You are on page 1of 102

1

COASTAL ZONE MANAGEMENT:


RESOURCES UTILIZATION

Oleh:
Prof Dr Ir Soemarno M.S., dkk.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan


laut; kearah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup
wilayah dengan ciri-ciri yang dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi
di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Definisi diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan
ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam dan
saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembanguna secara langsung maupun
tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Dalam sautu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir bersifat alami ataupun
buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah
terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun, pantai berpasir
(sandy beach), formasi pascaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta.
Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut,
kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kawasan pesisir pantai
merupakan suatu kawasan yang mempunyai kerawanan dan sekaligus potensi
strategis ditinjau dari aspek penataan ruang, yaitu suatu kawasan yang secara
geografis spasial penting, namun belum banyak dilakukan upaya penataan
permanfaatan ruangnya secara terintegrasi/ terpadu, baik antar kawasan dalam
suatu wilayah administratif maupun antar wilayah administratif. Kerawanan yang
2

terdapat pada kawasan pesisir berkaitan dengan fungsi lindung/ekologis, dimana


posisi geografisnya merupakan peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem
perairan/ lautan, sehingga seringkali dijumpai sumberdaya alam yang spesifik,
seperti terumbu karang, hutan bakau, resting area, untuk berbagai satwa dan
sebagainya.
Potensi strategis yang dimiliki oleh kawasan pesisir berkaitan dengan
nilai ekonomis yang terdapat di kawasan ini, baik yang berbasis pemanfaatan
sumber daya alam, seperti perikanan budidaya (tambak), kehutanan, pariwisata,
dan sebagainya, maupun yang tidak berbasis pada sumber daya alam seperti
perhubungan (pelabuhan). Beberapa pemanfaatan yang berhubungan dengan
fungsi budidaya ini cenderung bersifat ekspansif sehingga kawasan ini rentan/
rawan terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan, khususnya konflik peng-
gunaan lahan (landuse conflicts) antara fungsi lindung dengan fungsi budi daya

1.2. Permasalahan

Beberapa permasalahan penting yang dapat di ungkapkan dalam


penelitianini diantaranya adalah seperti berikut:
a) Sumber daya alam dan lingkungan hidup
Keadaan geografis perairan pantai dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
wilayah pantai utara dan wilayah pantai selatan. Perairan selat Madura dan
pantai utara merupakan daerah selasar benua yang dangkal dan landai,dengan
komoditi yang dominan adalah iakan dasar dan ikan permukaan. Perairan
pantai selatan merupakan perairan dalam dengan komoditi yang dominan
adalah ikan pelagis seperti Lemuru dan Tuna.
Perairan pantai utara Jawa Timur masih sangat dipengaruhi oleh “Musim
Barat” yang berlangsung sekitar bulan Desember hingga Maret. Selama
musim ini gelombang laut sangat besar sehingga aktivitas penangkapan ikan
berkurang dan akibatnya produksi ikan rendah.
Perairan pantai, khususnya di tempat-tempat pendaratan ikan, telah
mengalami pendangkalan dan pencamaran bahan organik yang berasal dari
limbah rumah tangga dan limbah industri pengolhan hasil ikan.
Situasi perkampungan nelayan pantai umumnya tampak kumuh, rumah-
rumah penduduk berhempitan satu sama lain. Sumber air bersih relatif
terbatas, sehingga memenuhi kebutuhan sehari-hari biasanya penduduk
membeli air bersih (air PDAM atau air sumur) dari penjualan air.
b) Teknologi Alat Tangkap Dan Penangkapan
Sistem perikanan demersal elah berkembang di perairan pantai utara Jawa
Timur dengan alat tangkap berupa purse-seine, dogol, gil-nen dan trammel-
3

net. Jenis ikan tangkapan yang dominan adalah iakan layang, llemuru/-
tembang, udang dan teri. Sistem perikanan samudera telah berkembang di
perairan pantai selatan dengan alat tangkap yang dominan berupa purseseine,
gillnet permukaan, dan pancing prawe. Jenis ikan tangkapan yang dominan
adalah tuna (tongkol), lemuru, cucut.
Ditinjau dari kelayakan ekonominya dan dengan mempetimbangkan
pendapatan pendeganya, ternyata alat tankap yang layak untuk
dikembangkan ialah purse-seine, gillnet, dan payang sangat layak untuk
dikembangkan disemua lokasi. Pengenalan tipe alat yang sama dengan
desain baru merupakan jalur invasi yang prospektif.
Respon nelayan terhadap inovasi teknologi penangkapan umumnya cukup
besar, baik terhadap sumber teknololgi pemerintah maupun swasta malaui
para pedagang ikan. Dalam proses adopsi tekhnologi diperlukan “efek
demonstratif” yang bisa diamati dan dialami lansung oleh nelayan.

c) Teknologi Pascatangkap
Secara umum teknologi pascatangkap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
(i)tradsional dengan aneka komoditi ikan kering, terasi, ikan asap, ikan
pindang, dan (ii) modren dengan komoditi andalannya tepung ikan dan
kalengan. Tradisional dilakukukan oleh para pengolah dengan skala kecil
hingga menengah, sedangkan tenologi modern dilakukan oleh para pengusah
besar. Berkembangnya teknololgi modern di suatu lokasi ternyata sangat
ditentukan oleh tesedianya bahan baku. Teknololgi pengawetan ikan dengan
menggunakan “proses rantai dingin” dilakukan khusus untuk komoditi
ekspor ikan segar.
Industri pengolahan ikan dipedesaan pantai umumnya mampu memberikan
nilai tambah sekitar 9 – 45% terhadap komoditi ikan basah. Akan tetapi
sebagian besar usaha pengolahan ikan oleh nelayan masih belum dilakukan
secara baik dan bersifat sambilan. Usaha pengolahan ikan yang mempunyai
prospek bagus di wilayah perairan pantai selatan adalah tepung ikan dan
minyak ikan, sedanglkan di wilayah perairan pantai utara umumnya adalah
ikan kering.

d) Sosial Ekonomi
Distribusi pendapatan nelayan diwilayah pedesaan pantai umumnya tidak
merata diantara kelompok fungsional masyarakat. Pendapatan nelayan
pemilik perahu (juragan darat) dengan alat tangkap purse-seine, gillnet, dan
payang rata-rata cukup tinggi, jauh berada diatas kriteria garis kemiskinan
yang berlaku sekarang. Sementara itu rataan pendapatan nelayan kecil
4

pemilik sampan/jukung dan pendega berada pada batas ambang kemiskinan


denagn fluktuasi musiman yang sangat besar. Pada musim paceklik rataan
pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan sedangkan pada musim
panen raya ikan rataan pendapatannya bisa melonjak diatas garis kemiskinan.
Dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan nelayan secara proposional
maka usaha penangkapan secara berkelompok yang melibatkan nelayan kecil
dan pendega patut direkayasa. Dalam hubungan ini inovasi kredit disarankan
melalui sistem kredit bagi hasil antara nelayan dengan lembaga sumber
kredit.
Rata-rata tingkat pendidikan formal warga pedesaan pantai masih rendah
umumnya hanya berpendidikan sekolah dasar atau yang sederajat.
Akses nelayan terhadap fasilitas pendidikan formal diatas tingkat sekolah
dasar rata-rata masih sangat terbatas. Dalam hal pendidikan ini ternyata
respon nelayan terhadap lembaga Madrasah sangat besar. Kendala yang
dihadapi adalah keterbatasan kemampuan lembaga Madrasah tersebut untuk
melakukan transfer teknologi kepada anak didik. Peranan para kyai dan santri
di wilayah pedesaan pantai pada umumnya sangat besar dalam kehidupan
bermasyarakat.
e) Kendala Perkembangan Wilayah Pesisir Pantai
Tiga faktor utama yang menyebabkan lambatnya perkembangan teknologi
yang dapat berdampak pada perbaikan kesejahteraan nelayan pendega adalah
(i) faktor ekonomi, (ii) faktor sosial budaya,(iii) faktor sosial politik.
Beberapa kendala yang termasuk faktor ekonomi adalah (1) sektor per-
ekonomian wilayah yang masih didominasi oleh sektor primer penangkapan
ikan, (2) penguasaan skill, modal dan teknologi oleh nelayan sangat terbatas,
(3) distribusi pendapatan yang relatif tidak merata,(4) prasarana penunjang
perekonomian di pedesaan yang masih terbatas, (5) hampir seluruh komoditi
perikanan yang dihasilkan dipasarkan keluar daerah sehingga sebagian besar
nilai tambah komoditi dinikmati oleh lembaga perantara yang terlibat dalam
pemasaran.
Beberapa kendala sosial budaya adalah (1) struktur dan poal perilaku sosial
budaya yang masih berorientasi kepada kebutuhan “subsisten”,(2) sarana
pelayanan sosial yang masih terbatas, (3) proporsi penduduk usia muda
cukup besar dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah,(4) tingkat
pengangguran musiman yang cukup besar,(5) kualitas kehidupan rata-rata
masih rendah.
Beberapa kendala sosial politik adalah (1) partisipasi masyarakat pedesaan
pantai di dalam pembangunan belum dapat tersalurkan secara lugas (pen-
dekatan top down masih lebih kuat dibandingkan dengan bottom up), (2)
5

birokrasi pembangunan masih belum mampu menyentuh kepentingan


nelayan pendega dan sektor tradisional,(3) keterbatasan akses nelayan
pendega untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih
luas.
Berdasarkan kondisi seperti di atas maka diperlukan disaign-disaign khusus
untuk mengembangkan pedesaan pantai dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan dasar atau kebutuhan fisik, minimum segenap warga masyarakat
dan sekaligus melestarikan sumber daya yang tersedia.
Secara ringkas beberapa permasalahan yang dihadapi kawasan pesisir pantai
antara lain :
(1) Kondisi sumber daya pesisir yang semakin terbatas dan mengalami
penurunan kualitas dan kuantitas.
(2) Tekanan pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi.
(3) Perkembangan kawasan pesisir saat ini sudah sedemikian pesat namun
disisi lain perkembangan tersebut tanpa pedoman pada aspek tata ruang
(4) Pendayagunaan sumber daya pesisir dan pantai masih kurang
mencerminkan adanya pembagian fungsi kawasan
(5) Aktifitas manusia di kawasan pesisir dan pantai telah menimbulkan
permasalahan antara lain :
a. Intrusi air laut akibat pemanfaatan air bawah tanah di kawasan
pesisir yang tidak terkendali, khususnya di wilayah Surabaya dan
Gresik, sehingga kurang layak untuk dikonsumsi sebagai sumber air
bersih;
b. Degradasi kualitas ekossitem mangrove akibat kegiatan budidaya
tambak dan kegiatan raklamasi pantai untuk pengembangan
kawasan terbangun sebagai perumahan, industri dan pelabuhan;
c. Terjadinya abrasi pantai akibat berkurangnya hutang mangrove di
sepanjang pantai utara Jawa Timur dan P. Madura, yang dapat
mengancam keberadaan desa-desa pantai dan jaringan jalan
regional;
d. Pendangkalan pantai akiobat tingginya sedimentasi, baik yang
terjadi secara alamiah maupun hasil rekayasa masyarakat setempat;
e. Kerusakan karang laut (terumbu karang) dan biota laut serta
kerusakan karena penambangan dan penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak;
f. Pencemaran pantai dari limbah industri dan limbah kota, dimana
tingka pencemaran sungai di Surabaya telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan, bahkan beban limbah di perairan pantai Jawa
Timur tergolong sangat tinggi. Sungai tersebut berperan sebagai
6

tempat pembuangan limbah industri dan rmah tangga ke wilayah


pesisir dimana terdapat sumber daya perairan yang penting bagi
perikanan dan akua kultur.
Oleh karena itu, upaya penataan kawasan ini perlu dilakukan secara
terpadu/terintegrasi dengan kontinuitas fisik kawasan tanpa memandang
batas wilayah administratif, serta memerlukan perlakuan khusus terhadap
wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik tertentu. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun suatu pedoman
pengarutan ruang di Kawasan Pesisir Pantai.

II. TUJUAN DAN SASARAN PERENCANAAN

2.1 Maksud

Kegiatan ini dimaksudkan seabagai salah satu upaya untuk menjaga


kelestarian di kawasan pesisir dengan merumuskan dan melakukan strategi-
strategi berupa langkah-langkah pencegahan, pembatasan dan pengurangan
kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian
lingkungan dan sumberdaya alam.

2.2. Tujuan
Kegiatan dilakukannya kegiatan ini ialah memberikan arahan
pengelolaan pemanfaatan ruang daratan dikawasan pesisir pantai, dalam upaya
mengurangi dan mencegah terjadinya konflik pemanfaatan ruang (land use
Conflicts) di kawasan pesisir ; Memantapkan fungsi lindung kawasan pesisir
pantai untuk mengurangi peningkatan dan perluasan dampak lingkungan akibat
adanya kegiatan dikawasan pesisir pantai.

2.3. Sasaran
Adapun sasarannya adalah tersedianya Pedoman Pengaturan Ruang
Kawasan Pesisir Pantai, yang memuat:
(1) Macam Bentuk pengelolaan, perlu dikembangkan suatu model pengelolaan
lingkungan yang terpadu dengan kawasan pesisir pantai sebagai satuan unit
pengelolaan,untuk menghindari pengelolaan yang terpisah-pisah antar
instansi yang berkepentingan maupun antar kab/kota.
7

(2) Kriteria teknis pengelolaan yang mencakup ukuran-ukuran yang


menyatakan bahwa pemanfaatan ruang suatu kawasan pesisir pantai secara
teknis sesuai dengan daya dukungnya dan secara ruang bersama-sama
dengan kegiatan di sekitarnya memberikan sinergi optimal terhadap
pemanfaatan ruang.
(3) Kewenangan pengelolaan, mengingat bahwa dalam usaha pengelolaan
kawasan pesisir pantai harus dilakukan secara terintegrasi maka perlu
dirumuskan pedoman Pengelolaan kawasan ini.

III. LINGKUP ANALISIS

3.1. Ruang Lingkup Wilayah

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa ruang kawasan pesisir


merupakan ruang kawasan di antara ruang daratan dengan ruang lautan yang
saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari sisi darat dari garis
laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan dibawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah termasuk dasar laut
dan bagian bumi di bawahnya.
Sesuai dengan tujuan dan sasaran tersebut maka kegiatan ini dibatasi pada ruang
daratan yang berada di kawasan pesisir.Lokasi studi adalah diwilayah Jawa
Timur (Pantura); pesisir Selat Madura, pesisir selat Bali dan pesisir Selatan Jawa
Timur. Mengingat permasalahan yang timbul akibat penetrasi kegiatan budidaya
terhadap kawasan lindung (land use conflict) lebih banyak terjadi di kawasan
perumahan dan pengembangan industri maka lingkup studi ini dibatasi pada
kawasan permukiman dan kawasan pengembangan industri yang berlokasi di
wilayah pesisir pantai.

3.2 Lingkup Kegiatan


Pengelolaan kawasan pesisir perlu dilakukan secara terpadu Pengelolaan
secara sektoral, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan dan
industri minyak, seringkali menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang
berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada kawasan pesisir
yang sama. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu dengan tujuan
8

untuk mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk melihat


lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Mengingat lingkup pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu begitu
luas dan melibatkan banyak aspek dan adanya keterbatasan pada penugasan ini
maka kegiatan ini dibatasi pada upaya-upaya pengaturan ruang di kawasan
pesisir, sehingga tujuan kegiatan ini adalah sebagai upaya untuk mencegah dan
mengurangi konflik pemanfaatan ruang dapat tercapai. Untuk itu lingkup
kegiatan yang akan dilakukan ini adalah :
(1) Melakukan identifikasi permasalahan pemanfaatan ruang yang timbul
sebagai akibat dari pemanfaatan ruang yang belum terarah di kawasan
pesisir pantai, terutama yang menyangkut pengelolaan kawasan lindung dan
budidaya;
(2) Mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan dalam
pemanfaatan ruang yang dikeluarkan, baik oleh, pemerintah pusat,
pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota;
(3) Melakukan indentifikasi aspek teknis sektoral yang harus diperhatikan
dalam setiap langkah pemanfaatan ruang.
(4) Melakukan kajian terhadap aspek kelembagaan yang mencakup instansi
pelaksana dan kaitannya dengan instansi lain;
(5) Melakukan kajian identifikasi teknologi yang perlu diterapkan dalam upaya
pengelolaan kawasan pesisir pantai;
(6) Menyusun rancangan Pedoman Pengaturan Ruang Kawasan Pesisir Pantai.
9

IV. KERANGKA KONSEP

4.1 Potensi Wilayah Pedesaan Pantai

4.1.1 Potensi Umum Wilayah Pedesaan Pantai

Wilayah pedesaan pantai Jawa Timur terletak pada tiga wilayah perairan
laut, yaitu : (a) Laut Jawa (TP) Bulu Tuban dan Weru Kompleks Lamongan; (b)
Wilayah Selat Madura (Bandaran-Pamekasan dan Lekok Pasuruan) dan Wilayah
Samudra Indonesia (Laut Selatan Jawa Timur, Muncar Banyuwangi dan Puger
Jember, Sendangbiru Malang) ketiga wilayah laut tersebut pada dasarnya
mewakili wilayah penangkapan ikan perairan pantai (Selat Madura), lepas pantai
(Laut Jawa) dan laut dalam (Laut Selatan Jawa Timur).
Peranan tambak di wilayah pedesaan pantai tidak merata dan hampir
keseluruhannya telah dikelola sebagai tambak udang intensif. Desa-desa pantai
telah terbuka dari isolasi, sehingga interaksi antar masyarakat di lokasi dengan
masyarakat diluarnya telah cukup lancar. Berikut ini akan diuraikan secara lebih
terperinci masing-masing desa, yaitu meliputi gambaran umum dan proses
perubahan yang terjadi.

4.1.2 Wilayah Pedesaan Pantai Madura – Selatan : Bandaran


(i) Karakteristik Penduduk
Sebagian besar penduduk Bandaran (  95 %) bekerja sebagai
nelayan dan sisanya bekerja di bidang pertanian, pegawai negeri dan
jasa. Latar belakang menjadi pendega ini disebabkan oleh
ketrampilan yang diajarkan dari orang tuanya. Sebagian besar
anggota rumah tangga tidak bekerja. Beberapa isteri pendega
membantu bekerja sebagai “bakul” ikan di pasar Bandaran. Secara
umum pendidikan formal nelayan adalah SD atau tidak tamat SD.
(ii) Lingkup Sosial
Posisi pendega di dalam bagi hasil lebih tinggi (60 %) bila
dibanding denga tempat lain yang sebesar 50 %. Pembentukan
kelompok antar pendega dalam suatu usaha perikanan sangat lemah.
Kelompok pendega yang dibentuk saat menerima kredit telah
mengalami bubar. Perpecahan kelompok tersebut terutama
diakibatkan oleh perselisihan sesama pendega di dalam menentukan
pemilikan alat tangkap tersebut.
10

Kredit yang diberikan oleh pemerintah kadangkala masih dipandang


sebagai barang bantuan atau pinjaman yang tidak harus
dikembalikan. Dalam bayak kasus penunggakan hutang kredit
nelayan ada kaitannya dengan masalah ini.
(iii) Ketergantungan
Ketergantungan nelayan pada pedagang pengumpu ikan basah dan
ikan kering cukup besar. Hasil tangkapan nelayan secara umum
langsung dibeli oleh pedagang dari desa tetangga (Desa Tanjung)
yang berfungsi sebagai pedagang pengumpul.

4.1.3 Wilayah Pedesaan Pantai Pasuruan – Situbondo : Lekok


(i) Karakteristik Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Lekok 47.239 orang (12.541 KK),
terdiri dari 22.220 pria dan 25.019 wanita. Mata pencaharian di
sektor perikanan dapat diuraikan sebagai berikut : Nelayan 917
RTP, petani tambak 136 RTP, penyakap 9 RTP dan pengolah 196
RTP.
(ii) Karakteristik Responden
Responden nelayan juragan di Lekok adalah payang, payang alet,
jaring dan pancing. Jumlah tanggungan keluarga responden antara 3
sampai 5 orang. Sebagaian kecil isteri mereka (<25%) bekerja
sebagai pengolah/pedagang, bekerja ditambak dan mendirikan
warung. Pekerjaan juragan payang sebelumnya adalah sebagai
pendega sedangkan nelayan pyang alet sebelumnya bukan sebagai
nelayan. Juragan jaring dan pancing lebih dari 50% adalah bekas
pendega sedangkan yang lain adalah bukan nelayan.
Sejumlah 95-100% nelayan di Lekok berpendidikan formal SD
tamat atau tidak tamat. Sebagian besar nelayan payang telah bekerja
sebagai nelayan pada tahun 1970-an. Sedangkan juragan jaring
antara tahun 1970 dan 1980. Nelayan payang alit mulai mengoperasi
alat tangkapnya setelah tahun 1980-an.
(iii) Lingkungan Sosial-Budaya
Nelayan, petani tambak dan pengolahan ikan pada umumnya
melakukan usahanya berdasarkan warisan yang diterima dari
generasi pendahulunya. Didaerah ini terdapat kelompok nelayan dan
petani tambak yang anggotanya terdiri dari 15-40 orang. Mereka
mengadakan arisan hairan, mingguan dan ada yang bulanan. Setiap
hari Jumat diadakan penarikan dana sosial dari para nelayan secara
sukarela dengan jumlah berdasarkan kemampuan. Dana sosial ini
11

pada masa paceklik atau muslim laib disumbangkan kepada mereka


yang tidak mampu (redistribusi). Sumbangan dapat berupa uang,
beras atau pakaian seharga Rp2.500,- per orang. Para nelayan
umumnya tidak suka menabung. Apabila hasil tangkapan berjumlah
banyak langsung dibelikan barang-barang berharga, seperti TV,
radio, sepeda dan sebagainya, jadi jarang sekali penduduk yang
menyimpan uang.
Modal usaha adalah modal sendiri dan sesuai dengan yang dimiliki
atau dipinjam dari kerabatnya. Alasan mereka adalah kemudahan
prosedur dan tidak ada bunga atau sangsi yang lain. Perjanjian
dibuat secara lisa atas dasar saling mempercayai.

4.1.4. Lingkungan Hidup Pedesaan Pantai


Pada umumnya desa pantai menggambarkan suatu desa yang panas dan
gersang serta bau yang kurang sedap. Desa pantai umumnya padat penduduk
sebagai nelayan, pengolah ikan dan pedagang. Perkampungan umumnya
merupakan pemukiman kumuh dan kurang memperhatikan kebersihan
lingkungan.
Keadaan jalan desa/kampung kebanyakan masih tanah atau batu (belum
aspalan), hanya ada sebagian kecil jalan kampung yang terbuat dari semen
(beton), biasanya pada desa yang sudah maju atas prakarsa pemerintah desa
dengan dana swadaya masyarakat setempat. Keadaan rumah nelayan dan
pengolahan ikan umumnya sudah berdinding tembok atau papan, beratap genting
dan berlantai semen. Keadaan yang demikian sudah dapat dikatakan layak
walaupun belum memenuhi syarat sebagai rumah sehat, karena tidak berventilasi,
tidak memiliki jamban dan di sekitar rumah masih ada yang memiliki comberan
karena tidak adanya saluran pembuangna yang sempurna.
Sebenarnya di bidang kesehatan dan kebersihan lingkungan hampir 90%
penduduk telah mendapatkan penyuluhan tentang rumah sehat, gizi masyarakat
dan KB. Namun karena rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi yang kuat,
sekitar 70-80% penduduk lebih suka membuang limbah dan sampah rumah
tangga bahkan sampah pasar kelaut atau sungai. Karena kurangnya kebersihan,
sehingga penyakit yang sering dialami adalah sakit perut (diare). Untuk
mengatasi penyakit tersebut umumnya mereka berobat ke Puskesmas, kepada
Mantri Kesehatan, bahkan sudah ada yang memanfaatkan dokter. Hampir semua
anak telah mendapatkan imunisasi.
(i) Kendala Pengelolaan Lingkungan Desa Pantai
Beberapa permasalahan yang terjadi pada lingkungna perairan,
antara lain ialah :
12

(a) Pada musim barat masyarakat nelayan kebanyakan tidak melaut


dengan alasan takut terhadap ombak yang besar dan
menurunnya produksi perairan. Menurut soedarmo, dkk (1984),
musim barat yang terjadi pada bulan Desember-Maret
menyebabkan (i) mengalirnya arus yang kuat dari barat ke
timur; (ii) bagian barat Indonesia curah hujannya tinggi,
sehingga kadar garam menjadi rendah, angin sangat kencang
dan ombak sangat besar; dan (iii) ikan-ikan yang suka pada
kadar garam tinggi akan bermigrasi ke timur atau ke lapisan
bawah. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan perahu
yang lebih baik dengan alat tangkap khusus untuk menangkap
ikan-ikan yang mungkin bermigrasi vertikal ke lapisan bawah
yang lebih dalam.
(b) Menurunnya produksi nener/benur di pantai utara Jawa dan
perairan Selat Madura yang dianggap memiliki potensi yang
perlu dikembangkan dapat diatasi dengan penanaman kembali
pengaturan jalur hijau hutan bakau. Karena hutan bakau
mempunyai peranan penting bagi perikanan, yaitu sebagai
sumber makanan, tempat perlindungan (shelter), tempat berbiak
(spawning ground), nursery ground. Secara fisik dan kimiawi;
sebagai penahan gelombang, penahanan instrusi laut,
penahanan erosi tanah, pengendali banjir dan pelindung
terhadap pencemaran.
(c) Kemajuan dan perkembangan teknologi yang pesat seperti di
Muncar, telah membuka peluang terjadinya perubahan
lingkungan yang berdampak pada kualitas dan produktivitas
perairan, misalnya adanya pencemaran dari limbah industri
pengolahan ikan dan limbah tampak intensif.
(ii) Permasalahan Lingkungan Hidup Pedesaan Pantai
(a) Keadaan cuaca di pedesaan pesisir pantai pada umumnya
panas, berdebu dan berbau yang kurang sedap. Untuk
mengatasi hal ini dapat diusahakan dengan mengadakan
penghijuan, yaitu penanaman pohon atau tanaman yang bisa
hidup di daerah pantai. Tanaman tersebut di tanam di sepanjang
jalan desa maupun di halaman rumah penduduk.
(b) Pertambahan penduduk yang masih relatif besar berdampak
pada banyaknya produksi sampah domestik yang dibuang ke
perairan pantai. Dengan adanya pembuangan tinja yang tidak
higienik, maka gangguan diare dan muntah-berak pada
13

umumnya merupakan masalah yang sering melanda masyarakat


desa pantai.
(iii) Potensi dan Kendala Pengembangan Teknologi Penangkapan
Pemanfaatan sumberdaya perairan oleh nelayan telah semakin
intensif sejalan dengan penerapan teknologi penangkapan ikan yang
lebih modern, baik teknologi armada perikanan (perahu/kapal)
maupun alat penangkapan (jaring). Dalam hal ini inovasi teknologi
meliputi : (a) Peningkatan mutu teknologi alat tangkap dan armada
penangkapan; (b) diversifikasi penggunaan alat tangkap dan; (c)
penambahan jumlah unit penangkapan.
Perubahan teknologi yang terjadi selama 20 tahun terakhir di
perairan laut Jawa Timur berkaitan erat dengan keadaan lingkungan
perairan. Perairan laut utara merupakan wilayah selasar benua
(continental shelf) yang dangkal dengan potensi sumberdaya
perikanan demersial (dasar) dan pelagis (permukaan). Sedangkan
perairan pantai selatan merupakan wilayah perairan dalam dengan
potensi sumberdaya perikanan pelagis dan terpengaruh oleh perairan
laut dalam (samudera).
Secara ringkas nelayan Jawa Timur berdasarkan pada jangkauan
daerah penangkapannya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
yiatu (a) nelayan yang bekerja di pantai; (b) lepas pantai, dan (c)
laut lepas (samudera). Daerah-daerah penangkapan ini pada
kenyataaan tidak dapat dipisahkan secara tegas. Pengelompokan ini
berkaitan erat dengan kedalaman perairan, yang kemudian
mempengaruhi jenis ikan yang diburu pada masing-masing unit
kerja, alat tangkap yang dipakai, armada penangkapan dan modal
kerja yang diperlukan.
Disamping itu, daerah-daerah penangkapan ini, sampai saat ini
masih didominasi oleh usaha nelayan skala kecil. Beberapa ciri
penting dari usaha kecil ini menurut Sawit dan Sumiono (1986)
antara lain: (a) kegiatan kerja lebih padat kerja dengan alat tangkap
sederhana; (b) Teknologi penangkapan yang dipakai masih juga
sederhana dan; (c) tingkat pendidikan dan ketrampilan juga rendah.
Disamping itu, eksploitasi sumberdaya perairan pantai pada
umumnya masih terbatas pada perairan yang tidak begitu jauh dari
tempat tinggal mereka. Ciri teknologi penangkapan oleh nelayan
kecil ini adalah nelayan tanpa perahu menggunakan perahu dayung,
layar dan/atau motor tempel. Perahu motor tempel adalah perahu
dengan mesin yang dipasang di luar tubuh perahu (out board).
14

Selain itu juga terdapat pula usaha penangkapan ikan dengan skala
menengah, dimana para nelayan yang menggunakan kapal motor
dari berbagai ukuran kapal dan kekuatan mesin. Kapal motor adalah
kapal/perahu dengan pemasangan mesin di dalam tubuh (in board).
Pada umumnya kapal motor ini berpangkalan dikota pelabuhan di
sepanjang pantai. Hal ini berbeda dengan umumnya perahu motor
tempel yang berpangkalan di pusat-pusat pendaratan ikan (bukan
pelabuhan) yang berada di dekat tempat tinggal mereka.
Keragaman alat tangkap memungkinkan para nelayan skala kecil
untuk berpindah dari satu sistem kerja ke sub sistem kerja lainnya
dalam musim yang berbeda sebagai upaya untuk tetap bisa
menangkap ikan. Oleh karena itu sub sistem kerja yang ada pada
nelayan tidak bisa dianggap sebagai sub sistem yang saling terpisah.
Sebagai contoh, di Puger, kabupaten Jember, pada bulan Desember-
Pebruari seorang nelayan mengoperasikan jaring gondrong (jaring
kantong, trammel net), dan di bulan-bulan berikutnya mereka
(nelayan) bisa saja mengoperasikan pancing prawe. Keluwesan
seorang nelayan untuk pindah sistem penangkapan tergantung pada
berbagai hal, diantaranya: (a) Kemampuan nelayan, baik
ketrampilan maupun kemungkinan keragaman alat tangkap yang
bisa digunakan untuk skala kapal dan mesin yang dimilikinya; (b)
kondisi lingkungan, yaitu jenis ikan yang sedang musim dan
keadaan perairan dan; (c) ketersediaan tenaga kerja yang mampu
melaksanakan operasi penangkapan ikan yang tersedia. Dalam
hubungan ini, para nelayan umumnya membagi musim penangkapan
menjadi dua, yaitu musim panen dan musim paceklik. Sesuai
dengan namanya, musim panen merupakan saat para nelayan
memperoleh puncak penghasilan. Sebaiknya musim paceklik
merupakan saat para nelayan kurang/tidak berpenghasilan.
Musim panen dicirikan oleh munculnya jenis ikan buruan pada
daerah penangkapan, biasanya bertepatan dengan musim teduh (laut
tidak berombak besar). Adapun bulan paceklik terjadi bila
sumberdaya yang menjadi buruan menghilang dari daerah
penangkapan atau bila laut berombak besar. Bila paceklik terjadi
karena sebab “hilangnya ikan” yang menjadi buruan, para nelayan
mencoba mengatasinya dengan mengganti alat tangkap lain, sesuai
dengan sumberdaya yang ada atau dengan berpindah daerah
penangkapan perairan lain. Bila paceklik terjadi karena musim
ombak, para nelayan mengatasinya dengan berpindah daerah
15

penangkapan (migrasi) ke perairan lain yang tenang dan tersedia


sumberdaya yang menjadi sasaran penangkapan. Kegiatan
melakukan migrasi mencari daerah penangkapan lain jauh dari
tempat tinggalnya melakukan penangkapan ikan di laut, atau
kemudian menetap di desa nelayan lainnya disebut andon. Kegiatan
andon bisa diduga hanya dapat dilakukan oleh nelayan yang
memiliki perahi baik (baik berlayar jauh mencari daerah
penangkapan lain) dan/atau memiliki alat tangkap yang beragam.
Dengan demikian strategi eksploitasi penangkapan ikan yang
dilakukan para nelayan skala kecil tergantung pada berbagai hal,
diantaranya : (a) potensi sumberdaya, (b) variasi alat tangkap yang
dimiliki dan; (c) mutu perahu.
Program pemerintah, seperti Bimas, kredit KIK/KMKP atau bentuk
kredit yang lain selama 15 tahun terakhir ini, telah memungkinkan
banyak nelayan memperbaiki mutu perahu dengan menganeka-
ragaman alat tangkapnya, sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan kestabilan pendapatnya dalam musim-musim yang
berbeda. Hanya saja pada sisi lain juga membawa implikasi
bertambahnya intensitas eksploitasi sumberdaya perikanan laut.

