Professional Documents
Culture Documents
1. Dari sisi Rumah adat. Sulawesi Selatan memiliki beberapa rumah adat
yaitu rumah adat tongkonan (tana toraja), Bola soba (Bugis bone), dan
Balla lompoa (Makassar dan gowa). Tongkonan adalah rumah adat
masyarakat Toraja . menyerupai perahu , terdiri atas susunan bambu
(saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Rumah Adat
Bugis (Bola Soba/Saoraja) Bola Soba / Saoraja Adalah rumah tinggal
Panglima Perang Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone XXXII
tahun 1895-1905. Namun setelah kerajaan Bone di bawah kekuasaan
Belanda, rumah ini dijadikan sebagai penginapan dan Museum Balla
Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang
didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi
Daeng Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa
berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum
ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan
sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras.
Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini
berada dalam sebuah komplek seluas satu hektar yang dibatasi oleh
pagar tembok yang tinggi. Bangunan museum ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ruang utama seluas 60 x 40 meter dan ruang teras (ruang
penerima tamu) seluas 40 x 4,5 meter. Di dalam ruang utama terdapat
tiga bilik, yaitu: bilik sebagai kamar pribadi raja, bilik tempat penyimpanan
benda-benda bersejarah, dan bilik kerajaan. Ketiga bilik tersebut masing-
masing berukuran 6 x 5 meter. Bangunan museum ini juga dilengkapi
dengan banyak jendela (yang merupakan ciri khas rumah Bugis) yang
masing-masing berukuran 0,5 x 0,5 meter. Museum ini berfungsi sebagai
tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda
bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan
pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama bangunan,
sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama
dipajang silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I,
Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch
Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Di ruangan
utama ini, terdapat sebuah singgasana yang di letakkan pada area khusus
di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan
meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai
raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini. Museum ini pernah
direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat ini, pemerintah daerah
setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun
untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan. Sedangkan Sulawesi
Utara memiliki rumah adat yang disebut rumah panggung. Rumah
panggung di masa lalu mempunyai banyak manfaat antara lain untuk
menghindar dari binatang-binatang liar dan air pasang sehingga tidak
masuk ke dalam rumah. Sayangnya, bentuk rumah panggung sudah lama
ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat. Rumah panggung dianggap
“kampungan” dan ketinggalan jaman. Bagaimana kalau kita ciptakan
rumah panggung modern. Kalau kita lihat manfaatnya, banyak sekali.
Dengan rumah panggung, berarti air banjir tidak masuk ke dalam rumah.
Secara materi dan kesehatan, ini sudah sangat menguntungkan. Ruang
bawah rumah yang kosong dapat dimanfaatkan sebagai area bermain.
Halaman rumah untuk bermain anak akan menjadi lebih luas, asalkan
tinggi panggung aman untuk dilalui misalnya 2m. Atau menjadi ruang
duduk-duduk santai dengan tempat duduk yang tahan air (metal atau
beton) sehingga kalaupun terkena banjir tidak jadi masalah. Manfaatnya
akan bertambah kalau permukaan tanah tidak seluruhnya ditutup oleh
beton atau semen. Penyerapan air hujan ke dalam tanah akan menjadi
lebih baik. Dengan demikian luas serapan air menjadi lebih besar jika
mengembangkan rumah panggung.
2. Dari sisi lagu daerah. Sulawesi selatan memiliki lagu daerah yaitu Angin
Mamiri,Ma Rencong, Pakarena, dan Sulawesi Parasanganta.. Sedangkan
Sulawesi utara memiliki lagu daerah yaitu Esa Mokan ,O Ina Ni Keke,
Rambadia, Sengko – sengko, Siboga tacinto, Sinanggar Tulo, Sing Sing
So, Si Patokaan dan Sitara Tillo.
