You are on page 1of 423

Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.9. KONSEP-KONSEP KEADILAN
oleh Abdurrahman Wahid

Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan


dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun
individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi
semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim
dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul
idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling baik
tentang keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan
dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber
keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur'an yang
menjadi firmanNya (kalamu 'l-Lah) juga menjadi sumber
pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi


mereka yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan
cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan
rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran
dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah
lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam
kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi
yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa
dalam wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim
sejak delapan abad terakhir ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu.


Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan
Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini
justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah
ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga,
persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang
kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau
bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama
ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme,
Nasionalisme dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan
serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak
akan menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi
masalah yang disederhanakan, justru akan menambah parah
keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari
pemecahan yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka
panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.

Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak


perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya
wewenang masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi,
pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan
menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis
yang menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam
jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan
negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa
terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata
membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya"
Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di
mana-mana. Rendahnya produktivitas individual sebagai akibat
langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat
yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai
Komunis untuk melakukan perombakan total seperti diakibatkan
oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu
lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk


juga meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara
lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang
paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan
selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan
wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan
perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang.
Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham
yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib
yang sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari
sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa


aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan
sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba
untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk
menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang
dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas
hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan
selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.

PENGERTIAN KEADILAN

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata


atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata
yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan
juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata
sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh
al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam
berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya
yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan


dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu
sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil
keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan,
pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi
keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan
dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl
dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja,
sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan"
mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti
sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan
keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama
al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan


dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan
amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan
kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama
warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum
Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar
keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu
tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan
warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup
makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya
dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang
beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam
urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan
mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran
agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara


wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur'an dengan upaya
peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya
dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin,
janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian.
Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan
sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak
"wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak
karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan
dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an


itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar
sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya
merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan
diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari
perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan
keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu
yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang
dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan
segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata
dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani
yang mengingkari keadilan itu

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini,


bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an
ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini
mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan
itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah
legal-formalistik.

PERMASALAHAN

Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik


dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya
dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki
wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang
terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu
bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban
berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru
wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai
contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika
"berbuat adil" dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan
memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan
apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah
tindakan yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan
keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat
parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya
belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan


al-Qur'an itu juga terlihat dalam sederhananya perumusan apa
yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan
dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia
melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah
tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa watak
berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti
ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi
suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri).

Dari pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas,


bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan
al-Qur'an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh,
apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan
dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi


yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang
dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi
yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang
dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas
agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan?
Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan
persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan
hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan
hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat
asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah
dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi
meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya
demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang
jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan
keadilan yang terkandung dalam al-Qur'an memenuhi kebutuhan
sebuah masyarakat modern di masa datang.

Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta


permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali
bahwa visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus
direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi
berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya
lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi filosofis, di
samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk
merampungkannya secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah
umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang
sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan
"kerangka operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian
yang manis?

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

I.1. PERSOALAN PENAFSIRAN METAFORIS ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL


oleh M. Quraish Shihab (1/2)

Dalam kamus linguistik, "metafora" (metaphor) berarti


pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau
konsep, berdasarkan kias atau persamaan." (1) Itu berarti
suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan
untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan
kepada makna lain. Dalam disiplin ilmu al-Qur'an pengalihan
arti itu disebut ta'wil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke
3 H., diartikan sebagai "mengalihkan arti suatu kata atau
kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain
berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi
yang menyertainya." (2)

Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu


al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak
dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan
yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan
al-Qur'an.

Tapi bagaimana dengan al-Qur'an yang redaksi-redaksinya


merupakan susunan Ilahi? Apakah mengenal pula metafora?
Al-Qur'an menegaskan, Ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata
yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab
pada masa turunnya, tapi gaya susunannya yang bukan prosa dan
bukan pula puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya
menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka
tak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayatnya. Hal ini
memberi petunjuk atau kesan bahasa al-Qur'an berbeda dengan
bahasa yang digunakan ketika itu.

Tapi di sisi lain, para ahli dalam rangka memahami al-Qur'an


menelusuri dan mempelajari penggunaan kosakata dan
ungkapan-ungkapan yang digunakan khususnya oleh suku-suku
Qais, Tamim dan Asad karena mereka dinilai masih bertahan
dengan bahasa Arab asli. Mereka oleh pakar-pakar budaya dan
bahasa dinilai belum atau tak tersentuh oleh akulturasi budaya
atau bahasa. Berbeda dengan suku-suku Arab lain nya yang
bertetangga dengan daerah-daerah yang tak berbahasa Arab
ketika itu seperti, Lakhem dan Juzaam yang bertetangga dengan
penduduk Coptik di Mesir atau Gassaan dan Qudha'ah yang
bertetangga dengan penduduk Syam yang berbahasa Ibrani. Atau
suku Abdi al-qais dan Azad, penduduk Bahrain (Emirat Arab)
yang bergaul dengan orang-orang India dan Persia. Bahkan para
pakar bahasa tersebut --tak merujuk dalam rangka memahami
kosakata atau ungkapan-ungkapan al-Qur'an-- pada penduduk
kota-kota Hijaz sekali pun, karena mereka menilai bahwa
pergaulan mereka relatif luas sehingga mengakibatkan bahasa
mereka tak "asli" lagi.

Isi yang dikemukakan di atas, menjadi bukti bahwa pemahaman


al-Qur'an tak terlepas dari pemahaman kosakata atau ungkapan
yang digunakan orang-orang Arab pada masa turunnya; dan
apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam percakapan
mereka maka tentunya dalam al-Qur'an hal yang demikian pasti
ditemukan, karena ia diturunkan dengan bahasa Arab, agar dapat
mereka pahami (QS. Fushshilat: 3).

Penelitian-penelitian yang dilakukan pakar-pakar bahasa,


seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan di antara mereka,
khususnya ulama-ulama Kufah versus ulama-ulama Bashrah. Ini
berarti sebagian hasil-hasil yang mereka peroleh belum
mendapat kesepakatan semua pihak, yang berakibat membawa
sebagian ulama pada sikap hati-hati dalam menolak pemahaman
metaforis bagi teks-teks keagamaan. Paling tidak, jika tak
memahaminya secara literal, mereka menyerahkan pengertian
sekian banyak kosakata atau ungkapan al-Qur'an kepada Allah
swt.

Sikap semacam ini tentunya tak memuaskan banyak pihak dan dari
hari ke hari pembahasan masalah-masalah metaforis dalam
teks-teks keagamaan tumbuh dengan pesatnya. Agaknya al-Jahiz
(w. 255 H/868 M) merupakan tokoh pertama yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran jernih menyangkut masalah tersebut.
Walaupun harus diakni bahwa kitab tafsir pertama, karya Abu
Ubaidah Mu'ammar bin Al-Mustana (w. 209 H) bernama Majazat
al-Qur'an. Namun nama ini tak berkaitan dengan pengertian
majaz atau metafora yang dimaksud di sini.

Tokoh al-Mahiz adalah seorang penganut aliran rasional dalam


bidang teologi (Mu'tazilah) dan dengan
penafsiran-penafsirannya ia telah mampu menyelesaikan sekian
banyak problema pemahaman keagamaan yang tadinya dihadapi
sekian banyak ulama.

Imam Malik (w. 795 M) misalnya, enggan membenarkan redaksi


"langit menurunkan hujan," karena berkeyakinan bahwa yang
menurunkan hujan adalah Allah swt. (3) Demikian juga ketika
beliau ditanya tentang pengertian Firman Allah dalam QS.
Thaha: 5, "Tuhan yang maha pemurah bersemayam di atas Arasy."
Malik menjawab: Pertanyaan semacam ini merupakan bid'ah"
(tercela dalam pandangan agama).

Bahkan sebagaimana ditulis al-Jahiz dalam bukunya al-Hayawan


(4) ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk
berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 74
"... dan diantaranya (diantara batu) sungguh ada yang meluncur
karena takut kepada Allah ...," sebagaimana ada yang menduga
bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl:
68, "Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah." Kemudian mereka
berpaham demikian merangkai hikayat-hikayat yang tak mempunyai
dasar sedikitpun.

Al-Jahiz yang sangat rasional dan ahli dalam bidang kebahasaan


itu membantah pendapat-pendapat semacam itu dengan menunjuk
pada penggunaan kosakata atau ungkapan yang sama dan yang
pernah digunakan orang-orang Arab menjelang dan pada masa
turunnya al-Qur'an.

Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M), murid al-Jahid walau pun bukan
penganut aliran Muitazilah bahkan dinilai sebagai "juru bicara
Ahl-u'l-Sunnah" (5) melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha
gurunya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan berbagai
motif yang berkembang dengan sangat pesat; dan tentu
menggunakan segala cara dan argumentasi, baik logika maupun
kebahasaan.

Mereka yang menolak pemahaman metaforis dalam teks-teks


keagamaan, paling tidak menggunakan dua argumentasi berikut,
pertama, Metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-Qur'an
adalah firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Kedua,
Seorang pembicara tak menggunakan metafora kecuali jika ia tak
mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki,
dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala
sesuatu.

Kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga


berbagai ahli menolaknya. Ibnu Qutaibah menolak dengan
menyatakan, "Seandainya metafora atau majaz dinilai
kebohongan, maka alangkah banyaknya ucapan-ucapan kita
merupakan kebohongan." (6)

Al-Sayuthi (w. 911 H/1505 M) menulis dalam bukunya al-Itqan,


"Metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak
keberadaannya dalam al-Qur'an, maka tentunya sebahagian unsur
keindahan pun tak akan ada padanya." (7) Sebagaimana telah
dikemukakan pada awal uraian metafora dalam istilah ilmu
bahasa Arab dinamai majaz, atau dalam istilah ilmu-ilmu
al-Qur'an disebut ta'wil.

Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya


satu dari dua hal berikut, pertama, terdapat persamaan antara
makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti
literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian
metaforis yang ditetapkan. Kedua, adanya perkaitan atau
hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan
terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang
seharusnya bukan kepadanya. Ia dinisbahkan, misalnya "langit
menurunkan hujan." Di sini terdapat perkaitan antara langit
dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya
dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan.

Disepakati oleh mereka yang berpendapat adanya metafora, bahwa


dibutuhkan dukungan petunjuk atau argumen guna mengalihkan
satu makna hakiki ke makna metaforis. Tanpa adanya petunjuk
maka penta'wilan tak dapat dilakukan. Tapi bagaimana bentuk
petunjuk atau argumen tersebut, diperselisihkan mereka.

Pertama, Kelompok yang dikenal dengan "al-Dhahiriyah" yaitu


pengikut-pengikut Daud al-Dhahiri (w. 270 H) tak membenarkan
adanya penta'wilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks
keagamaan, kecuali bila pengertian yang ditetapkan itu telah
populer di kalangan orang-orang Arab pada masa turunnya
al-Qur'an, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung
pengalihan makna atau penta'wilan tersebut. (8) Ibnu Hazem (w.
456 H/1064 M) menegaskan,"Selama arti yang dipilih bagi satu
kosakata atau ungkapan telah dikenal di kalangan sahabat dan
Tabi'in dan sejalan pula dengan bahasaArab klasik, maka arti
tersebut harus diterima baik dalam pengertian majaz, maupun
hakiki." (9) Hanya perlu dicatat, satu kosakata atau ungkapan,
tak dialihkan ke makna metaforis kecuali setelah makna hakiki
tak dapat digunakan.

Kedua, al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi


penta'wilan ayat-ayat al-Qur'an" (10) Pertama, makna yang
dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh
mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Tidak tepat
kata al-Syathibi, memahami kata khalila dalam QS. al-Nisa'
125: Allah menjadikan Ibrahim khalila sebagai seorang "fakir"
karena pengertian tersebut bertentangan dengan nash al-Qur'an
yang lain, yaitu bahwa "ia (Ibrahim) menjamu tamunya dengan
daging anak sapi yang dipanggang" (QS. Hud:69), yang
menunjukkan beliau bukan seorang fakir; di samping bahwa
kenyatann sejarah membuktikan bahwa Ibrahim as. bukan seorang
fakir.

Kedua, arti yang dipilih tersebut telah dikenal oleh


bahasa-bahasa Arab klasik. Dalam syarat ini terbaca bahwa
syarat "popularitas" artinya kosakata tak disinggung lagi,
bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa satu kosakata
yang bersifat ambigu atau musytarak (mempunyai lebih dari satu
makna), maka kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian
teks tersebut selama tak bertentangan satu dengan lainnya.
Contoh kata "hidup" dan "mati." Al-Qur'an menggunakan kata
"hidup" dalam arti berpisahnya Ruh dari badan dan juga dalam
arti "kosongnya jiwa dari nilai-nilai agama." Firman Allah
dalam QS. al-Rum 19, "Dia Allah mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup" dapat
diartikan dengan salah satu atau dengan kedua arti tersebut di
atas, demikian pula sebaliknya kata mati.

Dalam hal ini tentunya kita tak dapat menyalahkan mereka yang
memahami Firman Allah dalam QS. al-Baqarah 243, "Apakah kamu
tak mengetahui orang-orang yang keluar dari kampung halaman
mereka yang jumlah mereka beribu-ribu (keluar) karena takut
mati, maka Allah berfirman kepada mereka 'matilah kamu,'
kemudian Allah menghidupkan mereka, sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia
tak bersyukur."

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET


Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.1. PERSOALAN PENAFSIRAN METAFORIS ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL
oleh M. Quraish Shihab (2/2)

Kita tak mempermasalahkan walaupun seandainya kita tak


sependapat dengan orang-orang yang memahami kata "matilah
kamu" dan "Allah menghidupkan mereka" dalam pengertian
"kematian semangat jihad mereka" kemudian "kehidupan" semangat
jihad tersebut sehingga kembali ke kampung halaman mereka
untuk mengusir orang yang selama itu menganiaya mereka.

Ketiga, Sementara penganut-penganut aliran Rasional dinilai


sementara ahli melakukan ta'wil dengan menitik beratkan tolok
ukurnya pada akal mereka dan kalau pun menggunakan argumentasi
kebahasaan, maka yang digunakan adalah riwayat-riwayat yang
sangat lemah atau dibuat-buat. Mereka juga dinilai sangat
memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman
tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Qur'an.

Muhammad Abduh (w. 1906 M) dinilai sebagai salah seorang tokoh


penganut aliran ini. Ayat-ayat yang menguraikan kisah kejadian
Adam as. pada surah al-Baqarah 30 dan seterusnya, difahaminya
atas dasar tamsil, (11) sehingga tak ada dialog sebagaimana
tersurat, tetapi penyampaian Tuhan kepada malaikat tentang
rencana-Nya menciptakan khalifah di bumi, adalah pertanda
kesiapan bumi untuk menyambut satu makhluk yang dapat
mengolahnya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di dunia.

Pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang khalifah yang dapat


merusak dan menumpahkan darah, dipahami Abduh sebagai gambaran
tentang potensi dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan.
Pengajaran Tuhan kepada Adam tentang nama benda-benda, adalah
gambaran tentang potensi manusia mengetahui serta mengolah dan
mengambil manfaat segala yang terdapat di bumi ini. Pemaparan
pertanyaan kepada malaikat dan ketakmampuan mereka menjawab,
menunjukkan keterbatasan hukum-hukum alam. Sujudnya Malaikat
kepada Adam, menunjukkan kemampuan manusia memanfaatkan
hukum-hukum alam. Keengganan Iblis sujud, menandakan kelemahan
manusia dan ketakmampuannya menghilangkan bisikan-bisikan
negatif yang mengantar kepada perselisihan, perpecahan, agresi
dan permusuhan di muka bumi ini.

Abduh ketika menguraikan tentang "malaikat," mengemukakan dua


pendapat. Pertama, bahwa malaikat merupakan makhluk ghaib yang
tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercaya wujudnya.
Sedang pendapat yang kedua, adalah bahwa "malaikat merupakan
makhluk-makhluk Allah yang bertugas dalam pekerjaan-pekerjaan
tertentu, seperti menumbuhkan tumbuh-tumbuhan memelihara
manusia dan sebagainya." Hal ini menurut Abduh, adalah isyarat
yang lebih jelas dari satu redaksi tentang satu ciri tertentu
bahwa pertumbuhan dalam tumbuh-tumbuhan terjadi tak lain
kecuali dengan adanya Ruh yang dihembuskan Allah Swt ke dalam
benihnya, sehingga dengan demikian terjadilah kehidupan bagi
tumbuhan tersebut. Demikian pula halnya dengan manusia dan
binatang. Yang demikian itu menurut Abduh dinamai, dalam
istilah agama dengan "malaikat."

Selanjutnya Abduh menulis, "Bagi mereka yang tak mengindahkan


penamaan yang ditetapkan agama, hal tersebut mereka namakan
natural power karena mereka tak mengenal dalam kehidupan ini
kecuali apa yang tampak dan atau yang tampak bekasnya dalam
alam nyata. Satu hal yang pasti, kata Abduh selanjutnya, bahwa
hakikat setiap ciptaan terdapat sesuatu yang menjadi sumber
ketergantungannya serta sistem wujudnya. Hal ini tak dapat
diingkari siapa pun yang berakal walau pun mereka tak beriman
atau mengingkari bahwa hal tersebut dinamai malaikat, demikian
pula sebaliknya hal tersebut tak diingkari oleh seseorang yang
beriman walaupun ia mengingkari penamaan tersebut dengan
"natural power" atau hukum alam.

Muhammad Abduh menambahkan, dirasakan oleh mereka yang


mengamati dirinya, atau membanding-bandingkan pikiran dan
kehendaknya yang mempunyai dua sisi baik dan buruk, bahwa
dalam batinnya terjadi pergolakan, seakan-akan apa yang
terlintas dalam pikirannya itu sedang diajukan ke suatu sidang
Majelis Permusyawaratan yang ini menerima dan yang itu
menolak, yang ini berkata "Kerjakanlah" dan yang itu "Jangan,"
demikian halnya sehingga pada akhirnya menanglah salah satu
pilihan. Proses demikian yang terdapat dalam jiwa setiap
manusia, tak mustahil dinamai Allah atau dinamai penyebab hal
tersebut sebagai "malaikat."

Demikian antara lain penta'wilan yang dilakukan Muhammad


Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama
sesudah masa beliau.

Kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan


penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal
seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga
merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat
mungkin wilayah ghaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa
batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal
yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian
dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.

Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam


memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang
peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal
ghaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap
perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu). Tapi
tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja
penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian! Apa yang
dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi
sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan
akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak
harus dita'wilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang
dianggap logis sehingga dipahami akal. Karena kalau hal
tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan
pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan
kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan
hakikat keagamaan.

Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran Abduh


menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan
sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari
Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah
berulang-ulang bersama Daud." Al-Maraghi menulis bahwa
pengertian ayat tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud
bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang
diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi
mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain."
(12)

Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan


teks ayat di mana yang diperintahkan adalah gunung-gunung,
bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa Mufassir
al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung,
sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalammya bertasbih
kepada Allah dan tak sesuatu pun melainkan bertasbih
memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih
mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun" (QS. al-Isra' 44). Jika apa yang digambarkan
tentang pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus
diakni bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki
alasan-alasannya.

Penta'wilan yang parah adalah yang semata-mata mengandalkan


penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan-
pertimbangan kebahasaan. Dr. (medis) Mustafa Mahmud memahami
larangan Tuhan pada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai
larangan mengadakan "hubungan sexual." Bukti yang dijadikan
dasar pertimbangannya adalah,

Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah)


pohon tersebut (mengadakan hubungan sex) mereka tanpa busana
dan berusaha menutupi auratnya dengan daun-daun surga, ketika
itu mereka merasa malu. Perasaan malu akibat terlihatnya alat
kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan
hubungan sexual. Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal
tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau
sekedar menyebutnya.

Kedua, Redaksi Firman Allah sebelum mereka mendekati pohon


tersebut adalah dalam bentuk dual ("Janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini," QS. al-Baqarah: 35), tetapi setelah
mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat
berbentuk plural atau jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu
menjadi musuh bagi yang lain" (Q.S. al-Baqarah: 36). Hal ini
menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua
(Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan
adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan sex
tersebut. (13)

Apa yang dikemukakan di atas hemat kita bertentangan dengan


teks ayat-ayat al-Qur'an serta kaidah-kaidah kebahasaan.
Pertama, ayat al-Qur'an menggambarkan bahwa keadaan tanpa
busana terjadi setelah atau akibat dari memakan buah pohon
terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Mustafa
Mahmud. Kedua, Kosakata "pohon" dita'wilkan atau dipahami
secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya
"daun-daun surga" difahami secara hakiki. Ketiga, Di sisi lain
bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang
penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh
bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh
dr. Mustafa Mahmud. Contoh yang dikemukakan di atas
menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat al-Qur'an, apalagi
penta'wilan ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga
penguasaan bahasa Arab.

CATATAN

1. Harimurti Kridalaksana, Kamus linguistik, Gramedia,


Jakarta 1983, h. 106.

2. Muhammad Husen al-Zahaby, al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun, Dar


al-Kutub al-Haditsah, Cairo, 1963, Jilid 1, h. 18.

3. Syarid Al-Radhy, Talkhis al-Bayan, diedit oleh Muhammad


Abdulghani Hasan, Al-Halaby, Mesir, 1955, h. 11.
4. Lihat al-Jahiz dalam al-Hayawan, diedit oleh Abdussalam
Harun, Cairo, 1364 H., Jilid.II, h. 128.

5. Muhammad Rajab al-Bayyumy, Dr., Khathawat al-Tafsir


Al-Bayany, Majma' al-Buhuts, Cairo, 1971, hl. 92.

6. Syarif AlRadhy, Op. Cit. hal. 56.

7. Al Sayuthi, al-Itqan, Al-Azhar, Cairo, 1318 H. Jilid 11,


h. 36.

8. Abu Zahrah, Ibnu Hazem Hayatuha Wa Ashruhu, Dar Al-Fikr,


Cairo, tp. th. h. 226.

9. Ibid.

10. Lihat Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwafaqat, diedit oleh


Abdullah Darraz, Dar al-Ma'rifah, Beirut, 1971, Jilid 111, h.
99.

11. Tentang pendapat-pendapat Abduh lihat lebih jauh Muhammad


Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, Percetakan al-Manar, Cairo
1367 H. Jilid 1, h.261 dst.

12. Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, al-Halaby,


Cairo 1964 M. Juz 22, h. 64.

13. Lihat lebih jauh Abdul Muta'al Muhammad al-Jabri,


Syathahat Musthafa Mahmud, Dar al-Itisham, Cairo, 1967, h. 119
dst.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.2. MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN
oleh Nurcholish Madjid (1/2)

Interpretasi metaforis atau ta'wil, ialah pemahaman atau


pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari
sumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian rupa,
sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata
pada teks sumber suci itu, tapi pada "makna dalam" (bathin,
inward meaning) yang dikandungnya. Metode pemahaman serupa itu
(ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jika
tidak malah sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimana
dikatakan kalangan Islam tertentu). Karena itu persoalan
interpretasi metaforis ini mempunyai saham cukup besar dalam
timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan kaum
Muslim. Maka salah satu manfaat yang menjadi tujuan tulisan
ini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang bibit-bibit
perselisihan paham dalam Islam, serta bagaimana seharusnya
kita menempatkan diri dalam kancah perselisihan itu secara
adil.

Sikap dapat memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan


paham di kalangan umat itu semakin dirasa mendesak akhir-akhir
ini. Dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat dan
luas, setiap pribadi orang modern mengalami bombardemen
informasi yang seringkali menyangkut segi-segi kesadarannya
yang mendalam. Dari sekian banyak informasi itu, untuk
kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat
Islam sendiri di seluruh dunia, termasuk informasi tentang
adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka
ragam Terlintas dalam pikiran, misalnya kesadaran hampir
tiba-tiba kaum Muslim Indonesia tentang adanya golongan Syi'ah
dan berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka di
Iran 1979. Lepas dari masalah revolusi itu sendiri (yang
agaknya lebih baik dilihat sebagai gejala politik, seperti
halnya dengan revolusi-revolusi lain), kejadian di Iran pada
penghujung dasawarsa lalu itu dalam suatu sentakan, telah
melahirkan sejenis kesadaran baru di kalangan umat Islam
dunia, yaitu kesadaran tentang pluralitas Islam dan potensi
yang ada di balik setiap golongan.

Maka dengan menengok masalah ta'wil ini, kita berharap dapat


menempatkan diri lebih baik dalam memandang berbagai aliran
dan madzhab di kalangan umat sendiri, untuk kemudian sikap
yang sama itu sedapat mungkin kita bawa pada persoalan
masyarakat secara keseluruhan.

AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Salah satu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang


terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya ayat-ayat
suci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan
yang "bermakna samar atau tidak pasti" (mutasyabihat, yakni,
yang interpretable). Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan
dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:

Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad)


Kitab Suci, yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang
merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain
yang mutasyabihat. Ada pun orang-orang yang dalam hatinya
terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang
tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat
fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian tersamar
itu. Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah.
Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan
menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari
sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap
pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam. [1]

Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya


menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan
pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan
mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada
ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat
muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat.
Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya,
bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi
sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun ("Kaum
Kebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihat
sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami
sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti
menunjuk pada hakikatnya.

Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya


melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu.
Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan
interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah. Sebagian
lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami
ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti
yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya.
Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab:
ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata
"mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah,"
"senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan
sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat
itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia.
Maka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia
"berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini
menimbulkan problema. Mereka yang melakukan interpretasi
(karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki
kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang
ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor
belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan
pengertian lahir firman-firman itu. Mereka yang tidak
membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu
seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki
kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."

Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih


terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan
interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang
gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya
harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat,
antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang
mendalam. Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota
masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas,
al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang
pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari
"orang-orang kebanyakan."

PANDANGAN PARA FILSUF

Seperti dapat diduga, para filsuf adalah kalangan orang-orang


Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya
pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran
demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah). Mereka
dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam
sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi
adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris. Jadi tidak
dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah
ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya
dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan
berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh
melalui pemikiran kefilsafatan.
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat
adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi
kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah.
Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganut
kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana
(al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para
penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni
kebenaran tak terbantah").

Kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan khawas di


kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan
metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan.
Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin:
Averroes), misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl
al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi (dikutip
di atas) sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena
mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi
teks-teks suci. Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus
dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang
mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil
ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca
berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak
mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada
Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai
ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu
di atas). [2]

Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan


sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang
tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu,
melainkan pada makna batinnya. [3] Karena itu para filsuf
rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi
telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu
tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi
"kebohongan" Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan
kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar
mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata
lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan
"kebohongan untuk kebaikan" (al-kidzb li al-mashlahah),
seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah. [4] Karena "pendidikan"
itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni,
para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam
memahami ajaran agama. Para flsuf harus melakukan ta'wil
terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah
(Hadits), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa
adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu.
Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan
interpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu
seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak
masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan
menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya
pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau
kemampuan akal mereka. Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran,
baik dari pihak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd
berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk
kalangan kaum khawas saja. [5] Sehingga sering dikatakan,
metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas
dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan
beragama.

AL-BATHINIYYUN (KAUM KEBATINAN)


Istilah al-Bathiniyyun, kadang-kadang juga Ahl al-Bawathin
(Kaum Kebatinan) digunakan secara longgar untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok Islam yang orientasinya
berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha
menangkap makna dalam (bathin) dari suatu teks atau ajaran
agama. Karena itu istilah tersebut berlaku untuk hampir semua
kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi. Oleh kaum Sunni
istilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok Islam
tertentu, terutama kaum Isma'ili, penganut aliran
Isma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi'ah yang muncul
sesudah wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar 148 H (765
M). Mereka juga dinamakan kaum Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah
Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh
(yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il (ibn
Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir). Dalam hal paham
keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi'ah
Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan mereka
pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn
'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti
kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar
--dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir
dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang
bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).

Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran


karya-karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam rangka
usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan ta'wil
terhadap fakta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi'ah
Isma'iliyyah ini memang banyak sekali menggunakan
sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Platonisme. Mereka
memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim
lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan
ibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada paham
tentang adanya ajaran-ajaran esoteris (bathin) yang membentuk
sistem filsafat kaum Isma'ili. Dalam gabungannya dengan
semangat keagamaan mereka, sistem filsafat itu menyediakan
penyimpangan kandungan batin ajaran-ajaran agama yang antara
lain, bagi mereka, memberi dukungan pada usaha pembuktian
bahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.

Pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin, semua


ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna
batin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan
kaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit itu,
malah berbahaya bagi mereka, maka makna batin itu ditujukan
hanya pada orang-orang istimewa tertentu saja. Makna dan
kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur'an, yang
tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi kepada
'Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan
beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual
yang tinggi sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali,
dan hanya mereka inilah yang dapat menangkap makna-makna
batiniah agama.

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.2. MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN
oleh Nurcholish Madjid (2/2)

Unsur Neo-Platonis Kaum Kebatinan ini kemudian muncul dalam


karya kefilsafatan besar --yang ditulis sekelompok sarjana
yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa' (Persaudaraan
Suci)-- Risalat Ikhwan al-Shafa.

Selain unsur Neo-Platonis, paham kebatinan ini juga


menunjukkan tanda-tanda adanya pengarah Manicheanisme, yaitu
suatu pecahan agama Majusi (Zoroastrianisme). Diduga bahwa
orang-orang Persi penganut Manicheanisme di zaman Abbasiyah
secara rahasia masuk Islam dan memeluk paham kebatinan
kalangan kaum Isma'ili. Paham Sy'iah Isma'iliyyah bertemu
dengan Manicheanisme dalam ajaran yang hendak memberi pada
penganutnya "kearifan dan martabat kosmis" yang budi kasar
orang umum tak mampu menggapainya. Sedikit sekali kemungkinan
orang luar lingkungan sendiri akan diberi pengakuan
kemanusiann yang penuh. Pandangan hidup kaum Isma'ili yang
sangat esoteris (bathini) itu telah membuat mereka sebagai
salah satu kelompok yang paling eksklusifistik dalam Islam.

Tapi lain dari Manucheanisme, kebatinan kaum Isma'ili sangat


menekankan pembangunan praktis susunan masyarakat dunia,
sebagai bentuk keterlibatan nyata mereka dalam sejarah
kemanusiaan. [6] Mereka itu kini dipimpin Aga Khan yang
terkenal itu. Mereka tidak saja menjadi sponsor atas kegiatan
kultural dan ilmiah yang antusias, tapi juga banyak mendorong
kemajuan masyarakat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat
Islam sendiri. (Sebagai misal, mereka memberi award bidang
arsitektur Islam kepada Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa
Tengah, atas dasar konsep tentang arsitektur Islam masa depan
yang cukup revolusioner, yang menurut penilaian mereka
diwakili rintisannya oleh pesantren itu). Mereka juga banyak
mengadakan pameran benda-benda seni peninggalan Islam di
kota-kota besar dunia (1983 di New York), suatu bentuk
kegiatan yang dimungkinkan oleh minat mereka yang besar kepada
usaha memelihara warisan sejarah Islam. Mereka juga terdiri
dari kaum bisnis dan wirausahawan yang sukses, seperti tampak
nyata di banyak kawasan Afrika Timur.

PANDANGAN KAUM SUNNI

Dari satu segi, pertumbuhan historis paham Sunni merupakan


gabungan dua komponen, yang pertama komponen ideologis, dan
yang kedua komponen politik pragmatis. Yang ideologis ialah
"Aliran Penduduk Madinah" (Madzhab Ahl al-Madinah) seperti
dikemukakan mereka yang tak mau terlibat dalam
pertikaian-pertikaian politik saat itu, khususnya antara 'Ali
dan Mu'awiyah beserta pengikut masing-masing. Mereka ini
dipelopori 'Abdullah ibn 'Umar, Muhammad ibn Maslamah, Said
ibn Abi Waqqash, Usamah ibn Zayd, Abu Bakrah, dan 'Imran ibn
Hasyim. Bahkan, menurut Ibn Taymiyyah, madzab Madinah itu juga
didukung oleh sebagian besar "para pelopor pertama"
(al-sabiqun al-awwalun). [7]

Yang politik pragmatis, ialah sikap mendukung sebagian


terbesar kaum Muslim kepada Mu'awiyah sebagai Khalifah yang
sah berkedudukan di Damaskus, Syria. Khususnya yang terjadi
pada tahun 41 H yang sering disebut para ahli sejarah sebagai
"Tahun Persatuan" ('Am al-Jama'ah). [8]

Mungkin disebabkan latar belakang pertumbuhan historisnya itu


maka paham Sunni ditandai semangat umum moderasi dan
akomodasi. Salah satu wujud semangat itu tampak dalam paham
Sunni menghadapi masalah ta'wil itu. Kaum Sunni umumnya
menerima adanya intepretasi metaforis, tapi dengan
pembatasan-pembatasan begitu rupa sehingga masih bisa
dikuasai. Kaum Sunni --yang secara garis besar perjalanan
sejarahnya hampir selalu paralel dengan susunan mapan
masyarakat Islam-- sangat mengkhawatirkan, pendekatan
metaforis pada agama akan mempunyai efek melemahnya
sendi-sendi dan kesadaran hukum masyarakat banyak. Sebab jika
pintu interpretasi metaforis itu ditenggang dengan tidak
hati-hati, maka bagaikan membuka Kotak Pandora, semua bagian
dari ajaran agama akan habis diinterpretasikan, sehingga tidak
ada lagi sisa yang bersifat pasti. Interpretasi metaforis atau
ta'wil tidak saja selalu bersifat abstrak dan intelektualistik
--yang tak terjangkau masyarakat banyak-- tapi juga senantiasa
menyediakan "lubang pelarian" (loop hole) di bidang hukum bagi
mereka yang kesadaran hukumnya lemah. Tapi, sebaliknya,
menutup samasekali kemungkinan mengadakan ta'wil akan
menghadapkan orang-orang Muslim yang serius pada kesulitan
mengartikan berbagai pelukisan tentang Tuhan yang
antropomorfis (yakni, menyerupai manusia; misalnya, keterangan
dalam al-Qur'an bahwa Tuhan mempunyai tangan, wajah dan mata,
bahwa Dia bertahta di Singgasana, merasa senang dan tidak
senang, dan seterusnya). Sebab pelukisan antropomorfis itu
tidak sesuai dengan penegasan Kitab Suci sendiri bahwa Tuhan
tidak sebanding, dan tidak bisa disamakan dengan sesuatu apa
pun juga. Paling jauh, jika mereka tidak melakukan
interpretasi, mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan
mengatakan bahwa sekali pun disebutkan Tuhan itu mempunyai
tangan, wajah, mata dan lain-lain, namun tangan, wajah dan
mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti
manusia, dan "tanpa bagaimana" (bi-la kayfa). Inilah metode
al-Asy'ari, rujukan utama paham Sunni dalam ilmu Ketuhanan
atau akidah. [9]

Masih dalam konteks paham Sunni tentang ta'wil ini, Ibn


Taymiyyah mengemukakan pandangan yang cukup menarik.
Berdasarkan firman Allah, "Kitab Suci penuh berkah, yang telah
Kami turunkan kepada engkau (Muhammad), agar mereka (manusia)
merenungkan ayat-ayatnya, dan agar mereka yang berpengetahuan
mendalam menangkap pesannya" [10] Ibn Taymiyyah mengatakan
bahwa yang harus direnungkan itu ialah semua ayat-ayat
al-Qur'an, baik yang muhkamat maupun mutasyabihat. Hanya
hal-hal yang maknanya tak masuk akal saja yang tidak
direnungkan, dan hal yang tak masuk akal itu tak ada dalam
al-Qur'an. Maka Allah memuji mereka yang merenungkan
firman-firman-Nya, baik yang muhkamat maupun yang
mutasyabihat, sebagaimana perintah untuk itu dapat dipahami
dari firman-Nya, "Apakah mereka (manusia) tidak merenungkan
al-Qur'an, ataukah sebenarnya hati mereka telah tersumbat?"
[11] Karena itu, kata Ibn Taymiyyah, Allah dan Rasul-Nya
tidaklah mencela orang yang merenungkan makna di balik
ungkapan-ungkapan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an
kecuali jika dilakukan dengan maksud menimbulkan perpecahan
dan mencari-cari interpretasinya yang tidak masuk akal. [12]

Pandangan hampir serupa dianut juga oleh Abdullah Yusuf Ali,


sarjana Muslim di zaman modern ini, dan penafsir al-Qur'an
terkemuka Terhadap firman Allah berkenaan dengan ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat yang dikutip di atas tadi, Abdullah
Yusuf Ali memberi komentar sebagai berikut,

Ayat ini memberi kita suatu kunci penting untuk interpretasi


al-Qur'an. Secara garis besar al-Qur'an itu dapat dibagi ke
dalam dua bagian, yang tidak diberikan secara terpisah, tapi
tumpang tindih; yaitu, pertama, inti atau dasar Kitab Suci,
secara harfiah "Induk Kitab Suci," dan kedua, bagian yang
bersifat figuratif, metaforis dikenakan kepada esensi itu, di
seluruh Kitab Suci. Kita harus mencoba memahaminya sebaik
mungkin, tetapi tak boleh menyia-nyiakan energi kita dalam
memperdebatkan sesuatu yang berada di luar kedalaman diri
kita. [13]

Seorang sarjana Muslim modern penafsir al-Qur'an lain,


Muhammad Asad, juga berpegang pada pandangan yang sama dalam
masalah ta'wil ini. Asad berpendapat bahwa al-Qur'an memang
mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya tanpa samar, namun
kebanyakan justru firman-firman yang metaforis. Menurut
sarjana ini, sifat alegoris atau metaforis
keterangan-keterangan dalam Kitab Suci itu tak dapat tidak
harus digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab
manusia tidak akan dapat memahami sesuatu yang samasekali
abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa yang sudah ada
dalam alam pikirannya. Namun manusia, dalam usahanya memahami
keterangan-keterangan suci itu, tak dibenarkan menganggap
perolehannya sebagai mutlak dan final, sebab "tidak ada
kesalahan yang lebih besar daripada berpikir bahwa
"terjemahan-terjemahan" (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa
manusia) itu dapat memberi definisi pada sesuatu yang tak
mungkin didefinisikan." [14]

PENUTUP

Telah dikatakan, bahwa tujuan kita membahas persoalan


interpretasi metaforis ini antara lain ialah untuk mendapatkan
kesadaran tentang suatu dimensi pemahaman keagamaan dalam
Islam yang ikut memberi corak keanekaragaman kaum Muslim di
dunia. Dari uraian di atas diharapkan ada sedikit kejelasan
bahwa masing-masing kelompok atau aliran dalam Islam memiliki
reasoning mereka sendiri dalam memilih suatu pemahaman agama.
Sebagian dari reasoning itu tentu saja, bersumber pada atau
bersifat murni keagamaan. Tapi juga tidak sedikit daripadanya
yang semata-mata merupakan hasil interaksi antara sesama
orang-orang Muslim sendiri atau antara orang-orang Muslim
dengan non-Muslim dalam sejarah. Dan sementara kita melihat
orang lain demikian, pada waktu yang sama kita harus menyadari
bahwa orang lain pun melihat kita demikian. Dari sudut
pandangan inilah absurd-nya pengakuan diri sendiri sebagai
yang paling benar, meskipun dari sudut pandangan lain,
keyakinan, misalnya, pengakuan itu mungkin dibenarkan saja,
atau malah secara logis diperlukan. Namun, --seperti dikatakan
Abdullah Yusuf Ali yang telah dikutip-- seorang yang bijaksana
tak boleh bersikap dogmatis, sebab --seperti kata Muhammad
Asad tadi-- kita sebenarnya hendak menggapai sesuatu
(Kebenaran Mutlak) yang tidak bakal tergapai.

Maka yang benar ialah menerapkan sikap "ragu yang sehat"


(healthy scepticism), atau memberi orang lain apa yang disebut
"hikmah keraguan" (benefit of doubt) dalam pergaulan sesama
manusia, khususnya sesama Muslim. Ini sejalan dengan yang
dipesankan Tuhan sendiri dalam ajaran-Nya tentang prinsip
persaudaraan di antara orang-orang beriman dan bagaimana
memeliharanya, 'Wahai sekalian orang-orang yang beriman,
janganlah ada suatu kaum di antara kamu yang memandang rendah
kaum yang lain, kalau-kalau mereka yang dipandang rendah itu
lebih baik daripada mereka yang memandang rendah..." [15]

CATATAN

1. QS. 'All 'Imran 3:7.

2. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah wa


al-Syari'ah min al-Ittishal. (Lihat terjemahnya, dalam buku
kami, Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,
1984], khususnya h. 217-8).

3. Tuduhan Ibn Taymiyyah itu dinyatakan dalam risalahnya,


Ma'arij al-Wushul fi Ma'rifat anna Ushul al-Din wa Furu'a-hu
qad Bayyana-ha al-Rasul. Lihat dalam buku kami, Khazanah,
khususnya, h. 249).

4. Pandangan seperti ini, misalnya, dianut Ibn Sina


(Avicenna). Lihat risalahnya, Itsbat al-Nubuwwat, yang kami
terjemahkan dalam buku kami, Khazanah, hh. 137-51.

5. Ibn Rusyd, (dalam Khazanah), op. cit., hh. 230-1

6. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,


(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 1, h.
378-9.

7. Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdl


Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl: Maktabat
al-Riyadl al-Haditsah, tt.), jil. 1 h. 193.

8. Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri'


al-lslami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H 1967 M), h. 110.

9. Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah'an Ushul al-Diyanah


(Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1348 H), h. 8-9.

10. QS. Shad/38:29.

11. QS. Muhammad/47:24.


12. Ibn Taymiyyah, al-Iklil fi al-Mutasyabih wa al-Ta'wil
(Kairo: Dar al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1973), h. 8-9.

13. This passage gives us an important clue to the


interpretation of the Qur'an. Broadly speaking it may be
divided into two portions, not given separately, but
intermingled; viz. (1) the nucleus or foundation of the Book,
literally "the mother of the Book," and (2) the part which is
figurative, metaphorical, allegorical. It is very fascinating
to take up the latter, and exercise our ingenuity about its
inner meaning, but it refers to such a profound spiritual
matters that human language is inadequate to it, and though
people of wisdom may get some light from it, no one should be
dogmatic, as the final meaning is known to God alone. The
Commentators usually understand the verses "of established
meaning" (muhkam) to refer to the categarical orders of the
Syari'at (or the Law), which are plain to everyone's
understanding. But perhaps the meaning is wider: the "mother
of the Book" must include the very foundation on which all Law
rests, the essence of God's message, as distinguished from the
various illustrative parables, allegoric, and ordinance

If we refer to xi-1 and xxxix-23, we shall find that in a


sense the whole of the Qur'an has both "established meaning"
and allegorical meaning. The division is not between the
verses, but between the meanings attached to them. Each verse
is but a Sign or Symbol: what it presents is something
immediately applicable, and something eternal and independent
of time and space, --the "Forms of Ideas" in Plato's
Philosophy. The wise man will understand that there is an
"essence" and an illustrative clothing given to the essence,
throughout the Book. We must try to understand it as best as
we can but not waste our energies in disputing about matters
beyond our dept (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation
and Commentary, [Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 123,
catatan 347).

14. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.


991.

15. QS. Al-Hujarat/49:11.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (1/3)

Asbab al-Nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya


"sebab-sebab turun"-nya wahyu tertentu dari al-Qur'an kepada
Nabi s.a.w., baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau
satu surat. Konsep ini muncul karena dalam kenyataan, seperti
diungkapkan para ahli biografi Nabi, sejarah al-Qur'an maupun
sejarah Islam, diketahui dengan cukup pasti adanya situasi
atau konteks tertentu diwahyukan suatu firman. Beberapa di
antaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks
firman bersangkutan. Seperti, misalnya, lafal permulaan ayat
pertama surat al-Anfal menunjukan dengan jelas bahwa firman
itu diturunkan kepada Nabi untuk memberi petunjuk kepada
beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang
bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat
al-Masad (Tabbat), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan
pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy,
paman nabi sendiri, yang bernama atau dipanggil Abu Lahab,
beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya
masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab
turunnya surat Abasa al-Tahim, ayat tentang perubahan bentuk
rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain
sebagainya.

MANFAAT PENGETAHUAN ASBAB AL-NUZUL

Di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk


tentang sebab turunnya sebuah firman ialah jika dimulai dengan
ungkapan dialogis, seperti "Mereka bertanya kepadamu (Nabi)",
"Katakan kepada Mereka". dan lain-lain. Juga jika di situ
disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di
atas, nama Abu Lahab, dan juga Zayd (ibn Haritsah).

Pengetahuan tentang asbab al-Nuzul akan membantu seseorang


memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu
akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan
memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang
bagaimana mengaplikasikan sebuah firman itu dalam situasi yang
berbeda. Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang
ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi
pengetahuan tentang asbab al-nuzul, khususnya mengenai
ayat-ayat hukum, sebagai berikut:

1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir,


immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat
dilihat dari konteks aslinya.

2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum.

3. Maksud asal sebuah ayat.

4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang


bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian dalam
keadaan bagaimana itu dapat atau harus diterapkan.

5. Situasi historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas


muslim. Sebagai sebuah contoh ialah firman Allah, "Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; maka kemanapun kamu menghadapkan
wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Meliputi dan Maha Tahu". (QS. al-Baqarah/2:115). Firman
ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang
dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di
malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru
menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap
ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya
kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka
turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun
seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap
Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu,
sehingga Tuhanpun "ada dimana-mana, timur ataupun barat."
Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan
peristiwa tertentu diatas, tidaklah berarti dalam sembahyang
seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus
menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di
Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat
jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi
tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.
[1]

SUMBER BERITA ASBAB AL-NUZUL

Sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari


penuturan para Sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama
dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan
Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadist. Karena itu
bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih
dan dha'if; serta otentik dan palsunya. Semua ini menjadi
wewenang cabang ilmu kritik hadits (ilmu tajrih dan ta'dil)
para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadits pada umumnya,
penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu
tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka
ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa
informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap
kritis.

Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang


dikutip di atas. Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah,
al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa
versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga
implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang
berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar,
seseorang boleh melakukan shalat sunnah kemanapun di atas
kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang
menghadap kemanapun dalam keadaan darurat, apalagi jika
sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah,
tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai
shalat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada
Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertaqwa kepada-Nya.
Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid
al-Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan,
tidaklah menyangkut sebenarnya nilai shalat itu. Kiblat itu
hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten
serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam
sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi
kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara
seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan.
Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan
dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar
dan jauh diantara seluruh umat Islam di dunia dalam hal shalat
dan peribadatan lain. (Dalam agama lain, perbedaan sangat
terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri
ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte).

Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu


demikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang
menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka
di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan
yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah,
sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih
mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.
Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun
dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih
penting daripada segi lambang.

Seterusnya, pandangan lain, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah


ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan
adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan
untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari
Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai
seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda
dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah raja
Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim
dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada
para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk
menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Makkah. Perlakuan yang
amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh
pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya
firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat
umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah
"mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" (Q.s.
al-Maidah/6:82). Dan Nabi dalam memerintahkan sahabat beliau
untuk melakukan shalat jenazah bagi Najasyah menggambarkan
raja Habasyah itu sebagai "saudara" kaum beriman.

Dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat


diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang
Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka berdoa baginya,
mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang
terkait itu, menurut versi penuturan ashab al-nuzul ini,
menegaskan bahwa masalah kemanapun orang menghadap dalam
sembahyang bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap
batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di
tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah)
ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan umat manusia
dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba
menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak
mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman
Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:

Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang


kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu
berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Baqarah/2:148).

Jadi firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas


mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasi yang luas.

Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum


Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi
dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari arah
Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya,
mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam
beragama serupa itu?! Maka firman Allah tersebut dimaksudkan
untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara
arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian
prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan
nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau
konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan
kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat
dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai
salah satu atas yang lain. [2]

Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang


menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya
menghadapkan muka ke arah timur ataupun barat, melainkan
karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah
yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia
sehari-hari, percaya kepada adanya pertanggungjawaban pribadi
mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama
manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat
nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini,
terjemahnya adalah demikian:

Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah


timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman
kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci dan
para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, yatim piatu,
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para
peminta-minta, guna membebaskan budak; juga jika orang
menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka
yang menepati janji jika mereka berjanji, dan tabah dalam
menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa
sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam
kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS.
al-Baqarah/2:177).

Para ulama telah menuangkan masalah asbab al-nuzul ini dalam


berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli.

IMPLIKASI ASBAB AL-NUZUL

Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama,
khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum,
ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam
ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih
sepakat bahwa dalam hukum berubah menurut peruhahan zaman dan
tempat. Kaidah mereka mengatakan, "Taghayyur al-ahkam bi
thagayyur al-zaman wa al-makan" (Perubahan hukum oleh
perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang
batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.

Asbab al-Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran


atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan
peristiwa nyata tertentu yang menyangkut. Nabi dan masyarakat
Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan bahwa adanya nama
pribadi Zayd yang tersebutkan dalam al-Qur'an. Suatu peristiwa
pribadi, berupa perceraian Zayd ("ibn Muhamad") dari istrinya,
Zaynab, telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum
Tuhan tentang pembatalan atau, penghentian makna kehukuman
(legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa
memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang, siapa
ayah-ibu biologis anak tersebut). Pembatalan ini dipertegas
dengan contoh nyata. yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah
dengan Zainab, setelah bercerai dari, Zayd, bekas anak
angkatnya. Kemudian Zayd-pun tidak lagi menyandang nama "ibn
Muhamad" tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu "ibn
Haritsah." Firman Allah yang menyangkut tentang Zaid dan
Zainab itu demikian:

Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid)


yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah
pula memberinya kebahagiaan. "Pertahankanlah istrimu (Zainab)
dan bertaqwalah kepada Allah, "namun engkau sendiri (Nabi)
merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan
memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama
manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah
putus Zaid untuk bercerai dari dia (Zainab), agar tidak lagi
ada halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas)
istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat)
itu telah putus menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah
Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada
perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya,
sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah
lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang
sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah
orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci)
Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada
seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung.
Muhamad bukanlah ayah seseorang (tanpa keterkaitan
keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah
rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Maha Tahu akan segala
sesuatu. (Q.s. al-Ahzab/33:37-40).

-------------------------------------------- (bersambung 2/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (2/3)

Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan


suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri.
Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang
"ditangani" langsung oleh kitab suci itu terdapat kaitan
antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan
makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus jaz'i
(partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan
Nabi dengan Zainab, bekas "menantu"-nya.

Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas


itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat
ditarik dari dataran generasitas yang setinggi-tingginya.
Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh
kekhususan peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada
kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan
inilah makna universalitas suatu nilai). Para ahli hukum Islam
telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka,
"Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal,
tidak berdasarkan partikularitas penyebab" (Al-Ibrah bi umum
al-lafdh, la bi khushush al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi
hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat
ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan
pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau
bahkan mungkin ta'wil (interprestasi metaforis) yang tidak
jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya
selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan,
yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari
ketentuan Kitab

Contoh klasik dari persoalan tersebut ialah tindakan Umar ibn


al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai khalifah. Komandan
kaum beriman (Amir al-Mu'minin) itu tidak membenarkan seorang
tokoh Sahabat Nabi kawin dengan wanita Ahl al-Kitab (Yahudi
atau Kristen), padahal al-Qur'an jelas membolehkannya.
Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan
wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur'an ada dalam rangkaian
dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahl
al-Kitab itu bagi kaum beriman, sebagimana makanan kaum
beriman halal bagi mereka:

Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang


dihalalkannya untuk mereka. Jawablah, "Dihalalkannya bagi kamu
apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang
ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih
dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari
binatang-binatang itu dengan sesuatu (ketrampilan) yang
diajarkan Allah kepada kamu, karena itu makanlah apa yang
ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah
nama Adlah atasnya, serta bertaqwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Cepat dalam perhitungan. Pada hari ini
dihalalkan pada kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka
yang mendapat Kitab Suci (Ahl al-Kitab) adalah halal bagi
kamu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (halal, yakni
dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan
wanita beriman, juga wanita merdeka dari kalangan mereka yang
mendapat Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka
mahar-mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa
kamu menjadikan mereka objek seksual semata (zina), dan tanpa
kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak
untuk beriman, maka sungguh sia-sialah amal perbuatannya, dan
ia di akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi." (QS.
al-Maidah/5:4-5).

Tapi Umar seperti dalam beberapa kasus lain, tidak berpegang


kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika
Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya
menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi
di kota al-Mada'in, ketika Hudzaifah meminta pendapat. Maka
Umar, dalam surat jawabannya memberi peringatan keras, antara
lain dengan mengatakan: "Kuharap engkau tidak akan melepaskan
surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan Sebab
aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka
mengutamakan para wanita Ahl al-Dzimmah (Ahl al-Kitab yang
dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah cukup
sebagai bencana bagi para wanita kaum muslim."

Menurut julur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa kaum


lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl alKitab tidaklah
terlarang atau haram. Ia hanya mengkawatirkan terlantarnya
wanita muslimah. Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan
politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan
muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan
nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka
lebar. Apabila kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar
sendiri) dan lembah Indus oleh Muhamad ibn Qasim (di zaman
al-Walid ibn al-Malik), konsep tentang Ahl al-Kitab diperluas
meliputi kaum Majusi dan Hindu-Buddha. Karena itu banyak ahli
fiqih yang berpandangan bahwa konsep Ahl al-Kitab tidak
terbatas hanya kepada kaum Yahudi atau Kristen saja, tetapi
dapat diperluas juga kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah
sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Buddha, Konfusianis,
Taois, Shinthois dll. Sebab, seperti dikatakan oleh Abd
al-Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaharuan Islam di
Sumatra Barat, asal-usul agama-agama Asia itupun adalah paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu
mempunyai kitab suci. [3]

Maka apa yang dikuatirkan khalifah sungguh-sungguh dapat


menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum muslimah sendiri
jika kaum muslim lelaki diizinkan dengan bebas menikah dengan
wanita Ahl al-Kitab. Sebab waktu itu kaum muslim itu hanya
terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan
militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan
belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam,
sekalipun berada di negara Islam. Meskipun ternyata larangan
(sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab
umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana
mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun
kebijakan khalifah kedua itu menjadi preseden dalam
yurisprudensi Islam tentang kemungkinan dilakukannya kebijakan
khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada
timbangan sisi historis dan humanis dalam menetapkan suatu
hukum.

MASALAH KEPENTINGAN UMUM (AL-MASHLAHAT AL-AMMAH)

Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa
lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan,
"Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang
perkara tersebut (lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl
al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya
para wanita muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu
Hanifah." Kemudian rektor universitas al-Azhar, Dr.
Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan
khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga
menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi.
Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang
beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman bin
Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab,
Na'ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaid-Allah yang
beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria). Tetapi,
kata rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan
larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang
menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah
mengatakan sebagai haram --hal mana tentu akan berarti
menentang hukum Allah-- melainkan hanya sekedar menjalankan
suatu patokan yang sudah tetap dikalangan para ahli, bahwa
pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya
halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor
itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan
melarangnya. [4]

Karena itu ada yang menyatakan bahwa tindakan khalifah kedua


itu adalah sejenis tindakan politik (tasharuf siyasi), yang
timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut
tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa
permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya
Syria, Mesir dan Persia, yang dalam hal ini adalah jauh lebih
kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah
ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang,
termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di
seluruh dunia pada waktu itu tawanan perang, lelaki maupun
lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada dibawah
kekuasaan dan menjadi "milik" perampasnya), membuat ibukota,
Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang
dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai
kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi
sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.

Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang


sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga
dicatat membuat deretan berbagai kebijaksanaan "kontroversial"
seperti meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri di masa
sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus pada para
mu'allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita
dengan lelaki yang tidak dikawininya pada saat menunggu
(iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak batin yang
dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali
kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus
dan tanpa tenggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di
Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentara
Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi berpendapat
demikian); pembagian tingkat penerimaan "ransum" (semacam gaji
tetap) bagi tentara Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak
atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi
(padahal Abu Bakar, pendahulunya, menerapkan prinsip
penyamarataan antara semuanya).

Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan khalifah menurut


kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd-al-Fattah, Khalifah
dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa
semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis)
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan
kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan
tanggungjawab seorang penguasa dan pelaksana hukum
bersangkutan. [6] Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda
dengan Abu Bakar dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau
pembedaan besarnya jumlah ransum tentara, namun kedua-duanya
bermaksud membela keadilan. Abu Bakar berpendapat bahwa
keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentara
Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar
justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu
masing-masing tentara itu diabaikan, padahal sebagian dari
mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang
lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa sebagian orang yang
berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas
jasa dan penghargaan lebih banyak.

MASALAH HISTORIS AJARAN KEAGAMAAN

Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa


masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi)
suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan
kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang
dikandungnya. Dan karena kemampuan tersebut dapat berbeda-beda
antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda
pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan rektor al-Azhar,
pendirian Abu Bakar dan Umar membuktikan bahwa yang dituju
oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkam
turadu li ma ani-ha). [6] Ini membawa kita kembali pada
polemik sekitar kiblat shalat yang telah dikemukakan di atas.
Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangRut
formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah
dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan
maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka
makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam
keadaan tertentu boleh ditinggalkan.

Konsep asbab al-Nuzul mempunyai kaitan yang erat dengan konsep


lain yang juga amat penting, yaitu nasikh-mansukh, berkenaan
dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab
maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya
dikembangkan oleh para ahli fiqih dengan kepeloporan Imam
al-Syafi'i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari
al-Qur'an ataupun Hadits yang "dihapus" (mansukh) dan yang
"menghapus" (nasikh). [7] Meskipun teori "hapus-menghapuskan"
ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama
menganutnya, dengan perbedaan disana-sini dalam hal materi
mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas
ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang asbab
al-Nuzul, konsep nasikh-mansukh juga mengandung kesadaran
historis di kalangan ahli hukum Islam.

Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi


salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik
dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson,
yang ikut berharap bahwa umat Islam akhirnya akan mampu
menjawab tantangan zaman:

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan
Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan
oleh Masdar F. Mas'udi (3/3)

Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling


hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari
semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab,
kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama
terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis,
membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam
realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang
kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau
pengalaman rohani baru. Al-Syafi'i membawa ke depan
kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi)
Muhamad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur'an
secara benar-benar konkret dalam interaksi historisnya dengan
kehidupan Nabi Muhamad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi'i)
melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu,
tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula dan meskipun oleh
kaum muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan
sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal
dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip
bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan
keagamaan. [8]

Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat


kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al-Din
ibn al-Arabi, Fushush al-Hikam, dalam syarah al-Syaikh
Abd-al-Razzaq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang
adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga
menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padahal
inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran tentang pasrah
kepada Allah (Islam) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (tawhid). [9] Dalam syarah Fushush al-Hikam diuraikan
sebagai berikut:

Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang
dimaksud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran
(dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda?
Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara
berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan
bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan
hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang
menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat
lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang
berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara
titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan
pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan
yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni
kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara
menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah
satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada Para Nabi
adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran.
Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat
manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab
perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan
yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari
berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat
dan kejiwaan mereka. [10]

Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total


ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih
daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam
penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna
yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam
setiap agama dan menjadi titik pertemuan antara semua agama.
Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan
waktu, maka dapat disebut "tidak historis".

Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan


inti yang uraiversal itu, yang tidak tergantung kepada
konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari asbab
al-Nuzul munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para
ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana
kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat
melakukan generallisasi tinggi dari makna immediate-nya ke
makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali
memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus
seorang Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnnya (QS.
Ibrahim/14:4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu
bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua
sama. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar
kita waspada agar jangan sampai kita terkungkung oleh
lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap
mental seolah-olah suatu nilai akan hilang kebenarannya jika
tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan
kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk
kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan
sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini,
keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah,
demikian:

Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar


mengungkapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam
benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu
ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan umat manusiapun kemudian
mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka
berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam
bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhamad dalam bahasa Arab,
dan semuanya itu adalah sabda (Kalam) Allah, dan dengan sabda
itu Allah menjelaskan apa yang dikendaki dari mahlukNya dan
apa perintahNya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal bahasa
Ibrani adalah paling dekat ke bahasa Arab, sedemikian dekatnya
sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan
Arab (Ajam) satu dari yang lain. [11]

Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas


hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga
kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur'an disebutkan bahwa
Allah menciptakan tujuh lapis langit (QS. al-Mulk/67:3),
terdapat kemungkinan bahwa "tujuh lapis langit" adalah bahasa
kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum pada
waktu itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal
adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut
pula segi kultural ini, maka konsep asbab al-nuzul dapat
diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu
saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu
seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik
dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau pada saat itu,
tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya
Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai "situs"
langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhamad. Karena itu, dari
sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan,
sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syafi'i, kita
tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang
asbab al-nuzul saja, tetapi juga pengetahuan yang lebih
menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang
panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang)
sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita
kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang
mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis
yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi
satelit, berhasil menemukan kota kuna Ubar (Iram) yang
didirikan oleh Syaddad ibn Ad hampir empat ribu tahun yang
lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu
memahami penuturan al-Qur'an (al-Fajr/87:6-8) tentang kaum 'Ad
dan pesan suci di balik penuturan itu. [12]

CATATAN

1. Ahmad Von Denffer. 'Ulum al-Qur'an, an Introduction to the


Sciences of the Qur'an (London: The Islamic Foundation,1985),
hh.92-93.

2. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul, Kairo, 1968, h.4.

3. 'Abd al-Hamid Hakim, Al-Mu'in al-Mubin, 4 jilid


(Bukittinggi. Nusantara 1955 M/1374 H), jil. 4, h.48.

4. Dr 'Abd al-Fattah, Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Kairo, Dar


al-Ittihad al-'Arabi, 1990, hh. 161, 177 dan 185.

5. Ibid., h.175.

6. Ibid., h.177.

7. Pembahasan panjang lebar diberikan Imam al-Syafi'i dalam


kitabnya yang terkenal, Al-Risalah, Kairo: Markaz al-Ahram,
1988, hh.96-144 dan 170-176. (Buku ini dapat diperoleh dalam
terjemahan Indonesia, Risalah). Termasuk masalah
Nasikh-Mansukh atau "hapus menghapus" ini adalah keterangan
Umar, Khalifah kedua bahwa ada firman bahwa hukuman orang yang
sudah beristri atau bersuami kemudian berzina ialah dirajam
sampai mati, bukan sekedar dicambuk seratus kali seperti yang
ada dalam al-Qur'an sekarang ini. Menurut Umar, firman itu
berbunyi:

Lelaki maupun perempuan kawin jika berzina, maka rajamlah


mereka sama sekali. Menurut para ulama, firman ini dalam isi
hukum atau makna legalnya telah menghapus firman Allah: "Orang
yang berzina, perempuan dan lelaki, cambuklah masing-masing
seratus kali". Q.s. al-Nur/4:24). Segi amat menarik dari
masalah ini ialah adanya teori dalam nasikh-mansukh bahwa
suatu firman mungkin saja masih tetap bertahan (tidak dihapus)
dari segi bunyi lafalnya, tetapi maknanya sudah tidak berlaku,
seperti "ayat cambuk" diatas: sebaliknya, ada kemungkinan
suatu firman dihapus (terhapus?) dari segi lafalnya, seperti
"ayat rajam" di atas, namun hukumnya masih berlaku. Dalam
bahasa fiqhnya, ada "penghapusan lafal tapi makna hukumnya
tetap"
[kalimat dalam huruf Arab]

atau sebaliknya "penghapusan hukum tapi lafalnya tetap"

[kalimat dalam huruf Arab]

Bagaimana umat Islam memperoleh teori yang "aneh" ini, dapat


dilihat dari kesepakatan hampir seluruh para ulama bahwa orang
yang sudah kawin dan berzina memang harus dihukum rajam sampai
mati, seperti dapat dilihat dalam praktek di Kerajaan Saudi
Arabia.

8. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,


(Chicago, The University of Chicago Press, 1974), jld. 3, h.
437.

9. Lihat penjelasan makna asal kata-kata Arab "islam" dalam


kitab Ibn Taimiyah, al-Iman, Kairo: Dar al-Thiba'ah
al-Muhammadiyah, tt., hh. 223-4. Dalam pembahasannya, Ibn
Taimiyah antara lain mengatakan:

[kalimat dalam huruf Arab]

(Hakikat perbedaannya adalah bahwa arti "islam" ialah "din"


dan "din" adalah masdar dari kata kerja "dana-yadinu" (yang
menunjuk makna) jika (seseorang) tunduk dan patuh. "Agama
Islam" yang diridhai Allah dan dengan itu diutus-Nya pada
Rasul ialah "istislam " (sikap tundukpatuh) kepada Allah
semata. Pangkalnya pada kalbu ialah sikap tunduk kepada Allah
semata, dengan menyembah (beribadat) kepada-Nya semata, tanpa
orang lain. Orang yang menyembah-Nya dan bersama Dia menyembah
"tuhan" yang lain bukanlah seorang yang tunduk patuh (muslim).
Dan orang yang tidak menyembah-Nya, bahkan besar kepala untuk
menyembah-Nya, bukanlah seorang muslim. "Islam" ialah
"istislam" kepada Allah, yaitu tunduk dan penghambaan diri
kepada-Nya. Para ahli bahasa mengatakan begini: "Seseorang
melakukan islam (aslama) jika ia melakukan istislam
(istaslama). "Jadi "islam" pada asalnya termasuk bab tindakan
(bukan nama), yaitu tindakan kalbu dan anggota badan ")

10. Lihat [kalimat dengan huruf Arab] oleh [kalimat dengan


huruf Arab], Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, (1987), h. 8.

11. Ibn Taimiyah, op. cit., h. 82.

12. Lihat berita arkeologis penting ini dalam Time, 17 Peb.


1992, h. 30.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (1/2)
oleh KH Ali Yafie

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh.


Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha.
[1] Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas
bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui
maksudnya. [2]

Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian


hunna umm al-kitab [3] yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa
harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang


mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk
kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan,
jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan
penggunaan dan hikmah kegunaannya.

ASAS

Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti


saling bertentangan. [4] Ungkapan ini sangat penting dalam
rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci
yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan
persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat,
sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi
luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang
disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya
ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait
satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.

Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak


mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat
yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu
ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada
kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap
bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian
merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh
merupakan salah satu bagiannya. [5]

PENGERTIAN

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,


kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. [6]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara
ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut
pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.

Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i


yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum
yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya,
atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut
tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan
juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula
pengertian syarat dan sifatnya.

Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan


pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian. [7]

JENIS-JENIS NASKH

Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini


ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at
lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi
yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.

Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan


salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari
segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya
pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/
negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/negara
kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional
Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum
dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan
kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan
tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.

Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar


syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita
akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban
atas masalah ini.

1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke


arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait
al-Haram. [8] Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum
kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula
tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga
berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut
bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula
kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai
contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi
seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. [9] Beberapa waktu
kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa
tenggangnya 4 bulan 10 hari. [10] Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,


memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern
dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah
berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya
dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini,
jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal
yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan
undang-undang atau peraturan lain.

Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah


soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya
nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum
dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan
hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh
antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal
yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan
lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang
memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang
juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan
satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang
menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah
adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan
Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak,
mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama
terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam
syari'at itu sendiri.
(bersambung 2/2)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (2/2)
oleh KH Ali Yafie

Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam


kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus
sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur
dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran
seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu
peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum
lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula
lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang
perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka
tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada
syari'at.

Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi


formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada
yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan
mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas. [12] Ini contoh dari
al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku
melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang
lakukanlah!". [12] Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut,
tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan
dalam hukum syari'at.

KEDUDUKAN NASKH

Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia


merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan
techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam
kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat
tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf)
atau menjelaskan (bayan). [13] Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh
yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih
menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.

HIRARKI PENGGUNAAN NASKH

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati


urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam
upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at,
baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu
harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya
kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat
memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu
harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan
hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini
harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam')
atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah
baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.

Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata


kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah
teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan
adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua
ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat
dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka
setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari
suatu upaya interpretasi. [14]

Kawasan Penggunaan Naskh

Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana


jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam
syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini
Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif
(beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak
mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut
perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. [16] Sejalan dengan ini Imam
Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau
sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan
larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi
nasikh-mansukh.

Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh


adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut
perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum
dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya
Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau
pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan
hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya
hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan,
kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah
kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam


formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu
berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai
kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya,
seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta
kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan
kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk
mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada
sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

HIKMAH ADANYA NASKH

Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat


turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah
dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah
Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan
pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan
mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang
alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun
spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur
sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah
menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa,
kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran
(keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,
mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih
tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat
bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang
masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang
hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan
dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran
seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat,
maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah
swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada
suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut
sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian
di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan
hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama
lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? [18]

Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah


yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.

CATATAN

1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan


2. Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
3. QS. Ali 'Imran: 7
4. QS. Al-Nisa: 82
5. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
6. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
7. 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
8. QS. Al-Baqarah: 114
9. QS. Al-Baqarah: 240
10. QS. Al-Baqarah: 234
11. QS. Al-Baqarah: 142
12. Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
13. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
14. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
15. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami
16. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
17. QS. Al-Furqan: 32
18. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (1/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

Salah satu kesibukan para intelektual Muslim di seluruh dunia


saat ini ialah memikirkan bagaimana menerjemahkan nilai-nilai
Islam ke dalam perangkat nyata kehidupan modern. Seorang
Muslim yang serius tentu menyadari, betapa ia dihadapkan pada
tantangan hidup dalam suatu masyarakat modern, yaitu suatu
masyarakat yang notabene merupakan kelanjutan logis, meskipun
melalui proses transmutasi yang amat besar, dari berbagai
unsur tatanan dan nilai hidup yang telah pernah berkembang
sebelumnya, khusus di dunia Islam. Ilmu pengetahuan modern,
misalnya, dengan mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai
kelanjutan dunia keilmuan Islam yang pernah berkembang dalam
masanya jayanya yang "liberal," ketika kaum Muslim terlatih
menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan ketika
wawasan mereka terbentuk karena semangat kosmopolitanisme dan
universalisme sejati. Namun pada saat yang sama, karena
tuntutan imannya, seorang Muslim "modern" harus tetap berada
dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.

Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson lebih tepat


dinamakan "Zaman Teknik" (Technical Age) adalah jelas berbeda
secara mendasar dari zaman agraris sebelumnya. Padahal agama
Islam, sebagaimana halnya dengan agama-agama besar lain,
dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru saja disebutkan
di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus samasekali
dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan masa
lalu sedemikian rupa tidak mungkin diingkari, karena
dasar-dasar zaman modern ini pun diletakkan masa sebelumnya,
yaitu di zaman agraris. Suatu teori kesejarahan dunia malah
menyebutkan, zaman agraris sebenarnya telah mengalami
perkembangan menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada masa
Axial Age ("Masa Aksial" atau "Sumbu"), yaitu masa yang
terbentang selama enam abad sejak abad kedelapan sampai abad
kedua sebelum Nabi 'Isa al-Masih as. Pada saat itu terjadi
perubahan asasi di mana-mana, akibat lepasnya monopoli
pengetahuan tulis baca dari tangan kelas pendeta, menjadi
tersebar di antara berbagai kelompok borjuis, dan karenanya
watak serta kecepatan perkembangan tradisi tulis-baca itu juga
berubah. Pada waktu yang sama, keseluruhan tatanan geografis
bagi kegiatan bermakna kesejarahan manusia juga mengalami
transformasi, sebab saat itu mulai menyebar, meliputi hampir
seluruh belahan bumi. [1] Pada masa itu dengan nyata budaya
manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan Nil-Amudarya
(Mesir-Transoxiana) yang menjadi inti kawasan bumi yang
berpenghuni dan berperadaban (Arab: al-Da'irat al-Ma'murah;
Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk").

Zaman Islam adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan masa


kejayaan Islam merupakan puncak perkembangan "Zaman Agraria
Berkota" (Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat agraris
dengan ciri kehidupan perkotaan (urbanity) yang menonjol.
Adalah dalam urbanity itu --suatu pola kehidupan
sosial-ekonomi yang ditandai tingginya kegiatan ekonomi urban
dan penghargaan kepadanya, khususnya perdagangan, dan etos
intelektual-- terletak benang merah kontinuitas antara zaman
modern dengan zaman Islam. Tapi sekali pun zaman Islam masih
sepenuhnya berada dalam rangkaian zaman agraris (jadi masih
mempunyai kesinambungan dengan zaman sebelumnya), perubahan
yang dibawanya sedemikian radikal dan eksplosif, sebanding
dengan radikal dan eksklusif pembebasan (futuhat) yang
dilakukan kaum Muslim, pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya,
kemudian segera meliputi daerah yang lebih luas, yang kurang
lebih waktu itu merupakan daerah paling maju di muka bumi.