4.1.5. Perkembangan Teknologi Penangkapan Ikan


Perkembangan teknologi penangkapan ikan di Jawa Timur sudah dimulai
sejak lama. Alat tangkap yang sudah lama mereka kenal berupa pancing (rawai),
payang (boat seine), jaring insang (gill – net) pijer (bottom gill net) dan payang
alet (danish seine). Pada awal dekade 1970-an dikawasan ini mulai dikenal kapal
trawi tipe cungking dari bagansiapi-api yang menggunakan kapal motor.
Selanjutnya motorisasi perikanan berupa motor tempel berkembang teknologi
penangkapan ikan di Jawa Timur, yaitu :
a) Pertama, konflik antara nelayan payang dan purse seine di Muncar pada
tahun 1974, yang selanjutnya diikuti program kredit purse saine untuk
kelompok nelayan di Muncar sebanyak 30 kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 12 orang anggota.
b) Kedua, konflik terbuka antara nelayan jaring dan nelayan trawi di pantai
utara jawa (Laut Utara dan Selat Madura) sepanjang tahun 1975 – 1979.
Yang selanjutnya diikuti dan diakhiri dengan Kepres No. 39 tahun 1980
kemudian diikuti dengan program Bimas Perikanan Tahun 1981 dan 1982.
Disamping program KIK / KMKP untuk eks ABK trawi.
Kedua kejadian tersebut diatas telah berdampak positif terhadap
perkembangan teknologi penangkapan ikan di Jawa Timur. Kejadian pertama
16

telah mendorong nelayan Muncar mengalihmkan unit kerja penangkapan dari


alat payang ke alat tangkap purse seine, baik melalui kredit maupun tanpa kredit.
Sedangkan kejadian kedua telah mendorong hampir seluruh wilayah perikanan di
Jawa Timur terkena dampak pengenalan teknologi penangkapan baru, seperti
pengenalan kapal penangkapan (kapal purse seine) dan macam-macam gillnet,
sehingga motorisasi perikanan berupa motor tempel berkembang sangat pesat
dalam dekade 1980-an.
Gambaran tentang tahap-tahap perbaikan teknologi penangkapan yang
pernah dilakukan nelayan Jawa Timur adalah sebagai berikut :
a) Pada dasarnya nelayan Jawa Timur secara keseluruhan sangat responsif
terhadap perbaikan teknologi
b) Perubahan struktur pemilihan alat tangkap atau pengganti alat tangkap lain
dapat terjadi karena kemungkinan :
- Program pemerintah : kasus pemilihan purse seine oleh nelayan sendiri;
- Kasus perkembangan gardanisasi jaring dogol (danish seine) di Selat
Madura;
c) Mengingat kondisi perairan yang berbeda antara perairan Laut Utara dan
Selatan Jawa Timur, maka perkembangan teknologi yang dimiliki beberapa
perbedaan disamping terdapat persamaan.
Persamaannya adalah : ukuran kapal, mesin dan alat tangkap meningkat,
disamping diterapkannya alat yang lebih efisien, seperti gearbox, atau
peningkatan kemampuan alat bantu seperti lampu dan rumpon. Perubahan
yang ada mengarah pada penggunaan alat yang makin efisien. Sedangkan
perbedaannya meliputi hal-hal yang berkenaan dengan sistem penangkapan :
(1) Di Wilayah Selatan mengarah pada perluasan alat tangkap untuk
perairan Samudera, seperti gill net dan pancing prawe. Mengingat
wilayah Muncar telah dikenakan teknologi sejak tahun 1974/1975, maka
kecepatan perubahan nampak sangat tinggi, bahkan semakin memberi
arah pada perubahan-perubahan teknologi yang lain. Dengan
diperkenakannya listrik untuk alat bantu penangkapan, telah membuka
peluang lain untuk memasuki modernisasi penangkapan ikan lebih luas.
(2) Di Wilayah Utara (Laut Jawa dan Selat Madura) mengarah pada
pengembangan perikanan demersal, khususnya pengembangan
gardanisasi payang dogol (danish seine). Proses persaingan antara
payang dan purse seine di Selat Madura, terjadi keadaan keduannya
bertahan pada lokasi penangkapan yang berdekatan (konsistensi),
sedangkan di Laut Jawa posisi payang makin marginal, dan purse seine
perkembangan alat tangkap gill net, sedang diperairan utara cenderung
berkembang macam-macam ukuran gil net kecil sesuai dengan jenis
17

ikan yang menjadi buruan. Di bagian utara Jawa Timur banyak


berkembang jenis gill net baru.
d) Ditinjau dari segi waktu, maka dekade 1980-an adalah merupakan tahap
perbaikan adopsi teknologi secara internal yang telah menyiapkan nelayan
Jawa Timur memasuki tahap pengembangan teknologi modern selanjutnya.

4.1.6. Teknologi Penangkapan dan Peluang Pengembangannya


Setelah melewati perkembangan teknologi penangkapan ikan di Jawa
Timur selama 20 tahun, maka keadaan teknologi yang ada sekarang telah maju
dari gambaran besarnya investasi terlihat besarnya potensi sumber dana milik
nelayan. Pada umumnya sumber dana tersebut merupakan modal sendiri, dan
hanya sebagian kecil nelayan yang telah memperoleh modal dari Bank.
Disamping itu, secara geografis potensi sumberdaya alam yang tersedia di
wilayah utara tersedia potensi ikan-ikan demerial belum dimanfaatkan secara
maksimal, khususnya pasca larangan penggunaan jaring trawl sejak tahun 1981.
Adapun di wilayah perairan selatan tersedia potensi sangat besar ikan-ikan
pelagis seperti ikan tuna, tongkol, dan cucut, juga masih dimanfaatkan sangat
rendah. Menurut perkiraan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Timur pemanfaatan
potensi perikanan di wilayah perairan laut selatan di bawah 10% dari potensi
lestari. Sementara itu, dari pengalaman selama 20 tahun terakhir.
Beberapa kelemahan dan ancaman untuk mendorong dan meningkatkan
penerapan teknologi maju selanjutnya antara lain adalah : (a) Tingkat pendidikan
dan ketrampilan rendah, rata-rata pendidikan Sekolah Dasar; (b) Kesenjangan
ekonomi diantara para nelayan tradisional dengan nelayan maju dilingkungan
masyarakat nelayan skala kecil itu sendiri makin besar, baik antar lokasi
penelitian, maupun di lingkungan lokasi penelitian itu sendiri. Kesenjangan
nampak antara nelayan purse seine dan payang dengan nelayan gill net; (c)
kesenjangan ekonomi yang ada juga berdampak terhadap kesenjangan
memperoleh informasi teknologi antara jenis alat tangkap maupun antar wilayah
masih sangat nampak. Sementara itu peranan penyuluh perikanan masih terasa
terlalu rendah, bahkan terkesan lnelayan jauh lebih terampil dari pada para
penyuluh yang ada, (d) kelembagaan koperasi (KUD) hampir seluruhnya belum
berfungsi. Di semua lokasi penelitian diperoleh informasi bahwa KUD masih
lebih dikenal sebagai pemungut retribusi saja, dan kurang mampu mengatasi
permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh nelayan.
Beberapa peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan nelayan selanjutnya
antara lain : (a) Keberhasilan penerapan teknologi yang ada sekarang
menumbuhkan optimisme para nelayan, khususnya di wilayah perairan selatan,
mengingat potensi ikan tuna yang memiliki peluang ekspor, maupun juga adanya
18

peluang ekspor beberapa jenis ikan dasar seperti ikan kerapu, udang barong,
udang dan lainnya untuk wilayah perairan utara Jawa Timur, (b) Cukup tersedia
pilihan teknologi baru, misalnya penerapan lampu bawah air, sarana komunikasi,
maupun proyek-proyek pelabuhan yang sedang dibangun oleh pemerintah; (c)
Adanya efek demonstratif dari perbaikan teknologi antar wilayah cukup besar
untuk mengurangi adanya wilayah yang belum terjangkau oleh pengenalan
teknologi, sehingga perbaikan teknologi yang berhasil disuatu lokasi perikanan
akan segera tersebar ke seluruh wilayah. Penyebaran teknologi tersebut lebih
dipercepat mengingat daya migrasi dan andon para nelayan antar wilayah cukup
besar.
Sehubungan dengan adanya faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang ada, maka pengembangna teknologi penangkapan masa depan di
Jawa Timur ada beberapa pilihan layak secara teknis, antara lain : (a) Wilayah
Selatan : perluasan usaha perikanan dengan menggunakan alat tangkap gill net
dan pancing prawe; (b) Wilayah utara perluasan usaha perikanan dengan
menggunakan alat tangkap dogol (danish seine) bergardan yang ditujukan untuk
memanfaatkan potensi perikanan dasar (demersal) di Laut Jawa dan Selat
Madura; (c) Baik untuk wilayah utara maupun selatan Jawa Timur untuk dikaji
lebih dalam adanya penggunaan teknologi lampu di bawah air, gear box untuk
mesin kapal maupun pengembangan alternatif purse seine khususnya di Puger
Perhitungan kelayakan ekonomi disajikan di lampiran.

4.2. Aspek Ekonomi Usaha Penangkapan Ikan


4.2.1 Hari Kerja Usaha Penangkapan Ikan
Hari kerja usaha penangkapan ikan di Jawa Timur 17-26 hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hari kerja menurut jenis
kapal maupun alat tangkapnya disebabkan keadaan musim (antara musim
paceklik dan bukan). Hanya lterjadi pada wilayah Puger, sedangkan pada daerah
lain perbedaannya tidak begitu menonjol. Hal ini disebabkan karena pada
wilayah Puger dan musim tersebut terjadi angin barat yang menyebabkan
gelombang laut cukup besar.
Hasil penelitian bahwa hari kerja nelayan tidak penuh 30 hari,
dikarenakan memperbaiki alat tangkapnya. Disamping itu pada waktu terang
bulan juga nelayan tidak bekerja dikarenakan tidak ada ikan.

4.2.2 Tingkat Pendapatan dan Kelayakan Teknologi


Tingkat pendapatan usaha penangkapan ikan ada pada jenis Purse Seine,
kemudian payang dan Glinet. Adanya perbedaan pendapatan berdasarkan
wilayah penelitian disebabkan karena adanya perbedan teknologi dan fisling
19

gronnd purse seine di Muncar (Banyuwangi) pendapatan tertinggi dibanding lain


dengan wilayah lain, dikenalkan etimologis sudah maju dengan fisling groundnya
lebih jauh. Ditinjau dari segi pendapatan pendega (ABK) Gilnet yang tertinggi,
hal ini dikemukakan karena disamping teknologinya semi maju, juga disebabkan
jumlah ABK lebih sedikit.
Variasi pendapatan permusim tampaknya terjadi perbedaan. Jenis
Gilnnet dan Purseine, tampaknya relatif lebih stabil. Namun hasil penelitian
menunjukkan juga ditentukan oleh wilayah (Potensi Sumber Daya Ikan). Dengan
demikian apabila nelayan dapat mengoperasi diluar wilayah (andon),
pendapatannya cenderung stabil hal ini banyak dilakukan oleh nelayan di
Muncar. Ditinjau dari segi kelayakannya ternyata gill net pantas dikembangkan
untuk peningkatan golongan nelayan kecil (pendega). Sedangkan di wilayah
utara tampaknya pengembangan pada penggunaan “alet” yang lebih beragam.
Jenis Dogol yang dikombinasikan antara pancing perawe permukaan tampaknya
dapat dilakukan.

4.2.3. Potensi dan Kendala Sumberdaya Manusia dan Sosial Budaya


Uraian ini akan menggambarkan kondisi umum nelayan dan pengolah
serta penduduk lainnya yang terdapat di keenam daerah penelitian. Keenam
daerah tersebut dikategorikan ke dalam tiga satuan wilayah, yaitu (a) wilayah
Timur-selatan (Muncar dan Puger), (b) Wilayah utara /Selat Madura (Lekok dan
Bandaran) dan (3) Wilayah utara/Laut Jawa (Bulu dan Weru).
a) Karakteristik Penduduk
Alokasi waktu anggota keluarga pendega membantu kegiatan produktif
bervariasi, Sebagian kecil saja yang memanfaatkan waktunya untuk kegiatan
produktif, misal pedagang skala kecil, pembuat ikan olahan (tepung ikan) dan
warung makan skala kecil. Usaha pembuatan tepung ikan skala rumahtangga dan
dijual di pasar muncar. Pendidikan pendega pada umumnya sampai pada tingkat
SD atau tidak tamat SD, sedangkan para juragan darat umumnya memiliki
pendidikan yang lebih tinggi. Pengetahuan dan ketrampilan nelayan tentang
aspek penangkapan ikan rata-rata lebih tinggi dari pada para tugas lapangan dari
TPI/KUD dan PPL.

b) Karakteristik Responden
Nelayan juragan responden di Muncar terdiri dari empat alat tangkap,
yaitu purse seine, gill net, pancing dan payang. Rata-rata jumlah keluarga juragan
purse seine dan pancing adalah 4 sampai 5 orang, sedangkan untuk nelayan gill
net dan payang antara 6 sampai 8 orang. Pekerjaan istri rata-rata adalah berjualan
20

“Mracangan”. Sebagian besar pendidikan mereka adalah SD atau SD tidak tamat.


Sebagian besar nelayan Muncar ini bekerja sebagai nelayan pada tahun 1970-an.
c) Lingkungan Sosial
Latar belakang menjadi pendega bervariasi. Nelayan lokal cenderung
memilih pendega karena tidak ada alternatif pekerjaan lain. Disamping itu juga
ada yang digunakan untuk meniti profesi ke arah juragan laut dan kemudian
menjadi juragan darat. Pendega berasal dari dalam dan luar desa nelayan.
Pendega luar desa nelayan ada yang dekat desa nelayan dan biasanya bekerja
sebagai buruh tani, dan ada yang asal luar daerah seperti, Madura, Probolinggo,
Bondowoso dan Jember. Panutan nelayan di Muncar adalah juragan yang
sekaligus “mengerti agama”. Peranan Camat dan Lurah/Kepala Desa dihadapi
secara netral. Arahan pejabat ini akan dituruti jika “menguntungkan” dan akan
tidak ditanggapi bila “tidak menguntungkan”. Bila kebijaksanaan pejabat tersebut
dianggap “merugikan” maka nelayan pendega diorganisir oleh juragan untuk
menentangnya. Kasus konflik di Muncar 1974 berakar pada peranan “juragan
yang kuat” dan mereka dirugikan oleh pihak tertentu di masyarakat.
d) Respon Masyarakat terhadap Kredit dan Program Pemerintah, Serta
Teknologi.
Ketika peranan KUD dominan dalam pengelolaan kredit kelompok
pendega, maka respon mereka sangat positif. Pengembalian kredit lancar dan
bahkan nelayan dapat melunasi pinjamannya kepada KUD. Hal ini berlangsung
pada tahun 1974-1979. Hal demikian ini tidak diikuti pada pemberian kredit
Bimas I dan Bimas II tahun 1981/1982 (gill net dan payang). Alat tangkap
tersebut tidak segera menguntungkan nelayan dan pengembaliannya hanya
mencapai sekitar 15-25%.
Secara umum respon masyarakat nelayan pada program pemerintah
“positif”, (termasuk TPI) asal para pembeli (Pengolahan Ikan) ikut melakukan
lelang di TPI. Demikian pula nelayan sangat setuju bila diadakan lelang murni,
pelabuhan perikanan dan proyek pemerintah lainnya. Penentu respon ini masih
selalu dikaitkan dengan keuntungan ekonomi nyata yang diperoleh oleh para
pendega. Masyarakat nelayan menilaikan bahwa “kredit pemerintah” merupakan
fasilitas yang menjadi hak mereka, sehingga ada kecenderungan tidak melunasi
pinjaman, terlebih lagi vila alat tangkap mereka cepat mengalami kerusakan. Hal
demikian ini menjadi berbeda, bila mereka mempunyai hutang kepada tetangga
atau kepada kerabatnya. Hutang harus dibayar, tatapi kredit tidak harus dibayar,
apalagi kredit kelompok, sebab tidak bisa ditentukan penanggung jawab tunggal.
Respon terhadap perkembangan teknologi nelayan Muncar sangat positif.
Hal ini dapat diamati dari hasrat untuk mencari informasi dan memperbaiki
teknologi yang dimiliki yang terus berubah semakin intensif.
21

e) Ketergantungan Nelayan
Untuk mempertahankan pendega agar tetap bekerja kepada juragan maka
juragan memberikan pinjaman kepada pendega, maksimal Rp. 50.000,- Pendega
dapat pindah ke juragan lain dengan cara melunasi pinjamannya. Kedatangan
pendega yang andon ke desa nelayan menyebabkan “harga” tenaga kerja menjadi
lebih murah. Hal demikian ini digunakan oleh juragan darat dan juragan laut
untuk menurunkan bagian hasil tangkap. Penerimaan bagi hasil yang rendah ini
tidak menggairahkan pada semangat kerja pendega.

V. POTENSI SUMBERDAYA DAN PERATURAN


PERUNDANGAN

5.1. Pendahuluan

Studi penyusunan pedoman pengaturan ruang kawasan pesisir pantai


pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah propinsi Jawa Timur,
kabupaten, dan kecamatan wilayah studi. Kebijakan tersebut adalah rencana tata
ruang, kebijakan sektoral terkait. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang bahwa Rencana Tata Ruang berdasarkan hicrarkhi
atas Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadia/Kabupaten (Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan dan
Rencana Tata Ruang Kawasan Tertentu).
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah Pasal 4 (1) Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan
disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwewenang
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasar aspirasi masyarakat. (2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) masing-masing berdiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan hicrarkhi
satu sama lain. Sihingga untuk perencanaan tata ruang yang ada di kabupaten
bukan merupakan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi tetapi
merupakan sinkronisasi dari Rencana Tata Ruang yang ada di wilayah propinsi.
Penyusunan rencana tata ruang bertujuan untuk menumbuhkan
ekonomi wilayah dan memeratakan perkembangan ekonomi, sosial budaya
masyarakat di seluruh wilayah, mengintegrasikan wilayah dalam rangka
memantapkan ketahanan nasional serta mengoptimalkan pendayagunaan
22

sumberdaya alam secara serasi dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya


buatan.
Berdasarkan kebijakan dan stategi pembangunan wilayah pesisir dan
kelautan, ditetapkan berdasarkan penentuan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
kewewenangan Indonesia untuk mengelola wilayah kelautan adalah sejauh 200
mil dari pasang surut terendah. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 dijelaskan bahwa wewenang pengelolaan wilayah kelautan bagi
propinsi adalah 12 mil, dan bagi kabupaten/kota kewenangan pegelolaan wilayah
kelautannya adalah 4 mil.
Wilayah pesisir pantai merupakan wilayah peralihan antara daratan dan
perairan laut. Secara fisiografis didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai
hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan
lebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta
dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan kadang
materinya berupa kerikil. Wilayah pesisir daat diartikan suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan. Ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu
wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar
garis pantai (longshore) dan batas yang lurus terhadap garis pantai (crosshore).
Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilauah diantara ruang daratan
dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang
terletak di atas dan di bawah ermukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi
darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas
dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah,
termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya.

5.2. Dasar Penyusunan Studi

Pedoman Pengaturan Ruang Kawasan Pesisir Pantai di Jawa Timur


adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. TAP MPR No. IV/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
3. TAP MPR No. XV1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
4. Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan
7. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
PokokPertambangan
23

8. Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Landas Kontinen Indonesia


9. Undang-Undang No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan
10. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
11. Undang-Undang No. 2 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan hidup
12. Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekslusif Indonesia
(ZEE)
13. Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian
14. Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Perikanan
15. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengeshahan United Nations
Convertion on the Law of the Sea (Konversi PBB tentang Hukum Laut)
16. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
17. Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
18. Undang-Undang No. 2 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan hidup
19. Undang-Undang No. 4 Tahun 1990 tentang Perumahan dan Pemukiman
20. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
21. Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
22. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
23. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
24. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
25. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-
undang tahun 1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
26. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
27. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air
28. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi
29. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1985 tentang Jalan
30. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan
31. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa
32. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai
33. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 tentang Peran serta
Masyarakat dalam Kegiatan Penataan Ruang
34. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
24

35. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1989 tentang


Kawasan Industri
36. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Hutan Lindung
37. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 33 Tahun 1989 tentang
Pengelolaan Kawasan Budaya
38. Pemendagri No. 8 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Budaya
39. Pemendagri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta
Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah
40. Pemendagri No. 2Tahun 1998 tentang Pedoman Penyususnan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dati
II
41. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau
42. Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 59 Tahun
1990 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur

5.3. Kebijaksanaan Pemukiman


Kawasan pemukiman pesisir merupakan suatu lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan,
dimana dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut dipengaruhi oleh sifat
alam kawasan pesisir. Dampak penting terhadap ekosistem tergantung
pada tipe pemukiman pesisir. Pengembangan kawasan pesisir untuk
kawasan pemukiman penting memperhatikan keadaan ekosistem
sekelilingnya. Sedangkan hal yang penting lagi adalah pada tahap
konstruksi, karena pada tahap ini akan dilakukan pembukaan wilayah dan
pengubahan ekosistem (konversi).
Konsep pengembangan pemukiman di kawasan pesisir yang dapat
diterapkan adalah pengembangan desa pantai. Upaya yang harus dilakukan
antara lain adalah membina masyrakat desa pantai untuk lebih aktif dan
berperan dalam pembangunan desa. Pembinaan desa pantai tersebut akan
dilaksanakan secara terpadu. Kebijaksanaan yang akan dilaksanakan dalam
Pembinaan Desa Pantai ialah :
a. Memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat desa pantai yang
kondisinya jauh tertinggal dibandingkan dengan desa-desa lainnya
25

b. Memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat desa pantai melalui


upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya laut dengan teknologi siap
pakai
c. Memperbaiki kualitas pemukiman
d. Penyediaan infrastruktur dan fasilitas sosial
e. Membina kelembagaan desa pantai
f. Penyuluhan konservasi lingkungan desa pantai untuk menunjang
kelestarian sumberdaya alam dipesisir dan lautan
g. Peningkatan peran serta masyarakat dan swasta
h. Rekayasa teknologi tepat guna dan tepat tingkungan untuk daerah
desa pantai

5.4. Pedoman Pengaturan Ruang Kawasan Pesisir Pantai

Sejalan dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam TAP


MPR No. XV/1999 pasal 1 dan 2, bahwa penyelenggaraan otonomi daerah
dengan memberikan kewenangan yang laus, nyata dan bertanggung jawab
kepada pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Pasal 5 TAP MPT No.XV/1999, menyatakan bahwa pemerintah daerah
berwenang mengelolan sumberdaya nasional dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan.
Pedoman pengaturan ruang kawasan pesisir pantai secara
terpadu yang dimaksud adalah pengelolaan secara terpadu antar lintas
sektoral. Sehingga keutuhan peranan sumberdaya alam dalam tatanan
lingkungan menjadi penting untuk dilestarikan. Pedoman pengaturan
tersebut merupakan landasan bagi penyusunan perencanaan taktis dan
perencanaan operasional. Pengaturan tersebut selanjutnya diterjemahkan
menjadi pola pengelolaan raung kawasan pesisir pantai, yang mempunyai
peranan strategis dalam pembangunan nasional dan regional.
Pedoman pengaturan ruang kawasan pesisir pantai dilakukan secara
terpadu antar sektoral harus ada keterpaduan antar lintas sektoralnya.
Diharapkan faktor keutuhan peranan sumberdaya alam dalam tatanan
lingkungan menjadi penting untuk dilestarikan.
Pedoman kebijakan pemanfaatan ruang kawasan pesisir pantai
meruapakan kebijakan penetapan kawasan berdasarkan keseuaian
pemanfaatan ruangnya. Tujuannya adalah untuk memberikan arahan
zonasi kawasan budaya dan kawasan lindung. Kawasan budaya meliputi
kawasan pemukiman, pariwisata, pertanian, perikanan. Sedangkan
kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan
26

kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan lindung, kawasan rawan


bencana, kawasan sempadan pantai, sempadan sungai.
Kriteria tata cara penetapan kawasan lindung dan kawasan
budaya ini telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
837/KPTS/UM/1980.

