You are on page 1of 30

PENGALIHAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR DENGAN STUDI KASUS

PT. WANAWISATA ALAM HAYATI

MAKALAH

Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah

Hukum Agraria

KELOMPOK VIII:

Rio Steva Christyardo 0910611037

Hari Pamungkas 0910611044

Sandy Muslim 0910611047

Hery Purnomo 0910611052

Alif Bam Al Ikhlas 0910611054

Strata Satu Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”


JAKARTA
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari makalah ini adalah
”Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar Dengan Studi Kasus PT. Wanawisata Alam
Hayati”. Penyusunan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian
dalam mata kuliah Hukum Agraria semester genap di Universitas Pembangunan
Nasional ”Veteran” Jakarta.

Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penyusun mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam
pembuatan makalah ini.
2. Hj. Devi Kantini Rolaswati, S.H, M.Kn, selaku dosen Hukum Agraria.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah
ini, yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca. Namun, makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat
diperlukannya kritik dan saran yang dapat membangun makalah ini sehingga menjadi
lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas
segala kesalahan yang mungkin ada didalam makalah ini.

Jakarta, Mei 2011

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan...................................................................................... 4

1.4. Metode dan Teknik Penulisan.................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan

2.1.1 Hak Penguasaan Atas Tanah........................................................ 7

2.1.2. Macam Hak Penguasaan Atas Tanah.......................................... 10

2.2. Fungsi Sosial Tanah................................................................................. 12

2.3. Tinjauan Umum Mengenai Tanah Terlantar............................................ 12

2.3.1. Menurut UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)........................................ 13

2.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996…………………….14

2.3.3. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010………………………. 16

2.4. Sistematika Penetapan Tanah Terlantar…………………………………. 17

2.5. Akibat Hukum Tanah Yang Diterlantarkan………………………………. 21


BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 24

Daftar Pustaka................................................................................................................ 28

Lampiran......................................................................................................................... 29
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Munculnya kasus dan sengketa tanah banyak yang berawal dari tanah
terlantar. Disisi lain pemerintah sulit melakukan kebijakan peralihan tanah
terlantar menjadi tanah Negara,karena pelaku tanah terlantar umumnya orang
yang bermodal besar, akibatnya.bidang tanah terlantar terus terjadi,sehingga
menyebabkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah.

Pada akhirnya menambah problematika tanah sebagai kebutuhan pokok


manusia,padahal prinsip fungsi social, mewajibkan setiap individu atau badan
hukum wajib memelihara tanah,menambah kesuburan,mencegah terjadinya
kerusakan,sehingga tanah bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat.akibatnya
banyak timbul slogan “banyak orang tidak memiliki tanah dan sedikit orang
menguasai banyak tanah”.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 telah menyatakan bahwa


“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Secara
filososfis pasal 1 ayat 3 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2)
pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hal itu berarti bahwa hubungan
antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung
didalamnya bukan hanya berhubungan dengan generasi saat ini saja, melainkan
juga untuk generasi yang akan datang.
Oleh karena itu sumber daya alam yang ada harus dijaga dan
dimanfaatkan sebaik mungkin, sebab jika suber daya tersebut dalam hal ini hak
atas tanah tidak dilaksanakan sesuai peruntukan dan tujuan dari hak atas tanah
tersebut. Maka hak atas tanah tersebut akan dicabut dan dikategorikan sebagai
tanah terlantar sehingga Negara akan mengambil alih hak atas tanah tersebut
menjadi tanah Negara. Secara yuridis ketentuan mengenai tanah terlantar
ternyata dalam pasal 27, 34, dan 40 UUPA . hal inilah yang melatarbelakangi
pemilihan judul “Pengalihan Hak Atas Tanah Terlantar dengan Studi Kasus PT
Wanawisata Alam Hayati”
1.2. Rumusan Masalah
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk
mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai
tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan
ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya
petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada
Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta
dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga
harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika
Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan
pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya,
dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang
bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan
sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu
orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah,
baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan
dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau
memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara
tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya, serta
mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang
bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya
maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan
dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika
mengenai peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa UUPA belum menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai
penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun
1998 Juncto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang belum juga
memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang
telah diberi hak penguasaan atas tanah kepada subyek hukum oleh pemerintah
sebagai regulator.
Dari uraian di atas, penyusun dapat mengemukakan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah tanah terlantar itu, dan bagaimanakah sebidang tanah dapat
dikategorikan sebagai tanah terlantar?
2. Bagaimanakah sistematika peralihan hak penguasaan atas tanah menjadi
tanah terlantar yang dikuasai langsung oleh negara?
1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyebab permasalahan terjadinya penelantaran tanah.

