You are on page 1of 7

Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi

BAB I
PENDAHULUAN

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk
kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme.
Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi
(protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan
sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan
daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi
perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme
terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di
RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan
daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH
sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek
yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan
hewan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah
penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan
disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan
perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha
Pemotongan.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Manual
Kesmavet, 1993).

A. Bangunan RPH
Desain dan tata ruang akan membicarakan permasalahan kompleks Rumah Potong Hewan yang meliputi
bangunan dan perlengkapannya beserta denah dari berbagai tipe RPH. Pembahasan ini banyak diambil
dari pendapat Lestari (1993).
Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat bertindak sebagai sumber
penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu
diperhatikan untuk menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi
sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).
2Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan desain yang baik dan
berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan
menjamin fungsinya secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan perlengkapan
yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata ruang sesuai dengan tipenya seperti pada
gambar 2 sampai 5 (Lestari, 1993).
Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan
sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH
dengan standar internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih
dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat
dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana
menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu
juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan
memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).
Gambar 1. Tata ruang RPH tipe A (Lestari, 1994)
Keterangan: 
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Ruang proses jeroan.
4. Ruang pengolahan kulit.
5. Ruang laboratorium.
6. KM/WC.
7. Kantor. 
8. Ruang cold storage.
9. Gang masuk sapi satu persatu. 
10. Tempat sembelih.
11. Ruang proses jeroan.
12. Ruang pengolahan kulit.
13. Ruang laboratorium.
14. KM/WC.
15. Kantor. 
16. Ruang cold storage.
Gambar 2. Tata ruang RPH tipe B (Lestari, 1994)
Keterangan: 
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kepala, kaki, kulit , jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Periksa daging.
6. Penimbangan.

Gambar 3. Tata ruang RPH tipe C (Lestari, 1994)


Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Ruang penirisan.
10. Kantor.

Gambar 4. Tata ruang RPH tipe D (Lestari, 1994)


Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Kantor.

B. SNI RPH
RPH, di samping sebagai sarana produksi daging juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat
yaitu untuk menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH
merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan swasta diizinkan mengoperasikan RPH khusus
untuk kepentingan perusahaannya, asalkan memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai
dengan peraturan Pemerintah yang berlaku. Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau
standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang
berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH.
Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah Merupakan tempat atau bangunan khusus untuk
pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk
menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum pemotongan.
Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat
penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah hasil
pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air
buangan atau air bekas cucian.
Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang baik dan halal di
Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah
Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan
lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa
polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.

C. Teknik Pemotongan pada Sapi


1. Pengistirahatan Ternak
Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12 sampai 24 jam. Ternak
diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan
cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 1992). Pengistirahatan
ternak penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan
akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak
mengalami stress (Beef Stress Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan
menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith et al., 1978). 
Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan
dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kososng (BTK = bobot tubuh
setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan
mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan
bermaksud agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami
stress (Soeparno, 1992).
Pada saat ternak diistirahatkan juga dilaksanakan pemeriksaan sebelum penyembelihan (antemortem),
yang meliputi kesehatan ternak, cidera atau tidaknya ternak dan bunting atau tidaknya ternak (Manual
Kesmavet, 1992).
Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum hewan disembelih. Petugas
pemeriksaan antemortem adalah dokter hewan. Dokter hewan inilah yang berhak menentukan apakah
hewan dapat dipotong atau tidak. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan hewan sebelum
disembelih. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem antara lain :
a. Memperoleh ternak yang cukup sehat.
b. Menghindari pemotongan hewan yang sakit/abnormal.
c. Mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan karkas.
d. Sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan postmortem.
e. Mencegah penyebaran penyakit zoonosis.
f. Mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang.
(Anonim, 2009).
2. Prosessing Karkas Sapi
Setelah sapi lolos pada pemeriksaan pre-mortem oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk, melalui
proses regristasi dan dinyatakan memenuhi syarat, maka sapi dibawa masuk ke ruang persiapan
penyembelihan untuk melalui prosesing penyembelihan (Manual Kesmavet, 1992).
a. Pemingsanan (Stunning)
Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit
mungkin pada ternak (Blakely dan Bade, 1992), memudahkan pelaksanaan penyembelihan dan kualitas
kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Soeparno, 1992).
Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan knocker, senjata
pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus listrik (Soeparno, 1992). Alat yang sering digunakan
adalah captive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan
eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi (Blakely dan Bade, 1992).
Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi sedikit dia atas antara
kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan
mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 1992).
b. Penyembelihan
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode secara Islam (Manual
Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan
menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan
pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999).
Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung (Blakely dan Bade, 1992).
Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan
penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung
(Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna
(Blakely dan Bade, 1992).
c. Pengulitan
Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah (Smith et al.,
1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 1992).
Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian
perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah
punggung tubuh (Soeparno, 1992) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith et al., 1978).
d. Eviserasi
Menurut Smith et al. (1978) proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan organ pencernaan (rumen,
intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada (jantung, eshophagus, paru, trachea).
Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (1992) dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:
1. Rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.
2. Rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal.
3. Memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal.
4. Belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic.
5. Buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik.
6. Pisahkan eshophagus dari trakhea.
7. Keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada.
8. Keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung
serta hati dan empedu.
9. Diafragma dibuka dan keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjutkan dengan
pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978), organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas
diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Bade, 1992).
e. Pembelahan
Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian sebelah kanan dan kiri dengan
menggunakan gergaji tepat pada garis tengah punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan
pemotongan pada bagian-bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat karkas
segar (Soeparno, 1992). Pemotongan dilaksanakan untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas
memar, rambut dan sisa kotoran yang ada (Smith et al., 1978).
Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi dan dilanjutkan dengan
dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith et al., 1978), dan dibungkus dengan kain putih untuk
merapikan lemak subkutan (Soeparno, 1992).
f. Pendinginan
Karkas ditimbang diberi label dan disimpan pada suhu 28 sampai 32oF pada ruang pendingin agar dingin
dengan berkurangnya panas tubuh dengan waktu 12 sampai 24 jam. Karkas kemudian dimasukan dalam
ruang pendingin dengan suhu 32 sampai 34oF untuk penyimpanan berikutnya (Smith et al., 1978).
Pendinginan dilakukan pada suhu 2oC selama 24 jam untuk persiapan pemeriksaan kualitas karkas
(grading). Karkas disayat pada posisi antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13 untuk membuka loin eye, dan
dilakukan penilaian untuk menentukan grade karkas.

