You are on page 1of 9

TRANSPORTASI RAMAH LINGKUNGAN (CIDOMO) DI

KOTA MATARAM
Bangsa Indonesia secara bertahap harus dapat mengelola potensi transportasi  lokal yang ramah
lingkungan. Potensi transportasi lokal yang ditopang oleh arah pembangunan yang berkelanjutan 
terlepas dari kecenderungan makin bertambahnya sumber polutan dalam kehidupan sehari hari
perlu mendapatkan pengelolaan yang berkelanjutan.

Sebuah pembangunan berdimensi lingkungan hidup  atau berwawasan lingkungan telah


disepakati sebagian besar negara didunia termasuk Indoensia  sebagai konsep, sebagai strategi
dan model yang diharapkan mampu menjaga pelestarian fungsi lingkungan (Hadi S.P, 2005)

Kelancaran pelayanan dan mobilitas merupakan hal yang penting dalam pembangunan
berkelanjutan. Dinegara negara Asia sekarang sedang terjadi kesemrawutan dan pencemaran.
Kemajuan pesat ini sangat mengancam keberadaan dari negara negara Asia, dimana jumlah
mobil dan sepeda motor yang tidak terkontrol jumlahnya telah mengancam dan mempengaruhi
kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan hidup di kota, produktifitas ekonomi dan kesejahtraan
sosial pada umumnya. Kini sektor transportasi sudah dikategorikan sebagai sumber penyebab
semakin cepatnya proses terbentuknya efek rumah kaca kemudian negara negara Asia diprediksi
sebagai negara yang terdepan dalam gelombang peningkatan penggunaan motorisasi yang
tentunya diikuti dengan meningkatnya gas emisi (Onogawa K, 2007). Dari hasil studi
WHO/ADB 50% sampai 80 % transportasi Kota Metro Manila telah mencemari udara perkotaan
setempat. Polusi yang berasal dari kegiatan transportasi ini kemudian dikaitkan dengan
timbulnya beberapa keluhan yang tercatat seperti gangguan saluran pernafasan dan penyakit
jantung. Dari hasil studi epidemologi yang berhubungan dengan pencemaran udara diketahui
beberapa keluhan seperti asma, bronchitis, serangan jantung dan stroke, data yang lain juga
menunjukkan pencemaran udara khusus dari kegiatan transportasi diperkirakan telah
mengakibatkan  kematian 200.000 orang  sampai 570.000 orang setiap tahun di seluruh belahan
bumi (Onogawa, 2007).

Menurut Soemarwoto (2003) di Indonesia pencemaran udara oleh mobil sebagian besar terjadi
di Kota Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya dan Medan, kemudian data dari World Bank tahun
1994 khusus Kota Jakarta pencemarannya telah mengakibatkan  kerugian  kesehatan, yang pada
tahun 1990 sebesar US$ 97.000.000,- (Sembilan Puluh Tujuh Juta US dollar) sampai US$
425.000.000,- (Empat Ratus Dua Puluh Lima Juta US dollar).

Kota kota besar didunia menghadapi permasalahan transportasi dengan skala yang berbeda,
walaupun secara umum memiliki kesamaan. Sektor transportasi, yang didominasi oleh moda
angkutan jalan raya menyumbang 25% CO2 pada proses global warming  (Onagawa K, 2007).
Protokol Kyoto menjadi bukti komitmen sebagian besar negara di bumi ini mengatasi
permasalahan pemanasan global, termasuk Indonesia. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan
bahwa harapan tidak selalu sejalan dengan keadaan lingkungan yang ada sekarang.

Harga BBM fosil  yang membumbung tinggi dan Energi tak terbarukan (minyak, gas bumi dan
batu bara) akan habis beberapa puluh tahun mendatang. Bahkan, krisis BBM sudah mulai
dirasakan saat ini secara global. Saat ini setiap manusia di dunia membakar (menggunakan) 10
liter minyak mentah/hari, tetapi hanya ditemukan 4 liter cadangan minyak mentah baru/hari
(carrying capacity sudah berkurang). KTB (Kendaraan Tidak Bermotor atau Non Motorized
Transportation) dalam hal ini cidomo mempunyai potensi sebagai Transportasi Ramah
Lingkungan (TRL) yang tidak menghasilkan CO2, NOx dan tidak tergantung BBM fosil.

