You are on page 1of 12

http://www.pro-ibid.

com/content/view/104/1/

Metode bermain peran adalah salah satu proses belajar mengajar yang tergolong dalam metode
simulasi. Menurut Dawson (1962) yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan
bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan
mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Sedangkan menurut Ali
(1996:83) mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara pengajaran dengan melakukan
proses tingkah laku secara tiruan.
Metode pengajaran simulasi terbagi menjadi 3 kelompok seperti yang dikemukakan oleh Ali
(1996:83) berikut ini ; (1) Sosiodrama : semacam drama sosial berguna untuk menanamkan
kemampuan menganalisa situasi sosial tertentu, (2) Psikodrama : hampir mirip dengan sosiodrama .
Perbedaan terletak pada penekannya. Sosia drama menekankan kepada permasalahan sosial,
sedangkan psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya dan (3) Role-Playing : role
playing atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau.
Sedangkan Moedjiono & Dimyati (1992:80) juga membagi metode pengajaran simulasi menjadi 3
kelompok seperti berikut ini :
(1) Permainan simulasi (simulation games) yakni suatu permainan di mana para pemainnya
berperan sebagai tempat pembuat keputusan, bertindak seperti jika mereka benar-benar terlibat
dalam suatu situasi yang sebenarnya, dan / atau berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu
sesuai dengan peran yang ditentukan untuk mereka, (2) Bermain peran (role playing) yakni
memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang
dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan
kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang
dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu tempat dan/ atau waktu tertentu, dan (3)
Sosiodrama (sociodrama) yakni suatu pembuatan pemecahan masalah kelompok yang dipusatkan
pada suatu masalah yang berhubungan dengan relasi kemanusiaan. Sosiodrama memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang timbul dan
menjadi perhatian kelompok.

Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang
di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan
situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah
metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses
sejarah.
http://ian43.wordpress.com/2010/10/25/teknik-pembelajaran-bahasa-indonesia/
EKNIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Teknik diartikan sebagai metode atau sistem mengerjakan sesuatu (KBBI,
2001:1158). Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, teknik ini mengacu pada
implementasi perencanaan pembelajaraan Bahasa Indonesia di depan kelas. Teknik
bersifat prosedural. Teknik yang baik dijabarkan metode dan serasi dengan
pendekatan.
Berikut sejumlah teknik dalam pembelajaran bahasa Indonesia:
1. Teknik Ceramah
Pelaksanaan teknik ceramah dikelas rendah dapat berbentuk cerita kenyataan,
dongeng atau informasi tentang ilmu pengetahuan.
2. Teknik Tanya Jawab
Teknik tanya jawab dapat diterapkan pada latihan keterampilan menyimak,
membaca, berbicara dan menulis. Selain guru bertanya pada murid, murid juga
dapat bertanya pada guru.
3. Teknik Diskusi Kelompok
Teknik ini dapat dilakukan di kelas rendah dengan bimbingan guru. Peran guru
terutama dalam pemilihan bahan diskusi, pemilihan ketua kelompok dan memotivasi
siswa lainnya agar mau berbicara atau bertanya.

4. Teknik Pemberian Tugas


Teknik ini bertujuan agar siswa lebih aktif dalam mendalami pelajaran dan memiliki
keterampilan tertentu, untuk siswa kelas rendah tugas individual seperti membuat
catatan kegiatan harian atau disuruh menghafal puisi atau lagu.
5. Teknik Bermain Peran
Teknik ini bertujuan agar siswa menghayati kejadian atau peran seseorang dalam
hubungan sosialnya. Dalam bermain peran siswa dapat mencoba menempatkan diri
sebagai tokoh atau pribadi tertentu, misal: sebagai guru, sopir, dokter, pedagang,
hewan, dan tumbuhan. Setelah itu diharapkan siswa dapat menghargai jasa dan
peranan orang lain, alam dalam kehidupannya.
6. Teknik Karya Wisata
Teknik ini dilaksanakan dengan cara membawa langsung siswa kepada obyek yang
berkaitan dengan materi pembelajaran. Misalkan : museum, kebun binatang, tempat
pameran atau tempat karya wisata lainnya.
7. Teknik Sinektik
Strategi pengajaran sinektik merupakan susatu strategi untuk menjadikan suatau
masyarakat intelektual yang menyediakan berbagai siswa untuk bertindak kreatif
dan menjelajahi gagasan-gagasan baru dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
alam, teknologi, bahasa dan seni.