Dengan flashback di atas, kiranya menjadi jelas, sesungguhnya


peralihan dari masa lalu yang agraris-urban itu, ke zaman
modern sekarang, ini tidaklah terlalu unik dalam pandangan
sejarah umat manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya
sendiri sebagai puncak zaman agraris urban, maka Islam
memiliki potensi menjadi pewaris yang paling beruntung dari
zaman modern ini, dan pelanjut serta pengembangnya di masa
depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak asing
bagi pandangan hidup kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa
Inkuisisi Kristen dalam menghadapi ilmu pengetahuan, praktis
tidak ada hal serupa dalam Islam. Sejarah membuktikan betapa
problematiknya hubungan dogma Kristen dengan unsur pokok
modernitas, yaitu ilmu pengetahuan, dan betapa dalam Islam,
situasi problematik itu dapat dikata tidak ada sama sekali,
bahkan sebaliknya sikap positif terhadap ilmu pengatahuan
adalah sui generis atau tiada taranya dalam pandangan hubungan
organiknya yang sejati dengan sistem keimanan.

Tapi sudah tentu faktor kontinuitas prinsipil bukanlah


satu-satunya perkara yang membentuk dan menentukan sikap
seseorang atau komunitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Berbagai pengalaman historis yang lebih spesifik pada
bangsa-bangsa Muslim dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa
Barat, khususnya pengalaman permusuhan (antara lain karena
titik singgung keagamaan Islam-Kristen dan ketetanggaan
geografis Timur Tengah-Eropa) justru nampak menjadi sumber
problematik bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman
modern, karena adanya asosiasi (yang tidak seluruhnya benar)
antara modernisme dan westernisme. Apalagi bangsa-bangsa Barat
itu, ketika melakukan penjajahan atas bangsa-bangsa Muslim,
jelas-jelas membawa kenangan pengalaman historis masa lampau
yang penuh permusuhan (antara lain dilambangkan dan dibuktikan
dalam: bagaimana para penjajah Spanyol menamakan kaum Muslim
Mindanao sebagai "orang-orang Moro," sebagai kelanjutan
semangat permusuhan antara orang Spanyol Kristen dengan orang
Spanyol Muslim yang mereka sebut "orang Moro"). Adalah
beberapa pengalaman historis permusuhan ini, dan bukannya
faktor kontinuitas kultural di atas, yang menyebabkan
kebanyakan kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menghadapi
zaman modern. Maka, misalnya, Turki yang Muslim sampai
sekarang masih menunjukkan ciri dunia ketiga yang
non-industrial, sementara Jepang yang Buddhis justru
memperlihatkan tanda-tanda Barat dalam beberapa segi
industrialnya. Kesulitan kaum Muslim ini di antaranya
tercermin dalam bagaimana menangani masalah reinterpretasi
hukum Islam untuk zaman modern.

MASALAH KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

Kontinuitas yang mengisyaratkan pertahanan unsur-unsur masa


lalu dan perubahan yang mengandung makna penggantian
unsur-unsur masa lalu itu, dengan sesuatu yang lain dengan
sendirinya selalu menimbulkan kesan pertentangan: Tapi,
sebagaimana setiap "kesan" atau "dugaan" (dhan) tidak
selamanya mengandung kebenaran, pengamatan lebih jauh atas
berbagai peristiwa besar menyimpulkan tidak adanya kemestian
pilihan hitam putih antara kontinuitas dan perubahan. Betapa
pun besarnya suatu perubahan, sebagaimana sedikit banyak
ditunjukkan dalam pembicaraan di atas tadi, tetap terdapat
unsur-unsur persambungan tertentu dengan masa lalu. Justru
tidak jarang esensi nilai baru dalam suatu masyarakat yang
berubah itu memperoleh pengukuhannya dan penguatan
efektifitasnya karena mendapatkan tempat dalam sistem nilai
lama yang lebih luas, atau dapat diterangkan dalam kerangka
nilai lama yang lebih luas itu. Inilah yang dalam jargon ilmu
sosial mutakhir disebut "modernitas tradisi".
Garis argumen itu lebih-lebih tepat, jika dikenakan terhadap
Islam dan kaum Muslim dalam menghadapi zaman modern. Yaitu
bahwa mereka, sementara secara imperatif mesti menerima
kehidupan modern (sebagaimana telah menjadi kenyataan,
betapapun ad hoc dan eclectic-nya sikap yang
melatarbelakanginya) tapi dapat bertahan dengan nilai-nilai
keislamannya, dan samasekali tidak perlu meninggalkannya. Jika
hal ini dengan sendirinya menjadi keyakinan seorang Muslim,
para pengamat luar pun mengakui adanya hal yang sama, bahkan
sering dengan nada peneguhan dan apresiasi. Maka sosiolog
terkenal Ernest Gellner, misalnya, memiliki pandangan tentang
Islam dan kemodernan yang mungkin membuat seorang Muslim
menjadi lebih percaya diri. Ia katakan:

Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang


serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun
Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern
(modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan,
tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak
luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan
penyempurnaan dialog lama dalam Islam... Jadi dalam
Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di
satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri
lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat
simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lama
(seperti praktek kesufian rakyat yang tidak sah atau
mu'tabarah, misalnya-NM), yang pernah menjadi alas
dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam
yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran
dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak
merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan
ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu.
Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam
bersemangat egaliter dan keilmiahan --sementara hirarki
dan ekstase (seperti dalam banyak praktek kesufian
rakyat-NM berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang
bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya
ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia
modern. Dalam zaman cita-cita melek huruf universal,
lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat
berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan
dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua
yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab
Suci-NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern
terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya
menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan
melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk
skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu
dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah
mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang
paling bermanfaat bagi yang lain.[2]

Karena observasi dan kesimpulannya itu, maka tidak heran


menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat
dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu
dipandang dari sudut semangat Islam tentang universalisme,
skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan
partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua
anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan
sosial.[3]

Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan


nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk zaman
modern itu juga dikemukakan Maxime Rodinson, juga seorang
sosiolog (Perancis) kontemporer. Dalam pembukaan sebuah
bukunya, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim)
harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan
dari negara-negara industri? Haruskah seseorang berjalan
sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai nilai yang
secara khusus diyakini, yaitu yang membentuk ciri tertentu,
kepribadian dan identitas kelompok orang bersangkutan?"4.
Jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya,
yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa tidaklah perlu
meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial bersifat
Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim. Karena itu Islam
tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas
kemunduran kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat
berjalan sejauh yang ia perlukan untuk dapat mengejar Barat
tanpa mengorbankan apapun yang esensial bagi Islam dan yang
menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim. [5]

-------------------------------------------- (bersambung 2/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (2/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

MASALAH PESAN DASAR ISLAM

Ketika mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan


milieu ekonomi negeri-negeri Muslim sehingga tidak dapat
dipandang, apalagi dituduh, sebagai penyebab kemunduran
negeri-negeri itu, Rodinson menunjuk kepada kenyataan betapa
masyarakat-masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan
gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman
yang berbeda atau tempat yang berbeda, maka jika kemajuan
adalah suatu "Kapitalisme" (sebagaimana orang cenderung
melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau
komunis) maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu,
tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar.

Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, namun


kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu
meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam
mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang
secara esensial bersifat Islam itu? Jawabnya adalah, hal-hal
yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya
adalah "pesan dasar" (risalah asasiyyah) Islam itu sendiri.
Tapi sementara frase "pesan dasar" Islam terdengar familiar
bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman,
namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem.
Meskipun problem di sini agaknya lebih banyak berurusan dengan
soal kemampuan ekspresif, bukan substantif (orang tahu atau
merasa tahu substansinya, tapi gagal mengungkapkannya). Namun
realita menunjukkan adanya kesulitan yang nyata. Karena suatu
"pesan dasar" mengacu pada suatu nilai yang amat tinggi,
karena itu ada risiko abstraksi yang tinggi pula, maka dalam
suatu masyarakat yang diliputi paham serba simbol (akibat
pendidikan yang rata-rata rendah dan cara berpikir yang
sederhana) "pesan dasar" itu sering terkacaukan dengan hal-hal
simbolik dan formal yang mewadahinya. Beragama bagi seseorang
tentu tidak akan bermakna, jika ia tidak mampu menangkap pesan
dasar itu, namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita,
sering tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu.

Tanpa berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl al-Dhawahir


dan Ahl al-Bawathin yang buah pikiran mereka sempat ikut
mewarnai polemik-polemik dalam khazanah literatur Islam
klasik, tidak bisa disangkal, kecenderungan banyak orang
menilai kadar keimanan orang lain hanya dari segi hal-hal
simbolik dan formal, merupakan indikasi kesulitan menangkap
pesan dasar agama seperti sering dikuatirkan sementara Ahl
al-Bawathin tentang orientasi keagamaan Ahl al-Dhawahir.

Dalam Kitab Suci al-Qur'an banyak diungkapkan tentang adanya


perjanjian, persetujuan dan kesepakatan antara Tuhan dan
manusia, yang dinyatakan dalam kata-kata Arab sebagai abd,
'aqd dan mitsaq. Sebuah firman suci menyebutkan adanya
perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia, bahwa manusia
tidak akan menyembah setan dan harus hanya menyembah Allah
semata.[6]. Artinya, manusia harus menempuh hidup bermoral,
demi perkenan Tuhan (ridha Allah), dan harus menjauh dari
penyembahan kepada setan, dengan berbuat hal-hal tidak
bermoral (fahsya', munkar). Perjanjian primordial itu juga
diungkapkan dalam bahasa metaforik yang sangat ilustratif,
demikian:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan)


dari anak cucu Adam, yaitu dari tulang belakang mereka,
keturunan mereka dan Dia minta kesaksian mereka atau
diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
mergawab: "Benar, kami bersaksi!" (Demikian itu supaya
kami tidak) berkata di hari Kiamat: "Sesungguhnya kami
lupa akan hal itu." [7]

Perjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan Adam, namun
kemudian Adam melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya
diusir dari surga.[8] Karena itu manusia diharapkan memenuhi
perjanjiannya dengan Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi
perjanjian-Nya dengan manusia.[9] Maka kaum beriman sejati
ialah mereka yang memenuhi janjinya, dengan Allah dan tidak
membatalkan kesepakatan antara dia dan Allah itu.[l0]
Sebaliknya orang itu kafir, jika menyalahi perjanjiannya
dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11]

Muhammad Asad, dengan mengutip Zamakhsyari dalam tafsir


al-Kasysyaf, menerangkan, perjanjian (Inggris: covenant)
antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah disinggung,
adalah suatu istilah umum yang mencakup kewajiban-kewajiban
moral dan sosial yang timbul akibat iman itu, terhadap sesama
manusia. [12]. Asad juga memperjelas makna perjanjian dengan
Allah (ahd Allah), yang dalam bahasa Inggris secara
konvensional diterjemahkan dengan God's covenant, sebagai
merujuk pada kewajiban moral manusia untuk menggunakan karunia
bawaan lahirnya --intelektual dan fisik-- dalam suatu cara
yang ditetapkan Ailah untuknya, yang antara lain akan membawa
manusia kepada kesadaran akan dirinya berhadapan dengan Sang
Maha Pencipta.[13]. Kesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyah) yang
mendasari akhlaq mulia itulah inti pesan dasar agama lewat
para Rasul,[l4] dan pokok perjanjian Tuhan dengan semua Nabi:
"Ingatlah ketika Kami (Tuhan) mengambil dari para Nabi
perjanjian mereka, juga dari engkau (Muhammad) dan dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan telah Kami ambil dari
mereka perjanjian yang berat." [16]

Pemenuhan perjanjian manusia dengan Tuhannya itu melahirkan


sikap hidup bertaqwa, yaitu sikap hidup yang penuh
pertimbangan moral, atas dasar keinsyafan mendalam, bahwa
Allah adalah Maha Hadir, yang selamanya menyertai dan
mengawasi tingkah laku setiap orang. [16] Maka al-Qur'an pun
disebutkan sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa."
[l7] Dengan al-Qur'an itu, Allah membimbing siapa saja yang
mengikuti keridlaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan.[18] Dan
Nabi saw pun bersabda bahwa "Tiada suatu apapun yang dalam
timbangannya lebih berat daripada keluhuran budi." [l9] Dan
bahwa "Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga
ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [20]

Pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan
Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia
membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan
universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi
bentuk-bentuk formal dan parokial. Karena itu, sepanjang
penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang
memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap
pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut
Islam).[21] Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum
Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi
atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an
keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan
formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang
sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi)
merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah
kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil
atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan
nama tempat (Nazaret).

Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial


lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara
asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang
menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri,
yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada
Allah). Karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah
seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian
dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan
pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara
generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah
seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).[22]
Demikianlah Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi,
termasuk Musa dan Isa (Yesus, setelah lewat proses pengalihan
nama itu dalam bahasa Yunani), semuanya adalah tokoh-tokoh
yang muslim dan mengajarkan islam [23]. (sekalipun tidak
berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan
Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru
kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab). Mereka adalah
muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap
pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang
sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap
pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral.

PRINSIP KEADILAN (SOSIAL)

Pada pokoknya pesan dasar ini, yang meliputi perjanjian dengan


Allah ('ahd, aqd, mitsaq di atas), sikap pasrah kepada-Nya
(islam) dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa,
rabbaniyyah), adalah universal, berlaku untuk semua ummat
manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan formal
agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar ini,
bahkan meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya ini, di mana
manusia hanyalah salah satu bagian saja.

Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam tindakan


sosial nyata, yang menyangkut masalah pengaturan tata hidup
manusia dalam hubungan mereka satu sama lain dalam masyarakat,
maka tidak ada manifestasinya yang lebih penting daripada
nilai keadilan. Karena itu tindakan menegakkan keadilan
ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa.[24] Dan
sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan
pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan, menegakkan
keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah kepada
manusia.[25]

Keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam


kata-kata 'adl, qisth, wasth (semuanya memiliki makna dasar
"tengah" atau "jujur") adalah wujud lain hukum keseimbangan
(mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh jagad raya.

Sesungguhnya, dari sudut pandangan kosmologi al-Qur'an,


keadilan adalah hukum primer seluruh jagad raya. Maka keadilan
adalah aturan kosmis (cosmic order), yang pelanggaran
terhadapnya dapat dilukiskan secara metaforik sebagai
mengganggu atau "mengguncangkann tatanan jagad raya. Inilah
yang antara lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman
Allah:

Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan


(hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar
(hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua
akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak
merugikan (hukum) keseimbangan.[26]

Beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan, yang


dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah neraca yang
dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi dalam kaitannya
dengan penciptaan Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini
dilambangkan sebagai penciptaan langit yang "ditinggikan"
oleh-Nya, maka lebih tepat memandang perkataan mizan ini,
dalam makna kosmologisnya, yaitu seluruh jagad raya ini
berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Bahkan neraca yang kita
kenal dan tampak bekerja secara "sederhana" itu pun adalah
suatu gejala kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca
adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan yang lebih luas
(yang menguasai seluruh alam), misalnya, melalui hukum
gravitasi.

Dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para


'ulama', dalam hal ini khususnya Ibn Taymiyyah, sedemikian
tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai
ideatum tatanan sosial manusia yang akan menjamin kekokohan
dan kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn
Taymiyyah, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa
"Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun
kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun
Islam," dan "Dunia akan bertahan bersama keadilan dan
kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan
Islamn" [27]

Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibn Taymiyyah hanya


bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam hal
keislaman. Keislaman yang formal saja tidak akan membawa
keselamatan di dunia ini, khususnya dalam arti sosial, jika
tidak disertai keadilan. Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat
adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka
masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan
yang telah dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala
sesuatu" (nidham-u kull-i syay) [28], yakni, suatu cosmic
order yang menjadi hukum Tuhan, atau Sunnatullah yang tidak
tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan berlaku
universal, di segala tempat dan masa, sehingga tidak akan
berubah (immutable).

-------------------------------------------- (bersambung 3/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (3/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

BEBERAPA CONTOH PEMIKIRAN KONTEMPORER FIQH

Kita telah pergi sejauh yang diperlukan, untuk membahas


masalah-masalah pokok yang mendasari pemikiran kontemporer
tentang fiqh. Berbagai pemikiran mutakhir tentang fiqh
menegaskan perlunya kesadaran akan pesan dasar Islam sebelum
suatu hukum atau hukuman dilaksanakan. Kesadaran itu dapat
disebut sebagai karakteristik pemikiran fiqh dan hukum Islam
di zaman modern. Di sini akan dikemukakan contoh pemikiran
para intelektual Islam mutakhir, dari tiga tokoh yang
representatif, yaitu Fat'hi 'Utsman (pemimpin redaksi majalah
Islam internasional Arabia yang terbit di London), Muhammad
Asad (salah seorang arsitek dan pemikir konstitusi Negara
Islam Pakistan), dan Ahmad Zaki Yamani (yang pernah menjabat
Menteri Perminyakan Saudi Arabia dan tokoh OPEC yang amat
terkenal).

Fatthi 'Utsman menegaskan, suatu hukum, termasuk yang ada


dalam al-Qur'an dapat dilaksanakan hanya setelah ditegakkannya
keadilan sosial dan tatanan kemasyarakatan yang menjamin
anggotanya untuk tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan.
Kami kutipkan dan terjemahkan sepenuhnya pendapat Fat'hi
'Utsman yang relevan, dari bukunya, al-Din li al-Waqi' (Agama
untuk Realita):

Keadilan Sosial sebelum hukuman. Allah menerangkan dalam


Kitab-Nya berbagai hukuman kejahatan (had) seperti, misalnya,
hukum bunuh (qishash) untuk kejahatan pembunuhan, potong
tangan untuk pencurian, dan lain-lainnya. Wajar bahwa Islam
menempuh jalan penetapan hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan
pengarahan pikiran melalui aqidah dan pendidikan tingkah laku
melalui prinsip tabadul. Tapi penetapan hukum Islam tidak
pernah disebut kecuali mesti timbul dalam pikiran orang,
gambaran yang mengerikan tentang tangan-tangan buntung dan
jasad-jasad berserakan. Sedangkan yang sebenarnya ialah bahwa
rahmat Allah untuk sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman,
kecuali sesudah ditempuh jalan proteksi, sama dengan yang
dikatakan Francis Aveling dalam bukunya ilmu Jiwa Klasik dan
Modern, "Kalau tujuan kita ialah kebaikan masyarakat, maka
tujuan hukuman haruslah proteksi. Dan cara apapun yang dapat
merealisasikan tujuan ini harus dipandang sebagai wajar dari
sudut pandangan sosial. Jadi jika kita dapat mencegah
sebab-sebab dan situasi yang mendorong kejahatan, baik yang
berasal dari lingkungan atau pun dari pribadi sendiri, maka
itulah cara yang ideal yang kita wajib menggunakannya."

Dalam praktek memang telah terjadi berbagai usaha ke


arah ini melalui berbagai pengabdian sosial. Tapi kalau
seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan
lingkungan telah tersedia dengan sebaik-baiknya, maka
tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan
sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk
melakukan pelanggaran-pelanggaran.

Dari sini kita melihat, Islam ketika menetapkan


pelaksanaan qishash dalam kejahatan pembunuhan, ia
bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang
menjamin hilangnya dorongan-dorongan permusuhan
golongan, kelompok atau perbedaan tingkat sosial. Dan
ketika menetapkan hukuman potong tangan pencuri, maka
Islam tidaklah melakukan hal itu sebelum tegaknya
hak-hak hidup pribadi dan mantapnya tanggung negara
untuk menjamin hak-hak pribadi itu. Dan ketika Islam
menetapkan hukum rajam atau cambuk atas pezina, maka
sesungguhnya ia juga menetapkan kemudahan jalan
perkawinan dan melindungi bagian-bagian privat dari
tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan
mata, serta melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan
seorang perempuan yang bukan muhrim, namun tanpa muhrim
perempuan itu). Jadi pengaturan sosial berjalan seiring
atau mendahului penetapan hukuman kejahatan.[29]

Lebih runtut lagi adalah jalan pikiran dan garis argumen


Muhammad Asad. Dalam memberi penjelasan tentang makna yang
lebih mendasar di balik hukuman yang amat keras bagi pencuri
(potong tangan), Asad membuat uraian panjang lebar. (Di sini
kami kutipkan seluruh uraian itu, namun maaf tidak sempat
menerjemahkan):

The extreme severity of this Qur'anic punishment can be


understood only if one bears in mind the fundamental
principle of Islamic Law that no duty (taklif) is ever
imposed on man without his being granted a coresponding
right (haq); and the term "duty" also comprises, in
this context, liability to punishment. Now, among the
inalienable rights of every member of the Islamic
society --Muslim and non-Muslim alike-- is the right to
protection (in every sense of the word) by the
community as a whole. As is evedent from innumerable
Qur'anic ordinances as well as the Prophet's injuctions
forthcoming from authentic Traditions, every citizen is
entitled to a share in the community's economic
resources and thus, to the enjoyment of social
security: in other words, he or she must be assured of
an equitable standard of living commensurate with the
resource at the disposal of the community. For,
although the Qur'an makes it clear that human life
cannot be expressed in terms of physical existence
alone --the ultimate values of life being spiritual in
nature-- the believers are not entitled to look upon
spiritual truths and values as something that could be
divorced from the physical and social factors of human
existence. In short, Islam envisages and demands a
society that provides not only for the spiritual needs
of man, but for his bodily and intellectual needs as
well. It follows, threfore, that --in order to be truly
Islamic-- a society (or a state) must be so constituted
that every individual, man and woman, may enjoy that
minimum of material well-being and security without
which there can be no human dignity, no real freedom
and, in the last resort, no spiritual progress: for,
there can be no real happiness and strength in a
society that permits some of its members to suffer
undeserved want while others have more than the need.
If the whole society suffers privations owing to
circumstances beyond its control (as happened, for
instance, to the Muslim community in the early days of
Islam), such shared privations may become a source of
spiritual strength and, through it, of future
greatness. But if the available resources of a
community are so unevenly distributed that certain
groups within it live in affluence while the majority
of the people are forced to use up all their energies
in search of their daily bread, poverty becomes the
most dangerous enemy of spiritual progress, an
occasionally drives whole communities away from
God-consciousness and into the arms of soul-destroying
materialism. It was undoubtedly this that the Prophet
had in mind when he uttered the warning woeds (quoted
by al-Suyuti in al-Jami al-Saghir), "Proverty may well
turn into a denial of the truth (kafr)." Consequently,
the social legislation of Islam aims at a state of
affair in which every man, woman and child has (a)
enough to eat and wear, (b) an adequate home, (c) equal
opportunities and facilities for education, and (d)
free medical care in health and sickness. A corollary
of these rights is the right to productive and
remunerative work while of working age and in good
health, and a provision (by the community or the state)
of adequate nourishment, shelter, etc. in cases of
disability resulting from illness, widowhood, enforeced
enemployment, old age, or under-age. As already
mentioned, the communal obligation to create such a
comprehensive social security scheme has been laid down
in many Qur'anic verses, and has been amplified and
explained by a great number of the Prophers
commandments. It was the second Caliph, Umar ibn
al-Khattab, who began to translate these ordinances
into a concrete administrative scheme (see Ibn Said,
Tabagat, III/1. 213-217); but after his premature
death, his successors had either the vision nor the
statemanship to continue his unfinished work.

It is against the background of this social security


scheme envisaged by Islam that the Qur'an imposes the
severe sentence of hand-cutting as a deterrent
punishment for robbery. Since, under the circumstances
outlined above, "temptation" cannot be admitted as a
justifiable excuse, and since, in the last resort, the
entire socioeconomic system of Islam is based on the
faith of its adherents, its balance is extremely
delicate and in need of constant, strictly enforced
protection. In a community in which everyone is assured
of full security and social justice, any attempt on the
part of an individual to achieve an easy, unjustified
gain at the expense of other members of the community
must be considered an attack against the system as a
whole, and must be punished as such: and, therefore,
the above ordinance which lays down that the hand of
the thief shall be cut off. One must, however, always
hear in mind the principle mentioned at the beginning
of this note: namely, the absolute interdependence
between man's right and corresponding duties (including
liability to punishment). In a community or state which
neglects or is unable to provide complete social
security for all its members, the temptation to enrich
onself by illegal means often becomes irresistible
--and, consequently, theft cannot and should not be
punished as severely as it should be punished in a
state in which social security is a reality in the full
sense of the woed. If the society is unable to fulfil
its duties with regard to everyone of its memebers, it
has not right to invoke the full sanction of criminal
law (had) against the individual transgressor, but must
confine itself to milder forms of administrative
punishment. (Its was in correct appreciation of this
principle that the great Caliph Umar waived the had of
handcutting in a period of famine which afflicted
Arabia during his reign.) To sum up, one may safely
conclude that the cutting-off of a hand in punishment
for theft is applicable only within the context of an
already existing fully-functioning social security
scheme, and in no other circumstances.[30]

Fiqh sangat erat kaitan dengan Syari'ah, jika bukannya malah


identik (seperti menurut pengertian kebanyakan orang). Ahmad
Zaki Yamani, dalam sebuah risalahnya yang terkenal,
memperjelas persoalan Syari'ah itu dalam kaitannya dengan
hasil karya para ulama terdahulu yang secara keseluruhannya
biasanya dipandang sebagai korpus Hukum Islam. Perhatikanlah
bagaimana Yamani menegaskan, hasil pemikiran ("fiqh" dalam
arti asalnya) para ulama dalam kitab-kitab itu baginya
tidaklah mengikat, karena pemikiran itu tidak lepas dari
tuntutan zaman dan tempat yang lebih spesifik, yang belum
tentu cocok dengan tuntutan zaman kita sekarang. Sama dengan
yang di atas, di sini kami kutipkan sepenuhnya uraian Yamani
(namun, sekali lagi, maaf tidak sempat menerjemahkannya):

The Islamic Shari'a as a phrase has two scope of


meanings. Generally and widely construed, it denotes
everything that has been written by Moslem jurists
throughout the centuries, whether it dealt with
contemporaneous issues of the time or in anticipation
of future ones. The jurists derived their principles
from the Qur'an and the Sunnah (way of action and the
opinions of the Prophet), and from the other sources of
Shari'a such as Ijma' (the consensus of the community
represented by its scholars and learned men), and
public interest considerations. The Shari'a, looked
upon in this wide scope, constitutes a huge Juristic
tradition the value of which depends on the individual
jurist himself, his era, or even the particular problem
confronting him. As such the system has a tremendous
scholastic value to the Moslem, however, it has no
binding authority; since within it one might find
different, and sometimes contradictory principles
resolving the same issues depending on the Juristic
school that propagated the principle. Furthermore, it
cannot have a binding authority since circumstances
that brought about a certain principle might not be in
existence any more, and surely we cannot maintain that
previous Moslem Jurists have anticipated all our
existing contemporary problems. Yet, as I said before
in this wide sense, one cannot deny the Shari'a
scholastic value as an elaborate system of deduction
which should be relied upon for future derivations of
principles.

Construed narrowly, the Shari'a is confined to the


undoubted principles of the Qur'an, to what is true and
valid of the Sunna, and the consensus of the community
represented by its sholars and learned men during a
certain period and regarding a particular problem,
provided such consensus was possible. Viewed as such,
the Shari'a has a binding authority on every Moslem,
and he is obligated to follow and employ it to solve
his affairs ...

The importance of differentiating between the wide and


the narrow scope of Shari'a is evident in countries
that fully implement the system, such as the Kingdom of
Saudi Arabia. As I explained earlier, not all the
principles of Shari'a in its wider sense are of a
binding authority, because of certain inherent
difficulties in attempting to harmonize some of them.
Furthermore, one cannot choose one juristic school for
implementation to the exclusion of all others, which
was done in the past, since as a logical consiquence on
would have to maintain the princiles of the other
schools are not valid, or at least, are not worthy of
being followed.

According to the well-known Shari'a principle "the


validity of that on which there is a difference can be
questioned, but not the validity of that on which there
is consensus," it becomes imperative ... to adopt the
narrow meaning of Shari'a, confined to the Qur'an, the
Sunna, and consensus, then, select principles from the
various juristic schools with no exceptions, the
criterion being what is more appropriate to the needs
of that particular country. Such countries could
legislate new solutions for novel problems, deriving
such solutions from the general principles of the
Shariia and considerations of public interest and
communal welfare. [31]

-------------------------------------------- (bersambung 4/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (4/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern

Oleh Nurcholish Madjid

Bagi Yamani prinsip public interest atau kepentingan umum


adalah sangat fundamental. Berkaitan dengan prinsip ini,
dengan merujuk kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibn
Rajab, Yamani mengutip, dengan implikasi sebuah dukungan,
pendapat yang ekstrim dari Imam al-Tuff yang diduga dari
madzhab Hanbali (tapi juga ada yang menduganya bermadzhab
Syi'ah), yang mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi dan
mendahului ketentuan tekstual, sekalipun dari al-Qur'an dan
Sunnah. Maka jika terdapat pertentangan pertimbangan
kepentingan umum di satu pihak, dan ketentuan tekstual atau
nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum
itu harus dimenangkan, betapapun absahnya sebuah nas. Ia
berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi maksud
dan tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan tekstual
yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya hanyalah perantara
untuk mencapai tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului
perantaraan atau cara.[32]

Lebih jauh, Yamani mengritik sebagian kaum Orientalis yang


tidak memahami Syari'ah dan mencampuradukkan dua unsurnya yang
berbeda namun tidak terpisah, yaitu hukum-hukum keagaman
('ibadat) dan hukum-hukum kegiatan manusia dalam hidup
keduniaan (mu'amalat):

The religious essence and value of the Shari'a must


never be overestimated. Many Western Orientalists who
wrote about Shari'a failed to distinguish between what
is purely religious and the principles of secular
transactions. Though both are derived from the same
source, the latter principles have to be viewed as a
system of civil Iaw, based on public interest and
utility, and therefore always evolving to an ideal
best... The Prophet himself had set precedence for this
religious-secular relationship when he said "I am only
human, if I order something pertaining to your religion
comply, if I order something of my opinion consider it
in the light that I am only human." Or when he said,
"You know better about your civil non-religious
matters." [33]

PENUTUP

Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan, fiqh dan


sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan
dalam zaman modern. Tetapi prasyaratnya ialah, kaum Muslim
harus mampu terlebih dahulu menangkap pesan dasar agamanya,
dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang akan
menjawab tuntutan zaman dan tempat. Halangan terbesar bagi
kemungkinan itu datang dari sikap-sikap dogmatic dan
literalis, yang kini masih banyak melanda kaum Muslim. Tapi
dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang
lebih baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti
ramalan Gellner: Kaum Muslim adalah penarik manfaat yang
sebenarnya dari modernitas.

CATATAN

1. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid


(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
1, h. 108.

2. ... Only Islam survives as a serious faith pervading


both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition
is modernisable; and the operation can be presented,
not as an innovation or concession to oursiders, but
rather as the continuation and completion of and old
dialogue within Islam... Thus in Islam, and only in
Islam, purification modernization on the one hand, and
the reaffirmation of a putative old local identity on
the other, can be done in one and the same language and
set of symbols. The old folk version, once a shallow of
the central tradition now becomes a repidiated
scapegoat, blamed for retardation and foreign
domination. Hence, though not the source of modernity,
Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact
that its central, official, "pure" variant was
egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and
ecstaasy pertained to its expendable, eventually
disavowed, peripheral forms, greatly aids its
adaptation to the modern world. In an age of aspiration
to universal literacy, the open class of scholars can
expand towards embracing the entire community, and thus
the 'protestant' ideal of equal access for all
believers can be implemented. Modern egalitarianism is
satisfied. Whilst European Protestantism merely
prepared the ground for nationalism by furthering
literacy, the reawakened Muslim potential for
egalitarian scripturalism can actually fuse with
nationalism, so that one can hardly tell which one of
the two is of most benefit to the other. (Ernest
Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), h. 4-5).

3. By various obvious criteria --universalism,


scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension
of full participation in the sacred community not to
one, or some, but to all, and the rational
systematisation of social life-- Islam is, of the three
great Western monotheisms, the one closest to
modernity. (Gallner, h. 7).

4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism., terjemahan


dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of
Texas Press, 1978), h. 1.

5. Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The


University of Chicago Press, 1988), h. 211.

6. Lihat QS. Yasin/36:60

7. QS. al-A'raf/7:172.

8. Lihat QS. Thaha/20:115.

9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40.

10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20.

11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25.

12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:


E.J. Brill, 1980), h.363, catatan 42.

13.Ibid., h. 7-8, catatan 21.

14. Lihat QS. Ali Imran 3:79.

15. QS. al-Ahzab/433:7.

16. Lihat QS. al-Hadid/57:4.

17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2.

18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16.

19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.

20. Ibid., hadits No. 1561.


21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.

22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun


Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada
kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan),
dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik.
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim
ialah mereka yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad) serta mereka yang beriman. Allah adalah
pembimbing kaum beriman itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).

23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak


langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu
penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara
generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam).
Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang
sikap anak turun Ya'qub Israil):

"Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada


Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu
sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133).

Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian


pasti menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) dan tidak akan menyimpang dari garis
lurus itu setelah para pengikutnya benar-benar menjadi
kaum yang pasrah kepada-Nya (muslimun):

"Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang


kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran
kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada
orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku,
bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata):
'Jadilah kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia
(Nabi itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para
malaikat dan para Nabi yang lain sebagai tuhan-tuhan.
Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah
kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?"
(QS. Ali Imran/3:79-80).

24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8.

25. Lihat QS. al-Nisa/4:58.

26. QS. al-Rahman/55:7-9.

27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bi


al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar
al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40.

28. Ibid.

29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar


al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92.

30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48.


31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary
Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h.
6-7).

32. Ibid., h. 10-11.

33. Ibid., h. 13-14.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


KONSEP-KONSEP ISTIHSAN, ISTISHLAH DAN MASHLAHAT AL-AMMAH

Oleh KH Ali Yafie

Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara


wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya
ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak
ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah
(al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam
terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari
sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya
sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu:
syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi
(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan,
Istishlah dan Istishhab.

ISTIHSAN

Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang


metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan
pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh
utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu
Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu
Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung
kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.

Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam


pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume
penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadist
(sebagai salah satu sumber syari'ah). Ini tidak berarti,
mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat
terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai
dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan
pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber
hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio
(dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak
penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui
keabsahan sumber hukum qias.

Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar,


ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk
penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi
mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas.
Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.

Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di


kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum
(mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri
atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka
sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari
Istihsan.

Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut


qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini.
Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan
istihsan dalam masalah ini. Sepanjang penelitian guru besar
ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo,
Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan
Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas
suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan
dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya
adalah:

Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada


qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi
ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung
Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti
Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau
dharurah.

Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang


lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap,
dibandingkan dengan qias yang jelas (jali). Definisi ini
menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia
maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias
dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias
yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum
atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.

Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua


ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau
dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias
yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga
istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah

Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan


sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian
digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk
pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam
rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan
menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum
dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang
dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang
berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.

Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok


yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan
mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan
sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa
tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk
menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.

Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi
qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan
('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari
pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut
hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini
merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan
hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan
(ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya
penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan
seterusnya.

Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias


karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang
terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas
pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah
menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi
(alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula
dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari
suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu
kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu
nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau
kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu
kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini


ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan
penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian
berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan
Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan
Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam
Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi
atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah)
ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung
segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam
hukum Islam.

ISTISHLAH

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam


yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang
sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum
sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan
sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran
pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita
catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan
oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan
tabi'in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam
al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa
penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh
aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.

Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan


bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya
mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi
kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya
di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan
manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah
melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya
membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan
mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah
sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas
dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya.
Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.

Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:

1.Mashlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari


tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:

1.1.Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut


komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni
hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga
dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya,
nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau
al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah
(kepentingan dan kebutuhan manusia).

1.2.Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan


kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.

1.3.Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka


memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.

2.Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu


kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui
terutama pada tingkat pertama.

3.Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.

Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder,


menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada
setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu
dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah
bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena
ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.

Para ahli yang mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga


persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,

1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan


atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau
mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).

2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau


segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan
menjadi kebutuhan umum.

3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada


terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash
syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').

AL-MASHLAHAH AL-'AMMAH

Hukum Islam mengenal mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorang)


dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan
kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang
digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat
al-khams. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang berbentuk
fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta
benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk
makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan
dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah
saw (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu
kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal
pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam
hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala
kulli muslim). Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah
yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan
atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak
perorangan bagi setiap manusia.

Di samping mashlahah tersebut di atas, hukum Islam juga


mengenal mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama
masyarakat atau kepentingan umum (algemeen blang). Ini
menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.

Imam Rafi'i menjelaskan,fardhu kifayah itu adalah urusan umum


yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya
urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya
adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum Muslim),
menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian
bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial
melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan
masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan
penyebaran buku-buku.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa.

2. Imam al-Syathibi, Al-Muwafaqat.

3. Imam al Syafi'i, Al-Umm.

4. Imam Suyuthi, Al-Asybah wa 'l-Nazhair:

5. Al-Mahmashani, Hikmatuttasyri'wa Falsafatih.

6. M. Sallam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islami.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.26. PERANAN TUNTUTAN SITUASI DALAM MEMAHAMI HUKUM ISLAM
oleh Jalaluddin Rakhmat

Jika saya mendepositokan uang saya di bank, bolehkah saya


menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama.
dengan riba? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa
saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak
tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah,
Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma')
untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya,
tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa
lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya
akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum
mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.

Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito


dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka
tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang
ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga
deposito?

Kemusykilan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang


sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya
menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan
hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban
lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.
Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur
bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut
al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti
Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan
lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi.
Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi
mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian penguasa
Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim.
Mereka bukan saja menganggap dewan ini tidak bertentangan
dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.

Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode


istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan
kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari
penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas,
istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya
memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera
membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga
menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai
kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu.
Sebagian menerimanya, sebagian menolakaya. Tidak jarang
perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan
istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan
menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man
istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang
istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut
istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at
a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan
seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas
khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab
Hanafi.

Tulisan ini akan dimulai dengan mencoba menyelesaikan kemelut


makna istihsan dan istishlah dan diakhiri dengan petunjuk
praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang
ini. Namun sebelum itu, sebagai pengantar, saya kutipkan
penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]

Bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam al-Qur'an, Sunnah,


ijma' dan pendapat para sahabat, atau tidak ada yang dapat
dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka, ia bersandar
kepada qiyas. Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan
ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para
pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah
dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah
mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun
bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum
itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas,
walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan
cakupan penggunaan qiyas.

Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali


madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas
sebagai berikut: Seorang mujtahidin melakukan penelitian
apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk
menentukan hukum far'. [2] Bila illat itu diketahui dengan
menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada
hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan
hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum
yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang
dipahaminya.

Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil


yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas
kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.
Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat
atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya
menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian
itu disebut istihsan.

PENGERTIAN ISTIHSAN

Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap


sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya,
harus dilakukan berdasarkan istihsan. Menarik sekali, para
ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari
al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam
pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan
kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan
turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum
Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadits menurut
riwayat Abdullah bin Mas'ud.

Bila kita mengacu pada literatur, kita akan menemukan banyak


sekali definisi istihsan --yang tidak selalu menunjukkan
referensi yang sama. Ada definisi yang dibuat dengan
memperhatikan segi-segi politis dan bukan segi-segi ilmiahnya.
Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak
menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:

1. Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang


lebih sesuai dengan orang banyak.

2. Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang


dihadapi orang banyak atau orang tertentu.

3. Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.

4. Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di


dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).

5. Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas


yang lebih kuat atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang
lebih kuat (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).

6. Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua


dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).

7. Istihsan artinya meninggalkan hukum masalah dari yang


semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari
madzhab Hambali).

8. Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid


dengan akalnya. [3]

Karena kita mengalami kesulitan memahami istihsan dari


berbagai definisi itu, marilah kita ambil contoh kasus yang
oleh para mujtahid disebut sebagai istihsan. Melihat aurat
perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan
"fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung
itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang
melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang
harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat
auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia
harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya,
untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya
dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang
melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy
dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.

Kadang-kadang seorang mujtahid meninggalkan qiyas karena


menemukan hadits yang lebih kuat, atau karena memperhatikan
kemaslahatan, atau karena 'urf (adat kebiasaan yang sudah
lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek yang disebut
istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:

Pertama, istihsan berarti memilih yang lebih kuat di antara


dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh
jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi --yakni dalil yang
diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua
dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas
khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.

Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi.


Dalam hal ini, ikhtilaf dapat berupa tazakam dan ta'arudh.
Yang dimaksud dengan Tazabum adalah pembenaran dua hukum yang
berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh
artinya perbedaan hukum karena perbedaan kasus (ikhtilaf
shawar al-masalah).

Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih


baik) salah satu di antaranya. Sambil memberikan
contoh-contohnya, saya akan menunjukkan petunjuk-petunjuk
praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.

(1) Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang


memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan
najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya,
atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat
Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang
celaka.

(2) Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada


penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa
haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu
tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.

(3) Dulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang


memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar
atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan
bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat
puasa.

(4) Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.

Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan.


Para ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat
kita perinci satu per satu: mendulukan yang mutlak di atas
yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh,
hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang
disepakati di atas yang diikhtilafi.

Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang


baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan di
kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang
baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga
besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita
juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.

Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu


untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas
pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga
istishan atau al-mashalih al-mursalah.

PENUTUP

Yang terakhir ini exercise. Apakah cara berpikir yang berikut


ini termasuk istihsan atau bukan. Bunga deposito dapat
dibenarkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, uang yang
disimpan mengalami penurunan nilai karena inflasi. Tingkat
inflasi bisa jadi lebih tinggi dari bunga deposito. Kedua,
dengan menyimpan, deposan harus membayar opportunity cost yang
boleh jadi lebih mahal dari bunga deposito. Ketiga,
mendepositokan uang juga siap memikul resiko, yang nilainya
dapat dihitung (serta mungkin saja lebih besar dari bunga
deposito). Walhasil, bila Anda tidak mengambil deposito Anda,
Anda akan menjadi pihak yang terzalimi atau teraniaya.
Padahal, agama menyatakan "tidak boleh menindas dan tidak
boleh ditindas"??

CATATAN

1. Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr, Mesir:


Dar al-Kutub al-Haditsah, hal. 324 - 325.

2. Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada
dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram;
(3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya
bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan
kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.

3. Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi


al-fiqh al-Muqaran, Beirut: Dar al-Andalus, 1979, hal.
361-362.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (1/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid

Jika masalah taqlid dan ijtihad harus ditelusuri ke


belakang, barangkali yang paling tepat ialah kita menengok
ke zaman 'Umar ibn al-Khathtab, Khalifah ke II. Bagi
orang-orang muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan
kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh
klasik persoalan taqlid dan ijtihad. Salah satu hal yang
memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar berkenaan
dengan persoalan pokok ini ialah isi suratnya kepada Abu
Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak:

"Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (al


qadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi
(Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu
diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya
berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan.
Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu,
keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan
tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu.
Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan
mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari
(tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai)
diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi
yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang
halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali
pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau
putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali
jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu
yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali
kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan
dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang
terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan
Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan
kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang
berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang
paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang
mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu
yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia
berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya
untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka
anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya,
sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan,
dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a'ma, kebutaan,
kegelapan) ... Barang siapa telah benar niatnya kemudian
teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya
berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang
banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama
manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari
dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya ..."
[1]

Dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa


prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan
masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:

Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat


'Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya
bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih
dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas


ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang
tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.
Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi.
Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan
membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat
keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang


telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan
selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar.
Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang
kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang


menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya
(misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah),
namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam
hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan
ketidakpastian.
Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun
yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu
benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam
hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya
kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam
bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

Dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang


pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber
keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya
hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu
keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia
jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci,
yaitu Kitab dan Sunnah. Tanpa prinsip ini maka klaim
keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu
pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan
segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci
agama itu.

TAQLID

Prinsip keotentikan juga menyangkut masalah konsistensi


ketaatan pada asas. Konsistensi itu, pada urutannya, akan
menjadi batu penguji lebih lanjut tingkat keabsahan suatu
pemikiran. Karena itu dalam pengembangan suatu pemikiran
keagamaan tidak mungkin dihindari kewajiban memperhatikan
hal-hal parametris dalam sistem ajaran sumber-sumber suci,
sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung
kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan
tempat). Hal-hal parametris itu dalam Kitab Suci disebut
sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna jelas),
yang juga disebut sebagai prinsip dasar atau induk ajaran
Kitab Suci (umm al-Kitab), kebalikan petunjuk-petunjuk
metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat). [2]

Karena keontentikan dan konsistensi mengimplikasikan


penerimaan terhadap suatu postulat, premis atau formula
dasar, dengan sendirinya ia juga mengandung makna taqlid
menurut makna asli (generik) kata-kata itu, yakni, sebelum
ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini
umum dipahami. Sebab, taqlid dalam arti generik merupakan
unsur sikap menerima kebenaran suatu postulat berdasarkan
pengakuan bahwa sumber atau pembuat postulat mempunyai
wewenang penuh dan tinggi.

Karena salah satu konsekuensi konsep tentang Tuhan ialah


konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan
penuh keyakinan terhadap kebenaran ajaran-Nya dengan
sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman kepada
Rasul dan ajaran-ajaran yang dibawa-Nya. [3] Iman yang
sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap pasrah
sepenuhnya.

Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut


masalah akumulasi informasi dan pengalaman. Taqlid sebagai
pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan
pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin
dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan
terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara
terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi
tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap
pengembangan dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan
manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman
modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi
dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia
sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan
pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam
karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon
tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa itu
kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan
menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan
pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya
manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan
kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha
itu sendiri.

Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan


dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni
integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual
memiliki akar-akar dalam sejarah. Jadi, keotentikan
historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika
diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka,
untuk sekedar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi
intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat
kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang
kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral
tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa
ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.
Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak
dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi
dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi
zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep
absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia
adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran
Barat. [4] Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat
yang integral.

Jadi keintegralan dan keotentikan diperkuat oleh adanya


konstinuitas tradisi yang berkembang. Tetapi segi positff
taqlid ini hanya terwujud jika ia tidak menjadi paham
tersendiri yang tertutup, yang tumbuh menjadi "isme"
terpisah. Sebab, taqlid seperti ini (yang barangkali lebih
tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan sikap penyucian
masa lampau dan pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang
benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi, justru
demi pengembangan bidang yang menjadi otoritasnya, masa
lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk
diuji dan diuji kembali. Pengujian itu dilakukan dengan
pertama-tama, menemukan dan menginsafi segi-segi yang
merupakan imperatif ruang dan waktu yang ikut membentuk
suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu sosok pemikiran tidak
pernah muncul dan berkembang dari kevakuman. Ia selalu
merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor ruang
dan waktu acap kali dominan.
(bersambung 2/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (2/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid

Kedua, dengan menghadapkan sosok pemikiran itu pada


kenyataan-kenyataan disini sekarang. Penghadapan ini
diperlukan untuk melihat relevansi suatu sosok pemikiran
historis, karena ia akan berguna untuk kita, disini dan
kini. Seperti tubuh manusia yang memiliki mekanisme
penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan
dirinya lewat gejala alergi, ruang dan waktu pun, yang
mengejawantah dalam sistem sosial, memiliki mekanisme
penolakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai tanpa
membiarkan diri secara pasif menjadi tawanan ruang dan
waktu, kita tidak bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan
nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita.

HIKMAH AGAMA

Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain


untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka.
Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah"
diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep,
diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa,
untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk
menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan
bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]

Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah


"muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual
yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan
ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan
Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam
Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]

... The Commentators usually understand the verses "of


established meaning" (muhkam) to refer to the categorical
orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider:
"the mother of the Book" must include the very foundation on
which all Law rests, the essence of God's Message, as
distinguished from the various illustrative parables,
allegories, and ordinances.

If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find that


in a sense the whole of the Qur'an has both "established
meaning" and allegorical meaning. The division is not
between the verses, but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something immediately applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in
Plato's Philosophy. The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing given to the
essence, throught the Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in disputing about
matters beyond our depth.[9]

Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and
space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik
dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan
universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama
ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi)
dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam
hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak
semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar
konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami
seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah
alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan
tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait
dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep
atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur
dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.

Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan


secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah
menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama
ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan
ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par
excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari
penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini
ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale
diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan
itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas
negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia
negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara
fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]

IJTIHAD

Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran bahwa


masalah taqlid dan ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan
meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas
yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad bisa dilakukan
hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah
memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh
kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.

Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai


sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari
obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di
masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.

Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema


pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman
terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti
Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi
anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat. (Disebut anomalous, karena selama paling
kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur
dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat
penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban
manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).

Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum


menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah
pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk
unsur dari budaya asing. [15] Ini dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala,
paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan
rendah diri. Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat
al-Makki, seorang pemikir Makkah dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman 'Umar. Sebab, sepanjang penuturannya, 'Umar adalah
seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan
mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan 'Umar "tidak memandang semua
perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud
dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros
penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah
s.w.t." [17] Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada
gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat
dilaksanakan." [18]
(bersambung 3/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (3/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid

Agaknya jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam


itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para
pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh
pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad
dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas,
menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan
hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang
paling baik disini dan sekarang." [19]

Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran


al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi
awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll.,
malah juga Rasulullah sendiri! Menurut al-Makki, selain
selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi
juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode
analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam
berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau
akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci
sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu
dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki
mirip dengan Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa Nabi
bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh)
wahyu. Jika diluar itu Nabi bisa salah, meskipun amat
jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21]

NILAI SEBUAH IJTIHAD

Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan ijtihad


sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan
mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas (taqlid)
kekayaan pengalaman kultural manusia, khususnya pemikiran,
menjadi kumulatif, dan ijtihad diperlukan justru untuk
mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.

Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba


terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung
persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri
bagi tinjauan dan pengujian. Jadi tidak dibenarkan adanya
absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan
membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan
ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Sesuatu
dari kreasi manusiawi yang diabsolutkan akan secepat itu
pula akan terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran
ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran
yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk
selalu bakal ditinggalkan zaman.

Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah


bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan
sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan
keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit,
namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati
(taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia
berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit
itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi
satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang
Kebenaran itu sendiri.

Jalan menuju kesana ternyata banyak. Bahkan, dari sudut


pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang
mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya
usaha yang penuh kesungguhan saja, yaitu ijtihad dan
mujahadah, yang menjadi alasan bagi Sang Kebenaran untuk
menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22]
Dan karena banyaknya jalan menuju Kebenaran itu, maka
seperti ditegaskan Ibn Taymiyyah, Hadlrat al-Syaikh K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn
"Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, para Sahabat Nabi
dahulu, begitu pula para Imam madzhab sendiri, selalu
toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat yang
ada di kalangan mereka. [23]

Akhirnya, sebagaimana tercermin dalam sabda Nabi yang amat


terkenal, yang menegaskan bahwa siapa yang berijtihad dan
benar, ia akan mendapat dua pahala, dan siapa yang
berijtihad dan salah, ia masih mendapat satu pahala. Ini
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda
vitalitas, sedangkan kemandekan berarti kematian. Seperti
dikatakan 'Umar dalam suratnya di atas, niat baik dan
ketulusan hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha
kita mengembangkan masyarakat. [24] Dengan berbekal
ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika
penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia
juga benar, karena merupakan Sunnat Allah untuk seluruh
ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah yang
kekal abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus
berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah Allah,
sebab Dia-lah Kebenaran Yang Pertama dan yang Akhir. [26]
Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena takut
salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.

CATATAN

1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki


al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi
Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam
(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.

2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan


kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat
muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran)
Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat
(jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya
terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan
(hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu
dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari
maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi).
Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi
itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat
itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah
menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."

3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak,


demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang
diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang
telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."

4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat


cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya
mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh,
melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di
atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau
Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana
dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,
kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam
Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di
zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of
Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University
of Chicago Press, 1964), hal 1728.

5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering


diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang
memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf
(al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang
bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari
risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah
wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan
tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).

6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah


kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
banyak."

7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the


Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di
atas.

8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
"Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
(berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
(Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
1243, catatan 4276).
(bersambung 4/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (4/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid

9. A.Y. Ali, hal. 123, catatan 347. (Patut diketahui bahwa


terjemahan al-Qur'an dan tafsir ke dalam Bahasa Inggris oleh
A. Yusuf Ali ini dianggap paling standar dan populer dalam
dunia Islam internasional. Penyebarannya di seluruh dunia
banyak dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia sejak 1384
H/1965 M dengan sponsor Rabithah Alam Islami yang diketuai
Syeik Mohammed Sour as-Sabhan sampai saat ini dengan
berbagai cetakan dan edisi, yang kemudian juga mendapat
restu dan persetujuan Ri'asat Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah
wa 'l-Ifta wa 'l-Da'wah wa 'I-Irsyad di Riyadh sebagai badan
tertinggi urusan keagamaan Saudi Arabia. Salah satu edisinya
dimaksudkan untuk hotel-hotel internasional, meniru
penempatan Kitab Suci Kristen yang telah lama ada).

10. Ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an


terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka.
Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama
mempraktekan pengangkatan anak atau apa yang disebut
tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama
dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut
masalah kawin dan waris. Zaid yang bekas budak (hitam) itu
memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah
dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak
itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya
pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak
kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya,
yaitu Zaid ibn Haritsah. Firman yang dimaksud berkenaan
dengan masalah ini ialah QS. Al-Ahzab 33:37-40, "Ingatlah
ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah
mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih
sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu
(Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau
menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya
keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah
yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan
pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti
(resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya
(Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman
untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika
memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan
(perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka). Dan
perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada
kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka
yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah
kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada
mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut
kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat
perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum
lelaki diantara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup
Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."

11. QS. Al-Qamar 54:49, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah


menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian
(Qadar)." Dan QS. Al-Furqan 25:2 "Dan Dia (Tuhan)
menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya
sepasti-pastinya." Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi
ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum
kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur
alam raya ciptaan-Nya ini.

12. QS. Fathir 36:43, "... Dan mengapa mereka tidak


memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang
telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam
Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam
Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain,
menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum
kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan
manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan
meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya.

13. Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali
Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk
ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain.
(Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan
dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh
pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan
itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul
buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat
penetapan hukum syari'at atau agama).

14. Lihat pembahasan panjang lebar tentang masalah ini dalam


al-Jurjawi (op. cit.) hal. 269-281, yang meliputi pula
pembicaraan sekitar pengaruh alkohol kepada peminumnya, pada
peredaran darahnya, bisnis asuransi jiwa, jumlah kematian
karena alkoholisme, pengaruhnya terhadap kesehatan, alkohol
dan pengaruh buruknya terhadap negeri-negeri panas, serta
korelasi antara alkohol dan kejahatan.

15. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid


(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3,
hal. 274.

16. Al-Makki op.cit., hal. 116. Yang dimaksudkan al-Makki


sebagai sesuatu yang diambil 'Umar dari orang-orang kafir
ialah idenya membuat Bayt al-Mal dan kalender (Hijrah). Ide
itu ditirunya dari orang-orang Persia, yang pada waktu itu,
tentu saja, masih belum muslim.

17. Ibid,hal. 121.

18. Lihat catatan 1 di atas.

19. Hodgson op. cit., hal. 274-275.

20. Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang
dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di
waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak
usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat
pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn
al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat
(ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau
melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari
memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi
binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu
tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri
amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian
al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus
menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini,
karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang
dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah
orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan
dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk
pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat
penting.

Sedangkan yang disebut-sebut ijtihad Nabi yang kemudian


mendatangkan teguran Ilahi ialah yang terabadikan dalam QS.
Al-Tahrim 66:1, "Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh
kerelaan (kesenangan hati) isteri-isterimu?!" Para penafsir
klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu
hari tinggal di rumah Mariyah, isteri Beliau yang berasal
dari Mesir, karena murka kepada Aisyah atau Hafshah. Hal itu
kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah
kepada Nabi, sehingga, demi menyenangkan hati Hafshah (anak
'Umar ibn al-Khattab) Nabi berjanji dan mengharamkan
berkumpul dengan Mariyah atas diri Beliau, padahal Mariyah
adalah isteri Beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah
adalah halal. Juga, ada versi lain berkenaan dengan kejadian
yang terabaikan dalam firman ini. Versi manapun yang benar,
semuanya menunjukkan suatu yang dimaksudkan oleh al-Makki
sebagai contoh ijtihad Nabi. (Lihat, Nashir al-Din Abi Said
'Abdullah ibn 'Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydlawi.
Anwar al Tanzil wa Asrar al-Ta'wil al-ma'ruf bi tafsir
al-Baydlawi, 5 jilid (Beirut: Muassasat Sya'ban, tt.) jil.
5. hal. 137).

21. Pembahasan tentang ishamat atau ketidak-biasaan


(infallibility) Nabi oleh Ibn Taymiyyah ini dapat kita
jumpai dalam karya besarnya Minhaj al -Sunnat al-Nabawiyyah
fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyvah, 4 jilid (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)., jil. 1, hal. 130. Perlu
diketahui, karya ini ditulis sebagai polemihya dengan
golongan Syi'ah, sebagaimana tereermin dari judulnya.

22. QS. al-Ankabut 29:69, "Dan barangsiapa berusaha


sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, maka pastilah
akan Kami tunjukkan kepada mereka berbagai jalan (subul)
Kami."

23. Lihat, Ibn Taymiyyah, Ikhtilaf al-Ummah fi al-Ibadat,


K.H. Muh. Hasyim Asy'ari, al-Tanbihat, dan al-Makki, op.
cit., hal. 244 dan passim.

24. Lihat catatan no. 1 di atas dan keterangan yang


bersangkutan awal-awal tulisan ini.

25. QS. Al-Qashash 28:88, "Janganlah menyeru bersama Allah


(Tuhan Yang Maha Esa) suatu Tuhan yang lain. Tiada suatu
Tuhan melainkan Dia. Segala sesutu binasa kecuali Wajah-Nya.
Baginyalah ketentuan hukum, dan kepadanyalah kamu semua akan
dikembalikan." A. Yusuf Ali memberi komentar yang menarik
tentang ayat terakhir Surah 28 ini:

"Ini meringkaskan pelajaran seluruh Surah. Kenyataan


satu-satunya ialah Tuhan. "Wajah"-Nya atau Diri, Pribadi,
atau Wujud-Nya itulah yang harus kita cari, karena menyadari
bahwa Dia-lah satu-satunya hal yang abadi, yang tentang hal
itu kita bisa mempunyai berbagai pengertian. Seluruh jagad
lahir dan tunduk kepada hukum peralihan dan perubahan fana
akan sirna, namun Dia akan tetap abadi. Jika berpikir
tentang Tuhan yang impersonal, suatu kekuatan kebaikan yang
abstrak, kita tidak dapat menggabungkannya dengan Pribadi
atau Wujud yang vital, yang tentang Dia itu kita hanya mampu
menangkap gaung samar-samar atau cerminan dalam momen yang
paling intens dalam luapan spiritual. Jadi kita tahu bahwa
apa yang kita sebut diri kita sendiri tidaklah punya makna,
sebab hanya ada satu Diri yang benar, dan itu adalah Tuhan.
Inilah juga doktrin Advaita dan Shri Shankara dalam
jabarannya terhadap Brihadaranyaka Upanishad dalam filsafat
Hindu.

Lihat juga QS. Al-Hadid 57:3, "Dia (Tuhan)-lah Yang Pertama


dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha
mengetahui atas segala sesuatu."

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (1/4)
Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen

1. IJTIHAD

Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian


menyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapa
lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.

1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul


Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan
sebelum masalah taqlid.

2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian


seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang
mu'tabar.

3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang


telah memahami persoalan ijtihad.

Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa


aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat
kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah
kita temukan.

PENGERTIAN IJTIHAD

Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan


untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya


dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang
orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan


para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua


kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.
Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap


kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara' (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan


sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam


(faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,


yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
hukum khuluqi,

3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah


dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas


maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang


mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.

MEDAN IJTIHAD

Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di


bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?

Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta


perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:

1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh


nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.

2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh


ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.

3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang


diperselisihkan.

4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas


hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,


disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.

Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak


berlaku atau tidak dibenarkan pada:

1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau


Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
"ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."

Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku


ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."

Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi


sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.

2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.

3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli


'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
dicerna dan diketahui mujtahid).

Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan


pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu
berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."

PERBEDAAN YANG DITOLERIR

Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam.


Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung
masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad,
akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari
Hadits Nabi yang artinya,

"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia


melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari
Muslim).
(bersambung 2/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (2/4)
Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen

Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan


tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan
pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini
dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah
ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar,
tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain
kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."

Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad


yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak
bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan
salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya
saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih
dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai
hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).

Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan


pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.

IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD

Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh


ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."

Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak


dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."

SYARAT-SYARAT IJTIHAD.

Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid


harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat


al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.

2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits


Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah


ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan


dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.

5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an


dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.

6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam


al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u


'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia


dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).

9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan


deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar


dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.

Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:

1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan


dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.

2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang


mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.

3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid


mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.

4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan


dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.

BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?

Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan


pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.

Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi


ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad


tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.

Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,


mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.

Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang


berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:

1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang


semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.

2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama


Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam

3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan


baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.

Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup


antara lain beralasan:

1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,


munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.

2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.


Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.

3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan


membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:

a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat


antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.

b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah


satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.

d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam


membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.

4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV


Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
ini.
(bersambung 3/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (3/4)
Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen

Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua


pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:

"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah


Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."

Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut


dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi


persyaratan.

2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat


dimana ijtihad boleh dilakukan.

3. Butir pertama hanya berlaku untuk:

a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad


fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).

b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara


kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).

c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif


(ijtihad muthlaq jama'iy).

4. Poin kedua tidak berlaku untuk:

a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab


fardy).

c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq


fardy).

Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat


bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:

1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun


kelompok secara kolektif,

2. Ijtihad madzhab secara kolektif

3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,

Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad


telah tertutup haruslah kita artikan untuk:

1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,

2. Ijtihad madzhab secara perorangan.

Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita


mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.

Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli


hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:

1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun


secara kolektif.

2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum


pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.

Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah


dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

2. TAQLID

Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara


langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.

Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu


tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.

Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin


dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.

Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a


-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.

Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan


sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:

"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang


Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."

Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,


agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.

Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau


pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.

Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.

PENGERTIAN TAQLID

Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada


berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.

Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah


bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.

Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,


antara lain:

1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang


pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.

2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak


mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.

3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan


dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.

Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal


seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:

a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.

b. Beramal berdasarkan ijma'

c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan


kesaksian saksi yang adil.

Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan


ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.
(bersambung 4/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (4/4)
Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen

HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID

Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad


baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."

Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam


itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).

WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID

Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka


wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.

Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa


ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.

Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan


bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.

TINGKATAN TAQLID/MUQALLID

Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,


demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:

1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti


taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.
2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.

3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang


dilakukan oleh mujtahid muntasib.

MASALAH TALFIQ

Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita


tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.

Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya


seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:

1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka


ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).

Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini


dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.

2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja


pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.

Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan


untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.

3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah


madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.

Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan


untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.

Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat


di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).

2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah


disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.

3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang


awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.

Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka


yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."

Contoh Talfiq

a. Dalam Ibadat.

1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu


kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.

2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian


ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.

b. Masalah Kemasyarakatan

1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya


harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).

2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,


kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.

Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa


kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk


mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).

2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana


disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).

3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,


apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.

4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang


tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.

5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita


lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).

6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku


di dunia hukum.

7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan


membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.

8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam


ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.

9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan


tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.

10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid


yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (1/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

1. FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA

Seorang laki-laki datang menemui 'Umar bin Khathab: "Saya


dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.

'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air."


'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah
Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam
perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,
sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan
kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian."

Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah


pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau
inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau
hidup." [1]

"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."

Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar


tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila
tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur
'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat
Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat
perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari
tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentang
pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip
ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum
dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak
dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan
mazhab 'Umar.

Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran


dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham
di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewat
kekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi
pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dan
keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar
pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya

Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangat


penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqh
sahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,
saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di
antara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dan
contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.

URGENSI FIQH SAHABAT

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam


khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat --sebagaimana
didefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari
mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.

Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya


masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada
zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam
dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan
mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan
ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]

Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas


al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula
yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad
dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang
berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.

Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip


umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);
yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.

Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus


diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.
Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah
yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalam
perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai ucapan dan
perilaku yang keluar dari para sahabat-- akhirnya menjadi
salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,
mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi
hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai
hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya
menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku,
yakni Abu Bakar dan Umar"); dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan
khulafa' al-Rasyidin. [6]

Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat


menetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,
atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarh
dan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya
menulis: [7]

Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang


yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar
ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk
menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke
benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka
dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan
kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai
'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah
'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama,
dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah.

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan


bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan
fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan
ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting
adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat
mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka
ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit
diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT

Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah


prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak
terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah
Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]

Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan


hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah
Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,
menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa
berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas mereka
adalah mengacu pada Ma'shumun.

Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang


ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik
hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat. Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah--
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.

Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali


Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan
ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.
Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal
al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika
Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya
di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan
tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Aku
tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena
pendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurut
riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:
Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau
boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh
meninggalkannya. [10]

Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.


Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd
al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya
40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar
menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar
memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali
membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]

Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara


ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan
perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan
berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru"
itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di
antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan
"al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu
al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)
dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman
tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah
dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita
Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena


perbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,
misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak
mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah
ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi
Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahu
saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya
Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak
ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]

Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu


sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]

Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari


Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.
Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia
menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau
melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa
itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika
Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil
dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn
Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak
dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat
yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di
tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah
menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini
semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita
memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita
jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak
hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia
saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia
hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain
mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub
tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua
bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah
tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak
diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.


Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,
masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin
Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan
mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan
Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau
berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid: "Ya
Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku
mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata
Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian
berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian
dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami
melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat
yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah
saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata
Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan
Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu
mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua
khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian
sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi
orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin:
"tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri
Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila
khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila
ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak
keluar, aku akan pukul dia." [18]

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para


sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan
menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat
itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat
orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi
sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf
ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar bin Abd
al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan
pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat
Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,
sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang
diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,
jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah
memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di
antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki
Rahmat-Nya." [19]

-------------------------------------------- (bersambung 2/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (2/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

KARAKTERISTIK FIQH SAHABAT

Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan


hukum, ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara
ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat -- Madzhab
'Alawi dan Madzhab 'Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita
sekarang sebagai Syi'ah dan ahli Sunnah. Para sahabat --
seperti Miqdad, Abu Dzar, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah dan
sebagian besar Bani Hasyim -- merujuk pada ahl al-Bait dalam
menghadapi masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada
dua nash yang dengan tegas menyuruh kaum Muslim berpegang
teguh pada pimpinan ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka,
pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma'shum. Ah
al-Bait memiliki kema'shuman berdasarkan nash al-Qur'an dan
al-Sunnah. [30]

Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan kelompok sahabat


ini, tapi akan memutuskan perhatian pada metode ijtihad
kelompok sahabat yang tak merujuk ahl al-Bait. Menurut
Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada
qiyas. Menurut Muhammad Salim Madkur, ijtihad mereka
menggunakan tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash;
b) qiyas pada nash atau pada ijma', dan ijtihad dengan ra'yu
seperti al-Mashalih al-Mursalah dan istihsan. Muhammad Ali
al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi qiyas,
istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i, al-mashalih
al-mursalah. [21]

Menurut pendapat saya, ada tiga tahap dalam ijtihad para


sahabat: a) merujuk pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah b)
menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash
tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan
lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.

Pada tahap pertama, para Khulafa al-Rasyidin selain Ali,


tampaknya lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an
(atau ruh ajaran al-Qur'an) dengan agak mengabaikan
(kadang-kadang menafikan hadits). Di bawah ini saya kutipkan
berbagai riwayat berkenaan dengan sikap Khulafa al-Rasyidin
pada Hadits (sunnah):

1) Dari Ibn Abbas: ketika Nabi menjelang wafat, di rumah


Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu
tulisan yang tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya." Umar
berkata: "Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab
Allah. Cukuplah bagimu Kitab Allah." Terjadi ikhtilaf di
antara orang-orang di rumah itu. Di antara mereka ada yang
mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan
ikhtilaf, Nabi saw. berkata: "Pergilah kamu semua dari aku.
Tidak layak di hadapanku bertengkar." [22]

2) 'Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits


Rasulullah saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata:
"Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu. "Aku membawanya.
Ia membakar dan berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih
meninggalkan hadits-hadits ini bersamamu," [23] al-Dzahabi
meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi
wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw.
yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian
akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan satu Hadits
pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian,
jawablah -- Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah,
halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang
diharamkannya" [24]

3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah


Rasulullah saw. Ia memikirkannya selama satu bulan,
mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada suatu pagi,
ia memutuskan dan menyatakan: "Aku teringat orang-orang
sebelum kalian. Mereka tenggelam dalam tulisan mereka dan
meninggalkan Kitab Allah. [25] Umar kemudian mengumpulkan
hadits-hadits itu dan membakarnya. [26] Ia juga menetapkan
tahanan rumah pada tiga sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda, dan Abu Mas'ud al-Anshari."
[27]

Tradisi pelarangan hadits ini dilanjutkan para tabi'in,


sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat
sampai abad 8 M./2 H. Menurut satu riwayat, Umar ibn Abd
al-Aziz (meninggal 719/101) adalah orang yang pertama
menginstruksikan penulisan hadits. [28]

Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash,


menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan umum. Dalam
beberapa kasus, bahkan pertimbangan kepentingan umum
(maslahat) didahulukan dari nash, walaupun ada nash sharih
(tegas) yang bertentangan dengan itu. Berikut ini
contoh-contohnya.

1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad Umar dalam


al-Dimuqrathiyyah: Umar bin Khattab telah meninggalkan
nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah ketika
dituntut kemaslahatan untuk itu. Bila al-Qur'an menetapkan
bagian muallaf dari zakat, serta Rasulullah dan Abu Bakar
melakukannya, Umar datang dan berkata, "Kami tidak memberi
kamu sedikit pun karena Islam." Ketika Rasul dan Abu Bakar
membolehkan penjualan Ummahat al-Awlad, Umar melarangnya.
Ketika talaq tiga dalam satu majelis dihitung satu menurut
Sunnah dan ijma, Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan
ijma.

Dr. al-Dawalibi menulis hal yang sama dalam 'Ilm Ushul


al-Fiqh: "Di antara kreasi Umar r.a. yang menunjang kaidah
hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya thalaq
tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar
dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga pada sekali ucapan
dijadikan satu seperti hadits shahih dari Ibn 'Abbas. Kata
Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya
hati-hati..." Kata Ibn Qayyim, Amir al-Mu'minin Umar bin
Khathab melihat orang telah melecehkan urusan thalaq... Umar
ingin menghukum keteledoran ini, sehingga sahabat menahan
dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini
untuk kemashlahatan umat di zamannya... Ini adalah prinsip
taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman." [29]

2. Ketika kelompok muallaf datang menemui Abu Bakar untuk


menuntut surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat
itu dan berkata, "Kami tidak memerlukan kalian lagi. Allah
sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu
Islam (baiklah itu), jika tidak pedanglah yang memutuskan
antara kamu dan kami. "Mereka kembali pada Abu Bakar dan
berkata, "Adakah khalifah itu atau dia? "Abu Bakar menjawab,
"Ia, insya Allah. " Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar.
[30]

3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta


perbekalan pada Abu Bakar. Abu Bakar memberinya bekal.
Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar ini untuk
merampok. Abu Bakar menyuruh Tharifah bin Hajiz untuk
membawanya ke Madinah. Abu Bakar menghukumnya dengan
membakarnya hidup-hidup. [31]

4. Abu Bakar dan Umar tidak memberikan hak khumus dari


keluarga Rasulullah saw., tapi menyalurkan hak itu fi
sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat,
khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32]

5. Utsman bin Affan membolehkan "menikahi" dua orang wanita


bersaudara dari antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi
Thalib mengharamkannya. [33] Utsman juga melakukan banyak
"pembaharuan" dalam fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam
keadaan safat di Mina; [34] b) menambahkan adzan ketiga pada
hari Jum'at ; [35] c) melarang haji tamattu; [36] d)
membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan isterinya
tanpa mengeluarkan mani; [37] e) mengambil zakat dari kuda;
[38] f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada shalat 'id.
[39]
Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa' al-Rasyidin
di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para
sahabat sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40]
pada zaman para sahabat, orang secara bebas memberikan
tafsiran pada sunnah Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai
penafsiran. Dalam proses free market of ideas,
pendapat-pendapat tertentu kemudian berkembang menjadi opini
generalis, lalu opini publik, lalu konsesnsus. Karena itu,
waktu itu yang disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam
Malik sebagai al-amr al-mujtama' 'alaih. Saya hampir
sependapat dengan Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa
yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil persaingan
pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma' adalah
konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik waktu itu.
Tidak berlebih-lebihan kalau kita simpulkan bahwa fiqih
al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa.

