Professional Documents
Culture Documents
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
KATA PENGANTAR
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas
makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah
tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan
industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat
melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber
utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal,
pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut
merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas,
karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat
signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.
Pada umumnya kegiatan industri di daerah, menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan seperti aktifitas industri di sektor perindustrian, pertambangan dan sumberdaya
mineral, pariwisata, kehutanan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, kelautan dan
perikanan, riset dan teknologi, dan perumahan rakyat, serta sektor kesehatan. Untuk lingkup
permasalahan pencemarannya terhadap lingkungan terdiri dari bermacam kegiatan seperti
kebocoran gas, tumpahan minyak dari tanker (oil spil), limbah pertambangan ke laut,
kecelakaan kapal pengangkut bahan tambang mineral, pencemaran PLTN, illegal mining,
penambangan tanpa ijin (PETI), pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir laut
untuk reklamasi pantai atau pulau, industri yang berada di pantai/pesisir, penggunaan bahan
kimia pada aktivitas usaha tani di hulu, illegal loging, penggunaan kawasan hutan untuk
pelabuhan, pengambilan terumbu karang untuk diekspor, pembuatan kapal yang menggunakan
kayu, operasional kapal, kecelakaan kapal, kegiatan kepelabuhanan, illegal fishing, industri
perikanan, tambak, pembangunan tempat rekreasi di pantai/pesisir, reklamasi pantai, wisata
bahari, bahan beracun dari laboratorium, dan limbah domestik.
Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti terangkum di
atas menghasilkan limbah yang menyebabkan pencemaran air laut yang memberikan dampak
pada kehidupan di laut seperti berdampak pada ekosistem laut kerusakan terumbu karang,
mangrove, padang lamun, estuaria dan lain-lain, yang membutuhkan waktu yang sangat lama
dan teknologi yang memadai serta dana yang sangat besar dalam menyelesaikan
permasalahan pencemaran limbah ini.
2
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dalam penyusunan Draft Perumusan Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju
Perbaikan Kebijakan Lingkungan pada Aktivitas Industri Maritim, dimaksudkan untuk membuka
wawasan kepada masyarakat dan bangsa Indonesia dan pemahaman akan lingkungan hidup
khususnya di lingkungan laut yang ramah lingkungan.
Laporan pembahasan dari perumusan draft kebijakan ini masih jauh dari sempurna dan
mengharapkan saran-saran konstruktif guna penyempurnaannya.
3
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar............................................................................................................................ i
Daftar Isi ...................................................................................................................................... ii
Daftar Tabel ................................................................................................................................. iii
Daftar Gambar................................................................................................................................ iv
BAB. I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang…….………………………………………………………………………. ..... 1
1.2 Tujuan dan Sasaran…….……………………………………………………………………….. 2
1.3 Lingkup Kegiatan…………………………………………………..……………………………. 2
1.4 Metodologi…...…………………………………………………………………………………… 3
1.5 Keluaran….………………………………………………………….…………………………… 3
4
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR TABEL
Hal
5
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR GAMBAR
Hal
BAB 1
PENDAHULUAN
6
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
1.1 Latar Belakang
Dalam memajukan pembangunan maritim, berbagai jenis komoditi dan usaha yang
dapat digali dari sumber daya laut telah dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk
perikanan, transportasi, pertambangan, pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah
hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut
belum merupakan upaya yang optimal. Industri maritim yang saat ini sedang terpuruk harus
segera dibangkitkan kembali. Keharusan membangun kembali potensi kemaritiman didasari
oleh kekhawatiran terhadap implikasi negatif pengurasan sumber daya lautan secara besar-
besaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks.
Dilihat dari sisi lingkungan hidup, lingkungan laut sangat rentan (vulnerable)
dibandingkan dengan lingkungan darat hal ini karena lingkungan laut terdiri dari air sebagai
massa yang senantiasa bergerak, dan lingkungan laut juga tergantung pada penanganan
lingkungan darat. Akan tetapi jika diperhatikan, kebijakan pembangunan nasional yang ada
lebih berorientasi ke wilayah darat. Hal ini tentu saja menyebabkan aktifitas industri maritim
yang ada cenderung tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Padahal majunya industri
maritim sangat tergantung dengan lingkungan.
Penerapan tata kelola yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Lingkungan Hidup (LH) masih belum berjalan dengan baik. Sampai saat ini sudah cukup banyak
undang-undang (UU) maupun peraturan mengenai lingkungan hidup dan kelautan yang sudah
dihasilkan, tetapi masih banyak indikasi tentang terjadinya tumpang-tindih dalam
pelaksanaannya. Hal ini antara lain disebabkan karena rendahnya koordinasi antar sektor yang
berkaitan. Selain tumpang tindih ada indikasi masih banyak yang tidak saling menunjang.
7
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dengan lingkungan hidup serta kualitas aparat penegak hukum dalam bidang lingkungan belum
optimal, baik dari segi jumlah maupun kualitas sumber daya manusia (SDM).
1. Mensinergikan kebijakan-kebijakan antar sektor yang ada, sehingga tidak tumpang tindih
dan dapat diimplementasikan tanpa merugikan salah satu sektor.
2. Mengkaji peraturan daerah yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan di industri martim.
8
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
maritim melalui pembuatan matriks. Matriks ini berbentuk matriks analisis perbandingan
peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan lingkungan dalam bentuk interaktif.
Matrik ini merupakan materi yang digunakan untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Matriks
akan memudahkan para peneliti atau pembaca dalam mencari keterkaitan antar peraturan
perundang-undangan yang ada. Matriks akan disusun berdasarkan subyek dan kategori
yang berbeda, seperti konservasi laut dan sanksi yang diatur.
3. Menganilasa data-data (gap analysis) yang terkumpul, sehingga dapat diketahui kebijakan
atau peraturan-peraturan antar sektor yang tumpang-tindih, atau dapat dibuat suatu
kebijakan yang belum mengakomodir masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan
oleh industri maritim;
1.4 Metodologi
1. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei langsung ke beberapa daerah dan
memberikan kuisioner kepada instansi terkait, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
(Pemda). Kuisioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai aktifitas industri
maritim yang ada di daerah tersebut, serta dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
Dari data yang diperoleh juga dapat diketahui apakah di daerah yang bersangkutan sudah
tersedia kebijakan, sarana, prasarana dan kelembagaan yang dapat mendukung industri
maritim sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, serta langkah-langkah apa saja yang
telah dilakukan oleh Pemda dalam rangka menangani pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan oleh industri tersebut.
2. Selain data dari berbagai daerah, diambil juga data maupun informasi dari berbagai
departemen terkait. Karena dari data-data tersebut dapat diketahui kebijakan atau
peraturan-peraturan yang dalam pengimplementasiannya masih tumpang-tindih dan belum
sinergis.
9
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
4. Membentuk kelompok kerja (pokja) atau tim yang terdiri atas pakar hukum, pakar teknis,
dan tim konsultasi dari berbagai institusi pemerintah terkait, lembaga nonpemerintah, dan
akademisi;
5. Diskusi dan konsultasi publik yang mendalam dengan pakar dan pemangku kepentingan
untuk mendapatkan konsensus dan penyempurnaan hasil, baik melalui pertemuan terbatas
maupun dalam skala yang lebih besar;
1.5 Keluaran
Keluaran yang diharapkan adalah suatu Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju
Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim.
10
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 2
LINGKUNGAN LAUT
Daerah pesisir merupakan salah satu dari lingkungan perairan laut yang mudah
terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan
dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini
bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan
pertanian, tetapi juga merupakan lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan
minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran.
Lingkungan pesisir terdiri dari dari berbagai ekosistem yang berbeda kondisi dan
sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan
11
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimana pun juga di wilayah pesisir
secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut.
Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya didalamnya. Agar akibat negatif dari
pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekecil-kecilnya dan untuk menghindari
pertikaian antar kepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir,
pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan perencanaan
menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi.
Pengrusakan ekosistem alamiah, seperti hutan hujan tropis, hutan mangrove, dan
terumbu karang, terutama disebabkan oleh konservasi segenap ekosistem menjadi berbagai
peruntukan pembangunan, mulai dari kawasan permukiman (real estate), kawasan industri,
hingga tambak. Dari sudut pandang pembangunan, sebenarnya pengalihan fungsi ekosistem
alamiah menjadi peruntukan pembangunan tidak menjadi masalah, sepanjang masih pada
batas-batas yang dapat ditolerir oleh ekosistem alamiah dalam suatu kawasan pembangunan.
Permasalahan akan timbul bila tidak ada atau ekosistem alamiah yang tersisa dalam suatu
kawasan pembangunan terlalu kecil.
Dari sisi manusia, sebagai pengguna sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir,
secara garis besar permasalahan pembangunan pesisir bersumber dari masalah sebagai
berikut:
1. Orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Selama ini pembangunan yang dilakukan lebih banyak berorientasi untuk meraih
keuntungan ekonomi jangka pendek (seperti industri, pemukiman) tanpa
mempertimbangkan keuntungan jangka panjang (konservasi). Akibatnya, apabila terjadi
konflik antara pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan jangka pendek dengan tujuan jangka
panjang, maka seringkali pembangunan yang bertujuan jangka panjang tersisihkan, seperti
yang terjadi pada kasus reklamasi Pantai Indah Kapuk.
2. Kesadaran akan nilai strategis sumber daya yang dapat diperbaharui dan jasa lingkungan
bagi pembangunan ekonomi masih rendah.
Dari sisi nilai strategis sumber daya hayati laut, sektor kelautan sepertinya masih dipandang
sebelah mata oleh pemerintah dan dunia swasta, karena dianggap nilai strategisnya masih
kurang menarik dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek dan menengah. Padahal sumber
daya yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya hutan mangrove saja, namun masih
terdapat terumbu karang, padang lamun dan rumput laut.