5.5. Gambaran Wilayah Kabupaten Malang

Kabupaten Malang ditinjau dari posisi koordinat Bujur dan Lintang


berada pada posisi 120 17’ 10,9”-1120 57’ 0,0” BT dan 70 44’ 55,11” – 8 0 26’
34,45” LS. Kabupaten Malang merupakan wilayah yang cukup luas, yang terdiri
dari wilayah darat, pantai dan laut. Luas wilayah darat Kabupaten Malang ialah
334,787 Ha. Sedangkan wilayah laut adalah 4 mil (berdasarkan UU No. 22 tahun
1999), dengan garis pantai sepanjang 102,625 Km.
Kabupaten Malang ditinjau dari kondisi fisik dasar, terdiri dari kondisi
topografi (keterangan dan ketinggian), kondisi geologi, kondisi jenis tanah,
kedalaman efektif tanah, drainase, erosi, curah hujan dan kondisi klimatologi.

a. Kondisi Topologi
Kondisi Topologi yang dimaksud adalah kondisi kelerengan dan
ketinggian. Kabupaten Malang ditinjau dari kondisi kelerengannya, sebagian
besar berada pada kelerengan 2 – 15 %, yaitu 119.030,78 Ha dan sebagian kecil
berada pada kelerengan 0 – 2 % yaitu 119.030,78 Ha dan sebagian kecil berada
pada kelerengan 0 – 2 % yaitu 52.607,78 Ha.
Kondisi ketingginan Kabupaten Malang berada pada ketinggian 0 – 200
m di atas permukaan laut. Ditinjau dari kondisi morfologinya, daerah yang
berada pada kondisi landai hingga pegubungan berada pada kecamatan
Bululawang, Gondanglegi, Tajinan, Turen, Kepanjen dan Pakisaji, sebagian
Kecamatan Singosari, Lawang, Karangploso, Dau, Pakis, Dampit, Sumber
Pucung, Kromengan, Pagak, Kalipare, Donomulyo, Bantur, Ngajum, Gedangan.
Sedangkan daerah bergelombang berada pada Kecamatan Sumbermanjing
Wetan, Wagir dan Wonosari.
27

Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan


Penentuan zona-zona penggunaan lahan
Menggunakan unit lahan sebagai unit analisa

Karakteristik Lahan Yang Dianalisa

Keadaan iklim Kondisis tanah Kemiringan lahan

SKOR

< 75 75 – 125 125 – 175 < 175


kawasan budidaya kawasan budidaya tamanan Kawasan
tanaman semusim/ tanaman tahunan penyangga lindung
pemukiman

Gambar 2. Diagram Evaluasi Sumberdaya Lahan


28

b. Kondisi Geologi
Kondisi geologi di Kabupaten Malang terdiri dari 5 struktur geologi yaitu
hasil gunung api kwarter muda, hasil gunung api kwarter tua, miosen facies
gamping, miosen facies sediman dan alivium. Struktur geologi terluas adalah
hasil gunung api kwarter muda yaitu 145.152,52 Ha (44,25 %). Sedangkan
luas terkecil struktur geologi adalah miosen facies sedimen yaitu 12.834 Ha
(3,83 %).

c. Kondisi Jenis Tanah


Jenis tanag di Kabupaten malang terdiri dari 7 jenis tanah, yaitu : Jenis tanah
andosol, latosol, mediteran, litosol, alluvial, regosol, brown forest. Jenis
tanah terluas adalah latosol, yaitu 86.260,36 Ha (25,77 %). Sedangkan yang
terkecil luasannya adalah jenis tanah brown forest yaitu 6.142,25 Ha (1,83
%).

d. Kedalaman Efektif Tanah


Kedalaman efektif tanah di Kabupaten Malang sebagian besar berada pada
kedalaman > 90 cm, yaitu 278.925,56 Ha (83,31 %) dan sebagian kecil
berada kedalaman efektif tanah < 30 cm, yaitu 2.528 Ha (0,76 %). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.4.

5.5.1. Penggunaan Tanah

Penggunaan tanag di Kabupaten Malang didominasi kawasan tegal/kebun


seluas 117.160 Ha atau 36 % dari luas keseluruhan. Kawasan terluas kedua
berupa hutan seluas 86.186 Ha atau sekitar (26 %) dari luas keseluruhan. Untuk
lahan sawah seluas 48385 Ha (15 %). Lahan permukiman 44.859 Ha (14 %).
Lahan dengan penggunaan lainnya seluas 12.220 Ha (4 %), padang rumput 41
(Ha) (0,01 %), tambak 188 Ha (0,06 %).

5.5.2. Gambaran Umum Wilayah Pesisir

A. Kondisi Fisik
Kondisi fisik yang mendukung gambaran umum daratan adalah keadaan
topografi, hidrologi, klimatologi, jenis tanah, tekstur tanah, kedalaman efektif
tanah, erosi dan bahan galian. Adapun uraian masing - masing kondisi fisik
tersebut adalah sebagai berikut :
29

a. Topografi
Berdasarkan kondisi topografinya wilayah perencanaan memiliki
ketinggian kirang lebih dari 0 – 2000 meter di atas permukaan laut dan keadaan
yang bervariasi yaitu kondisi terjal sampai pegunungan. Semakin mendekati
daerah pantai umumnya memiliki karakteristik daerah pegunungan kapir dan
kemiringannya sangat besar.
Tingkat kelerengan wilayah berkisar diantara kelerengan 2 – 15 %, 15 – 40
% dan 40 %. Hal ini bisa diindikasikan bahwa pada wilayah perencanaan kondisi
lahannya bergelombang sampai terjal. Untuk kelerengan > 40 % yang sebagian
besar meliputi Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo merupakan daerah yang
harus dihutankan karena mempunyai fungsi sebagai perlindungan terhadap tanah
dan air dan menjaga ekosistem lingkungan hidup.

Tabel 5.5 Kelerengan Wilayah Pesisir

Kecamatan 0–2% 2 – 15 % 15 – 40 % > 40 %


Ampel Gading 1273,5 3942,5 5336,5 10781,5
Tirtoyudo 230 2996,33 5130,33 5839,34
Sbermanjing Wetan 987 5437,5 10929,75 6595,75
Gedangan 347,5 9607,5 5090,25 1019,75
Bantur 316,25 11097,75 4089 412
Donomulyo 96,5 9156 5004,5 1414
Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Malang

b. Hidrologi
Kondisi hidrologi yang dilihat di pantai Kabupaten Malang meliputi
kondisi air permukaan dan kondisi air tanah. Kondisi air permukaan yang
dimaksud adalah air sungai dan kondisi air tanah adalah sumber/mata air yang
berasal dari dalam tanah.
Pantai-pantai yang memiliki sumber air permukaan atau aliran sungai adalah
pantai Licin, Sipelot, Lenggosono, Tamban, Wonogoro dan Kondang Merak.
Kondisi muara sungai pada musim kemarau pada umumnya tertutup pasir,
sehingga aliran sungai terhenti di mulut muara dan baru terbuka pada musim
penghujan. Muara sungai yang terletak di pantai licin dipenuhi oleh pasir yang
berasal dari Gunung Semeru. Pasir inilah yang mengakibatkan pasir di pantai
Licin yang semula putih menjadi kehitaman. Selama Gunung Semeru masih
aktif diperkirakan sungai dan muaranya akan terus penuh dengan pasir. Adapun
sungai-sungai yang melewati wilayah perencanaan yaitu kali Giok yang
bermuara di Pantai Licin, Kali Bambang (Kecamatan Sumbermanjing Wetang),
kali Duron, Bopakang, Bopak dan Sumber bulus. Kali sumberbulus bermuara di
30

Pantai Wonorogo, Kali Balekambang (Kecamatan Bantur) dan Kali


Sumbermanjing (Kecamatan Donomulyo).
Sumber air tanah sebagai sumber air tawar diperoleh dari dalam tanah. Cara
memperoleh dilakukan dengan cara mengebor dengan kedalaman 40 – 60 meter
disamping sumber air dalam tanah, sumber air utama penduduk adalah mata air
yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah.
c. Klimatologi
Keadaan cuaca di wilayah perencanaan seperti umumnya cuaca di
Kabupaten Malang memiliki iklim tropis dengan suhu 18,25 0C sampai dengan
31,45 0C (suhu rata-rata dari empat stasiun pengamat cuaca antara 23 0C sampai
25 0C). Tekanan udara dibawah 1.012,70. Curah hujan rata-rata per tahun
1.596 mm dan hari hujan 84,85 per tahun. Curah hujan turun antara bulan April
– Oktober. Diantara kedua musim tersebut ada musim peralihan antara bulan
April – Mei dan Oktober – November.
Iklim menentukan setiap macam/tipe vegetasi yang terbentuk pada suatu
wilayah, tergantung pada panjang bulan basah dan panjang bulan kering. Pada
wilayah dengan curah hujan tinggi terbentuk vegetasi hutan, sedang pada pada
suatu wilayah yang mempunyai curah hujan rendah akan terbentuk vegetasi
semak belukar ataupun padang rumput.

d. Jenis Tanah
Berdasarkan jenis tanah ini dapat diketahui sifat-sifat tanah yang bisa
menginformasikan tingkat kesuburan, kemudahan erosi, porositas dan
sebagainya. Dari jenis tanah ini juga bisa diketahui potensi suatu wilayah untuk
pengembangan dalam berbagai sektor.
Dalam suatu kawasan yang terdapat budidaya pertanian, pendekatan
yang dilakukan pada pengertian tanah adalah lapisan dan teratas dari kerak bumi
yang terdiri dari tiga fase yaitu bahan padat, bahan cair dan bahan gas. Apabila
ketiga bahan tersebut adalam keadaan optimum merupakan media tumbuh bagi
tanaman. Dengan pendekatan pengertian tersebut diatas, tanah dapat
diekspresikan sebagai bahan/media tumbuh tanaman yang sangat marginal,
sehingga memerlukan pengelolaan teknis dan mekanis dengan sebaik-baiknya.
Untuk kawasan pesisir daerah Malang Selatan menurut Tabel Hasil
Perhitungan Kemampuan Tanah Kabupaten Malang adalah tergolong jenis
Latosol dan Andosol walaupun ada jenis Alluvial akan tetapi jumlahnya relatif
lebih sedikit lebih sedikit dibandingkan dengan jenis Latosol dan Andosol.
Menurut Budi Santoso (1989), tanah latosol memiliki merah karena
meningkatnya konsentrasi Fe dan Al yang keluar dari solum. Sedangkan tanah
31

Andosol memiliki ciri tanah subur, mudah erosi dan sesuai untuk tanaman
tahunan.

e. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan sifat tanah untuk mengetahui berbagai sifat
lainnya, termasuk kelompok tekstur tanah SEDANG HINGGA KASAR.

f. Kedalaman Efektif Tanah


Kedalaman efektif tanah sangat berkaitan dengan kesuburan dan kesesuian
jenis yanaman. Karena tingkat kedalaman efektif tanah berpengaruh pada
kedalaman akar. Tanah dengan tingkat kedalaman yang besar biasanya banyak
ditumbuhi tanaman-tanaman besar dengan perakaran yang dalam.

g. Erosi
Erosi dapat disebut juga pengikisan atau kelongsoran, sebenarnya
merupakan proses penghayutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air
dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat
tindakan/perbuatan manusia. Terjadinya erosi dipengaruhi oleh lima faktor
yaitu :
a. Iklim
b. Tanah
c. Bentuk kewilayahan atau topografi
d. Tanaman penutup tanah (vegetasi)
e. Kegiatan/perlakuan manusia.

Pada wilayah perencanaan tingkat erosinya tergolong rendah namun pada


Kecamatan Ampelgading, gedangan dan Bantur tingkat erosinya cukup tinggi.
Dilihat dari faktor fisik yang meliputi topografi, iklim dan tanah sebenarnya tidak
ada masalah. Kemungkinan besar faktor-faktor lain yang menjadi penyebabnya.
Kesalahan dalam pengelolaan tanah, pemilihan jenis tanaman yang kurang tepat
atau mungkin tidak dilakukan pengelolaan tanagh sama sekali dan tanah sendiri
tidak tertutup vegetasi barangkali menjadi penyebabnya. Kondisi-kondisi seperti
ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena akibat adanya erosi menyebabkan
terjadinya sedimentasi.
32

Tabel 5.9. Erosi Tanah Di Wilayah Pesisir

No Kecamatan Ada Erosi Tidak Erosi Jumlah (Ha)


(Ha) (Ha)
1. Ampel Gading 6698 14636 21344
2. Tirtoyudo 1753 12443 14196
3. Sb. Manjing Wetan 4360 19590 23950
4. Gedangan 7186 8879 16065
5. Bantur 6740 9175 15915
6. Donomulyo 3553 12118 15671
Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Malang

h. Bahan Galian
Pada wilayah perencanan mempunyai kekayaan alam berupa sumber
mineral yang cukup potensial untuk dikembangkan. Bahan-bahan
galian tersebut meliputi : pasir, breksi, lempung, kaolin, batu gamping,
tras, fosfat, oker dan batu pasir.

B. Pemanfaatan Lahan Daratan


Pemanfaatan dan pengelolaan lahan di daeratan secara tidak langsung
akan mempengaruhi kondisi di wilayah pesisir. Karena secara empiris, terdapat
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan di atas dan laut
lepas . Pemanfaatan lahan di daratan meliputi pemukiman, sawah, tegalan,
kebun, perkebunan, hutan, tambak dan lainnya (antara lain makam, jalan dan
sebagainya).

a. Pemukiman
Pemukiman tersebar pada daerah-daerah yang relatif datar dan menyebar
pada jalan-jalan yang ada. Lokasi sekitar kawasan pemukiman masih didominasi
lahan pertanian, perkebunan, tegalan serta lahan kosong. Aksesibilitas umumnya
kurang bagus dan prasarana penunjang terbatas dan hampir tidak ada .
Pemukiman lebih terpusat di ibukota Kecamatan dan sekitarnya.

b. Sawah
Proporsi luas lahan sawah sangat kecil dibandingkan dengan penggunaan
tanah untuk jenis pertanian yang lain dan jenis penggunaan tanah pada umumnya.
Kondisi tanah yang cenderung kering dan padas serta topografi yang relatif terjal,
mengakibatkan pertanian kurang berkembang. Lahan pertanian khusunya untuk
33

tanaman padi terbatas pada lahan yang relatif datar. Geomorfologi yang kurang
subur ini menyebabkan pertanian basah seperti tanaman padi dan sistem gilir
tidak bisa berkembang dengan baik. Kondisi ini pada sebagian wilayah terutama
di bagian barat makin diperparah dengan sistem irigasi yang juga kurang baik.

c. Hutan
Hutan memiliki wilayah terluas diantara penggunaan tanah yang lain.
Mengingat kondisi fisik wilayah terutama topografinya yang cenderung curam,
maka hutan ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi keseluruhan ekonsistem
baik di darat maupun di laut. Fungsi hutan sendiri terbagi menjadi 2 yaitu hutan
produksi dan hutan produksi terbatas. Hutan yang terletak pada kawasan
budidaya adalah hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi yang terletak
pada kawasan non budidaya adalah hutan produksi terbatas. Kawasan hutan yang
termasuk dalam hutan produksi terbatas tersebar mulai dari Timur ke Barat yaitu
Kecamatan Ampelgading sampai dengan Kecamatan Donomulyo. Sedangkan
yang termasuk hutan produksi tetap terdapat di Kecamatan Sumber manjing
Wetan dan Kecamatan Bantur. Beberapa kawasan hutan yang lainnya tidak dapat
digunakan sebagai hutan produksi sebab lokasi hutan terletak pada kawasan
lindung yaitu sebagai hutan lindung yaitu sebagai hutan lindung terbatas.

d. Tegalan/Kebun
Dibandingkan dengan lahan persawahan, lahan untuk tegalan dan kebun
memiliki proporsi yang lebih besar. Akibat terjadinya penjarahan pada lahan
perkebunan mengakibatkan lahan tegalan dan kebun ini semakin luas. Jenis-jenis
tanaman semusim yaitu jagung, ketela pohon, tales, kacang-kacangan, cabe dan
sebagainya. Lahan tegalan banyak diusahakan di bagian barat dari wilayah
perencanaan. Sedangkkan pada bagian Timur lebih banyak banyak diusahakan
tanaman kebun yaitu kebun kelapa, karet, cengkeh, kopi dan coklat. Namun pada
saat ini sebagian besar tanaman cengkeh, kopi dan coklat semakin berkurang
jumlahnya.

e. Perkebunan
Proporsi lahan perkebunan lebih banyak terletak di bagian Timur
wilayah perencanaan jenis tanaman yang dikelola adalah cengkeh, kopi dan
coklat. Kondisi perkebunan pada saat ini sangat memprihatinkan akibat adanya
pengrusakan dan penjarah oleh masyarakat. Posisi lahan perkebunan sebagian
besar terletak pada kemiringan yang besar.
34

C. Profil Kawasan Pesisir Pantai di Kabupaten Malang


Kawasan pesisir pantai di Kabupaten Malang terdiri dari 6 kecamatan
dengan luas wilayah perencanaan darat adalah 107.131 Ha, sedangkan luas
wilayah perairannya adalah 4 mil. Perairan laut di Kabupaten Malang berada di
sebelah Selatan dan merupakan Samudra Indonesia, yang mempunyai ciri
gelombang dan arus yang besar. Gambaran wilayah dapat dilihat pada peta 3.1.
Ciri khas laut pantai Selatan merupakan lautan bebas, keadaan
gelombang dan arus sangat besar. Arus yang besar di pantai Selatan dikenal
dengan nama arus katulistiwa Selatan (Shout eauatorial current) yang sepanjang
tahun menuju ke Barat. Tetapi pada musim Barat terdapat jalur sempit yang
menyusur pantai Selatan Jawa dengan arus menuju ke Timur, berlawanan dengan
arus katulistiwa Selatan. Arus tersebut dikenal dengan arus pantai Jawa (java
coastal Current). Pada musim Timur di atas perairan lautan ini berhembus kuat
angin Tenggara yang membuat arus katulistiwa Selatan ini makin melebar ke
Utara, menggeser sepanjang pantai Selatan Jawa hingga Sumbawa, kemudian
memaksanya membelok ke arah Barat Daya. Jadi saat itu arus permukaan di
daerah ini menunjukkan pola sirkulasi anti siklonik atau berputar ke kiri. Karena
arus ini membawa serta air permukaan ke luar menjahui pantai, maka akan
terjadi kekosongan yang berakibat naiknya air dari bawah (upwe//ing). Air naik
di sini terjadi kira-kira dari Selatan Jawa hingga ke sebelah Selatan Sumbawa,
diawali sekitar bulan Mei dan berakhir sekitar bulan September. Kecepatan air
naik ini sekitar 0,0005 Cm/detik.
Jenis upwelling di Selatan Jawa yaitu jenis berkala (periodic tipe) yang
terjadi pada musim Timur. Kedalaman laut Selatan Jawa sejauh 1.575- 2.625 km
mempunyai kedalam hingga mencapai 200 m. Kemudian sejauh 2.625 -4.375
km, mempunyai kedalamam mencapai 3000 m.
Kawasan pesisir pantai Kabupaten Malang ditinjau dari kondisi fisik
daratnya menunjukkan, bahwa ketinggian wilayah perencanaan berada pada
ketinggi 0-2000 meter di atas permukaan laut, sebagian besar wilayahnya berada
pada kelerangan 5 -15% (39,42% dari luas wilayah pesisir Kabupaten Malang),
kondisi lahannya bervariasi yaitu terjal sampai pegunungan. Semakin mendekati
daerah pantai umumnya memiliki karateristik daerah pegunungan kapur dan
kemiringannya sebagian besar > 40%. Daerah yang memiliki kelerengan >40%
adalah Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo.
Keadaan cuaca di wilayah perencanaan seperti umumnya cuaca di
Kabupaten Malang memiliki iklim tropis dengan suhu antara 18,25° C sampai
dengan 31,45° C (suhu rata-rata dari empat stasiun pengamat cuaca antara 23° C
sampai 25° C). Tekanan udara di bawah 1.012,7. Curah hujan rata-rata per-tahun
1.596 mm dan hari hujan 84,85 pertahun. Curah hujan turun antara bulan April-
35

Oktober. Diantara kedua musim tersebut ada musim peralihan antara bulan April-
Mei dan Oktober-November.
Kondisi hidrologi di kawasan pesisir Kabupaten Malang meliputi kondisi
air permukaan dan kondisi air tanah. Pantai -pantai yang memiliki sumber air
permukaan atau aliran sungai dan bermuara sampai lautan adalah Pantai Licin,
Sipelot, LenggoksonfJ, Tamban, Wonogoro dan Kondang Merak. Kondisi muara
sungai pada musim kemarau pada umumnya tertutup pasir, sehingga aliran
sungai terhenti di mulut muara dan baru terbuka pada musim penghujan. Muara
sungai yang terletak di Pantai Licin dipenuhi oleh pasir yang berasal dari Gunung
Semeru. Pasir inilah yang mengakroatkan pasir di Pantai Licin yang semula putih
menjadi kehitaman. Selama Gunung Semeru masih aktif diperkirakan sungai dan
muaranya akan terus penuh dengan pasir. Adapun sungai-sungai yang melewati
wilayah perencanaan yaitu Kali Giok yang bermuara di Pantai Licin, Kali
Bambang (Kecamatan Sumbermanjing Wetan), Kali Duron, Bopakang, Bopak
dan Sumberbulus. Kali Sumberbulus bermuara di Pantai Wonogoro, Kali
Balekambang (Kecamatan Bantur) dan Kali Sumbermanjing (Kecamatan
Donomulyo).
Sumber air tanah di wilayah ini diperoleh dengan cara mengebor dengan
kedalaman 40- 60 meter. Disamping sumber air dalam tanah, sumber air utama
penduduk adalah mata air yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah.
Jenis tanah yang ada di wilayah perencanaan adalah Latosol, Andosol
dan Aluvial Oumlahnya relatif lebih sedikit). Menurut Budi Santoso (1989),
tanah latosol memiliki ciri subur, dan mudah erosi karena keeratan antara partikel
tanah rendah, berwama merah karena meningkatnya konsentrasi Fe dan AI yang
keluar dari solum. Sedangkan tanah Andosol memiliki ciri tanah subur, mudah
erosi dan sesuai untuk tanaman tahunan.
Tingkat erosinya tergolong rendah namun pada kecamatan Ampelgading,
Gedangan dan Bantur tingkat erosinya cukup tinggi. Dilihat dari faktor fisik yang
meliputi topografi, iklim dan tanah sebenamya tidak ada masalah. Kemungkinan
besar faktor-faktor lain yang menjadi penyebabnya. Kesalahan dalam
pengelolaan tanah, pemilihan jenis tanaman yang kurang tepat atau mungkin
tidak dilakukan pengelolaan tanah sama sekali dan tanah sendiri tidak tertutup
vegetasi barangkali menjadi penyebabnya.
Pemanfaatan dan pengelolaan lahan di daratan secara tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi di wilayah pesisir. Karena secara empiris, terdapat
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan di atas dan laut
lepas. Pemanfaatan lahan di daratan meliputi pemukiman, sawah, tegalan, kebun,
hutan. dan lainnya (misal : makam, jalan).
36

D. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang


Memperhatikan hasil penelitian terhadap potensi sumberdaya ikan.
kondisi dan pentingnya ekosistem terumbu karang, keberadaan dan pengelolaan
tambak, kegiatan pasca tangkap atau industri perikanan dan sumberdaya manusia
yang ada, maka kebijaksanaan pembangunan perikanan di kawasan pesisir
Kabupaten Malang dapat ditempuh sebagai berikut:
(1) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya ikan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi, melalui penerapan ilmu pengetahuan dan
pemanfaatan teknologi penangkapan. Mengingat sumberdaya ikan yang ada
di wilayah perairan laut Kabupaten Malang baru dimanfaatan sekitar 15,9 %
dari potensi lestari sebesar 26.066,198 ton.
(2) Mengoptimalkan pemanfaatan lahan tambak yang sudah ada dan
diversifikasi komoditi yang dibudidayakan.
(3) Meningkatkan kualitas penanganan pasca tangkap, baik berupa industri
pengolahan maupun penangana ikan segar.
(4) Meningkatkan kua1itas sumberdaya manusia perikanan dan pendapatan
nelayan melalui upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan
kegiatan pasca tangkap dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memadai serta peningkatan nilai tambah hasil perikanan.
Memperhatikan hasil penelitian terhadap kondisi dan pentingnya ekosistem
terumbu karang, maka kebijaksanaan pembangunan perikanan di kawasan pesisir
Malang Selatan dapat ditempuh sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan ekosistem terumbu karang terhadap kegiatan yang
dapat mempengaruhinya, seperti penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan dan kegiatan 'ain yang dapat mengakibatkan perubahan
lingkungan (kekeruhan dan pencemaran).
2. Melakukan pengawasan terhadap pembuangan 'imbah pertanian dan tambak.
3. Melakukan pengawasan pemanfaatan lahan atas termasuk penebangan hutan
yang tidak terkendali.

E. Program Laut Lestari


Program laut lestari dijabarkan dalam beberapa bentuk rencana kegiatan
yaitu : pengelolaan keanekaragaman hayati laut, pengelolaan ekosistem hutan
mangrove, pengelolaan dan konservasi ekosistem terumbu karang, pencegahan
dan penanggula'ngan pencemaran laut, pengembangan desa pantai miskin dan
pengembangan wisata bahari.
(1) Pengelolaan keanekaragaman hayati laut
37

Salah satu modal yang dimanfaatkan untuk pembangunan nasional Indonesia


adalah sumberdaya hayati, yang di tingkat internasional dicuatkan
permasalahannya dengan gerakan .biodiversity' (keanekaragaman hayati).
Strategi nasional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut di Indonesia
adalah rencana penetapan kawasan konservasi laut, untuk mengurangi
kerusakan dan memperbaiki sumberdaya hayati.
Tujuan dan sasaran strategi pengelolaan keanekaragaman hayati laut ialah:
- Selamatkan (lindungi keanekarangan hayati untuk generasi mendatang).
Yaitu dengan menetapkan kawasan konservasi laut dan mengelola
kawasan ini dengan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai
lembaga untuk bekerja sama mendukung pengelolaan kawasan konservasi,
ser1a melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan
keputusan, meningkatkan penegakan Undang- Undang Lingkungan untuk
melindungi spesies laut (dengan cara meningkatkan kepedulian, dukungan
dan peran serta masyarakat melalui peningkatan pajak untuk pengelola
produk-produk yang menggunakan binatang dan tumbuhan laut.
- Pelajari (cari cara-cara untuk memanfaatkan sumberdaya secara
berkelanjutan). Yaitu dengan memperkuat koordinasi antar lembaga-
jembaga dan badan pemerintah untuk memperbaiki kapasitas dalam
mengelola sumberdaya laut dalam pembangunan berkelanjutan.
Menetapkan pusat data dan informasi keanekaragaman hayati taut dan
mengelola pusat data ini bersama-sama dengan pemerintah, LSM dan
perguruan tinggi.
- Manfaatkan Secara Berkelanjutan (yaitu memanfaatkan keanekaragaman
hayati untuk menyediakan makanan, obat-obatan dan keperluan lainnya).
Yaitu dengan mempublikasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang relevan
secara aktif , promosikan cara-cara penggunaan tumbuhan dan bjnatang
secara berkelanjutan untuk menyediakan gizi, tapangan pekerjaan,
peningkatan eksport dan keuntungan- keuntungan lain dari pengelolaan
sumberdaya laut.
(ii) Pengetolaan Ekosistem Hutan Mangrove
Hutan mangrove mempunyai suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut
yang merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara
keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindungnya dan
memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut, juga sebagai
habitat satwa burung, primata, reptilia, insekta dan lainnya. sehingga secara
ekologi dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
38

Strategi yang dilakukan untuk melindungi dan melestarikan potensi


sumberdaya hutan mangrove dan memanfaatkannya berdasarkan azas
pelestarian, yang meliputi :
- Save it, mengamankan ekosistem hutan mangrove dengan melindungi
genetik, spesies dan ekosistem.
- Study it, yaitu mempelajari ekosistem hutan mangrove yang meliputi
biologi, komposisi. struktur, distribusi dan kegunaannya.
- Use it, yaitu memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan
seimbang.
(iii) Pengelolaan dan Konservasi Ekosistem Kawasan Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat penting,
yang mempunyai nilai yang tinggi karena pada kawasan ini terdapat kawasan
perikanan yang subur, bahan untuk farmasi, daya tarik bagi pariwisata
khususnya (eco marine tourism) yang dapat menambah devisa negara dan
secara fisik karang dapat melindungi pantai dari degradasi dan abrasi.
Pemanfaatan terumbu karang yang kurang bijaksana dapat berakibat
menurunnya kualitas terumbu karang. Kegiatan manusia yang dapat merusak
terumbu karang antara lain ialah : sedimentasi yang berasal dari penebangan
hutan, penambangan karang, pembangunan fasilitas, limbah industri. pestisida
dan buangan minyak, penangkapan ikan dengan muroami, penggunaan bahan
peledak, koleksi biota laut untuk hiasan, penangkapan ikan hias dengan
kalium cianida (KCN).
Agar ekosistem terumbu karang dapat dimanfaatkan secara maksimal dan
lestari, maka diperlukan adanya strategi pengelolaan ekosistem terumbu
karang yang berwawasan lingkungan, yaitu :
- Program pelatihan dan pendidikan baik formal dan non formal, yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan pemanfaatan
masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya terumbu
karang.
- Identifikasi luas dan lokasi kawasan terumbu karang potensia' dan
bermasalah, baik yang areal konservasi (taman laut, cagar alam laut)
maupun areal non konservasi (perikanan, pariwisata).
- Pemanfaatan kawasan terumbu karang sebagai obyek wisata, penelitian
dan pendidikan secara maksimal tanpa menggangu kelestariannya.
- Terkendalinya dampak kegiatan pembangunan di darat dan di laut terhadap
ekosistem terumbu karang.
- Terkoordinasinya pengelolaan terumbu karang secara nasional.
(iv) Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut
39

