Professional Documents
Culture Documents
lembaga pelayanan kesehatan harus menjamin bahwa semua pedoman dan kebijakan mereka cocok
diterapkan di lokasi dan bahwa peralatan dan persediaannya mencukupi.
Untuk memudahkan tenaga kesehatan mematuhi praktek pengendalian infeksi, kebijakan dan
pedoman tingkat nasional dan lembaga pemerintah harus:
Memastikan bahwa stafnya telah dididik untuk memperlakukan semua zat/substansi tubuh
sebagai bahan yang infeksius. Tenaga kesehatan harus dididik mengenai risiko pekerjaannya
dan harus memahami kebutuhan menggunakan kewaspadaan standar bagi semua orang, di
setiap waktu, tanpa memandang diagnosisnya. Pendidikan selama pelayanan secara reguler
harus disediakan bagi semua tenaga medis maupun nonmedis di lingkungan perawatan
kesehatan. Sebagai tambahan, pendidikan pra-pelayanan untuk semua tenaga kesehatan
harus juga mengagendakan aspek kewaspadaan standar.
Memastikan bahwa tersedia para staf, pasokan dan sarana yang memadai. Sementara
pendidikan bagi tenaga kesehatan adalah esensial, hal itu tidak cukup untuk menjamin bahwa
kewaspadaaan standar telah diperhatikan dengan baik. Untuk mencegah bahaya dan infeksi
kepada pasien dan karyawan, sarana kesehatan harus menyediakan bahan-bahan yang
diperlukan perawatan klinis. Sebagai contoh, pasokan yang steril dan bersih, harus tersedia
dengan cukup, walau di lingkungan dengan sumber daya yang terbatas.
Penggunaan peralatan injeksi sekali pakai, yang langsung dibuang harus tersedia dalam
jumlah yang cukup bagi setiap obat-obat injeksi yang ada dalam persediaan. Air, sarung
tangan, bahan-bahan pencuci, alat-alat untuk disinfeski dan sterilisasi termasuk alatalat untuk
memantau dan mengawasi proses ulang yang harus dilakukan. Persediaan air yang cukup dan
mudah didapat adalah kunci bagi upaya pencegahan infeksi yang berkaitan dengan tempat
pelayanan kesehatan. (Walaupun air mengalir tidak tersedia di semua tempat, tetapi semua
cara untuk mendapatkan air yang cukup harus terjamin). Alat-alat untuk pembuagan yang
aman bagi limbah medis dan laboratorium, dan tinja harus tersedia.
Mengadopsi standar-standar lokal yang cocok untuk menjamin keselamatan pasien dan
karyawan, merupakan upaya yang berdasarkan bukti dan efektif. Penggunaan yang tepat dari
persediaan, kebutuhan pendidikan dan pengawasan staf, harus digambarkan dengan jelas
dalam kebijakan dan pedoman lembaga. Lebih lanjut, kebijakan dan pedoman harus didukung
oleh ketersediaan pasokan dan standar untuk memantau dan mengawasi upaya yang telah
ditetapkan.
Menciptakan tuntutan konsumen terhadap praktek perawatan kesehatan yang lebih aman.
Tuntutan untuk prosedur kerja yang aman, seperti penggunaan peralatan injeksi yang baru,
langsung dibuang, sekali pakai dan pengobatan oral, dapat membantu memepercepat
pelembagaan kewaspadaan standar.
Mengangkat seorang spesialis pengendalian infeksi atau seorang staf administratif untuk
mengurangi angka infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan akan sangat
menguntungkan. Upaya-upaya pencegahan infeksi harus menjadi bagian dari pelatihan tenaga
kesehatan tersebut, yang harus diawasi secara rutin dalam pekerjaannya. Usaha-usaha khusus
harus dibuat untuk memantau dan mengurangi prosedur invasif yang tidak diperlukan. Sebagai
tambahan, asosiasi profesi, termasuk asosiasi perawat nasional dan asosiasi kedokteran nasional,
harus bersatu dalam melindungi tenaga kesehatan dan mendukung prinsip “kerjakan sejak pertama
tanpa membahayakan”.
Informasi biaya
Biaya peralatan yang dibutuhkan untuk memastikan kewaspadaan standar (sarung tangan, sabun,
desinfektan, dll) secara pasti akan menambahkan dalam biaya operasional pelayanan perawatan
kesehatan dan akan berbeda-beda sesuai dengan persediaan dan peralatan yang perlu
ditambahkan, besarnya institusi dan populasi pasien yang dilayani. Bagaimanapun juga, keuntungan
bagi keduanya baik pegawai dan pasien dapat mengizinkan pengeluaran ini.
LATAR BELAKANG:
Bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai
salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945
Rumah Sakit Penyakit Infeks Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta adalah unit organik dilingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang merupakan Pusat Rujukan Nasional Penyakit Infeksi dan
Penyakit Menular. Dalam memberikan dan menjelaskan fungsi sebagai Pusat Rujukan Nasional untuk Penyakit
Infeksi RSPI - SS senantiasa berusaha meningkatkan mutu pelayanan, salah satu upaya adalah mengurangi
angka kejadian Infeksi Nosokomial di seluruh Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan kesehatan di Indonesia.
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi
melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui
darah, udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung. Di Rumah Sakit dan sarana
kesehatan lainnya, infeksi dapat terjadi antar pasien, dari pasien ke petugas, dari petugas ke
petugas, dari petugas ke pasien dan antar petugas. Dengan berbekal pengetahuan tentang
patogenesis infeksi yang meliputi interaksi mikroorganisme dan pejamu, serta cara transmisi atau
penularan infeksi, dan dengan kemampuan memutuskan interaksi antara mikroorganisme dan
pejamu maka segala kemampuan memutuskan interaksi antara mikoorganisme dan pejamu, maka
segala bentuk infeksi dapat dicegah.
Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan
sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien
akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang
lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan
berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang
akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial. Sementara itu jenis infeksi yang
dialami dapat berupa berbagai jenis infeksi yang baru diketahui misalnya infeksi HIV / AIDS atau Ebola dan
infeksi lama yang semakin virulen, misalnya tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan. Mutu pelayanan di
Rumah Sakit dapat berpengaruh karena pasien bertambah sakit akibat infeksi nosokomial.
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di
Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah Sakit tersebut.
Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan
kuman yang berasal dari pasien. Infeksi petugas juga berpengaruh pada mutu
pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien.
Pengetahuan tentang pencegahan ineksi sangat penting untuk petugas
Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang
sangat berbahaya, dalam artian rawan, untuk terjadi infeksi. Kemampuan untuk
mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi
adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk
seorang petugas pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk
seorang petugas kesehatan, kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan
yang tinggi dengan pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan
pasien.
Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah Sakit melibatkan berbagai
unsur, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran
pimpinan adalah penyediaan sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran
petugas adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi.
Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di Rumah
Sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu dilakukan pelatihan yang
menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam pencegahan ineksi
di Rumah Sakit.
Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial
adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal Precautions atau dalam
bahasa Indonesia Kewaspadan Universal ( KU ) yaitu suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status
infeksi. Dasar KU adalah cuci tangan secara benar, penggunaan alat pelindung, desinfeksi dan
mencegah tusukan alat tajam, dalam upaya mencegah transmisi mikroorganisme melalui darah dan
cairan tubuh.
Strategi inti meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam KU adalah dengan pelatihan KU di seluruh
Indonesia sehingga merupakan langkah strategis dalam peningkatan kemampuan petugas / SDM. untuk
penyebarluasan pengetahuan tentang KU melalui pelatihan diperlukan pengembangan pedoman pelatihan yang
dapat digunakan di seluruh Indonesia.
SASARAN
Setiap petugas kesehatan yang kontak langsung dengan pasien dan atau bahan yang berasal
dari pasien yaitu :
1. Tenaga Medis dan Paramedis, termasuk laboratorium
2. Tenaga penunjang
3. Petugas Sanitasi
PERAN DAN FUNGSI PELATIHAN
Setelah pelatihan diharapkan seorang petugas kesehatan mampu mengubah
sikap dalam bekerja sehingga dapat melindungi pasien, dirinya dan lingkungan kerja
terhadap infeksi nosokomial dengan penerapan Kewaspadaan Universal secara bak.
Seorang petugas yang telah mengikuti pelatihan diarahkan untuk menjadi agen
perubahan sehingga dapat menjamin tersedianya tempat kerja yang sehat dan width=254
aman.KOMPETENSI >
Petugas kesehatan yang selesai mengikuti pelatihan diharapkan memahami dasar
Kewaspadaan Universal dan dapat menilai keadaan yang potensial untuk terjadi
penularan infeksi bagi pasien, dirinya dan orang lain. Selesai mengikuti pelatihan,
petugas juga diharapkan dapat merencanakan kebutuhan sistem, sarana dan penunjang
lainnya sehingga dapat menyediakan tempat kerja yang aman terhadap infeksi.
MATERI YANG DIBAHAS
1. Berbagai masalah infeksi di Sarana Kesehatan
2. Kewaspadaan Universal ( Cuci tangan, menggunakan alat pelindung )
dan
tes laboratorium
3. Sterilisasi, Desinfeksi, Antiseptik dan Dekontaminasi
4. Kewaspadaan Universal pada pengelolaan alat tajam
5. Pengelolaan limbah dan lingkungan
6. Kewaspadaan Universal di Unit tertentu
7. Tindakan prophylaxis pada kecelakaan kerja
8. Kewaspadaan Universal pada tindakan intravaskular
9. Surveilance
METODE
° Ceramah
° Diskusi
° Peragaan
° Pre-post test
° Kunjungan lapangan
PESERTA
° Pengelola Pengendalian Infeks Nosokomial / Kewaspadaan Universal
° Dokter
° Perawat
° Penanggung Jawab unit penunjang / unit pelayanan
° Kepala Ruangan Perawatan
° Setiap pelatihan peserta jumlahnya : 30 Peserta
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Definisi
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala
klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di
rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah
selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan
menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial 1,2,3,4
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi
endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan
berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara
infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit
dan dari satu pasien ke pasien lainnya. 1,2,5
BAB II
ISI
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain
(cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous
infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-
bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan
oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau
jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.3
1. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan
bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi
pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi
yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai
sebagai penyebab infeksi saluran kemih.
Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun
endemik. Contohnya :
• Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren
• Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat
menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali
telah resisten terhadap antibiotika.
• Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella,
Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang
menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif ini
bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
• Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru, dan
peritoneum.
2. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk virus
hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi.
Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian
jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme
lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus
lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza
virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.3,11
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi
ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia,
diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan
toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan
yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya
prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan
tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.3,9
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap
antibiotika, mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut.
Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama
terjadinya resistensi. Banyak strains dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak antibiotikaa, begitu
juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat
nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada
atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, dan
menjadi sangat penting karena:
• Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
• Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur
• Mikororganisme yang baru (mutasi)
• Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu:
jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72
jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan pronsip anti sepsis, cairan
infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi
terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat
infus dan bakteremia.
Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory syncytial virus dan influenza. Pada pasien
dengan sistem imun yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan
Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita tuberkulosis yang tinggi,
kebersihan udara harus sangat diperhatikan.
Infeksi kulit dan jaringan lunak. Luka terbuka seperti ulkus, bekas terbakar, dan luka bekas
operasi memperbesar kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya infeksi sistemik.
Dari golongan virus yaitu herpes simplek, varicella zooster, dan rubella. Organisme yang
menginfeksi akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan kesehatan yang
diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki dan perbedaan negara yang didiami.
Infeksi ini termasuk:1
• Infeksi pada tulang dan sendi
Osteomielitis, infeksi tulang atau sendi dan discus vertebralis
• Infeksi sistem Kardiovaskuler
Infeksi arteri atau vena, endokarditis, miokarditis, perikarditis dan mediastinitis
• Infeksi sistem saraf pusat
Meningitis atau ventrikulitis, absess spinal dan infeksi intra kranial
• Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut
Konjunctivitis, infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna, mastoiditis, sinusitis, dan
infeksi saluran nafas atas.
• Infeksi pada saluran pencernaan
Gastroenteritis, hepatitis, necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal
• Infeksi sistem pernafasan bawah
Bronkhitis, trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya
• Infeksi pada sistem reproduksi
Endometriosis dan luka bekas episiotomi
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1 Kesimpulan
• Faktor- faktor yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial tergantung dari agen yang
menginfeksi, respon dan toleransi tubuh, faktor lingkungan, resistensi antibiotika, dan faktor alat.
• Agen Infeksi yang kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada: karakteristik
mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi
infeksius. Respon dan toleransi tubuh pasien dipengaruhi oleh: Umur, status imunitas penderita,
penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan
immunosupresan dan steroid, intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa
dan terapi. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh padatnya kondisi rumah sakit, banyaknya pasien
yang keluar masuk, penggabungan kamar pasien yang terkena infeksi dengan pengguna obat-
obat immunosupresan, kontaminasi benda, alat, dan materi yang sering digunakan tidak hanya
pada satu orang pasien. Resistensi Antibiotika disebabkan karena: Penggunaan antibiotika yang
tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan
menggunakan antibiotika yang terlalu singkat, dan kesalahan diagnosa. Faktor alat, dipengaruhi
oleh pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.
• Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial, misalnya Infeksi saluran kemih.
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, dihubungkan dengan penggunaan kateter urin.
Nosokomial pneumonia, terutama karena pemakaian ventilator, tindakan trakeostomy, intubasi,
pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Nosokomial bakteremi yang memiliki resiko kematian
yang sangat tinggi.
• Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit terutama dari dinding, lantai, tempat tidur,
pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
III.2 Saran
• Eliminasi dan kurangi perkembangan agen penyebab infeksi dan faktor lainnya yang
menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial.
• Penybaran infeksi nosokomial terutama dari udara dan air harus menjadi perhatian utama agar
infeksi tidak meluas.
• Mengurangi prosedur-prosedur invasif untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
• Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial memerlukan suatu rencana yang terintegrasi,
monitoring dan program untuk mengawasi kejadian infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Olmsted RN. APIC Infection Control and Applied Epidemiology: Principles and Practice. St
Louis, Mosby; 1996
2. anonymus. Infectious Disease Epidemiology Section. www.oph.dhh.louisiana.gov
3. Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition.
World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response;
2002
4. Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of Internal Medicine
15 Edition.-CD Room; 2001
5. Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2001
6. Surono, A. Redaksi Intisari. agussur@hotmail.com
7. Anonymus. Preventing Nosocomial Infection.Louisiana; 2002
8. Suwarni, A. Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata
Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah
Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Badan Litbang
Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta; 2001
9. Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science Press limited,
Cleveland Street, London; 1995
10. Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta;2004
11. Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious diseases,
second ed, Boston; 2002
Pajanan di tempat kerja. Pajanan ini biasa terjadi dalam sarana medis, dan berasal jika darah,
air mani, cairan vagina atau ASI dari seorang yang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang
lain, dalam hal ini biasanya petugas perawatan kesehatan. Peristiwa yang termaksud biasanya
kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. Pajanan
juga dapat terjadi dengan pisau bedah, atau jika darah atau cairan lain pasien kena luka terbuka,
atau mulut, hidung atau mata petugas atau orang lain.
Pajanan akibat hubungan seks berisiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat seorang
Odha berhubungan seks dengan pasangan HIV-negatif.
Pajanan akibat perkosaan. Pemerkosa hampir pasti tidak memakai kondom. Tambahannya,
jika hubungan seks terjadi secara paksa, yang sering disertai kekerasan, risikonya lebih tinggi.
Kemungkinan terjadinya penularan akibat tertusuk jarum suntik adalah rendah: rata-rata 0,3%.
Kurang lebih satu dari 300 kasus akan menghasilkan infeksi HIV pada petugas kesehatan, bila
tidak dilakukan tindakan pencegahan.
tusukan dalam;
darah dapat terlihat pada alat yang menyebabkan luka;
jarum atau alat sebelumnya ditempatkan pada pembuluh darah pasien; atau
pasien sumber mempunyai viral load HIV yang tinggi.
Luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik. Jangan dihisap dengan mulut,
dan jangan ditekan karena ini tidak berguna. Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan
betadine selama lima menit atau alkohol selama tiga menit.
Keputusan harus diambil apakah PPP akan dimulai, berdasarkan hasil penyelidikan. Keadaan
yang dianggap cukup berat untuk mulai PPP termasuk:
PPP dilakukan dengan penggunaan obat antiretroviral (ARV) – lihat Lembaran Informasi (LI)
403. Dahulu, hanya satu jenis obat, yaitu AZT, dipakai. Penelitian menunjukkan penurunan 79%
pada risiko tertular dengan penggunaan obat tunggal ini. Namun sekarang, dua jenis obat (AZT +
3TC) biasanya dipakai, dan jika risiko dianggap sangat tinggi, diusulkan ditambah satu jenis obat
lagi, biasanya protease inhibitor, misalnya lopinavir/r (Kaletra/Aluvia). Nevirapine dan efavirenz
tidak diusulkan untuk PPP.
Terakhir ini, beberapa pakar mengusulkan dipakai tenofovir + 3TC/FTC, ditambah Aluvia untuk
yang berisiko tinggi. Namun rejimen ini belum disetujui dalam pedoman nasional.
PPP harus dimulai secepatnya setelah pajanan, sebaiknya dalam 1-2 jam dan tidak lebih dari 72
jam.
PPP harus dilangsungkan selama empat minggu, tetapi boleh dihentikan jika ada efek samping
yang berat. Jika pasien sumber pajanan ternyata HIV-negatif, dan tidak ada kemungkinan dia
masih dalam masa jendela, PPP dapat dihentikan. Namun tes HIV pada pasien sumber harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan – lihat LI 102. Jelas, kerahasiaannya harus dijamin.
Diusulkan orang yang terpajan melakukan tes HIV pada awal (tidak lebih dari 24 jam), dan
setelah 4, 12, dan 24 minggu.
Orang yang terpajan harus segera diberi konseling, dan konseling harus tersedia lagi selama
masa memakai PPP.
Saat ini di Indonesia, PPP hanya disediakan untuk petugas layanan kesehatan yang mengalami
kecelakaan kerja.
Harus diingat bahwa ada beberapa infeksi lain yang diangkut darah, dengan daya menular yang
jauh lebih tinggi dibandingkan HIV. Infeksi ini termasuk virus hepatitis B dan C, yang sering
menyertai HIV pada orang yang terinfeksi melalui penggunaan jarum suntik bergantian. Semua
infeksi ini dapat dicegah dengan penggunaan kewaspadaan universal (lihat LI 811).
Kewaspadaan ini termasuk penggunaan sarung tangan lateks dan pelindung lain waktu
melaksanakan tindakan yang berisiko pada semua pasien, bukan hanya mereka yang diketahui
terinfeksi penyakit tersebut.
Garis Dasar
Profilaksis pascapajanan (PPP) adalah penggunaan ARV secepatnya setelah terjadi peristiwa
yang berisiko penularan HIV, untuk mencegah infeksi HIV. PPP dapat mengurangi risiko
terinfeksi hingga 79%.
PPP hanya dipakai setelah penyelidikan menunjukkan ada risiko pada orang yang terpajan.
Hanya 0,3% pajanan menghasilkan infeksi HIV. Karena ARV dapat menyebabkan efek samping
yang cukup berat, sebaiknya PPP hanya dipakai jika benar-benar dibutuhkan.
PPP terdiri dari dua atau tiga obat yang dipakai dua kali sehari selama empat minggu. PPP tidak
100% efektif; berarti PPP tidak menjamin pajanan pada HIV tidak akan menghasilkan infeksi.
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan pada sarana medis adalah melaksanakan
kewaspadaan universal pada semua pasien.
Istilah 'hepatitis' berarti radang hati. Peradangan ini bisa disebabkan oleh zat kimia, obat bius,
terlalu banyak minum alkohol atau beberapa jenis virus. Hepatitis C, atau "hep C", disebabkan
oleh virus hepatitis C.
Hep A, hep B dan hep C adalah virus yang berlainan yang menyebabkan peradangan hati. Cara
penularannya juga berbeda. Anda bisa mendapatkan vaksinasi untuk pencegahan hep A dan hep
B, tetapi belum ada vaksin pencegahan untuk hep C. Ada kemungkinan terjangkit virus hepatitis
yang berlainan pada waktu yang bersamaan.
Satu dari seratus orang di Australia dan diseluruh dunia terinfeksi hep C, dan banyak orang tidak
tahu bahwa mereka terinfeksi. Seseorang bisa terinfeksi hep C tanpa mengetahuinya karena
gejalanya bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Hep C ditularkan sewaktu darah yang terinfeksi masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi. Walaupun jumlah darahnya sangat kecil untuk dilihat dengan mata biasa, masih bisa
menularkan virus. Banyak mitos tentang bagaimana penularannya hep C, maka sangat penting
untuk diingat bahwa:
Resiko tinggi
• Alat-alat medis yang tidak steril atau alat-alat medis di dokter gigi dan pengobatan tradisional
dengan cara menindik tubuh. Cara penularan hep C yang disebut diatas pada umumnya terjadi di
banyak negara. Donor darah, vaksinasi, dan prosedur medis sudah aman di Australia.
• Di Australia kasus penularan Hep.C lebih banyak disebabkan oleh penggunaan alat-alat suntik
obat bius yang sudah dipakai orang lain, termasuk juga steroid.
• Tato dan menindik tubuh yang tidak steril.
Resiko rendah
• Luka tertusuk jarum bagi petugas kesehatan.
• Penularan dari Ibu ke anak mungkin bisa terjadi selama mengandung atau setelah melahirkan
jika Ibu terinfeksi hep C.
• Transfusi dan produk darah di Australia sebelum tahun 1990.
• Menggunakan barang orang lain yang mungkin ada darah yang tertinggal, contohnya pisau
cukur dan sikat gigi.
• Hubungan darah ke darah selama hubungan seks.
• Luka tertusuk jarum dari jarum bekas obat bius yang dibuang ditempat umum.
Hep C terjadi di semua Negara di dunia. Sampai saat ini di Australia masih beresiko, demikian
juga di negara anda dan negara lainnya.
Kebanyakan penderita tidak mengalami gejala hep C. Jika penderita mengalami gejala, biasanya
gejala yang lazim ialah: selalu lelah, rasa mual dan rasa sakit di bagian perut bawah.
Page 2
Satu-satunya cara untuk menentukan apakah anda mempunyai hep C adalah menjalani tes darah.
Anda bisa meminta dokter untuk menjalani tes ini. Bisa juga menanyakan ke dokter tentang hep
C dan tes hep C.
Anda bisa mendapatkan tes secara gratis dan rahasia di klinik kesehatan seksual, tanpa kartu
kesehatan ("medicare card").
Sangat penting bagi penderita hep C melakukan pemeriksaan rutin oleh dokter, dan menjaga
kesehatannya sebaik mungkin.
Dewan Hepatitis C di daerah Anda (Hepatitis C Council) akan memberikan dukungan dan
informasi tentang hidup dengan hep C.
Tidak semua penderita hep C memerlukan perawatan, ada beberapa kondisi yang memerlukan
pemeriksaan untuk perawatan. Untuk keterangan lebih lanjut anda bisa menghubungi dokter
anda atau dari Dewan Hepatitis C di daerah Anda ("Hepatitis C Council").
Ada beberapa penderita hep C yang menggunakan obat-obatan tradisional untuk mengurangi
gejala-gejala dan efek samping dari perawatan. Untuk keterangan lebih lanjut anda bisa
menghubungi Dewan Hepatitis C di daerah Anda ("Hepatitis C Council") atau ahli medis
tradisional yang terdaftar untuk obat-obatan tradisional.
Program jarum dan alat-alat semprot ("Needle and Syringe Programs" atau "NSP') membantu
mengurangi bahaya dari pengguna suntikan narkoba di Australia dan di seluruh dunia.
Sudah terbukti "NSP" di Australia cukup sukses dalam pencegahan penularan hep C. Program
tersebut mengurangi pengaruh buruk bagi pribadi, keluarga dan masyarakat yang disebabkan
oleh penyakit ini dan juga menghemat milyaran dolar bagi masyarakat.*
Hep C bisa membawa aib dan salah pengertian. Membuat orang merasa malu dan terkucil.
Dukungan dan pengertian untuk penyandang hep C, akan memudahkan bagi keluarga, teman,
dan masyarakat kita.
Masalah terbesar bagi penderita hep C adalah kepada siapa kita bisa mengatakannya
(menyingkapkan). Jika seseorang mengatakan kepada anda bahwa dia menyandang hep C,
jangan memberi tahu orang lain kecuali jika Anda diizinkandari penderita. Merusak kepercayaan
seseorang mengakibatkan tekanan batin yang berat bagi penderita.
Dewan Hepatitis C di daerah Anda ("Hepatitis C Council") dapat memberi Anda informasi
secara rahasia dan dukungan tentang pengungkapan, diskriminasi dan pekerjaan.
Jika Anda ingin menghubungi pelayanan tersebut dalam bahasa Indonesia, bisa menelepon
penterjemah atau "Translating and Interpreting Service" ("TIS") di nomor 131 450 (sama ongkos
lokal). Dengan bantuan penterjemah anda bisa disambungkan ke nomor telpon yang anda minta.
Dan anda bisa berbicara dengan pelayanan yang anda inginkan.
I.1 Definisi
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala
klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di
rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah
selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan
menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial 1,2,3,4
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi
endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan
berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara
infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit
dan dari satu pasien ke pasien lainnya. 1,2,5
BAB II
ISI
II.1 Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial
II.1.1 Agen Infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit. Kontak
antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis
karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:3
• karakteristik mikroorganisme,
• resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
• tingkat virulensi,
• dan banyaknya materi infeksius.
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain
(cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous
infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-
bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan
oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau
jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.3
1. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan
bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi
pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi
yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai
sebagai penyebab infeksi saluran kemih.
Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun
endemik. Contohnya :
• Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren
• Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat
menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali
telah resisten terhadap antibiotika.
• Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella,
Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang
menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif ini
bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
• Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru, dan
peritoneum.
2. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk virus
hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi.
Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian
jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme
lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus
lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza
virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.3,11
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi
ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia,
diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan
toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan
yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya
prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan
tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.3,9
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap
antibiotika, mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut.
Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama
terjadinya resistensi. Banyak strains dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak antibiotikaa, begitu
juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat
nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada
atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, dan
menjadi sangat penting karena:
• Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
• Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur
• Mikororganisme yang baru (mutasi)
• Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu:
jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72
jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan pronsip anti sepsis, cairan
infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi
terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat
infus dan bakteremia.
Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory syncytial virus dan influenza. Pada pasien
dengan sistem imun yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan
Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita tuberkulosis yang tinggi,
kebersihan udara harus sangat diperhatikan.
II.2.3 Bakteremi Nosokomial
Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi nosokomial, tetapi dengan resiko
kematian yang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan antibiotika seperti
Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum
suntik, kateter urin dan infus.
Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan
prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter atau infus.
Infeksi kulit dan jaringan lunak. Luka terbuka seperti ulkus, bekas terbakar, dan luka bekas
operasi memperbesar kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya infeksi sistemik.
Dari golongan virus yaitu herpes simplek, varicella zooster, dan rubella. Organisme yang
menginfeksi akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan kesehatan yang
diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki dan perbedaan negara yang didiami.
Infeksi ini termasuk:1
• Infeksi pada tulang dan sendi
Osteomielitis, infeksi tulang atau sendi dan discus vertebralis
• Infeksi sistem Kardiovaskuler
Infeksi arteri atau vena, endokarditis, miokarditis, perikarditis dan mediastinitis
• Infeksi sistem saraf pusat
Meningitis atau ventrikulitis, absess spinal dan infeksi intra kranial
• Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut
Konjunctivitis, infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna, mastoiditis, sinusitis, dan
infeksi saluran nafas atas.
• Infeksi pada saluran pencernaan
Gastroenteritis, hepatitis, necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal
• Infeksi sistem pernafasan bawah
Bronkhitis, trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya
• Infeksi pada sistem reproduksi
Endometriosis dan luka bekas episiotomi
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1 Kesimpulan
• Faktor- faktor yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial tergantung dari agen yang
menginfeksi, respon dan toleransi tubuh, faktor lingkungan, resistensi antibiotika, dan faktor alat.
• Agen Infeksi yang kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada: karakteristik
mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi
infeksius. Respon dan toleransi tubuh pasien dipengaruhi oleh: Umur, status imunitas penderita,
penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan
immunosupresan dan steroid, intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa
dan terapi. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh padatnya kondisi rumah sakit, banyaknya pasien
yang keluar masuk, penggabungan kamar pasien yang terkena infeksi dengan pengguna obat-
obat immunosupresan, kontaminasi benda, alat, dan materi yang sering digunakan tidak hanya
pada satu orang pasien. Resistensi Antibiotika disebabkan karena: Penggunaan antibiotika yang
tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan
menggunakan antibiotika yang terlalu singkat, dan kesalahan diagnosa. Faktor alat, dipengaruhi
oleh pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.
• Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial, misalnya Infeksi saluran kemih.
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, dihubungkan dengan penggunaan kateter urin.
Nosokomial pneumonia, terutama karena pemakaian ventilator, tindakan trakeostomy, intubasi,
pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Nosokomial bakteremi yang memiliki resiko kematian
yang sangat tinggi.
• Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit terutama dari dinding, lantai, tempat tidur,
pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
III.2 Saran
• Eliminasi dan kurangi perkembangan agen penyebab infeksi dan faktor lainnya yang
menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial.
• Penybaran infeksi nosokomial terutama dari udara dan air harus menjadi perhatian utama agar
infeksi tidak meluas.
• Mengurangi prosedur-prosedur invasif untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
• Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial memerlukan suatu rencana yang terintegrasi,
monitoring dan program untuk mengawasi kejadian infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya.
Infeksi Nosokomial
Infeksi Nosokomial adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di Rumah
Sakit. Bagi pasien yang dirawat di Rumah Sakit ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi
penyebab langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Beberapa kejadian Infeksi
Nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pasien akan tetapi menjadi penyebab penting bagi
pasien yang dirawat lebih lama di Rumah Sakit.
Infeksi Nosokomial adalah Infeksi yang secara potensial dapat dicegah atau sebaliknya dapat juga
merupakan infeksi yang tidak dapat dicegah.
Rumah sakit merupakan suatu gudang dari berbagai jenis bakteri pathogen, berbagai jenis
mikroorganisme terdapat dalam lingkungan rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana
orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien
mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari
kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun
dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan
rumah sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non medis.
- Keadaan pasien yang lemah, berhubungan dengan system imun pasien serta kulit ataupun membrane
yang rusak.
- Rantai penularan dalam rumah sakit, bisa berasal dari dokter, perawat, pasien, petugas bagian gizi,
petugas laboratorium, petugas kebersihan, pengunjung, serta alat-alat kedokteran dan perawatan.
- Melalui teknik sterilisasi dan disinfeksi yang harus benar-benar diperhatikan
- Pemakaian antibiotic harus sesuai indikasi
- Melengkapi rumah sakit dengan tenaga khusus yang menangani infeksi nosokomial, seperti halnya pada
komite pengendalian infeksi (Infection Control Committee)
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross
infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang
penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit
yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya
selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
Jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial adalah bakteri Enterobakteriaceae
dengan presentase sebesar >40%, bakteri S.aureus dengan presentase 11%, bakteri Enterococcus
dengan presentase 10%, dan bakteri P.aeruginosa dengan presentase 9%. Dari jenis bakteri tersebut,
yang merupakan penyebab paling sering dari infeksi nosokomial adalah bakteri jenis
Enterobacteriaceae. Berbagai tipe dari infeksi nosokomial yaitu infeksi saluran kemih, infeksi luka
operasi, infeksi saluran nafas bawah, bakteremia, dan infeksi kulit. Infeksi saluran kemih menduduki
presentase paling besar yaitu 50%, dan infeksi kulit dengan presentase yang jarang.
Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam
keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini.
Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah,
sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif
yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung
untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme
penyebab infeksi nosokomial. Sementara itu jenis infeksi yang dialami dapat berupa berbagai jenis
infeksi yang baru diketahui misalnya infeksi HIV / AIDS atau Ebola dan infeksi lama yang semakin virulen,
misalnya tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan. Mutu pelayanan di Rumah Sakit dapat
berpengaruh karena pasien bertambah sakit akibat infeksi nosokomial. Pengendalian infeksi nosokomial,
pada hakikatnya ditujukan pada tindakan pencegahan. Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah
Sakit melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran
pimpinan adalah penyediaan sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran petugas adalah sebagai
pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi. Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan
mutu pelayanan di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu dilakukan pelatihan yang
menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam pencegahan ineksi di Rumah Sakit. Namun
untuk tindakan pencegahannya terdapat beberapa kendala antara lain faktor biaya baik yang disediakan
oleh rumah sakit maupun yang ditanggung oleh pasien itu sendiri. Selain itu, faktor petugas ataupun
perawat juga perlu mendapatka perhatian dalam menjalankan tugasnya, terutama mengenai
pengetahuan tentang tindakan septic dan aseptic.
Pencagahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi dengan
memonitoring melalui program yang termasuk :
- Membatasi transmisi organism dari ataupun antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
menggunakan sarung tangan, tindakan septic dan aseptic seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan
tindakan sterilisasi maupun disinfektan.
- Melindungi pasien dengan menggunakan antibiotic yang adekuat serta nutrisi yang cukup maupun
dengan vaksinasi
Pencegahan penularan infeksi nosokomial di rumah sakit yaitu dengan Pembersihan yang rutin sangat
penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak
dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman.
Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai,
kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan adanya pemakaian
penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang
dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik akan lebih
banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun
suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan
terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat
menggunakan panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah
terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.
“Administrative Controls”
1. Pendidikan.
Mengembangkan sistem pendidikan tentang tindakan pencegahan kepada pasien,
petugas, dan pengunjung rumah sakit untuk meyakinkan mereka dan bertanggung
jawab dalam menjalankan nya
Secara periodic menilai ketaatan terhadap tindakan pencegahan dan adanya perbaikan
langsung
a. Memakai sarung tangan bersih/non steril pada saat menyentuh darah, cairan tubuh dan
peralatan yang terkontaminasi dan saat menangani peralatan yang habis dipakai
b. Ganti sarung tangan diantara prosedur pada pasien yang sama
c. Melepaskan sarung tangan segera setelah dipakai, sebelum menyentuh peralatan atau
permukaan lingkungan yang tidak terkontaminasi dan sebelum ke pasien berikutnya
a. Memakai masker selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan
terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien
4. Gaun/apron
a. Memakai gaun selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang
memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien
b. Segera melepas gaun dancuci tangan untuk mencegah berpindahnya
mikroorganisme ke pasien dan lingkungannya
5. Peralatan perawatan pasien
a. Segera melakukan dekontaminasi peralatan yang dipakai setelah dibersihkan dahulu
dari noda darah atau cairan tubuh pasien
b. Membersihkan dan memproses kembali peralatan yang dipakai ulang sesuai
prosedur sebelum digunakan ke pasien berikutnya
c. Peralatan yang sekali pakai segera dibuang sesuai prosedur pembuangan limbah.
a. Tidak melakukan “fogging” untuk tujuan menurunkan rate infeksi nosokomial
pengendalian lingkungan.
b. Melakukan pembersihan dengan cairan desinfektan setiap hari atau bila perlu pada
semua permukaaan lingkungan seperti meja pasien, meja petugas, tempat tidur,
peralatan samping tempat tidur pasien, standard infus, pegangan pintu.
c. Membersihkan dan mengepel lantai dengan cairan desinfektan dua kali sehari atau
bila perlu.
d. Membatasi jumlah pengunjung pada waktu yang bersamaan.
e. Membatasi jumlah personil pada waktu yang sama di ruangan perawatan
7. Linen
a. Memisahkan linen ternoda darah atau cairan tubuh dengan linen kotor tanpa noda.
b. Memisahkan linen kotor pasien terinfeksi dengan pasien non infeksi.
a. Berhati-hati saat menangani jarum, scapel, instrumen yang tajam atau alat kesehatan
lainnya dengan permukaaan tajam,
b. Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasinya dengan kedua
tangan.
d. Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakai kedalam wadah yang tahan tusuk dan air,
dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan.
e. Gunakan mouthpieces, resussitasi bags atau peralatan ventilasi lain sebagai alternatif
mulut ke mulut.
Tempatkan pasien yang dapat menkontaminasi lingkungan atau yang tidak dapat memelihara
kebersihan lingkungannya di ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak ada konsultasikan
dengan petugas pengendalian infeksi mengenai penempatan pasien tesebut untuk mencari
alternatif.
C. “Airborne Precaution”
3) Pengeluaran udara keluar yang tepat atau mempunyai penyaringan udara yang efisien
sebelum udara dialirkan ke area lain di rumah sakit
5) Bila kamar tersendiri tidak ada, tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien lain
dengan infeksi mikroorganisme yang sama atau ditempatkan secara kohort.
6) Tidak boleh menempatkan pasien satu kamar dengan infeksi yang berbeda
b. Orang yang rentan tidak dibenarkan memasuki ruangan pasien yang diketahui atau diduga
mempunyai measles ( rubeola) atau varicella ( Chickenpox)
c. Jika orang yang rentan harus memasuki ruangan pasien yang diketahui atau di duga
mempunyai measles (rubeola) atau varicella, mereka harus memakai respiratory
proctection( N 95) respirator
d. Orang yang immune terhadap measles rubeola) atau varicella tidak perlu memakai
perlindungan pernapaasan
b. Jika harusppindah atau transportasi gunakan masker bedah pada pasien
b. Bila pasien tidak mungkin di kamar tersendiri tempatkan pasien secara kohort
c. Bila hal ini tidak memungkinkan tempatkan pasien dengan jarak 3 ft dengan pasien
lainnya.
2. Masker
a. Batasi pemindahan dan transportasi pasien dari kamar pasien, kecuali untuk tujuan yang
perlu
b. Untuk meminimalkan penyebaran droplet selama transporasi pasien dianjurkan pakai
masker
b. Bila tidak ada kamar tersendiri tempatkan pasien secara kohort
b. Ganti sarung tangan jika sudah kontak dengan paralatan yang terkontaminasi dengan
mikroorganisme
e. Setelah melepas sarung tangan dan cuci tangan yakinkan bahwa tangan tidak menyentuh
peralatan atau lingkungan yang mungkin terkontaminas, untuk mencegah berpindahnya
mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain
3. Gaun
a. Pakai gaun bersih/non steril bila memasuki kamar pasien bila diantisipasi bahwa pakaian
akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau peralatan pasien didalam kamar
atau jika pasien menderita inkontenensia, diare, ileostomy, colonostomy, luka terbuka
c. Setelah melepas gaun pastikan bahwa pakaian tidak mungkin kontak dengan permukaan
lingkungan untuk menghindari berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan
lain
Batasi pemindahan dan transportasi pasien dari kamar, hanya untuk tujuan yang penting saja.
Jika pasien harus pindah atau keluar dari kamarnya pastikan bahwa tindakan pencegahan di
pelihara untuk mencegah atau meminimalkan resiko transmisi mikroorganisme ke pasien lain
atau permukaan lingkungan dan peralatan
b. Jika tidak memungkinkan pakai sendiri atau kohort lakukan pembersihan atau disinfeksi
sebelum dipakai kepada pasien lain
1. Semua petugas kesehatan harus rutin menggunakan sarana yang dapat mencegah kontak kulit
dan selaput lendir dengan darah atau cairan tubuh lainnya dari setiap pasien.
a. Harus menggunakan sarung tangan bila : menyentuh darah atau cairan tubuh, selaput lendir
atau kulit yang tidak utuh; mengelola alat kedokteran/kedokteran gigi yang tercemar darah atau
cairan tubuh; mengerjakan semua prosedur yang menyangkut pembuluh darah. Sarung tangan harus
b. Menggunakan masker dan pelindung mata (kacamata) atau pelindung wajah (face shield) bila
mengerjakan prosedur yang memungkinkan terjadinya percikan darah atau cairan tubuh agar mukosa
mulut, hidung dan mata terhindar dari percikan. Masker dipakai hanya dalam waktu 20 menit, satu
masker untuk satu pasien. Bila dipakai lebih dari 20 menit, permukaan luar masker akan menjadi
tempat perlekatan bakteri patogen dan tidak lagi berfungsi sebagai barrier.
c. memakai baju praktek khusus pada waktu melakukan tindakan yang dapat menimbulkan
2. Tangan dan bagian tubuh lainnya harus dicuci sebersih mungkin dengan sabun antiseptik bila
tercemar darah atau cairan tubuh lainnya. Tangan harus segera dicuci segera setelah melepas sarung
tangan.
3. Semua petugas kesehatan harus memakai sarung tangan khusus (heavy duty) untuk mencegah
kemungkinan tertusuk jarum, pisau dan benda tajam lainnya selama pelaksanaan tindakan, pada saat
berlangsungnya prosedur/tindakan. Semua benda tajam yang telah selesai digunakan harus
ditempatkan di suatu wadah khusus yang tahan tusukan dan dimasukkan ke dalam kantung khusus
(Bio Hazzard Bag), serta harus terjamin aman untuk dibawa ke tempat pemrosesan alat atau ke
4. Tindakan resusitasi dari mulut ke mulut harus dihindarkan, sehingga perlu disediakan alat
5. Petugas yang mempunyai luka atau lesi yang mengeluarkan cairan, misalnya dermatitis basah,
harus menghindari tugas yang bersifat kontak langsung dengan peralatan yang telah digunakan untuk
pasien. Bila dokter gigi/perawat gigi memiliki luka pada jarinya, maka luka tersebut harus ditutup
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Nosokomial merupakan masalah serius bagi semua rumah sakit. Kerugian yang
ditimbulkan sangat membebani rumah sakit maupun pasien. Terjadinya infeksi nosokomial
dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain :
- Banyaknya pasien yang dirawat yang menjadi sumber infeksi bagi lingkungan dan pasien
lainnya.
- Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.
- Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang tercemar kuman dengan pasien.
- Penggunaan alat / peralatan medis yang tercemar oleh kuman.
- Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya.
Pengendalian Infeksi Nosokomial merupakan suatu upaya penting dalam meningkatkan mutu
pelayanan medis rumah sakit. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keterlibatan secara aktif
semua personil rumah sakit, mulai dari petugas kebersihan sampai dengan dokter dan mulai
dari pekarya sampai dengan jajaran Direksi. Kegiatannya dilakukan secara baik dan benar di
semua sarana rumah sakit. ; peralatan medis dan non medis, ruang perawatan dan prosedur
serta lingkungan.
Mengingat kegiatan yang penting ini melibatkan berbagai disiplin dan tingkatan personil rumah
sakirt. Diperlukan adanya prosedur baku untuk setiap tindakan yang berkaitan dengan
pengendalian infeksi nosokomial. Prosedur baku yang dituangkan dalam tata laksana
pengendalian infeksi nosokomial ini merupakan prosedur maksimal yang harus diupayakan
untuk dilaksanakan seluruhnya sesuai dengan situasi pada saat dan tempat pelaksanaannya.
Diharapkan dengan adanya tata laksana pengendalian infeksi nosokomial yang merupakan
pelengkap dari pedoman pengendalian infeksi nosokomial ini seluruh personil RS. Islam Klaten
memiliki sikap dan perilaku yang sama dalam mengendalikan infeksi nosokomial. Hasil akhir
yang diharapkan adalah peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh oleh RS.
Islam Klaten terhadap pasien.
BAB II
PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dimaksud untuk menghindari
terjadinya infeksi selama pasien dirawat di rumah sakit. Pelaksanaan upaya pencegahan infeksi
nosokomial terdiri atas :
- Kewaspadaan Universal
- Tindakan Invasif
- Tindakan Non invasive
- Tindakan terhadap anak dan neonatus
- Sterilisasi dan Desinfeksi
KEWASPADAAN
Definisi :
“ Universal Precautions “ atau Kewaspadaan Universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan
oleh Centers for Disease Cotrol ( CDC ) ( 1985 ) untuk mencegah penyebaran dari berbagai
penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan
kesehatan lainnya. Adapun konsep yang dianut adalah bahwa semua darah dan cairan tubuh
tertentu harus dikelola sebagai sumber yang dapat menularkan HIV, HBV dan berbagai
penyakit lain yang ditularkan melalui darah.
Dengan menerapkan KU setiap petugas kesehatan dapat terlindung semaksimal mungkin dari
kemungkinan terpapar oleh infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh
baik dari kasus yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnose. Sebagai keuntungan
tambahan, transmisi dari kebanyakan infeksi yang ditularkan dengan cara lainpun terhadap
petugas kesehatan dan pasiennya akan dikurangi pula.
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai mikroorganisme pada
seorang pasien, khususnya infeksi virus seperti HIV, Hepatitis B dll, penting peranannya dalam
manajemen kasus. Akan tetapi atas dasar berbagai pertimbangan sampai saat ini penapisan ( “
screening “ ) terhadap berbagai infeksi virus tidak mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada
infeksi oleh HIV terdapat masa jendela yang mana pada masa tersebut darah atau cairan tubuh
penderita, sudah dapat menularkan infeksi akan tetapi HIV belum dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip KU dalam upaya pencegahan infeksi
merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan
melalui darah maupun cairan lainnya. Di bawah ini disampaikan langkah – langkah yang perlu
diperhatikan sebagai prosedur pencegahan infeksi, khususnya infeksi HIV. Perlu diingatkan
bahwa langkah – langkah di bawah ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur
standar dalam tiap – tiap tindakan pemrosesan alat / instrument secara tepat, pembuangan
sampah / limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan lingkungan
sekitarnya.
5. Prosedur Anesthesi
Prosedur Anasthesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan HIV pada tenaga
kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Perlu disediakan nampan /troli untuk alat – alat yang sudah dipergunakan.
b. Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam wadah yang aman.
c. Pakailah obat – obatan sedapat – dapatnya untuk dosis dengan 1 kali pemberian.
d. Menutup spuit adalah prosedur resiko tinggi.
e. Sangat dianjurkan agar petugas anasthesi melewati uji kelayakan terlebih dahulu untuk
meminimalkan resiko terluka oleh jarum suntik dan alat lain yang tercemar darah dan cairan
tubuh.
6. Lokasi kagiatan lainnya yang memerlukan perhatian adalah di mobil ambulan, ruang
emergency, laboratorium serta kamar jenazah.
Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan tubuh.
1. Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain – lain : Keluarkan
darah sebanyak – banyaknya, cuci dengan sabun dan air atau dengan air saja sebanyak –
banyaknya.
2. Paparan pada membrane mukosa melalui cipratan kemata : Cuci mata secara “ gentle “
dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air cairan NaCL.
3. Paparan pada mulut : Keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara berludah kemudian
kumur – kumur dengan air beberapa kali.
4. Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit sedang mengalami perlukaan, lecet atau
dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan sabun antiseptic.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan HIV yang
adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Pejamu – pun harus terus dimonitor
kemungkinan infeksinya. Selama pemantauan, tenaga kesehatan yang terpapar tersebut
memerlukan konseling mengenai resiko infeksi dan pencegahan transmisi selanjutnya.
Tentunya individu tersebut diingatkan untuk tidak menjadi donor darah ataupun jaringan,
melakukan hubungan seksual yang aman dan mencegah kehamilan. Dibeberapa Negara seperti
Australia, diberikan zidovudine ( AZT ) profilaksis 200 mg oral, 5 kali / hari selama 6 minggu.
TINDAKAN INVASIF
Petugas khusus adalah semua petugas yang bekerja didalam kamar tindakan.
- Tidak memperhatikan kebersihan perorangan.
- Mempunyai penyakit infeksi / menular / karier.
- Tidak mematuhi tata tertib yang berlaku di kamar operasi.
- Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
- Ceroboh dalam bekerja.
- Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
- Kuku panjang
- Mencuci tangan dengan cara yang tidak benar.
b. Alat
- Tidak steril.
- Diluar batas waktu yang ditetapkan ( kadaluwarsa ) tanpa disterilkan lagi.
- Untuk pemakaian berulang tanpa disterilkan lagi.
- Penyimpanan tidak baik.
- Kotor.
- Rusak / karatan.
c. Pasien
- Higiene pasien tidak baik.
- Keadaan gizi tidak baik.
- Menderita penyakit kronis.
- Menderita penyakit infeksi / menular / karier.
- Sedang menapatkan pengobatan imunosupresif.
- Persiapan pasien dari ruang rawat tidak baik.
- Daerah sekitarnya terdapat tanda – tanda infeksi, missal : sakit kulit, dsb.
d. Lingkungan
- Penerangan / sinar matahari tidak cukup.
- Sirkulasi udara harus cukup, tidak lembab dan berdebu.
- Dijaga kebersihannya.
- Menghindari serangga.
- Mencegah air tergenang.
- Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
- Tidak ada serangga.
- Permukaan lantai harus rata dan tidak berlubang.
- Ruangan bersih, kering dan tidak berbau.
- Dinding kamar operasi harus licin mudah dibersihkan.
- Sudut ruangan tidak tajam.
- Mengatur system sirkuasi udara dalam kamar operasi.
- Cahaya cukup terang.
- Dipisahkan lalu lintas untuk petugas, pasien, barang bersih dan kotor.
- Jumlah petugas yang keluar masuk ke kamar operasi dibatasi.
- Ruangan dibersihkan secara rutin, mingguan atau pada kasus infeksi tertentu.
Tindakan non invasive adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat kesehatan
tanpa memasukkan kedalam tubuh pasien yang memungkinkan mikroorganisme masuk ke
dalam jaringan.
Contoh : Tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah, pengukuran
nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill tes, pemasangan holter dan lain – lain.
Tindakan terhadap anak / neonatus dapat berupa tindakan invasive, invasive operasi maupun
tindakan non invasive. Pencegahan infeksi pada tindakan terhadap anak / neonatus meliputi :
1. Petugas
- Harus dalam keadaan sehat.
- Tidak menderita penyakit menular seperti tuberkulosa, penyakit saluran nafas lainnya.
Penyakit gastro intestinal, penyakit kulit atau mukokutaneus seperti herpes dan lain – lain.
- Pakaian petugas yang bekerja dibangsal anak / neonatus berlengan pendek agar mudah
untuk mencuci tangan.
- Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien harus mencuci tangan dengan antiseptic atau
sabun serta air mengalir.
- Khusus bila kontak dengan neonatus tangan harus dicuci sampai ke siku dengan sabun dan
air mengalir serta digosok dengan sikat ( pertama kali masuk bangsal ) kemudian dapat dipakai
larutan antiseptic.
- Sebelum masuk ke bangsal neonatus, topi, masker dan sarung tangan hanya dipakai pada
waktu melakukan tindakan invasive seperti fungsi lumbal, ganti darah, kateterisasi umbilical /
jantung.
- Kuku harus pendek, memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
1. Alat
- Semua alat yang dipakai selalu dalam keadaan bersih dan kering.
- Harus dalam keadaan steril kalau mungkin alat disterilkan dengan autoklaf atau dapat juga
dengan menggunakan desinfektan setelah alat dibersihkan.
- Inkubator / tempat tidur bersih dan kering kalau mungkin disterilkan dengan desinfektan /
detergen. Tempat tidur / incubator dibersihkan setiap bayi / anak dipulangkan / dipindah /
meninggal.
- Bayi / anak hanya boleh disatu tempat tidur selama 1 minggu.
- Tempat tidur tidak boleh dibersihkan selama anak berada ditempat tidur.
4. Lingkungan
- Kamar / ruang peralatan cukup sinar matahari yang masuk ketempat perawatan sehingga
secara tidak langsung bayi yang kuning mendapatkan terapi sinar.
- Kamar / ruang harus ada penerangan / sinar yang diperlukan untuk menghangatkan ruangan.
- Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
- Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
- Lantai, dinding dan jendela dibersihkan dengan desinfektan / detergen atau penghisap debu
kering yang diikuti dengan wet vaccum pick up machine. Bagian yang harus dibersihkan adalah
sekitar pasien dan lingkungan tempat perawatan.
Untuk kerja yang bertanggung jawab terhadap proses sterilisasi di rumah sakit adalah Instalasi
Sterilisasi Sentral. Instalasi Sterilisasi Sentral mempunyai kegiatan mengelola semua kebutuhan
peralatan dan perlengkapan tindakan bedah serta non bedah. Mulai dari penerimaan,
pengadaan, pencucian, pengawasan, pemberian tanda steril penyusunan dan pengeluaran
barang – barang hasil sterilisasi ke unit pemakaian di RS.
2. Tehnik Sterilisasi
Sebelum memilih tehnik sterilisasi yang tepat dan efisien diperlukan pemahaman terhadap
kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan dan alat yang akan disterilkan.
Kontaminasi terjadi karena adanya perpindahan mikroorganisme yang berasal dari berbagai
macam sumber kontaminasi.
3. Pengawasan
Suatu bahan steril yang dihasilkan selama dalam penggunaan harus dapat dijamin kualitas dan
kuantitasnya. Waktu kadaluwarsa suatu bahan steril sangat tergantung kepada tehnik
sterilisasi. Pengawasan terhadap proses sterilisasi dapat dilakukan dengan cara mentest bahan
atau alat yang dianggap masih steril dengan memakai indicator fisika, kimia dan biologi
tergantung pada tehnik sterilisasi yang digunakan waktu mensterilkan bahan / alat tersebut.
4. Pengujian
Ada tiga pilihan yang dapat digunakan sebagai tehnik dalam pengujian sterilisasi :
a. Pemanasan sample langsung pada media pembenihan.
b. Pembilasan penyaring, hasil pembilasan diinkubasikan setelah ditanam dalam media
pembenihan.
c. Penambahan media pembenihan paket ke dalam larutan yang akan diuji kemudian
diinkubasi.
Jaminan hasil penguian dapat dicapai jika pengawasan dimulai semenjak pemilihan bahan dan
alat yang akan disterilkan. Tehnik sterilisasi yang akan dipakai sampai dengan proses
penyimpanan dan pendistribusian bahan / alat yang sudah steril.
DESINFEKSI
1. Pengertian
Desinfeksi adalah suatu proses baik secara kimia atau secara fisika dimana bahan yang
patogenik atau mikroba yang menyebabkan penyakit dihancurkan dengan suatu desinfeksi dan
antiseptic.
Desinfektan adalah senyawa atau zat yang bebas dari infeksi yang umumnya berupa zat kimia
yang dapat membunuh kuman penyakit atau mikroorganisme yang membahayakan
menginaktifkan virus.
Antiseptik adalah zat – zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan hidup.
Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan antiseptic di rumah
sakit adalah Instalasi Farmasi.
Instalasi Farmasi mempunyai kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan, pembuatan,
penyusunan dan penyaluran desinfektan / antiseptic ke unit pemakai di rumah sakit.
2. Tehnik Desinfeksi
Tehnik desinfeksi yang dilakukan tidak mutlak bebas dari mikroorganisme hidup seperti pada
sterilisasi karena desinfektan / antiseptic tidak menghasilkan sterilisasi.
Pemilihan desinfetan yang tepat seharusnya memenuhi criteria berikut :
a. Daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas yang rendah.
b. Spektrum luas, dapat mematikan berbagai macam mikroorganisme.
c. Dalam waktu singkat dapat mendesinfeksi dengan baik.
d. Stabil selama dalam penyimpanan.
e. Tidak merusak bahan yang didesinfeksi.
f. Tidak mengeluarkan bau yang mengganggu.
g. Desinfektannya sederhana dan tidak sulit pemakaiannya.
h. Biaya murah dan persediaannya tetap ada dipasaran.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan desinfektan yaitu sifat – sifat zat kimia yang akan
digunakan seperti konsentrasi, temperature, pH dan bentuk formulasinya disamping itu
kepekaan mikroorganisme terhadap kerja zat kimia serta lingkungan dimana desinfektan
tersebut akan digunakan.
Macam macam desinfektan yang dapat dipakai dalam tehnik desinfeksi digolongkan
berdasarkan struktur kimia senyawa :
2. Pengawasan Desinfeksi
Pengawasan desinfeksi dilakukan terhadap penggunaan desinfeksi sangat tergantung kepada
pengaruh suhu, pencemaran, pH, aktifitas permukaan, jumlah mikroorganisme dan adanya zat
– zat yang mengganggu pada waktu mempergunakan desinfektan.
BAB III
SURVEILANS
Meskipun berbagai upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit telah dilaksanakan
secara optimal, agaknya infeksi nosokomial di rumah sakit akan tetap terjadi, namun demikian
jumlah kejadian yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pengendalian
infeksi nosokomial serta upaya penanggulangannya bila terjadi wabah atau kejadian luar biasa,
perlu dilaksanakan surveilans infeksi nosokomial di rumah sakit.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap timbulnya
penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit. Analisa data dan
penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam prose situ.
Jenis Operasi :
a. Operasi Bersih :
- Operasi pada kasus non trauma.
- Operasi yang tak mengenal daerah dengan tanda infeksi.
- Operasi yang tak membuka respiratori, urinarius.
- Umumnya luka operasi ditutup primer dan tak dipasang drain.
Mis : FAM, hernia, lipoma, tiroid, internal fixasi pada fraktur – fraktur tertutup.
c. Operasi Tercemar :
- Operasi membuka getivus dengan pencemaran nyata.
- Operasi membuka billiard dengan empedu yang terinfeksi.
- Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
- Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
- Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.
Mis : Kholesistektomi pada empyeme KE, operasi membuka kolon dengan pencemaran isi usus
luka tusuk tanpa menembus.
d. Operasi kotor :
- Operasi perforasi digestivus, billair, urinarius, respiratosius.
- Operasi yang mengenai daerah inflamaasi bakteriel.
- Operasi melalui daerah bersih untuk membuka bases.
- Operasi luka trauma dengan ada jaringan yang non vital / benda asing / kontaminasi feces,
kejadian ditempat yang kotor, pertolongan / operasi dilakukan 6 jam setelah trauma.
Mis : Traimatic mputasi, trauma tumpul abdomen dengan perforasi usus, trauma kotor dengan
korpus alineum.
Dan biakan urin > 100.000 kuman / ml dengan tidak lebih dari dua jenis mikroorganisme :
* Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik
* dan salah satu tanda :
- Tes carik celup ( dipstick ) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit.
- Pluria ( 10 lekosit/ml atau > 3 lekosit /LPB pada urine yang tidak disentrifus.
- Mikroorganisme positif pada pewarnaan gram pada urine yang tidak disentlifus.
- Biakan urine dua kali dengan hasil kuman uropatogen yang sama dengan jumlah > 100.000
kuman/ml dari urin yang diambil secara steril.
- Biakan urin dengan hasil satu jenis kuman uropatogen dengan jumlah 100.000 kuman/ml dan
pasien diberi antibiotic yang sesuai.
- Diagnosis oleh dokter.
- Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
Biakan urin dengan jumlah > 100.000 kuman/ml urin dengan tak lebih dari dua jenis kuman.
* tidak memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dengan dua kali hasil biakan
> 100.000/ml dengan mikroorganisme yang sama yang tak lebih dari dua jenis dan tak ada
gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik
3.1.1. Klinis
1). Untuk Dewasa dan anak > 12 bulan.
Ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
- Suhu > 380C, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretika.
- Hipotesi, sistolik < 90 mmHg.
Oliguri, jumlah urin < 0,5 cc/kbBB/jam
Dan
Semua gejala / tanda yang disebut dibawah ini :
- Tidak ada tanda – tanda infeksi di tempat lain.
- Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis.
CATATAN :
- Suhu badan diukur secara aksiler selama 5 menit dan diulang setiap 3 jam,
- Apabila pasien menunjukkan gejala, suhu tubuh diukur secara oral atau rectal.
2). Untuk bayi umur 12 bulan. Ditemukan salah satu gejala / tanda berikut tanpa penyebab lain
:
- Demam > 380C
- Hipotermi < 370C
- Apnea
- Bradikardi < 100x/mnt
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
- Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.
3) Untuk Neonatus
Dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3 atau lebih diantara enam
gejala berikut :
- Keadaan umum menurun antara lain : malas minum, hipotermi (< 370C) hipertermi ( 380C )
dan sklerema.
- Sistem kardiovaskuler antara lain :
tanda renjatan yaitu takikardi, 160/mnt atau bradikardi, 100/mnt dan sirkulasi perifer buruk.
- Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah dan hepatomegali.
- Sistem pernafasan antara lain : nafas tak teratur, sesak, apnea dan takipnea.
- Sistem saraf dan pusat antara lain : hipertermi otot, iritabel, kejang dan letargi.
- Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali dan perdarahan.
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
- Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada pertumbuhan kuman.
- Tidak terdapat tanda – tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.
3.1.2. Laboratorik
Untuk orang dewasa dan anak umur > 12 bulan.
Ditemukan satu diantara 2 kriteria berikut :
1). Kuman pathogen dari biakan darah dan kuman tersebut tidak ada hubungannya dengan
infeksi ditempat lain.
2). Ditemukan satu diantara gejala klinis berikut :
- Demam > 380C.
- Menggigil
- Hipotensi
- Oliguri
Dan
Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman tersebut tidak ada
hubungannya dengan infeksi ditempat ( organ / jaringan ) lain.
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan alat intravascular
( kateter intravena ) dan dokter telah memberikan antimikroba yang sesuai dengan sepsis.
CATATAN :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
1. Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
2. Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa didapatkan pintu masuk kuman.
3. Pintu masuk kuman jelas misalnya luka infuse.
B. PENGUMPULAN DATA SURVEILANS INFEKSI NOSOKOMIAL
Data minimal yang perlu dikumpulkan antara lain adalah nama pasien, umur, jenis kelamin,
nomor rekam medik, nama ruang, tanggal kejadian. Data lain dapat dikumpulkan hanya apabila
akan dilakukan analisis, kadang – kadang dicatat juga diagnosis primer invasive yang dilakukan
sebelum terjadi infeksi dan antibiotika yang diberikan.
3. Direktur menerima laporan dari Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial melalui Komite
Medis dan menindak lanjuti laporan tersebut.
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia sampai saat ini,
oleh akrena itu antibiotic masih tetap diperlukan. Perkembangan yang pesat di bidang Farmasi
mengingkatkan produksi obat – obatan baru khususnya antibiotic. Produksi antibiotic yang
meningkat menyebabkan banyaknya antibiotic yang beredar dipasaran baik dalam jumlah, jenis
maupun mutu.
Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional maka
perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotic. Oleh karena penggunaan antibiotic yang tidak
rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti terjadinya kekebalan kuman
terhadap beberapa antibiotic, meningkatnya kejadian efek samping obat, biaya pelayanan
kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan pasien.
Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan penggunaan
antibiotic agar dapat menekan serendah – rendahnya efek yang merugikan dalam pekamaian /
penggunaan antibiotic.
TUJUAN
Untuk membudayakan penggunaan antibiotic secara rasional di rumah sakit sebagai upaya
dalam meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan fungsi rumah sakit dengan tidak
mengurangi tanggung jawab professional dari dokter dan apoteker dalam pengobatan terhadap
pasien.
Arti penting dari pertimbangan factor – factor ini tergantung dari derajat penyakit dan tujuan
pemberian antibiotic apakah untuk profilaksis atau untuk terapi. Diagnose penyebab infeksi
sedapat mungkin ditegakkan melalui tata laksana pemeriksaan mikrobiologi klinik yang relevan
beserta interprestasi antibiogram yang memadai dan informasi klinik / farmasi klinik mengenai
jenis – jenis antibiotic yang tersedia.
Idealnya setiap pasien infeksi perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis yaitu pembuatan
sediaan Gram, kultur kuman dan uji kepekaannya untuk menunjang diagnose klinis dan
pemberian pengobatan yang tepat.
Kultur kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotic harus dilakukan pada penyakit – penyakit
berikut : sepsis, meningitis, peritonitis, salmonelosis, sigelosis, keracunan makanan karena
bakteri, ISPA, tuberculosis dan kandidiasis. Pengambilan spesiman pemeriksaan mikrobiologis
dilakukan sebelum pengobatan.
Dalam hal uji biakan dan uji kepekaan kuman belum ada hasilnya atau tidak bisa dikerjakan,
pemilihan antibiotika ditentukan berdasarkan penilaian klinik penderita, jadi bukan semata –
mata atas dasar hasil biakan kuman.
PEMBERIAN ANTIBIOTIK
1. Profilaksis
• Bedah
• Medik
3. Terapetik
• Secara Empirik ( educated guess )
• Secara definitive ( pasti)
Pada antibiotic profilaksis bedah tujuan utama adalah untuk mengurangi terjadinya ILO dengan
mengupayakan konsentrasi antibiotic yang mematikan mikroorganisme pada saat sayatan
dimulai sampai operasi selesai.
Secara spesifik antibiotic profilaksis bedah adalah untuk mencegah :
• Infeksi yang sering terjadi.
• Terjadi infeksi local yang berat ( pada protesis sendi, protesis vaskuler ).
• Kemungkinan terjadinya infeksi sistemik yang berat pada pasien yang beresiko tinggi.
• Kemungkinan infeksi fatal ( operasi penggantian katup jantung ).
Syarat pemberian profilaksis adalah antibiotic yang tepat, harus diberikan dalam jangka waktu
yang tepat pada lokasi yang tepat dan konsentrasi yang tepat. Antibiotik haus diberikan dengan
cara yang tepat tidak boleh mengganggu pasien atau lingkungannya, tidak boleh menyebabkan
kekebalan dan harganya murah.
Dalam memilih antibiotic profilaksis hendaknya diperhatikan hal – hal sebagai berikut :
• Spektrum bakterisida.
• Kemungkinan resistensi
• Cara pemberian dan penyerapannya.
• Konsentrasi pada lokasi infeksi.
• Lama bekerja
• Metabolisme
• Bukti klinis yang baik
• Toksisitas yang rendah
• Efek samping
• Harga.
BAB V
PENUTUP
Tata laksana yang dicantumkan merupakan prosedur baku maksimal yang harus diupayakan
untuk dilaksanakan seluruhnya oleh setiap personil Rumah Sakit yang terlibat dan berlaku
sietiap ruang terkait. Disadari bahwa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya
dan dana masih merupakan kendala di RS. Islam Klaten.
Namun keterbatasan ini tidak dapat dipergunakan sebagai alas an untuk menurunkan baku
prosedur pelayanan kesehatan yang harus dberikan kepada pasien. Dengan memiliki
pengetahuan dan sikap yang memadai, diharapkan semua personil Rumah Sakit akan memeiliki
perilaku dan kemampuan yang memadai pula dalam memanfaatkan sarana dan prasarana yang
tersedia secara bertepat guna dan berhasil guna dalam pengendalian infeksi nosokomial secara
berencana dan terorganisir dengan baik merupakan suatu keharusan bagi setiap rumah sakit.
Peranan VCT
VCT dalam hal HIV merupakan jembatan yang sangat penting antara pencegahan HIV dengan perawatan dan
dukungan.
VCT mendorong perubahan perilaku dan mempertahankannya dan menjembatanai intervensi seperti;
pencegahan penularan ibu ke bayi, pencegahan penularan IMS, serta pencegahan dan penanganan TB maupun
infeksi oportunistik lainnya.
VCT memfasilitasi rujukan dini ke layanan klinik yang komprehensif dan layanan berbasis masyarakat, layanan
perawatan dan dukungan, termasuk akses terapi antiretroviral (ARV)
VCT memperbaiki kualitas hidup dan memainkan peran yang menentukan dalam penurunan stigma dan
diskriminasi
Prinsip VCT
Kerahasiaan = Terjamin Kerahasiaan proses dan hasil tes, diketahui oleh klien dan konselor serta orang lain
yang dikehendaki klien
Sukarela = Klien melakukan VCT berdasarkan kesadaran dan keinginan pribadi
Konseling = VCT tidak boleh dilakukan tanpa konseling atau dilakukan secara diam-diam
Persetujuan = Harus diadakan persetujuan antara klien dengan konselor dalam bentuk “lembar persetujuan”
(Informed consent)