You are on page 1of 25

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah yang tidak jarang ditemukan pada anak.
Kemajuan yang pesat dalam pengelolaan menjadikan prognosis penyakit ini membaik sehingga
pengenalan dini GGK merupakan masalah yang penting. Membaiknya pengobatan pada akhir-
akhir ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bertambahnya pengertian tentang patofisiologi
GGK, aplikasi yang tepat dari prinsip pengelolaan medis GGK, dan kemajuan teknologi dalam
tehnik dialisis serta transplantasi ginjal. Pada saat ini, telah dimungkinkan pengelolaan GGK
pada anak yang sangat muda, pengelolaan ditujukan untuk mempertahankan kemampuan
fungsional nefron yang tersisa selama mungkin dan memacu pertumbuhan fisik yang maksimal,
sebelum dilakukannya dialisis atau transplantasi.
Sulit untuk menentukan secara pasti angka kejadian GGK pada anak. ada tahun 1972,
American Society of Pediatric Nephrology memperkirakan diantara anak yang berumur di
bawah 16 tahun terdapat 2.5-4 persejuta populasi dari umur yang sama menderita GGK
pertahunnya.4 Di negara Inggris, Gagal Ginjal Terminal pada anak dalam tahun 1997- 1999
penderita Gagal Ginjal Terminal per tahun pada anak berumur kurang dari 18 tahun adalah 7.4
persejuta populasi pada umur yang sama, dimana anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan anak perempuan, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 1.76:1. Esbjorner
(1997) dari Swedia melaporkan insiden tahunan Gagal Ginjal Terminal sebesar 6.4 (4.4-9.5) per
sejuta anak berusia 16 tahun pada periode tahun 1986-1994.
Di Jepang, Hattori (2002) melaporkan pada tahun 1998, prevalensi Gagal Ginjal Terminal
pada anak-anak yang berusia antara 0-19 tahun sebanyak 22 per sejuta populasi dari umur yang
sama. Anak-anak yang berusia lebih tua mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan
adik-adiknya. Penyebab utama terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Jepang adalah
hipoplasia/displasia ginjal dan glomerulosklerosis fokal segmental. Insiden pasien baru Gagal
Ginjal Terminal adalah 4 per sejuta populasi dari umur yang sama pada tahun 1998.
Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada
penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari
2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di RSCM
Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit
ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. GGK
pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal
kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5
tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak
dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.

B. Tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang
masih berfungsi. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena
kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain.
Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2
luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis
metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu,
dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.

B. Klasifikasi
Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah terjadi penurunan fungsi
ginjal, tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi dari ringan sampai berat. Kebanyakan
penulis membuat klasifikasi berdasarkan presentase laju filtrasi glomerulus (LFG) yang tersisa.
GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu :
1. Gagal ginjal dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80%
dari normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk mengkompensasi
penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan klinis.

2. Insufisiensi ginjal kronik


Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan adanya
gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat
ini LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73m2.

3. Gagal ginjal kronik


Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan
berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi, dan
sebagainya. LFG pada tingkat ini telah berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73m2.
4. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal 12% dari normal, LFG menurun sampai < 10 ml/menit/1,73m2 dan
pasien telah memerlukan terapi dialisis atau transplantasi ginjal.

Klasifikasi lain GGK berdasarkan LFG, yaitu:


1. Gangguan fungsi ginjal (Impaired renal functions):
LFG = 80-50 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini biasanya pasien masih asimptomatik.

2. Insufisiensi ginjal kronik


LFG = 50-30 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini sudah bisa ditemukan gejala:
− Gangguan metabolik a.l. Hiperparatiroid sekunder, asidosis metabolik ringan
− Hambatan pertumbuhan dan
− Fungsi ginjal akan progresif menurun.

3. Gagal ginjal kronik


LFG = 30-10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.

4. Gagal ginjal terminal


LFG = < 10 ml/menit/1,73m2. Pada tingkat ini perlu dilakukan terapi pengganti yaitu dialisis
peritoneal/hemodialisis atau transplantasi. Tingkat ini juga disebut gagal ginjal tahap akhir (End
stage renal failure).