12
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang implikasi kerusakan lingkungan terhadap
kesinambungan pembangunan ekonomi masih rendah.
Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan implikasi kerusakan lingkungan
terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi disebabkan karena pelaku kerusakan
lingkungan tidak menyadari akan bahaya jangka panjang yang ditimbulkan dari kegiatan
pembangunan.
4. Tidak adanya alternatif pemecahan masalah lingkungan.
Tindakan destruktif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan
lautan disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa
kegiatan yang dilakukan telah mengancam kesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan;
kedua tidak adanya alternatif matapencaharian, dan ketiga adanya peluang untuk
melakukan kegiatan yang bersifat destruktif.
5. Pengawasan, pembinaan, dan penegakkan hukum masih lemah.
Kurangnya pengawasan dan penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat
bawah (masyarakat) maupun tingkat atas (pemerintah) membuat kecenderungan kerusakan
lingkungan lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu lembaga khusus yang
independen dengan otoritas penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang
mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Meskipun di Indonesia telah banyak hukum dan
peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang
berkelanjutan. Namun pada kenyataannya hukum dan peraturan-peraturan tersebut banyak
yang tidak diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum (law
enforcement), egoisme sektoral (sectoral egoism) dan lemahnya koordinasi antara sektor.
Kerusakan ekosistem di kawasan pesisir, secara umum bersumber dari: (1) Aktivitas
manusia di darat atau lahan atas seperti penebangan hutan, kegiatan pertanian, industri, dan
lain-lain, (2) Aktivitas manusia di dalam ekosistem pesisir itu sendiri seperti konversi mangrove
ke tambak, pengeboman ikan, dan lain-lain, (3) Aktivitas yang ada di laut bebas seperti tumpah
minyak dan pembuangan limbah cair (Bengen 2002).
Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologi (hubungan fungsional) antar ekosistem di
dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan daratan (lahan atas) dan laut
lepas. Oleh karena itu, setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya
(seperti pencemaran, erosi, dan perubahan secara drastis regim aliran air tawar) yang terjadi di
ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir.
13
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Sebagian besar permasalahan lingkungan yang menyebabkan kerusakan kawasan pesisir dan
laut merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan di darat. Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir
tersebut disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui Daerah
Aliran Sungai (DAS). Penurunan kualitas lingkungan kawasan pesisir terjadi apabila jumlah
limbah telah melebihi kapasitas daya dukungnya.
Sumber daya pesisir dan lautan memiliki berbagai sumber daya alam di dalamnya, yang
terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya: sumber daya
perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, dan terumbu karang.
b. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), misalnya:
minyak bumi, gas dan mineral, serta bahan tambang lainnya.
Selain menyediakan dua sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut memiliki
berbagai fungsi lainnya, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, jasa lingkungan, pariwisata, kawasan pemukiman serta tempat pembuangan
limbah.
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat
pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh
jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara
daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir
memiliki 2 macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (long shore) dan batas
tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup
bagian atau batas terluar dari daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan
ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran.
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat
pertemuan pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir,
khususnya perairan estuaria, mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara
14
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rangkai makanan di laut. Namun demikian,
perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai
oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, oleh karena itu merupakan wilayah
yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar
normal. Dari segi fungsi, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi hewan-
hewan migrasi.
Akibat pengaruh aktifitas manusia yang meningkat, seperti pencemaran minyak hasil
kegiatan eksploitasi tambang minyak di lepas pantai serta transportasi minyak, buangan limbah
pemukiman dan industri, perairan pesisir akan mengalami tekanan (stress), yang mengarah
pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir karena terganggu keseimbangan alami.
Apalagi ditambah dengan penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) dan pengrusakan
ekosistem koral secara fisik.
15
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
payau; (3) Vegetasi terna rawa payau; (4) Hutan rawa air tawar; dan (5) Hutan rawa
gambut.
Pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun
tidak langsung oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir
pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumber
daya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk
perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat
kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi (Kantor Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1991).
16
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 1. Pemukiman di pesisir (Sumber: : www.suarapublik.org)
Berdasarkan review dari berbagai sumber, diketahui ada berbagai jenis bahan
pencemar di laut beserta sumbernya, seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Jenis dan Sumber Bahan Pencemar di Laut
No. Bahan Pencemar Contoh Sumber
1. Pestisida Herbisida, insektidsida, fungisida Lahan pertanian, semprotan nyamuk.
2. Sulfaktan Deterjen, air sisa cucian, dan lain-lain. Rumah tangga, pasar, restoran, dan
lain-lain.
3. Logam – semi logam Merkuri, raksa, arsen, scelenium, Pabrik tekstil, cat, baterai.
cadmium, tembaga, dan lain-lain.
6. Limbah organik Serbuk gergaji, kulit kayu Industri meubel, playwood, dan lain-
industri lain.
17
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dahuri dan Damar (1994) menyatakan, ditinjau dari daya uraiannya maka
bahan pencemar pada perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Senyawa-senyawa konservatif, merupakan senyawa-senyawa yang dapat
bertahan lama di dalam suatu badan perairan sebelum akhirnya mengendap
ataupun terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan kimia perairan, contoh:
logam-logam berat, pestisisda, dan deterjen.
2. Senyawa-senyawa non konservatif, merupakan senyawa yang mudah terurai dan
berubah bentuk di dalam suatu badan perairan, contoh: senyawa-senyawa organik
seperti karbohidrat, lemak dan protein yang mudah terlarut menjadi zat-zat
anorganik oleh mikroba.
Lebih lanjut Dahuri dan Damar (1994) mengatakan bahwa sumber bahan
pencemar perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Point sources, yaitu sumber pencemar yang dapat diketahui dengan pasti
keberadaannya, contoh: pencemar yang bersumber dari hasil buangan pabrik atau
industri.
2. Non point sources, yaitu sumber pencemar yang tidak dapat diketahui secara
pasti keberadaannya, contoh: buangan rumah tangga, limbah pertanian,
sedimentasi serta bahan pencemar lain yang sulit dilacak sumbernya.
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas
makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain
adalah tumpahan minyak, sisa bahan amunisi perang, buangan dan proses di kapal,
buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari
transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari
pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan
minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan
kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang
selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan sangat
cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk
hidup di sekitar pantai tersebut.
18
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 2. Tumpahan Minyak di Laut (Sumber: www.clarkson.edu)
19
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 3. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
a. Aktifitas Transportasi
Tumpahan minyak yang berasal dari pengangkut minyak, biasanya memiliki resiko
memiliki resiko yang besar dalam hal pencemaran laut. Hal ini terjadi misalnya
karena faktor kesalahan navigasi yang mengakibatkan: tabrakan, kandas,
20
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
tenggelam dan terbakar, sehingga kapal tanker pengangkut minyak itu
menumpahkan muatannya dan mencemari laut dan pesisirnya.
Disamping itu, selain memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem
kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya
ditempatkan dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses
bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor
disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan
dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar
tangki diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.
Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam
tangki slop. Sehingga di dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air.
Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan
memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal atau dipompakan ke
laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air
yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada
pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal tanker.
21
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Docking (Perbaikan / Perawatan kapal)
Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk pembersihan
tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa bahan bakar yang ada
dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan
kebakaran. Dalam aturannya semua galangan kapal harus dilengkapi dengan
tangki penampung limbah, namun pada kenyataannya banyak galangan kapal tidak
memiliki fasilitas ini, sehingga buangan minyak langsung dipompakan ke laut.
Selain itu juga di Docking dilakukan proses scrapping kapal (pemotongan badan
kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan
lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan sekitar
1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini yang menyebabkan
kerusakan lingkungan setempat.
22
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
d. Bilga dan tangki bahan bakar
Umumnya semua kapal memerlukan proses ballast saat berlayar normal maupun
saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal digunakan untuk memuat
kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan juga tangki bahan bakar yang
kosong untuk membawa air ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air ballast
tersebut dipompakan ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan
minyak. Selain air ballast, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga
bercampur dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas
hasil proses mesin yang merupakan limbah. Aturan internasional mengatur bahwa
buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus masuk terlebih dahulu ke
dalam separator, pemisah minyak dan air, namun pada kenyataannya banyak
buangan bilga illegal yang tidak memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut.
23
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
f. Pengilangan minyak
Kegiatan di kilang minyak merupakan sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran minyak di perairan, karena air limbah proses pengilangan bercampur
minyak, misalnya air drain yang berasal dari stripping, desalter, dan treating
process. Setelah digunakan di kilang, sebagian besar air dibuang kembali ke
lingkungan sebagai limbah, dimana limbah ini banyak mengandung minyak yang
dapat mencemari badan air dan pada akhirnya menuju ke laut.
24
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
udara. Semakin tebal lapisan minyak maka pelarutan oksigen dari udara semakin
terganggu dan akan merugikan biota-biota laut.
5. Jika tumpahan minyak tersebut tidak mematikan sumber daya laut, maka
pencemaran tersebut menurunkan kualitasnya. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan hewan-hewan laut untuk mengakumulasi minyak di dalam tubuhnya.
Akumulasi ini sering menyebabkan daging ikan berbau minyak, sehingga
merugikan para nelayan karena tidak dapat menjual ikan tangkapan mereka.
