadah yang baik, maka:
− Bau akibat pembusukan sampah yang juga menarik datangnya lalat, dapat diatasi.
− Air hujan yang berpotensi menambah kadar air di sampah, dapat kendalikan
− Pencampuran sampah yang tidak sejenis, dapat dihindari

Berdasarkan letak dan kebutuhan dalam sistem penanganan sampah, maka pewadahan sampah dapat
dibagi menjadi beberapa tingkat (level), yaitu:
a. Level-1 : wadah sampah yang menampung sampah langsung dari sumbernya. Pada umumnya
wadah sampah pertama ini diletakkan di tempat-tempat yang terlihat dan mudah dicapai oleh
pemakai, misalnya diletakkan di dapur, di ruang kerja, dsb. Biasanya wadah sampah jenis ini adalah
tidak statis, tetapi mudah diangkat dan dibawa ke wadah sampah level-2.
b. Level-2 : bersifat sebagai pengumpul sementara, merupakan wadah yang menampung sampah dari
wadah level-1 maupun langsung dari sumbernya. Wadah sampah level-2 ini diletakkan di luar
kantor, sekolah, rumah, atau tepi jalan atau dalam ruang yang disediakan, seperti dalam apartemen
bertingkat . Melihat perannya yang berfungsi sebagai titik temu antara sumber sampah dan sistem
pengumpul, maka guna kemudahan dalam pemindahannya, wadah sampah ini seharusnya tidak
bersifat permanen, seperti yang diarahkan dalam SNI tentang pengelolaan sampah di Indonesia.
Namun pada kenyataannya di permukiman permanen, akan dijumpai wadah sampah dalam bentuk
bak sampah permanen di depan rumah, yang menambah waktu operasi untuk pengosongannya.
c. Level-3 : merupakan wadah sentral, biasanya bervolume besar yang akan menampung sampah dari
wadah level-2, bila sistem memang membutuhkan. Wadah sampah ini sebaiknya terbuat dari
konstruksi khusus dan ditempatkan sesuai dengan sistem pengangkutan sampahnya. Mengingat
bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah tersebut, maka wadah sampah yang
digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : kuat dan tahan terhadap korosi,
kedap air, tidak mengeluarkan bau, tidak dapat dimasuki serangga binatang dan air hujan serta
kapasitasnya sesuai dengan sampah yang akan ditampung.

Wadah sampah hendaknya mendorong terjadinya upaya daur-ulang, yaitu disesuaikan dengan jenis
sampah yang telah terpilah. Di negara maju adalah hal yang umum dijumpai wadah sampah yang terdiri
dari dari beragam jenis sesuai jenis sampahnya. Namun di Indonesia, yang sampai saat ini masih belum
berhasil menerapkan konsep pemilahan, maka paling tidak hendaknya wadah tersebut menampung
secara terpisah, misalnya:
a. Sampah organik, seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan, dengan wadah warna
gelap seperti hijau
b. Sampah anorganik seperti gelas, plastik, logam, dan lain-lainnya, dengan wadah warna terang
seperti kuning
c. Sampah bahan berbahaya beracun dari rumah tangga dengan warna merah, dan dianjurkan diberi
lambang (label) khusus

Di Indonesia dikenal pola pewadahan sampah individual dan komunal. Wadah individual adalah wadah
yang hanya menerima sampah dari sebuah rumah, atau sebuah bangunan, sedang wadah komunal
memungkinkan sampah yang ditampung berasal dari beberapa rumah atau dari beberapa bangunan.
Pewadahan dimulai dengan pemilahan baik untuk pewadahan individual maupun komunal, dan
sebaiknya disesuaikan dengan jenis sampah. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:
− Pada umumnya wadah sampah individual level-2 ditempatkan di tepi jalan atau di muka fasilitas
umum, dan wadah sampah komunal terletak di suatu tempat yang tebuka, sehingga memudahkan
para petugas untuk mengambilnya dengan cepat, teratur, dan higienis.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 51
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Wadah sampah dari rumah sebaiknya diletakkan di halaman muka, dianjurkan tidak di luar pagar,
sedang wadah sampah hotel dan sejenisnya ditempatkan di halaman belakang
− Tidak mengambil lahan trotoar, kecuali bagi wadah sampah untuk pejalan kaki
− Didesain secara indah, dan dijamin kebersihannya, khususnya bila terletak di jalan protokol
− Tidak mengganggu pemakai jalan atau sarana umum lainnya.
− Mudah untuk pengoperasiannya, yaitu mudah dan cepat untuk dikosongkan.
− Jarak antar wadah sampah untuk pejalan kaki minimal 100 m.
− Mudah dijangkau oleh petugas sehingga waktu pengambilan dapat lebih cepat dan singkat.
− Aman dari gangguan binatang ataupun dari pemungut barang bekas, sehingga sampah tidak dalam
keadaan berserakan.
− Tertutup dan tidak mudah rusak dan kedap air.

Penentuan ukuran volume biasanya berdasarkan jumlah penghuni tiap rumah/sumber, timbulan sampah
per pemakai, tingkat hidup masyarakat, frekuensi pengambilan atau pengumpulan sampah dan cara
pemindahan sampah, manual atau mekanik. Beberapa jenis wadah berdasarkan sumber sampahnya
dapat dilihat pada Tabel 6.1, sedang persyaratan untuk bahan adalah seperti pada Tabel 6.2. Contoh
wadah dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 6.3.

Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah [7], maka:
a. Pola pewadahan individual: diperuntukkan bagi daerah pemukiman berpenghasilan menengah-tinggi
dan daerah komersial. Bentuk yang dipakai tergantung selera dan kemampuan pengadaan dari
pemiliknya, dengan kriteria:
− Bentuk: kotak, silinder, kantung, kontainer.
− Sifat: dapat diangkat, tertutup.
− Bahan: logam, plastik. Alternatif bahan harus bersifat kedap terhadap air, panas matahari, tahan
diperlakukan kasar, mudah dibersihkan.
− Ukuran: 10-50 liter untuk pemukiman, toko kecil, 100-500 liter untuk kantor, toko besar, hotel,
rumah makan.
− Pengadaan: pribadi, swadaya masyarakat, instansi pengelola.

b. Pola pewadahan komunal : diperuntukkan bagi daerah pemukiman sedang/kumuh, taman kota,
jalan, pasar. Bentuk ditentukan oleh pihak instansi pengelola karena sifat penggunaannya adalah
umum, dengan kriteria:
− Bentuk: kotak, silinder, kontainer.
− Sifat: tidak bersatu dengan tanah, dapat diangkat, tertutup.
− Bahan: logam, plastik. Alternatif bahan harus bersifat kedap terhadap air, panas matahari, tahan
diperlakukan kasar, mudah dibersihkan.
− Ukuran: 100-500 liter untuk pinggir jalan, taman kota, 1-10 m3 untuk pemukiman dan pasar.
− Pengadaan: pemilik, badan swasta (sekaligus sebagai usaha promosi hasil produksi), instansi
pengelola.

Tabel 6.1: Jenis pewadahan dan sumber sampahnya [7]


Sumber sampah Jenis pewadahan
- Kantong plastik/kertas, volume sesuai yang tersedia di pasaran
- Bak sampah permanen, ukuran bervariasi, biasanya dari
Daerah perumahan pasangan
- Bin plastik/tong, volume 40-60 Iiter, dengan tutup, khususnya
permukiman yang pernah dibina oleh Dinas Kebersihan
- Bin/tong sampah, volume 50–60 Iiter
- Bin plastik, volume 120-140 Iiter dengan tutup dan memakai
roda.
Pasar 3
- Gerobak sampah, volume 1,0 m .
3
- Kontainer dari Armroll kapasitas 6–10 m .
- Bak sampah.
- Kantong plastik, volume bervariasi.
Pertokoan - Bin plastik/tong, volume 50-60 Iiter.
- Bin plastik, volume 120-140 liter dgn roda.
3
- Kontainer volume 1 m beroda.
Perkantoran/Hotel 3
- Kontainer besar volume 6-10 m .
a. Bin plastik/tong volume 50-60 Iiter, yang dipasang secara
Tempat umum, jalan, dan
permanen.
taman
b. Bin plastik, volume 120 - 140 L dengan roda.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 52
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 6.2: Pola dan karakteristik pewadahan sampah [7]


Pola pewadahan
No. Individual Komunal
Karakteristik
Kotak, silinder, kontainer, bin (tong), Kotak, silinder, kontainer, bin
1. Bentuk/jenis
semua bertutup, dan kantong plastik. (tong), semua bertutup.
Ringan, mudah dipindahkan, dan mudah Ringan, mudah dipindahkan, dan
2. Sifat
dikosongkan. mudah dikosongkan.
Logam, plastik, fiberglass kayu, bambu, Logam, plastik, fibreglass, kayu,
3. Bahan
rotan, kertas. bambu, rotan.
Pinggir jalan dan taman = 30–40 L
4. Volume Pemukiman dan toko kecil 10–40 L Untuk pemukiman dan pasar =
100–1000 L
5. Pengadaan Pribadi, instansi, pengelola. Instansi, pengelola

Tabel 6.3: Contoh wadah dan penggunaannya [7]


Umur wadah
No. Wadah Kapasitas Pelayanan Keterangan
(life time)
1. Kantong plastik 10-40 L 1 KK 2-3 hari Individual
Maksimal
2. Bin 40 L 1 KK 2-3 tahun pengambilan
3 hari 1 kali.
3. Bin 120 L 2-3 KK 2-3 tahun Toko
4. Bin 240 L 4-6 KK 2-3 tahun
5. Kontainer 1.000 L 80 KK 2-3 tahun Komunal
6. Kontainer 500 L 40 KK 2-3 tahun Komunal
Pejalan kaki,
7. Bin 30-40 L 2-3 tahun
taman

6.2 Pengumpulan Sampah

Jenis Pengumpulan sampah


Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara pengumpulan dari masing-
masing sumber sampah untuk diangkut ke (1) tempat penampungan sementara atau ke (2) pengolahan
sampah skala kawasan, atau (3) langsung ke tempat pemrosesan akhir tanpa melalui proses
pemindahan. Operasional pengumpulan dan pengangkutan sampah mulai dari sumber sampah hingga
ke lokasi pemrosesan akhir atau ke lokasi pemrosesan akhir, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
secara langsung (door to door), atau secara tidak langsung (dengan menggunakan transfer
depo/container ) sebagai Tempat Penampungan Sementara (TPS), dengan penjelasan sebagai berikut
[7]:
a. Secara langsung (door to door):
Pada sistem ini proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan bersamaan. Sampah
dari tiap-tiap sumber akan diambil, dikumpulkan dan langsung diangkut ke tempat pemrosesan, atau
ke tempat pembuangan akhir (lihat Gambar 6.1).
b. Secara tidak langsung (communal):
Pada sistem ini, sebelum diangkut ke tempat pemrosesan, atau ke tempat pemrosesan akhir,
sampah dari masing-masing sumber dikumpulkan dahulu oleh sarana pengumpul seperti dalam
gerobak tangan (hand cart) dan diangkut ke TPS. Dengan adanya TPS ini maka proses
pengumpulan sampah secara tidak langsung dapat digambarkan seperti pada Gambar 6.2. Dalam
hal ini, TPS dapat pula berfungsi sebagai lokasi pemrosesan skala kawasan guna mengurangi
jumlah sampah yang harus diangkut ke pemrosesan akhir.

Pada sistem communal ini, sampah dari masing-masing sumber akan dikumpulkan dahulu dalam
gerobak tangan (hand cart) atau yang sejenis dan diangkut ke TPS. Gerobak tangan merupakan alat
pengangkutan sampah sederhana yang paling sering dijumpai di kota-kota di Indonesia, dan memiliki
kriteria persyaratan sebagai berikut:
− Mudah dalam loading dan unloading
− Memiliki konstruksi yang ringan dan sesuai dengan kondisi jalan yang ditempuh
− Sebaiknya mempunyai tutup

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 53
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Daerah pelayanan
Pemero
sesan
atau
TPA

Transportasi Transportasi
Koleksi Transmisi
Gambar 6.1 : Bagan proses pengumpulan dan pengangkutan secara langsung

Daerah pelayanan
TPS atau
Pemerose Pemrose
san san atau
TPA
Kawasan

Transportasi Transportasi
Koleksi Transmisi
Gambar 6.2: Bagan proses pengumpulan dan pengangkutan secara tidak langsung

Tempat penampungan sementara merupakan suatu bangunan atau tempat yang digunakan untuk
memindahkan sampah dari gerobak tangan (hand cart) ke landasan, kontainer atau langsung ke truk
pengangkut sampah. Tempat penampungan sementara ini berupa [49, 50]:
a. Transfer station I / transfer depo, biasanya terdiri dari:
− Bangunan untuk ruangan kantor.
− Bangunan tempat penampungan/pemuatan sampah.
− Pelataran parkir.
− Tempat penyimpanan peralatan.
Untuk suatu lokasi transfer depo, atau di Indonesia dikenal sebagai Tempat Penampungan
2
Sementara (TPS) seperti di atas diperlukan areal tanah minimal seluas 200 m . Bila lokasi ini
berfungsi juga sebagai tempat pemrosesan sampah skala kawasan, maka dibutuhkan tambahan
luas lahan sesuai aktivitas yang akan dijalankan.
3
b. Kontener besar (steel container) volume 6 – 10 m :
Diletakkan di pinggir jalan dan tidak mengganggu lalu lintas. Dibutuhkan landasan permanen sekitar
2
25-50 m untuk meletakkan kontainer. Di banyak tempat di kota-kota Indonesia, landasan ini tidak
disediakan, dan kontainer diletakkan begitu saja di lahan tersedia. Penempatan sarana ini juga
bermasalah karena sulit untuk memperoleh lahan, dan belum tentu masyarakat yang tempat
tinggalnya dekat dengan sarana ini bersedia menerima.
c. Bak komunal yang dibangun permanen dan terletak di pinggir jalan:
Hal yang harus diperhatikan adalah waktu pengumpulan dan frekuensi pengumpulan. Sebaiknya
waktu pengumpulan sampah adalah saat dimana aktivitas masyarakat tidak begitu padat, misalnya
pagi hingga siang hari. Frekuensi pengumpulan sampah menentukan banyaknya sampah yang
dapat dikumpulkan dan diangkut perhari. Semakin besar frekuensi pengumpulan sampah, semakin
banyak volume sampah yang dikumpulkan per service per kapita. Bila sistem pengumpulan telah
memasukkan upaya daur-ulang, maka frekuensi pengumpulan sampah dapat diatur sesuai dengan
jenis sampah yang akan dikumpulkan. Dalam hal ini sampah kering dapat dikumpulkan lebih jarang.

Untuk menjaga kebersihan dan keindahan jalan-jalan, maka perlu diatur kegiatan penyapuan jalan. Pada
umumnya, sampah hasil penyapuan jalan berupa daun-daunan kering, dahan/ranting dan debu jalan.
Penyapuan jalan sebaiknya dilakukan secara simultan oleh juru sapu, yaitu menyapu sampah di jalan,
mengumpulkannya dalam wadah serta mengangkutnya ke tempat penampungan sementara dengan
menggunakan gerobak tangan. Untuk memudahkan pengawasan dan untuk menjaga kebersihan
kawasan, penyapuan jalan dilakukan dengan pembagian kelompok kerja (shift).

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 54
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Pola Pengumpulan Sampah


Bersama dengan kegiatan pewadahan, maka pengumpulan sampah merupakan kegiatan awal dalam
rangkaian pengelolaan sampah. Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah [7]:
a. Pengumpulan sampah harus memperhatikan:
- Keseimbangan pembebanan tugas.
- Optimasi penggunaan alat, waktu dan petugas.
- Minimasi jarak operasi.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengumpulan sampah:
- Jumlah sampah terangkut.
- Jumlah penduduk.
- Luas daerah operasi.
- Kepadatan penduduk dan tingkat penyebaran rumah.
- Panjang dan lebar jalan.
- Kondisi sarana penghubung (jalan, gang).
- Jarak titik pengumpulan dengan lokasi.

Pola pengumpulan sampah terdiri atas [7]:


- Individual langsung.
- Individual tidak langsung.
- Komunal langsung.
- Komunal tidak langsung.
- Penyapuan jalan dan taman.

a. Pola individual langsung oleh truk pengangkut menuju ke pemrosesan:


- Bila kondisi topografi bergelombang (rata-rata > 5%), hanya alat pengumpul mesin yang dapat
beroperasi, sedang alat pengumpul non-mesin akan sulit beroperasi.
- Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya.
- Kondisi dan jumlah alat memadai.
3
- Jumlah timbulan sampah > 0,3 m /hari.
- Biasanya daerah layanan adalah pertokoan, kawasan pemukiman yang tersusun rapi, daerah
elite, dan jalan protokol.
- Layanan dapat pula diterapkan pada daerah gang. Petugas pengangkut tidak masuk ke gang,
hanya akan memberi tanda bila sarana pengangkut ini datang, misal dengan bunyi-bunyian.
b. Pola individual tidak langsung, dengan menggunakan pengumpul sejenis gerobak sampah, dapat
diterapkan bila:
- Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat
pemrosesan sampah skala kawasan
- Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%), dapat digunakan alat pengumpul non-mesin
(gerobak, becak).
- Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung.
- Lebar jalan atau gang cukup lebar untuk dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu
pemakai jalan lainnya.
- Terdapat organisasi pengelola pengumpulan sampah dengan sistem pengendaliannya.
c. Pola komunal langsung oleh truk pengangkut dilakukan, bila :
- Alat angkut terbatas
- Kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah.
- Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-sumber sampah individual (kondisi daerah berbukit,
gang/jalan sempit).
- Peran serta masyarakat tinggi.
- Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan di lokasi yang mudah dijangkau
oleh alat pengangkut (truk).
- Pemukiman tidak teratur.
d. Pola komunal tidak langsung, dengan persyaratan sebagai berikut :
- Peran serta masyarakat tinggi.
- Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan di lokasi yang mudah dijangkau
alat pengumpul.
- Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat
pemrosesan sampah skala kawasan
- Bagi kondisi topografi yang relatif datar (rata-rata < 5%), dapat digunakan alat pengumpul non
mesin (gerobak, becak) dan bagi kondisi topografi > 5% dapat digunakan cara lain seperti
pikulan, kontainer kecil beroda dan karung.
- Lebar jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya.
- Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
e. Pola penyapuan jalan, dengan persyaratan sebagai berikut :
- Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan (diperkeras,
tanah, lapangan rumput, dan lain-lain).

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 55
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

- Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada fungsi dan nilai
daerah yang dilayani.
- Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan untuk kemudian
diangkut ke pemrosesan akhir.
- Pengendalian personel dan peralatan harus baik.

Perencanaan operasional pengumpulan harus memperhatikan:


− Ritasi antara 1 - 4 rit per hari.
− Periodisasi: untuk sampah mudah membusuk maksimal 3 hari sekali namun sebaiknya setiap hari,
tergantung dari kapasitas kerja, desain peralatan, kualitas kerja, serta kondisi komposisi sampah.
Semakin besar persentase sampah organik, periodisasi pelayanan semakin sering. Untuk sampah
kering, periode pengumpulannya dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali. Sedang sampah B3
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
− Mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap.
− Mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan perlu dipindahkan secara periodik.
− Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh,
kondisi daerah, dan jenis sampah yang akan diangkut.