Fase sebelum GGT disebut pra GGT (Pre terminal renal failure). Pada fase ini perlu dilakukan
pengobatan konservatif secara berhati-hati untuk menjaga pertumbuhan anak secara optimal dan
memperlambat penurunan fungsi ginjal selama mungkin. Banyak diantaranya bisa mencapai
umur dewasa. Sebaiknya penanggulangan dilakukan oleh atau bersama dengan konsultan
nefrologi anak.

C. Etiologi
Dua penyebab utama GGGK pada anak adalah kelainan kongenital dan glomerulonefritis
kronik. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun adalah kelainan
kongenital, kelainan perkembangan saluran kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan
displasia ginjal, dan ginjal polikistik. (lihat tabel). Menurut laporan EDTA, glomerulonefritis dan
pielonefritis merupakan penyebab tersering timbulnya GGK (24%), diikuti oleh penyakit
herediter (15%), penyakit sistemik (10,5%), hipoplasia ginjal (7,5%), penyakit vaskular (3%),
penyakit lainnya (9%) serta yang tidak diketahui etiologinya 7%. Dari kelompok pielonefritis
dan nefritis interstitial yang tersering adalah uropati obstruktif kongenital dan nefropati refluks
(>60%), diikuti oleh displasia ginjal.

Tabel 1. Etiologi GGK Pada Anak


Kelompok Penyakit Habib Potter Zilleruel Pistor
o
Kelainan kongenital termasuk uropati 116 45 46 (56,8) 209
obstruktif (43.0) (29,2) (33,5)
Glomerulonefritis kronis primer dan 71 59 22 (27,1) 122
sekunder termasuk sekunder akibat (26,3) (38,4) (19,6)
kelainan sistemik
Nefritis interstitial dan pielonefritis yang -- 12 (7,8) -- 74
tidak berhubungan dengan uropati (11,9)
obstruktif
Kelainan herediter 61 20 2 (2,5) 119
(22,5) (13,0) (19,1)
Nefropati vaskular termasuk sindrom 11 9 (5,8) 5 (6,2) 27 (4,3)
hemolitik uremik (4,1)
Lain-lain 11 9 (5,8) 6 (7,4) 72
(4,1) (11,6)

Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan didapat,
dan kelainan herediter:
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa, kelainan
metabolit (oksalosis, sistinosis)

Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbul GGK. Gagal
ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya dengan
kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal.
Sedangkan GGK yang timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit
glomerular (glomerulonefritis, sindrom hemolitik ureumik) dan kelainan herediter (sindrom
Alport, kelainan ginjal kistik).

D. Patofisiologi
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal
mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme
yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-
faktor yang dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus;
hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus;
masukan diet protein dan fosfor; proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik.
Endapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-menerus
pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan
parut.
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi
glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang
karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertroti struktural dan fungsional yang
ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan
aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-
angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang bertahan hidup.
"Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang berperan
memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum dipahami.
Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan
tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein
melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada
sel mesangium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis
meningkat, nefron sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran
setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah
angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin II, dengan
demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi-protein
mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan
cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi.
Penelitian manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG)
berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet
protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.
Beberapa penelitian yang kontroversial pada model binatang menunjukkan bahwa
pembatasan diet fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal kronis. Apakah
pengaruh yang menguntungkan ini karena pencegahan penimbunan garam kalsium-fosfat dalam
pembuluh darah dan jaringan atau karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang
berkemungkinan nefrotoksin, masih belum jelas.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding
kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera
hiperfiltrasi.
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang pada nefron
sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun di
bawah 20% normal, kumpulan kompleks kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang
sehingga secara bersamasaan membentuk keadaan uremia.

E. Gejala dan Tanda


Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25
dihidroksivitamin D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).

Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala
klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi
dan hanya menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu
makan, muntah, polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan
pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi
ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.

