You are on page 1of 10

PERAN PSIKOLOGI DALAM PENGEMBANGAN KEMAMPUAN SDM

PERTAHANAN NEGARA

Oleh : Ari Fianti, S.Psi (Puslitbang SDM Balitbang Kemhan)

PENGANTAR
Perkembangan ilmu psikologi dewasa ini sebagaimana dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) berjalan sangat cepat. Pemanfaatan psikologi untuk dasar
pengembangan kemampuan juga berkembang pesat, sampai pada tahun 1970-an masih didominasi
tes intelligence quotient (IQ), tetapi saat itu sudah mulai banyak kritikan-kritikan terhadap
kelemahan-kelemahan tes IQ. Pada tahun 1990 pengembangan Multidimensional Intelligence (MI)
mulai mapan dan kemudian disusul oleh Emosional Quotienst (EQ), Spiritual Quotient (SQ),
Adversity Quotient (AQ), dan lain-lain.
Perkembangan ancaman saat ini juga menjadi sangat kompleks sesuai dengan
perkembangan lingkungan strategis. Ancaman terhadap kedaulatan negara saat ini sudah
berkembang menjadi multidimensional dari luar negeri maupun dalam negeri. Ancaman yang bersifat
multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain
terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan
lingkungan. Penanggulangan terhadap ancaman tentu saja membutuhkan SDM yang andal.
Naskah ini ditujukan untuk: (1) Memberi gambaran secara sederhana tentang perkembangan
psikologi, khususnya yang menyangkut tes kecerdasan dan (2) Menerapkan psikologi pada
pengembangan SDM Pertahanan Negara.

PENGERTIAN KECERDASAN
Kecerdasan didefinisikan bermacam-macam. Penekanan definisi kecerdasan sangat
bergantung kepada: Pertama, (1) pandangan dunia, (2) filsafat manusia, dan (3) filsafat ilmu yang
mendasarinya; dan kedua, teori kecerdasan itu sendiri. Menurut H. Gardner, kecerdasan adalah
kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.
Sedangkan menurut A. Binet dan T. Simon mengartikan, kecerdasan terdiri dari tiga komponen: (1)
kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan, (2) kemampuan mengubah arah tindakan jika
tindakan tersebut telah dilakukan, dan (3) kemampuan mengkritik diri sendiri. Tony Buzan
menguraikan bahwa setiap orang memiliki sepuluh jenis kecerdasan, yaitu: (1) kecerdasan kreatif, (2)
kecerdasan pribadi, (3) kecerdasan sosial, (4) kecerdasan spiritual, (5) kecerdasan jasmani, (6)
kecerdasan inderawi, (7) kecerdasan seksual, (8) kecerdasan numerik, (9) kecerdasan spatial dan
(10) kecerdasan verbal. D. Goleman mendefinisikan kecerdasan emosional dengan kemampuan
mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang
lain. Cooper dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan,
memahami, dan secara effektif mengaplikasikan kekuatan dan kecerdasan emosi sebagai sebuah
sumber energi manusia, informasi, hubungan dan pengaruh. Sternberg mendefinisikan kecerdasan
analitis sebagai kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah; kecerdasan kreatif adalah
kecerdasan yang digunakan untuk memutuskan masalah yang harus dipecahkan; dan kecerdasan
praktis adalah kecerdasan yang digunakan untuk membuat pemecahan masalah menjadi effektif.
Danah Zahar dan Ian Marshal menulis, Ada pengorganisasian syaraf yang memungkinkan kita
berpikir rasional, logis dan taat asas. Ini disebut IQ. Jenis yang lain memungkinkan kita berpikir
asosiatif, yang terbentuk oleh kebiasaan dan membuat kita mampu mengenali pola-pola emosi. Ini
kita sebut EQ. Jenis ketiga memungkinkan kita untuk berpikir secara kreatif, berwawasan jauh,
membuat dan bahkan mengubah aturan. Ini jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali
dan mentransformasikan dua jenis pemikiran sebelumnya. Ini kita sebut SQ. Piaget mengatakan,
kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Nickerson menyusun daftar kemampuan yang menunjukkan kecerdasan, yaitu: (1) kemampuan
mengklasifikasi pola, (2) kemampuan memodifikasi perilaku secara adaptif-belajar, (3) kemampuan
menalar secara deduktif, (4) kemampuan menalar secara induktif-mengeneralisasikan.

IQ
Pada tahun 1989, Binet mendirikan Laboratorium Psikologi di Sorbone, Perancis. Pada
tahun 1905 bersama Simon, mengembangkan Binet-Simon Skala yang digunakan untuk
mengidentifikasi cacat mental murid. Pada tahun 1908 d1n 1911, skala tersebut direvisi. Tes ini
yang kemudian mengenalkan istilah intelligence quotient (IQ). Setelah direvisi pada tahun 1960,
sejumlah contoh subtes-subtes Skala Kecerdasan Stanford Adalah: (1) kosakata, para testee ditanya
untuk menyebutkan arti kata-kata, (2) pemahaman, para testee harus menunjukkan mengenai norma-
norma sosial dan budaya, (3) absurditas, para testee diminta untuk menunjukkan gambar yang tidak
kongruen, (4) hubungan-hubungan verbal, para testee harus mengatakan tiga kata pertama yang
memiliki makna umum yang berhubungan, (5) pola analisa dan pengopian, Dalam tes ini, testee
memproduksi dua dimensi, pola hitam putih dengan memblok agar membuat bentuk-bentuk
geometrik yang beragam. Sedangkan dalam melakukan copying, testee harus memproduksi gambar-
gambar yang geometris, dan (6) matrik. Alat ini dipresentasikan dengan matrik figural, yang salah
satu porsinya harus dilewati. Dalam tes ini, seorang testee harus memproduksi gambar-gambar garis
geometris.