6.3 Beberapa Kriteria yang Berlaku di Indonesia

Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Departemen
Pekerjaan Umum) [14], maka:
a. Kriteria alat pengumpul (ukuran/kapasitas, jenis)
− Sesuai dengan kondisi jalan.
3
− Bila tidak bermesin disesuaikan dengan kapasitas tenaga kerja maksimal yaitu 1,5 m , dan
hanya untuk daerah datar.
− Bermesin untuk daerah yang berbukit.
b. Frekuensi pengumpulan ditentukan menurut lokasi pelayanan/pemukiman, pasar, dan lain-lain, pada
umumnya 2-4 kali sehari.
c. Jadwal pengumpulan adalah di saat tidak mengganggu aktivitas masyarakat terpadat, sebelum jam
7.00, jam 10.00 – 15.00, atau sesudah jam 17.00.
d. Periodisasi pengumpulan 1 hari, 2 hari, atau maksimal 3 hari sekali, tergantung dari beberapa
kondisi seperti:
− Komposisi sampah; semakin besar persentase organiknya, semakin kecil periodisasi
pelayanan. Contoh: untuk pasar 0,5-1 hari, tetapi perkantoran 3 hari.
− Kapasitas kerja.
− Desain peralatannya.
− Kualitas pelayanan yang diinginkan.
e. Pengumpulan secara terpisah
− Pemisahan dengan warna gerobak, misalnya sampah organik warna hijau.
− Diatur dengan jadwal dan periode pengumpulan.
− Himbauan bahwa sampah non organik hanya dikeluarkan pada hari tertentu (misalnya setiap
hari sabtu).
− Gerobak dengan 2 kontainer terpisah.
− Pengumpulan sampah organik dilaksanakan 1-2 hari sekali, sampah non organik dilaksanakan
4-8 hari sekali.
f. Pengumpulan langsung
− Pengumpulan langsung dilakukan di daerah pemukiman teratur dengan lebar jalan memadai
untuk dilalui truk.
− Pengumpulan langsung menggunakan truk dengan kapasitas 6-10 m3.
− Pengumpulan langsung mengumpulkan sampah dari wadah sampah individual atau wadah
sampah komunal dengan kapasitas 120-500 liter.
− Untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan, truk dapat dilengkapi dengan alat pengangkat
wadah sampah otomatis (lifting unit) yang kompatibel dengan wadah sampah kontainer C-90
(90 L), C-120 (120 L) dan C-240 (240 L).
− Dilaksanakan untuk titik komunal, dan daerah protokol, serta sumber sampah besar, seperti :
pasar, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, rumah susun, hotel, dan restoran besar, serta
3
sumber sampah > 1 m .
g. Rasio tenaga pengumpulan terhadap jumlah penduduk/volume sampah
− Pengumpulan dengan menggunakan gerobak: 2 petugas dengan 1 gerobak kapasitas 1 m3,
satu hari 2 trip, melayani 1000 penduduk untuk radius pelayanan tidak lebih dari 1000 meter.
3
− Pengumpulan langsung dengan menggunakan truk kapasitas 6 m , 1 truk dengan crew 2 orang
dengan wadah sampah berupa tong atau kontainer maksimum 120 liter dapat melayani 10.000
penduduk.
h. Penyapuan/kebersihan jalan merupakan tanggung jawab pemilik atau pengguna persil, termasuk
saluran air hujan, tidak terkecuali perkantoran (pemerintah/non pemerintah), bangunan besar, rumah
sakit, pusat ibadah, dan sebagainya.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 56
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

i. Klasifikasi jalan menurut kerawanan sampah


− Jalan pusat kota area perbelanjaan.
− Jalan di area pasar, jalan utama pusat kota.
− Jalan pinggir kota pusat perbelanjaan.
− Jalan kolektor pusat kota.
− Jalan pemukiman pendapatan rendah.
− Jalan pemukiman pendapatan tinggi.
j. Klasifikasi jalan menurut frekuensi penyapuan seperti dalam Tabel 6.4

Tabel 6.4 Klasifikasi jalan menurut frekuensi penyapuan


Klasifikasi jalan Frekuensi penyapuan
- Jalan pusat kota area perbelanjaan 3 x per-hari
- Jalan di area pasar, jalan utama pusat kota 3x per-hari
- Jalan pusat kota area perbelanjaan 2x per-hari
- Jalan kolektor pusat kota 2 hari 1x
- Jalan pinggir kota pusat perbelanjaan 2 hari 1x
- Jalan pemukiman pendapatan tinggi 2 hari 1x
- Jalan pemukiman pendapatan rendah 2 hari 1x

Rasio kebutuhan personil penyapuan/panjang jalan = 1 orang petugas untuk 1 km jalan

6.4 Pemindahan Sampah

Pemindahan sampah merupakan tahapan untuk memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam
alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pemrosesan atau ke pemrosesan akhir. Tipe pemindahan
sampah dapat dilihat pada Tabel 6.5. Lokasi pemindahan sampah hendaknya memudahkan bagi sarana
pengumpul dan pengangkut sampah untuk masuk dan keluar dari lokasi pemindahan, dan tidak jauh
dari sumber sampah. Pemrosesan sampah atau pemilahan sampah dapat dilakukan di lokasi ini,
sehingga sarana ini dapat berfungsi sebagai lokasi pemrosesan tingkat kawasan. Pemindahan sampah
dilakukan oleh petugas kebersihan, yang dapat dilakukan secara manual atau mekanik, atau kombinasi
misalnya pengisian kontainer dilakukan secara manual oleh petugas pengumpul, sedangkan
pengangkutan kontainer ke atas truk dilakukan secara mekanis (load haul).

Tabel 6.5 : Tipe pemindahan (transfer) [7]

No. Uraian Transfer Tipe I Transfer Tipe II Transfer Tipe III


1 Luas lahan >= 200 m2 60 - 200 m2 10 - 20 m2
2 Fungsi - Tempat pertemuan - Tempat pertemuan - Tempat pertemuan
peralatan pengumpul dan peralatan pengumpul dan gerobak dan kontainer (6-
pengangkutan sebelum pengangkutan sebelum 10 m3).
pemindahan. pemindahan. - Lokasi penempatan
- Tempat penyimpanan - Tempat parkir gerobak. kontainer komunal (1- 10
atau kebersihan. - Tempat pemilahan. m3).
- Bengkel sederhana. - Tempat pemilahan.
- Kantor Wilayah/
pengendali.
- Tempat pemilahan.
- Tempat pengomposan.
3 Daerah - Baik sekali untuk daerah - Daerah yang sulit
Pemakai yang mudah mendapat mendapat lahan yang
lahan. kosong dan daerah
protokol.

Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah [14], maka:
3 3 3
a. Kriteria Titik Komunal untuk lokasi pengumpulan (1m , 6m , 10m )
− Dikosongkan setiap hari minimal dengan frekuensi 1 kali.
− Untuk memaksimalkan kebersihan lokasi transfer, perlu ada penjadwalan pengisian dan
pengosongan.
− Mudah dijangkau, tidak mengganggu arus lalu lintas, atau kenyamanan pejalan kaki.
− Terisolasi, tetap bersih.
− Pembongkaran titik pemindahan sebaiknya memperhatikan kaidah isolasi pencemaran dan
diatur jadwalnya yang tidak mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat pemakai
jalan dan sekitarnya
b. Kriteria tipe tempat penampungan sementara (tipe landasan kontainer, tipe transfer dipo):
− Pelataran berdinding:

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 57
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Ukuran panjang dan lebar dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan keluar masuk dan
pemuatan truk. Bila pemuatan tidak langsung dilakukan dari gerobak maka harus tersedia
tempat khusus penimbunan sampah sementara. Dinding dibuat cukup tinggi sehingga dapat
berfungsi sebagai isolator terhadap daerah sekitarnya. Isolasi bertujuan menghilangkan kesan
kotor dari kerja pemindahan.
− Kontainer muat-hela:
Berupa kontainer yang umumnya bervolume 8-10 m3. Gerobak langsung menumpahkan
muatannya ke dalam kontainer ini. Setelah penuh maka kontainer ini akan dibawa ke lokasi
pembuangan akhir. Metode ini membutuhkan biaya modal yang cukup besar karena dibutuhkan
truk dengan tipe khusus (load hauled truck).

6.5 Pengumpulan Sampah di Negara Maju

Terminologi pengumpulan (collection) sampah di negara maju adalah mengumpulkan sampah dari
beragam sumber sampah, kemudian membawanya ke tempat pemindahan atau ke tempat pemrosesan.
Dibedakan antara sistem pengelolaan untuk [4, 32]:
a. Sampah tidak dipilah (commingled wastes)
b. Sampah dipilah
Berdasarkan jenis permukiman yang biasa digunakan, maka pengumpulan sampah juga
mempertimbangkan jenis bangunan yang akan dilayani, yaitu:
a. Rumah tinggal yang tidak bertingkat
b. Apartemen sampai tingkat menengah (sampai 7 tingkat)
c. Apartemen bertingkat tinggal lebih dari 7 tingkat

Sampah yang berasal dari masing-masing penghuni rumah tinggal biasa sampai rumah tinggal
berbentuk apartemen tingkat menengah, biasanya dibawa sendiri oleh penghuni ke kontainer yang lebih
besar di lantai dasar. Sedang bila berbentuk apartemen tinggi, maka mekanisme transfer sampah ke
kontainer pengumpul di tingkat dasar dapat berupa:
− Sampah dikumpulkan di tiap tingkat, lalu kontainer berisi sampah dari tiap tingkat dibawa ke
kontainer pengumpul di lantai dasar.
− Sampah, biasanya telah terbungkus plastik, dijatuhkan melalui sistem yang berada di setiap tingkat,
menuju kontainer pengumpul di lantai dasar
− Sistem pelayanan yang sering dijumpai, khususnya bila sampah berasal dari apartemen bertingkat,,
adalah secara langsung-individual (door-to-door), yang dikenal sebagai sistem curb . Dengan cara
ini, penghuni atau penanggung jawab apartemen membawa wadah sampah yang penuh ke pinggir
jalan di depan apartemen atau rumahnya, dan membawa kembali ke halaman apartemen atau
rumahnya bila telah diambil sampahnya oleh petugas. Untuk itu perlu kepastian dan kejelasan
jadwal pengumpulan. Sistem pemindahan dari kontainer ke truk pengumpul biasanya mekanis,
sehingga tumpahan sampah dapat dihindari. Bila bersifat mekanis, maka kontainer di setiap rumah
harus standar. Terdapat variasi pelayanan yang mirip dengan sistem komunal yang biasa diterapkan
di Indonesia. Dalam kompleks apartemen yang luas, yang terdiri dari beberapa apartemen tingkat
tinggi, sampah dari masing-masing apartemen disalurkan melalui sistem pneumatis menuju ke
tempat penampungan komunal, atau menuju tempat pemrosesan komunal.

Bila pengelolaan sampah di daerah tersebut telah mengenal sistem pemilahan berdasarkan jenis
sampahnya, maka tata-cara pengumpulan yang sering dijumpai adalah:
− Pengumpulan sampah dilakukan dengan dengan sistem curb, dengan menggunakan kendaraan
pengumpul yang berbeda, atau kendaraan yang sama tetapi dengan jadwal pengumpulan yang
berbeda
− Pengumpulan sampah terdaur-ulang (biasanya sampah kering) dengan sistem curb, dan
pengumpulan sampahnya dilakukan oleh organisasi kemanusiaan yang khusus mengumpulkan
bahan-bahan tidak terpakai seperti baju bekas, kertas bekas, dsb
− Barang-barang yang tidak terpakai lagi, seperti kasur, mebel, TV, kulkas, limbah B3, dsb dibawa
secara sendiri oleh penghasil ke lokasi penampungan sementara, dan dimasukkan sendiri ke
masing-masing kontainer terpisah atau ruangan khusus bila limbah berbahaya, yang telah tersedia
di lokasi tersebut. Seseorang yang berminat dengan barang bekas tersebut secara gratis dapat
mengambilnya untuk digunakan kembali. Barang-barang tersebut sesuai jadwal yang ditentukan
kemudian diangkut ke tempat pemrosesan lebih lanjut sesuai jenisnya oleh pengelola sampah kota.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 58
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 7
PENGANGKUTAN SAMPAH
Bagian ini menjelaskan secara teoritis metode pengangkutan sampah, pola dan operasional
pengangkutan sampah, serta perhitungan optimasinya. Dijelaskan pula peralatan serta
penentuan rute. Walaupun metode transportasi sampah di Indonesia belum berkembang,
mahasiswa ditugaskan untuk mengamati bagaimana sistem transfer sampah dari TPS ke
pengangkut serta kendala yang mungkin dihadapi dalam pengangkutan.

7.1 Pengangkutan Sampah secara Umum

Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan
atau dari sumber sampah secara langsung menuju tempat pemrosesan akhir, atau TPA. Pengangkutan
sampah merupakan salah satu komponen penting dan membutuhkan perhitungan yang cukup teliti,
dengan sasaran mengoptimalkan waktu angkut yang diperlukan dalam sistem tersebut, khususnya bila:
- Terdapat sarana pemindahan sampah dalam skala cukup besar yang harus menangani sampah
- Lokasi titik tujuan sampah relatif jauh
− Sarana pemindahan merupakan titik pertemuan masuknya sampah dari berbagai area
− Ritasi perlu diperhitungkan secara teliti
− Masalah lalu-lintas jalur menuju titik sasaran tujuan sampah
Dengan optimasi sub-sistem ini diharapkan pengangkutan sampah menjadi mudah, cepat, dan biaya
relatif murah. Di negara maju, pengangkutan sampah menuju titik tujuan banyak menggunakan alat
angkut dengan kapasitas besar, yang digabung dengan pemadatan sampah, seperti yang terdapat di
Cilincing Jakarta.

Persyaratan alat pengangkut sampah antara lain adalah:


− Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring.
− Tinggi bak maksimum 1,6 m.
− Sebaiknya ada alat ungkit.
− Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui.
− Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah.
Beberapa jenis/tipe truk yang dioperasikan pada subsistem pengangkutan ini, yaitu seperti ditampilkan
pada Gambar 7.1, Gambar 7.2 dan Tabel 7.1 berikut.

Gambar 7.9: Contoh kontainer dan truk pengangkut di negara maju

Gambar 7.10: Jenis truk pengangkut multi-loader, arm-roll dan roll-on

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 59
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 7.1 : Peralatan subistem pengangkutan [50, 52]


Jenis Peralatan Konstruksi/bahan Kelebihan Kelemahan Catatan
Truck biasa terbuka - Bak konstruksi - Harga relatif - Kurang sehat. - Banyak dipakai di
kayu. murah. - Memerlukan waktu Indonesia.
- Bak konstruksi plat - Perawatan relatif pengoperasian lebih - Diperlukan tenaga
besi lebih mudah dan lama. lebih banyak.
murah. - Estetika kurang.
Dump truck/tipper - Bak plat baja. - Tidak diperlukan - Perawatan lebih sulit. - Perlu modifikasi bak.
truck - Dump truck dengan banyak tenaga - Kurang sehat
peninggian bak kerja pada saat - Kurang estetis.
pengangkutnya. pembongkaran. - Relatif lebih mudah
- Pengoperasian berkarat.
lebih efisien dan - Sulit untuk
efektif. pemuatan.
Arm roll truck - Truk untuk - Praktis dan cepat - Hidrolis sering rusak. - Cocok pada lokasi-
mengangkut dalam - Harga relatif mahal. lokasi dengan
membawa pengoperasian. - Biaya perawatan jumlah sampah yang
kontainer-kontainer - Tidak diperlukan lebih mahal. relatif banyak.
hidrolis tenaga kerja yang - Diperlukan lokasi
banyak. (areal) untuk
- Lebih bersih dan penempatan dan
sehat. pengangkatan.
- Estetika baik.
- Penempatan lebih
fleksibel.
Compactor truck - Truk dilengkapi - Volume sampah - Harga relatif mahal. - Cocok untuk
dengan alat terangkut lebih - Biaya investasi dan pengumpulan dan
pemadat sampah banyak. pemeliharaan lebih angkutan secara
- Lebih bersih dan mahal. komunall
hygienis. - Waktu pengumpulan
- Estetika baik. lama bila untuk
- Praktis dalam sistem door to door.
pengoperasian.
- Tidak diperlukan
banyak tenaga
kerja.
Multi loader - Truk untuk - Praktis dan cepat - Hidrolis sering rusak. - Cocok pada lokasi-
mengangkat / dalam - Diperlukan lokasi lokasi dengan
membawa pengoperasian. (areal) untuk produksi sampah
kontainer-kontainer - Tidak diperlukan penempatan dan yang relatif banyak.
secara hidrolis. banyak tenaga pengangkatan. - Pernah digunakan di
kerja. Makasar.
- Penempatan lebih
fleksibel.
Truck with crane - Truk dilengkapi - Tidak memerlukan - Hidrolis sering rusak. - Telah digunakan di
dengan alat banyak tenaga - Sulit digunakan di DKI Jakarta.
pengangkat untuk menaikkan daerah yang
sampah. sampah ke truk. jalannya sempit dan
- Cocok untuk tidak teratur.
mengangkut
sampah yang
besar (bulky
waste).
Mobil penyapu jalan - Truck yang - Pengoperasian - Harga lebih mahal. - Baik untuk jalan-
(street sweeper) dilengkapi dengan lebih cepat. - Perawatan lebih jalan protokol : yang
alat penghisap - Sesuai untuk jalan- mahal. rata, tidak berbatu,
sampah. jalan protokol yang - Belum dan dengan batas
memerlukan memungkinkan untuk jalan yang baik.
pekerjaan cepat. kondisi jalan di
- Estetis dan Indonesia umumnya.
hygienis.
- Tidak memerlukan
tenaga kerja yang
banyak.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 60
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengoperasian sarana angkutan sampah kemungkinan
penggunaan stasiun atau depo container layak diterapkan. Dari pusat kontainer ini truk kapasitas besar
dapat mengangkut kontainer ke lokasi pemrosesan atau ke TPA, sedangkan truk sampah kota
(kapasitas kecil) tidak semuanya perlu sampai ke lokasi tersebut, hanya cukup sampai depo container
saja. Dengan demikian jumlah ritasi truk sampah kota dapat ditingkatkan. Usia pakai (lifetime) minimal
3
5-7 tahun. Volume muat sampah 6-8 m , atau 3-5 ton. Ritasi truk angkutan per hari dapat mencapai 4-5
kali untuk jarak tempuh di bawah 20 km, dan 2-4 rit untuk jarak tempuh 20-30 km, yang pada dasarnya
akan tergantung waktu per ritasi sesuai kelancaran lalu lintas, waktu pemuatan, dan pembongkaran
sampahnya.

7.2 Metode Pengangkutan Sampah

Bila mengacu pada sistem di negara maju, maka pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu [4]:
a. Hauled container system (HCS)
Adalah sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya dapat dipindah-pindah dan ikut
dibawa ke tempat pembuangan akhir. HCS ini merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersial.

Untuk menghitung waktu ritasi dari sumber ke TPS atau ke TPA:


THCS = (PHCS+S+ h) ........................................................................................ (7.1)
Keterangan:
THCS = waktu per ritasi (jam/rit).
PHCS = waktu pengambilan (jam/rit).
S = waktu di tempat (TPS atau TPA) untuk bongkar muat (jam/rit).
h = waktu pengangkutan dari sumber → TPS atau TPA.
P dan S relatif konstan
h → tergantung kecepatan dan jarak, yang dapat dihitung dengan : h = a + bx ....... (7.2)
a dan b = konstanta empiris.
a = jam/ritasi.
b = jam/jarak.
x = jarak pulang pergi (km).
sehingga:
THCS = PHCS + S + a + bx ........................................................................................................ (7.3)
PHCS = pc + uc + dbc .............................................................................................................. (7.4)
PHCS = waktu pengambilan/rit.
pc = waktu untuk mengangkut kontainer isi (jam/rit).
uc = waktu untuk mengosongkan kontainer.
dbc = waktu untuk menempuh jarak dari kontainer ke kontainer lain (jam/rit).
Catatan: pada pelayanan dengan gerobak lain → PHCS = waktu mengambil sampai mengembalikan bin
kosong di TPS.

Jumlah ritasi per kendaraan per hari untuk sistem HCS dapat dihitung dengan:
[ H (1"w )"(t1 +t 2 )
Nd = ......................................................................................................... (7.5)
T HCS

Keterangan:
Nd = jumlah ritasi/hari (rit/hari).
H = waktu kerja (jam/hari).
! w = off route faktor (waktu hambatan → sebagai friksi).
t1 = waktu dari pool kendaraan (garasi) ke kontainer 1 pada hari kerja tersebut (jam).
t2 = waktu dari kontainer terakhir ke garasi (jam).
THCS = waktu pengambilan/ritasi (jam/rit).

Jumlah ritasi/hari dapat dibandingkan dengan perhitungan atas jumlah sampah yang terkumpul/hari.
Nd = Vd
................................................................................................................................. (7.7)
c. f
Keterangan:
Vd = jumlah sampah terkumpul (volume/hari).
c = ukuran rata-rata kontainer (volume/hari).
f = faktor penggunaan kontainer.
!
Hauled container system dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1). Konvensional
Wadah sampah yang telah terisi penuh akan diangkut ke tempat pembongkaran, kemudian
setelah dikosongkan wadah sampah tersebut dikembalikan ke tempatnya semula.
2). Stationary container system (SCS)

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 61
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Wadah sampah yang telah terisi penuh akan diangkut dan tempatnya akan langsung
diganti oleh wadah kosong yang telah dibawa.

b. Stationary container system (SCS)


Sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah (tetap).
Wadah pengumpulan ini dapat berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat. SCS
merupakan sistem wadah tinggal ditujukan untuk melayani daerah pemukiman.