1. Gangguan keseimbangan elektrolit


Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan
mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron
yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan
membahayakan tubuh. Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya
rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FeNa). Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan FeNa pada pasien GGK belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam
penelitiannya pada pasien GGK (LFG antara 11-66 ml/menit/1,73m2 melaporkan
kemungkinan peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor natriuretik atrial. Tetapi
penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan cepat, yaitu pada
pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-rata 34ml/menit/1,73m2) hanya mampu
mengekskresi setengah dari jumlah natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl,
dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan
masukan natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan perubahan volume
ekstraseluler dengan segala akibatnya.
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat
diberikan diet dengan restriksi natrium. Konsentrasi minimum natrium urin pada pasien
GGK ringan sampai sedang adalah 25-50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan nefron distal meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi
garam secara tiba-tiba pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan
ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien Ggk karena penyakit ginjal interstitial,
displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling sering menyebabkan salt
wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena nefropati obstruktif ditemukan kurang
responsif terhadap aldosteron endogen (pseudohipoaldosteronisme).

Kalium
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas 10
ml/menit/1,73m2. Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan
meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan
ekskresi fraksional (oleh proses sekresi tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi.
Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui feses yaitu sebanyak 75% (pada orang
normal 20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia tetap merupakan ancaman bagi
pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium dalam jumlah besar tiba-tiba
misalnya dari makanan, transfusi darah, keadaan sepsis, ataupun asidosis.
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia. Keadaan
hipokalemia biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti hidroklortiazid, furosemid
atau bisa juga akibat pemberian diet rendah kalium. Gejalanya adalah penurunan atau
hilangnya refleks otot yang akan sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal
karena dapat menyebabkan henti napas (respiratory arrest).

Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG <25% dari
normal, ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat plasma (tCO2 12-15 mEq/L) dan
peningkatan senjang anion. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran
ion hidrogen atau asam endogen yang dibentuk karena insufisiensi sintesis amonium pada
segmen nefron distal. Meningkatnya senjang anion terjadi akibat retensi anion seperti sulfat,
fosfat, urat, dan hipurat dalam plasma (pada ginjal normal anion ini diekskresi oleh filtrasi
glomerulus). Juga ada bukti yang menunjukkan bahwa kebocoran bikarbonat ginjal berperan
dalam menimbulkan asidosis ini, seperti pada sindrom Fanconi, asidosis tubular ginjal tipe
IV, dan hiperparatiroidisme sekunder.
Asidosis pada GGK dini (LFG 30-50% normal) lebih sering berupa tipe dengan
senjang anion normal (hiperkloremik) dan sebaliknya pada GGK yang berat (LFG
<20ml/menit/1,73m2) biasanya berupa senjang anion yang besar. Selain terlibat dalam
patogenesis terjadinya gangguan pertumbuhan dan memperburuk hiperkalemia yang telah
ada, asidosis juga menimbulkan keadaan katabolik pada pasien GGK. Manifestasi klinis
asidosis adalah takipneu, hiperpneu, dan perburukan hiperkalemia dan mungkin gangguan
pertumbuhan.

2. Gangguan keseimbangan cairan


GGK dihubungkan dengan gangguan dalam pemeketan urin. Pada keadaan restriksi
cairan, orang normal mampu memekatkan urin sampai 1.500 mosmol/L, sedangkan pasien
GGK biasanya tidak mampu memekatkan urin di atas 300 mosmol/L. Berat jenis dan
osmolalitas urin seringkali mirip dengan plasma. Hal ini disebabkan karena dengan
bertambahnya nefron yang rusak, beban osmotik ekskresi yang ditanggung oleh nefron yang
tersisa semakin bertambah. Dengan demikian mengakibatkan reabsorbsi air oleh tubulus
berkurang dan menyebabkan berat jenis urin mirip dengan plasma (300 mosmol/L dan berat
jenis 1,010, disebut isostenuria). Isostenuria yang resisten terhadap pemberian pitresin dari
luar pada GGK, menunjukkan adanya gangguan terhadap respons tubulus terhadap ADH
yang juga berperan dalam terjadinya isostenuria. Hal di atas sering terjadi pada GGK yang
disebabkan oleh uropati obstruktif, displasia ginjal, penyakit ginjal kistik dan interstitial.
Pasien ini sering mengalami dehidrasi bila masukan cairan tidak mencukupi atau
dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG. Anak yang demikian
dianjurkan untuk tidak dibatasi masukan cairannya dan segera mencari pertolongan bila
terserang gastroentritis. Pasien juga tidak dapat mengencerkan urin secara maksimal dan
tidak dapat membuang kelebihan cairan tubuh secara tepat dan efektif sehingga dapat timbul
masalah kelebihan cairan.
3. Gangguan metabolisme
Metabolisme karbohidrat
Pasien GGK dapat disertai timbulnya intoleransi glukosa akan menunjukkan adanya
hiperglikemia. Keadaaan ini sebagai akibat terjadinya resistensi terhadap insulin yang
menghambat masuknya glukosa ke dalam sel. Pada anak yang menderita GGK kadar insulin
plasma meningkat hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa, karena dalam keadaan
akut pasien GGK memerlukan pemberian glukosa parenteral. Karena dialisis dapat
memperbaiki intoleransi glukosa pada pasien GGK, maka diduga toksin uremik yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin ini. Faktor lainnya seperti peninggian kadar
glukagon dan hormon pertumbuhan juga berperan.

Metabolisme lemak
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, kadar
kolesterol darah normal, peninggian VLDL (very low density lipoprotein) dan penurunan
LDL (low density lipoprotein). Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di
hepar akibat hiperinsulinemia dan menurunnya fungsi ginjal serta karena menurunnya
katabolisme trigliserida. Keadaan ini biasanya terjadi bila LFG <40ml/menit/1,73m2 dan
meningkatnya lemak ini sesuai dengan bertambahnya progresivitas GGK. Lebih dari 2/3
anak akan mengalami hiperlipidemia pada saat gagal ginjal terminal. Walaupun demikian
penyebab peningkatan produksi trigliserida dan VLDL ini belum diketahui. Akhir-akhir ini
diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway trigliserida. Hal ini didukung oleh
seringnya terjadi penurunan klirens trigliserida pada pasien uremia yang mendapatkan
trigliserida (intralipid) dari luar. Mungkin ini disebabkan oleh menurunnya aktivitas
lipoprotein lipase dan lipase hati. Dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan
hiperlipidemia pada pasien GGK, mungkin karena tidak memadainya pembuangan toksin
uremik yang diduga berperan atau karena faktor lainnya.

4. Anemia
Anemia normositer, normokromik merupakan komplikasi GGK yang biasa
ditemukan dan berhubungan dengan derajat GGK. Penyebab utama anemia pada GGK
adalah berkurangnya produksi eritropoietin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi
ginjal (90%) dan sisanya diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar
eritropoietin serum nyata menurun pada pasien GGK berat, tetapi korelasi ini tidak jelas
pada LFG >20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi dengan pemberian
eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis yang diberikan. Dengan
terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif dan kualitas hidup
keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah pemendekan umur
eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat
pengikat fosfat yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu
dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien
yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang terjadi karena toksisitas aluminium
mempunyai gambaran mikrositik, hipokromik yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi
kemampuan mengikat besi dan kadar feritin serumnya normal.

5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya gangguan perdarahan yang
menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang.
Hal ini diduga disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya
respons terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah platelet
factor 3 dan retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga
karena adanya peranan “dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga
berperan dalam menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII
(dapat diperbaiki dengan kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme
(prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan aspirin.

6. Gangguan fungsi kardiovaskular


Hipertensi
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena tingginya kadar renin
akibat ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun dan jumlah urin berkurang, hipertensi
terjadi akibat kelebihan cairan. Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan
lemah, gagal jantung bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin terjadi
akibat berkurangnya LFG. Pada pasien hipertensi persisten yang tanpa keluhan harus
dievaluasi secara terus menerus untuk mencari adanya kerusakan organ target. Pemeriksaan
oftamologi perlu selalu dilakukan pada pasien hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan
EKG perlu dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi jantung kiri.
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat merupakan akibat
langsung dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan hipertensi, kita harus meneliti semua
faktor yang dapat menimbulkan peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular,
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan faktor
renovaskular.
7. Gangguan jantung
Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul
pada pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada perikarditis
uremik biasanya sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang
mendapat dialisis yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien
yang mendapat terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita perikarditis.
Patogenesis perikarditis ini masih belum diketahui dengan pasti. Walaupun toksin uremik
yang tinggi pada keadaan dialisis sering dijadikan kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa
kelebihan cairan berperan dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun pasien perikarditis
uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada cairan perikardial sulit
ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial yang hemoragis sering
dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada dialisis.
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi
perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub akan
menghilang, dan bunyi jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung,
terutama pada efusi perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik
yang lama.

Fungsi miokard dan respons terhadap latihan


Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada
pasien GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis kronik dilaporkan menurun sesuai
dengan penurunan konsentrasi Hb. Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila
anemia yang terjadi dikoreksi dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik
sering menimbulkan gangguan fungsi jantung berupa gagal jantung kongestif yang biasanya
ditemukan pada GGK yang berat dan GGT. Kardiomiopati uremik ini disebabkan oleh
kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan mungkin toksin uremik.
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan cairan ini dapat
diatasi dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi
pada beberapa pasien; diduga penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat
ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.

8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai segmen distal
(neuropati perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian terdahulu mendapatkan adanya
penurunan elektrofisiologis saraf perifer pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat
berupa parestesia telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian
distal dan refleks tendon merupakan manifestasi neuropati perifer uremik. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan menurunnya kecepatan konduksi saraf perifer. Pemeriksaan konduksi saraf
pada pasien GGK sebaiknya dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan
saraf sedini mungkin. Kedaaan ini sering terjadi pada keadaan uremia berat dan dengan
tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi, sedangkan transplantasi ginjal
memberikan hasil yang baik.

Ensefalopati hipertensif
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis
arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan
kejang. Krisis hipertensi sering terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang
dilakukan segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah terjadi
perdarahan intraserebral dan intraventrikular dapat menimbulkan gejala sisa yang berat dan
bahkan kematian.

Retardasi mental
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan meningkatnya
gangguan fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang menderita GGK pada tahun pertama
kehidupan. Hal ini diduga akibat pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan
banyaknya alumunium dalam makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai
akibat keracunan aluminium, karena suatu penelitian menunjukkan kejadian retardasi
mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang mendapat calcium binding agents yaitu
kalsium karbonat sebagai pengganti aluminium containing, fosfat binding agent.

9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia dan menyebabkan
kadar ion kalsium serum menurun. Keadaaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk
mengeluarkan hormon lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat
kembali normal. Jadi osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat
gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D
aktif.
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan
bentuk tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas
akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan
histologi ditemukan gambaran tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti osteomalasia
dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang paling sederhana untuk melihat gambaran osteodistrofi
ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.

10. Gangguan pertumbuhan


Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Kemungkinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK,
karena yang paling sering mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital.
Hal-hal yang diduga ada hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini, asidosis,
osteodistrofi ginjal, dan gangguan hormonal.
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien GGK. Terjadinya
osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada pasien GGK akan menyebabkan
masukan makanan dan energi tidak adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya
gangguan sekresi hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan
mempengaruhi pertumbuhan anak karena pemberian hormon tumbuh rekombinan dapat
mempercepat pertumbuhan anak tapi mekanismenya sendiri belum diketahui.

11. Perkembangan seksual


Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan
ini merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi
hipofisis dan gangguan pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran
gonadotropin akan mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini mungkin disebabkan
uremia berat.

F. Diagnosis
Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau GGK.
Oleh karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus segera
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis (lihat Tabel 2.)

Tabel 2.
Indikasi untuk menegakkan diagnosis
Gagal Ginjal.
1. Abnormalitas elektrolit
2. Hiperkalemia: K+ > 6 mmol/L
3. Hipernatremia, Hyponatremia
4. Asidosis metabolik
5. Hipokalsemia, Hiperfosfatemia
6. Hipertensi Berat
7. Edema Pulmo
8. Anuria/Oliguria
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in
children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd
edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal,
meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaan-
pemeriksaan yang spesifik Tabel 3. Tabel 4 menunjukkan gejala-gejala yang dapat membantu
membedakan GGA dan GGK, dan Tabel 5 menunjukkan pemeriksaan-pemeriksaan untuk
menetapkan tingkat keparahan dan lamanya GGK.

