You are on page 1of 76

1

Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
KATA PENGANTAR

Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas
makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah
tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan
industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat
melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber
utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal,
pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut
merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas,
karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat
signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.
Pada umumnya kegiatan industri di daerah, menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan seperti aktifitas industri di sektor perindustrian, pertambangan dan sumberdaya
mineral, pariwisata, kehutanan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, kelautan dan
perikanan, riset dan teknologi, dan perumahan rakyat, serta sektor kesehatan. Untuk lingkup
permasalahan pencemarannya terhadap lingkungan terdiri dari bermacam kegiatan seperti
kebocoran gas, tumpahan minyak dari tanker (oil spil), limbah pertambangan ke laut,
kecelakaan kapal pengangkut bahan tambang mineral, pencemaran PLTN, illegal mining,
penambangan tanpa ijin (PETI), pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir laut
untuk reklamasi pantai atau pulau, industri yang berada di pantai/pesisir, penggunaan bahan
kimia pada aktivitas usaha tani di hulu, illegal loging, penggunaan kawasan hutan untuk
pelabuhan, pengambilan terumbu karang untuk diekspor, pembuatan kapal yang menggunakan
kayu, operasional kapal, kecelakaan kapal, kegiatan kepelabuhanan, illegal fishing, industri
perikanan, tambak, pembangunan tempat rekreasi di pantai/pesisir, reklamasi pantai, wisata
bahari, bahan beracun dari laboratorium, dan limbah domestik.
Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti terangkum di
atas menghasilkan limbah yang menyebabkan pencemaran air laut yang memberikan dampak
pada kehidupan di laut seperti berdampak pada ekosistem laut kerusakan terumbu karang,
mangrove, padang lamun, estuaria dan lain-lain, yang membutuhkan waktu yang sangat lama
dan teknologi yang memadai serta dana yang sangat besar dalam menyelesaikan
permasalahan pencemaran limbah ini.

2
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dalam penyusunan Draft Perumusan Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju
Perbaikan Kebijakan Lingkungan pada Aktivitas Industri Maritim, dimaksudkan untuk membuka
wawasan kepada masyarakat dan bangsa Indonesia dan pemahaman akan lingkungan hidup
khususnya di lingkungan laut yang ramah lingkungan.

Laporan pembahasan dari perumusan draft kebijakan ini masih jauh dari sempurna dan
mengharapkan saran-saran konstruktif guna penyempurnaannya.

Jakarta, Juli 2006


Ketua Tim Penyusun/
Sekretaris Bidang Lingkungan Hidup

Dr. Elly Rasdiani Soedibjo, M.Sc, P.hD

3
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar............................................................................................................................ i
Daftar Isi ...................................................................................................................................... ii
Daftar Tabel ................................................................................................................................. iii
Daftar Gambar................................................................................................................................ iv

BAB. I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang…….………………………………………………………………………. ..... 1
1.2 Tujuan dan Sasaran…….……………………………………………………………………….. 2
1.3 Lingkup Kegiatan…………………………………………………..……………………………. 2
1.4 Metodologi…...…………………………………………………………………………………… 3
1.5 Keluaran….………………………………………………………….…………………………… 3

BAB. II LINGKUNGAN LAUT ...................................................................................................... 4


2.1 Batasan dan Sifat – sifat Wilayah Pesisir........................................................................ 7
2.1.1 Klasifikasi Wilayah Pesisir.................................................................................... 8
2.1.2 Sumber Pencemaran ........................................................................................... 8
2.1.3 Tumpahan Minyak……………………………………………………………………... 11
2.2 Proses Masuknya Bahan Pencemar ke Dalam Ekosistem Laut……………………….…. 19
2.3 Dampak Pencemaran Laut…………………………………………………………….……… 20

BAB. III AKTIVITAS INDUSTRI DI DAERAH………………………………………………………….. 27


3.1 Kondisi Industri Daerah………………………………………………………………..………. 27
3.2 Potensi Konflik Peraturan Perundang – undangan………………………………………… 32
3.3 Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah……………..……………………………………. 35

BAB. IV PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT…………………………………………………....... 37


4.1 Pengelolaan Potensi Laut…………………………………………………………………….. 37
4.2 Efektivitas Pengelolaan dan Pemberdayaan Laut.......................................................... 39
4.3 Konsep Tata Ruang Terpadu Darat dan Laut……………………………………………… 43
4.4 Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan…………………………………………... 44
4.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu……………………………….. 47
4.6 Governance dalam Pengelolaan Kelautan…………………………………………………. 47

4
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1 Jenis Dan Sumber Bahan Pencemar Di Laut ........................................................... 10

Tabel 2 Beberapa Kasus Tumpahan Minyak Di Perairan Indonesia ..................................... 18

5
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Pemukiman di pesisir ………………………………………………………………… 9

Gambar 2 Tumpahan Minyak di Laut……………………………………………………………. 11

Gambar 3. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia………………………………………………… 12


Gambar 4. Aktivitas Kapal Tangker……………………………………………………………….. 13
Gambar 5. Terminal Bongkar Muat………………………………………………………………. 15
Gambar 6. Pengeboran Lepas Pantai…………………………………………………………….. 16
Gambar 7. Pemukiman Padat Penduduk............................................................................... 25

BAB 1
PENDAHULUAN
6
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
1.1 Latar Belakang

Pembangunan maritim Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan


nasional yang berkesinambungan. Pembangunan maritim Indonesia merupakan segala sesuatu
yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan
dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan
ketahanan bangsa Indonesia.

Dalam memajukan pembangunan maritim, berbagai jenis komoditi dan usaha yang
dapat digali dari sumber daya laut telah dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk
perikanan, transportasi, pertambangan, pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah
hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut
belum merupakan upaya yang optimal. Industri maritim yang saat ini sedang terpuruk harus
segera dibangkitkan kembali. Keharusan membangun kembali potensi kemaritiman didasari
oleh kekhawatiran terhadap implikasi negatif pengurasan sumber daya lautan secara besar-
besaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks.

Dilihat dari sisi lingkungan hidup, lingkungan laut sangat rentan (vulnerable)
dibandingkan dengan lingkungan darat hal ini karena lingkungan laut terdiri dari air sebagai
massa yang senantiasa bergerak, dan lingkungan laut juga tergantung pada penanganan
lingkungan darat. Akan tetapi jika diperhatikan, kebijakan pembangunan nasional yang ada
lebih berorientasi ke wilayah darat. Hal ini tentu saja menyebabkan aktifitas industri maritim
yang ada cenderung tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Padahal majunya industri
maritim sangat tergantung dengan lingkungan.

Penerapan tata kelola yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Lingkungan Hidup (LH) masih belum berjalan dengan baik. Sampai saat ini sudah cukup banyak
undang-undang (UU) maupun peraturan mengenai lingkungan hidup dan kelautan yang sudah
dihasilkan, tetapi masih banyak indikasi tentang terjadinya tumpang-tindih dalam
pelaksanaannya. Hal ini antara lain disebabkan karena rendahnya koordinasi antar sektor yang
berkaitan. Selain tumpang tindih ada indikasi masih banyak yang tidak saling menunjang.

7
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dengan lingkungan hidup serta kualitas aparat penegak hukum dalam bidang lingkungan belum
optimal, baik dari segi jumlah maupun kualitas sumber daya manusia (SDM).

Dalam kegiatan pemanfaatan laut, dapat diketahui bahwa pengaturan pendayagunaan


kelautan telah tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan secara sektoral. Oleh
karena itu, perlu dikaji lebih jauh apa yang menjadi tujuan pengkajian juga mengenai
dampaknya terhadap industri maritim, khususnya yang berkaitan dengan sektor lingkungan.
Dengan perumusan kebijakan ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan kepada
pemerintah pada sektor terkait mengenai permasalahan atau gap kebijakan yang terjadi antar
sektor terkait, dimana dalam perumusan kebijakan industri maritim ini yang akan dihasilkan
telah mencakup berbagai kepentingan sektor terkait.

1.2 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan ini adalah:

1. Mensinergikan kebijakan-kebijakan antar sektor yang ada, sehingga tidak tumpang tindih
dan dapat diimplementasikan tanpa merugikan salah satu sektor.

2. Mengkaji peraturan daerah yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan di industri martim.

Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah:

1. Tercapainya keserasian antara peraturan daerah dengan peraturan nasional.

2. Tersusunnya naskah akademis di lapangan dalam rangka penyempurnaan kebijakan


lingkungan di sektor industri maritim, untuk ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP).

3. Terlaksananya penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance) melalui


pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan
SDA dan LH.

1.3 Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan pekerjaan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data-data dari departemen-departemen dan instansi-instansi terkait


diberbagai daerah, dengan cara mengisi kuisioner yang merupakan instrumen survei yang
dibuat untuk mendapatkan data rill dan masukan;

2. Inventarisasi permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan pada aktifitas industri

8
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
maritim melalui pembuatan matriks. Matriks ini berbentuk matriks analisis perbandingan
peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan lingkungan dalam bentuk interaktif.
Matrik ini merupakan materi yang digunakan untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Matriks
akan memudahkan para peneliti atau pembaca dalam mencari keterkaitan antar peraturan
perundang-undangan yang ada. Matriks akan disusun berdasarkan subyek dan kategori
yang berbeda, seperti konservasi laut dan sanksi yang diatur.

3. Menganilasa data-data (gap analysis) yang terkumpul, sehingga dapat diketahui kebijakan
atau peraturan-peraturan antar sektor yang tumpang-tindih, atau dapat dibuat suatu
kebijakan yang belum mengakomodir masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan
oleh industri maritim;

4. Melakukan rapat-rapat pertemuan dengan berbagai instansi terkait, Lembaga Swadaya


Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi serta berbagai Asosiasi yang ada di daerah maupun
pusat.

1.4 Metodologi

1. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei langsung ke beberapa daerah dan
memberikan kuisioner kepada instansi terkait, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
(Pemda). Kuisioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai aktifitas industri
maritim yang ada di daerah tersebut, serta dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
Dari data yang diperoleh juga dapat diketahui apakah di daerah yang bersangkutan sudah
tersedia kebijakan, sarana, prasarana dan kelembagaan yang dapat mendukung industri
maritim sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, serta langkah-langkah apa saja yang
telah dilakukan oleh Pemda dalam rangka menangani pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan oleh industri tersebut.

2. Selain data dari berbagai daerah, diambil juga data maupun informasi dari berbagai
departemen terkait. Karena dari data-data tersebut dapat diketahui kebijakan atau
peraturan-peraturan yang dalam pengimplementasiannya masih tumpang-tindih dan belum
sinergis.

3. Studi pustaka terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dalam


pengelolaan wilayah pesisir, analisis kualitatif, dan penyajian hasil secara deskriptif;

9
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
4. Membentuk kelompok kerja (pokja) atau tim yang terdiri atas pakar hukum, pakar teknis,
dan tim konsultasi dari berbagai institusi pemerintah terkait, lembaga nonpemerintah, dan
akademisi;

5. Diskusi dan konsultasi publik yang mendalam dengan pakar dan pemangku kepentingan
untuk mendapatkan konsensus dan penyempurnaan hasil, baik melalui pertemuan terbatas
maupun dalam skala yang lebih besar;

6. Melakukan penulisan laporan sebagai bentuk rekomendasi publik dalam melakukan


reformasi hukum di bidang pengelolaan lingkungan.

1.5 Keluaran

Keluaran yang diharapkan adalah suatu Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju
Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim.

10
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 2
LINGKUNGAN LAUT

2.1 Kondisi Dan Sifat Lingkungan Laut

Permasalahan lingkungan hidup adalah merupakan hubungan makhluk hidup,


khususnya manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan sebuah benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup (Bappedal, 1997). Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena adanya kegiatan (aktifitas)
yang dilakukan oleh manusia maupun karena pengaruh alam. Salah satu akibat samping dari
kegiatan pembangunan diberbagai sektor dan daerah adalah dihasilkannya limbah yang
semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Limbah tersebut telah menimbulkan
pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup (Tandjung, 1991).

Daerah pesisir merupakan salah satu dari lingkungan perairan laut yang mudah
terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan
dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini
bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan
pertanian, tetapi juga merupakan lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan
minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran.

Di daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat


pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan
tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan industri
juga banyak dilakukan di daerah pesisir, jadi tampak bahwa sumber daya alam wilayah pesisir
indonesia telah dimanfaatkan secara beranekaragam. Namun perlu diperhatikan agar kegiatan
yang beranekaragam dapat berlangsung secara serasi. Suatu kegiatan dapat menghasilkan
hasil samping yang dapat merugikan kegiatan lain, misalnya limbah industri yang langsung
dibuang ke lingkungan pesisir, tanpa mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat
merusak sumber daya hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan.

Lingkungan pesisir terdiri dari dari berbagai ekosistem yang berbeda kondisi dan
sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan

11
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimana pun juga di wilayah pesisir
secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut.
Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya didalamnya. Agar akibat negatif dari
pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekecil-kecilnya dan untuk menghindari
pertikaian antar kepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir,
pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan perencanaan
menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi.
Pengrusakan ekosistem alamiah, seperti hutan hujan tropis, hutan mangrove, dan
terumbu karang, terutama disebabkan oleh konservasi segenap ekosistem menjadi berbagai
peruntukan pembangunan, mulai dari kawasan permukiman (real estate), kawasan industri,
hingga tambak. Dari sudut pandang pembangunan, sebenarnya pengalihan fungsi ekosistem
alamiah menjadi peruntukan pembangunan tidak menjadi masalah, sepanjang masih pada
batas-batas yang dapat ditolerir oleh ekosistem alamiah dalam suatu kawasan pembangunan.
Permasalahan akan timbul bila tidak ada atau ekosistem alamiah yang tersisa dalam suatu
kawasan pembangunan terlalu kecil.
Dari sisi manusia, sebagai pengguna sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir,
secara garis besar permasalahan pembangunan pesisir bersumber dari masalah sebagai
berikut:
1. Orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Selama ini pembangunan yang dilakukan lebih banyak berorientasi untuk meraih
keuntungan ekonomi jangka pendek (seperti industri, pemukiman) tanpa
mempertimbangkan keuntungan jangka panjang (konservasi). Akibatnya, apabila terjadi
konflik antara pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan jangka pendek dengan tujuan jangka
panjang, maka seringkali pembangunan yang bertujuan jangka panjang tersisihkan, seperti
yang terjadi pada kasus reklamasi Pantai Indah Kapuk.
2. Kesadaran akan nilai strategis sumber daya yang dapat diperbaharui dan jasa lingkungan
bagi pembangunan ekonomi masih rendah.
Dari sisi nilai strategis sumber daya hayati laut, sektor kelautan sepertinya masih dipandang
sebelah mata oleh pemerintah dan dunia swasta, karena dianggap nilai strategisnya masih
kurang menarik dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek dan menengah. Padahal sumber
daya yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya hutan mangrove saja, namun masih
terdapat terumbu karang, padang lamun dan rumput laut.
12
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang implikasi kerusakan lingkungan terhadap
kesinambungan pembangunan ekonomi masih rendah.
Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan implikasi kerusakan lingkungan
terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi disebabkan karena pelaku kerusakan
lingkungan tidak menyadari akan bahaya jangka panjang yang ditimbulkan dari kegiatan
pembangunan.
4. Tidak adanya alternatif pemecahan masalah lingkungan.
Tindakan destruktif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan
lautan disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa
kegiatan yang dilakukan telah mengancam kesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan;
kedua tidak adanya alternatif matapencaharian, dan ketiga adanya peluang untuk
melakukan kegiatan yang bersifat destruktif.
5. Pengawasan, pembinaan, dan penegakkan hukum masih lemah.
Kurangnya pengawasan dan penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat
bawah (masyarakat) maupun tingkat atas (pemerintah) membuat kecenderungan kerusakan
lingkungan lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu lembaga khusus yang
independen dengan otoritas penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang
mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Meskipun di Indonesia telah banyak hukum dan
peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang
berkelanjutan. Namun pada kenyataannya hukum dan peraturan-peraturan tersebut banyak
yang tidak diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum (law
enforcement), egoisme sektoral (sectoral egoism) dan lemahnya koordinasi antara sektor.