Untuk stationary container system (dengan mechanical loaded collection vehicles), maka:
TSCS = (PSCS + s + a + bx) ................................................................................................. (7.8)
PSCS = CT (Uc) + (np-1)(dbc)
Keterangan:
CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit).
Uc = waktu pengosongan kontainer (jam/rit).
Np = jumlah lokasi kontainer yang diambil per rit (lokasi/rit).
Dbc = waktu terbuang untuk bergerak dari satu lokasi ke lokasi kontainer lain (jam/lokasi).

Jumlah kontainer yang dapat dikosongkan per ritasi pengumpulan:


CT = V .r
............................................................................................................................. (7.9)
c. f
Keterangan:
CT = jumlah kontainer yang dikosongkan/rit (kontainer/rit).
3
V = volume mobil pengumpul (m /rit).
R = rasio kompaksi.
! 3
C = volume kontainer (m /kontainer).
F = faktor penggunaan kontainer.

Jumlah ritasi per hari :


Nd = Vd
................................................................................................................................ (7.10)
V .r
Keterangan :
3
Vd = jumlah sampah yang dikumpulkan/hari (m /hari)

Waktu yang diperlukan per hari:


! (t +t )+Nd .(TSCS )
H= [ 1 2 ] ................................................................................................ (7.11)
(1"w )

Contoh:
Untuk mengangkut sampah dari beberapa lokasi kontainer di suatu daerah digunakan sistem HCS.
Data yang diberikan:
! T1 = 15’
T2 = 20’
W = 0,15
(pc+ uc) = 0,4 jam/ritasi
• Waktu rata-rata untuk bergerak dari kontainer ke kontainer = dbc = 6’ = 0,1 jam.
• Tentukan jumlah kontainer yang dapat dikosongkan per hari, bila jam kerja = 8 jam.

Penyelesaian:
a). PHCS = pc + uc + dbc
= (0,4 + 0,1)jam/ritasi = 0,5 jam/rit.
b). THCS = (PHCS + s + a + bx)
Asumsi:
a = 0,016 jam/rit.
b = 0,018 jam/mil.
s = 0,133 jam/rit.
→ THCS = [(0,5 + 0,133 + 0,016 + 0,018(31)] jam
= 1,21 jam
c). Jumlah ritasi/kendaraan dengan rumus (7.5), dengan:
H = 8 jam.
w = 0,15 jam.
t1 = 0,25 jam.
t2 = 0,33 jam.
THCS = 1,21 jam.
Nd = [
8(1"0,15)"(0,25+0,331)
] = 5,14 rit/jam
1,21 jam / rit
Nd → diambil ≈ 5 rit → artinya diperlukan waktu sekitar 7,8 jam.

!
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 62
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

7.3 Operasional Pengangkutan Sampah

Untuk mendapatkan sistem pengangkutan yang efisien dan efektif maka operasional pengangkutan
sampah sebaiknya mengikuti prosedur sebagai berikut:
− Menggunakan rute pengangkutan yang sependek mungkin dan dengan hambatan yang sekecil
mungkin.
− Menggunakan kendaraan angkut dengan kapasitas/daya angkut yang semaksimal mungkin.
− Menggunakan kendaraan angkut yang hemat bahan bakar.
− Dapat memanfaatkan waktu kerja semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah beban kerja
semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah beban kerja/ritasi pengangkutan.

Untuk sistem door-to-door, yaitu pengumpulan sekaligus pengangkutan sampah, maka sistem
pengangkutan sampah dapat menggunakan pola pengangkutan sebagai berikut (Gambar 7.3):
− Kendaraan keluar dari pool dan langsung menuju ke jalur pengumpulan sampah.
− Truk sampah berhenti di pinggir jalan di setiap rumah yang akan dilayani, dan pekerja mengambil
sampah serta mengisi bak truk sampah sampai penuh.
− Setelah terisi penuh, truk langsung menuju ke tempat pemrosesan atau ke TPA
− Dari lokasi pemrosesan tersebut, kendaraan kembali ke jalur pelayanan berikutnya sampai shift
terakhir, kemudian kembali ke pool.

Pemero-
sesan/TPA
Pool

Sumber Sampah

Gambar 7.3: Skema pola pengangkutan sampah secara langsung (door-to-door) [4, 7, 51]

Untuk sistem pengumpulan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan Transfer Depo/TD),
maka pola pengangkutan yang dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 7.4):
− Kendaraan keluar dari pool langsung menuju lokasi TD, dan dari TD sampah-sampah tersebut
langsung diangkut ke pemrosesan akhir
− Dari pemrosesan tersebut, kendaraan kembali ke TD untuk pengangkutan ritasi berikutnya. Dan
pada ritasi terakhir sesuai dengan yang ditentukan, kendaraan tersebut langsung kembali ke pool.

Pemero-
Pool TPS/TD
sesan/TPA

Gambar 7.4: Skema pola pengangkutan secara tidak langsung [4,7, 51]

7.4 Pola Pengangkutan Sampah

Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan individual langsung (door to door) adalah seperti
terlihat pada sekema Gambar 7.5 berikut ini.

Kontong Plastik +/- 30 ltr


Dump Truck Pemeroses
an/TPA
Bin/Tong +/- 40 ltr
Sumber timbulan
sampah Compactor Truck

Bin Plastik +/- 120


ltr
Gambar 7.5 : Pola pengangkutan sampah sistem individual langsung [7, 51]

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 63
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Penjelasan ringkas dalam sistem tersebut adalah:


− Truk pengangkut sampah berangkat dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk
mengambil sampah
− Selanjutnya truk tersebut mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya sampai truk
penuh sesuai dengan kapasitasnya.
− Sampah diangkut ke lokasi pemrosesan atau ke TPA
− Setelah pengosongan sampah di lokasi tersebut, truk menuju kembali ke lokasi sumber sampah
berikutnya sampai terpenuhi ritasi yang telah ditetapkan.

Sebagaimana telah dibahas pada Bagian 6 (lihat Tabel 6.5) terdapat 3 jenis sistem transfer, yaitu Tipe I,
II dan III. Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo Tipe I dan II, pola
pengangkutannya dapat dilihat pada Gambar 7.6:
Pool Kendaraan

Transfer Depo Tipe I


Pemerosesan/TPA
dan II

Pengangkutan sampah.
Kembali lagi ke transfer depo untuk rit berikutnya.

Gambar 7.6: Pola pengangkutan sistem transfer depo Tipe I dan II [7, 51]
Keterangan sistem:
− Kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju lokasi pemindahan di transfer
depo untuk mengangkut sampah langsung ke pemrosesan atau TPA.
− Selanjutnya kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengambilan pada rit berikutnya.

Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III), pola pengangkutannya adalah
sebagai berikut:
a. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-1 (Gambar 7.7) dengan keterangan:
- Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke pemrosesan
atau ke TPA.
- Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula.
- Menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke pemrosesan atau ke TPA.
- Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula.
- Demikian seterusnya sampai rit terakhir.
Isi Kosong

a a b b c c

Kontainer 4 7
1 10
Pool ke Pool

5 6
3 8
2 9

Pemero
sesan/
TPA

Gambar 7.7: Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-1 [7, 51]
Keterangan gambar: angka 1,2,3,…,10 adalah rute alat angkut.

b. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-2 (Gambar 7.8):


Isi

Kontainer
1
Pool

3 4
5
2 6

Pemero Ke Lokasi
sesan/ Kontainer
TPA Awal
7

Gambar 7.8 : Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-2 [7,51]

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 64
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Keterangan sistem:
− Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke pemrosesan
− Dari sana kendaraan tersebut dengan kontainer kosong menuju ke lokasi kedua untuk menurunkan
kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke pemrosesan.
− Demikian seterusnya sampai pada rit terakhir.
− Pada rit terakhir dengan kontainer kosong dari pemrosesan atau TPA menuju ke lokasi kontainer
pertama.
− Sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu, misal pengambilan pada jam tertentu atau mengurangi
kemacetan lalu lintas.

c. Pola pengangkutan sampah dengan sistem pengosongan kontainer Cara-3 (Gambar 7.9) dengan
keterangan sebagai berikut:
− Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong menuju ke lokasi kontainer isi untuk
mengganti/mengambil dan langsung membawanya ke Pemrosesan atau ke TPA.
− Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju ke kontainer isi berikutnya.
− Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.
Kosong Isi

Kontainer
1
Pool

3 4
2 5
6

Pemero
sesan/ Ke Pool
TPA
7

Gambar 7.7: Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara-3 [7, 51]

d. Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap dapat dilihat pada Gambar 7.10:
Kontainer tetap biasanya untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk compactor. Keterangan
sistem adalah:
− Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk compactor dan
meletakkan kembali kontainer yang kosong.
− Kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh, untuk kemudian langsung ke
pemrosesan atau ke TPA.
− Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.
Pengangkutan sampah hasil pemilahan yang bernilai ekonomi dilakukan sesuai dengan jadwal yang
telah disepakati.
Isi Kosong

Kontainer

Truk dari Pool


Pemero
sesan/
TPA

Gambar 7.10: Pola Pengangkutan dengan sistem kontainer tetap [7, 51]

Penentuan rute pengangkutan sampah dimaksudkan agar kegiatan operasional pengangkutan sampah
dapat terarah dan terkendali dengan baik. Untuk menentukan rute pengangkutan ini, maka perlu
diperhatikan:
− Lebar jalan yang akan dilalui.
− Peraturan lalu lintas yang berlaku.
− Waktu-waktu padat.
Dengan selalu mengikuti peraturan lalu lintas yang berlaku, diusahakan agar rute pengangkutan adalah
yang sependek mungkin. Untuk Indonesia yang menggunakan peraturan lalu lintas jalur kiri (left way
system), maka rute pengangkutan diusahakan untuk menghindari belokan ke kanan, namun karena
panjangnya rute, maka belokan melawan sistem ini seringkali tidak dapat dihindari. Akan tetapi
diusahakan agar hal tersebut terjadi sesedikit mungkin.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 65
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 8
PENGOLAHAN SAMPAH
Bagian ini menjelaskan beragam jenis pengolahan sampah secara umum. Penjelasan lanjut
lebih diarahkan pada pengenalan teknologi pengomposan dan insinerasi, dua teknologi yang
paling banyak digunakan.

8.1 Pengolahan Sampah Secara Umum

Seperti dibahas pada Bagian sebelumnya, sistem operasional pengelolaan sampah mencakup juga
sub-sistem pemrosesan dan pengolahan sampah, yang perlu dikembangkan secara bertahap dengan
mempertimbangkan pemrosesan yang bertumpu pada pemanfaatan kembali, baik secara langsung,
sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi. Teknologi pengolahan sampah yang saat ini
berkembang dan sangat dianjurkan bertujuan bukan hanya untuk memusnahkan sampah tetapi untuk
me-recovery bahan dan/atau enersi yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatan enersi merupakan
salah satu teknologi yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan, khususnya dalam bentuk
teknologi waste-to-energy, yang menghasilkan enersi panas atau gas-bio yang berhasil dikeluarkan
untuk kebutuhan enersi terbarukan. Namun perlu ditekankan bahwa hasil enersi yang dihasilkan tidak
aka pernah dapat menghasilkan uang yang dapat menutup biaya pengembalian modal dan operasi-
pemeliharaan sistem tersebut. Teknologi tersebut tetap diposisikan sebagai pengolah sampah, bukan
sebagai pembangkit enersi sebagai peran utamanya. Hasil penjualan listrik digunakan sebagai upaya
menurunkan biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan teknologi tersebut.

Pembangunan sistem persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan
modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang
baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau
bermitra usaha dengan sektor swasta yang potensial dan berpengalaman.

Teknik-teknik pemrosesan dan pengolahan sampah yang secara luas diterapkan di lapangan,
khususnya di negara industri antara lain adalah:
− Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya
− Pemadatan sampah (baling)
− Pemotongan sampah
− Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa
− Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio
− Pembakaran dalam Insinerator, dengan pilihan pemanfaatan enersi panas

Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya
sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme
yang berlimpah di alam ini. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik
(hayati) yang mudah membusuk. Kompos dapat disebut berkualitas baik bila mempunyai karakteristik
sebagai humus dan bebas dari bakteri patogen serta tidak berbau yang tidak enak. Sampah yang telah
membusuk di sebuah timbunan sampah misalnya di landfill sebetulnya adalah kompos anaerob yang
dapat dimanfaatkan pada pasca operasi. Alasan utama utama kegagalan pengomposan selama ini
adalah pemasaran.

Aktivitas daur-ulang sampah dapat dimulai dari rumah-rumah, misalnya penggunaan komposter
individual. Cara ini diperkenalkan dan telah diuji coba oleh Puslitbang Permukiman – Departemen
Pekerjaan Umum beberapa tahun yang lalu. Dengan volume kontainer sekitar 60 Liter, ternyata sampah
dapur khususnya sisa-sisa makanan, akan dapat ditahan di alat ini karena terjadi pengurangan volume
sampah akibat pembusukan. Tipikal alat ini dapat menerima sampah dari sebuah keluarga selama lebih
dari 6 bulan sebelum penuh. Setelah penuh, yang dihasilkan adalah kompos yang perlu penanganan
lebih lanjut. Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing.
Khusus untuk pakan cacing, jenis sampah yang cocok adalah sampah hayati, khususnya sampah yang
berasal dari dapur. Dalam skala kota, dimana sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah masih
tercampur, maka upaya ini sulit untuk tercapai baik. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang
berasal dari casting-nya serta bioamas cacing yang kaya protein [11].

Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi
sampah dapat dilakukan dengan cara:
a. menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor)
b. menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill
c. menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 66
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Ide lain yang telah diterapkan di beberapa negara industri seperti Jepang adalah membuat ‘pelet’
sampah sebagai bahan bakar. Biasanya produk ini digabungkan dengan insinerasi waste-to-energy yang
enersinya dimanfaatkan. Pemanfaatan panas dari insinerator dapat dipertimbangkan bila karakteristik
dan jumlah sampah yang akan dibakar mencukupi [4]. Penelitian lain khususnya di negara industri
seperti Amerika Serikat adalah mencoba membuat alkohol dari sampah organik ini.

Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah
insinerator. Saat ini teknologi insinerator dengan penangkap panas (enersi) dikenal sebagai waste-to-
energy. Khusus untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama
pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Jadi sampah tersebut harus terbakar dengan
sendirinya. Sejenis sampah akan disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai nilai kalor sebesar
paling tidak 1200 kcal/kg-kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan
ambang tertinggi. Disamping itu, sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi
(sekitar 60 %), sehingga akan mempersulit untuk terbakar sendiri. Hambatan utama penggunaan
insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara. Insinerasi modular juga sering disebut-sebut
sebagai alternatif dalam mengurangi massa sampah yang akan diuangkut ke TPA. Beberapa Dinas
Kebersihan di Indonesia juga mempunyai minat yang serius dengan pembakaran sampah di tingkat
kawasan sebelum sampah diangkut ke TPA. Persoalan yang timbul adalah bagaimana mencari lokasi
yang cocok, dan yang paling penting adalah bagaimana mengurangi dampak negatif dari pencemaran
udara, termasuk adanya asap, bau pembakaran, dsb. Dari sekian banyak jenis pencemaran udara yang
mungkin timbul, maka tampaknya yang paling dikhawatirkan adalah munculnya dioxin, yang dapat
diminimalkan bila bahan plastik, khususnya PVC, tidak ikut terbakar di insinerator ini [11]. Tabel 8.1
merupakan gambaran umum tentang beberapa pengolahan.

Tabel 8.1: Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah [50]
Jenis Pengolahan Kelebihan Kelemahan Catatan
Composting (Pengomposan): - Proses pengomposan lebih - Memerlukan peralatan lebih - Harga kompos yang
1. High Rate (modern) cepat. banyak dan kompleks. dihasilkan lebih mahal
- Volume sampah yang - Biaya investasi mahal. daripada pupuk kimia.
terbuang berkurang. - Biaya operasi lebih tinggi
2. Windrow Composting - Tidak memerlukan banyak dari harga jual.
(sederhana) peralatan. - Perlu perawatan yang baik dan
- Sesuai untuk sampah yang kontinu.
banyak mengandung unsur - Proses pengomposan lebih
organik. lama.
- Volume sampah yang - Memerlukan tenaga lebih
terbuang berkurang. banyak.
- Biaya investasi lebih murah.
Baling - Volume sampah yang - Biaya investasi, operasi, dan - Dianjurkan bila jarak ke
(Pemadatan) terbuang dapat dikurangi. pemeliharaan relatif mahal. pemrosesan akhir lebih
- Praktis/efisien dalam dari 25 km.
pengangkutan ke TPA.
Incinerator - Untuk kapasitas besar hasil - Biaya investasi dan operasi Ada 2 (dua) tipe :
(Pembakaran) sampingan dari pembakaran mahal. - Sistem pembakaran
dapat dimanfaatkan antara - Dapat menimbulkan polusi berkesinambungan untuk
lain untuk pembangkit tenaga udara. kapasitas besar (>100
listrik. ton/hari).
- Volume sampah menjadi - Sistem pembakaran
sangat berkurang. terputus untuk kapasitas
- Hygienis. kecil (<100 ton/hari)
Recycling - Pemanfaatan kembali bahan- - Tidak semua jenis sampah - Dianjurkan pemisahan
(Daur Ulang) bahan (anorganik) yang sudah bisa didaurulang. mulai dari sumber
terpakai. - Memerlukan peralatan yang sampahnya.
- Merupakan lapangan kerja relatif mahal bila dilaksanakan
bagi pemulung sampah secara mekanis.
(informal). - Kurang sehat bagi pemulung
- Volume sampah yang sampah (informal).
terbuang berkurang,
menghemat lahan
pembuangan akhir.

8.2 Pengomposan (Composting)

Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme
terhadap bahan organik yang biodegradable, atau dikenal pula sebagai biomas. Pengomposan dapat
dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang
optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan adalah:
a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil
b. Bila prosesnya pembuatannya secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri patogen, telur
serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperatur di atas temperatur normal

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 67
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

c. Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah

Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah:


− Memperkaya bahan makanan untuk tanaman
− Memperbesar daya ikat tanah berpasir
− Memperbaiki struktur tanah berlempung
− Mempertinggi kemampuan menyimpan air
− Memperbaiki drainase dan porositas tanah
− Menjaga suhu tanah agar stabil
− Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara
− Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan
Kompos kurang tepat bila disebut sebagai pupuk, walaupun dikenal pula sebagai pupuk organik, karena
zat hara yang dikandungnya akan tergantung pada karakteristik bahan baku yang digunakan. Oleh
karena sampah kota karakteristiknya sangat heterogen dan fluktuatiif maka kualitasnya akan mengikuti
karakteristik sampah yang digunakan sebagai bahan kompos setiap saat.

Klasifikasi pengomposan antara lain dapat dikelompokkan atas dasar:


a. Ketersediaan oksigen:
− Aerob bila dalam prosesnya menggunakan oksigen (udara)
− Anaerob bila dalam prosesnya tidak memerlukan adanya oksigen
b. Kondisi suhu:
− Suhu mesofilik: berlangsung pada suhu normal, biasanya proses anaerob
o
− Suhu termofilik: berlangsung di atas 40 C, terjadi pada kondisi aerob
c. Teknologi yang digunakan:
− Pengomposan tradisional (alamiah) misalnya dengan cara windrow
− Pengomposan dipercepat (high rate) yang bersasaran mengkondisikan dengan rekayasa
lingkungan proses yang mengoptimalkan kerja mikroorganisme, seperti pengaturan pH, suplai
udara, kelembaban, suhu, pencampuran, dsb.

Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih
cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur
cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis. Adapun perbedaan antara keduanya dapat
dilihat pada Tabel 8.2 berikut ini. Proses pembuatan kompos adalah dekomposisi material organik limbah
padat (sampah) secara biologis, di bawah kontrol kondisi proses yang berlangsung. Dalam produk akhir,
materi organik belumlah dapat dikatakan stabil, namun dapat disebut stabil secara biologis.

