You are on page 1of 12

1

I. PENDAHULUAN
Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana
umat Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini
kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat
diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka.
Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan Islam
merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak keislaman
mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa
memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat
bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon dengan menolak
apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu diluar
Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali
pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revitalis.
Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika
disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi
Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khusunya di bidang politik dan
pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan
modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide
Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut,
sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari Barat
adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil.
Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase
modernisme.
Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari
seorang tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, al-
Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan
misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas,
Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat
terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi
ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki
kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu
2

berkenaan dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan


dengan keIslaman. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi
berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis. Agaknya tepat apa
yang dikatakan Black bahwa afghani adalah puncak dari kalangan modernis
dan fondasi bagi kalangan fundamentalis.
Pada makalah sederhana ini kami akan paparkan sedikit tentang
Afghani, riwayat hidup, pemikiran, kiprah politik, dan hal penting lainnya
yang berhubungan dengan Al-Afghani yang ditulis secara sederhana sebab
makalah ini tak cukup jika harus mewakili keseluruhan pemikiran dan sepak
terjang beliau yang begitu fenomenal.

II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Jamaluddin Al Afghani
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar
Al-Husaini yang lahir pada tahun 1835 M di As’adabat dekat Kota Kunar
yang termasuk kawasan distrik Kabul bagian timur Afghanistan. Ayahnya
bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan terhormat dan mempuyai
nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur At-Tirmidzi, seorang perawi
hadits yang termasyhur.
Di masa kecilnya Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta
keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Al-Afghani
kecerdasan dan kemauan yang besar untuk  menggali pengetahuan. Dalam
usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu  dan menguasai beberapa
ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik,
sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak.
Dalam rangka menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani
melanjutkan studi ke India dan menetap disana selama satu tahun  untuk
belajar pengetahuan-pengetahuan Barat dan metodologinya serta bahasa
Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah haji ke mekah dan sekembalinya
di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad
Khan.
3

Pada taun  1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan
pada masa Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena
terjadinya konflik dalam negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk
kedua kalinya pada tahun 1869.  Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh
karenya ia memutuskan  untuk menuju Mesir pada tahun  1871. Di Mesir ia 
sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan kuliah.
Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota Majelis
Pendidiakan Turki dan sering diundang  untuk menyampaikan ceramah di
Aya Shofia dan  Masjid Sultan Ahmad.
Karena keberadaanya yang dianggap membehayakan posisi kepala
pemerintahan, timbullah fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi  Syaikh
Al-Islam dengan mengatakan  bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak
mengandung unsur penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin
menunaikan  haji, maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian
menetap di Mesir hingga tahun  1879. Pada masa inilah ide pemikiran dan
aktivitas  memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya
Mesir.
Al-Afghan telah mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap
di sana. Tahun 1882 berada diLondon, lalu satu tahun kemudain ke Paris,
dan  kembali lagi menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke  Teheran,
ke Moscow tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran.
Pengamanan merantau inilah yang kemudian membentuk  wawasan
berfikirnya yang luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak
melahirkan banyak murid asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani
yang mewarnai sejarah pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897
ia wafat di Istanbul karena sakit.

B. Pemikiran Jamaluddin Al Afghani


Semua orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan
Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang
hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar
4

terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan


dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu
tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya
dari Eropa dan pengetahuan modern.
Semua usahanya dicurahkan untuk menerbitkan makalah-makalah
politik yang membangkitkan semangat, khususnya yang termuat dalam
majalah Al-Urwah al-Wutsqa. Ia telah membangkitkan gerakan yang berskala
nasional dan gerakan jamaah Islam.
Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni
aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih
murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga
biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah
pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis).
Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh
Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari
Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
Pertama keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya
mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam
yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi,
khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin.
Kedua perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik
politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Ketiga pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan
teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam
dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil
kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada
Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu
dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam.
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta
pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan
5

suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah


islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus
melipluti seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup
dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang
masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas
solidaritas akidah Islam, bertujuan membiana kesetiakawanan dan pesatuan
umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap system pemerintahan
yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem
pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal
mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut
itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.
Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian
masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan
kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat
antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih
ditinggikan.
Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah
tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada
konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik),
inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa
mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan
republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan
kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah yang
layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya
diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan,
tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat
mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah
rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan
dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi
6

dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan


despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.
Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak
diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah
pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui dewan-dewan
konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap
kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-
undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung
reformasi politik an sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari
penjajahan an dominasi Barat.
Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan
rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau
memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk
diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan kemerdekaan
merupakan dua hal tersebut.
Waktu tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan
pembentukan “pemerintaha rakyat” melalui partisipasi rakyat Mesir dalam
pemerintahan konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara tentang
keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai dengan apa
yang diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri ari orang-orang yang
betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan bahwa suatu dewan
perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara, atau atas
anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut akan lebih merupakan alat
politik bagi yang membentuknya. Ketika penguasa Mesir, Khedewi Taufiq
bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk dewan perwakilan
rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih bodoh dan buta politik,
Afghani menulis surat kepada Khedewi yang isinya menyatakan bahwa
memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat dinegeri-negeri
lain, banyak yang masih bodoh, teapi itu tidak berarti bahwa di antara mereka
tidak terdapat orang-orang pandai dan berotak.
7

Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua


negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah
imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan
bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan
Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan
bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini karena mereka berpecah-belah.
Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang
tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum
Muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim
tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai
orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka
harus tahu realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan
kebobrokan umat Islam, dan menerangkan bahwa duni Islam sedang
terancam. Ancamannya datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis.
Afghani mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal,
menumbuhkan kekuatan untuk bertahana dan mengaopsi buah peradaban
Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang
mengancam Islam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-
hal yang positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.
Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term
Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah
pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim,
yaiut untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang
dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain; Tatimmat al-
bayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan.
Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali
diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya
intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama hidupnya.
Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap materialisme.
8

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh dengan
judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). Al-
Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968).
Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang
terkenal dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-‘aqa’id al-‘adudiyyah.
Berikutnya Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan
yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia
di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu
buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon.
Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Afghani pada bagian
akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan
hidup Afghani.
Selanjutnya, pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh
murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya,
pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat
wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya
menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh
banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi. Pengaruh
tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini
seperti Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin, Abul A’la al-Maududi
dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya.

C. Kiprah Politik Jamaluddin Al Afghani


Terkenal sebagai orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu
mendasarkan kegiatan agama dan politiknya pada ide-idenya tentang
pembaharuan dalam Islam. Ia adalah seorang yang anti terhadap
pemerintahan otoriter. Menurutnya, sistem pemerintahan yang sesuai dengan
kondisi umat muslim adalah pemerintahan konstisusional atau republik dan
konsep kewarganegaraan aktif. Bukannya tanpa sebab, pemerintahan otoriter
tidaklah jauh berbeda dengan tirani. Bentuk pemerintahan seperti ini
menafikan keaktifan warga negara selain juga rentan terhadap monopoli asing
9

yang langsung tertuju pada penguasa suatu negara. Hasilnya dapat dilihat,
dengan mudahnya imperialisme Barat menguasai serta mengintervensi bentuk
pemerintahan absolut yang banyak digunakan sebagai sistem pemerintahan di
banyak negara Islam.
Dalam perjuangan politiknya, Afghani kerap berpindah-pindah dari
satu negara ke negara lain, ini dilakukannya sebab seringkali pada suatu
negara ia mengalami pngusiran oleh penguasa setempat. Namun demikian
talenta politik Afghani memang telah tampak sejak awal, bahkan ia lebih
menonjol sebagai seorang aktivis gerakan politik ketimbang pemikir
keagamaan. Pendapat tersebut dipaparkan Harun Nasution yang juga ia kutip
dari berbagai pendapat semisal Stoddart maupun Goldzhier.
Pandangan ini memang bukan sekadar komentar, tapi suatu
pandangan yang memiliki dasar. Jika kita amati kronologi perjalanan hidup
Afghani, maka kita akan mendapati agenda beliau dipenuhi dengan aktivitas
politik. Talenta politik ini memang sujah tamapak sejak dini. Pada usia 22
tahun, ia membantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan, lalu
pada usia kurang lebih 25 tahun ia menjadi penasihat Sher Ali Khan, dan
beberapa tahun setelah itu Afghani diangkat sebagai perdana menteri oleh
A’zam Khan.
Perjalanan politiknya ke berbagai negara pun patut mendapat sorotan,
semua ia lakukan untuk menggoyang posisi penguasa yang otoriter, penguasa
yang keluar dari rel amanat, dan juga untuk melawan dominasi barat atas
negeri-negeri muslim. Namun ia kerap kali terlibat pertentangan dengan para
pemimpin, kendati pemimpin itulah yang telah mengundangnya masuk ke
negaranya. Misalnya saja pada kasus Iran, ia diundang ke Iran untuk urusan
Iran-Rusia, namun sikap otoriter syah membuatnya menentang syah dan
berpendapat bahwa syah harus digulingkan. Namun pendiriannya ini
membuatnya terusir dari Iran. Nasib yang lebih tragis diterimanya ketika ia
Berada di turki, alih-alih menjadi penasihat sultan Hamid II, Afghani malah
berakhir sebagai tahanan kota hingga akhir hayatnya.
10