Tabel 3.
Pemeriksaan-Pemeriksaan Spesifik untuk Menegakkan Diagnosa Gagal Ginjal Kronik.
1. USG Saluran Renal
2. Cyctourethrogram
3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
4. Antegrade pressure flow studies
5. Urogram Intravena
6. Urinalisis
7. Kultur dan Mikroskopi Urin
8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
9. Biopsi Renal
10. White cell cystine level
11. Eksresi Oxalat
12. Eksresi Purin
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in
children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd
edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Tabel 4.

(Dikutip dari: Prasad Devarajan and Stuart L Goldstein (2007). Acute Renal Failure. In: Kanwal
K Kher MD, editors. Clinical pediatric nephrology. 2nd edition. McGraw-Hill Health., pp. 371)

Tabel 5.
Pemeriksaan untuk Menentukan Tingkat Keparahan GGK
1. Darah Rutin
2. AGD, Urea, Kreatinin, Kalsium, Fosfat, Alkalin Fosfat, Protein Total, Albumin, Asam
Urat
3. LFG
4. Rontgenografi
5. EKG atau Ekokardiografi
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in
children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd
edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

G. Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan konservatif
dan pengobatan pengganti. Di negara yang telah maju penanganan konservatif pasien GGK
hanya merupakan masa antara sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi, sehingga tanggung
jawab dokter di sini adalah untuk menjaga pasien agar jangan mati mendadak dan agar
pembuluh darah, otot jantung, retina, dan tulang harus dipertahankan seutuhnya. Sebaliknya di
negara berkembang penanganan konservatif masih merupakan titik akhir dan tanggung jawab
dokter di sini menjaga kualitas hidup pasien selama beberapa bulan sebelum ajalnya. Pada
umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens kreatinin > 10
ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit pasien tersebut harus diberikan pengobatan
pengganti.

1. Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
a. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia,
seperti misalnya mual, muntah.
b. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai
pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
c. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
d. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
e. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
f. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.

Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK.
Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah
anoreksia, diet protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan
pemecahan protein otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid
yang meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien
yang mendapat terapi dialisis, terjadi pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui
dialisis, dan proses katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan
anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat
kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta
pertumbuhan.
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari
berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali
mendapatkan intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi
kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk
menggantikan Recommended Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai
kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan
umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi
dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan
energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali
pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang
membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai
umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori
dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak
kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma
harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet
fosfat dan pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat
terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan
fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk
pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju
penurunan fungsi ginjal,10 dan bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh.11 Anak-anak
dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat
tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan
restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak
perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa
penelitian mengenai pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial
atau analog ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan
pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak
enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul
dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.

Tabel 6. Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan Gagal
Ginjal Kronik.
Umur Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein Kalsium (g) Fosfor (g)
(g)
0-2 bulan 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2
2-6 bulan 63 110/kg 2,0/kg 0,5 0,4
6-12 bulan 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5
1-2 tahun 81 1000 18 0,7 0,7
2-4 tahun 96 1300 22 0,8 0,8
4-6 tahun 110 1600 29 0,9 0,9
6-8 tahun 121 2000 29 0,9 0,9
8-10 tahun 131 2200 31 1,0 1,0
10-12 tahun 141 2450 36 1,2 1,2
12-14 tahun L 151 2700 40 1,4 1,4
P 154 2300 34 1,3 1,3
14-18 tahun L 170 3000 45 1,4 1,4
P 159 2350 35 1,3 1,3
18-20 tahun L 175 2800 42 0,8 0,8
P 163 2300 33 0,8 0,8
L= Laki-laki P=Perempuan

Keseimbangan air dan elektrolit


Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor
kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus
selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal
umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan
mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-
kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau
hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk
membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium.
Bila terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE
inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi
asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.