Pencemaran laut di Indonesi antara lain disebabkan oleh : kegiatan-kegiatan


di darat dan di laut, termasuk kegiatan-kegiatan kapal asing yang
menyinggahi dan melewati perairan Indonesia, dimana kegiatan kapal tanker
paling sering mengalami kecelakaan pada waktu melewati perairan Indonesia.
Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi yang
berlangsung di darat dan di laut. Sehingga upaya penanggulangan pencemaran
laut sangat perlu dilakukan yaitu dengan menyusun .Strategi Perlindungan
Lingkungan Laut Akibat Pencemaran. yaitu perlu ditingkatkan pencegahan
pencemaran laut melalui pembinaan serta peningkatan pengawasan dan
penegakan hukum.
(v) Pengembangan Desa Pantai
Pengembangan desa pantai di wilayah negara kepulauan Indonesia sangat
perlu, karena diperkirakan 60% penduduk hidup dan tinggal di daerah pantai.
Pada umumnya masyarakat desa pantai lebih merupakan masyarakat
tradisional dengan kondisi sosial dan ekonomi yang sangat rendah,
pendidikan formal yang diterima masyarakat desa pantai secara umum jauh
lebih rendah dari pendidikan masyarakat non pantai lainnya. Minimnya sarana
dan prasarana (pendidikan, kesehatan, perhubungan, komunikasi). Untuk
menunjang keberhasilan program pembinaan desa pantai, maka perlu
adanya :.
- Penentuan lokasi pengembangan yang tepat.
- Memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat desa pantai yang kondisinya
jauh tertinggal dibandingkan dengan desa-desa lainnya.
- Memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat desa melalui upaya-upaya
pemanfaatan sumberdaya laut dengan teknologi siap pakai.
- Membina kelembagaan desa pantai.
- Penyuluhan konservasi lingkungan desa pantai untuk menunjang kelestarian
sumberdaya alam di pesisir dan lautan.
- Peningkatan peran serta masyarakat dan swasta.
- Rekayasa teknologi tepat guna dan tepat lingkungan untuk daerah desa
pantai.
(vi) Pengembangan Wisata Bahari
Pengembangan wisata bahari di Indonesia merupakan hal baru, yang mulai
mendapat perhatian dan sangat menarik banyak peminat. Pengembangan
wisata bahari secara ideal diharapkan mampu menciptakan saling keterkaitan
dan saling menjaga secara harmonis antara unsur-usur lingkungan fisik, sosial
dan ekonomi, budaya masyarakat setempat. Dampak positif pengembangan
wisata bahari ialah : dapat meningkatkan devisa negara, perluasan tenaga
kerja, mendorong pengembangan usaha baru, mampu meningkatkan
40

kesadaran masyarakat terutama wisatawan, tentang konservasi sumber daya


alam. Dampak negatifnya adalah terjadinya degradasi lingkungan (erosi,
vandalisme, dan lainya), kerusakan sumberdaya alam, serta munculnya
kesenjangan sosial ekonomi dan perubahan budaya masyarakat setempat.
Namun kegiatan pengembangan wisata bahari belum didukung oleh tenaga
profesional untuk pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya,
khususnya kawasan pelestarian alam, sehingga dalam pelaksanaanya di
lapangan masih belum terarah secara jelas. Sehingga perlu adanya strategi
pengembangan wisata bahari berdasarkan pada kaidah-kaidah pembangunan
berkelanjutan.
(vi) Permukiman
Pemukiman tersebar pada daerah-daerah yang relatif datar dan menyebar pada
jalan- jalan yang ada. Lokasi sekitar kawasan pemukiman masih didominasi
lahan pertanian, perkebunan, tegalan serta lahan kosong. Aksesibilitas
umumnya kurang bagus dan prasarana penunjang terbatas dan hampir tidak
ada. Pemukiman lebih terpusat di Ibukota Kecamatan dan sekitamya.
Sedangkan kondisi pemukiman pantai di kawasan pesisir Kabupaten Malang
sebagian besar kondisi bangunan dan lingkungannya rendah dan belum
mendapatkan infrastruktur yang memadai. Kondisi pemukiman yang cukup
memadai berada di desa intinya, karena pada desa tersebut beberapa
infrastruktur telah terlayani misalnya : listrik dan kebutuhan air bersih. Desa
inti tersebut antara lain ialah : Desa Pujiharjo (Pantai Sipelot), Desa
Pulwodadi (Pantai Lenggoksono), Desa Tumpakrejo (Pantai Wonogoro),
Desa Tambakrejo (Pantai Sendangbiru).
(vi) Sawah
Proporsi luas lahan sawah sangat kecil dibandingkan dengan penggunaan
tanah untuk jenis pertanian yang lain dan jenis penggunaan tanah pada
umumnya. Kondisi tanah yang cenderung kering dan padas serta topografi
yang relatif terjal, mengakibatkan pertanian kurang berkembang. Lahan
pertanian khususnya untuk tanaman padi terbatas pada lahan yang relatif
datar. Geomorfologi yang kurang subur ini menyebabkan pertanian basah
seperti tanaman padi dan sistem gilir tidak bisa berkembang dengan baik.
Kondisi ini pada sebagian wilayah terutama di bagian Barat makin
diperparah dengan sistem irigasi yang juga kurang baik.
(vii) Hutan
Hutan memiliki wilayah terluas diantara penggunaan tanah yang lain.
Mengingat kondisi fisik wilayah terutama topografinya yang cenderung
curam, maka hutan ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi keseluruhan
ekosistem baik di darat maupun di laut. Fungsi hutan sendiri terbagi menjadi
41

2 yaitu hutan produksi dan hutan produksi terbatas. Hutan yang terletak pada
kawasan budidaya adalah hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi
yang terletak pada kawasan non budidaya adalah hutan produksi terbatas.
Kawasan hutan yang termasuk dalam hutan produksi terbatas tersebar mulai
dari Timur ke Barat yaitu Kecamatan Ampelgading sampai dengan
Kecamatan Donomulyo. Sedangkan yang termasuk hutan produksi tetap
terdapat di Kecamatan Sumbermanjing Wetan dan Kecamatan Bantur.
Beberapa kawasan hutan yang lainnya tidak dapat digunakan sebagai hutan
produksi sebab lokasi hutan terletak pada kawasan lindung yaitu sebagai
hutan lindung terbatas. Kondisi hutan di kawasan pesisir kondisinya rusak,
akibat penebangan hutan yang tidak terkontrol, sehingga sebagian besar
lahan hutan menjadi gundul. Terjadinya penggundulan hutan tersebut
hampir sebagian tejadi disepanjang kawasan pesisir Kabupaten Malang.
(ix) Tegalan/kebun
Dibandingkan dengan lahan persawahan, lahan untuk tegalan dan kebun
memiliki proporsi yang lebih besar. Akibat teradinya penjarahan pada lahan
perkebunan mengakibatkan lahan tegalan dan kebun ini semakin luas. Jenis-
jenis tanaman yang diusahakan di atas tanah tegalan adalah jenis-jenis
tanaman semusim yaitu jagung, ketela pohon. tales, kacang-kacangan, cabe,
dsb. Lahan tegalan banyak diusahakan di bagian Barat dari wilayah
perencanaan. Sedangkan pada bagian Timur lebih banyak diusahakan
tanaman kebun yaitu kebun kelapa, karet, cengkeh, kopi dan coklat. Pada
saat ini sebagian besar tanaman cengkeh. kopi dan coklat semakin menuru.
(x) Perkebunan
Proporsi lahan perkebunan lebih banyak terletak di bagian Timur
wilayah perencanaan. Jenis tanaman yang dikelola adalah cengkeh, kopi dan
coklat. Kondisi perkebunan pada saat ini sangat memprihatinkan akibat
adanya pengrusakan dan penjarahan oleh masyarakat. Posisi lahan
perkebunan sebagian besar lertelak pada kemiringan yang besar.
Keadaan dan perkembangan usaha perikanan di pantai Malang Selatan,
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan dan habitat yang
melingkupinya. Kondisi lingkungan yang dimaksud meliputi substrat,
kemiringan dan bentuk pantai. Sedang habitat perairan ditunjukkan oleh
keberadaan terumbu karangnya. Kualitas terumbu karang sangat
menentukan kuantitas sumberdaya ikan yang ada.
Habitat terumbu karang ditemukan hampir di sepanjang pantai di kabupaten
Malang, terutama di daerah-daerah yang mempunyai aktifitas perikanan
tinggi. Kondisi terumbu karang saat ini relatif masih bagus, ditandai masih
banyaknya ikan-ikan karang yang tertangkap seperti Lobster, Kakap, Kerapu
42

dan ikan-ikan hias. Namun demikian tanda-tanda akan kerusakan Terumbu


Karang telah terjadi, yang disebabkan oleh aktifitas penangkapan Lobster
yang tidak ramah lingkungan (menggunakan potas), pengambi!an bunga
karang untuk assesoris dan cemaran minyak dari aktifitas transportasi laut
yang menggunakan mesin. Kondisi terumbu karang untuk masing-masing
kawasan perairan pantai dapat dilihat pada Tabel 6.13.

Tabel 5.13. Kondisi Terumbu karang di Kawasan Pesisir Kab. Malang

No. Pantai Lokasi Kondisi Permasalahan


Baik Sedang Rusak Bom Potas Bunga
karang
01. Licin V - - - - -
02. Sipelot - V - V V -
03. Lenggosono - V - V V -
04. Tamban - - V V V V
05. Sendang Biru - - V V V V
06. Tambaksari V - - - - -
07. Bajulmati V - - - - -
08. Wonogoro V - - - - -
09. Kondang Merak - V - V V V
10. Kondang Iwak V - - - - -

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan


laut yang merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara
keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah
berbagai jenis udangt ikan dan berbagai biota laut. Sehingga secara ekologis dan
ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Habitat mangrove di
daerah pantai selatan relatif sedikit dan tidak ditemukan di setiap pantai. Pantai
yang mempunyai habitat mangrove adalah Sipelot dan Tamban yang didominasi
oleh jenis-jenis pioner yaitu Avicenia dan Sonneratia dan dibelakang rawa
ditemukan nipah. Hal ini dikarenakan substrat berpasir. salinitas tinggi dan
gelombang besar. Kondisi dan keberadaan mangrove di masing-masing kawasan
pantai, dapat dilihat pada Tabel 5.14.
43

Wilayah pertambakan di Kabupaten Malang terdapat di beberapa pantai,


yaitu Pantai Sipelot dan Lenggoksono berada di Kecamatan Tirtoyudo; Pantai
Tambakasri dan Tamban berada di Kecamatan Sumbermanjing Wetan; dan
Pantai Bajulmati dan Wonogoro berada di Kecamatan Gedangan. Luas areal
tambak dan tingkat pengoperasiannya di masing-masing lokasi dapat dilihat pada
Tabel 5.15.

Tabel 5.14. Luas dan Jenis Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir


Kabupaten Malang

No. Pantai Lokasi Luasan (Ha) Jenis


<1 1-3 > 3 Avece Sonne- Nipah
nnia ratia
01. Licin - - - - - -
02. Sipelot V - - V - V
03. Lenggosono - - - - - -
04. Tamban V - - V V V
05. Sendang Biru - - - - - -
06. Tambaksari V - - V V -
07. Bajulmati - - - - - -
08. Wonogoro - - - - - -
09. Kondang Merak - - - - - -
10. Kondang Iwak - - - - - -

Tabel 5.15. Luas Areal Tambak dan Tingkat Pengoperasian

Pantai Luas (Ha.) Jumlah Pola Usaha Tingkat


Unit Operasi
<1 1-3 >3 Avecennia Sonneratia Nipah
Licin - - - - - -
Sipelot V - - V - V
Lenggosono - - - - - -
Tamban V - - V V V
Sendang Biru - - - - - -
Tambaksari V - - V V -
Bajulmati - - - - - -
Wonogoro - - - - - -
Kondang - - - - - -
Merak
44

Kondang Iwak - - - - - -
Perkembangan laut sangat penting bagi negara kepulauan, perkapalan dan
sistem pelabuhan sangat penting untuk pengembangan sumberdaya alam laut dan
pesisir, mendorong pembangunan ekonomi, mengurangi biaya perdagangan dan
meningkatkan ekspor. Pelabuhan merupakan penghubung kunci dalam sistem
perhubungan menyediakan kontak antara transportasi darat dan laut.
Sepanjang pesisir Kabupaten Malang terdapat satu pelabuhan alam yang
terletak di Pantai Sendangbiru. Memiliki kedalaman laut rata-rata 20 m. dengan
lebar selat antara 600 m sampai dengan 1500 m dan panjang selat: 4 km.
Pelabuhan ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan untuk Pantai
Sendangbiru dan sekitarnya. Kapasitas pelabuhan bisa untuk berlabuh kapal
ukuran 5-50 GT sebanyak 20 buah.
Daerah operasi penangkapan ikan di perairan Malang Selatan tergantung
kepada musim atau keberadaan jenis ikan yang mau ditangkap. Pada waktu
musim puncak ikan, secara umum fishing ground berada di dekat pantai. pada
waktu musim sedang fishing ground berada agak jauh dari pantai dan pada waktu
musim paceklik fishing ground jauh dari pantai bahkan sampai ke lepas pantai.
Musim ikan di pantai Malang Selatan adalah musim puncak bulan Mei
-Oktober Musim sedang pada bulan Maret -April dan bulan Nopember
-Desember dan musim paceklik pada bulan januari -Februari. Sedangkan pada
musim penghujan (bulan Oktober sampai Maret) jenis-jenis ikan pelagis jarang
ditemukan dan bersamaan dengan itu terjadi musim barat dengan gelombang dan
angin besar sehingga nelayan tidak turun ke laut. Di lain pihak pada saat itu
muncul jenis-jenis ikan karang seperti Lobster, Kakap merah, Kerapu dan lain-
Iain yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Keberadaan berbagai jenis ikan di
perairan pantai Malang Selatan tidak selalu bersamaan, ada beberapa jenis ikan
yang muncul pada waktu-waktu tertentu, ada beberapa jenis ikan yang muncul
pada waktu-waktu yang lain dan ada jenis ikan yang muncul sepanjang tahun.
Jumlah nelayan di Kabupaten Malang terkonsentrasi di daerah Pantai Sendang
Baru. Sedangkan di pantai-pantai lain hanya sekitas 5 % dari jumlah penduduk di
masing- masing desa yang ada. Berdasarkan jumlah armada yang ada di masing-
masing pantai.

5.6. Profil Ruang Kawasan Pesisir Pantai Kecamatan Muncar dan


Purworejo Kabupaten Banyuwangi

Wilayah Kecamatan Muncar dan Kecamatan Purworejo Kabupaten


Banyuwangi dilihat dari konstelasi regional Banyuwangi mempunyai beberapa
45

keuntungan strategis, selain sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan


wilayah Samudera Indonesia dan Selat Bali serta Propinsi Bali, yang mempunyai
kontribusi dan pergerakan yang tinggi, juga sebagai salah satu pintu gerbang
menuju ke wilayah tersebut, hal ini membawa konsekwensi pada pola
transportasi dan penyediaan sarana transportasi dari dan kearah Kabupaten
Banyuwangi dengan jalan darat dan laut.
Kondisi wilayah Kecamatan Muncar dan Kecamatan Purworejo
Kabupaten Banyuwangi dilihat dari aspek fisik wilayah dapat diindentifikasi atas
beberapa kriteria fisik, kriteria fisik tersebut yang akan menentukan ciri-ciri
wilayah yang ada berbagai kawasan Kabupaten Banyuwangi. Dalam lingkup
yang lebih luas (regional). Kabupaten Banyuwangi terletak diwilayah paling
ujung (timur) wilayah propinsi Jawa Timur terletak pada koordinat 70430 -
60460 Lintang Selatan dan 113051 - 114038 Bujur Timur.

a. Topografi
Wilayah Kabupaten Banyuwangi rata-rata memiliki keadaan topografi
relatif datar. Dataran rendah yang sedikit miring dari arah barat laut ke arah
tenggara. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya beberapa gunung yang seolah-olah
membatasi wilayah Banyuwangi dengan wilayah sekitarnya.
Ketinggian tempat dari permukaan laiut ikut mempengaruhi jenis suatu
tanaman yang dapat tumbuh baik, tanaman dataran rendah misalnya tidak akan
menghasilkan dengan baik apabila ditanam di dataran tinggi.
Kabupaten Banyuwangi terleyak pada ketinggian 0 sampai dengan > 200
meter dpl. Ketinggian tempat tersebut dapat dibedakan atas :
(1) Ketinggian 0 - 100 meter dpl meliputi luas wilayah 131.714 Ha (38.10
%) dari luas wilayah kabupaten, ketinggian ini terdapat diseluruh
wilayah kecamatan di kabupaten Banyuwangi kecuali kecamatan
Singojuruh, Sempu, Songgon, Genteng, Blenmore dan Kalibaru.
(2) Ketinggian 100 - 500 meter dpl meliputi luas wilayah 159.056 (46,01 %)
dari luas wilayah kabupaten, ketinggian ini terdapat di seluruh wilayah
kecamatan di kabupaten Banyuwangi kecamatan Banyuwangi, Muncar
dan Purwoharjo.
(3) Ketinggian 500 - 1.000 meter dpl meliputi luas wilayah 36.191 (10.47 %)
dari luas wilayah kabupaten, ketinggian terdapat di kecamatan
Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Glagah, Songgon, Genteng, Sempu,
Glemore dan Kalibaru.
(4) Ketinggian 1.000 - 1.500 meter dpl meliputi luas wilayah 10.226,5 Ha
(2,96 %) dari luas wilayah kabupaten, ketinggian terdapat di kecamatan
46

Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Glagah, Songgon, Genteng, Sempu,


Glemore dan Kalibaru.
(5) Ketinggian 1.500 - 2.000 meter dpl meliputi luas wilayah 5.075 Ha (1,48
%) dari luas wilayah kabupaten, ketinggian terdapat di kecamatan
Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Glagah, Songgon, Genteng, Sempu,
Glemore.

b. Kemampuan Tanah
Kemampuan tanah adalah kualitas unsur-unsur fisik tanah yang
berpengaruhnterhadap penggunaan tanah diatasnya, unsur-unsur tersebut
meliputi : lereng, kedalaman efektif, tekstur tanah, drainase dan erosi.

(1) Lereng
Lereng/kemiringan tanah adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan
tanah dengan bidang horizontal. Yang dinyatakan dalam persen ( % ) dan
kemiringan tanah sangat berperan dalam setiap langkah untuk menentukan
kemudahan penggunaan tanah. Oleh sebab itu tindakan pada tanah harus selalu
memperhatikan kemiringan tanah.
- Lereng 0 - 2 % merupakan wilayah yang datar dan meliputi 35,45 % dari luas
wilayah Kabupaten Banyuwangi, daerah tersebut baik untuk usaha pertanian
tanaman semusim. Kecamatan yang memiliki lereng 0 - 2 % paling luas
adalah kecamatan Bangorejo dan yang tidak memiliki lereng 0 - 2 % adalah
Kecamatan Glagah dan Songgon.
- Lereng 2 - 15 % merupakan wilayah yang landai sampai yang bergelombang
dan meliputi 26,56 % dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi, daerah
tersebut baik untuk usaha pertanian dengan tetap memperhatikan usaha
pengawetan tanah dan air. Wilayah kecamatan yang mempunyai lereng 2 - 15
% paling luas adalah Kecamatan Glenmore yaitu kurang lebih 17.034 Ha atau
kurang lebih 18,55 % dari luas wilayah yang berlereng 2 - 15 %, sedangkan
wilayah yang tidak memiliki lereng 2 - 15 % adalah Kecamatan Muncar dan
Cluring.
- Lereng 15 - 40 % merupakan wilayah yang bergelombang dan meliputi 15,32
% dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi, daerah tersebut sebaiknya untuk
usaha pertanian dengan jenis tanaman keras atau tahunan, oleh karena
disebabkan daerah tersebut sudah terkena erosi, sehingga tercapai usaha
pengawetan tanah dan air, poada daerah tersebut umumnya penggunaan
tanahnya adalah berupa hutan, perkebunan, tanah rusak, tegal, sawah dan
permukiman. Wilayah kecamatan yang memiliki kelerengan 15 - 40 % paling
luas adalah Kecamatan Tegaldlimo dan wilayah yang tidak memiliki lereng
47

15 - 40 % adalah Kecamatan Rogojampi, Srono, Muncar, Cluring, bangorejo


dan Gambiran.
- Lereng diatas 40 % merupakan wilayah yang bergelombang sampai berbukit,
meliputi 22,67 % dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi, daerah tersebut
merupakan areal yang harus dihutankan sehingga dapat berfungsi sebagai
perlindungan hidrologi serta menjaga keseimbangan ekosistem dan
lingkungan hidup, pada umumnya daerah ini penggunaan tanahnya adalah
berupa hutan, perkebunan, tanah rusak dan tegal. Wilayah kecamatan yang
memiliki kelerengan diatas 40 % paling luas adalah Kecamatan Pesanggaran,
sedangkan wilayah kecamatan yang tidak memiliki kelerengan diatas 40 %
adalah kecamatan Banyuwangi, Kabat, Rogojampi, Muncar, Cluring,
Gambiran dan Genteng.
- Ketinggian 2.000 - 2.500 meter dpl meliputi luas wilayah 2.235 Ha (0,65 %)
dari luas wilayah kabupaten, ketinggian ini terdapat di kecamatan
Wongsorejo, Kalipuro, Giri, Glagah, Songgon, Genteng, Sempu, Glenmore
dan Kalibaru.
- Ketinggian lebih dari 2.500 meter dpl meliputi luas wilayah 1.153 Ha (0,33
%) dari luas wilayah kabupaten, ketinggian ini terdapat di kecamatan
Wongsorejo, Kalipuro, Glagah, Songgon, Glenmore dan Kalibaru.

c. Geologi
Kondisi geologi di wilayah Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa
hasil gunung api kwarter muda memiliki angka yang paling tinggi yaitu seluas
131,547 Ha atau 38,05 % dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi. Lapisan
batuan ini paling tinggi terdapat di kecamatan Glenmore yaitu seluas 26.260 Ha
atau 19,96 % dari luas total hasil gunung api kwarter muda. Sedangkan yang
paling rendah adalah lapisan andesit yaitu seluas 20.520 Ha atau 5,94 % dari luas
wilayah dan tersebar di Kecamatan Pesanggaran, Glenmore dan Kalibaru.

Tabel : 5.17. Luas Wilayah Berdasarkan Struktur Geologi Di


Kabupaten Banyuwangi

No. Jenis Tanah Luas


Ha %
1 Alluvium 95.762 27,70
2 Hasil Gunung Api Kwarter Muda 131.547 38,05
3 Hasil Gunung Api Kwarter Muda 20.520 5,95
4 Andesit 8.654 2,50
5 Miosen Falses 50.414 14,58
6 Miosen Falses Batu Gamping 38.772 11,23
48

Sumber : Penjelasan Data Pokok Kabupaten Banyuwangi

d. Jenis Tanah
Jenis yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari :
- Regosol
Bahan induknya berupa abu vulkan dan pasir pantai, biasanya terdapat
pada topografi bergelombang, berbukit hingga bergunung, pada umumnya
ditumbuhi tanaman berupa hutan belukar dan regosol mempunyai kandungan
organik relatif rendah sehingga untuk meningkatkan produktivitasnya harus
dengan pengorbanan yang cukup besar.
- Lithosol
Bahan induknya berupa batuan beku dan batuan endapan pejal, terdapat
pada topografi yang bervariasi dan ketinggian yang berbeda-beda, solum tanah
dangkal, tekstur tanah kasar dan kandungan organik rendah dan kepekaan erosi
kasar.
- Podsolik
Podsolik berkembang pada musim basah dan curah hujan lebih dari 2.500
mm/tahun, podsolik berasal dari bahan tufvulkan asam dan pasir kwarsa pada
topografi datar dan ketinggian di bawah 2.000 meter dpl, pada umumnya
bertekstur agak kasar, struktur lepas dilapisan atas dan pejal lapisan bawah
terdapat di daerah bergelombang sampai berbukit.
Luas wilayah berdasarkan jenis tanah di Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat
pada tabel 5.17.

- Kedalaman Efektif Tanah


Kedalaman efektif tanah adalah tebal lapisan tanah dari permukaan
sampai bahan induk atau sampai suatu lapisan dimana perakaran tanaman tidak
dapat atau tidak mungkin menembusnya, oleh sebab itu kedalaman efektif tanah
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan perakaran tanaman.
☻ Kedalaman lebih dari 90 cm sebagian besar Kabupaten Banyuwangi
memiliki kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm, yaitu 277,529 Ha atau
80,29 % dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi, sehingga daerah tersebut
tidak menjadi hambatan bagi tumbuhan perakaran tanaman. Kecamatan
yang memiliki kedalaman efektif tanah diatas 90 cm paling luas adalah
Kecamatan Pesanggaran.
☻ Kedalaman antara 60 - 90 cm seluas 23.348 Ha atau 6,75 % dari luas
wilayah Kabupaten Banyuwangi, pada daerah ini pada umumnya tanahnya
cukup baik untuk tanaman semusim dan tanaman keras atau tanaman
49

tahunan. Wilayah kecamatan yang memiliki kedalaman efektif tanah diatas


60 - 90 cm paling luas adalah Kecamatan Wongsorejo.
☻ Kedalaman antara 30 - 60 cm seluas 44,376 Ha atau 12,84 % dari luas
wilayah Kabupaten Banyuwangi, pada daerah ini pada umumnya tanahnya
cukup baik untuk tanaman semusim berakar dangkal, tetapi kurang baik
untuk tanaman berakar dalam. Wilayah kecamatan yang memiliki
kedalaman efektif tanah diatas 30 - 60 cm paling luas adalah Kecamatan
Tegaldlimo.
☻ Kedalaman kurang dari 30 cm seluas 416 Ha atau 0,12 % dari luas wilayah
Kabupaten Banyuwangi, pada daerah ini tanahnya masih memungkinkan
ditanami tanaman semusim dan tanaman dan berakar dangkal. Wilayah
kecamatan yang memiliki kedalaman efektif tanah diatas 30 cm paling luas
adalah Kecamatan Pesanggaran.

e. Tekstur Tanah
Tekstur tanah adalah keadaan kasar dan seharusnya bahan padat organik
tanaman yang ditentukan berdasarkan perbandingan fraksi-fraksi pasir, lempung,
debu dan air, tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap pengolahan tanah dan
pertumbuhan tanaman, terutama dalam mentaur kendungan udara dalam rongga
tanah dan persediaan serta kecepatan peresapan air di daerah tersebut,
teksturtanah ini berperan pula terhadap mudah atau tidaknya lapisan tanah
tersebut tererosi. Dari kelas tekstur tanah dapat dibedakan dalam beberapa kelas
yaitu :
☻ Tanah bertekstur halus seluas 309.050 Ha atau 89,41 % dari luas wilayah
Kabupaten Banyuwangi, sedangkan kecamatan yang sebagian besar
bertekstur halus adalah Kecamatan Pesanggaran sedangkan kecamatan yang
paling sedikit bertekstur halus adalah Kecamatan Purwoharjo.
☻ Tanah bertekstur sedang seluas 31,667 Ha atau 9,16 % dari luas wilayah
Kabupaten Banyuwangi, sedangkan kecamatan yang sebagian besar
bertekstur sedang adalah Kecamatan Bangorejo sedangkan kecamatan yang
paling sedikit bertekstur halus adalah Kecamatan Tegaldlimo.
☻ Tanah bertekstur kasar seluas 4.952 Ha atau 1,43 % dari luas wilayah
Kabupaten Banyuwangi, sedangkan kecamatan yang sebagian besar
bertekstur kasar adalah Kecamatan Wongsorejo sedangkan kecamatan yang
paling sedikit bertekstur kasar adalah Kecamatan Purwoharjo, Tegaldlimo,
Pesanggaran, Glenmore dan sebagian Wongsorejo.

f. Drainase
50

Drainase tanah menunjukkan lamanya serta seringnya suatu tanah jenuh


terhadap kandungan air atau menunjukkan kecepatan meresapnya air dari
permukaan tanah dan pada umumnya daerah ini menunjukkan drainase yang
cukup baik sehingga unsur ini dapat diabaikan dalam menentukan kelas
kemampuan tanahnya di Kabupaten Banyuwangi, kecuali ada beberapa
kecamatan yang selalui tergenang yaitu seluas kurang lebih 1.511 Ha atau 0,43 %
dari luas wilayah Kabupaten Banyuwangi, sedangkan kecamatan yang memiliki
daerah tergenang adalah Kecamatan Banyuwangi, Muncar, Purwoharjo dan
Tegaldlimo.

g. Erosi
Erosi adalah peristiwa pengikisan atau berpindahnya tanah lapisan atas
yang disebabkan oleh adanya aliran air permukaan, di Kabupaten Banyuwangi
wilayah yang terkena erosi seluas 1.984 Ha atau 0,28 % dari luas wilayah
kabupaten dan terdapat di kecamatan Genteng, Giri, Kalipura, Glagah, Kalibaru,
Pesanggaran, Songgon dan Wongsorejo, sedangkan wilayah lain di Kabupaten
Banyuwangi yang dapat digolongkan tidak ada erosi seluas 343.685 Ha atau
99,72 % dari luas wilayah kabupaten.

g. Iklim
Kabupaten Banyuwangi terletak dibawah equator yang dikelilingi oleh
laut Jawa, Selat Bali dan Samudera Indonesia dengan ilim tropis yang terbagi
menjadi 2 musim yaitu : (a) Musim penghujan pada bulan Oktober sampai April;
(b) Musim kemarau pada bulan April sampai Oktober
Diantara kedua musim ini terdapat musim peralihan pancaroba yaitu sekitar
bulan April/Mei dan Oktober/Nopember, rata-rata curah hujan sebesar 7,64
mm/bulan dengan bulan kering yaitu bulan April, September dan Oktober.

h. Hidrologi

Di Kabupaten Banyuwangi terdapat beberapa sungi besar dan sungai kecil,


adapun nama-nama sungai dan panjang sungai dapat diperinci sebagai berikut :

- Kali Selogiri panjangnya kurang lebih 6,173 Km, melewati Kecamatan Kalipuro
- Kali Ketapang panjangnya kurang lebih 10,260 Km, melewati Kecamatan Kalipuro
- Kali Sukowidi panjangnya kurang lebih 15,826 Km, melewati Kecamatan Kalipuro
- Kali Bendo panjangnya kurang lebih 15,826 Km, melewati Kecamatan Glagah
- Kali Sobo panjangnya kurang lebih 13,818 Km, melewati Kecamatan Glagah dan
Banyuwangi.
- Kali Pakis panjangnya kurang lebih 7,043 Km, melewati Kecamatan Banyuwangi.
51

- Kali Tambong panjangnya kurang lebih 24,347 Km, melewati Kecamatan Glagah dan
Kabat.
- Kali Binau panjangnya kurang lebih 21,279 Km, melewati Kecamatan Rogojampi.
- Kali Bomo panjangnya kurang lebih 7,417 Km, melewati Kecamatan Rogojampi.
- Kali Bajulmati panjangnya kurang lebih 20 Km, melewati Kecamatan Wongsorejo.
- Kali Setail panjangnya kurang lebih 73,35 Km, melewati Kecamatan Gambiran,
Purwoharjo dan Muncar.
- Kali Porolinggo panjangnya kurang lebih 30,7 Km, melewati Kecamatan Genteng.
- Kali Kalibarumanis panjangnya kurang lebih 18 Km, melewati Kecamatan Kalibaru dan
Glenmore.
- Kali Wagud panjangnya kurang lebih 44,6 Km, melewati Kecamatan Genteng, Cluring
dan Muncar.
- Kali Karangtambak panjangnya kurang lebih 25 Km, melewati Kecamatan
Pesanggaran.
- Kali bango panjangnya kurang lebih 18 Km, melewati Kecamatan Bangorejo dan
Pesanggaran.
- Kali Baru panjangnya kurang lebih 80,7 Km, melewati Kecamatan Kalibaru dan
Pesanggaran.