MI
Menurut H. Gardner, tes psikologi (IQ) memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu,
terutama menyangkut instrumen tes dan cara penggunaannya. Tes IQ mungkin bisa menduga
kesuksesan untuk konteks sekolah. Namun ia hanya dapat menduga sedikit saja kesuksesan dalam
konteks luar sekolah, terlebih mengenai faktor sosial dan ekonomi. Gardner mengkritik tes IQ
sebagai buta secara empirik, karena tes IQ didasarkan semata-mata pada tes dengan kekuatan
dugaan tentang kesuksesan di sekolah dan pada teori mengenai bagaimana pikiran bekerja. Tidak
ada pandangan tentang proses dan mikroskopis. Merupakan suatu kenyataan bahwa orang yang
mempunyai kecerdasan yang tinggi ternyata banyak yang tidak berhasil dalam kehidupannya.
Terdapat berbagai alasan mengapa dia tidak berhasil seperti dia tidak hidup dan bekerja sesuai
dengan bakatnya. Menurut Howard Gradner[1] orang pandai itu tidak pada semua bidang, tetapi
hanya pada bagian-bagian tertentu. Orang pandai pada suatu bidang belum tentu pandai pada
bidang lain. Maka orang akan berhasil bila bekerja sesuai dengan bakatnya. Multidimensional
Intelligence yang diperkenalkan Howard Gardner meliputi sedikitnya 7(tujuh) yaitu: (1) Kecerdasan
linguistik (linguistic intelligence) adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan
menggunakan bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang kompleks. Para
pengarang, penyair, jurnalis, pembicara, dan penyiar berita mempunyai tingkat kecerdasan linguistik
yang tinggi; (2) Kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence) merupakan
kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta
menyelesaikan operasi-operasi matematis. Pada ilmuwan, ahli matematika, akuntan, insinyur, dan
pemrogram komputer, semuanya menunjukkan kecerdasan logika-matematika yang kuat; (3)
Kecerdasan spasial (spatial intelligence) membangkitkan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara
dimensi seperti yang dapat dilakukan oleh pelaut, pilot, pemahat, pelukis, dan arsitek. Kecerdasan ini
memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali,
merubah, dan memodifikasi bayangan, mengemudikan diri sendiri dan obyek melalui ruangan, dan
menghasilkan atau menguraikan informasi grafik; (4) Kecerdasan kinestetik-tubuh (bodyly-kinesthetic
intelligence) memungkinkan seseorang untuk menggerakkan obyek dan ketrampilan-ketrampilan fisik
yang halus. Jelas kelihatan pada diri atlet, penari, ahli bedah, dan seniman yang mempunyai
ketrampilan teknik. Pada masyarakat barat, ketrampilan-ketrampilan fisik tidak dihargai sebesar
ketrampilan kognitif seseorang, tapi kemampuan ini hanya digunakan untuk bertahan hidup dan
sebagai ciri penting pada peran-peran bergengsi; (5) Kecerdasan musik (musical intelligence) jelas
kelihatan pada seseorang yang memiliki sensitivitas pada titinada, melodi, ritme, dan nada. Orang-
orang yang memiliki kecerdasan ini antara lain: komposer, konduktor, musisi, kritikus dan pembuat
alat musik begitupun pendengan yang sensitif; (6) Kecerdasan interpersonal (interpersonal
intelligence) merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara
efektif. Hal ini terlihat pada guru, pekerja sosial, artis atau politisi yang sukses. Sebagaimana budaya
barat mulai mengenalkan hubungan antara akal dan tubuh, maka hal itu perlu disadari kembali
pentingnya nilai dari keahlian dalam perilaku interpersonal; (7) Kecerdasan intrapersonal
(intrapersonal intelligence) merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri
sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan
kehidupan seseorang. Beberapa individu yang memiliki kecerdasan semacam ini adalah ahli ilmu
agama, ahli psikologi, dan ahli filsafat.

