You are on page 1of 19

1

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH SERTA IMPLEMENTASINYA


DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh : M. Irfan Syahroni

A. Pendahuluan
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam
perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan
musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan
sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip
pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam,
kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah
dan musyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem
bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi1.
Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis
riba2 (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi
hasil (profit and loss sharing).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba
antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar
individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia;
kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau
mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di
atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk
penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan
kepada saudaranya yang membutuhkan3.
Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud
mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama,
riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai
imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari
keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba
menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat,
perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk
2

mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan


dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-
Qur'an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya4.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah
masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan5. Keadilan dalam konteks
ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan
imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan,
dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang
dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang
ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena
para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam
praktek, baik perbankan syariah6 maupun perbankan konvensional
berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi
tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam
kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur;
kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal
untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat
sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan7.
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan
konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya
(equity financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem
bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem
bagi hasil.
Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan
istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang
direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka,
dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah dan
musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
3

B. Mudharabah dan Implementasinya dalam Perbankan Syariah


1. Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata
dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi, mewajibkan,
mengambil bagian, berpartisipasi8. Dalam kaitannya dengan pengertian
mudharabah maka yang lebih cocok adalah mengambil bagian dan
berpartisipasi.
Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya mengutip
beberapa bendapat saja antara lain:
a. Menurut Sayyid Sabiq "Mudharabah adalah akad antara dua pihak
dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai
modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba
dibagi dua sesuai dengan kesepakatan".9
b. Antonio mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut:
"Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shabib al-mal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan keuntungan usaha
secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola".10
c. Lewis dan Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah
perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak,
pemilik modal (shahib al-mal atau rab al-mal), mempercayakan
sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk
menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Konsekuensinya para
pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari
keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai11.
d. Adiwarman mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa
"Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah
satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana satu pihak
4

berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah


modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana
usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung". 12
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mudharabah
adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal
(shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan
yang tertuang di dalam kontrak, dimana bila usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha
(profit and lost sharing).

2. Landasan Syariah Mudharabah


Mudharabah hukumnya adalah boleh sesuai dengan ijma'
(kesepakatan) ulama.13 Di dalam Al-Qur'an maupun hadis banyak
dijumpai ayat maupun hadis yang menganjurkan manusia untuk
menjalankan usaha. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat dan hadits
berkenaan dengan anjuran untuk melakukan usaha.

... «!$# È≅ôÒsù ⎯ÏΒ tβθäótGö6tƒ ÇÚö‘F{$# ’Îû tβθç/ÎôØtƒ tβρãyz#u™uρ ...
Artinya : "…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah…." (Q.S. al-Muzammil: 20)

... öΝà6În/§‘ ⎯ÏiΒ WξôÒsù (#θäótGö;s? βr& îy$oΨã_ öΝà6ø‹n=tã }§øŠs9

Artinya : "tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu…" (Q.S. al-Baqarah : 198)

‫ آﺎ ن ﺳﻴﺪﻧﺎ ا ﻟﻌﺒﺎ س ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ا ﻟﻤﻄﻠﺐ إ ذا‬: ‫روى ا ﺑﻦ ﻋﺒﺎ س رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ا ﻧﻪ ﻗﺎ ل‬


‫دﻓﻊ ا ﻟﻤﺎ ل ﻣﻀﺎ رﺑﺔ ا ﺷﺘﺮط ﻋﻠﻰ ﺻﺎ ﺣﺒﻪ أ ن ﻻ ﻳﺴﻠﻚ ﺑﻪ ﺑﺤﺮا وﻻ ﻳﻨﺰل ﺑﻪ وا دﻳﺎ وﻻ‬
5

‫ﻳﺸﺘﺮى ﺑﻪ دا ﺑﺔ ذا ت آﺒﺪ رﻃﺒﺔ ﻓﺈ ن ﻓﻌﻞ ذﻟﻚ ﺿﻤﻦ ﻓﺒﻠﻎ ﺷﺮﻃﻪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﺄﺟﺎ زﻩ‬

Artinya : "Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Sayyidina Abbas ibn Abd al-
Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara
mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau
membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Kemudian
hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau
membolehkannya." (H.R. Thabrani).