Tabel 7. Kebutuhan Kalori dan Protein (RDA) Berdasarkan Derajat Fungsi Ginjal
Umur/Tahun RDA LFG
Kalori Protein g/kg 10-20o 5-10o <5
2
kkal/kg ml/menit/1,73m
0-0,5 115 2,2 1,7 1,5 1,3
0,5-1 105 2,0 1,4 1,2 1,0
1-3 100 1,8 1,3 1,1 1,0
4-6 85 1,5 1,2 1,0 0,9
7-10 85 1,2 1,1 0,9 0,8
11-14
L 60 1,0 0,8 0,7 0,6
P 48 1,0 1,0 0,8 0,7
15-18
L 42 0,85 0,8 0,7 0,6
P 38 0,85 0,8 0,7 0,6

Keseimbangan asam – basa


Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi
dan menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan
keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2
mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.

Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol
menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80
ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada
kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya
kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi
hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka
panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and
pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti
membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga
rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari
diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara
harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru,
sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat
fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar
PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3
hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah
1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat
kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk
menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah
normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-
dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH,
tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol
pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap
kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan
kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan
parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan
pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.

Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks,
penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat
retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah
progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik
dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu
diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju
GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi,
diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam.

Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang.
Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai
profilaksis.

Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi
eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara
luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah
merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling
sering defisiensi besi dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar
hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi
yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder
dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap
terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan
dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin
10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi
yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral,
sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara
intra-vena.

Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang
adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume
testes, dan lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga
akan dapat dideteksi secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor
yang menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam
tabel dibawah ini.

Tabel 8. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK


Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK
1. Kurangnya masukan energi
2. Gangguan masukan energi
3. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, seperti defisiensi natrum kalium dan
asidosis metabolik
4. Osteodistrofi ginjal
5. Hipertensi
6. Infeksi
7. Anemia
8. Abnormalitas hormon
9. Terapi kortikosteroid
10. Faktor psikososial
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in
children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd
edition. Oxford: Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak,
umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan
maksimal selama tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa
anak-anak, dan meningkat lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak
optimal pada salah satu atau kedua periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya
tinggi badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk
umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan
dengan dosis supra-fisiologik.

Mempertahankan fungsi ginjal


Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara
progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan
dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan
sklerosis vaskuler atau arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat
dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid
mempunyai peran penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan
metabolisme lipid sering ditemukan pada GGK sehingga menimbulkan keadaan
hiperlipoproteinemia, kadar HDL menurun, LDL meningkat, dan VLDL kholesterol sangat
menurun, disertai hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan
karena terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas lipolitik yang
sebagian disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan resistensi insulin. Selain dengan
manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat penggunaan zat untuk
menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal.

Edukasi dan persiapan


Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program
edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi
sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.
Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi
stadium gagal ginjal terminal.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi,
setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli
neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum
transplantasi dilakukan.
3. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk
dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.

2. Terapi Pengganti Ginjal


Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk
memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal
ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari
keluarga hidup atau jenazah.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum
atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2
pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat
dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka
pilihan hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka
dialisis peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis.
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi
glomerulus telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah
melakukan transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan
sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu
untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang
tidak memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah
memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan
menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang
mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya
hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang
adekuat.

Dialisis
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel
di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis
peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut
dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel.
Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V
pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat.
Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter
peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan
mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari
dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka
mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.

Transplantasi
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena
akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar.4
Transplantasi dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup
yang berusia relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.
Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun
mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai
50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada
tahun 1987-2000.

H. Prognosis
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin baik. Dari
1070 anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah di Inggeris
dan Irandia dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab kematian:
19% oleh karena infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft failure.13
Sedangkan data dari Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan hidup 5 tahun setelah
transplantasi donor hidup berkisar antara 80.8% pada anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun
saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.14
Sebagai penutup ingin kami tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup, meskipun
telah dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka tidaklah seburuk seperti yang
dibayangkan, banyak diantara mereka sekarang telah berhasil dalam profesi dan kehidupan
keluarga.

III. KESIMPULAN
IV. DAFTAR PUSTAKA

You might also like