Kerusakan ekosistem di kawasan pesisir, secara umum bersumber dari: (1) Aktivitas
manusia di darat atau lahan atas seperti penebangan hutan, kegiatan pertanian, industri, dan
lain-lain, (2) Aktivitas manusia di dalam ekosistem pesisir itu sendiri seperti konversi mangrove
ke tambak, pengeboman ikan, dan lain-lain, (3) Aktivitas yang ada di laut bebas seperti tumpah
minyak dan pembuangan limbah cair (Bengen 2002).
Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologi (hubungan fungsional) antar ekosistem di
dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan daratan (lahan atas) dan laut
lepas. Oleh karena itu, setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya
(seperti pencemaran, erosi, dan perubahan secara drastis regim aliran air tawar) yang terjadi di
ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir.
13
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Sebagian besar permasalahan lingkungan yang menyebabkan kerusakan kawasan pesisir dan
laut merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan di darat. Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir
tersebut disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui Daerah
Aliran Sungai (DAS). Penurunan kualitas lingkungan kawasan pesisir terjadi apabila jumlah
limbah telah melebihi kapasitas daya dukungnya.

Sumber daya pesisir dan lautan memiliki berbagai sumber daya alam di dalamnya, yang
terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya: sumber daya
perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, dan terumbu karang.
b. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), misalnya:
minyak bumi, gas dan mineral, serta bahan tambang lainnya.

Selain menyediakan dua sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut memiliki
berbagai fungsi lainnya, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, jasa lingkungan, pariwisata, kawasan pemukiman serta tempat pembuangan
limbah.

2.2 Batasan dan Sifat-sifat Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat
pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh
jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara
daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir
memiliki 2 macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (long shore) dan batas
tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup
bagian atau batas terluar dari daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan
ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat
pertemuan pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir,
khususnya perairan estuaria, mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara
14
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rangkai makanan di laut. Namun demikian,
perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai
oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, oleh karena itu merupakan wilayah
yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar
normal. Dari segi fungsi, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi hewan-
hewan migrasi.
Akibat pengaruh aktifitas manusia yang meningkat, seperti pencemaran minyak hasil
kegiatan eksploitasi tambang minyak di lepas pantai serta transportasi minyak, buangan limbah
pemukiman dan industri, perairan pesisir akan mengalami tekanan (stress), yang mengarah
pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir karena terganggu keseimbangan alami.
Apalagi ditambah dengan penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) dan pengrusakan
ekosistem koral secara fisik.

2.2.1 Klasifikasi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir


(shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), dimana keduanya berbeda tapi saling
berinteraksi. Secara ekologis, daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai
sumber daya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem
perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap
daya dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir
terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (run off).

Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria


regime), dan perairan samudera (oceanic regime). Perairan estuaria adalah suatu
perairan pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga
dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran
yang masih dapat diukur antara air laut dengan air tawar yang berasal dari drainasi
daratan (Odum, 1971). Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria ke arah
laut sampai batas paparan benua atau batas teritorial. Sedangkan perairan samudera
meliputi semua perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas
teritorial. Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu: (1) Ekosistem litoral
yang terdiri dari pantai dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai lumpur; (2) Hutan

15
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
payau; (3) Vegetasi terna rawa payau; (4) Hutan rawa air tawar; dan (5) Hutan rawa
gambut.

2.2.2 Sumber Pencemaran

Pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun
tidak langsung oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir
pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumber
daya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk
perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat
kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi (Kantor Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1991).

Laut merupakan tempat pembuangan langsung sampah atau limbah dari


berbagai aktifitas manusia dengan cara yang murah dan mudah, sehingga di laut dapat
ditemukan berbagai jenis sampah dan bahan pencemar. Secara normal, laut memiliki
daya asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang
masuk kedalamnya. Tetapi konsentrasi akumulasi bahan pencemar yang semakin tinggi
mengakibatkan daya asimilatif laut sebagai “gudang sampah” menjadi menurun dan
menimbulkan masalah lingkungan. Dampak pencemaran ini mempengaruhi kehidupan
manusia, organisme lain serta lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu pencemaran
harus dikendalikan secara dini, sehingga tidak merusak lingkungan laut, menurunkan
keanekaragaman hayati dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem laut.

16
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 1. Pemukiman di pesisir (Sumber: : www.suarapublik.org)

Berdasarkan review dari berbagai sumber, diketahui ada berbagai jenis bahan
pencemar di laut beserta sumbernya, seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Jenis dan Sumber Bahan Pencemar di Laut
No. Bahan Pencemar Contoh Sumber
1. Pestisida Herbisida, insektidsida, fungisida Lahan pertanian, semprotan nyamuk.

2. Sulfaktan Deterjen, air sisa cucian, dan lain-lain. Rumah tangga, pasar, restoran, dan
lain-lain.

3. Logam – semi logam Merkuri, raksa, arsen, scelenium, Pabrik tekstil, cat, baterai.
cadmium, tembaga, dan lain-lain.

4. Buangan thermis Air panas Air pendingin mesin dari Pembangkit


listrik Tenaga Diesel / Pembangkit
Listrik Tenaga Uap / Kapal / Pabrik

5. Sampah rumah Plastik, kotoran manusia, sisa Rumah tangga, industri.


tangga dan industri makanan, botol, kaleng, dan lain-lain.

6. Limbah organik Serbuk gergaji, kulit kayu Industri meubel, playwood, dan lain-
industri lain.

7. Sedimentasi Lumpur / pasir Erosi, penambangan.

8. Minyak Tumpahan / buangan minyak Pengeboran minyak, kapal (water


ballast), dan lain-lain.

9. Zat kimia Sianida Penangkapan ikan karang.

17
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dahuri dan Damar (1994) menyatakan, ditinjau dari daya uraiannya maka
bahan pencemar pada perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Senyawa-senyawa konservatif, merupakan senyawa-senyawa yang dapat
bertahan lama di dalam suatu badan perairan sebelum akhirnya mengendap
ataupun terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan kimia perairan, contoh:
logam-logam berat, pestisisda, dan deterjen.
2. Senyawa-senyawa non konservatif, merupakan senyawa yang mudah terurai dan
berubah bentuk di dalam suatu badan perairan, contoh: senyawa-senyawa organik
seperti karbohidrat, lemak dan protein yang mudah terlarut menjadi zat-zat
anorganik oleh mikroba.

Lebih lanjut Dahuri dan Damar (1994) mengatakan bahwa sumber bahan
pencemar perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Point sources, yaitu sumber pencemar yang dapat diketahui dengan pasti
keberadaannya, contoh: pencemar yang bersumber dari hasil buangan pabrik atau
industri.
2. Non point sources, yaitu sumber pencemar yang tidak dapat diketahui secara
pasti keberadaannya, contoh: buangan rumah tangga, limbah pertanian,
sedimentasi serta bahan pencemar lain yang sulit dilacak sumbernya.

2.2.3 Tumpahan Minyak

Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas
makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain
adalah tumpahan minyak, sisa bahan amunisi perang, buangan dan proses di kapal,
buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari
transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari
pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan
minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan
kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang
selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan sangat
cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk
hidup di sekitar pantai tersebut.

18
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 2. Tumpahan Minyak di Laut (Sumber: www.clarkson.edu)

Sebagai lintasan pelayaran internasional, Indonesia memiliki empat alur laut


kepulauan (ALKI), yaitu alur laut Selat Malaka, alur laut Selat Sunda, alur laut Selat
Lombok terus melintasi Selat Makassar menuju arah Utara, dan yang terakhir alur laut
kepulauan yang menerobos Nusa Tenggara Timur, melintas ke Laut Flores, Laut Banda
menuju utara sampai Lautan Pasifik. Masalahnya adalah bahwa disamping memberi
keuntungan ekonomi karena menjadi daerah lintasan pelayaran internasional, posisi
unik tersebut juga sangat rawan terhadap kerusakan lingkungan, terutama karena
tumpahan minyak di laut nusantara.

19
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 3. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Dari keseluruhan perairan Indonesia, yang paling rawan terhadap tumpahan


minyak, karena lalu-lalangnya kapal-kapal niaga termasuk kapal-kapal tanker minyak,
adalah wilayah yang terdapat pada alur laut kepulauan nusantara. Selat Malaka
memiliki kepadatan tertinggi, sehingga menjadi paling rawan terhadap pencemaran
akibat tumpahan minyak, kemudian disusul oleh Selat Lombok dan Selat Makassar.
Pelayaran kapal-kapal tersebut mengandung resiko terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan keadaan darurat tumpahan minyak yang dapat merugikan lingkungan
laut. Karena lingkungan laut Indonesia beserta segenap sumber daya didalamnya
merupakan potensi besar bagi pembangunan, maka harus dijaga dari berbagai
kerusakan dan pengrusakan.
Tumpahan minyak (oil spills) di laut disebabkan oleh aktifitas manusia, baik
yang bersumber dari laut itu sendiri maupun yang bersumber dari daratan, antara lain
yaitu:

a. Aktifitas Transportasi
Tumpahan minyak yang berasal dari pengangkut minyak, biasanya memiliki resiko
memiliki resiko yang besar dalam hal pencemaran laut. Hal ini terjadi misalnya
karena faktor kesalahan navigasi yang mengakibatkan: tabrakan, kandas,

20
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
tenggelam dan terbakar, sehingga kapal tanker pengangkut minyak itu
menumpahkan muatannya dan mencemari laut dan pesisirnya.
Disamping itu, selain memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem
kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya
ditempatkan dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses
bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor
disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan
dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar
tangki diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.

Gambar 4. Aktivitas Kapal Tangker (Sumber: www.ja.ican.co.jp)

Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam
tangki slop. Sehingga di dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air.
Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan
memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal atau dipompakan ke
laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air
yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada
pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal tanker.

21
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Docking (Perbaikan / Perawatan kapal)
Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk pembersihan
tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa bahan bakar yang ada
dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan
kebakaran. Dalam aturannya semua galangan kapal harus dilengkapi dengan
tangki penampung limbah, namun pada kenyataannya banyak galangan kapal tidak
memiliki fasilitas ini, sehingga buangan minyak langsung dipompakan ke laut.

Selain itu juga di Docking dilakukan proses scrapping kapal (pemotongan badan
kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan
lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan sekitar
1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini yang menyebabkan
kerusakan lingkungan setempat.

c. Terminal Bongkar Muat


Proses bongkar muat tanker bukan hanya dilakukan di pelabuhan, namun banyak
juga dilakukan di tengah laut. Proses bongkar muat di terminal laut ini banyak
menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa yang pecah, bocor maupun
kecelakaan karena kesalahan manusia.

Gambar 5. Terminal Bongkar Muat (Sumber: www.members.bumn-ri.com)

22
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
d. Bilga dan tangki bahan bakar
Umumnya semua kapal memerlukan proses ballast saat berlayar normal maupun
saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal digunakan untuk memuat
kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan juga tangki bahan bakar yang
kosong untuk membawa air ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air ballast
tersebut dipompakan ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan
minyak. Selain air ballast, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga
bercampur dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas
hasil proses mesin yang merupakan limbah. Aturan internasional mengatur bahwa
buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus masuk terlebih dahulu ke
dalam separator, pemisah minyak dan air, namun pada kenyataannya banyak
buangan bilga illegal yang tidak memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut.

e. Pengeboran minyak lepas pantai


Tumpahan minyak dari pengeboran minyak lepas pantai biasanya disebabkan oleh
kebocoran peralatan pengeboran yang kurang sempurna, sehingga ceceran minyak
akan langsung masuk ke laut. Bila ceceran minyak ini berlangsung terus-menerus,
jumlah minyak yang mencemari lingkungan laut tidak boleh diabaikan, apalagi jika
terjadi kecelakaan di tempat-tempat pengeboran maka jumlah minyak yang masuk
mencemari laut menjadi lebih besar.

Gambar 6. Pengeboran Lepas Pantai (Sumber: www.allposter.com)

23
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
f. Pengilangan minyak
Kegiatan di kilang minyak merupakan sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran minyak di perairan, karena air limbah proses pengilangan bercampur
minyak, misalnya air drain yang berasal dari stripping, desalter, dan treating
process. Setelah digunakan di kilang, sebagian besar air dibuang kembali ke
lingkungan sebagai limbah, dimana limbah ini banyak mengandung minyak yang
dapat mencemari badan air dan pada akhirnya menuju ke laut.

Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak, memberikan dampak negatif ke


berbagai organisme laut, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem di laut, yang
pada akhirnya akan merugikan kehidupan manusia. Beberapa dampak ekologis akibat
dari tumpahan minyak adalah sebagai berikut (Laode M. Kamaluddin, 2002):
1. Lapisan tumpahan minyak mempengaruhi tingkat intensitas fotosintesis fitoplankton
yang dapat menurunkan atau memusnahkan populasi fitoplankton. Kondisi ini
merupakan bencana besar bagi kehidupan di perairan karena fitoplankton
merupakan dasar bagi semua kehidupan perairan.
2. Pencemaran air laut dari tumpahan minyak berdampak pada beberapa jenis burung
laut, karena tumpahan minyak tersebut menyebabkan degradasi lemak dalam hati,
kerusakan saraf, pembesaran limpa, radang paru dan ginjal pada burung-burung
tersebut.
3. Tumpahan minyak dapat mengganggu keseimbangan berbagai organisme aquatik
pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya
pantai wisata. Hutan mangrove yang hidup disepanjang pantai beradaptasi di dalam
air laut dengan cara desalinasi melalui proses ultra-filtrasi. Akar mangrove, yang
tumbuh di dalam lumpur, berfungsi untuk menyerap oksigen melalui suatu jaringan
aerasi yang kontak dengan udara, yang disebut dengan breathing roots. Jika pantai
tercemar minyak, lumpur akan tertutup oleh deposit minyak yang dapat merusak
sistem akar mangrove, sehingga difusi oksigen dari udara ke dalam jaringan aerasi
terhambat.
4. Tumpahan minyak menghambat atau mengurangi transmisi cahaya matahari ke
dalam air laut, yang disebabkan karena absorpsi minyak bumi (cahaya matahari
diserap oleh tumpahan minyak) atau cahaya dipantulkan kembali oleh minyak ke

24
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
udara. Semakin tebal lapisan minyak maka pelarutan oksigen dari udara semakin
terganggu dan akan merugikan biota-biota laut.
5. Jika tumpahan minyak tersebut tidak mematikan sumber daya laut, maka
pencemaran tersebut menurunkan kualitasnya. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan hewan-hewan laut untuk mengakumulasi minyak di dalam tubuhnya.
Akumulasi ini sering menyebabkan daging ikan berbau minyak, sehingga
merugikan para nelayan karena tidak dapat menjual ikan tangkapan mereka.
6. Untuk bidang pariwisata, polutan minyak di perairan mengurangi minat wisatawan,
karena keindahan laut tertutup oleh lapisan minyak.

Pencegahan pencemaran minyak di perairan ditujukan untuk berbagai sumber


penyebab pencemaran. Untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan polusi laut
akibat tumpahan minyak ini terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat dijadikan landasan yaitu:
a. Aspek Legalitas
Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi
persyaratan formal sebagai suatu perturan, tapi juga dapat menimbulkan rasa
keadilan dan kepatuhan, serta dilaksanakan atau ditegakan dalam kenyataan.
Menjadi tugas pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk menegakan
peraturan-peraturan yang ada. Di lain pihak, tugas pemerintah ini juga harus
diimbangi dengan dua faktor yaitu: pertama, adanya fasilitas yang memungkinkan
untuk bergerak dinamis, dalam hal ini mencari dan mengumpulkan data lapangan
tentang penyebab terjadinya suatu kasus pencemaran lingkungan akibat
tumpahan minyak di laut; kedua, ketersediaan sumber daya manusia yang
memadai. Perlu ada aturan yang jelas untuk diberikan sanksi kepada pemerintah
yang memberikan izin tidak sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan
pencemaran lingkungan.

b. Aspek Perlengkapan
Beberapa teknik yang dapat direkomendasikan untuk penanggulangan minyak
adalah: penggunaan spraying chemical dispersants; pengoperasian slick-lickers;
dan floating boom. Berkaitan dengan perlengkapan kapal, UU No. 21 tahun 1992
juga menyebutkan tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun
penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan minyak). Para produsen

25
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
minyak dan gas bumi pun sudah memiliki produsedur kerja dan fasilitas
penanggulangan tumpahan minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam
penerapan Tier 1 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi
dalam lingkup pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan
minyak yang terjadi di luar lingkungan pelabuhan) yang dilakukan secara iner-
connection di bawah koordinasi Administrasi Pelabuhan (Adpel). Hal yang
penting untuk diperhatikan pada aspek ini adalah pentingnya penguasan
prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh pelaksana
lapangan.

c. Aspek Koordinasi
Seluruh departemen, instansi terkait serta masyarakat harus dapat berkoordinasi
untuk menanggulangi pencemaran ini.

Beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak yang terjadi di


Indonesia dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
No Tahun Lokasi Keterangan
Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang
1. Agustus 2005 Teluk ambon
menyebabkan tumpahnya minyak ke perairan.
Tumpahan minyak dari Perusahaan Total E dan P
2. 2004 Balikpapan Indonesia, membuat nelayan sekitar tidak dapat melaut
dalam beberapa waktu.
Tumpahan minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan,
3. Oktober 2004 Pantai Indramayu tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan
ikan-ikan milik masyarakat sekitar.
Tumpahan Minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria
Crude Oil sebanyak 625044 barel. Volume minyak yang
4. September 2004 Cilacap
tumpah ke perairan adalah sekitar 8000 barel dan
menyebar 5 km sepanjang pantai.
Kapal tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk
5. Juli 2004 Kepulauan Riau dan menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop
sebanyak 200 ton
Tabrakan antara tongkang PLTU-I/PLN yang mengangkut
363 kiloliter IDF dengan kapal kargo An Giang.
6. Juli 2003 Palembang
Menyebabkan sungai Musi di sekitar kota Palembang
tercemar.
Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan
7. 2003 - 2005 Kepulauan Seribu
Seribu.

26
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
No Tahun Lokasi Keterangan
Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton
8. 2001 Tegal - Cirebon
limbah minyak.
Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton
9. Oktober 2000 Batam
minyak mentah.
Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan
10. 1999 - 2000 Cilacap
menumpahkan sekitar 4000 barel.
Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat
11. 1998 Tanjung Priok
solar.
Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker
12. Oktober 1997 Selat Singapura
Evoikos.
13. 1996 Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO.
Tabrakan kapal tanker MV Bandar Ayu dengan Kapal Ikan
14. April 1994 Pelabuhan Cilacap
Tanjung Permata III.
15. Januari 1993 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator.
Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki
16. September 1992 Selat Malaka
Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak.
Pelabuhan Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500
17. Februari 1979
Lhokseumawe kilo liter minyak tanah.
Pelabuhan Buleleng, Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember
18. Desember 1979
Bali menumpahkan 300 ton bensin.
19. Januari 1975 Selat Malaka Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace.
Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan
20. 1975 Selat Malaka
minyak sebesar 1 juta barel minyak solar.
Sumber: Agung Sudrajad, 2006

2.4 Proses Masuknya Bahan Pencemar Ke Dalam Ekosistem Laut


Secara umum, masuknya bahan pencemar ke dalam perairan laut, berasal dari industri
dan domestik kemudian dialirkan ke tingkat-tingkat tropik yang terdapat pada lingkungan laut
dipicu oleh:
1. Disebarkan melalui adukan atau turbulensi, dan arus laut.
2. Dipekatkan melalui proses biologi dengan cara diserap oleh ikan, plankton nabati atau
ganggang, dan melalui proses fisik dan kimiawi dengan cara absorbsi, pengendapan dan
pertukaran ion. Bahan pencemar ini akhirnya akan mengendap di dasar laut,
3. Terbawa langsung oleh arus dan biota laut (ikan).

27
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Sebagian bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem laut dapat diencerkan dan
disebarkan ke seluruh wilayah laut melalui adukan turbulensi dan arus laut. Untuk wilayah-
wilayah laut yang luas dan terbuka dengan pola arus dan turbulensi yang aktif, bahan-bahan
pencemar akan terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas, sehingga dapat
meminimalkan konsentrasi akumulasinya dalam suatu badan perairan. Akan tetapi pada
wilayah-wilayah laut yang sempit dan tertutup, bahan pencemar akan mudah sekali
terakumulasi di dalam suatu badan perairan.

Sebagian dari bahan pencemar akan terbawa oleh arus laut atau biota yang sementara
melakukan migrasi ke wilayah laut lainnya, dan akan lebih menguntungkan apabila terbawa ke
perairan laut terbuka. Sedangkan sisa bahan pencemar yang tidak dicencerkan dan disebarkan
serta terbawa ke wilayah-wilayah laut yang luas dan terbuka, akan dipekatkan melalui proses
biologi, fisik dan kimiawi, dimana dalam proses biologi, bahan pencemar biasanya diserap oleh
organisme laut seperti ikan, fitoplankton maupun tumbuhan laut untuk kemudian diserap lagi
oleh plankton nabati kemudian akan berpindah ke tingkat-tingkat tropik selanjutnya seperti
avertebrata dan zooplankton dan kemudian ke ikan dan mamalia. Sedangkan dalam proses
fisik dan kimiawi, bahan pencemar akan diabsorbsi, diendapkan dan melakukan proses
pertukaran ion.

2.4 Dampak Pencemaran Laut

Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan, maka terjadi pula peningkatan


eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat multi-use (pertanian, perikanan, pariwisata, industri,
pertambangan, dan lain-lain), sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan
lingkungan. Pemahaman dalam permasalahan daerah aliran sungai (DAS) dilakukan melalui
suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang
saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya
bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat
yang ditimbulkan.

Peningkatan jumlah penduduk, khususnya yang berdomisili di sekitar DAS akan diikuti
oleh peningkatan kebutuhan hidup yang dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam.
Kedua hal tersebut akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan

28
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung lingkungan
(DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkunganpun akan menurun.

Secara nasional ketersediaan sumber daya air memang masih sangat besar, tetapi
tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Akibat pengelolaan lahan dan hutan yang kurang
bijaksana, analisis neraca air dan water demand-supply wilayah menunjukkan bahwa ada
kecendrungan semakin tidak meratanya sebaran dan ketersediaan air menurut waktu atau
musim dan sepanjang antara lokasi sumber dengan pusat-pusat kebutuhan air meningkat. Hal
tersebut selain meningkatkan frekuensi dan luas ancaman kekeringan dan banjir juga
meningkatkan sengketa dan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya air (Pawitan, dkk
1996). Secara fisik sengketa dan persaingan kebutuhan air akan meningkatkan intervensi
manusia terhadap tatanan hidrologi dan sumber daya air. Akibatnya adalah meningkatnya
kepekaan sumber daya air terhadap fluktuasi dan goncangan iklim, serta turunnya kualitas air
akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa aktivitas penggunaan lahan dapat


mempengaruhi kualitas lingkungan dalam hal ini adalah kualitas sumber daya air. Daerah aliran
sungai merupakan penghubung antara kawasan hulu dengan kawasan hilir, sehingga
pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua
komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai
keterkaitan antar komponen. Dalam suatu ekosistem DAS terjadi berbagai proses interaksi
antar berbagai komponen yaitu tanah, air, vegetasi dan manusia.

Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan
oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga
mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (polutan dari industri,
pertanian, pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolan DAS ditujukan untuk
memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya.

Supriadi (2000) menyatakan bahwa kawasan hulu mempunyai peran penting yaitu
selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan
pertanian, industri dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis
untuk sistem penunjuang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor
produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk
kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemikiman dan lain-lain. Kemampuan
29
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak
negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang
berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut
berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu
siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai.
Menurut Sugandhy 1999, jika dihubungkan dengan penataan ruang wilayah, maka alokasi
ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan
pengamanan sumber air permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30 % dari
luas wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegahan pohon yang dapat berupa hutan
lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.

Hasil penelitian Deutsch and Busby (2000) menunjukkan bahwa total suspended solid
(TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai mengalami
penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih
dari 50%.
Pencemaran laut merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap lingkungan laut
maupun sumber daya yang didalamnya dapat menyebabkan kerugian bagi sistem alami
(ekosistem) maupun bagi manusia yang merupakan bagian dari sistem alami tersebut. Dengan
kata lain, pencemaran laut tidak hanya merusak habitat organisme laut serta proses biologi dan
fisiologinya saja, tapi secara tidak langsung dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan
manusia, karena terakumulasi oleh bahan-bahan pencemar melalui konsumsi bahan pangan
laut yang telah terakumulasi sebelumnya. Padahal selain sebagai sumber bahan pangan, laut
juga mengandung berbagai jenis sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
Beberapa jenis bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di
laut yaitu limbah domestik dan pertanian. Macam - macam limbah cair terdiri dari: rumah tangga
(domestik), industri dan pertanian.

a. Air limbah domestik

Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat
perdagangan maupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dll. Limbah jenis ini
sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (biological oxygen demand), COD (chemical

30
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
oxygen demand) dan kandungan organik sistem pasokan air. Metoda dasar penanganan
limbah domestik pada dasarnya terdiri dari tiga tahap:

(1) Pengolahan dasar (primary treatment), yang meliputi pembersihan grit, penyaringan,
penggilingan dan sedimentasi,

(2) Pengolahan kedua (secondary treatment) menyertakan proses oksidasi larutan materi
organik melalui media lumpur yang secara biologis aktif, dan kemudian disaring,

(3) Penanganan tersier, di mana metode biologis canggih diterapkan untuk menghilangkan
nitrogen, di samping metode kimia maupun fisika seperti penyaringan granular dan
absorbsi karbon.

Limbah domestik berupa limbah rumah tangga dan kotoran manusia yang terbuang ke
perairan apabila melebihi kemampuan asimilasi perairan sungai dan terbawa ke laut dapat
mencemari perairan dan menimbulkan penyuburan berlebihan (eutrofikasi). Gejala ini akan
menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut akibat meledaknya populasi organisme
tertentu sehingga dapat menimbulkan kematian beberapa organisme perairan. Kondisi
perairan yang mengalami “eutrofikasi”, organisme makro-zoobenthos yang menjadi indikator
lingkungan jarang sekali ditemukan. Sedangkan kadar NH3 perairan meningkat dan pH-nya
menjadi rendah (asam). Keadaan ini menunjukan kondisi perairan yang tidak stabil dimana
terjadi penurunan kualitas perairan sehingga organisme laut akan mati atau tidak dapat
melangsungkan aktifitas hidupnya untuk proses pertumbuhan dan perkembangbiakan.

b. Limbah Industri

Sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis ini
bukan saja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COO maupun kandungan organiknya,
tetapi juga mengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang
mencemari. Penanganan limbah ini diiakukan dengan cara memasang instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke lingkungan atau badan air, dan penanganan sistem
pembuangan limbah domestik itu sendiri. Terdapat beberapa pilihan dalam mengendalikan
air limbah industri yaitu: Pengendalian secara end of pipe, yaitu pada titik pembuangan dari
sumbernya pabrik), Penanganan pada proses produksi (penerapan produksi bersih).

Dampak yang diberikan oleh limbah industri akan sangat tergantung dari jenis kegiatan
industri dan bahan baku yang digunakan. Misalnya logam Pb (Timbal) dan Hg (Merkuri)
31
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
yang dihasilkan dari penambangan liar (senyawa yang dipakai pada penambangan emas)
seperti di daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, yang merupakan salah
satu jenis bahan pencemar di laut, selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas
perairan laut, juga dapat menimbulkan keracunan. Karena unsur Pb dan Hg merupakan
unsur logam berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada apabila terakumulasi pada
organisme perairan yang dimakan manusia.

Pencemaran logam berat seperti di atas dapat terlihat di kawasan Teluk Jakarta saat ini
memang sudah dalam tahap memprihatinkan. Ini terlihat dari tingginya angka pencemaran,
khususnya merkuri dan pestisida, yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT.
Keduanya sudah melebihi ambang batas yang diperbolehkan, yaitu maksimum 0,5 ppb.

Logam berat lain yang kandungannya tinggi dan dinyatakan jauh melebihi batas aman,
yang ditemukan dalam pencemaan Teluk Jakarta ini, antara lain seng (Zn), tembaga (Cu),
kadmium (Cd), fosfat, dan timbal (Pb). Pencemaran ini diakibatkan pembuangan limbah
industri kertas, minyak goreng, dan industri pengolahan logam di kawasan Pantai Marunda,
termasuk juga limbah rumah tangga dan industri dari 13 sungai yang ada di DKI Jakarta.
Kondisi itu lebih diperburuk lagi dengan adanya pembuangan minyak secara rutin dari kapal
dan perahu kecil di kawasan itu.

Limbah industri lainnya yang umumnya terbuang ke badan sungai dan dialirkan ke laut atau
yang langsung terbuang ke laut akan terakumulasi. Dalam jumlah tertentu yang melebihi
kapasitas daya asimilatif perairan, bahan pencemar ini akan menjadi sludge yang
menimbulkan bau busuk. Kandungan kimia sludge dapat menurunkan DO dan BOD serta
meningkatkan COD. Disamping itu sludge mengeluarkan pula bahan beracun berbahaya
seperti sulfida, fenol, Cr (Heksavalen), Pb(Timbal), dan Cd (Cadmium) yang dapat
terakumulasi dalam organisme perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan
acaman bagi kehidupan manusia.

c. Limbah cair domestik dan tinja

Secara sederhana, penanganan limbah cair domestik dan tinja dengan membangun
septiktank untuk setlap perumahan atau septiktank komunal di pemukiman padat penduduk
secara kolektif, bagi daerah yang beium mempunyai pengolahan limbah cair domestik
secara terpadu.

32
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Gambar 7. Pemukiman Padat Penduduk (Sumber: www.peopleandplanet.net)

d. Air limbah pertanian


Berasal dari sedimen akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewan atau pupuk (umumnya
fosfor dan nitrogen), dan unsur kimia dari pestisida. Unsur pencemar ini meliputi balk
sedimen dari erosi lahan tanaman perkebunan maupun larutan fosfor dan nitrogen yang
dihasilkan oleh limbah hewani serta pupuk, pengendalian dapat dilakukan dengan membuat
penampungan di samping melakukan penanganan baik dalam kolam terbuka maupun
tertutup, dan sistem pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit dengan komposisi
yang tepat.
Sedangkan limbah pertanian selain dapat menimbulkan eutrofikasi yang disebabkan
akumulasi bahan-bahan organik sisa tumbuhan yang membusuk, akumulasi residu dari
pestisida terutama bahan kimia beracun chlorine dan organo-chlorine juga dapat
menimbulkan keracunan bagi organisme perairan yang pada akhirnya akan membawa
kematian. Keadaan ini tidak hanya mengancam kehidupan organisme yang hidup di habitat
yang terkena kontaminasi bahan beracun saja, tetapi dapat mengancam kehidupan
organisme lain yang secara ekologis mempunyai kaitan erat dengan organisme tersebut
melalui aliran rantai makanan.
Akibat tidak langsung dari kegiatan pertanian berupa perladangan berpindah dan
penebangan hutan secara serampangan juga dapat menimbulkan pencemaran berupa
sedimentasi dan pendangkalan sungai yang disebabkan oleh erosi. Proses kekeruhan dan

33
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
sedimentasi ini bisa mencapai perairan estuaria dan perairan pantai. Secara ekologis
proses kekeruhan karena sedimentasi dapat menyebabkan terganggunya penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan, sehingga kegiatan fotosintesa plankton maupun organisme laut
lainnya menjadi terhenti. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam perairan menjadi
menurun diikuti oleh kematian organisme laut. Kematian organisme laut yang pada akhirnya
akan menurunkan kualitas perairan karena proses pembusukan pada perairan yang telah
mengalami pendangkalan dan penumpukan bahan organik akan menimbulkan racun.

e. Tumpahan Minyak Akibat Kegiatan Penambangan dan Pengangkutannya

Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak terhadap lingkungan perairan laut dan
pantai tergantung pada jumlah minyak yang tumpah, lokasi kejadian dan waktu kejadian.
Buangan dan tumpahan minyak bumi akibat kegiatan penambangan dan pengangkutannya
dapat menimbulkan pencemaran laut yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang
laut. Pengaruh buangan atau tumpahan minyak terhadap ekosistem perairan laut dapat
menurunkan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik dengan adanya
tumpahan atau buangan minyak maka permukaan air laut akan tertutup oleh minyak.
Secara kimia, karena minyak bumi tergolong senyawa aromatik hidrokarbon maka dapat
bersifat racun, sedangkan secara biologi adanya buangan atau tumpahan minyak dapat
mempengaruhi kehidupan organisme laut.