‫ ﻗﺎ ل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺛﻼ ث ﻓﻴﻬﻦ‬: ‫ﻋﻦ ﺻﺎ ﻟﺢ ﺻﻬﻴﺐ ﻋﻦ أ ﺑﻴﻪ ﻗﺎ ل‬


‫اﻟﺒﺮآﺔ ا ﻟﺒﻴﻊ إ ﻟﻰ أ ﺟﻞ وا ﻟﻤﻘﺎ رﺿﺔ وأ ﺧﻼ ط ا ﻟﺒُﺮ ﺑﺎ ﻟﺸﻌﻴﺮ ﻟﻠﺒﻴﺖ ﻻ ﻟﻠﺒﻴﻊ‬

Artinya : "Dari Shalih ibn Shuhaib bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,


'Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual."
(H.R. Ibn Majah).

3. Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah14. Berikut ini akan
dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk
kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib)
yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib
6

al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib


dalam mengelola modal dan usahanya.15
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi
dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib
al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.16

4. Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah


Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan
dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan
pada :
a. tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;
b. deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan
nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja
atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a. pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja
perdagangan dan jasa;
b. investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah,
dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal
(bank).17
7

5. Manfaat dan Resiko Mudharabah


Dalam mudharabah di samping terdapat keuntungan dari sistem
bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat resiko yang harus
ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka
kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama kerugian
itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha
(nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami
kerugian disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka
kerugian tersebut harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak
pemberi modal (bank).
Adapun manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabah ini antara
lain :
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat;
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan
pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah
mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan
nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena
keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip
bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah
bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam mudharabah, terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
8

a. side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank


bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
b. lalai dan kesalahan yang disengaja;
c. penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak
jujur.18
Dengan demikian, esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja
sama untuk mencapai profit (keuntungan) berdasarkan akumulasi dasar
dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua
komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam mudharabah. Pihak
investor menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan,
sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan
keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya.19
Secara umum, aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah
dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Skema Mudharabah20

PERJANJIAN
BAGI HASIL

Nasabah KEAHLIAN/ MODAL Bank


(Mudharib) KETERAMPILAN 100% (Shahib al-Mal)

PROYEK/USAHA
Nisbah Nisbah
X% Y%
PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN

MODAL Pengambilan
Modal Pokok
9

C. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah


1. Definisi Musyarakah
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang
diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui.21
Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan22.
Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai
sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan
modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak
dan tanggung jawab yang sama.23

2. Landasan Hukum Syariah Musyarakah

(#θè=Ïϑtãuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ωÎ) CÙ÷èt/ 4’n?tã öΝåκÝÕ÷èt/ ‘Éóö6u‹s9 Ï™!$sÜn=èƒø:$# z⎯ÏiΒ #ZÏVx. ¨βÎ)uρ ...

ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$#

Artinya : "… dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang


berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh". (Q.S. Shad: 24)

‫ﻋﻦ أ ﺑﻲ هﺮﻳﺮة رﻓﻌﻪ ﻗﺎ ل إ ن اﷲ ﻳﻘﻮل أ ﻧﺎ ﺛﺎ ﻟﺚ ا ﻟﺸﺮﻳﻜﻴﻦ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺨﻦ أ ﺣﺪهﻤﺎ ﺻﺎﺣﺒﻪ‬

Artinya : "Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya


Allah berfirman, 'Aku pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.'"
(H.R. Abu Dawud)
10

Kedua ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam


mengakui tentang eksistensi perkongsian serta membolehkannya selama
salah satu pihak yang bersekutu tetap memegang teguh kesepakatan
yang telah dibuat dan tidak berkhianat.

3. Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu: musyarakah kepemilikan dan
musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan terjadi
karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan
suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan
dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nayata dan berbagi pula
dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
Musayarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua
orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah. Merekapun sepakat membagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi : al-'inan, al-mufawwadhah, al-
a'mal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda berbeda
pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis musyarakah
atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk
kategori musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah akad
(kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah
tidak termasuk sebagai musyarakah.24 Berikut ini akan jelaskan mengenai
pembagian musyarakah akad tersebut.
Syirkah al-'inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana
setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam keuntungan
dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak. Akan tetapi,
porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang
atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
11

dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap pihak membagi keuntungan
dan kerugian secara sama. Dalam jenis syirkah inisyarat utamanya adalah
kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak.
Syirkah al-a'mal atau kadang disebut juga dengan musyarakah
abdan atau sana'i adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan itu.
Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka
membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang
tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan
kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh
setiap mitra. Jenis syrirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian
secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, sehingga syirkah ini biasa
disebut dengan musyarakah piutang.25
Adapun jenis syirkah al-mudharabah sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya, sehingga didak perlu lagi dipaparkan di sini.

4. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah


Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai
pada pembiayaan-pembiayaan seperti:

a. Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b. Modal Ventura
12

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan


investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam
skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu
tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian
sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

5. Manfaat dan Resiko Musyarakah


Dalam musyarakah terdapat manfaat dan resiko yang harus
ditanggung bersama antara kedua belah pihak yang melakukan akad
sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Manfaat yang
diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :
a. Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam
jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan
pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah
mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan
nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagi.
e. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip
bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah
bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
13

a. side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank


bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
b. lalai dan kesalahan yang disengaja;
c. penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak
jujur.26
Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan
mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian
(kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang
disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan
musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh
dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal
tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain
hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi
hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib
selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut
andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak
dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang
diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan
dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila
usaha merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian
tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing
contract27.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka implementasi musyarakah
dalam perbankan syariah lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai
berikut.
Gambar 2. Skema Musyarakah28
14

Nasabah Bank Syariah


Parsial: Parsial
Asset Value Pembiayaan

PROYEK
USAHA

KEUNTUNGAN

Bagi hasil keuntungan


sesuai porsi kontribusi modal
(nisbah)

Dari pemaparan di atas, baik mengenai mudharabah maupun


musyarakah bahwasanya perbedaan bank syariah dengan bank
konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan
nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan
hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan
antara penyandang dana (shahib al-mal) dengan pengelola dana
(mudharib). Sedangkan pada bank konvensional, para pemilik dana
tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang
dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak
yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar
tingkat bunga tertentu.29
Melihat betapa urgent dan besarnya manfaat yang diberikan
dengan keberadaan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan
syariah, maka di akhir pembahasan ini penulis memaparkan beberapa
implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari perbankan
syariah, kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasi
mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-
keistimewaan tersebut antara lain :
15

a. Pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan utama perbankan syariah


adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam
kehidupan masyarakat.
b. Mencegah capital flight yang dapat memperlemah pertumbuhan
ekonomi.
c. Jaminan sosial dan pemerataan kekayaan,.
d. Prinsip operasional perbankan syariah menggunakan nilai-nilai
syariah, sehingga dapat menciptakan kemaslahatan masyarakat.
e. Dalam perbankan syariah terdapat dewan pengawas syariah (DPS)
untuk mengawasi keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.
f. Memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan bisnis.30

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah dan musyarakat
serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda
dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian
(kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang
disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis
perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and
loss sharing)
Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa
hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan
seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah
kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation);
kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak
pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang
dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen;
16

ketiga, dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal
akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib
selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil
yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang
dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen;
keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal
selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak
mudharib, sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama
menanggung kerugian tersebut.
17

Daftar Pustaka

Ali, Atabik, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,


Yogyakarta, Multi Karya Grafika, cet. VIII, 2003.
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta,
Gema Insani Press, 2001.
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, Jakarta,
Pustaka Alvabet, cet. IV, 2006.
Ilmi, Makhalul SM, Teori dan praktek Mikro Keuangan Syari'ah: Beberapa
Permasalahan dan Alternatif Solusi, Yogyakarta, UII Press, 2002.
Kara, Muslimin H., Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan
Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2005.
Karim, Adiwarman A., Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2007.
Lewis, Mervvyn, Latifa Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan
Prospek, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, cet. II, 2004.
Marthon, Said Sa'ad, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global,
Jakarta, Zikrul Hakim, penerjemah, Ahmad Ikhrom dan Dimyaudin,
2004.
Masyhuri (Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana,
2005.
Nasution, Mustafa Edwin (et.al.), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. II, 2007.
Parmudi, Muchammad, Sejarah dan Doktrin Bank Islam, Yogyakarta:
Kutub, 2005.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III,
Jakarta, Pustaka Amani, penerjemah, Imam Ghazali Said dan
Achmad Zaidun, cet. III, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid IV, Jakarta, Pena Pundi Aksara,
penerjemah: Nor Hasanuddin, 2006.
Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga
Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta, Paramadina, penerjemah, Arif
Maftuhin, cet. II, 2004.
_____________, Bank Islam dan Bunga: studi Kritis Larangan Riba dan
Interpretasi Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
penerjemah, Muhammad Ufuqil Muhibin, dkk., cet. II, 2004.
18