6. Untuk bidang pariwisata, polutan minyak di perairan mengurangi minat wisatawan,
karena keindahan laut tertutup oleh lapisan minyak.
b. Aspek Perlengkapan
Beberapa teknik yang dapat direkomendasikan untuk penanggulangan minyak
adalah: penggunaan spraying chemical dispersants; pengoperasian slick-lickers;
dan floating boom. Berkaitan dengan perlengkapan kapal, UU No. 21 tahun 1992
juga menyebutkan tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun
penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan minyak). Para produsen
25
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
minyak dan gas bumi pun sudah memiliki produsedur kerja dan fasilitas
penanggulangan tumpahan minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam
penerapan Tier 1 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi
dalam lingkup pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan
minyak yang terjadi di luar lingkungan pelabuhan) yang dilakukan secara iner-
connection di bawah koordinasi Administrasi Pelabuhan (Adpel). Hal yang
penting untuk diperhatikan pada aspek ini adalah pentingnya penguasan
prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh pelaksana
lapangan.
c. Aspek Koordinasi
Seluruh departemen, instansi terkait serta masyarakat harus dapat berkoordinasi
untuk menanggulangi pencemaran ini.
26
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
No Tahun Lokasi Keterangan
Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton
8. 2001 Tegal - Cirebon
limbah minyak.
Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton
9. Oktober 2000 Batam
minyak mentah.
Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan
10. 1999 - 2000 Cilacap
menumpahkan sekitar 4000 barel.
Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat
11. 1998 Tanjung Priok
solar.
Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker
12. Oktober 1997 Selat Singapura
Evoikos.
13. 1996 Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO.
Tabrakan kapal tanker MV Bandar Ayu dengan Kapal Ikan
14. April 1994 Pelabuhan Cilacap
Tanjung Permata III.
15. Januari 1993 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator.
Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki
16. September 1992 Selat Malaka
Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak.
Pelabuhan Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500
17. Februari 1979
Lhokseumawe kilo liter minyak tanah.
Pelabuhan Buleleng, Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember
18. Desember 1979
Bali menumpahkan 300 ton bensin.
19. Januari 1975 Selat Malaka Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace.
Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan
20. 1975 Selat Malaka
minyak sebesar 1 juta barel minyak solar.
Sumber: Agung Sudrajad, 2006
27
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Sebagian bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem laut dapat diencerkan dan
disebarkan ke seluruh wilayah laut melalui adukan turbulensi dan arus laut. Untuk wilayah-
wilayah laut yang luas dan terbuka dengan pola arus dan turbulensi yang aktif, bahan-bahan
pencemar akan terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas, sehingga dapat
meminimalkan konsentrasi akumulasinya dalam suatu badan perairan. Akan tetapi pada
wilayah-wilayah laut yang sempit dan tertutup, bahan pencemar akan mudah sekali
terakumulasi di dalam suatu badan perairan.
Sebagian dari bahan pencemar akan terbawa oleh arus laut atau biota yang sementara
melakukan migrasi ke wilayah laut lainnya, dan akan lebih menguntungkan apabila terbawa ke
perairan laut terbuka. Sedangkan sisa bahan pencemar yang tidak dicencerkan dan disebarkan
serta terbawa ke wilayah-wilayah laut yang luas dan terbuka, akan dipekatkan melalui proses
biologi, fisik dan kimiawi, dimana dalam proses biologi, bahan pencemar biasanya diserap oleh
organisme laut seperti ikan, fitoplankton maupun tumbuhan laut untuk kemudian diserap lagi
oleh plankton nabati kemudian akan berpindah ke tingkat-tingkat tropik selanjutnya seperti
avertebrata dan zooplankton dan kemudian ke ikan dan mamalia. Sedangkan dalam proses
fisik dan kimiawi, bahan pencemar akan diabsorbsi, diendapkan dan melakukan proses
pertukaran ion.
Peningkatan jumlah penduduk, khususnya yang berdomisili di sekitar DAS akan diikuti
oleh peningkatan kebutuhan hidup yang dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam.
Kedua hal tersebut akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan
28
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung lingkungan
(DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkunganpun akan menurun.
Secara nasional ketersediaan sumber daya air memang masih sangat besar, tetapi
tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Akibat pengelolaan lahan dan hutan yang kurang
bijaksana, analisis neraca air dan water demand-supply wilayah menunjukkan bahwa ada
kecendrungan semakin tidak meratanya sebaran dan ketersediaan air menurut waktu atau
musim dan sepanjang antara lokasi sumber dengan pusat-pusat kebutuhan air meningkat. Hal
tersebut selain meningkatkan frekuensi dan luas ancaman kekeringan dan banjir juga
meningkatkan sengketa dan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya air (Pawitan, dkk
1996). Secara fisik sengketa dan persaingan kebutuhan air akan meningkatkan intervensi
manusia terhadap tatanan hidrologi dan sumber daya air. Akibatnya adalah meningkatnya
kepekaan sumber daya air terhadap fluktuasi dan goncangan iklim, serta turunnya kualitas air
akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan.
Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan
oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga
mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (polutan dari industri,
pertanian, pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolan DAS ditujukan untuk
memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya.
Supriadi (2000) menyatakan bahwa kawasan hulu mempunyai peran penting yaitu
selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan
pertanian, industri dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis
untuk sistem penunjuang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor
produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk
kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemikiman dan lain-lain. Kemampuan
29
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak
negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang
berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut
berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu
siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai.
Menurut Sugandhy 1999, jika dihubungkan dengan penataan ruang wilayah, maka alokasi
ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan
pengamanan sumber air permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30 % dari
luas wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegahan pohon yang dapat berupa hutan
lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.
Hasil penelitian Deutsch and Busby (2000) menunjukkan bahwa total suspended solid
(TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai mengalami
penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih
dari 50%.
Pencemaran laut merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap lingkungan laut
maupun sumber daya yang didalamnya dapat menyebabkan kerugian bagi sistem alami
(ekosistem) maupun bagi manusia yang merupakan bagian dari sistem alami tersebut. Dengan
kata lain, pencemaran laut tidak hanya merusak habitat organisme laut serta proses biologi dan
fisiologinya saja, tapi secara tidak langsung dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan
manusia, karena terakumulasi oleh bahan-bahan pencemar melalui konsumsi bahan pangan
laut yang telah terakumulasi sebelumnya. Padahal selain sebagai sumber bahan pangan, laut
juga mengandung berbagai jenis sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
Beberapa jenis bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di
laut yaitu limbah domestik dan pertanian. Macam - macam limbah cair terdiri dari: rumah tangga
(domestik), industri dan pertanian.
Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat
perdagangan maupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dll. Limbah jenis ini
sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (biological oxygen demand), COD (chemical
30
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
oxygen demand) dan kandungan organik sistem pasokan air. Metoda dasar penanganan
limbah domestik pada dasarnya terdiri dari tiga tahap:
(1) Pengolahan dasar (primary treatment), yang meliputi pembersihan grit, penyaringan,
penggilingan dan sedimentasi,
(2) Pengolahan kedua (secondary treatment) menyertakan proses oksidasi larutan materi
organik melalui media lumpur yang secara biologis aktif, dan kemudian disaring,
(3) Penanganan tersier, di mana metode biologis canggih diterapkan untuk menghilangkan
nitrogen, di samping metode kimia maupun fisika seperti penyaringan granular dan
absorbsi karbon.
Limbah domestik berupa limbah rumah tangga dan kotoran manusia yang terbuang ke
perairan apabila melebihi kemampuan asimilasi perairan sungai dan terbawa ke laut dapat
mencemari perairan dan menimbulkan penyuburan berlebihan (eutrofikasi). Gejala ini akan
menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut akibat meledaknya populasi organisme
tertentu sehingga dapat menimbulkan kematian beberapa organisme perairan. Kondisi
perairan yang mengalami “eutrofikasi”, organisme makro-zoobenthos yang menjadi indikator
lingkungan jarang sekali ditemukan. Sedangkan kadar NH3 perairan meningkat dan pH-nya
menjadi rendah (asam). Keadaan ini menunjukan kondisi perairan yang tidak stabil dimana
terjadi penurunan kualitas perairan sehingga organisme laut akan mati atau tidak dapat
melangsungkan aktifitas hidupnya untuk proses pertumbuhan dan perkembangbiakan.
b. Limbah Industri
Sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis ini
bukan saja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COO maupun kandungan organiknya,
tetapi juga mengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang
mencemari. Penanganan limbah ini diiakukan dengan cara memasang instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke lingkungan atau badan air, dan penanganan sistem
pembuangan limbah domestik itu sendiri. Terdapat beberapa pilihan dalam mengendalikan
air limbah industri yaitu: Pengendalian secara end of pipe, yaitu pada titik pembuangan dari
sumbernya pabrik), Penanganan pada proses produksi (penerapan produksi bersih).
Dampak yang diberikan oleh limbah industri akan sangat tergantung dari jenis kegiatan
industri dan bahan baku yang digunakan. Misalnya logam Pb (Timbal) dan Hg (Merkuri)
31
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
yang dihasilkan dari penambangan liar (senyawa yang dipakai pada penambangan emas)
seperti di daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, yang merupakan salah
satu jenis bahan pencemar di laut, selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas
perairan laut, juga dapat menimbulkan keracunan. Karena unsur Pb dan Hg merupakan
unsur logam berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada apabila terakumulasi pada
organisme perairan yang dimakan manusia.
Pencemaran logam berat seperti di atas dapat terlihat di kawasan Teluk Jakarta saat ini
memang sudah dalam tahap memprihatinkan. Ini terlihat dari tingginya angka pencemaran,
khususnya merkuri dan pestisida, yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT.
Keduanya sudah melebihi ambang batas yang diperbolehkan, yaitu maksimum 0,5 ppb.
