You are on page 1of 29

Problematika Ulumul hadis Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadis

kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim. Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya alBukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis? Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted. Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta, al-tisa, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin---satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector) Lihat diagram berikut Collector Collector 2 Collector 6 Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter 7 Collector 4 Collector 5 Collector 1 Collector 8 Collector 3 Transmitter Transmitter Transmittter Transmitter Transmitter Transmitter

Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitter Transmitte

Transmitter Transmitter

Transmitter

Transmitter

Transmitter

Transmitter

Transmitter Transmitter

Pcl 1

Pcl 2

Pcl 3

Pcl 4 Pcl 5

Common link Successor Diving Companion Prophet Companion Successor Successor Single strand

Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ulumul hadis di aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ulumul hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqa. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis.1 Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata an dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan 360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja,2 belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain. Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud 83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abu Zubayr Jabir
1 Al-Razi, al-Jarh wa al-tadil, vol. 8. hal. 75; Ibn Hajar, Tahdhib al-tahdhib, vol. 9, hal. 441 2 Penulis telah meneliti keseluruhan hadis tersebut, Lihat, Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission, A Reexamination of Hadith Critical Methods, Bonn 2005)

dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata an dan sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih Buhari dan Muslim. Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis.3 Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim telah melakukan tadlis.4 Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim.5 Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih alBukhari, hanya delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya, yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber anana, yang oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Sahih al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus di gantung sampai ada hadis lain yang thiqa yang dapat menguatkannya. Ulumul hadis juga mengajarkan bahwa dalam transmisi (periwayatan) hadis seorang perawi harus thiqa (reliable). Cara menentukan kethiqahan perawi adalah dengan merujuk kepada buku-buku biografi perawi dan dengan membandingkan riwayatnya dengan riwayat yang lain. Pertanyaannya, sejauhmana keakuratan penilaian penulis buku biografi terhadap seorang perawi, sementara masa hidup mereka sangat berjauhan? Penulusuran terhadap buku biografi mengindikasikan bahwa penilain tersebut sering kurang akurat, sehingga penentuan kualitas perawi yang hanya didasarkan atas buku biografi terkadang kurang meyakinkan. Namun demikian, buku biografi bukan tidak penting untuk dikonsultasi. Penelitian empirispun membuktikan bahwa informasi yang ada dalam buku biografi perawi sangat berharga, meskipun tetap harus didekati secara kritis.6 Selanjutnya, metode membandingkan riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi dibandingkan dengan riwayat lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya mencari metodologi alternatif disamping ulumul hadis dalam menentukan kualitas hadis,
3 Ibn Hajar al-Asqalani memasukkannya dalam kelompok mudallis. Lihat Ibn Hajar, Tabaqat almudallisisn, Cairo 1322, hal. 8, 14. 4 Al-Mizzi, Tahdhib al-kamal, vol. 6, hal. 109, 125; Ibn Sad, Tabaqat, vol. 7, hal. 161, 157-8. 5 Penulis telah meneliti semua hadis tersebut, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility of Hadith TransmissionBonn 2005. 6 Tentang reliabilitas kitab biografi, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility

karena hemat penulis menyandarkan hadis kepada nabi yang sesungguhnya tidak pernah diucapkan olehnya sama dosanya dengan mendustakan hadis nabi. Sehinga penelitian terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu dilakukan. Sekali lagi, untuk tujuan tersebut maka pengembangan metodologi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Isnad cum matn analysis Benarkah ribuan hadis yang disandarkan kepada Abu Hurayra,7 Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadis itu tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadis. Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin Sahabat yang dikutip memang tidak bertanggung jawab terhadap hadis yang disandarkan kepadanya. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan urgensinya. Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut. Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadis tersebut keseluruh kitab hadis yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Apakah hadis yang kita cari itu terdapat dalam buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi kegenerasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat
7 Hasil pengecekan penulis, Abu Hurayra hanya meriwayatkan 3370 dalam kutub al-sitta, Aisya 1999, Abdullah b. Umar 1979, Anas b. Malik 1584, Abdullah b. Abbas 1243 dan Jabir 960, 13 Sahabat meriwayatkan hadis antara 100 sampai 500, 18 Sahabat antara 50 sampai 100, 68 Sahabat antara 10 sampai 50, selebihnya sahabat sahabat yang lain hanya meriyatkan satu sampai sepuluh hadis (Lihat Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination of Hadith Critical Methods, Bonn 2005)

terbatas untuk mengurainya secara detail.8 Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memunkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ketempat yang lain. AlBukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Dengan memiliki sumber berita yang tersedia, kondisi manusia diabad 21 secara fisik lebih bagus daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan metodologi isnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis daripada al-Bukhari dan para mukharrij lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadis dari empat sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadis belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadis tersebut hanya dari empat orang diatas. Pada saat ini, kitab-kitab hadis yang tersedia memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber al-Bukhari. Kitapun dapat membandingkan anatara riwayat al-Bukhari dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedabitan setiap perawi dari generasi kegenerasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain. Sekali lagi dengan isnad cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan demikian kitapun dapat melihat tingkat keadabitan perawi dari teksnya. Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Hal ini terefleksi dari literatur hadis kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori dan praktek. Kesimpulan Dalam sejarah umat Islam, reliabilitas ulumul hadis tidak pernah mendapat tantangan berarti dari sarjana Islam. Ada beberapa sarjana yang meragukan reliabilitasnya, tapi tidak mendapat simpati berarti dari umat Islam. Tulisan inipun tidak bermaksud menggugat ulumul hadis secara umum, tapi ada beberapa element substantif dalam ulumul hadis yang harus dipikirkan kembali. Meskipun dalam kritik hadis terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas hadis ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak
8 Untuk cara kerja, prosedur, mekanisme dan pengujian metodologi ini lihat Kamaruddin Amin, The Reliability of Hadith Transmission, Bonn 2005