Dengan banyaknya sungai tersebut menyatakan bahwa Kabupaten


Banyuwangi mempunyai banyak persediaan air, namun demikian tidak semua
wilayah ini tersedia air, karena hal ini dipengaruhi oleh banyaknya hari hujan dan
besarnya curah hujan. Selain itu keadaan curah hujan sangat berpengaruh
terhadap kegiatan usaha khususnya bidang pertanian.
Curah hujan di Kabupaten Banyuwangi periode tahun 1994 - 1997,
tertinggi pada tahun 1995 yaitu 1.531 mm, dengan rata-rata curah hujan 8,76
mm. Daerah yang memiliki curah hujan rendah terjadi di wilayah bagian utara
dibandingkan dengan wilayah bagian selatan. Berdasarkan perbandingan antara
bulan kering dengan bulan basah, maka tipe iklim daerah ini adalah beriklim
sedang yaitu tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering.

5.6.1. Wilayah Peka Bencana Alam Dan Wilayah Kritis


Wilayah peka bencana sebagian besar karena adanya wilayah yang
mempunyai ketinggian diatas 500 - 1.000 meter dpl. Dengan ketinggian tersebut
terdapat daerah-daerah yang rawan terhadap longsoran, selain itu terdapat
wilayah yang mempunyai daerah dengan ketinggian 0 - 25 meter dpl, dimana
kawasan tersebut rawan terhadap resiko banjir, meskipun sampai dengan saat ini
belum terjadi banjir atau genangan yang lama.
Kondisi penggunaan tanah yang ada di suatu daerah, dapat digunakan
sebagai dasar dalam menentukan kesejahteraan masyarakat disuatu wilayah
tersebut, karena pola penggunaan tanah pada hakekatnya merupakan gabungan
antara aktivitas manusia sesuai dengan tingkat teknologi jenis usaha, kondisi fisik
serta jumlah manusia yang ada di wilayah tersebut.
52

5.6.2. Perkembangan Fungsi Kawasan

A. Pola Perkembangan Kawasan Permukiman

Pola perkembangan kawasan permukiman pada mulanya berkembang


karena adanya tarikan kegiatan perdagangan dan jasa di sepanjang jaringan jalan
arteri primer serta keberadaan kawasan pelabuhan dan industri serta kegiatan
disektor perikanan, sejalan dengan semakin terbatasnya lahan disekitar jaringan
jalan arteri primer tersebut maka masyarakat cenderung untuk menempati lahan-
lahan disekitar jaringan jalan utama kota yang mempunyai akses yang baik ke
pusat kegiatan perdagangan dan kawasan aktifitas lainnya.
Sejalan dengan perkembangan kota, lahan di kawasan perkotaan semakin
besar kegunaannya, hal ini sangat berpengaruh terhadap nilai tanah yang ada di
kawasan pusat kota. Saat ini pola perkembangan permukiman cenderung untuk
menempati lahan dikawasan pinggiran kota yang tidak terlalu jauh dengan daerah
pusat kota, yang mana masih banyak lahan pertanian yang telah berubah
penggunaan pada lahan permukiman.
Secara keseluruhan pola perkembangan perumahan di Kabupaten
Banyuwangi masih mengikuti pola perkembangan jaringan jalan khususnya
jaringan jalan yang menghubungkan antar Kabupaten serta perkembangannya
menyebar ke wilayah luar batas wilayah kota.

B. Pola Perkembangan Kawasan Pesisir Pantai


Pola perkembangan kawasan pesisir pantai banyak dipengaruhi oleh
adanya peningkatan potensi sub sektor perikanan di Kabupaten Banyuwangi
yang diarahkan I budidaya perikanan air tawar, tambak, perikanan umum, kolam,
waduk dan penangkapan di laut.
Searah dengan tujuan pembangunan perikanan dalam rangka
meningkatkan produuksi dan produktifitas melalui sapta usaha perikanan untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang lebih merata dan perbaikan gizi masyarakat,
maka dengan diikuti udahan segi perkreditan, sarana produksi dan permodalan
harus disukseskan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup
danekosistem pantai.
Perkembangan kawasarn pesisir pantai di wilayah Kabupaten
Banyuwangi terletak awasan sepanjang pantai selat Bali yang merupakan
kawasan Tambak yang terletak di wilayah kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi,
53

Rogojampi, Srono dan Muncar, sedangkan di wilayah kecamatan Muncar juga


terdapat industri pengalengan
Jenis produksi perikanan terbagi menjadi 3 bagian yaitu sektor perikanan
umum, budidaya ikan kolam dan budidaya tambak, berdasarkan perkembangan
untuk sektor perairan umum produksi perikanannya mengalami penurunan dari
tahun 4 sebesar 145,436 ton menjadi 120,106 ton pada tahun 1998 dan untuk
sektor idaya ikan kolam mengalami kenaikan dari tahun 1994 sebesar 96,407 ton
jadi 118,787 ton pada tahun 1998 sedangkan untuk sektor budidaya tambak juga
ngalami penurunan dari tahun 1994 sebesar 2.835,195 ton menjadi 2.396,395 ton.
Produksi, perikanan sektor perairan umum yang terbesar berada di
wilayah kecamatan Kalibaru dengan produksi sebesar 41.904 ton dan untuk
sektor budidaya ikan kolam yang terbesar berada di wilayah kecamatan Muncar
dengan produksi sebesar 79,165 ton sedangkan untuk sektor perikanan budidaya
tambak, yang terbesar berada di wilayah kecamatan Muncar dengan produksi
sebesar 1.116.735 ton

C. Pola Perkembangan Kawasan Hutan I Lindung dan Kritis


Pembangunan sektor kehutanan masih merupakan sektor yang sangat
penting dalam menunjang perekonomian Jawa Timur khususnya Kabupaten
Banyuwangi, ditinjau dari sumberdaya alamnya masih banyak digunakan
berbagaj kegiatan pertanian maupun perkebunan, oleh karena itu untuk menjaga
hasil produksi aagar tjdak merosot, maka perlu dipertahankan keutuhan kondisi
tanah serta menjaga dari meluasnya lahan kritis yang ada saat ini.
Luas lahan kritis di kabupaten Banyuwangi adalah seluas 17.200 Ha
yang tersebar di beberapa kecamatan antara lain kecamatan Bangorejo (150 Ha),
Muncar (19 Ha), Gambiran (9 Ha), G1enmore (225 Ha), Singojuruh (16 Ha),
Rogojampi (1.014 Ha), Kabat (620 Ha), Songgon (1.014 Ha), G/agah (636 Ha),
Bannyuwangi (63 Ha), Giri dan Kalipuro (2.250 Ha), Wongsorejo (12.1881Ha).
walaupun kegiatan RLKT/penghijauan telah dilaksanakan dari tahun ke tahun
upaya pencegahan dan penanggulangan terus ditingkatkan dengan berbagai
kegiatan rehabilitasi khususnya diluar kawasan hutan.
Kawasan hutan yang ada diwilayah Kabupaten Banyuwangi seluas
132.799 Ha yang terdiri dari hutan produksi (72.505 Ha), hutan lindung
(38.469,8 Ha) suaka alam (2.569 Ha), taman nasional (68.420 Ha), reboisasi jati
(82,6 Ha), reboisasi non jati (361,5 Ha), tanaman tumpang sari jati (82,6 Ha),
tanaman tumpang sari non jati (124,8 ha) dan tanaman banjar harian jati (186,7
Ha).
54

5.7. Profil Wilayah Pesisir Kabupaten Pasuruan

Gambaran umum Kabupaten Daerah Pasuruan dimaksudkan untuk


mendapatkan deskripsi tentang wilayah regional dari kota yang hendak
direncanakan. Untuk itu informasi dan data-data regional yang dikumpulkan dan
disusun akan menyangkut seluruh aspek yangterkait, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan wilayah Kota bangil yang direncanakan.
Data-data regional yang disusun ini diperoleh melalui sumber informasi
sekuner, yaitu dari buku-buku statistik, laporan-laporan ataupun kebijakan-
kebijakan yang tertuang dalam buku Repelita daerah. Data tersebut dapat berupa
data kualitatif maupun data kuantitatif.

5.7.1 Kondisi fisik dasar

a. Letak geografis
Kabupaten Pasuruan terletak pada posisi 112 030’ – 113030’ Bujur
Timur dan 7030’ – 8030’ Lintang Selatan. Letak wilayah daerah Kabupaten
Pasuruan, dilihat dari segi ekonomi sangat strategis, karena terletak pada simpul
pergerakan ekonomi yang intensif, yaitu :
- Surabaya – Probolinggo/Banyuwangi/Bali
- Surabaya – Malang
- Malang – Probolinggo/Banyuwangi/Bali

Luas wilayah seluruhnya dalah 1.474 Km2 atau 3 % dari luas Wilayah
Propinsi Jawa Timur.
Secara administrasi wilayah kabupaten Pasuruan berada dalam wilayah
Pembantu Gubenur di Malang, dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura.
Sebelah Timur : Kabupaten Probolinggo.
Sebelah Selatan : Kabupaten Malang ; dan
Sebalah Barat : kabupaten Mojokerto.

b. Topografi
Kabupaten Pasuruan terletak berada pada ketinggian 0 meter - + 1.000
meter diatas permukaan laut. Keadaan ke-tinggian suatu daerah merupakan salah
satu faktor yang menentukan jenis kegiatan penduduk.
Dataran Kabupaten Pasuruan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
 Bagian selatan terdiri dari pegunungan dan berbukit dengan ketinggian
permukaan tanah antara 186 meter sampai 1.161 meter di atas
55

permukaan laut, membentang dari wilayah Kecamatan Tosari dan Puspo


ke arah barat yakni Kecamatan Tutur, Purwodadi dan Prigen.
 Bagian tengah terdiri dari dataran rendah yang berbukit dengan
ketinggian permukaan tanah antara 6 meter sampai 91 meter. Daerah ini
umumnya subur (kecuali beberapa daerah yang tanahnya relatif tandus),
membentang dari wilayah Kecamatan Grati terus ke barat Gempol.
Tanah yang nampak minus adalah di Kecamatan Rembang.
 Bagian Utara terdiri dari dataran rendah pantai yang tanahnya kurang
subur, dengan ketinggian oermukaan tanah antara 2 meter sampai 8
meter di atas permukaan laut. Daerah ini membentang dari wilayah
Kecamatan Nguling di sebelah timur ke barat yakni Lekok, Rejoso,
Kraton, dan Bangil.

c. Geologi
Dari segi fisiografi, menunjukkan bahwa keadaan dataran Kabupaten
Pasuruan miring ke utara. Jika dilihat dari struktur geologi, sebagian daratan
merupakan hasil gunung berapi. Jenis tanah yang dibentuk tergolong jenis
batuan gunung api kwater muda yang realtif subur dan terdapat banyaj bahan
tambang.

d. Jenis dan kemampuan Tanah


Kemampuan tanah adalah identifikasi unsur-unsur tanah yang sngat
berpengaruh, terutama untuk menentukan jenis-jenis penggunaan tanah yang ada
diatasnya. Unsur-unsur fisik tanah tersebut meliputi lereng, kedalaman efektif
tanah, tekstur tanah, drainase dan erosi.

e. Lereng
Lereng yang ada di Kabupaten Pasuruan sebagian besar adalah rendah,
datar dan sedikit bergelombang yaitu 0 % - 2% atau (seluas 45.580 Ha) dan 3 % -
15% (seluas 52.970 Ha) sedang sisanya adalah berupa bukit dan pegunungan.

f. Kedalaman efektif Tanah


Kedalaman efektif tanah yang paling banyak adalah 60 cm – 90 cm
seluas 63.799, 38 Ha atau 43, 28 % dari seluruh wilayah. Hal ini dapat
menentukan jenis tanaman yang bisa dibudidayakan di atas tersebut.

g. Tekstur Tanah
Tekstur tanah halus menduduki prosentase yang paling tinggi yaitu 54,33
% (seluas 80.080,85 Ha) terdapat di semua kecamatan kecuali Kecamatan Puspo
56

dan Kecamatan Prigen. Sedangkan yang bertekstur sedang 44,73 % (65.933,65


Ha) dan sisanya 0,94 % (1.387 Ha) bertekstur kasar.

h. Drainase Tanah
Diwilayah Kabupaten Pasuruan sangat sedikit daerah yang tergenang
air, hanya terdapat di 4 Kecamatan saja yaitu (Bangil,Kraton,Grati,Rejoso)
sedangkan daerah lainnya yang kdang-kadang tergenang adalah Kecamatan
Bangil.

i. Erosi
Sebagimana kecamatan yang terkena erosi adalah Kecamatan Purwodadi,
Lumbang, Pasrepan, Prigen dan Lekok (seluas 18.801 Ha). Untuk kecamatan
yang lainnya tidak erosi, lapisan tanah relatif masih utuh, sehingga baik untuk
lahan pertanian.

j. Struktur jenis Tanah


Sebagian besar jenis tanah yan terdapat di Kabupaten Pasuruan adalah
litosol, regosol, alluvial. Andosol, mediteran dan grumosol.

Tabel 5.26 Struktur Jenis Tanah di Kabupaten Pasuruan

No. Jenis Tanah Luas Letak/Kawasan


Ha %
1 Alluvial 23.192,5 15,73
Pohjentrek, Kraton, Rejoso, Bangil, Beji dan
Gempol
2 Andosol 25.414,50 17,04 Tosari, Puspo, Prigen, Purwodadi,
Lumbang, dan Tutur
3 Regosol 35.711 24,43 Pasrepan, Kejayan, wonorejo, Sukorejo,
Prigen, Pandaan, Gempol dan deji
4 Mediteran 21.017 14,26 Purwodadi, Purwosari, Gempol, Grati,
Nguling dan Lekok
5 Grumosol 5.882 3,99 Kraton dan Rembang
6 Litosol 36.183,5 24,55 Purwodadi, Tutur, Puspo, Lumbang,
Pasrepan, Kejayan, Purwosari, Prigen dan
Winongan
Sumber : Repelita V Kabupaten Pasuruan

k. Klimatologi dan Hidrologi


Kondisi iklim di Kabupaten Pasuruan, terutama curah hujan sangat
besar peranannya terhdap berbagai kegiatan usaha, khususnya dibidang
57

pertanian yaitu mengenai jenis dan pola tanaman, yang berarti akan
mempenagruhi pola intensitas penggunaan tanah dan tersedianya air pengairan.
Kabupaten Pasuruan terletak di daerah equator, yang berilkim tropis
dan terbagi menjadi 2 musim yaitu musim hujan antara bulan Oktober – April dan
musim kemarau antara bulan April – Oktober. Diantara 2 musim tersebut
terdapat musim peralihan sekitar bulan-bulan April/Mei dan Oktober/Nopember.
Curah hujan di Kabupaten Pasuruan, rata-rata adalah 181 mm tiap
bulan dalam satu tahun. Curah hujan tertinggi selama bulan April (874mm) dan
terendah terjadi pada bulan September (1 mm). Kondisi ini akan berpengaruh
pada persediaan air untuk irigasi pertanian maupun untuk kebutuhan minum.
Di wilayah ini mengalir enam buah sungai besar yang bermuara di selat
Madura, yaitu :
 Sungai Lawean : bermuara di desa Penunggul Kecamatan
Nguling
 Sungai Rejoso : bermuara di wilayah Kotamadya Pasuruan
 Sungai gombong : bermuara di wilayah Kotamadya Pasuruan
 Sungai Welang : bermuara di desa Pulokerto, Kecamatan
Kraton
 Sungai Masangan : bermuara di desa Raci, Kecamatan Bangil
 Sungai kedunglarangan : bermuara di desa Kalianyar, Kecamatan Bangil.

Diantara sungai-sungai tersebut yang terpanjang adalah Sungai


Kedunglarangan dengan panjang + 15 Km, dengan sumber airnya dari Gunung
penanggungan. Semua sungai yang ada, umumnya mengalir ke arah utara dan
bermuara di Selat Madura, karena keadaan tanah di Kabupaten Pasuruan
sebagian besar miring ke utara. Kondisi seperti ini merupakan potensi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan bagi usaha pertanian tanaman pangan dan
perikanan.
Selain itu terdapat 310 sumber air yang berupa telaga/danau, antara lain
Ranu grati (seluas + 190,1 ha, volume air sebesar 2.516.000 meter 3 dengan
debit air + 250 liter/detik), banyubiru (debit air 337 liter/detik), umbulan (debit
+5.325 liter/detik, 115 liter/detik diantaranya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan air minum Kotamadya Surabaya dan Pasuruan 40 liter/detik) serta
Plitahan (debit air + 250 liter/detik).

l. Pola Penggunaan Tanah


Pola penggunaan tanah di Kabupaten Pasuruan mayoritas berupa lahan
pertanian (32,08 %) yang umumnya dijumpai pada wilayah dengan kemiringan 0
– 15 %, pada ketinggian 0 – 500 meter diatas permukaan laut. Hal ini berarti
sebagian besar wilayah digunakan untuk penyediaan pangan yang merupakan
sektor utama dalam perekonomian masyarakat.
58

Pola penggunaan dominan kedua berupa kawasan hutan (19,93%),


sebagai kawasan penyangga dari daerah yang ada di bawahnya terhdap
bencana banjir maupum kekurangan air karena fungsi hidrologisnya.
Klasifikasi ketiga dari pola penggunaan tanah adalah pemukiman
meliputi 8,83 % dari luas wilayah. Setiap tahunnya luas perkampungan
cenderung berkembang sejalan dengan berkembangnya jumlah penduduk,
pendapatan perkapita penduduk, fasilitas yang tersedia dan kemajuan
pembangunan itu sendiri. Semua itu berdampak pada peningkatan kebutuhan
tanah atau tempat, yang berpengaruh terhdapap berkurangnya luas lahan
pertanian.

Tabel 5.27 Luas Penggunaan Tanah di Kabupaten Pasuruan

No. Jenis Penggunaan Tanah Luas


Ha %
1 Perkampungan 13.012,4 8,83
2 Sawah 47.292,1 32,08
3 Tegalan 43.806,4 29,72
4 Perkebunan (Swasta/Rakyat) 3.634,2 2,47
5 Tambak 3.501,3 2,37
6 Danau 190,1 0,13
7 Tanah Rusak/Kritis 1.849,7 1,25
8 Hutan 29.375,6 19,93
9 Lain-lain (jalan,sungai,kuburan) 2.103,7 1,66
Jumlah 147.401,7 100,00
Sumber : Kabupaten Pasuruan Dalam Angka Data Pokok untuk
Pembangunan Daerah, Pemerintah Pasuruan

5.8. Gambaran Umum Wilayah Kota Pasuruan

1. Kedudukan Wialayah Perencanaan

Wilayah kota untuk penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota adalah
wilayah adminitratif Kota Pasuruan. Kota Pasuruan memiliki wilayah selauas
3678 Ha.
Wilayah kota Pasuruan empunyai letak geografis pada koodinat 112- 45’ –
112- 55’ bujur timur dan 7 - 35’ – 7 - 45’ lintang selatan dengan batas-batas
wilayahnya adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Selat Madura
- Sebelah Timur : Kecamatan Rejoso Kabuoaten Pasuruan
59

- Sebelah Selatan : Kec. Gondang Wetan Kab. Pasuruan dan Kec.


Pohjentrek Kab. Pasuruan
- Sebelah Barat : Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.

2. Karakteristik Fisik Dasar


a. Jenis tanah
Tanah di Kota Pasuruan terdiri dari 2 jenis tanah yaitu :
- Jenis tanah Hidromorfik Kelabu merupakan tanah yang terbentuk dari
bahan batuan induk campuran endapan baru yang berasal dari sungai dan
laut dengan ciri-ciri; bertekstur liat, drainase sangat lambat, adanya
lapisan reduksi di seluruh penampang, tanah mengembang atau melekat
dalam keadaan basah, mengerut dalam keadaan kering, serta bersifat
keras. Tingkat keasaman tanah netral samapi agak basin dengan kadar
unsur hara P, K, Ca dan Mg yang cukup tinggi. Karena tingginya kadar
Na dan Ca, maka tanah ini relatif tidka sesuai untuk lahan pertanian
tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan kehutanan, kecuali
tanaman yang toleran terhadap kadar Na dan Ca tinggi misalnya Bakau,
namum demikian masih layak untuk budidaya tambak dan penggaraman.
Sebagian besar tersebar di sepanjang wilayah pantai kota Pasuruan.
- Jenis tanah Alluvial mempunyai konsistensi berwarna kelabu tua,
bertekstur liat berdebu sampai berliat karat, mengembang dan melekat
dalam keadaan basah, mengerut dan keras dalam keadaan kering, kedap
udara, tata erasi kurang lancar, drainase terhambat. Keasaman tanah
netral, pH 6,6 – 7,5, kadar N rendah, P 2O5 sedang, dan K2O tinggi sekali.
Lahan ini dapat dibudidayakan dengan syarat sistem pembuangan air
relatif lancar.
b. Ketinggian
Wilayah Kota Pasuruan secara keseluruhan mempuna keadaan topografi
yang relatif datar, dilihat dari ketinggiannya rata-rata mempunyai angkat
ketinggian 2 meter diatas permukaan air laut.
Semakin ke arah Selatan mempunyai ketinggian yang paling besar yaitu pada
wilayah kelurahan Kebonagung yang mempunyai angkat ketinggian tanah
sebesar 4 meter di atas permukaan laut.
c. Kelerengan
Selaras dengan apa yang dijelaskan di atas bahwa wilayah kota Pasuruan
mempunyai lahan yang relatif datar dan cenderung landai, demikian juga
pada tingkat kelerengannya yang mempunyai rata-rata kemiringan di bawah
3 0.
d. Geologi wilayah
60

Keadaan geologi tanah di wilayah Kota Pasuruan merupakan dataran


Alluvium yang terbentuk dari campuran bahan endapan yang berasal dari
daerah Stuf Vulkanis Intermedier Pegunungan Tengger di Kawasan sebelah
selatan, bukit lipatan dan endapan batuan berkapur raci di bagian barat serta
wilayah grati di bagian timur.
e. Hidrologi
Keadaan hidrologi di wilayah Kota Pasuruan yang terletak di Selat Madura,
pada bagian barat terdapat sungai Welang, sungai Gembong di bagian tentah
kota, sedangkan pada bagian timur mengalir sungai Pelung. Ketiga sungai
yang melintasi wilayah kota Pasuruan ini bermuara di selat Madura.
Kondisi daerah alirah di ketiga sungai tersebut mempunyai kondisi yang
sempit sehingga sering terjadi banjir yang besar, hal ini karena masih perlu
ditingkatkan nya volume saluran-saluran penatusan dalam kota serta saluran
penatusan di kanan dan kiri jaringan jalan yang ada.
Sungai lain yang melintasi wilayah kota Pasuruan yaitu kali Sodo, kali
Kepel, dan kali Calung di wilayah kecamatan Bugul Kidul.
f. Klimatologi
Keadaan iklim di kota Pasuruan termasuk tipe iklim D2 dengan curah hujan
rata-rata pertahun 1.337 mm dengan musim kemarau (100 mm/bulan) selama
tujuh bulan yang jatuh pada bulan Mei s/d nopember dan meusim penghujan
(200 mm/bulan) selama tiga buan pada bulan Januari sampai bulan Maret
dengan iklim agak kering meskipun mash dalam skala iklim tropis dengan
suhu rata-rata maksimum 31,5o C dan minimum 23o C.
g. Kedalaman efektif tanah
Kondisi kedalaman efektif tanah di wilayah kota Pasuruan berada di bawah
angka 90 cm sehingga relatif menggangu terhadap perakaran tanaman dan
kegiatan pembangunan gedung.
Tekstur tanah di wilayah kota Pasuruan merupakan tekstur tanah sedang
samapi kasar meliputi hingga 75 % dari selutuh wilayah kota Pasuruan,
sisanya merupakan tekstur tanah antara sedang samapi kasar yang sifatnya
kurang mampu mengikat air.

3. Pola Penggunaan Lahan


Wilayah Kota Pasuruan karena posisinya dilewati oleh tiga koridor
regional yang menuju pusat SWP seperti Surabaya, Malang dan Pasuruan, maka
kota Pasuruan dalam petumbuhan wilayahnya cenderung untuk mengikuti oila
radial konsentris dengan orientasi kegiatan pada sepanjang jaringan koridor jalan
tersebut.
61

Pada bagian lain berkembang pola konsentris terutama pada kawasan


pusat kota, hal ini didorong oleh ketersefiannya sarana dan prasarana yang
terkonsentrasi pada beberapa bagian pusat kota menjadi kawasan dengan tingkat
pertumbuhan kegiatan tinggi. Perkembangan pola konsentris ini juga karena
adanya pemusatan perkampungan nelayan yang tumbuh dan berkembang pada
bagian Utara wilayah kota Pasuruan.

5.9. Profil Wilayah Pesisir Kabupaten Tuban

5.9.1. Profil Kecamatan Bancar

1. Keadaan Umum
Kecamatan Bancar terletak di pantai utara Jawa Timur. Kecamatan Bancar
termasuk Kabupaten Tuban dan merupakan berada di perbatasan dengan Provinsi
Jawa Tengah..

2. Fisiografi dan Stratigrafi.


Secara umum fisiografi Kecamatan termasuk Lajur Rembang.
Morfologi permukaan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan dan batuan
penyusunnya.
Secara umum batuan penyusun tanah di wilayah ini tersusun atas 1macam
batuan, yaitu : Batuan Sedimen.
Umur batuan Lajur Rembang adalah Miosen Tengah. Formasi Geologi
yang dijumpai adalah:
1). Formasi Tawun (Tmt), batuliat berpasir dengan sisipan batupasir dan
batugamping;
2). Formasi Ngrayong (Tmn), perselingan batupasir dan batuliat berpasir
dengan sisipan batuliat karbonan dan setempat batugamping
3). Formasi Bulu (Tmb), kalkarenit
4). Formasi Wonocolo Tmw), napal dengn sisipan kalkarenit dan batuliat
5). Formasi Ledok (Tml), perselingan kalkarenit, batupasir dan sisipan napal.
6). Formasi Mundu (Tpm), napal
7). Formasi Paciran (Tpp). Batugamping terumbu, setempat batu kapur
8). Formasi Selorejo (Tps), perselingan batugamping berpasir dan batupasir
bergamping,
9). Formasi Lidah (Qtl), batuliat, setempat bersisipan batupasir dan
batugamping,
10). Anggota Dander, Formasi Lidah (Qtdl), terumbu dan batugamping berlapis
62

3. Bentuk lahan
Berdasarkan Peta Landsystem (RePPProT, 1989), wilayah Kecamatan
Bancar terdiri atas 5 landsystem (Tabel 5.28). 5 landsystem tersebut terbagi
dalam 2 sistem lahan (Dessaunettes, 1977), yaitu : 1). Sistem dataran, dan 2).
Sistem Karst.
Kawasan pantai didominasi oleh landsystem BRN, AAR, dan MKS. Landsystem
BRN (Dataran bergelombang di atas napal) dijumpai di kawasan pantai bagian
tengah, merupakan dataran agak miring dan bergelombang, yang dalam
klasifikasi lain termasuk landform angkatan mirng dan kompleks cuesta.
Landsystem AAR (Teras berkarang yang bergelombang, muncul terangkat agak
miring) merupakan dataran dengan singkapan batuan batugamping koral.
Lansystem MKS (Dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai)
dijumpai pantai wilayah Kecamatan Bancar bagian timur, merupakan dataran
endapan gabungan muara dan sungai.