2. Untuk mengetahui cara peralihan hak penguasaan atas tanah terlantar.


3. Untuk memberi pemahaman terhadap hak penguasaan atas tanah beserta
batas-batas penetapan suatu hak penguasaan atas tanah.

1.4. Metode dan Teknik Penulisan

Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis
ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan
data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan
dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori
dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam
karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi
pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs –
situs yang ada di internet.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum Mengenai Penguasaan

Secara etimologi penguasaan berasal dari kata “kuasa” yang


berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kuatan
atau wewenang atas sesuatu untuk menentukan (memerintah, mewakili,
mengurus dan sebagainya) sesuatu itu, sedangkan “penguasaan” dapat
diartikan sebagai suatu proses, cara, perbuatan menguasai atau
kesanggupan untuk menggunakan sesuatu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Jadi menurut bahasa, penguasaan atas tanah dapat diartikan
sebagai proses, cara atau perbuatan untuk menguasai sebidang tanah
yang berisikan wewenang dan kesanggupan dalam menggunakan dan
memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup.
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti
fisik juga dalam arti yuridis. Dalam arti fisik secara nyata pemegang hak
menguasai tanah (tanah dalam penguasaan). Penguasaan dalam arti
yuridis, dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
member kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang menjadi haknya. Tetapi ada juga penguasaan yuridis
yang biarpun member kewenangan untuk menguasai tanah haknya
secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Dalam hal ini peran hukum menjadi sangat penting peranannya
untuk memutuskan, apakah penguasaan seseorang terhadap benda,
termasuk tanah, akan memperoleh perlindungan hukum atau tidak. Oleh
karena penguasaan bersifat faktual, maka ukuran untuk memberikan
perlindungan hukum pun bersifat faktual pula, nyata-nyata barang itu
berada di bawah kekuasaannya.
2.1.1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum
yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek
hukum (orang / badan hukum) terhadap obyek hukumnya, yaitu
tanah yang dikuasainya.
Dalam konteks penguasaan hak atas tanah, penguasaan
yang telah memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum
disebut sebagai penguasaan dalam arti yuridis, yaitu penguasaan
yang dilandasi hak, dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai
secara fisik tanah yang dihaki.
Penguasaan masyarakat terhadap tanah merupakan sebuah
keniscayaan, hal ini menjadi sangat penting artinya karena tanah
merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia. Dari segi
kehidupan masyarakat Indonesia yang sampai sekarang masih
bercorak agraris, maka hubungan antara manusia dengan tanah
sampai saat ini masih menunjukan adanya pertalian yang erat. Hal
ini dirasa wajar, karena selama hayatnya manusia mempunyai
hubungan dengan tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun
sebagai sumber makanan juga penghasilan untuk kelangsungan
hidupnya.