KESIMPULAN

Fiqh para sahabat --khususnya seperti diwakili oleh


al-Khulafa, al-Rasyidun-- adalah fondasi utama dari seluruh
bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan
dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian
melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para
sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang,
juga --seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz-- menyumbangkan
khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja,
untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang
sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis
zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim
terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap
kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang
marah karena 'Umar dikritik, 'Umar sendiri berkata, "Semoga
Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu
bingkisan." [41]

2. FIQH TABI'IN: FIQH USHUL

Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri)


telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari'at Islam. Suatu
ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin 'Azib:
"Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda
berbaiat kepadanya di bawah pohon." Al-Barra menjawab, Hai
anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami
adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa
yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid'ah yang
dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari
kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir
dari al-haudh (telaga). Nabi saw: "Ya Rabbi, mereka sahabatku.
Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka
ada-adakan sepeninggal kamu. [43]

Bid'ah-bid'ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw.


Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini.
Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik,
dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak
mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan "orang" kecuali
panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang
dimaksud "orang" adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu.
Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah
diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam
Syafi'i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn
Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata:
Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun.
[45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia
sedang menangis. "Mengapa Anda menangis," tanya Al-Zuhri. Anas
menjawab, "Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat,
kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang". [46] Al-Hasan
al-Bashri menegaskan: "Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah
saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan)
kecuali kiblat kamu". [47] 'Umran bin al Husain pernah shalat
di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan
berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia
mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]

Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah.
Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan
penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah
mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia
oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn 'Abbas berdoa: Ya Allah,
laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci
kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai
upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud
di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para
sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn 'Umar, Jabir
ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di
atas kain menjadi syi'ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di
atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan
zindiq". [51]

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan


kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak
didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan
manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab'in, selain
mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad
para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan
ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi
dua --yang berpusat pada al-hadits dan al-ra'y-- kita akan
membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra'y.
Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang
fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi'in;
dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul.

Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar


belakang fiqh tabi'in.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI'IN

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam


bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak
semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak
bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali
memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehatihatian,
atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak
sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau
karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah


para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan
al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537
hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits
mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27%
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah
meriwayatkan 5374 hadits).
Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada
sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam
pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para
sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu
Zahrah menulis: [52]

-------------------------------------------- (bersambung 3/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (3/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak,


bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar
bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang
mereka meninggalkan kota itu. Pertama, 'Umar ingin mengambil
manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan
alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam
pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan
keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan
sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar,
seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, dan
lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn
Mas'ud di Iraq, Abdullah ibn 'Umar serta ayahnya Al-Faroq,
Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.

Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para


mawali (non Arab). Fiqh tabi'in, karena itu, umumaya fiqh
mawali. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal:
Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat
(aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat
pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau
dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara
tabi'in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga
sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan
berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan
mendatangi 'Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan
sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta
fatwanya. Ka'ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas,
Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. 'Alqamah dan Ka'ab
keduanya tabi'in.
Ada tujuh orang faqih tabi'in yang terkenal (al-fuqaha
al-sab'ah): Sa'id ibn Musayyab (wafat 93 H), 'Urwah ibn
al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn 'Abid (wafat 94 H),
Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah
ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H)
dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka
ada 'Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh'i, Al-Syu'bi, Hamad
ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan 'Ikrimah mawla Ibn
Abbas.

BUKTI-BUKTI MANIPULASI HADITS

Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti


tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ
paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi
hadits pada zaman tabi'in. Contoh-contoh yang diberikan di
sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis.
Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai
berikut.

Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan


kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur
Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid.
Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata.
"Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan
Heraclius!". Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd
al-Rahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah ra, saudaranya. Marwan
berkata: Ayat al-Qur'an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum
turun tentang Abd al-Rahman. 'Aisyah menolak asbab al-nuzul
ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan
mengatakan faqaala 'Abd al-Rahman ibn 'Abi Bakar syai'an (Abd
al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman
kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan
Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya,
al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: "Inilah
washihu dan khalifahku untuk kamu". Kata-kata ini dalam Tafsir
al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza
(demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata "washi"dan
"khalifah" mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]

Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk


adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat
kepada Mu'awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi
saw. Mu'awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap
dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212
H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas'udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan
menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia
membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang
banyak tidak resah mendengarkannya." Ibn Atsir dalam
Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu
dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]

Ketiga, memberikan makna lain (ta'wil) pada hadits. Al-Dzahabi


ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai
diminta meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah, ia berkata, "hadits
apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah
tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah". Kata Al-Dzahabi:
Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu'awiyah ini
adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau
aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi
kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang
meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma'
al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman
bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia
menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.

Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan


petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya
pada tarikh Ibn Ishaq. "Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat
Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang", kata Ibn Hisyam
dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah
"wa andzir 'asyirataka al-aqrabin". Dalam Ibn Ishaq
diriwayatkan Nabi saw berkata; "Inilah saudaraku, washiku, dan
khalifahku untuk kamu." [58] Belakangan ini Muhammad Husayn
Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada
bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang
akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku,
washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad,
cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan
sama sekali.

Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan


ini bagian "Fiqh al-Khulafa' al-Rasyidin" di atas. Beberapa
tabi'in juga melarang penulisan hadits.

Keenam, mendha'ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan


penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir
mendha'ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia
menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh
orang Syi'ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits.
[69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat
Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu'aim
al-Isbahani, Ibnu 'Asakir dan lain-lain. Al-Syu'bi
meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata:
menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd
al-Barr mengomentari ucapan al-Syu'bi: Ia tidak menjelaskan
apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena
kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di
atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a'lam, Al-Syu'bi
mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan
bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.

3. Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh

Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia


mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam'an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia
dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah
berbicara panjang, Khalifah bertanya. "Bagaimana pendapat
kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?"
Malik bin Anas berkata: "Ya Amiral Mu'minin, aku tawassul
padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan
Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku
untuk tidak berbicara." "Aku maafkan Anda", kata al-Manshur.

Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam'an: "Bagaimana pendapat


kamu?" Kata Ibn Sam'an: "Anda, demi Allah, orang yang paling
baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu'minin, Anda berhaji ke
Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan;
Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat.
Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil."

Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. "Atas nama Allah


bagaimana pendapatmu tentang diriku?" Yang ditanya menjawab,
"Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda
merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul,
anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda
persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa
alasanmu di hadapan Allah nanti?"

"Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?"


kata al-Manshur. "Benar, aku lihat pedang dan itu berarti
kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau
diperlambat."

Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah. menunjukkan


posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman
dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengRapnya Abu al-Harit
Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib
al-'Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara.
Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang
yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak
pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan
boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak
ada orang yang mengenalnya.

Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no


favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai
pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di
berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak
dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur
memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji,
al-Manshur berkata kepada Malik: "Saya punya rencana untuk
memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan
kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah,
serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya
sehingga mereka tidak mengambil yang lain." Begitu pula,
ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik
untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka'bah dan
memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau
Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa
Malik didukung para penguasa.

Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru


kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja'far
al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan
pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja'far: "Aku pernah
berguru pada Ja'far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak
pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga
keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca
al-Qur'an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari
Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu
yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah,
zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja." Sifat terakhir ini
justru menyebabkan Ja'far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya
"dicurigai" dan para pengamalnya dianiaya.

Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab


muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab
itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini
kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang
terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar
belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada
akhir bagian ini kita akan membicarakan "pokok dan tokoh"
madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.
SEJARAH PEMBENTUKAN MADZHAB

Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan -Ja'fari, Maliki,


Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali-- tumbuh pada zaman kekuasaan
dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang
berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab
di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan
dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga
para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu
Dzarr, Miqdad, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla
Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok
pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu
Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.

Murtadha al-'Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai


Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah
ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an, memandang sunnah
Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman
kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang
lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan
Madrasah al-Ra'y. Yang pertama, berpusat di Madinah,
melandaskan fiqhnya pada al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad para
sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra'yu dalam
menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit
menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran
rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara'
(maqashid syar'iyyah).

Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh "di bawah tanah"


mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan,
mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk
memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf
menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha
menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi
Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak
jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah
itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.

Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: "Dari


sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan
al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar
orang-orang Syi'ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak
wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka,
sehingga sunni tidak berbeda dengan syi'ah. Kemaslahatan
berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang
mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab
itu." Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah
tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin 'Abd al-Rahma
yang berkata: "Yang sunnah dalam membuat kubur adalah
meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat
menurut madzhab Syaf'i. "Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata:
"Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih
sudah menjadi syi'ar sy'iah."

-------------------------------------------- (bersambung 4/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (4/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan


pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan
menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara
ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi'in yang
menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang
batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar
sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat
khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan
berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq
dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang
Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan
Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa
tidak senang pada para mawali - yang justru lebih banyak pada
daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para
sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.

Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah


disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun
pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi
dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja'far bin Muhammad.
Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.

IMAM-IMAM MADZHAB YANG TERLUPAKAN

Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang


kita kenal sekarang --kecuali mazhab Ja'fari-- membesar karena
dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu
Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan
al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan
al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan


al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di
Afrika, al-Mu'iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi'i membesar di Mesir
ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab
Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil.
Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.
Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis:
"Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi
wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan
fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang
mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu,
tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para
pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai
hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak
ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang
setelah beberapa lama."

Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan


sebagai berikut:

1. Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd


Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun
65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad
menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut
dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada
Ja'far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya
termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma'in.
Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia
berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia
melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian.
Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;

2. Madzhab Ibn 'Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad


Sufyan ibn 'Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil
ilmu dari Imam Ja'far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq
dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari
padanya adalah Syafi'i. Ia memberi komentar: "Seandainya
tidak ada Malik dan Ibn 'Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz.
Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi
setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.

3. Madzhab al-Awza'iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr


al-Awza'iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat
dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya
tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan
qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab
Syafi'i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara
yang empat (Abu Hanifah, al-Awza'iy, Malik dan
al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata:
"Al-Awza'iy." Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302
H;

4. Madzhab al-Thabary. Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ibn


Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di
Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia
termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid
kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham
al-Qur'an; mengetahui betul makna al-Qur'an. Ia faqih,
mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan
yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh
dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui
sampai kapan madzhabnya diikuti orang.

5. Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali


dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad
sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad
VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn
Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara
harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah
Maroko, ketika Ya'qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu'min
meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan
perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.

Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi


dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka
madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah
disebutkan di atas --kecuali Imam Ja'far-- di sini hanya
disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya
dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.

IMAM JA'FAR IBN MUHAMMAD AL-SHIDIQ (82-140 H)

Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah
binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat,
ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.

Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid


ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl
al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur
dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia
juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih
baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada
keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:

Dinasti 'Abbasiyah selalu merasa terancam dalam


kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum 'Alawi
menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan
dengan Rasulullah yang tidak dimililki 'Abbasiy.
Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari
'Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena
itu, bila para penguasa 'Abbasiyah melihat ada dakwah
'Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat
ada pejabat yang memuji Bani 'Ali, mereka segera
mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli
membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam
pemerintahannya.

Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja'far memusatkan


perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan
ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah
Imam Malik, al-Tsawry, Ibn 'Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu'bah ibn
al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi.

Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja'far dalam hal fiqh, kita


tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun
seperti diceritakan Abu Nu'aim:

Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap


Imam Ja'far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya,
yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui
agama. "Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan
agama?," tanya Ja'far. "Benar."

Ja'far bertanya kepada Abu Hanffah: "Siapa namamu?"


"Nu'man."
"Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun." kata
Ja'far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak
bisa dijawab Abu

"Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku


bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan
qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah
menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih
baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat
dari tanah. Barang siapa yang menggiyas dalam agama, Allah
akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya
dengan qiyas.

Manakah yang lebih besar dosanya - membunuh atau berzinah?


"Membunuh."

"Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk


pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah."

"Mana yang lebih besar kewajibannya - shalat atau shawm


(puasa)?"

"Shalat"

"Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi


tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu
menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan
melakukan qiyas dalam agama."

Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan


hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik
khas dari madzhab Ja'fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal
berikut: a) Sumber-sumber syar'iy adalah al-Qur'an, al-Sunnah
dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt:
yakni para imam yang ma'shum. Mereka tidak mau menjadikan
hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang
memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan.
Qiyas hanya dipergunakan bila 'illat-nya manshush (terdapat
dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya,
digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c)
Al-Qur'an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan
agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur'an
jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena
Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur'an, penafsiran al-Qur'an yang paling
absah adalah yang berasal dari mereka.

IMAM ABU HANIFAH

Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia


menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik
al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari
ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu
pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay'at
kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis:
"Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi'ah dalam kecenderungan dan
pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat
bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari
Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka
telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim."

Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla,


menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu
Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa
alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi.
Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari,
ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut
satu riwayat, karena diberi makanan beracun.

Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf,


yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam
kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah
berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits
dengan madrasah Ra'y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat
ekstrem menggunakan qiyas.

Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a)


Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur'an, al-Sunnah,
ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, "Aku
mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila
tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang
sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah,
aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai
pada tabi'in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,", b)
Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan. c) Al-A'raf, yakni adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan.
Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan 'urif.

-------------------------------------------- (bersambung 5/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (5/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

IMAM MALIK

Pada zaman kekuasaan Ja'far ibn Sulayman tahun 146 H Malik


dihukum cambuk. Ia --menurut satu riwayat-- mengeluarkan fatwa
yang tidak dikehendaki penguasa. Setelah itu, al-Manshur
merasa bersalah, di samping ingin berusaha memanfaatkan alim
besar ini. Ia tidak mungkin menarik Ja'far dan tidak berhasil
mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153 H,
meminta maaf kepada Malik atas perlakukan salah seorang
penguasanya. Ia memberikan wewenang besar pada Malik untuk
mengangkat dan memberhentikan para pejabat yang dipandangnya
tidak mampu. Ia juga boleh menghukum mati atau memenjarakan
yang dipandangnya bersalah.

Karena wewenangnya ini, Malik menjadi sangat berwibawa.


Orang-orang ketakutan berada di majlisnya, karena wibawa
Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan
rambut dan kuku, Malik memukul orang itu dan memenjarakannya
Ketika seorang bertanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang
orang yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu makhluk?." Malik
memanggil pengawalnya: "Ia zindiq, bunuh dia." Orang itu
berkata: "Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya melaporkan
ucapan orang lain." Malik menukas: "Tapi aku hanya
mendengarnya dari kamu."

Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat


berpengaruh pada penyebaran madzhabnya. Madzhab Maliki
mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok: a) Al-Qur'an: zhahirnya,
dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya; b) Al-Sunnah:
al-mutawatirah dan al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah
bertentangan dengan al-Qur'an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma'
penduduk Madinah, ijma' secara naql. Ijma' sebelum terbunuhnya
Utsman, ijma' mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum
yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan Qiyas; f)
Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara'i; i) Mura'at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar'man qablana.

IMAM SYAFI'I

Pokok-pokok fiqh Syafi'i ada lima: a) Al-Qur'an dan al-Sunnah;


b) al-Ijma'; c) Pendapat sahabat yang tidak ada yang
menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.

IMAM HANBALI

Pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali: a) Al-Nushush; b) Fatwa


sahabat; c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha'if; e)
Qiyas.

4. STAGNASI PEMIKIRAN FIQH: MASA KETERTUTUPAN

Dr. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah


fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota
itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan
Ashar. "Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad
saw. Mereka menyalahi al-Qur'an yang menyatakan bahwa shalat
itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya."
Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat
jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid'ah orang
Syi'ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits
shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. "Tidak benar,"
kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih
tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat
jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya.
Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, "Ini khusus
untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah
bolehlah engkau melakukannya." Pemuda itu bermaksud
menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat
lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian),
tetapi ia mengurungkan maksudnya.

Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan


telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di
sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu
patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa
menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa
dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh
al-Kaydani.

Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama


-menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad
XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri'
disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh ('ashr
al-rukud).

Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu:


Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran,
dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa
itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang.
Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran
bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara'
dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan
merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam
kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu,
menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij,
tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya
mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di
antara tokoh-tokoh madzhabnya Ia tidak melihat kepada syari'at
dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah
sebelumnya mempelajari al-Qur'an, al-Sunnah, pokok-pokok dan
maksud-maksud syara'.

Pasal ini akan memperlihatkan karakteristik zaman ini dari


segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu itu dan dari segi
kecenderungan pemikiran. Kita akan mengakhiri dengan melacak
sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.

KARAKTERISTIK ZAMAN STAGNASI: TRADISI MENSYARAH KITAB

Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia,


fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam
dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran
al-Qur'an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam
madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur'an
misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik
yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para
sahabat, tabi'in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku
yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada
analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi
al-ma'tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami',
al-masanid, al-ma'ajim, al-mustadrakat dan sebagainya.
Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi
hadits, ilmu jarh wa ta'dil dan riwayat para sahabat. Para
pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid
tersebut.

Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para


ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup
dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu
melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah
tradisi membuat syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk
memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka
menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik,
atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama
lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi
lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui, paling
tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary,
Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah
al-Muwatha susunan Imam Malik.

Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah


(diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi'i menyerang
tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya.
Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing masing.
Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran
Syi'ah. Ulama Syi'ah membalasnya dengan menulis kitab lagi.
Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl
al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan
menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah
lagi oleh al-Mar'asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah
menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran
satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis
Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini
menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan
hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik
antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah
berlangsung sejak zaman para imam madzhab. Imam Syafi'i,
misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan,
munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan
fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan
tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini
ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah
al-Karkhy ketika ia berkata, "setiap ayat atau hadits yang
bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus
dita'wilkan atau dimansukhkan.

FANATISME MADZHAB

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun


ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui
khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab
diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab
dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan
pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam
menyuburkan fanatisme madzhab.

Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya, para pengikutnya


meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya.
Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi
Muhammad saw. Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: "Semua
nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa
yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci
Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah
bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah
setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah
wafat, Nabi Hidhir mohon agar ia diizinkan tetap berguru
padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari'at
Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian
menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.

Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam


Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam
Syafi'i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: "Ya Allah berilah
petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan
memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya." Orang alim itu adalah
Imam Syafi'i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah
al-Sajastany berkata: "Aku pernah melihat Rasul Allah saw
dalam mimpi. Aku bertanya: "Ya Rasul Allah, siapakah yang
engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?" Rasul
Allah saw menjawab: "Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal."

Dengan berbagai "keutamaannya" itulah, pengikutnya


mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih
didulukan dari ayat al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy
menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala
yatadabbarun al-Qur'an. Aku pernah menyaksikan sekelompok
faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan
ayat-ayat al-Qur'an tentang beberapa masalah yang bertentangan
dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan
tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin
mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari
madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya


lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok:
pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal
keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan
dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan
fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan
yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap
fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya
lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya
dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga
diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang
saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu
dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar


rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan
pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz --hadits-hadits yang
kebanyakan mawadhu' dan maqlub. Mereka tidak memelihara
matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya,
dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan


menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar
keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa
melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir,


kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil.
Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak
mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan
untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila
hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka
ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima
hadits dhaif dan munqathi' bila telah masyhur di kalangan
mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak
didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian
adalah suatu kesesatan dan penipuan ra'yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh


madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka
segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka
tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari


padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah),
ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat
dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak
memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima
riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad
ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang
lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan
pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka
tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi'i.
Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn
Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah,
al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak
menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi'i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab


imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran,


menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan
perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah
terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang
kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai
contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

-------------------------------------------- (bersambung 6/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (6/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i memegang


kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para
pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan
penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa.
Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah
Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua
golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah
pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata:
"Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian
terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau
kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami
menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami
juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di
antara kami."

PENUTUPAN PINTU IJTIHAD

Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat


mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad
fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid
mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan
mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat
melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil
(mujtahid independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi'iy
dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun
sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh
kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky,
meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil,
tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.

Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad.


Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang
ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab,
terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode
ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan
kesimpulan furu'iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam
hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya
sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib,
mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk
menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya;
atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari
ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat
imam yang bermacam-macam itu.

Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih


ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara
pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada
anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan
seperti keempat imam itu. Sebalikaya, menurut Abu Zahrah, di
kalangan Syi'ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu
ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh
Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana
pun: "Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan
pintu ijtihad". Bahayanya banyak --berakibat pada
terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan
terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena
meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita
lihat sekarang ini.

SEBAB-SEBAB STAGNASI

Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi


pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan
penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama
dalam menghadapi umara.

Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa


madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu
madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan
dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab
sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang
berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai
cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab
penguasa.

Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama


berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi
tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan
madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat,
didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu,
yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab
yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah,
para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat
dari pada mengembanghannya. Di samping itu, posisi ulama yang
lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung
kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan
status quo, demi "ketertiban dan keamanan".

Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad,


ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada
kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para
ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di
Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu
Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa
Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan
al-Qur'an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan
Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini
ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila
ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.

Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan


kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi
negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi
politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat
mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang
memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya
penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.

5. FIQH DITELAAH KEMBALI: FIQH KAUM PEMBARU

"Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari Ibn Syihab. Ia


ditanya tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: 'Urwah bin
Zub air mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah bin 'Utbah bin
Rabi'ah --salah seorang sahabat Nabi saw. yang ikut
menyaksikan perang Badar-- telah mengangkat Salim sebagai
anaknya. Sehingga ia disebut Salim mawla Abu Hudzaifah,
sebagaimana Rasulullah saw. mengangkat Zaid ibn Haritsah
sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim --yang dipandang
sebagai anaknya itu-- dengan anak saudara perempuannya
Fathimah bint al-Walid bin 'Utbah bin Rabi'ah. Waktu itu ia
termasuk wanita muhajirat yang awal dan gadis Quraysy yang
utama. Ketika Allah menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang
Zaid ibn Haritsah --panggillah mereka dengan nama bapak-bapak
mereka. Itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudaramu
dalam agama dan mawla-mawla kamu --maka dikembalikanlah setiap
orang di antara mereka itu kepada bapaknya. Bila tidak
diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti
Suhail --istri Hudzaifah dari Bani Amir-- datang menemui
Rasulullah saw. dan berkata: "Ya Rasul Allah, kami menganggap
anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku dan aku dalam
keadaan fudhul (memakai busana rumah yang tidak menutup
aurat). Kami hanya mempunyai rumah satu, bagaimana menurut
Anda? Rasulullah saw. berkata kepadanya: "Susukanlah dia lima
kali susuan sehingga ia menjadi muhrim dengan susunya".
Setelah itu ia memandangnya sebagai anak susuan. Aisyah
mengambil cara ini bila ada laki-laki yang ingin masuk ke
rumahnya Ia menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar
al-Shiddik dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan
laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw
yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk ke rumah
dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)

Contoh lain: "Seorang A'raby meminum minuman 'Umar. (Ia mabuk)


dan 'Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Orang A'raby itu
berkata: Aku minum dari minumanmu. 'Umar meminta minumannya
itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya.
Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke
dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari
'Umar dan berkata: 'Umar meminumnya setelah mencambuk orang
A'raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur'an 2:565).

Dua peristiwa di atas diambil dari kitab-kitab yang menjadi


rujukan dalam menjawab masalah-masalah fiqhiyah. Dari
peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum:
(1) Batas susuan yang menyebabkan seorang haram dinikahi
adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang bukan
muhrim memasuki rumah seorang perempuan, kecuali bila
laki-laki itu saudara sepesusuan; (3) Dianjurkan menyusukan
orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang
perempuan.

Kesimpulan terakhir ini telah disepakati fuqaha. Mereka


mempersoalkan cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw
menghalalkan sesuatu dengan tindakan yang haram? (Bukankah
bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim itu haram,
apalagi menyusu kepadanya?). Mungkinkah ini hanya fiqhnya
'Aisyah. Bukankah istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya?
Bukankah pada kitab hadits yang sama Umar ibn Khatab dan
Abdullah ibn Mas'ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil
saja?

Peristiwa yang kedua dijadikan dalil oleh sebagian pengikut


madzhab Hanafi untuk menghalalkan minuman keras (khususnya
Nabi) bila dicampur dengan air. Tentu saja fuqaha
mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits
yang mengharamkan minuman keras --baik sedikit maupun banyak
mereka telah membenarkan halalnya minuman keras karena
dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan
'Umar. Apakah perilaku 'Umar dapat dijadikan model dalam
pengambilan kesimpulan hukum? Apakah pendapat para sahabat
dapat dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan 'Umar itu
suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash syari'at bila
kondisi berubah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan problema yang


dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali
fiqh yang ada. Yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran
nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan. Dalam
istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat
al-syar'iyat, tetapi juga ushul al-fiqh. Dari fenomena
tersebut, ternyata "Kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah"
tidak segampang seperti yang dibayangkan.

Slogan yang di Indonesia didengungkan kaum modernis ini,


sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh,
setelah orang merasa perlu membuka kembali pintu ijtihad.
Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran
yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku. Arkoun
menyebut aliran ini logosentrisme yang ia gambarkan sebagai
berikut:

Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio


(akal)., yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan
bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki
dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema
umum Islam, maqashid syar'iyah dan sebagainya. Skripturalisme
dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran
Islam; sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab
masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai
upaya rekonstroksi fiqh di dunia Islam sekarang ini berangkat
dari kedua aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah
kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua aliran
ini secara kritis dibahas skriptularisme.

LATAR BELAKANG SKRIPTURALISME

Seperti diketahui dalam fiqh tabi'in, ada dua aliran besar


dalam fiqh Islam: ahl al-Ra'y dan ahl al-Hadits. Yang pertama
menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua
berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak
penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua
ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra'y adalah
madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits
adalah mazhab Hanbali.

Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam


musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada
ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin
dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh.
Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada
hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan
menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya
selalu merujuk pada nash-nash al-Qur'an atau hadits.

Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang


relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud
al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak
ta'wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah
memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus
menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks
al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn
Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.

Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd


al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela
kaum mutakallim, filsuf dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith,
Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak "the corruption and laxity
of the contemporary decline, the introvert warmth and other
wordly pety of the mystic way, ...the alien intellectualism
not only of philosophy but also theology" (Smith, 1968:42).

Raja Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di


Makkah tahun 1355, berkata: "Madzhab kami mengikuti dalil,
bila ada; bila tidak ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami
mengikuti ijtihad Ahmad ibn Hanbal: (Mughniyah, 1987:95).
Paham ini, yang kemudian menjadi paham resmi Arab Saudi,
mempengaruhi banyak aliran pembaharuan di seluruh dunia.
Mereka melihat masa Salaf sebagai model, dan kembali kepada
al-Qur'an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk
memecahkan segala persoalan Islam.

-------------------------------------------- (bersambung 7/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (7/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

KEGAGALAN SKRIPTURALISME

Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup


untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada
saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, "since the leaders of
these movements were interested in negating some of the
influences of the medieval school of islamic thought and law,
they inevitably took a negative attitude toward the
intellectual and spiritual developments that had taken place
in the intervening centuries" (Rahman, 1981:26).

Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam aqidah.


Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur'an dan hadits
dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa
Ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk
di atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil,
mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja
dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi
gersang.

Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari


kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna
batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek
keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash,
dianggap bid'ah. Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa
saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya.
Qunut pada shalat Subuh, membaca dzikir bersama, membaca
shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak ma'tsur,
--dan di Indonesia-- menyelenggarakan upacara tahlilan dan
marhabanan dianggap tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw
(dalam bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw).
Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak
berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya
--dan bukan tempatnya di sini-- untuk merinci dalil-dalil
orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut.
Dengan menyingkirkan mistisisme, kaum skripturalis telah
menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang
emosional. Para pengikutnya tidak lagi "menikmati" agama dan
sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.

Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual,


mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain
akan dianggap menyimpang dari al-Qur'an dan sunnah. Dalam
skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang
wawasannya sempit, tapi merasa faqih. Pada tahap
institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan
kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan
dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur'an dan hadits.
Muncullah para "mujtahid" yang tidak berkualifikasi. Mereka
membentuk kelompok-kelompok, yang memuncak pada fragmentasi
umat.

Keempat, skripturalisme terbukti tidak menjawab berbagai


masalah kontemporer. Salah satu contoh adalah perbincangan
tentang zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak
diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya
menggunakan qiyas juga, tetapi tanpa aturan yang konsisten.
Sebagian kaum modernis di Indonesia, yang menolak qiyas,
menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Ada yang
mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat emas
dan perak; dan zakat perdagangan.

Terakhir, kelima, skripturalisme tidak dapat menyelesaikan


kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal
(memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash. Al-masail
al-lafzhiyah --seperti makna lughawi, makna 'urfi (kebiasaan),
makna haqiqi dan majazi, makna 'am dan khash dan sebagainya;
mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul
al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan
penafsiran nash tidak mendapat perhatian.

Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak


memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini
hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis
terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada
gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai
problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat
merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih
relevan dan signifikan.

6. FIQH KAUM PEMBARU: MADZHAB LIBERALISME

Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak


stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan.
Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur'an dan
al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat
dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut
skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha
secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut
liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok
pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard
Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis
Islam.

For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate


with the essence of revelation, but the content and the
meaning of revelation is not essentially verbal. Since the
words of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort at understanding which is based
on the words, but which goes beyond them, seeking that which
is represented or revealed by language.

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap


esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari
kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks
untuk menemakan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya
akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan
mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam
dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan
mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman
untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

SEJARAH MADZHAB LIBERALISME

Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra'y di


kalangan para sahabat Nabi. Fiqh al-ra'y sebenarnya sejajar
dengan tafsir al-Qur'an bi al-dirayat, tapi kaum liberalis
modern justru mengambil inspirasi dari tafsir bi al-ma'tsur.
Karena itu, sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra'y saya
akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma'tsur.

TRADISI IJTIHAD BI 'L-RA'Y

Ketika [brahim Hosen berbicara tentang ta'aqquli dan


ta'abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan
fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan
pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi
Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi
perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang
berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah)
dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak
disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang pertama secara
ta'abbudi, dan yang kedua secara ta'aqquli. Pada bagian kedua,
Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar
atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa
terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, "Kamu lebih
tahu urusan duniamu?"

Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn 'Abbas disebut


sebagai "tragedi hari Kamis". Dalam keadaan sakit, Nabi
menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan
wasiatnya. "Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya"'
kata Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah.
Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab
Allah itu." Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit
Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.

Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika


ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad 'Umar; dan Allah
membenarkan ijtihad 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan
Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan
untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn
Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu
selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw,
disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali
kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa yang menyebabkan
Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut
aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku
akan berupaya menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian
menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan
menyalahkan Nabi. "Seandainya azab turun," kata Nabi, "tidak
akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab."

Hadits-hadits di atas --walaupun keabsahannya harus kita


teliti secara kritis-- merupakan justifikasi terhadap peluang
menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari
Ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan
Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di
dalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu.
"Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan
Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan
membantahnya."

Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para


sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran
mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka --dalam
pemikiran-- adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas
sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib.
Mereka tidak membedakan huquq al-'ibad dan huquq Allah dalam
instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri'. Tidak ada
ijtihad Nabi. "Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya,
tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan
kepadanya." (QS 53:3).

Ketika Umar dan Utsman --pada zamannya masing-masing melarang


haji tamattu" Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab
tarikhnya, menulis: "Para sahabat r.a. sangat takut kepada
Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar
kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: "Barang siapa
melakukan tamattu', ia sudah menjalankan kitab Allah dan
sunnah NabiNya." Ketika Ali menegur Utsman yang melarang
tamattu', Utsman berkata: "Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah
ra'yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil
ra'yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja."

Umar juga diriwayatkan berkata: "Inilah ra'yu Umar. Kalau


benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar." Abdullah ibn
Mas'ud berkata seperti itu juga: "Aku mengatakan ini dengan
ra'yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia
berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya."
Para tabi'in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn
Mas'ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan
Fiqh al-ra'y. Sementera itu, Ali tetap tinggal di Madinah,
sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa
kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan haji
dengan 'umrah, ia menegur Ali: "Kau lakukan itu padahal aku
melarangnya?" Ali menjawab: "Aku tidak akan meninggalkan
sunnah Rasulullah saw karena (ra'yu) salah seorang manusia."
Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz,
berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.

Fiqh al-ra'y makin diperteguh dengan kecenderungan umum


madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. 'Aisyah
melaporkan: "Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw.
Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, "ambilkan
hadits-hadits yang ada padamu." Lalu saya berikan kepadanya.
Ia membakarnya dan berkata: "Saya khawatir, saya mati, dan
meninggalkan hadits-hadits itu padamu." Abu Bakar juga pernah
mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: "Kalian
meriwayatkan dari Rasulullah saw. hadits-hadits yang kalian
perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada
itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw.
Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: "Di antara
Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan
haramkan yang haram.". Walaupun begitu, periwayatan hadits
tetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh
mengumpulkan hadits-hadits itu dan memerintahkan untuk
membakarnya. Alasan Umar: "Aku khawatir hadits-hadits itu akan
memalingkan orang dari Kitab Allah."

Tradisi pengabaian penulisan hadits --dan sekaligus


pembakarannya-- dilanjutkan oleh tabi'in. Rasul Ja'farian
menyebutkan nama-nama ulama tabi'in yang melarang penulisan
hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa'id, Sa'id ibn Jubair,
Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan
--menjelang kematiannya-- memerintahkan pembantunya untuk
menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua
tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan
ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad.
Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn
Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.

Sejarah singkat madzhab 'Umari ini menunjukkan tiga ciri


khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya --dan
seringkali dengan mengabaikan yang lain-- kepada al-Qur'an.
"Hasbuna Kitab Allah," kata Umar; (2) madzhab ini mengutamakan
ra'yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) madzhab ini menekankan
aspek maqashid syar'iyyah atau kemaslahatan umat untuk
menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna
tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering
meninggalkan nash-nash al-Qur'an secara sengaja, Abu Zahrah
menulis: "Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi
ra'yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya
maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan
nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan
pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara'.

Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra'y dan


fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk
kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas
penggunaan nash dan ra'yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai
lingkaran-lingkaran: "Lingkaran paling dalam (pertama)
merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra'yunya.
Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan
penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra'yu fi al-din (tidak ada
tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah
semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai
Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya
al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga
menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat
sedikit.

-------------------------------------------- (bersambung 8/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (8/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

"Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan


rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab
ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn
Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha'if harus
lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak
dilaksanakan di Saudi Arabia.

"Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang


dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus
diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka
adalah al-Mashalih al-Mursalah.

"Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi'i yang dipelopori Imam


Syafi'i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih
banyak menggunakan analogi atau qiyas.

"Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang


frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits.
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi."

Untuk memberikan contoh madzhab yang paling "Umari", marilah


kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah
ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: "Abu Hanifah adalah
orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi." Yang
dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits
Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum
berdasarkan qiyas.

Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn


Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat
syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin,
kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak
merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits
dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah
pernah dilaporkan berkata: "Seandainya Rasulullah berjumpa
denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama
itu ra'yu yang baik?" Barangkali ini penegasannya tentang
keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat
yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: "Musuh-musuh Abu
Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada
hadits. Ia memprioritaskan ra'yu dalam mengeluarkan keputusan
fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra'yu. Abu Shalih al-Fura
menuturkan, "aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu
Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. ... Kataku:
"Berikan sebagian contohnya." Katanya: "Rasulullah berkata,
kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata
Abu Hanifah: "Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih
banyak daripada bagian seorang Mukmin." Rasulullah melakukan
isy'ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan
kurbannya. Kata Abu Hanifah: "Isy'ar adalah penganiayaan."
Nabi bersabda: "Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya
berpisah." Kata Abu Hanifah: "Bila jual beli wajib, tidak ada
khiyar." Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian.
Kata Abu Hanifah: "Undian itu judi." Kata mereka: "Pada zaman
Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak
tertarik untuk menemui mereka." Ibn Abu Syaibah dalam bukunya,
pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu
Hanifah dan mencapai 150 hadits.

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan
'Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan
al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi
tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur Rahman sering --bahkan paling sering--
menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang
situasional kepada hadits yang "berdiri sendiri", menerima
hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan "sunnah yang
dikenal baik" sebagai kriteria terhadap "semangat dan sikap
kolektif" dari hadits.

Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap


metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan
untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada
perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa
dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut
menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman --yang
berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir
Kontekstual-- hanya dapat diterima oleh orang yang tidak
mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman,
bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi
madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya
berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap
Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap
fuqaha al-ra'y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits
(sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra'y terhadap
fuqaha al-atsar.

Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir


tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga
meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur'an, sebagai
latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur'an
yang dirumuskan oleh Rahman.

TAFSIR BI 'L-RIWAYAT DAN TAFSIR BI 'L-DIRAYAT

Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat,


sebagaimana fiqh al-ra'y mempunyai persamaannya dalam tafsir
bi 'l-dirayat. Tafsir --menurut Muhammad Ali al-Shabuni--
adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta
menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh
dengan menukil penjelasan dari al-Qur'an lagi, al-Hadits,
pendapat sahabat dan tabi'in, maka tafsir itu disebut tafsir
bi 'l-riwayat atau tafsir bi 'l-ma'tsur. Bila tafsir itu
berpijak pada ijtihad mufasir --dengan mengerahkan kemampuan
nalar dan/atau intuisinya-- maka kita menyebutnya tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi 'l-ra'y.

Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap


taisir bi 'l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di
antara jenis-jenis tafsir bi 'l-riwayat, tafsir al-Qur'an
dengan al-Qur'an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru
tafsir al-Qur'an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab
al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk
menafsirkan al-Qur'an dengan melihat al-Qur'an secara
keseluruhan dan dengan melihat "sebab-sebab pewahyuan".
Anehnya, tafsir bi 'l-riwayat seperti ini diambil Rahman
ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman
ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam.
Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak
pada tafsir bi 'l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode
penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita
lihat.

Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur'an yufassir


ba'dhuhu bad'dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya,
kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang --menurut
Rahman-- dapat mengungkapkan latar belakang situasional,
membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur'an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman
pada tafsir bi 'l-dirayat.

Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an mempunyai basis dalam


petunjuk-petunjuk al-Qur'an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan
al-Sunnah. Nabi saw. menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam
yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan
ayat inn al-syirk la-zhulm 'azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini
dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua
kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan
merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati,
ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian
Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah
mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari
Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal
kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan
QS 46:15.

Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd


al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya
al-Tafsir al-Qur'ani li al-Qur'an. Bila kita teliti
kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran
Qur'ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat
membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur'ani yang murattab
(berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan
tafsir Qur'ani maudhu'i (berdasarkan tema-tema atau
topik-topik tertentu)

Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab,


kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba'i, dalam
Tafsir al-Mizan.
Pertama, "maka ayat-ayat al-Qur'an dilihat dari konteks
ayat-ayat itu" (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks
adalah "semua yang mengungkapkan ( makna) lafadz yang ingin
kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang
bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat
tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami,
atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang
menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan." Misalnya, ayat
"Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat" (QS
37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke
dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan
Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah
barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan
kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa
"apa yang kamu perbuat" adalah berhala-berhala itu.

Kedua, "ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat


yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau
menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam
al-Qur'an." Yang dimaksud dengan "khalifah" dalam surah
al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi
anak-cucunya, dengan melihat surah al-A'raf ayat 69, Yunus
ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata
al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah "tempat
kembali" dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-'Alaq
ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.

Tafsir maudhu'i baru muncul belakangan. Perbedaan antara


tafsir maudhu'i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan
antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu'i dimulai
dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini --sepanjang
pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim-- ditulis oleh
Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja'far Subhani menulis
serial mafahim al-Qur'an (sampai sekarang sudah selesai lima
jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: "... (Kita)
kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian
tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu
kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan
kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang
menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang
ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada
surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda
dalam surah yang sama. Al-Qur'an menunjukkan dalam setiap
surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu
itu.

"... Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat


yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak
pada pandangan Qur'ani yang utuh tentang topik tersebut.
Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau
mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman
wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat
itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada
masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam
hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam
menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan."

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama


Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap
al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan
semangat dan jiwa al-Qur'an. Kedua, kita harus mengambil
sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan
memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik
dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita
harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan
pendekatan ta'aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari
masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat
hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari
masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan
pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah
untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi


penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan
historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara
ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an; ketiga,
pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar
belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang
kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam
perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari
yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di
atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum
ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita
aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa
ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya
dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.

-------------------------------------------- (bersambung 9/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (9/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari


al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks
lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima
teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus
menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan
beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna
lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita
meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki
makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah
dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai
menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan
perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita
abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau
ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah
hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup
diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran
Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata
"menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata
sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka
dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus
dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan
nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi


yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat
al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi
pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai
kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan
tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan
teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan
makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai
pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa
kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi
(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak
perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan
kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada
fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para
sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan,
Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan
ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka
memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu
puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan
tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan
produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at


dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada
masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam
perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang
payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru
saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan
kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan
pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan


pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi
justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status
quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang,
Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai
alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan
usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena
justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN

Metodologi Rahman --seperti telah disebutkan di atas--


bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh
makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami
sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak
kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh
gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat
Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial
ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu


itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali
ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan
historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut
dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat
membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah
sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam
buku ini (h. 224), para orientalis --lewat "analisis
sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh
Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab


al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi
--pada saut yang sama-- "menilai bahwa literatur asbab
al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan
kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab
Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap
hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja",
bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai
prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh


para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab
al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu,
sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik
rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang
bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara
dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan
dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa
al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan
dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab
wahid).

Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak--


adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan
dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat
digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi
ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik
(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh).
Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam
situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga
khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek
legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw.
meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang
itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa
kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup
atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat
disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah
kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan
mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum
Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu
menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih
hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush
al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini
oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab
al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis
sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga
tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk
menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur'an
("ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio
legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman
menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab
al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi
sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga


kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara
gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum
merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan
komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai
masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat
ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika
manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi
membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah
Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya--
bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas
informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr.


Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69),
tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91).
Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang
pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah
diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena
sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman
ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash
bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras).
Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat
menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang
terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah,
kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia,
karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat


pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia
bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di
tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang
Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,"
kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir,
Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal
masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh
sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan
oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara
yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah
minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah


al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian
--baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa
(al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan
Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana
ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya
kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada
dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun
dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan


kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash
menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya
tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini
saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa
semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya
mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah
tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk
khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai
penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia
tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat
itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat
duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr
diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih
tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri
dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut
riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan


hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena
basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang
harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang
kurang diperhatikan Rahman).

------------------------------------------- (bersambung 10/10)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (10/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

CATATAN

1.Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari,


Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar
al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah
al-Salafiyah.

2.Fath al-Bari, 1:457

3.Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai "orang yang


berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan
meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini
orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar,
yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya
tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak
melihatnya seperti orang buta", al-Ishahah fi Tamyiz
al-Shahabah, 1:10

4.Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut,


Dar al-Fikr, hal. 250.

5.Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul


al-Syari'at, Mathba'ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat
al-Qur'an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya,
Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi
al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat
melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-'Ammah fi al-Fiqh
al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.

6.Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa


Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata,
"Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas
'ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah.
Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan
kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan
ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana
dapat dibayangkan adanya 'ishmah, padahal mereka boleh
ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma'shum ikhtilaf?
Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya
bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan
Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya
dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan --dalam masalah
ijtihad-- agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya
masing-masing."

7.Taqdimah al-Ma'rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil,


Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai 'Udul-nya sahabat,
Ibn Hajar berkata, "Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa
sahabat seluruhnya 'udul, tak ada yang menentang hal ini
kecuali orang-orang bid'ah yang menyirnpang" (Al-Ishabah
1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang
'udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga).
Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma'rifat
al-Shahabah, 1:3, menulis, "Sahabat sama seperti perawi
hadits yang lain kecuali satu hal --pada mereka tidak
berlaku jarh dan ta'dil, sebab mereka semna 'udul, tidak
dikenai celaan." Begitu "sucinya" para sahabat itu
sehingga Abu Zar'ah menulis, "Siapa yang mengkritik
salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis)." Lihat
Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam
sesudah Bai'at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh
disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, "Seluruh
sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman,
petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak
seorangpun masuk neraka." (Saya kutip lagi dari Muhammad
'Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo,
Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).

8.Muhammad Ibrahim Jannati, "Ra'y Gera'i Dar Ijtihad",


dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara'i, "Ijtihad and the
Practise of Ra'y", dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408;
hal. 57-58.

9.Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan


al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim,
1:349.

10.Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad


al-Ma'ad 1:177-225.

11.Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam


Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.

12.Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan


al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur
1:279.

13.Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam


al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan
al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari
12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9.
Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak
lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.

14.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.

15.Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih


fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.

16.Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur


6:74; Kanz al-Ummal 1:185.

17.Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib


al-Islamiyah", dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah,
Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.

18.Ibn Qayyim al-Jawziyyah, "I'lam al-Muqi'in, Mesir:


Mathba'ah Sa'adah, tt 1:63-64.

19.Al-Syatibi, "Al-'Itisham. Saya kutip lagi dari Abu


Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

20.Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan


mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak
ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib),
Al-Ahzab 33 (tentang 'ishmah ahli bait), Al-Syura 23
(tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara
hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits
Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu
berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya
Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna
dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab
Fadhail al-Shahabat", Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi
2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain
3:109, Kanz al-'Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits:
"Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi
umatku" (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya
di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil
oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini
al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab
Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.

21.Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.

22.Shaih al-Bukhari, "Kitab al-'Ilam", 1:22. Lihat juga


Shahih Bukhari, "Kitab al-Jihad", dan Kitab al-Jizyah",
Shahih Muslim Bab "Tark al-Wasyiyyah" Musnad Ahmad,
hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa'ad 2:244, Tarikh
Thabari 3:193.

23.Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-'Ummal, 1:174.

24.Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.

25.Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.

26.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.

27.Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah 'Umar

28.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.

29.Lihat "Kontroversi sekitar Ijtihad 'Umar r.a", dalam


Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.

30.Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa


al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat
pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297;
Al-Durr al-Mantsur 3:252.

31.Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319;


Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.

32.Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir


al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur'an dari Al-Jahshash 3:60
62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.

33.Al-Muwaththa', 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam


al-Qur'an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla' 9:622;
Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117;
Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir
al-Syawkani 1:418.

34.Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa'


1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina
pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat
di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat.
Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian
meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154,
Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan
al-Baihaqi 3:126.

36.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68,


Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan
al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi
1:429, 3:192, 205.

37.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349;


Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan
al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir
al-Wushul 1:282.

37.Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.

38.Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri


dalam al-Anshab 5:26.

39.Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani


dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar.
"Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat
mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang
mendengarkan khutbahnya."

40.Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung:


Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan
(1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara
konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya
berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang
menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau
terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali;
(2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan
aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut
sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim
sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini
adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma' berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat
bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau
sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama adalah identik dengan ijma'.

41.Syibli Nu'mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka,


1404, hal. 532.

42.Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar


Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.

43.Shahih Bukhari, "Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah," Kitab


Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450;
2:401.

44.Shahih Bukhari, "Bab I: Al-Hawah", Kitab Al-Riqaq.


Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, "Bab
Itsbat", Kitab Al-Fadhail.

45.Syarh Al-Muwaththa', 1:221; Tanwir Al-Hawalik,


1:93-94.

46.Al-Imam Al-Syafi'i, Al-Umm, 1:208.

47.Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha


Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.

48.Jami'Bayan Al-' Ilm, 2:244.

49.Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi


2:68; Kanz al-'Ummal, 8:143.

50.Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.

51.Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al


Thabari, 1:79.

52.Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud 'ala al-A'rdh, Dar Al


Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan,
berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah
bahwa disamping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti
Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain
di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua
hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim
dari Khabab bin Al-Arat, "Kami mengeluoh kepada
Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga
tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi,
Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas
tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini,
dalam Al-Nihayah, berkata, "Para fuqaha menyebut
peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para
sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika
akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi
mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan
apa yang mereka alami, Nabi saw. mengizinkan mereka
sujud di atas pakaian mereka itu.

53.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal.


257.

54.Shahih Al-Bukhari, 3:124, "Bab Walladzi Qala li


Walidaihi", Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga
biografi Al-Haban bin Al-'Ash pada Al-'Isti'ab, Usud
Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh
Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin
Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.

55.Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah


wa Al-Nihayah, 3:40.

56.Ibn Katsir, ibid., 7:214

57.Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.

58.Shahih Muslim, bab "Man La Ha'arahun Naby", Kitab


Al-Birr wa Al-Shilah.

59.Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats


Al-'Arabiy, juz I.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (1/2)
oleh Nurcholish Madjid

Kita telah membicarakan garis perkembangan pemikiran sistem


hukum Islam --yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh-- sejak
dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para
Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di
masa para imam madzhab. Sampai dengan masa itu, yang kita
saksikan dalam sejarah perkembangan fiqh ialah dinamika dan
kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik
dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Keadaan demikian itu dilukiskan K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dari Tebuireng:

Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan


dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah
saw (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang
pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun
dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling
menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacat. Demikian
pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam
banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam
al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah meridlai
keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar
enam ribu, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan
gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah, namun tidak
seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak
seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun
dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat.
Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung
sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala
kebaikan mereka itu.[1]

K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut, terjadi banyak perbedaan


pendapat antara para tokoh intern madzhab sendiri pada
saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam
al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar
dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka, namun "tidak
seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun
dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat,
bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai,
berpersaudaraan, dan saling menolong." [2]

Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar


abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan
perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam itu
menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa
sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan
mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient).
Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya,
tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan
mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada
bukanlah pemikiran Imam al-Syafi'i itu an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun tetap berwatak "kesyafi'ian" namun
dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi
tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah
"madzhab," yaitu suatu kesatuan pemikiran yang tumbuh dan
berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang,
namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang
sebagai ikut bertanggungjawab. Penilaian ini lebih-lebih
beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal
pengembangan madzhab tersebut semasa hidupnya sendiri sering
mengisyaratkan keengganan menjadi pusat pengikutan. Jadi
sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam
madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta
perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu,
menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada.

Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para


pengikut tokoh yang kelak disebut "imam madzhab" tersebut.
Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian
intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan
tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak
dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi',
al-Buwaythi, al-Muzni, dan lain-lain dari kalangan para
penganut madzhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari
madzhab-madzhab yang lain.

Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat


kreativitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah.
Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas
syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana
traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang
muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah
ketenangan dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai,
tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau
kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka
"beli" dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual
dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya
ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam
penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam madzhab
dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah "final,"
dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai
berlaku "sekali dan untuk selamanya". Ditambah lagi dengan
keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai
kehilangan "elan vital"-nya antara lain karena banyaknya
serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan
dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian
lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas pemikiran tidak
berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan
penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga
terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai
permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak,
berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain,
khususnya bangsa-bangsa Eropa.
SYARAH DAN HASYIYAH

Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan


seorang Muslim memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang
ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang
taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung,
merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa
sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena
situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu
madzhab seperti itu dapat dibenarkan. Begitu pula larangan
mencampuradukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian
dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam
praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam
paham (seperti, misalnya, mengenai suatu hukum tertentu
seseorang cenderung mencari yang mudah dan ringan dari
berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal
sebenarnya hukum itu).

Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan


mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu
dilakukan-- secara tersirat mengandung doktrin bahwa suatu
pemikiran madzhab adalah suatu kesatuan organik yang tidak
boleh dipisah-pisah. Pemisahan itu akan menghasilkan
inkonsistensi, dan yang terakhir ini tentu berakibat kepada
masalah istiqamah atau keteguhan dan keikhlasan dalam
beragama. Tapi konsekuensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana
telah disinggung tadi-- hilangnya kreativitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula kemampuan
memberi responsi pada keadaan masyarakat nyata (historis) yang
senantiasa berkembang dan berubah.

Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual yang


muncul, ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis berupa
kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang
dipandang sebagai matan (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah
serupa ini paling banyak terjadi dalam pemikiran judisial,
tetapi sesungguhnya juga merambah ke berbagai cabang ilmu
keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.

Tapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi pseudo-ilmiah


dalam masa kemandekan intelektual ini. Sebuah karya sparah
membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga
merupakan "elaborasi atas elaborasi," yang biasanya disebut
hasyiyah.
(bersambung 2/2)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM (2/2)
oleh Nurcholish Madjid

Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan


hasyiyah itu, berikut ini adalah contoh kutipan dari matan
kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab fiqh yang paling standar. di
pesantren-pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam
kitab Fat'h al-Qarib, juga sangat standar di
pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab
al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:

Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air
langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. [3]

Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada


tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu
hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang
tawar (air sumur, air sumber, air salju dan air embun) dan
tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda "Apa yang turun
dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan
bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptann. [4]

Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau


elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya
(tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali,
maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang
menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu "air
sungai" saja):

Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam


pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nahr)
dengan fa'thah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih
dan al di situ adalah untuk jenis, maka ia mencakup Nil dan
Furat dan sebagainya, dan asalnya dari surga sebagaimana hal
itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya
diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan
Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham
menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka
keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan
adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua
sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna
firman Dia Yang Maha Tinggi "Dan Kami turunkan dari langit air
dengan takaran tertentu" maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan
Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia
Yang Maha Tinggi "Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa
untuk menghilangkannya." [5]

Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan


harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut
keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat
merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca
"kitab gundul," jika mereka tidak terlatih membaca dalam
konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi
gambaran tentang ungkapan "ilmiah" masa kemunduran itu yang
tidak dapat disebut mengagumkan, jauh di bawah ukuran masa
kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili karya-karya
Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dan
sebagainya.

Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa


dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham
keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan
sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari
Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan
pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya
Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Mogog) yang tersebut dalam Kitab
Suci al-Qur'an [6], yang pada saat itu akan diangkat
sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai
tafsir atas ayat suci al-Qur'an pula. [7]

KESIMPULAN

Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat


berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan
struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam,
sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum
Muslim. Dan dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah
"habis," dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang
diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak
dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi
secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah
oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan,
yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat
Laut, bangsa-bangsa pelopor umat manusia masuk Zaman Modern.

Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat


Islam terkena penyakit "puas diri", akibat dominasi mereka
atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam
perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang
berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa
Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika
mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di
bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu,
keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah
kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang
belum mencapai tujuan yang dimaksud.

Tapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan


yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang
biasanya diletakkan dalam bracket "kebangkitan Islam", dapat
diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya
lebih baik daripada sekarang, apalagi daripada masa
obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin
relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: "Tidak akan
menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah
membuat baiknya umat terdahulu." [8] Sementara banyak tafsiran
yang berbeda-beda tentang apa "yang membuat baik umat
terdabulu," namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban
Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang
membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang
dalam ungkapan kontemporer dinamakan "Etos Ilmiah".

Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus


memandang ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu
hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir
perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada
pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tapi perbatasan atau
frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang
tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk
ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan
orisinalitasnya. [9] Semuanya itu memerlukan suasana yang
bersifat kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti
dikemukakan KH. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan
saling menghargai dalam perbedaan.

CATATAN

1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at


al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at
Nahdlat al-'Ulama, tt.). h. 11. (Risalah ini ditulis pada
1360 H atau 1941 M).

2. Ibid., h. 12.

3. Abu Syuja' Ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa


al Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.

4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang:


Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.

5. Al-Syaykh Ibrahim al-Hajuri, Hasyiyat al-Hajuri (Semarang:


Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.

6. Lihat Q.s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al


Qarnayan)

7. Lihat Q., s. al Mu'minun/23:18.

8. "La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi


awwaluha."

9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman


Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus,
sementara dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada
mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya
kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal.
Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak
mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. "Katakan, 'Kalau
seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku,
maka lautan itu akan habis sebelum Kalimat Tuhanku habis,
meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula." (Q., s. al
Kahf/18:109).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
VI.21. SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (1/3)
DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid

Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang


lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.

Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum


Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).

Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini


bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.

Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara


kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.

Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab


terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.

Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang


sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]

Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin


tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.

WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN

Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan


langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.

Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para


Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.

Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre


kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.

Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam


yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,

...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan


zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]

Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar


bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,

Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari


berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).

Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi


bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]
(bersambung 2/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.21. SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (2/3)
DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid

Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum


Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi
sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke
zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat
rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak
tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan
'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat
Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau
"Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
"solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah
Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.

DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK

Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa


kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
"kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum Muslim
dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
dan 'Umar (zaman al-Syaykhani, "Dua Tokoh") yang amat
dirindukan orang banyak, termasuk para "aktivis militan"
yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori
pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah
itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi "koalisi" itu
mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu
tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau
Tradisi (dengan "T" besar) yang berpusat di Madinah dan
Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung
dari rezim Damaskus.

Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan


keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang
Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya
dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz
(Makkah-Madinah) dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi
(ra'y)-nya. Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan
oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,

Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian


fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya, sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang
cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
"petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan
akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.

Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,


menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau
menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal
banyak dari mereka (para Sahabat) yang datang kemudian
sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu
kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...

Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem


pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak
mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh
mereka itu pun masih lebih sedikit daripada yang ada di
Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
ada di Hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan
terlatihnya mereka itu kepada penalaran, adalah lebih luas
dan lebih banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada
penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai
untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan
kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]

Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah


("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak berpegang kepada
penuturan masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y ("Kelompok Penalaran",
dengan isyarat tidak banyak mementingkan "riwayat"),
sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya intelektual
masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti
karakteristik umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong
"Kelompok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak,
kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok
hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasry',
apakah itu penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak
tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun
masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua
katagori tersebut. Ini semakin memperkaya pemikiran hukum
zaman Tabi'in.

IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB

Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma' al-Buhuts


al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas al-Azhar,
Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah ijtihad
mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang
benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat
seorang Sahabat Nabi, yang diduga bersandar kepada Sunnah
yang karena beberapa sebab Sunnah itu tidak muncul
sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih
zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk
muncul. Misalnya, perubahan situasi politik, dengan
perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun
sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan
dengan hukum, banyak berorientasi kepada preseden-preseden
para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi. Sikap
berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum 'Abbasi berarti
pengukuhan legitimasi politik dan kekuasaan mereka
(dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi, dan dihadapkan
kepada oposisi kaum Syi'ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
bagi perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan
Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak
jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan
Umawi. Kini usaha ini memperoleh dorongan baru, dan
merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan,
baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. [5]
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosial-politik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir,
Persi, dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan
bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya,
bidang kajian hukum Islam atau fiqh. Merekalah para
pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para calon
imam madzhab itu.

Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan


suatu aliran pikiran (yakni, madzhab, school of thought)
dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua aliran pokok:
Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup
berarti, dan cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
tercermin dalam ketokohan sarjana atau 'ulama' yang
mendominasi suasana intelektual suatu tempat, seperti
dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri' al-Islami.

Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:

1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun


kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
dengannya. Wafat pada 94 H.

2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa


kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
istri Nabi saw. wafat pada 94 H.

3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam


al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
Quraysy). Wafat pada 94 H.

4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.


Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.

(bersambung 3/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.21. SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (3/3)
DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
oleh Nurcholish Madjid

5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.


Belajar dari 'Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan
lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia
juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah
'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Wafat pada 98 H.

6.Salim ibn 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari ayahnya


sendiri, juga dari A'isyah, Abd Hurayrah, Sa'id ibn
al-Musyyaib, dan lain-lain. Wafat pada 106 H.

7.Sulayman ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.)


Belajar dari patronnya sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu
Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan sebagainya. Wafat
pada 107 H.

8.Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari


'A'isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn 'Umar, dan
sebagainya. Wafat pada 106 H.

9.Nafi', klien 'Abd-Allah ibn 'Umar. Belajar dari patronnya


sendiri, dan dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
Diutus oleh 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar
Sunnah. Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.

10.Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan Ibn Syihab


al-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari 'Abd-Allah ibn
'Umar, Annas ibn Malik, Sa'id ibn al-Musayyaib, dan
sebagainya. Mendapat perintah dari 'Umar ibn 'Abd-al-Aziz
untuk mencatat Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan
resmi pertama pembukuan Hadits.

11.Abu Ja'far ibn Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn, yang


dikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah imam kelima kaum
Syi'ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabir
dan 'Abd-Allah Ibn 'Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai
"Kepala Bani Hasyim" di zamannya. Wafat pada 114 H.

Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:

1.'Abd-Allah ibn, 'Abbas ibn 'Abd-Muthalib. Lahir dua tahun


sebelum Hijrah, dan pernah dibacakan do'a oleh Nabi agar
mempunyai pemahaman mendalam (tafaqquh) dalam agama. Beliau
diajar tentang ta'wil. Dianggap Bapak Ilmu tafsir al-Qur'an.
Belajar banyak dari 'Umar, 'Ali dan Ubay ibn Ka'b. Wafat di
Thaif pada 68 H.

2.Mujahid ibn Jabr, Klien Bani Makhzum. Belajar dari Sa'd,


'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, dan lain-lain. Wafat
pada 103 H.

3.'Ikrimah, klien Ibn 'Abbas. Belajar dari Ibn 'Abbas,


'A'isyah, Abu Hurayrah, dll. Pernah menyatakan ia sependapat
dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.

4.'Atha ibn Rabbah. Belajar dari 'A'isyah, Abu Hurayrah, Ibn


'Abbas, dan sebagainya. Disebutkan berkulit hitam kelam,
yang fasih dan luas pengetahuan. Sangat banyak mendapat
pujian dari para 'ulama' yang lain, termasuk mereka yang
hidup sezaman. Wafat pada 114 H.

Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:

1.'Alqamah ibn Qays al-Nakha'i. Lahir di masa Nabi masih


hidup, dan belajar dari 'Umar, 'Utsman, Ibn Mas'ud, 'Ali,
dan lainnya. Murid terkemuka Ibn Mas'ud. Wafat pada 62 H.

2.Masruq ibn al-Ajda' al-Hamdani. Belajar dari 'Umar, 'Ali,


Ibn Mas'ud, dan sebagainya. Wafat pada 63 H.

3.Al-Aswab ibn Yazid al-Nakha'i, dan

4.Ibrahim ibn Yazid al-Nakha'i. Keduanya bersaudara, dan


sama-sama tampil sebagai sarjana terkemuka. Kedua-duanya
wafat pada 95 H.

5.'Amir ibn Syarahil al-Sya'bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi'in


yang paling terkemuka. Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar
dari 'Ali, Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas, 'A'isyah, Ibn 'Umar,
dan sebagainya. Cukup menarik bahwa al-Sya'bi tidak suka
kepada metode qiyas (analogi) yang menjadi ciri Ahl al-Ra'y
yang dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.

Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:

1.Anas ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia


Sahabat Nabi sejak Hijrah sampai wafat. Karena penampilannya
sebagai sarjana dan peranannya dalam mendidik para Tabi'in
maka ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari
Nabi juga banyak belajar dari Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman,
Ubbay, dll. Wafat pada 90 H.

2.Abu al-'Aliyah Rafi' ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari


'Umar, Ibn Mas'ud, 'Ali dan 'A'isyah. Wafat pada 90 H.

3.Al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit.


Dibesarkan di Madinah dan menghafal al-Qur'an di zaman
'Utsman. Seorang pejuang yang terkenal berani, di samping
seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110 H.

4.Abu al-Syaitsa', Jabir ibn Zayd, kawan Ibn 'Abbas. Banyak


belajar dari kawannya sendiri itu. Wafat pada 93 H.

5.Muhammad ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar dari


patronnya, kemudian dari Abu Hurayrah, Ibn 'Abbas dan Ibn
'Umar. Wafat pada 110 H.

6.Qatadah ibn Da'aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia


juga ahli bahasa, sejarah dan geneologi (al-nasab). Wafat
pada 118 H.

Dari daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli hukum tampil,


seperti 'Abd-al-rahman ibn Gahnim al-Asy'ari, Abu Idris
al-Khulani, Qabishah ibn Dzu'ayb, Makhul ibn Abi Muslim,
Raja ibn Hayah al-Kindi, dan lain-lain. Namun yang paling
penting dari para sarjana Syam itu ialah Khalifah 'Umar ibn
'Abd-al-'Aziz, terkenal sebagai 'Umar II dan banyak
dipandang sebagai yang kelima dari al-Khulafa' al-Rasyidin,
Dialah yang mengukuhkan tarbi, (mengakui empat Khalifah
pertama: Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali) dan mensponsori
secara resmi (kenegaraan) usaha penulisan Sunnah atau
Hadits. Dia wafat pada 101 H.

Mesir saat itu belum menjadi tandingan tempat-tempat yang


tersebut di atas. Kota Kairo belum ada (baru didirikan oleh
Dinasti Fathimiyah kelak, bersama Masjid-Universitas
al-Azharnya), dan ibukota Mesir ialah Fusthath yang
perkembangannya tidak terlalu pesat seperti lain-lain.
Walaupun begitu telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa
sarjana terkemuka, seperti 'Abd-Allah ibn al-'Ash (wafat
pada 65 H.), 'Abd-al-Khayr ibn 'Abd-allah al-Yazani (wafat
pada 90 H.), Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut sebagai
pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).

Di Jazirah Arabia sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak


muncul sarjana-sarjana dengan pengaruh yang jauh keluar dari
batasan daerahnya sendiri. Mereka itu, antara lain, Thawus
ibn Kaysan al-Jundi (wafat pada 106 H.) yang belajar dari
Zayd ibn Tsabit, 'A'isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.
Kemudian Wahb ibn Munabbin al-Shan'ani, yang belajar dari
Ibn 'Umar, Ibn 'Abbas, Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114 H.
Selanjutnya ialah Yahya ibn Abi Katsir yang menurut
sementara 'ulama' yang lain seperti Syu'bah dianggap lebih
ahli tentang Hadits daripada al-Zuhri tersebut. [7]

Para tokoh ahli hukum itu dan kegiatan ilmiah serta


pengajarannya telah mendorong tumbuhnya para spesialis hukum
angkatan berikutnya, seperti al-Awza'i, Sufyan al-Tsawri,
al-Layts ibn Sa'd, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya,
telah melapangkan jalan bagi tampilnya para imam madzhab
yang sampai saat ini pengaruhnya masih amat kukuh seperti
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal.

CATATAN

1.Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri'


al-Islami (Kairo: al-Dar al-Qawmiyyah. 1949), hh. 7fe7).

2.Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan


1968/1388), jil. I h. 13.

3.Ibid., h. 17.

4.Al-Syaykh 'Ali al-Khafifi, "Al-Ijtihad fi 'Ashr al-Tabi'in


wa Tabi'i 'l-Tabi'in," dalam Al-Ijtihad fi al-Syari'at
al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami'at al-Imam Muhammad ibn Su'ud
al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 224-5.

5.Ibid., h. 223.

6.Ibid. h. 222.

7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini,


lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri'
al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


IV.28. FIQH DAN REAKTUALISASI AJARAN ISLAM

Oleh Atho' Mudzhar

Sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang


kita kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab
fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama,
dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim.
Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri
khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri
pula.

Fatwa-fatwa ulama atau mufti, sifatnya adalah kasuistik karena


merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam
arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa
yang diberikan kepadanya, tapi fatwa biasanya cenderung
bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan
baru yang sedang dihadapi masyarakat si peminta fatwa. Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tapi sifat responsifnya
itu yang sekurang-kurangaya dapat dikatakan dinamis.

Jenis produk pemikiran Islam yang kedua, adalah


keputusan-keputusan pengadilan agama. Berbeda dengan fatwa,
keputusan-keputusan pengadilan agama ini sifatnya mengikat
kepada pihak-pihak yang berperkara, dan sampai tingkat
tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi
jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan
pada suatu titik waktu tertentu.

Jenis produk pemikiran hukum ketiga, yaitu peraturan


perundangan di negeri Muslim. Ini juga bersifat mengikat atau
mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam
perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama,
tapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya.

Jenis produk pemikiran hukum keempat, ialah kitab-kitab fiqh


yang pada saat di tulis pengarangnya, kitab-kitab itu tidak
dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri,
meskipun dalam sejarah kita mengetahui, beberapa buku fiqh
tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang.
Kitab-kitab fiqh ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk
digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya
masa laku ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus
berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang lalu
dianggap sebagai jumud atau beku alias tidak berkembang.
Selain itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain.
Kalau fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik
--yaitu membahas masalah tertentu-- maka kitab-kitab fiqh
sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek bahasan hukum
Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh
ini, maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab
fiqh dianggap dapat, atau akan mengganggu keutuhan isi
keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi
resisten terhadap perubahan.

Inilah kedudukan kitab fiqh sebagai salah satu bentuk produk


pemikiran hukum Islam dan karakteristik serta
kecenderungan-kecenderungannya dibanding dengan produk-produk
pemikiran hukum lainnya: fatwa, keputusan pengadilan agama,
dan peraturan perundangan negeri Muslim. Dengan cara
meletakkan fiqh pada proporsinya yang demikian itu maka
diharapkan kita akan memperlakukannya secara proporsional
pula, seperti pertama, fiqh hanyalah salah satu dari beberapa
bentuk produk pemikiran hukum Islam. Kedua, karena sifatnya
sebagai produk pemikiran, maka fiqh sebenarnya tidak boleh
resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. Dan
ketiga, membiarkan fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak
mempunyai batasan masa lakunya, adalah sama dengan
menghalalkan produk pemikiran manusia yang semestinya
temporal.

SIKAP MUSLIM TERHADAP FIQH

Setelah kita melihat bagaimana seharusnya memandang fiqh,


sekarang kita lihat bagaimana dalam kenyataan, masyarakat
memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan, sebelum kita mencoba
memberi analisa lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh, dan
saran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka reaktualisasi
ajaran Islam.

Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam


Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan
hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai
akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu
sendiri. Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh
dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan
adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka
kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk
keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya,
selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang
sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari
produk pemikiran keagamaan.

Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan


dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang biasanya
disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan tinggi, bukan saja
sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi
sebagai penjaga hukum agama itu sendiri. Secara sosiologis
kedudukan demikian itu memberi hak-hak istimewa dan peranan
tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada
gilirannya akan mempengarahi cara pandang dan cara pikir
fuqaha itu sendiri. Ketika seorang faqih dari suatu masa
menuliskan tintanya menjadi kitab fiqh, maka sebenarnya itu
tidak terlepas dari cara pandang dan cara pikirnya yang
sebagian atau seluruhuya diwarnai oleh kedudukan sosialnya
tadi.

Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati: bahwa


untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang
disebut faqih atau fuqaha, dan untuk memelihara status diri
mereka, maka para fuqaha memerlukan kehidupan fiqh yang
tinggi. Kadang-kadang fiqh yang dipeliharanya itu adalah
produk para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya
sendiri. Ironisnya, produk-produk pemikiran fiqh itu dianggap
sebagai identik dengan hukum Tuhan itu sendiri, sebagaimana
telah disebutkan di muka. Demikian kesalahpahaman yang terjadi
di kalangan sementara orang Islam, tidak terkecuali di
Indonesia, dalam memandang fiqh. Kekeliruan ini rasanya perlu
diperbarui dan dibetulkan, dan untuk itu terlebih dahulu perlu
dipahami faktor-faktor apa sebenarnya mengakibatkan kekeliruan
tersebut.