Dalam upaya menurunkan dan menghemat penggunaan bahan bakar pemerintah kota berupaya
memfungsikan Transport Ramah Lingkungan sebagai angkutan alternatif untuk mempertahankan
kelancaran distribusi barang dan jasa maupun penumpang, memantapkan jaringan trayek dalam
mendukung kelancaran proses produksi, distribusi barang dan penumpang. Tersedianya angkutan
alternatif Kendaraan Tidak Bermotor (KTB) memberikan dampak positif seperti terlayaninya
transportasi masyarakat diluar trayek angkutan perkotaan (Angkot) dimana jasa perdagangan
umum perlu pembinaan terus menerus (Dishub.KotaMataram, 2005).

Namum beberapa permasalahan juga timbul dalam memfungsikan Transport Ramah Lingkungan
diantaranya jalan jalan kota penuh dengan limbah padat kotoran kuda (Dishub. Kota Mataram,
2005). Dengan semakin mahalnya harga BBM fosil keberadaan Transport Ramah Lingkugan
(cidomo) merupakan alternatif pilihan dalam transportasi pinggiran kota tetapi hal ini diikuti juga
dengan peningkatan polusi limbah kotoran kuda  disepanjang jalur trayek cidomo.

Jumlah cidomo (Transportasi Ramah Lingkungan) yang beroperasi di Kota Mataram ± 2.156
unit yang meliputi 1.156 unit berasal dari dalam kota dan 1.000 unit berasal dari Kabupaten
Lombok Barat, dalam jumlah tersebut sebulannya menghasilkan ± 210.900 Kg limbah kotoran
kuda,

Penelitian mengenai Pengelolaan Transportasi Ramah Lingkungan dirasa masih kurang banyak
dilakukan berhubung kesadaran dunia akan perlunya Transportasi Ramah Lingkungan baru
tercetus setelah dunia mengalami musibah yang beruntun akibat global warming yang
melahirkan Protokol Kyoto.

Untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan Transportasi Ramah Lingkungan di Kota


Mataram diperlukan langkah langkah relevan yang bisa diterapkan oleh para kusir sebagai
pengelola langsung dari Transportasi Ramah Lingkungan (TRL).

Solusi Udara Bersih Bandung dari Aspek Transportasi

krisna

Selasa, 1 - Mei - 2007, 12:46:51


klik untuk memperbesarBandung, itb .ac.id - Selasa (1/5), Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL)
bekerja sama dengan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Bandung mengadakan seminar
dan diskusi panel "Udara Bersih dan Transportasi: Solusi Dari, Oleh, dan untuk Kita Bersama." Acara ini
sebenarnya merupakan sosialisasi hasil penelitian korelasi perilaku mengemudi dengan pencemaran
udara yang telah dilakukan antara ITB dengan BPLHD. Para peneliti ITB yang turut dalam penelitian
yang disponsori CIDA dan Asian Institute of Technology ini berasal dari Kelompok Keahlian (KK)
Pengelolaan Udara dan Limbah, KK Teknologi Pengelolaan Lingkungan, serta KK Rekayasa Transportasi.

Kendaraan angkutan umum, atau 'angkot' menjadi pehatian besar dalam pembahasan. Terutama ini
berkenaan dengan perilaku mengemudi angkot yang suka berhenti seenaknya. Kalaupun tidak berhenti,
angkot menyebabkan arus lalu lintas menjadi lambat,” tutur Ir. Driejana, MSCE, PhD, ketua tim peneliti
“Kendaraan terpaksa bergerak dalam kecepatan rendah dan mesin menjadi tidak efisien. Hasilnya, emisi
kendaraan akan lebih tinggi.” Sebagai salah satu hasil penelitiannya, staf pengajar Teknik Lingkungan ini
memaparkan pembangunan shelter khusus untuk angkot akan mengurangi efek negatif ini. Bahkan dari
penelitian terungkap bahwa 60 persen dari pengemudi angkot yang disurvei menyetujui konsep
pembangunan shelter.