Tabel 8.2: Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob [4, 40]


No. Karakteristik Aerob Anaerob
1. Reaksi pembentukannya Eksotermis, butuh enersi luar, Endotermis, tidak butuh enersi
dihasilkan panas luar, dihasilkan gas-bio sumber
enersi
2. Produk akhir Humus, CO2, H2O Lumpur, CO2, CH4
3. Reduksi volume Lebih dari 50% Lebih dari 50%
4. Waktu proses (20-30) hari (20-40) hari
5. Tujuan utama Reduksi volume Produksi energi
6. Tujuan sampingan Produksi kompos Stabilisasi buangan
7. Estetita Tidak menimbulkan bau Menimbulkan bau

Karena pertimbangan di atas, maka biasanya proses pengomposan dilakukan secara aerob. Secara
umum, transformasi umum buangan aerob dapat dijelaskan sebagai berikut [4]:
- Input: Materi organik + O2 + nutrisi + bakteri
- Materi organik belum terdegradasi + biomass sel bakteri + CO2 + H2O + NH3 + ........ + panas

Bila materi organik adalah CaHbOcNd, bila sel biomas bakteri diabaikan, dan bila materi orgnanik belum
terdegradasi adalah CwHxOyNz , maka konsumsi reaksi yang terjadi adalah [4]:
!
CaHbOcNd + 0,5 (ny + 2s + r –c) O2 → nCwHxOyNz + sCO2 + rH2O + (d-nx) NH 3 .............. (8.1)
Dengan: r = 0,5 [b – nx – 3(d – nx)]
s = a - nw
Bila terjadi reaksi sempurna, maka [4]:
4 a +b"2c"3d !
C aH bO c N d + O2 → aCO2 + (b - 3d)/2 + H2O + dNH 3 ............................ (8.2)
4
Bila proses berlangsung anaerob, misalnya dalam landfilling yang berlangsung secara alamiah, maka
transformasinya adalah :
CaHbOcNd → nCwHxOyHz + mCH4 + sCO2 + (d - nz)NH3 + rH2O ...................................... (8.3)
Dengan : s = a – nw – m
! r = c – ny - 2s

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 68
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan, antara lain [4, 53]:
a. Bahan yang dikomposkan: apakah mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak
kandungan kayu atau bahan yang mengandung lignin, maka akan makin sulit terurai
b. Mikroorganisme: mikroorganisme seperti bakteri, ragi, jamur yang sesuai dengan bahan yang akan
diuraikan akan dapat menguraikan bahan organik
c. Ukuran bahan yang dikomposkan : bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan,
sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses
pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk
udara mengecil. Diameter yang baik adalah antara (25-75) mm.
d. Kadar air (lihat Tabel 8.3):
− Timbunan kompos harus selalu lembab, biasanya sekitar nilai 50-60%. Nilai optimum adalah =
55%, kurang lebih selembab karet busa yang diperas.
− Adanya panas yang terbentuk, menyebabkan air menguap, sehingga tumpukan menjadi kering.
− Bila terlalu basah, maka pori-pori timbunan akan terisi air, dan oksdigen berkurang sehingga
proses menjadi anaerob. Biasanya pengadukan atau pembalikan kompos pada proses
konvensional akan mengembalikan kondisi dalam timbunan menjadi normal kembali. Bulking
agent, seperti zeolit, dedak atau kompos matang, banyak digunakan untuk mempertahankan
kadar air agar tidak terlalu lembab.
− Timbunan akan berasap bila panas mulai timbul. Pada saat itu bagian tengah tumpukan dapat
menjadi kering, dan proses pembusukan dapat terganggu.
− Untuk mengukur suhu secara mudah, tancapkan bambu ke tengah tumpukan. Bila bambu
basah dan hangat, serta tidak berbau busuk, maka proses pengomposan berjalan dengan baik.
− Kadang-kadang diperlukan penambahan air ke dalam timbunan setiap 4 – 5 hari sekali.
Sebaliknya, untuk daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi, maka timbunan kompos
harus dilindungi dari hujan, misalnya diberi tutup plastik atau terpal.
e. Ketersediaan oksigen:
− Pada proses aerob selalu dibutuhkan adanya oksigen. Pada proses konvensional, suplai
oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi
sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan
setiap 5 hari sekali.
− Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggi
tumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m.
− Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik
udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan
udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang
mengandung lebih dari 50% oksigen.
f. Kandungan karbon dan nitrogen (lihat Tabel 8.3):
− Karbon (C ) adalah komponen utama penyusun bahan organik sebagai sumber enersi, terdapat
dalam bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, batang tebu, sampah kota, daun-
daunan dsb.
− Nitrogen (N) adalah komponen utama yang berasal dari protein, misalnya dalam kotoran
hewan, dan dibutuhkan dalam pembentukan sel bakteri.
− Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi
pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri.
Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan
beratnkering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah,
ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih
tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas.
− Harga C/N tanah adalah 10 – 12, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N
mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan.
− Waktu pengomposan dapat direduksi dengan proses pencampuran dengan bagian yang sudah
terdekomposisi sampai (1-2)% menurut berat. Buangan lumpur dapat juga ditambahkan dalam
penyiapan sampah. Jika lumpur ditambahkan, kadar air akhir merupakan variabel pengontrol.
g. Kondisi asam basa (pH):
− pH memegang peranan penting dalam pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun
sampai 5, kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7 - 8 sampai kompos matang.
− Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur atau abu. Untuk meminimalkan kehilangan
nitrogen dalam bentuk gas ammonia, pH tidak boleh melebihi 8,5.
h. Temperatur:
− Suhu terbaik adalah 50º-55ºC, dan akan mencapai (55-60)ºC pada periode aktif. Suhu rendah,
menyebabkan pengomposan akan lama. Suhu tinggi (60-70)ºC menyebabkan pecahnya telur
insek, dan matinya bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik.
− Pada pengomposan tradisional, bila tumpukan terlalu tinggi, terjadi pemadatan bahan-bahan
dan akan terjadi efek selimut. Hal ini akan menaikkan temperatur menjadi sangat tinggi, dan
oksigen menjadi berkurang.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 69
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 8.3: Perbandingan C/N dan kadar air [4]


Jenis Bahan Harga C/N Kadar Air (%)
Kayu 200-400 75-90
Jerami padi 50-70 75-85
Kertas 50 55-65
Kotoran ternak 10-20 55-65
Sampah kota 30 50-60

i. Tingkat dekomposisi: dapat diperkirakan melalui pengukuran penurunan suhu akhir, tingkat
kapasitas panas, jumlah materi yang dapat didekomposisi. Kenaikan potensial redoks, kebutuhan
oksigen, pertumbuhan jamur, dsb dapat digunakan juga sebagai indikator tingkat dekomposisi.

Sistem Windrow merupakan teknologi yang relatif paling sederhana melalui penumpukan bahan kompos
secara tradisional. Suplai oksigen dari udara bebas dimasukkan dari bawah tumpukan, dengan
melengkapi drainase penyalur udara di bawahnya. Materi kompos dibiarkan terdekomposisi secara
alamiah dan oleh kegiatan bakteri yang menghasilkan panas pada tumpukan kompos. Panas terbentuk
selain membunuh bakteri patogen juga membantu proses perbaikan dan pengeringan secara perlahan.
Proses ini membutuhkan waktu sekitar 2 - 3 minggu untuk mencapai kompos setengah matang, dan
membutuhkan 3 - 4 bulan berikutnya untuk menghasilkan kompos matang.

Contoh lain dari proses pengomposan sederhana dapat dilihat pada gambar berikut, yang
dikembangkan oleh PPT ITB. Sejak awal tahun 1980-an Pusat Studi Penelitian Lingkungan Hidup
(PPLH) ITB memperkenalkan pengomposan sederhana, bersamaan dengan dikembangkannya
Kawasan Industri Sampah. Pada pengomposan ini, disamping penambahan air untuk menjaga
kelembaban, ditambahkan juga kapur , sekam padi dan diperkaya dengan pembubuhan urea dan NPK.
Cara pengomposan ini kemudian diterapkan dibeberapa tempat, antara lain di Kebun Binatang Ragunan.
Langkah yang digunakan seperti terlihat dalam Gambar 8.1.

Disamping itu, pembuatan kompos dengan menggunakan cacing dapat pula diterapkan, dikenal sebagai
Vermikultur. Cara ini adalah penerapan vermikultur dengan skala yang memadai untuk memproduksi
volume cacing yang diperlukan oleh petani untuk mampu mengkonsumsi sekitar 3-5% kompos kasar
produksi TPA. Kompos adalah makanan yang ideal bagi vermikultur sehingga tidak ada biaya tambahan
produksi yang diperlukan [41].

Di negara industri, pengomposan sampah kota sudah biasa dilaksanakan secara mekanis, dikenal
sebagai pengomposan dipercepat (accelerated composting). Percepatan ini dilaksanakan pada proses
pembuatan kompos setengah matang, yang pada pengomposan tradisional (konvensional)
membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Pada pengomposan ini, waktu yang dibutuhkan dipercepat
sampai menjadi 1 minggu. Prinsip yang digunakan adalah bagaimana agar bahan baku kompos menjadi
lebih baik, dan bagaimana agar mikroorganisme pengurai menjadi lebih aktif dalam menguraikan
kompos. Beberapa catatan dalam pengomosan dipercepat adalah [56]:
− Bahan yang akan dikomposkan disortir dari logam, kaca, plastik dan bahan lain yang tidak dapat
dikomposkan. Untuk pemisahan bahan tersebut dapat digunakan alat pemisah mekanis atau
manual.
− Proses pengomposan dilakukan dalam reaktor, dengan pasokan oksigen dan air untuk menjamin
kondisi tetap aerob.
Disamping itu dilakukan pembalikan/ pengadukan secara mekanikal. Beberapa teknologi menyalurkan
uap panas hasil pengomposan pada bagian sampah yang baru masuk. Pembibitan mikroorganisme
dilakukan dengan resirkulasi air lindi yang terbentuk.

Beberapa jenis reaktor pengomposan modern adalah [54]:


− Vertikal (menara): diperkenalkan pada tahun 1939 di Amerika, dikenal dengan metoda Earp-
Thomas. Sampah dimasukkan dari bagian atar reaktor. Fermentasi terjadi selama transport
material dari bagian atas sampai ke dasar reaktor yang terdiri dari beberapa tahap. Metode sejenis
adalah jenis Triga, dimana materi sampah dimasukkan dari atas, dan sampah turun ke bawah
karena adanya putaran pada reaktor.
− Horisontal: cara yang paling dikenal adalah metoda Dano. Metoda ini berasal dari Denmark (1933).
Fermentasi dilakukan dalam reaktor bertipe rotary kiln. Sampah diputar secara perlahan dalam kiln.
Dengan pemutaran ini, materi asing yang tidak bisa dikomposkan akan terpisahkan di ujung akhir
kiln.
− Metode Siloda adalah menggunakan alat yang secara sistematis dan berkala memindahkan kompos
ke sisi lain, sehingga terjadi pengadukan secara sempurna
Dengan sistem reaktor tersebut, maka variabel yang dapat mempertinggi kerja mikroorganisme diatur
secara sistematis dan menerus. Contoh-contoh pengomposan dipercepat dalam reaktor dapat dilihat
dalam Gambar 8.2 sampai 8.4 berikut.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 70
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Gambar 8.1: Pengomposan dengan cetakan model PPLH ITB [55]

Gambar 8.2: Metode pengomposan Siloda [54]

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 71
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Gambar 8.3 : Metode pengomposan Dano [54]

Gambar 8.4 : Skema pengomposan vertikal Triga dan Tower [54]

8.3 Insinerator

Insinerator Skala Kota

Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat (dalam hal ini sampah)
menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan
debu (fly ash). Panas yang dihasilkan dari proses insinerasi juga dapat dimanfaatkan untuk
mengkonversi suatu materi menjadi materi lain dan energi, misalnya untuk pembangkitan listrik dan air
panas. Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara membakar sampah pada suatu
tungku pembakaran. Di beberapa negara maju, teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas
besar (skala kota). Teknologi insinerator skala besar terus berkembang, khususnya dengan banyaknya
penolakan akan teknologi ini yang dianggap bermasalah dalam sudut pencemaran udara. Salah satu
kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan
enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter [33] .
Gambar 8.5 dan 8.6 berikut adalah skema insinerator.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 72
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Suplai air pendingin

Unit Penerima Air Pollution


Control
Suplai (Ruang Bakar)
(APC)
Buangan

Suplai udara Unit pemisah

Gambar 8.5: Prinsip proses Insinerasi

Udara/gas

Cerobong

Udara
Gas APC

BBM
Tungku
Debu Terbang
Pemasok Tungku

LIMBAH Penerima Udara


BBM
Pemisah

Landfill Pengolah air

Gambar 8.6: Unit-unit pada Insinerator Skala Kota [5]

Meskipun teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah hingga 70%, namun teknologi
insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi. Fasilitas
pembakaran sampah dianjurkan hanya digunakan untuk memusnahkan/membakar sampah yang tidak
bisa didaur ulang, ataupun tidak layak untuk diurug. Alat ini harus dilengkapi dengan sistem
pengendalian dan kontrol untuk memenuhi batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan
asap yang keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral. Abu yang
dihasilkan dari proses pembakaran bisa digunakan untuk bahan bangunan, dibuat bahan campuran
kompos, atau dibuang ke landfill. Sedangkan residu dari sampah yang tidak bisa dibakar seperti sisa
logam bisa didaur ulang.

Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang
sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang
sudah tidak dapat didaurulang lagi. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume
buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan
penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai
85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80 %.

Proses insinerasi berlangsung melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 73
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Mula-mula membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan
siap terbakar.
− Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum
terlalu tinggi
− Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.
Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan
suatu insinerator, antara lain:
− Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari buangan padat,
khususnya sampah.
− Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan operasional
insinerator.
− Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang, gas toksik, dan
uap metalik.

Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature,
Time dan Turbulence) [5]:
− Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok akan
menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal
o
untuk sampah kota tidak kurang dari 800 C.
− Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yang telah
ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.
− Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi
atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.

Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian sebagai
berikut (lihat Gambar 8.6):
− Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah.
− Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinu tanpa tenaga manusia.
− Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.
− Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara dari
bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak
sempurna.
− Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah
− Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan keluar stack agar tidak mencemari
lingkungan.
− Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
− APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya:
o Debu atau partikulat
o Air asam
o Gas yang belum sempurna terbakar: CO
o Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx,
o Dioxin
o Panas
Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar
ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada
insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini
belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
− Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidak
berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
− Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.

Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 – 2.000 kkal/kg-kering. Dapat dicapai proses insinerasi
yang ekonomis bila sampah memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering, sehingga tidak
dibutuhkan enersi tambahan dari luar. Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya dapat
dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya dengan rumus kimia sampah
Indonesia dengan dominasi rata–rata kandungan sampah organik sekitar 60%, sampah plastik 17%, dan
sampah kertas 16% adalah C351,42H2.368,63O1.099,65N13,603S.

Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu:


a. Mengurangi massa / volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau udara)
limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran
dan abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah
tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari pembakaran
limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang
bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar.
b. Mendestruksi komponen berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah
diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 74
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah
digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi
ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya
adalah mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya
o
adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800 C). Dalam hal ini limbah tidak harus
combustible, sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat
dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang
akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi
tidak terputus.

Insinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan:


a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu
b. Tungku yang digunakan:
− Statis (insinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS)
− Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
− Fluiduized bed : biasanya untuk limbah homogen
− Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat atau cair)
− Multiple hearth : untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge, slurry)
Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam insenarator modular dikenal insinerator
kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi menjadi:
− Multi chambre
− Multi chambre – starved control-air

Insinerator Modular

Di Indonesia, penggunaan insinerator skala kota baru dilaksanakan di Surabaya. Namun karena
permasalahan teknis yang sejak awal telah terjadi, insinerator ini cendererung kurang berfungsi.
Insinerator skala modular (skala kecil), banyak dicoba di beberapa kota di Indonesia, walaupun ternyata
mengalami beberapa permasalahan, seperti mahalnya biaya operasi, timbulnya permasalahan
lingkungan yang terlihat nyata secara visual seperti asap dan bau. Beberapa informasi di bawah ini
menjelaskan secara ringkas tentang insinerator jenis modular dengan:
a. Pemasokan limbah dapat dilakukan:
− Secara manual: khususnya untuk insinerator kecil
− Secara mekanis/hidrolis: memperpanjang waktu operasi
− Bila pemasokan limbah dilakukan secara kontinu tanpa mematikan dan mendinginkan ruang
pembakaran, akan dihemat bahan bakar dan kontinuitas operasi dapat dijamin.
b. Pengoperasian:
− Pengoperasian secara batch dengan pemasokan manual
− Pengoperasian secara batch dengan pemasokan semi kontinu
− Pengoperasian secara kontinu: untuk skala di atas 40 ton/hari.
− Pengeluarkan abu: bila abu dapat dikeluarkan secara terus menerus, ruang pembakaran akan
tetap tersedia untuk limbah yang baru. Pengeluaran abu dapat dilakukan:
− Secara manual
− Secara mekanis: biasanya di atas 20 ton/hari
c. Insinerator yang paling sederhana adalah 1 kamar. Selanjutnya dikenal insinerator kamar-jamak
dengan sasaran:
− Menghemat bahan bakar
− Menghemat enersi untuk suplai udara
− Mempertahan temperatur
− Kontrol pencemaran udara
d. Kapasitas nominal tungku pembakaran: dinyatakan sebagai Kg/jam, Ton/hari atau m3/jam untuk 8
jam kerja per shift. Kapasitas pembakaran biasanya digunakan tidak lebih dari 75%.
e. Pasokan oksigen dilakukan dengan memasukkan udara secara:
− Manual: untuk insinerator sederhana
− Blower: memasok udara dengan debit tetap atau debit yang disesuaikan dengan kebutuhan.
f. Limbah yang baru dimasukkan (dingin) membutuhkan pasokan api melalui burner (pembakar bahan
bakar). Bila limbahnya combustible maka limbah selanjutnya berfungsi sebagai bahan bakar. Jumlah
burner, konsumsi dan jenis bahan bakar, perlu diperhatikan dalam memilih incinerator. Tambah
besar kapasitas insinerator, tambah sedikit bahan bakar yang dibutuhkan per satuan limbah yang
akan dibakar.
g. Dinding Isolasi panas berfungsi untuk menghemat bahan bakar dan mempertahankan temperatur.
Dinding insinerator yang baik biasanya berlapis-lapis, yang terdiri dari:
− Lapis luar: baja tahan karat dengan ketebalan tertentu (mis 6 mm), dicat dengan cat tahan
temperatur tinggi

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 75
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Lapis tengah: isolator panas dengan ketebalan tertentu, dengan baha seperti asbes, atau
kalsium silikat dsb
− Lapis dalam: langsung kontak dengan temperatur tinggi, misalnya dari bahan bata tahan api
h. Tinggi dan bahan cerobong: tambah tinggi cerobong, udara panas yang keluar akan tambah
terencerkan dan tersebar secara baik di lingkungan.
i. Panel pengontrol dan petunjuk: digunakan untuk mengetahui debit udara, temperatur, alat untuk
mengontrol waktu operasi (timer), dsb.
j. Bangunan pelindung: untuk melindungi dari hujan dsb
k. Perlengkapan pengendali pencemaran udara: biasanya dijual terpisah dari insinerator. Dikenal
beberapa pengontrol, seperti: pengontrol partikulat (bag house, scruber, dsb), pengontrol uap asam
(scruber basa, dsb), pengontrol gas-gas spesifik, dsb.

