You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak
menular yang akan meningkat di masa datang. Diabetes sudah merupakan suatu ancaman
utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO)
membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidab diabetes diatas usia 20 tahun
berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025,
jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang ( Sudoyo, Aru W,2006).
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik
yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak
terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya
komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup,
kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah
populasi manusia usia lanjut (Hiswani,2009).
Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan
kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes
mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan
sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi
sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di
Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan
prevalensi 5,7% (Hiswani,2009).
Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan
ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi
Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien Diabetes Mellitus, suatu
jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM (Hiswani,2009).
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian
dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan datang kekerapan diabetes di Indonesia akan meningkat drastis (Sudoyo, Aru W,2006).

1
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO seperti tampak pada tabel 1,
indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan pengidap diabetes sebanyak
12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995(Sudoyo, Aru W,2006).

Tabel 1. Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak pada penduduk
dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025. Sumber : Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam
Urutan Negara 1995 (juta) Urutan Negara 2025 (juta)
1 India 19,4 1 India 57,2
2 Cina 16,0 2 Cina 37,6
3 Amerika 13,9 3 Amerika 21,9
Serikat Serikat
4 Federasi 8,9 4 Pakistan 14,5
Rusia 5 Indonesia 12,4
5 Jepang 6,3 6 Federasi 12,2
6 Brasil 4,9 Rusia
7 Indonesia 4,5 7 Meksiko 11,7
8 Pakistan 4,3 8 Brasil 11,6
9 Meksiko 3,8 9 Mesir 8,8
10 Ukraina 3,6 10 Jepang 8,5
Semua 49,7
negara lain
135,3 300

Melihat dari data-data tersebut dan besarnya kemungkinan peningkatan jumlah


pengidap diabetes di dunia dan khususnya di Indonesia, maka langkah-langkah dalam
mengantisipasi ledakan kenaikan jumlah tersebut harus dilakukan sedini mungkin.

1.2 PERMASALAHAN

2
Apakah diabetes melitus itu?
Apa saja komplikasi diabetes melitus?
Bagaimana penanganan dari diabetes melitus?

1.3 TUJUAN
1.3.1 TUJUAN UMUM

Memberikan informasi mengenai penyakit diabetes melitus dan langkah-langkah


penanganannya.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Memberikan informasi mengenai definisi, patofisiologi, diagnosis, dan komplikasi


penyakit diabetes melitus.
2. Memberikan informasi mengenai penanganan diabetes melitus di indonesia.

1.4 MANFAAT

1.4.1 Bagi Penulis

Mendapat pengetahuan penyakit diabetes melitus serta langkah penanganannya serta


menambah pengalaman dalam membuat karya tulis yang baik dan benar.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Sebagai sumber informasi dan pengetahuan masyarakat sehingga masyarakat dapat


lebih memahami mengenai penyakit diabetes melitus serta cara pencegahannya.

3
BAB II

PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS DAN KOMPLIKASINYA

2.1 DEFINISI

Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin (PERKENI 2006).

Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau
penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih
merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh
adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Suyono, 2005).

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya(Sudoyo,Aru W,2006).

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan
sosial ekonomi(Shahab,Alwi, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(PERKENI, 2006).

4
2.2 KLASIFIKASI

Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada


tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes
melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes
melitus gestasional (Adam, John MF, 2000).

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in


Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang
disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009):

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor
lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada
aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat

5
penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan
terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.

2.3 DIAGNOSIS

Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa


darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan
darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan
yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan
glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena
maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa
glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya


DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini
(PERKENI, 2006) :

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes
melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl,
kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi

6
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl
(Sudoyo,Aru W, 2006).

Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes
melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru
W, 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes
melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu
(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan
GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara
menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI,
2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).

7
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa


terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

8
2.4 PENATALAKSANAAN

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes
secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi
keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas,
baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus
(Sudoyo, Aru W, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidup penyandang diabetes (PERKENI, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu (PERKENI, 2006):
1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neyropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan tingkah laku (PERKENI, 2006).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan
pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum
tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis.
Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titikkerja obat sesuai dengan
macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada gambar 2.

9
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006.

Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang


digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai
dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006.
Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

A. Edukasi.

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

10
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani
pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) :
1. Mengikuti pola makan sehat
2. Meningkatkan kegiatan jasmani
3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Gizi Medis.