Peningkatan pengetahuan akan bahaya pencemaran udara serta cara kita mulai menanggulanginya akan
berpengaruh positif pada kesadaran para pengguna jalan, terutama, sopir angkot untuk mengubah
perilaku berkendaranya. Konsep eco-driving juga dikenalkan dalam diskusi panel. Eco-driving adalah cara
berkendara yang ramah lingkungan dan hemat bahan bakar. Dengan perilaku mengemudi yang ramah
lingkungan, akan diidapatkan keuntungan pribadi melalui penghematan bahan bakar dan biaya
perawatan mesin, sekaligus lingkungan udara yang lebih sehat dan bersih.

Membangun Kota (Sungai) Ramah Air


Kompas - 13 Januari 2009

Banyak asa yang disandarkan sehubungan dengan rencana Kompas melaksanakan Ekspedisi Ciliwung,
16-22 Januari 2009 (Kompas, 8-9/1). Semua tahu, Sungai Ciliwung identik dengan kota Jakarta, seperti
halnya kita mengingat Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Kairo-Sungai Nil, London-Sungai Thames,
Paris-Sungai Rheine, dan Melbourne-Sungai Yarra.

Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari
total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa
danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai.

Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga
menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air.

Kebijakan tata kota kita tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau (situ), sungai, dan tepi
pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat.
Jakarta pun dijuluki kota jamban terpanjang di dunia.

Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan
di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai)
justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!

Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam
pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, demam
berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai
(rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.

Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat, kota-kota besar dunia,
beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air.

Tengok kota pesisir Sydney, Los Angeles, Miami, Barcelona, kota kanal Venice, Amsterdam, dan kota
sungai London, Paris, Melbourne, Manhattan. Air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat
mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota. Bagaimana Jakarta dengan
Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang mengalirinya?

Jakarta terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan
tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma
begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut.

Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan
mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.

Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun
kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang
(UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No
1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.

Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam
membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air,
dan limbah ramah lingkungan.

Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat
publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara
hierarkis (kecil ke besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih, dan
lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus digiatkan. Sumur
resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air ke dalam tanah
dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (ekodrainase).

Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur
ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.

Jakarta sebagai kota sungai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus merefungsi bantaran sungai bebas
dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka
bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu dan daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali
harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser
(bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.

Pemerintah daerah, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun kawasan terpadu
yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari,
perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus,
pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup
berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi
publik ke luar kawasan.

Jika tidak, warga yang tergusur pasti akan berpindah menghuni ruang hijau kota lainnya (bantaran
sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang, tepian situ) di lain lokasi yang
memang banyak tidak terawat. Begitu seterusnya.

Setelah itu, bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan
layang) dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota (urban park connector).
Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian
(kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan
lanskap tepi sungai. Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan
taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Jakarta.

Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat menggelar acara rekreasi bersama
keluarga atau teman di tepi sungai setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk
koperasi masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti Festival Sungai
Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.

Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, pemerintah kota harus
mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi
sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.

Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun bernilai estetis (indah, bersih, tertata rapi), ekologis (meredam
banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air,
transportasi ramah lingkungan).