D. Konsep Negera Menurut Al Afghani


Al-Afghani juga mengajukan konseop negara republik yang
demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem
pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarkhi absolut.
Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-
pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan
manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani
menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan
pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang.
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republik karena  di
dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan  kepala negara harus tunduk
kepada Undang-Undang Dasar.
Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam
hanya mengenal system kekhalifahan  yang mempunayai kekuasaan absolut.
Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan
hukum, bukan kepala Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan
undang-undang dan hukum  yang digaiskan  oleh lembaga  legislative untuk 
memajukan kemaslahatan rakyat.
Pendapat Al-Afghani  tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran 
Barat. Penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh.
Islam dalam pemikian Abduh tidak menetapkan  suatu bentuk pemerintahan,
Jika system khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model
pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti  perkembangan
masyarakat dalam kehidupan  materi dan kebebadan berpikir.
 Pemunculan de Al-Afghani tersebut sebagai  reaksi kepada salah satu 
sebab kemunduran  umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan 
absolute. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan penyebab kemunduran
umat Islam, akibat dari pemeritnahan sewenang-wenang dan absolute. Abduh,
sebagaiman agurunya -Al-Alghani- berpendapat bahwa Islam punya unsure
dinamis, yang dapat disesuaikan dengan pekembangan zaman, dengan jalan
ijtihad.
11

Di dalam pemerintahan absout dan otokrasi tidak ada kebebasan


berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang
tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu, A-Afghani menghendaki agar
corak  pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan
demokrasi.
 Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis,
adalah penegasannya tentang keharusan kepala Negara  mengadakan syura
dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pegalaman.
 Pemerintahan otokrasi yang cenderung  meniadakan hak-hak individu
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat  menghargai hak-hak individu.
Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu harus
diganti denegan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung
tinggi hak-hak individu.
 Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki
adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi
usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu 
kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan 
sumbangan yang berharga bagi pemerithah. karenanya para wakil rakyat
haruslah  berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-
wakil tersebut akan memabwa dampak positif pada pemerinnthan sehingga
akan  melahirkan uandang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik
bagi rakyat.
Demikain juga para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang
paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah
karena  kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model
inilah yang berlaku di dalamsistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak
sesuai  dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaui
pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih
mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu.
Meskipun  semua ide Al-Afghani bertujaun untuk mempersatukan
umat Islam guna menghadapi penetrasi Barat dan kekuatan Turki Usmani
12

yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islaminya tidak


jelas. Apakah bentuk kerjasama itu dalam rangka mempersatukan umat Islam
dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk federasi yang dipimpin oleh
seseorang atau badan yang mengkoordinasikan  kerjasam tersebut,  dan atau
seperti negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.

III. KESIMPULAN
Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan
pemikiran, yakni:
1. Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan
meneladani pola hidup Nabi dan para sahabatnya.
2. Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik,
ekonomi maupun kebudayaan
3. Pengakuan terhdap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan
karenanya umat Islam hars  belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut.
4. Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya
dengan pemerintahan berdasarkan musyawarah.
5. Menganjurkan pembentukan  Jamiah Islamiyah/ Pan-Islamisme,
menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan
suatu bahasa yakni bahasa Arab.
6. Melakukan perubahan kekuasan dengan cara revolusi.

You might also like