Professional Documents
Culture Documents
I. Pendahuluan
Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di
Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki
banyak kelebihan. Waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga
panen kokon adalah salah satu kelebihannya. Kelebihan lainnya adalah
mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan
sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup
tinggi.
Kegiatan persuteraan alam sebenarnya telah lama dikenal dan
dilakukan oleh manusia. Sebagai bangsa yang tercatat sebagai pelopor
budidaya, bangsa Cina sejak sekitar tahun 200 SM sudah memiliki pabrik
benang sutera yang besar dan dapat memasarkannya ke berbagai penjuru
dunia. Usaha ini terus menyebar ke berbagai negara seperti Jepang,
Korea, India, dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Kebutuhan akan benang sutera dunia mencapai 700 ton per tahun,
sedangkan produksi hanya sebesar 81,2 ton, sehingga Indonesia harus
mengimpor benang sutera sekitar 618,8 ton pada tahun 2005. Pemerintah
menargetkan produksi benang sutera nasional mencapai 400 ton pada
tahun 2010, sehingga impor bisa ditekan hanya sekitar 275 ton (Seno,
2006). Maka peluang untuk berusaha di bidang persuteraan alam di
Indonesia cukup besar, karena negara Indonesia memiliki iklim serta
daerah yang keadaan biofisiknya cocok untuk budidaya sutera alam, baik
untuk penanaman tanaman murbei sebagai sumber pakan ulat sutera,
juga untuk pembudidayaan ulat sutera.
Kegiatan persuteraan alam ini dalam pelaksanaannya melibatkan
petani, pengusaha serta pemerintah. Petani sebagai produsen awal yang
memelihara ulat sutera (Bombyx mori) dan menanam daun murbei (Morus
sp.) sebagai pakan bagi ulat. Sedangkan peran pengusaha sebagai
penampung hasil produksi petani yang kemudian dilakukan kegiatan
pengolahan lebih lanjut. Pemerintah disini berperan sebagai pembina
kegiatan persuteraan alam ini. Pemerintah saat ini perlu memperhatikan
dan menggalakkan budidaya ulat sutera karena komoditi sutera dianggap
penting sedangkan produksi di dalam negeri masih rendah. Berbagai
upaya untuk meningkatkan produksi benang sutera mulai diusahakan,
diantaranya adalah dengan pembukaan dan perluasan daerah
pemeliharaan baru, perbaikan penanaman murbei, perbaikan pembibitan
ulat sutera dan intensifikasi pemeliharaan ulat sutera. Usaha persuteraan
alam belum banyak dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Bejen karena
usaha tersebut begitu dikenal. Maka perlu dilakukan suatu analisa
lingkungan bisnis usaha persuteraan alam yang dapat menentukan upaya-
upaya pengembangan kegiatan persuteraan alam yang diharapkan dapat
menjadi daya tarik para petani sutera untuk lebih menekuni usahanya
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup petani sutera serta dapat
merangsang masyarakat lainnya untuk melakukan usaha persuteraan
alam.
II. Prospek Pengembangan Persuteraan Alam
Budidaya ulat sutera memiliki tujuan untuk menghasilkan benang
sutera sebagai bahan sandang (Guntoro, 1994). Persuteraan alam
merupakan kegiatan agroforestry yang mempunyai rangkaian yang cukup
panjang sejak penanaman murbei, pembibitan ulat, sutera, pemeliharaan
ulat sutera, processing (pengolahan) kokon, pemintalan serat,
pertenunan dan pemasaran kain sutera. Kegiatan ini sudah lama dikenal
dan dibudidayakan sebagian masyarakat Indonesia (Sunanto, 1997).
Usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon dan benang
sutera dirasakan sangat menguntungkan karena cepat mendapatkan hasil
dan memiliki nilai ekonomi tinggi, teknologi yang digunakan relatif
sederhana, tidak memerlukan keterampilan khusus, dapat dilakukan
sebagai usaha pokok ataupun sambilan, serta dapat dilakukan oleh pria,
wanita, dewasa maupun anak-anak. Oleh karena itu, kegiatan ini
merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan peranan sektor
kehutanan dan perkebunan dalam mendorong perekonomian masyarakat
di pedesaan, memberikan lapangan pekerjaan serta mendukung kegiatan
reboisasi dan penghijauan (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Brantas, 2000).
Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini
menunjukkan prospek yang cukup baik. Dapat tergambarkan dari jumlah
produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir
dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup
besar dan stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan akan benang sutera
ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk serta semakin membaiknya kondisi
perekonomian.
Indonesia memiliki potensi lahan yang masih luas, iklim yang
mendukung, tenaga kerja yang cukup banyak dan murah serta teknologi
persuteraan alam yang telah dikuasai, tetapi perkembangan kegiatan
persuteraan alam di Indonesia selama ini masih mengalami pasang surut
seperti komoditas lainnya. Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri
masih rendah yakni hanya 30 % dari kebutuhan nasional, khususnya
untuk memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Dan dengan
peningkatan kebutuhan benang sutera negara-negara Eropa dari 30
gram/kapita/tahun menjadi 100 gram/kapita/tahun, maka memberi
peluang yang sangat prospektif bagi persuteraan alam di Indonesia,
dimana persuteraan alam sifatnya padat karya sehingga sangat cocok
bagi Indonesia yang penduduknya cukup padat terutama di pedesaan
(Sunanto, 1997).
Kegiatan usaha persuteraan alam yang telah berkembang di Indonesia
terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Sumatera Barat. Dari lima propinsi tersebut dihasilkan
benang sutera rata–rata per tahun sebesar 140 ton. Sesungguhnya
kebutuhan benang sutera mencapai 400 ton per tahun. Hal ini
menunjukkan masih terdapat peluang pasar dalam negeri sebesar 260
ton per tahun yang setara dengan 4500-5000 ha areal tanaman
monokultur murbei. Dengan demikian telah terbuka peluang usaha yang
cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi untuk
mengisi pasar sutera alam baik di dalam maupun di luar negeri (Pusat
Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Program kemitraan di bidang persuteraan alam dimaksudkan sebagai
bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat
kekeluargaan dan kebersamaan antara yang kuat dengan yang lemah
dalam rangka pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban
dalam persaingan usaha dengan tujuan tercapainya tujuan–tujuan
pembangunan persuteraan alam(Atmosoedarjo et al, 2000).
Kegiatan persuteraan alam di Perum Perhutani dimulai sekitar tahun
1960 sebagai proyek Prosperity Approach. Kegiatan ini merupakan salah
satu cara pendekatan pengamanan hutan sekaligus sebagai diversifikasi
produkyang cepat menghasilkan. Akan tetapi hingga saat ini usaha
persuteraan alamdi Perum Perhutani belum menunjukkan angka yang
menggembirakan karena potensi usaha belum didayagunakan secara
optimal. Penyebabnya adalah belum adanya keterpaduan usaha
persuteraan alam mulai dari sektor hulu (budidaya murbei dan ulat
sutera) sampai dengan sektor hilir (industri raw silk dan twist silk)
(Sunanto, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
Atmosoedarjo, H.S, J. Kartasubrata, W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas. 2000. Petunjuk Kerja
Pengembangan Persuteraan Alam. Balai Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Brantas. Surabaya.
Cahyono, B. 1999. Manajemen Strategi. Badan Penerbit IPWI. Jakarta.
Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
IPB Press. Bogor.
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.
Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Budidaya Ulat Sutera.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia.
Jakarta.
Samsijah dan L. Andadari. 1992a. Teknik Pengolahan Kokon dan Benang
Sutera.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Kanisius.
Yogyakarta.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1995. Budidaya Ulat Sutera. Penebar
Swadaya. Jakarta.