http://www.facebook.com/topic.php?uid=24650087449&topic=6922
Hendry
Teknik yang terkenal akhir-akhir ini, bermain peran (role play),mengajak kita kembali kepada
psikoterapi tahun 1930-an. Sejak itu, "role play" telah berkembang menjadi berbagai bentuk dan
variasi pendidikan dari tingkat pemula di sekolah dasar hingga ke tingkat yang lebih tinggi dalam
pelatihan manajerial bisnis eksekutif.
Banyak guru yang tidak bisa membedakan antara "role play" dan drama. Meskipun keduanya
tampak sama, tetapi mereka sangat berbeda dalam gaya. Mungkin perbedaan yang paling menonjol
adalah pada pelaksanaannya; drama yang asli biasanya menggunakan naskah, sedangkan role play
menggunakan unsur spontan atau setidaknya reaksi yang tidak dipersiapkan terlebih dahulu.
Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu.
Dalam ilmu manajerial, ketidaksesuaian dalam pengenalan peran ditunjukkan sebagai "role conflict"
(konflik peran) -- saran yang tidak konsisten, yang diberikan kepada seseorang oleh dirinya sendiri
atau orang lain. Role play sebagai suatu metode mengajar merupakan tindakan yang dilakukan
secara sadar dan diskusi tentang peran dalam kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah
diperagakan secara singkat sehingga murid-murid bisa mengenali tokohnya.
Beberapa tahun yang lalu, salah satu kelas di seminari saya mengadakan permainan peran (role
play) dengan cara yang unik. Permainan peran ini menitikberatkan pada semangat yang dapat
disertakan dalam teknik mengajar ini. Kelompok-kelompok kecil di kelas telah ditunjuk untuk
memeragakan berbagai metode mengajar di kelas. Salah satu anggota kelompok berperan sebagai
seorang pria yang terluka serius karena kecelakaan mobil. Peran lainnya adalah Tuhan berusaha
menjelaskan kepada pemuda yang memberontak ini tentang rencana-Nya, termasuk bencana ini,
meskipun anak muda ini sudah masuk ke sekolah Kristen dan memberikan hidupnya untuk
pelayanan.
Kelompok ini kemudian menyusun kursi membentuk lingkaran di dalam kelas. Di tengah lingkaran,
dua kursi saling berhadapan dan dimulailah percakapan yang tidak direncanakan sebelumnya. Pria
muda itu marah kepada Tuhan atas apa yang terjadi pada dirinya. Respons yang lembut dari
pemain lain dan dialog-dialog berikutnya menciptakan suatu semangat belajar yang tidak akan
segera dilupakan.
Nilai-Nilai dari Permainan Peran
Role play bisa dipakai untuk murid segala usia. Bila role play digunakan pada anak-anak, maka
kerumitan situasi dalam peran harus diminimalisir. Tetapi bila kita tetap memertahankan
kesederhanaannya karena rentang perhatian mereka terbatas, maka permainan peran juga bisa
digunakan dalam mengajar anak-anak prasekolah.
Dalam Permainan Peran, Kita Bisa Melakukan Kesalahan.
Kesalahan-kesalahan itu bisa menguji beberapa solusi untuk masalah-masalah yang sangat nyata,
dan penerapannya bisa segera dilakukan. Permainan peran juga memenuhi beberapa prinsip yang
sangat mendasar dalam proses belajar mengajar, misalnya keterlibatan murid dan motivasi yang
hakiki. Suasana yang positif sering kali menyebabkan seseorang bisa melihat dirinya sendiri seperti
orang lain melihat dirinya.
Keterlibatan para peserta permainan peran bisa menciptakan baik perlengkapan emosional maupun
intelektual pada masalah yang dibahas. Bila seorang guru yang terampil bisa dengan tepat