3. Dari sisi pakaian Adat. Sulawesi selatan memiliki pakaian adat yang
disebut Baju Bodo. Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan
Bugis, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya
berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo
juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia. Gadis Makassar
mengenakan baju bodo (tahun 1930-an)Menurut adat Bugis, setiap warna
baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun
martabat pemakainya. Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti
upacara pernikahan. Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui
acara lainnya seperti lomba menari atau menyambut tamu agung. Dulu,
baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat
diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei
menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana
Bone :"Perempuan Bugis mengenakan pakaian sederhana... Sehelai
sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain
muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada." Rupanya
cara memakai baju bodo ini masih berlaku di tahun 1930-an. Sedangkan
Sulawesi Utara memiliki pakaian adat yang disebut pakaian songket.
4. Kemudian dari sisi tarian. Sulawesi Utara memiliki tarian adat yang
disebut Tarian Maengket. Tarian Maengket adalah tarian tradisional orang
Minahasa. Tarian ini telah ada sejak zaman dahulu kala. Sampai saat ini
tarian ini masih terus berkembang dan dilestarikan. Tarian ini sudah ada
di tanah minahasa sejak orang minahasa mengenal pertanian terutama
padi di ladang. Jika dulu nenek moyang minahasa, tarian maengket
hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang
hanya sederhana, maka saat ini tarian ini telah berkembang teristemewa
bentuk tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair atau sastra
lagunnya. Tarian maengket ini terdiri dari tiga babak, yaitu maowey
kamberu, marambak dan lalayaan. Maowey kamberu adalah suatu tarian
yang dibawakan sebagai bentuk pengucapan syukur kepada Tuhan yang
maha esa, karena hasil panen diladang/ di kebun yang berlimpah.
Marambak adalah tarian dengan semangat mapalus (gotong royong),
dalam hal ini orang mihanasa jika akan membangun rumah selalu
bekeraja sama. dan setelah rumahnya selesai di bangun maka akan
diadakan “rumambak” atau pesta naik rumah baru. dan semua penduduk
di desa di undang untuk naik kerumah untuk menguji kekuatan rumah
tersebut.Lalayaan adalah sebuah tari pergaulan pemuda dan pemudi
minahasa yang pada zaman dahulu digunakan untuk mencari jodoh.
Sedangkan Sulawesi Selatan memiliki Tarian Adat yaitu Tarian
Padduppa.Tari padduppa adalah tarian penjemputan etnis bugis
makassar. dahulu untuk menjemput para raja dan tamu-tamu agung saat
akan memasuki area kerajaan pesta adat. saat ini tari padduppa
ditampilkan sebagai simbol penjemputan adat para tamu-tamu
penting/orang yang cukup berpengaruh ataupun tokoh sentral pada acara
tersebut.
5. Dan yang terakhir dari sisi adat perkawinan. Sulawesi Selatan memiliki
beberapa tahap dalam pernikahannya yaitu (1) Pelamaran; (2)
Pertunangan; (3) Pernikahan; (4) Pesta Perkawinan; (5) Pertemuan resmi
berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip
dantatacaraadat.Susan membongkar dan mendesain kembali nilai-nilai
budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis dan penulis juga
berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam
pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja. Susan juga
mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan,
orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian
ritus panjang pernikahan tersebut dengan menggunakan pendekatan
semiotik (simbol, ikon, indeks) dan semantik (makna kata/kalimat), dari
tempat khususnya wilayah dimana ia melakukan riset penelitian yakni di
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, sebuah wilayah yang terletak
pada 175 km di kawasan barat daya Makassar. Sedangkan adat
pernikahan dari Sulawesi Utara yaitu Proses Pernikahan adat yang
selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian
seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan
calon pengantin serta acara “Posanan” (Pingitan) tidak lagi dilakukan
sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat
“Malam Gagaren” atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air
saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran
air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat
“Lumelek” (menginjak batu) dan “Bacoho” karena dilakukan di kamar
mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat
perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan
dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin,
merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi
pengantin untuk upacara “maso minta” (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan
melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang
kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya
dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga
tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional,
seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik
Kolintang.
Oleh :
Kelas F-7
ANDI ADIYATMA