Perubahan perspektif ini semoga dapat mengubah keseluruhan lanskap hunian kota Jakarta yang
berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai) ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota
tepian air. NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap
Perda No. 33 tahun 2001 tentang Penyenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan
Umum Propinsi Daeraah Istimewa Yogyakarta, telah di sahkan beberapa waktu lalu. Banyak hal
yang menjadi suatu pertanyaan sekitar penetapan Perda tersebut, dan banyak pula beberapa
pelaku dan pemerhati Transportasi di Yogyakarta yang mensikapi terhadap pengesahan Perda
No. 33 tahun 2001.
          Transportasi, merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji, hal ini dikarenakan
peersoalan transportasi telah menjadi bagian hidup manusia pada saat ini, terlebih lagi dengan
terus berkembangnya kebutuhan akan hidup dan model serta bentuk perpindahan pengangkutan
orang dan barang. Tak pelak lagi, persoalan transportasi sudah menjadi bagian yang tak
terlepaskan dalam kepentingan orang akan perkembangan jaman. Menilik dari fungsi dan
kegunaan transportasi, merupakan sesuatu yang urgen untuk dikaji lebih jauh. Baik terhadap
akibat yang di timbulkannya maupun bagaimana penyediaannya serta usaha-usaha
pengelolaannya, terutama terhadap angkutan umum yang merupakan angkutan publik.
          Luas Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km2, yang terdiri dari 1 kota dan 4
kabupaten, yang saling berkaitan dalam nilai filosofis dan potensi yang dimilikinya. Potensi alam
dan potensi wisata yang saling mendukung dan membutuhkan, membuat Daerah Istimewa
Yogyakarta menyimpan potensi yang dapat dikembangkan menjadi percontohan di Indonesia,
terlebih lagi dengan filosifinya Hamemayu Hayuning Bawono. Filosofis yang berarti suatu
keinginan untuk mewujudkan masyarakat ayom, ayem, titi tentrem, karto raharjo. Keinginan
yang demikian ini membutuhkan suatu pengelolaan daerah yang tepat dan berbasis pada
masyarakat sebagai kunci utamanya, nilai kebutuhan masyarakat selalu menjadi pijakan dalam
mengambil keputusan-keputusannya, terlebih lagi yang berhubungan dengan kepentingan
banyak --baca publik-- masyarakat yang luas.
          Memperhatikan luasan daerah yang cukup kecil, dan menyimpan potensi yang besar
--terutama pariwisata dan pendidikan-- terhadap pengembangan bangsa perlu sarana pendukung
yang memadai untuk itu. Sarana pendukung itu adalah sarana angkutan publik yang baik dalam
pengelolaannya serta pelayanannya, dengan memeperhatikan beberapa prinsip dan faktor yang
mendukung terlaksananya sarana pendukung tersebut.
 
Prinsip-prinsip Angkutan Publik
          Kota Yogyakarta berluas + 406.350 km2 merupakan daerah perkotaan yang sebagian besar
telah menjadi daerah padat dan pusat-pusat ekonomi yang menjanjikan. Sementara itu 2 (dua)
kabupaten di sekitarnya merupakan daerah buffer yang mempunyai potensi tersembunyi untuk
menjadi perkotaan, hal ini dikarenakan di kedua kabupaten tersebut menyebar beberapa pusat
pendidikan yang akan mendukung keberadaan perkotaan. Tempat tinggal, sentra ekonomi baru
untuk memenuhi kebutuhan  para pelajar dan mahasiswa dan sarana angkutan umum yang
memadai, merupakan suatu kebutuhan yang tak terpisahkan dari persoalaan perkotaan. Terutama
kebutuhan angkutan umum menjadi hal yang urgen dalam persoalan ini.
          Jumlah kendaran di Yogyakarta tidak kurang dari 40607 kendaraan, yang terdiri dari
sepeda motor, mobil pribadi, angkutan perkotaan, angkutan antar kota dalam propinsi dan
angkutan taxi. Dengan jumlah kendaraan sebanyak tersebut di atas akan menimbulkan berbagai
dampak, kemacetan, polusi, keselamatan pengguna moda transportasi serta keseimbangan akan
jumlah penduduk dengan ketersediaan moda transportasi yang ada. Akibat dari keberadaan
kendaraan tersebut akan membrikan ketidak nyamanan dalam berinteraksi dengan masyarakat
disekitarnya, hal ini tidak diimbangi pula denga usaha penyebaran sentra ekonomi untuk
pemerataan daerah, bahkan terkesan terfokus pada satu titik saja, kawasan Malioboro misalnya.
          Memperhartikan persoalan ini, selanyaknya mulai dipikirkan terhadap angkutan umum
sebagai alternatif perangkutan orang untuk berinteraksi. Kebutuhan angkutan umum ini menjadi
penting agar bisa meminimallisir akibat yang ditimbulkannya. Namun demikian dalam
menetapkan kebijakannya harus berdasarkan dalam pada prinsisp-prinsip dasar angkutan umum.
          Prinsip-prinsip dasar dari kebijakan angkutan umum adalah; Accessyble for all, yang
berhubungan dengan siapa yang dapat menggunakan, penyediaan prasarana angkutan (halte,
terminal, pool, angkutan/kendaraan, jalan, rambu, jalur/trayek dan lain sebagainya); Ramah
lingkungan, hal ini berkaitan dengan bahan bakar, manajement angkutan dan manajement
tarnsportasi, mesin kendaraan dan peneltralisisr gas buang dan polutan di terminal; nilai
kemanfaatan, angkutan umum menjadi angkutan alaternatif yang menjadi satu pilihan;
pelayanan, yang merupakan hak-hak dasar publik untuk mendapatkan informasi, keamanan dan
kenyamanan, penyelesaian konflik  yang cepat serta kesimbangan antara hak dan kewajiban para
pelaku angkutan umum; akutanbilitas, maksudnya dalam membuat kebijakan yang ada
melibatkan seluruh stake holder penyelenggaraan angkutan umum, yaitu ; menyertakan
masyarakat, melibatkan operator dan pelaku dikendaraanya serta pengusahan perangkutan;
berkeadilan, yaitu dapat dimanfaatkan seluruh pelaku jasa angkutan umum (pemerintah sebagai
pengelola, pengusaha sebagai penyedia, operator sebagai pelaku angkutan umum);  dan
sustainable, bahwa penyelenggaraan angkutan umum dapat terus diselenggarakan.
          Memperhatikan terhadap prinsip dasar di atas akan membuat kebijakan penyelenggaraan
angkutan umum, suatu kebijakan yang tidak hanya menjadi tulisan yang memberikan konstribusi
perbaikan penyelenggaraan angkutan umum, namun juga menjamin keberlanjutan angkutan
umum itu sendiri, karena nilai keberlanjutan angkutan umum menjadi yang paling penting untuk
mengatasi persoalan-persoalan transportasi yang semakin meningkat.
 