EMPAT PASANGAN PILIHAN

Terdapat sejumlah pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi


pandangan seseorang tentang fiqh, empat diantaranya akan
disebutkan dan diuraikan di sini. Keempat pasangan pilihan
tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pilihan Wahyu dan Akal

Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui,


terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab,
dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan
menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama
adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadits dalam
memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka
yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian
dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl
al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan
dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang
di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah.

Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang


berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi
tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok
kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional.
Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua
kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau
sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.

Jadi sejak awal pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang


berpendirian, aturan yang disebut hukum Islam itu tidak boleh
terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu adalah
kebenarannya mutlak yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun
pandangan ini bersifat utopis karena kenyataan, jumlah ayat
al-Qur'an mengenai hukum itu hanya sedikit sekali (kurang
lebih 276-500 ayat), dan karenanya tidak meliput semua aspek
kehidupan manusia, apalagi aspek-aspek kehidupan yang
merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini
telah mempunyai pengaruh dalam memberikan label bahwa produk
pemikiran fiqh itupun merupakan upaya menafsirkan kehendak
Tuhan yang bersifat abadi dalam bidang hukum. Inilah yang
menyebabkan lahirnya pandangan yang telah membiarkan fiqh
sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu
dan cenderung mengekalkan produk pemikiran manusia yang
semestinya temporal dan liable terhadap perubahan. Kesalahan
dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih
tepatnya kesalahan dalam memberikan porsi peranan wahyu dan
akal ternyata telah membawa pada kejumudan fiqh itu sendiri
yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam
yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh
jilid, sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus
ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan
pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik
dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun
menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam
melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan
akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah
perkembangan --atau lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh.

2. Pilihan Kesatuan dan Keragaman

Pasangan pilihan kedua adalah, antara hukum Islam sebagai


kesatuan dan hukum Islam sebagai keragaman. Hukum Islam
sebagai kesatuan artinya, karena hukum Islam itu adalah hukum
Tuhan maka semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam
saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam di
dunia. Tapi pada kenyataan kita melihat, fiqh yang dipandang
identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui
terdapat berbagai madzhab dalam fiqh. Sekarang kita melihat
madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam,
tapi dulunya lebih merupakan ekspresi lokal. Demikianlah
perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara
pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan
pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular . Kita
mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah
mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai
hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan.

Bagi kita kaum Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum


Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk
fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu
masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita
pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan
atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh
yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan
ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi,
selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu
mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya
kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab
yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang
universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hukum
Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya
perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini.

3. Pilihan Idealisme dan Realisme

Pasangan pilihan ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan


fiqh adalah pilihan antara idealisme dan realisme, antara
cita-cita dan kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa
kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist,
atau para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan
agama. Bahkan kita mengetahui banyak fuqaha menolak jabatan
qadi atau hakim, meskipun untuk itu mereka harus masuk
penjara. Ini berarti --sejarah telah membuktikannya-- fiqh
pada umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada
praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang
dihasilkannya lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal
daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal
yang maksimal daripada minimal.

Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu,


ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan
masyarakat. Ini telah terjadi pada saat kitab fiqh itu
dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote
dari masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun
tempat.

4. Pilihan Stabilitas dan Perubahan

Pasangan pilihan keempat adalah pilihan stabilitas dan


perubahan. Pasangan pilihan ini sebenarnya tidak sepenuhnya
berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari pilihan pada
pasangan-pasangan sebelumnya. Karena hukum Islam harus hanya
ada satu, maka secara konseptual hukum Islam tidak menerima
adanya variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti hukum Islam
itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan.
Sebagai akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan resisten
terhadap perubahan.

Kebekuan fiqh itu, sebagaimana disebutkan di muka, telah


berlangsung selama berabad-abad. Baru pada abad ke-19
terdengar suara-suara untuk melakukan perubahan terhadap fiqh
yang ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan yang pahit
dengan peradaban Barat, mulai mencoba melakukan revisi
terhadap fiqhnya, dengan mengintrodusir dan memperbaharui
peraturan perundangan, khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal
ini terjadi di Tunisia, Mesir, Siria, dan Irak. Bahkan Saudi
Arabia pun dalam banyak hal telah mulai melakukan suplemen
terhadap hukum-hukum fiqh Hambali yang umumnya terlalu
literalis.

LANGKAH-LANGKAH REAKTUALISASI

Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di


dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan menetapkan
pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas, atau
sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot
masing-masing pilihan itu. Fiqh telah dipandang sebagai
ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai
ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam
bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi
kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih
stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan
kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.

Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam,


khususnya dalam bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam
bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut
di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal
ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diotak-atik, dirubah atau
bahkan dibuang pada setiap saat. Fiqh harus dipandang sebagai
varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang
terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari
yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek
kata, fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang
tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya
karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang
dari agama. Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat
diperlukan beberapa syarat, sedikitnya ada tiga syarat yang
harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan
tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua,
adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil
pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan
pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor
sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami
partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan
demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran
hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian
dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Atho' Mudzhar, Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum


Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991.

Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law (The


University of Chicago Press, Chicago, 1969).

Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the


Orientalists (Islamic Publications Ltd., Pakistan, 1977).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.35. MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN (1/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita


reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan
mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur'an dari Juz 'Amma,
yaitu surat al-Ma'un (QS 107). Surat itu sendiri sudah
merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para
imam shalat, dan termasuk yang sering dibaca dalam shalat itu.
Tetapi, sampai dengan tampilnya Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyahnya, kaum muslim Indonesia seperti tidak pernah
tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak
pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal
gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti
Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya. Seperti kita ketahui,
surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:

Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang


mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang
miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang shalat,
yaitu mereka yang akan shalat tetapi lalai, yaitu
mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan
memberi pertolongan. [1]

Jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat


terjadi dalam sikap keagamaan kita jika kita tidak memiliki
komitmen batin kepada usaha-usaha, yang menurut istilah
sekarang, menegaskan keadilan sosial. Disebutkannya anak yatim
dan orang miskin, adalah karena mereka merupakan
kelompok-kelompok sosial yang paling memerlukan usaha bersama
untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim dan orang miskin
mewakili seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh
berbagai sebab dan cara.

Penilaian diri kita sebagai pendusta agama atau beragama


secara palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin
diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak
seperti menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan
tidak mewujud-nyatakan hikmahnya. Dikatakan semakin diperburuk
karena kepalsuan kita dalam beragama memperoleh bungkus
kebajikan berupa amalan ibadat lahiriah, dan bungkus itu
dengan sendirinya akan mempunyai dampak penipuan. Karena
itulah Allah mengutuk orang yang menjalankan ibadat formal
serupa itu namun ia lupa atau lalai akan ibadat mereka
sendiri. Artinya, sementara kita mungkin rajin menjalankan
ibadat-ibadat formal seperti shalat, namun ibadat itu tidak
mempengaruhi tingkah laku kita yang lebih mendalam, yang
tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur [2]. Sebab
mungkin kita sendiri tidak merasa, kita menjalankan
ibadat-ibadat hanyalah untuk memenuhi kemestian-kemestian
sosial kultural semata, seperti kemestian yang ada pada pola
pergaulan dalam suatu kelompok, misalnya, "kelompok
orang-orang Islam." Artinya, kita melakukan ibadat karena
menghayati bahwa shalat adalah perintah Allah lalu tidak
menghayati apa makna shalat itu yang lebih mendalam dan luas.
Jadi sesungguhnya kita menjalankan ibadat itu karena pamrih
atau riya', sekurang-kurangnya mungkin sekali kita sekedar
pamrih kepada sesama anggota kelompok Islam. Indikasinya ialah
keseganan untuk berkorban guna memberi pertolongan kepada
orang yang perlu, biarpun sedikit. [3]

AGAMA DAN AKHLAQ

Surat al-Ma'un memperingatkan kita bahwa beragama dengan tulus


tidaklah cukup hanya dengan mengerjakan segi-segi formal
keagamaan seperti shalat, puasa, haji, dll. Keagamaan yang
sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi ibadat, yaitu
budi pekerti yang luhur, yang dibidikkan oleh ibadat itu.
Sebuah Hadits yang amat terkenal mengisyaratkan bahwa tujuan
tugas suci atau risalah dibangkitkannya Nabi s.a.w. adalah
untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. [4] Sejalan
dengan ini Nabi juga menggambarkan bahwa diantara semua
kualitas manusia, tidak ada yang timbangan atau bobot nilai
kebaikannya lebih erat daripada budi pekerti luhur. [5] Lalu
beliau gambarkan bahwa yang paling banyak menyebabkan manusia
masuk surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi. [6]

Penegasan-penegasan Nabi itu merupakan kelanjutan dari ajaran


al-Qur'an tentang apa yang dinamakan nilai kebajikan (al-birr
atau 'amal shalih). Allah swt. menegaskan "Kamu sekalian tidak
akan memperoleh kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian
dari (harta) yang kamu cintai." [7] Dan penegasan-Nya lagi,
yang lebih terinci:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamu


ke timur dan ke barat.Tetapi kebajikan ialah (jika)
orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para
malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi;
dan orang yang mendermakan hartanya, betapapun cinta
orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di
perjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para
budak; dan orang yang menepati janji jika membuat
janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan,
kesusahan dan masa perang. Mereka itulah orang-orang
benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang
berbakti (bertaqwa). [8]

Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar A.


Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya:

Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan


formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang
indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.
Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawa
kebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada
cinta Tuhan dan cinta sesama manusia. Kita diberi empat
pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita
harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan
kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi
warga masyarakat yang baik, yang mendukung
organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita
sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala
keadaan. Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih
dapat dipandang secara terpisah.

Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus


menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita
sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata
kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini
akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat
Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini. Kita
juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan
ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari
kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.

Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai


hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari
motif-motif yang lain. Dalam hal ini, juga, kewajiban
kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang
yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim
(termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup
atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan
pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita
menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum
orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta,
yakni, bukan sekedar pengemis yang malas tetapi orang
yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu
(kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan
budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat
kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan
mereka). Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang
tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di
situ. [9]

Dalam menafsir firman itu, Muhammad Asad menegaskan


bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata
mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi
persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan
wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah
kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan
ayat-ayat sebelumnya.[l0] Dan memang menghadapkan muka
ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal
lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak
seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya
terlupakan.

Jadi, agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual belaka


tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu
juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita
menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal
yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi diri hanya
kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama dengan
peniadaan tujuan agama yang hakiki. Prinsip ini dipertegas
oleh Nabi saw dalam sebuah Hadits mengenai dua wanita:

Abu Hurayrah meriwayatkan prinsip penting yang


diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras
kepada orang yang suka pamer kebajikan palsu dan
kemunafikan dalam menekuni segi-segi forma keagamaan.
Seseorang yang datang kepada Nabi dan menceritakan
tentang seorang wanita yang rajin mengerjakan shalat,
puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menyakiti sanak
keluarganya. Maka Nabi saw bersabda, "Tempat dia di
neraka!." Kemudian orang itu menceritakan tentang
seorang wanita yang kedengarannya jelek, karena ia
melalaikan shalat dan puasa, namun ia rajin memberi
pertolongan kepada orang-orang sengsara, dan tidak
pernah menyakiti hati sanak keluarganya. Maka Rasul saw
bersabda, "Tempat dia di surga."

Seorang tokoh Islam Indonesia, Prof. A. Mukti Ali, pernah


mengatakan bahwa orang-orang Muslim banyak yang lebih peka
kepada masalah-masalah keagamaan daripada masalah-masalah
sosial. Yang dimaksud ialah, banyak orang Islam yang lebih
cepat bereaksi kepada gejala-gejala yang dinilai menyimpang
dari ketentuan lahiriah keagamaan, seperti soal pakaian atau
tingkah "tidak sopan" dan "tidak bermoral" tertentu, namun
reaksi kepada masalah-masalah kepincangan sosial seperti
kemiskinan dan kezaliman masih lemah. Maka Hadits di atas
dapat dirujuk sebagai sebuah ilustrasi tentang apa yang
dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak bahwa Nabi
saw justru lebih peka pada masalah-masalah sosial yang lebih
substantif daripada masalah-masalah formal keagamaan semata
yang simbolik.

TAUHID ESENSI, BUKAN TAUHID NAMA


Dzikr atau ingat kepada Tuhan adalah salah satu bentuk ritus
yang amat penting dalam agama Islam. Sebetulnya dzikir adalah
lebih banyak sikap hati (dzat al-shadr), yang secara langsung
atau tidak, dapat dipahami dari berbagai sumber suci dalam
al-Qur'an dan Sunnah. Namun dzikr juga dapat melahirkan gejala
formal, seperti pengucapan atau pembacaan kata-kata atau
lafal-lafal tertentu dari perbendaharaan keagamaan, khususnya
kata-kata atau lafal yang berkaitan dengan Tuhan seperti
"Allah" dan "La ilaha illa 'l-lah". Selain lafal "Allah"
sebagai lafal keagungan (lafzh al-jalalah) karena merupakan
nama Wujud Maha Tinggi yang utama juga terdapat lafal-lafal
lain yang merupakan nama-nama Wujud Maha Tinggi itu, seperti
al-Rahman, al-Rahim, al-Ghaffar, al-Razzaq, dll, dari antara
nama-nama terbaik (al-asma al-husna) Tuhan.

Dalam Kitab Suci al-Qur'an terdapat sebuah firman yang isinya


petunjuk kepada Nabi saw menghadapi orang-orang musyrik Arab
yang menolak adanya nama lain, selain nama "Allah" untuk Wujud
Maha Tinggi. Sebab pada saat itu al-Qur'an mulai banyak
menggunakan nama al-Rahman, yang selama ini tidak dikenal
orang Arab yang selama ini menggunakan nama Allah (al-Lah).
Karena salah paham, kaum musyrik Arab mengira bahwa Nabi tidak
konsisten dalam mengajarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan mereka yang keliru itu, jika Dzat Yang Mutlak
itu mempunyai nama lain, berarti Ia tidak Maha Esa, melainkan
berbilang sebanyak nama yang digunakan. Maka turunlah firman
Allah, memberi petunjuk kepada Nabi dalam menghadapi mereka:

"Katakan (hai Muhammad), "Serulah olehmu sekalian


(nama) Allah atau serulah olehmu sekalian (nama)
al-Rahman, nama manapun yang kamu serukan, maka bagi
Dia adalah nama-nama yang terbaik". Dan janganlah
engkau (Muhammad) mengeraskan shalatmu, jangan pula kau
lirihkan, dan carilah jalan tengah antara keduanya."
[12]

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.35. MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN (2/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa


manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan
mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang
paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan
sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama
"al-Rahman", selain nama "Allah". [l3] Berkenaan dengan alasan
turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya
Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat,
dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".
Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi
kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu,
ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan,
dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi." Ada
juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum
Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, "Engkau
(Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah
banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa
kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada
Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari,
al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama
"Dia" dalam kalimat "maka bagi Dia adalah nama-nama yang
terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau
"al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat
(Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah
diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau
esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah"
dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya
"Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan


Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena
itu al-Baidlawi menegaskan bahwa pahan Tauhid bukanlah
ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid
yang benar ialah "Tawhid al-Dzat" bukan "Tawhid al-Ism"
(Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama). [l4]

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan


jelas sekali oleh Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan
tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah. Dalam sebuah penuturan, ia
menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara
benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam:

"Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah"


dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah),
dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai
(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa
makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah
apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna
(sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan
menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna
tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai
Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku
(ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan
nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang
dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan.
Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah
suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu,
sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah
sama dengan Dia ..." [15]
Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan
menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai
suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja'far al-Shadiq itu, berarti
kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang
menurut al-Qur'an memang tidak tergambarkan, dan tidak
sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, 'Ali Ibn Abi
Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada
kita Dia mengatakan,

"Allah" artinya "Yang Disembah" (al-Ma'bud), yang


mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya'lahu) dan
dicekam (yu'lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan
tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang
terdinding dari dugaan dan benih pikiran. [16]

Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan,

"Allah" maknanya "Yang Disembah" yang agar makhluk


(aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya
(Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang
Arab mengatakan

"Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung


(tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya,
dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut
(fazi'a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatiri.
Jadi "al-Lah" ialah Dia yang tertutup dari indera
makhluk. [17]

Jadi, menyembah Tuhan sebagai maknanya berarti menyembah Wujud


yang tak terjangkau dan tak terhingga, yang Hakikatnya tidak
dibatasi oleh nama-nama-Nya, betapapun nama-nama itu nama-nama
utama (al-Asma al-Husna). Sebab, betapapun, seperti ditegaskan
oleh Ja'far al-Shadiq yang dikutip di atas, antara nama (ism)
dan yang dinamakan (musamma) tidak identik. Jadi, jangankan
sekedar simbol dan ritus, Nama Tuhan pun, menurut
Hadits-hadits di atas, tidak benar untuk dijadikan tujuan
penyembahan, sambil melupakan Makna dan Esensi di balik Nama
itu. Maka sebenarnya yang boleh dikatakan "ideal" dalam
kehidupan keagamaan ialah jika ada keseimbangan antara
simbolisasi dan substansiasi. Artinya, jika terdapat kewajaran
dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama
memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap
ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai
instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi
tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju kepada suatu
nilai yang tinggi).

Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya


kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru
mempunyai nilai intrinsik. Justru segi ini harus ditumbuhkan
lebih kuat dalam masyarakat. Agama tidak mungkin tanpa
simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra
dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada
Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana
keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam
makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam
makna taslim (ucapan,'assalamu'alaikum ...") pada
penutupannya.

CATATAN
1. QS. al Ma'un/107:1-7. Perkataan "yahudldlu" yang
diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal
arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam
Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan
"menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan
"menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir
Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan
Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an,
menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no
urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya
perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri
sendiri" (sebelum mendorong orang lain). Jadi, perkataan
"yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang
tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum
miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian
dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi
dan mendalam kepada orang bersangkutan.

2. Yang diterjemahkan dengan "lupa" atau "lalai" dalam


firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya
(Arab) "sahun". Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah
mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat
yang disebabkan, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab
lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah,
tidak dikutuk. (Lihat, Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah,
4 jilid, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tt.,
Jilid 3, hal. 46). Tapi yang dimaksud dalam firman itu
ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan
shalat mereka sendiri, dalam arti bahwa shalat mereka
tidak mempunyai pengarah apa-apa kepada pendidikan
akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itu
dengan mereka yang tidak menjalankannya sama saja.
Apalagi jika lebih buruk!

3. Jadi bergaya hidup egoistis, tidak peduli kepada


orang lain sekitar, khususnya mereka yang memerlukan
pertolongan. Kata-kata Arab "al-ma'un" yang merupakan
ujung surat dan menjadi nama suratnya dijelaskan oleh
Muhammad asad, berdasarkan berbagai tafsir klasik,
sebagai "comprises the small items needed for one's
daily use, as well as the occasional acts of kindness
consisting in helping out one's fellow-men with such
item. In its wider sense, it denotes "aid" or
"assistance" in any difficulty" (... kata-kata
"al-ma'un" mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orang
dalam penggunaan sehari-hari, juga perbuatan kebaikan
kala-kala berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia
dalam hal-hal kecil tersebut. Dalam maknanya yang lebih
luas, kata-kata itu berarti "bantuan" atau "pertolongan"
dalam setiap kesulitan) -The Message of the Qur'an, hal.
979.

4. Yaitu sabda nabi yang amat terkenal, [tulisan Arab]


"Innama bu'its-tu li-utammim-a makarim-a 'l-akhlaq-i-
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
berbagai keluhuran budi."

5. Yaitu sabda Nabi saw, [tulisan Arab] "ma min syay-in


fi 'il-mizan-i atsqal-u min husn-i 'l-khulaq-i- ("Tiada
sesuatu apapun yang dalam timbangan (nilainya) lebih
berat daripada keluhuran budi").
6. Sebuah Hadits otentik, [tulisan Arab], "Aktsar-u ma
yudkhil-u 'l-jannat-a taqwa 'l-Lah-i wa husn-u
'l-khuluq-i "Yang paling banyak memasukan orang ke dalam
surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi".

7. QS.'Ali 'Imran 3:93.

8. QS. al-Baqarah 2:177.

9. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and


Commentery (Jeddah: Dar al-Qiblah 1403 H), hal. 69.

10. Muhammad Asad, hal. 36.

11. Dikutip oleh Roger Garaudy, dalam Integrismes,


terjemah bahasa Arab oleh Dr. Khalil A. Khalil, Al-
Ushuliyyat al-Mu'ashirah: Asbabuha wa Mazhahiruha
(Paris: Dar Am Alfayn, 1992), hal. 93:

12. QS. al-Isra'/17:110.

13. Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur'an, Jil. 5, Juz 15,


hal. 73.

14. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan


dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta'wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf
al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi,
Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta'wil oleh al-Nasafi,
dll.

15. Lengkapnya, riwayat itu dalam bahasa aslinya (Arab)


adalah demikian; [tulisan Arab].

16. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a.,


menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

17. Yaitu sebuah penuturan atau riwayat yang berasal


dari Muhammad al-Baqir; [tulisan Arab].

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.32. ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH
Oleh Masdar F. Mas'udi

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan


memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung
kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting
bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"
itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit
orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya
diperlihatkan juga.

Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan


sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak
masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain
(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara
mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan
shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba
terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi
orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.
Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di
alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya
pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara
terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,
bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.

Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis


halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan
munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan
langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam
datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh
manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan
maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa
baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi
laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,
manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki
kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau
saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak
punya urusan.

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran


yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul
(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul
artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya
bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam
ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir
dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika
teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris
bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut
ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang
bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa
yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara
implisit haruslah ma'qul.

Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih


mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja
mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul
untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,
satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,
yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau
keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya
rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi
itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi
hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.

Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya


materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan
meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian
rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan
tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan
serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki
bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi
agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang
lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula
dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di
bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja
membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi


kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang
dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang
diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang
tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan
bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan
berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia
mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran
lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan
pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang
dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal
dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan
anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk
menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,
yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.

Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral


hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun
penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang
kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran
terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem
hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti
satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi
alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya
dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila
pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia
yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga
negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit
ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,
18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah
lenyap berikut seluruh akar-akarnya.

Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak


sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan
seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi
yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,
setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib
pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat
kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua
pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling
diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?

Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara


yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti
yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap
negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,
seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila
lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut
zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai
melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan
penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak
(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.

Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat


dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang
pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan
rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,
kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih
sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di
negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga
perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik
kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah
sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka
tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para
penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan
Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.

Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi


lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)
memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam
rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan
rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi
sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik
secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi
juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,
yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang
paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya
(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di
tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan
terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang
justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia
diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam


alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang
paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau
melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui
sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan
sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja
yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama
sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika
yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu
sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang
tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa
rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki
negara.
Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak
orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah
menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum
lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat
bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.
Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia
Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya
(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang
miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap
menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun
yang berupa pinjaman (loan).

Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni


untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem
kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang
merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika
dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita
bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi
kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan
rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka
(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah
kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau
pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik
mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan
para kaya kapitalis, selaku cukongnya.

Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,


sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat
bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran
kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata
pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)
sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman
ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,
bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni
beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak
sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur
yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang
kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat
yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya
diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,
diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang
sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite
politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi


kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan
sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi
terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk
mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,
jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide
pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari
kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok
tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini
jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga
negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat
selingkuh. So, what?!

Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan


atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya
tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih
luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun
konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga
negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama
belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas
manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan
besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi
yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan
bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun
--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan
jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada
diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang
paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang
mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan
kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus
menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu
jahat yang mengitarinya."

Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia


tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga
negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan
sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,
lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,
dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial
(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar
keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi
kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi
kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari
sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan
pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan
segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan
kesejahteraan) bagi semuanya.

Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan


kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus
diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan
pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang
sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari
sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.
Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin
merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus
berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa
keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan
itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,
apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Konsep dasar dalam al qur,an( rasif)


Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.5. KONSEP-KONSEP TEOLOGIS
oleh Djohan Effendi

Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi


agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu
dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah
dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab
pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain
tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi
jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu
mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam.

Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of


Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali
diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian
ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan
istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu
tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih
sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih
seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam
Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar
yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang
aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini
dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u
'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid
maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman
yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang
ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan
yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang).
Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan
Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin
dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan
cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih
utuh dan lebih terpadu.

Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu


sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide
tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana
sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu
dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita
--sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah
diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu
tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang
disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam
buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga
yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya
Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang
dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan
harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan
kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan
Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang
wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang
harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang
malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan
qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan
terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan
di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu
tauhid.

Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat


dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya.
Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit,
terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama
ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat
dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah,
Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan
pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan
dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq
ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi
'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim,
ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak
akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.

Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya


teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia
praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu
adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai
relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu
tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak
melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun
spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk
membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala
bentuk kemusyrikan.

BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN

Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami


apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau
kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari
kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik
atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau
saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk
manifestasi.

Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang


segera terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan
berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama "pagan."
Dan memang al-Qur'an sendiri menyinggung bahkan mengecam
orang-orang yang menjadikan berhala sebagai ilah atau
sesembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur'an
juga mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek
sesembahan selain Tuhan, misalnya penyembahan benda-benda
langit seperti matahari, bulan dan bintang (QS. 41:37) atau
benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya
penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau
tokoh-tokoh yang dipertuhan atau dianggap mempunyai
unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:171; 5:116; 6:102; 19:82-92;
16:57; 17:40 dan 37:49).

Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau


benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau
manusia yang dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita
sebagai muslim, bukanlah persoalan yang masih memerlukan
perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu
menghindarinya pun sangat mudah. Akan tetapi masalah
kemusyrikan tidak berhenti sampai di situ saja. Al-Qur'an
masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah
kemusyrikan, yang lebih halus sifatnya, terutama berkaitan
dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya andad atau
saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan
melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori
ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa
reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau sikap fanatisme
golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan
(QS. 23:52-53; 30:31-32).

Hal-hal lain yang oleh al-Qur'an dijadikan contoh sebagai


saingan Tuhan dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah
keluarga dan kerabat dekat kita, kekayaan, usaha atau
bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain
itu masih ada satu hal lagi yang oleh al-Qur'an disebutkan
sebagai "sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita,"
yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43).

Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut, sebagaimana


dikemakakan al-Qur'an, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan
bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi
orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah.

KESERAKAHAN DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL

Berangkat dari berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan yang


disebutkan al-Qur'an di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan
bahwa teologi al-Qur'an tidak sekedar terbatas pada aspek
kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat
praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut pandangan
dan sikap kita terhadap manusia, benda dan lembaga. Hubungan
manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat
sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur'an. Khususnya berkaitan
dengan kekayaan. Hal ini menarik dan perlu untuk dikaji lebih
jauh.

Suatu hal yang sangat menggoda untuk direnungkan adalah,


justru pada surat-surat atau ayat-ayat yang diwahyukan di
masa-masa permulaan kenabian Muhammad saw tidak terdapat
kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada malah kecaman
terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial. Untuk
memperjelas hal ini ada baiknya bila lebih dahulu dikemukakan
tentang periodisasi turunnya al-Qur'an.

Seperti kita ketahui masa turunnya al-Qur'an dibagi dalam dua


priode: periode Mekkah (610-622 M.) dan periode Madinah
(622-632 M.). Periode Mekkah sendiri juga dibagi dalam tiga
tahap, tahap Mekkah awal (610-615 M.), tahap Mekkah
pertengahan (616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.).

Pada masa periode Mekkah awal terdapat 48 surah yang


diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil 12
surah paling awal saja, yakni: (1) Surah al-'Alaq, (2) Surah
al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5)
Surah al-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma'un,
(8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah al-Layli,
(11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya
diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surah
al-Dhuha. Beberapa mufassir menceriterakan bahwa Surah
al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu
terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun
atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari
kenabian, atau dari sejarah Islam.

Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah


penyembahan berhala. Enam surah di antaranya justru
menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan
ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita. Dalam
Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa
harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan
menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat.

Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya!


Akan dibakar ia dalam api menyala

Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras


mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah
menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa
mengabadikannya.

Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk


harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta
kekayaannya bisa mengekalkannya.

Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma'un, orang-orang


yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan
orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang
membohongkan agama.

Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang


mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan
orang-orang miskin.

Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah


al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang
yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan.

Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan


kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan.

Dalam Surah al-Layli yang diwahyukan dalam urutan ke-10


diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan
sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.

Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan


nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan.
Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan
mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan
kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia
binasa.

Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan


ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan
kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan
kesengsaraan.

Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan
mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak
sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak
yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang
terlunta-lunta.
Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di masa
yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali
tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam
al-Qur'an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian
sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah
etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita.

REFORMASI SOSIAL

Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan


ketidakpedulian sosial mendapat sorotan tajam pada masa yang
sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa menarik
kesimpulan bahwa Risalah Nabi kita terutama untuk mengadakan
reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan dengan penegasan
al-Qur'an yang mengatakan bahwa Muhammmad diutus tidak lain
kecuali dalam rangka membawa rahmat bagi seluruh alam (QS.
21:107). Dengan perkataan lain, misi utama Nabi Muhammad saw
adalah membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang
disemangati nilai-nilai rahmah.

Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita
dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (bism-i 'l-Lah-i
'l-rahman-i 'l-rahim), memberikan suatu isyarat kepada kita
agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari
nilai-nilai rahmah itu bagi sesama makhluk Tuhan. Dengan
perkataan lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi
kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan --atau
setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan--
suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu.

Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana kaitan antara


sorotan tajam terhadap kekayaan, keserakahan dan
ketidakpedulian sosial dengan cita-cita tentang reformasi
sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh
rahmah itu? Kaitannya sangat jelas, bahwa keserakahan dan
ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan
yang tidak disemangati nilai-nilai rahmah. Karena itu
reformasi sosial mestilah ditandai, pertama-tama oleh
distribusi kekayaan yang adil. Itulah prioritas utama yang
digumuli Nabi dalam usaha mewujudkan reformasi sosial.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.6. KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS (1/2)
oleh Achmad Baiquni

Telah banyak kitab yang ditulis ulama masyhur untuk


menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur'an --yang merupakan
garis-garis besar ajaran Islam itu-- dengan menggunakan
ayat-ayat lain di dalam kitab suci tersebut, sebagai
bandingan, dan dengan Sunnah Rasul sebagai penjelasan. Namun,
dalam al-Qur'an sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya
ini secara jelas disebutkan sebagai "ayat-ayat Allah",
misalnya dalam surah 'Ali Imran 190 disebut, Sesungguhnya
dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam
dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang
berakal (dapat menalar). Karenanya, maka sebagai padanan untuk
mendapatkan arti ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-Kaun
dapat digunakan juga ayat-ayat Allah yang berada di dalam alam
semesta ini.

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan


apabila ketetapan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang
berisi konsep-konsep Kauniyah sangat bervariasi, tergantung
pada pengetahuan mufassir tentang alam semesta itu sendiri.
Untuk memberikan contoh yang nyata, kita dapat menelaah
ayat-ayat berikut, Dan tidakkah orang-orang kafir itu
mengetahui bahwa agama sama, [1] dan ardh [2] itu dahulu
sesuatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduanya (QS.
al-Anbiya': 30. Dan sama' itu kami bangun dengan kekuatan dan
sesungguhnya kamilah yang meluaskannya (QS. al-Dzariyat: 47).

Seseorang yang hidup dalam abad 9 M akan mengatakan bahwa kata


sama' artinya langit; pengertiannya ialah bahwa langit itu
adalah sebuah bola super raksasa yang panjang radiusnya
tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya. Dan pada
dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan di
malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan
segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin bahwa
persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang
dapat diamati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang
tampak tidak berubah posisinya yang satu terhadap yang lain,
dan seluruh langit itu berputar-putar dalam satu hari (siang
dan malam).

Apa yang kiranya dapat kita harapkan dari orang ini andaikata
ia diminta memberikan penafsiran (bukan sekadar salinan
kata-kata) ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan
interpretasi yang sesuai dengan persepsinya tentang langit,
serta ardh yaitu bumi yang datar yang dikurung oleh bola
langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30
surah al-Anbiya' itu melukiskan peristiwa ketika Tuhan
menyebutkan langit menjadi bola, setelah ia sekian lama
terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah tenda yang
belum dipasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep
kosmologis dalam al-Qur'an, mengenai penciptaan alam semesta,
yang dikemukakan orang itu sangatlah sederhana. Dan itu
tidaklah benar, karena konsepsinya tidak mampu
mengakomodasikan gejala yang dinyatakan ayat 4 surah
al-Dzariyat.

Sebuah langit yang berbentuk bola dengan jari-jari tertentu


bukanlah langit yang bertambah luas. Apalagi kalau ia
melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya; tidak ada lagi
sesuatu yang lebih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu
konsepsi mengenai alam semesta yang benar harus dapat
dipergunakan untuk menerangkan semua peristiwa yang dilukiskan
ayat-ayat dalam kitab suci; ia harus sesuai dengan
konsep-konsep kosmologis dalam al-Qur'an. Untuk mendapatkan
konsepsi yang benar itu pada hakekatnya telah diberikan
petunjuk sang pencipta misalnya dalam ayat 101 surah Yunus,
Katakanlah (wahai Muhammad), Perhatikanlah dalam intighon apa
yang ada di sama' dan di ardh (QS. Yunus: 101). Dalam teguran
ayat 1 dan 18 dalam surah al-Ghasyiyah, Maka apakah mereka itu
tak memperhatikan onta-dalam intighon, bagaimana ia
diciptakan. Dan sama', bagaimana ia ditinggikan. (QS.
al-Ghasyiyah: 1 dan 18). Serta dalam ayat 190 dan 191 surah
Ali Imran, Sesungguhnya dalam penciptaan sama' dan ardh, serta
silih bergantinya siang dan malam, terdapat ayat-ayat bagi
orang-orang yang berakal (dapat menalar). Yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan
pikirkan tentang penciptaan sama' dan ardh, wahai Tuhan kami,
tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia; Maha suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa azab neraka. (QS. Ali Imran:
190 dan 191).

Dengan diikutinya perintah dan petunjuk ini, maka muncullah di


lingkungan umat Islam suatu kegiatan observasional yang
disertai dengan pengukuran, sehingga ilmu tidak lagi bersifat
kontemplatif belaka, seperti yang berkembang di lingkungan
Yunani, tapi mempunyai ciri empiris sehingga tersusunlah
dasar-dasar sains. Penerapan metode ilmiah ini, yang terdiri
atas pengukuran teliti pada observasi dan penggunaan
pertimbangan yang rasional, telah mengubah astrologi menjadi
astronomi. Karena telah menjadi kebiasaan para pakar menulis
hasil penelitian orang lain, maka tersusunlah himpunan
rasionalitas kolektif insani yang kita kenal sebagai sains.
Jelaslah di sini bahwa sains adalah hasil konsensus di antara
para pakar.

Kita ingat ayat 3, 4 dan 5 surah al-'Alaq, Bacalah, dan


Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. yang mengajar dengan qalam. [3]
Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. Penalaran
tentang "bagaimana" dan "mengapa", yang menyangkut
proses-proses alamiah di langit itu, menyebabkan timbulnya
cabang baru dalam sains yang dinamakan astrofisika, yang
bersama-sama astronomi membentuk konsep-konsep kosmologi.
Meskipun ilmu pengetahuan keislaman ini tumbuh sebagai akibat
dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu kita
pertanyakan apakah benar konsep kosmologi yang berkembang
dalam sains itu sejalan dengan apa yang terdapat dalam
al-Qur'an. Sebab obor pengembangan ilmu telah mulai berpindah
tangan dari umat Islam kepada para cendekiawan bukan Islam
sejak pertengahan abad ke 13 sampai selesai dalam abad 17,
sehingga sejak itu sains tumbuh dalam kerangka acuan budaya,
mental dan spiritual yang bukan Islam, dan yang memiliki
nilai-nilai tak Islami.

Mari kita kaji sambil menelusuri perkembangan ilmu kealaman


sejak akhir abad 19 hingga akhir abad 20, ketika ia berjalan
sangat cepat, jauh melampaui kelajuannya dalam abad-abad
sebelumnya, sejalan dengan kecanggihan instrumentasi yang
dipergunakan dalam observasi dan matematika sebagai sarana
komputasi. Kita akan menemukan bahwa pada tahap-tahap tertentu
ia tampak tidak sesuai dengan ajaran agama kita, sedangkan
dalam fase-fase lain menghasilkan kesimpulan yang sehaluan
dengannya.
Seseorang yang hidup pada akhir abad 19, yang telah mengetahui
melalui kegiatan sainsnya, bahwa bintang-bintang di langit
jaraknya dari bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak
itu dan mengatakan berapa massanya, tak lagi akan mengatakan,
langit itu sebuah bola super raksasa. Ia akan mengatakan,
langit adalah ruang jagad-raya, yang di dalamnya terdapat
bintang-bintang, sebagian diikuti satelitnya, dan ada
bintang-bintang kembar dan gerombolan-gerombolan bintang dalam
galaksi kita yang disebut Bimasakti. Karena konsep kosmologi
yang berlaku waktu itu berasal dari Newton, ia akan mengatakan
juga bahwa bola super besar yang mewadahi seluruh ruang kosmos
itu tidak ada sebab baginya ruang jagad-raya ini tak berhingga
besarnya dan tidak mempunyai batas.

Sudah tentu konsep kosmologi sains abad yang lalu ini tidak
sesuai dengan konsep al-Qur'an, karena tak dapat mengakomodasi
peristiwa yang: dilukiskan ayat 30 surah al-Anbiya' dan ayat
47 surah al-Dzariyat. Lebih dari itu bahkan bertentangan
dengan ajaran agama kita; sebab alam semesta yang tak terbatas
dan tak berhingga besarnya, dianggap tak berawal dan tidak
berakhir. Dan kita akan melihat sepanjang pertumbuhan sains
selanjutnya bahwa ide-ide semacam ini, yang mengandung
konsepsi tentang alam yang langgeng, ada sejak dulu dan akan
ada seterusnya, selalu timbul-tenggelam. (Karena itu, maka
saya selalu menganjurkan agar umat Islam yang ingin mengejar
ketinggalan mereka dalam sains dan teknologi akhir-akhir ini
bersiap-siap mengadakan langkah-langkah pengamanan dengan
meng-Islamkan sains, sehingga sains kembali dapat berkembang
dalam kerangka sistem nilai yang Islami).

Dari uraian di atas bahwa konsep kosmologi sains pada abad ke


19 gagal total dan sama sekali tak mampu menerangkan apa yang
terkandung dalam dua ayat tersebut di atas. Padahal mereka
baru merupakan sebagian saja dari ayat-ayat al-Qur'an yang
berisi konsep-konsep kosmologi. Kita dapat juga mengemukakan
beberapa ayat lainnya sebagai berikut,

Dalam pada itu Dia mengarah pada penciptaan sama', dan ia


penuh dukhon [4], lalu Dia berkata kepadanya dan kepada ardh,
Datanglah kalian mematuhi-Ku dengan suka atau terpaksa;
keduanya menjawab: kami datang dengan taat (QS. Fushshilat:
11)

Maka Dia menjadikannya tujuh sama' dalam dua hari, dan Dia
mewahyukan kepada tiap sama' peraturannya masing-masing; dan
kami hiasi langit dunia dengan pelita-pelita, dan Kami
memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12)

Allah-lah yang telah menciptakan tujuh sama' dan ardh seperti


itu pula (QS. al-Thalaq: 12)

Allah-lah yang menciptakan sama' dan ardh dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam hari, dan pada waktu itu pula
bersemayam di arsy-Nya [5] (QS. al-Sajadah:4)

Dan Dialah yang telah menciptakan sama' dan ardh dalam enam
hari, ada pun Arsy-Nya telah tegak pada ma' [6] untuk menguji
siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7)

Sesungguhnya Allah menahan sama' dan ardh agar jangan lenyap,


dan sungguh jika keduanya akan lenyap dan tak ada siapa pun
yang dapat menahan keduanya itu selain Allah; Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. Fathir: 41)

Pada hari Kami gulung sama' seperti menggulung lembaran tulis;


sebagaimana Kami telah mulai awal penciptaan, begitulah Kami
akan mengembalikannya; itulah janji yang akan kami tepati;
sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya (QS.
al-Anbiya': 104)

Sekarang mari kira cari pengertian yang terdapat dalam ayat


itu. Kita telah melihat dari contoh-contoh yang diberikan,
bahwa dengan bekal pengetahuan abad 19 saja seseorang tak
mungkin memahaminya; meski ia seorang pakar yang ulung sekali
pun. Sebab konsepsinya tentang alam semesta memang salah
hingga tidak cocok dengan apa yang ada dalam al-Qur'an.

Apa yang akan dikatakan oleh seorang kosmolog atau seorang


fisikawan abad 20, jika ia ditanya tentang konsep kosmologi
sains yang mutakhir yang dihasilkan penelitian para pakar?
Secara garis besar, jawabnya kira-kira sebagai berikut:
Konsepsi mengenai alam semesta ini sebenarnya mulai mengalami
perubahan sejak tahun 1929 ketika Hubble melihat dan yakin
bahwa galaksi-galaksi di sekitar Bimasakti menjauhi kita
dengan kelajuan yang sebanding dengan jarak dari bumi; yang
lebih jauh kecepatannya lebih besar, sehingga dalam sains
terdapat istilah alam yang mengembang (expanding universe).
Hal ini mengingatkan orang pada pacuan kuda; kuda yang paling
laju akan berlari paling depan. Karena kelajuan dan jarak
masing-masing galaksi dari bumi diketahui, tidak sulit untuk
menghitung kapan mereka itu mulai berlari.

Pada tahun 1952 Gamow berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi di


seluruh jagad-raya yang cacahnya kira-kira 100 milyar dan
masing-masing rata-rata berisi 100 milyar bintang itu pada
mulanya berada di satu tempat bersama-sama dengan bumi,
sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Materi yang sekian
banyaknya itu terkumpul sebagai suatu gumpalan yang terdiri
dari neotron; sebab elektron-elektron yang berasal dari
masing-masing atom telah menyatu dengan protonnya dan
membentuk neotron sehingga tak ada gaya tolak listrik antara
masing-masing elektron dan antara masing-masing proton.
Gumpalan ini berada dalam ruang alam dan tanpa diketahui sebab
musababnya meledak dengan sangat dahsyat sehingga terhamburlah
materi itu ke seluruh ruang jagad-raya; peristiwa inilah yang
kemudian terkenal sebagai "dentuman besar" (big bang).

Sudah barang tentu gumpalan sebesar itu tak pernah


bergelimpangan di ruang kosmos; sebab gaya gravitasi gumpalan
itu akan begitu besar sehingga ia akan teremas menjadi sangat
kecil. Lebih kecil dari bintang pulsar yang jari-jarinya hanya
sebesar 2 sampai 3 kilometer dan massanya kira-kira 2 sampai 3
kali massa sang surya, dan bahkan lebih kecil dari lobang
hitam (black hole) yang massanya jauh melebihi pulsar dan
jari-jarinya menyusut mendekati ukuran titik. Gambarkan saja
dalam angan-angan, berapa besar kepadatan materi dalam titik
yang volumenya nol itu jika seluruh massa 100 milyar kali 100
milyar bintang sebesar matahari dipaksakan masuk di dalamnya!
Inilah yang biasa disebut sebagai singularitas. Jadi konsep
dentuman besar terpaksa dikoreksi yaitu bahwa keberadaan alam
semesta ini diawali oleh ledakan maha dahsyat ketika tercipta
ruang-waktu dan energi yang keluar dari singularitas dengan
suhu yang tak terkirakan tingginya.
-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.6. KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS (2/2)
oleh Achmad Baiquni

Para pakar berpendapat bahwa alam semesta tercipta dari


ketiadaan sebagai goncangan vakum yang membuatnya mengandung
energi yang sangat tinggi dalam singularitas yang tekanannya
menjadi negatif. Vakum yang mempunyai kandungan energi yang
luarbiasa besarnya serta tekanan gravitasi yang negatif ini
menimbulkan suatu dorongan eksplosif keluar dari singularitas.
Tatkala alam mendingin, karena ekspansinya, sehingga suhunya
merendah melewati 1.000 trilyun-trilyun derajat, pada umur
10-35 sekon, terjadilah gejala "lewat dingin". Pada saat
pengembunan tersentak, keluarlah energi yang memanaskan kosmos
kembali menjadi 1.000 trilyun-trilyun derajat, dan selurnh
kosmos terdorong membesar dengan kecepatan luar biasa selama
waktu 10-32 sekon. Ekspansi yang luar biasa cepataya ini
menimbulkan kesan-kesan alam kita digelembungkan dengan tiupan
dahsyat sehingga ia dikenal sebagai gejala inflasi.

Selama proses inflasi ini, ada kemungkinan bahwa tidak hanya


satu alam saja yang muncul, tetapi beberapa alam; berapa?
duakah? tigakah? atau berapa? para ilmuwan tidak tahu. Dan
masing-masing alam dapat mempunyai hukum-hukumnya sendiri;
tidak perlu aturannya sama dengan apa yang ada di alam kita
ini. Karena materialisasi dari energi yang tersedia, yang
berakibat terhentinya inflasi, tidak terjadi secara serentak,
maka di lokasi-lokasi tertentu terdapat konsentrasi materi
yang merupakan benih galaksi-galaksi yang tersebar di seluruh
kosmos. Jenis materi apa yang muncul pertama-tama di alam ini
tidak seorang pun tahu; namun tatkala umur alam mendekati
seper-seratus sekon, isinya terdiri atas radiasi dan
partikel-partikel sub-nuklir. Pada saat itu suhu kosmos adalah
sekitar 100 milyar derajat dan campuran partikel dan radiasi
yang sangat rapat tetapi bersuhu sangat tinggi itu lebih
menyerupai zat-alir daripada zat padat sehingga para ilmuwan
memberikan nama "sop kosmos" kepadanya Antara umur satu sekon
dan tiga menit terjadi proses yang dinamakan nukleosintesis;
dalam periode ini atom-atom ringan terbentuk sebagai hasil
reaksi fusi-nuklir. Baru setelah umur alam mencapai 700.000
tahun elektron-elektron masuk dalam orbit mereka sekitar inti
dan membentuk atom sambil melepaskan radiasi; pada saat itu
seluruh langit bercahaya terang benderang dan hingga kini
"cahaya" ini masih dapat diobservasi sebagai radiasi gelombang
mikro.

Menurut perhitungan kami, alam semesta mempunyai dimensi 10;


yaitu 4 buah dimensi ruang-waktu yang kita hayati, dan 6
lainnya yang tidak kita sadari, karena "tergulung" dengan
jarij-ari 10-32 sentimeter yang bermanifestasi sebagai muatan
listrik dan muatan nuklir. Dimensi yang kita hayati adalah
dimensi yang, katakan saja, "terbentang" dan mengejawantah
sebagai ruang-waktu. Kalau semua yang telah dirintis secara
matematis ini mendapatkan pembenaran dari eksprimen atau
observasi di alam luas, maka ada kemungkinan bahwa alam yang
kita huni ini mempunyai kembaran (shadow world) yang
sebenarnya berada di sekeliling kita, tapi tak dapat kita
lihat; ia hanya dapat kita hubungi lewat medan gaya gravitasi
sedangkan hukum alamnya tidak perlu sama dengan yang berlaku
di dunia ini.

Begitulah kira-kira uraian fisikawan itu. Sudah tentu apa yang


dikatakan itu adalah hasil mutakhir kegiatan penelitian dan
saling kaji antara para pakar dan merupakan konsensus. Selama
perjalanan mencari kebenaran itu, sebenarnya sains telah
mengalami penyelewengan-penyelewengan yang akhirnya terbongkar
kesalahannya, karena tak cocok dengan kenyataan, dan
mendapatkan pembetulan. Saya akan mengungkapkan beberapa saja
yang relevan, sebagai contoh.

Pertama, ketika persamaan matematis Einstein, yang dirumuskan


untuk melukiskan alam semesta, dinyatakan oleh Friedman bahwa
ia memberi gambaran kosmos yang mengembang, ia segera diubah
oleh si-perumus agar sesuai dengan konsep kosmologi pada waktu
itu; yaitu kosmos yang statis. Tapi langkah pembetulan itu
mendapat tamparan, karena Hubble mengobservasi justeru
jagad-raya ini berekspansi. Einstein mengalah dan kembali ke
perumusannya yang semula yang melukiskan alam yang tak statis,
tapi berekspansi.

Kedua, ketika gagasan Gamow tentang dentuman besar yang


menjurus pada konsep alam semesta yang berawal dikumandangkan
beberapa kosmolog yang dipelopori Hoyle mengajukan tandingan
yang dikenal sebagai kosmos yang mantap (steady state
universe) yang menyatakan bahwa alam semesta ajeg sejak dulu
sampai sekarang dan hingga nanti tanpa awal dan tanpa akhir.
Namun terungkapnya keberadaan gelombang mikro yang mendatangi
bumi dari segala penjuru alam secara uniform, oleh Wilson dan
Penzias pada 1964, telah mendorong para pakar mengakuinya
sebagai kilatan dalam alam semesta yang tersisa dari peristiwa
dentuman besar. Dengan demikian maka konsepsi yang berawal
lebih dikukuhkan.

Ketiga, ketika dentuman besar tak dapat disangkal, beberapa


ilmuwan mencoba mengembalikan keabadian kosmos dengan
mengatakan, alam semesta ini berkembang-kempis (oscillating
universe). Namun Weinberg menunjukkan kepalsuannya. Sebab alam
yang berkelakuan seperti itu, meledak dan masuk kembali tak
henti-hentinya tak berawal dan tak berakhir, entropinya
besarnya tidak terhingga; suatu asumsi yang konsekuensinya tak
didukung kenyataan. Kita lihat bahwa hasrat mempertahankan
konsepsi alam semesta yang tak berawal (tak diciptakan) selalu
menemui kegagalan, karena tak sesuai dengan kenyataan yang
terobservasi.
Bagaimana para fisikawan-kosmolog dapat mengatakan semuanya
itu tanpa melihat sendiri kejadiannya? Sebenarnya mereka
melihat dua gejala, yaitu ekspansi alam semesta dan radiasi
gelombang mikro, yang mereka pergunakan untuk menelusuri
kembali peristiwanya yang terjadi sekitar 15 milyar tahun
lalu, seperti layaknya tim detektif yang ingin memecahkan
sebuah misteri dengan menggunakan sekelumit abu rokok dan
pecahan-pecahan gelas yang berserakan di sekitar tempat
kejadian. Kalau para detektif itu cukup memakai penalaran
logis saja, maka para pakar, di samping menggunakan
pertimbanganpertimbangan rasional, harus melandasinya juga
dengan pengetahuan sunnatullah, segenap peraturan Allah swt
yang mengendalikan tingkah laku alam, yang dalam ayat 23 surah
al-Fath dinyatakan memiliki stabilitas, sebagai sunnat-u
'l-lah yang berlaku sejak dulu, sekali-kali kamu tak akan
menemukan perubahan pada sunnatullah itu.

Apakah para fisikawan-kosmolog mengetahui nasib alam itu pada


akhirnya? Ada dua pandangan yang dianut dalam sains yaitu,
pertama, alam semesta ini "terbuka," sehingga ia akan
berekspansi selamanya, dan kedua jagad raya ini "tertutup,"
sehingga pada suatu saat ekspansinya akan berhenti dan alam
kembali mengecil untuk akhirnya seluruhnya mencebur kembali
dalam singularitas, tempat ia keluar dulu kala. Kapan? Mereka
tak tahu. Sebab mereka tak mempunyai informasi berapa
sebenarnya massa yang terkandung dalam alam ini; sebagian
massa itu bercahaya, sebagian gelap, sedangkan sebagian lagi
dibawa zarah-zarah yang disebut neutrino.

Qaul yang pertama didasarkan pada kenyataan bahwa masa seluruh


alam ini tak cukup besar untuk menarik kembali semua galaksi
yang bertebaran, karena bintang-bintang yang bercahaya dan
materi antar bintang, yang terobservasi pengaruhnya, hanya
dapat menyajikan sekitar 20 persen saja dari gaya yang
diperlukan, yaitu yang dinamakan gaya kritis. Sedangkan qaul
yang kedua mendasari pernyataannya dengan adanya neutrino-
neutrino yang mereka percayai membawa sebagian besar dari
massa alam ini sehingga sebagai totalitas kekuatan gaya kritis
itu akan terlampaui.

Sekarang marilah kita gali konsep-konsep kosmologi dalam


al-Qur'an, tidak dengan pengetahuan orang abad ke 9 atau ke 19
melainkan dengan pengetahuan seseorang dari abad 20. Saya akan
menafsirkan ayat-ayat yang telah dicantumkan di atas, dan yang
saya pilih di antara sekian banyak ayat yang mengandung
konsep- konsep tersebut, sebagai berikut,

Dan tidakkah orang yang kafir itu mengetahui bahwa ruang waktu
dan energi-materi itu dulu sesuatu yang padu (dalam
singularitas), kemudian kami pisahkan keduanya itu (QS.
al-Anbiya': 30)

Dan ruang waktu itu Kami bangun dengan kekuatan (ketika


dentuman besar dan inflasi melandanya sehingga beberapa dari
dimensinya menjadi terbentang) dan sesungguhnya Kamilah yang m
eluaskannya (sebagai kosmos yang berekspansi) (QS.
al-Dzariyat: 47)

Dalam pada itu Dia mengarah pada penciptaan ruang-waktu dan ia


penuh "embunan" (dari materialisasi energi), lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada materi: Datanglah kalian mematuhi
(peraturan)-Ku dengan suka atau terpaksa; keduanya menjawab:
Kami datang dengan kepatuhan. (QS. Fushshilat: 11).

Maka dia menjadikannya tujuh ruang-waktu (alam semesta) dalam


dua hari, dan Dia mewahyukan kepada tiap alam itu peraturan
(hukum alam)-nya masing-masing; dan kami hiasi ruang-waktu
(alam) dunia dengan pelita-pelita, dan Kami memeliharanya;
demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui
(QS. Fushshilat: 12)

Allah-lah yang menciptakan tujuh ruang-waktu (alam semesta),


dan materinya seperti itu pula. (QS. al-Thalaq: 12)

Allah-lah yang menciptakan ruang-waktu dan materi dan apa yang


ada di antara keduanya dalam enam hari, dan pada saat itu pula
menegakkan pemerintahan-Nya (yang seluruh perangkat
peraturannya ditaati oleh segenap mahluk-Nya dengan suka hati)
(QS. al-Sajadah: 4)

Dan Dia-lah yang telah menciptakan ruang-waktu dan materi


dalam enam hari, sedang pemerintahan-Nya telah tegak pada fase
zat alir (yaitu sop kosmos) untuk menguji siapakah di antara
kalian yang lebih baik amalannya (QS. Hud: 7)

Sesungguhnya Allah menahan ruang-waktu (alam semesta) dan


materi di dalamnya agar jangan lenyap (sebagai jagad-raya yang
terbuka), dan sungguh jika keduanya akan lenyap tiada siapa
pun yang dapat menahan keduanya selain Allah; sesungguhnya Dia
adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. al-Fathir: 41)

Pada hari Kami gulung ruang-waktu (alam semesta) laksana


menggulung lembaran tulis; sebagaimana Kami telah mulai awal
penciptaan, begitulah Kami akan mengembalikannya; itulah janji
yang akan kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan
melaksanakannya (QS. al-Anbiya': 104).

Demikian konsep-konsep kosmologi yang dapat digali dari


al-Qur'an sebagaimana saya melihatnya selaku orang yang
berkecimpung dalam bidang sains. Mengatakan bahwa apa yang
telah saya lakukan ini sebagai usaha menarik-narik al-Qur'an
agar sejalan atau cocok dengan sains, hasil karya pikir
manusia, adalah suatu tuduhan yang tak berdasar. Apa yang
telah saya lakukan di sini bukanlah pembenaran (justification)
sains dengan al-Qur'an; karena ada beberapa konsepsi sains
yang telah saya tolak, karena tidak sesuai dengan al-Qur'an.
Dan tidak pula saya menarik al-Qur'an agar sesuai dengan
sains. Patokan saya adalah kebenaran kitab suci umat Islam,
dan apa yang bertentangan dengannya saya tolak. Dan bukankah
justeru Allah swt sendiri yang mengungkapkan adanya gejala
ekspansi kosmos dan radiasi gelombang mikro kepada para
ilmuwan, untuk membimbing mereka dari kesesatan dalam memahami
ciptaanNya, hingga para ilmuwan yang setia kepada tradisi umat
Islam, yang salaf, memeriksa ruang-waktu (alam semesta) serta
materi di dalamnya sesuai dengan perintah-Nya dalam surah
Yunus 101 itu mendapatkan petunjuk ke arah yang benar seperti
tercantum dalam surah Fushshilat 53, Akan Kami perlihatkan
kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam diri
mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka itu bahwa ia
(al-Qur'an) adalah yang benar.

Dalam awal uraian saya telah dikatakan bahwa penggalian


konsep-konsep kosmologi dalam al-Qur'an merupakan pekerjaan
yang tak kunjung henti. Memang begitulah karena sains akan
terus berkembang dan akan senantiasa menemukan hal-hal yang
baru yang dapat lebih melengkapi pengetahuan manusia hingga
dapat lebih memahami ayat-ayat Allah.

CATATAN

Di bawah ini disajikan pertimbangan yang saya pergunakan untuk


memilih kata-kata dalam penafsiran.

1. Sama', kini tak lagi diartikan sebagai bola super-raksasa


yang dindingnya ditempeli bintang-bintang, melainkan ruang
alam yang di dalamnya terdapat bintang-bintang,
galaksi-galaksi dan lain-lainnya. Karena secara eksprimental
dapat dibuktikan bahwa ruang serta waktu merupakan satu
kesatuan, maka saya gunakan istilah ruang-waktu sebagai ganti
"ruang".

2. Ardh, bumi atau tanah; karena bumi baru terbentuk sekitar


4,5 milyar tahun lalu di sekitar matahari, dan tanah di bumi
kita ini baru terjadi sekitar 3 milyar tahun lalu sebagai
kerak di atas magma. Maka saya condong mengartikan kata-kata
ardh dengan istilah "materi," yakni bakal-bumi, yang sudah ada
sesaat setelah Allah menciptakan jagad-raya. Dan karena telah
terbukti bahwa materi dan energi setara dan dapat berubah dari
yang satu menjadi yang lain, maka saya akan mencakup keduanya
dalam istilah energi-materi.

3. Qalam, pena; karena orang dapat menulis sesuatu tak hanya


dengan pena, misalnya dengan lidi-aren, dengan pangkal bulu,
dengan bolpen, dengan vulpen, dengan kuas, dengan mesin ketik
dan lain-lain sebagainya, maka saya condong untuk menggunakan
istilah sarana tulis sebagai ganti "pena". Malahan saya lebih
suka mengartikan sebagai "karya tulis".

4. Dukhan asap atau uap; pada saat awal penciptaan, atom-atom


yang belum berbentuk karena suhu alam masih sangat tinggi dan
elektron-elektron belum dapat ditangkap oleh inti-inti atom,
bahkan inti atom pun pada saat itu belum terbentuk! Oleh
karenanya, maka saya condong menggunakan istilah embunan, yang
kecuali terkandung dalam asap dan uap juga lebih mengena bila
dipergunakan melukiskan gejala yang ditemukan pada suatu
sistem yang mendingin dari suhu yang sangat tinggi (dalam
kasus ini bertrilyun-trilyun derajat).

5. Arsy, singgasana atau tahta; karena melukiskan Tuhan duduk


di singgasana adalah syirik, saya condong untuk menafsirkan
sebagai pemerintahan lengkap dengan sarana, aparatur dan
peraturannya. Sebab jika kita mengatakan: itu keputusan Bina
Graha, hal ini tidak berarti bahwa gedung itulah yang
mengambil keputusan, melainkan pemerintah Indonesia yang
bertindak. Karenanya, maka saya lebih suka mempergunakan
katakata "Pemerintahan" (Allah) untuk mengartikan kata-kata
arsy.

6. Ma', air atau zat alir; karena dalam fase penciptaan alam
itu air yang terdiri dari atom oksigen dan atom-atom hidrogen
belum dapat berbentuk, maka saya memilih maknanya sebagai zat
alir. Dan karena pada saat itu isi alam semesta yakni radiasi
dan materi pada suhu yang sangat tinggi itu wujudnya lain
daripada yang kita dapat temui di dunia sekarang ini, maka
penggunaan istilah "sop kosmos" sebagai keterangan melukiskan
zat yang sangat rapat tapi dapat mengalir pada suhu yang amat
tinggi, tidaklah terlalu aneh.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (1/2)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya


berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33)

Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam,


kata Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung,
yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting
yang diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precise
d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu
et la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonction
de l'objektif social poursuiri. Pour une religion
eschatologique comme l'Islam, dieu sera la reference
primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le
fin de la destine e humaine, tulis Marcel A. Boisard (1979:
84), ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani
mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.

Agak mengherankan, walaupun Boisard mengakui pentingnya


filsafat antropologis dalam Islam, ia kemudian menyebutkan
bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada
manusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer
l'humain (Boisard, 1979: 84). Karena itu dalam seluruh
bukunya, Boisard hampir tidak pernah membahas karakteristik
manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya filsafat manusia
(philosophic de l'homme). [1]

Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas


manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia,
sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan,
tapi tidak membahas principe d'entre manusia.

Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principe


d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaan
manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam
kalimatnya,
The only different is that while every other creature follows
its nature automatically, man ought to follow his nature; this
tranformation of the is into ought is both fhe unique
privelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24)

Rahman mengulas manusia dengan mengulas pandangan al-Qur'an


tentang kedudukan manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang digunakan
al-Qur'an untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam tulisan
tersebut, juga dalam tulisan lain (Rahman, 1967) --yang
membahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian Rahman
tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik
(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun)
dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986) membahas
karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali,
juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya,
seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an
yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara
induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan
bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep dasar
manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan
istilah-istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal
bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan
dalam al-Qur'an.

Saya sangat terkesan dengan Izutsu (1964, 1965) yang


memperkenalkan metodologi semantik [2] dalam memahami
konsep-konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam makalah
ini, saya menguraikannya secara terperinci. Izutsu sendiri
berkata, Unfortunately, what is called semantics today is so
bewilderingly complicated. It is extremely difficult, if not
absolutely impossible, for an outsider even to get a general
idea of what it is like (Izutsu, 1964: 10). Malangnya di
samping makalah ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulis
makalah ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa
langkah.

Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci (key-terms) dari


vocabulary al-Qur'an, yang kita anggap merupakan unsur
konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua, kita
menentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi
(relational meaning). Makna pokok yang berkenaan dengan
constant semantic element which remains attached to the word
whereever it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19).
Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah
itu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada.
Ketiga, kita menyimpulkan weltanschauung yang menyajikan
konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.

Ketika Izutsu membahas kosep Tuhan dan manusia dalam


al-Qur'an, ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the
Koranic weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah sebagai
istilah kunci dan menjelaskan hubungan konsep itu dengan
manusia. Ia menyebutkan tiga hubungan ontologis, hubungan
komunikasi nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep yang digunakan
al-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan
lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia dan
bidang semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang
semantik tersebut untuk memperoleh gambaran tentang
Weltanschauung Qur'ani.
BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS

Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada


makna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Ada
konsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'an
dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci
di atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kali
dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan
menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60,
misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam
Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini
pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka.
Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk
jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga
bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy
(Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari
insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang
mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29;
46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).

Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi.


Basyar disebut 27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut,
basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku,
bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak
disentuh basyar (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para
nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar --manusia
biasa yang "seperti kita," bukan superman. Kata Basyar
dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam
kali) diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw,
disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti
manusia yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah
Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang
kafir selalu berkata, Bukankah ia Basyar seperti kamu, ia
makan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum
(33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata,
Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di
pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu para
utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan
Yusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tapi
ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).

Secara singkat konsep basyar selalu dihubungkan dengan


sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di
pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan basyarun
mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak
menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik
fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat
menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the best
nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS 30:30). Al-Syaukani (1964, 5: 465)
menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk
menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis: berjalan
tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi
berkata, Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada
manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan,
dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.

Insan. Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya para


mufassir bermula dari salah paham tentang semantic field
istilah insan, yang berbeda dengan basyar. Insan disebut 65
kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat mengelompokkan konteks
insan dalam tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan
keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. kedua,
Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.
Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian,
semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.

Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia


sebagai wujud yang berbeda dengan hewani. Menurut al-Qur'an,
manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan
pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96: 4,
5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusia
diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena
itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata
nazhar. Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan,
menganalisis, mengamati) perbuatannya (79: 35), proses
terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga
terbentuknya buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat
insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan
kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan
pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu
al-Haq (41: 53).

Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (33: 72).


Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukum
alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahui
nama-nama semuanya" dan kemudian menggunakannya, dengan
inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang
baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat
para mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanah
sebagai predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaati
Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai
pemikul al wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalam
ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd, mitsaq,
'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan
secara metaforis [8] dalam surat 7:172.

Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan dalam


al-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75:
36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8;
31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi
balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karena
itu, insanlah yang dimusuhi setan (17:53; 59:16) dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35;
80:17; 89:23).

Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi


lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah
Allah dengan ikhlas; bila ia mendapat keberuntungan, ia
cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9;
17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).
-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (2/2)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan


predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an,
manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15),
tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72),
banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah,
gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima
kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari
akhirat (19:66).

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori


pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan:
kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan
mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan
dengan kategori ayat-ayat ketiga.

Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian


manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus.
Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati
tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar
berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air
(25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses
penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik
basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76),
manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi
(bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur
material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur
basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung
dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi
hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia
mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas
Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).

Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada


manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling
banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi,
al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah
singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang
memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas
menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.

Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial


dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan
ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan
memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia
yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8),
yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya
memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang
dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi
kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah
dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual
pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian
orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan
Allah.

Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat


menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut
al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;
28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur
(40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1),
fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir
(17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).
Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan
sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88;
4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran
(18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;
7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah
(11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116
menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang
ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.

Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah


hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga
manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an
dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35;
39:27; dan sebagainya).

WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA

Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai


makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada
hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia
sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang


dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu,
manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam
semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia
sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan
kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia
menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat
rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar,
kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata
al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung
jawab.

Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif


sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah
memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia
tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit
kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam
yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan
rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi
janjinya itu.

Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang


membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman
dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal
shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman
adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17).
Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.

Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat


mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang
beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi
orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang
disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS.
58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil
beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan
iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling
baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang
ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka,
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila
Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup
ini medan untuk membuktikan 'amal shalih.

CATATAN

1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam


kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin
ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu
prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia
menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia
mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia
merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)

2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study


of the key-terms of language with a view to arriving
eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or
world-view of the people who use that language as tool not
only of speaking and thinking, but, more important still, of
conceptualizing and interpreting the world that surround them
(Izutsu, 1964:11)

3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam.

4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam


Al-Baqi, Mu'jam.

5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat


ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk
meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga
sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta
tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti
memenuhi kehendak manusia."

6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara,


pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan
ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT,
19:95)

7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the


Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap
surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan
manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama
(Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi
yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah
dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan
pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan
contoh-contoh yang menarik.

8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi


banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat
tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani
(1400:75 106).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd al Baqi, Muhammad Fuad, Tanpa tahun, Al-Mu'jam al Mufahras


Li al-Alfazh al Qur'an al-Karim, Beirut: Dar el-fikr.

Al-'Aqqad Abbas Mahmud, 1974, "Al-lnsan fil Qur'an" dalam


Al-A'mal al-Kamilah, jilid 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Lubuani.

Al-Faruqi, Ismail, 1404, "Nazhriyat al-lnsan fi 'l- Qur'an,"


al-Tawhid, no 9, tahun 2.

Ali, Yusuf 1977, The Holy al-Qur'an American Trust


Publication.

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1964, Fath al-Qadir Kairo:


Mustafa Al-Babi al-Halbi.

Al-Thabathabai, Muhamad Hussein, Al-Mizan fi 'l-Tafsir


al-Qur'an, Qum: Al-Hauza al-Ilmiyah.

Al-Thabrasi, Abu Ali Al-Fadhl, 1937. Majma' al-Bayan, Sida:


A1-Irfan

Bakker, Dirk. 1966, Man in The Qur'an, Amsterdam: Drukkerrij


Holland NV:

Biazard, Ahd al Karim, 1356. The Covenant in The Koran,


Penerbit tidak diketahui.

Boisard, Marcel A, 1978, L'humanisme de L'Islam, Paris: Albin


Michel.

Hijazi, Muhammad Mahmud, 1968, Al-Tafsir al-Wadhih Kairo:


A1-Istiqdal al-Kubra.

Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies.
------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an,
Montreal: McGill University Press.

Leahy, Louis, 1986, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta:


Gramedia.

Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:


Muassasah al-Bi'tsah.

------, 1986. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan.

Othman, Ali Issa, 1960, The Concept of Man in Islam in the


writings of Al Ghazali, Kairo: Dar al-Maaref

Qardhawi, Yusuf. 1973. Al-Iman wa 'l-Hayat, Maktabah Wahbah.

------, 1977. Al-Khashaish al-Amimah li 'l-Islam. Maktabah


Wahbah

Rahman, Fazlur, 1965, The Qur'anic Concept of God, the


universe, and Man. Islamic Studies, March 1967, VI: 1.

------, 1980. Major Themes of the Qur'an. Chicago: Bibliotheca


Islamica

Subhani, Ja'far, 1400. Ma'alim al-Tawhid fi 'l-Qur'an


al-Karim. Qum: Antara lain Khayyam.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM (1/3)
oleh KH. Ali Yafie

Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an bukanlah sesuatu yang


berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah.
Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta,
mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala
makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik
dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum
Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta). [1]

Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam sekitar


kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa
teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya
masing-masing. Bumi tempat kita hidup yang berputar pada
sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari
dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih
bergantinya siang dan malam dan bertukarnya satu musim ke
musim lain secara teratur. Lewat ilmu pengetahuan alam kita
diperkenalkan dengan hukum-hukum fisika dan kimia serta
biologi, seperti hukum proporsi, hukum konservasi, hukum
gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode
genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum
alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas, memberikan
informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari
bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam
inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya, sampai kepada
galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya,
semuanya bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang
mengaturnya. Dan yang lebih dekat kita renungkan ialah keadaan
tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan,
tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang
jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih
dari 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati. Tubuh
manusia jauh lebih rumit dan menakjubkan daripada pesawat
komputer. Prestasi atletik seringkali memperlihatkan tenaga
tubuh yang bersifat melar. Sedangkan ketangguhannya
menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi tubuh
yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari,
tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan
dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat
pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan merekam dan
menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat
apapun. [2]

Dalam hubungan ini, dapat kita renungkan salah satu ayat


al-Qur'an yang berbunyi, Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap ufuk dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bakwa al-Qur'an
itu adalah benar. [3]

Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan dan mempelajari


alam semesta, sangatlah jelas dan berulang-ulang kali
disampaikan dalam sekian banyaknya ayat-ayat al-Qur'an.
Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang
memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. [4]
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan kekuasaan langit dan
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah ... [5]
...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang Engkau menciptakan langit dan
bumi (seraya berkata) ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksaan neraka. [6] Rasulullah saw.
mengomentari ayat-ayat ini dengan sabdanya, Celakalah orang
yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir. [7]

Petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk


berfikir, menalar, mengamati dan meneliti sebagaimana
disinggung di atas yang sifatnya global, dilengkapi dengan
petunjuk-petunjuk lain yang bersifat detail dimana terbayang
isyarat-isyarat yang mengacu pada pokok-pokok ilmu pengetahuan
tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku atasnya. Misalnya
ayat yang berbunyi, Dialah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah
(mansion) bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungannya. Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menguraikan tanda-tanda
(kekuasaannya) kepada orang-orang yang mengetahui (berilmu)"
[8] ...Dan matahari itu berjalan di tempatnya, itulah
ketentuan dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan
sehingga (setelah ia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah
ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi
matahari mencapai bulan dan malampun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing di dalam orbitnya pada beredar. [9]
Kedua ayat ini cukup jelas isyarat-isyaratnya yang dapat
ditangkap ilmu astronomi. Demikian pula halnya dengan
ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap isyarat-isyarat berbagai
ayat al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan,
air, awan, kilat, dan tentang manusia sendiri dan kejadiannya
serta segala macam permasalahannya. Upaya pengamatan,
penelitian dan penalaran lewat ilmu-ilmu yang mempelajari
perilaku dan sifat-sifat makhluk-makhluk, baik berupa benda
mati maupun makhluk hidup, telah mengungkapkan banyak penemuan
yang memperkenalkan kepada kita hukum-hukum yang berlaku
dengan pasti atas alam ini.