menggabungkan masalah yang dihadapi dengan kebutuhan dalam kelompok, maka kita bisa
mengharapkan penyelesaian dari masalah-masalah hidup yang realistis.
Permainan peran bisa pula menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam kelas. Meskipun pada
awalnya permainan peran itu tampak tidak menyenangkan, namun ketika kelas mulai belajar saling
percaya dan belajar berkomitmen dalam proses belajar, maka "sharing" mengenai analisa seputar
situasi yang dimainkan akan membangun persahabatan yang tidak ditemui dalam metode mengajar
monolog seperti dalam pelajaran.
Masalah-Masalah dalam Permainan Peran
Mungkin kekurangan utama dari pengajaran melalui permainan peran ini adalah ketidakamanan
anggota kelas itu. Beberapa anak mungkin memberikan reaksi negatif dalam berpartisipasi
mengenai situasi yang akan dibahas dan mungkin dikritik oleh anggota lain di kelas itu. Permainan
peran memerlukan waktu. Diskusi dalam kelas mengenai permainan peran yang dimainkan selama
5 -- 10 menit mungkin bisa membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang hasil yang
benar-benar bermanfaat dapat dicapai. Pada kesempatan yang lain, karena penampilan yang tidak
efektif dari pemainnya, atau penanganan yang salah karena guru tidak mempersiapkannya dengan
baik, hasilnya mungkin hanya pengulangan yang dangkal dari apa yang sudah diketahui oleh setiap
orang mengenai masalah yang dibahas.
Hubungan antarorang yang ada dalam kelompok merupakan suatu faktor yang penting agar
permainan peran bisa berhasil. Kadang-kadang hubungan ini muncul sebagai faktor negatif.
Misalnya, kesulitan-kesulitan interpersonal yang pernah dialami oleh anggota kelompok bisa muncul
di kelas dan merusak suasana permainan peran. Juga bila kelompok itu terdiri dari orang-orang yang
berbeda status, mereka mungkin enggan untuk terlibat karena takut direndahkan di depan anggota
lain di kelas itu yang lebih pintar dan terkenal.
Kesulitan-kesulitan dengan metode ini berat, tetapi tidak berarti tidak dapat diatasi, atau terlalu luas
sehingga kita harus menghindari menggunakan permainan peran. Manfaat yang paling besar dari
metode ini dengan cepat menyeimbangkan kesulitan-kesulitan yang nampaknya sangat nyata
dalam tahap-tahap persiapan awal.
Prinsip-Prinsip Supaya Permainan Peran Bisa Efektif
Sebagai suatu teknik mengajar, permainan peran didasarkan pada filosofi bahwa "makna ada pada
orang-orang", bukan dalam kata-kata atau simbol-simbol. Bila filosofi itu akurat, kita terlebih dahulu
harus membagikan makna, menjelaskan pemahaman kita atas setiap makna, dan kemudian, bila
perlu, mengubah makna-makna kita.
Dalam bahasa psikologi "phenomenologikal", hal ini harus dilakukan dengan mengubah konsep diri.
Konsep diri sangat tepat bila diubah melalui keterlibatan langsung dalam suatu situasi masalah
yang realistis dan berhubungan dengan hidup daripada melalui apa yang didengar dari orang lain
tentang situasi-situasi itu.
Menciptakan suasana mengajar yang bisa membawa perubahan konsep diri membutuhkan pola
pengaturan yang berbeda. Salah satu struktur permainan peran yang mungkin bisa sangat
membantu adalah sebagaiberikut.
1. Persiapan
a. Tentukan masalah
b. Buat persiapan peran
c. Bangun suasana
d. Pilihlah tokohnya
e. Jelaskan dan berikan pemanasan
f. Pertimbangkan latihan
2. Memainkan
a. Memainkan
b. Menghentikan
