You are on page 1of 9

Dampak perubahan iklim di Indonesia

Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan


memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem
dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta
pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di
Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya
pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan
menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan
masyarakat pesisir pantai.

Dampak Perubahan Iklim Regional

Pola musim mulai tidak beraturan sejak 1991 yang mengganggu


swasembada pangan nasional hingga kini tergantung import pangan. Pada
musim kemarau cenderung kering dengan trend hujan makin turun salah
satu dampak kebakaran lahan dan hutan sering terjadi. Meningkatnya muka
air danau khususnya danau Toba makin susut dan mungkin danau/waduk
lain di Indonesia, konsentrasi es di Puncak Jayawija Papua semakin
berkurang dan munculnya kondisi cuaca ekstrim yang sering yang
menimbulkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di beberapa lokasi
dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kajian dari IPCC 4AR yang
menyinggung Indonesia secara spesifik antara lain : Meningkatnya hujan di
kawasan utara dan menurunnya hujan di selatan (khatulistiwa). Kebakaran
hutan dan lahan yang peluangnya akan makin besar dengan meningkatnya
frekuensi dan intensitas El-Nino. Delta Sungai Mahakam masuk ke dalam
peta kawasan pantai yang rentan. (Murdiyarso, 2007).

Dampak perubahan iklim terhadap pertanian

Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami


penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2o C
sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi
kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada
produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis
dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi
lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan
kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan,
akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia
mengimpor sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang
diimpor lebih dari satu juta ton (KLH, 1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan
menciptakan bibit unggul atau mengubah waktu tanam. Peningkatan suhu
regional juga akan memberikan dampak negatif kepada penyebaran dan
reproduksi ikan.

Dampak Perubahan iklim terhadap kenaikan Muka Air Laut.

Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan


menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan
dan Sulawesi (UNDP, 2007). akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan
mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini
sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur,
apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan
memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi
menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit
memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena
pola iklim yang berubah.

Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan


Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air
laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan
bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan
punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak
ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir
pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau,
serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.

Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.

Frekuensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah


meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin
rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan. ”Pemanasan
global” juga memicu meningkatnya kasus penyakit tropis seperti malaria dan
demam berdarah. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan
semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan.
Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit tular vektor
seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi curah
hujan, kasus DBD akan meningkat. suhu berhubungan negatif dengan kasus
DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan menurunkan
kasus DBD. Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan.
Gelombang panas yang melanda Eropa tahun 2005 meningkatkan angka
"heat stroke" (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi salmonela,
dan "hay fever" (demam akibat alergi rumput kering).
Dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air.

Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air
di daerah subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat
sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang
kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang
sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya.

Dampak perubahan iklim terhadap Ekosistem

Kemungkinan punahnya 20-30% spesies tanaman dan hewan bila terjadi


kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5-2,5oC. Meningkatnya tingkat
keasaman laut karena bertambahnya Karbondioksida di atmosfer
diperkirakan akan membawa dampak negatif pada organisme-organisme
laut seperti terumbu karang serta spesies-spesies yang hidupnya
bergantung pada organisme tersebut. Dampak lainnya yaitu hilangnya
berbagai jenis flaura dan fauna khususnya di Indonesia yang memiliki aneka
ragam jenis seperti pemutihan karang seluas 30% atau sebanyak 90-95%
karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut. (Sumber
World Wild Fund (WWF) Indonesia)

Dampak perubahan iklim Sektor Lingkungan

Dampak perubahan iklim akan diperparah oleh masalah lingkungan,


kependudukan, dan kemiskinan. Karena lingkungan rusak, alam akan lebih
rapuh terhadap perubahan iklim. Dampak terhadap penataan ruang dapat
terjadi antara lain apabila penyimpangan iklim berupa curah hujan yang
cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi
menimbulkan bencana alam, berupa : banjir dan tanah longsor. Dengan
kata lain daerah rawan bencana menjadi perhatian perencanaan dalam
mengalokasikan pemanfaatan ruang.

Dampak perubahan iklim pada Sektor Ekonomi

Semua dampak yang terjadi pada setiap sektor tersebut diatas pastilah
secara langsung akan memberikan dampak terhadap perekonomian
Indonesia akibat kerugian ekonomi yang harus ditanggung.

Dampak perubahan iklim pada pemukim perkotaan

Kenaikan muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter juga akan berdampak
parah pada kota-kota pesisir seperti Jakarta dan Surabaya yang akan makin
rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Masalah ini sudah menjadi
makin parah di Jakarta karena bersamaan dengan kenaikan muka air laut,
permukaan tanah turun: pendirian bangunan bertingkat dan meningkatnya
pengurasan air tanah telah menyebabkan tanah turun.Namun Jakarta
memang sudah secara rutin dilanda banjir besar:p ada awal
Februari,2007,banjir di Jakarta menewaskan 57 orang dan memaksa
422.300 meninggalkan rumah, yang 1.500 buah di antaranya rusak atau
hanyut.Total kerugian ditaksir sekitar 695 juta dolar.

Suatu penelitian memperkirakan bahwa paduan kenaikan muka air laut


setinggi 0,5 meter dan turunnya tanah yang terus berlanjut dapat
menyebabkan enam lokasi terendam secara permanen dengan total populasi
sekitar 270,000 jiwa, yakni: tiga di Jakarta – Kosambi, Penjaringan dan
Cilincing; dan tiga di Bekasi – Muaragembong, Babelan dan
Tarumajaya.Banyak wilayah lain di negeri ini juga akhir-akhir ini baru
dilanda bencana banjir. Banjir besar di Aceh, misalnya, di penghujung tahun
2006 menewaskan 96 orang dan membuat mengungsi 110,000 orang yang
kehilangan sumber penghidupan dan harta benda mereka. Pada tahun 2007
di Sinjai, Sulawesi Selatan banjir yang berlangsung berhari-hari telah
merusak jalan dan memutus jembatan, serta mengucilkan 200.000
penduduk. Selanjutnya masih pada tahun itu,banjir dan longsor yang
melanda Morowali, Sulawesi Utara memaksa 3.000 orang mengungsi ke
tenda-tenda dan barak-barak darurat. (http://iklim.dirgantara-
lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=60&Itemid=37)

A. PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana lebih dari separuhnya merupakan pantai
landai.Tidak kurang dari 100 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia yang bertempat
tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Apabila skenario yang diberikan oleh IPCC
benar, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 4.000 pulau (Kompas, Senin, 05 Agustus,
2002). Sementara itu jika ditarik garis batas 2 mil laut, maka luas wilayah Indonesia akan
berkurang karena menyusutnya panjang pantai di seluruh Indonesia.

Adapun Kota-kota yang diperkirakan terkena dampak Kenaikan Muka Air Laut dapat dilihat
pada tabel berikut 2. Dilihat dari segi pengembangan ekonomi ancaman terendamnya
sebagian dari dataran rendah akibat meningkatnya permukaan air laut mengakibatkan
mundurnya garis pantai (Pratiko, 2002). Apabila ditinjau panjang garis pantai total yang
dimiliki Indonesia adalah 81.000 km dan dengan mengasumsikan bahwa genangan pantai
rerata adalah satu meter, maka berarti lahan pesisir termasuk pulau-pulau kecil yang hilang
dalam 100 tahun mendatang mencapai 405.000 Ha atau 4.050 Ha per tahun.

Dilihat dari segi perekonomian, ancaman ini akan berakibat sangat serius mengingat
sebagian besar kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir, yang berfungsi menjadi
lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan berbagai
sektor lainnya. Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia, dan 80% dari lokasi
industri berada di wilayah pesisir (Pratiko, 2002).
Di Indonesia, Kenaikan muka air laut secara umum berdampak pada (BKTRN, 2002):
1. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, yang disebabkan oleh terjadinya pola
hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi.
Kemungkinan lain adalah terjadinya backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi
dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara
(termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif
apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi
pada kurun waktu yang bersamaan.
2. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove. Rusaknya ekosistem
mangrove, luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993) telah terjadi penurunan
hutan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi maka : abrasi pantai akan kerap terjadi
tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat
karena tidak adanya filter polutan dan zona budidaya aquaculture akan terancam
dengan sendirinya.
3. Meluasnya intrusi air laut, oleh diakibatkan terjadinya kenaikan muka air laut juga
dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan.
Contoh : diperkirakan pada periode antar 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan
mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.

4. Gangguan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, diantaranya adalah: (a)


gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-
Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir
yang berada di wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian
Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa kawasan pesisir di Papua; (c)
hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove; (d)
penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti DAS Citarum,
Brantas, dan Saddang.
5. Berkurangnya luas daratan dan hilangnya pulau-pulau kecil, tergantung dari
tingginya kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai
sejauh 25 meter, pada akhir abad 21 lahan pesisir yang hilang akan mencapai 202.500
ha (Diposaptono, S. 2002)

Sebagian besar kota-kota penting Indonesia terletak di kawasan pantai, dengan


karakteristik laju pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan kota-kota pantai di akhir abad 20
yang cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana
yang berpotensi merusak. Meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan ruang yang layak
dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan yang seharusnya dipertahankan
sebagai penyangga, antara lain yang berada di hulu, hilir, pantai dan perairan dengan pulau-
pulau didepannya (Hantoro, 2002). Pembangunan kota yang dilakukan pada kawasan
pantai seperti yang diberikan di atas mengakibatkan terjadinya banjir pada
kawasan tersebut. Frekuensi tejadinya banjir, serta tinggi dan lamanya genangan
air di kota-kota tersebut sangat mempengaruhi kerusakan fisik dan menimbulkan
gangguan sosial bagi masyarakat kawasan tersebut.

Pengertian perubahan iklim

Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim,


khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
Disamping itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan
manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan
bakar fosil dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor
alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan
dalam pengertian perubahan iklim. Dengan demikian fenomena alam yang
menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di dalam suatu
tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh
tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global.
Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan
peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas inilah yang selanjutnya
menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu
dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak bersifat panas, tetapi
menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas seperti terlihat pada
Gambar 1. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara
dengan laju perubahan konsentrasi GRK.

Pertumbuhan emisi dan konsentrasi gas rumahkaca

Menurut IPCC (2001) dalam dekade terakhir ini pertumbuhan CO2 adalah sebesar
2900 juta ton/tahun, sementara pada dekade sebelumnya adalah sebesar 1400 juta
ton/tahun. Sedang CH4 justru mengalami penurunan dari 37 juta ton/tahun pada
dekade terdahulu menjadi 22 juta ton/tahun pada dekade terakhir. Demikian pula
halnya dengan N2O meskipun kecil juga mengalami penurunan dari 3,9 menjadi 3,8
juta ton/tahun. Sementara itu tingkat emisi CO2, CH4, dan N2O di Indonesia pada
tahun 1994 berturut-turut adalah 952.199, 4.286, dan 61 Gg (Tabel 1).

Gambar 1. Gas rumahkaca yang menyelimuti atmosfer bumi akan menyerap radiasi
gelombang panjang yang memanaskan bumi (Sumber: UNEP/WMO, 1996)

Uap air (H2O) pun sebenarnya merupakan GRK yang dapat dirasakan pengaruhnya
ketika menjelang turun hujan. Udara terasa panas karena radiasi gelombang-
panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun
demikian karena keberadaan (life time) H2O sangat singkat (2-3 hari), maka uap air
bukanlah GRK yang efektif. Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O keberadaannya
di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15, dan 115 tahun.

Tabel 1. Emisi GRK Indonesia dari berbagai sektor pada tahun 1994 (Gg)
Peningkatan suhu bumi

Dalam 100 tahun terakhir suhu bumi terlihat mulai ditentukan oleh peningkatan CO2
di atmosfer. Pada zaman pra-industri (sebelum tahun 1850) konsentrasi CO 2 masih
sekitar 290 ppm, sedang pada tahun 1990 konsentrasinya telah meningkat menjadi
353 ppm. Peningkatan suhu rata-rata bumi sebesar 0,5 oC telah dicatat. Dengan
pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, maka
diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat
dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppm. Dalam kondisi demikian berbagai
model sirkulasi global memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7-4,5 oC
(Gambar 2). Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga
akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati,
produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia.

Perubahan pola dan distribusi hujan

Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa daerah kering
akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah. Konsekuensi-
nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di Indonesia
dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal), ekuatorial
dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun memiliki pola
hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya musim hujan
dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama kurang lebih 6
bulan, yaitu Oktober - Maret sebagai musim hujan dan April – September sebagai
musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator dipengaruhi oleh
sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal), yaitu pada
bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat ekuator. Ketiga, daerah
dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan puncak
yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun yang disebutkan di atas.
Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak hanya menyebabkan
perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode daerah itu mengalami
surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di
daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan konsentrasi CO2
atmosfer 2 kali lipat dibanding konsentrasi pada zaman pra-industri yang hanya 280
ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit sementara
surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun seperti Jawa,
surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih pendek dibanding
jika iklim tidak berubah (Murdiyarso, 1994).

Dampak perubahan iklim

Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan produktivitas pangan yang


disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia, penurunan areal yang dapat
diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan
penyakit. Di beberapa tempat di negara maju (lintang tinggi) peningkatan
konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena asimilasi meningkat,
tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara berkembang, peningkatan
asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang juga meningkat. Secara
keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan mengalami penurunan
produksi pangan hingga 7 persen. Namun dengan adaptasi yang tingkatnya lanjut,
artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan. Dengan kata lain
stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan memakan biaya yang
sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit,
pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi
CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika
irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan
produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Matthews et al.,
1995).

Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi dan
ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi aslinya
dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan itu kondisi
sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami gangguan.
Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan sulit
mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata di
daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah. Jika kebakaran hutan makin
sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian tersebut
dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) kejadian
kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan dengan
pembukaan lahan. Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena
fenomena ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah
terjadinya kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena
alam yang terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan
perubahan iklim dalam arti seperti yang diuraikan di atas. Meningkatnya jumlah
penduduk memberikan tekanan pada penyediaan air, terutama pada daerah
perkotaan. Saat ini sudah banyak penduduk perkotaan yang mengalami kesulitan
mendapatkan air bersih, terutama mereka yang berpendapatan dan berpendidikan
atau berketerampilan rendah. Dampak perubahan iklim yang menyebabkan
perubahan suhu dan curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap
ketersediaan air dari limpasan permukaan, air tanah dan bentuk reservoir lainnya.
Pada tahun 2080 akan terdapat 2 hingga 3,5 milyar orang akan mengalami
kekurangan air. Pada beberapa daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesia
ketersediaan air permukaan diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya
suplus dan menurunnya defisit. Di DAS Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut
mencapai 32%, di DAS Brantas Jawa Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi
Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).

Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena menurunnya daya tampung sungai akibat
peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan
erosi dan sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang signifikan
selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$ 300 milyar pada dekade terakhir
dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun 1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang
paling rentan dari akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara 10-25
cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi perubahan tersebut dapat
dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah
meningkatkan pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan
volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai skenario,
peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang. Dengan panjang
pantainya yang lebih dari 80.000 km, di mana lebih dari 50 persen diantaranya merupakan pantai landai,

Indonesia cukup rentan terhadap kenaikan muka-laut seperti negara-negara yang


berpantai landai seperti Bangladesh. Kenaikan muka laut hingga 1,5 m dapat
berpengaruh terhadap 17 juta penduduk Bangladesh. Tetapi hanya dengan
kenaikan 1 m dampak sosial-ekonomi terhadap pertanian pantai di beberapa
kabupaten di Jawa Barat bagian utara sudah sangat besar (Parry et al.,
1992).Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim,
khususnya suhu dan kelembaban. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector-
borne diseases,VBDs) seperti malaria, demam berdarah (dengeue) dan kaki gajah
(schistosomiosis) perlu diwaspadai karena transmisi penyakit seperti ini akan makin
meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini
merupakanpenyebab kematian utama.

IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya selang suhu di mana vektor dan parasit
penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen,
demam berdarah hingga 47 persen dan kaki gajah hingga 17 persen. Di Indonesia daerah-daerah baru
yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya. Penjangkitan
VBD bahkan terjadi lagi di daerah-daerah lama yang selama ini sudah dinyatakan bebas. Hal ini
disebabkan karena penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang telah menimbulkan daya tahan vektor.
Disamping itu predator bagi vektor tersebut juga ikut terbasmi.

http://www.idebagusku.com/14-cara-mengurangi-global-warming
http://iklimkarbon.com/the-bali-roadmap/

http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/

http://dony.blog.uns.ac.id/2010/06/05/penyebab-perubahan-iklim/

You might also like