Kehadiran ayat-ayat yang mengandung isyarat-isyarat yang


mengacu pada pengungkapan misteri alam, mendorong minat dan
membangkitkan semangat kaum Muslim angkatan-angkatan pertama
--yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an ini-- untuk terjun
menggali ilmu pengetahuan yang luas dan khazanah ilmiah
bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di bidang
pengetahuan filsafat dan alam, sehingga menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi,
al-Ghazali dan serentetan nama besar yang tidak asing bagi
dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di Barat.

Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum


yang mengatur segala makhluk di alam raya ini, biasanya dalam
bahasa ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di
dalam bahasa al-Qur'an kadangkala disebut sunnatullah. Salah
satu ayatnya mengatakan, Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat pergantian bagi sunnatullah itu, dan sekali-kali
tidak (pula) akan menemni penyimpangan dari sunnatullah itu.
[10] Dalam terminologi teologis hal semacam itu termasuk dalam
kategori qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi
hal-hal yang bersangkut paut dengan perilaku manusia, dan
sering kali --secara kurang hati-hati-- dianggap identik
dengan determinisme.

Ayat yang secara jelas merangkaikan sunnatullah itu dengan


qadar, berbunyi ...(Allah telah menetaphan yang demikian)
sebagai sunnatullah pada mereka yang telah berlaku dahulu, dan
adalah ketetapan Allah itu suatu qadar yang pasti berlaku.
[11]

Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak dari
beberapa ayat, diantaranya, Sesungguhaya Kami menciptakan
segala sesuatu dengan qadar. [12] Kata bi qadar (dengan
qadar) di sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada
dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan
ilmu fisika yang membahas tentang materi dan unsur.
Benda-benda yang ada disekeliling kita, yang merupakan
bahan-bahan kebutuhan dalam hidup kita seperti kayu, besi,
seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya,
semuanya itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar
dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari unsur-unsur.
Tergabungnya dua unsur atau lebih melalui pola persenyawaan
atau pola percampuran membentuk suatu materi tertentu.
Misalnya unsur oksigen bergabung dengan hidrogen membentuk
senyawa cair, dan disebut air. Unsur-unsur yang tergabung
dalam suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air
murni selalu mempunyai proporsi oksigen dan hidrogen yang
sudah tertentu dan tetap, demikian pula dengan proporsi
nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti
ini, unsur-unsur telah bergabung membentuk suatu senyawa,
mengikuti suatu aturan yang dikenal hakam proporsi yang sudah
tertentu.

Isyarat serupa yang kita peroleh dari informasi ilmu fisika


sebagaimana disinggung di atas, dapat pula kita temui dari
informasi ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya,
unsur Al (aluminium), jumlah proton yang terkandung di
dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah protonnya 29; unsur Au
(emas), jumlah protonnya 79; unsur Ag (perak), jumlah
protonnya 47; unsur Pt (platina), jumlah protonnya 78; unsur
Ni (nikel), jumlah protonnya 28; unsur Fe (besi), jumlah
protonnya 26; unsur Hg (air raksa), jumlah protonnya 80; dan
seterusnya. [13]

Secara sepintas dari dua informasi yang disajikan di atas,


memperlihatkan kepada kita adanya kadar ukuran tertentu yang
menjadi ketentuan-ketentuan yang pasti yang dapat diamati
dalam diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari
hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta. Dalam
hubungan ini dapat kita hayati ungkapan sebuah ayat yang
berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu
dan Dia-lah yang menetapkan qadar/ukurannya secara pasti
serapi-rapinya. [14]

Pembahasan teologis dalam bidang qada dan qadar (masalah


takdir) kurang menyentuh apa yang kami singgung di atas.
Padahal ayat-ayat yang berbicara tentang qudrat-iradat
Allah/kekuasaan dan keagungan Allah, sebagian besar mengaitkan
bermacam-macam fenomena alam yang dimintakan perhatian supaya
manusia mengamatinya dan melakukan penalarannya untuk dapat
membaca tulisan Ilahi yang tersirat di dalamnya. Juga untuk
menemukan sunnatullah atau hukum-hukum kauniyah yang akan
menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah. Mungkin itulah yang
disindir Imam Ghazali dengan ungkapannya:.".. mereka tidak
mampu membaca tulisan Ilahi yang tergurat di atas
lembaran-lembaran alam semesta; tulisan tanpa aksara dan bunyi
itu pasti tidak dapat diraih dengan mata telanjang, tapi harus
dengan mata hati. [15]

-------------------------------------------- (bersambung 2/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM (2/3)
oleh KH. Ali Yafie

Sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an sebagaimana diuraikan


di atas tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang
mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam
nonmateri, bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah
lebih banyak mengacu pada apa yang disebut oleh ilmu
pengetabuan sebagai "hukum sejarah." Ayat-ayat di dalam
surah-surah al-Isra', al-Kahf, al-Ahzab, Fathir, Ghafir,
al-Fath, Ali 'Imran, al-Nisa, al-Anfal, dan lain sebagainya,
yang berbicara tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi
seperti sunnat alawwalin, sunnata man arsalna qablak, sunana
al-ladzina min qablikum, semuanya berkaitan dengan peristiwa
sejarah yang dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya
masing-masing, yang diminta al-Qur'an supaya diamati,
direnungkan dan mengambil pelajaran daripadanya. Dalam rangka
itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman lampau
seperti Fir'aun, Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan
sebagainya. Demikian pula halnya dengan tempat-tempat
bersejarah seperti Badr, Uhud, Hunain, Thur, Hijr, Ahqaf,
Saba', dan sebagainya. Dari sejarah itu tergambar bagaimana
proses kebangkitan suatu umat dan bagaimana proses
kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa
faktor-faktor kegagalan dalam satu perjuangan. Bagaimana
pertarungan antara pahlawan-pahlawan kebenaran dan
akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang
melakukan kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang
memeras golongan lemah, yang hidup bergelimang kemewahan, dan
seterusnya. Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal
tersebut di atas. Hukum yang berlaku sepanjang sejarah
kehidupan manusia, merupakan sebagian dari sunnatullah, yang
berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku natuurwet.

Selain itu, aspek kesejarahan mempunyai juga arti penting


dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu
hukum dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya
dalam ilmu ushul fiqh yang lazim dipakai dalam mengolah hukum
Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul,
asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari
ayatayat, semuanya itu adalah untuk memperjelas proses
terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang
mendorong kehadiran hukum tersebut.

Sunnah Rasullullah saw yang menggambarkan perjuangannya selama


dua dasawarsa lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an
menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam
sejarah. Sukses besar berupa keberhasilan membangun dan
membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan
besar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan
kesejahteraan yang memberi arti bagi kemanusiaan, semua itu
tidaklah lahir dalam sehari dengan kilatan lampu aladin, tapi
merupakan hasil kerja keras yang lama dan berkesinambungan,
yang didorong oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang
tinggi sebagai perwujudan iman dan taqwa. Sunnah Rasulullah
dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan
menghayati sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Dalam
hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat
yang berbicara tentang perjuangan Rasulullah, mengungkapkan
sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan sesuai
dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap
mahluk-Nya. Siapa yang menolong/membela agama Allah dengan
jalan menegakkan keadilan, memantapkan keamanan, menyebarkan
ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu sebagai
alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan
kemakmuran dan untuk menegakkan hukum Allah dalam hal
memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat
memuat janji Allah untuk membantu memenangkan perjuangan
orang-orang mukmin, tapi tidak mewujudkan janji itu dalam
bentuk suatu keajaiban yang langsung turun dari langit, hanya
karena mereka sudah mengaku beriman/percaya kepada Allah, atau
karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran
keimanan yang menjadikan mereka menyadari kewajibannya dan
melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih. Sikap yang
demikian membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi janjinya
kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya pada mereka.
[16]

Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya yang cukup praktis dan
realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah
pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan
antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan
sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan
itu adalah suatu hal yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan
kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari
sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan
atau kehancuran harus disadari dan dihindari.

Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai


titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang
diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah
Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan
al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan
segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi
terjadinya.

Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam


bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam
kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan
hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang
disebut tawakkal. Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung
memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang
menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau
dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum
sebab-musabab (kausal). Keraguan seperti itu sejak dini telah
muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktek
sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan
Rasul saw. yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan
segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu
dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala
ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk
menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhudnya dan
tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah. Dalam hubungan
itu Nabi saw. bersabda, Bertobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga
obat. [l7] Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya
tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar
(taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah
sebahagian dari qadar Allah. [18] Imam Ghazali menjelaskan,
sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari
sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada
kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan
al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal. [39]

Penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an yang dilakukan


fiqh memperlihatkan adanya empat bidang utama yang menjadi
sasaran dari hukum itu, yakni bidang 'ibadat, bidang
mu'amalat, bidang munakahat dan bidang jinayat. Hubungan
manusia sebagai makhluk dengan Khaliqnya (Allah) diatur
penataannya melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia
dengan sesamanya dalam lalulintas pergaulan dan hubungan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam
hukum mu'amalat. Tata hubungan manusia dalam kehidupan
berkeluarga dalam suatu lingkungan rumah tangga, diatur
melalui hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan
keselamatan, keamanan serta kesejahteraannya yang ditegakkan
oleh pemegang kekuasaan umum atau badan peradilan, diatur
melalui hukum jinayat.

Adanya hukum-ibadat dalam batang tubuh hukum Islam yang


bersumber dari al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam.
Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang diimani.
Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan
akidah/keimanan. Hubungan antara makhluk (manusia) dengan
Al-Khaliq, diatur secara pasti. Adanya hukum niat yang diberi
peran menentukan nilai perilaku manusia, memperlihatkan dengan
jelas peran moral dalam hukum itu. Di sini pula tampak titik
awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum
dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an. Menurut ilmu
hukum, hukum itu hanya sekedar mengurus dan mengatur hubungan
antar sesama manusia. Di luar itu tidak diperlukan hukum.
Selain itu, masih ada perbedaan asasi antara kedua jenis hukum
itu. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari
suruhan/perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa
yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong
hukum. Dengan demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam
rangka pembinaan hukum, hanya diarahkan supaya tidak melanggar
rambu-rambu hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan
yang semu dan bersifat lahiriah belaka. Sebaliknya hukum
menurut ajaran al-Qur'an penegakkannya berjalan sekaligus
dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari
akidah/keimanan. Karena itu penegakkan hukum menurut ilmu
hukum selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hukum
selalu terjadi pelanggaran hukum. Pembinaan hukum di sini
tidak diarahkan kepada pembinaan diri manusianya. Dalam
penegakkan hukum menurut ajaran al-Qur'an selalu ditekankan
suatu pesan sebagai berikut, Wahai orang-orang yang berilmu!
jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan keluarga kerabatmu; kaya maupun miskin,
Allah jualah yang lebih tabu keadaannya. Maka janganlah kalian
mengikuti hawa nafsumu, supaya kalian tidak menyimpang (dari
kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (kebenaran) atau
enggan menjadi saksi. Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala apa yang kalian lakukan. [20] Itulah pesan al-Qur'an,
bagaimana seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari
dan terhadap orang lain saja, yang pertama ialah dari dan
terhadap dirinya sendiri.

Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim,


atau adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya,
secara dini al-Qur'an memperingatkan, Dan janganlah sebagian
dari kalian memakan harta benda sebagian yang lain dengan
jalan batil dan jangan pula mempergunakan harta itu sebagai
umpan (guna menyuap) para hakim, supaya kalian dapat memakan
sebahagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kalian mengetahui. [2l]

Dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku


memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai
berikut, Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara
kepadaku (untuk diputus). Mungkin sebahagian dari kalian lebih
mampu dari yang lain (lawannya) mengemukakan alasan-alasan
untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus perkara itu
atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu.
Maka barang siapa menerima putusan perkara (yang ia sendiri
tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka
janganlah ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya
mengambil (menerima dariku) sepotong api neraka. Demikian
sabda Rasulullah. [22]

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM (3/3)
oleh KH. Ali Yafie

Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu


konsepsi hukum yang bersifat integral. Di dalamnya terpadu
antara sunnatullah dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana
terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral/ahklak, dengan
hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.

Dengan sifatnya yang demikian itu, maka hukum dari ajaran


al-Qur'an itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya
tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan
pemaksa dari luar hukum itu. Ide hukum yang diajarkan
al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur
ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung
pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur
dalam perut sejarah atau sekurang-kurangnya menjadi barang
pajangan di lemari-lemari museum. Karena kita semua cukup
mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang
mampu menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai
upaya melikwidasi budaya dan hukumnya. Tapi ternyata hukum
Islam dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya
tahannya yang ampuh. Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam
bentuk baru melalui proses taqnin (dirumuskan menjadi positif
melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui berbagai bentuk
perundang-undangan).

Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat


pesat, yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari
pandangan yang negatif terhadap Islam dan al-Qur'an, yang
sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat. Salah satu gejala dari
perkembangan tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk
mempelajari Islam/Qur'an, sebagai ilmu. Dalam rangka itu para
ahli hukum dari mereka, dari kongres ke kongres mulai terbuka
pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya dan
terinci adalah fiqh (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqh ini
dijadikan agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian mereka di
bidang hukum. Sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil
Kongres Ahli-ahli Hukum Internasional yang berlangsung di
London (2-7 Juli 1951) yang antara lain menetapkan,
pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama
Islam merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit
dibantah kebenarannya. Disamping itu, adanya berbagai madrasah
dan madzhab di dalamnya menunjukkan, perundang-undangan Islam
kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang indah,
sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup
modern. [23] Dalam rangka pembangunan hukum di negara kita
Republik Indonesia, pembangunan dan pembinaan hukum nasional
diarahkan kepada pembaharuan hukum yang sesuai dengan
kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai
kelanjutan dari pokok pikiran ini, sejak 1978 sampai dengan
1983 telah dilaksanakan pengkajian hukum yang meliputi antara
lain Hukum Islam. Terakhir kita mendengar selesainya upaya
kompilasi Hukum Islam yang dilakukan Mahkamah Agung bersama
Departemen Agama.

Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an hidup terus, sekali pun


harus mengalami pasang surut dan pasang naik dan penerapannya,
karena memang demikianlah hukum sejarah dalam sunnatullah
sendiri. Namun harus diakui, perkembangan segi-seginya
tidaklah seimbang. Seginya yang menyangkut hukum sosial
kemasyarakatan (ahkam syar'iyah 'amaliyah/fiqh) lebih banyak
mendominasi perkembangan itu. Dan seginya yang menyangkut
sunatullah berupa hukum alam dan sejarah, kurang mendapat
perhatian dalam pengembangannya. Tetapi bagaimana pun juga,
perkembangan segi fiqhnya yang merumuskan hukum sosial
kemasyarakatan itu, sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran
hukum dan sikap normatif dalam kehidupan umat Islam.

Selain itu, wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an,


penerapannya ternyata juga kurang terpadu antara
hukum-hukumnya yang menyangkut segi sosial kemasyarakatan,
dengan hukum-hukumnya yang menyangkut sunnatullah yang berupa
hukum alam dan hukum sejarah. Dua hal yang disinggung terakhir
ini, yakni keseimbangan dan keterpaduan dalam hal pemahaman,
pelaksanaan dan pengembangan wawasan hukum yang diperkenalkan
al-Qur'an itu merupakan tantangan bagi para ulama dan para
cendekiawan Muslim.

CATATAN

1) QS. al-A'raf:87; Hud:45.

2) QS. al-Mumtahanah:10; al-Maidah:43; dan lain-lain.

3) QS. al-Nisa':68.

4) QS. al-Maidah:42

5) QS. al-Maidah:8.

6) UUD 1945, Penjelasan Umum.

7) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman

8) QS. 'Ali 'Imran.83; Al-Ra'd:15.

9) Jonathan Rutland, Human Body.

10) QS. Fusshilat:53.

11) QS. Yunus:101.

12) QS. al-A'raf: 185.

13) QS. 'Ali 'Imran:190/191.

14) Taisir Ibn' Katsir, I/440.

15) QS. Yunus:15.

16) QS. Yasln:38/40.

17) QS. Fathir :43.

18) QS. al-Ahzab:38.

19) QS. al-Qamar:49.

20) Ilmu Pengetahuan Populer, Grolier Internasional Inc.


IV/146.

21) QS. al-Furqan:2

22) Ihya 'Ulum al-Din, al-Ghazali, LV/89.

23) Min Taujuhat al-Islam, Syaltut, h.272.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (1/4)
oleh Nurcholish Madjid

Masalah kebahagiaan (sa'adah) dan kesengsaraan (syaqawah)


adalah masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan
hidup manusia tak lain ialah memperoleh kebahagiaan dan
menghindari kesengsaraan. Semua ajaran, baik yang bersifat
keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti
Marxisme, misalnya) menjanjikan kebahagiaan bagi para
pengikutnya dan mengancam para penentangnya dengan
kesengsaraan. Gambaran tentang wujud kebahagiaan atau
kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran dan
ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang
dijanjikannya atau kesengsaraan yang diancamkannya adalah
jenis yang paling sejati dan abadi.

Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan


kesengsaraan itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang
kehidupan di surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang
surga dan neraka itu berbeda-beda --dalam banyak hal perbedaan
itu sangat radikal dan prinsipil-- namun semuanya menunjukkan
adanya keyakinan yang pasti tentang pengalaman kebahagiaan
atau kesengsaraan dalam hidup manusia.

Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi hanya di dunia


ini saja seperti dalam Marxisme, atau di akhirat saja seperti
dalam agama-agama other-wordly, atau di dunia dan akhirat
seperti dalam Islam. Kitab Suci al-Qur'an menyajikan banyak
ilustrasi dan penegasan yang kuat tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya
manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (syaqiy
penyandang syaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia
(sa'id, penyandang sa'adah, yakni kebahagiaan). Al-Qur'an
melukiskan keadaan itu demikian,

Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan
berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi
menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.

Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka
di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di
dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti
melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.

Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga,
kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada
kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah
yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108)

Munculnya persoalan pengertian kebahagiaan dan kesengsaraan


ini dalam Islam, patut kita bahas secara sungguh-sungguh,
disebabkan adanya perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci
yang menggambarkan kebahagiaan dan kesengsaraan itu.
Perselisihan tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu,
yaitu, apakah berupa pengalaman kerohanian semata, atau
pengalaman jasmani semata, ataukah pengalaman rohani dan
jasmani sekaligus, merupakan bagian dari dialog Islam sejak
masa klasik.

Dalam tulisan ini kita akan membicarakan konsep kebahagiaan


dan kesengsaraan sebagai pengalaman keagamaan (pribadi). Ini
akan banyak menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian
yang cukup rumit, namun dirasa perlu kita mulai membahasnya
mengingat perkembangan keagamaan di negeri kita yang pesat
dengan tuntutan-tuntutannya yang terus meningkat.

KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN: JASMANI DAN ROHANI?

Di atas telah disinggung, sebagian agama mengajarkan adanya


kebahagiaan dan kesengsaraan rohani semata. Bagi agama-agama
itu, kehidupan jasmani adalah kesengsaraan, karena sifatnya
yang membelenggu sukma manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh
dengan tindakan dan perilaku meninggalkan dunia, dalam
orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan rohani saja.

Marxisme, tentu saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan


atau kesengsaraan yang hanya bersifat jasmani, dan dengan
sendirinya, semua itu berlangsung hanya dalam hidup di dunia
ini saja. Ateisme dengan sendirinya mengingkari kehidupan
sesudah mati atau akhirat. Kaum Marxis yang ateis ini mirip
dengan gambaran dalam al-Qur'an tentang golongan manusia
pemuja waktu (al-Dahr), yang hanya mempercayai kehidupan
duniawi ini saja, dan kematian adalah fase final hidup
manusia, bukan fase peralihan seperti diyakini agama-agama
(Lihat QS. al-Jatsiyah/45:24).

Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan


rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan
keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan
nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS.
al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat
belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan
di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi
belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka
manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta
berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.
al-Baqarah/2:200).

Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia


sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang
beriman dan berbuat baik. Kehidupan yang bahagia di dunia
menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih bahagia
di akhirat.

Barangsiapa berbuat baik, dari kalangan pria maupun wanita,


dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik (di dunia), dan pastilah akan Kami
ganjarkan kepada mereka pahala mereka (di akhirat), sesuai
dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan (QS.
al-Nahl/16:97).

Demikian itu masalah kebahagiaan, demikian pula masalah


kesengsaraan. Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat
jahat diancam baginya kesengsaraan dalam hidup di dunia ini
sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat,

Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah


neraka. Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka
dikembalikan ke dalamnya, sambil dikatakan kepada mereka:
"Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang dahulu kamu
dustakan." Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan
azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih
besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali. (QS.
al-Sajdah/32:20-21)

Penegasan-penegasan ini tidak perlu dipertentangkan dengan


penegasan-penegasan terdahulu di atas bahwa ada perbedaan
antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi, dan bahwa
tidak selamanya mengejar salah satu akan dengan sendirinya
menghasilkan yang lain. Tapi memang ada dan banyak, perilaku
lahir dan batin manusia yang membawa akibat pada adanya
pengalaman kebahagiaan atau kesengsaruan duniawi dan ukhrawi
sekaligus. Beberapa nilai akhlak luhur seperti jujur, dapat
dipercaya, cinta kerja keras, tulus, berkesungguhan dalam
mencapai hasil kerja sebaik-baiknya (itqan), tepat janji,
tabah, hemat, dan lain-lain adalah pekerti-pekerti yang
dipujikan Allah sebagai ciri-ciri kaum beriman. Ciri tersebut
akan membawa mereka pada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
sekaligus, dengan kebahagiaan di akhirat yang jauh lebih
besar.

MASALAH INTERPRETASI

Meskipun para ulama sepakat tentang adanya kebahagiaan dan


kesengsaraan dunia-akhirat itu, mereka tetap berselisih
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dan abadi

Pangkal perbedaan itu ialah adanya perbedaan dalam tafsiran


atas berbagai keterangan suci tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan, baik dari al-Qur'an maupun Sunnnah, khususnya
keterangan atau pelukisan tentang surga dan neraka Yaitu
perbedaan antara mereka yang memahami teks-teks suci secara
harfiah dan mereka yang melakukan interpretasi metaforis
(ta'wil)

Bagi mereka yang memahami teks-teks suci itu secara harfiah,


pengertian tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akan cenderung
bersifat fisik. Sebab hampir seluruh keterangan dan pelukisan
tentang surga dan neraka dalam Kitab dan Sunnah menggambarkan
tentang pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan yang serba
fisik. Kemudian ada beberapa keterangan, baik dalam Kitab
maupun Sunnah yang memberi isyarat bahwa pengalaman
kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik, melainkan rohani
atau sekurang-kurangnya psikologis.

Dalam kemungkinan tinjauan yang lebih menyeluruh, yang


dikaitkan dengan "kebijaksanaan" Tuhan sebagai yang Maha
Kasih-Sayang dan Maha Adil, maka pelukisan kebahagiaan dan
kesengsaraan apa pun harus diterima sebagai sesuatu yang
wujudi atau eksistensial, dan harus dipahami dalam konteks
adres pembicaraan (al-mukhathab). Ibn Rusyd mengaitkan perkara
ini dengan kenyataan terbaginya manusia dalam susunan tinggi
dan rendah, yang melahirkan piramida eksistensial, manusia
dengan kaum khawas (al-khawash atau orang-orang khusus, the
specials) menempati puncak piramida itu, dan kaum awam
(al-awam orang-orang umum atau kebanyakan, the commons)
menempati bagian-bagian bawah sampai ke dasar piramida. Kaum
awam ini membentuk bagian terbesar struktur piramidal
masyarakat manusia.

Meskipun pendekatan ini mengesankan elitisme, namun dalam


pandangan Ibn Rusyd tidaklah terhindarkan karena kenyataan
dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu yang
jumlahnya tidak banyak, yang sanggup memahami kebenaran-
kebenaran hakiki lewat alegori-alegori dengan melakukan
"penyeberangan" (al-i'tibar) ke pengertian-pengertian
sebenarnya di balik alegori-alegori. Bagi mereka ini, seluruh
keterangan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, berbentuk
pelukisan kehidupan di surga dan neraka dalam Kitab Suci dan
Sabda Nabi, adalah metafor-metafor atau makna-makna kiasan
(majaz). Mereka yang mampu memahaminya dengan melakukan
al-i'tibar, jika mendapatkan bahwa pengertian harfiah
pelukisan itu adalah mustahil atau absurd, menurut Ibn Rusyd
wajib melakukan pemahaman serupa itu. Pemahaman me lalui
metode i'tibar adalah interpretasi alegoris atau ta'wil.
Dengan jalan itu kaum khawas dapat menerima agama dan rahmat
yang dikandung agama itu pada dataran yang lebih tinggi
daripada kaum awam.

Tapi Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Kasih-Sayang kepada


sekalian umat manusia tentu mustahil mengalamatkan sabda-Nya
hanya kepada orang-orang khusus yang jumlahnya sedikit itu.
Sebab dengan demikian berarti Tuhan menjanjikan kebahagiaan
hanya kepada kelompok kecil manusia saja, suatu hal yang jelas
mustahil yang kualifikasi kelompok kecil itu ialah kesanggupan
memahami hal-hal abstrak di balik ungkapan-ungkapan kiasan.
Karena itu Tuhan juga mengarahkan sabda-Nya kepada khalayak
umum, sesuai dan setingkat dengan cara berfikir serta
kemampuan mereka menangkap pesan dan memahami masalah. Karena
itu, dalam pandangan Ibn Rusyd dan para filsuf Muslim,
pelukisan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan dalam Kitab
Suci dan Sunnah Nabi kebanyakan bersifat fisik, karena memang
pelukisan yang bersifat fisik itulah yang dapat ditangkap dan
dipahami umum. Karena yang pokok ialah iman kepada Allah serta
berbuat baik, maka pengertian tentang hakikat kebahagiaan dan
kesengsaraan itu menjadi kurang relevan bagi kaum awam. Mereka
ini wajib menerima pelukisan tentang surga dan neraka apa
adanya, sesuai dengan cara yang sekiranya akan mendorong
mereka berbuat baik dan mencegah dari berbuat jahat. (Lihat
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqa]).

-------------------------------------------- (bersambung 2/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (2/4)
oleh Nurcholish Madjid

Para filsuf menemukan dukungan bagi metodologi ta'wil mereka


dalam berbagai penjelasan, bahwa dalam al-Qur'an Tuhan memang
menyediakan berbagai "tamsil-ibarat", alegori atau metafor,
termasuk mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Maka sementara
masalah adanya kebahagiaan dan kesengsaraan itu, baik di dunia
maupun di akhirat, adalah nyata dan tidak mungkin diingkari,
namun "tamsil-ibarat" dan pelukisan mengenai hakikatnya dapat
menerima penafsiran-penafsiran, termasuk penafsiran alegoris
(tamtsili ataupun ta'wil). Bahwa banyak kandungan al-Qur'an
yang bersifat tamsil-ibarat, dapat dipahami dari firman
berikut,

Dan sungguh telah Kami (Tuhan) beberkan untuk manusia dalam


al-Qur'an ini setiap bentuk tamsil-ibarat. Namun kebanyakan
manusia tidak menerimanya, kecuali dengan sikap ingkar. (QS.
al-Isra'/17:89, lihat juga QS. al-Kahf/16:54, QS. al-Rum/30:58
dan QS. al-Zumar/39:27).

Lebih jauh lagi, ada berbagai isyarat bahwa keterangan tentang


surga dan neraka pun bersifat tamsil-ibarat, seperti dapat
diketahui dari firman berikut,

Tamsil-ibarat surga (jannah: kebun) yang dijanjikan untuk


mereka yang bertaqwa ialah, sungai-sungainya mengalir di
bawahnya, dan buah-buahannya tumbuh tanpa berhenti, demikian
pula naungan rindang yang diberikannya. Itulah tempat
kesudahan bagi mereka yang bertaqwa, sedangkan tempat
kesudahan mereka yang menentang ialah api neraka. (QS.
Al-Rad/13:35)

Tamsil-ibarat surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang


bertaqwa ialah, di dalamnya ada sungai-sungai dari air, yang
tidak akan rusak; dan sungai-sungai dari susu, yang tidak akan
berubah cita-rasanya; dan sungai-sungai dari khamar, yang
segar melezatkan bagi yang meminumnya, dan sungai-sungai dari
madu, yang murni-bersih. Di dalam surga itu mereka mendapatkan
buah-buahan dari segala macam, juga memperoleh ampunan dari
Tuhan mereka. Sebagaimana juga (tamsil-ibarat) orang yang
kekal di dalam neraka, yang diberi minum dengan air mendidih,
yang minuman itu memotong-motong usus mereka. (QS.
Muhammad/47:15)

Jadi karena pelukisan tentang surga dan neraka itu disebut


sebagai tamsil-ibarat dalam al-Qur'an, sepatutnya tidaklah
dipahami menurut makna bunyi lafal lahiriahnya. Inilah yang
dicari dan dikejar para filsuf dan kaum sufi. Karena merupakan
pemahaman keagamaan yang lebih batini (esoterik) daripada
lahiri (eksoterik), maka filsafat dan tasawuf acapkali sengaja
dibuat tidak bisa diarah oleh orang umum, dan disampaikan
hanya kepada kalangan tertentu yang terbatas, sebagai ajaran
"rahasia" bagi kaum khawas. Dan memang kenyataannya pendekatan
esoterik senantiasa sulit dipahami kaum awam, sehingga banyak
salah pengertian yang kemudian mengundang polemik dan
kontroversi. Beberapa pelopor pemahaman esoterik, seperti
al-Hallaj dan Suhrawardi, harus menemui kematian di tangan
penguasa, akibat intrik-intrik politik yang menjerat mereka.
Sebagian tokoh lagi, seperti Ibn 'Arabi, telah meninggalkan
karya-karya besar yang sampai sekarang dipelajari orang dengan
penuh minat, dan ketokohannya disanjung dan dikecam secara
sama. Walaupun pemahaman esoterik senantiasa rumit, sulit dan
ruwet, namun tidak berarti tertutup rapat untuk setiap orang,
malah dalam banyak hal merupakan kebutuhan. Karena tidak
jarang pendekatan esoterik memang menyegarkan.

BAHAGIA DAN SENGSARA: PANDANGAN KEFILSAFATAN DAN KESUFIAN

Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak


lagi dapat dipertahankan sepenuhnya sebagai kerahasiaan,
karena berbagai hal. Pertama, karena akses pada bahan bacaan,
termasuk di bidang kesufian atau mistisisme, yang tumbuh pesat
tidak mungkin lagi dibendung. Bahkan kiranya memang tidak
perlu dan tidak dibenarkan untuk dibendung. Kedua, tingkat
kecerdasan anggota masyarakat yang semakin tinggi menuntut
pengertian-pengertian agama yang tidak konvensional atau,
apalagi, stereotipikal. Ketiga pergaulan kemanusiaan sejagad
makin tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi informasi
dan transportasi.

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan di atas,


pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan
sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang
lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih
psikologis daripada fisiologis. Selain berdasarkan isyarat
tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai
tamsil-ibarat di atas, kaum sufi dan para filsuf juga
mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi
jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam
ridla Allah. Sebuah firman mengatakan,

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun


wanita, surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
kekal di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat
tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan
keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya
kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72)

Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan,

... Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman, Surga-surga


yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana
selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah, dalam
surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang
tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan
sesuatu yang lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan
dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi
tidak seberapa di depan hebatnya keridlaan Allah yang Maha
Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar.

Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya,


saat pembebasan diri dari kungkungan jasad yang campur aduk
ini serta dari beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya,
saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar
dari Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya, saat
pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan berkas
Ruh Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang
bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam
suasana kesucian total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah
bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap harapan...
Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan
sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah
kebahagiaan sejati yang agung". (Sayyid Quthub, Fi Zhilal
al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5)

Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan


filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran
bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung, sebagai
keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan
Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu
semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah
sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni,
bersifat penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran
Kebenaran Ilahi). Metodologi seperti itu dikembangkan dalam
tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup
sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani
(riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang
diajarkan kaum sufi.

KEBEBASAN DAN KEBAHAGIAAN

Salah satu tema utama dalam metodologi kesufian ialah


takhalli, yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari
setiap belenggu yang menghalangi jalan kepada Allah.
Pembebasan adalah juga salah satu tema pokok seruan Nabi
kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya
dan tradisi, jika menghalangi pada Kebenaran. Jika kalimat
persaksian dimulai dengan al-nafy atau peniadaan dalam fase
negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari
setiap belenggu. Belenggu itu dilambangkan dalam konsep
tentang "Tuhan" atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek
ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus
mutlak diteruskan dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase
afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang menurut banyak ahli
termasuk 'Ali ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk
dari kata-kata Illah dan artikel "al"-yakni, Tuhan atau
Sesembahan yang sebenarnya), maka yang dimaksudkan ialah
kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan yang sebenarnya itu
dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain.

-------------------------------------------- (bersambung 3/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (3/4)
oleh Nurcholish Madjid

Karena Allah adalah Wujud yang tak dapat dibandingkan dengan


sesuatu apapun (laysa ka-mitslihi syay-un, QS. al-Syura
42:11), serta tiada suatu apa pun yang sepadan dengan Dia (wa
lam yakun lauu kufuw-an ahad-un, QS.al-Ikhlash/112:4) maka
tunduk pada Tuhan berarti tunduk dalam maknanya yang dinamis,
berupa usaha yang tulus dan murni untuk mencari, dan terus
mencari Kebenaran. Usaha mencari Kebenaran inilah sifat
kehanifan (hanifiyyah) manusia atas dorongan fithrah atau
kejadian asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk secara benar
--dalam bahasa Arab disebut Islam, yaitu sikap pasrah yang
tulus kepada Allah, Tuhan yang sebenarnya-- justru akan secara
langsung membawa pada kebebasan dan pembebasan diri dari
setiap nilai dan pranata yang membelenggu sukma.

Tuhan tidak mungkin diketahui manusia sebab tidak akan


terjangkau oleh pikiran dan khayalnya, maka sesungguhnya
keyakinan atau klaim "mengetahui Tuhan" (yang diindikasikan
oleh sikap "berhenti mencari") adalah suatu jenis
pembelengguan diri. Tidak saja karena hal ini akan merupakan
contradiction in terms (berupa kemustahilan suatu wujud nisbi
seperti manusia dapat menjangkau atau mengetahui Wujud Mutlak,
yaitu Tuhan), tapi juga akan berarti bahwa Tuhan telah
disejajarkan dengan apa yang tercapai oleh pikirannya sendiri.
Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri
dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri
sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan
keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang
mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan. Inilah
antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di
antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya
sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23).

Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan


afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti
dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi
atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu,
atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis
tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang
berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut
sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian,

Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu,


anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta
karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu
kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta
tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua)
lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada
perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah
melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk
kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS. al-Tawbah/9:24)

Firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi D4uhammad datang


untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun
kecil. Juga tidak untuk mendoronng manusia agar meninggalkan
kegiatan duniawi. Yang pertaa tidak benar, karena al-Qur'an
sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih
di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan
yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan
pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan
kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu
hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya. Firman
Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran,
yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah
seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya,
baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau
pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat
tinggal). Sebab seperti dikatakan A. Yusuf Ali dalam
menafsirkan firman ini,

Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang


tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib
kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau
cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4)
gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan.
Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita
harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus
mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua. (A.
Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary,
Brentwood, Maryland: Amana Corp, 1983, h. 445, catatan 1272).

Serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih,


sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah
menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan
ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan
melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35). Dalam melakukan
pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan,
Erich Fromm mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa
tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua,
melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas
dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan
kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas
sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati. (Erich Fromm,
Psychoanalysis and Religion, New Haven, Conn,: Yale University
Press, 1972, h. 78).

Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang


diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu
merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada
bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan." Tetapi
pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio
ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan
sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang
Kebenaran.

"TANYALAH JALAN" (SAL SABIL-AN)

Setelah proses pembebasan, separoh lagi jalan yang harus


ditempuh ialah yang dilambangkan dalam pernyataan tekad untuk
tunduk pada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan
konsistensi pertanyaan afirmatif atau al-itsbat pada bagian
kedua kalimat syahadat, "kecuali Allah". Inilah Islam yaitu
ketundukan kepada Yang Maha Benar (al-Haqq). Telah dikemukakan
bahwa ketundukan kepada Allah Sang Kebenaran Mutlak, adalah
ketundukan yang dinamis, artinya ketundukan dalam wujud usaha
tak kenal henti secara tulus "mencari"' "mendekat" (taqarrub),
dan akhirnya "bertemu" (liqa) dengan Kebenaran. Usaha
terus-menerus mencari Kebenaran itu disebut berjalan menempuh
"Jalan Allah" (sabil al-Lah), dan wujud nyata usaha tersebut
pada pribadi yang bersangkutan ialah adanya kualitas
"kesungguhan dalam berusaha" (dinyatakan dalam kata-kata Arab
juha -usaha penuh kesungguhan), sehingga melahirkan sikap
hidup jihad (dalam dimensinya yang lebih fisik), ijtihad
(dalam dimensinya yang lebih intelektual), dan mujahadah
(dalam dimensinya yang lebih spiritual). Yang pertama banyak
ditempuh oleh ahli perang dan para pahlawan, yang kedua oleh
para pemikir baik dalam bidang fiqh maupun Kalam, dan yang
ketiga oleh kaum sufi dan ahli 'Irfan.

Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga
disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan
itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci,
yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat
terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke
arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru
karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak
dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus
itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti
menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam
perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus
terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah
tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita
tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan
kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu?

Pertanyaan dan penanyaan itu adalah eksistensial dan esensial


sekali dalam mencari, mendekat dan bertemu dengan Kebenaran.
Pertanyaan dan penanyaan itulah yang mendasari ketulusan hati
dalam permohonan kepada Tuhan, Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus (QS. al-Fatihah/1:6). Seorang yang memang tunduk patuh
kepada Allah (muslim) akan terus menerus memohon petunjuk
jalan yang lurus itu, terutama dalam setiap kali shalat,
kemudian "diaminkan," baik secara sendirian maupun bersama
orang lain. Dan kalau shalat itu disebutkan dalam al-Qur'an
sebagai kewajiban atas kaum beriman dengan dikaitkan pada
pembagian waktu selama sehari-semalaman (pagi, siang, sore,
saat terbenam matahari dan malam) (QS. al-Nisa 4:103), maka
salah satu "pesan" yang dikandungnya ialah agar kita bertanya
tentang jalan yang lurus itu setiap saat, tanpa
henti-hentinya. Ini berarti bahwa jalan yang telah kita
tempuh, juga yang akan kita tempuh, tak boleh dipastikan
sebagai mutlak lurus. Justru amat berharga dalam menempuh
jalan itu semangat mencari dan berusaha yang sungguh-sungguh,
yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah tersebut tadi. Dalam
kesungguhan mencari dan menemukan jalan itu kita tidak perlu
takut membuat kekeliruan, asalkan tak disengaja, karena
kekeliruan pun, yang toh tidak akan kita sadari pada saat
mengalaminya sendiri, masih akan memberi kebahagiaan, meskipun
tidak sepenuhnya. Inilah makna penegasan Nabi bahwa
barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh, lalu ia menempuh
jalan yang (ternyata) benar, ia akan mendapatkan pahala ganda,
dan jika (ternyata) keliru, maka ia masih mendapatkan satu
pahala (sebuah Hadist terkenal).

Sesungguhnya dalam Al-Qur'an dilukiskan bahwa berusaha secara


dinamis, mencari dan menemukan jalan ke arah Kebenaran itu
sendiri, sudah merupakan sumber mata air pengalaman
kebahagiaan yang tinggi. Al-Qur'an melukiskan bahwa dalam
surga, yaitu dalam tempat dan lingkungan pengalaman
kebahagiaan sejati, para penghuninya akan diberi minum yang
sejuk dan amat menyegarkan yang airnya diambil dari mata air
yang bernama "salsabil-an" atau "sal sabil-an." Sebuah
metafor, alegori atau makna kiasan yang sungguh indah; karena
perkataan Arab sal sabil-a itu tidak lain arti harfiahnya
ialah "tanyalah jalan".

Mereka (yang bahagia) di sana disajikan minuman dalam piala


yang ramuannya ialah zanjabil, dari mata air yang ada, yang
disebut salsabil. (QS. al-Insan/76:17-18)

Menafsirkan metafor dalam firman ini, Muhammad Asad mengatakan


bahwa begitulah Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana dikutip
Zamakhsyari dan Razi, menerangkan kata-kata salsabil-an jelas
merupakan kata majemuk itu, yang dapat dibagi menjadi dua
komponen, "salsabil-an" ("tanyalah [atau "carilah"] jalan"):
yakni, "carilah jalanmu ke surga dengan cara melakukan
perbuatan baik". (Lihat, Muhammad Asad, The Message of the
Qur'an, h. 917, catatan 17). Dan Yusuf Ali menafsirkan firman
itu dengan mengatakan bahwa mata air salsabil (-an) ini
membawa kita kepada ide metaforis yang lain. Perkataan itu
secara harfiah berarti, "Carilah Jalan". Jalan itu sekarang
terbuka menuju Hadirat Yang Maha Tinggi... (Lihat, A. Yusuf
Ali, The Holy Qur'an, h. 1658, catatan 5850).

Kembali kepada metodologi takhalli di kalangan kaum Sufi,


telah kita bicarakan, metodologi itu mengharuskan adanya
proses pengosongan diri dari anggapan-anggapan, asumsi-asumsi
dan klaim-klaim tentang pengetahuan yang benar, agar supaya
dalam menempuh jalan lurus mencari Kebenaran itu terjadi
kemurnian sejati (ikhlash). Jika dalam konteks duniawi
berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka
dalam konteks pencarian Kebenaran sejati itu, pra-asumsi dan
premis justru harus dilepaskan. Tapi, meskipun tanpa ada
pra-asumsi atau premis, berpikir dalam konteks kesufian
tidaklah berarti tiadanya rasionalitas. Kenyataan bahwa
al-Qur'an senantiasa menyerukan penggunaan akal untuk mencari
dan menerima Kebenaran menunjukkan bahwa antara rasio dan
pengalaman keagamaan tidaklah terdapat pertentangan. Justru
tasawuf sebagai bidang yang menggarap segi esoterik keagamaan,
adalah suatu bentuk perkembangan rasionalitas yang tertinggi.
Kata Erich Fromm:

I should like to note that, quite in contrast to a populer


sentiment that mysticism is an irrational type of religious
experience, it represents", the higgest development of
rationality in religious thinking. As Albert Schweitzer has
put it: "Rational thinking which is free from assumptions ends
in mysticism." (Erich Fromm, ibid, h. 90, catatan 9).

(Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan


perasaan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman
keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan
perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan.
Seperti dinyatakan oleh Albert Schweitzer: "Pemikiran rasional
yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme").

-------------------------------------------- (bersambung 4/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN (3/4)
oleh Nurcholish Madjid

Karena Allah adalah Wujud yang tak dapat dibandingkan dengan


sesuatu apapun (laysa ka-mitslihi syay-un, QS. al-Syura
42:11), serta tiada suatu apa pun yang sepadan dengan Dia (wa
lam yakun lauu kufuw-an ahad-un, QS.al-Ikhlash/112:4) maka
tunduk pada Tuhan berarti tunduk dalam maknanya yang dinamis,
berupa usaha yang tulus dan murni untuk mencari, dan terus
mencari Kebenaran. Usaha mencari Kebenaran inilah sifat
kehanifan (hanifiyyah) manusia atas dorongan fithrah atau
kejadian asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk secara benar
--dalam bahasa Arab disebut Islam, yaitu sikap pasrah yang
tulus kepada Allah, Tuhan yang sebenarnya-- justru akan secara
langsung membawa pada kebebasan dan pembebasan diri dari
setiap nilai dan pranata yang membelenggu sukma.

Tuhan tidak mungkin diketahui manusia sebab tidak akan


terjangkau oleh pikiran dan khayalnya, maka sesungguhnya
keyakinan atau klaim "mengetahui Tuhan" (yang diindikasikan
oleh sikap "berhenti mencari") adalah suatu jenis
pembelengguan diri. Tidak saja karena hal ini akan merupakan
contradiction in terms (berupa kemustahilan suatu wujud nisbi
seperti manusia dapat menjangkau atau mengetahui Wujud Mutlak,
yaitu Tuhan), tapi juga akan berarti bahwa Tuhan telah
disejajarkan dengan apa yang tercapai oleh pikirannya sendiri.
Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri
dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri
sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan
keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang
mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan. Inilah
antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di
antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya
sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23).

Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan


afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti
dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi
atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu,
atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis
tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang
berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut
sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian,

Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu,


anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta
karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu
kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta
tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua)
lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada
perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah
melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk
kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS. al-Tawbah/9:24)

Firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi D4uhammad datang


untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun
kecil. Juga tidak untuk mendoronng manusia agar meninggalkan
kegiatan duniawi. Yang pertaa tidak benar, karena al-Qur'an
sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih
di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan
yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan
pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan
kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu
hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya. Firman
Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran,
yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah
seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya,
baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau
pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat
tinggal). Sebab seperti dikatakan A. Yusuf Ali dalam
menafsirkan firman ini,

Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang


tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib
kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau
cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4)
gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan.
Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita
harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus
mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua. (A.
Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Text, Translation and Commentary,
Brentwood, Maryland: Amana Corp, 1983, h. 445, catatan 1272).

Serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih,


sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah
menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan
ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan
melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35). Dalam melakukan
pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan,
Erich Fromm mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa
tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua,
melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas
dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan
kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas
sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati. (Erich Fromm,
Psychoanalysis and Religion, New Haven, Conn,: Yale University
Press, 1972, h. 78).

Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang


diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu
merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada
bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan." Tetapi
pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio
ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan
sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang
Kebenaran.

"TANYALAH JALAN" (SAL SABIL-AN)

Setelah proses pembebasan, separoh lagi jalan yang harus


ditempuh ialah yang dilambangkan dalam pernyataan tekad untuk
tunduk pada Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan
konsistensi pertanyaan afirmatif atau al-itsbat pada bagian
kedua kalimat syahadat, "kecuali Allah". Inilah Islam yaitu
ketundukan kepada Yang Maha Benar (al-Haqq). Telah dikemukakan
bahwa ketundukan kepada Allah Sang Kebenaran Mutlak, adalah
ketundukan yang dinamis, artinya ketundukan dalam wujud usaha
tak kenal henti secara tulus "mencari"' "mendekat" (taqarrub),
dan akhirnya "bertemu" (liqa) dengan Kebenaran. Usaha
terus-menerus mencari Kebenaran itu disebut berjalan menempuh
"Jalan Allah" (sabil al-Lah), dan wujud nyata usaha tersebut
pada pribadi yang bersangkutan ialah adanya kualitas
"kesungguhan dalam berusaha" (dinyatakan dalam kata-kata Arab
juha -usaha penuh kesungguhan), sehingga melahirkan sikap
hidup jihad (dalam dimensinya yang lebih fisik), ijtihad
(dalam dimensinya yang lebih intelektual), dan mujahadah
(dalam dimensinya yang lebih spiritual). Yang pertama banyak
ditempuh oleh ahli perang dan para pahlawan, yang kedua oleh
para pemikir baik dalam bidang fiqh maupun Kalam, dan yang
ketiga oleh kaum sufi dan ahli 'Irfan.

Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga
disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan
itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci,
yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat
terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke
arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru
karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak
dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus
itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti
menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam
perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus
terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah
tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita
tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan
kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu?

Pertanyaan dan penanyaan itu adalah eksistensial dan esensial


sekali dalam mencari, mendekat dan bertemu dengan Kebenaran.
Pertanyaan dan penanyaan itulah yang mendasari ketulusan hati
dalam permohonan kepada Tuhan, Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus (QS. al-Fatihah/1:6). Seorang yang memang tunduk patuh
kepada Allah (muslim) akan terus menerus memohon petunjuk
jalan yang lurus itu, terutama dalam setiap kali shalat,
kemudian "diaminkan," baik secara sendirian maupun bersama
orang lain. Dan kalau shalat itu disebutkan dalam al-Qur'an
sebagai kewajiban atas kaum beriman dengan dikaitkan pada
pembagian waktu selama sehari-semalaman (pagi, siang, sore,
saat terbenam matahari dan malam) (QS. al-Nisa 4:103), maka
salah satu "pesan" yang dikandungnya ialah agar kita bertanya
tentang jalan yang lurus itu setiap saat, tanpa
henti-hentinya. Ini berarti bahwa jalan yang telah kita
tempuh, juga yang akan kita tempuh, tak boleh dipastikan
sebagai mutlak lurus. Justru amat berharga dalam menempuh
jalan itu semangat mencari dan berusaha yang sungguh-sungguh,
yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah tersebut tadi. Dalam
kesungguhan mencari dan menemukan jalan itu kita tidak perlu
takut membuat kekeliruan, asalkan tak disengaja, karena
kekeliruan pun, yang toh tidak akan kita sadari pada saat
mengalaminya sendiri, masih akan memberi kebahagiaan, meskipun
tidak sepenuhnya. Inilah makna penegasan Nabi bahwa
barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh, lalu ia menempuh
jalan yang (ternyata) benar, ia akan mendapatkan pahala ganda,
dan jika (ternyata) keliru, maka ia masih mendapatkan satu
pahala (sebuah Hadist terkenal).

Sesungguhnya dalam Al-Qur'an dilukiskan bahwa berusaha secara


dinamis, mencari dan menemukan jalan ke arah Kebenaran itu
sendiri, sudah merupakan sumber mata air pengalaman
kebahagiaan yang tinggi. Al-Qur'an melukiskan bahwa dalam
surga, yaitu dalam tempat dan lingkungan pengalaman
kebahagiaan sejati, para penghuninya akan diberi minum yang
sejuk dan amat menyegarkan yang airnya diambil dari mata air
yang bernama "salsabil-an" atau "sal sabil-an." Sebuah
metafor, alegori atau makna kiasan yang sungguh indah; karena
perkataan Arab sal sabil-a itu tidak lain arti harfiahnya
ialah "tanyalah jalan".

Mereka (yang bahagia) di sana disajikan minuman dalam piala


yang ramuannya ialah zanjabil, dari mata air yang ada, yang
disebut salsabil. (QS. al-Insan/76:17-18)

Menafsirkan metafor dalam firman ini, Muhammad Asad mengatakan


bahwa begitulah Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana dikutip
Zamakhsyari dan Razi, menerangkan kata-kata salsabil-an jelas
merupakan kata majemuk itu, yang dapat dibagi menjadi dua
komponen, "salsabil-an" ("tanyalah [atau "carilah"] jalan"):
yakni, "carilah jalanmu ke surga dengan cara melakukan
perbuatan baik". (Lihat, Muhammad Asad, The Message of the
Qur'an, h. 917, catatan 17). Dan Yusuf Ali menafsirkan firman
itu dengan mengatakan bahwa mata air salsabil (-an) ini
membawa kita kepada ide metaforis yang lain. Perkataan itu
secara harfiah berarti, "Carilah Jalan". Jalan itu sekarang
terbuka menuju Hadirat Yang Maha Tinggi... (Lihat, A. Yusuf
Ali, The Holy Qur'an, h. 1658, catatan 5850).

Kembali kepada metodologi takhalli di kalangan kaum Sufi,


telah kita bicarakan, metodologi itu mengharuskan adanya
proses pengosongan diri dari anggapan-anggapan, asumsi-asumsi
dan klaim-klaim tentang pengetahuan yang benar, agar supaya
dalam menempuh jalan lurus mencari Kebenaran itu terjadi
kemurnian sejati (ikhlash). Jika dalam konteks duniawi
berpikir selalu menuntut adanya pra-asumsi atau premis, maka
dalam konteks pencarian Kebenaran sejati itu, pra-asumsi dan
premis justru harus dilepaskan. Tapi, meskipun tanpa ada
pra-asumsi atau premis, berpikir dalam konteks kesufian
tidaklah berarti tiadanya rasionalitas. Kenyataan bahwa
al-Qur'an senantiasa menyerukan penggunaan akal untuk mencari
dan menerima Kebenaran menunjukkan bahwa antara rasio dan
pengalaman keagamaan tidaklah terdapat pertentangan. Justru
tasawuf sebagai bidang yang menggarap segi esoterik keagamaan,
adalah suatu bentuk perkembangan rasionalitas yang tertinggi.
Kata Erich Fromm:

I should like to note that, quite in contrast to a populer


sentiment that mysticism is an irrational type of religious
experience, it represents", the higgest development of
rationality in religious thinking. As Albert Schweitzer has
put it: "Rational thinking which is free from assumptions ends
in mysticism." (Erich Fromm, ibid, h. 90, catatan 9).

(Saya harus memberi catatan bahwa, sangat berlawanan dengan


perasaan umum bahwa mistisisme adalah suatu jenis pengalaman
keagamaan yang tidak rasional, ia justru mengetengahkan
perkembangan tertinggi rasionalitas dalam pemikiran keagamaan.
Seperti dinyatakan oleh Albert Schweitzer: "Pemikiran rasional
yang bebas dari asumsi-asumsi berakhir dalam mistisisme").

-------------------------------------------- (bersambung 4/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Ilmu tradisional

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (1/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawa


kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab
Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."

Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu


Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai
tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu
Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan
Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh
perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak
perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?

Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa


itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji
kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan
perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang
terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."

Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,


karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang
menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."

Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"


telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di
luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya
ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?

Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.


Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak
setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits
sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda
ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."

Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan


tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari
Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia
lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."

Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,


"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah
hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat
Ahli Kitab."

Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.

Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
DARI SUNNAH KE HADITS

Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek


kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam
Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang
berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."

Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan


menegaskan:

Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah


perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang
memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan
ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)
Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi
rusak.

TELADAN NABI SAW


|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)

Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai


teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian
sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free
market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,
Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr
al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi
sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
-------------------------------------------- (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (2/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Mungkin banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur


Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini:

Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai membosankan


sebagian pembaca-- bahwa walaupun landasannya yang utama
adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya dari
generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi,
oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak
terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat
hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat
muslim di masa lampau.

Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur


sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada
Nabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk
verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proses
kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.
Ketika gerakan hadits unggul, ijma' (yang merupakan opinio
publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat
terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.

DARI HADITS KE SUNNAH

Sepakat dengan Fazlur Rahman, saya juga berpendapat bahwa


perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi
perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang
bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai
dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat
menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia
berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah
itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."

Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat


bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah
hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat
untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang
dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya.
Misalnya Ali, seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf
di luar al-Qur'an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum
yang pernah dibuat Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi.

Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam pengantar di


atas, kita melihat 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan
hadits (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah
mengumpulkan catatan-catatan hadits yang berserakan dan
membakarnya.

Kita tidak akan mengupas mengapa dua khalifah pertama


mengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruh
kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih dari satu abad.
Keengganan mencatat hadits, menurut Rasm Ja'farian, telah
mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama,
hilangnya sejumlah besar hadits. Urwah bin Zubayr pernah
berkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku
hapuskan semuanya. Sekarang aku berpikir, alangkah baiknya
kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku bersedia
memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya
kembali."

Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu al-Abbas


al-Hanbaly menulis, "Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat di antara para ulama adalah hadits-hadits dan
teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah
yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para sahabat
meminta izin untuk menulis hadits tapi Umar mencegahnya.
Seandainya para sahabat menuliskan apa-apa yang pernah
didengarnya dari Rasulullah saw, sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu rantai saja (dalam penyampaian) antara Nabi
saw dan umat sesudahnya."

Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima


hadits secara lisan, ketika menyampaian hadits itu mereka
hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah
persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadits berkembang
sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.

Keempat, terjadilah perbedaan pendapat. Bersamaan dengan


perbedaan pendapat ini, lahirlah akibat yang kelima, yang
mengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang
mencari petunjuk dari ra'yu-nya. Dalam pasar ra'yu yang
"bebas" (dalam kenyataannya, pasar gagasan umumnya tidak
bebas) sebagian ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,
menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra'yu
menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya
demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan penguasa. Tidak
mungkin kita memberi contoh-contohnya secara terperinci
disini.

Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang oleh


hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,
tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara
bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau
sosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabi
saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya
mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik
untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa
saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun."

Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah menimbulkan


dominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Panjangnya
rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang
menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits.
Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada
kesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan
sebagai produk para ahli hukum Islam: yang kemudian
dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi, mula-mula muncul hadits.
Kemudian, orang berusaha menghambat periwayatan hadits,
terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih
merujuk pada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah
masyarakat, daripada pada teks. Ketika hadits-hadits
dihidupkan kembali, melalui kegiatan para pengumpul hadits,
kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar.

Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi kesulitan ini


dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika
kita mendefinisikan hadits dan sunnah. Bila saya mendaftar
kesulitan yang disebut terakhir, saya hanya ingin mengajak
pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan
sunnah.

MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH

Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.


Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk oleh
Mu'awiyah. Ia berkata. "Sesungguhuya Allah ta'ala telah
memperlihatkan kepada Amir-u 'l-Mu'minin yakni Muawiyah
pandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk
orang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnah
Abubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Ini
sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah
menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya
untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya ingin
memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan
marah dan menyuruh agar Abd-u 'l-Rahman ditangkap. Abd-u
'l-Rahman lari ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.
Marwan melanjutkan khotbahnya, "Tentang orang inilah turun
ayat yang berkata pada orang tuanya 'cis' bagimu berdua."
Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.
Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untuk
dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini
turun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu
masih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesan
dari laknat Allah."

Hadits ini diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan


al-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481;
Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; Tafsir
Al-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dan
kitab-kitab tafsir lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini
dengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. kepada
Marwan dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayat
Bukhari,

Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Ia


berkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat
sesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Ia
berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka
tidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata,
"Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkan
ayat-ayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya
'cis' bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku dan
seterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidak
menurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan
ayat untuk membersihkanku.

Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar
al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita
bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"
antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu
berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun
berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (3/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

KERANCUAN PENGERTIAN HADITS

Riwayat di atas disebut "hadits" padahal yang diceritakan


adalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu hadits
mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan,
taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas
tidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang
perilaku para sahabatnya.

Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan


banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan,
berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan
di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih
Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah
kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan
dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan
Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan
perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain,
dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.

Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab


haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan,
perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan
sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan
dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh
al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf
dalam Shahih Bukhari.

Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih


dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah
"apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw.
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak
dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namun
jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat,
para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat
tentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada para
sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan
perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai
negeri (lihat Fath-u 'l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr.
Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang
disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja
yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."

Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengan


definisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kita
selama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaan
dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang paling
menyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahih
meriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amal
yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"
yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).

Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan


kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada
kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada
ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya
termasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abd-u l-Lah
al-Bajali, bukan ucapan Bani saw. (lihat Nayl al-Awthar
4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada
shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada
hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam
adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar
ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:

Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muth'ah


tetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada
hadits. Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan
pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah
kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul
ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini. Ada
dua muth'ah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku
melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah
perempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuan
sampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu.
Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').

Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206;


dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits ini
menceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muth'ah
yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai
ke zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits
taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muth'ah
atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua.

Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga juga


memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan
juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits ini
membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.

KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH

Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits


dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai
"apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa
ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikan
dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl
al-Tadwin, h.16)

Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandung


sunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits
ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak
semua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat
sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?

Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar Rasulullah


saw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah
kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagai
sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Itu
hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum.
Batuk tidak bernilai syar'i.

Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan


apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, "Aku
melihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah
anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk
--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan
telunjuknya tapi tidak mengerakkannya?" (Nayl al-Awthar
2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakan
hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi
saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita
tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.
Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu di
luar dan sebalik. Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan
serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan pada
bahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada
bahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i dan
Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai
sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi saw. Tidak pernah memindahkan
serban kecuali kalau berat." Jadi pemindahan dalam khotbah
istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi dan
sebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan
itu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untuk
menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau
berlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahan
atau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbeda
dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.

Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad


menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits.
Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah
adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah
tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.

Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangat


mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara
mutlak adalah al Qur'an dan sunnah? Patut dicatat bahwa
kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalam
pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian
tentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah
para sahabat, bahkan sunnah para tabi'in. Definisi sunnah
seperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagi
dipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat,
kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.

PENUTUP.

Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya,


ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus
merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat
hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran
Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah
dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan
adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini
seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah.
Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan
kepada kita oleh para ulama terdahulu.

Bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya dari


kritik terhadap hadits dan sunnah (Ingat bagaimana
Muhammadiyah dan PERSIS "men-dha'if-kan" hadits-hadits yang
dipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak mau
melanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di
hadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untuk
mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika ia
bertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka
berkata, "Anda akan membersihkan hadits Nabi saw. dari
kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan
hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits
yang dianggap dha'if (lemah). Siapa yang ingin melanjutkan
tradisi Imam Bukhari dewasa ini?

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (1/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat


kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu
golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang
pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.

Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat


kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat
jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas
daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.
Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering
dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."

Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari


hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut
"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di
antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya
meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah ada
seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.

Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada


prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum
Mu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usaha
penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarah
perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.

PENGERTIAN SUNNAH

Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.


Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,

Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua


setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam
tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi
sendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.

Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan


beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun
demikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinya
mencakup seluruh sunnah.

Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita


dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak
dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam
tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah
banyak memberi gambaran.

Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis


ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam
(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85
H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.

Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang


riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab
al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat
perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.
Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat
hidup beliau.

Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan


kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar
berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat
kepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga
dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak
amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang
yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.

Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:

Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)

Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan


bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan
namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada
kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)

Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turun


kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum
musyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga
menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,
Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula
murka.

-------------------------------------------- (bersambung 2/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (2/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS


DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih


penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,
Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang
strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,
yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa
atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.
Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai
hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin
panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam
jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan
penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi
kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji
Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa
kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke
Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap
Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa).

Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa


lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang
yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan
miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada
beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.
Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar
Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak
peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan
nikmat karunia Tuhan.
Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwa
wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat
al-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat ini
Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai
seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat
semua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwa
Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,
berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.
Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan
membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung
kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu
akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan
harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa
mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya.

Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yang


banyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambaran
dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup
perjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran
itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut
adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh
siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau
komitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikap
yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari
kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan
contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situ
kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita
mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri
Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.
Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat
disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:

1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah

2.Sadar akan perjuangan jangka panjang,

3.Yakin akan kemenangan akhir

4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana


semua kesulitan teratasi

5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang


beruntung

6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat


karunia-Nya,

7.Bersikap lapang dada

8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan

9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa


datang yang lebih baik

10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif

11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang

Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi


sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian
terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh
tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang
beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai
Utusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi
itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,
seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama
"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan dan
Utusan-Nya.

Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan


mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci
daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan
dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang
tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad
hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.
Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam
kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,
namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik
sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas
yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itu
sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,
meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah.

PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS

Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslim


yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan
hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena
ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.
Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar
Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa
al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan
mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta
seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,
golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia
Islam, dari dahulu sampai sekarang.

Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar hadits


itu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagai
contoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi orang
lain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpa
menyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh itu
yang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manar
pimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,
menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yang
bergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yang
mengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas hadits
telah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar.

Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang


menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan
bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan
syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah
(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam
keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi
penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak
kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka
mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:

1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun


yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am
6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup
seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi
ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum
dan membuat syari'ah.

2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan,


sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar
telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami
yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak
menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk
ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya
hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah
Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya
dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan
sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.

3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw.,


bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang
membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman
al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para
sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu
Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad,
al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak
suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru
dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai
pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad
ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang
untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks
hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan
sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka,
sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i,
karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak
sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm
52:28).

4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau


bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari
diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku;
dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi
al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1]

Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar pada


hadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai pada
akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad
ketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya dorongan
pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102
H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan
kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia
adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang
'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,
sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.

'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din


al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi
yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena
keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan
langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.

Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk


menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi
Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul
seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij
yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II
melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum
muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan
khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,
di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn
'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah
Ibn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba
inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau
"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga
merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"
Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk
Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan
memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan
seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.
Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak
disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para
pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan
sunnah dan jama'ah).

Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar II


berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia
menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi
angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan
al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi
diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka
akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan
pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,
sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha
pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd
Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2]

Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan


kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan
yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan
tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar
rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya
al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir
peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi
hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia
oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut
oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275
H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303
H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab
yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian
"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi
hadits dalam "Kitab yang Enam" itu.

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (3/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS


DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses


pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,
dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung
sekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masih
terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapa
pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain
dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan
Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka
yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yang
demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu
demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan
otoritas hadits.

Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)


Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritas
hadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut:

1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada


al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab
Suci itu telah memuat segala sesuatu.

2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak


menjamin hal serupa untuk Hadits.

3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan


hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan
para Tabi'un terkenal.

4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang


benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak
yang lain.

Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang


tegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Dia
menyatakan:

1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi


hanya dalam garis besar saja.

2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha


pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga
meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan
hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum
muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan
menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan
bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak
bersandar pada penggunaan tulisan).
3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un
dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran
akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu
kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat,
disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis.
Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.
Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi,
beberapa sahabat telah melakukannya.

4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen


keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika
benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa
kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan
al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa,

Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secara


tersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an.

Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakili


pandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun ia
tidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataan
sejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi hadits
seperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harus
dilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporan
hadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukan
adanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwa
klasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudah
tidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagi
pandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandai
dengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,
termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajian
perbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinya
maupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itu
pada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminat
secara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuat
klasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan dan
riwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedar
merupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imam
al-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baik
dari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yang
tersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya).

Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkan


dengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yang
diletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkan
teori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i oleh
adanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuan
laporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itu
sendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentang
generasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiri
dan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,
Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanya
menunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,
berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yang
dilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,
dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruh
umat Islam.

Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebih


banyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologi
penelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnya
banyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yang
meletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yang
justru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarang
ini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagai
seorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasa
sebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkan
prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.
Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,
yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskan
oleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanya
pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baik
lingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu
(dharf al-zaman). [3]

Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekali


rumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah oleh
perubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semua
ulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawa
perubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimat
rumusannya dalam bahasa Arab,

[Tulisan Arab]

yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidak


dapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4]

Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklah


mudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuan
menangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkan
secara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Ini
berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau
abstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsip
umum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Dan
berlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalah
berarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untuk
dilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruang
dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutan
spesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahan
hukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkan
pelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakat
tertentu dan masa tertentu.

Iman al-Syafi'i khususnya, dan madzhab Syafi'i umumnya


meletakkan dasar metodologi generalisasi dan abstraksi
(ta'mim, istiqra, tajrid) tersebut dalam lima cara pendekatan
pada setiap ketentuan hukum, yaitu: 1) semua perkara harus
diperhatikan maksud dan tujuannya; 2) bahaya harus dihilangkan
atau dihindari; 3) adat kebiasaan adalah sumber penetapan
hukum; 4) hal mantap tidak boleh dihapus oleh hal yang
meragukan; 5) kesulitan pelaksanaan harus menghasilkan
kemudahan hukum. Dalam bahasa Arab, kelima prinsip itu diberi
patokan rumusan baku sebagai berikut, [5]

[Tulisan Arab]

Kemudian, sesuai dengan kebiasaan klasik dalam budaya literer


Islam, kelima prinsip itu oleh seorang penganut madzhab
Syafi'i didendangkan dalam bentuk syair, demikian:

[Tulisan Arab]

Jika diperhatikan benar-benar metodologi Imam al-Syafi'i itu


maka sesungguhnya terdapat dorongan yang cukup kuat untuk
mendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam Kitab Suci
maupun dalam hadits tidak secara harfiah, melainkan dengan
penarikan ide prinsipil atau fikrah mabda iyyah atau fikrah
ushuliyyah yang dikandungnya, dan yang menjadi inti hikmah
tasyri' dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema hadits
umumnya bersifat ad hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadian
Nabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkan
problema dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal hanya dari
abstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami sunnah
Nabi, dan bukannya sekedar menyamakan begitu saja makna dan
semangat sunnah dengan teks-teks laporan hadits.

CATATAN

1.Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah


Hadits-an" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3
(Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26.

Meskipun Al-Siba'i tidak menyebutkan nama tokoh Ingkar


Hadits ini, namun dari bukunya. Al-Sunnah wa Makanatuha
fi al-Tasyri' al-Islami, nama itu dapat diperkirakan
sebagai Dr. Ahmad Amin, seorang penganut modernisme
Islam yang terkenal. (Al-Siba'i, Al-Sunnah, Nurcholish
Madjid (terj & ed) (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt).

2.Ibid, hal. 27.

3.Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid


(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid
33, hal.437.

Menurut Hodgson, sesungguhnya yang dikembangkan oleh


Imam al-Syafi'i adalah prinsip-prinsip yang tendensinya
sudah terlihat di zaman Nabi sendiri, jadi memiliki
tingkat otentisitas yang tinggi, dan Hodgson melihat
pada metodologi itu sebagai salah satu sumber ketentuan
dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman, khususnya
zaman modern sekarang ini. Maka berkenaan dengan ini
menarik sekali keputusan para ulama NU seluruh Indonesia
di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang
menetapkan bahwa penganutan kepada madzhab Syafi'i
seyogyanya tidak terbatas hanya kepada pendapat-pendapat
spesifik (qawl) beliau saja, tetapi lebih penting lagi
ialah kepada metodologi (manhaj, minhaj) yang dirintis
dan dikembangkannya.

4.Mushthafa Ahmad al-Zarqa, "Taghayyur al-Ahkam bi


Taghayyur al-Azman," dalam majalah Al-Muslimun,
Damaskus, No. 8 (Syawal 1373 H/Juni 1954 M), hal. 34.

5."Tarikh al-Qawa'id al-Kulliyyah fi al-Syari'at


al-Islamiyyah," dalam majalah Al-Muslimun Damaskus, No.
12 (Syawal 1373 H/Mei 1955 M), hal. 17.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.8. ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
oleh Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling


sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.


Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku


tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas


atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan


para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.


Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah


ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang


organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau


al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani


(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan


memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat


tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat


yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan


ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan


tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal


kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.


Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,


bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah


atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji


adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh


hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah


pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada


dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan


nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,


Kairo, 1983.

Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin


al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.

Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.

Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.

------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,


1327 H.

------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,


Jakarta, 1978.

Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.17. PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA
oleh M. Bambang Pranowo

Elingana yen ana timbalan


Yen wis budal ora kena wakilan,
Ora kena wakilan
Timbalane kang Maha Kuasa
Gelem ora gelem bakale lunga

(Ingatlah jika telah datang panggilan


Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,
tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Mau tak mau kau harus pergi jua)

Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian


keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut
pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya
didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau
mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari
menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut
mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang
ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali
menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di
mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika
seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika
ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.

Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer


tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.
Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh
kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin
pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak
mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan
pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin
sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau
tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat
didelegasikan kepada siapapun juga.

Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan


agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari
kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang
kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar
bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada
Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah
terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"
seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha
mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati
kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa
manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu
sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.

TEORI CERMIN AL-GHAZALI

Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam


kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada
Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih
banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau
lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan
Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal
itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia
ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau
cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih
niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan
memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,
t.t., vol.I: h. 119-125).

Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal


spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga
kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya
Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin
rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor
dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat
penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin
tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang
menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi
hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber
cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh
cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori
ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan
Tuhan.

Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia


harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan
menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup
para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).
Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di
kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan
kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,
puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha
senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir
merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari
mereka.

Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut


tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi
sebagai berikut:

Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.


Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang
kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku
berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya
kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.
Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi
telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk
melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya
untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,
dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat
Bukhari dan Abi Hurairah)

Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara


intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara
otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai
pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan
konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya
menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan
tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan
memperoleh ridha Allah.

Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam


bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat
dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan
spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam
kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa
mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh
tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).

Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke


nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi
ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh
penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita
lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena
yang lain?

Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah


sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat
Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi
relatif menarik.

Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas


sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan
orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar
berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan
dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan
justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu
pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya
di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang
sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun
dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang
dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:
"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia
tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu
ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya
di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,
kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah
benar-benar karena Engkau semata."

Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan


pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,
keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri
merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik
yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang
terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat
rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari
yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum
sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:

(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi


perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya
demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.

(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan


sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.

(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha


memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk
memperolehnya.

(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan


mendorong hawa nafsu.

(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.

(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu


datangnya dari Allah semata.

(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.

(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.

(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya


kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang
disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.

(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima


nasib pahit.

Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil


nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan
yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut
dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani
menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan
yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan
leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.

Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern


seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,
hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta
materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;
semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola
kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan
ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan
dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui
sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu
mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.

Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia


akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi
pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma
dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan
mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya
Ilahi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),


Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.

Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan


terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,
Pekalongan, 1981.

Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature


And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2
(1961), hal. 10-23.

Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam


Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,
1985.

Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",


Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.16. MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI
oleh Komaruddin Hidayat

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak


ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang
prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah
juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum
selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang
untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses
penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya
manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi
seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi
dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:


Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah
mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,
pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang
untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka
mengenal Tuhan.

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui


kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini
manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati
diri dan hakikat kemanusiaannya

Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan


berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka
protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah
meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok
manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin
ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran,
politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya
menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi
masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.
Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek
materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang
melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah
misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah
mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk
mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir
mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula
ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti
semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit
dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:

Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the


sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each
theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts
are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this
development our modern theory of man lost its intellectual
center. We acquired instead a complete anarchy of thought.
(Ernst Cassier, 1978, p.21)

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan


kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan
Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama,
secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi
yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan
Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung
ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha
Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung
membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan
Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya
akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan
dekrit-Nya.

Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan


sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi
gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf
memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada


dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu
lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah
mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka
langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana
mengenal diri kita secara benar.

Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis


pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua
paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma
materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang
pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi
(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa
dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang
bersifat imateri (upward causation).

Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode


berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk
menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana
yang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadap
aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan
mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat
kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah
mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai
moral and religious being.

Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana


tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam
memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.

Progressive reductionism works as follows. An art object is


only mass and light waves; an act of love only chemiphysical,
only electrical charges; therefore, the art object or act of
love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal.
8).

Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas


dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia
adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan
'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.
2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan
yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan
karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan
menampakkan kebesaran diri-Nya.

Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu


al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk
maka melalui Aku mereka kenal Aku.

Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya


orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa
penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung
sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki
sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial
mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29,
misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang
terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min
ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang
dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya
ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.

Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau


manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia
materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang
saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah
yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia
materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin
berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran
realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu
mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis
bahwa man has gained the mistery of the material world before
knowing himself.

Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai


definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti
tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran
nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya
melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia
bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran
spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam
melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran
filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka
tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia
ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci
yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena
dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah
muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan
sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah
hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur
manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering
terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani
yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang
bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan
"jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan
otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka
terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi
difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi
dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan
memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan
sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,
senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan
Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah,
yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang


bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan
kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan
juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.
89:27).

Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan


kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau
ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan
kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun
seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini
meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar
meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki
sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga
disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri
manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan
Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."

Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk


mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai
seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat
Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan
mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang
digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang
mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan
hamba-Nya.

Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa


yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang
metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa
hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya
bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan
kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara


fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,
namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi
luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy
Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn
'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub
yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati
sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya
Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam
makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian
makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling
mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku
kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).
Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan
dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan
mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau
jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan
bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha
Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang
Dhahir, bukannya Yang Bathin.

KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA

Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu


dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan,
maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan
karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi
sufi.

Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit


diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup
tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa
kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga
kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?

Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka


seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan
kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan
damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah
sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga
di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek
untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang
saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara
karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak
asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel
mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,


1980.

Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul


'Arabi, Lahore, 1938

Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.

Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in


Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.

Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan


III, Princeton, 1982.

Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam


Islam, 1973

Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,


1976.

Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)
oleh KH Ali Yafie

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.


Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata
tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu
sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata
thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan
terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada
baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu
sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka


adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok
formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan
seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari


prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada
kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak


perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu
satu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang


dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan
prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga
abad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.

Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola


pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli
haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak
pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara


berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
Islam.

2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para


ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.

3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan


syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.

4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai


perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli


syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupaya
memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau
mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam
merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat


lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut
dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl
al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,
pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi
tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan
Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak
mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita


mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf
Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul
Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran
tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang
mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.
Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat
ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi
baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana
dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat


Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin
militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan
perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya
membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim
yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem


hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam
disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa
ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi


penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
menjalani masa persiapan yang berat.

2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)

3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi


dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
hari (kadang-kadang sampai 40 hari).

4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam


waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
membina konsentrasi ingatan.

5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka


yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
berlaku di luar kebiasaan.

6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau


pembantunya yang tidak bisa dibantah

Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,


bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan
solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,
tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan
penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk
mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka


ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam
wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik
pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,
yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa


'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (1/4)

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin


dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan
bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri
dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah
Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya
adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas
masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui
penyucian rohnya.

ASAL KATA SUFI

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan


dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang


disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan
diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris


pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama


Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di
Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,
sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum
sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)


yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang


ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah
yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan
dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang


banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim
al-Kufi di Irak (w.150 H).

ASAL-USUL TASAWUF

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam


mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari


rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.
Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk
sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran


mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh
yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa
pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke
dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu
dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan


filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan
akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,
ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri
melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu
dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam


ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali
ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh
pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.
Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di
dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep


Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat
dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan
datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf
terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia
dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani


dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul
pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam
sendiri?

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.


Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi


berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat
Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya
kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan
oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.
al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi
jauh, untuk menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya


Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami
tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di
lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia
sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."

Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia


masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh
mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau
yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi
Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.


Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.
Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun
dikenal."

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan


bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat
al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi


menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga
kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak
beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat
Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat


melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.

Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum


sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha
keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut
diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang
calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat
dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian
diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama


yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari
dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat
dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,
yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya
yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau
sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu
panjang.
(bersambung 2/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (2/4)

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu


zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil
untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,
dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit
tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi
digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa


menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk
kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di
stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang
berisi syubhat.

Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion


ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak
meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion


sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan


diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak
memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari


stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan
ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada
perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya
bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan


tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan
tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru
menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah
sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.

PENGALAMAN SUFI

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya


dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa
waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia
rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam
hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada
Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam


al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan
mencintai kamu."

Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,


"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui
ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman


cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula
tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada
Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari
pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di


langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang


kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke
hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh
hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia
menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya


dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,


Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah


mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860
M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari
pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."

Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah


karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak
membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,
sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal


yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,


ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut
ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini
diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf


dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu
yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang
memandangnya akan mati karena tak tahan melihat
kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata


hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

(bersambung 3/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (3/4)

Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al


Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya
kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih


dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang
lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu


mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan


melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat
aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,


"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar


ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut
syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."

Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena


lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan
berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku


pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku
heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid


telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan


dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya


Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'
dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata


berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa


ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan
Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu
Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang


satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku
menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah


kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur
dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang


diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang
subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan


lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui
dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar
dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui
lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,


tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia
adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah


Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,


tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid


dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan
lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada


bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya


Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak


dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi
dan terjadilah hulul.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku


Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

(bersambung 4/4)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (4/4)

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:

Aku adalah Dia yang kucintai


Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,


Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah


al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha
Benar).

Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak


mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui
lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,


Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat


kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran
Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak
menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan
tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan


keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang
diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah
al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan.
Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi
mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya


Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa
al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy
al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan
aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip


pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi,
kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk,
adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai
cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung
pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada


hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang
melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada
hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat


al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang
disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi
tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah
transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan
bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri
atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya


membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan
terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam
pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan
mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar


dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih
dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan
diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.
Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri


Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya,
tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan
yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi
(pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan,


dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan
diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi
disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan
sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat
Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan
dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia
menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan
dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah
bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi
perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat
dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi
Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan


Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang
mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan
diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan
Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil


bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk
oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada
abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad
ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M),
Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan
Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan
Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang


diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan
sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat
dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar
sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya


kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga
mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan
tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat


mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan
dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani,
tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan
sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat
Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat


dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang
bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk
itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan
dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat
sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran
umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme


yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak
orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang
melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan
akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi
untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para
pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak
mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di


Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup
kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak
sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam,
umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry


dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim
adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah
tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari
ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar
dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat
memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian
dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti
sekarang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,


1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah
al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,
Gallimard, 1964.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3)
oleh Harun Nasution
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang
Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk
setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke


daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula
terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.

Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam


teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka


tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.

2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang


kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.

3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan


konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan


kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)


satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada
pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang
yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga
menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan
agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional.

Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.

Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha


memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.

Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan


filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi
esa, hanya berhubungan dengan yang esa.

Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi


(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya
yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:

Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.


Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.

Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan


Akal.

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di


zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.

Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat


emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi


melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.

Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau


nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,


apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.
-------------------------------------------- (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.13. FILSAFAT ISLAM (2/3)
oleh Harun Nasution

Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada


pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut
al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran
yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,


tumbuh dan berkembang biak.

2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah


dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
dalam yang berada di otak dan terdiri dari:

i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang


diperoleh pancaindra.

ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar


dari materi.

iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.

iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang


terlindung dalam gambar-gambar tersebut.

v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.

3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu


berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:

a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal


dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
jiwa binatang.

b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang


tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan
malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang
akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal
teoritis akan berkembang dengan baik.

Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:

1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi


untuk menangkap arti-arti murni.

2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap


arti-arti murni.

3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak


menangkap arti-arti murni.

4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya


menangkap arti-arti murni.

Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki


filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.

Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga


yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh
terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam
hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di
dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk
membawa manusia kepada kesempurnaan.

Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi


perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah.

Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan


setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat
kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya
makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau
akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi
pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam
menangkap arti-arti murni.

Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh


karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh
balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.
Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya
tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.

Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi


perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan
jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.

Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.


Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran
Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang
Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.

Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi


yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena
Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang
Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan
mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II
dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II
dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani
tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang
sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.

Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan


al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.
Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka
kepada kekufuran, yaitu:

1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman

2. Pembangkitan jasmani tak ada

3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.

Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat


al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak
diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat
dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham
syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.

Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta


yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan
ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf
mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah
yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang
percaya bahwa alam ini qadim.
Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan
teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.
Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas
berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.

Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui


perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.
Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.

Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian


timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai
hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu
sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu
jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan
sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.

Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari


bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari
hal-hal

1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah


sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti
lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti
tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
pemikiran ilmiah dan filosofis.

2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini


merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang
belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi
masih banyak bergantung pada orang lain untuk
membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan
paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada
kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
statis.

3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari


paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini
diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan
menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum
alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah
kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak
sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
Tuhan.

Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada


berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam
bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman
al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf
Islam.

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3)
oleh Harun Nasution

Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol


Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah
serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.

Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.

Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut


al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.

Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai


permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika
itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.

Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan


kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa
sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.

Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan


langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,

Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.

Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,

Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit


dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.

Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.

Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat


al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"
seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,
menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"
tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima
konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan
menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan
yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi
susunannya adalah baru (hadis).

Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa


kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran
filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan
terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan
qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus
menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi
adalah ciptaan Tuhan,

Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini


tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:

Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi


rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.

Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari


kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang
lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah
seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.

Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk


mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya
alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing
tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.

Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang


terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak
pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan
materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.

Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam


Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal
itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia
menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.

Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat


untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya
pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari
filsafat mereka.

Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.

Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan


dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana
dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat
benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.

Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol


mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam
bagian barat.

Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,


teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam
bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.


Jones, London, Luzac & Co., 1970.

Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.

Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,


1961.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,


Bulan Bintang, 1983.

Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.

Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.

Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.

O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,


London, Routledge & Kegan Paul, 1964.

Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,


1963.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (1/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,


yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah
dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]

Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik


memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.

Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.

Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,


menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu'tazilah. [9]

Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan


al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah
berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]
Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:

Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga


orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.

Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir


masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.

A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih


baik di Sorga, mungkinkah?

J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan


jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.

A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan


salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.

J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,


jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.

A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku


Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?

Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain


dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]

Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,


tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu'tazilah.

Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan


protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.

Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi


perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]

Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.

Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan


ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]

Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan


untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:

"Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah


swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]

Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas


dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham
Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.

Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar


pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap
Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).

Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa


al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.

Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah


ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.

Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh


al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:

1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama


dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:

a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam


b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.

2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang


kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.

3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',


berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.

Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang


terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]

Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya


al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.

(bersambung 2/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET Homepage | MEDIA
Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3)


SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah


kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',
argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy'ari.

Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap


al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.

Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari


berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]

Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan


seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]

Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh


berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]

Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak


mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]

Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang


lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]

Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,


"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).

Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa


berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]

Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin


nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:

Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia


dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]

Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan


sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.

Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah


Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]

Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan


kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]

Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,


dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.

Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian


umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.

Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa


Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]

Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang


berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.

Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya


kasb oleh Tuhan adalah ayat:

"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.


al-Shaffat 37:96)

Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia


adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.

Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,


dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:

"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.


al-Insan 76:30).

Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa


menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.

Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam


perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
(bersambung 3/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET Homepage | MEDIA
Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham


al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.

Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai


pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]
Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep
kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak
masuk akal. [46]

PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi


al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.

Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan


kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.

Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan


yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.

Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak


awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu'tazilah.

Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil


menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.

Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi


al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.
Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang
lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy'ari. [49]

Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan


manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.

Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti


rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.

Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil


bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.

CATATAN

1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,


tahun 1976, h. 46

2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3

3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat


Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Mesir, 1973 h. 60

4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310

6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60

7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29

8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.


36

9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain


al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93

10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102

11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,


h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65

12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.


159.

13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan


perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165

14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31

15.Ibid., h. 34

16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,


Iskandiyah, h. 41

17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,


Mesir,1397 H. H.8

18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35

19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa


Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38

20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl


al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30

21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz


M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104

22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50

23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51

24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,


Al-Mihal I, h. 100
25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13

26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,

27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16

28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113

29.Ibid., h. 101

30.Ibid

31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71

32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167

33.Mahmud Kasim, h. 168

34.Ibid.

35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,


Kairo, tt., h.205

36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76

37.Ibid., h. 70

38.Ibid., h. 72

39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51

40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57

41.Ibid, h. 41

42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,


1971, h. 562

43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,


1981, h. 133-134

44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205

45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.


112

46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17

47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34

48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.


472 473.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2)
oleh Masdar F. Mas'udi

Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal


ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw
sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,
dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti
diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal
dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat
ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan
sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya
adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"
landasannya adalah "realitas kehidupan."

Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam


sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan
pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,
bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat
nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,
adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya
yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks
sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam
hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,
amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh
realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada
suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab
akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab
akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau
dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang
demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai
berikut.

Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.

Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,


dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas
teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas
yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang
kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang
dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang
satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.
Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran
benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada
realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,
bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal
pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan
terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang
bersifat teoritis).

Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak


keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas
hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya
pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu
saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan
pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan
sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit
yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung
bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.

PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH

Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh


atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir
Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola
keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa
dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas
berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu
diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad
pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat
signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan
bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh
jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana
satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,
tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini
yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,
"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa
Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan
keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam
benak masing-masing.

Dengan kedua perkembangan itulah muncul


pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang
Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama
Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya
bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau
kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di
akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,
faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan
Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal
perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini
muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani
yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan
umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya
dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar
"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.

Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah


para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan
jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun
harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas
masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak
dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing
jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri
sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,
Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,
Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah
bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman
pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai
satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.

Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan


selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110
H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan
para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru
pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya
seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah
termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang
luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang
terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu
adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan
dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok
(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai
dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini
diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa
besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan
dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat
nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat
Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:
menangguhkan).

Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.

Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini


banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan
tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni
teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah
benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri
diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan
aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan
bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri
bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,
manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di
kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l
wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa
dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan
sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau
ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
(bersambung 2/2)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)
oleh Masdar F. Mas'udi

Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata


ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya
sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan
harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan
harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan
sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus
bertindak yang terbaik bagi manusia.

Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,


pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan
dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan
Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau
nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang
mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam
menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa
'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun
juga, diluar diri manusia sendiri.

Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran


pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan
otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang
oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan
doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan
tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya
Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama
makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang
dapat mendikte manusia.

Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat


kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"
yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara
harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang
baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru
karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)
Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit
tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat
atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu
yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki
perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu
qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat
yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik
postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah
satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga
berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).

TIGA KRITIK

Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah


yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep
teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu
ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,
al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada
zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang
sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan
keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati
dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding
kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.
Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si
anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak
tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan
seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,
jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia
durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk
manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih
lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam
neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika
masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?

Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy


kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,
Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung
argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)
dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan
menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan
logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di
atas batas-batas manusia tadi.

Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada


Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya
sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus
diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja
mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi
yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya
bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran
tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang
lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu
melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan
sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang
mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855
M).

Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah


pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang
benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain
sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran
pendapat yang berbeda.
Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak
lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang
merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah
melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima
doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa
saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal
dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan
dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan
yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.

Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya


Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis
bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang
digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi
umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran
teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).
Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran
yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"
suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,
terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang
dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar
keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang
dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)
yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan
dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan
umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan
dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak
sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.

TAWARAN ALTERNATIF

Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti


tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis
atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah
yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.
(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya
"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga
kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal
keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan
Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang
menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."

Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti


Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada
kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan
yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu
kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang
mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang
terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu
doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi
baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda
antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan
dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut
pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian
realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang
yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara
realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk
dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak
substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat
terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika
empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai
realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang
berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang
terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi
dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,
sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang
selama ini seperti cenderung terpisah.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Dimensi sosial

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (1/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat


Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja
Yunani. Mereka berpisah seperti "a biological species divided
in space and diversified in time." Kristen Yunani berdoa
sambil berdiri, Kristen Romawi sembahyang sambil berlutut.
Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi
dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi,
tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. "Kiai" Yunani
memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.
Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi.
Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada
syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja
Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch
Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus
di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan
Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai "an
assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a
synagogne of Satan." (Durant, 1950:544).

Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih


dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul
di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan
Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat
Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus
bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas.
Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat
saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant),
1953:362) "Each side claimed the sacraments administered by
priests of the opposite obedience are invalid, and that the
children so baptized, the penitents so shriven, the dying so
anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or
limbo if death should supervene."

Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang


bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch
Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648)
menjelaskan makna skisme:

Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de


Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K.
kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren.

Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba


bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai
Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling
mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah "ummatan wahidatan"
(QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang
kokoh, yang saling menguatkan satu same lain; atau seperti
tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit,
anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?

Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai


mengada-ada; sehingga begitu saja mendengarnya, saya segera
berkomentar, "Ah, ada-ada saja!." Tetapi, setelah saya
merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas? terlintas dalam
ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, "Kalian
akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi
sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun
akan mengikutinya. Sahabat bertanya, "Ya Rasullah, apakah
mereka itu Yahudi dan Nashara." Nabi menjawab, "Siapa lagi."
[1] Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal
dari dunia kristen, tradisi yang same telah diikuti umat Islam
juga. Ada tiga kesamaan antara skisma Kristiani dengan
perpecahan dalam Islam.

Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia


menulis, "...these galling political events, and not the
slight diversities of creed, severed Christendom into East and
West" (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa
al-Nihal menulis, "Tidak pernah darah di tumpahkan dan pedang
dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah
(kepemimpinan)." Secara singkat, baik skisme dalam Kristen
maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian
kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.

Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya


dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang,
legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber
ajaran agama atau memberikan penatsiran yang diselewengkan.
Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis,
kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu
pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam
pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil
untuk menyuburkan fanatisme --saling mengkafirkan dan saling
membid'ahkan.

Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi


(cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan.
William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja
tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas
Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain.
Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari
ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi'ah), dan Jamaluddin
al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi'ah), menggalakkan
upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani,
dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara
politisi ketimbang cendekiawan.

Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara


cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun
membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap
persatuan --sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun
--karena sifat ajarannya-- Islam tidak memisahkan aspek
politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini
kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan
membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme
intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan
rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan.

Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah


Islam: pemberontakan 'Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi
Thalib, pertentangan khalifah antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi
Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali
terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692)
sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau
penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah
Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya.

Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh


sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan
polarisasi Sunnah - Syi'ah (yaitu tiga skisme yang pertama).
Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep
politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak
penyebab-penyebabnya.

ANTARA KHALIFAH DAN IMAMAH

Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan


politik Ahl al-Sunnah - yakni Khalifah, ijma' dan bay'ah.
Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi'ah - yakni,
imamah, wilayat, dan 'ishmah. Ijma' dan bay'ah diterima juga
dalam Syi'ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan
'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah.
Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat
disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah
yang dianut Syi'ah. [2]

Al-Syahrustani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam


hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin
melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar).
Sementara itu, Syi'ah menetapkan pemimpin lewat keterangan
agama (nash) dan penunjukan (ta'yin). Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya'la dalam Al-Ahkam
al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, "Kepemimpinan
ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa
al-'Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya" (Perlu dicatat
di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl
al-Sunnah, tetapi -anehnya menyebut kepemimpinan dengan
istilah imamah).

Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan


kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164
sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura,
pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki
(ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam
kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas
tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan
berapa jumlah orang yang sepakat.

Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah


terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang.
Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu
'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad,
dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan
Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu
di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah.
Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu di
antara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah
aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok
yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja
(sic!), seperti ketika 'Abbas mendatangi Ali untuk
membai'atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah
6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.

Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat


disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah
(kemenangan perang). Empat imam mazhab Ahl al-Sunnah sepakat
bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara
(al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu:

(1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar)

(2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang


dilakukan Abu Bakar terhadap 'Umar

(3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah


sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan)

(4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan


militer seperti yang dilakukan Mu'awiyah)

Syi'ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan


dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah SA.W. menunjuk
pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam.
"Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam," kata
Al-Askari (1406:202). "Ia telah memikirkan dan merencanakan
pelanjutnya ... untuk menegakkan masyarakat Islam." Sayyid
Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis:

From the Shi'ite point of view it appears as unlikely that the


leader of a movement, during the first days of his activity,
should introduce to strangers one of his associates as his
successor and deputy, but not introduce him to his completely
loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely
that such a leader should accept someone as his deputy and
successor and introduce him to others as such, but then
throughout his life and religious call deprive his deputy of
his duties as deputy, disregard the respect due to his
position as successor, and refuse to make any distinctions.

-------------------------------------------- (bersambung 2/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (2/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Walhasil, menurut Syi'ah, ada nash-nash yang jelas dari


Rasulullah saw. yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan
sebelas orang imam dari keturunannya. [3]

Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah
orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini
melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli
(dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:

Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Mazhab Imamiyah


sepakat tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah)
membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan
begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan
menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan
al-fadhil. Al-Qur'an menentang hal itu dengan berkata, "Apakah
orang yang memberi petunjuk kepada yang benar lebih berhak
diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk,
bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian menetapkan
keputusan?."

Karena Syi'ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah


membolehkan al-mafdhul sebagai imam, terjadilah kontroversi
berikutnya. Syi'ah melarang dan Ahl al-Sunnah mengharuskan
petaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi berkata dalam
Syarh Muslim-nya, "Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan
fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh di
dimakzulkan karena kefasikan, dan kedzaliman, atau pelanggaran
hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar
menentangnya. Wajib bagi rakyat menasihati dan
memperingatkannya." Sebelum itu ia menulis (Syarh Muslim 12:
229), "Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma' kaum
muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali
hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl
al-Sunnah ijma' bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena
kefasikan."

Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab


pertanyaan manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang
dzalim atau penguasa kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih
yang pertama, dan Syi'ah mengikuti yang kedua. Syi'ah Jawad
Mughnuyah (1406: 26) berpendapat, "Ketika Syi'ah menegaskan
bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan keturunannya,
mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap
penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia
adil daripada seorang penguasa Muslim yang dzalim. Ibn Thawus
yang masyhur menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari
Muslim yang dzalim.

Kontroversi lain --yang justru sangat esensial-- adalah


hubungan antara kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan
politis. Bagi orang Syi'ah, pada kata imamah (yang secara
khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga terkandung makna
wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan
demikian, ahl al-bayt --di samping memegang hak kepemimpinan
politis-- juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah
keagamaan. Orang Syi'ah sering mendefinisikan diri mereka
sebagai madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya
Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah memisahkan kedua
kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang
mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka
mengikuti khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah
berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada
pertikaian antara Ali dan para penentangnya, Nahnu ma'aman
ghalab" (Kami bersama orang yang berkuasa).

Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta'yin),


perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul),
perbedaan preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim
yang dzalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasann
politis dengan kekuasaan religius (digabungkan atau
dipisahkan), lahirlah skisme politik besar Islam yang
berlangsung sampai kini.

Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua mazhab ini lahir


dari Islam yang sama dan pengikut Nabi saw. yang sama? Ada
beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan
mengulas dua teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab
dan teori pendekatan doktrinal.

TEORI SOSIO-ANTROPOLOGIS BANGSA ARAB.

Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen


(1927), Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan
kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin dalam makalah ini,
saya menguraikan teori ini secara lengkap. Secara singkat,
teori ini berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah
bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada
suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat
penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan
terdiri dari dua subkultur-subkultur Arab Selatan dan
subkultur Arab Tengah-Utara.

Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang


sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga
bangsa dalam menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya.
Karena itu, kehormatan seseorang dalam bahasa Arab disebut
hasab (dari akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang
Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal, karakteristik
perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat bahwa khalq
(karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam
bahasa Arab.

Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi


kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara
sunnah yang paling dihargai adalah mengurus dan memelihara
tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan,
pengurusan rumah suci (bayt) dan kehormatan (hasab) tidak
dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab
tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan
kepemimpinan sakral.

Ka'bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab.


Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara
Ka'bah disebut sebagai "keluarga al-bayt" atau ahl al-bayt.
Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy.
Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl al-bayt, Bani
Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams.
Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai Ahl
al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams
perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim
mulai melemah. Ketika keturunan "Umayyah merasakan ada angin
baru yang menguntungkan mereka, muncullah Muhammad bin
Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan lagi wibawa
kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt.

Nabi saw menyadari betul aspek-aspek kultural dari


kepemimpinan ahl al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki "appeal"
yang kuat bagi bangsa Arab. Kepemimpinan ahl al-bayt
menggabungkan dimensi temporal dan sakral sekaligus. Bani
"Umayyah tentu tidak rela dengan "return. of power" dari Bani
Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling
banyak dari Bani Umayyah.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemoi suku Aws dan Khazraj


yang berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang
memiliki sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi
pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan,
inskripsi pada monumen Arab Selatan menunjukkan perasaan
syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada suku-suku Arab
Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau
senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan
kesucian keturunan (hereditary sanctity).

Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi'ah.


Ahl al-Sunnah, sejak Mu'awiyah merebut kekuasaan berupaya
untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara
doktrinal, Islam menyuruh menghormatiahl al-bayt (yang
sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi sebagai keturunan
Rasulullah saw), penguasa-penguasa yang bukan ahl al-bayt
tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka inginkan
adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan
politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar
bin Khathab kepada 'Abbas ketika bertengkar masalah
kepemimpinan 'Ali, "Orang banyak tidak menginginkan nubuwwah
dan khalifah bergabung pada Bani Hasyim" (Tarikh Thabari 1:
2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah memindahkan ibu
kota pemerintahan Islam dari Madinah --yang sudah dikuasai
Bani Ummayah-- ke Kufah. [4]

TEORI PENDEKATAN DOKTRINAL

Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita


sebut sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan
menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa memberikan
komentar sedikitpun:
Bila kita mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat
Islam di zaman Nabi saw. kita temukan dua aliran utama yang
berbeda, yang menyertai perkembangan umat dalam permulaan
eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup bersama dalam
lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang Pemimpin.
Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan
perbedaan doktrinal sesudah wafat Rasulullah saw, memisahkan
umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa
dan sanggup berkembang sehingga mencakup mayoritas kaum
muslimin. Kelompok yang lain tidak berhasil memperoleh
kekuasann dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi
lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi'ah.

Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di


zaman Nabi sejak awal adalah:

(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta'abbud bi 'l-din


berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam
seluruh bidang kehidupan.

(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada


bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib.
Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan
memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar
bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.

Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang


paling utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah
manusia tidak pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih
mulia, lebih suci, dan tinggi dari generasi yang dilahirkan
Rasulullah.

Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang


luas pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung
mendahulukan ijtihad untuk memperkirakan dan memperoleh
maslahat daripada ta'abbud secara harfiyah pada nash-nash
agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi aliran
ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan
diuraikan nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang
bertahkim dan bertaslim sepenuhnya pada nash-nash agama di
semua bidang kehidupan.

Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di


kalangan kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk
tunduk pada kemaslahatan yang dapat difahami dan
diperkirakannya, serta meninggalkan kecenderungan mengikuti
kemaslahatan yang tidak dapat difahami tujuannya. Yang
mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar
bin Khathab pernah melawan Rasulullah saw dan berijtihad pada
banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan
meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.

Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada


hari-hari terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam
shahihnya dari Ibn 'Abbas. Ia berkata: "Menjelang Rasulullah
saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan untuk kamu tulisan
sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi saw
sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada al-Qur'an.
Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun
bertikai. Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis
(wasiat) kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian
lagi berkata seperti kata Umar. Ketika sudah ramai
perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia berkata:
Pergilah kalian."

Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya pertikaian dan


pertentangan di antara kedua aliran ini.

SKISME INTELEKTUAL

Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran


lainnya, yang tidak mungkin semuanya dibahas di sini.
Kebanyakan aliran-aliran itu muncul sebagai hasil refleksi
intelektual. Skisme intelektual (mungkin malah tidak tepat
disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para
politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pacla bidang
ilmu kalam atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang
pertama ikhtilaf 'aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya
tidak akan memperinci kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan
menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.

Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur'an dan


al-Sunnah. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan
segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur'an dan
al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim
berusaha memahami al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam kedua
sumber tasyri' ini terdapat kata-kata atau kalimat yang
musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang 'am (berlaku
umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang
muqayyad (bersyarat).

Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. "Dan jika kamu


sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara
kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita,
atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu
yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu,"
(al-Qur'an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai
berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air,
tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat
tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus
pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat
bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga
kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian.

-------------------------------------------- (bersambung 3/3)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG (3/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk
air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air
teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi
pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali;
tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah,
pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah
oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash


yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal
Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar,
ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih
operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan
sebagainya.

SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH

Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil


lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil
pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu
Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para
tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah saw. pada Fath
Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada
perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah,
menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah
sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.

Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits.


Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup
pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah saw. Ada yang
menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa
dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan
disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki
orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini.
Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah
berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn
Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah
lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi
jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang
disiksa." [5]

SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada


kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu
berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang
terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali.
Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan
tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1)
"Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian
mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang
fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah
deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian
penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua
mazhah --selain Hanafi-- memilih rnenjawab "ya" untuk
pertanyaan-pertanyaan di atas.
Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul
Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad
yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan,
qaul shahabat, dan sebagainya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali


apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986:
99-103).

1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i:


Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar.
Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah
yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian
dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang
memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan
Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah
kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari
perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab
mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah --semuanya percaya
kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari
Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl
al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku'
dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang
penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari
pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir,
mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita
akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan
dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil
dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling
menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk
pengembangan wawasan tentang Islam.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip


silaturahim:

Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang


dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat
ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya
maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik
hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama
ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan
penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli --yang saya definisikan
sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu
proposisi-- hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli.
Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat.
Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari
suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak
ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu
egalitarian, terjebak dalam keterburu--buruan. Mencurigai
hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya,
betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan
prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik
'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan
keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam
Mahdi, misalnya.

Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi


betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di
tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh
tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat.
Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat
shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika
Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat
rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua
jelek" -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat
rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama
menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi
khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan
kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada
shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak
jauh dari situ.

Di Indonesia, banyak paham timbul --barangkali setelah


melakukan taryih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham
kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan
meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung
menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui
dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain.
Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan
seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak
berujung.

3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan


mana yang qath'i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan
tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.
Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan,
"Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16);
"Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama
kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama
orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan"
(QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman
dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11).
Mengizinkan setiap orang berijtihad --tanpa mempedulikan
perbedaan mereka dalam pengetahuan agama-- dapat menimbulkan
chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan
orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu
mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi
yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala
yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti
membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti
anarkhi.

Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang


pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad
sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan
ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan
pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti,
hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah,


al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan
hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid
Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq,
Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan


antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain
(Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai
madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah.
3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam
kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah;
Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak
al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab


Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah.
Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian
dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang
mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai
Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz.


Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup
banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah),
dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada
bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan


kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering
ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30;
6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa
pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang
benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian
hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang
sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar


al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran:


Bittsah.

Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar


al-Mu'alim

Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib


al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut:


Dar al-Jawad.

-------------, 1982, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Khaumsah,


tidak diketahui penerbitnya.

Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, "Ulu al-Amr 'inda Madzahib


al-Islamiyah," dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran:
Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.

Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New


York: Simon and Schuster.

-------------, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New


York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan


Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies,
London.
Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of
Shi'a Islam. Beirut: American University.

Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs,


Cambridge.

Rahmat, J., 1986, "Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan


Sejarah" dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma,
Bandung: Mizan.

Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah


al-Najah.

Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui


penerbitnya.

Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut:


Dar al-Fikr.

Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall,


Trans. M. Weir. Calcutta.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.51. SKISME DALAM ISLAM (1/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

oleh Nurcholish Madjid

Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi hanya


kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat
idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti melibatkan
pembicaraan tentang berbagai skisme atau perpecahan dalam
agama itu. Kesadaran akan adanya skisme itu akhir-akhir ini,
sebagaimana telah sering dibicarakan, muncul dengan kuat di
kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia umumnya
karena adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan
beberapa perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami
kesulitan besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru berupa
peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam percaturan
keislaman internasional sekarang ini, Revolusi Iran bagi
sebagian orang-orang muslim menawarkan semacam "hikmah
terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan
keagamaan (Islam) yang lebih meluas. Karena itu jika harus
disebutkan kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka
kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama untuk
mendorong lebih jauh kecenderungan positif tersebut. Dengan
begitu diharap bahwa secara berangsur kita dapat mewujudkan
dalam kenyataan berbagai angan-angan mengenai umat atau
masyarakat Islam yang mendekati gambaran dalam Kitab suci
sebagai "ruhama baynahum" (saling cinta kasih antara
sesamanya). Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa
keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup
kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang
keberagamaan "orang lain" (dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Termasuk ke dalam makna kedewasaan itu,
kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai
kenyataan sejarah secara proporsional, dengan mengakui dan
memasukkannya ke dalam hitungan berbagai faktor sejarah
sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan apa yang
sedang dan bakal terjadi.

Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini


insya Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan kritis
berdasarkan pandangan yang memperhitungkan berbagai faktor
sejarah.

UMAT YANG TUNGGAL

Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa


umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah
sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya. Seorang
muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam
anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri
sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja
kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para
Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap
bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman suci
dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:

Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah


kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan
segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu
semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu
semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1]

Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan


bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan
umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan
melindungi mereka. Ini menjadi dasar pandangan tentang
Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah
atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci
keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam
makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang
Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).

Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara


hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik
lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung
berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan
yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari
seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka
memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata
(jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati),
tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu
membuahkan variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya
dengan naf:su benar sendiri dan sektarianisme yang jelas
selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali
variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai
dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan
orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan. Perpecahan
dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena
pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal
kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan
menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab
Suci:

Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah


mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan
peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab
Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat
manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan.
Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih
mcngenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang
berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama
mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka
yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus
kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya).
[2]

Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka


barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang
semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan
terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari
itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk
yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan
darah dan penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci
semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd
daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan melalui
penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang sebenarnya
terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia.

Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk


membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu
dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang
melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi
pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah,
misalnya:

Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia


jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan
tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan
rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka.
[3]

Juga firman Allah:

Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian


mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda"
(Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah
diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan
perkara yang mereka perselisihkan itu. [4]

Firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi


tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara
persatuan dan perpecahan. Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam
firman yang dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan
sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi
Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu.

Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word"


is the Decree of God, the expression of His Universal Will or
Wisdom in a particular case. When men began to deverge from
one another..., God made their very differences subserve the
higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and
thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5]

Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin


kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan,
pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu
masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu
dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka
itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya
tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan
dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali
kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak

Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah


hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antara
orang yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itu
bersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan
adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia,
dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia
berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat,
emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah
firman-Nya:

Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia


menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak
menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan
dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor terpenting yang
membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu.
Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan
kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah
tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada
kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan.
[7]

Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang


sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang
secara kritis-historis terhadap perpecahan sosial keagamaan
yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang
amat dini.

TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA"

Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan


tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai
fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam tidak mungkin
dihindarkan. Maka dengan sedikit melawan semacam "konsensus"
di kalangan kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang
tingkah laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki
beberapa ketentuan normatif, [8] kita akan melakukan tahap
pembahasan ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa
menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat al-kubra
("ujian besar") itu.

Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh empat


tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari
Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah
tentang apa yang menjadi hak mereka. Tapi mereka segera
kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu (secara
palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik
oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka.
Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua
utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke
Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat
perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di
Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu
menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya
dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah
hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi,
tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para
sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan
mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya,
sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak
terjadi pula pada Ali). [9]

Tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap


Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak
hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks.
Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama
orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang
anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu
menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu
berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir
sebelum Nabi wafat. Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang
penguasa Makkah yang mengorganisasi dan memobilisasi
orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat
Nabi menaklukkan Makkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk
Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu
berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya
berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui
hak istimewa dan kehormatan mereka.

-------------------------------------------- (bersambung 2/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.51. SKISME DALAM ISLAM (2/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

oleh Nurcholish Madjid

Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi


segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk
mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka
mengelilingi Utsman dengan penasehat-penasehat dan
tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan
ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga
ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan
Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu
kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa
keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak
berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus
kedalam praktek-praktek nepotistik yang mengundang berbagai
reaksi keras banyak kalangan.

Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa


mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku Arab
(al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota
garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman
seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri,
yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa
sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat
tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk
bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada
kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang
kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan
sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka
itu terdiri dari kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan
menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan
orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh
semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi
ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.

Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya,
yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah
taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha
perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa
keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu,
khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa
mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun
sebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan
mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke
Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase.
Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan
emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di
Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu
juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke
dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit
dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah
pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan
kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia).

Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari


Hijaz itu membuatnya tidak populer di kalangan orang-orang
Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes
yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada
saat itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus
tentara). Apalagi setelah ekspedisi menaklukkan Iran telah
rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap
kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak
lagi bisa dialih-arahkan kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi
militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun
yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus ditindas dengan
penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas mereka
semenjak diangkat oleh Umar banyak yang cakap dan sebagian
dari mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Maka
penduduk Syria puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir
(yang di waktu damai giat berdagang untuk mengumpulkan
kekayaan tapi bertindak cukup adil karena ia menganjurkan
orang lain agar berbuat serupa pula). Tetapi gubernur yang
ditempatkan di Mesir (di kota Fusthath, Kairo lama), tidak
pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang
menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras
dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada kebijakannya yang
dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang.

Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan


al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar semua versi
ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab
Suci agama Islam itu disebut ejaan atau "rasm Utsmani").
Penyatuan ejaan al-Qur'an itu amat prinsipiil sebagai dasar
penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya dan semua orang
Muslim umumnya. Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak
berjalan tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli
membaca al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani,
berkedudukan di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak
sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia
patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu
tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat
dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan
Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan "bacaan tujuh"
Al-qira'at al-sab'ah.

Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu sungguh


patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu menikmati
kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada
bandingnya dalam sistim kepercayaan atau faham lainnya mana
pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah berkat
jasa Utsman ibn Affan yang bergelar Jami' al-Qur'an.
(Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan kaum Syi'ah yang dikenal
sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah
ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan
Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga
mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn Abi Thalib, handalan
utama mereka dalam masalah periwayatan). [10]

Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain,


tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an itu
pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar
sebelumnya.

Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau


diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem
keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama
menciptakan lembaga-lembaga" (Arab: awwal man dawwana
al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentera
dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat
disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan
jasanya dalam agama Islam. Maka untuk menunjang sistemnya
inilah antara lain Umar tidak mengizinkan tentera memiliki
tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah
mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur.
Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada
umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam
(khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para
ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan
bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai pendirian lembaga
keuangan yang dikenal dengan bayt al-mal --harfiah berarti
"rumah harta"). Tapi ketika Utsman mewarisinya, ternyata
sedikit demi sedikit sistem Umar itu mulai menunjukkan
segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah
disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti
pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai
merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol
dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik negara). Mereka
menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai
penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini
masih harus ditambah, sebagaimana telah dikemukakan, dengan
gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa
Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka,
mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah
pertanian daerah taklukan itu, [11] para tentera menghendaki
agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada
tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan
Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi
berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.

Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu yang


jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir
dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu dimulailah
perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar
seperempat abad sejak wafat Nabi.

GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH

Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan hanyalah


salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya
kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera setelah Utsman
terbunuh, maka, menurut sementara ahli sejarah Islam, para
bekas pembunuh itu atau simpatisan mereka mensponsori
pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib) sebagai khalifah,
menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah kemenakan dan
menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam, telah
tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli
perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh
kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.

Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh


semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai
pengganti (khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah
Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang
terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang
amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah,
salah seorang isteri beliau yang amat dicintainya) sebagai
imam (imam, artinya orang yang berdiri di depan, yakni,
memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah) ummat Islam di
Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai
sekarang masih menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya
penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih
mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan
istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru
di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan tumbuh
kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan pemimpin
ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi jabatannya itu,
memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin, yakni, Komandan
Orang-orang Beriman, karena memang program utama masyarakat
Islam waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer
ke luar Jazirah Arabia. Program itu sendiri konon sebagai
kelanjutan rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang
wafat.

Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan Ali


ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan tumbuh
selama hampir seperempat abad, lengkap dengan berbagai
pelembagaannya yang sebagian besar sebagaimana telah
disinggung, diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan sebagai
saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan
begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis yang mulai
mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi rebutan dalam
tema-tema "to be or not to be." Telah disebutkan bahwa Ali
sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi
kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena
kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang
salih dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes
kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung
pembunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak
pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri
dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali
sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara
langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah
terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah
ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga
dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri
Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubayr ibn al-Awwam,
seorang anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan
kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan
pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan
gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan, musuh utama
Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn
al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.

Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali itu tidak


saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda
suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu
segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan
sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali
yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani
agaknya dengan mudah mengalahkan A'isyah dan al-Zubayr di
pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai
"Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan
menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran).
Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan
pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya
tersembuhkan.

Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang
sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah.
Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan
akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi
mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih
mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika
tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para
pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima
usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru
kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan
militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer
terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok
ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni,
"orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara
total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang
benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di
antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh
ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para
hamba-Nya." [12]

-------------------------------------------- (bersambung 3/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.51. SKISME DALAM ISLAM (3/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

oleh Nurcholish Madjid

Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran tentang


hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan
semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok dengan
tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak
terhindarkan membawa mereka kepada situasi mudah sekali
terpecah-belah dan saling bermusuhan, untuk akhirnya
melenyapkan diri mereka sendiri. Egalitarianisme radikal
kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik
yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam seperti
diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita-cita
universal dalam tradisi bangsa-bangsa Irano-Semitik sejak
ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai
pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur. Tetapi
karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak
terkendalikan, maka konsep-konsep itu yang antara lain
melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir
dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman yang
benar telah menjerumuskan masyarakat Islam kepada suasana
"semua lawan semua," tanpa ada pihak yang benar-benar
diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka
ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka unggulkan
dengan penuh antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam
suatu pembunuhan politik.

Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong tatanan mapan,


mereka kemudian lebih dikenal sebagai kaum Khawarij
(pemberontak). (Mereka juga dinamakan kaum al-Haruriyyun,
nisbat kepada oase al-Harura dekat Kufah, tempat mereka
berpangkalan). Seperti telah dikatakan tadi, mereka ini
kemudian mengalami penghancuran diri sendiri (self
annihilation) justru karena watak mereka yang sangat akstrem.
Akibatnya ialah bahwa mereka hampir-hampir praktis tidak
tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.

Tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata


terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru
banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini berkembang dan
mapan di kalangan kaum Muslimin dapat ditelusuri kembali
sebagai asal dari problematika kaum Khawarij. Bahkan ada
tanda-tanda bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana
dahulu muncul dalam sistem kalam kaum Mu'tazilah, kini
menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian
kaum Muslim "liberal" (dalam arti lebih banyak menunjukkan
sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan tatanan
mapan sosial-keagamaan yang ada).

Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya


Ali oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir
universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di Damaskus,
sekurang-kurangnya secara de facto. Terutama pada tahun 41
Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan kembali
kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan
menyebut tahun itu sebagai "Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).
[13]

Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan


program-program ekspansi militer dan politik yang sempat
tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata
menunjukkan kecakapan memerintah yang mengesankan, sehingga
para ahli sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam
yang kedua terbesar, yakni, sesudah Umar ibn al-Khaththab.
Bahkan cukup menarik bahwa ibn Taymiyyah, dalam polemiknya
dengan kaum Syi'ah, masih sempat menunjuk kepada kenyataan
bahwa sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian umat Islam, Mu'awiyah mendapat dukungan
yang boleh dikata universal. Ini, dalam pandangan Ibn
Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah atas
Ali, meskipun ia tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali
atas lawannya itu). [14]

Tetapi setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali kepada


kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil
risiko yang dapat mengganggu "keseimbangan rawan" (delicate
balance) susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh
dengan banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam
kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat menyetujui
untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai penggantinya.
Sebagian besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid
pun dinyatakan sebagai Khalifah. Tetapi kekhalifahan Yazid
yang memang tidak banyak memenuhi gambaran ideal seorang
penguasa Muslim itu segera mengundang munculnya kembali
pertentangan-pertentangan laten.

Tantangan terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung


Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan setiap
kesempatan. (Sesungguhnya mereka berharap, sepeninggal Ali,
agar Hasan, anaknya, mempertahankan klaim kekhalifahan,
menghadapi Mu'awiyah di Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan
mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim itu
dan hidup hampir menyendiri secara damai di Madinah. Maka
harapan para pendukung Ali kini ditujukan kepada Husayn,
saudara Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu, banyak
kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik dukungannya
kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh gubernur Syria.
Husayn dengan kekuatan tenteranya yang kecil menolak untuk
menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir Karbala,
dekat Kufah. Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn,
putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam
dan tragis.

Terbunuhnya Husayn, seperti terbunuhnya Utsman sebelumnya,


merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah kedua, yang
mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada sistem
sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa
Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal
dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya lengkapnya ialah
syi'ah Ali. "Partai Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum
terhadap kematian tragis Husayn, kaum Syi'ah perlahan-lahan
mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan-pandangan
sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi dasar sistem
doktrinal Syi'isme.

Tetapi Yazid tidak hanya menghadapi tantangan dari kaum


Syi'ah. Di Makkah bangkit Abdullah ibn al-Zubayr (ibn
al-Awwam) yang ayahnya dahulu pernah menentang Ali bersama
A'isyah dan kalah kini bangkit menentang Yazid dengan cukup
efektif. Yazid tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa
Damaskus ini meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah
selama sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Makkah sebagai
ibukota.

Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar


kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah
Arabia, khususnya di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan
berada di tangan kaum Khawarij yang seperti selama ini
melancarkan perang "hit and run" terhadap Abdullah ibn
al-Zubayr.

Sebenarnya kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan


beberapa nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya faham
persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka telah membuat
mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang tidak
membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab. Dan
politik mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap
kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam
otonomi penuh mengurus kepentingan mereka sendiri, telah
membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.

Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari kalangan


Muslim yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka
untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang
disusun seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah)
telah mengundang antipati orang-orang kota. Ini membuat
kekuasaan kaum Khawarij, meskipun selama fitnah kedua ini
menguasai teritorial yang paling luas, tidak pernah efektif.
Apalagi, setelah secaara singkat menjadi pendukung Abdullah
ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan khalifah Makkah
itu, kaum Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan
Iran, yang dikenal sehagai kaum Azariqah, menganggap siapa
saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang
berpangkalan di Basrah, Irak.

Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubayr masih harus


menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang
tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah sekali lagi
mencoba memobilisasi diri dan menemukan figur sentral mereka
pada putera Ali yang lain, yaitu Ibn al-Hanafiyyah.
Pemberontakan kaum Syi'ah ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi
Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya dengan kaum Khawarij, juga
ingin menegakkan prinsip persamaan manusia, namun dengan
cara-cara yang lebih moderat. Mereka dengan tegas mengambil
sikap yang menyamakan status antara orang-orang Muslim
bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka
ini justru membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang
kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang Kufah ini
mempermudah pemberontakan kaum Syi'ah untuk dipatahkan oleh
Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari Basrah
yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.

Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah


tidak berarti bahwa mereka benar-benar bebas dari oposisi.
Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap merupakan ancaman yang
laten. Sementara itu, di utara, di Syria, kekuatan-kekuatan
oposisi kelanjutan kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri.
Kaum Umawi yang berkoalisi dengan kaum Banu Kalb (sandaran
utama kekuatan Arab Syria bagi kaum Umawi sejak masa
Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah,
sebagai Khalifah. (Adalah Marwan ini yang dahulu bertindak
sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa
sebagai dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang
ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian
membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria sebagai
salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang,
sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke tangan Marwan dan
anaknya, Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh
ke tangan kaum Umawi, yang berarti hilangnya basis dukungan
bagi Ibn al-Zubayr di Mekkah. Kota-kota garnizun di bawah
kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini lebih efektif dalam
melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan
mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang lunak. Hingga
akhirnya kaum Umawi berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran
memperebutkan kota suci itu), dan di situ Khalifah Abdullah
ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.

Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd


al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah
Islam terbesar ketiga setelah Umar dan Mu'awiyah. Segi
kebenaran Abd al-Malik ialah bahwa ia berhasil mengakhiri
fitnah (kedua), dengan melakukan berbagai akomodasi. Dengan
tegas Abd al-Malik mendasarkan sistemnya di atas konsep
kekuatan (force). Maka negara menjadi negara kekuasan (macht
staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas
siapa yang unggul melalui kekuatan itu. Juga penggantian
kekhalifahan dengan tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam
bentuk suksesi melalui penunjukan oleh khalifah yang
terdahulu.

Kebesaran Abd al-Malik ibn Marwan yang lain terletak dalam


kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam terhadap yang
lain. Di sisi lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis
nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik mengganti mata
uang logam Yunani yang bergambar kepala raja mereka dengan
mata uang logam khas Arab dan Islam dengan simbol kalimah
syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.

Berbeda dengan pandangan keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah


pandangan keagamaan kaum Umawi memang sangat berat berwarna
ke-Arab-an. Bagi mereka Islam adalah lambang Arabisme yang
dipersatukan, dan berfungsi terutama sebagai kode etik dan
ajaran disiplin bagi kekuatan elite penakluk dan penguasa.
Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik melihat pentingnya
usaha lebih lanjut mempersatukan orang-orang Arab di bawah
bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai saat
itu masih menunjukkan potensi latennya. Solidaritas Arab
berdasarkan Islam melawan kecenderungan kesukuan lama
(Jahiliyah) ini kemudian menjadi dasar ide tentang Jama'ah,
suatu konsep atau idiologi yang meletakkan nilai-nilai
persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di
atas faham-faham keagamaan faksional.

Sebagai dukungan asasi bagi konsep Jama'ah-Nya itu, dengan


dibantu oleh keahlian dan kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf,
bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif (yang
sebelumnya telah membantu menaklukkan Mekkah, membunuh Ibn
al-Zubayr, dan menghancurkan Ka'bah serta membangunnya
kembali), Abd al-Malik meneruskan usaha mempersatukan ummat
Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka, dengan memperbaiki
cara penulisannya dan memastikan harakat bacaannya melalui
penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi (harakat). [15]
Dampak amat penting tindakan ini ialah penyatuan yang lebih
meyakinkan seluruh kekuatan Islam (dan Arab), yang menjadi
dasar kebesaran kekuasaan Umawi (lebih tepat, Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan sementara ahli sejarah Islam).
Melalui kebijaksanaan Abd al-Malik ibn Marwan ini maka
al-Qur'an mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai lambang
persatuan dan kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian
dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan ajarannya
secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.

Maka dalam usaha memahami lebih baik Kitab Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi para penguasa Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam,
yang sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak
dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika
pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar
ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam
kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah
orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak
referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah
Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah
yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16]

-------------------------------------------- (bersambung 4/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.51. SKISME DALAM ISLAM (4/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

oleh Nurcholish Madjid

Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk


menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang
otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian
kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa
lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat,
tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam,
menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan
dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana
hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.

Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat


hadits telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam,
rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat
bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal
sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang
kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.

Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah


ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan
Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk
menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan
penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi
untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan
kompromistis. Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah
mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat
(artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih
unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada
Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali).
Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan
dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap
kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.
Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar
faham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di
dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah
(persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (faham yang
memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai
bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah,
biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi,
golongan Sunni.

PENUTUP

Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat


dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar tentang
faham-faham pecahan dini Islam, yaitu Khawarij, Syi'ah dan
Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah lagi ke
dalam berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh
munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.

Uraian di atas, meskipun jauh dari sempurna dan lengkap,


diharap dapat memberi gambaran (dan kesadaran) betapa
relatifnya pangkal skisme dalam Islam (karena berakar dalam
pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas
dari konteks ruang dan waktu dalam pengertian yang
seluas-luasnya). Maka dengan jelas dapat dilihat betapa
absurd-nya memutlakkan kebenaran suatu aliran paham dalam
agama (Islam). Juga bisa dilihat, betapa problematisnya
kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih lagi
jika kita perhitungkan pandangan semua kelompok mengenai
masalah kekhalifahan itu. (Patut diperhatikan, betapa kaum
Syi'ah cenderung hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr, Umar, Utsman,
plus Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan
Sunni, mengakui semuanya namun dengan mengunggulkan Utsman
atas Ali dan Ali atas Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu,
dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran bagi
pandangan masing-masing, tidak jarang dinyatakan dalam
gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").

Maka kesimpulannya, mungkin yang diperlukan sekarang ialah


mengembangkan dasar fikiran nonsektarianisme, dan melihat
sektarianisme sebagai jenis kemusyrikan, sesuai dengan
peringatan, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada
mereka" (yakni, antara lain, mengaku benar sendiri). [17]
Sebenarnya semangat non-sektarianisme inilah salah satu
pandangan dasar Islam yang dibawa Nabi, karena mengambil
pelajaran dari pengalaman agama-agama sebelumnya, sebagai
tercermin dalam peringatan yang lain, "Sesungguhnya mereka
yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit pun termasuk
mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna
yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi Ibrahim adalah hanif,
yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak
yang baik dan benar: "Maka ikutilah olehmu semua agama
Ibrahim, secara hanif." [19] Agaknya kita semua ditantang
untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.

CATATAN

1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.

2. QS. al-Baqarah/2:213.
3. QS. Hud/11:118-119.

4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5

5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary


(Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.

6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan


pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru
hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya
maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain
terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah
(Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi
betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak
dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi
pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah
Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at
al-Manar, 1326 H.).

7. QS. al-Ma'idah 5:51.

8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran


dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsur
dalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak
membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut
peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara
para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat
beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya
tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat
al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).

9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk


pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup
jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut
hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S.
Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.

10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an


pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan
al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau
rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan
Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa
pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama
diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir
Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan
dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan
ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf
ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan
Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari
(lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa
mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling
aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm
Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti
pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh
dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
Thalib."

11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.

12. QS. al-Baqarah 2:207.

13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de


facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"
('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,
Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],
h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu
dikembangkan sebagai idiologi.

14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam


mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.
Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab
Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,
mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah
termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya
mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn
(Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,
'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada
mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk
kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu
benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu
mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih
sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar
anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak
perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi
tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu
menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin
dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan
musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi
dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa
Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam
kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat
hal yang menyakiti hati Nabi.

15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan


kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami
kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang
benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai
orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya
akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan
huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,
tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal
itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada
al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
Deutschen Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah
(Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara
hh. 114 dan 115):

Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan


untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf
rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab
saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya
perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk
bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi
jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za'
antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan
dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf.
Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat
penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.

16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna


"mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk
kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah
merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)
(QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap
golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan
perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)
..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan
perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran
keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan
supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini
sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara
lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang
berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan
dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah
hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu
bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar
kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem
hukum.

17. QS. al-Rum/30:32.

18. QS. al-An'am/6:169.

19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
hanif ." (QS. al-An'am/6:161).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
VI. 47. PENGERTIAN WALI AL-AMR DAN PROBLEMATIKA (1/2)
HUBUNGAN ULAMA DAN UMARA oleh Ali Yafie

Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan sebuah


keputusan dalam kaitan hari libur Idul Fithri sebagai hari
libur nasional. Dan itu terlansir dalam sebuah Keputusan
Presiden dan diperkuat Keputusan Menteri Agama.

Hal itu jelas memperlihatkan keterkaitan Pemerintah dengan


urusan keagamaan (pelaksanaan ajaran agama). Lebih lanjut
kita melihat hal seperti itu dalam masalah perkawinan dan
peradilan khusus yang menyangkut penyelesaian sengketa
urusan kekeluargaan di kalangan kaum muslimin bangsa
Indonesia. Maka dalam rangka urusan tersebut kita dapat
memahami kehadiran Undang-undang Perkawinan dan
Undang-undang Peradilan Agama (yang belum lama ini sudah
diundangkan). Dalam kaitan masalah-masalah tersebut di atas
terkait permasalahan wali al-amr.

Kata "wali al-amr" (dalam sebutan Indonesia) berasal dari


"waliy-u 'l-amr" (bahasa Arab). Kata ini biasa diartikan
"penguasa." Kedua bagian kata majemuk ini sudah lazim
dipakai dalam bahasa Indonesia; yaitu kata "amr" biasa
dibunyikan "amar" yang berarti: perintah atau suruhan
(misalnya: dengan amar raja diartikan: atas perintah raja).
Mengamarkan: memerintahkan, menyuruh melakukan. Kalau
ditambah dengan akhiran "an" maka menjadi "amaran" yang
berarti: perintah, suruhan, tugas (yang harus dilakukan).
Tetapi dalam kata asalnya, ia mempunyai arti yang lebih
luas, selain berarti: order, komando, otoritas, power, juga
berarti: urusan, persoalan atau perkara, masalah penting.
Dari akar kata "amr" ini, timbul bentuk-bentuk kata "amir,"
"amiral" (admiral), "amiralay (brigadier general), amirul
mu'minin (khalifah), "imarah" (sifat keamiran, atau
markasnya, atau wilayahnya).

Adapun kata "wali" juga sudah lazim dipakai dalam bahasa


Indonesia, yang berarti: orang yang menurut hukum diserahi
kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu
belum dewasa; pengasuh pengantin perempuan ketika nikah
yaitu keluarga dekatnya yang melakukan janji atau akad nikah
dengan pengantin laki-laki (dalam urusan nikah ini dikenal
juga adanya wali hakim yaitu pejabat urusan agama yang
bertindak sebagai wali); wali Allah atau waliullah, yaitu
orang suci dan keramat (seperti Wali Songo); kepala
pemerintahan (seperti wali kota, wali negara). Dalam bahasa
asalnya, kata ini berarti juga: penolong, pelindung, teman
atau sahabat, pemilik atau penguasa sesuatu barang,
pemelihara, petugas. Dari akar kata ini berkembang
bentuk-bentuk kata: wala yang berarti: cinta, persahabatan,
loyalitas, kekeluargaan; kata "wilayah" yang berarti
kekuasaan, kewenangan, daerah yurisdiksi. Itulah pembahasan
sepintas dari segi etimologis dan lexicologis, tentang
kata-kata "wali" dan "amr."

Maka kata "waliy-u 'l-amr" dengan pengertian "penguasa" atau


"pemerintah," cukup beralasan dilihat dari segi pemakaian
bahasa. Sesudah itu, ingin kita melihat kaitan pengertian
kata ini dengan persoalan hukum dalam rangka kajian fiqh.
Dalam persoalan ini tentunya pada tingkat pertama kita
berupaya mencari pokok persoalannya dalam al-Qur'an. Maka
disana kita akan menemukan pemakaian kata "uli 'l-amr" (yang
artinya dengan "waliy-u 'l-amr"), pada dua tempat, yaitu
pada ayat 59 surah an-Nisa, dan pada ayat 83 dari surah yang
sama. [1] Yang pertama berbunyi (terjemahnya): Hai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
rasulNya dan "ulil amri" dari kalian...). Dan yang kedua
berbunyi (Terjemahnya): Apabila mereka ditimpa sesuatu
peristiwa keamanan atau ketakutan, lalu mereka
menyiarkannya. Seandainya mereka mengembalikan persoalan itu
kepada Rasul dan kepada "uli 'l-amri" dari mereka, niscaya
orang-orang yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu
...). Mufassir kenamaan yakni Imam 'Imaduddin Ibn Katsir
menukilkan keterangan Ibn 'Abbas (Sahabat Nabi) r.a. "yakni
ahl-u 'l fiqh-i wa 'l-din" (yang dimaksud dengan uli 'l-amr
yaitu ahli dalam masalah-masalah agama). Sama dengan itu,
pendapat Mujahid, 'Atha, Al Hasan Al Bashri dan Abul 'Aliyah
(semuanya ulama Tabi'in) yakni al-'ulama" (yang dimaksud
dengan uli 'l-amr adalah ulama). Ibn Katsir melanjutkan
keterangannya bahwa yang jelas (wa 'l-Lah-u a'lam), kata ini
pengertian umumnya mencakup para amir (umara) ulama.
Pengertian ini diperkuat oleh ayat 63 surah al-Maidah dan
ayat 43 surah an-Nahl; [2] ditambah dengan penjelasan hadits
shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. dari sabda
Rasulullah s.a.w.: Barangsiapa mendurhakai aku berarti dia
sudah taat kepada Allah dan barangsiapa mendurhakai amir
yang saya angkat berarti dia telah mendurhakai aku. [3] Maka
semua penjelasan ini merupakan perintah untuk mentaati para
ulama dan umara. Beberapa hadits lainnya dari berbagai
sumber berita dari sejumlah sahabat Nabi telah dipaparkan
oleh Ibn Katsir, yang semuanya mengacu kepada keharusan
mentaati amir-amir (para petugas atau penguasa yang diangkat
Nabi dalam berbagai urusan yang ditempatkan di berbagai
daerah (yang telah dibebaskan ketika itu). (Lihat h.517 Juz
I Tafsir Ibn Katsir).

Ahli fiqh kenamaan yakni Imam Abul Hasan 'Ali al-Mawardi


ketika mengulas jenis-jenis kewenangan yang disebut "imarah"
yang pejabatnya disebut "amir" beliau mensitir juga ayat 59
surah an-Nisa tersebut di atas, lalu beliau menjelaskan
bahwa didalam pengertian "uli- 'l-amr" ada dua pendapat.
Pertama, bahwa yang dimaksud dengan kata itu, ialah
amir-amir, dan ini pendapat Ibn Abbas r.a. Pendapat kedua,
bahwa yang dimaksud dengan kata ini ialah para ulama.
Demikian pendapat Jabir, al-Hasan dan 'Atha. Bahkan Imam
al-Mawardi ini ketika membahas masalah Imamah atau
Kekhalifahan (Bab Pertama dari bukunya yang berjudul
al-Ahkam al-Shulthaniyah), beliau juga berpatokan dari ayat
59 (surah an-Nisa) tersebut. Dari ulasan beliau dapat
ditarik pengertian bahwa didalam kata "uli 'l-amr" termasuk
penguasa atau pemimpin tertinggi pemerintahan sampai kepada
pejabat-pejabat yang berwenang di daerah-daerah, atau dalam
urusan-urusan yang diserahkan pengelolanya kepada mereka.
Mereka itu disebut "wulat" (mufradnya wali sebagai singkatan
dari waliy-u 'l-amr) dan umara (tunggalnya amir) yaitu
penguasa yang diberi kewenangan dalam satu urusan tertentu,
atau suatu daerah kekuasaan tertentu.

Teori Wilayah (Kekuasaan atau Kewenangan)

Di dalam Fiqh (Ilmu Hukum Islam) ditemukan adanya dua jenis


kekuasaan (wilayah) yang dikaitkan dengan sumbernya, dan dua
jenis lagi yang dikaitkan dengan jangkauan kewenangannya.
Yang dikaitkan dengan sumbernya atau pangkal timbulnya
kekuasaan itu, ialah pertama: sumber kekuasaan yang sifatnya
natural-kultural, yang timbul dari suatu keadaan yang
menyangkut kepentingan dirinya, dimana yang bersangkutan
tidak atau belum cakap dan mampu melakukan tindakan hukum
yang berkaitan dengan hak-hak dan atau kewajibannya (faqid-u
'l-ahliyah atau naqish-u 'l-ahliyah). Disini berperan orang
lain menggantikan melakukan tindakan hukum, maka timbullah
apa yang misalnya disebut "vaderlijke-macht" (kekuasaan
ayah) yang sifatnya natural, yang berkembang menjadi
kultural. Yang kedua: sumber kekuasaan yang sifatnya sosial
atau konstitusional, yang timbul dari suatu keadaan yang
menyangkut kepentingan umum, utamanya untuk memberikan
perlindungan bagi kepentingan masyarakat, supaya terjamin
kebebasannya, keamanannya, dan ketertibannya, dalam
memperoleh hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Maka timbullah apa yang misalnya disebut rechtsmacht
(kekuasaan mengadili), beheersmacht (kekuasaan mengelola),
regeringsmacht (kekuasaan memerintah) dan seterusnya yang
semuanya itu sifatnya sosial yang berkembang menjadi
konstitusional.

Kekuasaan jenis pertama (menurut fiqh) ada dua macam, yaitu:


wilayah (perwalian), wishayah (pengampunan atau kuratel).
Perwalian ini merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua
dan keluarga dekat, dan dalam keadaan tertentu dapat
melompat kepada uli 'l-amr (pemegang kekuasaan sosial atau
konstitusional) seperti wali hakim dalam masalah pernikahan
yang wali nasabnya berlaku 'adhal (menolak untuk menjadi
wali dalam perkawinan yang dibenarkan menurut hukum dan
wajar dilangsungkan). Perwalian tersebut menyangkut diri dan
harta benda mereka yang belum cakap melakukan tindakan
hukum, seperti anak-anak yang belum dewasa (akil baligh).
Dan perwalian tersebut meliputi kekuasaan (kewenangan)
pemeliharaan, termasuk penyusuan (radha'ah), perawatan
(hadhanah), pemberian nafkah, pendidikan, pemberian izin
kawin. Pemegang kekuasaan perwalian atau mereka yang disebut
wali, tidak termasuk dalam pengertian uli 'l-amr atau
waliy-u 'l-amr (wali al-amr). Mereka itu termasuk dalam
kelompok pemegang wilayah khasshah, yang kedudukannya dalam
mengurus dan mengelola diri dan harta benda orang-orang yang
berada dalam perwaliannya, kekuasaannya lebih kuat dari
kelompok pemegang wilayah 'ammah (uli al-amr). Kewenangan
wali tersebut diatas hanya menyangkut hal-hal yang bersifat
perdata, sedang kewenangan waliy-u 'l-amr menyangkut hal-hal
yang bersifat kemaslahatan umum (algemeeneblang) dalam ruang
lingkup hukum publik (al-ahkam al-shulthaniyah).

Teori Fiqh dalam Kekuasaan Waliy-u 'l-amr

Al-ahkam al-sulthaniyah (hukum publik) dan


kewenangan-kewenangan yang bersangkutan dengan itu yang
ditata dalam hukum Islam (al-wilayat al-diniyah), dalam
suatu pembahasan yang luas oleh Imam Al Mawardi, telah
dirinci dalam 20 macam kewenangan. Yaitu, pertama, al-Imamah
(al-Khilafah); kedua, al-Wizarah (Kementrian); ketiga,
al-Imarah 'ala 'l-bilad (Pemerintahan Daerah); keempat,
al-Imarah 'ala 'l-Jihad (Kekuasaan Pertahanan atau
Keamanan); kelima, al-Wilayah 'ala 'l-hurubi 'l-mashalih
(Kekuasaan Penertiban Masyarakat); keenam, Wilayat-u
'l-Qadha (Kekuasaan Kehakiman); ketujuh, Wilayat-u
'l-Mazhalim (ada kemiripan dengan Kekuasaan Kepolisian);
kedelapan, Wilayat-un Naqabah 'ala dzaw-i 'l-ansab
(Kekuasaan Pengawasan atau Pencatatan cipil); kesembilan,
al-Wilayat 'ala Imamat-i 'l-Masajid (Kekuasaan pengangkatan
Imam-Imam dan penataan pimpinan masjid-masjid); kesepuluh,
al-Wilayah 'ala 'l-Hajj (Kekuasaan penyelenggaraan ibadah
haji); kesebelas, Wilayat-u 'l-Shadaqat (Kekuasaan
pelaksanaan Zakat); kedua belas, Fi Qasm-i 'l-Fa'i wa
'l-Ghanimah (Kekuasaan pengaturan dan pengurusan harta
rampasan); ketiga belas, Fi wadh-'i 'l-jizyah wa 'l-kharaj
(Kekuasaan penetapan dan pemungutan pajak-pajak); keempat
belas, Fi ma takhtalif ahkamuh-u min al-bilad (Penetapan
status tanah); kelima belas, Fi Ihya al-mawat wa 'l-stikhraj
al-miyah (Kekuasaan pengelolaan tanah dan penggunaan sumber
air); keenam belas, Fil hima wa 'l-arfaq (Kekuasaan
penetapan tanah atau hutan lindung); ketujuh belas, Fi Ahkam
al-Iqtha' (Hukum Pertanahan); kedelapan belas, Fi Wadh-'i
'I-Diwan (Kekuasaan pengaturan Tata Usaha Pemerintahan);
kesembilan belas, Fi Ahkam al-Jaraim (Pengaturan Hukum
Pidana), dan kedua puluh, Fi Ahkam al-Hisbah (ada kemiripan
dengan Kekuasaan Kejaksaan).

Berbagai macam kekuasaan dan kewenangan yang diuraikan dalam


rincian tersebut di atas, maka kekuasaan yang pertama
dibahas yaitu Imamah atau Khalifah merupakan kekuasaan yang
tertinggi dan merupakan juga sumber segala kewenangan yang
bermacam-macam yang disebutkan sesudahnya. Kekuasaan ini
digambarkan sebagai suatu perikatan (akad) dimana terlibat
dua pihak di dalamnya. Pihak pertama disebut "ahl-u
'l-ikhtiyar atau ahl-u 'l-hall-i wa 'l-'aqd" dan pihak kedua
disebut "ahlul imamah," yaitu pihak yang dianggap mempunyai
kelayakan untuk menjadi pemegang kekuasaan tertinggi karena
telah memenuhi persyaratan tertentu yang menjamin kualitas
fisik, mental atau spiritual, intelektual, kultural, dan
struktural kemasyarakatan yang menjamin wibawanya.