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes


secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006)

11
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain
(Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sistem koagulasi darah

Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kadar glukosa darah mendekati normal
• Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
• Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
• Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmhg
3. Profil lipid yang berkisar normal
• Kolesterol LDL < 100 mg/dl
• Kolesterol HDL > 40 mg/dl
• Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat,


protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Sudoyo,
Aru w, 2006).
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi
menurut konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI
tahun 2006 adalah sebagai berikut :
1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari
70%jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal

12
(MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
Rekomendasi pemberian karbohidrat (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari
karbohidrat
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kalori perhari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan
sampai lebih dari total kebutuhan kalori per hari
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame,
acesulfam dan sucralosa
7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari
8. Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari

2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari


total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006):
1. Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
3. Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-
1 mg/kgbb/hari
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan daripada hewani.

13
3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid =
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat
menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10 % dari total kebutuhan kalori per hari
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.
4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan
bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25
g/1000 kkal/hari (PERKENI, 2006).

14
5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dll (PERKENI, 2006).
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb (PERKENI, 2006) :
1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
1. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. BB Normal : BB ideal ± 10 %
3. Kurus : < BBI - 10 %
4. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam
The Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment.
1. BB Kurang <18,5
2. BB Normal 18,5-22,9
3. BB Lebih >23,0
a) Dengan risiko 23,0-24,9
b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II ≥ 30

C. Latihan jasmani.

Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah
satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar
yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang
termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari (Sudoyo, Aru w, 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

15
bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan
(PERKENI,2006).

Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

D. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006).
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik
kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia
(Sudoyo, Aru W, 2006).

Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006) :

1. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

16
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

2. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion


Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel
otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala.

3. penghambat glukoneogenesis: metformin


Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

17
4. penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari (PERKENI, 2006) :


1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal
2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
6. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makansuapan pertama
7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C
(Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.

18
Tabel 7. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

5.

Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan
tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, Aru W, 2006).
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional

19
9. yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
10.Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
11.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI,
2006) :
1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

tabel 8. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

2.5 Penilaian hasil terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006) :

20
2.5.1 Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:


a) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
b) Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan
pemeriksaan 2 jam posprandial.

2.5.2 Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

2.5.3 Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan
sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi
insulin.

21
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang
dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai
ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia
nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti
hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 9.

2.5.4 Kriteria pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian


DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 10 (PERKENI,
2006).

22
Tabel 10. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

2.6 Komplikasi

2.6.1 Komplikasi akut

Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik


yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan
sampai menyebabkan syok (Sudoyo, Aru W, 2006).

23
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan hormon
pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat ringannya KAD. Adapun
gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu (Sudoyo,
Aru W, 2006) :

1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis

Gambar 3. Patofisiologi KAD. Sumber : sudoyo, aru w, 2006

KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut (Sudoyo, Aru W,


2006) :

1. Kadar glukosa > 250 mg%


2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif

24
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD
tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi
titerasi, sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip
pengelolaan KAD adalah (Sudoyo, Aru W, 2006) :

1. Penggantian cairan dan garam yang hilang


2. Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan insulin
3. Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh


hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, Aru W, 2006).
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa
hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari
10% kasus (Sudoyo, Aru W, 2006).

HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor
pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance,
DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan
penyebab tersering (57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga
sering menyebabkan HHNK (21%) (Sudoyo, Aru W, 2006).

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria.


Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada
keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas
tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang
telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar

25
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan
kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa
darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Sudoyo, Aru W, 2006).
Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan (Sudoyo, Aru W, 2006):
1. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan.

Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL.


Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama (PERKENI, 2006).

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,


gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma) (PERKENI, 2006).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.


Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung
gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan
pada pasien dengan hipoglikemia berat (PERKENI, 2006).

26
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat
dipastikan penyebab menurunnya kesadaran (PERKENI, 2006).

2.6.2 Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi


komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur
polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan
proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan
pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati
ataupun nefropati diabetika (Permana,Hikmat, 2007).

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu


(Permana,Hikmat, 2007):
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis

1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada
kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan
ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan
adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia
retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang
baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila
dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

27
Nefropati diabetika

Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai


penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika
dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan
adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.
Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan
kontrol tekanan darah.

2. Komplikasi Makrovaskular

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya


arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes,
namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai
studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit
,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang
normal.

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol


kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa
hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana
peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula.
kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar
5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga
berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat
gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada
paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan
hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda
setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.

28
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap
dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala ini
dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.

Stroke

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada


penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes.
Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita
diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis
timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia

Penyakit pembuluh darah

Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang


dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah
koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes
disbanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat
keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok.

Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi
pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila
sudah mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati
yang disertai infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik.
Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai
factor pencetus koma, ataupun kematian.

29
3. Neuropati

Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada


penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat
berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya
progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri
atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan.

Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf


akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol,
penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf,
demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

30

You might also like