Tabel
Hak dan Kewajiban Penerima (Pemegang) Hak Atas Tanah dalam Pengelolaan
Pertanahan
Hak Kewajiban
1. Mempergunakan tanahnya sesuai 1. Hak atas tanah mempunyai fungsi
dengan jenis hak atas tanah yang sosial. Hak atas tanah tidak
dimilikinya, yaitu: dibenarkan apabila hanya
a) Hak milik : member kewenangan dipergunakan semata-mata untuk
kepada pemegang hak secara turun kepentingan pribadinya, apalagi kalau
temurun mempergunakan tanahnya hal tersebut merugikan masyarakat.
untuk berbagai jenis keperluan Penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan jangka waktu yang tidak haruslah disesuaikan dengan
terbatas; keadaan dan sifat haknya, sehingga
b) Hak Guna Usaha : memberi bermanfaat bagi kesejahteraan
kewenangan kepada pemegang hak masyarakat dan negara. Namun
untuk mempergunakan tanah negara demikian tidaklah berarti hak-hak
untuk keperluan pertanian, perikanan individu dari pemegang hak atas
dan peternakan dalam jangka waktu tanah menjadi berkurang, akan tetapi
tertentu; antara hak dan kewajiban haruslah
c) Hak Guna Bangunan : member terjadi keseimbangan dalam
kewenangan kepada pemegang hak pelaksanaannya.
untuk mendirikan bangunan di atas 2. Kewajiban pemeliharaan tanah.
tanah negara atau milik orang lain Kewajiban yang diatur dalam Pasal 15
selama jangka waktu tertentu; UUPA berkaitan dengan fungsi social
d) Hak Pakai : member kewenangan hak atas tanah, yaitu bahwa
kepada pemegang hak untuk berhubungan dengan fungsi
menggunakan atau memungut hasil sosialnya, adalah hal yang wajar
dari tanah negara atau tanah milik suatu bidang tanah harus dipelihara
orang lain dalam jangka waktu dengan sebaik-baiknya, agar
tertentu bertambah kesuburannya serta
e) Hak Pengelolaan : memberi dicegah kerusakannya. Kewajiban ini
kewenangan yang lebih luas kepada tidak hanya dibebankan kepada
pemegang daripada hak untuk pemiliknya, tetapi juga merupakan
mempergunakan sendiri tanah negara kewajiban bagi setiap orang, badan
yang dikuasainya atau hukum atau instansi yang mempunyai
memberikannya kepada pihak lain hubungan hukum dengan tanah.
atas dasar perjanjian antara 3. Pembatasan luas maksimum
pemegang hak dengan pihak ketiga penguasaan tanah. Penetapan
2. hak atau kewenangan untuk maksimum dan minimum yang dapat
mempergunakan tanah tersebut dimiliki oleh perorangan dalam satu
meliputi juga sebagian tubuh bumi keluarga telah ditetapkan dalam Pasal
yang ada di bawahnya dan sebagian 7 dan17 UUPA yang ditindaklanjuti
ruang yang ada di atasnya, dalam dengan UU No. 56 Prp. Tahun 1960
batas-batas tertentu dan sepanjang tentang Penetapan Luas Tanah
hal tersebut dipergunakan untuk Pertanian, sedangkan untuk badan
kegiatan yang berhubungan dengan hukum sementara mengacu pada
jenis hak atas tanah yang dimilikinya. Peraturan Menteri Negara
3. hak atau kewenangan lainnya: graria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun
a) mengalihkan hak atas tanahnya 1999 tentang Ijin Lokasi.
kepada pihak lain 4. Larangan penguasaan tanah
b) membebani tanahnya dengan hak secara absentee (guntai). Prinsip
tanggungan dasar yang melatarbelakangi
c) mewariskan tanahnya kepada ahli pengaturan norma larangan
warisnya penguasaan tanah secara absentee
d) membuat wasiat atas tanahnya adalah bahwa tanah pertanian wajib
e) menghibahkan tanahnya kepada dikerjakan sendiri oleh pemiliknya
pihak lain dan pengelolaan tanah pertanian
f) Mewakafkan tanahnya sesuai tersebut hanya dapat didayagunakan
ketentuan peraturan perundang- secara maksimal apabila dikerjakan
undangan. secara aktif oleh pemiliknya, sehingga
ditetapkan suatu ketentuan bahwa
pemilik tanah pertanian harus
bertempat tinggal di wilayah
kecamatan tempat lokasi tanah
tersebut berada.
5. Penggunaan tanah harus sesuai
dengan RT/RW. Pemberian hak atas
tanah pada dasarnya memberi
wewenang kepada pemegang hak
untuk mempergunakan tanahnya
Sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberiannya. Dalam
memberikan hak atas tanah kepada
perorangan atau badan hukum harus
sesuai dengan kondisi dan tata ruang
wilayah setempat, agar penggunaan
dan pemanfaatan suatu bidang tanah
tetap dilaksanakan dalam kerangka
menjaga keharmonisan dan
kelestarian lingkungan.
6. Larangan penelantaran tanah.
Dalam UUPA telah diatur secara
tegas bahwa pemegang hak atas
tanah yang menelantarkan tanahnya,
tanahnya hapus karena hukum dan
tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
Tindak lanjut dari ketentuan tersebut
telah dikeluarkan dengan terbitnya PP
No. 36 tahun 1998 dan Keputusan
Kepala BPN No. 24 tahun 2002 yang
mengatur langkah penertiban dan
pendayagunaantanah terlantar.

2.1.2. Macam Hak Penguasaan Atas Tanah


A. Hak penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan
khusus yaitu kewenangan yang bersifat public dan perdata,
yang meliputi antara lain :
• Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)
• Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)
• Hak Ulayat Pada Masyarakat Adat (pasal 3 UUPA)
B. Hak penguasaan atas tanah yang member kewenangan yang
bersifat umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam
penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis
hak atas tanah yang diberikan (hak perorangan atas tanah)
yang terdiri dari :
• Hak atas tanah orisinil atau primer, yaitu hak atas tanah
yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang
diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya melalui
permohonan hak. Hak atas tanah yang termasuk hak primer
adalah :
 Hak Milik
 Hak Guna Bangunan
 Hak Guna Usaha
 Hak Pakai
 Hak Pengelolaan
• Hak atas tanah derivative atau sekunder, yaitu hak atas
tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa
Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara
pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang
bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk sekunder
adalah :
 Hak Guna Bangunan
 Hak Pakai
 Hak Sewa
 Hak Usaha Bagi Hasil
 Hak Gadai
 Hak Menumpang
• Hak jaminan atas tanah, yaitu hak penguasaan atas tanah
yang tidak memberikan wewenang kepada pemegangnya
untuk menggunakan tanah yang dikuasainya tetapi
memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut
apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan
wanprestasi.