Tumpahan minyak bumi pada perairan laut akan membentuk lapisan film pada permukaan
laut, emulsi atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di dasar
perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan film pada permukaan laut akan
menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme laut, sementara
minyak yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang ikan sehingga
mengganggu proses respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi oleh sedimen-sedimen
di dasar perairan akan akan menutupi lapisan atas sedimen tersebut sehingga akan
mematikan organisme-organisme penghuni dasar laut dan juga meracuni daerah-daerah
pemijahan.

Akibat terganggunya proses fotosintesa maka populasi plankton akan menurun yang akan
diikuti oleh penurunan populasi organisme pemakan plankton (misalnya: ikan), yang diikuti
pula dengan penurunan populasi burung pemakan ikan. Menurunya populasi burung akan
mengakibatkan guano (penghasil fosfat) akan berkurang sehingga akan terjadi penurunan
34
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
hasil perikanan. Selain itu, buangan atau tumpahan minyak yang menyebar dengan cepat
ke wilayah laut yang lebih luas akan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan mangrove
sehingga mengakibatkan terjadinya abrasi dan intrusi air laut, rusaknya tempat-tempat
pemijahan (spawning ground) dari organisme laut.

35
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 3
AKTIVITAS INDUSTRI DI DAERAH

3.1 Kondisi Industri Daerah

Pada umumnya kegiatan industri di daerah, menyebabkan terjadinya pencemaran


lingkungan seperti aktivitas industri di sektor perindustrian, pertambangan dan sumberdaya
mineral, pariwisata, kehutanan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, kelautan dan
perikanan, riset dan teknologi, dan perumahan rakyat, serta sektor kesehatan. Untuk lingkup
permasalahan pencemarannya terhadap lingkungan terdiri dari bermacam kegiatan seperti
kebocoran gas, tumpahan minyak dari tanker (oil spil), limbah pertambangan ke laut,
kecelakaan kapal pengangkut bahan tambang mineral, pencemaran PLTN, illegal mining,
penambangan tanpa ijin (PETI), pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir laut
untuk reklamasi pantai atau pulau, industri yang berada di pantai/pesisir, penggunaan bahan
kimia pada aktivitas usaha tani di hulu, illegal loging, penggunaan kawasan hutan untuk
pelabuhan, pengambilan terumbu karang untuk diekspor, pembuatan kapal yang menggunakan
kayu, operasional kapal, kecelakaan kapal, kegiatan kepelabuhanan, illegal fishing, industri
perikanan, tambak, pembangunan tempat rekreasi di pantai/pesisir, reklamasi pantai, wisata
bahari, bahan beracun dari laboratorium, dan limbah domestik.

Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti terangkum di


atas menghasilkan limbah yang menyebabkan pencemaran air laut yang memberikan dampak
pada kehidupan di laut seperti berdampak pada ekosistem laut kerusakan terumbu karang,
mangrove, padang lamun, estuaria dan lain-lain, yang membutuhkan waktu yang sangat lama
dan teknologi yang memadai serta dana yang sangat besar dalam menyelesaikan
permasalahan pencemaran limbah ini.

Untuk mengetahui pencemaran lingkungan, dapat terlihat seperti di bawah ini yang
merupakan hasil penelitian yang didapatkan dari pengumpulan data tentang kegiatan industri di
daerah-daerah (lihat lampiran 3) seperti dikemukakan sebagai berikut:

a. Daerah Provinsi Kalimantan Barat


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:

36
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
- Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal dan kapal nelayan dengan
menggunakan bahan baku kayu dan sebagian menggunakan bahan penolong besi. Pada
kegiatan industri ini, sejauh ini belum mencemari lingkungan karena industri ini dikerjakan
di luar daerah bantaran Sungai Kapuas.
- Industri perikanan seperti pengambilan hasil laut (ikan, ubur-ubur, dan lain-lain), budidaya
perikanan (pengolahan hasil laut: udang air payau dan asin, ikan beku). Aktifitas industri
ini mencemari lingkungan, contoh pada industri pengolahan hasil laut tidak memiliki
pengolahan limbah dan untuk budidaya perikanan tidak sesuai dengan tata ruang
pesisir/laut sehingga merusak ekosistem dan lingkungan.
- Industri parawisata bahari seperti industri wisata pantai, pulau dan hotel, pada kegiatan
industri ini tidak mencemari lingkungan justru rentan terhadap pencemaran, karena jika
terjadi pencemaran maka aktifitas pariwisata akan terganggu wisatawan yang berkunjung
akan berkurang.
- Industri kayu seperti kayu hulu dan playwood, kegiatan industri ini menyebabkan
pencemaran perairan Sungai Kapuas karena pemakaian bahan kimia dan juga
mengakibatkan pendakalan maritim sehingga dapat mengganggu lalu lintas maritim.
- Industri pertambangan seperti penambangan liar, pada kegiatan ini menyebakan
pencemaran perairan karena diakibatkan oleh senyawa kimia (merkuri) yang digunakan
oleh penambangan emas.

Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi


pencemaran lingkungan seperti:

- Dinas Perindag Kop dan UKM, Kota Pontianak antara lain: Keputusan Walikota Pontianak
No. 446 dan 447 tahun 2002, tentang Pembentukan Komisi AMDAL, UKL dan UPL.

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No.
137 tahun 2004, tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Laut Provinsi Kalimantan Barat, dan Keputusan Gubernur No. 83 tahun 2006, tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi
Kalimantan Barat.

b. Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur


37
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri perikanan seperti usaha perikanan, budidaya mutiara, dan budidaya rumput laut.
Pada aktifitas penangkapan ikan masih menggunakan bahan peledak sehingga
menyebabkan kerusakan ekosistem dan biota laut.
- Industri pertanian seperti usaha pertanian, pada kegiatan ini menimbulkan erosi yang
mengakibatkan sedimentasi.
- Industri pariwisata bahari seperti perhotelan dan restaurant di pinggir pantai. Aktifitas dari
industri ini menghasilkan limbah domestik dari perhotelan di pinggir pantai, tercemarnya
air yang dapat mengakibatkan punahnya ekosistem laut dan juga menghasilkan limbah
cair dan padat sehingga menimbulkan dampak yaitu kerusakan hutan bakau.
- Industri transportasi laut seperti transportasi perhubungan laut. Pada aktifitas industri ini
menyebabkan pencemaran walaupun dalam skala kecil, terlihat ada penurunan
produktifitas pada masyarakat, seperti: keramba, rumput laut yang berdekatan dengan
alur pelayaran.

c. Daerah Provinsi Riau


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri kepelabuhanan seperti pelabuhan perikanan (pelabuhan modern dan pelabuhan
tangkapan tradisional). Pada aktifitas industri ini menyebabkan kualitas air menurun, dan
juga menghasilkan limbah cair yang melebihi standar baku mutu, dan dapat
mengakibatkan dampak pada kesehatan manusia, dan biota laut selain itu juga negara
dirugikan karena harus merehabilitasi kembali lingkungan yang rusak.
- Industri pertambangan di lepas pantai seperti minyak dan gas, pertambangan pasir laut.
Pada kegiatan industri migas ini menghasilkan limbah berupa tumpahan minyak, buangan
air terproduksi (salin water), dan menyebabkan perubahan/kenaikan temperatur air laut di
sekitar pembangunan, sedangkan kegiatan pertamabangan pasir di laut menyebabkan
kerusakan lingkungan (pulau) yang sangat parah (oleh kegiatan eksport pasir laut)
sehingga menyebabkan tenggelamnya pulau.
- Industri Perkayuan/Perkebunan seperti: pemotongan kayu menyebabkan sedimentasi
karena penggundulan hutan dan menyebabkan erosi di darat.
- Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal perikanan dan tradisional.
- Industri Rumah Tangga menghasilkan limbah rumah tangga.

38
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi
pencemaran lingkungan seperti:

- Dinas Budaya Seni dan Pariwisata antara lain: Perda tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata.
- Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) antara lain: Perda (Naskah
Akademik) Pengelolaan Wilayah Pesisir.
- Dinas Kehutanan antara lain: Perda tentang Baku Mutu Air Sungai Siak

d. Daerah Provinsi Sulawesi Tengah


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:

- Industri perikanan, aktifitas industri ini seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak,
pada aktifitas ini jelas memberikan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran
lingkungan sedangkan penangkapan ikan dengan kapal-kapal yang menggunakan pukat
cincin dalam operasinalnya tidak/belum memberikan dampak terhadap pencemaran
lingkungan.

- Industri wisata bahari, secara umum kegiatan ini telah mencemari lingkungan, namun
besarnya potensi tersebut serta ada tidaknya pencemaran di laut sebagai dampak
aktifitas tersebut dan berapa besarnya masih diperlukan penelitian.

- Industri pertambangan seperti penambangan pasir laut, penambangan terumbu karang,


dan pengeboran migas lepas pantai; industri kepelabuhanan seperti pembangunan
pelabuhan besar dan kecil; dan industri Pelayaran seperti transportasi kapal nelayan dan
kapal kargo. secara umum kegiatan ini telah mencemari lingkungan, namun besarnya
potensi tersebut serta ada tidaknya pencemaran di laut sebagai dampak aktifitas tersebut
dan berapa besarnya masih diperlukan penelitian.

Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi


pencemaran lingkungan seperti dari:

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Kebijakan tentang aktifitas maritim masih
berbentuk naskah akademik/draft.

e. Daerah Provinsi Kepulauan Riau (Batam)

39
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri transportasi laut, pada aktifitas ini menghasilkan kotoran (kerak), pelumas atau
minyak yang berasal dari kapal sehingga menyebabkan pencemaran perairan.
Banyaknya aktifitas transportasi laut antar pulau dengan menggunakan speedboat dan
kapal ferry, alat transportasi laut tersebut menghasilkan air limbah yang banyak
mengandung minyak yang sangat berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan
perairan. Selain itu juga pencemaran ini meyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
wilayah pesisir, sehingga mengakibatkan tergganggunya keseimbangan ekosistem
seperti rusaknya ekosistem bakau dan terumbu karang yang merupakan tempat bernaung
dan hidup berbagai jenis biota laut (ikan, kerang, benih-benih ikan, dan lain-lain).

- Industri penambangan pasir seperti eksploitasi pasir untuk diekspor. Pasir laut memang
sudah dilarang untuk diekspor, namun pasir darat, tanah dan golongan C (bahan galian
yang tidak termasuk golongan strategis dan vital yaitu: batu kapur, bentonite, basal,
phosphate, kaolin, mika, andesit, granit dan gabro) lainnya masih bebas diekspor,
sehingga masih terjadi penambangan yang berpotensi merusak ekosistem pesisir dan
laut.

f. Daerah Provinsi Sulawesi Utara


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri kepelabuhanan seperti aktivitas pelabuhan kontainer, pelabuhan kapal
pengangkut (minyak, barang elektronik, kebutuhan pangan).
- Industri pelayaran seperti aktivitas jasa transportasi laut
- Industri rumah tangga yang menghasilkan limbah masyarakat (sisa konsumsi rumah
tangga).
- Industri perikan seperti penangkapan dan pengolahan ikan
- Industri galangan kapal
Pada umumnya kegiatan industri di atas terjadi pencemaran yang ada, masih di
bawah ambang batas. Pencemaran masih bisa diatasi, dan belum mencemarkan lingkungan
sekitar.

g. Daerah Provinsi Sumatera Utara


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
40
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
- Industri kepelabuhanan seperti pelabuhan niaga. Pada aktivitas industri ini menghasilkan
sisa-sisa kegiatan operasional kapal-kapal ikan (misalnya: bahan baker dan oli pelumas),
dan untuk operasional kapal-kapal niaga (misalnya: bahan baker, sisa-sisa muatan
minyak, dan bahan kimia) serta sisa-sisa kegiatan atau limbah dari shore base facilities.

- Industri perikanan seperti penangkapan dan pengolahan ikan. Untuk penangkapan ikan
di Pantai Barat Sumatera Utara dan Kepulauan Nias sering menggunakan bahan peledak
dan racun sehingga merusak terumbu karang.

- Industri pelayaran, pada kegiatan industri ini menghasilkan limbah dari kapal yang
dibuang langsung ke laut tanpa pengelahan sehingga merusak biota laut dan juga
menyebabkan menurunya kualitas air.

h. Daerah Provinsi Bali


Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:
- Industri perikanan tangkap, perikanan longline tuna (penangkapan dan pengelohan),
perikanan lemuru (penangkapan, pengalengan, industri tepung ikan) dan pengalengan
ikan serta Processing/perikanan (cold storage), Docking kapal-kapal ikan. Pada kegiatan
industri ini salah satunya menghasilkan limbah industri dan juga menyebabkan
pencemaran udara (bau) oleh aktifitas pengolahan tepung ikan dan aktifitas kapal-kapal
ikan yang belum mempunyai kesadaran dalam hal lingkungan.

- Industri kepelabuhanan seperti perawatan/perbaikan perahu (boat).

- Industri pelayaran seperti pelayaran antar pulau/niaga, pelayaran penumpang, dan Usaha
angkutan laut khusus industri pariwisata dan tambang, perdagangan hasil laut antar
negara (seperti Taiwan, dan lain-lain)

- Industri perkapalan seperti galangan kapal, pembuatan perahu nelayan, Bangkai kapal.

- Industri wisata bahari seperti Snorkling, Boating, Fishing, Paracyling, melihat Lumba-
Lumba dan Pariwisata cruise baik jarak dekat (N. Lambongan) maupun jarak jauh (Moyo,
Komodo) dan Atraksi wisata (snorkling, diving, dan lain-lain)

- Industri rumah tangga seperti limbah domestik (cair/padat), deterjen, limbah dari darat
yang terbawa melalui aliran sungai, limbah padat & cair (khusus jenis plastik),
menghasilkan sedimentasi oleh muara sungai.

41
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi
pencemaran lingkungan seperti:

- Dinas Perikanan dan Kelautan antara lain: Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan,
SKB No. 367 & 604 tahun 1992 Gub. Bali & JaTim ttg Pembatasan Jumlah Purseseine di
Selat Bali, dan Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan.

- Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) antara lain: Keputusan


Gub. No. 151 thn 2000 ttg Standar Baku Mutu Lingkungan, antara lain menetapkan baku
mutu air laut untuk kegiatan budidaya & industri pariwisata.

- Kantor Administrator Pelabuhan Benda antara lain: Keputusan Menhub No. 38 thn 1990
ttg Pencegahan Pencemaran oleh Wilayah, dan Keputusan Menhub yang menetapkan
bahwa setiap Pelabuhan Umum DUICS, Pelsus diwajibkan Pembuatan AMDAL, & telah
dibentuknya AMDAL DepHub di Tingkat Pusat.

- PT. Pelabuhan Indonesia, Cabang Benoa antara lain: Perda ttg : Baku Mutu Budidaya,
Baku Mutu Pariwisata, dan Pengelolaan Lingkungan.

i. Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:


- Industri perikanan seperti cold storage (saat ini tidak beroperasi karena terkena bencana
gempa dan tsunami). Pada kegiatan industri ini menghasilkan limbah tetapi belum
mencemari lingkungan karena masih dapat dikelola secara domestik, juga menyebabkan
perubahan BOD, COD, dan DO, menyebabkan peningkatan kekeruhan air, jumlah biotic
dan bakteri sehingga menyebabkan perubahan kualitas perairan dan dapat merusak
ekosistem, mengakibatkan menurunya kualitas lingkungan dan menyebabkan rendahnya
kesehatan masyarakat setempat dan akan menyebabkan konflik sosial.
- Industri transportasi laut, pada aktifitas ini menghasilkan kotoran (kerak) dan pelumas
yang bersal dari kapal.

42
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 4
PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT

4.1 Implementasi dan Penegakan Hukum (law enforcement) Bidang Kelautan


Harus diakui dalam pengimplementasian dan penegakkan hukum (law enforcement)
bidang kelautan di Indonesia masih lemah. Selama ini persoalan penegakan hukum dan
peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar sektor
pembangunan, institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat.

