Professional Documents
Culture Documents
Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air
di daerah subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat
sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang
kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang
sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya.
Semua dampak yang terjadi pada setiap sektor tersebut diatas pastilah
secara langsung akan memberikan dampak terhadap perekonomian
Indonesia akibat kerugian ekonomi yang harus ditanggung.
Kenaikan muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter juga akan berdampak
parah pada kota-kota pesisir seperti Jakarta dan Surabaya yang akan makin
rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Masalah ini sudah menjadi
makin parah di Jakarta karena bersamaan dengan kenaikan muka air laut,
permukaan tanah turun: pendirian bangunan bertingkat dan meningkatnya
pengurasan air tanah telah menyebabkan tanah turun.Namun Jakarta
memang sudah secara rutin dilanda banjir besar:p ada awal
Februari,2007,banjir di Jakarta menewaskan 57 orang dan memaksa
422.300 meninggalkan rumah, yang 1.500 buah di antaranya rusak atau
hanyut.Total kerugian ditaksir sekitar 695 juta dolar.
Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana lebih dari separuhnya merupakan pantai
landai.Tidak kurang dari 100 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia yang bertempat
tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Apabila skenario yang diberikan oleh IPCC
benar, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 4.000 pulau (Kompas, Senin, 05 Agustus,
2002). Sementara itu jika ditarik garis batas 2 mil laut, maka luas wilayah Indonesia akan
berkurang karena menyusutnya panjang pantai di seluruh Indonesia.
Adapun Kota-kota yang diperkirakan terkena dampak Kenaikan Muka Air Laut dapat dilihat
pada tabel berikut 2. Dilihat dari segi pengembangan ekonomi ancaman terendamnya
sebagian dari dataran rendah akibat meningkatnya permukaan air laut mengakibatkan
mundurnya garis pantai (Pratiko, 2002). Apabila ditinjau panjang garis pantai total yang
dimiliki Indonesia adalah 81.000 km dan dengan mengasumsikan bahwa genangan pantai
rerata adalah satu meter, maka berarti lahan pesisir termasuk pulau-pulau kecil yang hilang
dalam 100 tahun mendatang mencapai 405.000 Ha atau 4.050 Ha per tahun.
Dilihat dari segi perekonomian, ancaman ini akan berakibat sangat serius mengingat
sebagian besar kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang berfungsi menjadi
lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan berbagai
sektor lainnya. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia, dan 80% dari lokasi
industri berada di wilayah pesisir (Pratiko, 2002).
Di Indonesia, Kenaikan muka air laut secara umum berdampak pada (BKTRN, 2002):
1. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, yang disebabkan oleh terjadinya pola
hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi.
Kemungkinan lain adalah terjadinya backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi
dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara
(termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif
apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi
pada kurun waktu yang bersamaan.
2. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove. Rusaknya ekosistem
mangrove, luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993) telah terjadi penurunan
hutan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi maka : abrasi pantai akan kerap terjadi
tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat
karena tidak adanya filter polutan dan zona budidaya aquaculture akan terancam
dengan sendirinya.
3. Meluasnya intrusi air laut, oleh diakibatkan terjadinya kenaikan muka air laut juga
dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan.
Contoh : diperkirakan pada periode antar 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan
mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Menurut IPCC (2001) dalam dekade terakhir ini pertumbuhan CO2 adalah sebesar
2900 juta ton/tahun, sementara pada dekade sebelumnya adalah sebesar 1400 juta
ton/tahun. Sedang CH4 justru mengalami penurunan dari 37 juta ton/tahun pada
dekade terdahulu menjadi 22 juta ton/tahun pada dekade terakhir. Demikian pula
halnya dengan N2O meskipun kecil juga mengalami penurunan dari 3,9 menjadi 3,8
juta ton/tahun. Sementara itu tingkat emisi CO2, CH4, dan N2O di Indonesia pada
tahun 1994 berturut-turut adalah 952.199, 4.286, dan 61 Gg (Tabel 1).