2.2. Fungsi Sosial Tanah


Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan
bahwa :
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut
menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau
tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Dalam arti
bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya
saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi
bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus meperhatikan
kepentingan masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat
daripada haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan
seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan
diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Tanah Terlantar
Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang
hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak
atas tanah sesuain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Pasal 1 ayat (5) PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar).
2.3.1. Menurut UUPA (UU NO.5 Tahun 1960)
Sebagaimana tercantum didalam fungsi UUPA yang
menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan
unifikasi serta kodifikasi teradap hukum tanah Nasional yang
didasarkan kepada hukum tanah adat yang bersifat komunalistik
religius, hal ini memiliki maksud bahwa penguasaan tanah bersama
memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan hak-hak
atas pribadi dengan memperhatikan unsur kebersamaan didalam
pelaksanaan daripada hak-hak individual tersebut. Hukum agrarian
nasional bercirikan pengelolaan sumber daya tanah untuk
kesejahteraan rakyat. Alasan filosofisnya bahwa tanah merupakan
karunia Tuhan kepada manusia untuk diusahakan dan dikelola
demi memenuhi kebutuhan hidupnya, agar tercapai kesejahteraan
dan kemakmuran bersama dengan berkeadilan.

Jadi dapat dikatakan bahwa adanya kewajiban bagi individu


untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai
dengan tujuan dari hukum Agraria Nasional itu. Berdasarkan
hakekat yang ada pada UUPA semua pihak sudah seharusnya
menjaga agar tanah tidak diterlantarkan. Beberapa ketentuan
UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada
Negara karena diterlantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan
Pasal 27
menyatakan, “Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
daripada haknya”.
2. Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan (Pasal 34e).
3. Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan (Pasal 40e).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menunjukkan


bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari
negara (HM; HGU; HGB) haknya hapus apabila diterlantarkan.
Artinya terdapat unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak
mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
dari pada haknya.
2.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah Negara
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah.
Dalam ketentuan Menimbang poin b Peraturan Pemerintah ini
menyatakan:
“bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan
penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya
tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan,
penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan
hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan
pada umumnya dapat terwujud”.
Dari ketentuan di atas pemerintah menegaskan kembali
bahwa penguasaan tanah berdasarkan pada HGU, HGB, Hak
Pakai dalam rangka pembangunan nasional, diarahkan untuk
terjaminnya atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Oleh karena itu Pasal-Pasal dalam PP No. 40 Tahun 1996 secara
rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB dan
Hak Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak,
diberikan oleh negara kepada subyek hak. Apabila kewajiban
pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena
diterlantarkan; Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan
penjelasan yang ada dalam UUPA. Demikian juga tentang
hapusnya HGB dalam Pasal 35e yang dinyatakan bahwa Hak
Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan. Untuk pemberian
Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya Hak
Pakai. Dalam Pasal 55e dinyatakan bahwa, Hak Pakai hapus
karena diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA.
Dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya
hak atas tanah (HGU, HGB, Hak Pakai) dapat disimpulkan bahwa
PP No. 40 Tahun 1996 menggunakan istilah diterlantarkan,
pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA
tentang hapusnya HM, HGU, HGB. Sedangkan Hak Pakai tidak
diatur adanya tanah diterlantarkan Hal yang perlu diperhatikan
selanjutnya adalah ketentuan Pasal 14 Ayat (3), Pasal 35 Ayat (2)
PP No. 40 Tahun 1996 yang mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai hapusnya HGB sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
diatur dengan Keputusan Presiden”.
2.3.3. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Berkaitan dengan tanah – tanah yang tidak difungsikan,


tidak diolah, tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau dasar penguasaannya,
maka Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar (“PP Tanah Terlantar”). Peraturan ini diundangkan
di Jakarta pada tanggal 22 Januari 2010 mulai berlaku pada
tanggal diundangkannya. Maksud dari dikeluarkannya PP ini
adalah untuk memaksimalkan penggunaan tanah dan menjadi
acuan untuk penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar.