(bersambung 2/2)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI. 47. PENGERTIAN WALI AL-AMR DAN PROBLEMATIKA (2/2)
HUBUNGAN ULAMA DAN UMARA oleh Ali Yafie

Adanya pihak kedua yang disebut ahl-u 'l-hall-i wa 'l-'aqd


ialah untuk menjamin terwujudnya upaya ikhtiyar (sehingga
mereka juga disebut ahl-u 'l-ikhtiyar) yaitu upaya seleksi
dan pemilihan untuk menentukan yang terbaik (al-afdhal) dari
pihak pertama. Dan selanjutnya formulasi "ikhtiyar" ini
dimaksudkan juga adanya pencerminan kebebasan dan
kesuka-relaan (tanpa tekanan dan paksaan) dalam upaya
ikhtiyar tersebut, bagi semua pihak yang bersangkutan. Oleh
karenanya akad ini disebut juga 'aqd-u muradhat (akad yang
dilandasi sikap kesuka-relaan).

Dari teori pokok yang diuraikan di atas, diciptakan beberapa


teori lain sebagai kelanjutannya. Di antaranya teori
"tauliyah" untuk melahirkan legalitas atas suatu otoritas
tertentu. Untuk lebih mendalami teori tersebut dapat kita
simak praktek penjabarannya yang digambarkan dalam fiqh
(Ilmu Hukum Islam) ketika membahas pengangkatan hakim
(qadhi) dalam rangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman
(wilayat-u 'l-qadha). Bahwa pengangkatan hakim itu termasuk
fardhu kifayah (sama dengan penetapan Imam (a'dzham) yaitu
Khalifah, yakni suatu tugas mengemban amanat keagamaan yang
menyangkut keseluruhan masyarakat, tidak bagi orang seorang,
dengan kata lain bukan tugas individual yang bersifat
personal, tetapi tugas semacam ini menjadikan setiap orang
dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan,
keseluruhannya menanggung dosa (dipandang bersalah dalam
hukum agama), tetapi yang berkaitan dengan keharusan
pemenuhan tugas kolektif tersebut, cukup seorang atau
sekelompok orang tertentu yang memenuhi persyaratan dalam
kedudukan tertentu yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya
tugas tersebut maka masyarakat yang bersangkutan berarti
sudah menunaikan tugas kolektif itu.

Gambaran selengkapnya dari teori tauliyah (dalam


pengangkatan hakim) diuraikan sebagai berikut:

Imam Dimyathi menguraikan bahwa pengangkatan hakim harus


merupakan tauliyah dari Imam atau Pemegang kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan atau pejabat (makdzun) yang
ditunjuk olehnya. Jika tidak terdapat penguasa seperti itu,
maka tauliyah dilakukan oleh ahl-u 'l-halli wa 'l-'aqd yaitu
kelompok orang-orang yang berwibawa dalam masyarakat yang
dapat menentukan pelaksanaan atau pembatalan suatu urusan
penting dalam masyarakatnya, dalam hal ini seperti para
ulama dan pemuka-pemuka masyarakat yang dapat berhimpun dan
membuat kesepakatan diantara mereka. Atau cukup sebahagian
dari mereka walaupun hanya seorang diantara mereka asal ada
persetujuan. Dalam proses perubahan sosial, fiqh
mengembangkan teori yang lebih rialistik dengan teori
kekuasaan "sulthan." Yaitu, pemegang kekuasaan dan
kewenangan memerintah dengan kekuasaan yang nyata (dzu
syaukah). Penguasa seperti itu dapat menggantikan kedudukan
Imam dalam fungsinya menegakkan (melindungi dan mengurus)
kepentingan umum dari masyarakatnya, sebagai satu hal yang
tak terelakkan (li 'l-dharurah) untuk tidak terbengkalai
kepentingan rakyat banyak (untuk menghindari kevakuman dalam
kekuasaan yang menjurus kepada anarki).

Uraian Imam Dimyati tersebut di atas bertemu dengan


pokok-pokok pandangan Imam al-Mawardi dalam pembahasannya
tentang latar belakang pemikiran dalam teori Imamah atau
Khilafah, yaitu suatu bentuk- kekuasaan umum dalam sosok
seorang penguasa tertinggi dalam lingkungan suatu masyarakat
besar untuk mencegah terjadinya anarki dalam masyarakat
tersebut, dengan adanya kekuasaan yang berwibawa dengan
kewenangan memerintah, mengadili, mengamankan dan ketertiban
masyarakat.

Dalam sejarah pertumbuhan masyarakat kaum muslimin,


kekuasaan seperti tersebut telah dijalankan oleh Rasulullah
setelah berhasil membentuk masyarakat merdeka yang terdiri
dari masyarakat majemuk di kota Yatsrib (Madinah) dimana ia
memperoleh suatu kekuasaan umum yang luas, meliputi
kewenangan memerintah, mengadili, melindungi wilayah dan
penduduknya, menegakkan keadilan dan mengembangkan
kesejahteraannya, melalui suatu perjanjian yang dibuat
bersama dan disepakati bersama oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan tata masyarakat baru. Dengan lahirnya
naskah perjanjian Madinah (al-'Ahd al-Madani) ini, dunia
abad ke-7 Masehi diperkenalkan pada satu model kekuasaan
yang sebelumnya dunia hanya mengenal dua jenis atau model
kekuasaan yang mengatur masyarakat, yaitu kekuasaan kepala
suku (dalam masyarakat yang mengenal domisili tetap dan
lahan pemukiman). Ketika itu dunia sama sekali belum
mengenal dan menyaksikan model kekuasaan dalam bentuk negara
dan pemerintahan modern, kecuali sedikit teori klasik negara
utopia ciptaan para filsuf Yunani yang tidak pernah lahir
dalam kenyataan.

Dari model pertama tersebut di atas, berkembang model


kekuasaan kekhalifahan, yang kemudian berangsur pudar dimana
pada gilirannya model kesultanan muncul menjadi kenyataan,
yang menurut ilmuwan kenamaan Ibn Khaldun, model terakhir
ini cenderung bersifat sekuler, namun tidak dapat melepaskan
dlri dari berbagai bagian kekuasaan keagamaan (wilayat
syar'iyyah), karena tidak dapat mengabaikan kepentingan
rakyatnya yaitu kaum muslimin.

Problematika Hubungan Ulama dan Umara

Pembicaraan teoritis tentang masalah kekuasaan yang dibahas


dalam fiqh merupakan bagian dari peran ulama dalam
pembentukan hukum Islam. Di lain pihak praktek-praktek
penyelenggaraan kekuasaan nyata yang dijalankan oleh umara
(waliy-u 'l-amr) mulai dari model kekhalifahan, selanjutnya
dalam model kesultanan dan terakhir dalam model negara
dengan bentuk-bentuk pemerintahan modern ada kalanya terpadu
atau menyatu dengan upaya para ulama dalam pembentukan hukum
Islam (penggalian dan pengembangan serta penetrapannya), dan
ada masanya juga tidak sejalan.

Sepanjang masa kekhalifahan pertama (umara' al-mu'minin) itu


personalnya adalah ulama penuh, dan kerja samanya dengan
para ulama yang berada di luar jaringan kekuasaan sangat
baik, sehingga tidak timbul sesuatu dalam hal pengembangan
dan penerapan hukum Islam yang merupakan problematika dalam
arti yang menimbulkan kesulitan atau konflik. Namun dalam
perkembangan sejarah pasca kekhalifahanpertama,
kebijaksanaan umum umara dalam kekuasaan kekhalifahan Bani
Umayyah mengalami perubahan orientasi dimana keseimbangan
antar fungsi "harasat-u 'l-din" (pemeliharaan kepentingan
agama) dan fungsi "siasat-u 'l-dunya" (kebijakan penataan
urusan pemerintahan), cenderung lebih memberatkan sisi yang
kedua itu. Ditambah lagi kalau kebetulan personalia umaranya
bukan ulama. Dalam hal perkembangan keadaan yang demikian
itu, kita melihat keengganan banyak tokoh ulama (termasuk
para imam mujtahidin) menolak ajakan atau permintaan para
umara, supaya mereka masuk menempati kedudukan-kedudukan
dalam jaringan kekuasaan. Di antaranya ada yang melakukan
penentangan legal terbuka seperti Imam Ahmad Bin Hanbal
terhadap Khalifah al-Maimun. Sepanjang zaman itu hukum
positif yang diberlakukan oleh umara senantiasa diawasi dan
dari waktu ke waktu mendapat koreksi dari para ulama,
pengemban amanat pemeliharaan dan penerapan hukum Islam.
Maka pembentukan hukum Islam lebih banyak berkembang diluar
lembaga kekuasaan atau pemerintahan. Hukum Islam terbentuk
dengan mantap didalam lembaga keilmuan dan di tangan para
ulama dan kesadaran hukum di kalangan rakyat banyak (kaum
muslimin) tumbuh berkembang dan terbentuk melalui jalur
pendidikan dalam Ilmu fiqh. Hal ini banyak positifnya dalam
memberikan daya tahan bagi hukum Islam itu. Diantaranya yang
terpenting bahwa dengan keadaan seperti itu, ada pengawasan
juridis yang bebas terhadap perilaku kekuasaan yang ada di
tangan umara. Itu hal positif yang pertama, dan yang kedua
ialah nasib hukum Islam itu tidak tergantung pada nasib
lembaga-lembaga kekuasaan yang dari waktu ke waktu timbul
tenggelam, dan pada waktu-waktu tertentu menjadi hancur
berantakan. Yang sangat menyedihkan ialah sekitar empat abad
terakhir dari sejarah kaum muslimin sedunia, lembaga-lembaga
kekuasaannya yang pernah jaya dan dibanggakan, menjadi
hancur berantakan di tangan-tangan penjajahan Barat.
Wilayah-wilayah Islam yang luas di Afrika, Timur Tengah dan
Asia, ditaklukan oleh penjajah-penjajah itu, dan mereka
menduduki kawasan yang terbentang luas itu sebagai
penguasa-penguasa yang tidak disenangi dan tidak diakui
legalitasnya oleh rakyat banyak (kaum Muslim). Oleh
karenanya secara terpaksa mereka menciptakan
penguasa-penguasa boneka dari Bumiputera, atau memberi
pengakuan terbatas kepada umara lokal (raja-raja atau
sultan-sultan setempat) dengan bentuk pemerintahan yang
mereka namakan zelfbestuur. Keadaan seperti itu berlangsung
cukup lama sampai terjadinya perubahan global dengan
terjadinya dua Perang Dunia yang berjarak tidak terlalu
lama, yang mengubah struktur umum kekuasaan di seluruh
dunia. Maka di Indonesia lahirlah suatu negara merdeka
(Republik Indonesia) yang segera disambut oleh para ulama
dengan satu pengakuan legalitas, diantaranya yang dicetuskan
oleh pertemuan besar para ulama di Surabaya pada awal
Oktober 1945 yang menerima baik Fatwa Rois Akbar K.H. Hasyim
Asy'ari, didalamnya tercantum dua butir penting yang
berkaitan langsung dengan pembahasan kita ini, yaitu
bagian-bagian fatwa tersebut yang berbunyi: Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
wajib dipertahankan; Republik Indonesia sebagai satu-satunya
pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan meski
pun meminta pengorbanan harta dan jiwa.

Legilitas yang diberikan oleh sejumlah ahl-u 'l-hall-i wa


'l-'aqd-i yaitu para ulama tersebut diatas merupakan titik
tolak yang penting dalam perkembangan ketata-negaraan dan
hukum di Indonesia ini, yang mengantarkan adanya penegasan
yang bersifat parsial yang memberikan status waliy-u 'l-amr
kepada pemegang kekuasaan tertinggi di negara merdeka ini
yaitu Kepala Negara (ketika itu dijabat oleh Presiden
Sukarno). Dan kelanjutannya dari perkembangan itu
memungkinkan kehadiran Undang-undang Perkawinan dan
Undang-undang Peradilan Agama sebagaimana disinggung di
atas.

CATATAN

1. Tafsir Ibn Katsir


2. Tafsir Bin Badis
3. Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin,
4. Imam Al Mawardi, Al Ahkam Al-Shulthaniyah
5. Ibn Ya'la Al Farra, Al-Ahkam Al-Shulthaniyah
6. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah
7. Sayyid Bakri Addimyathi, I'anat-u al-Thalibin.
8. Inwar al-Khathub, Al-Ahliyyah al-Madaniyah.
9. Dr. Mushthafa Ahmad Azzarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-'Am
10. K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam.
11. Elias A. Elias, Al-Qamus al-'Ashari.
12. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
13. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.48. KETERKAITAN DAN HUBUNGAN UMARA DAN ULAMA DALAM ISLAM

Oleh Aswab Mahasin

Hubungan antara Umara dan Ulama sebenarnya merupakan gejala


mutakhir. Sebab, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan negara; atau lebih khusus lagi, antara gereja
dan negara, sebagaimana halnya dalam agama Kristen. Masalahnya
sederhana, yakni kalau dalam Islam tidak ada institusi gereja
sehingga dari segi ajaran apa yang dianggap sebagai
pertentangan antara gereja dan negara tidak pernah ada. Dalam
sejarah, sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan
antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan dan pada
masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun kepemimpinan
kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya
semasa para Khalifah mengganti Nabi. Mungkin sekali hal itu
terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam arti
belum banyak lembaga dan pranata yang majemuk sebagaimana
dalam masyarakat mutakhir. Bahkan pengertian tentang negara
saja tumbuh secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau
federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat
laun menjelma menjadi negara.

Istilah umat sebenarnya sudah dipakai dalam masa sebelum Islam


yang berarti kelompok agama. Konon, dalam masyarakat Arabia
Selatan Kuno dikenal istilah lumiya yang berarti konfederasi
suku-suku, dan istilah umat pada masa Nabi agaknya berdekatan
dengan istilah ini yang dimaksudkan untuk menunjuk komunitas
Islam yang pertama di Madinah. Perkataan Madinah yang semula
menjadi gelar kehormatan untuk kota Yathrib kemudian sering
dipakai Yunani. Dari pengertian inilah lambat laun muncul
negara sebagaimana kita kenal dalam masa sekarang.

Sesudah Nabi, istilah yang banyak dipakai untuk menyebut


pimpinan negara adalah Khalifah. Pada masa Abu Bakar,
istilahnya adalah Khalifat-u Rasul-u 'l-Lah yang berarti
pengganti Nabi. Pada masa Umar diusulkan penggunaan gelar
Khalifat-u Khalifat-i Rasul-u 'l-Lah yang berarti pengganti
Nabi. Konon, Umar berkeberatan dengan istilah yang panjang ini
sehingga kemudian diperkenalkan istilah baru Amir-u
'l-Mukmin-in. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Amir ini
banyak dipakai untuk menyebut penguasa-penguasa pada tingkat
yang lebih rendah seperti Gubernur atau Walikota. Konon, pada
tahun 935, seorang Amir di Baghdad mulai menggunakan gelar
Amir al-Umara' untuk menegaskan bahwa dia adalah Amir yang
tertinggi atau Amir di atas Amir.

Istilah lain yang juga sering dipakai untuk menunjuk pimpinan


negara adalah Sultan. Gelar ini konon pertama kalinya
diberikan oleh Khalifah Harun al-Rashid kepada Wazirnya. Konon
pada abad ke X sudah banyak dipakai secara tak resmi untuk
menunjuk kepada penguasa-penguasa daerah yang merdeka. Pada
masa kesultanan Seljuk, istilah Sultan lantas dipakai sebagai
gelar untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara
istilah Khalifah lebih terbatas kepada pimpinan keagamaan
saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah
yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah Abbasiah
di Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka
gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan tanpa
wewenang politik. Ini terbukti misalnya dengan diterimanya
seorang Pangeran Abbasiah yang melarikan diri dari Baghdad
pada tahun 1261 dengan gelar Khalifah tetapi tanpa kekuasaan
politik. Khalifah lalu diartikan sebagai Imam yang hanya
mengurusi soal-soal peribadatan, sedangkan soal-soal
kenegaraan menjadi urusan Sultan.

Dari telaah tarikh ringkas ini barangkali kita bisa mengatakan


bahwa walaupun pada mulanya agama dan negara tidak dapat
dipisahkan dalam Islam, perkembangan masyarakat bisa
menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan
negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena
harapan untuk memperoleh pimpinan politik yang saleh dan
religius serta memperoleh dukungan yang luas dari umat tidak
berhasil. Yang kedua, mungkin juga karena makin majemuknya
masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara. Dua jenis
kekuasaan itu sulit disatukan dalam satu tangan. Apakah hal
ini melanggar doktrin asli, para ahli fiqh yang bisa menjawab
itu.

Memang, kemerosotan kedudukan Khalifah sebenarnya terjadi pada


saat kekuasaan politik mengalami kemerosotan. Dan pada masa
semacam itu sering terjadi perebutan kekuasaan. Menghadapi
situasi semacam itu para ulama banyak yang memilih berada di
luar kekuasaan dan berbakti sebagai penjaga hati nurani
umatnya. Karena itu sering kita mendengar cerita ketegangan
antara Sultan atau para umara dengan para ulama. Hal ini bisa
terjadi karena para ulama itu menilai bahwa Sultan tidak lagi
berada di garis agama atau sedikitnya melakukan maksiat dengan
kekuasaannya. Karena para ulama ini hidup di tengah rakyat
dengan gaya hidup sederhana seperti masyarakat sekitarnya,
maka fatwanya tidak saja berbobot agama tetapi juga
berpengaruh luas dan sering kali mencerminkan pendapat
masyarakatnya. Dalam kedudukan seperti itu fatwa para ulama
lantas menjadi semacam sumber legitimasi. Karena itulah kita
mendengar banyak cerita tentang usaha Sultan untuk "membeli"
ulama yang berpengaruh, dengan memberinya jabatan sebagai
qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang ulama
besar yang menolak tawaran Sultan dan kemudian mengalami
siksaan. Dalam bahasa sekarang seakan-akan ulama besar ini
menjadi semacam "tokoh oposisi" yang tidak mau tunduk kepada
kekuasaan Sultan. Tentu saja ada juga ulama yang bersedia
menerima tawaran Sultan dan kemudian menjadi Ulama Negara.
Ketegangan semacam ini tampaknya agak laten di dunia Islam
yang tidak lagi bisa menyatakan kembali kuasa agama dan kuasa
negara.

Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-u 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keummatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.

Pada masa kita sekarang jarak antara umara dan ulama


diperbesar oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan
hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga
perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan
bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian
pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga
fatwa mereka sedikit banyak masih mempengaruhi legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih punya peranan politik. Karena itu
senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa, senantiasa ada ulama yang ingin tetap
merdeka dan ada pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern sekalipun, agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.

Pada abad kita sekarang masalah yang menonjol adalah


tarik-menarik antara agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum diketahui, dari
proses modernisasi yang mulai di Eropa kemudian menyebar
keseluruh dunia. Gejala yang kita kenal adalah jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti. Di dunia Islam mula-mula dasar ikatan
keagamaan dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan imperialisme. Patriotisme dinyatakan sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga muncul perlawanan dengan kombinasi keagamaan dan
kebangsaan. Pada Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain menjadi muslim
sama artinya dengan menjadi Pribumi. Tetapi perkembangan
kemudian, terutama pada saat konsolidasi kemerdekaan,
menunjukkan meningkatnya persaingan antara kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja terjadi di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lannya. Di Turki misalnya, sekalipun semula Mustafa Kemal
Ataturk juga berusaha memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan nasionalnya, pada akhirnya Turki modern lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian lebih ditekankan daripada ikatan
ke-Islam-an. Dan sudah wajar bila dalam semua masyarakat itu
timbul persoalan hubungan antara ulama dan umara karena
keduanya merupakan peranan yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa diperlukan untuk memberi motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya profan. Demikianlah agama
masih diharapkan menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk modernisasi itu sendiri.
Sehingga bagaimana pun juga peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.

Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-n 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keumatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.

Pada masa kita sekarang jarak antara umara dan ulama


diperbesar oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses differensiasi dan para ulama seakan-akan
hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga
perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan
bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian
pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga
fatwa mereka sedikit banyak masih mempengaruhi legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih punya peranan politik. Karena itu
senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa, senantiasa ada ulama yang ingin tetap
merdeka dan ada pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. Semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern sekalipun, agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.

Pada abad kita sekarang masalah yang menonjol adalah


tolak-tarik antara agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum diketahui, dari
proses modernisasi yang mulai di Eropa kemudian menyebar
keseluruh dunia. Gejala yang kita kenal adalah jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti. Di dunia Islam mula-mula dasar ikatan
keagamaan dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan imperialisme. Patriotisme dinyatakan sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga muncul perlawanan dengan kombinasi keagamaan dan
kebangsaan. Pada Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain menjadi muslim
sama artinya dengan menjadi Pribumi. Tetapi perkembangan
kemudian, terutama pada saat konsolidasi kemerdekaan,
menunjukkan meningkatnya persaingan antara kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja terjadi di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lainnya. Di Turki misalnya, sekalipun semula Mustafa Kemal
Ataturk juga berusaha memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan nasionalnya, pada akhirnya Turki modern lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian lebih ditekankan daripada ikatan
ke-Islam-an. Dan sudah wajar bila dalam kesemua masyarakat itu
timbul persoalan hubungan antara ulama dan umara karena
keduanya merupakan peranan yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa diperlukan untuk memberi motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya profan. Demikianlah agama
masih diharapkan menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk modernisasi itu sendiri.
Sehingga bagaimana pun juga peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.

Bagi seorang yang beragama mungkin keadaan ini terasa sebagai


suatu dilema yang sulit. Yang terang kondisi ideal sebagaimana
terkandung dalam doktrin asal dan tradisi awal Islam sudah
tidak ada lagi. Hidup dalam kondisi seperti sekarang, maka
menurut hemat saya hubungan ulama dan umara itu bisa
diibaratkan sebagai hubungan antara dua gajah yang sama-sama
besar, dan umat merupakan lapangan di mana dua gajah itu
hidup. Bencana akan terjadi jika dua gajah itu bertarung. Tapi
lapangan itu akan sama porak-porandanya jika dua gajah itu
kawin. Karena itu suasana yang ideal adalah jika kedua gajah
itu merumput bersama-sama tetapi tidak bertempur dan tidak
kawin. Dalam bahasa yang lebih teknis, sebaiknya ulama tetap
berada pada posisinya yang merdeka sebagai pembawa nilai-nilai
agama dan hati nurani masyarakatnya. Sehingga mereka tetap
bisa berperan korektif ketika terjadi sesuatu kesalahan dalam
penggunaan kekuasaan. Demikian juga para Umara sebaiknya
menghormati kedudukan yang merdeka dari para ulama tanpa
berusaha "menggusur" atau "membeli" mereka. Sudah barang tentu
para umara harus senatiasa mendengarkan para ulama apalagi
karena fatwa mereka mempunyai pengaruh yang luas. Dengan
demikian ulama dan umara akan bertindak sebagai pengimbang
satu sama lain. Hanya jika perimbangan itu tetap terjaga dan
serasi maka kesejahteraan umat akan senantiasa terjaga.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.46. AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM (1/2)
Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid

Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari


ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang
diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari
Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi
Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud
sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam
Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan
masalah kenegaraan.

Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan


negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal
yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicaraan hubungan
antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam
suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan
agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan
sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah,
hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan
ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar
atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah
dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan
kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa
dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang
kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh
Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai
oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai
yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia
Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi
karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi
"kalah," maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan
pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh."

Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik


tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh
sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai
"kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran.
Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali
aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras
menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.

Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena


tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua
itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber
legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut
dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi
masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti
bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi
ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar,
atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu
yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya
itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.

Eksperimen Madinah

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah


diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah
dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence).
Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya
itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya
tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas
sosial-politik, yaitu sebuah negara.

Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh


Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka,
adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam
Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam
kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai
"Eksperimen Madinah."

Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah


menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik
yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau
kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui
musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber
wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan
lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang
prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud
historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen
Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq
al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana
modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi
Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn
Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).

Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari


Universitas Islam Internasional Paris "yang paling
menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu
ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal
umat manusia."

Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu


tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh
prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan
dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang
dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)

Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama


tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah
menjadi agak kabur oleh adanya polemik-polemik yang sengit
antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim
bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah
pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih dan
mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, mengklaim bahwa yang
terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu,
dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus
tugas suci Nabi.

Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi


didasarkan antara lain pada makna pidato Nabi dalam
peristiwa yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu
semacam rapat umum di suatu tempat bernama Ghadir Khumm.
Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan sebelum Nabi wafat,
ketika beliau dalam perjalanan pulang dari haji perpisahan
(hijjat al-wada') meminta semua pengikut beliau itu
berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai
arah. Dalam rapat besar itu beliau berpidato yang sangat
mengharukan, (karena memberi isyarat bahwa beliau akan
segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi
s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti
sesudah beliau.
(bersambung 2/2)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.46. AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM (2/2)
Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid

Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar


Ghadir Khumm itu, dengan berbagai bukti dan argumen menolak
klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. menegaskan wasiat
beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk
kebijaksanaan Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga
beliau sendiri sebagai calon pengganti. Ibn Taymiyyah
menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa Muhammad adalah
seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi
kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya
maka untuk keluarga dan keturunannya.
Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus
Rasul, dan bukannya seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn
Taymiyyah kewajiban para pengikutnya untuk taat kepada
beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik
(al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai
utusan Tuhan (risalah).

Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan


kekuasaan tidaklah atas dasar legitimasi politik seorang
"imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah (yang sangat
banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang
Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi
bukanlah berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah),
melainkan karena beliau berkedudukan sebagai pengemban misi
suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang
hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau,
sepanjang zaman. Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau
menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Kenabian
atau nubawwah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah
s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para
khalifah adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas
Nabi. Abu Bakr, misalnya, hanyalah seorang Khalifat al-Rasul
(Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan
ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan,
apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak
bertindak sebagai manusia biasa. Istilah khalifah sendiri
sebagai nama jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr
itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak secara
langsung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia
tidak mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya
suatu kreasi sosial-budaya saja.

Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut


sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik
sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan
diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli
sejarah dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan
yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern"
(partisipatif-egaliter).

Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat


dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan
masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat
lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat
prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia
adalah "orang kebanyakan," dan mengharap agar rakyat
membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika
ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati
etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan
melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3)
penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia
(egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat
kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok
yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat;
(4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa
depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang
diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena
pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena
nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan
dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr
adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak
perorangan.

Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang


relevan dengan penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik
itu sangat modern ialah, pertama, faham Tawhid atau
Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai
adanya Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam
raya (artinya, Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat
menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah disebut sifat
mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim
segala yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab
pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu
melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia;
ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang
mendasar) -Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut
"sekularisasi"- terhadap semua struktur sosial yang ada,
berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang sentral itu.
Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting
suku dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian
pada masyarakat Arab Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya
konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi
semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan
etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini
(tidak menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah,
pertapaan), yang aktif, bermasyarakat dan berpolitik, yang
membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.

Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan,


betapapun dzalimnya kekuasaan itu, sekalipun mengeritik dan
mengecam kekuasaan yang dzalim adalah kewajiban, sejalan
dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi
munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan
stabilitas dan keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa
yang dzalim lebih baik daripada tidak ada," dan "Enampuluh
tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik daripada
satu malam tanpa pemimpin."

Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni,


pandangan berorientasi pada status quo itu juga bergema kuat
sekali di kalangan para ulama kita.

Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam


hal wawasannya tentang masalah sosial-politik, namun sejarah
menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar
dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah
sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada
sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para
penguasanya.

Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut


beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial.

Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan


sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang
dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan
pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut
peristilahan kontemporer egalitarianisme, demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.43. MAKNA MODERNITAS DAN TANTANGANNYA TERHADAP IMAN (1/2)

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan


makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang
bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern
adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan
masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut
untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan,
modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang
dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita
berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah
waktu sekarang dan masa depan.

Pengertian modernitas, yaitu pandangan dan sikap hidup yang


bersangkutan dengan kehidupan masa kini, banyak dipengaruhi
oleh peradaban modern. Sedangkan yang dimaksudkan dengan
peradaban modern adalah peradaban yang terbentuk mula-mula di
Eropa Barat, kemudian menyebar di seluruh dunia Barat. Dengan
begitu dapat pula dinamakan peradaban Barat. Peradaban Barat
mempunyai dampak besar terhadap modernitas, oleh karena
peradaban Barat pada masa kini merupakan peradaban yang
dominan di sana. Sebagaimana dalam periode antara abad ke-6
hingga abad ke-16, peradaban Islam mempunyai pengaruh yang
besar kepada kehidupan umat manusia di sekitar Laut Tengah,
dan kemudian meninggalkan dampaknya kepada pembentukkan
peradaban Barat, demikian pula di masa kini, seluruh kehidupan
umat manusia tidak dapat lepas dari pengaruh peradaban Barat
yang secara agresif dan dinamis memasuki seluruh pelosok
dunia. Sebab itu, untuk mengenal dan mengembangkan modernitas
tidak mungkin tanpa mengenal unsur-unsur utama peradaban
Barat.

Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang


terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa Abad
Pertengahan. Perkataan "modern" di sini adalah "Eropa centris"
atau "Barat centris" karena sepenuhnya bersangkutan dengan
kehidupan bangsa-bangsa di Eropa bahkan di Eropa Barat. Bangsa
Eropa membagi sejarahnya dalam periode Zaman Kuno yang
berlangsung dari permulaan hingga kurang lebih abad ke-5, Abad
Pertengahan antara abad ke-5 hingga abad ke-16 dan Zaman
Modern dari abad ke-16 hingga masa kini. Peradaban modern
adalah peradaban Barat yang terbentuk pada Zaman Modern itu.
Oleh karena itu sejak abad ke-16 dunia Barat berhasil
melebarkan sayapnya ke seluruh dunia dan pada abad ke-20
berada pada zenith kemampuannya, maka pengaruh atau dampak
peradaban modern itu terasa dimana-mana di dunia, baik dalam
arti positif maupun negatif.

Peradaban modern itu terbentuk pada abad ke-16 melalui satu


perubahan yang penting di Eropa Barat yang dinamakan
Renaisanse yang berarti kelahiran kembali. Yaitu kelahiran
kembali hasil-hasil budaya Yunani dan Romawi. Dalam Abad
Pertengahan hasil budaya Yunani dan Romawi telah diabaikan di
Eropa. Gerakan yang bernama Humanisme kemudian diungkapkan
kembali pemikiran yang telah dikembangkan di Yunani Lama,
seperti pikiran Aristoteles, Plato, dll. Pengungkapan kembali
pikiran Yunani dan Romawi itu dimungkinkan oleh persentuhan
Eropa Barat dengan budaya Islam yang dalam Abad Pertengahan
justru sedang berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat
melalui Spanyol. Humanisme dan Renaissanse itulah yang menjadi
sumber utama terbentuknya peradaban Barat modern.

Persentuhannya dengan peradaban Islam, pengungkapan kembali


pikiran Yunani dan Romawi, ini semua menimbulkan di Eropa
Barat perkembangan dari fungsi Ratio dalam pandangan hidup.
Ilmu pengetahuan memperoleh dukungan kuat untuk maju. Demikian
pula terjadi pemikiran baru tentang tempat tinggal manusia
dalam kehidupan serta tempat bumi dalam alam semesta.
Perkembangan dalam pemikiran itu merupakan perubahan besar
dalam kehidupan waktu itu. Dan karena pemikiran yang berlaku
pada waktu itu bersumber kepada gereja Katholik yang berkuasa
di Eropa, maka terjadi pertentangan antara mereka yang
mengembangkan pemikiran baru itu dengan gereja yang berkuasa.
Gereja tidak menghendaki bahwa orang mengadakan penelitian
terhadap alam dan kehidupan dan mewajibkan semua orang
menerima semua ajaran tanpa pendalaman. Sedangkan orang-orang
yang tergerak untuk mendalami kehidupan dan alam semesta
menggunakan ratio dan eksperimen bukan untuk menolak ajaran
Katholik, melainkan tidak puas hanya menerima segala sesuatu
begitu saja. Salah satu contoh adalah Nicolaus Copernicus
menerima hukuman gereja yang waktu itu tersohor dengan
Inquisisi-nya.

Tapi orang-orang yang mengejar ilmu pengetahuan dengan


menggunakan ratio tidak dapat dibendung oleh gereja Katholik.
Dan ilmu pengetahuan makin berkembang di Eropa Barat di bidang
matematika, fisika, astronomi, kimia, dan lain-lain. Melalui
orang-orang seperti Galileo Galilei, Desidarius Erasmus, dan
lain-lain. Pada abad ke-18, Eropa telah menjadi pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dunia dan telah menggantikan
peranan peradaban Islam yang pada abad ke-16 mengalami masa
surutnya.

Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terjadi


gerakan untuk melebarkan sayap jauh keluar Eropa. Tadinya
orang Eropa memperoleh rempah-rempah dari Asia, termasuk
Indonesia dengan perantaraan pedagang Arab dan Timur Tengah
pada umumnya. Rupanya pedagang Eropa tergerak untuk berpikir
rasional dan mengembangkan tekad untuk pergi sendiri ke sumber
rempah-rempah. Kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya bidang
astronomi yang telah menemukan bahwa bumi itu bulat, mendorong
mereka untuk pergi mengarungi lautan ke tanah-tanah yang belum
dikenal. Dan tekad dan keberanian pada penemuan baru itu
memberikan buah yang bukan main besarnya kepada mereka. Tidak
saja mereka dapat sampai ke tanah sumber rempah-rempah di
Asia, mereka bahkan dapat menemukan satu tanah yang kaya
sakali, yaitu Amerika. Maka sejak abad ke-16 bangsa Eropa
semakin kaya. Kekayaan itu dihubungkan dengan cara berpikir
rasional, menimbulkan pandangan yang mementingkan benda atau
materi. Apalagi ketika ilmu pengetahuan dapat mendorong
berkembangnya teknologi yang semakin maju. Maka terjadilah
Revolusi Industri di Eropa Barat yang merubah produksi dari
produksi rumah ke pabrik, dan dari produksi perorangan ke
produksi massal. Produksi pabrik yang bersifat massal
memerlukan bahan mentah yang lebih banyak dari tadinya.
Sebaliknya juga menghendaki pasar yang jauh lebih luas. Maka
bangsa-bangsa di Eropa merebut kekuasaan bangsa-bangsa di
dunia untuk memenuhi keperluan itu. Terjadilah imperialisme
dan kolonialisme.

Sebagai akibat dari cara berpikir rasional, maka terjadi


dorongan untuk merubah posisi suatu individu dari masyarakat.
Tadinya individu hanyalah suatu unsur masyarakat tanpa arti
tersendiri. Pemikiran rasional menuntut pembebasan diri dari
kukungan masyarakat itu. Kemudian bahkan memberikan individu
sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat itu. Orang
berpendapat bahwa hanya dengan individu yang memiliki
kebebasan penuh akan terciptalah kemajuan. Lahirlah apa yang
dinamakan individualisme. Bersamaan dengan itu, timbulah
pemikiran bahwa seluruh orang di dunia adalah sama dan
bersaudara. Ini mendorong terjadinya Revolusi Prancis dengan
semboyannya Liberte, Egalite, Fraternite, atau Kebebasan,
Persamaan, Persaudaraan. Inilah yang menjadi permulaan dari
liberalisme atau dalam bahasa Prancis dikatakan laissez faire,
laissez passer. Individualisme dan liberalisme menghasilkan
kapitalisme.

Peradaban yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju


berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di pihak lain
juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang besar.
Kapitalisme menimbulkan kesengsaraan bagi para buruh dan
petani, sedangkan imperialisme dan kolonialisme menyebabkan
penderitaan yang parah sekali bagi bangsa-bangsa Asia dan
Afrika. Karena itu terjadi reaksi terhadap kapitalisme berupa
komunisme yang juga didasarkan materialisme dan yang kemudian
menyebabkan Revolusi Komunis di Rusia. Reaksi yang tidak
se-ekstrim komunisme adalah sosialisme yang memperjuangkan
kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh dan petani.
Imperialisme dan kolonialisme mengakibatkan persaingan dan
pertentangan antara bangsa-bangsa Eropa sendiri, dan
menimbulkan perang besar. Yaitu perang dunia ke-1 dan ke-2.
Rasionalisme dan individualisme juga menimbulkan keangkuhan
manusia yang berlebihan. Berdasarkan materialisme dikatakan
bahwa Tuhan itu hanya hasil dari otak manusia; dengan kata
lain orang tidak percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.

Di pihak lain harus dikatakan pula bahwa semua itu memperoleh


koreksinya dari dinamika peradaban itu sendiri. Kapitalisme
mulai menyadari bahwa untuk memperoleh usaha yang kontinyu dan
menguntungkan harus ada pendekatan yang berbeda terhadap kaum
buruh dan petani. Kaum buruh dan petani kemudian memperoleh
hasil yang lebih besar dari hasil produksi, sehingga tercipta
masyarakat Barat yang makmur (the affluent society). Disamping
kemajuan ekonomi untuk rakyat banyak, juga terjadi kehidupan
politik yang memungkinkan partisipasi masyarakat luas.
Mula-mula baru dalam bentuk monarki konstitusional, kemudian
berkembang ke monarki parlementer dan akhirnya ke sistim
parlementer di mana raja tidak lagi berkuasa dan hanya
dijadikan simbol. Atau rakyat berhasil meniadakan kerajaan dan
membentuk republik. Justru yang kurang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam politik adalah pihak
komunis yang tadinya bersemboyan untuk mengalahkan kapitalisme
untuk menciptakan kehidupan rakyat yang lebih baik. Harus
diakui bahwa belum pernah dalam sejarah umat manusia terjadi
kesejahteraan ekonomi dan politik yang dialami oleh rakyat
banyak seperti yang terwujud di dunia Barat dewasa ini.
Imperialisme dan kolonialisme juga sudah lenyap. Karena
negara-negara Barat sendiri berperang satu sama lain dalam dua
perang dunia besar, maka tercipta kesempatan untuk
rakyat-rakyat yang menjadi jajahan untuk melepaskan diri dari
kungkungan dan kekuasaan Barat. Meskipun dunia Barat dengan
berat harus menerima keadaan baru itu, namun mereka tidak lagi
mempunyai cukup kemampuan untuk menguasai kembali bakas
jajahannya. Meskipun rasionalisme masih tetap kuat dalam
peradaban Barat dan merupakan sumber perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tiada hentinya, namun di
kalangan Barat sendiri mulai ada kekuatan yang lebih
komprehesif-integral. Makin banyak orang menanyakan kebenaran
dari dominasi rasio dan lebih menginginkan kehidupan yang
utuh. Perhatian terhadap kehidupan religius makin bertambah
dan materialisme makin didesak oleh nilai-nilai yang
transcedental. Bahkan di Uni Soviet yang secara resmi melawan
ajaran agama dan menyebarkan atheisme, terdapat perkembangan
minat terhadap agama dan memaksa pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan-peraturan pemerintah untuk melawannya. Meskipun
individualisme masih tetap merupakan tiang peradaban Barat,
namun secara diam-diam toh terjadi juga perubahan yang
memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada kolektivisme
atau sekurang-kurangnya dalam bentuk sikap kebersamaan. Yang
jelas sekali nampak adalah perkembangan manajemen, oleh karena
tanpa perubahan itu, di dunia usaha Barat akan mengalami
kesulitan besar menghadapi bisnis Jepang yang manajemennya
berhasil menimbulkan partisipasi tenaga manusia secara
produktif sekali. Melalui pendekatan yang bertitik berat
kebersamaan.

Tetapi nampaknya peradaban Barat telah berada di saat


zenithnya. Justru akomodasi yang telah dilakukan untuk
mengatasi kelemahan dan kekurangannya menandakan bahwa ia
mulai berkurang vitalitas dan energinya. Orang Barat sudah
mulai bicara tentang transformasi kehidupan, dengan kesediaan
untuk lebih mengadaptasi nilai-nilai yang terdapat dalam
kebudayaan bangsa-bangsa Asia atau dunia Timur. Meskipun
demikian pengaruh dan dampak dari peradaban Barat tidak dapat
ditolak oleh siapa saja, mengingat dinamika dan agressivitas
yang telah dikembangkan sejak abad ke-16 itu. Kalau nanti
peradaban Barat akan surut, seperti juga di masa lampau
peradaban Yunani, peradaban Romawi, pun peradaban Islam surut
setelah mengalami masa keemasan, dan kalaupun akan tumbuh
peradaban baru di dunia ini, namun dapat diperkirakan bahwa
dalam peradaban baru itu akan terdapat titik-titik kuat dari
peradaban Barat. Sebagaimana juga dalam peradaban Barat
terdapat unsur-unsur yang merupakan pengaruh peradaban Islam,
Yunani, dan Romawi. Karena itu makna modernitas yang mungkin
tidak sama untuk setiap bangsa di dunia karena dipengaruhi
oleh nilai budaya masing-masing, namun tidak dapat dihindarkan
bahwa dalam modernitas itu terdapat unsur-unsur yang merupakan
pengaruh dari peradaban Barat.
MODERNITAS DAN PANCASILA

Modernitas untuk bangsa Indonesia adalah pandangan oleh sikap


hidup yang dikembangkan untuk menghadapi kehidupan masa kini.
Karena bangsa Indonesia telah menerima Pancasila sebagai
ideologi dan falsafah kehidupannya, dan juga sebagai
satu-satunya azas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat, maka modernitas untuk bangsa kita tidak lepas
dari Pancasila.

Hakikatnya Pancasila merupakan satu pandangan yang modern.


Memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, semua mempunyai akar
dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Namun
belum pernah dalam sejarah Indonesia ada kehidupan bangsa kita
berbentuk negara yang dilandasi dan dikembangkan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Baru dalam Negara Republik
Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
mempunyai dasar landasan Pancasila secara utuh. Itu berarti
bahwa bangsa kita mempunyai keyakinan akan dapat menghadapi
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang dengan
sebaik-baiknya apabila menggunakan Pancasila sebagai
landasannya. Itu berarti bahwa Pancasila merupakan pandangan
atau Weltanschauung yang modern.

Tetapi seperti telah dikatakan, tidak ada bangsa di dunia yang


dapat menghindari pengaruh dan dampak peradaban Barat yang
begitu dinamis dan agresif. Apabila kita yang merupakan bekas
jajahan salah satu bangsa Barat, tentu telah memperoleh dampak
dan pengaruh dari budaya Barat tersebut, baik yang positif
maupun yang negatif. Oleh karena kita hendak mengembangkan
Pancasila sebagai dasar negara kita, maka kita harus pandai
dan arif dalam menghadapi pengaruh dan dampak peradaban itu.
Selain itu Republik Indonesia tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang penuh dengan peradaban Barat atau pun
pengaruhnya. Untuk dapat tumbuh dengan selamat dan subur, maka
Pancasila harus mempunyai kemampuan untuk hidup dalam
lingkungan demikian tanpa kehilangan dirinya di satu pihak,
tetapi juga kuat menghadapi pihak lain.

Pancasila sebagai pandangan modern tentu juga merupakan


pandangan yang terbuka. Tetapi justru karena keterbukaannya
itu akan dapat mengembangkan vitalitas dan energi yang
berhubungan dengan dunia luar, khususnya dunia Barat. Tentu
keterbukaan itu tidak berarti bahwa jiwanya sendiri
dikesampingkan atau dikorbankan. Sebab justru keterbukaan yang
bermaksud untuk memupuk vitalitas dan energi lebih besar
mempunyai tujuan untuk mengamankan jiwa sendiri. Dalam
hubungan dengan peradaban Barat itu dapat diambil unsur-unsur
mana yang dapat memperkuat kehidupan bangsa, dan sebaliknya
diperhatikan unsur-unsur mana yang dalam peradaban Barat harus
ditinggalkan karena merugikan kita sendiri.

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.43. MAKNA MODERNITAS DAN TANTANGANNYA TERHADAP IMAN (2/2)

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Kita telah melihat bahwa sumber peradaban Barat adalah rasio


yang menonjol. Dengan rasio yang kuat itu dapat dikembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana
untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk rakyat
banyak. Melalui rasio juga telah dikembangkan nilai
kemanusiaan sehingga rakyat dapat memperoleh kedaulatan.
Tetapi kita juga melihat bahwa kalau rasio terlalu berlebihan
dikembangkan dan ditonjolkan maka akan terjadi kelemahan dan
kekurangan yang merugikan. Baik berupa atheisme,
individualisme, kapitalisme, maupun imperialisme dan
kolonialisme.

Untuk memberikan ukuran apakah Pancasila telah berhasil, maka


harus tercipta masyarakat yang adil dan makmur, lahir batin,
di Indonesia. Itu berarti bahwa kita perlu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan luas dan mendalam, karena
hanya itu yang merupakan jaminan bagi kesejahteraan rakyat.
Itu berarti bahwa kita juga harus mengembangkan penggunaan
rasio dalam kehidupan kita, karena tanpa itu tak mungkin ada
kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
pengembangan penggunaan rasio tidak boleh berlebihan sehingga
menimbulkan segi-segi negatif yang telah terjadi di dunia
Barat. Sebab itu akan bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Pengembangan dalam penggunaan rasio tidak boleh
menimbulkan ateisme, oleh karena itu jelas bertentangan dengan
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Peningkatan penggunaan rasio
penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam kalangan rakyat banyak dan dengan itu meningkatkan pula
harkat dan derajat manusia, hal mana sesuai dengan prinsip
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Akan tetapi tidak boleh mengakibatkan individualisme dan
liberalisme yang bertentangan dengan semangat gotong-royong
dan musyawarah mufakat yang terkandung dalam Pancasila.
Penggunaan rasio perlu membentuk pandangan yang menghargai
benda atau materi, tapi tidak boleh menimbulkan materialisme.
Dan jelas tidak boleh berakibat timbulnya faham kapitalisme
dan dominasi terhadap pihak lain.

Jadi pengembangan rasio diperlukan sekali, tetapi tidak boleh


berlebihan. Untuk menjaga agar tidak berlebihan itu diperlukan
harmoni antara rasio dan rasa. Itu berarti bahwa seni, agama,
dan kegiatan lain yang memperhalus rasa perlu diusahakan dalam
modernitas Pancasila.

Karena kita menghendaki modernitas untuk meluhurkan kehidupan


bangsa dan Pancasila sendiri adalah pandangan yang modern,
maka aspek-aspek kehidupan bangsa yang tidak cocok lagi dengan
keperluan serta tuntutan masa kini harus dapat ditinggalkan.
Mungkin saja aspek-aspek itu mempunyai fungsi yang berguna
atau bahkan penting bagi kehidupan bangsa di masa lampau. Akan
tetapi itu tidak dengan sendirinya berlaku untuk masa kini dan
masa depan. Bahkan ada yang tadinya bersifat berguna, tetapi
sekarang malah bersifat merugikan. Contoh yang baik adalah
aspek feodal dalam kehidupan bangsa; di masa lalu aspek itu
berguna dalam hal kepimpinan dalam masyarakat Indonesia,
mengingat kondisi sosial bangsa Indonesia. Tapi sekarang kalau
aspek feodal dilanjutkan, maka itu justru merugikan dalam
perkembangan bangsa dalam berbagai hal. Karena itu hal-hal
yang tidak berguna lagi atau bahkan merugikan, seperti aspek
feodal, harus dapat diidentifikasikan dengan cermat dan
kemudian ditinggalkan. Bagaikan benda-benda kuno yang
dimasukkan di museum.

Sebaliknya modernitas menuntut agar kita dapat mengembangkan


kemampuan dan kebiasann baru yang diperlukan sekali untuk
menjamin kehidupan bangsa, karena tadinya belum ada atau belum
cukup berkembang. Sebab tanpa kemampuan dan kebiasaan itu
bangsa kita tidak akan mampu untuk menghadapi dunia di
sekeliling kita tidak dapat menghasilkan kesejahteraan
lahir-bathin yang kita inginkan.

Contoh yang baik tentang itu adalah perlunya kemampuan untuk


mengembangkan sikap, dengan komitmen penuh kepada segala hal
yang kita kerjakan, sehingga melahirkan kesungguh-sungguhan
niat untuk senantiasa menghasilkan hal yang paling baik. Pada
waktu ini umumnya orang Indonesia cukup kuat dengan hasil
seadanya dan asal jadi. Kita perlukan kebiasaan baru seperti
umpamanya hidup berdisiplin, tahu waktu, hidup hemat dan
cermat. Ini semua merupakan hal yang belum menjadi kebiasaan
untuk rata-rata orang Indonesia. Bahkan ada bahaya bahwa
materialisme yang merupakan dampak dari peradaban Barat justru
mengakibatkan kebiasaan buruk seperti, hidup boros dan
memperkuat kebiasaan lama yang tidak cocok lagi seperti
"alon-alon asal kelakon." Meskipun di dunia Barat sendiri
tidak ada kebiasaan demikian yang ditimbulkan oleh
materialisme.

Modernitas tidak a priori menghendaki hapusnya tradisi. Bahkan


tradisi yang masih bermanfaat untuk masa kini justru lebih
ditingkatkan penggunaannya seperti umpamanya gotong-royong.
Akan tetapi modernitas tidak menghendaki tradisionalisme,
yaitu sikap yang mempertahankan dengan gigih segala tradisi
masa lampau, tanpa menilai apakah tradisi itu masih berguna di
masa kini atau memerlukan perubahan agar tetap berguna.
Modernitas menghendaki dinamika, oleh karena itu merupakan
hakikat alam semesta. Sedangkan tradisi yang mempunyai nilai
berlanjut menjadi identitas bangsa yang menjadi sumber
kekuatan untuk kehidupan dinamis itu.

Modernitas Pancasila tidak dapat membebaskan diri dari


pengaruh dan dampak peradaban Barat yang agresif. Memang ada
unsur-unsur peradaban Barat yang bermanfaat bagi modernitas
Pancasila. Akan tetapi modernitas Pancasila bermaksud untuk
menggerakkan Renaissanse atau kelahiran kembali Indonesia
sebagai pembuka pintu peradaban Indonesia sendiri.

TANTANGAN MODERNITAS TERHADAP IMAN

Adakah tantangan modernitas, dan khususnya modernitas


Pancasila, terhadap iman? Apakah kepercayaan dan keyakinan
kita kepada Tuhan Yang Maha Esa akan terganggu oleh
modernitas? Dan karena iman merupakan bagian dari kehidupan
kita beragama, apakah modernitas menimbulkan kesukaran dan
pertentangan dengan kehidupan beragama kita? Kalau modernitas
Pancasila berjalan dengan baik, yaitu sesuai dengan apa yang
diisyaratkan Pancasila dan seperti yang telah digambarkan
secara singkat dalam uraian sebelum ini, dan di pihak lain
pelaksanaan iman serta kehidupan beragama pada umumnya
dilakukan dengan baik, maka tidak ada pertentangan antara
modernitas dan iman dengan kehidupan beragama pada umumnya.
Bahkan iman merupakan sumber motivasi yang kuat sekali untuk
menjalankan modernitas Pancasila. Namun kalau di pihak
modernitas maupun di pihak iman terjadi pelaksanaan yang
kurang baik, maka akan terjadi kesukaran dan bahkan terjadi
pertentangan antara yang satu dengan yang lain.

Kalau kehidupan beragama diliputi tradisionalisme yang kuat,


sehingga pelaku agama tidak dimungkinkan dan bahkan tidak
diperbolehkan berpikir, maka akan terjadi pertentangan antara
modernitas dan kehidupan beragama. Hal itu telah terjadi juga
di Eropa Barat pada abad ke-15 dan abad ke-16, ketika gereja
Katholik menganggap sebagai sikap dan tindakan murtad apabila
ada orang melakukan pemikiran tentang gejala alam. Orang
diharuskan menerima saja apa yang telah dikemukakan oleh para
pemuka agama. Dan barang siapa yang melanggarnya dikenakan
hukuman, bahkan ada yang dihukum mati dalam api. Cukup banyak
orang-orang yang ingin lebih mendalami ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa dan yang masih kokoh mengakui keesaan dan kekuasaan
Tuhan, harus naik tempat hukuman untuk dibakar karena mereka
berpendirian kokoh sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa mereka
tidak melanggar dan tidak menentang kehendak-Nya.

Kita semua mengetahui bahwa Islam adalah agama yang rasional


dan mendorong untuk berpikir rasional. Itu sebabnya peradaban
Islam di masa lampau melahirkan ilmu pengetahuan matematika
dan fisika yang kemudian juga diambil oleh dunia Barat. Namun
sekalipun demikian juga kita tidak dapat menghindari kenyataan
bahwa di banyak lingkungan telah terjadi kehidupan peradaban
Islam yang diliputi oleh tradisionalisme yang kuat. Mungkin
karena itu pula belum ada bangsa yang menganut agama Islam
yang berhasil menciptakan peradaban yang dapat mengimbangi
paradaban Barat, sejak peradaban Islam di masa lampau surut.
Jadi tantangan pertama adalah tradisionalisme dalam
pelaksanaan ajaran agama.

Sikap fanatik adalah hasil atau akibat dari pandangan yang


sempit dan picik. Agama Islam menganjurkan para penganutnya
untuk tidak berpikiran sempit dan picik, malahan mengajarkan
untuk berpandangan luas. Jadi Islam tidak membenarkan sikap
fanatik. Namun dalam kenyataan kita tidak dapat menutup mata
terhadap berbagai sikap kefanatikan dalam lingkungan penganut
Islam. Mereka tidak dapat membedakan antara ketaatan dan
fanatisme, oleh karena mereka berpandangan sempit. Sikap
fanatik itu juga mengganggu modernitas, oleh karena akan
membatasi daya gerak bangsa. Memang modernitas Pancasila
memerlukan sikap hidup penuh disiplin, tapi tidak sama dengan
sikap fanatik. Sebenarnya para penganut Islam yang taat dapat
memperkuat sikap disiplin bangsa, kalau disadari apa arti taat
dan disiplin. Akan tetapi orang Islam yang fanatik akan
menimbulkan banyak hambatan dan kesukaran dalam perkembangan
bangsa, seperti juga telah kita alami dalam sejarah bangsa.
Maka tantangan kedua dalah pandangan hidup sempit yang
berakibat pada sikap yang fanatik.

Agama Islam mengajarkan kepada manusia untuk hidup dengan baik


di dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang baik pula
di akhirat. Islam tidak pernah mengatakan bahwa kehidupan
manusia harus dipusatkan untuk mempersiapkan diri bagi
kehidupan di akhirat saja. Namun dalam kenyataan kita melihat
bahwa keimanan dan kehidupan beragama kurang ditujukan kepada
kehidupan di dunia. Akibatnya adalah bahwa kurang ada dinamika
untuk memperoleh kemajuan dalam kehidupan. Tidak ada niat yang
kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, kurang pula usaha untuk menciptakan kehidupan ekonomi
yang kuat. Jadinya banyak umat Islam hidup dalam
keterbelakangan dan kemiskinan kemudian dalam kehidupan
sehari-hari juga kurang ada perhatian kepada kebersihan dan
pemeliharaan lingkungan. Seakan-akan sudah kurang perduli
kepada kehidupan di dunia ini. Tidak mengherankan bahwa
kehidupan yang demikian menghasilkan berbagai penyakit dan
kematian dalam usia muda. Manusia tidak mensyukuri kemurahan
Tuhan Yang Maha Kuasa berupa kehidupan dan alam lingkungan.
Sikap demikian tidak mendukung modernitas Pancasila. Sedangkan
sebenarnya ajaran-ajaran Islam dapat dipergunakan untuk
membentuk masyarakat yang mengejar ilmu pengetahuan dan
teknologi, rajin bekerja untuk membuat kehidupan dengan hasil
yang memadai, menciptakan keindahan dan kemajuan di dunia.
Seperti yang telah dibuktikan oleh peradaban Islam di masa
lampau. Itulah tantangan ketiga untuk kehidupan beragama.

Ajaran Islam tentang sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan tentang takdir Ilahi adalah ajaran positif. Bukan ajaran
yang menghendaki manusia menjadi fatalistis. Namun dalam
kenyataan kita dapatkan cukup banyak sikap fatalistis di
lingkungan umat Islam dewasa ini. Manusia menganggap tidak ada
gunanya mengembangkan prakarsa dan inisiatif, oleh karena
berpendapat semua toh sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kehidupan menjadi pasif tanpa dinamika yang memungkinkan
kemajuan. Sikap demikian merugikan modernitas Pancasila. Sebab
justru dalam modernitas Pancasila diperlukan prakarsa lebih
banyak dari manusia Indonesia, sekalipun disadari bahwa segala
kesudahan dari prakarsa ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Soal prakarsa ini erat hubungannya dengan faktor geografis
dimana bangsa Indonesia hidup berkembang. Ada orang mengatakan
bahwa karena kita lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
geografis yang panas, dengan alam yang subur makmur, maka
manusia Indonesia seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi malas
dan kurang minat untuk mencapai kemajuan. Sebab itu sudah
ditakdirkan untuk dikuasai dan didominasi oleh bangsa-bangsa
yang hidup di utara yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
yang keras yang menuntut perjuangan lahir-bathin untuk tetap
hidup. Sudah jelas bahwa pandangan demikian tentang takdir
untuk bangsa Indonesia adalah tidak benar. Adalah sepenuhnya
di tangan bangsa dan manusia Indonesia, apakah ia mau menjadi
bangsa yang penuh prakarsa dan justru memanfaatkan kemurahan
Tuhan yang dilimpahkan kepada kita untuk memperoleh kehidupan
yang maju dan sejahtera, atau menjadi bangsa yang malas tanpa
banyak prakarsa karena berpikir bahwa hidup ini toh mudah
dengan akibat dikuasai dan dikalahkan oleh bangsa-bangsa lain
yang lebih giat dan malahan dapat memanfaatkan kemurahan Tuhan
yang sebenarnyaa dilimpahkan kepada bangsa Indonesia. Ini
adalah tantangan keempat dan sangat mendasar untuk kehidupan
iman kita.

Sebaliknya modernitas Pancasila juga dapat berkembang ke arah


yang kurang sesuai. Kalau modernitas yang berkembang kurang
memperhatikan asas Pancasila dan melahirkan rasionalisme yang
berlebihan, maka seperti di dunia Barat dapat terjadi atheisme
atau sekurang-kurangnya agnosticisme (kurang yakin adanya
Tuhan Yang Maha Esa). Atau timbul materialisme, yaitu
mendewa-dewakan benda, sehingga kurang ada perhatian kepada
keimanan. Ini juga berakibat kepada kurangnya perhatian kepada
kelestarian dan pemeliharaan lingkungan. Alam dianggap hanya
merupakan sumber untuk memperoleh benda yang diinginkan
manusia, tanpa ada pertimbangan harus dipelihara untuk dapat
menjalankan fungsi itu untuk jangka waktu yang lama. Kurang
perhatian kepada alam lingkungan itu hakikatnya adalah pula
kurangnya perhatian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dapat pula
timbul individualisme yang mengagungkan individu di atas
segalanya. Tidak ada ingatan sama sekali bahwa Tuhan
menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam
kebersamaan dengan manusia lain. Ini selanjutnya dapat
menimbulkan sikap hidup yang tidak peduli terhadap kehidupan
manusia lain, asalkan kehidupannya sendiri atau golongannya
sudah baik. Ini mudah sekali mengakibatkan sikap eksploitasi
manusia oleh manusia (l'exploitation de l'homme par l'homme)
seperti yang terjadi pada masyarakat Barat pada abad ke 18 dan
19, dan juga menghasilkan imperialisme dan kolonialisme. Kalau
modernitas Indonesia sampai menyeleweng demikian dan dalam
kenyataan jauh sekali dari tuntutan Pancasila, maka terjadi
pula tantangan yang berat terhadap iman. Manusia yang
bergelimpangan dalam kekayaan benda dan harta lupa bahwa
segala hal itu hanya bersifat relatif dan lupa pula bahwa yang
mempunyai nilai mutlak hanya Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya
pula manusia yang dikungkung kemiskinan akibat kapitalisme
yang merajalela mudah lupa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
akan lebih mudah mengandalkan penggunaan kekuatan dan
kekerasan untuk mendobrak kapitalis yang berkuasa. Akibatnya
adalah bahwa masyarakat tidak akan maju karena terus-menerus
diliputi kekacauan dan pergulatan.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal itu, maka penting sekali


bahwa kita harus terus beriman secara tepat dan menjalankan
kehidupan beragama menurut ajaran Islam yang sebenarnya.
Ketekunan dan kesungguh-sungguhan orang yang beriman akan
membawa manusia Indonesia menjadi orang yang komitmen yang
kuat kepada tujuan hidupnya. Prakarsa yang kuat akan timbul
untuk membentuk kemajuan dalam kehidupan. Atheisme,
individualisme, materialisme, dan sebangsanya akan dapat
dicegah sehingga modernitas Indonesia yang benar adalah
modernitas Pancasila. Iman yang kuat akan mengangkat manusia
Indonesia untuk dapat mengadakan reaksi dan prakarsa yang
tepat terhadap lingkungan geografi yang kaya, sehingga bangsa
Indonesia bagaikan anak orang kaya yang mandiri dan bukan anak
orang kaya yang manja. Hilanglah gambaran tentang, manusia
Indonesia yang malas, yang hidupnya jorok, yang tidak tahu
waktu, yang tidak dapat berdisiplin. Dan digantikan oleh citra
baru manusia Indonesia yang giat bekerja dengan memperhatikan
mutu pekerjaannya, yang selalu memperhatikan kebersihan dan
pemeliharaan lingkungan hidupnya, yang biasa mematuhi segala
ketentuan, yang pandai hidup bersama dengan orang lain, yang
hemat hidupnya dan menghargai waktu. Kalau perkembangan itu
dapat terjadi, maka besar kemungkinannya bahwa modernitas itu
dapat menghasilkan peradaban Indonesia dalam abad ke-21. Jelas
sekali bahwa peranan iman yang dilakukan dengan tepat amat
besar peranannya dalam tercapainya keadaan itu. Tergantung
kepada umat Islam Indonesia yang merupakan bagian terbesar
bangsa, dan terutama para pemimpinnya, apakah hal itu dapat
terwujud. Kalau itu terjadi, maka sekaligus Islam timbul
kembali sebagai agama yang mendukung terwujudnya kehidupan
bangsa yang maju, sejahtera dan damai.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.41. IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD
SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH
oleh M. Yunan Yusuf

Kaum Muslim, apa pun madzhab dan firqah mereka, bersepakat


dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada
umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW. Beliaulah
Nabi dan Rasul penutup (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in).
Keyakinan seperti ini didasarkan pada firman Allah dalam
al-Qur'an: "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah scorang di
antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir."
(QS Al-Azhab/33: 40).

Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi


bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan, kepada para
rasul, semenjak Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna
diturunkan di tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini aku
(Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu
nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama" (QS.
al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam
agama, dimana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan
dengan demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan
sempurna.

Di saat Nabi Muhammad masih hidup, ummat Islam di zaman itu,


bila menghadapi masalah, baik dalam bidang kehidupan sosial
maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada
Nabi bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikannya. Nabi
Muhammacl menyelesaikan masalah-masalah ummat dengan petunjuk
wahyu yang beliau terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak
memberikan penjelasan apa-apa tentang masalah yang dihadapi
tersebut, Nabi terkadang menyelesaikan perkara-perkara yang
dihadapi dengan pemikiran dan pendapat bellau sendiri atau
terkadang melalui permusyawaratan dengan para sahabat.
Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada
hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi
saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu
perkara.

Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, lebih kurang satu


tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-Qur'an yang
ditulis di pelepah-pelepah tamar, tulang dan daun korma
dikumpulkan menjadi satu kesatuan. Pada masa pemerintahan
Usman, kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu
kitab, dan dari kitab yang satu disalin lagi beberapa kitab
untuk dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan
umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang ada
di tangan kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman
yang secara populer dikenal dengan nama Al-Mushaf al-Usmani.
Sementara itu hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3
Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.

Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila


menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan
keagamaan tidak ada lagi. Umat di kala itu mempunyai dua
pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi
dipergunakan oleh umat Islam generasi pertama itu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di masa
beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan
mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi
pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang
pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah
Nabinya."

Predikat Muhammad sebagai khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in,


penutup para nabi dan rasul, dengan kitab suci al-Qur'an di
tangan beliau, juga sebagai pamungkas wahyu-wahyu Allah,
manusia dipandang sudah mencapai tingkat kedewasaan rasional
dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di
balik itu umat manusia, demikian Fazlur Rahman, masih me
ngalami kebingungan moral dan karena moral mereka tidak dapat
mengimbangi derap kemajuan sains dan teknologi yang
perkembangannya begitu cepat dan mencakup berbagai bidang
kehidupan. Maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan moral,
selalu tergantung kepada perjuangannya yang terus menerus
untuk mencari petunjuk dari kitab-kitab Allah -khususnya
al-Qur'an- yang didalamnya seluruh wahyu Allah sudah
disempurnakan turunnya.

Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat Muslim


menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab
persoalan-persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika
beliau sudah tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tempat
bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka
umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang
ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah
berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how"
dalam kehidupan, itu menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada
sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits
mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."

Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat


Islam paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan
Sunnah atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan
cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka bahwa banyak
sekali masalah yang dijumpai dalam kehidupan mereka
sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an
dan Sunnah. Bahkan tidak jarang masalah-masalah yang muncul
tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.

Situasi seperti itu ditemui oleh kaum Muslim generasi pertama


tersebut manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia
dan masuk ke Suria, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan
Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum Muslim
bertambah banyak, bertambah ragamnya dan bertambah
kepelikannya.

Secara geografis, daerah kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan


Nabi Muhammad tahun 632 M, hanya semenanjung Arabia yang
tandus, dengan etnis Arab yang mempunyai kehidupan dan
kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika berbagai kawasan
sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah
dan Abbasiyah, daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya
penduduk yang satu kebangsaannya, yakni Arab, dan satu
agamanya, yaitu Islam, tetapi penduduknya terdiri dari
berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen,
Yahudi, Zoroaster, disamping juga memakai bahasa yang saling
berbeda dengan satu sama lain. Maka masalah-masalah yang
timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda
dengan masalah-masalah yang timbul tatkala umat Islam masih
berada di Medinah.

Inilah yang digambarkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang


mengatakan, "Sekiranya bangsa Arab tetap tinggal di
Semenanjung mereka dan tidak keluar dari sana, mereka tidak
akan menghadapi masalah-masalah yang pelik. Tetapi kekuasaan
Islam dengan tiba-tiba meluas ke seberang batas-batas
Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan bangsa yang
berbeda-beda yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang
berlainan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa Arab. Dengan
adanya kontak dan perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah
banyak masalah baru, baik dalam bidang keakhiratan maupun
dalam bidang keduniaan, masalah-masalah yang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka."

Demikianlah setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi


petunjuk Allah hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan
rujukan pada al-Qur'an dan Hadits yang ditinggalkan oleh
Muhammad s.a.w. itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh
beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber
tersebut umat Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap
kaum beriman mempunyai kewajiban untuk secara terus-menerus
mempelajari dan memahami al-Qur'an dan hadits untuk
mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran
itu arah moral kehidupan menjadi jelas.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai


penutup utusan Allah tersebut mengandung makna penyerahan
mandat kepada kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan selalu merujuk kepada dua sumber
al-Qur'an dan hadits. Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi,
kaum Muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.

Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islarm dihadapkan


kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di
kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya
dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi. Siapa yang
menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah.
Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota dari negara
yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang
terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau
wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul
Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, para muasrikh mencatat,


telah terjadi pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan
Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk
yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi
sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu
menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Kaum Ansar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan


kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan
menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia. Kaum
Muhajirin mengajukan pula argumentasi mereka, yakni karena
merekalah orang yang pertama-tama pendukung dakwah Nabi
Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam
berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan
bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin
juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para
Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi, yakni
mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam shalat kepada Abu
Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap
argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum
Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah
pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala
negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu
Rasulillah.

Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Ansar mundur


dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam
memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah
argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an dan hadits. Kaum
Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai
argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen
perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari
suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak
Abu Bakar sebagai Khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan
pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.

Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi


tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah
berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan
bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya,
lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini
yakni haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan
Nabi. Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan
keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang
dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda
dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum
Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari
suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja
dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi
persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi
sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam
perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut
oleh Sunni.

Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal
itu adalah masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang
disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan
kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak
adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai
pandangan yang berbeda pula.

Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke


permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin
Affan, yang kemudian memunculkan protes keras terhadap
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku Khalifah keempat,
karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh
berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman
bin Affan.

Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim


antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari
dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash.
Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan persoalan
tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian
dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah
tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman
kapada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka
dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak
menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah
orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian
memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir.
Orang muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti
murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib
dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat
tokoh tersebut.

Dalam perkembangannya timbul masalah baru apakah orang mukmin


yang melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka
merupakan kelompok sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka
menganggap bahwa pemuka pemuka dinasti Bani Umayyah sudah
berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa
besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu
berarti tidak sah lagi menjadi khalifah. Demikian kaum
Khawarij memasukkan semua perbuatan dosa besar, seperti
berzina, bersumpah palsu, mendurhaka ibu bapa, syirik,
mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir.

Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas,


sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan
muslim adalah orang-orang yang sudah mengucap dua kalimah
syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah"
(Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah).
Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam
sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini
dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang
yang telah melakokan dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi
kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang
pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.

Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang


mengucap dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia
hanya boleh disebut muslim. Di sini dibedakan antara mukmin
dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa
besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi
predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi
antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk
dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni
al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).

Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan


dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim
pertama itu menunjukkan bagaimana cara mereka menghadapi
masalah-masalah sosial dan keagamaan, di kala Nabi Muhammad
tidak ada lagi.

Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan


wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan
sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi
mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan
penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam
al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan
Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.

Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum


Muslim telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam
bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah
itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian)
dalam berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua
pahala, dan bila ijtihadnya salah masih diberi satu pahala.
Persoalan angkatan kita sekarang ini adalah bagaimana
memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas untuk mampu
melakukan ijtihad tersebut.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.39. ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA (1/2)
DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI
Oleh Komaruddin Hidayat

Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai


suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa
yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku
manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal
budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup
yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang
atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis.
Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit,
sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis
yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam
kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. [1]

Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan


manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama
berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat
obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham
ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam
etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan
karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan
kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama
pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam
Islam --pada batas tertentu-- ialah aliran Muitazilah. [2]

Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu


tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau
pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa
subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja
subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam
beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes
sampai ke faham tradisionalismenya Asy'ariyah.

Menurut faham Asy'ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan


bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada
ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy'ariyah berpandangan bahwa
menusia itu bagaikan 'anak kecil' yang harus senantiasa
dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu
memahami mana yang baik dan mana yang buruk.

Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis


rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya
dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah
disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh Mu'tazilah dan faham
tradisionalisme yang diwakili oleh Asy'ariyah.

Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena


pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena
narasi ayat-ayat al-Qur'an sendiri yang mendorong lahirnya
perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur'an pesan etis selalu
saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut
penafsiran dan perenungan oleh manusia. [3]

ETIKA DAN KEBEBASAN

Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan


terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam
situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban
etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam
keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa
mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan,
semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.

Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariah yang


berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan,gerak
wayang, yang ditentukan oleh 'dalang' tak ada tempat bagi
konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.

Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan


terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa
suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas
mendapatkan julukan ahsan-u 'l-taq wim, puncak ciptaan Tuhan
meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus
diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia.
Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa
memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya telah
diakhiri, sementara kehidupan menusia kian hari kian
berkembang sedemikian kompleknya.

Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak


sekomplek pasca-Muhammad, namun justeru pada masa-masa itu
Allah sering mengirimkan rasul-rasulNya. Mengapa demikian,
biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah
yang diturunkan kepada manusia. Kedua, manusia dengan
kemampuan rasionalitasnya telah mampu mengevaluasi kehidupan
kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.

Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama


paripurna tersirat pada surat al-Maidah ayat 3 dan surat
al-Anbiya ayat 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam
adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua
menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam.
Secara dogmatis theologis kedua klaim di atas memang sudah
lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan
empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali
kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.

Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya


dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat
lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa
al-Qur'an disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa mau tidak mau bersifat budaya, ia terikat dengan
kaidah-kaidah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas
pesan al-Qur'an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga
memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan
substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi
universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari
binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal
symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol. [4]
Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah
mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus
berbicara ataupun menulis.

Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu


masyarakat tercipta, komunikasi antar mereka berlangsung, dan
dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena
inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Qur'an surat al-Baqarah
ayat 31 dimana Allah telah mengajar 'nama-nama' pada Adam.

Karena rasionalitas dan sistem symbol yang dimiliki manusia


maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan
dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah.
Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa
diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem
simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Qur'an yang secara
eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas
dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa
membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Qur'an bertentangan
dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah
terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika
Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.

Dengan kata lain, al-Qur'an dan pesan-pesannya kini telah


menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan
tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan
Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat
pandangan positif al-Qur'an tentang manusia. Kalau kita telaah
ayat-ayat al-Qur'an segera kelihatan bahwa etika al-Qur'an
amat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Qur'an seperti
halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan,
menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain
sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas
manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof.

Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri


utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia.
Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai
perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles
mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap
berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles
membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut,
yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba
metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat;
kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan
mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan
waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk
merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang
dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan
ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang bisa
diratakan. [5]

Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang


dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu
memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang
hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali
muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat
partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang
bersifat rasional dan universal.

Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan


direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan
individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit
yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan
menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi
konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala
berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah
letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu
tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif,
tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah
dalam acuan sikap batin.

Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya


otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai
otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan
menyatakan 'kematian Tuhan' sebagaimana diproklamasikan oleh
Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa
manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan
serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih
membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya,
menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri,
bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat
kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan
kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi
kemanusiaannya.

Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari


konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah
pemikiran Barat kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat
filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan doktrin gereja
tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan
kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha
Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia
dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang
Maha Otonom.

Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna yang sudah jadi,


dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha
Sempurna, di sanalah terletak makna keimanan yang dinamis.
Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan
mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional.
Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah obyek ilmu
pengetahuan. Semua berada di luar jangkauan rasio, namun
puncak rasionalitas mengantarkan menusia untuk melakukan
loncatan ke arah sana. [6]

ETIKA ISLAM: PENGAMATAN DI TURKI

Islam di Turki mempunyai sejarah panjang, bisa ditelusuri ke


belakang sejak abad ke-19 sampai hari ini. Bangsa Turki yang
sekarang berpusat di wilayah Balkan dan Anatolia itu pada
mulanya pendatang dari daerah Turkestan, terletak antara Rusia
dan Cina.

Untuk menyederhanakan diskusi kita, saya akan membagi


periodisasi Islam di Turki, yaitu Islam di masa Ottoman dan
Islam semasa Republik, yang berlangsung sejak 1924 hingga hari
ini. Ada tiga pertanyaan pokok yang hendak diangkat dalam
uraian berikut ini. Pertama, bagaimanakah pergumulan antara
nilai-nilai keislaman dan tradisi bangsa Turki di masa
Ottoman? Kedua apakah dampak gerakan Kemal Ataturk terhadap
kelanjutan Islam di Turki? Ketiga, bagaimana perkembangan
Islam di Turki dewasa ini dalam etika Islam?

ISLAM DI MASA OTTOMAN

Dinasti Ottoman yang berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada


awal abad-20 tentu saja merupakan lahan kajian sejarah yang
amat kaya sehingga tidak mungkin makalah singkat ini bisa
manyajikan potret global yang memadai. Namun begitu bisa saja
kita membuat karakterisasi keislaman bangsa Turki pada masa
Ottoman, meskipun bahaya simplifikasi dan reduksi tidak bisa
dielakkan.

Secara antropologis bangsa Turki kadangkala disebut 'war


nation' ataupun 'war machine.' Hal ini terlihat dari karir
mereka dalam perluasan wilayah kekuasaan Ottoman yang
terbentang sejak dari Afrika, India, Persia dan bahkan sampai
Eropa. Sejak mulanya ideologi Ottomanisme dan Islamisme saling
kait berkait sedemikian rupa, keduanya didukung oleh ethos dan
keunggulan militer yang sulit dicari tandingnya. Baik semasa
Abasid maupun Seljuk bangsa Turki ini telah dikenal sebagai
pasukan berkuda yang handal. Militansi kemiliteran ini
ditopang oleh spirit jihad melawan orang kafir Eropa sehingga
dengan begitu semangat penaklukan semakin berkobar.

Abad-16 merupakan masa puncak kejayaannya, yang diikuti


kemudian oleh berbagai krisis, dan berakhirlah dinasti ini
setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Krisis ini
datang dari dua jurusan dari dalam dan dari luar.

Massa rakyat di bawah kekuasaan Ottoman adalah kaum petani


yang tidak mendapat pendidikan secara baik. Dengan
mengandalkan kontrol secara militer dan doktrin ketaatan pada
Sultan sebagai pemimpin agama, pada mulanya rakyat secara
mudah bisa dikuasai. Tetapi situasi demikian tidak bertahan
selamanya. Berbagai kelompok agama, suku, dan bangsa yang
bernaung di bawahnya lama kelamaan berkembang sebagai ancaman,
terutama setelah meletusnya Revolusi Perancis dimana semangat
nasionalisme menggulir dan menggerogoti kekuasaan Ottoman.

Sejak itu secara diam-diam muncul tiga ideologi, yaitu


Ottomanisme, Islamisme, dan Turkisme. Karena kekuasaan
cenderung berpihak pada ambisi pribadi bukannya akal sehat,
Raja-raja Osmani (Ottoman) tetap mempertahankan ideologi
Ottomanisme, sementara Islam cenderung diperalat sebagai
ideologi pendukungnya. Dengan kata lain, keislaman semasa
Ottoman adalah keislaman yang berciri ideologi untuk ambisi
kekuasaan, bukannya keislaman yang melahirkan ethos keilmuan
dan peradaban modern.

Krisis Ottoman semakin terlihat di permukaan ketika apa yang


disebut 'millet system' semakin otonom dari kontrol pusat
sementara Eropa sudah bangkit dari keterbelakangannya. [7]
Millet system dan capitulation adalah suatu bentuk perjanjian
antara Ottoman dan kekuasaan asing untuk menjalin kerjasama
ekonomi berdasarkan pengelompokan agama. Sebagai akibatnya
kelompok-kelompok agama non-Muslim yang berada di bawah
kekuasaan Ottoman lama-lama berubah manjadi perpanjangan
tangan dari kekuatan Kristen Eropa untuk menghancurkan Ottoman
dari dalam, melalui jalur penguasaan ekonomi oleh kelompok
minoritas non-muslim. [8] Krisis yang melanda Libanon hari ini
akar penyebabnya bisa ditelusuri pada millet system ini.

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Artikel Yayasan Paramadina
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.39. ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA (2/2)
DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI

Oleh Komaruddin Hidayat

Sebagaimana dikemukakan oleh Don Peretz, "The general decay of


Ottoman governmental institutions coincided with the rise of
more powerful European nation states". [9] Berbagai cara untuk
mengantisipasi kemerosotan Ottoman telah dicoba, misalnya saja
oleh gerakan Tanzimat, Turki Muda, dan Sultan Mahmud II
(1808). Di antara ciri-ciri gerakan yang ditawarkan ialah
berusaha untuk mengenalkan mesin percetakan, ilmu kemiliteran,
dan semacamnya yang dipandang sebagai gerakan baru di Eropa.

Namun berbagai usaha itu gagal, antara lain disebabkan oleh


fanastisme teologis yang menimbulkan keyakinan kuat di
kalangan Sultan bahwa Tuhan mesti berpihak pada dirinya, dan
orang kafir Eropa tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan
Islam. Lebih dari itu, sistem pembagian kekuasaan secara
rasional dengan melibatkan partisipasi massa sama sekali di
luar jangkauan para sultan. Pendeknya Sultan adalah pusat
kekuasaan, sedangkan gagasan-gagasan baru yang dikenalkan dari
Eropa yang tengah bangkit itu dicurigai sebagai kekuatan yang
merongrong wibawa Sultan serta dicap sebagai budaya kafir
Eropa.

Demikianlah, Islam yang pada mulanya telah mengantarkan


kejayaan Ottoman, pada akhirnya Islam di ideologisasikan
sebagai kekuatan penyangga Ottoman yang nampak besar tetapi
sangat rapuh. Tampaknya perjumpaan antara Islam dan bangsa
Turki Usmani lebih menonjol dalam melahirkan ethos jihad dan
ketaatan pada uli al-amri ketimbang ethos kerja dan ethos
keilmuan. Oleh karenanya kita akan kecewa kalau mencari
tokoh-tokoh pemikir Islam yang brilian yang dilahirkan oleh
bangsa Turki Usmani.

GERAKAN KEMAL ATATURK: MASALAH PENAFSIRAN

Mengawali uraian saya mengenai Islam pasca-Ottoman saya akan


mengutip tiga pendapat sarjana ahli tentang Turki:

After a century of Westernization, Turkey has undergone


immense changes-greater than any outside observe had
thought possible. But the deepest Islamic roots of
Turkish life and culture are still alive, and the
ultimate identity of Turk and Muslim in Turkey is still
unchallenged. (Bernard Lewis, 1961)

It has often been thought that this secularism signified


the separation of state and religion somewhat along the
lines of French laicism and the involved and
anti-religious policy seeking to eliminate Islamic
faith. These assumptions are no correct. In fact, the
new Turkish Republican regime tried to implement its
constitutional mandate of freedom of concience by
setting up goverment agencies charged with helping
citizens to approach Islam through reason rather than
tradition. (Howard A. Reed, 1981)

The revitalization of Islam in this country is partly


due to the success of the campaign to universalize
education which was the foundation stone of the secular
Turkish Republic and partly to economic achievements in
the period 1950-1980. Syerif Mardin, 1989)

Pada 29 Oktober 1923 secara resmi Republik Turki


diproklamirkan oleh sidang parlemen dimana Mustafa Kemal
terpilih sebagai Presiden pada umurnya yang ke-42 tahun.
Gerakan republiken ini sekaligus menghadapi dua musuh, yaitu
kekuatan Sekutu yang hendak menguasai Turki, dan kekuatan
tradisional yang berpihak pada ideologi teokratik Osmani.

Bila kita telaah bunyi ke-6 sila ideologi Kemalisme, akan


terlihat begitu jelas bahwa setiap silanya merupakan kritik
dan sekaligus anti-thesis terhadap paradigma Ottomanisme. [10]
Sila yang dianggap kontroversial tentu saja dengan
dinyatakannya bahwa Turki menganut faham sekuler. Pernyataan
ini dinilai oleh dunia Islam lainnya sebagai tindakan 'murtad'
dalam pemikiran politik Islam.

Tetapi kalau gerakan Ataturk kita tempatkan dalam perspektif


sejarah, akan terlihat bahwa gerakannya merupakan mata rantai
yang berkesinambungan dengan gerakan sebelumnya. Apa yang
dilakukan Ataturk merupakan pengejawantahan ide-ide gerakan
modernisasi dan westernisasi yang pernah dicanangkan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya, terutama Ziya Gokalp.

Zia Gokalp, starting with Durkheim, formulated his own


concept of community and society, which he defined as
culture group and cilivization group. Turkism, according
to Gokalp, aimed at synthesis of Turkish nationalism,
islam, and modernization, althouh its formula was very
different from that of the Islamic modernist." [11]

Apa yang dirumuskan Gokalp di atas sampai kini hampir tidak


pernah ditentang oleh para intelektual Turki. Hal ini
mengisyaratkan bahwa secara cultural dan intelektual Islam
tetap bertahan dan bahkan sebagai identitas bangsa Turki
sampai hari ini. Bila semasa Ottoman Islam telah mengalami
ideologisasi untuk mendukung ambisi kekuasaan, kini keislaman
bangsa Turki lebih bersifat individual dan cultural. Dengan
ungkapan lain, Ataturk, sebagaimana Gokalp, akan sependapat
untuk mengatakan "Islam-Yes, Negara Islam-No".

Yang secara tegas-tegas ditentang oleh gerakan Ataturk adalah


Ideologi Klerikisme, bukannya nilai-nilai Islam. Bahkan dalam
prateknya sikap Ataturk begitu ekstrim mengikis warisan
klerikisme Ottoman, hal ini tidak bisa diingkari. Namun
begitu, adakah cukup sah untuk menghukum Ataturk sebagai
pengkianat dan telah membuat 'blunder' bagi perkembangan Islam
di Turki ataukah justeru Ia telah tampil sebagai penyelamat
eksistensi Islam bagi bangsa Turki, kita dihadapkan pada
masalah interpretasi sejarah.

Ketika Turki Usmani berada di ambang kehancuran, terutama


setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I, Ataturk melihat
bahwa satu-satunya ideologi gerakan yang bisa memobilisasi
massa dan kaum intelektual Turki waktu itu tak ada lain
kecuali ideologi nasionalisme. Sedangkan model pembaharuan dan
alternatif satu-satunya ialah meniru Barat.

Ideologi kekhalifahan tidak lagi memiliki daya panggil untuk


berjihad melawan kekuatan Sekutu. Bahkan sejak sebelum
meletusnya Perang Dunia ke-I beberapa wilayah Ottoman telah
menunjukkan usahanya untuk memberontak dan melepaskan diri
dari pusat simbol nasionalisme. Di sini sosok 'nasionalisme'
menampilkan dua fungsinya yang berlawanan.

Ketika Ottoman pada puncak kejayaan, Eropa menggunakan isu


nasionalisme untuk memobilisasi massa melawan Eropa.
Demikianlah, sebagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia,
ideologi nasionalisme dan Islamisme secara simbolik digunakan
Ottoman.

Kemudian, bagaimana kita mesti merumuskan peran Ataturk dan


gerakan revolusinya dalam perspektif perjalanan Islam di
Turki? Ada kemiripan antara Ottoman dan gerakan Ataturk
melihat Islam. Yaitu Islam didekati secara amat pragmatik
untuk tujuan politik. Sebagai pengagum Durkheim, Ataturk
melihat Islam sebagai refleksi sosial masyarakat Turki yang
telah berakar sedemikian rupa yang memiliki kekuatan
integratif bagi pertumbuhan bangsa Turki. Dengan demikian,
sejak semula tokoh-tokoh gerakan modernisasi dan westernisasi
di Turki tidak pernah menyatakan anti-agama, melainkan ingin
mengadakan rasionalisasi agama, agar agama menjadi kekuatan
penopang bagi kemajuan bangsa Turki.

Jadi, kalaupun Ataturk bisa dianggap penyelamat bagi


kelangsungan Islam di Turki dari ancaman Eropa dan dari
penetrasi para missionaris Kristen, jasanya terhadap Islam
merupakan implikasi tidak langsung dari dedikasinya dalam
membela bangsa Turki dengan semangat nasionalismenya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Syerif Mardin, sistem pendidikan
Barat yang dipaksakan oleh Ataturk ternyata telah berjasa
besar bagi peningkatan intelektual 'kaum santri.' Sistem
pendidikan Barat yang sejak awal abed-19 hendak diterapkan di
Turki oleh kalangan intelektual muda dan selalu ditentang oleh
jajaran Sultan, baru berhasil direalisir pada awal abad-20
dengan cara paksa dan setelah Ottoman berada diujung
kehancuran. Dengan demikian, kalau saja Revolusi Ataturk ini
berlangsung seabad sebelumnya, mungkin sekali nasib dunia
Islam tidak akan tertinggal sedemikian jauhnya dari Barat
dalam bidang iptek dan sosial kemasyarakatan.

Bagaimana ketertutupan Ottoman dari pengaruh gerakan


modernisme Eropa waktu itu diungkapkan oleh Bernad Lewis
sebagai berikut:

... the scientific awakening, humanism, liberalism,


rationalism, the enlightenment - all great European
adventures and confilcts of ideas passed unnoticed and
unreflected in society to which they were profoundly
alien and irrelevant. The same is true of the great
social, economic, and political changes. The rise and
fall of the baronage, the rise of the new middle class,
the struggle of money and land, of city-state, and
Empire all the swift yet complex evolution of European
life and society, have no parallel in the Islamic and
Middle Eastern civilization of the Ottomans. [12]
EKSPERIMEN SEJARAH YANG MONUMENTAL

Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada
umumnya ialah bahwa Turki telah melakukan eksperimen sejarah,
secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler serta
mengambil Barat sebagai model modernisasinya.

Tidak lama setelah meletusnya Revolusi Iran (1979), beberapa


wartawan asing berdatangan ke Turki dengan perhitungan bahwa
negara yang akan mudah tersulut oleh Revolusi itu ialah Turki.
Dugaan itu tidaklah terlalu salah. Pertama, pemeluk Syiah di
sana diperkirakan sekitar 10 juta, meskipun angka ini tidak
pernah terungkap secara resmi. Kedua, walaupun Turki
dinyatakan sebagai negara sekuler, Islam tetap berakar kuat
pada masyarakat Turki, sementara agama selain Islam tak ada
hak hukum untuk menyebar-luaskan missinya.

Republik Turki yang berjumlah sekitar 55 juta itu sebanyak 99%


adalah muslim dan antara 'keislaman' dan 'keturkian' telah
menyatu sebagai identitas diri setiap orang Turki, betapapun
kadar dan corak keislaman mereka. Sebutan 'sekuler' bagi
negara Turki sejak mulanya sesungguhnya tidak tepat kalau
istilah sekuler itu difahami dalam konteks negara Barat.

Di Barat paham sekularisme muncul antara lain sebagai akibat


logis dari doktrin gereja dan akibat pertumbuhan sains,
teknologi dan ekonomi, dimana etika Kristiani secara
epistemologis tidak sanggup menghubungkan antara faham
modernisme dan keyakinan agama. Sedangkan di Turki,
sebagaimana dikemukakan Syerif Mardin, hasil westernisasi dan
modernisasi sistem pendidikan yang diimport Ataturk justeru
pada gilirannya telah memberikannya peluang dan fasilitas bagi
umat Islam Turki untuk beradaptasi dengan dunia Barat tanpa
harus terserabut keyakinan agamanya.

Jadi, corak keislaman yang muncul dewasa ini bisa dikatakan


sebagai keislaman pasca-Ottoman dan pasca-Kemalisme. Terutama
sejak 1O tahun terakhir ini, secara ideologis antara Kemalisme
dan Pancasila hanya berbeda dalam teorinya saja, namun pada
praktek kenegaraan tidak jauh berbeda, yaitu baik Turki maupun
Indonesia bukanlah negara teokratis, bukan pula sekuler.
Negara bertanggungjawab bagi pembinaan dan pengembangan Islam
bagi masyarakat Turki. Hal ini antara lain termanifestasikan
dalam pembinaan sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat SD
sampai Perguruan Tinggi, sejak dari pengangkatan para imam
atau khatib sebagai pegawai negeri sampai pengangkatan Atase
Agama pada kedutaan Turki untuk memberikan pelayanan agama
pada masyarakat Turki di negeri orang.

Secara sosiologi, barangkali saja keislaman model Turki akan


juga dilalui oleh masyarakat Islam lainnya ketika mereka
memasuki kehidupan modern. Salah satu cirinya ialah agama
cenderung sebagai urusan pribadi, sebagai tuntutan etis
terjadinya depolotisasi dan deideologisasi agama, praktek
ibadah yang cenderung "longgar" meningkatnya minat orang pada
tasawuf.

Semua ini begitu menyolok menggejala di Turki atau bahkan


telah menjadi corak keberagamaan mereka. Satu hal yang mereka
tidak miliki, dibanding Indonesia, ialah rasa 'persaingan'
dengan agama lain di dalam negeri sendiri. Lebih dari itu,
baru akhir-akhir ini saja mulai muncul generasi baru yang
merepresentasikan generasi Islam pasca-Ottoman dan
pasca-Kemalis, yaitu generasi yang tetap konsisten dan
memiliki wawasan keislaman dan sekaligus juga wawasan sikap
kemodernan sebagaimana yang dilihat Gokalp ataupun Ataturk
pada masyarakat Barat.

PENUTUP

Dari eksperimen sejarah yang dilakukan Turki, hasilnya


memperkuat teori yang mengatakan bahwa konsep sekularisme
Barat tidak akan tumbuh ketika ditabur atau diterapkan dalam
masyarakat muslim. Kedua, semakin modern dan semakin rasional
seseorang atau masyarakat, keislaman mereka cenderung
terefleksikan dalam etika pribadi dan sosial, sedangkan
hubungannya dengan Tuhan cenderung pada pendekatan sufistik.
Ketiga, meskipun pada level praksis dan ideologi Islam
senantiasa dipengaruhi oleh tradisi lokal serta
kepentingan-kepentingan subyektif, secara epistemologis Islam
tetap memiliki vitalitas yang bersifat rasional, sehingga
dengan demikian modernisasi tidak akan menjadikan ancaman bagi
Islam.

CATATAN

1. Taylor, Paul W., Problems of Moral Philosophy.


California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3

2. Hourani, George F., Reason and Traditon in Islamic


Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, p. 25

3. Ayat al-Qur'an berulangkali menuntut pembacanya agar


berjihad dengan menggunakan akalnya untuk menangkap
pesan-pesan etis yang terkandung di dalamnya. Oleh
karenanya adalah hal yang logis saja bahwa dalam sejarah
Islam selalu terjadi perbedaan dan konflik intelektual
yang dinamis antara sesama ahli pikir.

4. Lihat Erns Cassirer, An Essay on Man, Yale University


Press,

5. Weiner, Myron., Modernisasi, Dinamika Pertumbuhan,


Gajah Mada University Press, 1980, p. xii

6. Lihat karya-karya Immanuel Kant, terutama Critique


Pure Reason dan Religion within the Limit of Reason
Alone.

7. Peretz, Don, The Middle East Today, New York, 1986,


p. 59

8. Ibid, loc. cit.

9. Ibid, p. fi2

10. Ke-6 sila dalam ideologi Kemalisme ialah:


republikanisme, nasionalisme, populisame, sekularisme,
etistisme, revolusionisme. semua sila di atas secara
konotatif merupakan kritik frontal terhadap ideologi
Ottomanisme.

11. Lihat Ergun Ozbodun (ed)., Ataturk, Founder of


Modern State, London, 1981. Juga dalam Modern Turkey:
Continuity and Change, Opladen, 1984

12. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey,


London, 1967, p. 482

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.40. KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI (1/3)
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan

oleh Nurcholish Madjid (hal. 523)

Suatu kenyataan sejarah yang amat menarik tentang Nabi


Muhammad saw ialah bahwa sejak beliau tampil sekitar lima
belas abad yang lalu sampai sekarang tidak pernah muncul
tantangan yang cukup berarti atas klaim bahwa beliau adalah
penutup segala Nabi dan Rasul. Di mata beberapa orang
sarjana Islam terkemuka, seperti Fazlur Rahman, kenyataan
itu merupakan bukti dan dukungan bagi pandangan Islam bahwa
Nabi Muhammad saw adalah benar-benar yang terakhir dalam
deretan mata rantai para Nabi dan Utusan Allah sepanjang
sejarah ummat manusia.

Konsep bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan
Rasul adalah cukup sentral dalam sistem kepercayaan Islam.
Dan implikasi konsep itu cukup luas dan penting. Hal itu
terbukti antara lain dari adanya beberapa kontroversi yang
memakan korban akhir-akhir ini di kalangan ummat Islam,
seperti pengkafiran kaum Ahmadiyah oleh Rabithat al-Alam
al-Islami dengan dampak pengucilannya di Pakistan. Juga,
yang lebih dramatis, sikap permusuhan yang sengit pemerintah
Republik Islam Iran terhadap kaum Baha'i (jika memang kaum
Baha'i masih dapat dipandang sebagai bagian dari Islam; jika
tidak, maka penyebutannya disini menjadi tidak relevan).

Namun agak mengherankan bahwa meskipun doktrin tentang Nabi


Muhammad saw itu begitu penting dan sentral dengan implikasi
yang luas dan asasi, sedikit sekali para ahli tafsir
al-Qur'an yang memberi perhatian dan ulasan kepada masalah
pokok ini ketika menjabarkan makna firman Allah yang
terkait. Bahkan Sayyid Qutb, seorang ahli tafsir al-Qur'an
zaman modern dengan karyanya yang berjilid-jilid, Fi Dhilal
al-Qur'an, ternyata membahas masalah ini hanya secara
sepintas lalu saja. [1] Tidak bedanya dengan Sayyid Muhammad
dengan al-Thaba' Thaba'i, penulis kitab tafsir al-Mizan fi
Tafsir al-Qur'an yang juga berjilid-jilid, juga menyinggung
masalah ini secara sekedarnya saja. [2]

Para penafsir al-Qur'an dari zaman modern ini dan yang


berlatar belakang pengalaman dalam budaya modern justru
lebih menyadari implikasi penting pandangan bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan
referensi silang dalam kitab tafsirnya, Muhammad Asad,
misalnya, menunjukkan makna yang lebih luas dan fundamental
dari pandangan itu, dengan implikasi yang juga luas dan
fundamental. Makalah ini banyak menggunakan pendekatan
Muhammad Asad dalam pengembangan argumennya, disamping
sumber-sumber lain yang relevan.

Karena pokok pembahasan disini dalam beberapa segi


menyangkut masalah 'aqidah (simpul keimanan) maka tentu
tidak dapat diremehkan signifikansinya. Karena itu
pengembangan lebih lanjut argumen disini oleh mereka yang
berwenang secara ilmiah akan sangat disambut gembira.

CONTOH KLAIM KENABIAN: KASUS GHULAM AHMAD DAN JOSEPH SMITH

Sebagai gambaran nyata, di zaman modern ini terdapat


beberapa orang pengaku kenabian. Kehadiran mereka tidak
memiliki dampak seperti yang diharapkan dari yang
benar-benar Nabi dan Rasul, namun mereka mempunyai pengikut.
Di India pernah muncul Mirza Ghulam Ahmad yang dipandang
oleh para pengikutnya (versi Qadianis, dan bukan bersi
Lahore) sebagai seorang Nabi. Namun dalam beberapa
penjelasan terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza adalah
jenis "kenabian kecil" (minor prophethood), karena ia
"hanya" bertugas meneruskan dan menghidupkan kembali pesan
suci Nabi besar Muhammad saw. Keterangan mengenai hal ini
dari seorang tokoh gerakan Ahmadiyah terbaca demikian:

Klaim Hazra Mirza Ghulam Ahmad (salam-sejahtera atasnya),


ialah bahwa Tuhan telah membangkitkan dia untuk membimbing
dan memberi petunjuk ummat manusia; bahwa dia adalah
al-Masih yang diramalkan dalam Hadits-hadits Nabi Besar
(Muhammad saw) dan Mahdi yang dijanjikan dalam sabda-sabda
(Nabi Muhammad saw); bahwa nubuwat (ramalan suci) yang
termuat dalam berbagai kitab suci agama tentang tampilnya
seorang utusan Tuhan pada zaman akhir juga telah dipenuhi
dalam dirinya; bahwa Tuhan telah membangkitkannya untuk
membela dan menyebarluaskan Islam di zaman kita; bahwa Tuhan
telah memberinya karunia pemahaman mendalam tentang
al-Qur'an, dan mewahyukan kepada dia maknanya dan
kebenarannya yang paling mendalam; bahwa Dia telah
mewahyukan kepadanya berbagai rahasia hidup salih. Dengan
karyanya, pesannya, dan teladannya, dia mengagungkan Nabi
Besar (Muhammad saw) dan membuktikan keunggulan Islam atas
agama-agama yang lain. [3]

Di Amerika muncul seorang bernama Joseph Smith, yang oleh


para pengikutnya dari Kristen sekte "The Church of Jesus
Christ of Latter-Day Saint" (kaum "Mormon") juga dianggap
sebagai Nabi. Tapi, sama halnya dengan hubungan Mirza dengan
Nabi Muhammad saw, Smith pun mengaku "hanya" meneruskan dan
menghidupkan kembali ajaran Isa al-Masih as, khususnya
berkenaan dengan kitab sucinya yang "hilang," yang
disampaikan oleh Isa al-Masih kepada penghuni kuno kedua
benua Amerika (Utara dan Selatan), yaitu Buku Mormon (The
Book of Mormon). Suatu penuturan dalam pengantar Buku Mormon
itu terbaca demikian:

Buku Mormon adalah suatu jilid dari kitab suci yang


sebanding dengan Bibel. Ia merupakan catatan urusan Tuhan
dengan penghuni kuna kedua benua Amerika dan, sebagaimana
Bibel, memuat pemenuhan gospel yang abadi.

Buku itu ditulis oleh banyak Nabi kuna dengan ruh kenabian
dan wahyu. Kata-kata mereka, tertulis pada lempengan-
lempengan emas, dikutip dan diringkas oleh seorang nabi dan
ahli sejarah, bernama Mormon... [4]

Puncak kejadian yang tercatat dalam Buku Mormon ialah


kependetaan pribadi Tuhan Yesus Kristus di kalangan kaum
Nephites segera setelah kebangkitannya kembali. Buku itu
mengemukakan doktrin-doktrin gospel, memberi garis besar
rencana penyelamatan, dan memberi tahu manusia apa yang
harus mereka kerjakan untuk memperoleh kedamaian dalam hidup
ini dan keselamatan abadi dalam hidup yang akan datang.

Setelah Mormon menyelesaikan tulisannya, ia menyerahkan


cerita itu kepada anaknya Moroni, yang menambahkan beberapa
kata dari dirinya sendiri dan menyembunyikan
lempengan-lempengan tadi di bukit Cumorah. Pada tanggal 21
September 1323, Moroni itu sendiri, yang saat itu merupakan
makhluk yang dimuliakan dan dibangkitkan kembali,
menampakkan diri pada Nabi Joseph Smith dan mengajarinya
berkenaan dengan catatan kuna itu serta penerjemahannya yang
mesti terjadi ke dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya lempengan-lempengan tersebut diberikan kepada


Joseph Smith, yang menerjemahkannya dengan anugerah dan
kekuatan dari Tuhan. Catatan itu sekarang diterbitkan dalam
banyak bahasa sebagai saksi baru dan tambahan bahwa Yesus
Kristus adalah Putera dari Tuhan yang hidup dan semua orang
yang bersedia datang kepadanya serta menaati hukum-hukum dan
ajaran-ajaran gospelnya akan terselamatkan.

Tapi, seperti telah disinggung, dan sebagaimana telah


disaksikan oleh sejarah, kehadiran baik Mirza maupun Smith
tidak meninggalkan dampak sosial dan spiritual dengan
keluasan dan kedalaman seperti yang biasanya ditinggalkan
oleh para Nabi terdahulu. Karena itu bagi hampir seluruh
kaum Muslim klaim Mirza akan kenabian itu harus ditolak
(atau ditafsirkan kembali seperti dilakukan oleh sebagian
pengikutnya sendiri dari versi Lahore); dan bagi hampir
semua kaum Kristen klaim Joseph Smith pun ditolak, dan kaum
Mormon diakui hanya sebagai salah satu saja dari puluhan
atau ratusan sekte dan denominasi dalam agama Kristen.

Klaim kenabian atau, apalagi, kerasulan, akan menimbulkan


masalah dalam masyarakat, karena logika setiap klaim
kenabian atau kerasulan tentu menuntut kepada setiap orang
untuk menerima, membenarkan dan "beriman" kepada pengaku
itu. Ghulam Ahmad, misalnya, memperlihatkan gejala ini,
seperti dengan jelas bisa dipahami dari pernyataan berikut:

Setelah secara singkat menggambarkan klaim al-Masih Yang


Dijanjikan (the Promised Messiah), Pendiri Gerakan
Ahmadiyah, saya ingin menerangkan kriteria umum yang dengan
itu kebenaran pengaku (kenabian) serupa itu bisa dinilai.
Jika telah terbukti bahwa pribadi tertentu mendapat tugas
Maki sebagai Utusan Tuhan, maka menjadi wajib atas setiap
orang untuk menerima pengakuannya itu. [5]

Kaum Mormon pun mempunyai sikap yang serupa, sebagai


konsekuensi kepercayaan mereka bahwa Joseph Smith adalah
seorang Nabi. Dalam pengantar Buku Mormon dikutip perkataan
kita sendiri, demikian: Berkenaan dengan catatan ini Nabi
Joseph Smith berkata: "Saya telah katakan kepada para
saudara bahwa Buku Mormon adalah buku yang paling benar dari
semua buku yang ada di muka bumi, dan batu dasar agama kita,
dan seseorang akan menjadi lebih dekat kepada Tuhan dengan
menaati ajaran-ajaran buku itu daripada dengan buku lain
manapun." [6]

Kegawatan muncul karena setiap sikap menerima atau menolak


sesuatu dari pesan Ilahi akan dengan sendirinya bersangkutan
dengan masalah keselamatan atau kesengsaraan. Maka logika
pengakuan kenabian, lebih sering daripada tidak, mengundang
percekcokan tajam, sebab terjadi dalam kerangka kemutlakan
(ultimacy). Karena itu pengaku kenabian tentu menghasilkan
sistem kepengikutan yang eksklusifistik, yang menampik
"orang luar" untuk menyertai mereka dalam panji keselamatan
dan kebahagiaan. Dalam penampilannya yang ekstrem, seperti
ditunjukkan oleh berbagai perkumpulan yang bersifat kultus
(cultic) di banyak negara (terutama Amerika), harapan
keselamatan yang dipusatkan dan digantungkan kepada pribadi
seorang tokoh akan melahirkan gejala-gejala anti sosial dan
penuh permusuhan. Maka agaknya yang diperlukan oleh manusia
zaman modern bukanlah tokoh yang mengarah kepada penampilan
bergaya cultic, melainkan yang manusiawi biasa, terbuka dan
tampil dalam gaya dialogis dengan anggota masyarakat yang
lebih luas dalam semangat persamaan hak dan kewajiban. Dan
hal ini memerlukan suatu perangkat kepercayaan yang kukuh
bahwa sekarang tidak ada lagi yang dibenarkan mengklaim
sebagai "petugass" dari Tuhan.

NABI MUHAMMAD PENUTUP SEGALA NABI

Keterangan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi


dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman
Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktek tabanni
(mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak
sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan
orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi
kehukuman atau legalnya). Praktek tabanni itu dibatalkan
karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam
dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain
menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan
berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak
angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri
secara lisan (yakni, secara formal), maka praktek itu
dianggap tidak fithri.
(bersambung 2/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.40. KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI (2/3)
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan

oleh Nurcholish Madjid (hal. 523)

Dalam sangkutannya dengan Nabi, praktek tabanni (yang beliau


lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau
sendiri, Zayd [ibn Haritsah]) mengakibatkan sebutan Nabi
sebagai "bapak" seseorang diantara kaum beriman, yaitu Zayd
(maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan mengesampingkan
kaum beriman yang lain. Maka firman Allah mengenai hal ini
terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara
kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi."
[7] Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi
lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri,
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." [8]. Sudah
tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah
ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka
Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah
seorang diantara kaum beriman, adalah bapak (spiritual)
seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua. Inilah
yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang
relevan. Muhammad Asad menjabarkan bahwa penegasan itu
mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya
hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna
spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan
kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus
dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil
sebagai hubungan fisikal), [9] maka kedudukan seluruh kaum
beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi
Muhammad saw adalah Utusan Allah yang terakhir.

Untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah


"khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin
pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad
sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan
mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para
penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu). Jadi fungsi Nabi
Muhammad saw terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau
ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab
suci, dan ajaran mereka. Hal ini tersimpul dari penjelasan
tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang
lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau
penguji (mahaymin), disamping sebagai pengoreksi (furqan)
atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut
kitab-kitab itu. Penegasan itu kita dapatkan dalam al-Qur'an
dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen,
disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran
agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan
dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia,
termasuk dan terutama hidup keagamaannya. Di sini akan
dikutip deretan firman itu, karena amat patut (dan di zaman
sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan direnungkan akan
makna dan semangatnya:

Mereka (kaum Yahudi) itu suka mendengarkan kedustaan dan


memakan harta terlarang. Kalau mereka datang kepadamu
(Muhammad) maka buatlah keputusan hukum antara mereka
(berkenaan dengan perkara yang menyangkut mereka), atau
berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling dari mereka,
maka mereka tidaklah akan merugikan engkau sedikitpun juga
Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah keputusan
hukum itu antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berbuat keadilan.

Tetapi bagaimana mereka akan meminta hukum kepadamu, padahal


mereka punya Taurat yang didalamnya ada hukum Allah kemudian
mereka berpaling sesudah itu (dari keputusanmu). Mereka
bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman.

Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang


didalamnya ada hidayah dan cahaya, yang dengan Taurat itu
para Nabi yang berserah diri (kepada Allah) membuat
keputusan hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian
pula mereka yang ber-Ketuhanan (rabbaniyyun) dan para
pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara kitab
Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah
kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan
jangan pula kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan
Allah maka mereka adalah kaum yang kafir.

Dan telah kami tetapkan bagi mereka (kaum Yahudi) dalam


Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, kuping dengan kuping, gigi dengan
gigi, dan luka pun ada balasannya. Namun barangsiapa
melepaskan haknya (untuk membalas), maka hal itu menjadi
penebus bagi (dosa)-nya. Dan barangsiapa tidak menjalankan
hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum
yang zalim.

Dan Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam
sebagai pendukung bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu
Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada
hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang
ada, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi
mereka yang bertaqwa.

Karena itu hendaknyalah para penganut Injil itu menjalankan


hukum dengan apa yang diturunkan Allah didalamnya.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan
Allah maka mereka adalah kaum yang fasik.

Dan Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) dengan benar,


sebagai pendukung bagi yang ada sebelumnya, yaitu
kitab-kitab suci (terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran
kitab yang lalu itu). Maka jalankan hukum dengan yang
diturunkan Allah, dan jangan mengikuti keinginan mereka
sehingga menyimpang dari yang datang kepada engkau, yaitu
kebenaran. Untuk masing-masing dari kamu (ummat manusia)
telah Kami tetapkan tatanan hukum (syir'ah, syari'ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika seandainya Allah menghendaki,
maka tentu akan dijadikannya kamu sekalian ummat yang
tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan
hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. Maka
berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah tempat kembalimu semua, maka Dia akan menjelaskan
kepadamu tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan.
[10]

Penafsiran terhadap ayat-ayat Ilahi ini amat baku di


kalangan para ahli dan 'ulama. Pertama, dalam firman itu
terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam hal ini
Yahudi dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang
diberikan Allah kepada mereka melalui kitab-kitab mereka,
berturut-turut Taurat dan Injil. Kalau mereka tidak
melakukan hal itu, maka mereka adalah kafir dan zalim.
Kedua, al-Qur'an mendukung kebenaran dasar ajaran-ajaran
dalam kitab-kitab suci itu, tapi juga mengujinya dari
kemungkinan pengimpangan oleh para pengikutnya. Jadi
al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama Tuhan
-sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain dalam
al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama
Tuhan itu dari masa ke masa.

Segi kebenaran yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an


ialah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah,
khususnya Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti
agama yang umum itu dinyatakan dalam istilah Arab al-din,
yang seperti dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna
kebenaran-kebenaran agama/spiritual yang asasi dan tidak
berubah-ubah, yang menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap
Utusan Allah. Jadi semua Nabi dan Rasul membawa ajaran inti
keagamaan (din) yang sama, kecuali jika diselewengkan atau
diubah oleh para pengikutnya. Namun para Nabi dan Rasul
tidak membawa sistem hukum (syir'ah, syari'ah) ataupun cara
hidup (minhaj, way of life) yang sama. Perbedaan dalam segi
ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama, yang
sepanjang ajaran al-Qur'an tidak perlu kita persoalkan,
karena itu sudah menjadi kehendak Allah (Dia tidak
menghendaki masyarakat tunggal manusia), dan Allah pula yang
akan menjelaskan adanya perbedaan ini. [11]

Dari urutan dan logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat


letak pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab
suci, dan bahwa penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw adalah
penutup para Nabi dan Rasul. Sebab ajaran yang dibawakannya
adalah perkembangan akhir dari semua agama, menuju
kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi
juga berarti bahwa beliau diutus untuk sekalian ummat
manusia:

Katakan olehmu (Muhammad): "Wahai sekalian ummat manusia!


Sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian,
yang bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan
selain Dia yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang
berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan kepada Rasul-Nya
yang tak pandai baca tulis itu, yang beriman kepada
firman-firmanNya. Ikutilah dia, agar kamu mendapatkan
petunjuk. [12]
Firman ini, dilihat dari letaknya, merupakan interpolasi
atas deretan keterangan tentang Nabi Musa dan keturunan
Israel. Maksudnya ialah menjelaskan bahwa sementara
Nabi-nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju
khusus kepada bangsa, tempat dan zaman tertentu, namun Nabi
Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia,
tanpa terikat oleh bangsa, tempat maupun zaman tertentu.
Sebab sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan lagi ada Nabi,
dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci. [13]
Oleh karena itu Nabi Muhammad saw juga disebut sebagai bukti
rahmat atau kasih Allah kepada seluruh alam, khususnya
seluruh ummat manusia:

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan


sebagai rahmat untuk sekalian alam. Katakan (olehmu,
Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kamu bersedia tunduk
(Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka berpaling, maka katakan
olehmu, "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu semua tanpa
perbedaan. Dan aku tidak tahu apakah dekat (segera) atau
jauh (terjadinya) apa yang dijanjikan kepada kamu (oleh
Tuhan) itu. [14]

Jadi paham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti
ajaran al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi
yang lain. Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada
Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah
disampaikan Nabi kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan kata-kata lain, ajaran adalah universal. Muhammad
Asad menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas
al-Qur'an, yaitu, pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada
seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan
lingkungan budayanya: kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru
semata-mata kepada amal manusia dan karenanya, tidak
merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan
buta semata; dan akhirnya, fakta bahwa -berbeda dari semua
kitab suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap
seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia
diturunkan dalam belasan abad yang lalu dan akan selamanya
demikian keadaannya, karena ia diantara sedemikian luas,
sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti
menjaganya" (QS. al-Hijr/15:9). Berdasarkan tiga daftar isi
muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi
Muhammad adalah penutup segala Nabi. [15]
(bersambung 3/3)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


VI.40. KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI (3/3)
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan

oleh Nurcholish Madjid (hal. 523)

Implikasi bahwa al-Qur'an menyeru kepada akal, dan karenanya


tidak ada dogma yang harus diterima tanpa sikap kritis,
ialah bahwa al-Qur'an terbuka bagi setiap orang yang akan
mencoba untuk menangkap pesan-pesan Ilahi di dalamnya.
Keterbukaannya bagi setiap orang itu benar-benar sejalan
dengan tekanan atas adanya tanggung jawab pribadi setiap
orang kepada Allah kelak di akhirat, yang ajaran ini sendiri
membawa konsekuensi tidak dibenarkannya sistem perantaraan
bagi seseorang kepada Allah melalui lembaga-lembaga
keagamaan seperti kependetaan. Setiap orang adalah pendeta
untuk dirinya sendiri, dalam arti bahwa dia sendirilah yang
mampu membawa jiwanya untuk mendekat kepada Allah, bukan
orang lain.

Kemudian, implikasi dari prinsip ini ialah bahwa manusia


tidak lagi perlu kepada pembimbing keruhanian melainkan
dirinya sendiri setingkat dengan usahanya memahami ajaran
Kitab Suci yang terbuka itu. Mungkin ia memerlukan bantuan
dari seorang atau para sarjana (ulama), atau pemikir, atau
pembaharu, namun tidak kepada seorang atau para tokoh dengan
kekuasaan spiritual. Ini ditegaskan, misalnya, oleh A. Yusuf
Ali dalam tafsirnya uraiannya atas ayat "penutup (khatam)
pada Nabi:"

Jika sebuah dokumen telah distempel, ia telah lengkap, dan


tidak boleh ada tambahan. Nabi Besar Muhammad mengakhiri
garis panjang para rasul. Ajaran Tuhan tetap berlanjut, dan
akan tetap terus demikian, namun tidak pernah ada dan tidak
akan ada lagi Nabi sesudah Muhammad. Zaman akhir memerlukan
para pemikir dan pembaharu bukan Nabi-nabi. Ini bukanlah
perkara sewenang-wenang. Ia merupakan keputusan dengan penuh
pengetahuan dan kebijaksanaan: "sebab Allah mengetahui
sepenuhnya akan segala sesuatu." [l6]

Maka kesimpulannya ialah sungguh banyak implikasi positif,


baik sosial maupun keagamaan, dari ajaran bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. adalah penutup segala Nabi. Dengan
berakhirnya kemungkinan ada Nabi dan Kitab suci serta agama
sesudah Nabi Muhammad, al-Qur'an dan agama Islam, maka
manusia tinggal harus mengembangkan apa yang telah
diwariskan itu, dalam semangat persamaan hak dan kewajiban,
dan dengan penuh rasa tanggung jawab pribadi kepada Allah di
akhirat. Dan dengan begitu pula maka manusia terbebas dari
keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan
terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi. Jalan lurus
terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus
menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. Maka konsep Nabi
Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan
semangat ajaran Tauhid.

CATATAN
1. Lihat Muhammad Sayyid Qutb, Fi Dhilal al Qur'an, 8 jilid
(1386 H/1967 M), jil. 6, juz 22, hh. 30. Di situ masalah
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi disinggung
secara sangat minimal hanya dalam dua baris.

2. Lihat al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thaba'i,


al-Mizan fi Tafsir al Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assasat
al-A'lami li al-Mathbu'at, 1393 H/1979 M), jil. 16, h. 327.
Di situ hanya disebutkan dua Hadits yang tentang Nabi
Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi.

3. The claim of Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, (upon whom be


peace), is that God has raised him for the guidance and
direction of mankind; that he is the Messiah fortold in the
Traditions of our Holy Prophet in the Mahdi promised in his
Sayings; that the prophecies contained in the different
religious books about the advent of a divine messenger in
the latter days have also been fulfilled in his person; in
our time; that God has raised him for the advocacy and
promulgation of Islam in our time; that God has granted him
insight into the Holy Qur'an, revealed to him its inner-most
meaning and truth; that He has revealed to him the secrets
of a virtuous life. By his work, his message, and his
example, he has glorifled the Holy Prophet and demonstrated
the superriority of Islam over other religions." (Hazrat
Haji Mirza Bashiruddin Mahrud Ahmad, Invitation to
Ahmadiyyat [Lahore Ilmu Printing Press, 1961], h. 56).

4. The Book of Mormon is a volume of holy scripture


comparable to the Bible. It is a record of God's dealings
with the ancient inhabitants of the Americas and contains,
as does the Bible, the fullness of the everlasting gospel.

The books was written by many ancient prophets by the


spirit of prophecy and revelation. Their words, written on
gold paltes, were quoted and abridged by a prophet-historian
named Mormon...

The crowing event recorded in the Books of Mormon is the


personal ministry of the Lord Jesus Christ among the
Nephites soon after his resurrection. It puts forth the
doctrines of the gospel, outlines the plan of salvation, and
tells men what they must do to gain peace in this life and
eternal salvation in the life to come.

After Mormon completed his writings, he delivered the


account to his son Moroni, who added a few word of his own
and hid up the plates in the hill Cumorah. On September 21,
1823, the same Moroni, then a glorified, resurrected being,
appeared to the Propet Joseph Smith and instructed him
relative to the ancient record and its destined translation
into the English language.

In due cource the plates were delivered to Joseph Smith,


who translated them by the gift and power of God. The record
is now published in many languages as a new and additional
witness that Jesus Christ is the Son of the living God and
that all who will come into him and obey the laws and
ordinances of his gospel may be saved. (The Book of Mormon,
Another Testament of Jesus Christ [Salt Lake City, Utah,
Amerika Serikat: The Church of Jesus Christ of Latter-Day
Saints, 1981], "Introduction").

5. Having described briefly the claim of the Promised


Messiah, the Founder of the Ahmadiyya Movement, I wish to
enumerate the major criteria by which the truth of such a
claimant can be judged. When it is proved that a certain
person is divinely commissioned a Messenger of God, it
becomes incumbent upon everyone to accept his claim. (Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad, h. 57).

6. Concerning this record the Prophet Joseph Smith said: "I


told the brethren that the Book of Mormon was the most
correct of any book on earth, and the keystone of our
religion and a man would get nearer to God by abiding by its
precepts, than by any other books." (The Book of Mormon,
Introduction).

7. QS. al-Ahzab/33:40.

8. QS. al-Ahzab/33:6.

9. Muhammad Asad The Message of the Qur'an (London: E.J.


Brill, 1980), h. 647, catatan 50).

10. QS. al-Maidah/5:42-8.

11. Selanjutnya kami persilakan menelaah keterangan Muhammad


Asad yang cukup panjang lebar dan amat berguna, sbb:

The expression "every one of you" denotes the various


communities of which mankind is composed. The term syir'ah
(or syari'ah) signifies, literally, "the way to a watering
place" (from which men and animals derive the element
indipendsable to their life), and is used in the Qur'an to
denote a system of law necessary for a community's social
and spiritual welfare. The term minhaj, on the other hand,
denotes an "open road," usually in an asbstract sense: that
is, "a way of life." The term shir'ah and minhaj are more
restricted in their meaning than the term din, which
comprises not merely the laws relating to aparticular
religious but also the basic, unchanging spiritual truths
which, according to the Qur'an, have been preached by every
one of God's apostles, while the particular body of laws
(syir'ah or syari'ah) promulated through them, and the way
of life (minhaj) recommended by them, varied in accordance
with the exigencies of the time and of each community's
cultural development. This "unity in diversity" is frequency
stressed incorruptibility of its teachings as well as of the
fact that the Prophet Muhammad is "the seal of all prophet,"
i.e. the last of them -the Qur'an prepresent the culminating
point of all revelation and offers the final, perfect way to
spiritual fulfilment. This uniqueness of the Qur'anic
message does not, however, preclude all adherents of earlier
faiths from attaining to God's grace: for -as the Qur'an so
often points out- those among them who believe
uncompromisingly in the One God and the Day of Judgment
(i.e. in individual moral responsibility) and live
rightously "need have no fear, and neither shall they
grieve." (Asad, hh. 153-4, catatan 66).

12. QS. al-A'raf/7:158.


13. Ikuti keterangan menarik dari Muhammad Asad berikut:

This verse, placed paranthetically in the midst of the


story of Moses and the children of Israel, is meant to
elucidate the preceding passage. Each of the earlier
prophets was sent to his, and only his, community: thus, the
Old Testament addresses it self only to the children of
Israel; and even Jesus, whose message had a wider bearing,
speaks of himself as "sent only unto the lost sheep of the
house of Israel" (Matthew xv. 24). In contrast, the message
of the Qur'an is universal -that is, addressed to mankind as
a whole-and is neither time- bound nor cenfined to any
particular cultural environment. It is for this reason that
Muhammad, through whom this message was revealed, is
described in the Qur'an (21:107) as an evidence of "(God's)
grace toward as the world" (i.e. toward all mankind), and as
"the Seal of all Prophets' (33:40) -in other words, the last
of them. (Asad, h. 227, catatan 126).

14. QS. Al-Anbiya/21:107-9.

15. The universality of the Qur'anic revelation arises from


there factors: fisrtly, its appeal to all mankind
irrespective of descent, race or cultural environment;
secondly, the fact that it appeals exclusively to man's
reason and, hence, does not postulate any dogma that could
be accepted on the basis of blind faith alone; and finally,
the fact that -contrary to all other sacred sciptures know
to history- the Qur'an has reamind entirety unchange in its
wording ever since its revelation fourteen centuries ago and
will, because it is so widely recorded forever remain so in
accordance with the divine promise, "it is We who shall
trully guard it (from all corruption)" ... It is by virtue
of these three factors that the Qur'an represents the final
stage of all divine revelation, and that the Prophet through
whom it has been conveyed to mankind is stated to have been
the last (in Qur'anic terminology, "the seal") of all
prophets. (Asad, h. 502, catatan 102).

16. When a document is sealed, it is complete, and there can


be no further addition. The Holy Prophet Muhammad closed the
long line of Apostles. God's teaching is and will be
continous, but there has been and will be no Prophet after
Muhammad. The later ages will want thinkers and reformers,
not Prophets. This is not an arbitrary matter. It is a
decree full of knowledge and wisdom: "for God has full
knowledge of all things." (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an,
[Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 1119, n. 3731).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team
Ibadah

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.30. SHALAT (1/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits


Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]

Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang


pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.

Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)

Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,


dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]

Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat


al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan


dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]

Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan


hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]

Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya


menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.

Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah


satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]

Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara


hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).

Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu


akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).

Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya


baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.

Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri


kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.

Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"


tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.

Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]

Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban


"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.30. SHALAT (2/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga


mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]

Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,


yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.

MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)

Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya


sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.

Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat


logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.

Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak


dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.

Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi


luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.

Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf


menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.

Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan


keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.

Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban


yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,


pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]

Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama


dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:

Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya


Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]

Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk


neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).

Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain


menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.

CATATAN

1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu


mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS.
al-Mu'minun 23:1-2).

2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf,


Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li
al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9.

3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24

5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi


dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan
(yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan
sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari
praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS.
al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana
pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia
"menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83).

6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa


perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan
serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi
Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari
"wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama
dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min
al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah).
(Lihat QS. al-An'am/6:161-162).

7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254.

8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak


dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan
Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi
saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab,
"Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau."

9. QS. al-Hadid 57:4

10. QS. Thaha 20:14.

11. QS. al-Baqarah/2:156.

12. QS. al-A'raf/7:65.

13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah


agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran
daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali
'Imran/3:137.

14. QS. al-Nisa'/4:103.

15. QS. al-Baqarah/2:238.

16. QS. al-Insyirah/94:7-8.

17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan


dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam,
yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang
kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode).

18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97.

19. QS. al-Ikhlash/112:4.

20. QS. al-Syura/42:11.


21. QS. al-An'am/6: 102-3.

22. QS. al-Ankabut/29:45.

23. QS. al-Ma'un/107:1-~.

24. QS. al-Ankabut/29:45.

25. QS. al-Ma'arij/70:19-22.

26. QS. al-Ma'un/107:

27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin


(Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968
M). h. 55-57.

28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (1/4)

Di antara perbendaharaan kata dalam agama Islam ialah iman,


Islam dan ihsan. Berdasarkan sebuah hadits yang terkenal,
ketiga istilah itu memberi umat Islam (Sunni) ide tentang
Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Dalam
penglihatan itu terkesan adanya semacam kompartementalisasi
antara pengertian masing-masing istilah itu, seolah-olah
setiap satu dari ketiga noktah itu dapat dipahami secara
tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.

Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam


mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-Islam) tidak absah
tanpa iman (al-iman), dan iman tidak sempurna tanpa ihsan
(al-ihsan). Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam. Dalam telaah
lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga
istilah itu terkait satu dengan yang lain, bahkan tumpang
tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung
makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam dan
ihsan, dalam Islam terdapat iman dan ihsan dan dalam ihsan
terdapat iman dan Islam. Dari sudut pengertian inilah kita
melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.

Trilogi itu telah mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi


budaya Islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami
oleh, dan pinjam dari, gaya arsitektur kuil Hindu, mengenal
adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga. Seni arsitektur
itu sering ditafsirkan kembali sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat
dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya) dan
tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan, selain
juga ada tafsir kesejajarannya dengan syari'at, thariqat dan
ma'rifat. Dalam bahasa simbolisme, interpretasi itu hanya
berarti penguatan pada apa yang secara laten telah ada dalam
masyarakat.

Berikut ini kita akan mencoba, berdasarkan pembahasan para


ulama, apa pengertian ketiga istilah itu dan bagaimana
wujudnya dalam hidup keagamaan seorang pemeluk Islam.
Diharapkan bahwa dengan memahami lebih baik pengertian
istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap
makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.

Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas


- pertama Islam, kemudian iman dan akhirnya ihsan - dilakukan
tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori yang
terpisah - sebagaimana sudah diisyaratkan - melainkan karena
keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan di
akhir pembahasan ini kita akan mencoba melihat relevansi
nilai-nilai keagamaan dari iman, Islam dan ihsan itu bagi
hidup modern, dengan mengikuti pembahasan oleh seorang ahli
psikologi yang sekaligus seorang pemeluk Islam yang percaya
pada agamanya dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan Islam.

MAKNA DASAR ISLAM

Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke


dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum
masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks
firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan
"Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam,
iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam
ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai
dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah, "Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas
dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir
35:32). Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan
Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada
ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat
permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran
itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi
"pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang
muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat
ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi


nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah
proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu
yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam
Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini
sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap
itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan
diterima Tuhan: "Sesungguhuya agama bagi Allah ialah sikap
pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19). Maka selain
dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam,
perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara
lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu
"pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan
karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah dasar
pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar adalah
agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap
pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan
dari firman.

Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut


Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik,
kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada
mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan
kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami
dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah
kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun"


dalam firman itu lebih tepat diartikan menurut makna
generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi
seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun
dalam makna asalnya juga menjadi kualifikasi para pemeluk
agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga
diisyaratkan dalam firman,

Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal


telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada
di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa,
dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami
percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada
kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada
Musa dan 'Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain
sikap pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di
akkirat termasuk orang-orang yang merugi. (QS. 'Alu-'lmran
3:85).

Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah


(muslimun) itu mengatakan yang dimaksud ialah "mereka dari
kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak
mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala
sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar
al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1, hal. 380). Sedangkan
al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai
"mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan
mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid)
dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf
[Teheran: Intisharat-e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442). Dari
berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa
sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai
"muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak
bakal diterima oleh Tuhan.

-------------------------------------------- (bersambung 2/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (2/4)

Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna


"al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan
bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah
sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan
dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti
difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan
seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki)
(QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik,
dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:
Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali
orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami
telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
"Berserah dirilah engkau!', lalu ia menjawab, "Aku berserah
diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub. "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah
memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai
kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah
-muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).

Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi


petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama
yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia
termasuk orang-orang musyrik." Katakan juga (hai Muhammad),
"Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku
adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari
kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).

Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah


dirilah kamu semua (aslimu) kepada-Nya sebelum tiba kepada
kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. al-Zumar
39:54).

Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn


Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr
bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab
al-Jadid, 1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian
itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa semua
agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah
diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrat dan
iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as.
ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal
seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang
tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah
kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67). Demikian agama
seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub
atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab
Suci, demikian:

Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan


ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu
sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua
pasrah (muslim) (QS al-Baqarah 2:133).

Kemudian tentang Nabi Musa as. digambarkan melalui ucapan


pertobatan Fir'aun bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar
manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu, agamanya
pun sebuah agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat
setelah melihat kebenaran, "Aku percaya bahwa tiada Tuhan
kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepadaNya)" (QS. Yunus
90:10). Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan
para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya
pun adalah sebuah agama Islam, dalam arti agama yang
mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:
Maka ketika 'Isa merasakan adanya sikap ingkar dari mereka
(kaumnya), ia berkata, "Siapa yang akan menjadi pendukungku
kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata,
"Kamilah para pendukung (menuju) Allah, kami beriman kepada
Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
pasrah -muslimun- (kepada-Nya). (QS. 'Ali 'Imran 3:52).

Karena semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan


sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak ada agama atau sikap
keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada
Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya bukanlah
suatu proper name untuk sebuah agama tertentu (para Nabi,
Rasul dan umat terdahulu yang digambarkan dalam Kitab Suci
sebagai orang-orang yang pasrah kepada Tuhan itu pun tidak
menggunakan lafal harfiah "Islam" atau pun "muslim") maka
orang pemeluk Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih
tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan
kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan terserah diri
kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan itu agama
dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal
termasuk mereka yang merugi. Inilah yang sebenarnya dimaksud
oleh firman Allah, "Sesungguhnya agama bagi Allah ialah
al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS. 'Ali
'Imran 3:19), serta firman Allah: "Dan barangsiapa menganut
selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka
ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka
yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran 3:85). Sudah terang bahwa
Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman, karena ia
dapat tumbuh hanya kalau seseorang memiliki rasa percaya
kepada Allah yang tulus dan penuh.

PENGERTIAN DASAR IMAN

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap


percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing
rukun iman yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.

Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup


hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau
eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih
dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan
bahaya di jalanan:

[Tulisan Arab]

Juga dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "Demi


Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu
orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan
buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

[Tulisan Arab]

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri
petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"

[Tulisan Arab]

Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga


dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang
berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan
orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

[Tulisan Arab]

Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu


ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan
baik atau budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).

Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti


sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi
tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah


Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam
kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa." (QS. 2:177).

Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan
perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada Tuhan (al-din) (Lihat Ibn Taimiyah, al-Iman, hal.
162-153).

PENGERTIAN DASAR IHSAN

Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan


ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihat engkau." Maka ihsan adalah ajaran
tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam arti sesungguhnya. Karena
itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia tegaskan bahwa makna
ihsan lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman
lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih
khusus daripada pelaku Islam. Sebab dalam Ihsan sudah
terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).

Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara harfiah berarti


"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang yang ber-iman disebut mu'min dan yang ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling
baik ahlaqnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
[tulisan Arab]. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Allah
atau Islam, orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:

-------------------------------------------- (bersambung 3/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (3/4)

Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama
Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an) (QS.
al-Nisa: 4:125).

Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq


mulia sebagai pucak keagamaan dapat dipahami juga dari
beberapa hadits terkenal seperti "Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi"
[tulisan Arab] dan sabda Beliau lagi bahwa yang paling
memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
keluhuran budi pekerti."

[Tulisan Arab]

Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna-makna di


atas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami
oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal
pandangan hidup kita (iman dan taqwa --habl min al-Lah,
dilambangkan oleh takbir pertama atau takbirat al-Ihram dalam
shalat) selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal
pandangan hidup kita (amal salih, akhlaq mulia, habl min
al-nas, dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir
shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan
pengertian umum tentang keagamaan. Maka sebenarnya di sini
hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam dan penegasan
sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.

Ihsan, Tasawuf dan Psikoterapi

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq mulia kita melihat


hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Kitab Futuhat
al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang bakal menjalankan thariqat: 1) qashd shahih,
artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai
tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah,
yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq),
dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan
Allah Ta'ala, bukan untuk meraih keramat atau pangkat, juga
bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin
dipuji orang lain dan seterusnya; 2) shidq sharif, artinya
kejujuran yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan
memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sirr
al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi
atau hadlrat al-ilahiyyah; 3) adab murdliyyah, artinya,
tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti
thariqat harus menjalankan tatakrama yang dibenarkan ajaran
agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih
rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih
tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan
tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena
kepentingan diri sendiri; 4) akwal zakiyyah artinya, tingkah
laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut
tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan
syari'at Nabi Muhammad saw.; 5) hifz al-hurmah, artinya,
menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat
harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun
mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas
sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang
lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
6) husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus
mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama
saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah swt. dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a'dzham
(tujuan agung) mengikuti thariqat; 7) raf' al-himmah, artinya,
mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat
tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena
hendak mencapai ma'rifat khashshah (ma'rifat atau pengetahuan
khusus atau istimewa) tentang Allah swt.; 8) nufudz
al-'azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa
orang yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan
tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi
meraih ma'rifat khashshah tentang Allah Ta'ala, dan bila
melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan lestari
sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Durrar
al-Muntatshirah fi al-Masa'il al-Tis' al'Asyarah (tanpa tempat
penerbitan, 1359 H/1940 M, hal. 16-17). KH. Hasyim Asy'ari
juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan thariqat ialah
mempertinggi tatakrama, abad atau akhlaq. Ia mengutip sebuah
syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:
[Tulisan Arab]

Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam segala


tingkah laku, dan itulah madzhabnya.

Dengan mengutip Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy'ari


mengetengahkan empat tatakrama yang seseorang tidak dapat
disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun
luasnya pengetahuan orang tersebut. Empat tatakrama atau
akhlaq itu ialah: 1) menjauhi semua orang yang bertindak
dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak
adil pada orang lain; 2) menghormati orang yang memusatkan
perhatiannya pada akhirat; 3) menolong kaum melarat; 4) selalu
melakukan shalat berjama'ah dengan orang banyak (ibid, hal.
17).

Kata K.H. Hasyim Asy'ari selanjutnya, "Telah berkata Imam Muhy


al-Din Ibn al'Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa
saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh telah
menggabungkan semua kebajikan, yaitu: 1) ta'zhim hurumat
al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
2) khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum
fakir-miskin; 3) wa l-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan
adil mengenai diri sendiri; 4) tark al-intishar la-ha,
artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena
kepentingan diri sendiri." (ibid, hal. 18).

Selanjutoya, KH. Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Suhrawardi,


menjelaskan bahwa jalan kaum sufi ialah niat untuk
membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu, serta untuk
melepaskan diri dari berbagai bentuk 'ujub, takabbur, riya'
dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka
pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya,
serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti
ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan
percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada
setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan
seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma'rifat dari Allah
dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa menurut banyak ulama, tasawuf


mengandung berbagai hakikat dan keadaan tertentu yang membahas
segi-segi kelakuan dan akhlaq para pengamalnya. Ada kalangan
yang mengatakan bahwa seorang sufi ialah orang yang bersih
(shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran, dan yang
baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan. Kemudian
mereka lanjutkan kesufian itu mencapai makna orang yang
berkata benar (al-siddiq), dan semulia-mulia manusia setelah
para nabi ialah orang-orang yang berkata benar itu, seperti
difirmankan Allah, "Mereka itulah orang-orang yang diberikan
nikmat kebahagiaan oleh Allah, yang terdiri dari para Nabi,
orang-orang yang berkata benar, para syuhada, dan orang-orang
salih. Sungguh baik mereka itu dalam perkawanan" (QS. al-Nisa'
4:69). Karena itu, bagi mereka sesudah para nabi tidak ada
yang lebih mulia daripada kaum sufi. Namun sesungguhnya kaum
sufi termasuk jenis tertentu kelompok orang-orang yang benar,
yaitu orang yang benar dalam zuhud atau asketisme dan ibadat
menurut cara yang mereka ijtihadkan. Jadi orang sufi adalah
al-shiddzq dalam arti di kalangan para pengamal zuhud dan
ibadat itu, sebagaimana juga adanya al-shiddiqu di kalangan
para ulama, al-shiddiq-u di kalangan para umara (pejabat), dan
seterusnya. Mereka belum tentu mencapai derajat al-shiddiq-u
mutlak, yang sempurna kualitas kebenarannya dalam berkata,
yang terdiri dari para sahabat Nabi, kaum Tabi'un dan kaum
pengikut Tabi'un itu [Ibn Taimiyah, al-Shufiyyah wa al-Furuqa,
(Cairo: al-Manar, 1348 H.), hal. 17-18].

Kesufian merupakan cabang keagamaan dalam Islam yang sering


kontroversial. Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik,
bahkan penyiksaan atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau
praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy'ari, seperti terbukti dari keterangan
di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun ia
dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam
amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang
ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy 'an Muqatha'at
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan
Nahdlatul Ulama, tt.).

Ibn Taimiyah melacaki sejarah munculnya kaum sufi dan paham


tasawuf itu dari orientasi keagamaan yang tumbuh di kota
Basrah, Irak, yang menunjukkan ciri-ciri kezuhudan yang
tinggi. Berbeda dengan para ulama kota Kuffah yang lebih
banyak mencurahkan perhatian pada bidang hukum dan
mengembangkan keahlian di bidang fiqh, para ulama kota Basrah
menghayati agama dalam spiritualisme yang pekat dan
menumbuhkan amalan-amalan guna mempertinggi pengalaman
keagamaan yang mendalam. Mereka dikenal sebagai para pengamal
ubudiah (al-'ubbad), para pengamal kezuhudan (al-zuhhad),
dengan titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama
Kuffah. Namun, menurut Ibn Taimiyah, kedua kelompok itu
sama-sama berhak memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja
masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
menurut ijtihad yang mereka lakukan.

Tapi, lanjut Ibn Taimiyah dalam penjelasannya, karena di


kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat,
maka masyarakat pun berselisih dalam menilai kaum sufi.
Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat bid'ah
dan menyimpang dari sunnah, dan banyak dikutip orang
pernyataan serupa itu dari kalangan para ulama yang sudah
dikenal. Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli
fiqh dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan
dalam penilaian positif mereka pada kaum sufi. Golongan ini
melihat kaum sufi sebagai makhluk paling utama dan paling
mulia setelah para Nabi. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa kedua
pandangan yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa
kaum sufi adalah orang-orang yang berijtihad dalam menaati
Allah, sebagai golongan lain yang taat kepada Allah juga
melakukan ijtihad. Maka di kalangan kaum sufi ada golongan
pemuka (al-sabiq) yang memperoleh kedekatan (al-muqarrab)
kepada Allah setingkat dengan ijtihadnya. Juga ada golongan
yang sedang-sedang saja (al-muqtashid), yang termasuk kelompok
ahl al-yamin ("kelompok kanan" seperti disebutkan QS.
al-Waqi'ah 56:38). Dan pada masing-masing golongan itu ada
yang melakukan ijtihad lalu membuat kesalahan, ada yang
berdosa dan kemudian bertobat atau tidak bertobat. Dari
kalangan mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang
yang dzalim dan membangkang pada Tuhannya (ibid, hal. 19-20).
"Dan", tandas Ibn Taimiyah, "barang siapa menganggap tercela,
terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam
usaha taat kepada Allah namun pada membuat kesalahan dalam
beberapa perkara, maka ia keliru, sesat dan pembuat bid'ah
(ibid, hal. 16). Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah,
adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan bahwa "Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan
dalam Kitab, sunnah dan ijma" yaitu bahwa seorang yang
beriman, berdasarkan janji Allah dan kemurahan-Nya, berhak
atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya dan berhak atas siksa
untuk kejahatan-kejahatannya, dan bahwa dalam diri satu orang
tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal mendapat pahala dan
sesuatu (kejahatan) yang bakal mendapat siksa, juga ada
sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana
juga ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak
menyenangkan, dan begitu seterusnya." (ibid, hal. 17).

-------------------------------------------- (bersambung 4/4)


Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

Artikel Yayasan Paramadina


Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid (4/4)

Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf,


kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada
analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan,
kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh.
Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang
paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling
sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya
yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang
dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia
terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa
hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.

Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang


paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah
dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang
dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh 'ilmu
ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh
ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi
Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang
akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati
(khidlr artinya hijau). Dalam kisah itu dituturkan bagaimana
seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan
memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua
yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak
perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang
sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir
roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah
pada mereka berdua. Dan barulah Musa paham akan tingkah laku
aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka
hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah
justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari
bahaya perampok yang memilih perahu-perahu --yang nampak baik
dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa
anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara
orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan
yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan
anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak
roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang
kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan
selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya
rendah itu.

Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup


terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan
sering justru dianggap sebaga bagian dari kualtias tokoh
tersebut sebagai "orang suci" atau kekasih Allah (wali). Namun
justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu,
menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali
yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh
agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu
bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti
dikatakan oleh penulis kitab Nata'ij al-Afkar sebagaimana
dikutip ole KH. Hasyim Asyari:

Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan,


bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia
akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan
dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat
sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan
tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim
Asy'ari, Al- Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa'il
al-Tis' al-'Asyarah," dalam op cit, hal. 8-9)

Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks


ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap
Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan
yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat
azhab-Nya:

Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang


Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya
azabku adalah azab yang amat pedih (Q.S. al-Hijr 15:49-50).

Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak
mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai
Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang
azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi,
sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang
justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu
menangkapnya. Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat
paradoks-paradoks, den mencoba memperoleh cita rasa (menurut
istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik
paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang
mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.
Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH. Hasyim
Asy'ari bahwa tauhid mengenal tigajenjang: pertama penilaian
bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu den
teori) bahwa Allah itu satu adanya; den ketiga, timbulnya cita
rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq). Yang pertama,
adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum
eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum
sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang memiliki pengalaman
tentang hakikat. (Hasyim Asy'ari, "Al-Durrar," dalam op. cit.,
hal. 10-11).

PENUTUP

Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara


intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah
(Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah:
"Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan
(yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu
renungkan." (Q.S. al-Dzariyat 51:49).

Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu


berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi,
dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang
tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami). (Q.S.
Yasin 36:36)

Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi saw.


"Berakhlaq kamu dengan akhlaq Allah." Berkenaan dengan masalah
hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan
antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita
rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari
paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di
belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap
tingkah laku gurunya, al-Khidlr.

Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini


adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan
mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk "memberontak"
akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini
dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa,
seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam
teknik-teknik penyembuhan psikoterapis. Dikatakan oleh Prof.
Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen
Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat
kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G.
Jung:

The use paradox is not explicitly described as a technique in


jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has
been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve
to bring out a person from complacency of accepting either I
or concepts so that a different and higher state of
consciousness is attained immediately.

With the sufi, the use of paradox is not restricted to


technique but is a genuine expression of his state of
consciousness. By example and action rather than by preaching
and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his
follower the paradoxical naure of truth (Prof. Dr. Muhammad
Shaalan, "Some Parallel between Sufi Practices and the path of
individucation", dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al.,
ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale,
Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.

(Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai


suatu teknik -penyembahan- dalam terapi care Jung, tetapi
dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi
sebuah name dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna
untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima
konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat
kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.

Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya


sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat
kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan den tindakan, dan
bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara
langsung menyajikan intuisi pengikutnya sifat paradoksal dari
kebenaran).

Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil


sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: "Sesungguhnya
Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan" (QS. al-Nahl 16:90)

Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan


keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam
kerangka pandangan yang berkeseimbangan ('adl sendiri artinya
seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa
berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya.
Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan
untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.
Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa
sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan
pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini
juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada
kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan
menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung
atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan akan
membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Please direct any suggestion to Media Team

You might also like