Sifat-Sifat MI
Sifat-sifat kecerdasan verbal linguistik adalah: (1) Mendengarkan dan merespon setiap
suara, ritme, warna, dan berbagai ungkapan kata; (2) Menirukan suara, bahasa, membaca dan dari
orang lainnya; (3) Belajar melalui menyimat, membaca, menulis, dan diskusi; (4) Menyimak secara
efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan dan mengingat apa yang diucapkan; (5) Membaca
secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan atau menerangkan, dan mengingat apa yang
telah dibaca; (6) Berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar, berbagai tujuan, dan
mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasif, atau bergairah pada waktu-waktu
yang tepat; (7) Menulis secara efektif, memahami dan menerapkan aturan-aturan tata bahasa, ejaan,
tanda baca, dan menggunakan kosakata yang efektif; (8) Memperlihatkan kemampuan untuk
mempelajari bahasa lainnya; (9) Menggunakan ketrampilan untuk menyimak, berbicara, menulis dan
membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan, mempengaruhi, menciptakan
pengetahuan, menyusun makna, dan menggambarkan bahasa itu sendiri; (10) Berusaha untuk
mengingatkan pemakaian bahasanya sendiri; (11) Menunjukkan minat dalam jurnalisme, puisi,
bercerita, debat, berbicara, menulis atau menyunting; dan (12) Menciptakan bentuk-bentuk bahasa
baru atau karya tulis orisinal atau komunikasi oral.
Sifat-sifat kecerdasan logis-matematis adalah: (1) Merasakan berbagai tujuan dan fungsi
mereka dalam lingkungannya; (2) Mengenal konsep-konsep yang bersifat kuantitas, waktu dan
hubungan sebab-akibat; (3) Menggunakan simbol-simbol abstrak untuk menunjukkan secara nyata,
baik obyek maupun konsep; (4) Menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah secara logis; (5)
Memahami pola-pola dan hubungan-hubungan; (6) Mengajukan dan menguji hipotesis; (7)
Menggunakan bermacam-macam ketrampilan matematis seperti memperkira kan, pehitungan
algoritme, menafsirkan statistik, dan menggambarkan informasi visual dalam bentuk grafik; (8)
Menyukai operasi yang kompleks seperti kalkulus, fisika, pemrograman komputer, atau metode
penelitian; (9) Berpikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti, membuat hipotesis;
merumuskan berbagai model, mengembangkan contoh-contoh tandingan dan membuat argumen-
argumen yang kuat; (10) Menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah matematis; (11)
Mengungkapkan ketertarikan dalam karir-karir seperti akuntansi, teknologi komputer, hukum, mesin
dan ilmu kimia; dan (12) Menciptakan model-model baru atau memahami wawasan baru dalam ilmu
pengetahuan alam atau matematika.
Sifat-sifat seseorang dengan kecerdasan kinestetik adalah: (1) Menjelajahi lingkungan
dan sasaran melalui sentuhan dan gerakan. Mempersiapkan untuk menyentuh, menangani atau
memainkan apa yang menjadi bahan untuk dipelajari; (2) Mengembangkan kerjasama dan rasa
terhadap waktu; (3) Belajar lebih baik, dengan langsung terlibat dan berpartisipasi. Mengingat apa
yang telah dilakukan akan lebih baik daripada hanya berbicara atau memperhatikan; (4) Menikmati
secara konkrit dalam mempelajari pengalaman-pengalaman, seperti perjalanan ke alam bebas,
contoh bangunan, atau berpartisipasi dalam permainan peran, permainan ketangkasan, memasang
sasaran atau latihan fisik; (5) Menunjukkan ketrampilan, dalam arti menggerakkan kelompok besar
ataupun kecil; (6) Menjadi sensitif dan responsif terhadap lingkungan dan sistem secara fisik; (7)
Mendemonstrasikan keahlian dalam berakting, atletik, menari, menjahit, mengukir ukiran, atau
memainkan keyboard; (8) Mendemonstrasikan keseimbangan, keanggunan, ketrampilan dan
ketelitian dalam tugas-tugas fisik; (9) Mempunyai kemampuan untuk memperbaiki segala sesuatu,
dan sempurna secara pementasan fisik melalui perpaduan antara pikiran dan tubuh; (10) Mengerti
dan hidup dalam standar kesehatan fisik; (11) Boleh mengekspresikan ketertarikan dalam berkarir
seperti seorang atlit, penari, ahli bedah, atau pembuat gedung; dan (12) Menemukan pendekatan
baru dalam kemampuan fidik atau menciptakan bentuk-bentuk baru dalam menari, berolah raga atau
kegiatan fisik lainnya.
Sifat-sifat seseorang dengan kecerdasan visual spasial adalah: (1) Belajar dengan
melihat dan mengamati. Mengenali wajah-wajah, benda-benda, bentuk-bentuk, warna-warna, detail-
detail, dan pemandangan-pemandangan; (2) Mengarahkan dirinya pada benda-benda secara effektif
dalam ruangan, seperti ketika menggerakkan tubuh seseorang melalui lubang, menemukan jalan
jalan seseorang di dalam sebuah hutan tanpa jejak, mengemudikan mobil melalui kepadatan lalu
lintas, atau mengendalikan perahu karet pada sebuah sungai; (3) Merasakan dan menghasilkan
sebuah bayangan-bayangan mental, berpikir dalam gambar, dan memvisualisasikan detail.
Menggunakan gambaran visual sebagai sebuah alat bantu di dalam mengingat informasi; (4)
Membaca grafik, bagan, peta, dan diagram. Belajar dengan grafik atau melalui media-media visual;
(5) Menikmati gambar-gambar tak beraturan, lukisan, ukiran, atau obyek-obyek repro lain dalam
bentuk-bentuk yang dapat dilihat; (6) Menikmati hasil tiga dimensi, seperti obyek origami, jembatan
tiruan, rumah atau wadah. Secara mental mampu merubah bentuk dari sebuah obyek – seperti
melihat selembar kertas ke dalam bentuk yang kompleks dan memvisualisasikan bentuk baru, atau
secara mental menggerakkan obyek di dalam ruang untuk menentukan, bagaimana berinteraksi
dengan obyek lain, seperti gigi yang menggerakkan bagian-bagian mesin; (7) Melihat hal atau benda
dengan cara-cara yang berbeda atau dari ”prespektif baru”, seperti ruang negatif di sekitar sebuah
bentuk, sebagaimana bentuk itu sendiri atau mendeteksi suatu bentuk ”yang tersembunyi” dalam
bentuk lain; (8) Merasakan pola-pola yang lembut maupun rumit; (9) Menciptakan gambaran nyata
atau visual dari informasi; (10) Cakap mendesain secara abstrak atau representasional; (11)
Mengekspresikan ketertarikan atau keahlian dalam menjadi seorang artis, fotografer, teknisi,
videografer, arsitek, perancang, pengamat seni, pilot, atau karier lain yang berorientasi-visual; dan
(12) Menciptakan bentuk-bentuk baru dari media visual-spasial atau karya seni asli.
Sifat-sifat seseorang dengan kecerdasan musik adalah: (1) Mendengar dan merespon
dengan ketertarikan terhadap berbagai bunyi, termasuk suara manusia, suara-suara dari lingkungan
alam sekitar dan musik, dan mengorganisasi beberapa jenis suara ke dalam pola yang bermakna; (2)
Menikmati dan mencari kesempatan untuk mendengarkan musik atau suara-suara alam pada
suasana belajar. Berhasrat untuk selalu berada di sekitar dan belajar dari musik dan pemusik; (3)
Merespon terhadap musik secara kinestetik dengan cara memimpin/konduktor, memainkan,
menciptakan atau berdansa; secara emosional melalui respon terhadap suasana hati dan tempo
musik; dan atau secara estetik dengan mengevaluasi dan menggali isi dan arti dari musik; (4)
Mengenali dan mendiskusikan berbagai gaya musik, aliran dan variasi budaya yang berbeda.
Menunjukkan ketertarikan terhadap aturan di dalam musik dan meneruskan dengan memainkannya
di dalam kehidupan manusia; (5) Mengoleksi musik dan informasi mengenai musik dalam berbagai
bentuknya, baik dalam bentuk rekaman dan cetakan, mengoleksi dan memainkan instrumen musik
termasuk syntheziser; (6) Mengembangkan kemampuan menyanyi dan atau memainkan instrumen
secara sendiri atau bersama dengan orang lain; (7) Menggunakan perbendaharaan dan notasi musik;
(8) Mengembangkan referensi kerangka berpikir pribadi untuk mendengarkan musik; (9) Menikmati
improvisasi dan bermain dengan suara/bunyi, dan bila diberi frase musik dapat melengkapi musik
dengan cara yang masuk akal; (10) Dapat memberikan interpretasi menurut pendapat pribadi
mengenai apa yang komposer sampaikan melalui musiknya. Juga dapat menganalisis dan mengkritik
musik terpilih; (11) Mengungkapkan ketertarikan untuk berkarir di bidang musik, pengolah suara,
produser, kritik, pembuat instrumen, guru musik atau konduktor; dan (12) Dapat menciptakan
komposisi asli dan atau instrumen musik.
Sifat-sifat seseorang dengan kecerdasan interpersonal adalah: (1) Terikat dengan orang
tua dan berinteraksi dengan orang lain; (2) Membentuk dan menjaga hubungan sosial; (3)
Mengetahui dan menggunakan cara-cara yang beragam dalam berhubungan dengan orang lain; (4)
Merasakan perasaan, pikiran, motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain; (5) Berpartisipasi
dalam kegiatan kolaboratif dan menerima bermacam peran yang perlu dilaksanakan oleh bawahan
sampai pimpinan, dalam suatu usaha bersama; (6) Mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang
lain; (7) Memahami dan berkomunikasi secara efektif, baik dengan cara verbal maupun nonverbal; (8)
Menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan grup yang berbeda dan juga umpan balik dari orang lain;
(9) Menerima perspektif yang bermacam-macam dalam masalah sosial dan politik; (10) Mempelajari
ketrampilan yang berhubungan dengan penengah sengketa, berhubungan dengan
mengorganisasikan orang untuk bekerja sama ataupun bekerja sama dengan orang dari berbagai
macam latar-belakang dan usia; (11) Tertarik pada karir yang berorientasi interpersonal seperti
mengajar, pekerjaan sosial, konseling, menejemen atau politik; dan (12) Membentuk proses sosial
atau model yang baru.
Sifat-sifat seseorang dengan kecerdasan intarpersonal adalah: (1) Sadar akan wilayah
emosinya; (2) Menemukan cara-cara dan jalan keluar untuk mengekspresikan perasaan dan
pemikirannya; (3) Mengembangkan model diri yang akurat; (4) Termotivasi untuk mengidentifikasi
dan memperjuangkan tujuannya; (5) Membangun dan hidup dengan suatu sistem nilai etik (agama);
(6) Bekerja mandiri; (7) Penasaran akan ”pertanyaan besar” tentang makna kehidupan, relevansi dan
tujuannya; (8) Mengatur secara kontinu pembelajaran dan perkembangan tujuan personalnya; (9)
Berusaha mencari dan memahami pengalaman ”batinya” sendiri; (10) Mendapatkan wawasan dalam
kompleksitas diri dan eksistensi manusia; (11) Berusaha untuk mengaktualisasikan diri; dan (12)
Memberdayakan orang lain (memiliki tanggung jawab kemanusiaan).