Obyek penertiban dari tanah terlantar meliputi tanah yang


sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya
atau sifat serta tujuan dari pemberian hak atau dasar
penguasaannya. (pasal 2 ) dengan ditetapkan ketentuan
pengecualian bahwa tidak termasuk sebagai obyek penertiban
tanah terlantar adalah (pasal 3) :

1. Tanah Hak Milik atau HGU yang secara tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya.
2. Tanah yang dikuasai pemerintah, sudah berstatus maupun tidak
berstatus milik Negara atau daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya.

Tanah Hak Milik atau HGU yang secara tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya. Tanah yang dikuasai pemerintah, sudah berstatus maupun
tidak berstatus milik Negara atau daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya.

2.4. Sistematika Penetapan Tanah Terlantar

• Tahap Identifikasi dan Penelitian (pasal 4 sampai dengan pasal


7 PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan
tanah Terlantar)

Identifikasi dan penelitian atas tanah yang teridentifikasi


terlantar dilaksanakan oleh Panitia yang diatur oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional ( Kepala BPN).

Pengertian tanah yang teridentifikasi terlantar adalah tanah hak


atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang
belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian
dilaksanakan terhitung mulai 3 (tiga) bulan sejak diterbitkan Hak Milik,
HGU, HGB, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat
dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Kegiatan identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi :


1. Nama dan alamat Pemegang Hak.
2. Letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan
keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak.
3. Keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.

• Tahap Peringatan Kepada Pemegang Hak Atas Tanah (pasal 8


PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan
tanah Terlantar)

Apabila hasil dari laporan kegiatan identifikasi dan penelitian


menyimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah
BPN akan memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan
tertulis pertama kepada pemegang hak atas tanah agar dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya peringatan tertulis
pertama tersebut, menggunakan tanahnya sesuai keadaanya atau
menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai
izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Apabila pemegang hak tidak melaksanakannya, maka akan


diberikan lagi peringatan tertulis kedua sampai peringatan tertulis
ketiga dengan jangka waktu yang sama seperti peringatan tertulis
pertama. Dalam surat peringatan pertama pertama, kedua dan ketiga
perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh
pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang
hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tersebut.

Dan apabila tanah tersebut dibebani hak tanggungan, maka


surat peringatan tertulis tersebut juga diberitahukan kepada pemegang
hak tanggungan. Konsekuensi yang diterima dari pengabaian ketiga
surat peringatan tertulis ini adalah Kepala Kantor Wilayah BPN
mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang
bersangkutan sebagai tanah terlantar.
• Tahap Penetapan Tanah Terlantar

Kepala BPN akan menetapkan tanah terlantar berdasarkan


usulan Kepala Kantor Wilayah BPN dan menyatakan tanah terlantar
tersebut dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan. Tanah
yang dinyatakan dalam keadaan status quo sebagaimana
dimaksudkan diatas tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas
bidang tanah tersebut sampai diterbitkan penetapan tanah terlantar
yang memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus
memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang
dikuasai oleh negara.

Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar


merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga
penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Sedangkan dalam hal tanah yang akan
ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan
dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga
pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.

Terhadap tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar yang


merupakan keseluruhan hamparan, maka Kepala BPN memutuskan
penghapusan hak atas tanah dan pemutusan hubungan hukum dan
ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Apabila tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan
sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas tanahnya
dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya dan ditegaskan menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan selanjutnya kepada
bekas pemegang hak atas tanah diberikan kembali atas bagian tanah
yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan
sesuai dengan keputusan pemberian haknya.

Bekas pemegang hak atas tanah wajib untuk mengosongkan


benda – benda di atas tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak penetapan tersebut. Dan
dalam hal apabila bekas pemegang hak atas tanah tidak
melaksanakan kewajiban tersebut, maka benda-benda di atas tanah
tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh
negara.

2.5. Akibat Hukum Tanah Yang Diterlantarkan

Akibat hukum apapun yang ditimbulkan dari tanah yang


diterlantarkan oleh pemegang haknya, harus tetap memperhatikan hak-
hak pemegang hak atas tanah tersebut. untuk itu dalam menyelesaikan
permasalahan ini tidak boleh men-generalisasikan tanah-tanah yang
diterlantarkan tanpa melihat sebab-sebab tanah tersebut diterlantarkan.

Dalam hal ini PP. No. 36 Tahun 1998, pasal 11 ayat (2)
menentukan bahwa tanah yang dimiliki perorangan yang diterlantarkan
karena faktor ekonomi memiliki perbedaan akibat hukum dengan tanah
yang diterlantarkan karena memang tidak digunakan sesuai dengan
keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya (pasal 11
ayat (3) huruf b), begitu juga dengan tanah yang diterlantarkan yang
dimiliki oleh suatu badan hukum.