Recovery Panas dan Permasalahan Lingkungan [57, 58]

Enersi panas yang dapat dikonversi menjadi listrik dan recovery panas merupakan salah satu
keunggulan yang ditawarkan dari insinerator jenis baru. Enersi tersebut berasal dari panas dalam tungku,
yang biasanya didinginkan dengan air, dan uap air yang terjadi dapat digunakan sebagai penggerak
turbin pembangkit listrik. Namun perlu pemahaman bahwa:
− Produk panas yang nanti dikonversi menjadi listrik, akan tergantung dari nilai kalor sampah itu
sendiri. Nilai kalor sampah Indonesia biasanya sulit mencapai angka 1200 Kcal/kg-kering,
bandingkan dengan sampah dimana teknologi insinerator itu berasal, yaitu paling tidak 2000-2500
kkal/kg-kering. Komponen sampah yang dikenal mempunyai nilai kalor tinggi adalah kertas dan
plastik. Dilemna yang muncul adalah, bila yang dikejar adalah nilai kalor tinggi, maka upaya daur-
ulang tidak mendukung teknologi ini.
− Sampah Indonesia mengandung banyak sisa makanan (bisa mencapai 70%) yang dikenal
mempunyai kadar air tinggi. Ditambah musim hujan, serta sistem pewadahan sampah yang tidak
tertutup, akan menambah tingginya kadar air. Secara logika, tambah tinggi kadar air, maka akan
tambah banyak enersi yang dibutuhkan untuk memulai sampah itu terbakar.
− Proses termal menawarkan destruksi massa limbah secara cepat. Namun semua proses termal
tetap akan menghasilkan residu ( bagian non-combustible) yang tidak bisa terbakar pada temperatur
operasi. Tambah tinggi panas, maka residu-nya akan tambah sedikit. Residu ini berada dalam
bentuk abu, debu dan residu lain. Abu biasanya dikenal mempunyai potensi sebagai bahan
bangunan, karena mengandung silikat tinggi. Sampah Indonesia mengandung abu sampai
mencapai 30% berat. Debu atau partikulat akan merupakan salah satu permasalahan pencemaran
udara yang perlu diperhatikan. Biasanya jalan terakhir yang dilakukan adalah diurug
− Dalam proses termal, beberapa logam berat yang berada dalam sampah, akan teruapkan seperti Zn
dan Hg, yang tergantung dari titik uapnya. Merkuri (Hg) pada temperatur kamarpun akan menguap.
Tambah tinggi temperatur, akan tambah banyak jenis logam berat yang akan menguap. Agak sulit
menangani jenis pencemar ini.
− Dioxin akan muncul sebagai proses antara dalam pembakaran material, bukan hanya pada
insinerator. Tambah tinggi temperatur, maka biasanya tambah sedikit bahan antara ini. Bila terjadi
kegagalan dalam mempertahankan panas, atau pada awal operasi atau di akhir operasi, dimana
temperatur berada pada level yang rendah, maka masalah ini dapat muncul.
− Apapun teknologinya, maka dalam proses oskidasi (pembakaran) akan dihasilkan produk oksidasi,
yang diantaranya berupa gas-buang. Bila sistem tidak tercampur sempurna dan pembakaran
menjadi tidak sempurna, maka akan dihasilkan gas-gas yang belum terbakar sempurna.
− Bila material berbasis khlor terbakar, maka akan dihasilkan produk gas khlor, yang sangat
berbahaya karena korosif maupun karena toksik. Namun dengan adanya uap air, gas yang sangat
reaktif ini dengan mudah menangkap uap air menjadi HCl. Ini juga perlu diklarifikasi dalam teknologi
yang ditawarkan dalam air pollution control, guna mengurangi terjadinya hujan asam.
− Bila pemanasan dilakukan tanpa oksigen, maka proses ini dikenal sebagai pirolisis. Modivikasi dari
pirolisis adalah gasifikasi yang memasukkan sedikit udara dalam proses. Akan dihasilkan 3 jenis
produk, yaitu (a) gas hasil oksidasi tanpa oksigen seperti CH4 dan H2 (b) C2H4 (ethyelene) dan tar
dan (c) arang atau karbon. Seperti halnya insinerasi, maka karena yang digunakan sebagai bahan
adalah sampah yang sangat heterogen, maka akan dihasilkan by-product lain seperti gas pencemar,
dioxin, residu yang belum dapat terurai. Proporsi produk yang dihasilkan (gas, cair atau padat)
tergantung dari temperatur dan waktu pembakaran.
− Terdapat serangkaian upaya konversi enersi dalam sistem insinerator penghasil panas, mulai dari
combustor – boiler – steam generator sampai ke electric generator, yang tidak akan mampu
mengkonversi enersi secara mulus 100%. Bila sampah yang digunakan adalah sejenis sampah di
negara industri, maka enersi listrik sebesar 20 MW/1000 ton-kering sampah dapat dicapai. Dengan
kondisi sampah Indonesia yang mempunyai nilai kalor hanya sekitar 1000 kkal/kg-kering, apalagi
bila kertas dan plastiknya dikeluarkan untuk didaur-ulang, serta kadar air yang cukup tinggi, maka
sebetulnya berdasarkan perhitungan yang konvensional akan diperoleh paling sekitar 4 MW per kg
sampah-basah.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 76
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

8.4 Instalasi Waste-to-Energy di Negara Industri [59, 60]

Sistem Waste-to-energy (WTE) membakar sampah kota non-B3 untuk menghasilkan listrik dan/atau uap
air, dan sekaligus mensteril dan mengurangi volume sampah yang dibutuhkan untuk landfill. Data tahun
2007 [59] mengungkapkan bahwa di USA sistem ini digunakan untuk memproses sekitar 95.000 ton
sampah perhari atau 35 juta ton per tahun, yang merupakan 17% dari total sampah yang dihasilkan, dan
menghasilkan sekitar 2.500 MW listrik. Di Eropa, fasilitas WTE memproses sekitar 56 juta ton per-tahun.
Denmark memproses lebih dari 80% sampahnya dengan WTE, sedang di Jepang lebih dari 60%. WTE
dianggap sebagai alternatif sumber enersi terbarukan dan US-EPA menyimpulkan bahwa WTE dinilai
menghasilkan listrik dengan dampak lingkungan terendah dibandingkan pembangkit listrik dari sumber
yang lain.

WTE saat ini bukan lagi sekedar membakar mix-waste tanpa pemilahan, tetapi sistem WTE melalui
refused-derived-fuel (FDR), dimana sampah dipilah, dirajang, dan dibuat pelet (briket) bahan bakar. Di
Jepang misalnya, mereka melarang sampah berbahan PVC, atau bahan plastik mengandung chloride
lainnya masuk ke sistem pembakaran. Sistem WTE yang sekarang banyak digunakan dianggap perlu
ditingkatkan, misalnya dengan sistem pelelehan (melting) pada temperatur yang lebih tinggi yang
memungkinkan abu direduksi menjadi elemen-elemen pembentuknya, yang selanjutnya dapat direcovery
(lihat gasifikasi plasma). Reduksi panas yang akan diemisikan ke luar cerobong juga dirancang
berlangsung secara sangat cepat, karena dianggap penurunan panas yang biasa akan berpotensi
kembali terbentuknya dioxin.

WTE bekerja layaknya pembangkit listrik biasa, yang membedakannnya adalah bahan bakarnya adalah
sampah, bukan solar, batu-bara atau gas. Prinsip WTE adalah sejalan dengan pembangkit listrik tenaga
batubara (coal fire power plant), yaitu:
• Bahan bakar dibakar, menghasilkan panas
• Panas terbentuk menguapkan air
• Uap dengan tekanan tinggi memutar sudu (blade) generator turbin untuk menghasilkan listrik
• Listrik yang dihasilkan digunakan untuk berbagai keperluan

Di USA, sejak tahun 2000 fasilitas WTE sudah disesuaikan dengan standar pengendalian pencemaran
dari Clean Air Act Section 129, dengan peralatan kontrol standar, yaitu:
• Baghouse: bekerja layaknya vacuum cleaner raksasa, dengan fabric filter bag yang membersihkan
udara dari asap dan logam berat
• Scrubber: menyemprotkan bubur kapur dan air ke dalam uap panas, yang menetralkan gas asam,
dan meningkatkan penangkapan merkuri pada udara yang ke luar
• Selective non-catalytic reduction: mengkonversi NOx, penyebab kabut asap (smog), menjadi
nitrogen, dengan menyemprotkan ammonia atau urea ke dalam tungku panas
• Sistem carbon injection: menyemprotkan karbon aktif ke dalam exhaust gas untuk menjerab (sorbsi)
logam berat ldan sekaligus mengontrol emisi organik lain seperti dioxin
• Abu hasil pembakatan, sekitar 10% volume, sesuai uji pelindian di USA leaching test aman untuk
digunakan kembali dan diurug, atau sebagai bahan penutup landfill, karena mempunyai sifat seperti
mortar yang mengeras bila telah dipakai.
• Sejumlah WTE dirancang/dioperasikan sebagai co-generation, yang memanfaatkan juga uap
sebagai pemanas, sehingga sistem ini dianggap lebih unggul dibandingkan pembangkit listrik
tradisional.

Listrik yang dihasilkan dari WTE

Sistem WTE tergantung pada sumber enersi terbarukan, yaitusampah yang tidak dapat didaur-ulang
atau yang non-B3. Di negara industri dimana sampahnya banyak mengandung kertas dan plastik, serta
sistem pengumpulan yang tertutup sehingga kadar air sampah lebih kecil, diperkirakan sekitar 1 ton
sampah mempunyai nilai panas sekitar 0,5 ton batubara, sehingga paling banyak menghasilkan listrik
setara 0,5 ton batu-bara. US-EPA telah mengembangkan web-site Clean Energy untuk informasi
perbandingan dampak beragam sumber enersi terhadap lingkungan, yaitu sumber gas alam, batu-bara,
minyak, enersi nuklir, sampah kota, hydroelectricity, dan non-hydroelectricity-renewable energy seperti
terlihat pada Tabel 8.4.

Sampah dianggap sebagai sumber enersi terbarukan, yang terdiri dari sisa makanan, kertas, dan kayu,
termasuk bahan non-renewable yang berasal dari bahan bakar fosil seperti plastik dan karet. Namun
sampah bukanlan bahan bakar, sehingga enersi yang dapat digunakan tidak bisa disamakan dengan
sumber enersi biasa seperti minyak bumi dan batu-bara. Pada pembangkit listrik, sampah di-unloaded
dari truk, dicacah, atau diproses agar memudahkan penanganannya, lalu dipasok pada boiler untuk
menghasilkan uap, yang dapat memutar turbin uap yang menghasilkan listrik. Di USA instalasi
pembangkit listrik diatur oleh peraturan Federal dan Negara bagian, dan beragam variasi dampak yang
dapat ditimbulkan. Walaupun sampah termasuk sumber enersi terbarukan, tetapi kehadirannya banyak
menimbulkan kontroversi, karena emisi pencemar yang dihasilkan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 77
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 8.4 Produksi enersi di USA 2003 [59]


Bahan bakar Ribu MW-hours Persen
Bahan fosil 2.743.051 71
- Batubara 1.973.737 51
- Minyak 119.406 3
- Gas alam 649.908 17
Nuklir 763.733 21
Hydroelectric 275.806 7
Terbarukan 87.410 2
- Sampah kota 21.900 0,6
Lain-lain 13.185 ….
Total 3.883.185 100

Perbandingan emisi pencemar udara

Membakar sampah akan menghasilkan NOx dan SOx serta sejumlah pencemar seangin lain, seperti
senyawa merkuri dan dioxin. WTE sampah akan menghasilkan CO2, sumber utama green-house gas
(GHG). Terdapat 2 pendapat yang berbeda dalam hal GHG ini, yaitu:
• Diabaikan karena dianggap bagian dari siklus karbon bumi (earth’s natural carbon cycle)
• Diperhitungkan, karena pembakaran sampah juga menghasilkan CO2 yang dianggap bukan bagian
dari earth’s atmosphere untuk jangka panjang. Disamping itu, komponen sampah juga mengandung
bahan yang berasal dari sumber enersi fosil
Variasi komposisi sampah menaikkan perhatian terhadap pembakaran sampah kota, karena dapat
mengandung batere, ban-bekas, dan bahan toksik lain yang terkandung dalam sampah kota. Oleh
karenanya, sejumlah variasi teknologi pengendali pencemaran udara ketat diterapkan pada WTE
sampah kota di negara-negara Jepang, Eropa di USA.

Emisi rata-rata di USA untuk pembakaran sampah kota adalah sekitar [60]:
• 2.988 lb/MWh: bila memasukkan CO2 dari emisi kedua jenis sumber yang ada dalam sampah, yaitu
biomas dan bahan bakar fosil
• 837 lb CO2 /MWh: bila CO2 dari emisi biomas sampah diabaikan dalam perhitungan, karena bukan
berasal dari bahan bakar fosil.
• 0,8 lbSO2/MWh
• 5,4 lb NOx/MWh

Tabel 8.5 Perbandingan emisi udara [60]


Bahan bakar CO2 SO2 NOx
lb/MWh
Sampah kota 837 0,8 5,4
Batubara 2.249 13 6
Minyak 1.672 12 4
Gas alam 1.135 0,1 1,7

8.5 Pirolisa dan Gasifikasi

Di luar proses pembakaran sampah dengan insinerator, maka proses lain yang banyak digunakan dalam
konversi biomas secara termal adalah pirolisis dan gasifikasi, yaitu proses destruksi menggunakan
panas tanpa kehadiran oksigen, atau sedikit oksigen. Proses ini bertujuan mengkonversi biomas padat
menjadi gas, cair (tar) dan padat (arang):
• Pirolisis: berlangsung tanpa kehadiran oksigen sama-sekali, menggunakan sumber enersi dari luar
untuk menggerakan reaksi pirolisa yang bersifat endotermis
• Gasifikasi bersifat self sustaining, menggunakan udara atau oksigen yang terbatas untuk
pembakaran sebagian dari biomas

Sebagian besar meteri organik secara termal tidak stabil, sehingga dapat dipanaskan tanpa kehadiran
oksigen dan akan menghasilkan gas, liquid, padat. Produk yang dihasilkan adalah tergantung pada
panas yang berlangsung dalam reactor (lihat Tabel 8.6), yaitu:
• Gas/uap: mengandung hidrogen, metan, CO CO2, dan beraneka ragam gas, yang tergantung dari
karakteristik biomasnya
• Bagian cair: mengandung tar atau oil stream yang mengandung asam asetat, aseton, metanol, dan
hidrokarbon kompleks, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
• Arang (char) yang berupa karbon murni, disertai materi-materi solid lain dari biomas asal.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 78
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Tabel 8.6: Contoh pengaruh panas terhadap % produk gasifikasi [33]


(%) H2 CH4 CO CO2 C2 H4 C2 H6
480°C 5,56 12,43 33,50 44,77 0,45 3,03
920°C 32,48 10,45 35,25 18,31 2,43 1,07

(%) Gas Asam-asam dan tar Karbon


480°F 12,33 61,08 21,71
920°F 24,36 58,70 17,76

8.6 Proses Termal dengan Gasifikasi Plasma [59]

Filosofi Zero-Waste (Tanpa-Limbah), yaitu daur-ulang seluruh bahan kembali ke alam atau ke pasar
sebagai unsur ekonomi, dengan penekanan pada perlindungan kesehatan manusia dan alam,
tampaknya mendekati produk yang dihasilkan melalui proses gasifikasi plasma.

Teknologi plasma merupakan teknologi yang telah mapan. Industri baja sejak lama menggunakan
teknologi ini untuk melelehkan baja. Plasma adalah gas yang terionisasi dalam udara super-panas.
Sebuah busur (torch) plasma memanaskan udara secara reguler. Temperatur di dalam busur sampai
o
mencapai 14.000 C. Akibatnya, temperatur di luar yang berkontak dengan bahan yang akan didestruksi
o
akan mempunyai temperatur sampai 4.400 C. Sumber enersi dari busur adalah listrik. Udara super
panas ini akan secara termal mendegradasi material yang kontak dengannya. Gasifikasi plasma
menggunakan sumber panas dari luar untuk menggasifikasi material. Temperatur yang sangat tinggi
o
tersebut kemudian perlu diturunkan sampai 300 C atau kurang sesuai dengan standar yang berlaku.
Dengan demikian akan terjadi penurunan sensible heat, yang akan menghasilkan uap bertekanan tinggi
yang kemudian dapat diumpankan pada turbin uap untuk menghasilkan enersi listrik.

Sampah diumpankan ke transformer termal yang dikenal sebagai reaktor atau plasma gasifier. Busur
(torches) plasma yang terletak di dasar reaktor akan menghasilkan panas, dengan suhu berkisar antara
o o
2.750 - 4.400 C (5.000 – 8.000 F), bandingkan dengan WTE modern yang baik, yang hanya bekerja
o
dengan temperatur paling tinggi 1.200 C. Karena prosesnya destruksi total secara termal, maka tidak
dibutuhkan pemilahan atau pre-treatment sampah terlebih dahulu, kecuali pemotongan untuk
menyesuaiakan dengan kebutuhan reactor, seperti kulkas, AC dsb. Barang-barang elektrik-elektronik
tersebut merupakan hal yang biasa dijumpai dalam rantai pengelolaan sampah di negara maju,
walaupun mereka sudah menerapkan upaya daur-ulang dengan teknologi canggih. Freon pada AC
harus dikeluarkan terlebih dahulu. Limbah medical biasanya diolah terpisah dari sampah.

Teknologi ini dapat memproses segala jenis bahan, tidak membutuhkan pemilahan dan tidak
terpengaruh oleh kadar air bahan yang dimasukkan. Temperatur tinggi dari busur plasma, akan
melelehkan seluruh bahan anorganik yang ada. Tanah kaca dsb akan leleh menjadi unsur-unsur
membentuk vitrified (molten) glass. Unsur-unsur logam juga leleh dan membentuk unsure-unsur logam,
yang dapat dipisahkan dari residu berbentuk gelas. Hampir seluruh karbon yang terkandung dari material
yang diolah akan dikonversi menjadi bahan bakar gas. Produk tar dan arang tidak terjadi, karena
semuanya dikonversi menjadi gas. Tidak terbentuk furan atau dioxin. Sebagian besar partikulat
dikembalikan kembali ke proses, sehingga dapat bergabung menjadi vitrified glass. Praktis tidak ada abu
seperti dalam proses insinerasi/WTE, sehingga tidak butuh lagi landfill, kecuali untuk bahan dasar yang
belum mempunyai nilai ekonomi. Gas keluar dari cerobong juga akan menjadi bersih karena tidak
dihasilkan partikulat atau fly ash. Gas buang yang dihasilkan lebih bersih dibanding proses gasifikasi
biasa, dan hanya mengandung sangat sedikit elemen-elemen dalam partikulat. Elemen-elemen
pencemar udara yang masih tersisa seperti HCl, sulfur tetap perlu ditangani sebagaimana layaknya
seperti dalam proses WTE.

Perbedaan dasar teknologi gasifikasi plasma dengan gasifikasi biasa adalah pada temperatur yang
o
digunakan untuk mendestruksi material. Gasifikasi biasa bekerja pada rentang temperatur 370 – 815 C.
Gasifikasi merupakan partial combustor dimana hanya sebagian karbon yang di-”bakar” untuk
mendukung reaksi, karena temperatur rendah tidak akan dapat menguraikan seluruhnya. Produk yang
dihasilkan tidak sebersih gasifikasi plasma. Permasalahan utama gasifikasi adalah timbulnya tar yang
sulit dikeluarkan dari reaktor. Adanya arang sebagai residu membutuhkan landfill. Selain itu, sampah
harus cukup kering, berukuran yang relatif homogen.

Seperti halnya pirolisis dan gasifikasi, pada gasifikasi plasma material organik tidak terbakar seperti
di WTE, tetapi langsung ditransformasi menjadi gas sebagai CO, H2, nitrogen dan uap air, yang
sebagian masih mengandung enersi. Gas ini merupakan sumber enersi lain, selain panas yang
dihasilkan. Bila mengadung komponen khlor, maka elemen ini dengan cepat akan bereaksi dengan
H+ membentuk HCl.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 79
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

BAGIAN 9
PENGURUGAN (LANDFILLING) SAMPAH
Bagian ini menjelaskan metode yang selalu digunakan dalam pengelolaan sampah yaitu TPA.
Dijelaskan tentang peran TPA, jenis landfilling, aspek engineering yang perlu diperhatikan
khususnya dalam pengendalian lindi dan gasbio. Dijelaskan pula tentang kondisi TPA di
Indonesia yang sampai saat ini selalu bermasalah.

9.1 Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) secara Umum

Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling sering dijumpai dalam
pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan atau penimbunan
dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada sampah kota. Cara ini dikenal sejak awal
tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai sanitary landfill, karena aplikasinya memperhatikan
aspek sanitasi lingkungan. Definisi yang sederhana tentang sanitary landfill adalah [4]:
Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-per-
lapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan
alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah
penutup.

Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal
sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak
memperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill kemudian berkembang dengan
memperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan lainnya, serta percepatan degradasi dan
sebagainya, sehingga terminologi sanitary landfill sebetulnya sudah kurang relevan untuk digunakan.

Landfilling dibutuhkan karena:


− Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan limbah
semuanya
− Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut
− Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit
untuk diolah secara kimia

Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberapa hal yang
perlu dicatat adalah:
– Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes.
– Digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari pengolahan limbah
cair, termasuk limbah berbahaya.
– Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan pencemaran lingkungan,
terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah.
– Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan prasarana
yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan pengoperasian yang baik pula.

9.2 Perkembangan Landfill

Berikut ini adalah uraian tentang perkembangan landfilling mulai dari awal keberadaannya sebagai
sarana penanganan sampah kota:

Mengisi lembah
Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas
pertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat Gambar 9.1). Cara ini dikenal dengan metode
pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan, sehingga lahan tersebut
menjadi baik kembali.