Untuk penegakan hukum lingkungan laut belum jelas dan terjadi carut marut , sehingga
untuk menyelesaikan permasalahan ini diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang
menangani keselamatan dan keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis dan untuk
wilayah ZEE sudah menjadi tanggung jawab TNI AL, seperti yang ada di negara USA dan
Jepang terdapat suatu badan yang bertugas yaitu Coast Guard yang sesuai dengan aturan
internasioanal (TZMKO).

Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin
interaksi antar sektor yang saling menguntungkan. Terdapatnya perangkat hukum
membutuhkan aparatur penegak hukum yang memiliki komitmen untuk menegakkan peraturan.
Tanpa itu semua, persoalan di laut dan pesisir akan menjadi tumpang tindih dan bermuara pada
kerusakan lingkungan dan kemiskinan dalam masyarakat.

Peran aparatur penegak hukum, seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan pengadilan dalam
pembangunan kelautan sangat penting dan strategis. Hal ini mengingat banyak kasus yang
terjadi dalam pembangunan kelautan dilatarbelakangi oleh persoalan hukum. Contoh muktahir
dari pentingnya peran hukum dalam pembangunan kelautan adalah kasus pencurian pasir laut
dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.

Kasus penambangan ilegal pasir laut, merupakan contoh kasus dari persoalan tumpang
tindihnya peraturan dan kebijakan. Tumpang tindih peraturan itu membuat kegiatan
penambangan membawa berbagai implikasi negatif bagi ekonomi, lingkungan, sosial, dan
politik. Negara dan masyarakat di pesisir dan kepulauan Riau, terutama nelayan yang
menyandarkan diri pada kegiatan perikanan hampir selama 32 tahun menderita kerugian.

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk meminimalkan sisi


kerugian akibat kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali itu. Langkah yang ditempuh
43
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
oleh pemerintah adalah menerbitkan Inpres No.2 Tahun 2002. Garis besar Inpres tersebut
menginstruksikan kepada pejabat negara terkait untuk berkoordinasi dalam pengawasan dan
pengendalian penambangan pasir.

Inpres ini kemudian diperkuat dengan Keppres No.33 Tahun 2002 tentang
pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut. Dalam keppres itu disebutkan pula
tentang pembentukan Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) yang
diketuai oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Tugas dari TP4L ini adalah mengawasi dan
pengendali pengusahaan pasir laut.

Dalam mengemban tugas yang diamanatkan, TP4L secara bertahap berhasil


meminimalkan praktik ilegal dalam penambangan pasir melalui koordinasi dengan aparat
penegak hukum seperti TNI AL dan polisi. Kapal-kapal yang ditangkap kemudian dibawa ke
pengadilan, meski pada tahapan ini, proses peradilan belum optimal memberikan sanksi yang
berat bagi kegiatan illegal ini. Namun kemampuan membawa pelaku ini merupakan langkah
yang baik sekali, mengingat hampir 22 tahun kegiatan ilegal ini tidak tersentuh oleh hukum.

Begitu pula halnya dengan masalah praktek penangkapan ikan secara ilegal,
khususnya yang beroperasi di perairan ZEEI. Pemerintah telah mengantisipasi praktek tersebut
lewat penegakan hukum di wilayah laut. Dalam rangka penegakan hukum ini dilakukan
koordinasi dengan pihak aparat hukum seperti kepolisian, dan TNI-AL. Proses tersebut
selanjutnya dilakukan dengan membawa pelaku pencurian ke pengadilan melalui bekerja sama
dengan pihak kejaksaan agar tuntutan hukum atas perkara pelanggaran di bidang perikanan
dapat diberikan sanksi yang setimpal dan prosesnya cepat.

Tentunya kegiatan pengendalian penangkapan ikan tidak dapat dilakukan oleh aparat
pemerintah saja, melainkan juga harus melibatkan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, DKP
telah mengembangkan Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS) yang disosialisasikan
ke beberapa daerah.

Pemasangan alat komunikasi dilakukan di pusat-pusat perikanan seperti Pekalongan,


Pemangkat, Belitung, Kendar yang dihubungkan ke pusat pemantauan Dep.KP. Sehingga
informasi pelanggaran terutama oleh kapal penangkap ikan ilegal dapat diketahui dan
diteruskan kepada aparat penegak hukum di laut. Pada tahun 2001, telah terpasang 15 set alat

44
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
komunikasi, serta perangkat sistem komputer database yang dioperasikan secara Wide dan
Local Area Net.

Begitu pula sanksi hukum bagi perusak lingkungan terlalu ringan, seperti bagi
pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan
karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung-
jawab, dan seterusnya.

Masih maraknya kegiatan bersifat destruktif, yang tidak hanya dilakukan oleh nelayan
tradisional, tetapi juga nelayan-nelayan modern, dan nelayan-nelayan asing yang banyak
melakukan pencurian ikan di perairan nusantara. Fakta ini merupakan bukti lemahnya
penegakan hukum.

Memang, permasalahan lain yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan


adalah kurangnya koordinasi dan kerja sama antarpelaku pembangunan dan sekaligus
pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kurangnya
koordinasi antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan
pesisir dan laut yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak. Lemahnya
koordinasi ini diakibatkan oleh belum adanya sistem atau lembaga yang mampu
mengkoordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan.

Beberapa contoh dapat dilihat seperti terjadi benturan kepentingan antara pemanfaatan
sumberdaya kelautan dengan kegiatan konservasi lingkungan, antara pemanfaatan
sumberdaya secara optimal dan lestari dengan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Akibatnya, sektor kelautan yang memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke
belakang (backward linkange) dengan sektor-sektor perekonomian lainnya tidak tumbuh dan
berkembang secara optimal. Selain itu akibat kebijakan sektor-sektor perekonomian tersebut
tidak berorientasi atau tidak berkoordinasi dengan sektor kelautan. Sehingga sektor-sektor
perekonomian lain yang terkait tersebut juga tidak tumbuh dan berkemban secara optimal dan
berkelanjutan.

4.2 Permasalahan Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan

45
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan
penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya
memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap
sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan
karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya hampir di seluruh
wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai kepentingan.

Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak adanya aturan yang jelas
tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan
pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target, dan rencana
untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut
mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan
(jurisdictional conflict).

Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk
Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan
pemukiman mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk
konservasi dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional
Bunaken, sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata
bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkelling dan scuba diving.
Pengembang bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau
Manado Tua dan Bunaken, sementara Balai Pengelola Taman Nasional Laut Bunaken ingin
mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan
dan sasaran tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.

Perencanaan dari berbagai sektor ini sering tumpang-tindih dan masing-masing


berkompetisi memanfaatkan ruang yang sama. Tumpang-tindih perencanaan dan kompetisi
pemanfaatan sumber ini memicu munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan
konfik kewenangan antar instansi yang berkepentingan.

Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin
banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Untuk melihat fenomena tersebut menjadi
kenyataan, dilakukan observasi di Sulawesi Utara, untuk melihat apakah ada tumpang tindih
46
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
atau kesenjangan antara maksud, tujuan, sasaran dan rencana masing-masing instansi swasta
dan masyarakat. Diikuti dengan in depth interview terhadap key respondents, di lokasi yang
diperkirakan konflik terjadi dan korelasinya dengan kondisi SD pesisir sekitarnya.

Berdasarkan studi tersebut dapat ditemukan bahwa konflik pemanfaatan SD pesisir dan
jasa lingkungan ( marine resources and environmental amenities) muncul di Teluk Manado dan
daerah pesisir lainnya di Sulawesi Utara. Konflik antara nelayan tradisional dengan pengusaha
budidaya mutiara di perairan Pulau Talise. Konflik antara pengelola pariwisata, pengelola TNL
Bunaken, nelayan serta pengembang reklamasi pantai di Teluk Manado. Salah satu masalah
mendasar, pihak yang berkepentingan sering kurang jelas dalam menjabarkan konsep
pemilikan dan penguasaan SD pesisir dan kurang memperhatikan sistem pengelolaan yang
bersifat tradisional. Secara defacto, penduduk pesisir setempat merasa bahwa lahan dan SDK
kelautan disekitarnya adalah milik mereka, yang dikelola secara tradisional turun temurun.
Tetapi secara dejure, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh
sumber kekayaan alam yang terdapat dalam perairan Indonesia adalah milik pemerintah pusat.

Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk


mengelolanya. Sehingga timbul kerancuhan (ambiguity) bahwa disatu sisi SD pesisir dianggap
milik kelompok penduduk (common property), tetapi disisi lain dianggap milik pemerintah (state
property). Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property
regimes) ini mendorong timbulnya konflik kewenangan ( jurisdictional conflict) dan konflik
pemanfaatan (user conflict). Konflik pemanfaatan lain pernah terjadi di Makassar antara nelayan
dengan pemerintah kota. Dalam kesadaran nelayan, meskipun tidak ada ketentuan hukum
tertulis yang mengatur mereka dalam hubungannya dengan bagang, tetapi kebiasaan turun-
temurun merupakan sesuatu yang pantang untuk dilanggar. Memang belum ada pengalaman
bagaimana sanksi dijatuhkan apabila ada di antara nelayan yang melanggar kebiasaan turun-
temurun tersebut, tetapi secara hipotetik mereka yakin si pelanggar kebiasaan akan menerima
sanksi dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan hidup sehari-hari, termasuk pada
aktivitas di laut. Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan hipotetis tentang hukum
yang akan dijadikan dasar penyelesaian konflik, segenap responden menjawab bahwa dasar itu
adalah kebiasaan turun-temurun. Demikian juga ketika ditanyakan mengenai cara penyelesaian
konflik, mereka berpendapat bahwa pertama-tama akan diusahakan diselesaikan di antara
mereka yang berkonflik, baru kemudian melibatkan pihak lain sebagai juru damai, jika konfliknya

47
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
berlanjut. Seterusnya, para responden berkeyakinan bahwa konflik akan selesai, paling jauh
pada tingkat kedua (melibatkan juru damai). Jawaban hipotetik tersebut, mengindikasikan
bahwa dalam benak para nelayan, penyelesaian melalui pengadilan merupakan suatu alternatif
yang hampir tak terpikirkan.

Secara konseptual, cara penyelesaian konflik yang dikemukakan responden tersebut,


dapat disebut negosiasi dan mediasi. Negosiasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian
konflik melalui pembicaraan langsung, sedang mediasi melalui pembicaraan tidak langsung
atau dengan bantuan pihak ketiga. Lebih jauh, jawaban hipotetik itu dapat juga diberi makna
bahwa masyarakat nelayan secara kultural sesungguhnya memiliki cara tersendiri dalam
mengelola dan menyelesaikan konflik yang muncul di tengah-tengah mereka. Meskipun institusi
tradisional sudah runtuh, ternyata tidak berarti otomatis dapat tergantikan oleh institusi formal
dari negara.

Konflik kewenangan semakin berkembang di propinsi Sulawesi Utara dan derah


lainnya, terutama sejak ditetapkannya perairan pulau-pulau Bunaken menjadi Taman Nasional
Laut (TNL) tahun 1991. Konflik kewenangan muncul antara pemerintah Pusat c.q. Ditjen PHPA
dengan Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pariwisata di TNL Bunaken. Dalam kasus ini Pemerintah
Daerah merasa bahwa daratan pulau-pulau di perairan Bunaken serta masyarakatnya di bawah
kewenangan Pemda Sulut, sesuai dengan UU RI No. 5/1974. Namun di pihak lain, setelah
pulau-pulau Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional, maka kewenangan pengelolaan
sumberdaya hayati lautnya berada di bawah Departemen Kehutanan.

4.3 Permasalahan Ketidakpastian Hukum

Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan


penguasaan sumberdaya pesisir. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open
access property resources), tetapi berdasarkan UUD 45 pasal 33 menyatakan bahwa semua
sumberdaya termasuk sumberdaya perairan Indonesia adalah milik pemerintah (state property),
sehingga Pemerintah memberikan izin pemanfaatan kepada pihak investor yang memenuhi
persyaratan.

Investor tersebut mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk memenuhi


kepentingannya atau mendapatkan keuntungan jangka pendek. Jika tidak maka pihak lain
(intruders) yang mengangap sumberdaya tersebut open access akan mengeksploitasinya. Tidak

48
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
ada insentif bagi investor untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir terjadi the tragedy of commons. Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme
pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah yang menjadi state property, tetapi juga mengakui
hak-hak ulayat (common property) atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat
adat yang melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan
incremental benefit dari upaya mereka melestarikannya.

Konflik antara UU versus hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah perairan
pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, status perairan
pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya,
masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumberdaya di sekitar desanya
sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum
berdirinya Negara Indonesia. Ironisnya pemberlakuan berbagai undang-undang lainnya yang
memberikan mandat bagi instansi pemerintah dan izin pengelolaan bagi swasta membuat
sumberdaya tersebut diklaim sebagai milik pribadi (quasy private property). Ketidakpastian
pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini melemahkan mekanisme pengelolaan yang bersifat
tradisional dan mendorong terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access.

Selain itu norma-norma hukum yang ada dalam berbagai undang-undang, yang
seharusnya memberikan kepastian bagi instansi-instansi pemerintah dan masyarakat, yang
terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh dapat disebut UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 22
Tahun 1999. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, kewenangan penataan ruang laut harus diatur
dengan UU (Pasal 9) dengan kewenangan terbesar ada pada pemerintah pusat (sentralistik).
Sebaliknya, UU No. 22 Tahun 1999 serta merta menyerahkan kewenangan penataan ruang laut
(sejauh 12 mil) sepenuhnya ke daerah (Pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11 penataan ruang
menjadi kewenangan wajib pemerintah kabupaten/kota.

Perubahan yang terlalu ekstrim tersebut berpotensi besar menimbulkan konflik


kewenangan baru, di antaranya, konflik antara berbagai tingkatan pemerintahan (pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota) serta konflik pemanfaatan antara pengguna sumberdaya dari
daerah yang berbeda (misalnya, konflik antara nelayan Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Bentuk ketidakpastian hukum yang lain adalah peraturan pelaksanaan yang tidak
konsisten dan ketiadaan peraturan hukum sama sekali (kekosongan hukum). Salah satu contoh
dari peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten itu adalah peraturan yang berkaitan dengan
49
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
hak ulayat. Di dalam UU No. 5 Tahun 1960, hak ulayat (termasuk hak ulayat laut) diakui
eksistensinya (Pasal 3), tetapi peraturan pelaksanaannya justru mengingkarinya (PP No. 24
Tahun 1998).

Sementara itu, kekosongan hukum juga telah menyebabkan ketidakpastian hukum.


Misalnya, penguasaan bagian-bagian tertentu dari wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut
dan pengelolaan pulau-pulau kecil, yang hingga saat ini belum ada peraturannya sama sekali.
Padahal, pada kenyataannya, kedua kegiatan tersebut sangat memerlukan perlindungan
hukum, sebab selain mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi juga berkaitan dengan
kelestarian sumberdaya wilayah pesisir.

Produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sekarang ini, masih banyak


terdapat over lap/tumpang tindih pada sektor-sektor terkait dalam kewenangannya menjalankan
tugas pokok dan fungsinya. Perundang-undangan yang ada seperti dapat dikemukakan di
bawah ini:

a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada


pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Kekhawatiran ini
sebetulnya tidak perlu terjadi jika konsisten dalam membuat kebijakan-kebijakannya.
Sebagaimana diketahui dalam pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dinyatakan bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka. Disisi lain UU Tentang Pertambangan (UU No. 11 tahun 1967)
beserta peraturan organik lainnya, yang sifatnya masih sentralistik belum dicabut.

Saat ini masih terlihat ketidakjelasan pengaturan masalah hukum di Indonesia, seperti
Kepmen 1453 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan
di Bidang Pertambangan Umum, yang menuangkan tentang tata cara memperoleh perijinan
pertambangan di era otonomi. KepMen tersebut terasa ganjil karena masih menggunakan
UU No. 11 tahun 1967 sebagai dasar hukum, sementara substansi dari peraturan tersebut
adalah desentralisasi pemberian perijinan tambang kepada daerah, sebab KepMen tersebut
juga memuat UU No. 22 tahun 1999 sebagai dasar hukum. Kemudian dilanjutkan dengan
keluarnya PP No No 75 tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
No 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 11 tahun 1967 Tentang

50
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan. Setali tiga uang dengan Kepmen 1453
terdahulu PP ini juga dibuat sebagai tali penyambung antara UU No. 11 tahun 1967 dengan
UU No 22 tahun 1999.