Akibat hukum yang ditimbulkan dari tanah perorangan yang


diterlantarkan karena faktor ekonomi memberikan hak kepada pemegang
hak atas tanah terhadap pembinaan dalam mendayagunakan tanahnya,
sedangkan akibat hukum dari tanah yang dimiliki suatu badan hukum atau
perorangan yang diterlantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan
keadaannya atau sifat pemberian haknya dapat menyebabkan hapusnya
atau beralihnya hak atas tanah kedalam penguasaan negara.

Namun untuk sampai pada penetapan bahwa tanah diterlantarkan,


negara tidak serta merta menetapkan tanpa memberikan kesempatan
waktu kepada perorangan atau badan hukum untuk segera menggunakan
tanah sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya. dalam hal ini badan hukum dan perorangan yang
bersangkutan diberikan kesempatan untuk hal tersebut diatas dengan
adanya peringatan 1 sampai dengan peringatan iii, dimana masing-
masing peringatan berlaku satu tahun.

Selain hal tersebut didalam PP No 36 tahun 1998 juga memberikan


perlindungan hukum lain bagi pemegang hak atas tanah, yaitu adanya
pemberian hak ganti rugi atas tanah yang telah dikuasai negara
denganganti rugi sebesar harga perolehan yang telah dibayar oleh yang
bersangkutan, harga yang diberikan juga dengan memperhatikan biaya
yang telah dikeluarkan untuk membuat prasarana fisik di atas tanah yang
diterlantarkan.

Namun dengan terbitnya PP No. 11 Tahun 2010 tentang


Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang tercantum dalam
klausula BAB VII Ketentuan Penutup pasal 19 yang mengatakan bahwa

“Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah


Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar dan peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”. Tentunya hal ini menjadi polemik tersendiri terhadap
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah tidak
sebagaimana tercantum didalam peraturan sebelumnya.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas
tanah yang diterlantarkan, perlu kiranya dipertegas mengenai kriteria
tanah terlantar, sehingga jelas tanah-tanah mana yang termasuk tanah
terlantar yang pada akhirnya akan memberikan jaminan kepastian hukum
kepada pemiliknya. Kriteria tanah terlantar ini dapat ditemukan dengan
cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam tanah terlantar,
kemudian menyusunnya dalam struktur hukum tanah nasional. Adapun
unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar:
1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek)
2. Adanya tanah hak yang diusahakan/atau tidak (obyek)
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau
kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.
5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada negara.
.

BAB III
PENUTUP
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum yang memberi
wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek hukum (orang / badan hukum)
terhadap obyek hukumnya, yaitu tanah yang dikuasainya. Di dalam penguasaan atas
tanah ada 2 macam yakni :
A. Hak penguasaan atas tanah yang bersifat khusus yaitu :
• Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)
• Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)
• Hak Ulayat Pada Masyarakat Adat (pasal 3 UUPA)
B. Hak penguasaan atas tanah yang bersifat umum yaitu :
• Hak atas tanah orisinil atau primer, yaitu hak atas tanah yang bersumber pada
hak bangsa Indonesia dan yang diberikan oleh Negara dengan cara
memperolehnya melalui permohonan hak.
• Hak atas tanah derivative atau sekunder, yaitu hak atas tanah yang tidak
langsung bersumber kepada hak bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah
dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah
dengan calon pemegang hak yang bersangkutan
• Hak jaminan atas tanah, yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak
memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang
dikuasainya tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut
apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan wanprestasi.
Tanah tidak hanya untuk sebagai tempat hidup dan berkembangnya makhluk
hidup tetapi tanah juga memiliki peranan terpenting bagi kegunaan dan
pemanfaatannya, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 6 menyebutkan bahwa
tanah memiliki fungsi sosial yang dimana tanah tersebut tidak hanya berguna bagi si
pemilik tanah saja tapi bagi sekitarnya.
Tanah yang tidak terurus atau tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan
oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah
memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini Peraturan
Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, obyek didalam penertiban tanah terlantar yakni tanah yang sudah diberikan
hak oleh Negara berupa :
1. Hak Milik (Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara
karena diterlantarkan. (UUPA Pasal 27 poin a. 3)
2. Hak Guna Usaha (Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan
(UUPA Pasal 34e)
3. Hak Guna Bangunan (Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan
(UUPA Pasal 40e)
4. Hak Pakai, dan
5. Hak Pengelolaan
Kriteria tanah terlantar ini dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsur-
unsur yang ada dalam tanah terlantar, kemudian menyusunnya dalam struktur hukum
tanah nasional. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar:
1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek)
2. Adanya tanah hak yang diusahakan/atau tidak (obyek)
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau
kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.
5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada negara.
Didalam kasus adanya perselisihan antara PT. WAH (Wanawisata Alam Hayati)
dengan Pansus Trawangan dan BPN Lombok Barat yang dimana PT. WAH tersebut
telah menelantarkan tanahnya, didalam klausula perjanjian pemberian hak atas tanah
dengan pemerintah PT. WAH memiliki jangka waktu membangun hotel melati dengan
35 kamar dalam 1 tahun. Tapi, adanya suatu kelalaian dalam menjalankan tugas dan
tujuannya PT. WAH tidak dapat menyelesaikan apa yang menjadi kehendak dan tujuan
diberikannya hak atas tanah oleh pemerintah dan telah menelantarkan (menyia-
nyiakan) tanahnya, Sehingga dengan sendirinya, HGB PT. WAH itu batal. Kata Ketua
Pansus Trawangan Jasman Hadi dan BPN Lombok Barat.
Temuan pada tahun 2003, di atas lahan itu ternyata ada perumahan seluas 40
are, dan 1,1 hektare sejenis bungalow. Di dalam lahan itu juga ditemukan 10 orang
warga yang tinggal. Temuan ini membuktikan bahawa adanya unsur pembagian tanah-
tanah, tanah HGB yang diberikan haknya oleh Negara saat pemberian haknya kepada
PT WAH telah diperjanjikan bahwa hak atas tanah tersebut tidak dapat dibagi-bagi . Di
dalam UUPA Hak Guna Bangunan memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan
dapat diperpanjang selama 20 tahun. Tapi, HGB dapat di hapuskan karena adanya
suatu unsur yakni :