Gambar 1. Gas rumahkaca yang menyelimuti atmosfer bumi akan menyerap radiasi
gelombang panjang yang memanaskan bumi (Sumber: UNEP/WMO, 1996)
Uap air (H2O) pun sebenarnya merupakan GRK yang dapat dirasakan pengaruhnya
ketika menjelang turun hujan. Udara terasa panas karena radiasi gelombang-
panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun
demikian karena keberadaan (life time) H2O sangat singkat (2-3 hari), maka uap air
bukanlah GRK yang efektif. Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O keberadaannya
di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15, dan 115 tahun.
Tabel 1. Emisi GRK Indonesia dari berbagai sektor pada tahun 1994 (Gg)
Peningkatan suhu bumi
Dalam 100 tahun terakhir suhu bumi terlihat mulai ditentukan oleh peningkatan CO2
di atmosfer. Pada zaman pra-industri (sebelum tahun 1850) konsentrasi CO 2 masih
sekitar 290 ppm, sedang pada tahun 1990 konsentrasinya telah meningkat menjadi
353 ppm. Peningkatan suhu rata-rata bumi sebesar 0,5 oC telah dicatat. Dengan
pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, maka
diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat
dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppm. Dalam kondisi demikian berbagai
model sirkulasi global memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7-4,5 oC
(Gambar 2). Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga
akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati,
produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia.
Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa daerah kering
akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah. Konsekuensi-
nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di Indonesia
dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal), ekuatorial
dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun memiliki pola
hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya musim hujan
dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama kurang lebih 6
bulan, yaitu Oktober - Maret sebagai musim hujan dan April – September sebagai
musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator dipengaruhi oleh
sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal), yaitu pada
bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat ekuator. Ketiga, daerah
dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan puncak
yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun yang disebutkan di atas.
Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak hanya menyebabkan
perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode daerah itu mengalami
surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di
daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan konsentrasi CO2
atmosfer 2 kali lipat dibanding konsentrasi pada zaman pra-industri yang hanya 280
ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit sementara
surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun seperti Jawa,
surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih pendek dibanding
jika iklim tidak berubah (Murdiyarso, 1994).
Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi dan
ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi aslinya
dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan itu kondisi
sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami gangguan.
Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan sulit
mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata di
daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah. Jika kebakaran hutan makin
sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian tersebut
dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) kejadian
kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan dengan
pembukaan lahan. Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena
fenomena ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah
terjadinya kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena
alam yang terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan
perubahan iklim dalam arti seperti yang diuraikan di atas. Meningkatnya jumlah
penduduk memberikan tekanan pada penyediaan air, terutama pada daerah
perkotaan. Saat ini sudah banyak penduduk perkotaan yang mengalami kesulitan
mendapatkan air bersih, terutama mereka yang berpendapatan dan berpendidikan
atau berketerampilan rendah. Dampak perubahan iklim yang menyebabkan
perubahan suhu dan curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap
ketersediaan air dari limpasan permukaan, air tanah dan bentuk reservoir lainnya.
Pada tahun 2080 akan terdapat 2 hingga 3,5 milyar orang akan mengalami
kekurangan air. Pada beberapa daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesia
ketersediaan air permukaan diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya
suplus dan menurunnya defisit. Di DAS Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut
mencapai 32%, di DAS Brantas Jawa Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi
Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).
Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena menurunnya daya tampung sungai akibat
peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan
erosi dan sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang signifikan
selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$ 300 milyar pada dekade terakhir
dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun 1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang
paling rentan dari akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara 10-25
cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi perubahan tersebut dapat
dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah
meningkatkan pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan
volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai skenario,
peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang. Dengan panjang
pantainya yang lebih dari 80.000 km, di mana lebih dari 50 persen diantaranya merupakan pantai landai,
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya selang suhu di mana vektor dan parasit
penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen,
demam berdarah hingga 47 persen dan kaki gajah hingga 17 persen. Di Indonesia daerah-daerah baru
yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya. Penjangkitan
VBD bahkan terjadi lagi di daerah-daerah lama yang selama ini sudah dinyatakan bebas. Hal ini
disebabkan karena penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang telah menimbulkan daya tahan vektor.
Disamping itu predator bagi vektor tersebut juga ikut terbasmi.
http://www.idebagusku.com/14-cara-mengurangi-global-warming
http://iklimkarbon.com/the-bali-roadmap/
http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/
http://dony.blog.uns.ac.id/2010/06/05/penyebab-perubahan-iklim/