Padahal dengan adanya TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan perlunya penataan kembali,
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan


Pengendalian Pencemaran Air
Indonesia Mining Association (IMA) mengecam lahirnya PP No. 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, oleh karena itu IMA
mendesak pemerintah segera merevisi PP tersebut. Keberadaan PP No. 82 tahun 2001
akan menghambat masuknya investasi di sektor pertambangan. Dalam pasal 42 pada PP
tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membuang limbah padat, baik berwujud
lumpur atau slurry, termasuk tailing ke dalam air dan atau sumber air. Padahal tailing belum
tentu mengandung bahan berbahaya atau beracun. Seperti tailing yang dikeluarkan oleh
PT. Freeport Indonesia yang ternyata malah bisa ditanami berbagai macam tumbuhan.

Kebijakan yang dihasilkan saat ini lebih mengedepankan kepentingan investasi


sementara keberlanjutan lingkungan diabaikan. Tentu kebijakan-kebijakan kontroversial
yang dikeluarkan selama ini sangat bertolak belakang dengan “propaganda” bahwa upaya
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Kasus terakhir adalah keluarnya Perpu No 1 tahun 2004.
Ironisnya, ditengah hujan kritik atas keluarnya Perpu itu tiba-tiba pemerintah mengeluarkan
Keppres No. 41 tahun 2004. Sebuah kebijakan untuk melegitimasi dan mempercepat
investor tambang melanjutkan operasinya yang sempat terganjal oleh UU No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan. Dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004 dan Keppres No. 41
Tahun 2004 belum menjawab masalah tumpang tindih kegiatan pertambangan terbuka di
kawasan hutan lindung.

Keluarnya Keppres tersebut, para pelaku tambang yang tergabung dalam Asosiasi
Pertambangan Indonesia (IMA) menyambut dengan penuh antusias. Mereka menanggapi

51
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
positif keluarnya Perpu No. 1/2004 yang ditindaklanjuti dengan Keppres No. 41/2004 itu.
"Keppres tersebut membuat iklim investasi di sektor pertambangan kita jadi menggairahkan
kembali.

Indonesia Mining Association (IMA) juga menentang Pasal 38 UU No. 41/1999


tentang Kehutanan yaitu mendesak untuk dimasukkan klausul diperbolehkannya
menambang di kawasan hutan lindung ataupun konservasi.

c. Rancangan Undang-Undang Pertambangan

Setelah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka


pemerintah memandang perlu untuk segera membuat RUU Pertambangan Umum. Dalam
kaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, maka pembuatan peraturan perundang-
undangan di Indonesia setelah keluarnya UU No. 22 tahun 1999 menjadi kebutuhan
mendesak karena UU tersebut telah merubah sistem pemerintahan yang sentralistik
menjadi desentralistik. Paling tidak diperlukan pembentukan banyak peraturan perundang-
undangan yang bersifat baru maupun penyempurnaan sebagaimana dapat dilihat dalam
matriks UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, dimana UU
Pertambangan termasuk salah satu yang harus dirubah.

Permasalahan lain juga dapat terlihat pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
yang terbit 23 November 2001 membuka pintu liberalisasi bisnis migas di hilir yang selama
ini terproteksi oleh privilege Pertamina yang diberikan oleh UU No. 44 Prp Tahun 1960
tentang Pertambangan Migas dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina.

UU migas baru pun menggantikan satu lagi UU, yaitu UU No. 15 Tahun 1962
tentang Penetapan PP Pengganti UU No. 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri; dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina.
d. Rantap Rancangan Undang-Undang Pengeloaan Sumber Daya Alam

Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam sidang tahunan MPR RI tanggal
1-10 Nopember 2001 adalah ditetapkannya rantap RUU PSDA melalui Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001. Tap ini dimaksudkan sebagai jawaban untuk mengatasi masalah kemiskinan,
ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi, serta kerusakan sumber daya alam yang
selama ini terjadi. Demikian juga masalah kebijakan pengelolaan SDA yang tumpang tindih.
Meskipun begitu beberapa pihak menyayangkan karena pada keputusan Rantap PSDA
52
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
masih terdapat kekurangan seperti penyatuan Agraria dan PSDA. Tidak ada integrasi
konseptual yang memadai antara keduanya.

Contoh permasalahan lain dapat terlihat dalam kewenangan dan peran institusi
dengan jelas dapat ditemukan pada pembagian kewenangan sumberdaya laut dan
konservasinya. Departemen Kehutanan berwenang melakukan pengelolaan pada sebagian
besar kawasan lindung dan spesies langka, sedangkan Departemen Kelautan dan
Perikanan bertanggung jawab terhadap keberadaan spesies laut.

Penafsiran terminologi yang berbeda-beda juga sering ditemukan. Contohnya,


pengertian tentang kawasan lindung ditemukan berbeda-beda dalam UU 5/1990, UU
5/1994, UU 41/1999, UU 9/1985, dan UU 24/1992. Pengelolaan tata ruang pun ditemukan
tidak konsisten dalam dua peraturan perundangan, yaitu UU 23/1997 dan UU 24/1992. UU
24/1992 pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa tujuan rencana tata ruang adalah untuk
meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan, sedangkan UU 23/1997 pasal 4
menegaskan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah melakukan pengawasan
terhadap eksploitasi terhadap sumberdaya secara bijaksana. Hal ini menunjukkan dua hal
yang sangat bertolak belakang. Di satu pihak, tujuan rencana tata ruang disebutkan untuk
meningkatkan penggunaan sumberdaya, sementara pihak lainnya mengisyaratkan tindakan
pengawasan.

Dalam pengelolaan secara sektoral, konflik peraturan-perundangan juga kerap


ditemukan. Contohnya, UU 41/1999 menghalalkan pemanfaatan sumberdaya mangrove.
Sementara UU 9/1985 justru melarang pengrusakan habitat yang menjadi sumberdaya ikan
ini. Ketidakjelasan penegakan hukum yang berbeda juga kerap terjadi. Sebagai contoh, UU
5/1990 memberikan serangkaian tindakan untuk pelanggaran yang dilakukan secara
sengaja dalam mengambil atau melukai satwa liar, dengan hukuman sampai 5 tahun
penjara atau maksimal Rp 100 juta, dan untuk kelalaian dengan hukuman satu tahun atau
denda Rp 50 juta. Sementara UU 9/1985 pasal 24 menjatuhkan denda sebesar Rp 100 juta
atau hukuman penjara 10 tahun untuk segala bentuk pelanggaran pasal 6 ayat 1 atau 7
ayat 1 tentang pelarangan memancing dengan peralatan atau metode yang dapat melukai
ikan dan larangan pengerusakan habitat sumberdaya ikan. Kekuatan sanksi dalam undang-
undang ini lebih besar dibandingkan yang dilakukan dalam UU 5/1990.

53
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 5
KEBIJAKAN STRATEGIS PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT

5.1 Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah

Faktor yang perlu mendukung dalam menyelesaikan masalah pencemaran ini antara
lain perlu keterpaduan dan keselarasan pada kebijakan/peraturan yang sudah ada dan perlu
ketegasan dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah kebijakan/peraturan yang over lap
atau yang bersinggungan antara instansi-instansi terkait pada pengelolaan sektor kelautan,
untuk kelembagaan yang terlibat langsung pada penanganan masalah lingkungan (selain
Kementerian Lingkungan Hidup) perlu penindakan yang tegas dari pemerintah apabila terdapat
suatu lembaga yang tidak menjalankan program kegiatannya yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Selain faktor di atas, untuk memudahkan dan agar dapat dijadikan acuan hukum yang
berlaku maka perlu penjabaran Konvensi-konvensi Internasional ke dalam kebijakan atau
peraturan nasional, dalam hal ini pasal-pasal yang perlu dijabarkan adalah pasal-pasal yang
mempunyai pengertian khusus atau mensyaratkan jangka waktu untuk dipenuhinya bagi
kepentingan negara, seperti batasan waktu untuk klaim batas landas kontinen Indonesia. Pada
UNCLOS 1982 terdapat Bab mengenai Negara Kepulauan yang sangat penting bagi Indonesia
tetapi tidak disebutkan pada UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS.
Dalam menangani masalah pencemaran lingkungan yang masih terjadi, terdapat
kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain:

I. Pemerintah Daerah:
a. SDM
ƒ Sumberdaya manusia dan laboratorium belum memadai
ƒ Sumberdaya manusia yang ada masih kurang, dan belum siap untuk menangani
pencemaran lingkungan.
ƒ Sumberdaya manusia belum mencukupi, baik kualitas maupun kuantitasnya.
ƒ Sumberdaya manusia yang ada belum/tidak sesuai dengan bidangnya.
b. Masyarakat
ƒ Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan pembangunan yang
berkelanjutan masih rendah.

54
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
ƒ Masyarakat belum mengetahui tentang Perda yang berlaku yang terkait dengan
lingkungan.
c. Arogansi daerah dalam mengurus perizinan.
d. PAD rendah ini disebabkan karena rendahnya ekonomi masyarakat sehingga banyak
nelayan yang mengambil jalan pintas untuk menangkap ikan, yaitu dengan menggunakan
bom.
e. Sarana dan prasarana, serta fasilitas yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan
masih kurang.
f. Kurangnya dana yang ada untuk menangani pencemaran lingkungan.

II. Pemerintah Pusat:


a. Illegal mining / Penambangan Tanpa Izin (PETI) :
ƒ Departemen Kehutanan:
- Kegiatan PETI, seperti emas, batu bara, nikel, dan lain-lain, masih terjadi dan
sulit untuk ditertibkan di kawasan konservasi darat, seperti taman nasional,
hutan lindung, cagar alam, dan lain-lain.

b. Kegiatan pelayaran / angkutan laut (termasuk wisata bahari / kapal pesiar;


pengangkutan limbah B3 dan zat radioaktif / perpindahan lintas batas limbah B3):
ƒ KLH:
- Alamat importir & eksportir B3 dan limbah B3 tidak diketahui (illegal) sehingga
sulit dilacak
- Penyimpanan dan pengangkutan B3 tidak mengikuti tata cara dan persyaratan
yang diatur
- Lokasi pengelolaan B3 tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur

c. Reklamasi (termasuk pembuatan tempat-tempat rekreasi di wilayah pesisir, Daerah


Aliran Sungai / DAS, atau rawa):
ƒ KLH:
- Masih banyak kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik;
- Tidak adanya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati laut;
- Potensi SDA pulau-pulau kecil masih banyak yang belum dimanfaatkan secara
optimal, walaupun ada sebagian potensi SDA pulau-pulau kecil yang telah
55
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
dimanfaatkan (eksploitasi bahan tambang dan mineral) tapi masih sangat
kurang memperhatikan pertimbangan unsur pengelolaan lingkungan dan
keberlanjutan pulau
- Pembangunan infrastruktur ekonomi dan social baik di wilayah pesisir dan
khususnya pulau-pulau kecil masih sangat kurang diperhatikan
- Kurangnya komitmen pemerintah dalam pembangunan pulau-pulau kecil
ƒ Departemen Kehutanan:
- Kegiatan penambangan pasir laut dilarang di dalam kawasan konservasi laut
(Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Margasatwa Laut dan Cagar
Alam Laut);
- Kegiatan reklamasi pantai tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
konservasi laut dan perlu dikaji secara mendalam karena akan berpengaruh
terhadap ekosistem terumbu karang;
- Kegiatan reklamasi pada daerah pantai yang berstatus kawasan hutan harus
mengacu pada UU No. 41 thn 1999;
- Kegiatan reklamasi pantai untuk perumahan tidak diperbolehkan di kawasan
konservasi; dan
- Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang
memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering
berbenturan dengan DepHut.

d. Limbah domestik (domestic waste yang masuk ke perairan melalui saluran air atau
sungai) yang antara lain berasal dari permukiman, perkantoran, hotel, restaurant dan
tempat rekreasi; dan limbah industri dan limbah rumah sakit / laboratorium:
ƒ Departemen Kehutanan:
- Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang
memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering
berbenturan dengan DepHut.
- Pemerintah daerah saat ini sedang berambisi untuk membangun kawasan
industri perikanan, tapi pembangunan industri tersebut kurang memperhatikan
status kawasan konservasi laut, sehingga sering berbenturan dengan fungsi
konservasi kawasan;

56
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
- Kawasan konservasi yang berdekatan dengan main land sering mendapat
kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya
Manado.

e. Limbah pertanian / perkebunan (dari penggunaan bahan kimia pada aktifitas tani di
hulu), termasuk limbah dari tambak.
ƒ Departemen Kehutanan:
- Kegiatan pembangunan tambak kurang memperhatikan status kawasan hutan
yang berada di wilayah pesisir (hutan lindung maupun kawasan lindung,
termasuk kawasan konservasi lahan basah dan kawasan konservasi laut),
sehingga berbenturan dengan konsep konservasi;
- Kegiatan tambak secara komersial tidak diizinkan di dalam kawasan
konservasi;
- Kegiatan tambak di dalam kawasan hutan dikembangkan secara silvo fisheries
(tambak empang parit);
- Kawasan konservsi yang berdekatan dengan main land sering mendapat
kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya
Manado.

f. Eksploitasi hutan (Illegal logging, pembukaan lahan hutan untuk pertambangan,


penggunaan kawasan hutan untuk pelabuhan):
ƒ Departemen Kehutanan:
- Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang
memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering
berbenturan dengan DepHut.
- Kawasan konservsi yang berdekatan dengan main land sering mendapat
kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya
Manado.
- Pembangunan pelabuhan banyak terkait dengan kawasan hutan pantai yang
berfungsi sebagai kawasan lindung.
- Bahan baku untuk pembuatan kapal masih sering dengan mengambil kayu dari
dalam kawasan hutan secara illegal.

57
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
g. Eksploitasi perikanan (illegal fishing/penangkapan ikan dengan pukat
harimau/pemboman ikan/penangkapan ikan dengan racun); pengambilan terumbu
karang untuk diekspor; penambangan pasir laut:
ƒ KLH:
- Masih banyak kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik;
- Kecepatan laju penurunan hutan mangrove dan kerusakan terumbu karang;
- Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali
- Tidak adanya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati laut;
- Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali;

ƒ Departemen Kehutanan:
- Pengambilan terumbu karang tidak diperbolehkan di dalam kawasan
konservasi laut (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Margasatwa
Laut dan Cagar Alam Laut);
- Pengambilan terumbu karang untuk ekspor masih dimungkinkan di alam
dengan kuota, tapi diwajibkan untuk transplantasi koral;
- Pengambilan soft coral masih untuk diizinkan mangambil di alam karena
teknologi transplantasi belum berhasil dengan baik;
- Kegiatan reklamasi pantai tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan
konservasi laut dan perlu dikaji secara mendalam karena akan berpengaruh
terhadap ekosistem terumbu karang;
- Di dalam kawasan konservasi tidak diperbolehkan dilakukan izin penangkapan
ikan maupun budidaya (komersial); dan
- Masih didapati izin penangkapan ikan dan penyu di dalam kawasan konservasi
oleh pemerintah daerah.

Dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan yang terjadi, terdapat beberapa


strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah:
a. Diperlukan penyusunan Undang-undang/peraturan tentang pencemaran lingkungan yang
komprehensif.
b. Perlu aparat yang memiliki integrasi dan tanggung jawab.

58
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
c. Perlu ada peraturan/perundangan kemaritiman di Indonesia yang berpihak kepada
masyarakat kecil.
d. Perlu adanya penegakan hukum / sangsi (law enforcement) bagi para pelanggarnya.
e. Perlu penerapan industri yang ramah lingkungan
f. Perlu optimalisasi lembaga atau badan hukum yang ada di daerah berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan.
g. Perlu adanya koordinasi dengan instansi terkait secara terpadu dan kontinyu.
h. Perlu deprogram melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mengatasi pencemaran
lingkungan.
i. Perlu ada sosialisasi dari pemerintah kepada semua stakeholders yang terkait dengan
indutri maritim.
j. Perlu adanya penetapan zonasi pemanfaatan wilayah laut yang ditatapkan oleh daerah dan
sesuai denga RUTW Propinsi / Kabupaten / Kota.
k. Perlu adanya pendidikan khusus masalah lingkungan hidup.