mengabaikan pertimbangan matnnya. Metode isnad cum matn analysis menaksir kualitas hadis berdasarkan matnnya, bahkan kwalitas sanadpun dapat ditaksir melalui matnnya. Analysa matn yang dimaksud bukan apakah matn itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, melainkan sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij sampai ke perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi). ULUMUL HADITS Difinisi Hadits Secara bahasa Hadits mempunyai arti Baru, Dekat, atau Berita. Makna yang terakhir inilah yang dipakai oleh para ulama untuk mendifinisikan Hadits sebagai : Segala ucapan, perbuatan, keadaan, serta perilaku dan ketetapan(peneguhan) Nabi Muhammad S.A.W. atas berbagai peristiwa. Disamping itu ada beberapa istilah sinonim yang sering dipakai oleh berbagaikalangan Ulama untuk menyebut Hadits, yakni Khabar, Sunnah, dan atsar. Secara bahasa arti khabar adalah Berita, Sunnah berarti Jalan, dan atsar berarti Bekas atau bisa juga Nukilan. Namun ada juga Ulama yang membedakan istilah Khabar dan Atsar tersebut dengan Hadits. Khabar di katakan sebagai Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi S.A.W. maupun selain Nabi S.A.W. bisa dari kalangan sahabat atau tabiin. Sedangkan Atsar dipakai untuk perkataan-perkataan selain Nabi SAW, yakni ; sahabat, tabiin, ulama salaf, dan lain sebagainya Maka ada baiknya kita memperhatikan penggunaan istilah-istilah tersebut ketika mendengar atau membaca buku-buku keagamaan. Sesuai difinisinya ada tiga macam hadits : Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya, sabda Nabi SAW ; "Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan,yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim) Hadits yang berupa perbuatan (fi'fliyah) mencakup perilaku beliau, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir. (HR. Muslim) Hadits penetapan (taqririyah) yaitu berupa penetapan atau penilaian NabiSAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yangperkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh NabiSAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; Kami (Parasahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelumshalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kamilakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami (HR. Muslim)Berdasarkan sumbernya hadits ada dua macam ; Yaitu hadits qudsi dan hadits nabawi. Hadits qudsi, disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani, adalah suatu hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadits qudsiialah hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT, namun lafalnya berasal dari Nabi SAW.

Sedangkan hadits nabawi, yaitu hadits yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Sebagai catatan, hadits qudsi berbeda dengan Alquran. Perbedaannya antara lain: lafal dan makna Alquran berasal dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT. Alquran mengandung mukjizat. Membaca Alquran termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadits qudsi tidak termasuk ibadah. Alquran tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang berhadas, sedangkan hadits qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orangorang yang punya hadas. Periwayatan Alquran tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya. Alquran dibaca di waktu salat, sedangkan hadits qudsi tidak boleh dibaca di waktu salat. Semua ayat Alquran disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan tidak semua hadits qudsi diriwayatkan secara mutawatir.Keduanya (hadits qudsi dan hadits nabawi) memang sama-sama bersumberkan Wahyu dan keduannya dapat menjadi landasan (dalil), namun dapat dikatakan hadits qudsi lebih istimewa ketimbang hadits nabawi. Dibandingkan dengan hadits qudsi, hadits nabawi jauh lebih banyak jumlahnya. Fungsi Hadits Hadits adalah sumber hukum kedua agama Islam sesuai firman Allah SWT "apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya."QS Al-Hasyr ; 7 & "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."QS Ali Imran ; 31 Allah memerintahkan kita untuk menaati Rasul SAW sebagaimana menaati Allah SWT. Kedudukan Haditsterhadap Alquran sedikitnya mempunyai tiga fungsi pokok : Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Alquran, misalnya tentang syirik Allah berfirman ; ... jauhilah olehmu erhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (QS Al-Haj ; 30) maka Rasulullah tegaskan lagi dalam hadits berikut ; .... kuberitahukan kepadamu sekalian tentang sebesar-besarnya dosa besar, sahut kami, baiklah Rasulullah beliau bersabda ; menyekutukan Allah,... Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum dan mutlak, misalnya perintah shalat, Dalam Alquran perintah shalat hanya disebutkan dengan : dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS Al Isra'f; 78) di sana tidak ada rincian mengenai ; cara pelaksanaannya. Kapan waktunya yang tepat. Nah disinilah rasulullah SAW mengajarkan kita rinciannya yang dapat kita lihat dalam hadits-hadits. Menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak didapati/diterangkan dalam Alquran, misalnya masalah nikah. banyak sekali hadits-hadits tentang pernikahan yang hukumhukumnya tidak terdapat dalam Alquran misalnya soal haramnya menikahi saudara sepersusuan, haramnya mengumpulkan (poligami) antara seorang perempuan dengan bibinya, dsb

Penulisan Hadits Berbeda dengan Alquran yang penghapalan dan penulisannya sangat ditekankan oleh rasulullah SAW kepada semua kalangan sahabatnya, Rasulullah SAW sangat berhati-hati dalam hal hadits, perintah untuk penulisannya dikeluarkannya secara hati-hati, ini beliau lakukan agar penulisan Hadits tidak tercampur dengan penulisan alquran. Oleh karena itu Rasulullah SAW secara khusus mengijinkan sahabat-sahabat tertentu yang beliau SAW yakin akan tingkat kecermatannya untuk melakukan penulisan hadits. Kehati-hatian ini dipahami oleh para sahabat. Setelah Nabi SAW wafat dan setelah Alquran selesai di kumpulkan dan dikemas dalam bentuk mushaf secara sempurna, baru penulisan dan pembukuan Hadits sangat gencar dilakukan, ini karena sudah tidak ada kecemasan dan kekhawatirantercampurnya Alquran dengan Alhadits. Penghapalan Hadits Masyarakat Arab sudah terbiasa dengan kegiatan hapal-menghapal sehingga hadits dapat terekam dengan mudah dibenak para sahabat, apalagi mereka mendengar langsung katakata Rasul SAW juga melihat secara langsung apapun yang Beliau SAW lakukan. Seperti kebiasaan mereka dan memang telah diperintahkan oleh rasulullah SAW agar yang tahu menyampaikan kepada yang tidak tahu, para sahabatpun saling berbagi pengetahuan dan hapalan hadits. Penyampaian ini lengkap dengan sanadnya misalnya ; aku mendengar langsung dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,..dst atau ; aku mendengar dari fulan (seorang sahabat) dan dia mendengar dari fulan (sahabat yang lain) yang mendengar rasulullah SAW bersabda,...dst Pembukuan Hadits Pembukuan Hadits dilakukan sejak masa Nabi SAW namun ketika itu hanyabeberapa sahabat saja yang melakukannya, sedikitnya yang melakukan pembukuan hadits ini terus berlangsung sampai masa khulafaurrasyidin. Baru pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz kira-kira tahun 100 H secara resmi perintah pembukuan Hadits dikeluarkannya secara resmi dari institusi pemerintahan, sejak inilah pembukuan Hadits gencar dilakukan. Unsur-unsur yang selalu terdapat dalam hadits Suatu hadits mengandung tiga unsur ; yakni rawi (yang meriwayatkan hadits),sanad (sandaran hadits), dan matan (teks hadits). Rawi Rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Menyampaikan hadits disebut merawikan hadits. Sanad Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits. Misalnya Imam Buchory memberitakan dari tabiin (murid seorang sahabat Nabi SAW) A yang mendengar dari sahabat B yang mendengar dari sahabat C yang mendengar Nabi bersabda.....dst. pada contoh tersebut rentetan mulai dari Imam Buchory sampai sahabat (C) disebut sanad Matan Adapun matan adalah materi atau teks hadits atau isi suatu hadits, berupa