Penyelenggaraan Angkutan Publik
          Hak masyarakat terhadap pemerintah adalah mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya oleh
penyelenggara. Demikian juga terhadap angkutan umum, karena merupakan angkutan publik
pemerintahlah yang harus menyelenggarakannya, terlebih lagi dalam perkembangan jaman yang
semakin cepat ini. Pembagian peran antara pemerintah, pengusaha --baca swasta-- dan
masyarakat harus semakin jelas, sehingga kepentingan masyarakat dapat dilindungi dalam
penyelenggaraan angkutan umum yang berkelanjutan.
          Dua bagian yang terkandung dalam penyelenggaraan angkutan umum ini, penyelenggara
dan pengelola. Memperhatikan kondisi pemerintah, dan sebagai upaya keberlanjutan angkutan
umum, serta menatap pada persaingan global yang semakin terbuka dan transparan, perlu
dijelaskan kedua bagian tersebut. Penyelenggara angkutan umum jelas oleh pemerintah, karena
angkutan umum merupakan pelayanan publik, sedangkan pengelolaanya yang berarti juga
pengadaan serta penyediaannya dilakukan oleh swasta atau lembaga pemerintah yang
berdirisendiri (BUMN).
          Fungsi dari penyelenggara adalah menyediakan segala peraturan dan prasana kebutuhan
angkutan umum, dan sudah menjadi hukum kausa, pemerintah yang harus menyediakan.
Peraturan tersebut harus melindungi masyarakat dan meminimallisir kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan publik, untuk itu dalam pembuatan dan penetapannya harus
melibatkan seluruh unsur pelaku angkutan umum. Lain dari pada itu peraturan yang ada harus
dapat menjawab tantangan jaman dalam usaha keberlanjutan angkutan umum, sehingga
oeraturan yang ada menjadi pijakan dasar untuk pembuatan peraturan-peraturan yang
mengikutinya.
          Pengelola berfungsi sebagai penyedia jasa yang terikat oleh peraturan yang ditetapkan oleh
penyelenggara, jadi pengelola harus menyediakan kendaraan dan sarana pelangkapnya sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan oleh penyelanggara. Pengelola yang memenuhi kriteia yang
harus dipilih oleh penyelenggara untuk menyediakan angkutan umum yang benar-benar
dibutuhkan oleh masyarakat, dengan kata lain pengelolaan dan pengadaan angkutan umum
dilakukan tender yang ketat.
 