3. Potongan pada Karkas Sapi


Menurut Soeparno (1992) potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi mennjadi
potongan seperempat, yang meliputi:
Potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan,
dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate).
Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas (rump), loin yang terdiri sirloin
dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak yang menyeliputinya.
Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan
13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai
berikut: hitung tujuh vertebral centra kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari
perhubungan sacralumbar. Potong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Pisahkan bagian
seperempat depan dari seperempat belakang dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan
abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12. Pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan
memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals atau antara rusuk ke-5 dan ke-
6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Pisahkan
bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang
siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 1992).
Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak dekat
pubis dan bagian posterior otot abdomianal. Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor
fascialata, anterior dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column).
Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira
berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur. Pisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan
melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum
pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan
melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparnpo, 1992).

Gambar 5. Potongan primal karkas sapi (National Live Stock and Meat Board,1973 yang disitasi oleh
Soeparno, 1992)

Gambar 6. Potongan daging sapi sistem Amerika Serikat

D. Penilaian Karkas Sapi


Penetapan peringkat karkas sapi ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan palatabilitas daging dan
jumlah atau hasil potongan-potongan dagingnya (Blakely dan Bade, 1992). Peringkat kualitas karkas
menurut USDA terdiri dari Prime, Choice, Good, Standart, Commercial, Utility dan Cutter. Penilaian
karkas menurut USDA juga bisa didasarkan pada nilai perdagingan karkas (Yield grade) dengan nilai 1
sampai 5 (Smith et al., 1978). 
Penilaian karkas menurut USDA (United State Departement of Agriculture) didasarkan pada:
Kualitas karkas (carcass quality) dengan melihat kedewasaan ternak (umur ketika dipotong), susunan
daging, tekstur daging dan perlemakan marbling.
Potongan-potongan daging (cutability) dengan melihat berat karkas, luas area ribeye, jumlah persentase
lemak internal dan ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978).
Kedewasaan ternak diukur berdasarkan bentuk dan proses penulangan serta warna dan tekstur daging
tak berlemak. Perlemakan dengan melihat penyebaran lemak di dalam otot pada lokasi antara tulang
rusuk ke-12 dan ke-13. Tekstur dan warna daging tidak berlemak juga ditentukan nilainya pada tulang
rusuk ke-12 dan ke-13 (Blakely dan Bade, 1992). Penentuan warna daging, kekerasan daging, tekstur
daging, jumlah marbling, distribusi marbling dan tektur marbling dengan menggunakan angka skor 1
sampai 8 dengan keterangan tertentu (Smith et al., 1978).
Berat karkas ditentukan dengan menimbang berat karkas segar atau karkas beku yang dikalikan 102%.
Ketebalan lemak eksternal diukur dengan melihat ketebalan lemak pada daging ribeye (Gambar 17).
Luas area ribeye dengan mengukur luas penampang daging pada ribeye dengan menempelkan pada
plastik dengan skala kotak-kotam 0,1 inci (Gambar 8). Presentase lemak internal dengan melihat jumlah
lemak ginjal, pelvis dan jantung pada berat karkas segar dikalikan 100% (Smith et al., 1978).
Nilai perdagingan karkas (Yield grade) dihitung dengan menggunakan persamaan menurut USDA, yaitu:
2,50 + (2,50 x tebal lemak punggung dalam inci) + (0,20 x % lemak internal) + (0,0038 x berat karkas
dalam lbs) – (0,32 x luas area LD atau ribeye dalam inci2). Hasil perhitungan dibulatkan ke bawah, misal
1,69 dibulatkan menjadi 1,0, nilai tersebut menunjukkan peringkat Yield grade (Swatland, 1984)
Gambar 7. Pengukuran ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978)
Gambar 8. Pengukuran luas area ribeye (Smith et al., 1978)

E. SNI Daging Sapi


Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
Bakso daging SNI 01-3818 -1995
Sosis daging SNI 01-3820 -1995Dendeng sapi SNI 01-2908 -1992Keripik paru sapi SNI 01-4280
-1996Persyaratan sapi potong SNI 01-3523 -1994Standar daging sapi / kerbau SNI 01-3947 -1995Kulit
sapi mentah kering SNI 06-0206 -1987(Anonim, 2006).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas sebagai berikut:


1.Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.
2.Disain dan konstruksi bangunan RPH harus memenuhi persyaratatan teknis dan hygiene.
3.Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa
persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak.
4.Teknik pemotongan pada sapi meliputi pengistirahatan ternak, prosessing karkas sapi, dan penentuan
potongan pada karkas sapi.
5.Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor


Peternakan.http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.html.Diakses pada
tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan
Masyarakat.http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada
pukul 11.03 WIB.
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet.
ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk Eksport
Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari,
Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat
Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang
Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed.
American Press, Boston, Massachusetts.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs,
New Jersey.
Diposkan oleh Septinadi 00:30

You might also like