ucapan, perbuatan, dan takrir, yang terletak setelah sanad terakhir. Matan dikatakan juga sabda Nabi SAW yang dinyatakan setelah menyebutkan sanad. Klasifikasi hadits Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi. Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits itu terbagi dua yakni Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang perorang (ahad = satu) yang tidak mencapai tingkat mutawatir, dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih. Hadits mutawatir adalah hadits yang dirwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan dan logika mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta. Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila memenuhi tiga syarat berikut ; Warta yang disampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan hasil pemikiran terhadap sesuatu. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidakmemungkinkan mereka bersepakat bohong, para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang diperlukan, ada yang menetapkan 4, 5, 10, 20, 40, 70 bahkan ada yang berpendapat 313 orang dua orang perempuan. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tingkatan sanadpertama dengan jumlah rawi-rawi dalam tingkatan sanad berikutnya. Hadis mutawatir dibagi atas mutawatir lafzi dan mutawatir ma'fnawi. Mutawdtir lafzi ialah hadis mutawatir yang bunyi teks atau lafal hadisnya sama antara satu riwayat dan riwayat-riwayat lainnya. Adapun mutawatir ma'nawi ialah hadis mutawatir yang bunyi teks hadisnya berbeda-beda tetapi mengandung makna yang sama. Contoh mutawatir lafzi yang sering disebutkan dalam buku-buku hadis ialah Barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama-ku, maka tempatnya adalah neraka (HR. Bukhari dan Iainlain). Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat dengan teks yang sama (bahkan menurut as-Suyuti, tidak kurang dari 200 sahabat yang meriwayatkannya).Adapun contoh mutawatir ma'nawi ialah hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW selalu mengangkat kedua tangannya dalam berdoa. Masing-masing teks hadis tentang berdoa tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi hadis-hadis tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu Nabi SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdoa. Hadis mengenai cara Nabi SAW berdoa tersebut diriwayatkan oleh lebih dari seratus sahabat.Klasifikasi Hadis dari segi kualitas sanad dan matan hadits Penentuan tinggi rendahnya suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, kualitas rawi, dan keadaan matan. Jadi andaikata ada dua hadits yangmemiliki keadaan rawi dan matan yang sama maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih banyaklah yang lebih baik tingkatannya. Apabila dua buah hadits memiliki keadaan matan dan jumlah rawi yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatannya. Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya paling selaras dengan Alquran lah yang lebih baik tingkatannya.Hadits yang tinggi tingkatannya berarti memiliki tingkat kepastian yang tinggibahwa hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau sumber ajaran Islam. Para Ulama membagi hadits ahad* dalam tiga tingkat, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits daif.

Hadits Sahih. Secara bahasa Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat Quran, hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit. Hadits Hasan Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut istilah ; Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya baik, tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula -yang sederajat Hadits Daif Menurut bahasa daif berarti lemah, jadi hadits daif adalah hadits yang lemah, yakni ; para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil/rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. hadits ini tidak memenuhi persyaratan sebagai hadits sahih maupun hasan. Keterangan lebih detail mengenai hadits sahih, hasan dan daif ini akan disampaikan pada bab tersendiri. * Mulai kini yang dibicarakan selalu hadits ahad. Penelitian terhadap keadaan sanaddan matan tidak diperlukan lagi terhadap hadits mutawatir. Pembagian hadits dari segi kedudukan dalam hujah (dalil) Hadits ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya dia sebagai hujah terbagi dua, yaitu golongan Hadits maqbul dan Hadits mardud. Hadits Maqbul secara bahasa berarti ; yang diambil, yang diterima, dan yang dibenarkan. sedangkan secara istilah ulama hadits mendifinisikan hadits maqbul dengan; "Hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad Saw menyabdakannya." Para ulama mengatakan hadits ini wajib diterima namun demikian para ulamamenetapkan bahwa tidak semua hadits maqbul itu harus diamalkan karena dalam kenyataannya banyak juga hadits-hadits yang tidak berlaku lagi (hadits dalam golongan ini di sebut hadits mansukh) atau dihapuskan hukumnya oleh hadits yang datang sesudahnya (nasikh). selain itu terdapat juga hadits-hadits maqbul yang saling berlawanan maknanya, dalam hal ini yang lebih kuat dinamakan hadits rajih, yang lemah dinamakan hadits marjuh. Maka menurut intruksi pengamalannya hadits maqbul terbagi dua ; hadits maqmulun bihi dan hadits gairu maqmulun bihi. hadits maqmulun bihi adalah hadits yang dapat diamalkan, yang termasuk hadits ini ialah: Hadits muhkam, yaitu hadits yang tidak mempunyai perlawanan Hadits mukhtalif, yaitu dua hadits yang pada lahirnya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah. Hadits nasikh Hadits rajih Hadits gairu maqmulun bihi ialah hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang termasuk hadits ini ialah: Hadits mutawaqaf, yaitu hadits yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansikhkan dan tidak dapat ditarjihkan. Hadits mansukh Hadits marjuh Hadits Mardud Menurut bahasa mardud berarti ; ditolak, tidak diterima. Sedangkan menurut istilah hadits mardud ialah ; Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketiadaannya, tetapi adanya dengan ketiadaannya bersamaan. Hadits dalam jenis ini tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan. Klasifikasi Hadits dari segi perkembangan sanadnya.