5.2 Pengelolaan Potensi Laut

Beberapa permasalahan yang selama ini dianggap sebagai faktor penghambat


pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal antara lain sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional dengan
karaktersitik sosial budaya yang belum kondusif untuk kemajuan usaha, sebagian besar struktur
armada yang dimiliki masih didominasi struktur skala kecil dan tradisional (berteknologi rendah),
ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara kawasan satu dengan kawasan lainnya,
masih banyaknya praktek illegal, unregulated dan unreported fishing, penegakan hukum masih
lemah, terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut yang disebabkan oleh pengeboman dan
penambangan pasir,terbatasnya sarana prasarana sosial dan ekonomi (transportasi,
komunikasi, kesehatan, pendidikan dan perumahan) dan lemahnya market intelligence yang
meliputi penguasaan informasi tentang segmen pasar, harga dan pesaing.

Sedangkan faktor eksternal yang ikut mempengaruhi lambatnya pembangunan


kelautan dan perikanan adalah khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, fiskal dan
investasi seperti suku bunga pinjaman dan penyediaan kredit perikanan. Pelaksanaan
pembangunan kelautan dan perikanan masa depan tentunya harus dapat menjawab

59
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
permasalahan permasalahan yang selama ini dianggap sebagai faktor yang menghambat
proses pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, berkeadilan dan merata.

Pengelolaan dan pemberdayaan laut memiliki ruang lingkup yang luas karena sarana
dan prasarana untuk mengelola potensi laut memerlukan teknologi tinggi, investasi besar,
pelatihan dan kemampuan khusus SDM, sarana khusus untuk menghadapi resiko alam dan
keterlibatan masyarakat internasional dalam penggunaan laut untuk pemanfaatan ekonomi
bersama. Hal tersebut merupakan kendala dan peluang yang harus kita menangkan untuk
kesejahteraan bangsa, karena kita yakin laut menyimpan sumber alam sebagai sumber
kehidupan bangsa pada masa mendatang.

Berbagai jenis komoditi dan usaha yang dapat digali dari sumber daya laut telah
dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk perikanan, transportasi, pertambangan,
pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan
investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut belum merupakan upaya yang optimal. Di
samping belum sebanding perhatian kita terhadap potensi laut yang kita miliki, kita juga masih
menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan pembangunan di sektor kelautan di
antaranya adalah:
a. Melibatkan berbagai departemen dan instansi secara lintas sektoral yang memerlukan
adanya koordinasi yang sebaik-baiknya.
b. Dihadapkan kepada hambatan-hambatan teknis eksplorasi dan pengelolaannya.
c. Masih kurang menarik minat penanam modal, baik asing maupun dalam negeri.
d. Terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan dan mendayakan potensi
kelautan sesuai dengan perkembangan iptek mutakhir.

Permasalahan lain yang ditemukan dalam pengelolaan potensi laut adalah pada
kebijakan pemerintah yang telah dicanangkan, pada pelaksanaannya di lapangan tidak
semudah yang direncanakan. Laut di wilayah Indonesia tidak berdiri sendiri namun merupakan
bagian laut seluruh dunia. Oleh karena itu Indonesia tidak dapat lepas dari peraturan-peraturan
internasional mengenai kelautan. Pemberdayaan kelautan saat ini dikelola oleh berbagai
departemen dan lembaga yang berkaitan dengan potensi kelautan, masing-masing departemen
dan lembaga tersebut mempunyai perencanaan, program dan kebijaksanaan sendiri sehingga
terjadi benturan kepentingan, tumpang tindih dan sering tidak searah.

60
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
Pengelolaan potensi laut yang meliputi pengelolaan hasil penangkapan ikan dan biota
laut, sumber daya alam, transportasi laut, industri maritim dan jasa maritim mempunyai ciri-ciri
kelautan yang sama yaitu kegiatan bermedia kelautan yang seyogyanya mempunyai landasan
kebijaksanaan yang saling mengait dan mendukung. Pengelolaan mempunyai pengertian yang
berbeda dengan eksploitasi kekayaan laut karena di dalam kegiatan pengelolaan mencakup
unsur pelestarian dalam arti bahwa pengambilan kekayaan laut itu dapat dilakukan secara
berkesinambungan. Dengan demikian pengelolaan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri
yang mungkin dapat terjadi perbenturan antar instansi dengan instansi lain, oleh karena itu
untuk menghindari kewenangan sektoral yang mengkotak-kotakkan pembangunan kelautan dan
menghindarkan pemborosan yang mungkin terjadi perlu adanya pengelolaan secara terpadu.

Wilayah laut dengan pantai merupakan kawasan yang sangat menarik tempat
konsentrasi hasil produk hasil bumi/daratan dan hasil laut yang paling produktif, karena terletak
di sepanjang garis khatulistiwa beriklim tropis yang panas, lembab dengan curah hujan yang
tinggi menjadikan pertemuan darat dan laut yaitu disepanjang pantai nusantara terbentang
terumbu karang dan hutan bakau yang luas. Dengan ekosistem laut yang relatif terjaga
kelestariannya menjadikan kawasan pantai menjadi kaya akan sumber daya untuk kehidupan
manusia dan membawa manfaat ekonomi kepada penduduknya. Maka kepadatan penduduk
sepanjang pantai ini pada gilirannya akan menyebabkan pengambilan kekayaan alam yang
intesif dengan tingkat degradasi lingkungan yang tinggi dan masalahnya bertambah parah
dengan meningkatkatnya pencemaran baik yang berasal dari darat maupun dari kapal atau
kegiatan anjungan lepas pantai. Kawasan pantai dengan desa pesisir adalah kawasan dengan
degradasi lingkungan yang tinggi perlu dipertahankan kelestarian lingkungan laut dan pesisirnya
agar tetap bisa mendukung pengambilan kekayaan laut secara berkesinambungan. Disini
terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan untuk pembangunan di satu pihak dengan
keperluan untuk melindungi kelestarian lingkungan di pihak lain. Manifestasi dari ketidak
seimbangan ini diwujudkan dalam pengambilan kekayaan laut yang berlebihan, cara
penangkapan ikan yang merusak, pengrusakan habitat, konservasi dari pada jenis makhluk laut
yang langka dan terancam serta pencemaran laut.

5.2.1 Efektifitas Pengelolaan dan Pemberdayaan Laut


Uraian permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan dan pemberdayaan
potensi kelautan wilayah Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut:
61
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
a. Pengelolaan sumber daya ikan dan biota laut;
b. Pengelolaan sumber daya minyak bumi dan mineral;
c. Pengelolaan transportasi laut, industri dan jasa maritim;
d. Pengelolaan laut untuk pelestarian lingkungan, pemukiman pantai pesisir dan
penelitian ilmiah kelautan;
e. Pengelolaan laut untuk pertahanan dan keamananan negara (hankamneg).

Sejauh mana potensi laut merupakan kekuatan, kelemahan, peluang dan


ancaman dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kekuatan, laut Indonesia mengandung kekayaan alam beraneka ragam yang
belum dikelola secara optimal untuk dimanfaatkan sebagai lahan mata pencaharian
dan sumber kehidupan bangsa Indonesia pada masa mendatang.
b. Kelemahan, untuk mengelola laut sebagai perekat persatuan bangsa
membutuhkan sarana dan prasarana berteknologi dan SDM dengan biaya tinggi.
Bila tidak dikelola dengan baik akan berbalik menjadi media yang penuh dengan
ancaman khususnya media Hankam sebagai jalan masuknya infiltrasi dan
kerusakan lingkungan laut.
c. Peluang, kegiatan pembangunan laut menjanjikan terbukanya lapangan kerja bagi
penduduk Indonesia yang jumlah tenaga kerjanya cukup besar sekali sekaligus
diberdayakan untuk mengelola potensi laut untuk kesejahteraan bangsa.
d. Ancaman, posisi silang geografi negara kepulauan nusantara Indonesia menjadi
lalu lintas komoditi kebutuhan manusia hidup didunia. Sehingga perairan nusantara
menjadi pengamatan / perhatian banyak negara karena kepentingan lalu lintas
perdagangan dan ekonominya maka landas benua untuk menentukan batas
wilayah laut juga merupakan sumber konflik di masa mendatang.

Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam pembangunan


kelautan dihadapkan kepada strengths (kekuatan), weakness (kelemahan),
opportunities (peluang) dan threats (ancaman) maka kelompok-kelompok pengelolaan
potensi kelautan tersebut dapat diantisipasi effektifitasnya sebagai berikut:
a. Pengelolaan sumberdaya ikan dan biota laut dilakukan dengan:
1) Memanfaatkan sumber daya penghasilan ikan dari usaha penangkapan
maupun budidaya tidak melampaui kapasitas (overfishing).

62
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
2) Mengalihkan operasional penangkapan ikan dan budidaya ikan ke daerah yang
masih sama sekali belum dimanfaatkan, untuk menghindari perairan yang telah
melampaui daya dukung lingkungan guna menjaga kelestarian sumberdaya
ikan dari ancaman kepunahan.
3) Mengfokuskan usaha penangkapan ikan dan budidaya tidak hanya pada
komoditas konvensional seperti jenis ikan tuna, cakalang dan udang, karena
perairan nusantara Indonesia memiliki ribuan spesies biota laut seperti jenis
kerang-kerang laut, rumput laut dan biota laut lainnya yang permintaan dunia
semakin meningkat untuk bahan baku industri bioteknologi laut pembuat obat-
obatan, kosmetika termasuk pangan.
4) Memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak kelestariannya seperti
menghidupkan kembali (reboisasi) hutan bakau yang telah punah, konservasi
daerah terumbu karang dan mencegah serta memperbaiki lingkungan yang
telah tercemar.
5) Menggunakan teknologi pengawetan ikan atau pengalengan ikan dan lemari
pendingin penyimpan ikan agar tetap segar karena ikan merupakan bahan
makanan yang mudah busuk, sehingga sering ditolak oleh konsumen.
6) Mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan pasar dan pesaing ikan untuk
memperinci kebutuhan pasar domestik dan global menurut jenis, ukuran
komoditas, waktu dan lokasi untuk menetukan daya saing dalam sistem
perdagangan dunia.
7) Meningkatkan kemampuan galangan kapal penangkap ikan nasional agar
bersaing dipasaran global.
8) Meningkatkan kemampuan industri pembuat peralatan penangkap ikan seperti
pembuat jaring alat tangkap ikan, pancing, pelampung dan tali temali yang
masih kalah bersaing dengan produk luar negeri mengakibatkan ketergatungan
hasil penangkapan terhadap luar negeri.
9) Meningkatkan kinerja dan manajemen pelabuhan ikan nasional dalam kualitas
pelayanan.
10) Meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perikanan
dan sumber daya manusia dan memperpendek birokrasi perijinan
penangkapan ikan.
63
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Pengelolaan sumberdaya tambang minyak dan mineral dilakukan dengan:
1) Melaksanakan pendidikan tenaga ahli yang terampil dalam menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan untuk menghadapi resiko tinggi ekploitasi /
ekploirasi, data based yang lengkap dengan akurasi yang tinggi, keterbatasan
dalam permodalan, sarana dan prasarana penunjang.
2) Menyelesaikan batas landas yang belum mendapat kesepakatan dengan
negara tetangga yang potensial menjadi konflik masa mendatang.
3) Melakukan intensifikasi terus menerus dalam menawarkan proyek-proyek
pertambangan dan energi ke negara maju (sebagai investor) terhadap suasana
kompetitif dari negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin yang
menawarkan kondisi kontrak dan sistem insentif yang lebih baik dari Indonesia.

c. Pengelolaan transportasi laut, industri dan jasa maritim dilaksanakan dengan:


1) Memanfaatkan potensi pelayaran nasional dalam percaturan muatan dalam
negeri dengan menggunakan kapal nasional yang memiliki daya saing dan
efisiensi tinggi termasuk harga kapal, biaya operasi, modal kerja, beban pajak
dan bea pabean.
2) Mempertahankan tingkat suku bunga pada sekitar 18% pertahun sehingga
dapat memperkuat daya saing kapal nasional Indonesia dan menambah
investasi armada nasional.
3) Mengharapkan kebijaksanaan pemerintah untuk menyederhanakan tata cara
pengadaan dan pendaftaran kapal serta mempertahankan secara konsisten
mengenai ditanggungnya oleh pemerintah atas pajak pertambahan nilai (PPN)
impor kapal, jual beli kapal, charter kapal, keagenan dan pengenaan jasa
pelabuhan. Perlakuan single tax tariff terhadap penghasilan pengangkutan
orang dan atau barang termasuk penyewaan tetap dilaksanakan.
4) Membatasi pendirian perusahaan pelayaran yang selama ini dapat diperoleh
dengan mudah tetapi tidak diimbangi dengan penambahan armada yang
mengakibatkan timbulnya persaingan yang tajam karena pemenuhan
kebutuhan jasa pelayaran cederung lebih besar dari permintaannya.
5) Menambah fasilitas dermaga pelabuhan untuk mengimbangi kunjungan kapal
yang pada waktu-waktu tertentu kekurangan tempat bersandar beserta

64
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
dukungan peralatan bongkar muat, dukungan aksesibilitas dari pelabuhan ke
gudang atau sebaliknya untuk menghindari biaya operasional tidak effektif.
6) Menambah fasilitas dok dan galangan perbaikan kapal yang tidak merata
dikota-kota pelabuhan di Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa untuk
mengindari lamanya perbaikan kapal sehingga menyebabkan tidak tercapainya
commision days kapal.
7) Pembangunan industri perkapalan untuk membuat kapal-kapal baru sangat
diperlukan untuk pengembangan armada nasional guna melaksanakan “azaz
cabotage” dengan lebih efektif. Hal tersebut mengantisifasi laju pertumbuhan
ekonomi yang tidak seimbang baik dalam negeri maupun luar negeri atas
pertumbuhan kemampuan / kapasitas angkut armada pelayaran nasional yang
ada. Sebagai infomasi, meningkatnya penggunaan kapal berbendera asing
untuk angkutan dalam negeri disebabkan “azaz cabotage” yang merupakan
prinsip yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang
menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh
kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan ternyata di Indonesia
tidak berjalan.

d. Pengelolaan laut untuk pelestarian lingkungan laut, pemukiman pantai penelitian


ilmiah dilakukan dengan:
1) Pelaksanaan dan pengawasan secara konsisten UU No. 23 tahun 1997,
tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, dan penjabarannya ke daerah /
lapangan.
2) Mengevaluasi masalah lingkungan hidup di lapangan untuk mendapatkan
solusi penyelesaiannya.
3) Melaksanakan sosialisasi tentang pentingnya lingkungan hidup di pantai dan
pesisir untuk dipahami oleh masyarakat Indonesia.
4) Menetapkan tata ruang pantai dan pesisir khususnya pada daerah yang padat
penduduknya.
5) Melengkapi sarana dan prasara pemukiman untuk kelestarian lingkungan
seperti tersedianya air bersih (mandi, cuci, kakus / MCK), pembuangan sampah
/ limbah padat di darat, treatment (pengolahan) limbah cair agar limbah layak
dibuang ke laut, pencegah banjir karena pasang surut air laut (pintu air dan
65
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
penahan ombak), saluran pembuangan, penataan kabel listrik, pipa air, kabel
telepon dan lain-lain.
6) Membuat suatu lembaga atau institusi yang khusus menangani pembangunan
kelautan mencakup didalamnya untuk menyelenggarakan pengawasan dan
penelitian ekosistem dengan disiplin (ilmiah).

e. Pengelolaan Laut untuk Hankamneg dilakukan dengan:


1) Mempertahankan kemampuan tempur TNI AL melalui komponen Sistem
Senjata Armada Terpadu untuk dapat beroperasi di perairan Indonesia
sepanjang tahun.
2) Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Hankamneg di laut secara
bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi negara.
3) Meningkatkan pembangunan industri maritim dan galangan kapal karena
kemampuan Hankamneg di laut tidak dapat lepas dari kemampuan industri
maritim dan galangan kapal di Indonesia.
4) Menyelesaikan dan segera batas landas benua yang belum disepakati melalui
diplomasi luar negeri dan melaksanakan evaluasi hukum laut internasional
sesuai perkembangan globalisasi.
5) Menentukan posisi tiga Alur Laut utama Kepulauan Indonesia (ALKI) dan
mensosialisasikan kepada dunia pelayaran.