Logam berat lain yang kandungannya tinggi dan dinyatakan jauh melebihi batas aman,
yang ditemukan dalam pencemaan Teluk Jakarta ini, antara lain seng (Zn), tembaga (Cu),
kadmium (Cd), fosfat, dan timbal (Pb). Pencemaran ini diakibatkan pembuangan limbah
industri kertas, minyak goreng, dan industri pengolahan logam di kawasan Pantai Marunda,
termasuk juga limbah rumah tangga dan industri dari 13 sungai yang ada di DKI Jakarta.
Kondisi itu lebih diperburuk lagi dengan adanya pembuangan minyak secara rutin dari kapal
dan perahu kecil di kawasan itu.
Limbah industri lainnya yang umumnya terbuang ke badan sungai dan dialirkan ke laut atau
yang langsung terbuang ke laut akan terakumulasi. Dalam jumlah tertentu yang melebihi
kapasitas daya asimilatif perairan, bahan pencemar ini akan menjadi sludge yang
menimbulkan bau busuk. Kandungan kimia sludge dapat menurunkan DO dan BOD serta
meningkatkan COD. Disamping itu sludge mengeluarkan pula bahan beracun berbahaya
seperti sulfida, fenol, Cr (Heksavalen), Pb(Timbal), dan Cd (Cadmium) yang dapat
terakumulasi dalam organisme perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan
acaman bagi kehidupan manusia.
Secara sederhana, penanganan limbah cair domestik dan tinja dengan membangun
septiktank untuk setlap perumahan atau septiktank komunal di pemukiman padat penduduk
secara kolektif, bagi daerah yang beium mempunyai pengolahan limbah cair domestik
secara terpadu.
32
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 7. Pemukiman Padat Penduduk (Sumber: www.peopleandplanet.net)
33
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
sedimentasi ini bisa mencapai perairan estuaria dan perairan pantai. Secara ekologis
proses kekeruhan karena sedimentasi dapat menyebabkan terganggunya penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan, sehingga kegiatan fotosintesa plankton maupun organisme laut
lainnya menjadi terhenti. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam perairan menjadi
menurun diikuti oleh kematian organisme laut. Kematian organisme laut yang pada akhirnya
akan menurunkan kualitas perairan karena proses pembusukan pada perairan yang telah
mengalami pendangkalan dan penumpukan bahan organik akan menimbulkan racun.
Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak terhadap lingkungan perairan laut dan
pantai tergantung pada jumlah minyak yang tumpah, lokasi kejadian dan waktu kejadian.
Buangan dan tumpahan minyak bumi akibat kegiatan penambangan dan pengangkutannya
dapat menimbulkan pencemaran laut yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang
laut. Pengaruh buangan atau tumpahan minyak terhadap ekosistem perairan laut dapat
menurunkan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik dengan adanya
tumpahan atau buangan minyak maka permukaan air laut akan tertutup oleh minyak.
Secara kimia, karena minyak bumi tergolong senyawa aromatik hidrokarbon maka dapat
bersifat racun, sedangkan secara biologi adanya buangan atau tumpahan minyak dapat
mempengaruhi kehidupan organisme laut.
Tumpahan minyak bumi pada perairan laut akan membentuk lapisan film pada permukaan
laut, emulsi atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di dasar
perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan film pada permukaan laut akan
menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme laut, sementara
minyak yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang ikan sehingga
mengganggu proses respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi oleh sedimen-sedimen
di dasar perairan akan akan menutupi lapisan atas sedimen tersebut sehingga akan
mematikan organisme-organisme penghuni dasar laut dan juga meracuni daerah-daerah
pemijahan.
Akibat terganggunya proses fotosintesa maka populasi plankton akan menurun yang akan
diikuti oleh penurunan populasi organisme pemakan plankton (misalnya: ikan), yang diikuti
pula dengan penurunan populasi burung pemakan ikan. Menurunya populasi burung akan
mengakibatkan guano (penghasil fosfat) akan berkurang sehingga akan terjadi penurunan
34
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
hasil perikanan. Selain itu, buangan atau tumpahan minyak yang menyebar dengan cepat
ke wilayah laut yang lebih luas akan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan mangrove
sehingga mengakibatkan terjadinya abrasi dan intrusi air laut, rusaknya tempat-tempat
pemijahan (spawning ground) dari organisme laut.
35
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 3
AKTIVITAS INDUSTRI DI DAERAH
Untuk mengetahui pencemaran lingkungan, dapat terlihat seperti di bawah ini yang
merupakan hasil penelitian yang didapatkan dari pengumpulan data tentang kegiatan industri di
daerah-daerah (lihat lampiran 3) seperti dikemukakan sebagai berikut:
36
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
- Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal dan kapal nelayan dengan
menggunakan bahan baku kayu dan sebagian menggunakan bahan penolong besi. Pada
kegiatan industri ini, sejauh ini belum mencemari lingkungan karena industri ini dikerjakan
di luar daerah bantaran Sungai Kapuas.
- Industri perikanan seperti pengambilan hasil laut (ikan, ubur-ubur, dan lain-lain), budidaya
perikanan (pengolahan hasil laut: udang air payau dan asin, ikan beku). Aktifitas industri
ini mencemari lingkungan, contoh pada industri pengolahan hasil laut tidak memiliki
pengolahan limbah dan untuk budidaya perikanan tidak sesuai dengan tata ruang
pesisir/laut sehingga merusak ekosistem dan lingkungan.
- Industri parawisata bahari seperti industri wisata pantai, pulau dan hotel, pada kegiatan
industri ini tidak mencemari lingkungan justru rentan terhadap pencemaran, karena jika
terjadi pencemaran maka aktifitas pariwisata akan terganggu wisatawan yang berkunjung
akan berkurang.
- Industri kayu seperti kayu hulu dan playwood, kegiatan industri ini menyebabkan
pencemaran perairan Sungai Kapuas karena pemakaian bahan kimia dan juga
mengakibatkan pendakalan maritim sehingga dapat mengganggu lalu lintas maritim.
- Industri pertambangan seperti penambangan liar, pada kegiatan ini menyebakan
pencemaran perairan karena diakibatkan oleh senyawa kimia (merkuri) yang digunakan
oleh penambangan emas.
- Dinas Perindag Kop dan UKM, Kota Pontianak antara lain: Keputusan Walikota Pontianak
No. 446 dan 447 tahun 2002, tentang Pembentukan Komisi AMDAL, UKL dan UPL.
- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No.
137 tahun 2004, tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Laut Provinsi Kalimantan Barat, dan Keputusan Gubernur No. 83 tahun 2006, tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi
Kalimantan Barat.
38
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi
pencemaran lingkungan seperti:
- Dinas Budaya Seni dan Pariwisata antara lain: Perda tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata.
- Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) antara lain: Perda (Naskah
Akademik) Pengelolaan Wilayah Pesisir.
- Dinas Kehutanan antara lain: Perda tentang Baku Mutu Air Sungai Siak
- Industri perikanan, aktifitas industri ini seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak,
pada aktifitas ini jelas memberikan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran
lingkungan sedangkan penangkapan ikan dengan kapal-kapal yang menggunakan pukat
cincin dalam operasinalnya tidak/belum memberikan dampak terhadap pencemaran
lingkungan.
- Industri wisata bahari, secara umum kegiatan ini telah mencemari lingkungan, namun
besarnya potensi tersebut serta ada tidaknya pencemaran di laut sebagai dampak
aktifitas tersebut dan berapa besarnya masih diperlukan penelitian.
- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Kebijakan tentang aktifitas maritim masih
berbentuk naskah akademik/draft.
39
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri transportasi laut, pada aktifitas ini menghasilkan kotoran (kerak), pelumas atau
minyak yang berasal dari kapal sehingga menyebabkan pencemaran perairan.
Banyaknya aktifitas transportasi laut antar pulau dengan menggunakan speedboat dan
kapal ferry, alat transportasi laut tersebut menghasilkan air limbah yang banyak
mengandung minyak yang sangat berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan
perairan. Selain itu juga pencemaran ini meyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
wilayah pesisir, sehingga mengakibatkan tergganggunya keseimbangan ekosistem
seperti rusaknya ekosistem bakau dan terumbu karang yang merupakan tempat bernaung
dan hidup berbagai jenis biota laut (ikan, kerang, benih-benih ikan, dan lain-lain).
- Industri penambangan pasir seperti eksploitasi pasir untuk diekspor. Pasir laut memang
sudah dilarang untuk diekspor, namun pasir darat, tanah dan golongan C (bahan galian
yang tidak termasuk golongan strategis dan vital yaitu: batu kapur, bentonite, basal,
phosphate, kaolin, mika, andesit, granit dan gabro) lainnya masih bebas diekspor,
sehingga masih terjadi penambangan yang berpotensi merusak ekosistem pesisir dan
laut.
- Industri perikanan seperti penangkapan dan pengolahan ikan. Untuk penangkapan ikan
di Pantai Barat Sumatera Utara dan Kepulauan Nias sering menggunakan bahan peledak
dan racun sehingga merusak terumbu karang.
- Industri pelayaran, pada kegiatan industri ini menghasilkan limbah dari kapal yang
dibuang langsung ke laut tanpa pengelahan sehingga merusak biota laut dan juga
menyebabkan menurunya kualitas air.
- Industri pelayaran seperti pelayaran antar pulau/niaga, pelayaran penumpang, dan Usaha
angkutan laut khusus industri pariwisata dan tambang, perdagangan hasil laut antar
negara (seperti Taiwan, dan lain-lain)
- Industri perkapalan seperti galangan kapal, pembuatan perahu nelayan, Bangkai kapal.