10

Dari segi ini Hadits terbagi dua yakni ; Hadits Muttasil dan Hadits Munqati. Hadits Muttasil kadang juga disebut Hadits Mausul artinya; Hadits yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang diatas sampai kepada ujung sanadnya baik hadits marfu (Hadits yang sampai kepada Nabi SAW) atau hadits mauquf (Hadits yang hanya sampai kepada sahabat). Ada ulama yang memasukkan hadits maqtu (Hadits yang hanya sampai kepada tabiin) sebagai hadits Mausul ada pula yang tidak menggolongkannya sebagai hadits mausul. Munqati secara bahasa berarti terputus. Secara difinisi banyak terdapat perbedaan para Ulama, namun yang paling, tepat menggambarkan kondisi hadits Munqati ialah yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr ; Hadits Munqati adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya baik yang disandarkan kepada Nabi SAW maupun disandarkan kepada yang lain. Jadi Hadits dalam golongan ini memiliki masalah di sanadnya (Terputus) seorang atau beberapa Rawi di tingkatan (Tabaqat / generasi) manapun. Lebih detail tentang Hadits Ahad. Dilihat dari segi rawi, Hadits ahad terbagi dalam tiga bagian, yaitu hadits masyhur (hadits mustafid), hadits aziz, dan hadits garib. Ada ulama yang membedakan hadits mustafid dengan hadits masyhur jadi menurut mereka pembagian hadits ahad itu ada empat. Hadits Masyhur. Masyhur menurut bahasa artinya sudah tersebar atau populer. Mustafid juga berarti yang telah tersebar luas. Inilah sebab banyak ulama yang menyamakan hadits masyhur dengan hadits mustafid. Secara istilah ulama hadits mendifinisikan hadits masyhur atau hadits mustafid dengan hadits yang diriwwayatkan oleh tiga rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat mutawatir. Contoh hadits masyhur : Rasulullah SAW bersabda ; seorang muslim adalah orang yang muslim lain tidak terganggu oleh lidah dan tangannya. Hadits tersebut sejak tingkatan pertama (tingkat sahabat nabi) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadits (Bukhari, Muslim dan Tirmizi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. Sedangkan ulama yang membedakan hadits mustafid dari hadits masyhur mendifinisikan hadits mustafid dengan Hadits yang diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir. Hadits Aziz. Menurut bahasa Hadits Aziz artinya hadits yang mulia atau hadits yang kuat atau hadits yang jarang, karena hadits jenis ini memang jarang keberadaannya. Secara istilah para ulama hadits mendifinisikan hadits aziz sebagai ; Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi Contoh hadits aziz ; Rasulullah SAW bersabda, Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat. Hadits ini pada tingkat pertama diriwayatkan oleh dua orang sahabat Nabi, yaitu Hudzaifah dan Abu hurairah. Walaupun pada tingkat selanjutnya hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua orang namun hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits aziz. Hadits Garib.

11

Secara bahasa hadits gharib berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Secara istilah para ulama memberikan difinisi sebagai berikut ; Hadits Gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan maupun sanad. Jadi walaupun sebuah hadits memiliki rawi yang banyak di tingkatan yang lain namun hanya memiliki satu orang rawi di tingkat pertama maka hadits tersebut tetap tergolong hadits gharib. Contoh hadits gharib ; Nabi SAW bersabda ; Iman itu (bercabang-cabang menjadi 73 cabang). Malu itu salah satu cabang dari iman. (HR. Buhkhari dan Muslim). Klasifikasi hadits ahad : Sahih, Hasan dan Dla'if. Sebelumnya kita sudah sempat membahas tentang hadits sahih secara ringkas. secara bahasa Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat Quran, hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit. Nah pada sesi berikut kita akan lebih detail membahas tentang hadits sahih ini. Syarat hadits sahih. Suatu hadits dapat dinilai sahih, apabila telah memenuhi lima syarat : 1. Rawinya bersifat adil. 2. Sempurna ingatannya. 3. Sanadnya tidak terputus. 4. Tidak ber illat. 5. Tidak janggal. Ad.1. Rawinya bersifat adil. Keadilan seorang Rawi harus memenuhi empat syarat ; (1)selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat. (2)menjauhi dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. (3)tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. (4)tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara. Atau seperti yang diungkapkan oleh Ar Razi : adil ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatanperbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan (muruah) seperti makan di jalan umum, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau secara berlebihan. Adil dalam batasan seorang periwayat hadits adalah : Ia Islam, periwayatan dari seorang kafir tidak dapat diterima, ia Mukallaf (dewasa/sudah baligh dan layak mendapat beban tanggung jawab syariat) karena periwayatan dari seorang anak yang belum dewasa tidak dapat diterima, begitu pula periwayatan dari orang gila. Yang terakhir, ia bukan seorang yang fasik dan cacat pribadinya. Ad.2. Sempurna ingatannya. Dlabit adalah istilah yang diberikan oleh para ulama hadits, artinya adalah perawi yang memiliki ingatan yang kuat. Dalam khazanah ilmu hadits seseorang memiliki ingatan yang kuat, sejak dari menerima hadits sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, periwayat itu di juluki dlabithush shadri. Kalau apa yang disampaikannya itu berdasar pada buku catatan maka periwayat seperti ini disebut dlabithul kitab.

12

Para muhaditsin mensyaratkan dalam mengambil hadits, hendaklah diambil dari rawi yang bersifat adil lagi dlabit. Periwayat hadits yang memiliki kedua sifat itu disebut Tsiqah. Orang fasik, ahli bidah, dan orang yang tidak dikenal kelakuannya, walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya. Begitu pula orang yang pelupa dan banyak keliru, kendatipun ia dikenal sebagai orang yang jujur lagi adil, tidak dapat diterima periwayatannya. Jadi seorang yang dlabit adalah ; Tidak pelupa. Hafal terhadap hadits yang didiktekan kepada muridnya, dan terjaga buku catatannya apabila ia memberikan hadits itu dari sana. Menguasai hadits yang diriwayatkannya, memahami maksudnya dan mengetahui maknanya. Ad.3. Sanadnya tidak terputus Maksudnya ialah, sanad hadits tersebut selamat dari keguguran, yakni bahwa tiaptiap rawi dapat saling bertemu (Hidup sezaman, memungkinkan untuk bertemu, dsb) dan menerima langsung dari guru yang memberinya hadits tersebut. Ad.4. Tidak berillat Dalam istilah ilmu hadits illat hadits artinya adalah suatu penyakit yang samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya bila terdeteksi terdapat sisipan pada matan hadits tersebut.* Ad.5. Tidak janggal Kejanggalan suatu hadits terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabitan rawinnya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.* *Masalah ini akan dibahas di bab lainnya. Kita akan sedikit review supaya kesinambungan materi terjaga. Pertama kita bahas tentang difinisi hadits, lalu kita kenal dengan hadits nabawi dan kudsi, fungsi hadits sebagai penjelas dan perinci Quran, kemudian sedikit kita singgung tentang kodifikasi hadits, baru kita lanjutkan sedikit ke teknis ilmu hadits yaitu diawali dengan unsur-unsur yang terdapat dalam hadits, kemudian pembagian hadits dari segi banyaknya rawi, kualitas sanad dan matan, kedudukannya sebagai hujah, dan terakhir yakni pembagian hadits berdasarkan perkembangan sanadnya. Sebelumnya kita sudah cukup dengan hadits Mutawatir, pada sesi-sesi berikutnya kita mulai lebih detail bicara tentang hadits Ahad, mulai dari difinisinya sampai ke klasifikasinya yakni Sahih, Hasan dan Dlaif. Terakhir kita telah membahas tentang hadits ahad sahih, sekarang kita masuk dalam pembahasa hadits ahad berkategori hasan. Kita mulai dari difinisi hadits Hasan, menurut At-Turmudzy ; hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (diriwayatkan pula melalui sanad yang lain yang sederajat). Ada pula difinisi yang jadi pegangan umum oleh jumhur ulama hadits, yakni ; Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, tapi tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada

13

matannya. Jadi perbedaan antara hadis shahih dan hadits hasan ini terletak pada syarat kedlabitan rawi. pada hadits hasan kedlabitannya lebih rendah (tidak begitu kuat ingatannya) jika dibandingkan hadits shahih. Kedudukan hadits hasan Tingkatan hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan hadits hasan sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang Aqidah, ada yang menolak hadits hasan sebagai hujjah ada yang menerimanya sebagai hujjah baik untuk bidang hukum maupun bidang Aqidah, pendapat inilah yang paling banyak dianut. Minggu depan kita masuk dalam bahasan tentang Hadits dlaif. Hadits Dlaif Difnisi Hadits Dlaif adalah : Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shaih atau hadits hasan. Hadits dlaif banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain. Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan lebih baik daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan. Begitu seterusnya. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan : 1. Kecacatan rawinya. 1. Hadits maudlu 2. Hadits matruk 3. Hadits munkar dan ma'ruf 4. Haddits muallal 5. Hadits mudraj 6. Hadits maqlub 7. Hadits multharrib 8. Hadits maharraf 9. Hadits mushahhaf 10. Hadits mubham, majhul dan mastur 11. Hadits syadz dan mahfudh 12. Hadits mukhtalith 2. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan ; Gugurnya Rawi. 1. Hadits muallaq 2. Hadits mursal 3. Hadits mudallas 4. Hadits munqathi 5. Hadits mudlal 3. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan ; Sifat matannya 1. Hadits mauquf 2. Hadits maqthu Minggu depan kita akan merinci secukupnya masing-masing klasifikasi tersebut. Insya Allah.

14

Hadits Maudlu Ialah ; Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu di katakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak Yang dikatakan sebagai rawi yang berdusta kepasa Rasulullah SAW ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, walaupun mereka telah bertobat. Para ulama hadits menentukan beberapa ciri-ciri untuk mengetahui ke maudlu an sebuah hadits, diantarannya : 1. adanya pengakuan si pembuat hadits maudlu itu sendiri, pernah seorang ulama menanyakan suatu hadits kepada perawinya dan perawi tersebut mengakui bahwa ia memang menciptakan hadits tersebut untuk suatu keperluan. 2. Adanya indikasi yang memperkuat, misalnya seorang rawi mengaku menerima satu hadits dari seorang tokoh, padahal ia belum pernah bertemu dengan tokoh tersebut, atau tokoh tersebut sudah meninggal sebelum perawi itu lahir. 3. Adanya indikasi dari sisi tingkah laku sang perawi, misalnya diketahui bahwa ada tingkah laku yang menyimpang dari diri sang perawi. 4. Adanya pertentang makna hadits dengan Alquran, atau dengan hadits mutawatir, atau dengan ijmaatau dengan akal sehat. Hadits Matruk Ialah ; Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Yang disebut dengan rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, namun belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernahh berdusta dalam membuat hadits. Hadits Munkar Ialah ; Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta. Istilah banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, dan jelas kefasikannya artinya yakni ; Lengah, biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah biasanya terjadi dalam hal ; menyampaikan hadits. Yang dimaksud dengan fasik ialah kecurangan dalam amal bukan itikad (keyakinan / aqidahnya) Hadits Mualal Ialah ; Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi (terputus) atau memasukkan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu. Mengetahui hadits mualal ini sangat sulit karena hadits ini tampaknya tidak memiliki cacat tetapi setelah diteliti lebih mendalam terdapat penyakit, penyakit itu kadang terletak pada sanad terkadang juga pada matan Hadits Mudraj Ialah ; Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan,

15

bahwa saduran itu termasuk hadits Misalnya tercampurnya matan (kata-kata dalam hadits) yang tercampur dengan kata-kata si perawi, ini berarti ucapan rasul SAW menjadi bertambah redaksi yakni tersisipi atau tertambah kata-kata si periwayat hadits tersebut. Hadits Maqlub. Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan. Maksudnya hadits yang didalamnya entah matan atau sanad terjadi kesalahan yang sifatnya terbalik balik, misalnya hadits muslim dari Abu Hurairah berikut ; "dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya." Hadits ini memiliki kesalahan redaksi dalam matannya ada kata yang terbalik, yakni pada kata "hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya." yang benar ; "hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kanannya." hal ini diketahui dari hadits hadits lain yang semakna. Hadits Mudltharrib Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) tetapi tidak dapat disimpulkan mana yang benar. jadi hadits mudltharib ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan dan ditarjihkan. misalnya hadits berikut : "Dari Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar r.a. konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Alhamdulillahirabbil alamin" hadits dengan makna seperti ini banyak (dengan lafadz yang berbeda-beda). dan ini bertentangan dengan hadis yang juga bersumber kepada Anas r.a. berikut ; "Mereka sama mengeraskan bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim" dengan demikian hadits tersebut adalah hadits mudltharrib tidak dapat dijadikan hujah oleh siapapun. Hadits Muharraf yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain)terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata (tanda baca ; fatah, dlomah, kasroh, dsb), dengan masih tetapnya bentuk tulisan (huruf hijaiyahnya). Misalnyakalimat basyir dibaca busyair atau kalimat nashir dibaca nushair, kasus ini terkadang terjadi pada matan maupun sanadnya. Contoh yang terjadi pada matan ; hadits Jabir ra ; Ubay (bin kaab) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat. Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby (artinya ; ayahku), padahal yang benar adalah Ubay. Disini terjadi kekeliruan mestinya fathah dibaca dlommah. Kekeliruan Ghandar Menjadi jelas karena apabila dibaca Aby artinya yang terkena panah itu adalah ayah Jabir, padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud yakni perang yang terjadi sebelum perang Ahzab. Hadits Mushahaf.