Tabel 5.28. Daftar Landform yang terdapat di Kecamatan Bancar, Kabupaten


Tuban, Jawa Timur

No Landform Land- Deskripsi Tanah


system
I. SISTEM DATARAN
1. P1112 MKS Dataran gabungan endapan muara Tropaquent,
dan endapan sungai Fluvaquent,
Ustropept
II. SISTEM KARST
2. K111 AAR Teras berkarang yang Ustorthent,
bergelombang, muncul terangkat Calciustoll,
agak miring Ustropept
3. KLG Kalung Punggung bukit karstik yang Eutropept,
sangat curam di atas batu gamping Rendoll
4. BRN Bogoran Dataran bergelombang di atas Haplustalf,
napal Ustropept
5. BRU Beru Punggung bukit karstik yang Calciustoll,
sangat curam di atas batu gamping Ustropept

Berdasarkan hasil interpretasi foto udara secara lebih detil pada kawasan
pantai Bancar, terlihat bahwa Gelombang di sepanjang pantai tidak terlalu besar
(< 100 dari pantai). Meskipun tidak begitu besar, tetapi hantaman ombak yang
63

terus menerus tampaknya mengikis pantai secara perlahan, terliat dari tebing
pantai yang cukup curam pada lahan dataran.
Batuan gatugamping koral sebagai bahan induk tanah tampaknya cukup
mengurangi pengaruh abrasi laut ini, kecuali pada dataran pantai di bagian timur
wilayah kecamatan ini.
Relief Kecamatan Bancar bervariasi dari datar sampai berbukit kecil,
dengan lereng datar sampai 30 %. Wilayah pantai umumnya memiliki relief yang
datar (0-3%).

4. Tanah
Tanah di Kecamatan Bancar berkembang sesuai dengan bahan induk,
topografi dan iklim yang bekerja pada wilayah tersebut. Berdasarkan atas
landsystem yang ada, tanah yang dijumpai ada 4 ordo, 8 sob ordo dan 13 great
group (Tabel 5.29).

Tabel 5.29. Jenis Tanah (Taksonomi)

Ordo Sub Great Group


Ordo
Entisol Aquent Fluvaquent
Tropaquent
Orthent Ustorthent
Inceptisol Tropept Eutropept
Ustropept
Mollisol Rendoll Rendoll
Ustol Calciustoll
Alfisol Ustalf Haplustalf

a. Entisol.
Entisol merupakan tanah-tanah muda, umumnya berupa endapan pantai
atau tanah dangkal. Endapan pantai yang masih muda menyebabkan tanah
yang ada belum berkembang. Dipihak lain, tanah dangkal karena proses
erosi di teras marin menyebabkan tanah tersebut terpaksa harus
dimasukkan ke Ordo Entisol, meskipun pembentukan strukturnya sudah
cukup baik.
b. Inceptisol..
Merupakan tanah-tanah yang sedang berkembang. Dijumpai hampir di
seluruh wilayah. Umumnya berasosiasi dengan tanah-tanah yang lain.

d. Alfisol.
64

Merupakan tanah yang sudah dewasa, ditandai dengan adanya


penumpukan liat pada penampang tanahnya. Meskipun berasosiasi dengan
tanah, lain penyebarananya cukup luas hampir di seluruh wilayah,
khususnya yang memiliki landform dataran bergelombang..
e. Mollisol
Merupakan tanah yang berwarna hitam dengan struktur remah di bagian
atas. Umumnya dijumpai dalam asosiasi dengan tanah yang lain,
khususnya di tidak atau kurang dikelola secara intensif (lahan hutan atau
semak belukar).

6. Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan tidak terlalu banyak variasi. Pola penggunaan
lahan yang banyak dijumpai di Kecamatah antara lain adalah: a) sawah, b) tegal,
c). pemukiman, dan d). Hutan Jati.
Kawasan pantai didominasi oleh lahan tegal dan pemukiman. Tanaman
semusim seperti jagung dan ketela diusahaan pada lahan ini, disamping itu
tanaman tahunan berupa mangga atau kayu-kayuan. Lahan sawah menempati
kawasan di belakangnya dan / atau kawasan sekitar sungai. Kawasan hutan
menampati lahan dengan kemiringan curam dan atau berbatu.

7. Bahaya alam.
Bahaya alam yang bisa dijumpai di wilayan pantai utara ini tampaknya
tidak begitu besar. Ombak laut tidak terlalu besar, meskipun demikian hantaman
ombak yang terjadi secara terus menerus menyebabkan terkikisnya sebagian
besar taanah di wilayah pantai. Untungnya, batuan keras yang berupa
batugamping koral sebagai bahan induk tanah cukup kuat untuk melawan aksi
ombak laut.

8. Pemukiman.
Untuk membuat kawasan pemukiman, perlu penilaian terhadap beberapa
parameter, antara lain :
a) Subsidensi
b) Bahaya banjir
c) Kondisi air tanah
d) Potensi mengembang-mengkerut
e) Kelas Unified
f) Lereng
g) Kedalaman hamparan batuan
h) Kedalaman padas
65

i) Batu/kerikil dalam penampang tanah


j) Bahaya longsor
Untuk digunakan sebagai kawasan pemukiman wilayah Kecamatan Bancar
tampaknya tidak menjadi masalah, asalkan tidak bertingkat lebih dari 3 karena
kedalaman hamparan batuan yang dangkal, dan terlalu dekat dengan pantai
karena ncaman abrasi air laut.

5.9.2. Kecamatan Jenu

1. Keadaan Umum
Kecamatan Jenu terletak di pantai utara Jawa Timur. Kecamatan Jenu
termasuk Kabupaten Tuban

2. Fisiografi dan Stratigrafi.


Secara umum fisiografi Kecamatan Jenu termasuk Lajur Rembang.
Morfologi permukaan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan dan batuan
penyusunnya.
Secara umum batuan penyusun tanah di wilayah ini tersusun atas 2 macam
batuan, yaitu: Endapan permukaan dan Batuan Sedimen.
Endapan permukaan terdiri atas Aluvium dan Endapan Pantai (Qal),
kerakal, kerikil, pasir dan lumpur. Menempati wilayah dataran sepanjang pantai
timur
Batuan sedimen yang menyusun lahan di wilayah kecamatan ini adalah:
Formasi Kalibeng (Tpk), batugamping berdolomit dan dolomit, putih sampai
kemeraan, organik dengan fragmen alga, koral dan molusca, kerakal
berlempung berwarna coklat.
3. Bentuk lahan
Berdasarkan Peta Landsystem (RePPProT, 1989), wilayah Kecamatan Jenu
terdiri atas 3 landsystem. 3 landsystem tersebut terbagi dalam 3 sistem lahan
(Dessaunettes, 1977), yaitu : 1). Sistem Marin, 2). Sistem dataran, dan 3).
Sistem Karst (Tabel 5.30).
Landsystem UPG (Beting pantai dan cekungan antara beting pantai) dijumpai
di pantai bagian timur dengan luasan yang tidak begitu banyak yaitu dengan
lebar seikiat 100 m dan panjang 2 km. Landsystem AAR (Teras berkarang
yang bergelombang, muncul terangkat agak miring) merupakan dataran
dengan singkapan batuan batugamping koral. Landystem ini mendominasi
wilayah Kecamatan Jenu. Lansystem MKS (Dataran gabungan endapan
66

muara dan endapan sungai) dijumpai pantai wilayah Kecamatan Jenu bagian
timur dan barat, merupakan dataran endapan gabungan muara dan sungai.

Tabel 5.30. Daftar Landform yang terdapat di Kecamatan Jenu, Kabupaten


Tuban, Jawa Timur

No Landform Landsystem Deskripsi Tanah

I. MARIN
1 M1 UPG Beting pantai dan cekungan Ustipsamment
antara beting pantai , Tropaquent
I. SISTEM DATARAN
2 P1112 MKS Dataran gabungan endapan Tropaquent,
muara dan endapan sungai Fluvaquent,
Ustropept
II. SISTEM KARST
3 K111 AAR Teras berkarang yang Ustorthent,
bergelombang, muncul Calciustoll,
terangkat agak miring Ustropept

Berdasarkan hasil interpretasi foto udara secara lebih detil pada kawasan pantai
Jenu, terlihat bahwa Gelombang di sepanjang pantai tidak terlalu besar (< 100
dari pantai). Meskipun tidak begitu besar, tetapi hantaman ombak yang terus
menerus tampaknya mengikis pantai secara perlahan, terlihat dari tebing pantai
yang cukup curam pada lahan dataran. Batuan gatugamping koral sebagai bahan
induk tanah tampaknya cukup mengurangi pengaruh abrasi laut ini, kecuali pada
dataran pantai di bagian timur wilayah kecamatan ini.
Jika melihat kejernihan air laut, tampaknya pantai sebelah timur lebih keruh,
barangkali karena proses pengendapan bahan yang lebih besar dibanding pantai
yang lain.
Relief Kecamatan Jenu umumnya berupa dataran, sebagian berupa dataran
berombak atau bergelombang. (Gambar 9)
Klasifikasi landform belum dilaksanakan secara detil, tetapi melihat hasil
interpretasi sementara dari foto udara terlihat bahwa pada dasarnya landform di
wilayah ini adalah termasuk angkatan miring , khususnya yang berada dekat
dengan pantai. Kompleks Cuesta menempati bagian yang lain, dimana lereng
pemiringan cuesta lbih dominan daripada gawir cuestanya. Kompleks hogbak
juga ditemukan di wilayah ini meskipun tidak terlalu luas.
67

4. Tanah
Tanah di Kecamatan Jenu berkembang sesuai dengan bahan induk, topografi dan
iklim yang bekerja pada wilayah tersebut. Berdasarkan atas landsystem yang
ada, tanah yang dijumpai ada 3 ordo, 5 sob ordo dan 6 great group.

Tabel 5.31 Jenis Tanah

Ordo Sub Great Group


Ordo
Entisol Aquent Fluvaquent,
Tropaquent,
Orthent Ustorthent,
Psamment Ustipsamment
Inceptisol Tropept Ustropept
Mollisol Ustoll Calciustoll

a. Entisol.
Entisol merupakan tanah-tanah muda, umumnya berupa endapan pantai atau
tanah dangkal. Endapan pantai yang masih muda menyebabkan tanah yang
ada belum berkembang. Endapan baru di wilayah rawa pasang surut
memiliki sub ordo aquent (Fluvaquent dan Tripaquent) Endapan pada pesisir
pasir termasuk sub-ordo psamment. Dipihak lain, tanah dangkal karena
proses erosi di teras marin menyebabkan tanah tersebut terpaksa harus
dimasukkan ke Ordo Entisol, meskipun pembentukan strukturnya sudah
cukup baik.
b. Inceptisol..
Merupakan tanah-tanah yang sedang berkembang. Dijumpai hampir di
seluruh wilayah, khususnya di lahan kering. Umumnya berasosiasi dengan
tanah-tanah yang lain.
e. Mollisol
Merupakan tanah yang berwarna hitam dengan struktur remah di bagian
atas. Umumnya dijumpai dalam asosiasi dengan tanah yang lain, khususnya
di tidak atau kurang dikelola secara intensif (lahan hutan atau semak
belukar).
6. Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan tidak terlalu banyak variasi. Pola penggunaan
lahan yang banyak dijumpai di Kecamatah antara lain adalah: a) sawah, b) tegal,
c). pemukiman, dan d). Hutan Jati (Gambar 10).
Kawasan pantai didominasi oleh lahan tegal dan pemukiman. Tanaman
semusim seperti jagung dan ketela diusahaan pada lahan ini, disamping itu
68

tanaman tahunan berupa mangga atau kayu-kayuan. Lahan sawah menempati


kawasan di belakangnya dan / atau kawasan sekitar sungai. Kawasan hutan
menampati lahan dengan kemiringan curam dan atau berbatu.
7. Bahaya alam.
Bahaya alam yang bisa dijumpai di wilayan pantai utara ini tampaknya
tidak begitu besar. Kawasan pantai sebelah timur tampaknya justru terjadi
sedimentasi, sehingga pengaruh air laut tidak terlalu besar. Ombak laut tidak
terlalu besar, meskipun demikian hantaman ombak yang terjadi secara terus
menerus menyebabkan terkikisnya sebagian besar taanah di wilayah pantai.
Untungnya, batuan keras yang berupa batugamping koral sebagai bahan induk
tanah cukup kuat untuk melawan aksi ombak laut.
8. Pemukiman.
Untuk membuat kawasan pemukiman, perlu penilaian terhadap beberapa
parameter, antara lain :
a) Subsidensi
b) Bahaya banjir
c) Kondisi air tanah
d) Potensi mengembang-mengkerut
e) Kelas Unified
f) Lereng
g) Kedalaman hamparan batuan
h) Kedalaman padas
i) Batu/kerikil dalam penampang tanah
j) Bahaya longsor
Untuk digunakan sebagai kawasan pemukiman wilayah Kecamatan Jenu
tampaknya tidak menjadi masalah, asalkan tidak bertingkat lebih dari 3 karena
kedalaman hamparan batuan yang dangkal, dan terlalu dekat dengan pantai
karena ancaman abrasi air laut.

5.9.3. Kecamatan Merakurak

1. Keadaan Umum
Kecamatan Merakurak terletak di pantai utara Jawa Timur. Kecamatan
Merakurak termasuk wilayah Kabupaten Tuban

2. Fisiografi dan Stratigrafi.


Secara umum fisiografi Kecamatan Merakurak termasuk Lajur Rembang.
Morfologi permukaan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan dan batuan
penyusunnya.
69

Secara umum batuan penyusun tanah di wilayah ini tersusun atas 2 macam
batuan, yaitu: Endapan permukaan dan Batuan Sedimen.
Endapan permukaan terdiri atas Aluvium dan Endapan Pantai (Qal),
kerakal, kerikil, pasir dan lumpur. Menempati wilayah dataran sepanjang pantai
timur
Batuan sedimen yang menyusun lahan di wilayah kecamatan ini adalah:
Formasi Kalibeng (Tpk), batugamping berdolomit dan dolomit, putih sampai
kemeraan, organik dengan fragmen alga, koral dan molusca, kerakal
berlempung berwarna coklat.

3. Bentuk lahan
Berdasarkan Peta Landsystem (RePPProT, 1989), wilayah Kecamatan
Merakurak terdiri atas 2 landsystem . 2 landsystem tersebut terbagi dalam 2
sistem lahan (Dessaunettes, 1977), yaitu : 1). Sistem dataran, dan 2). Sistem
Karst.
Landsystem AAR (Teras berkarang yang bergelombang, muncul terangkat
agak miring) merupakan dataran dengan singkapan batuan batugamping koral.
Landystem ini mendominasi wilayah Kecamatan Merakurak. Lansystem MKS
(Dataran gabungan endapan muara dan endapan sungai) dijumpai di dekat pantai
(wilayah Kecamatan Merakurak bagian timur), merupakan dataran endapan
gabungan muara dan sungai.
Hasil interpretasi foto udara secara lebih detil pada kawasan pantai
Merakurak, menunjukkan bahwa kecamatan ini tidak terlalu terpengaruh oleh
aktivitas laut (Mungkin batas kecamatan yang telah didapat tidak tepat, perlu
dicari yang lebih tepat). Kecamatan ini masih dibatasi oleh Kecamatan Jenu.
Wilayah yang paling dekat dengan pantai adalah wilayah kecamatn bagian timur
(Desa Sumberrejo dan Bogorejo). Oleh karena itu, pengaruh laut terhadap
lingkungan kecamatan ini tidak jelas. Mungkin sebagian masyarakatnya
bermatapencaharian di laut (sebagai nelayan).
Relief Kecamatan Merakurak umumnya berupa dataran, sebagian berupa
dataran berombak atau bergelombang.

Tabel 5.32. Daftar Landform yang terdapat di Kecamatan Merakurak,


Kabupaten Tuban, Jawa Timur

No Landform Landsyste Deskripsi Tanah


m
70

I. SISTEM DATARAN
1 P1112 MKS Dataran gabungan endapan Tropaquent,
muara dan endapan sungai Fluvaquent,
Ustropept
II. SISTEM KARST
2 K111 AAR Teras berkarang yang Ustorthent,
bergelombang, muncul Calciustoll,
terangkat agak miring Ustropept

Klasifikasi landform belum dilaksanakan secara detil, tetapi melihat hasil


interpretasi sementara dari foto udara terlihat bahwa pada dasarnya landform di
wilayah ini adalah termasuk angkatan miring , khususnya yang berada dekat
dengan pantai. Kompleks Cuesta menempati bagian yang lain, dimana lereng
pemiringan cuesta lebih dominan daripada gawir cuestanya. Kompleks hogbak
juga ditemukan di wilayah ini meskipun tidak terlalu luas. Dataran pantai
dijumpai di wilayah bagian timur Kecamatan Merakurak.

5. Tanah
Tanah di Kecamatan Merakurak berkembang sesuai dengan bahan induk,
topografi dan iklim yang bekerja pada wilayah tersebut. Berdasarkan atas
landsystem yang ada, tanah yang dijumpai ada 3 ordo, 4 sob ordo dan 5 great
group.
Tabel 5.33. Jenis Tanah (Taksnomi)

Ordo Sub Great Group


Ordo
Entisol Aquent Fluvaquent,
Tropaquent,
Orthent Ustorthent,
Inceptisol Tropept Ustropept
Mollisol Ustoll Calciustoll

Entisol.
Entisol merupakan tanah-tanah muda, umumnya berupa endapan pantai atau
tanah dangkal. Endapan pantai yang masih muda menyebabkan tanah yang ada
belum berkembang. Endapan baru di wilayah rawa pasang surut memiliki sub
ordo aquent (Fluvaquent dan Tripaquent) Endapan pada pesisir pasir termasuk
sub-ordo psamment. Dipihak lain, tanah dangkal karena proses erosi di teras
71

marin menyebabkan tanah tersebut terpaksa harus dimasukkan ke Ordo Entisol,


meskipun pembentukan strukturnya sudah cukup baik.

Inceptisol..
Merupakan tanah-tanah yang sedang berkembang. Dijumpai hampir di seluruh
wilayah, khususnya di lahan kering. Umumnya berasosiasi dengan tanah-tanah
yang lain.

Mollisol
Merupakan tanah yang berwarna hitam dengan struktur remah di bagian atas.
Umumnya dijumpai dalam asosiasi dengan tanah yang lain, khususnya di tidak
atau kurang dikelola secara intensif (lahan hutan atau semak belukar).

6. Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan tidak terlalu banyak variasi. Pola penggunaan
lahan yang banyak dijumpai di Kecamatah antara lain adalah: a) sawah, b) tegal,
c). pemukiman, dan d). Hutan Jati (Gambar 12).
Lahan sawah tadah hujan menempati kawasan / bagian utara Kecamatan
Merakurak yang memiliki relief fatar sampai berombak. Lahan tegalan
menempati separuh wilayah kawasan sebelah selatan. Kawasan hutan jati
berasosisi dengan lahan tegal menempati lahan dengan kemiringan curam dan
atau berbatu di bagian selatan wilayah kecamatan, dan sedikit di sebelah barat.

7. Bahaya alam.
Bahaya alam di wilayah ini belum terdeteksi, tampaknya tidak banyak
bencana yang diakibatkan oleh kondisi alam.

8. Pemukiman.
Untuk membuat kawasan pemukiman, perlu penilaian terhadap beberapa
parameter, antara lain :
a. Subsidensi
b. Bahaya banjir
c. Kondisi air tanah
d. Potensi mengembang-mengkerut
e. Kelas Unified
f. Lereng
g. Kedalaman hamparan batuan
h. Kedalaman padas
72

i. Batu/kerikil dalam penampang tanah


j. Bahaya longsor
Untuk digunakan sebagai kawasan pemukiman wilayah Kecamatan Merakurak
tampaknya tidak menjadi masalah, selain kemungkinan kurangnya air tanah.

5.9.4. Kecamatan Palang

1. Keadaan Umum
Kecamatan Palang terletak di pantai utara Jawa Timur. Kecamatan Palang
termasuk Kabupaten Tuban dan merupakan berada di perbatasan dengan
Kabupaten Lamongan..

2. Fisiografi dan Stratigrafi.


Secara umum fisiografi Kecamatan termasuk Lajur Rembang. Morfologi
permukaan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan dan batuan
penyusunnya.
Secara umum batuan penyusun tanah di wilayah ini tersusun atas 2 macam
batuan, yaitu: Endapan permukaan dan Batuan Sedimen.
Endapan permukaan terdiri atas Aluvium dan Endapan Pantai (Qal),
kerakal, kerikil, pasir dan lumpur. Menempati wilayah dataran sepanjang pantai
timur
Batuan sedimen yang menyusun lahan di wilayah kecamatan ini adalah:
1). Formasi Kalibeng (Tpk), batugamping berdolomit dan dolomit, putih sampai
kemeraan, organik dengan fragmen alga, koral dan molusca, kerakal
berlempung berwarna coklat.
2). Formasi Kujung, anggauta tengah (Tomm), Batuliat, sebagian bergamping
dengan selingan batulanau berlempung abu-abu mudam lapisan tipis napal
abu-abi muda, setempat dijumpai batupasir bergamping berbutir halus.
3). Formasi Kujung, anggauta bawah (Toml), Batuliat, setempat bergamping,
abu-abu-abu-abu kehijauan, dengans elingan batugamping, napal dan
batupasir.

3. Bentuk lahan
Berdasarkan Peta Landsystem (RePPProT, 1989), wilayah Kecamatan
Palang terdiri atas 5 landsystem (Tabel 5.33). 5 landsystem tersebut terbagi
dalam 3 sistem lahan (Dessaunettes, 1977), yaitu : 1). Sistem dataran, dan 2).
Sistem Alluvial, dan 3). Sistem Karst.
Kawasan pantai didominasi oleh landsystem AAR, dan MKS. Landsystem
AAR (Teras berkarang yang bergelombang, muncul terangkat agak miring)
73

merupakan dataran dengan singkapan batuan batugamping koral, dijumpai di


wilayah pantai bagian barat. Lansystem MKS (Dataran gabungan endapan muara
dan endapan sungai) dijumpai pantai wilayah Kecamatan Palang bagian timur,
merupakan dataran endapan gabungan muara dan sungai.

Tabel 5.33. Daftar Landform yang terdapat di Kecamatan Palang, Kabupaten


Tuban, Jawa Timur

No Landform Landsystem Deskripsi Tanah

I. SISTEM DATARAN
6. P1112 MKS Dataran gabungan endapan muara dan Tropaquent,
endapan sungai Fluvaquent,
Ustropept
II. LEMBAH ALLUVIAL
7. A23 NGR Dataran banjir pada sungai kecil di antara Tropaquept,
perbukitan pada daerah kering (A23) Ustifluvent,
Ustropept
III. SISTEM KARST
8. K111 AAR Teras berkarang yang bergelombang, Ustorthent,
muncul terangkat agak miring Calciustoll,
Ustropept
9. OMB Dataran berombak di atas napal dan Ustropept,
batugamping pada daerah kering Haplustalf
10. K BRU Punggung bukit karstik yang sangat curam Calciustoll,
di atas batu gamping Ustropept

Berdasarkan hasil interpretasi foto udara secara lebih detil pada kawasan
pantai Palang sebalah timur air laut tampak lebih keruh, menandakan adanya
material yang terbawa oleh erosi. Dengan demikian, sedimentasi terjadi di
wilayah ini disertai tumbunya hutan bakau di sepanjang pantai ini.
Pada sebagian kawasan pantai tampaknya tidak terjadi sedimentasi, air laut
tamak lebih jernih dengan gelombang yang tidak begitu besar. Bahaya abrasi air
laut meskipun kecil tetap perlu diperhatikan. Batuan gatugamping koral sebagai
bahan induk tanah tampaknya cukup mengurangi pengaruh abrasi laut ini,
kecuali pada dataran pantai di bagian barat wilayah kecamatan ini.
74

Relief Kecamatan Palang umumnya datar bervariasi dari datar sampai


berbukit kecil, dengan lereng datar sampai lemih darei 60 %. Wilayah pantai
umumnya memiliki relief yang datar (0-3%). Wilayah perbukitan dijumpai di
bagian tengah dan selatan yang berbatuan batu gamping-dolomitik.

4. Tanah
Tanah di Kecamatan Palang berkembang sesuai dengan bahan induk,
topografi dan iklim yang bekerja pada wilayah tersebut. Berdasarkan atas
landsystem yang ada, tanah yang dijumpai ada 4 ordo, 7 sob ordo dan 8 great
group (Tabel 5.34).

Tabel 5.34. Jenis Tanah (Taksonomi)

Ordo Sub Ordo Great Group


Entisol Aquent Fluvaquent
Tropaquent
Fluvent Ustifluvent
Orthent Ustorthent
Inceptisol Aquept Tropaquept
Tropept Ustropept
Mollisol Ustoll Calciustoll
Alfisol Ustalf Haplustalf

a. Entisol.
Entisol merupakan tanah-tanah muda, umumnya berupa endapan pantai atau
tanah dangkal. Endapan pantai yang masih muda menyebabkan tanah yang
ada belum berkembang. Dipihak lain, tanah dangkal karena proses erosi di
teras marin menyebabkan tanah tersebut terpaksa harus dimasukkan ke Ordo
Entisol, meskipun pembentukan strukturnya sudah cukup baik.

b. Inceptisol..
Merupakan tanah-tanah yang sedang berkembang. Dijumpai hampir di
seluruh wilayah. Umumnya berasosiasi dengan tanah-tanah yang lain.

d. Alfisol.
Merupakan tanah yang sudah dewasa, ditandai dengan adanya penumpukan
liat pada penampang tanahnya. Berasosiasi dengan tanah, lain
penyebarananya tanah ini menduduki sekitar 50 % dari luas kecamatan,
75

khususnya yang memiliki landform bergelombang – berbukit di bagian


selatan wilayah kecamatan.
e. Mollisol
Merupakan tanah yang berwarna hitam dengan struktur remah di bagian
atas. Umumnya dijumpai dalam asosiasi dengan tanah yang lain, khususnya
di tidak atau kurang dikelola secara intensif pada lahan berbahan induk
batugamping (lahan hutan atau semak belukar).

6. Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan tidak terlalu banyak variasi. Pola penggunaan
lahan yang banyak dijumpai di Kecamatah antara lain adalah: a) sawah, b) tegal,
c). pemukiman, d). tambak ikan e). padang rumput, dan f). Hutan Jati (Gambar
14).
Kawasan pantai yang sebelah barat didominasi oleh lahan tegal dan
pemukiman. Tanaman semusim seperti jagung dan ketela diusahaan pada lahan
ini, disamping itu tanaman tahunan berupa mangga, siwalan atau kayu-kayuan.
Kawasan pantai sebelah timur didominasi oleh tambak ikan. Lahan ini
merupakan lahan yang terpengaruh oleh pasang surut air laut. Lahan sawah
menempati kawasan di belakangnya dan / atau kawasan sekitar sungai. Kawasan
hutan menampati lahan dengan kemiringan curam dan atau berbatu.

7. Bahaya alam.
Bahaya alam yang bisa dijumpai di wilayan pantai utara ini tampaknya
tidak begitu besar. Ombak laut tidak terlalu besar, meskipun demikian hantaman
ombak yang terjadi secara terus menerus menyebabkan terkikisnya sebagian
besar taanah di wilayah pantai, khususnya di kawasan pantai sebelah barat.
Untungnya, batuan keras yang berupa batugamping koral sebagai bahan induk
tanah cukup kuat untuk melawan aksi ombak laut.
Kawasan pantai di sebelah timur tidak terancam oleh abrasi air laut, tetapi
ada ancaman bajir atau genangan air pasang.

8. Pemukiman.
Untuk membuat kawasan pemukiman, perlu penilaian terhadap beberapa
parameter, antara lain :
a) Subsidensi
b) Bahaya banjir
c) Kondisi air tanah
d) Potensi mengembang-mengkerut
e) Kelas Unified
76

f) Lereng
g) Kedalaman hamparan batuan
h) Kedalaman padas
i) Batu/kerikil dalam penampang tanah
j) Bahaya longsor

Untuk digunakan sebagai kawasan pemukiman wilayah Kecamatan Palang


tampaknya tidak menjadi masalah, asalkan tidak bertingkat lebih dari 3 karena
kedalaman hamparan batuan yang dangkal, dan terlalu dekat dengan pantai
karena ncaman abrasi air laut.

