2. Yosiska Ayumita L S (D1E008023) 3. Ririn Agusmaini (D1E008074) 4. Sariman (D1E007017) 5. Muchtar Nasir (D1E007013) 6. Tony irawan (D1E008080) 7. Murdani Silalahi (D1E008063)
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BENGKULU 2011 SUKU PASEMAH BENGKULU
MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya.
Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah. Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah. Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya. PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat Asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal. Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M. Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri. "Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang," tegas Saman penuh bangga. Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi. Dalam adat Pasemah, juga terdapat hukum adat. Hukum ini bersifat mutlak bagi yang melanggarnya. Hukum adat yang terdapat di daerah Pasemah salah satunya adalah hukuman bagi pasangan yang melakukan perzinahan. Hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku perzinahan adalah memotong seekor kambing. Apabila terdapat seorang perempuan dan seorang laki-laki melakukan hubungan diluar nikah, atau perzinahan dan diketahui oleh warga, maka mereka akan dikenakan denda berupa seekor kambing. Kambing yang mereka sediakan tersebut, akan disembelih oleh para tetua desa. Bisa dikatakan sebagai nenek-nenek atau kakek-kakek yang ada di suatu dusun tempat sepasang pemuda yang melakukan hubungan perzinahan. Kambing tersebut disembelih di tempat yang terdapat di pinggir desa tersebut. Setelah para tetua menyembelih kambing tersebut dan dimasak oleh para tetua perempuan atau nenek-nenek. Setelah masak, kambing yang dimasak berupa gulai, atau sebagainya dimakan oleh para tetua tersebut. Dalam adat pernikahan suku pasemah ada dua macam model pernikahan yang dikenal. Model pertama (umumnya disebut belaki), dengan pembayaran harta kepada mempelai wanita sebelum pernikahan untuk menetapkan tempat tinggal pasangan tersebut pada rumah tangga sang suami. Pada model kedua (umumnya disebut ambik anak) sang suami pindah ke tempat sang istri tanpa pembayaran yang berarti (lebih besar); anak-anak ditentukan/digolongkan sebagian bagian dari keturunan sang istri. bahasa Pasemah yaitu berdialek “e”. Berbeda dengan suku serawai yang berdialek “o” dan “aw”. Bahasa yang tampak membedakan dengan suku serawai seperti : dide yang berarti tidak, dalam bahasa serawai nido atau nidaw. Dalam dialek Pasemah, huruf “R” sering diucapkan dengan “Ngh”. Seperti nghungau atau begadang bila disebutkan dalam bahasa Indonesia disebutkan rungau. Dibawah ini ada beberapa contoh kata dalam bahasa Pasemah : Luk ape = bagaimana Kemane = kemana Skul = sekolah Ketam = Kepiting Daghat = kebun Setue = harimau Karut = jelek Buluh = bambu Sangsile = papaya Taghuk = sayur Suku Pasemah seperti pada umumnya suku melayu, banyak terdapat pantun dan puisi-puisi. Namun ada juga sastra lisan yang digunakan oleh masyarakat Pasemah, seperti “betadut” yaitu tradisi dalam suasana berkabung. Betadut ini adalah sebuah tradisi dimana seseorang yang usianya lanjut atau tua yang menceritakan kisah hidup seseorang yang telah meninggal. Betadut dilakukan pada malam hari setelah jenazah orang yang diceritakan dalam tradisi betadut ini dimakamkan. Orang yang melakukan tradisi ini juga harus orang yang benar-benar mengetahui jalan hidup orang yang telah meninggal tersebut. Orang yang betadut ini pun harus bisa bercerita, petadut ini berposisi menunduk sambil mengingat-ingat apa saja yang pernah dilakukan oleh orang yang telah meninggal tersebut. Ceritanya ini bisa sampai semalam suntuk, dan didengarkan oleh keluarga dan kerabat yang sedang berduka. Tulisan ka-ga-nga pun ada di suku Pasemah. Tulisan ini dulunya dituliskan di gelumpai atau bilah bambu berukuran dua sampai lima sentimeter dengan panjang satu ruas bambu tiga puluh sampai dengan lima puluh sentimeter. Sebuah naskah dapat tersusun dari teks yang mencapai belasan bahkan puluhan gelumpai. Rumah adat atau tradisional Pasemah dinamakan rumah tinggi atau rumah