a. Jangka waktunya berakhir

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d. Dicabut untuk kepentingan umum

e. Diterlantarkan

f. Tanahnya musnah

Di dalam hal ini, point b dan point e yang memperkuat alasan kenapa panitia
khusus (Pansus) serta pihak BPN menetapkan lahan tersebut batal demi hukum serta
memutuskan Hak Guna Bangunan PT.WAH yang tidak berjalan sesuai dengan tujuan
dan kegiatannya. Walaupun di dalam ketentuan UUPA HGB memiliki jangka waktu
paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, tapi, bisa kita lihat
dalam kasus PT. WAH ini memiliki izin membangun hotel dengan 35 kamar dalam
jangka waktu 1 tahun sejak diterbitkannya HGB tahun 1996 dan kenyataanya tujuan
dari pemberian hak atas tanah tersebut belum tercapai sampai waktu yang ditentukan
oleh pemerintah, melainkan pada tahun 2003 di temukannya 10 keluarga yang
bertempat tinggal di dalam lahan tersebut. Dengan demikian, PT.WAH telah membagi-
bagikan lahan tersebut dan dapat dikatakan bahwa PT. WAH wan prestasi terhadap
perjanjian dengan pemerintah. Tidak hanya itu saja lahan tersebut tidak dimanfaatkan,
digunakan, dan di olah sebaik mungkin melainkan ditelantarkan.
Sebagai pemegang hak atas tanah seyogyanya mengurus dan memperhatikan
tanahnya sesuai dengan tujuannya, di Indonesia banyak ketidak jelasan tanah/lahan
sehingga timbulnya sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Banyak masyarakat
yang memiliki modal besar hanya menguasai lahan secara yuridis saja, namun
penguasaan lahan secara fisik tidak terlaksana sehingga tanah diterlantarkan.
Sebagaimana halnya tertera pada pasal 6 UUPA mengenai fungsi sosial tanah,
tentunya tanah yang terlantarkan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat yang
hingga saat ini banyak masyarakat belum memiliki tanah sehingga tujuan pelaksanaan
dari landreform tidak terlaksana yaitu redistribusi tanah kepada segenap bangsa
Indonesia sehingga tercapainya tujuan Negara dalam konstitusi kita (pasal 33 ayat 3
UUD 1945)
Daftar Pustaka

Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan


Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan


Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar.