5.3 Konsep Tata Ruang Terpadu Darat dan Laut


Secara umum, perencanaan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata
ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan
ruang. Perencanaan tata ruang tersebut dilakukan melalui proses proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000).
Keunikan wilayah pesisir serta beragam sumber daya yang ada, mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu demi keberlanjutan sumber daya untuk
masa yang akan datang. Keterpaduan (integrated) yang dimaksud meliputi (DKP 2002):
1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal, yaitu memadukan perencanaan dari
berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu,
66
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
perikanan, pariwisata, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai,
konservasi laut, dan sektor pengembangan kota.
2. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal, meliputi integrasi kebijakan dan perencanaan
mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai Nasional.
3. Integrasi Ekosistem Darat dengan Laut. Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu
diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya
daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif propinsi, kabupaten/kota, dan
kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS,
seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.
4. Integrasi Sains dengan Manajemen. Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan
pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif
dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi,
karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.
5. Integrasi antar Negara. Pengelolaan wilayah pesisir yang berbatasan dengan negara
tetangga perlu mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya
pesisir masing-masing negara. Integrasi kebijakan ataupun perencanaan antar negara
antara lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang
bersifat lintas negara, seperti di antar Pulau Batam dengan Singapura.

5.4 Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan


Pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan sudah selayaknya dikelola dengan baik
dan optimal untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional sehingga dapat menjadikan
negara Indonesia makmur, adil dan sejahtera. Karena meskipun pemanfataan sumber daya
pesisir dan lautan telah dilakukan berabad-abad lamanya, tetapi wilayah pesisir dan lautan
belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi ini
mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin luas, karena Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.
Sumber daya pesisir dan lautan memiliki berbagai sumber daya alam didalamnya, yang
terbagi atas dua jenis, yaitu:
1. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya: sumber daya
perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, dan terumbu karang.
67
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
2. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), misalnya:
minyak bumi, gas dan mineral, serta bahan tambang lainnya.
Selain menyediakan dua sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut memiliki
berbagai fungsi lainnya, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, jasa lingkungan, pariwisata, kawasan permukiman serta tempat pembuangan
limbah.
Selama ini pembangunan wilayah pesisir dan laut masih dilihat seperti pembangunan
wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Hal ini tidak
sepenuhnya benar, karena menurut RUU Pesisir, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik
yang khas, yaitu:
1. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara,
sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan
(weathering) dan pembangunan;
2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat
pembesaran, pemijahan dan mencari makan;
3. Wilayahnya sempit, tapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik
penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut:
4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan
dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;
5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral
maupun regional, serta mempunyai dimensi internasional.

Jika diamati dengan seksama, persoalan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan
selama ini tidak optimal dan berkelanjutan disebabkan oleh beberapa factor kompleks yang
saling berkaitan, dan dapat dikategorikan ke dalam faktor internal (berkaitan dengan kondisi
internal sumber daya masyarakat pesisir dan nelayan) dan eksternal (Dra. Wahyuningsih
Darajati, 2004).
a. Faktor internal:
1. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen usaha;
2. Pola usaha tradinsional dan subsistem (hanya cukup memenuhi kehidupan jangka
pendek);
3. Keterbatasan kemampuan modal usaha;
4. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir dan nelayan.
68
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Faktor eksternal:
1. Kebijakan pembangunan pesisir dan lautan yang lebih berorientasi pada produktifitas
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, bersifat sektoral, parsial dan kurang memihak
nelayan tradisional;
2. Belum adanya kondisi kebijakan ekonomi makro (political economy), suku bunga yang
masih tinggi, serta belum adanya program kredit lunak yang diperuntukan bagi sektor
kelautan;
3. Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek
penangkapan ikan dengan bahan kimia, eksploitasi dan perusakan terumbu karang,
serta penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan;
4. Sistem hukum dan kelembagaan yang belum memadai, disertai implementasinya yang
lemah, dan birokrasi yang beretos kerja rendah serta sarat KKN;
5. Perilaku pengusaha yang hanya memburu keuntungan dengan mempertahankan
sistem pemasaran yang menguntungkan pedagang perantara dan pengusaha;
6. Rendahnya kesadaran akan arti penting dan nilai strategis pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Jika dilihat dari sudut lingkungan hidup, lingkungan laut lebih rentan (vulnerable)
daripada lingkungan darat, karena:
1. Lingkungan laut terdiri dari air sebagai massa yang senantiasa bergerak;
2. Merupakan muara dari sungai yang menampung buangan dan berbagai aktifitas darat;
3. Merupakan milik umum (common property) sehingga sulit diberikan hak pemilikan dan sulit
diawasi;
4. Sulit memberikan tapal batas sehingga ikan-ikan tidak mengenal pemilikan Negara;
5. Memiliki sifat penggunaan ganda (multipurpose) laut untuk angkutan, habitat ikan,
pertambangan minyak lepas pantai, tenaga energi gelombang, pariwisata, dan lain-lain.
Beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh laut karena memiliki potensi
penggunaan secara berganda adalah:
a. Eksploitasi secara berlebihan sumber daya hayati ikan;
b. Pencemaran laut akibat pembuangan balast oleh kapal, pembuangan minyak oleh
eksploitasi minyak lepas pantai, pencemaran yang berasal dari darat;
c. Pelumpuran (sedimentasi) yang berasal dari darat dan dibawa sungai ke muara;

69
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
d. Reklamasi laut untuk memperoleh lahan bagi pembangunan dan perubahan pulau kecil
bagi kepentingan pariwisata, dan lain-lain;
e. Pembuangan air panas dari tenaga listrik dan industri yang merubah suhu laut dengan
berbagai dampaknya pada habitat laut.

5.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu

Upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia cenderung bersifat
sektoral dan terkesan ekslusif. Ini terjadi karena pelaksanaan pengelolaannya selama ini
dilakukan secara terpisah oleh instansi-instansi berwenang. Padahal karakteristik dan alamiah
ekosistem pesisir dan lautan saling terkait satu sama lain secara ekologis dengan ekosistem
lahan atas, serta beraneka sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi
pembangunan. Oleh karena itu konsep perencanaan mengenai pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut secara terpadu, yang berbasis pengorganisasian, prosedur, dan mekanisme
kerja, harus segera diwujudkan.

Dalam kaitannya dengan pengendalian wilayah pesisir dan laut, terdapat tiga bidang
utama dapat dijadikan dasar melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut berkelanjutan,
yaitu:

1. Bidang kewilayahan, diperlukan suatu penataan ruang pesisir laut terpadu.


2. Bidang ekosistem, diperlukan suatu keseimbangan ekosistem di laut.
3. Bidang fisik (geologi/geografi/geomorfologi laut), dan dinamik (interaksi obyek di laut) pesisir
dan laut.

Sedangkan dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan dalam melaksanakan


pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan. Aspek keterpaduan yang perlu
dipertimbangkan adalah:
1. Keterpaduan antar sektor pembangunan terkait.
2. Keterpaduan antar Pemerintah Pusat dan Daerah.
3. Keterpaduan wilayah garapan.
4. Keterpaduan multi-disiplin ilmu.
5. Keterpaduan produk dan teknologi.
6. Keterpaduan hukum dan penegakkannya.
70
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
7. Keterpaduan pelaksanaan dan kewenangan.

5.6 Governance dalam Pengelolaan Kelautan

Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia
juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman genetik, spesies,
dan ekosistem pesisir dan lautan. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi
(supply capacity) barang dan jasa pesisir dan lautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi
pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan.

Sementara itu, dari sisi permintaan kebutuhan manusia akan produk dan jasa pesisir
dan lautan, diyakini akan berlipat ganda di masa-masa mendatang. Hal ini berdasarkan pada
beberapa alasan utama, yaitu: jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, kesadaran umat
manusia akan arti penting produk makanan laut (seafood) bagi kesehatan dan kecerdasan, dan
semakin berkurangnya sumberdaya alam di darat bagi keperluan pembangunan. Oleh karena
itu, jika dikelola dengan tepat dan benar, sumberdaya pesisir dan lautan sesungguhnya dapat
merupakan tumpuan dan sumber pertumbuhan baru bagi pembangunan ekonomi Indonesia
secara berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat yang maju dan mandiri serta adil dan
makmur.
Pengalaman bangsa Indonesia membangun sumber daya pesisir dan lautan selama
kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I telah menghasilkan sejumlah keberhasilan
(seperti dalam bentuk peningkatan perolehan devisa, pendapatan asli daerah, dan penyerapan
tenaga kerja). Akan tetapi peningkatan devisa melalui melalui sumberdaya pesisir dan lautan
tersebut juga menyisakan berbagai permasalahan mendasar yang dikhawatirkan dapat
mengancam kesinambungan (sustainability) pembangunan itu sendiri.
Kecenderungan pembangunan sumberdaya pesisir ke arah yang tidak berkelanjutan
(unsustainable development), pada dasarnya disebabkan karena paradigma dan praktek
pembangunan yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Pola pembangunan pesisir dan lautan dalam kurun
PJP I cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada
ekonomi masyarakat setempat (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin
pada praktek pengaturan penyelenggaraan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan yang
jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif,

71
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan, dan
mendukung supremasi hukum.

Analisis kualitas governance dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di


Indonesia mengacu pada karakteristik umum good governance yang dikembangkan oleh United
Nations Development Programme (UNDP) yaitu, partisipasi, transparansi, effektivitas dan
efisiensi, implementasi peraturan dan perundang-undangan, pemerataan (equity) dan tanggung
jawab (accountibility).

Dalam praktek pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang telah dan kini sedang
berlangsung di Indonesia, prinsip partisipasi sebagaimana dikehendaki oleh good governance
tidak berjalan dengan baik. Di satu sisi, terdapat sejumlah instansi pemerintah sesuai dengan
sektornya melakukan berbagai kebijakan pengelolaan, di sisi lain ada pihak-pihak yang
mestinya terlibat dalam pengelolaan tersebut justru tidak diikutsertakan secara proporsional.
Bahkan, masing-masing instansi sektoral terkesan tidak peduli dengan pihak-pihak lain.
Instansi-instansi tersebut merupakan instansi sektoral utama yang paling banyak berkecimpung
dan berkepentingan dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun di sisi lain, yang
seharusnya juga ikut terlibat dalam berbagai pengambilan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
tersebut, seperti DPR, Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak diikutsertakan.

Efisiensi dan efektifitas merupakan salah satu karakteristik good governance dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Berkaitan dengan karakteristik ini, sedikitnya, ada
tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sumber
daya manusia (SDM) di bidang kelautan. Kedua, efisiensi dan efektifitas dalam pemanfaatan
anggaran pembangunan pesisir dan lautan. Ketiga, berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
daya alam.

Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam sektor
kelautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal, yaitu:

a. Kriteria keberhasilan pembangunan, selama ini kriteria keberhasilan pembangunan suatu


wilayah masih berdasarkan pada pertumbuhan ekonominya, sedangkan kriteria
berdasarkan lingkungan mempunyai porsi penilaian sangat kecil.

72
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
b. Perubahan peraturan dan perundang-undangan yang lebih memihak kepada kepentingan
rakyat kebanyakan, bukan hanya melindungi kepentingan segelintir orang atau pengusaha.
c. Perlu UU Pemda yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam hal
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta memberikan perimbangan keuangan yang
adil.
d. Masing-masing daerah harus membuat suatu rencana tata ruang untuk menghindari
terjadinya konflik kepentingan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; peraturan tentang
pemanfaatan sumberdaya hayati secara optimal dan lestari; dan peraturan mengenai
pengendalian pencemaran serta pengendalian perusakan fisik habitat pesisir.
e. Pemerintah harus memiliki keberanian politik melakukan dan membuat berbagai kebijakan
secara transparan, adil, efisien dan bertanggung jawab.
f. Komponen bangsa lainnya, yaitu masyarakat, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan
harus berperan aktif dan terlibat dalam segenap proses kebijakan yang dilindungi oleh UU,
dimana peran media juga sangat penting.
g. Hukum sebagai institusi tertinggi harus benar-benar ditegakan dan semua pihak harus
tunduk dan berada di bawah hukum tersebut.
h. Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis sumber daya
pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya
perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif,
kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.
i. Perlu dibangun sistem informasi kelautan yang terpercaya dan sesuai dengan kebutuhan
para pengguna (users’ needs).

73
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Pengelolaan lingkungan hidup untuk kehidupan kenyataannya lebih didominasi oleh


kepentingan mendapatkan keuntungan dan meletakkan kepentingan publik dan generasi
mendatang dalam urutan terakhir. Wacana dan praktek pertumbuhan dan pembangunan,
sekalipun telah dibungkus dengan berbagai konsep yang partisipatif dan karitatif dari
perusahaan telah memicu sejumlah kasus lingkungan di level masyarakat dalam dua
dekade belakangan ini, karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan
penyangkalan hak lingkungan rakyat.

2. Krisis ekologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia.
Indikator lain adalah banyaknya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia,
juga disebabkan oleh:

a. Lahirnnya Kebijakan-kebijakan, seperti UU Perkebunan, UU SDA, UU Perikanan, Perpu


1/2004, kelahirannya karena kepentingan politik serta didominasi oleh semangat
liberalisasi dan privatisasi;

b. Kebijakan yang dijalankan masih tumpang tindih dan bersifat egosentrisme, karena
tidak adanya prinsip pengelolaan yang berkesinambungan serta sikap yang
mengingkari TAP MPR No.IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam;

c. Kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut hak-
hak keadilan sosial dan ekologi.

d. Keterlibatan aparat militer dalam bisnis Sumberdaya Alam.


Banyak orang berpandangan pesimistik melihat sejumlah kebijakan yang telah disahkan
oleh parlemen periode 1999-2004. Paling tidak, ada tiga peraturan dan perundang-
undangan yang akan menambah parahnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia,
yaitu Perpu No 1/ 2004 pengganti undang-undang tentang pertambangan di hutan
lindung, UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air serta UU perkebunan.

B. Rekomendasi
74
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
1. HAL (Hak Atas Lingkungan) penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan
dan perundang-undang di tingkat internasional, regional, dan nasional, yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat
terimplementasikan sampai pada tahap pelaksanaan.

2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan
praksis dalam pengimplementasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses
oleh rakyat.

3. Diperlukan peradilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad
hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana,
kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia.

4. Perlu diperjuangkan dan diupayakan pengesahan deklarasi HAM dan Lingkungan hidup,
seperti yang pernah diajukan pada tahun 1994 di PBB, agar menjadi norma baru dalam
penegakan HAL sebagai hak asasi rakyat.

5. Perlu juga ada aturan yang jelas, untuk diberikan sanksi kepada pemerintah yang
memberikan izin tidak sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan pencemaran
lingkungan.

6. Diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang menangani keselamatan dan
keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis.

75
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim
DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut dan Pulau-
pulau Kecil.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R. dan A. Damar. 1994. Metode dan teknik Analisis Kualitas Air, dalam Kumpulan
Makalah Kursus Amdal Tipe B. Kerjasama PSL-Undana, Kupang dan Bapedal Kupang, Kupang.
Dahuri, Rokhmin. dkk. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Rencana Strategi Pembangunan Jangka
Menengah Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Homepage Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, http://www.depnakertrans.go.id
Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Rencana Aksi Terpadu Pengembangan Pulau Enggano Kab.
Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sastrawijaya dan A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sekretariat Dewan Maritim Indonesia. 2000. Laporan Penyelenggaraan Sarasehan Nasional
Dewan Maritim Indonesia, Buku 2: Makalah Utama dan Makalah Penunjang. Jakarta.
Siahainenia, Laura. 2001. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3: Pencemaran
Laut, Dampak dan Penanggulanggannya. Institut Pertanian Bogor.
Suratmo, F.G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Jogja.
Wiryawan, B. 2002. Karakteristik dan Dinamika Sumberdaya Fisik dan Lingkungan Pesisir dan
Lautan. Materi Kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program
Pascasarjana IPB.
Zamani, N.P dan Darmawan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis
Masyarakat. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

76
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

You might also like