You are on page 1of 8

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional,

kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di


Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan
nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk
mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia,
sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan
angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh
bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu
dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara
nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur
kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991:
Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan.

Adapun wujud dari perbedaan kebudayaan di Indonesian misalnya saja


perbedaan kebudayaan dari provinsi sulawesi selatan dan provinsi Sulawesi
Utara. Adapun perbedaannya sebagai berikut :

1. Dari sisi Rumah adat. Sulawesi Selatan memiliki beberapa rumah adat
yaitu rumah adat tongkonan (tana toraja), Bola soba (Bugis bone), dan
Balla lompoa (Makassar dan gowa). Tongkonan adalah rumah adat
masyarakat Toraja . menyerupai perahu , terdiri atas susunan bambu
(saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Rumah Adat
Bugis (Bola Soba/Saoraja) Bola Soba / Saoraja Adalah rumah tinggal
Panglima Perang Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone XXXII
tahun 1895-1905. Namun setelah kerajaan Bone di bawah kekuasaan
Belanda, rumah ini dijadikan sebagai penginapan dan Museum Balla
Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang
didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi
Daeng  Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa
berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum
ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan
sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras.
Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini
berada dalam sebuah komplek seluas satu hektar yang dibatasi oleh
pagar tembok yang  tinggi. Bangunan museum ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ruang utama seluas  60 x 40 meter dan ruang teras (ruang
penerima tamu) seluas 40 x 4,5 meter. Di  dalam ruang utama terdapat
tiga bilik, yaitu: bilik sebagai kamar pribadi raja,  bilik tempat penyimpanan
benda-benda bersejarah, dan bilik kerajaan. Ketiga  bilik tersebut masing-
masing berukuran 6 x 5 meter. Bangunan museum ini juga  dilengkapi
dengan banyak jendela (yang merupakan ciri khas rumah Bugis) yang 
masing-masing berukuran 0,5 x 0,5 meter. Museum ini berfungsi sebagai
tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda
bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan
pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama  bangunan,
sebuah peta Indonesia  terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama
dipajang silsilah keluarga  Kerajaan Gowa  mulai dari Raja Gowa I,
Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch
Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng  Lalongan (1947-1957). Di ruangan
utama ini, terdapat sebuah singgasana yang di letakkan pada area khusus
di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan
meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai
raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini. Museum ini pernah
direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat ini, pemerintah daerah
setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per  tahun
untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan. Sedangkan Sulawesi
Utara memiliki rumah adat yang disebut rumah panggung. Rumah
panggung di masa lalu mempunyai banyak manfaat antara lain untuk
menghindar dari binatang-binatang liar dan air pasang sehingga tidak
masuk ke dalam rumah. Sayangnya, bentuk rumah panggung sudah lama
ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat. Rumah panggung dianggap
“kampungan” dan ketinggalan jaman. Bagaimana kalau kita ciptakan
rumah panggung modern. Kalau kita lihat manfaatnya, banyak sekali.
Dengan rumah panggung, berarti air banjir tidak masuk ke dalam rumah.
Secara materi dan kesehatan, ini sudah sangat menguntungkan. Ruang
bawah rumah yang kosong dapat dimanfaatkan sebagai area bermain.
Halaman rumah untuk bermain anak akan menjadi lebih luas, asalkan
tinggi panggung aman untuk dilalui misalnya 2m. Atau menjadi ruang
duduk-duduk santai dengan tempat duduk yang tahan air (metal atau
beton) sehingga kalaupun terkena banjir tidak jadi masalah. Manfaatnya
akan bertambah kalau permukaan tanah tidak seluruhnya ditutup oleh
beton atau semen. Penyerapan air hujan ke dalam tanah akan menjadi
lebih baik. Dengan demikian luas serapan air menjadi lebih besar jika
mengembangkan rumah panggung.
2. Dari sisi lagu daerah. Sulawesi selatan memiliki lagu daerah yaitu Angin
Mamiri,Ma Rencong, Pakarena, dan Sulawesi Parasanganta.. Sedangkan
Sulawesi utara memiliki lagu daerah yaitu Esa Mokan ,O Ina Ni Keke,
Rambadia, Sengko – sengko, Siboga tacinto, Sinanggar Tulo, Sing Sing
So, Si Patokaan dan Sitara Tillo.

3. Dari sisi pakaian Adat. Sulawesi selatan memiliki pakaian adat yang
disebut Baju Bodo. Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan
Bugis, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya
berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo
juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia. Gadis Makassar
mengenakan baju bodo (tahun 1930-an)Menurut adat Bugis, setiap warna
baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun
martabat pemakainya. Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti
upacara pernikahan. Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui
acara lainnya seperti lomba menari atau menyambut tamu agung. Dulu,
baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat
diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei
menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana
Bone :"Perempuan Bugis mengenakan pakaian sederhana... Sehelai
sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain
muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada." Rupanya
cara memakai baju bodo ini masih berlaku di tahun 1930-an. Sedangkan
Sulawesi Utara memiliki pakaian adat yang disebut pakaian songket.

4. Kemudian dari sisi tarian. Sulawesi Utara memiliki tarian adat yang
disebut Tarian Maengket. Tarian Maengket adalah tarian tradisional orang
Minahasa. Tarian ini telah ada sejak zaman dahulu kala. Sampai saat ini
tarian ini masih terus berkembang dan dilestarikan. Tarian ini sudah ada
di tanah minahasa sejak orang minahasa mengenal pertanian terutama
padi di ladang. Jika dulu nenek moyang minahasa, tarian maengket
hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang
hanya sederhana, maka saat ini tarian ini telah berkembang teristemewa
bentuk tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair atau sastra
lagunnya. Tarian maengket ini terdiri dari tiga babak, yaitu maowey
kamberu, marambak dan lalayaan. Maowey kamberu adalah suatu tarian
yang dibawakan sebagai bentuk pengucapan syukur kepada Tuhan yang
maha esa, karena hasil panen diladang/ di kebun yang berlimpah.
Marambak adalah tarian dengan semangat mapalus (gotong royong),
dalam hal ini orang mihanasa jika akan membangun rumah selalu
bekeraja sama. dan setelah rumahnya selesai di bangun maka akan
diadakan “rumambak” atau pesta naik rumah baru. dan semua penduduk
di desa di undang untuk naik kerumah untuk menguji kekuatan rumah
tersebut.Lalayaan adalah sebuah tari pergaulan pemuda dan pemudi
minahasa yang pada zaman dahulu digunakan untuk mencari jodoh.
Sedangkan Sulawesi Selatan memiliki Tarian Adat yaitu Tarian
Padduppa.Tari padduppa adalah tarian penjemputan etnis bugis
makassar. dahulu untuk menjemput para raja dan tamu-tamu agung saat
akan memasuki area kerajaan pesta adat. saat ini tari padduppa
ditampilkan sebagai simbol penjemputan adat para tamu-tamu
penting/orang yang cukup berpengaruh ataupun tokoh sentral pada acara
tersebut.

5. Dan yang terakhir dari sisi adat perkawinan. Sulawesi Selatan memiliki
beberapa tahap dalam pernikahannya yaitu (1) Pelamaran; (2)
Pertunangan; (3) Pernikahan; (4) Pesta Perkawinan; (5) Pertemuan resmi
berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip
dantatacaraadat.Susan membongkar dan mendesain kembali nilai-nilai
budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis dan penulis juga
berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam
pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja. Susan juga
mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan,
orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian
ritus panjang pernikahan tersebut dengan menggunakan pendekatan
semiotik (simbol, ikon, indeks) dan semantik (makna kata/kalimat), dari
tempat khususnya wilayah dimana ia melakukan riset penelitian yakni di
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sebuah wilayah yang terletak
pada 175 km di kawasan barat daya Makassar. Sedangkan adat
pernikahan dari Sulawesi Utara yaitu Proses Pernikahan adat yang
selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian
seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan
calon pengantin serta acara “Posanan” (Pingitan) tidak lagi dilakukan
sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat
“Malam Gagaren” atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air
saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran
air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat
“Lumelek” (menginjak batu) dan “Bacoho” karena dilakukan di kamar
mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat
perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan
dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin,
merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi
pengantin untuk upacara “maso minta” (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan
melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang
kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya
dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga
tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional,
seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik
Kolintang.

Bacoho (Mandi Adat)

Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi


lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di
toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut “bacoho” dapat
delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar
simbolisasi.Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan
kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya
sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya
sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn
ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati
hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan
dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk
melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang
diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis
tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air
bersih lalu rambut dikeringkan.Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan
tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu
dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya
ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon
pengantin sekadar simbolisasi.Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram
dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah
sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung
sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara
simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu
sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan
belum pernah digunakan sebelumnya.Upacara
PerkawinanMempelaiManadoUpacara perkawinan adat Minahasa dapat
dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di
Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria,
sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.Hal ini
mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke
rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara
resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh
pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang
menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan
pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus
dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di
desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang
mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan
acara kebaktian dan makan malam.Orang Minahasa di kota-kota besar
seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang
Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat
di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan
Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang
dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar
harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).Contoh proses upacara adat
perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin
wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak,
buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria
memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga
kali.RumahTradisional MinahasaPertama : Tiga ketuk dan pintu akan
dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu dilakukan dialog dalam
bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok pintu kamar
wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan
makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja.Pukul 11.00-14.00 :
Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh
negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja).
Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal
penduduk(KTP), Ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua
pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.Apabila pihak keluarga
pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada
sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan
prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis
Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin.
Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis
Minahasa lainnya.Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari
sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga
tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai
acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan
Polineis.ProsesiUpacaraPerkawinandiPelaminanPernikahandiTondanoPen
elitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan
Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun
1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano
dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof
Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal
upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu
(kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh
sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara
membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi
mengenal upacara membelah Kelapa.Setelah kedua pengantin duduk di
pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh
Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan).
Kemudian dilakukan upacara “Pinang Tatenge’en”. Kemudian dilakukan
upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon
Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah
kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong
kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan
sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari
ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang
tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh
rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-
nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant
(Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.Bahasa upacara adat
perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu,
Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan
nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari
Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat
perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-
etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah
Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan
improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara,
seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas
bambu tetap sama maknanya.
TUGAS SOSIOLOGI

PERBEDAAN KEBUDAYAAN SULAWESI


SELATAN DENGAN SULAWESI UTARA

Oleh :

Kelas F-7
ANDI ADIYATMA

ANDREW YANDI KESEK

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

You might also like