16

Ialah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. contoh hadits mushahaf pada matan, ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary ; "Nabi SAW bersabda: siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa." perkataan "sittan" yang artinya enam, oleh Abu Bakar As-Shauly diubah dengan syai-an, yang berarti sedikit. dengan demikian rusaklah makna karenanya. Mushahaf dalam hadits tersebut terjadi pada matan, kalau terjadi pada sanad disebut dengan mushahaf fis-sanad. Hadits Mubham, majhul dan mastur Hadits Mubham adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang (atau rawi) yang tidak jelas identitasnya atau tidak jelas apakah ia laki-laki atau perempuan. Kesamaran tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab ; tidak disebutkan namanya, atau disebutkan sebuah nama tetapi tidak dapat dipastikan juga jenis kelaminnya dari nama tersebut, atau hanya disebut pertalian keluarga seperti ibnun (anak laki-laki), ummun (ibu) dsb yang sebutan-sebutan itu belum menunjuk ke pribadi seseorang. kesamaran ini dapat terjadi pada matan atau sanad. Berikut adalah contoh hadits mubham pada matan, hadits dari Abdullah bin Amr bin 'Ash r.a. ; "Bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasul SAW, katanya; perbuatan Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi ; ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal." Berikut adalah contoh hadits mubham pada sanad, hadits Abu Daud yang diterimanya dari "Hajaj dari seorang laki-lak dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW. sabda Rasulullah ; Orang mukmin itu adalah orang yang mulia lagi dermawan." dalam hadits itu Hajaj tidak menerangkan nama rawi yang memberikan hadits kepadanya. oleh karena itu sulit sekali untuk menyelidikinya. Jika nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal kadilannya dan tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits daripadanya,selain seorang saja, maka rawi yang demikian eadaannya disebut dengan Majhulul'ain, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits Majhul. Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedlabithannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka rawi tersebut dinamai Majhul'lhal, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits Mastur. Hadits Mukhtalith Yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang seperti itu tidak dapat diterima sebagai hujah. apabila ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang hafalannya telah buruk karena berusia lanjut atau karena adanya sebab yang lain, maka hadits yang diriwayatkannya tersebut harus ditolak. tetapi hadits-hadits yang diriwayatkannya sebelum keadaan yang membuatnya jadi pelupa, tetap dapat diterima.

17

Macam - macam hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi. Hadits mu'allaq "Ialah hadits-hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad." maksudnya gugur yakni tidak disebutnya nama sang rawi dalam suatu periwayatan hadits. misalnya Imam muslim meriwayatkan suatu hadits sanadnya dari A, dari B dari C. kemudian Imam Buchori meriwayatkan hadits yang sama tapi hanya disebut sanadnya dari A, dari B tidak disebutnya si C. nah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Buchory inilah yang disebut hadits Mu'allaq karena Imam menggugurkan seorang rawi dalam sanad hadits tersebut. ada hadits mu'allaq yang dibuang seluruh sanadnya oleh Imam hadits, yakni apabila seorang imam hadits secara langsung mengatakan ; "Rasulullah SAW bersabda,...dst". hadits mu'allaq pada prinsipnya digolongkan sebagai hadits dlaif disebabkan karena sanad yang di gugurkan itu tidak dapat diketahui sifat-sifat dan keadaannya secara meyakinkan, baik mengenai kedlabithannya maupun keadilannya, kecuali bila yang digugurkan itu adalah seorang sahabat yang memang sudah tidak diragukan lagi keadilannya. Namun demikian hadits mu'allaq bisa dianggap sahih bila sanad yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. seperti hadits mu'allaq yang terdapat dalam shahih buchory sebanyak 1341 buah. dan dalam shahih muslim sebanyak 3 buah telah disebutkan sanad yang digugurkan oleh Imam Buchory tersebut. juga harus dihukumi shahih apabila hadits-hadits yang digugurkan sanadnya oleh Imam Bushory tersebut ada pada kitab-kitab hadits lain yang telah dihukumi sebagai hadits sahih, walau harus diberi catatan sebagai hadits yang shahihnya tidak mutlaq atau perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Hadits mursal Yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy. Maksudnya apabila ada tabiin yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan atau diperintahkan oleh Rasul SAW tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu. diperolehnya. maka hadits tersebut di sebut sebagai hadits mursal. Hadits mursal terbagi tiga ; mursal jally, mursal shahaby, dan mursal khafy. . Mursal Jaly yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita. . Mursal shahaby yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasul SAW tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam Islam. . Mursal Khafy ialah hadits yang diriwayatkan oleh tabiiy dimana tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah haditspun daripadanya. Soal berhujah dengan hadits Mursal ini para Ulama berbeda pendapat menjadi enam golongan: 1. Hadits Mursal dapat dipakai hujjah secara mutlak. 2. Tidak dapat dipakai hujjah secara mutlak. 3. Dapat, asal yang meng-irsal-kan ulama abad ketiga.

18

4. Dapat, bila yang meng-irsal-kan itu orang adil. 5. Dapat, bila yang meng-irsal-kan itu Said bin Musayyab. 6. Dapat asal ada penguatnya. 7. Dapat, bila dalam bab tidak ada yang lain. 8. Dapat apabila ia lebih kuat daripada musnad. 9. Dapat untuk amalan-amalan yang sunnat. 10. Dapat, asal yang meng-irsal-kan itu sahabat. Sebagian Ulama membatasi hadits mursal itu kepada yang hanya diriwayatkan oleh tabiin besar saja, sedang yang diriwayatkan oleh tabiin kecil disebut hadits munqati. Sebagian Ulama yang lainnya menyamakan keduanya. Hadits Mudallas Apabila hadits mursal khafy adalah pengguguran rawi karena tidak hidup sezaman, maka dalam kasus hadits mudallas ini yang digugurkan dan yang menggugurkan hidup sezaman atau pernah bertemu. motiv pengguguran rawi mungkin terdorong oleh maksud tetentu misalnya menutupi aib gurunya atau menutupi kelemahan haditsnya. jadi hadits mudallas yaitu "hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tidak bernoda." Rawi yang berbuat cara demikian, disebut mudallis. hadits yang diriwayatkan oleh mudallis, disebut hadits mudallas. dan perbuatannya disebut dengan tadlis. Hadits Munqathi Adalah hadits yang gugur seorang perawi sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut turut. Misalnya hadits berikut Konon Rasulullah SAW apabila masuk masjid memanjatkan doa ; Dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah ampunilah dosa dosaku dan bukalahan rahmat untukku. sanad hadits tersebut yaitu ; dari Abu Bakar Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Al-Laits, dari Abdullah bin hHasan, dari Fathimah binti Husein, dari Fathimah Az-Zahra (putri rasul SAW). Di sanad tersebut terdapat pemutusan yakni rawi sebelum Fathimah Az-Zahra, sebab Fathimah binti Husein tidak pernah bertemu dengan Fathimah Az-Zahra yang telah wafat sebulan setelah Rasul SAW wafat. Hadits seperti ini tidak dapat digunakan sebagai Hujah. Hadits Mudlal Hadits Mudlal adalah Hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturutturut , baik sahabat bersama tabiiy, tabiiy bersama tabiit-tabiin, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabiiy. Hadits mudlal itu tak dapat dibuat hujah. Ia lebih buruk daripada hadits munqathi. Perbedaan keguguran rawi dalam hadits mursal khafy, mudallas dan munqathi adalah sebagai

19

berikut : 1. Kalau hadits mursal khafy ; rawi yang meriwayatkan hadits dengan rawi yang mempunyai hadits, hidup sejaman tetapi tidak pernah bertemu dan mendapat hadits dari rawi yang mempunyai hadits. 2. Dalam hadits mudallas kedua rawi yang meriwayatkan hadits dan rawi yang memberikan hadits hidup sezaman dan pernah bertemu, akan tetapi rawi yang meriwayatkan hadits enggan menyebutkan nama rawi yang telah memberikan hadiots padanya. 3. Dalam hadits munqathi keduanya tidak hidup sezaman dan tidak pernah berjumpa satu sama lain. Hadits Mauquf & Hadits Maqthu Disamping kedlaifan suatu hadits itu terletak pada sanadnya (cacat rawinya, baik keadilannya, kedlabitanya, atau pengguguran) dapat juga kedlaifan itu disebabkan karena matannya. Yakni apakah matannya hanya terhenti sampai kepada apa yang dikatakan dan diperbuat sahabat saja (Mauquf). atau hanya terhenti sampai ke tabiin saja (Maqthu). keduanya tidak sampai kembali kepada Nabi SAW. dengan kata lain, dalam hadits Mauquf dan Maqthu ini semua perkataan dan atau perbuatan yang dikabarkan itu tidak ada bukti dan petunjuk yang menegaskan bahwa perkataan dan atau perbuatan itu adalah perkataan dan atau perbuatan Rasul SAW. Hadits Maqthu tidak dapat digunakan sebagai hujah, sedangkan hadits Mauquf masih dapat asalkan terdapat qarinah / indikasi yang menunjukanya marfu. (akan dijelaskan pada bahasan tentang hadits marfu).
A. ULUMUL HADITS 1) Ilmu Hadits dan Ilmu Ushuli'l Hadits : Ilmu Hadits: Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW, beserta sanad-sanad dari ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihannya dan kedhaifannya dari pada lainnya, baik matan maupun sanadnya. Ilmu Ushuli'l Hadits : Suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal kesahihan, kehasanan dan kedlaifan hadits, matan maupun sanad dan untuk membedkan dengan yang lainnya. 2) Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah : (1) Ilmu Hadits Riwayah : Ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits. Dalam menyampaikan dan mendewakan hadits, baik mengenai matan maupun sanadnya. Faedah mempelajari ilmu ini : adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perintis pertama ilmu riwayah adalah Muhammad bin Syihab

20

Az-Zuhry. (2) Ilmu Hadits Dirayah : disebut dengan ilmu Musthalahul Hadits undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, caracara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud. 3) Cabang-Cabang Ilmu Musthalahul Hadits : (1) Cabang yang berpangkal pada sanad antara lain : (a) Ilmu rijali'l hadits, (b) Ilmu thabaqati'r ruwah, (c) Ilmu tarikh rijali'l hadits, (d) Ilmu jarh wa ta'dil. (2) Cabang-cabang berpangkal pada matan, antara lain : (a) Ilmu gharibi'l hadits, (b) Ilmu asbabi'l mutun, (c) Ilmu tawarikhi'l hadits, (d) Ilmu talfiqi'l hadits. (3) Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan, ialah : Ilmu ilali'l hadits. 4) Priode Periwayatan dengan Lisan : (a) Larangan Menulis Hadits : Nabi sendiri melarang untuk menuliskan sabdanya "Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Qur'an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur'an hendaklah dihapus". Maka hadits diterima dengan hafalan. (b) Perintah menulis Hadits : di samping Rasulullah melarang menulis Hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat tertentu, untuk menulis hadits. Misalnya Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menerangkan bahwa sesaat Fathu Makkah Nabi berpidato dihadapan umat Islam, tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman Abu Syah bertanya kepada Rasulullah : "Ya Rasulullah! Tulislah untukku!, Jawab Rasul tulis kamulah sekalian untuknya". (c) Sistem meriwayatkan Hadits: dengan lafadh yang masih asli dari Rasulullah SAW. Dengan makna saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak ingat betul pada lafadh aslinya, karena mereka hanya mementingkan segi isinya yang benarbenar dibutuhkan pada saat itu. 5) Periode Pembukuan Hadits abad ke-2 (A) Motif Membukukan Hadits : pada zaman khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz - Bani Umayyah antara th. 99 H - 101 H : (1) Kemauan beliau untuk tidak membiarkan Hadits seperti waktu yang lalu. Karena ada kekhawatiran akan hilang Hadits dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum didewankannya dalam Dewan Hadits. (2) Untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari Hadits-hadits maudlu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab. (3) Hadits belum terdewankan secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafau'r Rasyidin, karena ada kekhawatiran bercampur dengan al-Qur'an, telah hilang, karena alQur'an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam. (4) Ada kekhawatiran akan hilangnya hadits karena banyak ulama Hadits yang gugur dalam medan perang, dan bercampur dengan hadits palsu. (B) Ciriciri Kitab Hadits yang didewankan pada abad kedua : Karya ulama abad kedua masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Kitab hadits belum dipisahkan antara hadits-hadits yang marfu', mauquf dan maqthu, dan antara hadits yang shahih, hasan dan dla'if. (C) Kitab Hadits yang masyhur : (1) al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadits yang terkandung dalam kitab ini lebih kurang 1.720 buah. (2) Musnadu'sy Syafi'i - Imam Asy Syafi'i - mencantumkan