Mengupas site
Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman
tertentu (lihat Gambar 9.2). Dikenal sebagai metode slope (ramp). Perlu diperhatikan:
• tinggi muka air tanah
• struktur batuan / tanah keras
• peralatan pengupasan / penggalian yang dimiliki
Dengan demikian akan diperoleh tanah untuk bahan penutup. Kadangkala pengupasan site tidak
dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Terbentuk parit-parit tempat pengurugan sampah
(lihat Gambar 9.3 di bawah). Cara ini dikenal sebagai metode parit (trench)

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 80
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Gambar 9.1 Landfilling mengisi lembah / cekungan

Gambar 9.2 Landfilling dengan mengupas site

Gambar 9.3 Pengupasan serta menimbun sampah

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 81
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara
yang dilakukan adalah menimbun sampah di atas area tersebut (lihat Gambar 9.4). Cara ini
dikenal sebagai metode area.

Gambar 9.4 Landfilling dengan menimbun ke atas

9.3 Jenis landfill

Berdasarkan penanganan sampahnya


Dilihat dari bagaimana sampah ditangani sebelum diurug, maka dikenal beberapa jenis aplikasi ini, yaitu:
• Pemotongan sampah terlebih dahulu [62]:
− Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm sehingga menjadi lebih homogen, lebih
3
padat (0,8 – 1,0 ton/m ), dapat ditimbun lebih tebal (> 1,5 M)
− Dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketingian sel-sel 50 cm,
sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat
menghindari lalat
− Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang /
dihilangkan, dan timbunan lebih padat
− Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu tanah penutup
− Degradasi (pembusukan) lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat
− Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal

• Pemadatan sampah dengan baling (Gambar 9.5):


− Banyak digunakan di Amerika Serikat
− Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu (misalnya bervolume 1
3 3
m ). Kepadatan mencapai 1,0 ton/m atau lebih
− Transportasi lebih murah karena sampah lebih padat, dan benbentuk praktis
− Pengurugan di lapangan lebih mudah (dengan fork-lift)
− Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis
− Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal
− Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian

• Landfill tradisional:
− Cara yang dikenal di Indonesia sebagai sanitary landfill
− Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5-0,6m) sampai ketinggian 1,2 - 1,5 m
− Urugan sampah membentuk sel-sel (Gambar 9.6) dan membutuhkan ketelitian operasi alat
berat agar teratur

Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat biasa (dozer atau loader) dan mencapai 0,6 - 0,8
3
ton/m
− Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm, paling tidak dalam 48 jam
− Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah anaerob
(tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan
− Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bawah agar tidak terjadi rongga

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 82
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

(a) Peletakan sampah di landfill (b) Mesin pengepres sampah

Gambar 9.5 Landfilling dengan baling [62]

Gambar 9.6 Pembuatan sel-sel sampah [4]

• Landfill dengan kompaksi (Gambar 9.7):


− Banyak digunakan untuk lahan-urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa memadatkan
sampah pada ketebalan 30 - 50 cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 - 1,0 ton/m3
− Proses yang terjadi menjadi anaerob
− Karena densitas tinggi, serangga dan tikus sulit bersarang
− Keuntungan dibanding lahana-urug tradisional adalah tanah penutup menjadi berkurang, truk
mudah berlalu lalang dan masa layan lebih lama
− Biaya operasi menjadi meningkat

Gambar 9.7 Dozer kaki-kambing

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 83
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Berdasarkan kondisi site:

Dilihat dari kondisi topografi site, maka literatur USA membagi landfill dalam beberapa kelompok yaitu:
• Metode area:
− Dapat diterapkan pada site yang relatif datar,
− Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup
− Setelah pengurugan akan membentuk slope
− Penyebaran dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan
• Metode slope/ram :
− Sebagian tanah digali
− Sampah kemudian diurug pada tanah
− Tanah penutup diambil dari tanah galian
− Setelah lapisan pertama selesai, operasi berikutnya seperti metode area
• Metode parit (trench):
− Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam galian, dipadatkan dan ditutup harian
− Digunakan bila airtanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi di bawah landfill cukup tinggi (
≥ 1,5 m)
− Digunakan untuk daerah datar atau sedikit bergelombang
− Operasi selanjutnya seperti metode area
• Metode pit/canyon/quarry:
− Memanfaatkan cekungan tanah yang ada (misalnya bekas tambang)
− Pengurugan sampah dimulai dari dasar
− Penyebaran dan pemadatan sampah seperti metode area
− Kenyataan di lapangan, cara tersebut dapat berkembang lebih jauh sesuai dengan kondisi yang
ada.

Berdasarkan ketersediaan oksigen dalam timbunan [66]:

Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya landfilling adalah pengomposan dalam reaktor yang
luas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan pembusukan sampah secara aerobik maupun secara
anaerobik.
• Landfill anaerobik (Gambar 9.8):
− Landfill yang banyak dikenal saat ini, khususnya di Indonesia. Timbunan sampah dilakukan
lapis perlapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen di dalam timbunan.
− Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas bakar). Dihasilkan pula uap-uap asam-asam
organik, dan H2S yang menyebabkan jenis landfill ini berbau bila tidak ditutup tanah.
− Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah tidak cepat tercapai, dan dihasilkan lindi

− Improved Sanitary Landfill


(leachate) dengan konsentrasi tinggi
Perkembangan berikunya berkembang improved sanitary landfill

• Sarana dilengkapi dengan sistem drainase air


permukaan, pengumpul dan penampung lindi.
• Lindi yang tertampung kemudian diolah sebelum
dilepas ke lingkungan.
-
Gambar 4.8a Perkembangan landfill : improved sanitary landfill [66]

• Landfill aerobik:
− Mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen. Dengan demikian proses
pembusukan lebih cepat, seperti halnya pengomposan biasa.
− Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Juga bau akan banyak
berkurang. Disamping itu, tidak dibutuhkan penutup tanah harian.
− Pencapaian kondisi aerobik dapat dilakukan dengan pendekatan :
 lapisan sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen, sebelum diatasnya
dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah tersebut.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 84
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

 Dibutuhkan area yang luas.Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan
secara sistematis, sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob.

• Landfill semi-aerobik
− Hindari leachate tergenang dalam timbunan, dengan drainase leachate dan ventilasi gasbio
yang baik
− Tanah penutup tidak terlalu kedap
-
-
-
-
-

Sanitary Landfill Aerob


Gambar 4.8b Perkembangan landfill: semi aerobic landfill [18]

• Untuk mempercepat proses, udara disuplai ke timbunan


sampah
• Proses berlangsung sepenuhnya secara aerob seperti
pengompsoan biasa
• Bau dan gas metan dihindari. Proses degradasi optimal.

Gambar 9.8 Perkembangan landfill: aerobic landfill [66]

Berdasarkan karakter lahan (site):

Di Perancis misalnya, hubungan karakter permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar pembagian
landfill, yaitu [62]:
• Site landfill kelas 1 :
–7
− site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10 cm/detik
− migrasi leachate dapat diabaikan
− untuk limbah industri, termasuk limbah B3
• Site landfill kelas 2 :
–4 –7
− site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k) antara 10 sampai 10 cm/detik
− migrasi leachate lambat
− untuk limbah sejenis sampah kota
• Site landfill kelas 3 :
–4
− site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k) > 10 cm/detik
− migrasi leachate cepat untuk limbah inert dengan pencemaran diabaikan

Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug


Di beberapa negara maju, pembagian landfill saat ini dilakukan berdasarkan jenis limbah yang akan
diurug, seperti:
• Landfill sampah kota dan sejenisnya
• Landfill limbah industri
• Landfill yang menerima kedua jenis limbah tersebut, dikenal sebagai co-disposal

Di Jepang, landfill dibagi menjadi [63]:


• Landfill sampah domestik (sampah kota)
• Landfill industri, yang dibagi menjadi :

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 85
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− landfill untuk limbah industri yang stabil : limbah sisa bangunan, plastik, karet, logam dan
keramik (Gambar 9.9)
− landfill dengan shut-off : dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan dan air
tanah (Gambar 9.10).
− landfill limbah terdegradasi : oli, kertas, kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan adanya
pengolah lindi (Gambar 9.11)

Gambar 4.9: Landfill limbah stabil [63] Gambar 4.1 : Landfill dengan shut-off [63]

Landfill limbah B3 di Indonesia


Peraturan Bapedal – Indonesia tentang landfill (untuk limbah B3) membagi katagori landfill limbah B3
menjadi 3 jenis, yaitu [19]:
• Landfill katagori I: Landfill dengan liner ganda dari geomembran HDPE, digunakan untuk limbah
yang dinilai sangat berbahaya
• Landfill katagori II: seperti katagori I, namun dengan liner geomembran tunggal.
• Landfill katagori III: untuk limbah B3 yang dianggap tidak begitu berbahaya. Liner yang
–7
digunakan adalah clay dengan nilai permeabilitas lebih kecil dari 10 cm/detik. Landfill jenis
ini identik dengan landfill sampah kota (sanitary landfill) yang baik.
-

Gambar 4.11 : Landfill limbah terdegradasi [63]

Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate:

Di Jepang, landfill sampah kota dibagi berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi keharusan dari
sanitary landfill standar, serta penanggulangan leachate. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut
[63]:
a. Controlled tipping:
− Peningkatan dari open dumping. Calon lahan telah dipilih dan disiapkan secara baik.
− Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap hari
− Konsep ini banyak dianjurkan di Indonesia, dikenal sebagai controlled landfill
b. Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil:
− Peningkatan controlled tipping.
− Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun parit.
− Penutupan timbunan sampah dilakukan setiap hari, sehingga masalah bau, asap dan lalat dapat
dikurangi.
c. Sanitary landfill with leachate recirculation:
− Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 86
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

− Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar landfill ke penampungan (kolam)
− Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau langsung
ke timbunan sampah.
d. Sanitary landfill with leachate treatment:
− Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul
− Kemudian diolah secara lengkap seperti layaknya limbah cair
− Pengolahan yang diterapkan bisa secara biologi maupun secara kimia.

9.4 Aplikasi Landfill

Pengembangan landfill mencakup berbagai langkah aktivitas, baik yang bersifat teknis, maupun yang
sifatnya non-teknis, seperti kesesuaian dengan regulasi terkait. Perencanaan yang mengutamakan
kehati-hatian oleh pengelola atau calon pengelola sangat penting dikedepankan. Disamping
permasalahan sosial dan lingkungan yang selalu menyertai aplikasi landfill, pengembangan landfill
membutuhkan investasi dana untuk periode waktu yang cukup lama. Elemen biaya yang harus menjadi
pertimbangan adalah:
• Penentuan site, desain, analisis dampak lingkungan dan tahap konstruksi, paling tidak dibutuhkan
waktu 2 tahun
• Operasi, monitoring, dan administrasi : sesuai umur landfill
• Aktivitas penutupan : 1 sampai 2 tahun
• Monitoring dan pemeliharaan pasca-operasi : tergantung regulasi yang berlaku di sebuah negara.
Di Indonesia belum ada pengaturan untuk landfill sampah kota, tetapi paling tidak diperlukan
monitoring selama 5 tahun. Untuk landfill limbah B3, regulasi di Indonesia mensyaratkan 30 tahun
• Kegiatan remediasi : perlu dilakukan untuk menyehatkan kembali site atau air tanah yang tercemar.
• Terdapat beberapa langkah yang dibutuhkan, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 fase, yaitu:

Fase-1
Penentuan site merupakan fase tahapan studi kelayakan, yang terdiri dari langkah-1 sampai langkah-6,
yaitu :
• Langkah-1 : estimasi volume landfill yang dibutuhkan
• Langkah-2 : investigasi dan pemilihan calon site
• Langkah-3 : penentuan regulasi yang terkait
• Langkah-4 : penilaian opsi landfill sebagai sumber enersi dan recoveri bahan
• Langkah-5 : pertimbangan penggunaan site pasca operasi
• Langkah-6 : penentuan kecocokan site

Fase-2
Tahap desain dan analisis dampak lingkungan berdasarkan rancangan aktivitas, terdiri dari langkah-7
sampai langkah 12:
• Langkah-7 : desain area pengurugan dan pengembangan
• Langkah-8 : pengembangan rencana pengelolaan lindi
• Langkah-9 : pengembangan rencana monitoring lingkungan
• Langkah-10 : pengembangan rencana pengelolaan gas
• Langkah-11 : penyiapan spesifikasi tanah penutup
• Langkah-11 : penyiapan panduan pengoperasian
• Langkah-12 : analisa dampak lingkungan

Fase-3
Tahapan pengoperasian, terdiri dari langkah-13 sampai langkah-14
• Langkah-13 : kajian finansial untuk rencana pengoperasian, jaminan penutupan dan pasca
operasi
• Langkah-14 : pengoperasian landfill dan monitoring aktivitas

Fase-4
Tahapan pasca-operasi yang terdiri dari langkah-15 sampai langkah-16
• Langkah-15 : Penutupan landfill
• Langkah-16 : Pemantauan pasca operasi

Data site ini merupakan data utama, dengan catatan dapat berasal dari studi terdahulu yang dapat
dipertanggung jawabkan, dan memang merupakan studi di titik (lokasi) tersebut. Beberapa data harus
dikaji (diobservasi) ulang untuk mendukung perancangan nanti, yang antara lain mencakup:

Pengukuran topografi
• Peta situasi/kontur dengan level 0,5 m (minimum), disertai profil memanjang, melintang khususnya
rencana jalan akses
• Situasi bangunan-2 yg ada,
• Situasi jalan eksisting,

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 87
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

• Situasi mata air/badan air lain


• Situasi tanaman/pohon

Data hidrogeologi
• Bila tersedia : data geolistrik
• Data dari hasil bor tangan dan atau bor mesin tentang jenis tanah/batuan, sifat-sifat fisik, kedalaman,
posisi muka air tanah.
• Data laboratorium analisa tanah dari hasil bor log di atas, menyangkut informasi akurat tentang :
gradasi butiran, indeks plastisitas, bulk density, kadar air, porositas, permeabilitas, jenis mineral,
kapasitas sorpsi (KTK).
• Data hidrologi dan kualitas air:
− lokasi badan air dan sumber air
− arah aliran : dapat diperoleh dengan melakukan observasi sumur-sumur penduduk
− melakukan sampling air di hulu dan hilir rencana, dan analisa kualitas airnya di lab
• Data klimat dari stasiun meteorologi terdekat : data curah hujan lengkap selama paling tidak 10 tahun
terakhir, arah angin, potensi evaporasi dsb
• Bila tersedia : data hasil sondir untuk kebutuhan struktur bangunan. Kalau mungkin geolistrik: untuk
menduga akuifer di bawah. Untuk area 1 Ha dibutuhkan sekitar 4 titik


Untuk memperpanjang umur pemakaian TPA, maka salah satu solusi adalah pengolahan dan daur-ulang
sampah sebelum diurug, melalui reduksi volume sampah yang akan diurug, misalnya [9]:
− Pendaurulangan sampah (Reuse, Recycling, Recovery).
− Pembuatan kompos (Composting)
− Insinerasi.
Proses daur ulang berupa pemanfaatan kembali bahan-bahan yang ada pada sampah biasanya
dilaksanakan oleh pemulung. Bila dibandingkan dengan TPS, pemulungan sampah di TPA di beberapa
kota di Indonesia rata-rata memiliki persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira 5% dari sampah yang
tiba di TPA. Proses pendaur-ulangan pada tingkat sumber memiliki tingkat keberhasilan yang relatif
rendah. Sehingga masih banyak dijumpai bahan/material bernilai guna yang masih terangkut bersama
sampah ke TPA. Kegiatan pendaurulangan yang efektif justru banyak terdapat pada lahan TPA.
Pelakunya adalah para lapak dan pemulung yang mengkonsentrasikan kegiatan di TPA. Di sisi lain,
keberadaan para pemulung seringkali menimbulkan masalah terhadap pengelolaan sampah di TPA
karena kegiatan pemulung memang belum diatur, sehingga keberadaannya dapat mengganggu
operasional lahan TPA.

Sebelum isu pemanasan global mencuat luas, maka isu dampak negatif aplikasi landfilling lebih banyak
ditujukan pada pencemaran akibat leachate, dan timbulnya bau serta gangguan lingkungan, kesehatan
dan estetika lainnya. Sejak isu pemanasan global mendunia, maka sorotan penggunaan landfill untuk
sampah yang mengandung bahan organik tinggi mendapat perhatian besar. Landfill bisa dipastikan akan
mengemisi gas metan, gas yang dianggap mempunyai potensi gas rumah kaca sebesar 21 kali gas CO2.
Landfill dianggap sumber utama gas rumah kaca dari kegiatan pengelolaan limbah. Dengan adanya isu
ini, maka negara-negara maju sangat membatasi kadar organik limbah yang boleh masuk ke landfill:
− Negara Eropa membatasi kadar organik yang boleh terkandung dalam limbah yang akan di-landfill
yaitu maksimum 5%. Upaya yang banyak diterapkan di negara-negara tersebut adalah insinerasi
limbah, atau melakukan proses reduksi bahan organik melalui konsep Mechanical Biological
Treatment (MBT), yaitu sebagai pretreatment sampah yang akan diurug, melalui pemotongan,
dilanjutkan dengan aerasi sampah, yang pada dasarnya adalah proses pengomposan. Produk dari
proses MBT ini di negara Eropa dianggap bukan kompos, karena kualitasnya yang tidak memenuhi
persyaratan. Produk ini setelah memenuhi batas kadar organik, baru boleh diurug dari sebuah
landfill
− Sejalan dengan negara Eropa, maka Jepang sangat membatasi aplikasi landfilling. Hanya abu
insinerasi saja yang boleh diurug dari sebuah landfill. Karena dalam abu insinerasi tersebut
terkonsentrasi logam berat, maka aplikasi landfilling yang digunakan menganut landfilling limbah B3,
termasuk penggunaan closed landfill, yaitu seluruh penimbunan sampah dilaksanakan di dalam area
tertutup dengan menggunakan atap. Setelah dilakukan penutupan final yang kedap, maka struktur
atap tersebut kemudian dapat dipindahkan ke area atau sel lain yang akan aktif.

Berdasarkan UU18/2008, penanganan sampah di TPA yang selama ini umum diterapkan di Indonesia
yaitu dengan open dumping harus diubah secara keseluruhan. Bab XVI (Peralihan) Ps 44 dari UU
tersebut mengamanatkan bahwa:
(1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan TPA sampah yang menggunakan
sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut
(2) Pemerintah daerah harus menutup TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka
paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.

Ada berbagai dampak merugikan yang dapat ditimbulkan oleh landfilling ini, yaitu [55]:

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 88
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

a. Pencemaran air tanah yang disebabkan oleh lindi (leachate). Tidak adanya lapisan dasar dan tanah
penutup akan menyebabkan leachate yang semakin banyak dan akan dapat mencemari air tanah
b. Pencemaran udara akibat gas, bau dan debu. Ketiadaan tanah penutup akan menyebabkan polusi
udara tidak teredam. Produksi gas yang timbul dari degradasi materi sampah akan menyebabkan
bau yang tidak sedap dan juga ditambah dengan debu yang beterbangan.
c. Resiko kebakaran cukup besar. Degradasi materi organik yang terdapat dalam sampah akan
menimbulkan gas yang mudah terbakar seperti metan. Tanpa penanganan yang baik gas ini dapat
memicu kebakaran di TPA. Kebakaran selalu terjadi dalam lahan TPA yang menggunakan metode
open dumping.
d. Berkembangnya berbagai vektor penyakit seperti tikus, lalat dan nyamuk. Berbagai vektor penyakit
senang bersarang ditimbunan sampah karena merupakan sumber makanan mereka. Salah satu
fungsi dari penutupan sampah dengan tanah adalah mencegah tumbuh dan berkembangbiaknya
vektor penyakit tersebut.
e. Berkurangnya estetika lingkungan. Karena lahan tidak dikelola secara baik, maka dalam jangka
panjang lahan tidak dapat digunakan kembali secara baik.

9.5 Langkah Kerekayasaan dalam Aplikasi Landfilling

Karena metode landfilling sensitif terhadap terjadinya pencemaran, khususnya akibat timbulnya lindi,
maka aplikasi landfilling membutuhkan serangkaian langkah engineering (rekayasa), yang bersasaran
mengurangi dampak tersebut, yaitu [61]:
− Pemilihan site agar dampak negatif dapat dikurangi
− Perancangan secara rakayasa sarana dan prasarana landfill
− Pengoperasian landfill dengan kaidah-kaidah yang benar
− Pemantauan sarana baik selama masa operasi, maupun pada pasca operasi

Pemilihan Calon Lokasi Pengurugan

Tahapan dalam proses pemilihan lokasi landrilling adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari
calon lokasi yang dianggap potensial. Dalam proses ini kriteria digunakan semaksimal mungkin guna
proses penyaringan. Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik,
digunakan beberapa tolok ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan.
Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Ada beberapa metode penilaian calon lokasi yang
diterapkan di Indonesia, yang paling sederhana adalah SNI T-11-1991-03 [64], khususnya untuk site di
kota kecil. Metode lain antaranya adalah Metode Le Grand [65].