- Industri wisata bahari seperti Snorkling, Boating, Fishing, Paracyling, melihat Lumba-
Lumba dan Pariwisata cruise baik jarak dekat (N. Lambongan) maupun jarak jauh (Moyo,
Komodo) dan Atraksi wisata (snorkling, diving, dan lain-lain)
- Industri rumah tangga seperti limbah domestik (cair/padat), deterjen, limbah dari darat
yang terbawa melalui aliran sungai, limbah padat & cair (khusus jenis plastik),
menghasilkan sedimentasi oleh muara sungai.
41
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi
pencemaran lingkungan seperti:
- Dinas Perikanan dan Kelautan antara lain: Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan,
SKB No. 367 & 604 tahun 1992 Gub. Bali & JaTim ttg Pembatasan Jumlah Purseseine di
Selat Bali, dan Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan.
- Kantor Administrator Pelabuhan Benda antara lain: Keputusan Menhub No. 38 thn 1990
ttg Pencegahan Pencemaran oleh Wilayah, dan Keputusan Menhub yang menetapkan
bahwa setiap Pelabuhan Umum DUICS, Pelsus diwajibkan Pembuatan AMDAL, & telah
dibentuknya AMDAL DepHub di Tingkat Pusat.
- PT. Pelabuhan Indonesia, Cabang Benoa antara lain: Perda ttg : Baku Mutu Budidaya,
Baku Mutu Pariwisata, dan Pengelolaan Lingkungan.
42
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 4
PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT
Untuk penegakan hukum lingkungan laut belum jelas dan terjadi carut marut , sehingga
untuk menyelesaikan permasalahan ini diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang
menangani keselamatan dan keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis dan untuk
wilayah ZEE sudah menjadi tanggung jawab TNI AL, seperti yang ada di negara USA dan
Jepang terdapat suatu badan yang bertugas yaitu Coast Guard yang sesuai dengan aturan
internasioanal (TZMKO).
Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin
interaksi antar sektor yang saling menguntungkan. Terdapatnya perangkat hukum
membutuhkan aparatur penegak hukum yang memiliki komitmen untuk menegakkan peraturan.
Tanpa itu semua, persoalan di laut dan pesisir akan menjadi tumpang tindih dan bermuara pada
kerusakan lingkungan dan kemiskinan dalam masyarakat.
Peran aparatur penegak hukum, seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan pengadilan dalam
pembangunan kelautan sangat penting dan strategis. Hal ini mengingat banyak kasus yang
terjadi dalam pembangunan kelautan dilatarbelakangi oleh persoalan hukum. Contoh muktahir
dari pentingnya peran hukum dalam pembangunan kelautan adalah kasus pencurian pasir laut
dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.
Kasus penambangan ilegal pasir laut, merupakan contoh kasus dari persoalan tumpang
tindihnya peraturan dan kebijakan. Tumpang tindih peraturan itu membuat kegiatan
penambangan membawa berbagai implikasi negatif bagi ekonomi, lingkungan, sosial, dan
politik. Negara dan masyarakat di pesisir dan kepulauan Riau, terutama nelayan yang
menyandarkan diri pada kegiatan perikanan hampir selama 32 tahun menderita kerugian.
Inpres ini kemudian diperkuat dengan Keppres No.33 Tahun 2002 tentang
pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut. Dalam keppres itu disebutkan pula
tentang pembentukan Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) yang
diketuai oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Tugas dari TP4L ini adalah mengawasi dan
pengendali pengusahaan pasir laut.
Begitu pula halnya dengan masalah praktek penangkapan ikan secara ilegal,
khususnya yang beroperasi di perairan ZEEI. Pemerintah telah mengantisipasi praktek tersebut
lewat penegakan hukum di wilayah laut. Dalam rangka penegakan hukum ini dilakukan
koordinasi dengan pihak aparat hukum seperti kepolisian, dan TNI-AL. Proses tersebut
selanjutnya dilakukan dengan membawa pelaku pencurian ke pengadilan melalui bekerja sama
dengan pihak kejaksaan agar tuntutan hukum atas perkara pelanggaran di bidang perikanan
dapat diberikan sanksi yang setimpal dan prosesnya cepat.
Tentunya kegiatan pengendalian penangkapan ikan tidak dapat dilakukan oleh aparat
pemerintah saja, melainkan juga harus melibatkan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, DKP
telah mengembangkan Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS) yang disosialisasikan
ke beberapa daerah.
44
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
komunikasi, serta perangkat sistem komputer database yang dioperasikan secara Wide dan
Local Area Net.
Begitu pula sanksi hukum bagi perusak lingkungan terlalu ringan, seperti bagi
pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan
karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung-
jawab, dan seterusnya.
Masih maraknya kegiatan bersifat destruktif, yang tidak hanya dilakukan oleh nelayan
tradisional, tetapi juga nelayan-nelayan modern, dan nelayan-nelayan asing yang banyak
melakukan pencurian ikan di perairan nusantara. Fakta ini merupakan bukti lemahnya
penegakan hukum.
Beberapa contoh dapat dilihat seperti terjadi benturan kepentingan antara pemanfaatan
sumberdaya kelautan dengan kegiatan konservasi lingkungan, antara pemanfaatan
sumberdaya secara optimal dan lestari dengan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Akibatnya, sektor kelautan yang memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke
belakang (backward linkange) dengan sektor-sektor perekonomian lainnya tidak tumbuh dan
berkembang secara optimal. Selain itu akibat kebijakan sektor-sektor perekonomian tersebut
tidak berorientasi atau tidak berkoordinasi dengan sektor kelautan. Sehingga sektor-sektor
perekonomian lain yang terkait tersebut juga tidak tumbuh dan berkemban secara optimal dan
berkelanjutan.
45
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan
penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya
memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap
sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan
karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya hampir di seluruh
wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai kepentingan.
Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak adanya aturan yang jelas
tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan
pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target, dan rencana
untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut
mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan
(jurisdictional conflict).
Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk
Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan
pemukiman mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk
konservasi dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional
Bunaken, sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata
bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkelling dan scuba diving.
Pengembang bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau
Manado Tua dan Bunaken, sementara Balai Pengelola Taman Nasional Laut Bunaken ingin
mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan
dan sasaran tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin
banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Untuk melihat fenomena tersebut menjadi
kenyataan, dilakukan observasi di Sulawesi Utara, untuk melihat apakah ada tumpang tindih
46
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
atau kesenjangan antara maksud, tujuan, sasaran dan rencana masing-masing instansi swasta
dan masyarakat. Diikuti dengan in depth interview terhadap key respondents, di lokasi yang
diperkirakan konflik terjadi dan korelasinya dengan kondisi SD pesisir sekitarnya.
Berdasarkan studi tersebut dapat ditemukan bahwa konflik pemanfaatan SD pesisir dan
jasa lingkungan ( marine resources and environmental amenities) muncul di Teluk Manado dan
daerah pesisir lainnya di Sulawesi Utara. Konflik antara nelayan tradisional dengan pengusaha
budidaya mutiara di perairan Pulau Talise. Konflik antara pengelola pariwisata, pengelola TNL
Bunaken, nelayan serta pengembang reklamasi pantai di Teluk Manado. Salah satu masalah
mendasar, pihak yang berkepentingan sering kurang jelas dalam menjabarkan konsep
pemilikan dan penguasaan SD pesisir dan kurang memperhatikan sistem pengelolaan yang
bersifat tradisional. Secara defacto, penduduk pesisir setempat merasa bahwa lahan dan SDK
kelautan disekitarnya adalah milik mereka, yang dikelola secara tradisional turun temurun.
Tetapi secara dejure, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh
sumber kekayaan alam yang terdapat dalam perairan Indonesia adalah milik pemerintah pusat.
47
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
berlanjut. Seterusnya, para responden berkeyakinan bahwa konflik akan selesai, paling jauh
pada tingkat kedua (melibatkan juru damai). Jawaban hipotetik tersebut, mengindikasikan
bahwa dalam benak para nelayan, penyelesaian melalui pengadilan merupakan suatu alternatif
yang hampir tak terpikirkan.
48
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
ada insentif bagi investor untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir terjadi the tragedy of commons. Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme
pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah yang menjadi state property, tetapi juga mengakui
hak-hak ulayat (common property) atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat
adat yang melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan
incremental benefit dari upaya mereka melestarikannya.
Konflik antara UU versus hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah perairan
pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, status perairan
pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya,
masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumberdaya di sekitar desanya
sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum
berdirinya Negara Indonesia. Ironisnya pemberlakuan berbagai undang-undang lainnya yang
memberikan mandat bagi instansi pemerintah dan izin pengelolaan bagi swasta membuat
sumberdaya tersebut diklaim sebagai milik pribadi (quasy private property). Ketidakpastian
pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini melemahkan mekanisme pengelolaan yang bersifat
tradisional dan mendorong terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access.
Selain itu norma-norma hukum yang ada dalam berbagai undang-undang, yang
seharusnya memberikan kepastian bagi instansi-instansi pemerintah dan masyarakat, yang
terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh dapat disebut UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 22
Tahun 1999. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, kewenangan penataan ruang laut harus diatur
dengan UU (Pasal 9) dengan kewenangan terbesar ada pada pemerintah pusat (sentralistik).
Sebaliknya, UU No. 22 Tahun 1999 serta merta menyerahkan kewenangan penataan ruang laut
(sejauh 12 mil) sepenuhnya ke daerah (Pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11 penataan ruang
menjadi kewenangan wajib pemerintah kabupaten/kota.
Bentuk ketidakpastian hukum yang lain adalah peraturan pelaksanaan yang tidak
konsisten dan ketiadaan peraturan hukum sama sekali (kekosongan hukum). Salah satu contoh
dari peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten itu adalah peraturan yang berkaitan dengan
49
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
hak ulayat. Di dalam UU No. 5 Tahun 1960, hak ulayat (termasuk hak ulayat laut) diakui
eksistensinya (Pasal 3), tetapi peraturan pelaksanaannya justru mengingkarinya (PP No. 24
Tahun 1998).