panggung. Rumah tradisional ini disebut rumah tinggi karena ukuran rumah sangat tinggi. Rumah tradisional Pasemah berukuran tinggi dengan menggunakan tiang karena pada jaman dulu keadaan Pasemah masih sepi dan masih banyak hewan buas. Agar tidak diganggu binatang buas maka mesyarakat Pasemah membuat rumahnya tinggi- tinggi. Rumah tradisional Pasemah berbahan dasar kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah tradisional ini bukan sembarang kayu, namun menggunakan kayu yang berkelas seperti tenam, meranti, dan kayu sungkai. Kayu ini diambil dari hutan di hulu sungai Pasemah. Pada jaman dulu kayu jenis tenam, meranti, dan sungkai masih banyak dan mudah diperoleh. Rumah tradisional Pasemah ini memiliki satu ruangan utama yang berukuran sekitar 10 x 8 meter persegi. Ruangan ini digunakan untuk berkumpulnya seluruh anggota keluarga apabila ada suatu hal yang harus dimusyawarahkan. Ruangan ini juga berfungsi untuk berkumpul apabila ada syukuran. Kamar rumah adat Pasemah bisa terdiri dari tiga sampai lima kamar, yang disebut dengan “bilik”. Posisi kamar berjejer satu arah dengan pada sisi rumah yang sama.. Dinding dan lantai rumah juga terbuat dari papan yang telah dihaluskan. Tiang yang teletak di “berende” atau teras rumah tingginya sekitar dua setengah meter. Tiang dibuat berbentuk bulat, namun ada juga yang berbentuk persegi panjang. Tiang diukir sesuai selera si pemilik rumah, tidak ada makna dalam ukiran tiang. Pada bagian atap rumah adat Pasemah dulu menggunakan atap bambu yang disebut “atap gelumpai”. Atap ini terbuat dari bambu yang dibelah seperti sembilu. Orang dulu menggunakan atap gelumpai karena belu ada atap seng. Atap gelumpai ini dapat bertahan hingga tujuh tahun. Suku Pasemah merupakan orang-orang yang penuh semangat dan antusias. mereka memegang peranan penting di bidang politik Sumatera Selatan dan memegang peranan utama dalam kepemimpinan penting di berbagai departemen pemerintah dan lembaga pendidikan di Bengkulu. Pertanian merupakan pusat kegiatan ekonomi mereka, dan tiga masa panen utama mereka adalah : beras, karet dan kopi. Produksi karet menjadi usaha sampingan mereka. Pekerja menyadap pohon karet dianggap pekerjaan rendah. Lemang adalah makanan yang biasanya disajikan dengan tapai. Meski lemang selalu tersedia setiap saat, namun keberadaan lemang akan ‘lebih terasa’ pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat ini lemang banyak dijual di banyak daerah, namun para penggemar lemang akan sepakat bahwa lemang yang paling enak adalah lemang yang berasal dari daerah asalnya, yakni Pasemah. Selain lemang makanan khas masyarakat pasemah adalah bipang. Lemang bisa dianalogikan dengan lontong jika di jawa ataupun ketupat, hanya saja rasanya dan cara pembuatannya sedikit berbeda. Perbedaan terutama karena adanya unsur santan, sehingga membuat lemang lebih gurih dan relatif berlemak. Perbedaan lainnya adalah bahan pembuatnya. Meski bahan dasar lemang adalah beras, namun ada juga yang menggunakan beras ketan atau bahkan ketan. Yang membedakan beras dan beras ketan atau ketan adalah daya tahan serta cita rasanya. Hampir seluruh orang Pasemah adalah orang Muslim. Agama Islam tersebar lebih awal di bagian tenggara pemukiman suku Pasemah, sekitar tahun 1500-an, tetapi daerah Pasemah barat dan barat lalu diIslamkan pada pertengahan tahun 1800-an. Kebanyakan mereka yang diIslamkan kemudian, merupakan hasil kerja dari orang Sufi yang kemudian menyebar di seluruh Sumatera. Ajaran Sufi lebih menggunakan perasaan dan subyektif (memiliki sudut pandang sendiri) yang menekankan bahwa lebih penting untuk menyelami Allah daripada sekedar memenuhi upacara keagamaan semata. Di dataran tinggi Pasemah ada 26 situs dengan batu pahatan, kuburan dan stupa-stupa yang dianggap suci sejak sebelum 100 Masehi. Batu yang sangat besar dipahat para prajurit menunggang gajah, pria bergulat dengan monster ular, sebuah jentera dan ombak samudera. Orang Pasemah masih menggunakan patung pahatan besar untuk tempat sumpah suci penebusan, memanggil arwah leluhur untuk menganugerahkan berkat dan untuk mencegah nasib sial. Kuil Megalitik merupakan obyek dari perayaan keagamaan dan tempat bernazar (sumpah).