Gambar 9.6 Pengurugan Sampah pada Lahan Tersedia

Secara umum pemilihan site landfilling dalam SNI T-11-1991-03 dibagi berdasarkan 3 (tiga) tahapan,
yaitu [64, 65]:
a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat
dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 89
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

b. Tahap penyisihan yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di
antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Pada tahap ini
disusun beberapa parameter penentu disertai bobot dan nilainya.
c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi tepilih sesuai dengan kebijaksanaan
instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.
Persyaratan umum lokasi pembuangan akhir berdasarkan cara tersebut adalah sebagai berikut:
− Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah.
− Jenis tanah kedap air.
− Daerah yang tidak produktif untuk pertanian.
− Dapat dipakai minimal untuk 5 - 10 tahun.
− Tidak membahayakan/mencemarkan sumber air.
− Jarak dari daerah pusat pelayanan ± 10 km.
− Daerah yang bebas banjir.

Penilaian berdasarkan Metode Le Grand [65] digunakan untuk menilai suatu calon lokasi, khususnya
ditinjau dari sudut hidrogeologi. Terdapat 10 langkah dalam penilaian tersebut, yaitu:
Langkah 1: menentukan jarak horizontal antara lokasi dengan sumber air minum.
Langkah 2: menentukan jarak vertikal (kedalaman) muka air tanah terhadap dasar lahan urug.
Langkah 3: menentukan kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya.
Langkah 4: menetukan potensi pencemaran dan kemampuan sorpsi.
Langkah 5: catatan tentang keakuratan data.
Langkah 6: catatan tentang kondisi sekitar.
Langkah 7: penentuan deskripsi hidrogeologi calon lokasi berdasarkan langkah 1 sampai 6
Langkah 8: penentuan kaitan jenis limbah dengan media tanah di bawah site.
Langkah 9: penentuan Protection of Aquifer Rating (PAR) berdasarkan langkah 7 dan langkah 8
Langkah 10: iterasi ulang bila terjadi perbaikan site dengan masukan teknologi

9.6 Penyiapan Sarana dan Prasarana

Lahan di lokasi TPA yang direncanakan biasanya dibagi menjadi:


a. Lahan Efektif: merupakan bagian lahan yang digunakan sebagai lokasi pengurugan atau
penimbunan sampah. Lahan efektif direncanakan sebesar ± 70% dari luas total keseluruhan TPA
b. Lahan Utilitas: merupakan bangunan atau sarana lain di TPA khususnya agar pengurugan dan
kegiatan lainnya dapat berlangsung, seperti jalan, jembatan timbang, bangunan kantor, hanggar,
bangunan pengolah leachate, bangunan pencucian kendaraan, daerah buffer (pohon-pohon)
lingkungan, dan sebagainya. Lahan utilitas direncanakan luasnya mencapai sekitar 30% dari lahan
yang tersedia. Lahan utilitas ini akan mengakomodasi berbagai sarana dan prasarana penunjang
yang diperlukan dalam pengelolaan site.

Sarana dan prasarana di sebuah kegiatan TPA akan terdiri dari:


a. Sarana untuk perlindungan terhadap lingkungan:
− Sistem liner dasar dan dinding yang kedap
− Drainase sekeling TPA dan dalam area pengurugan sampah
− Sarana penangkap, pengumpul dan pengolah lindi
− Sumur pemantau
− Ventilasi gasbio
− Sarana analisa air
− Jalur hijau penyangga
− Pengendali vektor
b.Peralatan untuk pengoperasian:
− Alat berat: trackloader dan bulldozer
− Stok tanah penutup
− Alat transportasi lokal
− Cadangan bahan bakar
− Cadangan insektisida
− Pelataran pengurugan
c. Sarana penunjang:
− Pagar dan papan nama site
− Jembatan timbang
− Pos penjaga, kantor, garasi, rumah penjaga, gudang, workshop, bengkel, tempat cuci mobil
− Jalan akses dan operasi
− Fasilitas pengolahan selain pengurugan : daur ulang, pengomposan, insinerasi, dan lain-lain
− Prasarana penunjang (hidrant kebakaran, reservoir penampungan air, sumur pemantauan, dan lain-
lain).
− Lahan penunjang kegiatan lain, seperti transit sampah, dsb

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 90
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Sistem Pengelolaan Lindi (Leachate)

Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi
terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan
sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan
dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis.

Secara teoritis leachate tidak akan keluar dari timbunan sampah sebelum kapasitas serap air dari
sampah terlampaui. Kualitas dan kuantitas leachate tergantung dari banyak faktor, antara lain
karakteristik dan komposisi sampah, jenis tanah penutup, iklim, kondisi kelembaban dalam timbulan
sampah serta waktu penimbunan sampah. Tanah penutup yang baik dapat mencegah atau meminimasi
air yang masuk kedalam lahan urug, terutama berasal dari air hujan. Penetrasi air yang masuk
merupakan sumber terbentuknya leachate yang merupakan pencemar bagi lingkungan. Semakin banyak
air yang masuk maka semakin banyak pula leachate yang ditimbulkan dan yang harus dikelola. Secara
umum leachate mengandung zat organik dan anorganik dengan konsentrasi tinggi, terutama pada
timbunan sampah yang masih baru. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah TPA yang baik tidak
terlepas dari pengelolaan leachatenya [61]. Gambar 9.7 merupakan skema umum dalam memprediksi
timbulan lindi. Beberapa perangkat lunak tersedia di pasar untuk mempermudah perhitungan tersebut.

Presipitasi (P)
Evapotranspirasi
(ET)
Run Off (RO)

Moisture Storage (ST)

Perkolasi Lindi =
P - RO - ET - ST

Gambar 9.7: Neraca Air [61]

Untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan lindi, ada beberapa cara yang dapat digunakan,
antara lain:
− Penggunaan lapisan tanah penutup, baik lapisan tanah penutup harian, antara, maupun akhir.
− Pemakaian lapisan dasar/liner untuk mencegah lindi berinfiltrasi ke air tanah.
− Penyediaan sarana pengolah lindi yang dihasilkan, termasuk di antaranya pemasangan saluran lindi
di lapisan dasar, pembangunan saluran drainase, dan penerapan pengolah lindi. Pengolah lindi
yang banyak digunakan di Indonesia hingga saat ini adalah kontak stabilisasi, kolam oksidasi, yang
dipilih berdasarkan kesederhanaan serta tersedianya sinar matahari.
Pengadaan sistem pengolahan leachate sangat diperlukan untuk mengurangi beban pencemaran
terhadap badan air penerima. Lindi yang telah terkumpul diolah terlebih dahulu sehingga mencapai
standar aman untuk kemudian dibuang ke dalam badan air penerima. Diharapkan setelah dilakukan
pengolahan tidak terjadi pencemaran terhadap lingkungan sekitar, baik terhadap sungai maupun air
tanah. Masalah yang dihadapi adalah bahwa debit lindi yang keluar dari timbunan sampah sangat
berfluktuasi.

Sistem Pengelolaan Gas

Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik mengakibatkan produksi gas. Gas
bio adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian materi organik oleh mikroorganisme dalam
kondisi anaerob. Gas-gas yang dihasilkan dari proses penguraian antara lain gas metan (CH4),
karbondioksida (CO2), uap air (H2O), gas nitrogen (N2), dan lain-lain. Dalam perencanaan suatu landfill,
pembentukan gas perlu diperhatikan. Metan merupakan gas yang eksplosif, dapat meledak jika
terkonsentrasi hingga 5 sampai 15% di udara. Karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan
mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik.

Untuk menghilangkan pengaruh negatif yang ditimbulkan maka perlu pengelolaan gas bio yang
dihasilkan oleh landfill. Gas bio ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembantu. Produksi gas
metan dapat diperkirakan secara stoichiometri. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 91
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

mikroorganisme, khususnya bakteri metanogene, antara lain : pH (optimum 6,6-7,6), temperatur


(optimum 35-55ºC), kandungan air (optimum 45-60%), dan ketersediaan makro-mikro nutrisi yang
dibutuhkan (ratio C/N antara 35-40).

Sebelum dimanfaatkan, gas bio harus melalui proses pemurnian agar didapatkan hasil yang
memuaskan. Proses pemurnian ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan uap air dalam gas, dan
memisahkan gas-gas yang tidak diinginkan. Selain memiliki nilai ekonomis untuk menghemat pemakaian
bahan bakar utama, pemanfaatan gas bio pada insinerator dari penelitian yang ada ternyata dapat juga
mengurangi potensi terjadinya pencemaran udara pada proses insinerasi.

Aplikasi penangkapan gas bio dari suatu landfill bersasaran ganda, yaitu untuk mengontrol emisi gas-gas
yang terbuang dan untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan. Sistem penangkapan gas bio terdiri
atas 3 (tiga)jenis, yaitu: sistem horizontal, sistem vertikal, dan sistem gabungan horizontal dan vertikal.

9.7 Pengoperasian Landfill di TPA

Lahan yang tersedia di sebuah TPA tidak semua dapat digunakan untuk pengurugan atau penimbunan
sampah. Prasarana lain perlu dipertimbangkan seperti : area pengolah lindi, jalan akses dan operasi,
jalur hijau/area penyangga, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar 20-30 % dari luas lahan yang ada akan
terpakai untuk kebutuhan tersebut, di luar kebutuhan untuk pengurugan dan penimbunan. Pengupasan
dinding dan dasar lahan jelas akan menambah kapasitasnya di samping akan diperoleh tanah penutup.
Namun pengupasan tanah dasar memerlukan kehati-hatian. Beberapa pertimbangan yang
membutuhkan observasi lapangan terlebih dahulu guna menentukan seberapa dalam dasar sebuah TPA
boleh dikupas, adalah muka air tanah, struktur geologi, dan kemampuan pengelola untuk melaksanakan.

Jarak yang dipersyaratkan antara dasar landfill dengan muka air tanah adalah 3,0 meter atau lebih,
sehingga memungkinkan adanya zone penyangga dari tanah tersebut andaikata lindi dari sampah di
-6
atasnya merembes ke bawah. Lapisan tersebut harus mempunyai kelulusan minimum sebesar 10
cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama bagi lindi tersebut untuk mencapai air tanah.
Struktur geologi (litologi) perlu mendapat perhatian. Pengupasan yang tidak disertai data lapangan akan
mengakibatkan masalah misalnya:
− Terdapatnya lapisan yang sulit untuk dikupas.
− Terdapatnya lapisan yang tidak diinginkan.
Di atas kertas memang tidak ada masalah untuk mengupas lahan rencana sampai kedalaman
berapapun, namun kenyataan di lapangan mungkin akan berbeda terutama bila pengelola TPA tidak
disiapkan untuk itu, misalnya tidak tersedianya alat berat untuk melaksanakannya. Keuntungan lain yang
diperoleh dengan pengupasan dasar adalah tersedianya slope dasar dengan besar dan arah kemiringan
yang diinginkan, sehingga memudahkan pengelolaan lindi. Konsekuensinya, pengupasan yang kurang
sistematis akan mengubah rancangan dari dasar landfill sehingga dapat menimbulkan masalah dalam
mengalirkan lindi.

Ketinggian maksimum timbunan sampah akan menentukan lanskap akhir dari landfill tersebut kelak.
Tentunya diinginkan sebuah landfill yang bila telah ditutup akan menyatu dengan lingkungannya serta
sesuai dengan fungsinya. Di samping itu. ketinggian maksimurn juga hendaknya mempertimbangkan
kemampuan operasi penimbunan sampah serta kestabilan dari timbunan tersebut. Grading final dari
sebuah landfill tidak ditentukan secara sembarang, namun hendaknya dirancang dari awal disesuaikan
dengan kondisi lanskap sekitarnya atau kegunaan lahan tersebut setelah pasca operasi.

Oleh karena pengukuran timbulan sampah yang diterapkan di Indonesia adalah dengan. satuan volume
(basah), maka pengukuran ini membutuhkan dibedakannya kepadatan (bulk density) sampah dalam
berbagai keadaan. Kepadatan sampah pada bak sampah di rumah adalah tidak sama dengan kepadatan
sampah di gerobak (yang kadangkala diperpadat dengan penginjakan oleh petugas). Selanjutnya,
kepadatan pada alat transportasi akan ditentukan oleh jenis truk dan mekanisme pemadatannya.
Demikian pula kepadatan di urugan akan ditentukan oleh aplikasi alat berat serta jenisnya. Secara
teoritis, kepadatan sampah di suatu tempat akan tergantung pada ketinggian sampah tersebut. Dengan
demikian estimasi kebutuhan site landfilling yang langsung dihitung dari timbulan di sumber akan
menghasilkan prakiraan yang berlebihan bila landfill tersebut dioperasikan secara lapis per lapis dan
dipadatkan dengan alat berat. Secara praktis kepadatan di urugan dapat dihitung berdasarkan angka
3 3
0,60-0,65 ton/m . Sedang kepadatan sampah di truk pengangkut sekitar 0,30-0,35 ton/m .

Ketersediaan tanah penutup memegang peranan sangat penting agar landfilling tersebut dapat
beroperasi secara baik. Biasanya sebuah landfill yang dirancang secara baik akhimya menjadi open
dumping akibat masalah tanah penutup yang tidak diterapkan karena berbagai alasan. Pengamatan di
landfill TPA Sukamiskin pada tahun pertama aplikasi lahan-urug saniter dengan tanah penutup harian
menghasilkan rasio tanah penutup antara 19-31 % dari volume sampah yang masuk (untuk kapasitas
3
operasi 500-1000 m per hari). Tambah tinggi kapasitas operasi, tambah kecil rasio tersebut. Angka
tersebut masih terlalu tinggi mengingat di sektor inilah biaya operasi sebuah TPA banyak terserap.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 92
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

Penelitian di pilot skala kecil di TPA Bogor menghasilkan angka sekitar 15-20 %. Angka ini akan
mengecil lagi pada lahan urug terkendali yang mengaplikasikan tanah penutup tidak setiap hari [65].

Penanganan sampah yang baik di area penimbunan akan meningkatkan masa layan lahan. Pembagian
lahan menjadi beberapa area kerja akan memudahkan dalam pengelolaan lahan secara keseluruhan, di
sarnping dapat mendata jumlah dan jenis sampah yang masuk ke dalam area kerja tersebut. Peranan
pengurugan, penyebaran, dan pemadatan sampah secara lapis per lapis akan menambah kepadatan
sampah dibandingkan bila dilakukan sekaligus sampai ketinggian tertentu. Di samping itu, aplikasi
timbunan sampah semacarn itu akan memungkinkan berlangsungnya fase aerobik yang lebih larna,
sehingga akan mempercepat stabilitas sampah. Penelitian pada timbunan sampah setinggi 2,0 meter
yang ditutup tanah penutup setebal 20 cm terungkap bahwa timbunan tersebut akan tetap
0
memungkinkan fase aerobik yang ditandai dengan panas timbunan di sekitar 50 C. Konsep timbunan
aerobik tersebut sebetulnya dapat pula dikembangkan lebih jauh misalnya dengan mengatur agar suatu
timbunan sampah dibiarkan sampai sekitar 10-15 hari sebelum di atasnya ditimbun sampah baru.

Adanya penurunan permukaan (settlement) timbunan sampah, baik secara mekanis maupun biologis,
akan menambah kapasitas lahan sehingga memperlama masa layan. Namun sebaiknya asumsi
settlement karena proses biologis tidak diperhitungkan dalam perancangan, karena [65]:
- Degradasi yang terjadi belurn tentu diikuti oleh settlement.
- Andaikata terjadi akan mernbutuhkan waktu yang sulit diukur, Penelitlan sekala pilot menunjukkan
bahwa settlement mekanis maksimum adalah sebesar 15-25% dari tinggi awal, yang terjadi pada
minggu pertama. Penurunan ini terjadi akibat konsolidasi sampah. Setelah itu tinggi permukaan
landfill relatif stabil.
- Pemadatan sampah di timbunan dengan mengandalkan alat berat dozer atau loader yang biasa
3
digunakan di TPA Indonesia akan menghasilkan kepadatan timbunan sampai 0,70 ton/m .

Masalah ketersediaan liner dan tanah penutup merupakan kendala yang berkaitan dengan biaya OM.
Tanah penutup antara lain efektif untuk mencegah adanya lalat. Penelitian yang dilaksanakan di Bogor
menunjukkan bahwa populasi lalat akan turun dengan sendirinya di timbunan yang telah berumur lebih
dari 7 hari. Oleh karena itu, bila dalam sebuah lahan-urug belum dapat mensyaratkan aplikasi tanah
penutup harian, maka paling tidak aplikasi tanah penutup dilaksanakan setidak-tidaknya sebelum 5 hari.
Berbeda halnya dengan liner, maka tanah penutup disarankan untuk tidak terlalu kedap agar proses
penguraian sampah secara aerobik masih bisa berlangsung dengan baik pada sel timbunan teratas. Nilai
-4 5
kelulusan antara 10 sampal 10- cm/det cukup baik untuk itu. Di samping itu agar tanah penutup tidak
retak pada saat panas, maka Indeks Plastisitas (IP) tanah yang baik adalah lebih kecil dari 40%. Bila
tidak, maka sebaiknya tanah tersebut dicampur dengan tanah tertentu (seperti pasir) agar memperkecil
IP tersebut.

Pemantauan dan Pemanfaatan Lahan TPA Pasca Operasi

Selama pengoperasian, perlu dilakukan pemantauan terus menerus, khususnya terhadap kualitas
sampah yang masuk, kuantitasi kualitas lindi yang dihasilkan, kualitas lindi hasil pengolahan, kuantitas
dan kualitas gasbio dan penyebarannya, kualitas lingkungan lainnya sekitar lokasi TPA, khususnya
masalah bau, air tanah dan sumur-sumur penduduk, air sungai, kemungkinan terjadinya longsor, dsb.
Pemantauan juga perlu dilaksanakan setela pasca operasi, paling tidak selama 10 tahun terhadap
leachate, gasbio dan settelement.

Lahan TPA setelah pengoperasian akan berupa suatu areal kosong yang cukup luas. Keberadaan area
ini dapat difungsikan menjadi berbagai macam kegunaan, diantaranya area rekreasi, taman, lahan
penghijauan, lahan pertanian atau perkebunan, fasilitas komersial. Operasi penambangan kembali
sampah yang sudah tua dalam urugan (landfill mining) untuk diolah dijadikan kompos, dan tanah
penutup juga sudah banyak diterapkan sehingga lahannya dapat dijadikan lahan TPA lagi.

9.8 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Kota di Indonesia [67]

Sampah perkotaan akan tetap merupakan salah satu persoalan yang rumit yang dihadapi oleh pengelola
kota dalam menyediakan sarana dan prasarana perkotaannya. Di samping persoalan bagaimana
menyingkirkan sampah secara baik agar kota tersebut menjadi bersih dan tidak mengganggu
lingkungan, namun pula bagaimana daerah yang kebetulan terpilih untuk lokasi tempat pembuangan
akhir (TPA) tidak mengalami degradasi kualitas lingkungan akibat adanya TPA tersebut. Kegiatan umum
yang dilaksanakan di sebuah TPA adalah pengurugan atau penimbunan sampah di lahan yang tersedia.

Untuk mendapatkan lokasi TPA yang cocok dari sudut biaya dan teknis memang terasa makin sulit,
namun aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah tersebut agaknya akan tetap merupakan pilihan
bagi kota-kota di Indonesia pada masa mendatang. Di samping alasan bahwa landfilling adalah relatif

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 93
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

mudah, luwes, dan murah, maka alasan lainnya adalah bahwa cara ini dianggap tuntas dalam
menangani sampah.