Saat ini masih terlihat ketidakjelasan pengaturan masalah hukum di Indonesia, seperti
Kepmen 1453 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan
di Bidang Pertambangan Umum, yang menuangkan tentang tata cara memperoleh perijinan
pertambangan di era otonomi. KepMen tersebut terasa ganjil karena masih menggunakan
UU No. 11 tahun 1967 sebagai dasar hukum, sementara substansi dari peraturan tersebut
adalah desentralisasi pemberian perijinan tambang kepada daerah, sebab KepMen tersebut
juga memuat UU No. 22 tahun 1999 sebagai dasar hukum. Kemudian dilanjutkan dengan
keluarnya PP No No 75 tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
No 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 11 tahun 1967 Tentang
50
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan. Setali tiga uang dengan Kepmen 1453
terdahulu PP ini juga dibuat sebagai tali penyambung antara UU No. 11 tahun 1967 dengan
UU No 22 tahun 1999.
Padahal dengan adanya TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan perlunya penataan kembali,
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keluarnya Keppres tersebut, para pelaku tambang yang tergabung dalam Asosiasi
Pertambangan Indonesia (IMA) menyambut dengan penuh antusias. Mereka menanggapi
51
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
positif keluarnya Perpu No. 1/2004 yang ditindaklanjuti dengan Keppres No. 41/2004 itu.
"Keppres tersebut membuat iklim investasi di sektor pertambangan kita jadi menggairahkan
kembali.
Permasalahan lain juga dapat terlihat pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
yang terbit 23 November 2001 membuka pintu liberalisasi bisnis migas di hilir yang selama
ini terproteksi oleh privilege Pertamina yang diberikan oleh UU No. 44 Prp Tahun 1960
tentang Pertambangan Migas dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina.
UU migas baru pun menggantikan satu lagi UU, yaitu UU No. 15 Tahun 1962
tentang Penetapan PP Pengganti UU No. 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri; dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina.
d. Rantap Rancangan Undang-Undang Pengeloaan Sumber Daya Alam
Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam sidang tahunan MPR RI tanggal
1-10 Nopember 2001 adalah ditetapkannya rantap RUU PSDA melalui Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001. Tap ini dimaksudkan sebagai jawaban untuk mengatasi masalah kemiskinan,
ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi, serta kerusakan sumber daya alam yang
selama ini terjadi. Demikian juga masalah kebijakan pengelolaan SDA yang tumpang tindih.
Meskipun begitu beberapa pihak menyayangkan karena pada keputusan Rantap PSDA
52
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
masih terdapat kekurangan seperti penyatuan Agraria dan PSDA. Tidak ada integrasi
konseptual yang memadai antara keduanya.
Contoh permasalahan lain dapat terlihat dalam kewenangan dan peran institusi
dengan jelas dapat ditemukan pada pembagian kewenangan sumberdaya laut dan
konservasinya. Departemen Kehutanan berwenang melakukan pengelolaan pada sebagian
besar kawasan lindung dan spesies langka, sedangkan Departemen Kelautan dan
Perikanan bertanggung jawab terhadap keberadaan spesies laut.
53
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 5
KEBIJAKAN STRATEGIS PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT
Faktor yang perlu mendukung dalam menyelesaikan masalah pencemaran ini antara
lain perlu keterpaduan dan keselarasan pada kebijakan/peraturan yang sudah ada dan perlu
ketegasan dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah kebijakan/peraturan yang over lap
atau yang bersinggungan antara instansi-instansi terkait pada pengelolaan sektor kelautan,
untuk kelembagaan yang terlibat langsung pada penanganan masalah lingkungan (selain
Kementerian Lingkungan Hidup) perlu penindakan yang tegas dari pemerintah apabila terdapat
suatu lembaga yang tidak menjalankan program kegiatannya yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Selain faktor di atas, untuk memudahkan dan agar dapat dijadikan acuan hukum yang
berlaku maka perlu penjabaran Konvensi-konvensi Internasional ke dalam kebijakan atau
peraturan nasional, dalam hal ini pasal-pasal yang perlu dijabarkan adalah pasal-pasal yang
mempunyai pengertian khusus atau mensyaratkan jangka waktu untuk dipenuhinya bagi
kepentingan negara, seperti batasan waktu untuk klaim batas landas kontinen Indonesia. Pada
UNCLOS 1982 terdapat Bab mengenai Negara Kepulauan yang sangat penting bagi Indonesia
tetapi tidak disebutkan pada UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS.
Dalam menangani masalah pencemaran lingkungan yang masih terjadi, terdapat
kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain:
I. Pemerintah Daerah:
a. SDM
Sumberdaya manusia dan laboratorium belum memadai
Sumberdaya manusia yang ada masih kurang, dan belum siap untuk menangani
pencemaran lingkungan.
Sumberdaya manusia belum mencukupi, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Sumberdaya manusia yang ada belum/tidak sesuai dengan bidangnya.
b. Masyarakat
Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan pembangunan yang
berkelanjutan masih rendah.
54
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Masyarakat belum mengetahui tentang Perda yang berlaku yang terkait dengan
lingkungan.
c. Arogansi daerah dalam mengurus perizinan.
d. PAD rendah ini disebabkan karena rendahnya ekonomi masyarakat sehingga banyak
nelayan yang mengambil jalan pintas untuk menangkap ikan, yaitu dengan menggunakan
bom.
e. Sarana dan prasarana, serta fasilitas yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan
masih kurang.
f. Kurangnya dana yang ada untuk menangani pencemaran lingkungan.
d. Limbah domestik (domestic waste yang masuk ke perairan melalui saluran air atau
sungai) yang antara lain berasal dari permukiman, perkantoran, hotel, restaurant dan
tempat rekreasi; dan limbah industri dan limbah rumah sakit / laboratorium:
Departemen Kehutanan:
- Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang
memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering
berbenturan dengan DepHut.
- Pemerintah daerah saat ini sedang berambisi untuk membangun kawasan
industri perikanan, tapi pembangunan industri tersebut kurang memperhatikan
status kawasan konservasi laut, sehingga sering berbenturan dengan fungsi
konservasi kawasan;
56
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
- Kawasan konservasi yang berdekatan dengan main land sering mendapat
kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya
Manado.
e. Limbah pertanian / perkebunan (dari penggunaan bahan kimia pada aktifitas tani di
hulu), termasuk limbah dari tambak.
Departemen Kehutanan:
- Kegiatan pembangunan tambak kurang memperhatikan status kawasan hutan
yang berada di wilayah pesisir (hutan lindung maupun kawasan lindung,
termasuk kawasan konservasi lahan basah dan kawasan konservasi laut),
sehingga berbenturan dengan konsep konservasi;
- Kegiatan tambak secara komersial tidak diizinkan di dalam kawasan
konservasi;
- Kegiatan tambak di dalam kawasan hutan dikembangkan secara silvo fisheries
(tambak empang parit);
- Kawasan konservsi yang berdekatan dengan main land sering mendapat
kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya
Manado.
57
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
g. Eksploitasi perikanan (illegal fishing/penangkapan ikan dengan pukat
harimau/pemboman ikan/penangkapan ikan dengan racun); pengambilan terumbu
karang untuk diekspor; penambangan pasir laut:
KLH:
- Masih banyak kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik;
- Kecepatan laju penurunan hutan mangrove dan kerusakan terumbu karang;
- Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali
- Tidak adanya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati laut;
- Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali;
Departemen Kehutanan:
- Pengambilan terumbu karang tidak diperbolehkan di dalam kawasan
konservasi laut (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Margasatwa
Laut dan Cagar Alam Laut);
- Pengambilan terumbu karang untuk ekspor masih dimungkinkan di alam
dengan kuota, tapi diwajibkan untuk transplantasi koral;
- Pengambilan soft coral masih untuk diizinkan mangambil di alam karena
teknologi transplantasi belum berhasil dengan baik;
- Kegiatan reklamasi pantai tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
konservasi laut dan perlu dikaji secara mendalam karena akan berpengaruh
terhadap ekosistem terumbu karang;
- Di dalam kawasan konservasi tidak diperbolehkan dilakukan izin penangkapan
ikan maupun budidaya (komersial); dan
- Masih didapati izin penangkapan ikan dan penyu di dalam kawasan konservasi
oleh pemerintah daerah.
58
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
c. Perlu ada peraturan/perundangan kemaritiman di Indonesia yang berpihak kepada
masyarakat kecil.
d. Perlu adanya penegakan hukum / sangsi (law enforcement) bagi para pelanggarnya.
e. Perlu penerapan industri yang ramah lingkungan
f. Perlu optimalisasi lembaga atau badan hukum yang ada di daerah berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan.
g. Perlu adanya koordinasi dengan instansi terkait secara terpadu dan kontinyu.
h. Perlu deprogram melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mengatasi pencemaran
lingkungan.
i. Perlu ada sosialisasi dari pemerintah kepada semua stakeholders yang terkait dengan
indutri maritim.
j. Perlu adanya penetapan zonasi pemanfaatan wilayah laut yang ditatapkan oleh daerah dan
sesuai denga RUTW Propinsi / Kabupaten / Kota.
k. Perlu adanya pendidikan khusus masalah lingkungan hidup.
59
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
permasalahan permasalahan yang selama ini dianggap sebagai faktor yang menghambat
proses pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, berkeadilan dan merata.