EQ
Daniel Goleman menyatakan bahwa: test IQ menyingkapkan hanya sedikit saja potensi
seseorang untuk pertumbuhan selanjutnya. Setinggi-tingginya IQ menyumbang kira-kira 20 prosen
bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 prosen diisi oleh kekuatan-
kekuatan lain. Status akhir seseorang dalam masyarakat pada umumnya ditentukan oleh faktor-
faktor bukan IQ, melainkan oleh kelas sosial hingga nasib baik. Menurut Goleman orang yang
mempunyai kecerdasan akademik praktis yang tinggi dan bekerja sesuai dengan bakatnya banyak
yang tidak berhasil, merupakan sebuah pertanyaan yang lebih mendalam lagi, terdapat berbagai
jawaban, salah satunya adalah dia gagal karena tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan
emosinya. Orang yang emosinya tidak terkendali sering menyebabkan kecerdasannya hanya
menyebabkan dia hanya berhasil masuk kerja, tetapi tidak berhasil membangun kerjasama dengan
sesamanya, yang menyebabkannya menjadi orang yang tidak disukai. Menurut Goleman, kehidupan
emosional merupakan wilayah yang sifat kepastiannya sama dengan kepastian matematika dan
kemampuan baca kita. Ketrampilan emosional adalah meta-ability. Daniel Coleman memperkenalkan
Emosional Quotienst (EQ) yang memberi kita kesadaran mengenai perasaan milik kita sendiri dan
juga perasaan milik orang lain. EQ memberi kita rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk
menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. EQ merupakan persyaratan dasar untuk
menggunakan IQ secara effektive[2]. Orang yang tidak mampu memahami perasaan sendiri dan
perasaan orang lain yang berinteraksi dengannya sering menyebabkan terjadi
kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.[3] Sebenarnya sebelum Daniel Coleman sudah
ditemukan lima faktor keberhasilan yaitu: (1) Kemampuan beradaptasi; (2) Keinginan kerjasama; (3)
Kapasitas untuk dipercaya dan bertahan pada satu komitmen; (4) Kemampuan untuk bertahan
menghadapi stres dan berbagai tekanan; dan (5) Keterbukaan diri menghadapi masalah dan berpikir
inovatif, serta kecerdikan menghadapi masalah.[4] Pengembangan kemampuan EQ dilakukan
dengan melatih tiga hal, yaitu: (1) kejernihan dan obyektivitas dalam berpikir, (2) menjaga kesehatan
emosi, dan (3) belajar memilih tindakan yang pantas untuk setiap situasi.[5] Seseorang yang
mempunyai EQ tinggi akan memiliki, Pertama : Kesadaran diri, yang meliputi: (1) Kecerdasan-diri
emosi, seseorang yang mempunyai kesadaran diri emosi yang tinggi bisa mendengarkan tanda-tanda
di dalam diri mereka sendiri, mengenali bagaimana perasaan mereka mempengaruhi diri dan kinerja
mereka. Dia mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan nilai-nilai yang membimbingnya dan
seringkali secara naluriah bisa menentukan tindakan yang terbaik, melihat gambaran besarnya dalam
situasi yang kompleks. Seseorang yang sadar diri emosional bisa tegas dan otentik, mampu bicara
terbuka tentang emosinya atau dengan keyakinan tentang visi yang membimbing mereka; (2)
Penilaian-diri yang akurat, seseorang dengan kesadaran yang tinggi secara khas akan tahu
keterbatasan dan kekuatannya, dan menunjukkan citarasa humor tentang diri mereka sendiri.
Mereka menunjukkan pembelajaran yang cerdas tentang apa yang mereka perlu perbaiki serta
menerima kritik dan umpanbalik yang membangun. Penilaian diri yang akurat membuat seorang tahu
kapan harus meminta bantuan dan di mana ia harus memusatkan diri untuk menumbuhkan kekuatan
yang baru; (3) Kepercayaan-diri, mengetahui kemampuan dengan akurat memungkinkan sesorang
untuk bermain dengan kekuatannya. Seseorang yang percaya diri dapat menerima tugas yang sulit.
Seseorang seperti ini seringkali memiliki kepekaan kehadiran dirinya, suatu keyakinan diri yang
membuat mereka menonjol di dalam kelompok; Kedua : Pengelolaan diri yang meliputi: (1)
Pengendalian diri, seseorang yang memilikin kendali-diri emosi akan menemukan cara-cara untuk
mengelola emosi mereka yang sedang terganggu dan dorongan-dorongan diri, bahkan
menyalurkannya dalam cara-cara bermanfaat. Ciri kendali diri adalah seseorang yang tetap tenang
dan berpikiran jernih di bawah tekanan tinggi atau selama suatu krisis – atau seseorang yang tidak
tergoyahkan bahkan ketika dihadapkan pada situasi yang menguji ketahanannya; (2) Transparansi,
seseorang yang transparan menghidupi nilai-nilai mereka. Transparansi – suatu keterbukaan yang
otentik kepada orang lain tentang perasaan, keyakinan, dan tindakan seeorang – memungkinkan
integritas. Seseorang seperti ini secara terbuka mengakui kesalahannya, ia mengkonfrontasi perilaku
yang tidak etis pada orang lain, dan bukannya pura-pura tidak melihatnya; (3) Kemampuan
menyesuaikan diri, seseorang yang bisa menyesuaikan diri bisa menghadapi berbagai tuntutan tanpa
kehilangan fokus atu energi mereka, dan tetap nyaman dengan situasi-situasi mendua yang tidak
terhindarkan di dalam kehidupan organisasi. Orang ini fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan
tantangan baru, cekatan dalam menyesuaikan dengan perubahan yang cepat, dan berpikiran gesit
ketika menghadapi data atau realita baru; (4) Prestasi, seseorang yang mempunyai kekuatan prestasi
memiliki standar pribadi yang tinggi yang mendorong mereka untuk terus mencari perbaikan kinerja-
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang lain. Mereka pragmatis, menetapkan tujuan-tujuan
yang terukur tetapi menantang, dan mampu memperhitungkan risikoingga tujuan-tujuan mereka layak
untuk dicapai. Ciri prestasi adalah terus belajar cara-cara untuk mengajarkan segala sesuatu dengan
lebih baik; (5) Inisiatif, seseorang yang memiliki kepekaan akan keberhasilan – bahwa mereka
mereka memiliki apa yang diperlukan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri – unggul di dalam
inisiatif. Mereka menangkap kesempatan – atau menciptakannya – dan bukan Cuma menunggu.
Orang seperti ini tidak ragu menerobos halangan, atau bahkan menyimpang dari aturan, jika
diperlukan untuk menciptakan kemungkinan yang lebih baik bagi masa depan; dan (6) Optimisme,
seorang yang optimis bisa tetap bertahan di tengah kepungan, melihat kesempatan, bukan ancaman,
di dalam kesulitan. Orang ini melihat orang lain secara positif, mengharapkan apa yang terbaik dari
mereka. Dan pandangan mereka yang bersifat ”gelas setengah penuh” membuat ia mengharapkan
bahwa perubahan-perubahan di masa depan adalah demi sesuatu yang lebih baik; Ketiga:
Kesadaran sosial, yang meliputi: (1) Empati, seseorang yang memiliki empati mampu mendengarkan
berbagai tanda emosi, membiarkan diri merasakan emosi yang dirasakan, tetapi tidak dikatakan, oleh
seseorang atau kelompok. Seorang seperti ini mendengarkan dengan cermat dan bisa menangkap
sudut pandang orang lain. Empati membuat seseorang bisa berelasi baik dengan orang-orang dari
berbagai latar belakang atau dari budaya lain; (2) Kesadaran berorganisasi, Seseorang yang memiliki
kesadaran sosial yang tinggi bisa cerdas secara politis, mampu mendeteksi jaringan kerja sosial yang
krusial dan membaca relasi-relasi yang penting. Orang seperti ini bisa mengerti daya-daya politik
yang sedang bekerja dalam sebuah organisasi, juga nilai-nilai yang membimbing dan aturan-aturan
non verbal yang beroperasi di antara orang-orangnya; dan (3) Pelayanan, seseorang yang memiliki
pelayanan yang tinggi menumbuhkan iklim emosi yang membuat orang-orangnya berkontak langsung
dengan pemakai (user), akan menjaga relasi di jalan yang benar. Orang seperti ini memantau
kepuasan pemakai dengan teliti untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan apa yang mereka
butuhkan. Mereka juga membuka diri ketika diperlukan; Keempat : Pengelolaan Relasi yang meliputi:
(1) Inspirasi, seseorang yang menginspirasi akan menciptakan resonansi serta menggerakkan orang
dengan visi yang menyemangati atau misi bersama. Orang seperti ini menjalankan sendiri apa yang
dimintanya dari orang lain dan mampu mengartikulasikan suatu misi bersama dengan cara yang
membangkitkan inspirasi orang untuk mengikutinya. Mereka menawarkan perasaan tujuan di balik
tugas sehari-hari, membuat pekerjaan lebih menggembirakan; (2) Pengaruh, tanda pengaruh
kekuasaan seseorang berkisar dari kecerdasannya dalam menemukan daya tarik yang tepat bagi
pendengan tertentu sampai mengetahui cara mendapatkan persetujuan dari orang-orang penting dan
jaringan pendukung untuk suatu inisiatif. Seseorang yang mahir mempengaruhi akan memiliki
kemampuan membujuk dan melibatkan ketika menghadapi kelompok; (3) Mengembangkan orang
lain, orang yang mahir menumbuhkan kemampuan orang menunjukkan minat yang murni pada
mereka yang dibantunya, yang memahami tujuan-tujuan, kekuatan serta kelemahan mereka. Orang
seperti ini dapat memberikan umpan balik yang membangun pada waktu yang tepat, dan adalah
pembimbing yang alami; (4) Katalisator perubahan, orang ini mengenali kebutuhan akan perubahan,
menantang status quo, dan memenangkan aturan baru. Mereka bisa menjadi penasihat yang kuat
terhadap perubahan bahkan dihadapan oposisi, dan membuat argumentasi yang menyemangati.
Mereka menemukan cara-cara yang praktis untuk mengatasi hambatan perubahan; (5) Pengelolaan
konflik, orang yang pandai mengelola konflik akan mampu mengumpulkan semua pihak, mengerti
sudut pandang yang berbeda, dan kemudian menemukan cita-cita bersama yang dapat disepakati
oleh setiap orang. Mereka mengangkat konflik ke permukaan, mengakui perasaan dan pandangan
dari semua pihak, dan kemudian mengarahkan energi ke arah cita-cita bersama; dan (6) Kerja tim
dan kolaborasi, orang yang mampu bermain dalam tim akan menumbuhkan suasana kekerabatan
yang ramah dan mereka sendiri mencontohkan pengharapan, sikap bersedia membantu, dan kerja
sama. Mereka menarik orang ke dalam komitmen yang aktif dan antusias bagi usaha bersama, dan
membangun semangat serta identitas. Mereka meluangkan waktu untuk menumbuhkan dan
mempererat relasi yang akrab, lebih jauh daripada sekedar kewajiban pekerjaan.[6]