VI. KONSEP PENGATURAN RUANG


KAWASAN PESISIR

6.1. Ekosistem Pesisir Pantai: Potensi dan Pengelolaannya

Wilayah perairan pantai di Jawa Timur mempunyai peranan yang sangat


penting bagi kesejahteraan masyarakat pantai dan pembangunan ekonomi
wilayah secara keseluruhan. Wilayah ini mengandung berbagai sumberdaya dan
potensi ekonomi seperti minyak dan gas bumi, mineral, pangan, obyek wisata
dan geografis yang mendukung jalur lalulintas angkutan laut. Selain daripada itu
wilayah pantai ini secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka terhadap
berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh manusia.

6.2. Nilai-nilai Sosial Ekonomi

Sumberdaya hutan. Hutan bakau tersebar di berbagai lokasi pantai nilai


ekonomi dan nilai ekologi dari hutan bakau ini telah banyak dirasakan oleh
masyarakat sekitarnya dan secara tidak langsung juga oleh perekonomian
wilayah. Dalam rangka untuk melestarikan hutan bakau ini harus dilaksanakan
berbagai program khusus seperti penghijauan kawasan hutan bakau yang telah
rusak.
Perikanan tangkap dan aqua-kultur. Hasil tangkapan ikan di perairan
pantai berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi perikanan tambak
77

termasuk udang, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun


ke tahun.
Mineral. Hasil mineral yang penting dari perairan pantai adalah garam
yang dihasilkan oleh petani tambak garam.
Obyek wisata. Beberapa obyek wisata pantai mempunyai potensi yang
cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagian potensi wisata pantai
dan wisata bahari masih belum dikembangkan.
Pemukiman nelayan. Perkampungan di kawasan pantai di huni oleh para
nelayan penangkap ikan, petani tambak, dan pendatang.
Industri. Sejumlah aktivitas industri dan pembangkit tenaga listrik
berlokasi di kawasan pantai. Nilai keunggulan lokasi pantai in iadalah
kemudahan akses terhadap angkutan laut dan ketersediaan air dalam jumlah
besar.

6.2.1. Nilai Ekosistem Pesisir-Pantai

Ekosistem pesisr-pantai (tambak ikan, udang, dan garam, Pesisir.


Estuartia, terumbu karang, bakau, hamparan lumpur pantai, pulau-pulau kecil,
dan lainnya) menyediakan habitat bagi organisme yang berhubungan dengan laut,
baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, tempat bersarang dan bereproduksi atau
keperluan lainnya. Hutan bakau dan estuaria mempunyai signifikansi ekologis
yang spesifik sebagai spawning grounds, nursing, dan feeding grounds bagi
berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Terumbu karang
mengkonsentrasikan hara untuk mendukung ekosistem tinggi. Terumbu karang
mengkonsentrasikan hara untuk mendukung ekosistem produktif dan produksi
ikan yang tinggi di perairan sekitarnya. Dune, hutan bakau dan terumbu karang
juga menjadi penyangga alamiah terhadap gelombang laut, erosi dan badai.
Kondisi ekologis zone pantai juga sangat penting bagi kegiatan wisata. Sektor
ekonomi sangat tergantung pada lingkungan alami yang tidak terganggu.

6.2. 2. Beberapa problem dan issue pembangunan pantai

Problem utama dalam pembangunan wilayah pantai adalah kerusakan


sumberdaya pantai oleh destruksi, over-eksploitasi, dan penggunaan yang tidak
ekonomis, serta problematika yang berhubungan dengan aktivitas pembangunan
di sepanjang kawasan pantai yang mengakibatkan berbagai dampak buruk
terhadap sumberdaya pantai. Sumberdaya pantai seperti hutan bakau, pesisir,
terumbu karang, dan perairan pantai, mengalami kemerosotan kualitas atau
degradasi dan memerlukan penanganan yang serius. Sebagian hutan bakau
78

dikonversi dan sebagian lainnya mengalami degradasi akibat over-eksploitasi.


Statistik menunjukkan bahwa luas hutan bakau ini menunjukkan kecenderungan
yang menurun dari tahun ke tahun. Kawasan hutan bakau ini dibuka untuk
pemukiman, lokasi industri, budidaya tambak dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ini
secara tidak langsung juga berdampak pada penurunan produksi perikanan
tangkap dan budidaya. Selain itu meningkatnya kebutuhan kayu bakar juga
mendorong over-eksploitasi hutan bakau, aktivitas penanaman kembali sangat
terbatas. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsi ekologisnya akan
hilang dan kehilangan ini seringkali nilainya lebih besar dibandingkan dengan
nilai yang dihasilkan oleh aktivitas subsitutenya.
Terumbu karang di beberapa lokasi menunjukkan gangguan akibat siltasi
dan sedimentasi atau penurunan kualitas air laut akibat aktivitas-aktivitas yang
membuang limbah keperairan pantai. Beberapa spesies karang yang eksotik
dipanen untuk pasar akuarium. Kunjungan wisata ke ekosistem terumbu karang
ini juga dapat berdampak buruk melampaui batas kongestinya. Perkembangan
perkampungan nelayan, industri, wisata pantai, pelabuhan dan dermaga di
sepanjang pantai secara langsung dan tidak langsung juga mempunyai
sumbangan terhadap penurunan kualitas ekosistem pantai. Pencemaran terutama
dapat disebabkan oleh pembuangan limbah domestik cair dan padat dari daratan.

6.2. 3. Beberapa Prinsip Penglolaan


Pengelolaan dan pengembangna sumberdaya pantai mengandung makna
mengembangkan, mengorganisir, dan mengendalikan penggunaan sumberdaya
pantai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
(a) Zone pantai adalah unik dan mempunyai kebutuhan khusus untuk
managemen dan perencanaan dan perencanaan. Bentuk-bentuk pengelolaan
tradisional berbasis-lahan dan berbasis-laut harus dimodifikasi menjadi
bentuk pengelolaan yang efektif bagi daerah transisi laut dan darat.
(b) Air merupakan gaya integrator utama dalam sistem sumberdaya pantai.
Setiap aspek dari kegiatan pengelolaan pantai berhubungan dengan air
sehingga memerlukan ltatanan kelembagaan yang spesifik dan rumit.
(c) Penggunaan lahan dan air di zone pantai harus dilakukan secara terpadu.
(d) Pembangunan sumberdaya pantai secara berkelanjutan merupakan tujuan
utama dari pengelolaan pantai. Sumberdaya renewable harus dikelola untuk
menyediakan benefit sosial-ekonomi yang optimum.
(e) Manfaat ganda dari sumberdaya pantai yang renewable diperoleh dengan
jalan manajemen pantai.
(f) Fokus dari pengelolaan pantai adalah pada sumberdaya common-property.
79

Beberapa aktivitas pembangunan yang dapat berdampak buruk terhadap


ekosistem pesisir-pantai adalah sebagai berikut :

Tipe Ekosistem
Aktivitas
Ra- Del- Estu- Ba- Peter Sea- Trb Pesi Pulau
Pembangunan
wa ta aria kau nakan Grass karng Sir Kecil
Pertanian/Perikanan - - = -
Kehutanan - - - - -
Aqua-kutur dan - - - -
Marikutur
Penangkapan Ikan - - - - -
Pengerukan - - = - - -
Pelabuhan - - = - - -
Pelayaran - - - -
Pembangkit Listrik - - - -
Industri - - - = - - -
Pertambangan - - - = - - - -
Minyak & gas bumi - - - - - - -
Pemukiman - - - - - - - -
Pembuangan limbah - - - - - - -
Pemanfaatan air - -
Manajemen garis - - - - - -
pantai
Penggunaan - - - - - - -
sumberdaya pantai
Keterangan : - : dampak besar; = : dampak sangat besar

6.2. 4. Wilayah Pesisir-Pantai dengan Sistem Perikanan Tangkap

Hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya dari


pembangunan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu strategi pembangunan
selama ini bertumpu kepada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi,
pemerataan, dan stabilitas nasional. Berbagai sarana fisik penunjang
perekonomian telah berhasil dibangun dan diharapkan akan mampu mendorong
akselari pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik secara
menyeluruh.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat dipahami
bahwa permasalahanyang ada diwilayah pedesaan pantai sangat rumit,
melibatkan banyak faktor yang saling kait-mengkait satu sama lain. Wilayah
pedesaan pantai dipandang sebagai suatu sistem yang secara struktural terdiri atas
lima komponen (sub-sistem) yang saling berinteraksi secara dinamis. Perilaku
interaksi dari subsistem-subsistem ini bersifat dinamis dan menghasilkan output-
output tertentu. Output-output inilah yang pada hakekatnya merupakan tujuan
80

dan sasaran dari upaya-upaya pembinaan/pengembangan wilayah pedesaan


pantai. Dua macam sasaran akhir dari upaya-upaya pembinaan yang seringkali
dikemukakan adalah kesejahteraan masyarakat nelayan dan kelestarian
sumberdaya perairan pantai. Sistem Pedesaan Pantai, khususnya di wilayah Jawa
mempunyai lima macam komponen utama (subsistem) yaitu : (1) Komponen
sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan pantai; (2)
Komponen Sumberdaya manusia (nelayan); (3) Komponen sosial budaya dan
kelembagaan pedesaan; (4) Komponen perekonomian pedesaan; dan (5)
Komponen sarana dan prasarana fisik.
Perilaku komponen-komponen tersebut diatas, baik secara sendirian
maupun interaksinya dengan komponen lain, hingga batas-batas tertentu dapat
dikendalikan/ dikelola oleh “manusia” untuk mendapatkan output yang
diinginkan upaya pengelolaan ini dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (i)
material/teknologi, input kebijakan; (ii) dengan merekayasa kelembagaan yang
mengatur interaksi antar komponen tersebut sehingga perilakunya dapat lebih
baik memanfaatkan input yang ada, dan (iii) kombinasi antara (i) dan (ii).
A. Sub-sistem Sumberdaya Perairan Pantai dan Lingkungan Hidup Pedesaan
Pantai
Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumber perairan pantai dan
lingkungan hidup pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai
produsen input bagi sub-sistem ekonomi, produsen jasa amenitas bagi
manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah. Dalam ketiga hal ini
potensi dan kemampuan sumberdaya alam ditentukan oleh karakteristik dan
kualitas.
B. Sub-sistem Ekonomi Wilayah Pedesaan
Perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh kemampuannya menghasilkan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domistiknya dan/atau dipasarkan
keluar daerah dengan keuntungna kompetitif. Sehubungna dengan hal ini
maka kegiatan ekonomi dapat dibedakan menjadi kegiatan sektor bisnis yang
menghasilkan produk untuk pasar domestik. Di wilayah pedesaan pantai
umumnya kegiatan ekonomi di sektor basis sangat dominan, produk-produk
dari kegiatan ekonomi di sektor ini berupa komoditi primer dan sekunder dari
perikanan tangkap yang dipasarkan ke luar daerah. Dengan demikian
pembinaan pada sektor ini diharapkan dapat mengangkat sub-sistem
perekonomian secara keseluruhan. Permasalahan yang sering di jumpai
adalah rendahnya keunggulan kompetitif produk dipasaran bebas, dan
rendahnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan
pantai. Tiga ciri penting dari kegiatan ekonomi sektor basis di pedesaan
pantai adalah (i) kegiatan penangkapan memperlakuan yang mahal dan biaya
81

operasi yang banyak, (ii) operasi penangkapan memerlukan tenaga kerja


yang banyak dan koperatif, dan (iii) hasil tangkapan harus dipasarkan ke luar
daerah dalam bentuk segar dan/atau olahan. Ketiga ciri ini akan menentukan
perilaku sektor basis dan pada akhirnya akan berdampak pada bentuk
kelembagaan non-format yang berkembang di pedesaan pantai.
C. Sub-sistem Kelembagaan Sosial
Sebagaimana disinggung sebelumnya, diwilayah pedesaan pantai telah
berkembang kelembagaan non-formal yang spesifik sebagai akibat dari
kegiatan ekonomi yang ada. Suatu teladan bentuk kelembagaan non-formal
ini dapat ditemukan dalam hal penangkapan dengan purse seine atau
penangkapan dengan payang. Kelembagaan armada penangkapan ini ditandai
oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut, juragan darat,
pengolah ikan dan pedagang ikan (dari dalam atau luar daerah) kelembagaan
operasional penangkapan ini ternyata berdampak pada kelembagaan bagi
hasil yang berlaku, dan selanjutnya akan menentukan distribusi pendapatan
dalam masyarakat pedesaan pantai. Hingga batas-batas tertentu kelembagaan
seperti di atas bersama dengan kelembagaan-kelembagaan lainnya akan
menentukan peluang-peluang transformasi struktural di wilayah pedesaan
pantai. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh kesiapan kelembagaan
yang ada (formal dan nonformal) untuk mengakomodasi gaya-gaya
perubahan yang berasal dari dalam dan luar. Selanjutnya tingkat kesiapan
tersebut oleh (i) Efektifitas mekanisme kerja kelembagaan untuk menggalang
partisipasi segenap masyarakat secara proposional sesuai dengan
kepentingannya.

D. Sub-Sistem Sarana dan Prasarana Fisik


Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelembagaan
sosial (format dan non formal) secara fungsional sub-sistem ini dapat
dibedakan menjadi dua yaitu (i) sarana dan prasarana ekonomi, (ii) sarana
dan prasarana penunjang aktivitas kehidupan manusia.
Sarana dan prasarana produksi menjadi salah satu prasyarat penting dalam
menentukan perilaku sub-sistem ekonomi. Pada kenyataan tingkat
penguasaan sarana produksi ini akan menentukan posisi dalam kelembagaan
bagi hasil dalam penangkapan.
E. Sub-Sistem Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia di wilayah pedesaan pantai menjadi subyek/pelaku
yang mengendalikan sebagian besari perilaku sistem wilayah, dan sekaligus
menjadi obyek/sasaran dari perilaku tersebut. Sebagai subyek manusia lebih
82

berperan sebagai produsen sehingga kualitas ditentukan oleh (i) Peubah-


peubah skill manageral dan (ii) peubah-peubah skill ketenaga kerjaan.
Sebagai objek manusia lebih berperan sebagai konsumen, yang kualitasnya
ditentukan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan fisik minum. Hal ini
selanjutnya ditentukan oleh (i) produktivitas tenaga kerja, dan (ii) perilaku
konsumtifnya. Tampaknya pola perilaku konsumtif di kalangan masyarakat
pedesaan pantai menjadi salah satu ciri budaya yang serius dalam rangka
pola pembinaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
pedesaan pantai.

6.2. 5. Arahan Pengelolaan Ekosistem Pesisir-Pantai

Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya laut berperan ganda.


Disamping kaya akan sumberdaya hayati wilayah pesisir dan lautan, juga
menyimpan mineral dan energi yang mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan devisa negara. Akan tetap berbagai permasalahan dapat muncul
oleh pemanfaatan pesisir pantai dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip
lingkungan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah
industri dan limpasan bahan kimia pertanian. Selain itu, meningkatnya
permintaan sebagai bahan makanan energi dan bahan baku untuk industri dan
laitan membawa tekanan tersendiri. Di wilayah tertentu telah terjadi kelangkaan
sumberdaya ikan akibat penangkapan yang berlebih.

A. Pengguna Pertanian
Daerah pesisir pantai sangat menarik untuk dua tipe aktivitas pertanian.
Yaitu lahan kering dan sawah. Padi sawah sangat sesuai karena tahan terhadap
genangan air dan mempunyai toleransi moderat terhadap salinitas. Tanaman padi
sawah terutama ditanam di kawasan pantai dan estuaria di belakang tambak
garam atau tambak udang. Mereka biasanya terdiri atas jenis-jenis yang toleran
salinitas. Di daerah ini biasanya pohon ditanam pada guludan dengan saluran
yang lebar diantaranya (semacam sistem surjan).
(1) Problematik
(a) Konversi lahan pesisir pantai untuk penggunaan pertanian tentu akan
mengganggu aliran air permukaan yang diperlukan bagi kesehatan sistem
sumberdaya disekitarnya. Selanjutnya akan tinggal sedikit peluang
keberhasilan dalam megkon versi sedimen pantai menjadi tanah
pertanian karena bahaya genangan dan intrusi garam. Problem lain yang
berhubungan dengan penggunaan pertanian pada lahan bakau adalah
83

tanah sulfat masam, logam yang terakumulasi dalam sedimen bakau


dapat meracun tanaman pertanian, gangguan nama dan penyakit.
(b) Pertanian lahan kering, pembuangan atau penyakuran air tawar untuk
penggunaan pertanian secara langsung akan mereduksi input air tawar ke
perairan pantai dan menimbulkan problem terus menurunnya produksi
ikan dan meningkatnya salintas. Peningkatan input air tawar yang
berhubungan dengan penyaluran sungai dapat mengubah regim
hidrologis pantai, menurunkan salintas dan mengakibatkan degradasi
ekosistem yang peka salintas.
(c) Problem lain yang berhubungan dengan pertanian lahan kering
berhubungan dengan efek pestisida yang memasuki ekosistem pantai.
Selain itu erosi pada lahan pertanian juga berdampak pada besarnya
muatan sedimen yang memasuki perairan pantai.
(2) Arahan Pengelolaan
(a) Pengembangan varietas tanaman yang toleran salintas
(b) Sarana pengendalian air dan drainase harus memenuhi empat fungsi (a)
Pengendalian Banjir, (b) pengendalian intrusi air salin, (c) Kontrol
permukaan air, dan (d) kontrol polusi/pencemaran air oleh limbah
buangan.
(c) Menghindari reklamasi habitat pantai yang penting untuk pertanian lahan
kering.
(d) Mengembangkan ekosistem pertanian sawah pada habitat yang sesuai.
(e) Merancang pertanian lahan kering untuk meminimumkan altersi pola
drainase alamiah.
(f) Menggunakan pupuk dan pestisida dengan cara yang aman dan akan
meminimumkan kehilangan dan transportnya memasuk wilayah pantai
kalau mungkin digunakan pestisida non-persisten.
(g) Jangan membuka lahan tanah masam dan membiarkan ekosistem hutan
bakau.
(h) Pembukaan lahan pertanian dibatasi pada lahan di atas rataan muka air
laut untuk menghindari problem salinitas dan asiditasi.
(i) Mengembangkan sistem pengelolaan irigasi yang harmonis aliran air
tawar mampu melestarikan tanaman pertanian dan mencegah rembesan
air asin dalam tanah pertanian dan dijaga untuk mencegah intrusi ke
dalam groundwater, dan air irigasi.
84

B. Penambangan Pasir

Pasir terdiri atas mineral-mineral dan pasir kuarsa. Perbedaan bobot


memainkan peranan sangat penting dalam konsentrasi material mineral berat di
beberapa lokasi tertentu. Semakin tinggi bobot mineral juga membantu
ekstraksinya selama penambangan dan pengolahan deposit pasir. Mineral pasir
berasal dari pelapukan batuan yang menghasilkan pasir kuarsa dan mineral
asosiasinya.
(1) Metode penambangan
Penambangan pasir melibatkan tiga tahapan dasar ekskavasi pasir, pemisahan
mineral dari kuarsa, dan pembuangan pasir kuarsa. Dua macam teknis dasar
yang lazim digunakan dalam operasinya ialah (a) sistem penambangan kering
dan (b) sistem pengeruk-hisapan.
(2) Problematik
- Sedimen yang dilepaskan ke perairan laut dan erosi pesisir (beach)
- Kehilangan nilai estetika
- Pengerukan pasir di sekitar ekosistem terumbu karang akan berdampak
negatif terhadap organisme dan komunitas karang.
(3) Arahan pengelolaan
(a) Meminimumkan dampak negatif pengerukan terhadap ekosistem zone
pantai
(b) Larangan terhadap pengerukan di dalam radius 100 m dari terumbu
karang
(c) Pengakuan pasir karang dari daerah hamparan karang harus dikendalikan
dan dibatasi.

C. Aktivitas Sumber energi. Operasi minyak dan gas bumi

Eksplorasi dan bongkar-muat bahan bakar minyak dan gas bumi dan
kapal tentu akan semakin meningkatkan pencemaran minyak di perairan pantai :
(1) Problematik
Dua tipe tumpahan minyak yang mengancam kelestarian sumberdaya pantai
adalah tumpahan akut akibat kecelakaan transportasi, ledakan sumur dan
pipa-pipa dasar laut, dan tumpahan kronis yang berkaitan dengan operasi-
operasi penyulingan dan lainnya. Kerusakan dapat diderita oleh bakau,
terumbu karang, pasir pantai, rumput laut, perikanan dan hewan-hewan
marine.
(2) Arahan
85

(a) Kalau tumpahan minyak dari kapal merupakan sebab utama pencemaran
minyak maka harus dilakukan pemantauan dan pengetatan terhadap lalu-
lintas kapal, terutama dalam hal pembuangan limbah minyak.
(b) Pemerintah harus mampu memformulasikan dan mengamankan
peraturan mengenai operasi pengapalan lepas pantai maupun operasi di
pelabuhan.
(c) Semua operasi pengapaian harus menghindar pembuangan limbah
minyak ke perairan pantai/laut.
(d) Semua operasi minyak dan gas dan penempatannya harus tetap
memperhatikan integrasi bidang batas darat-laut.
(e) Semua aktivitas pemboran dan produksi minyak di laut harus dirancang
dan dipantau sedemikian rupa untuk menghindari ledakan dan tumpahan
bahan minyak.

D. Pembangunan Industri Garam

Garam (NaCl) merupakan komponen penting dalam diet manusia dan


mempunyai berbagai aplikasi lainnya seperti kegunaannya sebgai preservatif
(Pengawet) dan suplemen pakan ternak. Kebanyakan tambak garam
dibangun pada tanah-tanah yang drainasenya buruk di kawasan pantai.
Lokasi tambak ini biasanya didekat garis pantai sehingga mudah memperoleh
air laut yang segar. Operasi produksi tambak garam biasanya pada musim
kering. Garam dari air laut biasanya mengandung campuran sedimen, bahan
organik dan garam-garam lain yang harus dimurnikan. Garan NaClll murni
diekstraks dari air laut dalam tiga tahapan pengendapan, presipitasi dan
kristalisasi. Pada tahap pertama sedimen dan partikel besar lainnya
disingkirkan melalui setting selama awal evaporasi. Kemudian dalam periode
evaporasi yang panjang, komponen lainnya seperti karbonat disingkirkan
melalui presiptasi. Kemudian evaporasi selanjutnya akan menghasilkan
kristalisasi gara yang kalau dikeringkan akan menjadi garam murni.

(1) Problematik
Problematik yang serius sehubungan dengan produksi garam adalah konversi
(irreversibel habitat pantai, termasuk ekosistem bakau, menjadi sistem
tambak garam. Produksi garam paling baik dilakukan pada lingkungan arid
dimana ekosistem hutan pantai jarang ditemukan dalam kaitannya dengan
pembangunan kawasa tambak garam, jarang dipertimbangkan fungsi-fungsi
lalami dan nilai-nilai jasa ekologis.
(2) Arahan pengelolaan
86

Tambak garam merupakan penggunaan zone pantai yang signifikan di Jawa


Timur. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan maka tambak-tambak
garam diperbaiki dengan arahan berikut ini :
(a) Pembangunan tambak garam yang baru harus dirancang untuk
meminimumkan dampak keseluruhan terhadap ekosistem pantai
(b) Pengembangan teknologi penggaraman harus diarahkan untuk
mendapatkan teknik-teknik produksi yang efisien. Petani tambak juga
harus menyadari adanya manfaat ganda dari tambaknya.
(c) Kalau tambak garam telah ditinggalkan maka pematang-pematang harus
dihancurkan supaya dapat pulih kembali sebagai daerah genangan.

E. Pengembangan wisata-bahari

Kegiatan wisata sekarang telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang
penting di Selat Madura, Jawa Timur, sebagian obyek wisata terletak di zone
pantai dengan berbagai macam ekosistem yang unik.
(1) Problematik
(a) Pencemaran air oleh buangan limbah domestik
(b) Problem yang diakibatkan loleh adanya bangunan-bangunan sipil
gangguan pemandangan alam, kongesti, pencemaran air, pembuangan
limbah padat.
(c) Problematik pembuangan limbah padat
(d) Problematik yang timbul akibat pengambilan karang pantai dan
kerusakan terumbu karang
(2) Arahan pengelolaan
(a) Pembangunan obyek wisata pantai harus merupakan bagian integrall dari
sistem pembangunan wilayah, dengan tetap memperhatikan kepentingan
kelestarian lingkungan.
(b) Daerah pantai yang dicadangkan untuk pembangunan obyek wisata harus
dilengkapi dengan tataruang yang memadai dengan mempertimbangkan
geografis alamiah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitanya
(c) Pembukaan lahan (Kalau diperlukan) harus benar-benar terkendali, untuk
meminimumkan dampak terhadap ekosistem pantai
(d) Pembangunan fasilitas akomodasi harus terkonsentrasi dengan
mensisakan sebanyak mungkin lingkungan alam tetap tidak terganggu
sekala, ukuran dan tipe infrastruktur harus tepat dan sesuai
(e) Sistem pengelolaan limbah perlu mendapatkan prioritas penanganan.
87

5.3. Eksosietm Tambak: Potensi dan Pengelolaannya

5.3.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Tambak dan Budidaya Air


Tawar

Di kawasan pesisir pantai Jawa Timur terdapat beberapa sumberdaya


perikanan yang potensinya cukup besar, meliputi perairan umum, tambak sawah
tambak, dan kolam + mina padi. Sumberdaya ini dikelola dengan teknologi yang
beraneka ragam dan tingkat intensitas yang berbeda-beda pula salah satu cara
untuk mengukur tingkat pengelolaan sumberdaya perikanan adalah penggunaan
sarana produksi dan tenagakerja.

5.3.2. Kondisi Perinakanan Tambak dan Perairan Umum


Perairan umum sebagai salah satu sumberdaya perikanan memiliki andil
yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk, khususnya
kebutuhan protein hewani. Pemanfaatan sumberdaya perinakan ini dapat
dilakukan dengan jalan usaha penangkapan dan usaha budidaya perikanan.
Intensitas penangkapan di perairan umum menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat demikian juga usaha budidayanya.

5.3.3. Proses-proses degradasi

Gangguan lingkungan perairan dapat berupa meluasnya perkembangan


gulma air dan sedimentasi/pendangkalan, pencemaran oleh limbah industri,
domestik, dan pestisida, serta gangguan-gangguan alami. Dampak negatif dari
gangguan-gangguan seperti diatas dapat berupa rendahnya tingkat produksi ikan
di perairan umum dan tambak, perubahan struktur komunitas perairan.
Penurunan populasi biota perairan, dan hilangnya beberapa spesies endemik serta
menurunnya daya dukung lingkungan perairan. Untuk mengembalikan fungsi
perairan umum sebagai ekosistem akuatik yang seimbang diperlukan upaya-
upaya penanggulangan berupa rehabilitasi sumberdaya perikanan, misalnya
dengan penebaran benih diperairan umum yang dianggap sudah kritis.
88

5.3.4. Kebijakan Pengelolahan

A. Pengelolaan Reservat

Salah satu cara pengelolaan sumberdaya perairan umum adalah dengan


pembangunan reservat, yaitu kawasan perairan umum yang dilindungi secara
terbatas dengan fungsi sebagai penyangga bagi suatu ekosistem akuatik yang
sudah kritis atau yang terancam kelestariannya. Pemanfaatan reservat dilakukan
secara terkendali untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan memulihkan
kembali daya dukung perairan umum.
Tujuan pengelola reservat adalah agar supaya fungsi utamanya dapat
berjalan, yaitu :
(1) Meningkatkan fungsi dan peranan perairan umum mulau dan pengelolaan
hingga pemanfaatnya
(2) Mempertahankan dan melestarikan habitat perairan sebagai tempat
berlindung asuhan, memijah, mencari makan bagi ikan dan biota air lainnya
(3) Pengawetan keaneka-ragaman plasma nutfah
(4) Sumber cadangan benih ikan bagi pengembangan perikanan dan kawasan
perairan umum di sekitarnya
(5) Sebagai perlindungan bagi ekosistem akuatik yang memiliki nilai, sifat, dan
jenis yang khas (spesies endemik)
(6) Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya dengan mengendalikan cara-
cara pemanfaatannya.

B. Program Intensifikasi Tambak (INTAM)


Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan produksi dan
produktivitas usaha budidaya tambak, maka mulai tahun 1984/1985 telah
diprogramkan Intensifikasi Tambak (INTAM) sebagai tindak lanjut keputusan
Menteri Pertanian No. 05/SK/MENTAN/Bimas/VI/1984 serta disusul peraturan-
peraturan yang lain sampai dengan tahun anggaran 1993/1993.
Usaha budidaya udang dan bandeng merupakan salah satu pendapatan
pokok masyarakat desa pantai dan melibatkan petani-petani dalam jumlah besar.
Dengan adanya beberapa faktor pembatas pada petani tambak, maka
produktivitas udang dan bandeng menjadi rendah. Keterbatasan di atas
disebabkan antara lain kurangnya pengetahuan dan ketrampilan serta permodalan
untuk mencapai penerapan teknologi budidaya tambak yang dianjurkan. Dengan
adanya program INTAM sejak tahun 1984/1985 selain dapat meningkatkan
penghasilan petani tambak juga akan memperluas lapangan kerja, meningkatkan
89

konsumsi protein hewani asal ikan dan meningkatkan devisa negara melalui
ekspor komoditi non migas yaitu udang.