Pengelolaan dan pemberdayaan laut memiliki ruang lingkup yang luas karena sarana
dan prasarana untuk mengelola potensi laut memerlukan teknologi tinggi, investasi besar,
pelatihan dan kemampuan khusus SDM, sarana khusus untuk menghadapi resiko alam dan
keterlibatan masyarakat internasional dalam penggunaan laut untuk pemanfaatan ekonomi
bersama. Hal tersebut merupakan kendala dan peluang yang harus kita menangkan untuk
kesejahteraan bangsa, karena kita yakin laut menyimpan sumber alam sebagai sumber
kehidupan bangsa pada masa mendatang.
Berbagai jenis komoditi dan usaha yang dapat digali dari sumber daya laut telah
dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk perikanan, transportasi, pertambangan,
pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan
investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut belum merupakan upaya yang optimal. Di
samping belum sebanding perhatian kita terhadap potensi laut yang kita miliki, kita juga masih
menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan pembangunan di sektor kelautan di
antaranya adalah:
a. Melibatkan berbagai departemen dan instansi secara lintas sektoral yang memerlukan
adanya koordinasi yang sebaik-baiknya.
b. Dihadapkan kepada hambatan-hambatan teknis eksplorasi dan pengelolaannya.
c. Masih kurang menarik minat penanam modal, baik asing maupun dalam negeri.
d. Terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan dan mendayakan potensi
kelautan sesuai dengan perkembangan iptek mutakhir.
Permasalahan lain yang ditemukan dalam pengelolaan potensi laut adalah pada
kebijakan pemerintah yang telah dicanangkan, pada pelaksanaannya di lapangan tidak
semudah yang direncanakan. Laut di wilayah Indonesia tidak berdiri sendiri namun merupakan
bagian laut seluruh dunia. Oleh karena itu Indonesia tidak dapat lepas dari peraturan-peraturan
internasional mengenai kelautan. Pemberdayaan kelautan saat ini dikelola oleh berbagai
departemen dan lembaga yang berkaitan dengan potensi kelautan, masing-masing departemen
dan lembaga tersebut mempunyai perencanaan, program dan kebijaksanaan sendiri sehingga
terjadi benturan kepentingan, tumpang tindih dan sering tidak searah.
60
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Pengelolaan potensi laut yang meliputi pengelolaan hasil penangkapan ikan dan biota
laut, sumber daya alam, transportasi laut, industri maritim dan jasa maritim mempunyai ciri-ciri
kelautan yang sama yaitu kegiatan bermedia kelautan yang seyogyanya mempunyai landasan
kebijaksanaan yang saling mengait dan mendukung. Pengelolaan mempunyai pengertian yang
berbeda dengan eksploitasi kekayaan laut karena di dalam kegiatan pengelolaan mencakup
unsur pelestarian dalam arti bahwa pengambilan kekayaan laut itu dapat dilakukan secara
berkesinambungan. Dengan demikian pengelolaan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri
yang mungkin dapat terjadi perbenturan antar instansi dengan instansi lain, oleh karena itu
untuk menghindari kewenangan sektoral yang mengkotak-kotakkan pembangunan kelautan dan
menghindarkan pemborosan yang mungkin terjadi perlu adanya pengelolaan secara terpadu.
Wilayah laut dengan pantai merupakan kawasan yang sangat menarik tempat
konsentrasi hasil produk hasil bumi/daratan dan hasil laut yang paling produktif, karena terletak
di sepanjang garis khatulistiwa beriklim tropis yang panas, lembab dengan curah hujan yang
tinggi menjadikan pertemuan darat dan laut yaitu disepanjang pantai nusantara terbentang
terumbu karang dan hutan bakau yang luas. Dengan ekosistem laut yang relatif terjaga
kelestariannya menjadikan kawasan pantai menjadi kaya akan sumber daya untuk kehidupan
manusia dan membawa manfaat ekonomi kepada penduduknya. Maka kepadatan penduduk
sepanjang pantai ini pada gilirannya akan menyebabkan pengambilan kekayaan alam yang
intesif dengan tingkat degradasi lingkungan yang tinggi dan masalahnya bertambah parah
dengan meningkatkatnya pencemaran baik yang berasal dari darat maupun dari kapal atau
kegiatan anjungan lepas pantai. Kawasan pantai dengan desa pesisir adalah kawasan dengan
degradasi lingkungan yang tinggi perlu dipertahankan kelestarian lingkungan laut dan pesisirnya
agar tetap bisa mendukung pengambilan kekayaan laut secara berkesinambungan. Disini
terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan untuk pembangunan di satu pihak dengan
keperluan untuk melindungi kelestarian lingkungan di pihak lain. Manifestasi dari ketidak
seimbangan ini diwujudkan dalam pengambilan kekayaan laut yang berlebihan, cara
penangkapan ikan yang merusak, pengrusakan habitat, konservasi dari pada jenis makhluk laut
yang langka dan terancam serta pencemaran laut.
62
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
2) Mengalihkan operasional penangkapan ikan dan budidaya ikan ke daerah yang
masih sama sekali belum dimanfaatkan, untuk menghindari perairan yang telah
melampaui daya dukung lingkungan guna menjaga kelestarian sumberdaya
ikan dari ancaman kepunahan.
3) Mengfokuskan usaha penangkapan ikan dan budidaya tidak hanya pada
komoditas konvensional seperti jenis ikan tuna, cakalang dan udang, karena
perairan nusantara Indonesia memiliki ribuan spesies biota laut seperti jenis
kerang-kerang laut, rumput laut dan biota laut lainnya yang permintaan dunia
semakin meningkat untuk bahan baku industri bioteknologi laut pembuat obat-
obatan, kosmetika termasuk pangan.
4) Memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak kelestariannya seperti
menghidupkan kembali (reboisasi) hutan bakau yang telah punah, konservasi
daerah terumbu karang dan mencegah serta memperbaiki lingkungan yang
telah tercemar.
5) Menggunakan teknologi pengawetan ikan atau pengalengan ikan dan lemari
pendingin penyimpan ikan agar tetap segar karena ikan merupakan bahan
makanan yang mudah busuk, sehingga sering ditolak oleh konsumen.
6) Mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan pasar dan pesaing ikan untuk
memperinci kebutuhan pasar domestik dan global menurut jenis, ukuran
komoditas, waktu dan lokasi untuk menetukan daya saing dalam sistem
perdagangan dunia.
7) Meningkatkan kemampuan galangan kapal penangkap ikan nasional agar
bersaing dipasaran global.
8) Meningkatkan kemampuan industri pembuat peralatan penangkap ikan seperti
pembuat jaring alat tangkap ikan, pancing, pelampung dan tali temali yang
masih kalah bersaing dengan produk luar negeri mengakibatkan ketergatungan
hasil penangkapan terhadap luar negeri.
9) Meningkatkan kinerja dan manajemen pelabuhan ikan nasional dalam kualitas
pelayanan.
10) Meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perikanan
dan sumber daya manusia dan memperpendek birokrasi perijinan
penangkapan ikan.
63
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Pengelolaan sumberdaya tambang minyak dan mineral dilakukan dengan:
1) Melaksanakan pendidikan tenaga ahli yang terampil dalam menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan untuk menghadapi resiko tinggi ekploitasi /
ekploirasi, data based yang lengkap dengan akurasi yang tinggi, keterbatasan
dalam permodalan, sarana dan prasarana penunjang.
2) Menyelesaikan batas landas yang belum mendapat kesepakatan dengan
negara tetangga yang potensial menjadi konflik masa mendatang.
3) Melakukan intensifikasi terus menerus dalam menawarkan proyek-proyek
pertambangan dan energi ke negara maju (sebagai investor) terhadap suasana
kompetitif dari negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin yang
menawarkan kondisi kontrak dan sistem insentif yang lebih baik dari Indonesia.
64
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
dukungan peralatan bongkar muat, dukungan aksesibilitas dari pelabuhan ke
gudang atau sebaliknya untuk menghindari biaya operasional tidak effektif.
6) Menambah fasilitas dok dan galangan perbaikan kapal yang tidak merata
dikota-kota pelabuhan di Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa untuk
mengindari lamanya perbaikan kapal sehingga menyebabkan tidak tercapainya
commision days kapal.
7) Pembangunan industri perkapalan untuk membuat kapal-kapal baru sangat
diperlukan untuk pengembangan armada nasional guna melaksanakan “azaz
cabotage” dengan lebih efektif. Hal tersebut mengantisifasi laju pertumbuhan
ekonomi yang tidak seimbang baik dalam negeri maupun luar negeri atas
pertumbuhan kemampuan / kapasitas angkut armada pelayaran nasional yang
ada. Sebagai infomasi, meningkatnya penggunaan kapal berbendera asing
untuk angkutan dalam negeri disebabkan “azaz cabotage” yang merupakan
prinsip yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang
menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh
kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan ternyata di Indonesia
tidak berjalan.
Jika diamati dengan seksama, persoalan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan
selama ini tidak optimal dan berkelanjutan disebabkan oleh beberapa factor kompleks yang
saling berkaitan, dan dapat dikategorikan ke dalam faktor internal (berkaitan dengan kondisi
internal sumber daya masyarakat pesisir dan nelayan) dan eksternal (Dra. Wahyuningsih
Darajati, 2004).
a. Faktor internal:
1. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen usaha;
2. Pola usaha tradinsional dan subsistem (hanya cukup memenuhi kehidupan jangka
pendek);
3. Keterbatasan kemampuan modal usaha;
4. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir dan nelayan.