Penutup
          Peraturan akan Penyelenggaraan Angkutan Umum menjadi suatu kebutuhan pada saat ini,
terlebih lagi daerah Istimewa Yogyakarta yang bermisi pembangunan daerah; menjadikan
Yogyakarta sebagai pusat pendidikan terkemukan di Indonesia, pusat kebudayaan, sebagai
daerah otonom, sebagai wilayah pembangunan terpadu antar wilayahnya, sebagai daerah tujuan
wisata dan lain sebagainya.
          Namun demikian peraturan yang ada harus mampu menjawab tantangan jaman dan tidak
merugikan seluruh pelaku adanya angkutan umum, hal ini karena akan banyak konflik yang
terjadi karena akibat pengelolaan angkutan umum yang amburadul di masa yang lalu.
Kepentingan masyarakat luas termasuk para pengusaha dan pelaku dilapangan sebagai bagian
masyarkat tetap diperhatikan dengan mengindahkan nilai-nilai keadilan.

Wikipedia

A carfree city is a population center that relies primarily on public transport, walking, or biking
for transport within the urban area. Carfree cities greatly reduce petroleum dependency, air
pollution, greenhouse emissions, automobile crashes, noise pollution, and traffic congestion.
Some cities have one or more districts where motorized vehicles are prohibited, referred to as
carfree zones, districts or areas. Many older cities in Europe, Asia, and Africa evolved long
before the advent of the automobile, and some continue to have carfree areas in the oldest parts
of the city.

The goal of the Carfree Cities movement is to bring together people from around the world who
are promoting practical alternatives to car dependence — walking, cycling, and public transport.
The movement seeks ultimately to transform cities, towns, and villages into human-scaled
environments rich in public space and community life.

Such transformation is occurring in existing city areas by strategic closures of streets to car
traffic and by opening streets and squares to exclusive pedestrian use. A pedestrian and bicycle
network gradually emerges and joins several parts of the city. Similarly, prompted by the same
need to avoid conflicts with car traffic and enhance pedestrian movement, pedestrian networks
have emerged below grade (Underground City) that connect large downtown areas. For new
areas on the fringe of cities or new towns, two new complementary ideas have recently emerged.
The concept of Filtered Permeability (2007) and a model for planning towns and subdivisions -
the Fused Grid (2003). Both focus on shifting the balance of network design in favour of
pedestrian and bicycle mobility.
A theoretical design for a carfree city of one million people was first proposed by J.H. Crawford
in 1996 and further refined in his book, Carfree Cities (2000).

Ecourbanism: designing a ‘green’ city

Author(s): P. Viswanathan & T. Sharpe

Abstract:
“We should be careful to discriminate between what the notion of the City can offer and what it's offering for us for
millenniums, and which we are now making the city into which is very much what you are saying an environment which is
not very conducive to, what you might call, the good society.

The fact remains that if we eliminate all the cities from this continent, what remains is not much.

In fact, even though we Americans tend to be very sceptical about the presence of the city, we must recognize that the
City is still the place where things are happening in scale and in quality which is very real otherwise.

” Paolo Soleri.

This paper is an introduction to a new philosophy and outlook for eco-city design.

Its analyses how to make existing cities more eco-sensitive with the help of a ‘live’ case study, an eco-city representing
human unity in India called the “Auroville International Township”, and uses this to discuss the starting point for the design
of new urban sustainable settlements.

Keywords:
ecopsychology, environmentally sustainable design, Auroville, green architecture, urban design of new cities.

1 Introduction “Nature is good at conservation - of energy, water and matter.

It is an exemplar of passive design and it looks after its own economy not just locally but globally.

”Lovelock’s [1] Gaia principle.

Ecourbanism, a term coined by Miguel Ruano [2], “defines the development of multi-dimensional sustainable human
communities within harmonious and balanced built environments”.

Ecourbanism is also a term now commonly associated with design of green communities and making existing cities more
environmentally sensitive.

Currently, over half the population of the world is ...

You might also like