Hutagalung.Arie.S, S.H. dkk. 2001. Asas-asas Hukum Agraria. Jakarta.

http://d5er.wordpress.com/2011/03/10/kebijakan-tanah-terlantar/
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/17108153164.pdf

http://joeharry-serihukumbisnis.blogspot.com/2009/06/penyelesaian-masalah-tanah-
terlantar.html

http://lombokpost.co.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=3472:mengarah-
pada-tanah-terlantar&Itemid=543

Lampiran

Kamis, 12 May 2011 10:30

Mengarah Pada Tanah Terlantar

Hasil Pertemuan Pansus dengan BPN

TANJUNG—Panitia Khusus (Pansus) Trawangan


terus mengumpulkan bukti dan keterangan-
keterangan terkait sengketa yang terjadi di
Trawangan. Kemarin siang, Pansus memanggil
pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
sharing informasi terkait persoalan di Trawangan.
Dari pertemuan itu, kesimpulannya akan
mengarah pada pemberian status terlantar atas
tanah yang dikuasai PT Wanawisata Alam Hayati
(WAH).
Dalam pertemuan yang juga berjalan alot selama
dua jam sejak pukul 12.00 hingga pukul 14.00
wita itu, Pansus Trawangan dan BPN Lombok
Barat (Lobar) yang diwakili oleh H Darman saling berbagi data. Kedua belah pihak ini sama-
sama memaparkan berbagi dokumen, temuan lapangan dan bukti-bukti lainnya.
‘’Salah satu poin penting di sini, pihak PT WAH tidak mampu mengerjakan seperti apa yang
diamanatkan pada izin mereka itu,’’ kata Ketua Pansus Trawangan Jasman Hadi.
Dalam izin yang diberikan, PT WAH akan membangun hotel melati dengan 35 kamar. Namun
hingga saat ini, PT WAH tidak mampu melakukan itu. Sehingga dengan sendirinya, HGB PT
WAH itu batal. ‘’Satu tahun setelah mendapatkannya itu, PT WAH harus membangun sesuai
dengan izinnya,’’ katanya.
Pada kesempatan tersebut, Jasman juga mempertajam tentang klaim tanah seluas 75 hektare yang
menjadi milik Pemerintah Provinsi NTB. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang menjadi dasar
pemprov itu patut dipertanyakan. Dari HPL itu pulah lah pemprov NTB melakukan perjanjian
dengan investor dalam hal ini PT GTI untuk mengelola lahan. Namun faktanya lahan itu juga
ditelantarkan.
Sementara itu menyikapi tawaran PT WAH untuk membagi-bagi tanah yang ada di Trawangan
itu dinilai Jasman sebagai sebuah pelanggaran. Sebagai pihak yang hanya memegang HGB, PT
WAH hanya diperkenankan untuk mengerjakan sesuai dengan ketentuan di HGB itu, yaitu
membangun hotel melati. ‘Tidak boleh membagi-bagi tanah,’’ kata politisi Hanura ini.
Dari perwakilan BPN yang diwakili oleh Koordinator Pengaturan dan Penataan Pertanahan di
KLU H Darman juga membenarkan jika tanah HGB itu tidak bisa dibagi-bagikan sebagai opsi
yang selama ini diberikan PT WAH.
‘’PT WAH mendapat izin untuk membangun hotel melati, bukan untuk membagi-bagi tanah,’’
kata pria berjenggot ini.
Dalam kesempatan tersebut, H Darman mengatakan tidak menyalahkan pihak siapa pun dalam
persoalan tanah di Trawangan maupun di kawasan pariwisata lainnya di KLU. Persoalan di
Trawangan khususnya PT WAH itu merupakan bagian kecil dari persoalan pertanahan yang ada.
Menjawab pertanyaan terkait dengan dokumen-dokumen PT WAH, H Darman mengatakan
perusahaan tersebut sudah melalui prosedur. Namun fakta di lapangan setelah berjalan beberapa
tahun, ada temuan yang menjadi catatan BPN terkait realisasi izin yang pernah dikeluarkan itu.
Dituturkan, pada tahun 2003 BPN Lobar turun untuk memantau kondisi dilahan yang diberikan
izin pada PT WAH. Seperti diketahui, tahun 1996 PT WAH diberikan izin HGB untuk
membangun hotel melati dengan 35 kamar. Temuan pada tahun 2003 itu, di atas lahan itu
ternyata ada perumahan seluas 40 are, dan 1,1 hektare sejenis bungalow. Di dalam lahan itu juga
ditemukan 10 orang warga yang tinggal. ‘’Izinnya untuk membangun hotel melati,’’ katanya.
Dalam temuan itu memang PT WAH tidak dapat menjalankan sebagaimana yang disebutkan
dalam izin. Dengan kondisi seperti itu, dengan menggunakan PP Nomor 11 tahu 2010, maka
tanah tersebut bisa diusulkan menjadi tanah terlantar.
Anggota Pansus Trawangan Ardianto mengatakan, dalam fakta empirik di lapangan sejak awal
PT WAH sudah menelantarkan lahan itu. Sudah jelas disebutkan bahwa PT WAH harus
membangun dalam jangka waktu 1 tahun. ‘’Tanah itu ditelantarkan oleh PT WAH,’’ katanya.
(fat)

You might also like