c. Melibatkan penonton
d. Menganalisa diskusi
e. Mengevaluasi
Meskipun kita tidak punya waktu untuk menggali setiap detail ini,tetapi penting untuk kita
perhatikan bahwa semuanya berfokus pada pengalaman kelompok, bukan pada perilaku unilateral
guru. Kelompok harus berbagi dalam menentukan masalah, membawakan situasi dalam role play,
mendiskusikan hasil, dan mengevaluasi seluruh pengalaman.
Guru harus mengenalkan situasinya dengan jelas sehingga baik tokoh maupun penontonnya
memahami masalah yang disampaikan. Dalam memilih tokoh, guru yang bijaksana akan mencoba
menerima para sukarelawan daripada memberikan tugas. Murid harus menyadari bahwa
kemampuan berperan dalam permainan peran ini tidak kaku, tetapi spontan bebas memeragakan
tokoh yang muncul dalam situasi tersebut.
Para pemain mungkin dilatih di depan umum sehingga penonton tahu apayang diharapkan atau
mungkin juga pemain dilatih secara pribadisehingga penonton dapat menafsirkan arti dari perilaku
mereka.Biarkan kreativitas dari pemainnya berkembang dalam memerankan tokohdan jangan
terlalu kaku pada situasinya.
Situasi diskusi dan analisa permainan peran tergantung pada seberapa baiknya kita melibatkan
penonton. Pertanyaan kunci yang mungkin ditanyakan oleh pemimpin dan/atau kelompok-kelompok
mungkin mulai terbentuk. Seluruh anggota kelompok (para pemain dan penonton) seharusnya
berpartisipasi, dan reaksi-reaksi pemain mungkin memberi manfaat dibandingkan dengan penonton.
Sama seperti para pemainnya, penonton juga terlibat penuh dalam situasi belajar. Pada saat
menganalisa dan berdiskusi, penonton harus memberikan solusi-solusi yang mungkin bisa
digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang disampaikan.
Penting untuk mengevaluasi permainan peran dengan tujuan-tujuan yang sudah ditentukan.
Mengelompokkan perilaku sering kali dilakukan secara berlebihan dan masuk dalam proses belajar.
Evaluasi harus dilakukan pada kedua kelompok dan dalam tingkat-tingkat pribadi, pertanyaan yang
muncul seputar kevalidan tujuan utama.
Dari keseluruhan proses, perlu untuk menghadapi masalah-masalah tertentu yang muncul pada saat
permainan peran diadakan. Sebaliknya, anggota yang hanya diam saja harus didorong untuk ikut
berpartisipasi. Ciptakan suasana di mana dia tidak perlu takut untuk membagikan ide-ide, percaya
bahwa tidak ada seorang pun yang akan menertawakan masukannya atau dengan kasar mengkritik
kesimpulannya.
Peserta yang terlalu memonopoli harus ditegur pada saat diskusi permainan peran supaya dia tidak
mendominasi kelompok sehingga justru menghentikan semangat diskusi. Penyelesaian masalah
mungkin membutuhkan beberapa konseling pribadi di luar kelas. Tekanan dan konflik di dalam
kelompok tidak selalu buruk. Kadang-kadang elemen-elemen ini bertindak sebagai perangsang
untuk berpikir. Ada hal yang dinamakan "tekanan supaya kreatif", dan ini sering kali ditemukan
dalam suatu permainan peran ketika semangat dalam kelompok itu mulai muncul.
Di akhir diskusi, kelompok secara kolektif mengukur keefektivan dalam memberikan solusi terhadap
masalah yang diberikan di awal kegiatan. Teknik permainan peran ini memberikan pendekatan
untuk melibatkan murid-murid dalam proses belajar mereka sendiri terhadap penjelasan konsep diri,
evaluasi perilaku, dan meluruskan perilaku tersebut dengan kenyataan.