1
Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan
Prospek, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. II, hlm. 14.
2
Riba adalah tambahan tambahan atas modal, sedikit atau banyak (Lihat Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), penerjemah: Nor
Hasanuddin, hlm. 173). Pengharaman bunga (riba) dilakukan Al-Qur'an secara bertahap,
yaitu: pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba seolah-olah menolong orang-
orang yang memerlukannya (Q.S. ar-Rum: 39); kedua, riba digambarkan sebagai hal
yang buruk (Q.S. an-Nisa: 160-161); ketiga, larangan memakan riba yang berlipat ganda
(Q.S. Ali Imran: 130); dan keempat, larangan terhadap berbagai jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman (Q.S. al-Baqarah: 278-279).
3
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 175.
4
Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hlm. 61-62.
5
Konsep perbankan dalam Islam bersandar pada keadilan dan keharmonisan
antara realita dan keinginan manusia, artinya, perbankan Islam mencoba menjembatani
antara realita dan hasrat manusia untuk mendapatkan keuntungan namun dalam
kerangka yang adil. Lihat Masyhuri (Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2005), hlm. 138.
6
Perkembangan bank-bank dengan landasan syariah Islam di berbagai negara
dimulai pada dekade 1970-an. Di Indonesia, pendirian bank syariah diprakarsai oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui satu lokakarya yang menghasilkan Tim
Perbankan MUI. Tim ini kemudian menghasilkan pendirian Bank Muamalat Indonesia
pada 1 November 1991. Namun, Bank Muamalat mulai resmi beroperasi pada 1 Mei
1992 dengan modal awal sekitar Rp 106 miliar. Lihat Mustafa Edwin Nasution (et.al.),
Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007),
cet. II, hlm. 294. Lihat pula Muchammad Parmudi, Sejarah dan Doktrin Bank Islam,
(Yogyakarta: Kutub, 2005), hlm. 55-59.
7
Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 80.
8
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. VIII, hlm. 1205-1206.
9
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 218.Lihat pula Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah:
Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004),
penerjemah, Arif Maftuhin, cet. II, hlm. 77.
10
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hlm. 95. Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan oleh Ilmi,
Lihat Makhalul Ilmi SM, Teori dan praktek Mikro Keuangan Syari'ah: Beberapa
Permasalahan dan Alternatif Solusi, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 32; dan Abdullah
Saeed, Bank Islam dan Bunga: studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) penerjemah, Muhammad Ufuqil Muhibin, dkk., cet.
II, hlm. 91.
11
Mervvyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hlm. 66.
12
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2007), hlm. 204-205.
13
Sayyid Sabiq, loc.cit.
14
Muhammad Syafi'i Antonio, op.cit., hlm. 97.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 97-98.
19
Abdullah Saeed, Bank Islam…op.cit., hlm. 97-98.
20
Muhammad Syafi'i Antonio, loc.cit.
21
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, op.cit., hlm. 1110.
19

22
Muhammad Syafi'I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143.
23
Lewis dan Algaoud, op.cit., hlm. 69.
24
Ibid., hlm. 91-92.
25
Ibid., hlm. 92-93.
26
Ibid., hlm. 93-94. Lihat pula Mustafa Edwin Nasution (et.al.), op.cit., hlm. 296.
27
Makhalul Ilmi SM, op.cit., hlm. 42 dan Muhammad Parmudi, op.cit., hlm. 67-69.
28
Muhammad Syafi'i Antonio, loc.cit.
29
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2006), cet. IV, hlm. 46.
30
Said Sa'ad Marthon, ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004), penerjemah, Ahmad Ikhrom dan Dimyaudin, hlm. 134-135.

You might also like