SQ
Danah Zohar dan Ian Marshall menyatakan IQ saja belum cukup. Menurut mereka
humanisme barat pasca abad ke delapan belas secara spiritual bodoh, dan bahwa humanisme Asia
secara spiritual cerdas. Dalam pemahaman timur, seorang pemimpin yang penuh pengabdian
merupakan sumber makna dan nilai. Gandhi, Nelson Mandela, dan Ibu Teresa adalah para pemimpin
spiritual dan pengabdi masyarakatnya. Mereka berhasil meningkatkan makna, moralitas, dan
pelayanan. Orang yang pandai (kecerdasan tinggi dan bekerja sesuai dengan bakatnya) dan
mempunyai kemampuan mengendalikan emosi yang tinggi belum tentu berguna bagi manusia lain.
Bahkan dalam sejarah telah terbukti bahwa orang yang sangat cerdas serta berkemampuan
mengendalikan emosi yang tinggi menjadi biang malapetaka kehidupan manusia lainnya seperti Hitler
dan Musholini. Mengapa bisa terjadi demikian, salah satu jawabannya adalah dia tidak mempunyai
tata nilai spiritual yang mengarahkan kehidupannya. Danah Zohar dan Ian Marshall menemukan
kecerdasan spiritual (SQ). Dalam wujud teratai yang berlapis-lapis, manusia digambarkan memiliki
tiga lapisan yang mempengaruhi proses dinamika intelektual-mental-spiritualnya. Lapisan pertama,
yang terdapat di sisi luar disebut sebagai “ lapisan pinggir ego” (rasional). Lapisan kedua, yang
terdapat di tengah, adalah lapisan penghubung asosiatif (emosional). Lapisan ketiga, di bagian pusat,
adalah pemersatu (spiritual). Gambaran ini menyatakan manusia berpikir bukan hanya dengan
otak tetapi juga dengan emosinya yang akhirnya perlu dilingkupi dengan kesadaran akan
makna serta nilai-nilai yang hakiki.[7]