over a year ago

http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/03/model-bermain-peran-dalam-
pembelajaran_29.html

MODEL BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN PARTISIPATIF


Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si

A. Abstrak
Melalui bermain peran (role playing), para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan
antar manusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-
sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, daan berbagai strategi
pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi
pribadi dan social. Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu peserta didik menemukan
makna dari lingkungan social yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini para peserta
didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan
bantuan kelompok social yang beranggotakan teman-teman sekelas. Dari dimensi social, model
ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi
social, terutama masalah yang menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan
masalah dilakukan secara demokratis. Dengan demikian melalui model ini peserta didik juga
dilatih untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
Pembelajaran partisipatif merupakan fenomena yang sedang tumbuh dalam pendidikan, baik
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Setiap jenis pembelajaran menggunakan
metode dan teknik yang disesuaikan dengan factor-faktor yang ada disekelilingnya. Agar
pembelajaran partisipatif berjalan efisien dan efektif mencapai sasarannya, maka diperlukan
metode dan teknik-teknik pembelajaran partisipatif.

B. Pendahuluan
Dalam pembelajaran guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik yang
berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan social. Pemecahan
masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, Tanya jawab
antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri.
Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak
terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang sesuai. Bermain
peran merupakan salah satu alternative yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan
yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model
yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran
diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang
menyangkut kehidupan peserta didik.
Manusia merupakan makhluk social dan individual, yang dalam hidupnya senantiasa berhadapan
dengan manusia lain atau situasi di sekelilingnya. Mereka berinteraksi, berinterdepedensi dan
pengaruh mempengaruhi. Sebagai individu manusia memiliki pola yang unik dalam berhubungan
dengan manusia lain. Ia memiliki rasa senang, tidak senang, percaya, curiga, dan ragu terhadap
orang lain. Namun perasaan tersebut diarahkan juga pada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap
orang lain dan dirinya itu mempengaruhi pola respon individu terhadap individu lain atau situasi
di luar dirinya. Karena senang dan penasaran ia cenderung mendekat. Karena tidak senang dan
curiga ia cenderung menjauh. Manipestasi tersebut disebut peran.
Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu
pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain. Peran yang
dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan
terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman
terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi
pada factor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap. Bermain peran berusaha membantu
individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil
mengerti perasaan, sikap dan nilai yang mendasarinya.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui
peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk
kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya
sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya.
Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran
tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa
benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya
sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan
perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah
dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang
menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian,
diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik.
Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan
pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam
pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2)
memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan
dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan
yang diperankan melalui berbagai cara.
Pembelajaran partisipatif memiliki prinsip tersendiri dalam kegiatan belajar dan kegiatan
pembelajaran. Prinsip dalam kegiatan belajar adalah bahwa peserta didik memiliki kebutuhan
belajar, memahami teknik belajar, dan berperilaku belajar. Prinsip dalam kegiatan
membelajarkan bahwa pendidik menguasai metode dan teknik pembelajaran, memaham materi
atau bahan belajar yang cocok dengan kebutuhan belajar, dan berperilaku membelajarkan
peserta didik. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan dalam langkah operasional kegiatan
pembelajaran, sebagai wujud interaksi dukasi antara pendidik dengan peserta didik dan/atau
antar peserta didik. Pendidik berperan untuk memotivasi, menunjukkan, dan membimbing
peserta didik supaya peserta didik melakukan kegiatan belajar. Seangkan peserta didik berperan
untuk mempelajari, mempelajari kembali, memecahkan masalah guna meningkatkan taraf hidup
dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap dunia kehidupannya.
Penerapan pembelajaran partisipatif mensyaratkan tersedianya berbagai metode dan teknik
pembelajaran yang cocok untuk itu. Metode pembelajaran adalah kegiatan atau cara umum
penggolongan peserta didik, sedangkan teknik pembelajaran adalah langkah atau cara khusus
yang digunakan pendidik dalam masing-masing metode pembelajaran. Metode yang dapat
digunakan dalam pembelajaran partisipatif ternyata bermacam ragam, yang dapat digolongkan
ke dalam tiga kategori yaitu metode pembelajaran perorangan (individual methods), metode
pembelajaran kelompok (group methods), dan metode pembelajaran missal atau pembangunan
masyarakat (community methods) (Verne dan Knowles, 1977:13). Teknik-teknik pembelajaran
partisipatif, berdasarkan pengelompokan metode, beraneka ragam pula. Dalam metode
pembelajaran perorangan dikenal teknik pembelajaran yaitu tutorial, bimbingan perorangan,
pembelajaran individual, magang, sorogan. Dalam metode pembelajaran kelompok terdapat
teknik diskusi, demontrasi, simulasi, kerja kelompok, situasi hiptetis, pemecaham masalah kritis,
bermain peran dan sebagainya. Ke dalam metode pembelajaran masal atau pembangunan
masyarakat, termasuk teknik kontak social, ‘’paksaan sosial’’ (social pressure), demontrasi proses
dan/atau demontrasi hasil, aksi partisipasi. Teknik-teknik pembelajaran dalam setiap metode itu
tidak dapat dipisahkan secara mutlak, karena suatu teknik dapat pula digunakan dalam metode
yang berbeda, seperti metode demonstrasi yang digunakan dalam metode pembelajaran
kelompok dapat digunakan pula dalam metode pembelajaran missal/pembangunan masyarakat
atau dalam metode pembelajaran perorangan.

B. Pembahasan
1. Model Bermain Peran
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran
bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar
dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman
dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya
bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi
kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik
dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya
yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk
mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran
yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan
antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam
konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri
merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama,
pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya,
dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada
bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk
kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang
tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan.
Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya
secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha
mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional.
Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah
sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang
sedang dihadapi.
d. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap,
nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi
pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya
yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau
diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang
dimilikinya.

Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model
pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta
didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.
Menurut Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan
pedoman dalam pembelajaran: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2)
memilih partisipan/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5)
pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, (9)
membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai
berikut.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah
pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah,
menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran
yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat
merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui
bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik,
menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternative
pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik
pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan
keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan
memperhatikan masalah yang diajukan guru.
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai
watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus
mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi
pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah
seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
Menyususn tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan
yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik
dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik
menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan
dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk
memainkannya.
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam
cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran
yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat
turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran?
Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan?
Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan
peran masing-masing. Merka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya.
Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa
yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa
pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah
yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang
terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa
yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan
bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal
ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada
saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.
Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat
telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan
melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi.
Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan
selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative
pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan
adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan
mempengaruhi peran lainnya.
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap
enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah
pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk
memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum
menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam
menghadapi masalah kehidupan.
Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus menghasilkan
generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu para peserta
didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional
dengan temannya. Mareka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini
mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling
tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang ditegaskan lagi
pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya
dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta
didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

2. Pembelajaran Partisipatif
Dalam pembelajaran partisipatif terdapat tiga pihak sebagai pemegang peran seperti
diungkapkan oleh Prof. H.D. Sudjana S., S.Pd., M. Ed., Ph.D. yakni pendidik, peserta didik, dan
kurikulum yang menjadi kepedulian keduanya, yaitu kepedulian pendidik dan peserta didik
(siswa, warga belajar, peserta latihan). Pendidik dengan penamaan lain baginya seperti pamong
belajar, pembimbing, dan pelatih atau widyaiswara, adalah sebagai pemegang utama dalam stiap
strategi kegiatan pembelajaran.
Strategi kegiatan pembelajaran dapat ditinjau berdasarkan pengertian secara sempit dan
pengertian secara luas. Secara sempit, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan secara luas, strategi pembelajaran
dapat diberi arti sebagai penetapan semua aspek yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian proses,
hasil dan pengaruh kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan kegiatan yang diitimbulkannya, strategi pembelajaran dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan strategi pembelajaran
yang berpusat pada pendidik.
Strategi pembelajaran yang berpusat pad peserta didik adalah kegiatan pembelajaran yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Strategi ini menekankan bahwa peserta didik adalah
pemegang peran dalam proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan pendidik
berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik memiliki beberapa cirri. Ciri tersebut
adalah bahwa pembelajaran menitikberatkan pada keaktifan peserta didik, kegiatan belajar
dilakukan secara kritis dan analitik, motivasi belajar relative tinggi, pendidik hanya berperan
sebagai pembantu (fasilitator) peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar, memerlukan
waktu yang memadai (relative lama), dan memerlukan dukungan sarana belajar yang lengkap.
Ciri lainnya adalah bahwa strategi pembelajaran ini akan cocok untuk pembelajaran lanjutan
tentang konsep yang telah dipelajari sebelumnya, belajar dari pengalaman peserta didik dalam
kehidupannya, dan untuk pemecahan masalah yang dihadapi bersama dalam kehidupan.
Strategi pembalajaran ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Keunggulannya adalah
pertama, peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri
karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi. Kedua, peserta didik
memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Ketiga, tumbuhnya suasana
demokratis dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-
membelajarkan di antara peserta didik. Keempat, dapat menambah wawasan pikiran dan
pengetahuan bagi pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan peserta didik mungkin
belum diketahui sebelumnya oleh pendidik. Adapun kelemahannya antara lain: (1)
membutuhkan waktu yang relative lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan
sebelumnya, (2) aktivitas dan pembelajaran cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang
biasa atau senang berbicara sehingga peserta didik lainnya lebih banyak mengikuti jalan pikiran
peserta didik yang senang berbicara, dan (3) pembicaraan dapat menyimpang dari arah
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah kegiatan pembelajaran yang
menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar atau membelajarkan
peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses serta hasil pembelajaran
dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik sedangkan peserta didik berperan sebagai pengikut
kegiatan yang ditampilkan oleh pendidik.

C. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat dapat disimpulkan ke dalam
beberapa hal berikut.
1. Melalui model pembelajaran bermain peran para peserta didik dapat berlatih untuk
menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Kelas dapat diibaratkan sebagai suatu kehidupan social
tempat para peserta didik belajar mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
2. Beberapa factor yang perlu diperhatikan dalam memilih topic masalah dalam bermain peran
agar memadai bagi peserta didik, antara lain usia peserta didik, latar belakang social budaya,
kerumitan masalah, kepekaan topic yang diangkat sebagai masalah, dan pengalaman peserta
didik dalam bermain peran.
3. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan teknik pembelajaran partisipatif yakni
factor manusia, tujuan belajar, bahan belajar, waktu dan fasilitas belajar serta factor sarana
belajar.
4. Kegiatan pembelajaran partisipatif meliputi pembinaan keakraban; identifikasi kebutuhan,
sumber dan kemungkinan hambatan; perumusan tujuan belajar; penyusunan program
pembelajaran; pelaksanaan kegiatan pembelajaran; dan penilaian terhadap proses, hasil serta
dampak kegiatan belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung:


Remaja Rosdakarya.
Skillbeck, Malcolm. 1976. School Based Curriculum Development and Teacher Education.
Mimeograph: OECD.
Sudjana S., D. 2001. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Tilaar, H.A.R. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
White, John. 1990. Educational and The Good Life. London: Educational Studies. Kogan Page
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/KSDP/article/view/7336

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENCERITAKAN


KEMBALI MELALUI TEKNIK BERMAIN PERAN PADA
SISWA KELAS V SDN SEBANDUNG II
Wiwin Sumariyati

Abstrak

ABSTRAK

Sumariyati, Wiwin. 2010. Peningkatan Kemampuan Menceritakan Kembali melalui Teknik


Bermain Peran pada Siswa Kelas V SDN Sebandung II. Skripsi, Jurusan
Kependidikan Sekolah Dasar dan Pra Kecamatan sukorejo Sekolah, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. Muhana Gipayana,
M.Pd, (II) Drs. Suharjo,M.S,M.A.

Kata kunci: bermain peran, menceritakan kembali, meningkat, SD.

Belajar bahasa adalah belajar komunikasi, karena itu pembelajaran bahasa harus
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Faktanya berdasarkan pengamatan
peneliti dan hasil tes pra tindakan, pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Sebandung II
diketahui bahwa hanya 3 orang siswa dari 12 orang siswa (25%) mampu menceritakan kembali
isi teks dengan klasifikasi baik. Strategi yang dipandang menjanjikan adalah strategi
pembelajaran dengan teknik bermain peran.

Untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran dengan teknik


bermain peran dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan bagaimana hasil penggunaan teknik
bermain peran dalam meningkatkan kemampuan menceritakan kembali siswa kelas V SDN
Sebandung II peneliti melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Penelitian tindakan ini
dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dan guru kelas V sebagai observer.

Penggunaan teknik bermain peran dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas V


Sebandung II sebatas media pembelajaran untuk membantu siswa mengingat bagian-bagian
penting dalam cerita sehingga siswa mampu menceritakan kembali isi cerita secara runtut dan
lengkap sesuai dengan isi cerita dengan menggunakan pilihan kata yang tepat baik secara
tertulis/lisan. Materi bacaan yang digunakan oleh guru pada tiap-tiap siklus berbeda, sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Yang paling menarik dari hasil penelitian ini siswa
tidak hanya mampu memahami isi cerita tetapi mampu memahami makna yang terkandung
dalam cerita. Ada internalisasi moral usai pembelajaran. Dengan bermain peran kemampuan
berbahasa seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dapat berkembang secara
seimbang.

Penelitian dengan teknik bermain peran dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terbukti
dapat meningkatkan kemampuan menceritakan kembali siswa kelas V di SDN Sebandung II.
Peningkatan ini dibuktikan oleh keberhasilan tindakan mulai dari siklus I sampai dengan siklus III.

Kemampuan menceritakan kembali siswa Sekolah Dasar merupakan kemampuan proses


berbahasa. Frekuensi latihan sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam berbahasa. Dari
hasil penelitian ini guru dapat memperoleh gambaran tentang tingkat kemampuan berbahasa
siswa, kelebihan dan kekurangan siswa dalam berbahasa, baik secara tertulis/lisan pada
pembelajaran bahasa Indonesia. Bagi Peneliti lain yang ingin mendalami teknik bermain peran,
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menindak lanjuti penelitian ini dengan
mengambil populasi yang lebih besar. Bagi calon pendidik semoga temuan ini dapat memacu
semangat belajar untuk gemar meneliti sehingga mampu berperan sebagai guru yang benar-benar
profesional.

You might also like