C. Program Pengembangan Usaha Budidaya Udang dan Ikan


Kegiatan yang telah Dilaksanakan adalah :
(1) Pembangunan panti pembenihan udang di Situbondo
(2) Pembangunan tambak percontohan di Sidoarjo dan Pasuruan.

D. Program Pengembangan INMINDI

Intensifikasi Mina Padi (INMINDI) merupakan suatu kegiatan


intensifikasi usaha tani terpadu antara perikanan dan padi di lahan sawah yang
berpengairan teknis. Tujuan dari program INMINDI ini adalah:
(1) Meningkatkan pemanfaatan potensi Sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia secara optimal dalam rangka meningkatkan kesempatan berusaha
dan terciptanya lapangan kerja di pedesaan
(2) Meningkatkan pendapatan petani melalui usaha budidaya campuran
sehingga diperoleh hasil ganda dalam satu musim yaitu ikan dan padi
(3) Penyediaan ikan sebagai bahan pangan sumber protein hewan.

5.3.5. Aqua Kultur Perairan Pantai

Aqua kultur atau manikultur dengan komoditi udang merupakan sektor


ekonomi yang penting bagi Jawa Timur, terutama semenjak dilancarkannya
program intensifikasi tambak. Sejalan dnegan pekembangan sektor usaha
budidaya ini ternyata juga timbul berbagai masalah dan secara potensial dapat
mengancam kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan perairan pantai.
(1) Problematik
(a) Tataruang Tambak
Secara langsung merusak wetlands, mendorong berkembangnya
potensial tanah sulfat masam, flushing tambak yang buruk atau tidak
memadai degradasi lokal organisme juvenillle dan larva untuk benih
pembukaan hutan bakau mengakibatkan hilangnya fungsi penyangga dan
selama hujan lebat tambak ini terancam oleh bahaya banjir.
(b) Manajemen tambak
Predasi merupakan problem serius kalau tambak tidak betul-betul
dibersihkan pada saat panen, sehingga memungkinkan predator tertinggal
90

dalam kolam. Fenomena ini dapat mengakibatkan gangguan serius pada


pertumbuhan benih.

(2) Arahan pengelolaan


(a) Preferensi harus diberikan kepada usaha marikultur yang dikelola secara
intensif profesional dengan menggunakan cages atau pens daripada usaha
yang mendorong konversi bakau menjadi sistem tambak lokasi tambak
harus sesuai untuk dapat berproduksi secara lestari.
(b) Pengembangan aktivitas manikultur harus didasarkan pada perencanaan
seksama dengan mempertimbangkan alternatif penggunaan lainnya.
(c) Kalau sistem tambak akan ditinggalkan maka pematang-pematang harus
dibongkar sehingga area dapat pulih kembali seperti semula.
(d) Pengaturan tata letak tambak yang melibatkan persyaratan performansi
untuk perlindungan habitat alam di sekitarnya tambak. Pola aliran air
permukaan harus tidak boleh terganggu.
(e) Di daerah bakau, tambak harus ditempatkan jauh di sebelah atas hutan
bakau. Kalau ada area yang disebut salt flats atau salt pan harus dipilih.
Pengalaman menunjukkan bahwa produktivitas tambah lebih besar
dilokasi seperti ini daripada di daerah konversi hutan bakau.
(f) Dalam sistem budidaya tambak, peningkatan populasi benih biasanya
layak. Kalau hal ini dibarengi dengan pengaturan kualitas air dan suplai
pakan, maka hasil maksimum dapat dicapai.

5.4. Ekosistem Hutan Bakau: Potensi dan Pengelolaannya

5.4.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Hutan Bakau

Batasanl pengertian hutan bakau (mangrove) adalah hutan yang terutama


tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang
dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon anggota
genera : Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,
Exoecaria, Xyloccarpus Aegiceras Scyphyphora dan Nypa. Dengan demikian,
ekosistem bakau ialah ekosistem pantai yang komponen tumbuhan ialah hutan,
beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi ekosistem bakau ini umumnya
adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian terlindung daru
tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain yang serupa.
Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir.
91

Penggunaan ekonomi yang utama :a.l. Hasil kayu; bahan kayu bakar;
kontruksi; suplai bahan kertas, karton, kotak, dl; Tekstil; dan Pangan,obat dan
bahan minuman. Bakau perupakan ekosistem hutan yang toleran garam di daerah
intertidal tropis. Ekosistem ini sangat kompleks dan bersifat fragile, tersusun atas
banyak varietas tumbuhan dan aneka satwa air dan darat. Karakteristik struktural
bakau ini beragam dengan lokasi dan sangat ditentukan oleh kondisi geografis,
tanah dan air, relief topografis dan kondisi iklim. Hutan bakau mempunyai
banyak spesies dan famili yang mana biasanya spesies-spesies Rhizopora
berasosiasi dengan pohon dan perdu lainnya.
Fungsi ekologis dari ekosistem bakau : a.l. (a) Sebagai sumber energi
dan bahan pakan yang sangat penting, (b) kehidupan satwa liar; (c) Pelindung
garis pantai; (d) Pengendali erosi oleh air laut; (e) Penyaring dan pembersih air
limbah, (f) Barier melawan ombak pasang dari badai laut.
Faktor pengelolaam
(a) Input air tawar mengencerkan air laut, tingkat salintas merupakan determinan
utama terhadap tipe dan kelimpahan spesies.
(b) Kisaran pasang surut merupakan faktor sangat penting bagi hutan bakau
karena salinitas akan terintegrasi dalam zone-zone yang mempengaruhi
pertumbuhan bakau.
(c) Polusi di kawasan pantai sebagai akibat dari buangan limbah industri, limbah
domestik, limbah pertanian/perikanan, sedimentasi dan dispersi minyak akan
mempengaruhi bakau dan sumberdaya lkehidupan akuatik
(d) Hutan bakau pantai merupakan sumberkayu yang penting untuk kepentingan
domestik dan komersial. Hasil dari hutan bakau menjadi sumber utama
material bangunan dan bahan bakar bagi masyarakat pantai
Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis,
hutan bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar,
areng, bahan penyamak, mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-
lain. Secara ekologis hutan bakau mempunyai fungsi penting karena menjadi
tempat lindung bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini sering
membawa pada pertentangan kepentingan dalam pemanfaatannya. Di
Indonesia dan Jawa Timur khususnya sesungguhnya pertentangan ini dapat
terhindari apabila semua pihak dapat menyadari peran lindung hutan bakau
tersebut sesungguhnya juga mencakup perlindungan terhadap kualitas
lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha produksi seperti hasil
hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci peran lindung
hutan bakau adalah sebagai berikut :
a) Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota
darat dan perairan baik laut maupun tawar.
92

b) Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut.


c) Berperan besar untnuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-
butir tanah ke lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai.

Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehigga sering
dapat dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusahakan terutama
bila dibandingkan dengan kawasan ekologis lainnya sepertu terumbu karang.
Namun demikian apabila sampai muncul kerusakan di kawasan hutan bakau
yang mungkin sulit dikembalikan adalah hilangnya beberapa jenis flora dan
fauna langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut. Selain dari itu, sesuai
dengan perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau umumnya
berpengaruh luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya. Kerusakan
ekosistem bakau selain merusak ekosistem estuari dan delta serta kawasan pantai,
pada umumnya juga berpengaruh luas ke kawasan daerah aliran sungai. Sebagai
kawasan tropis, Indonesia khususnya Jawa Timur mempunyai keragaman jenis
fauna maupun flora hutan bakau yang sangat besar. Bahkan beberapa jenis flora
maupun fauna sering dianggap sebagai jenis langka yang sebaran tempat
hidupnya hanya terpusat di kawasan Nusantara. Hal ini dapat dimengerti karena
sebagai bagian dari sisi peralihan teritorial benua kuno Gonwana, kawasan bakau
Indonesia mewariskan jenis flora dan fauna hasil perkembangan evolusi yang
khas dan tidak dijumpai di tempat lain di dunia. Atas dasar alasan-alasan tersebut
di atas, maka upaya konservsai serta pengolaan yang tepat dan terencana dengan
baik untuk kawasan hutan bakau di Jawa Timur merupakan suatu keharusan, dan
mempunyai bagian arti penting bagi pemeliharaan kualitas lingkungan hidup
manusia Jawa Timur baik untuk skala jangka pendek maupun jangka panjang.

5.4.2 Kondisi Hutan Bakau Serta Proses Degradasi Hutan Bakau

Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi


menjadi dua kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok
pertama umumnya berada di kawasan pantai selatan Jawa Timur yang
mempunyai pantai terjal, berbatu dengan ombak yang besar menghantam pantai
setiap saat. Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai utara Jawa
Timur yang relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif landai,
berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air lambat. Kondisi fisik
seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih banyak dipakai
di pantai Utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur. Berdasarkan atas nilai
indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Lingkungan
Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik seperti tersebut, pantai utara
93

dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor pencemaran dibandingkan


pantai selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur yang mempunyai
perkembangan sosial ekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami mengapa banyak
kawasan bakau di pantai Utara Jwa Timur yang telah rusak, dan berubah fungsi
seiring dengan pesatnya perkembangan sosial-ekonomi. Data tahun 1991 yang
berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et.al, menunjukkan bahwa dari kurang
lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 Ha dinyatakan
rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survey kasar,
dengan pemilihan tempat secara acak di kawasan pantai Utara Jawa Timur tida
dijumpai hutan bakau (Sumitro, 1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan
pohon-pohon bakau pada umumnya hanya terdapat pada galengan atau saluran
irigasi atau dalam bentuk gerubul-gerumbul kecil di sekitar pemukiman penuduk.
Hasil pengamatannya dikawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya
menunjukkan bahwa umumnya hutang mengrove merupakan jalur sempit sejajar
dengan jalan raya Surabaya – Banyuwangi yang terputus-putus di berbagai
tempat oleh karena pemukiman atau peruntukan lainnya. Lebar areal hutang
paling panjang adalah 175 m dan umumnya berkisar antara 50 – 60 m. secara
umum kawasan hutan bakau tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan
telah bergeser ke fungsi produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan
status mereka yang merupakan hutang lindung milik perum perhutani. Hal
serupa juga di jumpai di kawasan Blambangan – Banyuwangi (Soebiantoro,
1992). Tampaknya kawasan pantai utara Jawa Timur sudah tidak lagi
mempunyai kawasan hutan bakau perawan kecuali di kawasan-kawasan
konservasi seperti baluran.
Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan
di sepanjang pantai utara dan pantai Madura termasuk Madura Kepulauan
umumnya penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah Departemen Kehutanan,
termasuk perhutani dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Daerah
(BKSDA). Lokasi Penghijauan meliputi beberapa daerah di Kabupaten-
kabupaten Banyuwangi, jember, Situbondo, Malang, Blitar, Pacitan, Trenggalek,
Sumenep dan Bangkalan. Manun demikian, usaha penanaman kembali sering
tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar
menghijaukan kawasan bakau dan sering dikaitkan dengan kepentingan
pertambakan baik yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa
Timur, total usaha penghijauan di luar usaha konservasi dan pengamanan hutan
bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan bakau seluas kurang lebih 1250 ha.
Hasil penelitian tersebut juga menampakkan secara jelas sekali
berdasarkan pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan
budidaya tambak, perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju
94

penyusutan kawasan bakau ini disepanjang pantai Utara Jawa Timur dan Madura,
Sayangnya data rinci dalam skala yang lebih teliti mengenai laju perluasan
wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur sampai saat ini amat
sulit didapatkan meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap instansi
terkait seperti, Dinas perikanan, dinas kehitanan dan Pemerintah Daerah
(BAPPEDA) setempat, umumnya mereka mengkategorikan masalah penyusutan
luasan hutan bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai
masalah yang mendesak untuk ditangani.
Data hasil investarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan
pantai Jawa Timur, menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis tumbuhan bakau
umumnya dari genus Rhizopora, Avicenia, Exoecaria dan Acanthus selain itu
juga dapat dengan mudah terlihat, dikawasan pantai utara yang landai adanya
kemunculan lahan atau daratan baru seiiring dengan laju sedimentasi di daerah
Estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru ini terlihat sering terganggu oleh
aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau ladang pembuatan
garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat mengenai laju
pertambahan daratan baru disertai aktivitas perambahan oleh penduduk tidak
pernah ada.

5.4.2. Kebijakan Pembangunan/Pengelolaan Bakau

Konflik penggunaan penambangan tin dan pertambakan udang peluang


pemanfaatan yang lestari , produk kayu, tannis, suplay fry bebas tindakan
pengelolaan yang diperlukan antara lain :
a) Pengendalian pembukaan tambak udang, penebangan kayu bakau dan
lainnya
b) Menjaga topografi dan karakter substrat uhutan bakau dan saluran air tawar
c) Manjaga pola alamiah temmporer dan spatial dari salinitas air permukaan
dan ground water
d) Mempertahankan pola alamiah dan siklus aktivitas pasang surut dan run off
air tawar
e) Menjaga keseimbangan alamiah antara okresi, erosi dan sedimentasi.

Kebijakan atau rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pembangunan/pengelolaan hutan bakau di Jawa Timur
seyogyanya mempertimbangkan dua kepentingan pokok yaitu kepentingan
sosial-ekonomi dan kepentingan konservasi-ekologis dengan mengacu pada
landasan kebijakan nasional tentang arah dan kebijakan umum sumber daya
alam yang telah ditetapkan dalam GBHN. Dengan demikian pengelolaan hutan
95

bakau harus diarahkan agar segala pendaya gunaan sosio-ekonominya tetap


memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan
kemampuannya sehingga tetap dapat menjamin kemanfaatannya bagi generasi
mendatang. Hal ini berarti pula berseuaian dengan deklarasi World Conservation
Startegy (WCS) tahun 1979 dan strategi konservasi alam Indonesia, Agenda 21
Global Biodiversity Strategy (GBS) than 1992 dan Strategi Nasional Pengelolaan
Keanekaragaman hayati sehingga setiap kebijakan yang ditetapkan harus
mempunyai makna :
a) Perlindungan terhadap proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan
dalam ekosistem bakau
b) Pelestarian sumberdaya bakau dan keanekaragaman sumber plasma nutfah
yang terkandung didalamnya
c) Pemanfaatan secara lestari sumber daya bakau dan lingkungannya
d) Konsistensi kebijakan dan penanganan keanekaragaman hayati dan masalah
ekologis hutan bakau.
e) Mencermati aliran perdagangan flora maupun fauna langka di hutan bakau.

Landasan hukum tindakan operasioanal yang berkenaan dengan


pengelolaan hutan bakau sudah ada, mulai dari Undang-Undang RI No. 4 tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang RI No. 9 tahun 1985 tentang perikanan, Undang-Undang RI No.
5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daa Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Undang-Undang RI No. 5 tahun 1992 tentang penataan ruang. Undang-Undang
RI No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, Undang-
Undang RI No. 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan sampai dengan sederetan
Peraturan Pemerintah, keputusan Presiden, keputusan Menteri, sampai dengan
SK Gubernur Pemerintah daerah Jawa Timur. Permasalahan yang muncul justru
pada tingkat operasional pelaksanaan pengelolaan di lapangan. Secara umum hal
ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi antara instansi serta manajemen
pelaksana di setiap instansi yang berwenang. Pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan oleh Dinas Perikanan, misalnya sering berbentukan dengan Dinas
Pariwisata atau pihak Peruhatani maupun Pemda Tk. II, Mereka umumnya
menggarap satu kawasan yang sama dengan program yang erbeda. Contoh konkrt
mengenai hal ini terjadi di kawasan Sendang Biru, Malang Selatan. Program
pengembangan fasilitas perikanan, Pariwisata dan kependudukann yang tidak
memperhatikan adanya bahaya kerusakan hutan lindung di Pulau Sempu dan
sekitarnya. Tumpang tindih pemanfaatan kawasan bakau seperti itu banyak
terjadi di Jawa Timur, hal ini ternyata masih berlanjut sampai saat ini dan
merupakan warna pengelolaan lingkungan hidup di skala nasional.
96

Satu hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kelemahan


manajemen hutan bakau menyangkut banyak hal meliputi sistem sivikultur,
sumberdaya manusis, perencanaan pengorganisasian/pelembagaan, pelaksanaan
program kerja dan pengawasan. Ciri dari kelemahan manajemen tersebut antara
lain adalah data luasan kawasan hutan bakau yang tidak akurat. Di Jawa Timur
data luasan hutan bakau tersebut sering bervariasi menyolok antar instansi terkait
satu dengan lainnya. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam pelaksanaan tata
ruang, pemanfaatan maupun rehabilitasinya selain dalam hal manajemen,
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan bakau di Jawa Timur
diduga juga berhubungan dengan terjadinya degradasi hutan bakau akibat
pencurian kayu, perambahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan yang
melebihi daya dukung. Permasalahan terakhir ini lebih terkait dengan kondisi
sosial ekonomis dan budaya masyarakat sekitar hutan bakau secara lestari. Dari
sini terlihat bahwa pengelolaan hutan bakau secara lestari harus terkait dengan
pendidikan kesadaran berkonservasi, peningkatan lapangan kerja dan sarana
produksi bagi penduduk di sekitar kawasan bakau dan penduduk Jawa Timur
pada umumnya.

5.4.5. Analisis Dan Evaluasi

Secara umum kawasan bakau di Jawa Timur menunjukkan penyusutan


dari waktu ke waktu. Usaha penghijauan yang dilakukan belum dapat diharapkan
untuk memulihkan kawasan bakau menjadi kawasan perlindungan dan
keseimbangan lingkungan. Bahkan kawasan hutan bakau yang tersisa dengan
status sebagai hutan lindung banyak yang tidak memenuhi ketetapan Keputusan
Presiden No. 32 / 1990, karena lebar lajurnya kurang dari 220 m (Fandeli, 1992).
Bila ditinjau dari kualitas fisik dan kimiawi lingkungan, sesungguhnya usaha
penghijauan masih dapat diharapkan dapat merehabilitasi kawasan bakau
menjadi kawasan hutan bakau. Hambatan utama dalam penghijauan ini justru
dari bidang sosial ekonomi, kesadaran berkonservasi masyarakat sekitar serta
lemahnya manajemen (koordinasi) pengelolaan dari pihak yang berwenang atas
kawasan bakau ini.

Pengelolaan hutan mengrrove hendaknya dimulai dari kesepakatan


mengenai pentingnya kawasan ini bagi semua pihak yang disertai dengan analisis
untung rugi (analisis resiko dan manfaat). Sebagai contoh misalnya : kawasan-
kawasan pantai Banyuwangi, Probolinggo, Sidoarjo, Surabaya, Gresik dan Tuban
yang mempunyai tingkat pencemaran logam yang cukup tinggi akibat limbah
industri, tentunya lebih bermanfaat bagi orang banyak dan lebih beresiko kecil
97

apabila dihutankan dibandingkan untuk pertambakan. Dengan demikian, untuk


kawasan-kawasan bakau di sekitar tempat-tempat tersebut, apabila memang telah
ditetapkan untuk kawasan industri, maka tidak ada pilihan lain bagi Pemda Jawa
Timur untuk secara terus menerus menyadarkan masyarakat tentang bahaya
pencemaran logam berat sehingga dapat mendorong masyarakat
pemilik/petambak merekalnnya untuk dirubah menjadi hutan produksi.

5.5. Analisis dan Interprestasi Peta

Pemetaan kondisi pesisir-pantai dilakukan dengan menggunakan


pendekatan fisiografik yang mendasarkan pada proses geomorfik di muka bumi.
Pengumpulan data dilaksanakan dengan metode survey yang diawali dengan
kerja laboratorium untuk mempersiapkan peta kerja lapangan.
Pemetaan ini dilakukan beberapa lokasi contoh di wilayah pesisir pantai
propinsi Jawa Timur pada skala 1 : 50.000 oleh karena itu bahan-bahan
penunjang (foto udara, peta dan data lainnya) yang digunakan adalah yang
meliputi seluruh wilayah contoh ini.
a) Peta-Peta
Sebagai bahan acuan dalam interpretasi foto udara dan atau pengujian di
lapangan digunakan peta besar dan berbagai peta bantu lainnya :
 Peta Topogradi Skala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal
 Peta Penggunaan Lahan sekala 1 : 50.000
 Peta Administrasi, sampai tingkat kecamatan Publikasi BPN
Foto udara yang diperlukan untuk pemetaan sumberdaya ini adalah foto
udara pankromatik hitam putih skala 1 : 50.000. Foto udara nfra merah hitam
putih berskala 1 : 50.000 untuk wilayah Jawa Timr sejumlah 168 lembar
hasil pemotretan bulan Agustus sampai September 1983 diperoleh di Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsutanal) Cibinong – Bogor.
98

Foto Udara
Pankromatik Hitam
Putih Skala
1 : 50.000

Peta Acuan :
1. Geologi Proses Interpretasi
2. Landsystem Foto Udara
3. Laut Terhadap Land form
4. Pantai Pasir

Plotting Hasil
Peta Topografi
Interpretasi Foto
Skala 1 : 50.000
Udara

Interpretasi Foto
Pengujian Lapangan
Udara Ulangan

PETA AKHIR

Gambar 1. Diagram Alir interprestasi foto udara untuk mendapatkan peta.


99

b) Penyiapan Peta dasar


Peta dasar dibuat berdasarkan format dan isi yang mengacu pada peta
topografi skala 1 : 50.000. Unsur-unsur yang disajikan pada peta dasar
merupakan unsur terpilih yang erat kaitannya dengan tujuan pemetaan
c) Interpretasi foto udara
Sebagai bahan acuan sebelum melaksanakan interpretasi foto udara
dilakukan identifikasi skala 1 : 50… dan peta-peta lain yang terkait.
Selanjutnya dilakukan orientasi lapangan untuk mendapatkan kunci-kunci
interpretasi melalui foto udara.
Analisis klasifikasi parameter peta mengikuti klasifikasi yang berlaku sesuai
dengan ciri ekosistem yang dikaji klasifikasi menggunakan proses geomorfik
sebagai dasar pengelompokka, pembagian lebih lanjut menggunakan
parameter lainnya. Sehingga delineasi pada foto udara menghasilkan
keseragaman dalam prose intrepretasi sebelum mendelineasi batas satuan
peta perlu mendeteksi mengidentifikasi, menganalisa dan menklsifikasi prose
geometrik, relief, lereng dan torehan sebagai elemen landform. Anotasi
tambahan yang terkait dengan landform juga digambarkan pada foto udara,
misalnya lereng curam singkapan dan sebagainya.
Analisis landuse menggunakan analisis elemen dengan menggunakan rona,
tekstur, pola, ukuran, bentuk, tinggi, bayangan, situs dan asosianya. Kunci-
kunci interpretasi diperoleh melalui orientasi lapangan sebelum dilaksanakan
interpretasi. Delineasi dilakukan pada foto udara mengikuti sebaran
karakteristik foto bagi masing-masing vegetasi dan atau penggunaan yang
ada.
Hasil interpretasi foto udara diplot pada peta dasar yang dibuat dari peta
topografi skala 1 : 50.000.
100

VII. REKOMENDASI DALAM PENGATURAN


KAWASAN PESISIR

Dalam rangka pengaturan ruang kawasan pesisir pantai yang harus


diperhatikan antara lain sebagai berikut:

A. Bahaya alam yang bisa dijumpai di wilayah pesisir pantai adalah:


a. Degradasi Habitat wilayah pesisir pantai
b. Pencemaran wilayah pesisir pantai
c. Ancaman intrusi air laut (masuknya air laut ke areal darat)
d. Rawan bencana alam (longsor, gelombang stunami)
e. Kerusakan hutan akibat penebangan hutan secara liar
f. Belum optimalnya pengelolaan wilayah pesisir pantai
g. Belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam (baik
pertanian, perikanan dan pariwisata)
h. Minimnya sarana dan prasarana transportasi
i. Minimnya infrastruktur
j. Rendahnya kualitas sumber daya manusia
k. Rendahnya penataan dan penegakan hukum

B. Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Ruang Kawasan Pesisir Pantai


(a) Rencana Penetapan Zona Kawasan Pesisir dan Kelautan
Rencana penetapan zona kawasan pesisir dan kelautan adalah: penetapan
kawasan budidaya dan non budidaya di wilayah darat dan perairan laut.
Arahan penetapan zona kawasan pesisir pantai berdasarkan pada :
1. Kesesuaian pemanfaatan ruang, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 837/KPTS/UM/1980 dan Perda Pemerintah Propinsi Jawa
Timur No 11 tahun 1991 tentang Penetapan Kawasan Lindung.
2. Penetapan zona kawasan berdasarkan pada kegiatan manusia yang prospek
pengembanganya baik dan mempunyai potensi untuk dikembangkan.
Beberapa kegiatan manusia pada kawasan pesisir dan kelautan, antara lain
adalah: pariwisata, tambak, daerah penelitian, pelabuhan pendaratari ikan
(PPI), pemukiman nelayan.
3. Penetapan berdasarkan pada Undang-undang No.22 Tahun 1999, yang
menjelaskan bahwa kewenangan pengelolaan wilayah kelautan bagi
Kabupaten adalah 4 mill. Arahan penetapan zona kawasan pesisir dan
kelautan Kabupaten adalah perlindungan terhadap habitat terumbu karang dan
mangrove.
101

4. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa di


wilayah pesisir telah terjadi perubahan fungsi penggunaan tanah ataupun
perusakan terumbu karang karena kesalahan pengelolaan. Adapun secara garis
besar arahan pengelolaan wilayah daratan diarahkan pada:
(1) Di wilayah darat mengingat kondisi pantai umumnya merupakan pantai
berpasir dan wilayah dengan topografi yang terjal, maka pada wilayah
pantai yang saat ini merupakan kawasan hutan diarahkan untuk tidak
diubah pola penggunaan tanahnya, bahkan harus dipelihara keasriannya.
Pada kawasan hutan yang mengalami kerusakan baik karena penebangan
ataupun karena kekurangtepatan dalam pengelolaan maka diarahkan untuk
dikelola secara teknis dan vegetatif maupun pengelolaannya bersama
masyarakat.
(2) Beberapa kawasan yang diperuntukkan sebagai tegalan ternyata menurut
kesesuaian lahannya adalah untuk kawasan penyangga. Pada kawasan ini
maka diperlukan pengelolaan tegalan yang mampu memberikan fungsi
perlindungan melalui memperbanyak tanaman keras dan tanaman tahunan.
(3) Pada kawasan yang telah bersesuaian peruntukannya, maka diperlukan
peningkatan intensitas kegiatan dengan titik berat peningkatan nilai
ekonomi komoditas.
(4) Pada wilayah pantai yang memiliki terumbu karang, maka diperlukan
penyuluhan dan pemberian informasi pada masyarakat tentang manfaat
terumbu karang dan upaya pengelolaannya.
(5) Khusus untuk wilayah konservasi yang memi'iki aset wisata, maka
pengelolaannya harus dilakukan secara terpadu, dimana pariwisata yang
dikembangkan hanya sebatas menikmati pemandangan alam dan
melakukan penelitian saja.
(6) Pelaksanaan agroforestry pada lahan-Iahan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan penyangga. Pada daerah pesisir yang telah mengalami
terjadinya pergeseran fungsj lahan berdasarkan zona fungsional yang telah
ditetapkan. Karena semakin berkurang vegetasi yang berfungsi sebagai
penahan laju air limpasan. Akan berakibat: Semakin besar air limpasan
permukaan, maka semakin kecil air yang merembes ke dalam tanah
sebagai air tanah atau air infiltrasi. Besarnya limpasan ini akan
mengakibatkan air sebagai sumber kehidupan untuk masa mendatang akan
sulit ditemukan karena persediaan air dalam tanah sangat sedikit.
(7) Semakin besar air limpasan yang menuju ke pantai akan membawa
jutaan ton tanah subur hasil erosi, hal Ini akan mengakibatkan penimbunan
lumpur dl daerah hilir sehingga mengancam rusaknya ekosistim di daerah
pantai.
102

(8) Pengelolaan wiiayah pantai ini pada dasarnya merupakan pengelolaan


antara wilayah daratan dan lautan secara terpadu. Berdasarkan kondisi
yang ada di wilayah daratan (atas) telah dilakukan upaya pengelolaan
untuk mengarahkan pada pemanfatan nilai ekonomis lahan baik pada
kawasan lindung maupun kawasan budidaya, maka di bagian hilir (laut)
juga perlu kegiatan serupa sehingga program keberlanjutan pembangunan
dapat dilaksanakan secara menerus.
(9) Pengelolaan pesisir pesisir pantai ini pada dasarnya merupakan upaya
untuk pemanfaatan dalam jangka panjang yang berlanjut. Untuk itu maka
sangat diperlukan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan petingnya
suatu ekosistem yang memberikan kehidupan sumberdaya peisisir, dengan
arahan-arahan yang ditempuh sebagai berikut:
(1) Penyadaran hukum terhadap kegiatan masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan berdampak luas. Misalnya
penebangan hutan di daerah atas.
(2) Penyadaran hukum terhadap kegiatan masyarakat yang berdampak
terhadap kelangsungan hidup ekosistem dan mata pencaharian.
Misalnya penangkapan ikan dengan menggunakan bahan beracun
dan bom
(3) Memberikan altematif kegiatan terhadap kegiatan yang bersifat
merusak lingkungan.

You might also like