68
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Faktor eksternal:
1. Kebijakan pembangunan pesisir dan lautan yang lebih berorientasi pada produktifitas
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, bersifat sektoral, parsial dan kurang memihak
nelayan tradisional;
2. Belum adanya kondisi kebijakan ekonomi makro (political economy), suku bunga yang
masih tinggi, serta belum adanya program kredit lunak yang diperuntukan bagi sektor
kelautan;
3. Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek
penangkapan ikan dengan bahan kimia, eksploitasi dan perusakan terumbu karang,
serta penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan;
4. Sistem hukum dan kelembagaan yang belum memadai, disertai implementasinya yang
lemah, dan birokrasi yang beretos kerja rendah serta sarat KKN;
5. Perilaku pengusaha yang hanya memburu keuntungan dengan mempertahankan
sistem pemasaran yang menguntungkan pedagang perantara dan pengusaha;
6. Rendahnya kesadaran akan arti penting dan nilai strategis pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Jika dilihat dari sudut lingkungan hidup, lingkungan laut lebih rentan (vulnerable)
daripada lingkungan darat, karena:
1. Lingkungan laut terdiri dari air sebagai massa yang senantiasa bergerak;
2. Merupakan muara dari sungai yang menampung buangan dan berbagai aktifitas darat;
3. Merupakan milik umum (common property) sehingga sulit diberikan hak pemilikan dan sulit
diawasi;
4. Sulit memberikan tapal batas sehingga ikan-ikan tidak mengenal pemilikan Negara;
5. Memiliki sifat penggunaan ganda (multipurpose) laut untuk angkutan, habitat ikan,
pertambangan minyak lepas pantai, tenaga energi gelombang, pariwisata, dan lain-lain.
Beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh laut karena memiliki potensi
penggunaan secara berganda adalah:
a. Eksploitasi secara berlebihan sumber daya hayati ikan;
b. Pencemaran laut akibat pembuangan balast oleh kapal, pembuangan minyak oleh
eksploitasi minyak lepas pantai, pencemaran yang berasal dari darat;
c. Pelumpuran (sedimentasi) yang berasal dari darat dan dibawa sungai ke muara;
69
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
d. Reklamasi laut untuk memperoleh lahan bagi pembangunan dan perubahan pulau kecil
bagi kepentingan pariwisata, dan lain-lain;
e. Pembuangan air panas dari tenaga listrik dan industri yang merubah suhu laut dengan
berbagai dampaknya pada habitat laut.
Upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia cenderung bersifat
sektoral dan terkesan ekslusif. Ini terjadi karena pelaksanaan pengelolaannya selama ini
dilakukan secara terpisah oleh instansi-instansi berwenang. Padahal karakteristik dan alamiah
ekosistem pesisir dan lautan saling terkait satu sama lain secara ekologis dengan ekosistem
lahan atas, serta beraneka sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi
pembangunan. Oleh karena itu konsep perencanaan mengenai pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut secara terpadu, yang berbasis pengorganisasian, prosedur, dan mekanisme
kerja, harus segera diwujudkan.
Dalam kaitannya dengan pengendalian wilayah pesisir dan laut, terdapat tiga bidang
utama dapat dijadikan dasar melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut berkelanjutan,
yaitu:
Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia
juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman genetik, spesies,
dan ekosistem pesisir dan lautan. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi
(supply capacity) barang dan jasa pesisir dan lautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi
pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan.
Sementara itu, dari sisi permintaan kebutuhan manusia akan produk dan jasa pesisir
dan lautan, diyakini akan berlipat ganda di masa-masa mendatang. Hal ini berdasarkan pada
beberapa alasan utama, yaitu: jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, kesadaran umat
manusia akan arti penting produk makanan laut (seafood) bagi kesehatan dan kecerdasan, dan
semakin berkurangnya sumberdaya alam di darat bagi keperluan pembangunan. Oleh karena
itu, jika dikelola dengan tepat dan benar, sumberdaya pesisir dan lautan sesungguhnya dapat
merupakan tumpuan dan sumber pertumbuhan baru bagi pembangunan ekonomi Indonesia
secara berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat yang maju dan mandiri serta adil dan
makmur.
Pengalaman bangsa Indonesia membangun sumber daya pesisir dan lautan selama
kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I telah menghasilkan sejumlah keberhasilan
(seperti dalam bentuk peningkatan perolehan devisa, pendapatan asli daerah, dan penyerapan
tenaga kerja). Akan tetapi peningkatan devisa melalui melalui sumberdaya pesisir dan lautan
tersebut juga menyisakan berbagai permasalahan mendasar yang dikhawatirkan dapat
mengancam kesinambungan (sustainability) pembangunan itu sendiri.
Kecenderungan pembangunan sumberdaya pesisir ke arah yang tidak berkelanjutan
(unsustainable development), pada dasarnya disebabkan karena paradigma dan praktek
pembangunan yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Pola pembangunan pesisir dan lautan dalam kurun
PJP I cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada
ekonomi masyarakat setempat (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin
pada praktek pengaturan penyelenggaraan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan yang
jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif,
71
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan, dan
mendukung supremasi hukum.
Dalam praktek pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang telah dan kini sedang
berlangsung di Indonesia, prinsip partisipasi sebagaimana dikehendaki oleh good governance
tidak berjalan dengan baik. Di satu sisi, terdapat sejumlah instansi pemerintah sesuai dengan
sektornya melakukan berbagai kebijakan pengelolaan, di sisi lain ada pihak-pihak yang
mestinya terlibat dalam pengelolaan tersebut justru tidak diikutsertakan secara proporsional.
Bahkan, masing-masing instansi sektoral terkesan tidak peduli dengan pihak-pihak lain.
Instansi-instansi tersebut merupakan instansi sektoral utama yang paling banyak berkecimpung
dan berkepentingan dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun di sisi lain, yang
seharusnya juga ikut terlibat dalam berbagai pengambilan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
tersebut, seperti DPR, Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak diikutsertakan.
Efisiensi dan efektifitas merupakan salah satu karakteristik good governance dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Berkaitan dengan karakteristik ini, sedikitnya, ada
tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sumber
daya manusia (SDM) di bidang kelautan. Kedua, efisiensi dan efektifitas dalam pemanfaatan
anggaran pembangunan pesisir dan lautan. Ketiga, berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
daya alam.
Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam sektor
kelautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal, yaitu:
72
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Perubahan peraturan dan perundang-undangan yang lebih memihak kepada kepentingan
rakyat kebanyakan, bukan hanya melindungi kepentingan segelintir orang atau pengusaha.
c. Perlu UU Pemda yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam hal
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta memberikan perimbangan keuangan yang
adil.
d. Masing-masing daerah harus membuat suatu rencana tata ruang untuk menghindari
terjadinya konflik kepentingan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; peraturan tentang
pemanfaatan sumberdaya hayati secara optimal dan lestari; dan peraturan mengenai
pengendalian pencemaran serta pengendalian perusakan fisik habitat pesisir.
e. Pemerintah harus memiliki keberanian politik melakukan dan membuat berbagai kebijakan
secara transparan, adil, efisien dan bertanggung jawab.
f. Komponen bangsa lainnya, yaitu masyarakat, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan
harus berperan aktif dan terlibat dalam segenap proses kebijakan yang dilindungi oleh UU,
dimana peran media juga sangat penting.
g. Hukum sebagai institusi tertinggi harus benar-benar ditegakan dan semua pihak harus
tunduk dan berada di bawah hukum tersebut.
h. Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis sumber daya
pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya
perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif,
kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.
i. Perlu dibangun sistem informasi kelautan yang terpercaya dan sesuai dengan kebutuhan
para pengguna (users’ needs).
73
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
2. Krisis ekologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia.
Indikator lain adalah banyaknya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia,
juga disebabkan oleh:
b. Kebijakan yang dijalankan masih tumpang tindih dan bersifat egosentrisme, karena
tidak adanya prinsip pengelolaan yang berkesinambungan serta sikap yang
mengingkari TAP MPR No.IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam;
c. Kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut hak-
hak keadilan sosial dan ekologi.
B. Rekomendasi
74
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
1. HAL (Hak Atas Lingkungan) penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan
dan perundang-undang di tingkat internasional, regional, dan nasional, yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat
terimplementasikan sampai pada tahap pelaksanaan.
2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan
praksis dalam pengimplementasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses
oleh rakyat.
3. Diperlukan peradilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad
hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana,
kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia.
4. Perlu diperjuangkan dan diupayakan pengesahan deklarasi HAM dan Lingkungan hidup,
seperti yang pernah diajukan pada tahun 1994 di PBB, agar menjadi norma baru dalam
penegakan HAL sebagai hak asasi rakyat.
5. Perlu juga ada aturan yang jelas, untuk diberikan sanksi kepada pemerintah yang
memberikan izin tidak sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan pencemaran
lingkungan.
6. Diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang menangani keselamatan dan
keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis.
75
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut dan Pulau-
pulau Kecil.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R. dan A. Damar. 1994. Metode dan teknik Analisis Kualitas Air, dalam Kumpulan
Makalah Kursus Amdal Tipe B. Kerjasama PSL-Undana, Kupang dan Bapedal Kupang, Kupang.
Dahuri, Rokhmin. dkk. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Rencana Strategi Pembangunan Jangka
Menengah Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Homepage Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, http://www.depnakertrans.go.id
Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Rencana Aksi Terpadu Pengembangan Pulau Enggano Kab.
Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sastrawijaya dan A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sekretariat Dewan Maritim Indonesia. 2000. Laporan Penyelenggaraan Sarasehan Nasional
Dewan Maritim Indonesia, Buku 2: Makalah Utama dan Makalah Penunjang. Jakarta.
Siahainenia, Laura. 2001. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3: Pencemaran
Laut, Dampak dan Penanggulanggannya. Institut Pertanian Bogor.
Suratmo, F.G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Jogja.
Wiryawan, B. 2002. Karakteristik dan Dinamika Sumberdaya Fisik dan Lingkungan Pesisir dan
Lautan. Materi Kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program
Pascasarjana IPB.
Zamani, N.P dan Darmawan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis
Masyarakat. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
76
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim