You are on page 1of 17

PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN

IBNU SINA DAN FAZLUR RAHMAN

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas individu
Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan
Dosen Pengampu Mustolih, M.Pd.I, M.Pd.

Disusun Oleh:
Nama : SUTARJO
NIM : 2083271

PROGRAM S.1/PAI/VI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011

1
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA (AFGANISTAN)

A. Riwayat Hidup Ibnu Sina


Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan
nama ini telah menimbulkan pebedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersesut diambil dari bahasa latin,
Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari
kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat
kelahirannya, yaitu Afshana.
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual
muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan
dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di
kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang
termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan
polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk
wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai
berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini
termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh
tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal
sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah
mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota
kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca
al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam
seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya,
ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman
pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut
pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
Ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi
berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan
ilmu yang teoritis.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina
diantaranya:
1. Mahmud al-Massah (ahli matematika)
2. Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
3. Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran
secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada
zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan
praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga
bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan
Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu
kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan
praktek.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan
dilanjutkan ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan
perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di

2
Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil
mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah
seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia
misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al-
‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-
Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy
al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia,
dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan
Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik.
Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula
serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah
kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina
memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang
yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan
sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-
Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu
ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke
Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya
seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-
Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi
Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan
Al-‘Arab. Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata Negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu
pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan
kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

B. Konsep Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina


Pemikiran Ibnu sina dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan
dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan
hukuman dalam pendidikan. Kelima aspek yang dikemukakan Ibnu Sina ini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan
budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan
pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan
hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala
sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan
menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).

3
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar
terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan
pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan
bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan
kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan
meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat
keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan
dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang
mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut
tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang
sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang
dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya
secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar
eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau
ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang
mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya
sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan
sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak
sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar
menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam
masyarakatnya.
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat
perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya,
menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan
pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal.
Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar
memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki
kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan
kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam
mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung
di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan
yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini
Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan
tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan
cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik
yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja
diantara anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina
lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan
dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang
tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya.
Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi
kehidupan anak didik.

4
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan
kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat,
memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran
hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan,
sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui
mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak
yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu
Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran
agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di
samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan
ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari
agama islam seperti pelajaran fasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan
pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara
membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam
mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah
menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian
penetapan pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan
mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun
dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan
Ibnu Sina sendiri.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina
mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran
tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan
perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara
demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut
dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan
jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu
Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional,
yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang
dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing
oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap
difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat
dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman
pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia
coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia
menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan
menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
3. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada
setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina
selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik.
Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu
materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-
macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan
berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus
disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara

5
metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya
relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain
metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan
penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan
untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara
memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi
sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh
mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang
hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan
nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan
dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan
mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan
tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah
menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah
sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara
menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina
mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran
yang paling efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut secara
umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm
perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian
di atas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian
pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa
pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini
dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang
mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan
praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari
berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan
pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan
kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal
dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan
sejumlah naskah atau modul).
Dalam keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut diatas
terdapat empat ciri penting, yakni:
a. uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya
keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan pengajaran.
b. setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif
kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia
peserta didik.
c. metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan
minat dan bakat si anak didik.
d. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang
menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka
perguruan tinggi.
Ciri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan
dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu
Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.

6
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang
guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang
baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak,
cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan
suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu
sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya,
cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam
penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah
mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah
membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan
sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak,
oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik,
contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk
dalam jiwa anak yang menirunya.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam
kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat
menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm
dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari
sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak
suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar
pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan
hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling
diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control
secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan
sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang
ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa
atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh
dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang
menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.

C. Analisis
Konsep pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan sekali untuk
diaplikasikan di zaman sekarang, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu
Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah
Unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan seperti yang
diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria
seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Hal ini nampak bahwa
konsep pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina benar-benar
mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.

7
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN FAZLUR RAHMAN (PAKISTAN)

A. Sekilas Tentang "Rahman"


"Rahman" dilahirkan pada 1919 di daerah Barat Laut Pakistan, dan
dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi, sebuah Mazhab Sunni
yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia
pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis
terhadap Sunni juga terhadap Syi'i. Rahman, mempelajari ilmu-ilmu Islam secara
formal di Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang
ulama dari Deoband. Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah,
"Rahman", melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab.
Pada 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di universitas
tersebut dengan meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun "Rahman"
terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional, sikap kritis
mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan
kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan
terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dari keputusannya studi ke Barat,
Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun sebelum Pakistan
mendeka "Rahman" berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford
University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi "Rahman".
Keputusan "Rahman" untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford,
bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum
mampu menciptakan iklim intelektual yang solid ("Rahman", dikutip Gufron
A.Mas'adi, 1997:15-16).
Pada tahun 1951, "Rahman" menyelesaikan studi doktornya di Oxford
University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Ia pernah mengajar di
Universitas Durham untuk beberapa waktu, kemudian di Institute of Islamic
Studic Research, Karachi. Di antara karya-karyanya yang pernah dipublikasikan
adalah: (1) Prophecy in Islam, London, 1958 : (2) Ibnu Sina, De Amina, (teks
berbahasa Arab), Oxford, 1959 : (3) Islam; (4) Major Themes of the Qur'an, (5)
Islamic Methodology in History, Islamabad, 1969. (6) Islam and Modernity
Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, 1982, dan beberapa tulisan
atau buku lainnya. Rahman juga menjabat sebagai guru besar tentang pemikiran
Islam di University of Chicago.
Pada tahun 1970 "Rahman" hijrah ke Amerika, ia menjadi Guru Besar
kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Departement of Near Eastem Languages
and Civilization, University of Chicago. Keputusan "Rahman" hijrah ke Chicago
didasarkan pada pengalaman pengabdiannya di Pakistan, negeri dan tanah airnya
sendiri. Bahwa Pakistan dan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap
menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab
("Rahman", dikutip Gufron A.Mas'adi, 1997 : 30).
"Rahman", bukanlah seorang tokoh parsial dalam aspek pemikiran
tertentu, misalnya teologi, filsafat, hukum Islam dan sebagainya, tetapi ia hampir-
hampir mengkaji dan menguasai segala aspek pemikiran Islam dalam posisi yang
hampir merata. Keseluruhan pemikiran "Rahman" merupakan wujud dan
kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam dewasa ini, di mana krisis tersebut
sebagian berakar dalam sejarah Islam sendiri, dan sebagian lagi adalah tantangan
modernitas. Dengan dorongan rasa tanggung jawab terhadap Islam, umat dan
masa depan mereka di tengah-tengah modernitas dewasa ini, "Rahman"
mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisi tersebut ("Rahman",
dikutip Gufron A.Mas'adi, 1997 : 32)

8
B. Pemikiran "Rahman" Tentang Pendidikan
Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal, yaitu sejak
awal Islam. Pada masa awal pendidikan idektik dengan upaya da'wah Islamiyah,
karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama itu
sendiri. Menurut pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-Qur'an
dan ajaran-ajaran Nabi. Menurut "Rahman", sejak dari awal masa Islam, ada dua
jenis pendidikan di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Jenis
pertama, pendidikan sekolah istana. Jenis pendidikan ini diadakan untuk
pangeran-pangeran dengan tujuan untuk mencetak mereka menjadi pemim[pin-
pemimpin pemerintah kelak. Pendidikan ini mencakup pendidikan agama, tetapi
lebih menekankan pada bidang pidato, kesusastraan, dan lain-lain. Sedangkan
pendidikan "nilai-nilai kekesatria" di atas segalanya. Jenis kedua, pendidikan
orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak, yang tujuannya terutama
mengajar mereka mengenai al-Qur'an dan agama, dan bukan keterampilan
membaca dan menulis. Menurut "Rahman", dari jenis pendidikan inilah tumbuh
sekolah-sekolah tingkat tinggi yang tumbuh melalui halaqah-halaqah atau
kelompok-kelompok para murid berkumpul mengelilingi seorang guru tertentu.
Untuk itu, dalam pembahasan ini terlebih dahulu berbicara tentang watak
ilmu pengetahuan Islam dan Kurikulum yang menyangkut dengan proses pem-
baharuan pendidikan tinggi Islam.
1. Watak Ilmu Pengetahuan Islam Era Pertengahan
Rahman, awal mula dan tersebarnya ilmu pengetahuan Islam pada
masa-masa awal Islam berpusat pada individu-individu dan bukannya
sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha
individual. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadits dan
membangun sistem-sistem theologi dan hokum mereka sendiri di seputarnya,
menarik murid-murid dari daerah lain, yang mau menimba ilmu pengetahuan
dari mereka. Karena itu, ciri utama pertama dari ilmu pengetahuan tersebut
adalah pentingnya individu guru. Sang, guru, setelah memberikan pelajaran
seluruhnya, secara pribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada
muridnya yang dengan demikian diizinkan untuk mengajar. Ijazah tersebut
kadang-kadang diberikan untuk suatu mata pelajaran tertentu (Fihq atau
Hadits), Kadang-kadang ijazah tersebut meliputi beberapa mata pelajaran dan
kadang-kadang berlaku untuk kitab-kitab khusus yang telah dibaca muridnya.
Tetapi ketika madrasah-madarasah mulai munculan, system ujian sering
diadakan. Tetapi peranan dan prestise guru secara individual adalah
sedemikian besarnya sehingga, bahkan sesudah perngorganisasian madrasah-
madrasah.
Pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang
termasyhur bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi adalah bekas-bekas
murid informal guru-guru individu. Berkaitan erat dengan pentingnya guru
secara senteral ini adalah fenomena yang dikenal sebagai mencari ilmu
(thalabul ilm). Mahasiswa-mahasiswa pengembara melakukan perjalanan-
perjalanan yang jauh, kadang-kadang dari ujung ke ujung dunia Islam. Inilah
merupakan fenomena studi atau mencari ilmu pengetahuan pada abad
pertengahan.
Sistem madrasah; yang secara luas didasarkan pada sponsor dan
control negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan
kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan
kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari
kemunduran ini, walaupun mempercepat dan melestarikan kemacetan
tersebut. Menurut Rahman, sebab sebenarnya dari penurunan kualitas ilmu
pengetahuan Islam adalah kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan

9
karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga
kemudian mati. Para ulama menentang kaum Mu'tazilah dan Syi'ah, para
'Ulama telah memperoleh pengalaman dalam mengembangkan il-mu-ilmu
mereka sendiri dan mengajarkannya dengan cara sedemikian rupa yang bisa
mengokohkan pertahanan ilmu-ilmu tersebut. Sistem sekolah secara fisik jadi
terisolir dari oposis.
Lebih penting lagi adalah cara di mana isi dari ilmu-ilmu ortodoks
tersebut dikembangkan, hingga dapat diisolir dari kemungkinan tantangan dan
oposisi. Susunan dalam ilmu-ilmu keagamaan dibuat sedemikian rupa hingga
membuatnya tampak mutlak swa-sembada (self-sufficient); ilmu-ilmu
keagamaan tersebut menurut Rahman mengisi dan menempati semua bidang
ilmu pengetahuan, sehingga semua ilmu pengetahuan yang lain adalah
tambahan-tambahan yang tak diperhitungkan, atau sama sekali dikutuk.
Pernyataan yang dikutip dari ahli hukum al-Syathibi, menyatakan bahwa
mencari ilmu apapun juga yang tidak langsung berhubungan dengan amal
adalah terlarang, pandangan ini merupakan ciri khas pandangan ulama zaman
pertengahan. Rahman, mengatakan bahwa pernyataan ulama-ulama Islam
zaman pertengahan, mengesampingkan filsafat, tetapi sebenarnya juga
matematika, kecuali ilmu berhitung dasar. Sikap ini diambil untuk
memberikan kedudukan yang mutlak kepada ilmu hukum-fiqh. Sedangkan
mengenai theology dogmatis bersaing dengan ilmu hukum untuk merebutkan
kedudukan puncak dalam skema ilmu pengetahuan Islam, ia menegakkan
dirinya sebagai pengganti filsafat-rasional.
Lebih lanjut Rahman mengatakan sejak abad ke-6 H/12 M, Fakhruddin
al-Razi, memperluas ruang lingkup dengan mencakup logika dari sistem-
sistem filosofis, dengan cara menambah teorinya tentang fisika dan filsafat
kealaman, dan juga mengganti metafisika filosofisnya dengan thesis-thesis
theologi dogmatisnya. Maka, seorang mahasiswa tidak perlu mempelajari
semua karya-karya filosofis, karena theologi telah menghasilkan suatu ilmu
yang komprehensif. Skema filosofis-theologis itu tidak perlu dicemohkan,
karena pemikiran semacam ini merupakan tanda kesuburan dalam pemikiran
Islam. Rahman, mengatakan bahwa Thomas Aquinas pun telah melakukan hal
yang sama untuk agama Kristen pada zaman pertengahan Eropa. Tetapi bila
kandungan skema tersebut dipandang mutlak secar eksklusif, maka ia akan
kehilangan semua kemungkinan tantangan kreatif yang mungkin timbul.
Maka, menurut "Rahman" apabila secara organis menghubungkan semua
bentuk ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai alat theologi dogmatis,
maka sumber-sumber kesuburan intelektual jadi kering dan pemikiran orisinal
mati.
Melalui proses ini, menurut "Rahman", dengan sendirinya kurikulum
madrasah diredusir secara sangat merugikan yang mengakibatkan timbulnya
pandangan yang sempit dan juga menyebabkan pendidikan keagamaan yang
tinggi menjadi lesu. Katib Chelebi (w.10-67 H/1657 M) meretapi kelayuan
sain-sain rasional dan juga theology tinggi sebagai berikut: "Tetapi banyak
orang tidak cerdas yang pasti laksana batu-batu, membeku dalam peniruan
kepada nenek moyangnya.
Tanpa berpikir lagi, mereka menolak dan mengingkari ilmu-ilmu yang
baru. Sebenarnya menurut "Rahman" ada dua pendekatan dasar kepada
pengetahuan modern telah dipakai oleh teori-teori Muslim modern (1)
memperoleh pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi
praktis karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah
memerlukan produk intelektual Barat. (2) Karena kaum Muslimin tanpa takut
bisa dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tetapi juga

10
intelektualismenya, karena tidak ada jenis pengetahuan yang merugikan,
bagaimanapun juga sain dan pemikiran murni telah giat dibudidayakan oleh
kaum Muslimin pada awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih
oleh orang Barat.
Menurut "Rahman", pandangan yang pertama mendorong atau
melahirkan sikap dualistis pemikiran yang "sekularis", suatu dualitas loyalitas;
kepada agama dan "urusan dunia". Disisi lain Rahman, mengatakan bahwa:
(1) berkembangnnya ilmu dan semangat ilmiah dari abad ke-9 sampai abad
ke-13 di kalanngan umat Islam berasal dari terlaksananya perintah al-Qur'an
untuk mempelajari alam semesta - karya Allah yang memang diciptakan
untuk kepentingan manusia, (2) pada abad-abad pertengahan akhir semangat
penyelidikan di dunia Islam macet dan merosot, (3) Barat telah melaksanakan
kajian-kajian ilmiah yang sebagian besar dipinjamny dari kaum Muslimin dan
karena itu mereka memperoleh kemakmuran, bahkan menjajah negeri-negeri
Muslim, (4) karena itu umat Islam, dalam mempelajari ilmu baru dari Barat
yang maju, berarti meraih kembali masa lampau mereka dan sekaligus untuk
memenuhi sekali lagi perintah-perintah al-Qur'an yang terlupakan.
2. Kurikulum dan Pengajaran
Rahman, melihat dengan penyempitan lapangan ilmu pengetahuan
umum melalui tiadanya pemikiran umum dan sain-sain kealaman, maka
kurikulum dengan sendirinya menjadi terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan
murni dengan gramatika dan kesusasteraan sebagai alat-alatnya yang memang
diperlukan. Mata pelajaran keagamaan murni yang disebut Rahman adalah
Hadits atau Tradisi, Fiqh atau Hukum (termasuk 'Ushul al-Fiqh atau Prinsip-
prinsip Hukum), Kalam atau theologi, dan Tafsir atau eksegesis al-Qur'an.
Dibanyak madrasah sayap kanan Ahl al-Hadits, bahkan theologi dicurigai,
maka dengan sendirinya hanya tiga matapelajaran.
Menurut Rahman, kemerosotan gradual standar-standar akademik
selama berabad-abad terletak pada fakta bahwa, sangat sedikit buku-buku
yang tercantum dalam kurikulum, waktu yang diperlukan untuk belajar sangat
singkat untuk bias menguasai bahan-bahan yang 'kenyal' dan seringkali sulit
dipahami pelajaran ilmu keagamaan yang tinggi pada usia yang relatif muda
dan belum matang. Akhirnya kondisi belajar lebih banyak bersifat stusi
tekstual buku-buku daripada memahami pelajaran yang bersangkutan. Selain
itu juga pelajatan lebih banyak bersifat hapalan dari pada pemahaman yang
sebenarnya.
Kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran. Bahas
Arab dan tatabahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung, filsafat, hukum,
yurisprudensi, theologi tafsir al-Qur'an, dan Hadits. Si murid melewati kelas
demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran dan memulai dengan
mata pelajaran yang lain yang lebih tinggi. Dengan demikian sistem ini tidak
memberi banyak waktu untuk setiap mata pelajaran. Tugas guru hanya
mengajarkan komentar-komentar orang lain, di samping teks aslinya, dan guru
tampa menyertai komentarnya sendiri dalam pelajaran tersebut. Selain
Rahman mengatakan bahwa persaingan pendapat tentang mata pelajaran mana
yang lebih tinggi dari mata pelajaran yang lain. Persaingan antara ilmu hukum
dan theologi, dan banyak orang menganggap Hadits yang paling tinggi atau
besar di antara semua mata pelajaran, karena hadits menjadi sumber bahan.
Bahkan ada beberapa sekolah di mana hampir-hampir satu-satunya mata
pelajaran yang diajarkan adalah Hadits, sangat ironis sekali.
Rahman, membenarkan tesa sementara orang yang berbicara tentang
kekakuan disiplin-disiplin keagamaan dan orientasi umum pendidikan
madrasah terhadap kepentingan-kepentingan keagamaan, namun lapangan

11
pendidikan pada waktu itu, secara keseluruhannya adalah jauh dari kaku.
Rahman, mengatakan seorang pemikir abad kedelapanbelas, Syah Waliyullah
(w.1174 H/1761 M) telah meninggalkan warisan kurikulumnya sendiri dalam
sketsa otobiografinya? Kurikulum tersebut meliputi matematika, astronomi
dan kedokteran. Karena itu, sistem madrasah tidak mewakili keseluruhan
pendidikan Islam. Karena Syah Waliyullah tidak pernah belajar di madrasah,
tetapi hanya belajar privat di rumah dengan ayahnya.
3. Pemikiran "Rahman" Tentang Pendidikan Tinggi Islam
Esensi "Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksdukan
perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti
buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah
apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", karena bagi
Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Ia adalah pertumbuhan suatu
pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria
untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam.
Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada
metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa masalah al-Qur'an
harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam.
Jawabannya karena bagi Muslim al-Qur'an adalah kalam Allah yang
diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada
dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982: 1).
Proses penafsiran yang diusulkan terdiri dari suatu gerakan ganda, dari situasi
sekarang ke masa al-Qur'an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini.
Karena al-Qur'an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi,
kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi.
Gerakan ganda yang dikemukakan "Rahman" terdiri dari dua langkah.
Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur'an
tersebut merupakan jawabannya. "Kedua", menggeneralisasikan jawaban-
jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan
yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-
ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio kultural dan rationes legis
yang sering dinyatakan. Sedangkan Intelektualisme Islam yang dimaksud
yaitu suatu sisi bertolak dari ajaran Islam yaitu Qur'an dan Hadits oriented,
dan sisilain dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu pengetahuan
kontemporer.
Rahman, menawarkan perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi
Islam haruslah didasarkan dan berangkat dari pemahaman yang benar dan
pendalaman terhadap al-Qur'an, yang berfungsi sebagai petunjuk atau
inspirasi bagi generasi muda Islam. Disertasi DR. 'Abdul Rahman Salih,
tentang pendidikan berdasarkan al-Qur'an, karena "cara hidup Islami
ditentukan dalam al-Qur'an; mengikuti ini, maka fondasi-fondasi teori
pendidikan Islam pada dasarnya diambil dari al-Qur'an. Pendekatan apa pun
yang mengabaikan fakta fundamental ini pasti akan meng-hasilkan persepsi-
persepsi yang tidak akurat".
Rahman, terdapat kesadaran yang luas dan kadang-kadang mendalam
akan adanya dikotomi dalam pendidikan, namum semua upaya ke arah
integrasi yang asli sejauh ini, pada umumnya tidak membuahkan hasil.
Rahman, mengatakan perlu mencermati ciri-ciri pokok upaya-upaya yang
dilakukan untuk memperbahrui pendidikan Islam. Pada dasarnya ada dua segi
orientasi pembaharuan. Salah satu pendekatannya menerima pendidikan
sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di Barat dan
mencoba untuk "mengislamkan"nya yakni mengisi dengan konsep kunci

12
tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan: Pertama, membentuk
watak pelajar-pelajar/mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam
kehidupan dan masyarakat, dan kedua, untuk memungkinkan para ahli yang
berpendidikan modern untuk menamai bidang kajian masing-masing dengan
nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi; menggunakan
perspektif Islam, untuk mengubah di mana perlu baik kandungan maupun
orientasi kajian-kajian mereka.
Menurut Ahmad Syafii Maarif (1997: 1), jika proposisi ini atau
pendapat "Rahman" dapat diterima, maka paradigma baru pendidikan tinggi
Islam haruslah tetap berangkat dari pemahaman yang benar dan cerdas
terhadap Kitab Suci itu, yang berfungsi sebagai petunjuk, pencerahan,
penawar, sekalipun kemungkinan resikonya adalah bahwa beberapa bangunan
pemikiran Islam klasik harus ditolak atau diperkarakan. Cara ini terpaksa
ditempuh karena semua bangunan pemikiran tentang: filsafat, teologi,
sufisme, sistem hukum, moral, pendidikan, sosial budaya, dan politik, pasti
dipengaruhi oleh suasana ruang dan waktu. Analog dengan ini, maka hasil
pemikiran kitapun juga akan diperkarakan oleh generasi sesudah kita kalau
ternyata hasil pemikiran itu dinilai telah kehilangan kesegaran dan elan vital
untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang salalu berubah.
Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif (1997 : 3) mengatakan bahwa salah
satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang
diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang
sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung
kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti otoriter.
Proses penyadaran kembali terhadap tanggung-jawab global umat
ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang
diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan
segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap
samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya
di seluruh negeri Muslim. Rahman, melihat ada dua arah upaya-upaya
pembaharuan yang sedemikian jauh telah dilakukan. Dalam satu arah,
pembaharuan ini telah terjadi hampir seluruhnya dalam kerangka pendidikan
tradisional sendiri. Perubahan ini sebagian besar digerakkan oleh fenomena
pembahruan pra-modernis,....pembaharuan ini telah cenderung
"menyederhanakan" sillabus pendidikan tradisional, yang dilihatnya sarat
dengan materi-materi "tambahan yang tak perlu" seperti theologi zaman
pertengahan, cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika). Pada arah kedua,
suatu keragaman perkembangan telah terjadi, yang bisa diringkas dengan
mengatakan bahwa ragam-ragam perkembangan tersebut semuanya
mencerminkan upaya untuk menggabungkan dan memadukan cabang-cabang
pengetahuan modern dengan cabang-cabang pengetahuan lama. Dalam kasus
seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang
lingkup kurikulum. Rahman, melihat atau catatan percobaan di Indonesia,
ditunjang dengan pelajaran-pelajaran sore hari yang diselenggarakan menurut
cara pendidikan rendah modern dari sekolah-sekolah masa kini dengan
demikian memperpanjang jam belajar dan bukannya menambah jumlah tahun
belajar. Sedangkan pada tingkat akademi, dalam percobaan di Indonesia,
upaya-upaya ditujukan pada penggabungan ilmu-ilmu modern dengan ilmu-
ilmu tradisional. Banyak lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah
menekankan pelajaran bahasa Arab, dan banyak mahasiswa dan sarjana
Indonesia bisa berbicara secara lancar dengan bahasa Arab klasik. Banyak
lembaga pendidikan Islam Indonesia mengadakan hubungan dengan al-Azhar
melalui guru-guru besar tamu yang datang dari al-Azhar. Selain itu sejumlah

13
mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar ke al-Azhar. Maka, dalam
pandangan "Rahman", kemungkinan besar apabila diberikan waktu,
kesempatan, dan kemudahan-kemudahan, Islam Indonesia pasti akan mampu
mengembangkan suatu tradisi Islam pribumi yang bermakna, yang akan
benar-benar bersifat Islam kreatif.
Tampaknya, kurikulum pendidikan Islam tingkat tinggi yang
dikehendaki oleh Rahman adalah kurikulum yang terbuka bagi kajian-kajian
filsafat dan sain-sain sosial. Rahman, sangat menekankan peranan filsafat
sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas.
Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi
dalam menjalankan tugasnya "membangun suatu pandangan dunia
berdasarkan al-Qur'an". Rahman memandang penting keterlibatan sains-sains
sosial. Sains-sains tersebut merupakan produk perkembangan modern yang
berguna dalam memberikan keterangan kondisi obyektif suatu kehidupan
dunia yang obyektif pengejawantahan ajaran-ajaran al-Qur'an.

C. Analisis
Rumusan Rahman tentang pendidikan Islam, apabila dibandingkan dengan
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (1979: 21-22), mengatakan bahwa, pada
saat sekarang ini ada dua sistem pendidikan. Pertama, sistem tradisional, yang
telah membatasi dirinya pada pengetahuan klasik, belum menunjukkan minat
yang sungguh-sungguh pada cabang-cabang pengetahuan baru yang telah muncul
di dunia Barat atau pada metode-metode baru untuk memperoleh pengetahuan
yang penting dalam sistem pendidikan Barat.
Sistem ini memang berguna untuk pengetahuan teologi klasik, tapi para
ahli teologi klasik yang dilahirkan dari sistem ini pun tidak cukup mendapat bekal
pengetahuan intetelektual atau suatu metoda guna menjawab tantangan-tantangan
dari peradaban teknologi modern yang tak mengenal Tuhan. Sistem pendidikan
kedua yang didatangkan ke negeri-negeri Muslim, yang disokong dan didukung
sepenuhnya oleh semua pemegang pemerintah, adalah sistem yang dipinjam dari
dunia Barat. Puncak dari sistem ini adalah Universitas modern yang bersifat
sekuler keseluruhannya dan karena tidak mengindahkan agama dalam
pendekatannya terhadap pengetahuan. Orang-orang yang didik melalui sistem
pendidikan baru ini, yang dikenal sebagai pendidikan modern, pada umunya tidak
menyadari akan tradisi dan warisan klasik mereka sendiri. Kemudian
diciptakannya sistem ketiga yang mancakup suatu system pendidikan yang
terpadu memang perlu, tetapi kepaduan bukanlah suatu proses yang gampang.
Ada kekhawatiran sistem perpaduan ini menuntut penghapusan total atas
sistem pendidikan tradisonal, atau penurunan kedudukan dari sistem itu sampai
sedemikian rupa sehingga orang-orang akan memandang rendah padanya, atau
tidak menghargai mereka yang ingin mengambil spesialisasi dalam cabang itu.
Dari pendapat ini ada peluang terjadi dikotomi pendidikan Islam, artinya ada
dualism sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kejian-
kajian agama dengan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang dikotomi ini
menyebabkan pendidikan Islam belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid
besar.
Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman
efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak
dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi
Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari
pemahaman al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut Rahman
dengan "intelektualisme Islam".

14
Nampaknya bagi Rahman, dikotomi tidak merupakan alasan, karena salah
satu pendekatannya atau tawarnnya adalah dengan menerima pendidikan sekuler
modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan
mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep
kunci tertentu dari Islam. Maka, Rahman, mengatakan perlu mewarnai bidang-
bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. "Masalah pokoknya
bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk
produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual
bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam. perlu perluasan
wawasan intelektual Muslim dengan cara menaikkan standar-standar
intelektualnya.
Selain itu pemikiran Rahman, tentang pendidikan tinggi Islam
dibandingkan Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf dalam bukunya
Konsep Universitas Islam yang disimpulkan oleh Noeng Muhajir, bahwa
pembahasan dalam buku ini menawarkan tiga rekonstruksi dalam upaya
Islamisasi Universitas. Pertama, rekonstruksi tentang konsep ilmu. Yaitu
menawarkan memasukkan ilmu-ilmu naqliyyah, seperti al-Qur'an, Hadits, Fiqh,
Tauhid, dan Metafisika sebagai mata kuliah dasar umum elektif bagi mahasiswa,
melandasi disiplin ilmunya masing-masing yang aqliyyah sifatnya. Kedua,
rekonstruksi kelembagaan, yaitu: menjadikan lembaga pengembangan studi ilmu-
ilmu naqliyyah sebagai bagian dari universitas. Ketiga, rekonstruksi atau lebih
tepatnya pengembangkan kepribadian individual, mulai dari dosennya sampai ke
alumninya.
Menurut Noeng Muhajir, rekonstruksi pertama banyak tergantung kepada
pemegang otoritas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan. Rekonstruksi
kedua lebih banyak tergantung kepada pemegang otoritas kelembagaan perguruan
tinggi yang bersangkutan. Rekonstruksi ketiga memerlukan evolusi panjang
bertahun-tahun, yang peningkatan kualitasnya merupakan pangaruh timbal balik
dengan keberhasilan rekonstruksi kedua dan pertama. Konsep ini berbeda dengan
konsep yang ditawarkan "Rahman". Karena menurut Rahman, bahwa perumusan
pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan dan berangkat dari
pemahaman yang benar dan pendalaman terhadap al-Qur'an, yang berfungsi
sebagai petunjuk atau inspirasi bagi generasi muda Islam.

15
KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis


dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Konsep pemikiran pendidikan Ibnu Sina yaitu:
a. Pendidikan berbasis mutu: telaah atas pemikiran Ibnu Sina adalah pendidikan
yang berupaya untuk membentuk insan kamil (manusia sempurna) yaitu
mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Adapun
konsep pendidikan Islam menurut Ibnu Sina adalah:
1) Tujuan pendidikan ini lebih diarahkan pada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki oleh peserta didik menuju ke arah perkembangan
yang sempurna yakni perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti
serta pendidikan keterampilan dengan upaya untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat hidup di masyarakat
2) Dalam pembuatan kurikulum Ibnu Sina mendasarkan pada tingkat
perkembangan usia anak didik. Sehingga konsep kurikulum yang
ditawarkan oleh Ibnu Sina terdiri dari tiga ciri.
3) Dalam penggunaan metode pengajaran Ibnu Sina menyesuaikan dengas
sifat materi tersebut, sehingga antara materi dan metode akan terintegrasi.
Adapun metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina terdiri dari; metode
talqin, metode demonstrasi, metode pembiasaan dan teladan, metode
diskusi, metode magang serta metode penugasan.
4) Menurut Ibnu Sina seorang guru harus memiliki wawasan keagamaan dan
etika. Berkepribadian yang kokoh, memiliki kecerdasan dan retorika yang
baik, dapat menggunakan metode, media dan strategi yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik serta berkompetensi profesional dalam
pembentukan kepribadian anak.
2. Sementara Rahman, (1) menawarkan perumusan pemikiran konsep
pendidikan tinggi Islam yang hendak dikembangkan haruslah dibangun di atas
sebuah paradigma yang kokoh spritual, intelektual, dan moral dengan al-Qur'an
sebagai acuan pertama dan utama. Karena dengan paradigma model inilah akan
membangun peradaban akan datang yang unggul secara intelektual, anggun
secara moral yang berdasarkan al-Qur'an. (2) Tawaran kurikulum yang sifatnya
terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Karena itu, Rahman sangat
menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan
gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-
alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu
pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an". Maka, Rahman memandang penting
keterlibatan sains-sains sosial dalam khasanah pendidikan Islam.

16
DARTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam
Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.

--------, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia,
Pustaka, Bandung, 1984.

Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sain (sebuah Pengantar),
Pengantar dalam buku; Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,
Terj. H.Afandi dan Hasan Asari, Logos Publishing House, Jakarta, 1994.

Dikir.wordpress.com, konsep-pendidikan-ibnu-sina. /2009/07/30/

Digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/152/hubptain-gdl-wahyunido1-7574-6-babv.

Ghufron A.Mas'adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan


Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. II
2001)

17

You might also like