AQ
Paul G. Stolt menegaskan bahwa IQ tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Kecerdasan
dalam menghadapi tantangan mendasari semua kesuksesan. Orang yang mampu menghadapi
tantangan (bertahan) dan kemampuan mengatasi kesulitan merupakan modal utama untuk meraih
kesuksesan. Kecerdasan menghadapi tantangan (Adversity Quotient = AQ) adalah kerangka pikir
yang diajukan oleh Paul Stoltz. Ada empat komponen utama AQ yang sering disingkat CORE. C
adalah control, adalah mempertanyakan seberapa jauh kita merasa memiliki kendali atas apa yang
terjadi atas suatu kesulitan yang kita alami. O adalah origin dan ownership mempertanyakan siapa
yang menjadi asal usul kesulitan serta sampai sejauh mana kita mengakui adanya kesulitan tersebut.
R adalah reach adalah mempertanyakan sampai sejauh mana kita membiarkan suatu kesulitan
menjangkau sisi kehidupan kita yang lain. E adalah endurance mempertanyakan seberapa lama kita
memperkirakan kesulitan akan berlangsung. AQ memberikan penekanan dalam menghadapi
kesulitan sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan.[8]

ESQ
Ary Ginanjar berpendapat bahwa : Jika hanya EQ yang dipelajari, ia akan berkembang
tanpa prinsip sejati ke – Tuhanan. Dengan demikian manusia bisa menjadi manipulatif dan sesat.
Disinilah orang membutuhkan SQ. Harus ada sebuah kerangka komprehensif untuk menjembatani
keduanya. Kemudian ia membangun suatu kerangka pijakan yang sangat logis, yang disebutnya
ESQ. Penjelasan mendetail dan gamblang mengenai keterkaitan EQ dan SQ dalam bentuk ESQ
adalah suatu kemenangan berpikir yang kritis dan reflektif.[9] ESQ merupakan konsep yang
komprehensif, sistematis dan logis, khususnya menyangkut logika di balik hubungan antara EQ dan
SQ. ESQ beranjak dari dikotomi antara aspek duniawi dengan aspek rohani. ESQ menggunakan
kerangka serta ajaran Al-Quran sebagai dasar pijakannya.

EMQ
Anthony Dio Martin yang merumuskan EQM mencoba menyempurnakan EQ dari prespektif
yang lain. Jika AQ, SQ maupun ESQ melihat EQ dari sisi aplikasi, EQM berbicara dari sisi unsur
unsur yang melatarbelakanginya yaitu emosi. Emosi sebagai unsur utama selain bisa mengambil
bentuk EQ, juga berperan dalam bentuk IQ, AQ, dan SQ. Emosi di sini menjadi titik sentralnya.
[10] EQM menggunakan pohon sebagai simbul kematangan emosi manusia. Unsur-unsur alam yang
terkait dengan pertumbuhan pohon adalah kayu, tanah, sinar matahari, udara, dan air. Kayu
melambangkan kematangan emosional (emotional maturity). W. Churcill menyatakan, ” Pada
mulanya kitalah yang membentuk tempat tinggal kita. Setelah itu, tempat tinggal kitalah yang
membentuk diri kita”. Pola pertumbuhan kayu pada sebatang pohon mengajarkan kita makna sejati
tentang menghargai proses keteraturan alamiah yang tidak bisa dilanggar atau dikesampingkan
begitu saja. Kematangan emosi seseorang terkait dengan usia dan pengalaman hidup. Tanah
melambangkan pengetahuan yang dalam tentang emosi (emotional knowledge). Tanaman
membutuhkan tanah sebagai komponen penyerap zat-zat penting bagi pertumbuhan sekaligus
sebagai penyokong perkembangan fisik. Hal ini menggambarkan, kematangan emosi manusia
membutuhkan sebuah fondasi yang mampu menancapkan akar pertumbuhan emosi. Pertumbuhan
emosi sendiri mesti bertumpu pada emotional knowledge. Sinar Matahari (emotional spirituality).
Sinar matahari adalah simbul emosi Ilahi. Emotional spirituality adalah salah satu bagian dari
Spiritual Quotient yang berfokus pada wilayah emosi manusia yang memiliki dasar wilayah
keilahian. Keuniversalan manusia dalam emosi-emosi yang Ilahi menunjukkan umat manusia
sebagai makhluk Allah. Udara (emotional autenticity). Udara murni (oksigen), adalah unsur penting
bagi perkembangan pohon emosional kita. Seseorang yang memiliki emosi otentik tidak takut untuk
mengungkap apa yang terjadi dan dirasakan. Tidak hipokrit dan pura-pura. Air (emotional
reconcilaiation). Dalam hal emosi, air melambangkan perdamaian. Perdamaian manusia dengan
dirinya sendiri, serta perdamaian antara manusia dengan sesamanya. Rekonsiliasi ini diperlukan
supaya manusia bisa meningkatkan kematangan emosi tanpa beban emosi masa lampau.[11]
Anthony Dio Martin menyarankan langkah-langkah untuk membangun kehidupan emosi supaya
semakin berkualitas, yaitu: (1) Melakukan doa, meditasi atau refleksi guna mengasah ketajaman
perasaan anda. Tuhan senantiasa akan membantu kita membangun mental yang sehat di atas
emosi yang tenang dan stabil; (2) Menjaga pikiran dengan memikir selalu dari segi positif dan
bermanfaat; (3) Latihan fisik secara teratur dan makan yang bergizi untuk menjaga pertumbuhan fisik,
sekaligus jiwa dan emosi kita; (4) Menjaga hubungan dan keakraban. Gunakan setiap kesempatan
berinteraksi dengan orang lain untuk melatih otot-otot emosi anda; dan (5) Selalu mengembangkan
pengetahuan tentang emosi untuk menjaga kualitas emosi.[12]

SOCIAL INTELLIGENCE
E.L. Thorndike sudah mengungkap social intelligence sebagai kemampuan mengelola
hubungan antar pribadi pada pria maupun wanita. Dunia psikologi modern menemukan lima faktor
penentu kesuksesan, yang populer dengan istilah Lima Besar Karakteristik Kepribadian, yaitu: (1)
kemampuan beradaptasi dengan berbagai hirarki sosial, (2) keinginan bekerjasama, (3) kapasitas
untuk dipercaya dan bertahan pada satu komitmen, (4) kemampuan untuk bertahan menghadapi
stress dan berbagai tekanan, dan (5) keterbukaan diri menghadapi masalah dan berpikir inovatif,
serta kecerdikan menghadapi masalah.[13] Menurut D. Goleman, “ kita memang tercipta untuk
saling berhubungan.” Kita terancang untuk sosialibilitas, untuk terus menerus terlibat dalam suatu
tarian syaraf yang menghubungkan otak kita dengan otak orang lain di sekitar kita. [14]
Responsivitas sosial otak menuntut agar kita menjadi bijak, agar kita menyadari bahwa tidak hanya
suasana hati kita namun juga biologi kita digerakkan dan dibentuk oleh orang lain dalam hidup kita,
dan pada gilirannya hal ini menuntut agar secara seksama kita memikirkan bagaimana kita
mempengaruhi emosi dan biologi orang lain. Pengaruh biologis membawa diri kita dengan cara yang
bermanfaat bagi orang-orang dengan siapa kita berhubungan. Kita manusia memiliki kecenderungan
yang sudah terpasang dalam diri kita untuk empati, kerjasama, dan altruisme – asalkan kita
mengembangkan kecerdasan sosial untuk menumbuhkan kemampuan ini dalam diri kita dan orang
lain.

KUALITAS SDM PERTAHANAN


Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari
segenap ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.[15] Ancaman terhadap
kedaulatan negara saat ini sudah berkembang menjadi multidimensional dari luar negeri maupun
dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait
dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian
kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Sistem pertahanan negara dalam
menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama
dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi
ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur
utama yang disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman dengan didukung oleh unsur-unsur lain
dari kekuatan bangsa.[16] Dalam menghadapi ancaman militer yang saat ini sulit diprediksi,
pertahanan negara harus dipersiapkan untuk menghadapi kondisi terburuk atau perkembangan yang
berlangsung secara tiba-tiba. Strategi pertahanan dalam menghadapi ancaman aktual disesuaikan
dengan jenis ancaman dan besarnya risiko yang dihadapi. Dalam menghadapi ancaman militer yang
berbentuk agresi, strategi pertahanan yang dipersiapkan adalah strategi pertahanan berlapis dalam
kerangka perang total dengan menempatkan pertahanan militer sebagai inti kekuatan.[17]
Penanganan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakadilan menjadi fokus dari strategi
pertahanan nonmiliter. Langkah-langkah strategis ditempuh nelalui pendidikan, kesehatan,
penegakan hukum, dan kepemimpinan yang diteladankan yang pelaksanaannya diselaraskan
dengan pembangunan di bidang ekonumi dan sektor pembangunan lainnya seperti politik, ideologi,
dan militer. Dalam skala tertentu, pertahanan militer dapat terlibat dalam wujud yang lebih konkrit
atas dasar keputusan pilitik pemerintah atau atas permintaan dari unsur utama nirmiliter yang
membutuhkannya.[18]

Rancang bangun postur pertahanan militer serta pembangunannya didasarkan pada


perkembangan ancaman yang dihadapi. Postur pertahanan militer dibangun sampai mencapai
standar penangkalan. Ukuran kemampuannya meliputi kekuatan prajurit dan Alutsista serta
profesional prajurit dan dukungan anggaran. Intelijen pertahanan negara merupakan elemen vital
dalam pertahanan negara untuk mendapatkan dan mengolah informasi. Sesuai dengan
perkembangan di bidang teknologi dan militer kualifikasi intelijen mencakup intelijen berbasis
manusia, intelijen citra, intelijen perhubungan dan pengukuran, intelijen komunikasi, intelijen telemetri,
intelijen elektronik, dan intelijen terbukan. Logistik pertahanan memberikan efek dukungan yang
bernilai vital dalam penyelenggaraan pertahanan negara.[19] Pengembangan SDM sebagai
pengawak pertahanan dengan strategi pertahanan berlapis untuk ancaman militer khususnya
agresi militer dapat diwujudkan dengan mengembangkan kemampuan dalam intelijen untuk
perkiraan ancaman, perumusan standar penangkalan untuk menentukan kemampuan
menanggulangi ancaman, dan logistik pendukungnya.
Keberhasilan pertahanan dilihat dari SDM berkaitan dengan: (1) kemampuan SDM untuk
memperkirakan ancaman, (2) kemampuan SDM untuk merumuskan standar penangkalan, (3)
kemampuan SDM dalam melaksanakan penanggulangan ancaman, dan (4) kemampuan SDM untuk
mengelola logistik pendukung.
Kemampuan dalam memperkirakan ancaman membutuhkan intelijen yang tangguh untuk
mengolah data/informasi yang sifatnya masih abu-abu (belum jelas/pasti) menjadi informasi yang
jelas (pasti = deterministik), yang dapat digunakan sesuai dengan tujuannya. Prosesnya mencakup
pengumpulan data/informasi dan analisisnya. Pengumpulan data/informasi kadangkala dan bahkan
sering berhubungan dengan data/informasi yang bersifat rahasia. Konsekuensinya untuk
memperolehnya diperlukan usaha yang membutuhkan daya juang yang tinggi karena sangat sulit
dan sangat berbahaya. Dengan demikian kemampuan memperkirakan ancaman membutuhkan
seseorang yang mempunyai: (1) kecerdasan diatas rata-rata, (2) kemampuan khusus sesuai dengan
tugasnya, (3) kemampuan mengendalikan emosi yang sangat kuat, (4) mempunyai daya juang yang
sangat tinggi, (5) kemampuan kerjasama dalam tim, dan (5) orang demikian tidak mungkin tidak
mempunyai keyakinan/agama yang mantap. Kemampuan dalam penanggulangan ancaman
membutuhkan SDM yang: (1) mampu menterjemahkan strategi ke dalam implementasinya di
lapangan/medan pertempuran. Penerjemahan ini membutuhkan kecerdasan, (2) kemampuan
bekerjasama dalam tim. Kerjasama dalam tim tidak akan berhasil jika belum mampu mengendalikan
emosi dan kemampuan bekerja sama dalam tim/masyarakat yang merupakan kecerdasan sosial, (3)
mempunyai daya juang yang tinggi, (4) mempunyai keyakinan/agama yang mantap. Jadi upaya
pertahanan negara berjalan secara ideal membutuhkan SDM yang mempunyai kecerdasan
diatas rata-rata, kemampuan khusus sesuai dengan tugasnya, mampu mengendalikan emosi
sehingga dapat bekerja dengan baik secara individu maupun kerjasama secara tim,
mempunyai daya juang yang tinggi, dan mempunyai keyakinan/agama yang kuat.

KONTRIBUSI PSIKOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN SDM PERTAHANAN


Secara umum kontribusi psikologi untuk pengembangan SDM pertahanan dibagi menjadi
SDM umum (baca= masyarakat umum) dan SDM yang berada di instansi/institusi pemerintah.
Kontribusi psikologi untuk pengembangan SDM pertahanan untuk masyarakat umum berkaitan
dengan pengembangan sifat nasionalisme dan daya juang. Sifat nasionalisme dan daya juang
dapat dikembangkan dengan internalisasi/menanamkan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yaitu
Pancasila, nilai-nilai kejuangan dan nilai-nilai agama. Jadi pelaksanaannya adalah memanfaatkan
ilmu psikologi untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kejuangan, yang berkaitan dengan AQ
dan SQ. Kontribusi psikologi untuk pengembangan SDM pertahanan di instansi/institusi pemerintah
dibagi menjadi pada saat penerimaan pegawai dan pengembangan kemampuan di satker. Pada
penerimaan pegawai yang relevan adalah: (1) penyaringan SDM pada perekrutan, dengan
menggunakan test IQ digunakan untuk seleksi tingkat kecerdasan secara umum, (2) test kepribadian
yang digunakan untuk menentukan penempatan, (3) test MI digunakan untuk menentukan
penempatan sesuai dengan spesialisasi kemampuan , (4) test SQ untuk menentukan tata nilai yang
menjadi pegangan dalam hidupnya. Pada pengembangan kemampuan pegawai setelah
ditempatkan di satker masing-masing adalah: (1) test MI dan test kepribadian untuk menentukan
kesesuaian kepribadian dan kemampuan spesialisasinya dengan sifat pekerjaan dan persyaratan
yang kemampuannya, (2) test EI untuk menentukan kemampuan dalam pengendalian emosinya, (3)
test AQ untuk menentukan daya juangnya dalam menghadapi tantangan dalam pekerjaan, (4) test
SQ untuk menentukan tata nilai spiritual yang dianutnya, khususnya yang beragama Islam bisa
langsung digunakn ESQ, dan (5) test EMQ yang memadukan kecerdasan (IQ), daya juang (AQ), dan
SQ serta ESQ khusus yang beragama Islam.

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1. Tes psikologi, khususnya yang berhubungan dengan kecerdasan , saat ini sudah
mempertimbangkan emosi, nilai-nilai spiritual, daya juang dalam menghadapi tantangan,
kemampuan dalam kerjasama sosial, dan lain-lain.
2. Psikologi dapat digunakan untuk pengembangan SDM Pertahanan sesuai dengan kualitas
yang dibutuhkan dalam menghadapi ancaman.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Linda dkk. Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan. Inisiasi Press, jakarta 2002
Dephan Publications, Buku Himpunan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan
Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan : Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
Nomor. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta,
-----------, Doktrin Pertahanan Negara, Dephan RI, Jakarta 2007
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence
Atas IQ. Alvabeta, Bandung 2005.
Gardner, Howard. Multiple Intelligences. Interaksara, Jakarta 2003
Goleman, Daniel. Social Intelligence. PT Gramedia, Jakarta 2006
Goleman, Daniel; Boyatzis, Richard; McKEE, Annie. Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan
Emosi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2007
Littauer, Florence & Littauer, Marita. Personality Puzzle. Binarupa Aksara, Jakarta 1995
Martin, Anthony Dio. Emotional Quality Management, Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup
Melalui Kekuatan Emosi. HR Excellency, Jakarta 2008
Stoltz, Paul G. Adversity Quotient. Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 2000.
Zohar, Danah dan Marshall, Ian. Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence diterjemahkan
oleh Astuti, Rahmani dkk menjadi SQ (Kecerdasan Spiritual) . Mizan, Bandung, 2007

[1] Gardner, Howard. Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek).
Penerbit Interaksara, Jakarta, 2003. Lihat Juga. Campbell, Linda dkk. Multiple Intelligences
(Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan). Penerbit Inisiasi Press, Depok, 2002
[2] Zohar, Danah dan Marshall, Ian. Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence diterjemahkan
oleh Astuti, Rahmani dkk menjadi SQ (Kecerdasan Spiritual) . Mizan, Bandung, 2007, hal 3
[3] Martin, Anthony Dio. Emotional Quality Management (Releksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup
Melalui Kekuatan Emosi, HR Excellency, Jakarta 2008, Hal 23
[4] Ibid, hal 22
[5] Ibid, hal 30
[6] Goleman, Daniel & Boyatzis, Richard & McKee, Annie. Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan
Emosi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Hal 303-307
[7] Ibid, hal 60
[8] Ibid Hal 55-57
[9] Ibid, hal 61-63
[10] Ibid, Hal 63-66
[11] Ibid, hal 69-85
[12] Ibid, hal 283-284
[13] Ibid hal 22
[14] Goleman, Daniel. Social Intelligence, Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar Manusia. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
[15] ------------, Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara BAB I, pasal 1,
dan ayat 1
[16] -----------, Penjelasan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
[17] -----------, Doktrin Pertahanan Negara, Dephan RI, Jakarta 2007, hal 93
[18] Ibid, hal 95-97
[19] Ibid, hal 103-108

------------------------***************************-------------------

You might also like