21

seluruh hadits - "al-Umm". (3) Mukhtalifu'l Hadits - karya Imam Syafi'i menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain. B. ASBABUL WURUD 1. Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits diroyah. Asbabul wurud merupakan cabang dari ilmu hadits riwayah. 2. Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. 3. Pembagian Asbabul Wurud : ada hadits yang mempunyai sebab disabdakan dan ada hadits yang tidak mempunyai sebab-sebab disabdakan. (1) Hadits yang mempunyai sebab disebutkan dalam hadits itu sendiri. Misalnya hadits yang timbul karena pertanyaan Jibril kepada Nabi SAW tentang pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. (2) Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan shalat yang paling utama bagi wanita adalah di rumah kecuali shalat fardhu. 4. Asbabul Wurud ditentukan oleh beberapa hal : (1) Ada ayat al-Qur'an yang perlu diterjemahkan Rasulullah. Fungsi hadits sebagai Tafsirul Qur'an bis Sunnah). (2) Ada matan hadits yang masih perlu dijelaskan oleh Rasulullah. Hadits yang dijelaskan itu merupakan sababul wurud dari hadits berikutnya. (3) Ada peristiwa yang timbul yang perlu dijelaskan oleh Rasulullah. (4) Ada masalah atau pertanyaan dari para sahabat. Ulama yang mula-mula menyusun kitab mengenai asbabul wurud adalah Abu Hafsah al-'Akbari (380-456 H). As-Suyuthi karyanya berjudul "al-Muma' fi Asb al-Hadits" 5. Urgensi Asbabul Wurud : dapat membantu atau menolong dalam memahami hadits secara benar. Jika hadits tidak diketahui asbabul wurudnya, akan mengaburkan pemikiran seseorang dalam memahamai hadits, bahkan bisa salah sama sekali. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi : "Barang siapa menyerupai kaum maka termasuk golongan mereka" Menurut Muh.Zuhri, hadits ini pernah dipahami, karena penjajah orang kafir itu bercelana panjang dan berdasi, maka orang Islam yang berpakaian semacam itu termasuk kafir, berdasarkan hadits tersebut. HADITS PADA MASA SAHABAT 1. Sahabat adalah orang yang bertemu dan hidup bersama Rasul minimal setahun lamanya ( Ahli Ususl), Jumhur Muhadditsin - sahabat orang yang bertemu dengan Rasul dengan pertemuan yang wajar sewaktu rasul masih hidup, dalam keadaan Islam lagi iman, Al-Jahidh ulama beraliran Mu'tazilah sahabat orang yang pernah bergaul dengan dan meriwayatkan hadits dari padanya, Ulama Ushul - sahabat orang yang berjumpa dengan Rasul, lama pula bersahabat dengan beliau, walaupun tidak meriwayatkan hadits, Loght dan 'Uruf - sahabat mereka yang sungguh-sungguh menyertai Nabi, seduduk, sejalan dengan Nabi dalam sebagian waktu. 2. Ada duabelas Thabaqot : (1) mereka yang lebih dulu masuk Islam, yaitu orang yang lebih dulu beriman di Makkah, (2) Anggota Dar an-Nadwah yang memeluk

22

Islam sesudah Umar masuk Islam, (3) para sahabat yang hijrah ke habasyah pada tahun k5-5 sesudah Rasulullah diutus, (4) pengikut perjanjian 'aqobah pertama, (5) pengikut perjanjian aqobah kedua yang memeluk Islam sesudah aqobah pertama, (6) sahabat muhajirin yang sampai di Madinah, ketika Nabi masih berada di Quba, menjelang memasuki Madinah, (7) pengikut perang badar, (8) para sahabat yang hijrah di antara peristiwa perang badar dan Hudaibiyah, (9) para sahabat yang melakukan bai'at di bawah pohon di Hudaibiyah, (10) para sahabat yang hijrah sebelum penaklukan Makkah dan sesudah peristiwa Hudaibiyah, (11) para sahabat yang memeluk Islam pada saat penaklukan Makkah, (12) anak-anak yang melihat Nabi pada hari penaklukan Makkah dan Haji Wada'. 3. Cara meriwayatkan hadits : (1) Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Bisa dilakukan apabila mereka (sahabat) hafal benar apa yang disabdakan Rasul. Para sahabat meriwayatkan hadits melalui cara ini, mereka berusaha agar dalam meriwayatkan hadits sesuai dengan redaksi Rasul, bukan redaksi dari mereka. (2) Periwayatan Maknawi : sahabat berpendapat dalam keadaan darurat, karena tidak ada lafal asli dari Rasul, maka boleh meriwayatkan dengan maknawi. Artinya periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi atau makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun. Sumber: Hujair AH. Sanaky, Kajian Hadits dan Perbedaannya dengan as-Sunnah,alKhabar, Atsar.www.sanaky.com
PENDAHULUAN Hadits adalah sumber agama ke dua setelah al qur'an. Dilihat dari segi periwayatannya, hadits berbeda dengan al-qur'an.hadits nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawattir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.hadits nabi terutama yang dikategorikan hadits ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya. Apakah berasal dari nabi atau bukan. Hadits dilihat dari segi periwayataanya berkedudukan sebagai zhanniy al wurud atau zhanniy as-tsubut. Kajian-kajian tehadap al-qur'an adalah untuk memahami kandungan dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadits, kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya. Tetapi juga periwayatannya. Karena, kajian terhadap periwayatan hadits ini kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri, yang dikenal ilmu al-dirayah. Makalah ini membahas aspek periwayatan hadits yang secara khusus membahas syarat-syarat penerimaan dan periwayatan hadits, metode-metode penerimaan, bentuk riwayat, persamaan dan perbedaan ar-riwayah dan as-syahadah. PEMBAHASAN A. Pengertian Ar-Riwayah Dan As-Syahadah Secara epistimologis ar-riawayah berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti membawa atau mengutip. Dan disinilah kemudian dipakai riwayatul hadits yang artinya menyampaikan hadits. Menurut istilah ahli hadis, ar-riwayah adalah memindahlakn dari seorang guru kepada seorang yang lain aatau membukukannya ke dalam buku hadis. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadis yang diterima dari gurunya dalam sebuah buku . Sedangkan as-syahadah menurut bahasa berarti memberikan sesuatu dengan sebenarbenarnya. Sedang menurut Hasybi Asy-Siddiqiy, as-syahadah berarti hadir. Semakna dengan itu adalah al-bayinah dan al yamin, bukti dan sumpah atau kesaksian. Berangkat dari arti bahsa ini Ibnu Faris yang dikutib oleh Hasybi Asy-Sidiqiy, dengan singkat merumuskan as-syahadah dapat

23

dipahami sebagai kesaksian seseorang atau beberapa orang yang diberikan karena memiliki implilkai hukum tertentu. B. Persamaan Dan Perbedaan Ar-Riwayah Dan As-Syahadah Para ulama' berpendapat bahwa persamaan ar-riwayah dan as-syahadah terdapat pada empat hal, yaitu: harus dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam; