You are on page 1of 39

1.

PANDANGAN MENGENAI KONSEP KURIKULUM MENURUT HAMID HASAN

A. KONSEP KURIKULUM
a. Pengertian Etemeologis (Bahasa)
Secara etemologis (bahasa), istilah “curriculum” dinyatakan sebagai istilah yang
berasal dari bahasa Latin, yakni curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan
sebagai “racecorse”, yakni lapangan pacuan kuda, jarak tempuh untuk lomba lari,
perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan perlombaan,
gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969:211; Webster, 1989:340).
Istilah curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse”
tersebut kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan dengan istilah “curriculum”
(bahasa Inggeris) atau “kurikulum” (bahasa Indonesia). Hal itu sebagaimana
dinyatakan oleh Brobacher, sebagai berikut:
“according to its Latin origin a curriculum is a “runway”, a course which one runs to
reach a goal, as in a race. This figure of a course has been carried over into
educational parlance, where it is sometimes called a curriculum, sometimes a
course of study (Brobacher, 1962: 237).
Dalam kutipan ini Brobacher menyatakan bahwa istilah kurikulum yang dalam
bahasa Latin diartikan sebagai lapangan pacu (runway) yang berarti sebagai sebuah
lapangan tempat berlari untuk mencapai sasaran (goal). Dari istilah tersebut dibawa
ke dalam dunia pendidikan yang kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah
kurikulum dan kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah mata/materi pelajaran yang
dipelajari.
Pemakaian istilah yang semula dipakai dalam dunia olah raga tersebut
sepertinya didasarkan pada persesuaian makna atau hakikat yang dikandung oleh
istilah tersebut, yakni adanya jarak atau proses yang harus ditempuh untuk
mencapai tujuan. Hal itu secara tegas sebagaimana dinyatakan oleh Schubert
(1986:33): “its interpretation from the race course etymology of curriculum, currere
refers to the running of the race and emphasizes the individuals own capacity to
reconceptualize his or her autobiography”.
Pemakaian istilah kurikulum atas dasar persesuaian makna tersebut juga
dipakai dalam bahasa Arab. Hal itu bias dilihat bahwa dalam bahasa Arab istilah
kurikulum disebut “minhaj” yang berarti “jalan yang terang”; cara, metode, bagan,
rencana. Dari istilah itu dikenal istilah “minhaj al ta`lim” yang berarti “rencana
pengajaran atau kurikulum” (Munawwir, 1984: 1567).

b. Pengertian Termenologis (istilah)


Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dimana istilah kurikulum (curriculum,
ing.) atau (minhaj, Arab) dimaksudkan sebagai “sebuah jalan atau proses yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu atau “sejumlah materi/mata pelajaran (a
course of study), maka secara termenologis kurikulum diartikan sebagai “sejumlah
materi/mata pelajaran yang harus dikuasai” (a course of subject matters to be
mastered), (Zais, 1976:7; Giroux, H.A., et.all, 1981:35).
Rumusan pengertian pada masa awal tersebut disebut oleh para pakar
kurikulum sebagai pengertian tradisional atau sempit. Dalam pengertian tradisional
dan sempit tersebut, konsep kurikulum menunjukkan penekanannya pada
pengertian kurikulum sebagai isi pendidikan. Pengertian kurikulum sebagai isi
pendidikan tersebut menurut Giroux, et al. (1981:35) adalah: “the data or information
recorded in guides or textbooks and overlooks many additional element that need to
be provided for in a learning plan”. Dalam hal ini kurikulum merupakan sesuatu yang
berisikan sejumlah data atau informasi yang dipakai sebagai petunjuk pembelajaran
atau dalam bentuk buku teks yang berisikan sejumlah materi yang diperlukan untuk
dicapai dalam sebuah rencana pembelajaran. Senada dengan itu al-Syaibani (1979)
dalam menggambarkan pengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam
bahasa Arab yakni terbatas pada pengetahuan-pengatahuan yang dikemukakan
oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab
karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam setiap
tahapan pendidikannya.
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, konsep
kurikulum juga turut mengalami perkembangan dan pergeseran makna dari isi ke
proses pendidikan. Dalam hal ini kurikulum tidak diartikan sebagai sekedar
seperangkat materi yang harus diberikan atau dikuasai oleh peserta didik tetapi juga
mencakup segala hal yang terjadi atau dilakukan dalam proses yang dilakukan atau
dijalani peserta didik dan guru. Bahkan penekanannya lebih pada proses ketimbang
sebagai isi atau materi.
Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Doll (1964:15) bahwa: “The commonly
accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study
and list of subjects and courses to all experiences which are offered to learners
under the auspices or direction of the school”. Dalam definisi Doll di atas penekanan
pengertian kurikulum pada sejumlah pengalaman yang diberikan kepada siswa di
bawah tanggaung jawab atau arahan sekolah (all experiences which are offered to
learners under the auspices or direction of the school). Sejalan dengan pengertian
ini Al-Kualy (1981) menjelaskan pengertian minhaj sebagai padanan istilah
kurikulum dalam bahasa Arab sebagai seperangkat rencana dan media serta cara
untuk mengantarkan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Dalam definisi al-Kualy ini kurikulum mengandung makna sebagai isi dan
sekaligus sebagai proses.
Pergeseran makna kurikulum tersebut bukan saja dari isi ke proses tetapi juga
terdapat pergeseran cakupan atau lingkup makna kurikulum dari yang sempit ke
yang sangat luas. Beberapa definisi kurikulum yang menggambarkan konsep
tersebut, antara lain dikemukakan oleh beberapa pakar kurikulum sebagai berikut.
Stratemeyer (1957:9) mendefinisikan kurikulum sebagai: “the sum total of the
school`s effort to influence learning wither in the classroom, on playground or on out
of school”. Dalam hal ini Stratemeyer memandang kurikulum sebagai sejumlah
usaha sekolah untuk mempengaruhi pembelajaran, baik di dalam kelas, lapangan
bermain, atau di luar sekolah. Lebih jauh menurut Krug (1956:4), kurikulum adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untuk memberikan pengalaman
belajar siswa, sebagaimana dinyatakannya: “all the means employed by the school
to provide students with opportunities for desirable learning experience”. Sedangkan
Beaucham (1964:4), memandang kurikulum sebagai: “all activities of children under
the jurisdiction of the school” ( seluruh aktivitas anak di bawah tanggung jawab
sekolah).
Dilihat dari eksistensinya dalam kegiatan pendidikan kurikulum dapat
dipandang dari berbagai konsep. Menurut Nana Syaodih (1988:29), setidaknya
konsep kurikulum dapat dipandang dari tiga bentuk, yakni sebagai suatu sistem,
sebagai bidang studi dan kurikulum sebagai substansi pendidikan.
Sebagai sebuah sistem, kurikulum merupakan bagian atau sub sistem dari
kerangka organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem
menyangkut penentuan segala kebijaksanaan tentang kurikulum, susunan
personalia dan prosedur pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi dan
penyempurnaan-nya. Fungsi utama kurikulum sebagai sistem ialah menghasilkan
kurikulum, baik sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar
kurikulum tersebut tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29). Sehubungan dengan
pandangan ini, para pakar kurikulum memiliki pandangan yang tidak sama. Maccia
(Giroux, 1981:72) memandang kurikulum bukan sebuah sistem tersendiri, tetapi ia
merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang diwujudkan melalui tingkah laku
atau aktivitas guru dalam menentukan isi pembelajaran. Isi tersebut mengandung
aturan-aturan dalam bentuk seperangkat struktur dari seperangkat mata/materi
pelajaran (disciplines). Di pihak lain, Johnson (1967) juga memandang kurikulum
bukanlah sebuah sistem, tetapi hanya merupakan "a structured series of intended
learning outcomes”. Komponen perencanaan berupa: isi, aktivitas, dan prosedur
evaluasi dimasukannya sebagai bagian dari komponen sistem pembelajaran (Zais,
1976:9). Tegasnya, Johnson memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil
(output) dari sistem pengembangan kurikulum dan merupakan bahan masukan
(input) bagi sistem pembelajaran. Oleh karena itu ia bukan merupakan sebuah
sistem. Sebagai sebuah sistem, menurut Mc donal (1965), kurikulum berisikan:
komponen: “inputs, processes, outputs, and feedbacks”(Giroux, 1981:72).
Jika kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, ia dipandang sebagai sub
sistem persekolahan, sistem pendidikan dan sistem masyarakat. Suatu sistem
kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja sebagaimana
menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan
menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunya suatu
kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah sebagaimana memelihara
kurikulum agar tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29-30).
Kurikulum sebagai suatu bidang studi dipandang sebagai bidang studi kuriku-
lum. Tujuan dari kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu ten-
tang kurikulum dan sistem kurikulum.
Dalam konteks ini tugas bidang studi kuriku-lum adalah untuk: (1)
mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis,
(2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan-
pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan predik-tif, (4)
mengembangkan sub-sub teori dari kurikulum, mengembangkan dan melak-sanakan
model-model kurikulum (Nana Syaodih, 1988: 29-30).
Kurikulum sebagai substansi dapat dipandang sebagai suatu rencana kegiatan
pembelajaran bagi murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan yang
ingin dicapai (Nana Syaodih: 1988:29). Saylor, Alexander dan Lewis memberikan
pandangan yang senada dengan Hilda Taba, yakni “as a plan for learning” (Oliva,
1991:6). Hilda Taba menggambarkan kurikulum sebagai sebuah subsatansi ini
sebagai sesuatu yang berisikan sejumlah elemen yang meliputi tujuan, isi, pola
pembelajaran, dan evaluasi, sebagaimana pernyataannya berikut:
All curricula, no matter what their particular design, are composed of certain
element. A curriculum usually contains a statement of aims and of specific
objectives; it indicated some selections and organization of content; it either implies
or manifests certain patterns of learning and teaching, whether because the
objectives demand them or because the content organization requires them. Finally,
it includes a program of evaluation of the outcomes.
Kurikulum sebagai sebuah rencana, menurut Beaucham (1981), bisa dalam
bentuk dukumen tertulis dan bisa pula dalam bentuk rencana yang tidak terulis, baik
yang ada pada benak siswa maupun guru, sebagaimana dikemukakannya, bahwa
kurikulum adalah: “a written document which may contain many ingredents, but
basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given
school”.
Sejalan dengan pengertian ini, dalam Undang-undang RI tentang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, kurikulum
diartikan: “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum sebagai sebuah rencana tertulis juga dapat dipandang sebagai
sebuah dokumen yang berisi rumusan tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-
mengajar, jadwal dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dipandang sebagai hasil
persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum, pemegang kebijakan
pendidikan dengan masyarakat. Terakhir kurikulum juga dapat dilihat dari lingkup
atau tingkat kuri-kulum seperti: kurikulum tingkat bidang studi, sekolah, lokal,
nasional (Nana Syaodih, 1988: 29-30).
Konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah dokumen yang menjadi rencana
pembelajaran, baik tertulis maupun tidak terulis melahirkan adanya istilah “ideal
curriculum (kurikulum diidealkan) dan real/actual/ functional/operational curriculum
(kurikulum yang nyata/dilaksanakan). Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
direncanakan secara ideal. Sebagai sebuah rencana, bisa dalam bentuk tertulis
(written dokument) maupun yang tidak terulis.
Adapun kurikulum aktual adalah kurikulum yang terlaksana atau diopera-
sionalkan. Kurikulum aktual seyogianya sama dengan kurikulum ideal atau
setidaknya mendekati yang ideal, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Dalam kenyataannya dapat saja sesuatu yang direncanakan tidak bisa dilaksanakan
atau terlaksana.
Konsep kurikulum yang berlaku di Indonesia termasuk di dalamnya konsep
kurikulum Pendidikan Agama Islam, sebagaimana dikemukakan di atas, lebih
menekankan pada konsep kurikulum sebagai sebuah rencana pembelajaran. Hal itu
dapat dilihat dari definisi kurikulum yang terdapat dalam Undang-undang RI tentang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, yang
berbunyi: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.
Definisi di atas menjadi pedoman bagi konsep kurikulum setiap jenis dan
jenjang lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian kurikulum dipandang
sebagai rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokument
tertulis dan sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
Perwujudan dari kedudukan dan fungsi kurikulum seperti itu, di masing-masing jenis
dan jenjang lembaga pendidikan, telah dilengkapi dengan seperangkat kurikulum.
Lazimnya perangkat kurilum tersebut terdiri dari: pedoman umum penyelenggaraan
pembelajaran; isi dan program pembelajaran; dan berbagai pedoman implementasi
atau proses pembelajaran, evaluasi, administrasi, dan poedoman bimbingan
pembelajaran.
Menurut Hasan (1988:28) secara konsepsional kurikulum dapat dilihat pada
empat dimensi kurikulum, yakni: 1) kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan, 2)
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan
(proses), dan 4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar.

1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan


Secara etimologis ide (idea) berarti: “A plane of action; an intention’
something imagined or pictured in the mind;; a notion; an opinion; a fancy…
(Webster, 1961:237)” Dalam definisi ini, ide atau gagasan adalah sebagai
sesuatu yang direncanakan yang ada dalam benak atau tergambar dalam
pikiran. Sesuai dengan definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa kurikulum
sebagai ide atau gagasan adalah merupakan sesuatu rencana atau keinginan
yang ada dalam benak atau dalam pikiran dalam bentuk gagasan kurikulum
yang bersifat umum. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hasan
(1988:28-31), bahwa kurikulum sebagai sebuah ide atau gagasan ada pada
pikiran atau benak para perancang kurikulum maupun para praktisi, pelaksana,
dan pemakai kurikulum. Ia bisa terdapat pada pikiran kepala sekolah, guru,
siswa, masyarakat, dan pada stackeholder pendidikan lainnya.
Idea atau gagasan pada umumnya ada pada saat proses awal
perancangan kurikulum, atau pada ajang pendapat (deliberation), atau yang
mendahului rancangan/desain tertulis kurikulum. Akan tetapi, dalam peraktiknya
idea atau gagasan dapat juga muncul ketika kurikulum tersebut dirancang dan
dituangkan dalam program tertulis, atau pada saat diimplementasikan, atau
bahkan pada saat dilakukan evaluasi (penilaian). Menurut Beaucham (1981) ide
atau gagasan tersebut mesti sebagai sebuah rencana atau gagasan dalam
bentuk yang tidak terulis. Oleh karena itu, kurikulum dalam dimensi idea tau
gagasan ini tidak lain adalah sesuatu yang diharapkan atau diangankan untuk
dicapai dan dilaksnakan oleh guru, sekolah, masyarakat, dan stackeholder
lainnya. Karenanya pada umumnya kurikulum dalam bentuk idea tau gagasan ini
bersifat sangat idealis dan perfeksionis (sangat sempurna), yang kadang tidak
sesuai atau susah untuk dijangkau dalam realitasnya.
2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Pada dasarnya kurikulum sebagai rencana tertulis ini menurut Hasan
(1988:31) adalah terjemahan dari kurikulum dalam dimensi ide atau gagasan.
Dalam kata lain, kurikulum dalam bentuk tertulis ini merupakan penulisan
segenap idea tau gagasan yang telah digagas. Beaucham (1981), sebagaimana
dikemukakan di atas, menyebutnya sebagai kurikulum dalam bentuk dukumen
tertulis. Karenanya ia sering juga disebut sebagai ideal curriculum (kurikulum
yang diharapkan), sebagai lawan dari kurikulum real curriculum. Akan tetapi,
dalam kenyataannya tidak selalu kurikulum dalam bentuk tertulis ini sama persis
dengan kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan. Ketidaksamaan itu bias
terjadi karena keterbatasan dalam penuangan idea tau gagasan tersebut dalam
bentuk tertulis atau karena berbagai kondisi lain, seperti karena dipandang perlu
pembatasan atau dipandang perlu ada pentahapan dalam perencanaan
tertulisnya.
Sebagai sebuah dokumen tertulis, kurikulum dalam dimensi rencana harus
memenuhi berbagai kriteria tentang bentuk dan lingkup cakupannya (Hasan,
1988:32). Banyak model dan cakupan kurikulum sebagai dokumen tertulis ini,
namun secara umum sebagai rencana tertulis pada umumnya, sebagaimana
Tyler (1950:1-2), sebuah dokumen kurikulum minimal bersisi empat komponen
yang merupakan empat pertanyaan dasar yang harus dijawab, yaitu:
a. What educational purposes should the school seek to attain?
b. What educational experiences can be provided that are likely to attain these
purposes?
c. How can these educational experiences be effectively organized?
d. How can we determine whether these purposes are being attained?
Sedangkan menurut Meller & Siller (1985:175), komponen yang terdapat
dalam dokumen kurikulum meliputi: 1) aims and objectives, 2) content, 3)
teaching strategies/learning experiences, 4) organization of content an teaching
strategies, and 5) evaluation (sometimes included and sometimes separated).
Berdasarkan pendapat Tyler dan Meller & Siller di atas, anatomi sebuah
kurikulum minimal meliputi: tujuan yang harus dicapai, pengamalan pendidikan
atau isi/materi yang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai,
pedoman dan strategi pengorganisasian materi (pelaksanaan) sehingga dapat
mencapai tujuan yang diinginkan, dan yang terakhir adalah bagaimana
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan hasil pencapaian kegiatan tersebut.
Keempat komponen anatomi kurikulum tersebut merupakan suatu sistem atau
suatu yang saling berkaitan antara satu sama lain dan saling mempengaruhi
pelaksanaan dan keterpcapaian masing-masing.

3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses)


Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) ini kadang disebut juga: real
curriculum (kurikulum sesungguhnya), actual curriculum (kurikulum yang nyata),
functional curriculum (kurikulum yang terlaksana), dan operational curriculum
(kurikulum yang dilaksnakan). Dengan mengutif dari Cohen, Deer, Harrison, dan
Josephson, (1982), dan Goodlad (1978) menyebutnya sebagai kuriklum realita
atau sebagai eksperiensial. Istilah realita dipergunakan karena kurikulum dalam
dimensi ini adalah kurikulum yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Sedangkan eksperiensial dipergunakan karena kurikulum ini merupakan sesuatu
yang dialami siswa.
Di kalangan pakar kurikulum terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah
dimensi ini termasuk kurikulum atau bidang yang berdiri sendiri. Bagi Mcdonal
(1965) kurikulum (curriculum) hanyalah sebagai: a plane for action, that is, a
plane that guides instruction”. Jadi, kurikulum hanya dipandang sebagai sebuah
rencana untuk tindakan pembelajaran, bukan sesuatu yang dialami secara nyata
oleh siswa. Beaucham (1981:7), sebagaimana dikemukakan di atas juga
memandang kurikulum sebagai sebuah dokumen tertulis atau tidak tertulis.
Dalam hal ini ia memandang kurikulum hanya dalam bentuk ide dan rencana
tertulis saja. Dalam kata lain kedua pakar inimemandang proses atau kegiatan
pelaksanaan kurikulum ini tidak disebutnya sebagai kurikulum. Sementara itu,
Johnson (1967) memandang situasi nyata di dalam kelas dipandang sebagai
implementasi dari rencana pembelajaran, bukan rencana kurikulum. Kurikulum
hanya dalam bentuk pencapaian tujuan belajar (Zais, 1976:9). Di pihak lain,
Johnson juga memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil (output)
dari sistem pengembangan kurikulum dan menjadi bahan masukan (input) bagi
sistem pembelajaran. Demikian ia juga tidak menyatakan proses sebagai
sebuah kurikulum.
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang konsep kurikulum
tersebut, namun dalam prakteknya kurikulum sebagai proses adalah merupakan
implementasi kurikulum. Fullan (1982), dan Leithwood (1982) adalah di antara
para pakar kurikulum yang memandang bahwa implementasi adalah sebagai
sebuah kurikulum dalam dimensi proses. Sebagaimana definisi yang
dikemukakan oleh Fullan (1982:54) bahwa implementasi adalah: “the process of
putting into practice an idea, program, or set of activities new to the people
attempting or expected to change”. Sementara itu, istilah implementasi kurikulum
ini sering pula disamakan dengan pembelajaran (instruction). Dalam bahasa
lain, bahwa sebuah kurikulum yang ada pad aide atau gagasan yang kemudian
dituangkan dalam bentuk rancangan tertulis kelanjutannya akan
diimplementasikan. Dengan demikian implementasi (proses) adalah merupakan
pelaksanaan kurikulum ide dan kurikulum tertulis.
Meskipun pada dasar atau idealnya kurikulum dalam dimensi proses ini
merupakan implementasi dari apa yang telah digagas dan dituangkan dalam
program tertulis, namun bukan berarti kurikulum dalam dimensi proses ini
semata mengimplementasikan apa yang digagas dan telah diprogramkan secara
tertulis, sebaliknya adakalanya dalam proses ini dapat muncul hal-hal baru,
merubah dan meniadakan apa yang telah digagas dan diprogramkan secara
tertulis tersebut, karena ada situasi dan kondisi yang mengharuskannya untuk
dilakukan perubahan.

4) Kurikulum sebagai Hasil belajar.


Kurikulum sebagai suatu produk atau hasil belajar, sebagaimana
dikemukakan oleh Leithwood (1982), pada dasarnya merupakan kelanjutan dan
dipengaruhi oleh kurikulum sebagai kegiatan. Ia juga merupakan dimensi
kurikulum yang dipengaruhi secara langsung oleh kurikulum sebagai ide,
terutama ide yang ada pada diri guru. Dengan demikian ia merupakan dimensi
kurikulum tersendiri (Hasan, 1988).
Sebagai dimensi kurikulum tersendiri, ia merupakan dimensi kurikulum
yang banyak dibicarakan orang, sehingga dalam kenyataan sehari-hari orang
mempergunakan produk ini sebagai indikator dan tolok ukur untuk menentukan
keberhasilan pendidikan siswa. Bahkan ia juga digunakan orang untuk
menentukan keberhasilan karier siswa tersebut dimasa pasca pendidikan.
Dengan perkataan lain, kurikulum sebagai dimensi hasil ini sama pentingnya
dengan kurikulum dalam dimensi lain, atau bahkan ada yang menganggap lebih
penting dari dimensi lainnya (Hasan, 1988:36).
Kurikulum sebagai hasil belajar ini juga menjadi perbincangan para pakar
dan praktisi kurikulum, apakah ia merupakan sebuah dimensi sen-diri atau
hanya merupakan bagian dari sistem atau aspek kurikulum. Hasan (1988)
mengemukakan sebagai berikut:
…pada waktu kegiatan evaluasi secara formal dilakukan, evaluasi kurikulum
berhubungan dengan hasil belajar tetapi orang tidak mengaitkan hasil belajar itu
sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Meskipun demikian, hasil
evaluasi itu digunakan untuk memperbaiki ataupun mengganti kurikulum dalam
dimensi sebagai rencana. Usaha paling jauh yang dilakukan ialah memasukkan
hasil belajar sebagai salah satu komponen kurikulum sebagai rencana. Artinya,
ia harus dikembangkan tetapi tidak dianggap sebagai kurikulum dalam dimensi
sendiri.
Banyak pakar yang menganggap hasil belajar hanya merupakan bagian
dari aspek kurikulum sebagai rencana, diantaranya Tyler (1950), Beaucham
(1981), Zais (1976). Sebaliknya tidak sedikit juga yang memandang hasil belajar
sebagai dimensi kurikulum tersendiri. Miller & Seller (1985) adalah salah satu
pakar kurikulum yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu dimensi tersendiri
dari kurikulum. Dalam bukunya “Curriculum Perspektif and Practice (1985)”, ia
tidak memasukkan evaluasi sebagai salah satu aspek kurikulum sebagai
rencana, ia membahasnya tersenidiri. Pakar yang lebih tegas memandang
kurikulum sebagai sebuah hasil belajar adalah Johnson (1967). Sebagaimana
dikemukakan di atas, ia memandang kurikulum hanya merupakan "a structured
series of intended learning outcomes” (Zais, 1976:9). Pakar lain, menurut Hasan
(1988:35), seperti McDonal, Popham dan Baker, serta Inlow, juga menganggap
kurikulum hanya sebagai hasil belajar, sedangkan dimensi pengertian lainnya
tidak diakui.
Meskipun telah terjadi perkembangan dalam konsep kurikulum dari definisi
tradisional ke modern atau dari definisi sempit ke luas, namun konsep kurikulum
tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan sama sekali. Pada hal-hal
tertentu atau pada situasi tertentu masih tetap digunakan. Bahkan secara real
dalam dunia pendidikan, para praktisi pendidikan umumnya masih
menggunakan konsep kurikulum yang sempit atau pengertian tradisional, di
samping juga telah melaksnakan pengertian kurikulum modern. Dalam konteks
ini, jika para praktisi pendidikan seperti: guru, siswa, dan praktisi pendidikan
lainnya ditanya tentang kurikulum, maka mereka pada umumnya memberikan
jawaban sebagaimana digambarkan dalam pengertian sempit atau tradisional di
atas, yakni sejumlah mata pelajaran. Begitu juga, kegiatan belajar yang
dilaksanakan dan dihargai sebagai hasil belajar mayoritas dalam lingkup
pemberian sejumlah mata/materi pelajaran yang dilaksnakan oleh para guru di
sekolah, atau lebih khusus lagi, yang diberikan dalam kegiatan tatap muka di
dalam kelas (jam terjadwal).

KOMPONEN KURIKULUM
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu:
1) Tujuan;
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara
telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui
berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah
negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan
lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan
pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang
disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan
secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
a. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes,
knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective
life to the greatest possible extent.
b. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by
coverring them an equal basic education.
c. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over
the generation but also guide education towards mutual understanding and
towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat
dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa: ”Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran
makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau
satuan pendidikan tertentu. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007
dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
a. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
c. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
d. Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam
tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata
pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan
tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu
perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih
operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap
mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat
spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do
as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana
Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat
operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang
hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada
pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam
aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih
Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin
dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
a. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik,
dengan:
i. menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat
diamati;
ii. menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan
iii. memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat
digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja
sama.
b. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam
bentuk: ketepatan atau ketelitian respons; (kecepatan, panjangnya dan
frekuensi respons.
c. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku
peserta didik berupa : kondisi atau lingkungan fisik; dan (kondisi atau
lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat
penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional
ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat
berikutnya. Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan
kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum
yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan
kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan
cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau
aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme
sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses
pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada
upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan
menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan
pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang
krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara kurikulum yang
dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan
teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada
pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan
dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin
untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu
filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan
konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan
pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan
mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat
yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan
secara bereimbang.

2) Materi pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari
filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas
bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis, dalam bentuk :
a. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan
menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan
maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
b. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-
kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
c. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus,
bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang
mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
e. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran
yang harus dilakukan peserta didik.
f. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting,
terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
g. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan
dalam materi.
h. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk
memperjelas suatu uraian atau pendapat.
i. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu
hal/kata dalam garis besarnya.
j. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran
dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih
memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh
karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh
peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk
tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang
krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam.
Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak
diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal
yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi
pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian
atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang
melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan
materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk
menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat
tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan
fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk
menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan
hal-hal berikut :.
a. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-
benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi
yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan
memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
b. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta
didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
c. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis
maupun non akademis. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk
dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak
terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan
kondisi setempat.
d. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat
memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa
ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri
kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana
Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan
materi pembelajaran, yaitu :
a. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung
urutan waktu.
b. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung
hubungan sebab-akibat.
c. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung
struktur materi.
d. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi
pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang
sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis
sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks
menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran
disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur,
dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
e. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik
atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan,
diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
f. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai
dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah
yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan
masalah; (penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian
hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
g. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan
peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada
kesempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a)
sampai (c) peserta didik diminta untuk mengadakan pengujian hipotesis
h. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai
menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki
urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi
tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-
mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut hingga perilaku terakhir.
3) Strategi pembelajaran;
Telah disampaikan bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang
melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan
tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula
terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila
yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-
intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung
filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi
pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru.
Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan
dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik
hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi
dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya
bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar.
Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat
reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang
seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu
sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya
sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana
cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan
belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan
dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses
pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi
lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika
kelompok (kooperatif), seperti: pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau
role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya
sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha
menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta
didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi
peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai
guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para
peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang
menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri
dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan
materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam
pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar
secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik
untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet
atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih
cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan
mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai
dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk
menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki
kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

4) Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum
memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum.
Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
a. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah
mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada
waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan
kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
b. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata
pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok
yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami
pelajaran tertentu.
c. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa
pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri
yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran.
Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata
pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
d. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum
yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada
mata pelajaran.
e. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit
masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran
tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan
belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata
pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
f. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik

5) Evaluasi.
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian
terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian
tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang
bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum
evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students
toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau
dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada
efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program.
Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum,
yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the
capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to
which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program
evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi
kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan
sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem
kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu
dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-
persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-
syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing,
orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and
validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang
menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan
adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk
mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen
yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes
prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk
mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori,
interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan
kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan
dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh
para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam
memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan
pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru,
kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan
membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih
metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan
lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga
pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis
komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya
adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak
pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan
program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan
program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja
(performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu,
untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan
kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam
(1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context,
Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program
tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan
dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah,
sebagai berikut :
a. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis
tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program
yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang
bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu
tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang
bersangkutan, dan sebagainya.
b. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan,
seperti: dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan,
staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan
dan sebagainya.
c. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi :
pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan
oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup :
jangka pendek dan jangka lebih panjang.

B. PANDANGAN MENGENAI DIMENSI KURIKULUM KETERKAITANNYA

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keempat dimensi kurikulum


idealnya merupakan dimensi yang saling berhubungan satu dengan lainnya
Idealnya sebuah kurikulum adalah merupakan sebuah sistem dan rangkaian yang
berkesinambungan antara ide, rencana, proses dan hasil. Dalam hal ini, ide adalah
merupakan dimensi awal yang kemudian dituangkan dalam bentuk kurikulum
rencana tertulis. Rencana tertulis itu kemudian diimplementasikan dalam proses
pembelajaran, yang kemudian dari implementasi tersebut diharapkan menghasilkan
hasil yang sesuai dengan apa yang direncanakan atau digagas.
Meskipun demikian, dalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalu
sejalan. Dalam hal ini, sering terjadi ide tidak persis sama dengan apa yang
direncanakan secara tertulis; rencana tertulis tidak persis sama dengan apa yang
dilaksnakan (proses); dan apa yang dilaksanakan tidak persis sama dengan apa
yang dihasilkan. Ketidak sesuaian dan ketidak sejalanan tersebut biasanya
disebabkan kondisi-kondisi dan tuntutan pada setiap tahap dimensi yang berbeda
atau muncul belakangan.
Kondisi dan tuntutan ketika ide kurikulum digagas sering tidak sama dengan
ketika kurikulum tersebut dirancang secara tertulis, dan seterusnya. Meskipun
idealnya antara ide dan rancangan tertulis semestinya sama karena keduanya
merupakan ideal/potensial kurikulum, namun sering keduanya tidak bisa sama
persis, karena ketika ide dituangkan dalam sebuah rencana tertulis sering terdapat
hal-hal teknis yang harus disesuaikan. Begitu juga ketika ideal kurikulum
diimplementasikan dalam bentuk actual kurikulum, sering kali terjadi
ketidaksejalanan karena kondisi dan situasi ketika kurikulum ideal
diimplementasikan di lapangan. Selanjutnya hasil yang didapatkan juga sering tidak
sesuai dengan actual kurikulum dan ideal kurikulum, karena hasil juga dipengaruhi
oleh berbagai kondisi internal dan eksternal guru dan siswa itu sendiri. Tidak jarang
pengaruh hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang muncul ketika ide
diimplementasikan memberikan pengaruh dominan terhadap hasil yang dicapai.
Selain beragai pandangan tentang konsep kurikulum di atas, kurikulum juga
dapat dilihat dari tingkat keberadaan kurikulum tersebut. Di Amerika Serikat dikenal
tingkat dan jenis kurikulum mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, dimulai
dari kurkulum kelas (classroom curriculum), kurikulum sekolah (school curriculum),
kurikulum local (local curriculum), kurikulum regional (region curriculum), kurikulum
negara bagian (state curriculum), kurikulum bangsa (nation curriculum), dan
kurikulum dunia (world curriculum).
Di Indonesia dikenal ada empat tingkatan dan jenis kurikulum, yaitu:
a. Kurikulum Nasional (Negara) yang terdapat dalam Undang-undang Dasar,
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan GBHN. Kurikulum ini
merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan secara nasioanal, yang
berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan pendidikan nasional.
b. Kurikulum Institusional (kurikulum tingkat lembaga pendidikan/satuan
pendidikan) yang ada pada setiap lembaga pendidikan pada jenis dan
jenjangnya masing-masing. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman
kegiatan pendidikan pada masing-masing lembaga pendidikan yang berisikan
tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelasaksaan pendidikan pada lembaga
yang bersangkutan.
c. Kurikulum Mata Pelajaran/Bidang Studi yang ada pada setiap mata
pelajara/bidang studi yang diberikan pada setiap lembaga pendidikan. Kurikulum
ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan dan pembelajaran
yang berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan
pendidikan/pembelajaran pada setiap mata pelajaran/bidang studi yang
bersangkutan.
d. Kurikulum Instruksional/Pembelajaran yang merupakan pengembangan dan
implementasi masing-masing materi pelajaran yang ada pada setiap bidang
studi/mata pelajaran. Kurikulum ini berisikan rencana dan pedoman pelaksanaan
kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh setiap guru untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan penuntasan penyampaian materi
pelajaran yang telah ditetapkan dalam setiap kurikulum mata pelajaran/bidang
studi.
Sesungguhnya selain empat jenis dan tingkat kurikulum di atas, sejalan
dengan diterapkannya disentralisasi pendidikan, dikenal juga jenis/tingkat kurikulum
lokal dan regional. Hanya saja kurikulum yang terakhir ini tidak atau kurang
mendapat perhatian dalam praktek pendidikan. Kurikulum lokal adalah suatu
kurikulum yang disusun untuk daerah tertentu, seperti kurikulum untuk
kabupaten/kota atau propinsi atau daerah tertentu yang memiliki ciri khas dan
kebutuhan tersendiri.
C. PERBEDAAN KONSEPSIONAL ANTARA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Berdasarkan UUSPN 2 tahun 1989, Pendidikan adalah usaha sadar untuk


mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian pendidikan menurut
UU Sisdiknas 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar, agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara RI, yang bersumber pada ajaran
agama, keanekaragaman budaya Indonesia dan tanggap terhadap perubahan
zaman.
Secara ontologism pengertian pelatihan dijabarkan oleh beberapa ahli sebagai
berikut:
a. Friedman dan Yardough (1985: 4); training is a process used by organization to
meet their goals. It calld into operation when discrepancy is perceived between
the current situation and preferred state of affair. The trainer role is to facilitate
trainees movement from the statue quo toward the ideal. (pelatihan merupakan
upaya pembelajaran yang diselenggarakan oleh organisasi untuk pemenuhan
kebutuhan dan untuk mencapai organisasi. Pelatihan dianggap berhasil bila
menyiapkan performan SDM yang seharusnya diinginkan oleh organisasi
penyelenggara pelatihan. Peran pelatih, membantu membelajarkan peserta
pelatihan untuk mengubah perilaku yang biasa ditampilkan menjadi perilaku
yang diharapkan oleh organisasi).
b. George F. Kneller (1984); pelatihan mengandung beberapa arti; pertama, proses
penyampaian dan pemilikan keterampilan, pengetahuan dan nilai, kedua, produk
dari proses yaitu pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam pelatihan.
Ketiga, kegiatan professional yang diperlukan pengalaman khusus dan
pengakuan (sertifikasi). Keempat, suatu disiplin akademik yaitu kegiatan
terorganisasi untuk mempelajari proses, produk, dan profesi pelatihan dengan
menggunakan kajian filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan tentang manusia
yang bermasyarakat.
c. Rothwell (1996: 6-7); pelatihan sering diberi arti education, development, training
and development, employee education, personel development, inservice
education, human resources development, human performance technology,
human performance improvement, organization development, human
performance enhancement.
d. Jhonson dalam Craig (1976); pelatihan merupakan kegiatan yang disengaja,
unuk memecahkan masalah sumber daya manusia dan atau masalah yang
dihadapi oleh lembaga dalam upaya peningkatan produktivitas.
e. Michael J. Jucius dalam Moekijat (1991: 2) menjelaskan istilah latihan untuk
menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan
kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
f. Andrew E.Sikula (1981); training is a short term educational process utilizing a
systematic and organized procedure by which non managerial personnel learn
technical knowledge and skill for defenitife purpose. Development in reference to
staffing and personal matter is along term education process utilizing a
systematic and organized procedure by which managerial personnel learn
conceptual knowledge and skill for general purpose. (pelatihan merupakan suatu
proses (kegiatan) pendidikan jangka pendek dengan menggunakan prosedur
sistematis dan terorganisasi dimana orang-orang selain manajer mempelajari
pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun
pengembangan adalah proses jangka panjang dengan menggunakan prosedur
sistematis dan terorganisasi dimana tenaga manajer mempelajari pengetahuan
secara konseptual dan teoritis dalam mencapai tujuan yang bersifat umum.
g. Departemen of Employment dalam Peter Bramley (1991:xiv); pelatihan adalah
systematic development of attitude/knowledge/skill/behavior pattern required by
an individual to perform adequately a given task or job. (pelatihan merupakan
upaya pengembangan sistematik suatu sikap/ pengetahuan/ keterampilan/ pola
perilaku yang diperlukan oleh seseorang untuk memiliki kemampuan melakukan
tugas atau pekerjaan yang tepat.
h. Ernesto A. Franco (1991) mengemukakan pelatihan adalah suatu tindakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang pegawai yang
melaksanakan pekerjaan tertentu
i. Henry Simamora (1995); pertama, pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang
dirancang untuk meningkatkan berbagai keahlian, pengetahuan, pengalaman,
yang berarti perubahan sikap, kedua, pelatihan merupakan penciptaan
lingkungan tertentu dimana pegawai dapat memperoleh dan mempelajari sikap,
kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku secara spesifik berkaitan
dengan pekerjaan. Ketiga, pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian
tertentu yang diarahkan untuk membantu pegawai dalam melaksanakan
pekerjaan mereka pada saat ini dengan lebih baik.
j. Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: “proses pendidikan jangka
pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir.
Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang
sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”. Menurut Good, 1973 pelatihan adalah
suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan
(M. Saleh Marzuki, 1992: 5).
k. Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and
Productivity adalah belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam
melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses
memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai
keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam
melaksanakan pekerjaan mereka.
l. Hadari Nawawi (1997) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya adalah
proses memberikan bantuan bagi para pekerja untuk menguasai keterampilan
khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangannya dalam
melaksanakan pekerjaan. Fokus kegiatannya adalah untuk meningkatkan
kemampuan kerja dalam memenuhi kebutuhan tuntutan cara bekerja yang
paling efektif pada masa sekarang.
Secara epistimilogis, kajian dapat dilihat dari pengembangan system pelatihan,
apakah memiliki masukan, proses dan keluaran. Secara axiologis, kajian pelatihan
berguna bagi individu, lembaga, organisasi dan masyarakat.
Menurut Notoadmodjo (1992) pendidikan di dalam suatu organisasi adalah
suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi
yang bersangkutan. Sedang pelatihan merupakan bagian dari suatu proses
pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan
khusus seseorang atau kelompok orang.
Westerman dan Donoghue (1992) memberikan pengertian pelatihan sebagai
pengembangan secara sistimatis pola sikap/pengetahuan/keahlian yang diperlukan
oleh seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya secara memadai.
Sedangkan Latoirner seperti dikutip oleh Saksono (1993) mengemukakan
bahwa para pegawai dapat berkembang lebih pesat dan lebih baik serta bekerja
lebih efisien apabila sebelum bekerja mereka menerima latihan di bawah bimbingan
dan pengawasan seorang instruktur yang ahli. Otto dan Glasser (dalam Martoyo,
1992) menggunakan istilah “training” (latihan) untuk usaha-usaha peningkatan
pengetahuan maupun keterampilan pegawai, sehingga didalamnya sudah
menyangkut pengertian “education” (pendidikan).
Mengenai perbedaan pengertian pendidikan dan pelatihan Martoyo (1992)
mengemukakan bahwa meskipun keduanya ada perbedaan-perbedaan, namun
perlu disadari bersama bahwa baik training (latihan) maupun development
(pengembangan/pendidikan), kedua-duanya menekankan peningkatan keterampilan
ataupun kemampuan dalam human relation. Pendidikan pada umumnya berkaitan
dengan mempersiapkan calon tenaga yang diperlukan oleh suatu instansi atau
organisasi, sedangkan pelatihan lebih berkaitan dengan peningkatan atau
keterampilan pegawai yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu.
Dalam suatu pelatihan orientasi atau penekanannya pada tugas yang harus
dilaksanakan (job orientation), sedangkan pendidikan lebih pada pengembangan
kemampuan umum. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan serta
sikap-sikap kerja yang kondusif bagi penampilan kinerja pegawai, diselenggarakan
pendidikan dan pelatihan pegawai, dan diklat pegawai ini didasarkan atas analisis
kebutuhan yang memadukan kondisi nyata kualitas tertentu selaras dengan program
rencana jangka panjang organisasi.Notoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa
pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk pengembangan sumber
daya manusia, terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan
kepribadian manusia. Penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu
institusi atau organisasi biasanya disatukan menjadi diklat (pendidikan dan
pelatihan).
Simanjuntak mengemukakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan
salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pendidikan dan pelatihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga
meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas
kerja.
Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep pelatihan dalam hal ini adalah
proses pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran dilaksanakan dalam
jangka pendek, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan, sehingga mampu meningkatkan kompetensi individu untuk
menghadapi pekerjaan di dalam organisasi sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa “pelatihan sebagai suatu
kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja mendatang”.

Dalam pelatihan pada prinsipnya ada kegiatan proses pembelajaran baik teori
maupun praktek, bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kompetensi atau
kemampuan akademik, sosial dan pribadi di bidang pengetahuan, keterampilan dan
sikap, serta bermanfaat bagi karyawan (peserta pelatihan) dalam meningkatkan
kinerja pada tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Perbedaan yang nyata dengan pendidikan, diketahui bahwa pendidikan pada
umumnya bersifat filosofis, teoritis, bersifat umum, dan memiliki rentangan waktu
belajar yang relatif lama dibandingkan dengan suatu pelatihan. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan pembelajaran, mengandung makna adanya suatu proses
belajar yang melekat terhadap diri seseorang. Pembelajaran terjadi karena adanya
orang yang belajar dan sumber belajar yang tersedia. Dalam arti pembelajaran
merupakan kondisi seseorang atau kelompok yang melakukan proses belajar.
D. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

Model Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui:


a. Top-down the administrative model
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan
paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para
administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan
wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah
pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan
perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-
landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.
Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang
bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional
menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim
pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih
sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja
selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para
ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,
administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena
datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top-Down. Dalam
pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah
berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.

b. The grass root model.


Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan
upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu
guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan
dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,
sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang
bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots
seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah
mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling
tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun
kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku
untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat
digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain.
Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya,
memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem
pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih
mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-
root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif
tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya
manusia yang tersedia di sekolah.
2. KONSEP MODEL PELATIHAN SEBAGAI SUATU PROSES YANG INTEGRAL

PROSES
PENGKAJIAN
Kelima proses tersebut dilakukan secara KEBUTUHAN
PELATIHAN
sistematis, terencana dan terarah PROSES
satu PROSES
EVALUASI PERUMUSAN
sama lain saling mempengaruhi, sehingga PROGRAM TUJUAN
PELATIHAN PELATIHAN
jika satu proses tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya, maka proses PROSES
PROSES
PELAKSANAAN MERANCANG
lainnya akan terganggu. Berikut ini,
PROGRAM PROGRAM
PELATIHAN PELATIHAN
penjelasan mengenai setiap proses:
a. Proses pengkajian kebutuhan pelatihan.
Mengkaji adanya kesenjangan antara standar kinerja dengan tingkat kinerja
yang dicapai atau dimiliki. Pengkajian yang benar akan mengarahkan pelatihan
yang berorientasi kepada kebutuhan.
b. Proses perumusan tujuan pelatihan
Merumuskan secara tepat dan benar kesenjangan kinerja yang terjadi, dan
menetapkan dengan jelas kemampuan yang harus ditingkatkan. Tujuan
pelatihan dirumuskan dalam bentuk kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta
latih seusai pelatihan. Untuk itu, rumusan tujuan harus jelas, terukur, dan dapat
dicapai.
c. Proses merancang program pelatihan
Kompetensi yang telah dijabarkan sebelumnya dalam rumusan tujuan
selanjutnya diuraikan dalam kegiatan operasional yang dapat diukur.
Proses perancangan ini harus menghasilkan:
1) Kurikulum, dirancang berbasis kompetensi yang harus dicapai dan diuraikan
dalam:
a) Materi pelatihan
b) Metode penyampaian (pembelajaran)
c) Proses pembelajaran setiap materi
d) Proporsi dan alokasi waktu
2) Metode penyelenggaraan pelatihan (dalam kelas, lokakarya, pembelajaran
jarak jauh, ataupun magang).
3) Rancangan alur proses pelatihan
d. Proses pelaksanaan program pelatihan
Terdiri dari rangkaian kegiatan pelaksanaan program pelatihan yang
berpedoman pada kurikulum, metode penyelenggaraan, dan rancangan alur
proses pelatihan. Dengan benar-benar mengacu pada langkah ketiga tersebut,
dapat dipastikan bahwa kompetensi yang diharapkan akan dapat tercapai.
Proses ini didahului dengan persiapan yang menghasilkan komponen berikut ini:
1) Kerangka Acuan
2) Jadwal pelatihan
3) Pelatih yang sesuai dengan kriteria
4) Kelengkapan sarana dan prasarana diklat maupun penunjangnya
5) Master of Training
6) Format-format yang dibutuhkan
Selama proses pelaksanaan program pelatihan ini berlangsung, kegiatan
pemantauan dan pengendalian perlu dilakukan untuk meminimalisasi kejadian
penyimpangan baik dari tujuan maupun dari langkah-langkah sebelumnya.
e. Proses evaluasi program pelatihan
Merupakan kegiatan penilaian terhadap pelaksanaan program pelatihan meliputi
penilaian terhadap peserta, pelatih, penyelenggara, dan pencapaian tujuan
pelatihan.
Terdapat tiga tahap evaluasi pelatihan berdasarkan tahapannya, yaitu:
1) Penilaian tahap pra pelatihan yang meliputi empat komponen:
a) Peserta
b) Kurikulum
c) Pelatih
d) Institusi penyelenggara
2) Penilaian tahap selama pelatihan mencakup
a) Input
b) Proses
c) Output
3) Penilaian tahap paska pelatihan dilakukan terhadap
a) Hasil pelatihan
b) Dampak pelatihan
3. Karakteristik rancangan kurikulum pelatihan berbasis pembelajaran
a. Berdasarkan standar kompetensi.
b. Isi pelatihan diorientasikan pada kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan tugas tertentu.
c. Pelatihan dapat berupa on-job, off-job atau kombinasi keduanya.
d. Adanya fleksibilitas waktu untuk mencapai suatu kompetensi.
e. Adanya pengakuan terhadap kompetensi mutakhir/yang dimiliki saat ini.
f. Pengujian berdasarkan kriteria tertentu.
g. Pengujian dilakukan jika peserta pelatihan sudah siap.
h. Menekankan pada kesanggupan untuk mentransfer pengetahuan dan
keterampilan pada situasi baru.

4. Model-model perencanaan program pendidikan dan pelatihan


a. Komprehensif
Perencanaan yang berfungsi untuk menjawab masalah yang terjadi karena
adanya perubahan dalam sistem. model perencanaan ini menghasilkan
rencana komprehensif yang harus dijabarkan lagi dalam bentuk rencana
yang lebih spesifik
b. Target setting
Model ini diperlukan dalam upaya memenuhi proyeksi semua kebutuhan
jenis tertentu pada waktu tertentu dengan mempertimbangkan
perkembangan pada kurun waktu tertentu.
c. Efisiensi biaya
Diterapkan apabila dukungan pembiayaan terbatas. Diklat tidak lepas dari
pembiayaan. Program tidak dapat dilakukan sepenuhnya, ada pengurangan
bagian tertentu.
d. Planning programming budgeting system (PPBS)
Perencanaan, penyusunan program dan penganggaran dipandang sebagai
suatu sistem yang tidak terpisahkan (baik jangka pendek, menengah,
maupun jangka panjang)
e. Input-output process
Mengutamakan pengkajian terhadap interelasi dan interpedensi berbagai
masukan yang ada dan keluaran yang akan dihasilkan . biasanya diterapkan
pada proses transformasi suatu program baik bersifat program baru maupun
program peningkatan.
i. Econometric analysis
banyak menggunakan data dan fakta yang valid dan realistik sehingga dapat
memperkirakan perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan faktor
ekonomi.
j. Value added analysis
Dilaksanakan berdasarkan keberhasilan pelayanan (jasa). Keberhasilan
program pelayanan disuatu tempat digunakan sebagai bahan untuk
merancang program serupa di tempat lain.
HASIL UJIAN TENGAH SEMESTER
PENGEMBANGAN KURIKULUM
PELATIHAN

Oleh:

BETTA NOOR PUSPITA


NPM. A2M009122

Diajukan Sebagai Hasil Jawaban UTS Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Pelatihan
Dosen Pengampu : Dr. Alexon, M.Pd

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA (S2)


TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2011
SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER
PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN

Petunjuk: Jawablah setiap pertanyaan di bawah ini dengan uraian kajian dan analisis
konseptual yang kuat. Boleh berdiskusi dengan teman lain dalam mencari solusi
soal, namun penuangannya dalam tulisan (redaksional) tidak boleh sama (plagiat).
Jawabannya diketik di kertas ukuran kwarto (A4), 1,5 spasi, dijilid dan dikumpul
tanggal 16 April 2011.
2. Banyak pakar mengemukakan pandangannya mengenai konsep kurikulum.
Salah seorang diantaranya adalah Hamid Hasan. Hamid Hasan mengemukakan
4 dimensi  kurikulum, yakni ide, rencana, implementasi dan hasil.
a. Bagaimana konsep dan komponen kurikulum menurut Saudara?
b. Bagaimana pandangan Saudara mengenai Ke-4 dimensi kurikulum tersebut
serta bagaimana keterkaitan konsepsional diantaranya?
c. Bagaimana perbedaan konsepsional antara pendidikan dan pelatihan?
d. Bagaimana model pengembangan kurikulum yang sering digunakan di
Indonesia?
3. Bagaimana pendapat saudara mengenai keterkaitan konsep model pelatihan
sebagai suatu proses yang integral?
4. Bagaimana karakteristik rancangan kurikulum pelatihan berbasis
pembelajaran?
5. Jelaskan model-model perencanaan program pendidikan dan pelatihan yang
Saudara ketahui!

You might also like