Masyarakat luas di lndonesia agaknya sampai sekarang masih menganggap sebuah TPA yang aktivitas
utamanya adalah landfilling selalu identik dengan open dumping, sehingga metode yang lebih baik,
semacam sanitary landfill akan dicurigai sebagai open dumping. Hal ini tidak mengherankan, karena
sampai saat ini masih banyak pengelola persampahan yang menganggap bahwa sebuah TPA hanyalah
sekedar tempat untuk menyingkirkan sampah agar kotanya menjadi bersih. Banyak dijumpai bahwa
sebuah TPA hanya dioperasikan oleh seorang sopir bulldozer, atau hanya mengandalkan sopir truk
sampah dalam menuang sampahnya. Tidak terdapat rencana pengelolaan lahan yang baik dan
sistematis agar TPA tersebut bisa berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu Iingkungan. Alasan
yang biasa terdengar adalah karena tingginya biaya dari sebuah TPA yang baik. Kontrol terhadap
aplikasi inipun masih sangat lemah. Tidak jarang dijumpai, bahwa sebuah TPA sampah kota menerima
buangan industri, atau bahkan dari jenis limbah B-3 yang berkatagori infectious misalnya dari rurnah
sakit, yang tentunya akan dapat mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Sebuah TPA yang telah
dirancang dan disiapkan sebagai lahan-urug saniter akan dengan mudah berubah menjadi sebuah open
dumping bila pengelola TPA tersebut tidak secara konsekuen menerapkan aturan-aturan yang berlaku.
TPA tersebut akan menjadi semrawut, bau, berasap, dan lindinya menyebar ke arah yang tidak
diinginkan. Pencemaran sumber air minum penduduk sekitarnya oleh lindi merupakan salah satu
masalah yang paling serius dalam aplikasi pengurugan sampah ke dalam tanah.

Pada awal tahun 1990-an metode transisi yaitu lahan-urug terkendali (controlled landfill) diperkenalkan
oleh Dept PU terutama untuk kota-kota kecil dan sedang, antara lain dengan menunda kriteria waktu
penutupan harian menjadi 5 – 7 hari sesuai dengan siklus lalat. Tetapi ternyata sampai saat ini metode
inipun tetap dianggap mahal oleh pengelola kota atau pengelola persampahan.

Pilihan lain yang saat ini banyak menarik perhatian adalah mengaitkan pengelolaan sampah yang
berada di TPA dengan mekanisme pembangunan bersih, atau dikenal sebagai clean mechanisme
development (CDM) yang dikaitkan dengan Kyoto Protocol dalam upaya global mereduksi emisi gas
rumah kaca. Indonesia telah meratifikasi protocol ini sehingga dapat memanfaatkan peluang
‘perdagangan’ karbon yang saling menguntungkan. Prinsip umum dalam CDM adalah, negara-negara
industri yang termasuk dalam negara ‘Annex’ dari protokol tersebut mempunyai komitmen pengurangan
emisi CO2 di negara masing-masing. Namun penurunan CO2 berarti akan terkait dengan upaya
peningkatan efisiensi industri di negara tersebut atau melalui pengurangan aktivitas ekonomi yang
mungkin sulit dilakukan. Oleh karenya, negara berkembang yang meratifikasi protokol tersebut dapat
melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di negaranya, yang dapat ‘dijual’ kepada negara inustri
tersebut. Salah satu kegiatan yang dianggap berpotensi dalam upaya tersebut adalah bila gas metan
yang dihasilkan di sebuah TPA tidak dibiarkan terlepas tanpa kontrol ke udara bebas. Dengan perbaikan
TPA dan pemasangan sistem penangkap gas, maka gas bio yang dihasilkan akan dapat diarahkan untuk
dimanfaatkan, atau paling tidak melalui pembakaran sehingga terkonversi menjadi CO2. Gas CH4 dikenal
mempunyai potensi gas rumah kaca 21 kali dibandingkan CO2. Banyaknya CH4 yang dapat dikonversi
menjadi CO2 inilah yang di ‘hargai’ dengan harga tertentu oleh negara pembeli. Tentu saja, proses ini
membutuhkan sebuah mekanisme verifikasi yang panjang untuk sampai pada kesepakatan perdagangan
CO2 tersebut.

Sampai saat diktat ini ditulis, maka terdapat 4 TPA di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan
teknis yang dilaksanakan oleh calon investor masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi karbon
dari PBB, yaitu:
− TPA Suwung di Denpasar: status potensinya telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC No.
0938), sehingga menunggu persetujuan metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan sertifikat
− TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA Palembang: potensinya sedang dalam proses verivikasi
secara intensif
Secara finansial, bila ‘perdagangan’ emisi gas rumah kaca ini akhirnya disepakati oleh pembeli, maka
untuk setiap ton ekivalen CO2 tersebut akan mendapatkan kompensasi, yang menurut perhitungan akan
dapat menutup biaya operasional TPA tersebut, disamping adanya keuntungan bagi investor/operator
yang melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan kaidah bisnis komersial biasa.

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 94
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

DAFTAR
REFERENSI



1. E.
 Damanhuri
 (Editor):
 Teknik
 Pengelolaan
 Persampahan
 –
 Modul
 A
 dan
 Modul
 B,
 Disiapkan

untuk
PT
Freeport
Indonesia,
Teknik
Lingkungan
ITB,
Agustus
1999

2. Pemerintah
Indonesia:
Undang‐Undang
Pengelolaan
Sampah,
7
Mei
2008

3. E.
 Damanhuri:
 Pengelolaan
 Limbah
 
 dalam
 Life
 Cycle
 Analysis
 (LCA)
 ‐
 Tinjauan
 Limbah
 Cair,

Limbah
Padat
dan
B3,
Pelatihan
Product
Life
Cycle
Analysis,
PPLH
ITBH,
3–15Mei
1999


4. G.H.
 Tchobanoglous,
 H.
 Theissen,
 S.A.
 Vigil:
 Integrated
 Solid
 Waste
 Management,
 McGraw

Hill,
1993


5. D.G.
 WILSON
 (Editor):
 Handbook
 of
 Solid
 Waste
 Management,
 Van
 Nostrand
 Reinhold

Company,
1977



6. BPPT:
 Model
 Pengelolaan
 Persampahan
 Perkotaan,
 Deputi
 Pengkajian Kebijakan Teknologi,
Oktober 2002
7. SK SNI 19-2454-1991 dan SNI 19-3242-1994 : Tata Cara Pengelolaan Sampah Perkotaan
8. Kementrian Lingkungan Hidup: Statistik Pengelolaan Sampah Tahun 2008.
9. E. Damanhuri: Permasalahan dan Alternatif Teknologi Pengelolaan Sampah
Kota
di
Indonesia,

Seminar Teknologi untuk Negeri – BPPT, Jakarta 20-22 Mei 2003
10. E. Damanhuri: Pembahasan tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Workshop Pembahasan
Rancangan Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum 10-8-2001 di Jakarta.

11. E.
 Damanhuri:
 Pengelolaan
Sampah
 di
Kawasan
Metropolitan
‐
 Minimasi
Sampah
Terangkut

dan
Optimasi
TPA
,
Workshop
Pengelolaan
Sampah
Jakarta,
Jakarta
15‐11‐2001

12. E.
 Damanhuri:
 Solid
 and
 Hazardous
 Waste
 Management
 in
 Indonesia,
 Proceedings
 on

Environmental
Technology
&
Management
Seminar,
January
9‐10,

2002


13. H.
 Poerbo:
 Konsep
 Kawasan
 Industri
 Terpadu
 Sampah
 sebagai
 Sistem
 Pengelolaan
 Sampah

Terpadu,
Seminar
Konsep
Alternatif
Pengelolaan
Sampah
Mencari
Jawaban
untuk
Kota‐kota
di

Indonesia,
PPT
–
PPLH
ITB,
1991

14. Departemen
 Permukiman
 dan
 Prasarana
 Wilayah:
 Pedoman
 Pengelolaan
 Persampahan

Perkotaan
bagi
Pelaksana,
2003


15. E.
 Damanhuri,
 
 T.
 Padmi,
 N.
 Azhar,
 L.T.
 Meilany
 :
 Pengkajian
 Laju
 Timbulan
 Sampah
 di

Indonesia,
Pus.Lit.Bang.Pemukiman
Dept
PU
‐
LPM
ITB,
1989

16. SNI
 S
 04‐1993‐03
 Standar
 Spesifikasi
 Timbulan
 Sampah
 untuk
 Kota
 Kecil
 dan
 Kota
 Sedang
 di

Indonesia


17. E.
Damanhuri
dan
Tri
Padmi:
Probleme
de
Dechets
Urban
en
Indonesie,
TFE
ENTPE
(Perancis),

1982



18. LIPI:
Komposisi
dan
Karakteristik
Sampah
Bandung,
PD.
Kebersihan
Bandung,
LIPI
dan
Jurusan

TL‐
ITB,
1994


19. E. Damanhuri, W. Handoko, T. Padmi: Municipal Solid Waste Management in Indonesia, in
Municipal Solid Waste Management in Asia and the Pacific Islands - Editors: Agamuthu P,
Masaru Tanaka, Penerbit ITB, 2010

20. S.
J.

Cointreau:
Environmental
Management
 of
Urban
Solid
 Wastes
 in
 Developing
 Countries,

the
World
Bank,
June
1982

21. SNI
 19‐3964‐1995
 
 dan
 SNI
 M
 36‐1991‐03
 Metode
 Pengambilan
 dan
 Pengukuran
 Contoh

Timbulan
dan
Komposisi
Sampah
Perkotaan

nd
22. N.C.
Thanh
(Editor):
Waste
Disposal
and
Resource
Recovery,
Proceedind
2 
Regional
Seminar

on
Solid
Waste
,
Bangkok,
1979

23. A.
 Hasbul:
 Pengaruh
 Timbulan
 dan
 Karakteristik
 Sampah
 terhadap
 Sistem
 Pewadahan
 dan

Pengangkutannya,
Tugas
Akhir
pada
Jurusan
TL
ITB,
1988

24. E. Damanhuri, I Made Wahyu, T. Padmi: Evaluation of waste recycling potential in Bandung
Municipal Solid Waste, World Review of Science, Technology and Sust. Development, Vol. 7,
No. 3, 2010 , Copyright © 2010 Inderscience Enterprises Ltd., pp 282-295

25. T.
Padmi,
E.
Rachmawati
:
Timbulan
dan
Karakteristik
Sampah
Kota
Bandung,
Jurusan
Teknik

Lingkungan
ITB
–
PD
Kebersihan
Kodya
Bandung,
1988

26. US‐EPA:
 SWM
 in
 Residential
 Complexes,
 Greenleaf/Teleska
 ‐
 Planners,
 Engineers
 and

Architect,

Washington
DC,
USEPA,
SW
35C,
1971



27. E.
 Damanhuri:
 Diktat
 Kuliah
 Pengelolaan
 Limbah
 B3
 TL‐352,
 
 Teknik
 Lingkungan
 ITB,
 Edisi

Semeter
II
1993/1994



Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 95
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

28. E.
 Damanhuri:
 Minimasi
 Limbah
 Domestik,
 
 Pelatihan
 Minimasi
 Limbah
 B3
 PPLH
 ITB,
 
 4‐11‐
1997

29. Minsitry
of
Environment:
Japan’s
Experience
in
Promotion
of
the
3Rs,
Japan,
April
2005

30. CRC
Mohanty:
3R
Initiative
in
Asia
and
Best
Practice,
UNCRD,
6‐7
September
2006,
Jakarta

31. A.F.M.
Barton:
Resource
Recovery
and
Recycling,
John
Wiley
&
Sons,
1979


nd
32. G.
Tchobanoglous,
F.
Kreith:
Handbook
of
Solid
Waste
Management
,
McGrawHill,
2 
Edition;

2002

33. P.A.
 Vesilind,
 A..E.
 Rimer:
 Unit
 Operations
 in
 Resource
 Recovery
 Engineering,
 Prentice‐Hall

Inc.,1981

34. H.F.
Lund:
The
McGraw‐Hill
Recycling
Handbook,
McGraw‐Hill,
1993

35. Yayasan
 Waskita
 Dian
 Persada:
Perumusan
 Konsep
 Integrasi
 Sistem
 Informal
 Daur‐ulang

Sampah
ke
Dalam
Sistem
Manajemen
Persampahan
Formal,
Laporan
Interim,
Bandung,
1998

36. State
Ministry
for
Environment
RI:
Agenda
21
Indonesia
‐
A
national
Strategy
for
Sustainable

Development,
UNDP,
1997

37. M.
Oepen:
Waste
Recycling
in
Indonesia,
Seminar
on
Waste
and
Sustainable
Development
‐
a

Challenge
to
Environmental
Education,
Goethe‐Institut
–
BPPT,
Dec.
1992

38. R.
Ismaria:
Studi
 Mekanisme
 dan
 Interaksi
Daur‐ulang
terhadap
Sistem
 Pengelolaan
Sampah

dengan
 Pengembangan
 Model
 Dinamik
 ‐
 Studi
 Kasus
 Kotamadya
 Bandung,
 Tesis
 Program

Magister
pada
Teknik
Lingkungan
ITB,
2000

39. L.T.
 Meilany
 :
 Studi
 Kinetika
 Degradasi
 Komponen
 Sampah
 Organik,
 Tesis
 Program
 Magister

pada
Teknik
Lingkungan
ITB,
2000

40. E.
Damanhuri,
T.
Padmi
:
Pengolahan
Sampah
Secara
Individual
dan
Kajian
Potensi
Enersi
yang

Dikandungnya,
Lembaga
Penelitian
ITB,
1993

41. Damanhuri
E.
et
al.
:
Uji
Coba
Pemusnahan
Sampah
dengan
Vermi‐Kompos
Skala
Lingkungan,

LPM
ITB
–
Departemen
Pekerjaan
Umum,
1999

42. E.
Damanhuri,
T.
Padmi:
Reuse
and
Recycling
as
a
Solution
to
Urban
Solid
Waste
Problems
in

Indonesia,
 ISWA
 International
 Symposium
 on
 Waste
 Management
 in
 Asia
 Cities,
 
 
 Hongkong

23–26
Oktober
2000

43. E.
Damanhuri:

Waste
Minimization
as
Solution
of
Municipal
Solid
Waste
Problem
in
Indonesia,


th
the
6 
ASIAN
Symposium
on
Academic
Activities
for
Waste
Management,
Padang
–
Indonesia,

11‐13
Sept
2004

44. W.
Handoko,
E.
Damanhuri,
 E.
Setyaningrum:
Draft
 
Panduan
 Pengelolaan
Sampah,
 Laporan

untuk
Kementerian
LH,
2004



45. E.
 Damanhuri:
 Pedoman
 Aspek
 Teknis‐Operasional
 Pengelolaan
 TPA,
 Usulan
 Draft
 pada

Penyusunan
SK
MenLH
,
26‐4‐2004

46. P.A.
 Vesilind,
 W.
 Worrell,
 D.
 Reinhart:
 Solid
 Waste
 Engineering,
 Brooks/Cole
 –
 Thomson

Learning,
2002

47. I
 .M.
 Wahyu
 Widyarsana:
 Kajian
 Integrasi
 Sistem
 Pembuangan
 Akhir
 Sampah
 di
 Wilayah

Sarbagita,
Tugas
Akhir,
Departemen
Teknik
Lingkungan
ITB,
2004

48. BPLHD
Jawa
Barat:
Rumusan
Workshop‐1
Greater
Bandung
Waste
Management
Corporation,

BPLHD
–
Jawa
Barat,
Bandung,
28
April
2004

49. Departemen
Pekerjaan
Umum:
Petunjuk
Umum
Perencanaan
Tehnis
Persampahan,
Direktorat

PLP
‐
Direktorat
Jendral
Cipta
Karya
–
PU,
1987

50. _________________
 :
Kriiteria
 Perencanaan
 Persampahan,
 Direktorat
 PLP
 –
 Direktorat


Jendral
Cipta
Karya
–
PU,

1989

51. F.
 Flintoff:
 Management
 of
 Solid
 Waste
 in
 Developing
 Countries,
 Regional
 Publication
 South

East
Asia
Series
no
1,
WHO,
New
Delhi
1976

52. Departemen
 Pekerjaan
 Umum:
 Desiminasi
 Petunjuk
 Teknis
 Persampahan,
 Diklat
 PU

Binamarga,
Kanwil
Jawa
Barat,
1998

53. Gotaas
 H.B
 ,:
 Composting
 :
 Sanitary
 Disposal
 and
 Reclamation
 of
 Organic
 Waste,
 WHO,

Geneve,1973

54. R.
 Gillet:
 Traite
 de
 Gestion
 des
 Dechets
 Solides
 –
 et
 son
 Application
 aux
 Pays
 en
 Voie
 de

Developpement,
WHO
–
UNDP,
Copenhage,
1983

55. Purwasmita, M. et al .: Teknik Pengelolaan Sampah Terpadu dengan Konsep KIS, Pusat
Penelitian Teknologi ITB, 1989
56. ANRED
:
 Guide
 pour
 l'Elimination
 de
 Dechets
 Menageres
 et
 la
 Valorisation
 des
 Dechets

Industriels,
Ministere
de
l'Environnement
–
ANRED,
1982


Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 96
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)

57. World Bank Technical Guidence Report: Municipal Solid Waste Incineration, the World Bank,
Washington, D.C., 1999

58. E.
 Damanhuri:
 Beberapa
 Catatan
 tentang
 Usulan
 Calon
 Investor
 untuk
 IPST
 Sarbagita
 dalam

Dialog
Publik,
BPK
SARBAGITA,
BHESG,
Yayasan
GUS,
Clean
–
Up
Bali,
JALA
–
SAMPAH,
Wantilan

DPRD
Propinsi
Bali,
24
Desember
2003



59. http://recoveredenergy.com/seeaplant.html:
 The
 complete
 recovery
 of
 energy
 from
 waste

using
current
technologies
including
plasma
gasification

60. Waste‐to‐energy‐‐‐dari:
Integrated
waste
services
association
(IWSA‐USA)

61. E.
Damanhuri
:

Diktat
Kuliah
TPA,
Teknik
Lingkungan
ITB
1995/1966

62. ANRED
:
 La
 Decharge
 Controlee
 de
 Residus
 Urbains,
 Ministere
 de
 l'Environnement,
 ANRED,

1981

63. Ebara
 Hatakeyama
 Memorial
 Fund
 :
 Solid
 Waste
 Landffill
 Sites
 and
 Leachate
 Treatment,

Seminar
Pengelolaan
Limbah
Padat,
Teknik
Lingkungan
ITB,
4
–
6
Maret
1997

64. SK
 SNI
 91
 dan
 SNI
 19‐3241‐1994
 
 Tata
 Cara
 Pemilihan
 Lokasi
 Tempat
 Pembuangan
 Akhir

Sampah

65. H.E.
LeGrand,
H.E
:
A
Standardized
System
for
Evaluating
Waste
Disposal
Sites,
National
Water

Well
Association,
1980

66. Matsufuji:
Semi‐Aerpobic
Landfill
Fukuoka
Methode,
JICA,
2001

67. E.
Damanhuri
:
Landfills
as
Mainstay
for
Solid
Waste
Management
in
Indonesia,
Second
Asian
‐

Pasific
Landfill
Symposium,
Seoul
Sept.
25
–
27,
2002

68. World
Bank
:
Municipal
Solid

Waste
Incineration,

World
Bank
Technical
Guidance
Report,
WB

Washington
DC,
1999


69. E.
 Damanhuri:
 Perbandingan
 antara
 Metode
 Hagerty
 dengan
 Metode
 LeGrand
 dalam

Penentuan
Lokasi
 Landfill
Limbah,
Studi
Kasus
 Calon
Lokasi
di
 Cinangsi,
 Gunung
 Masigit
 dan

Cileungsi
–
Bandung,
Jurnal
ITENAS
Vol
.....
,
2002

70. A.
Bagchi
:
Design,
Construction
and
Monitoring
of
Landfills,
John
Wiley
&
Sons,
Inc,
1994

71. E.A.
McBean,
F.A.
Rovers,
G.J.
Farquhar
:
Solid
Waste
Landfill
Engineering
and
Design,
Prentice

Hall
PTR,
1995


72. E.
 Damanhuri
 et
 al:
 Pengkajian
 Pemilihan
 Lokasi
 dan
 Pengelolaan
 TPA
 yang
 Tepat
 Guna,

PusLitBang
Pemukiman
PU
‐
LPM
ITB,
1989

73. Parametrix
Inc
:
Solid
Wastes
Landfill
Design
Manual,
Washington
State
Department
of

Ecology,
June
1987

74. H.
Alte
:
Materials
Recovery
from
Municipal
Waste,
Marcel
Dekker,
Inc,
1983

75. R.E.
 Hester
 and
 R.M.
 Harrison
 (Editors):
 Environmental
 and
 health
 impact
 of
 Solid
 Waste

Management
Activities,

the
Royal
Society
of
Chemistry,
2002

76. T.
Padmi
:
Analisa
dan
Pengolahan
Buangan
Padat,
Bahan
Kuliah

Jurusan
Teknik
Lingkungan,

ITB,
2001

77. Anonymous: Developing Integrated Solid Waste Management Plant, Training Manual, Volume
1: Waste Characterization and Quantification with Projection for Future, Compiled by UNEP,
Osaka/Shiga, Japan, 2009

Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB 97

You might also like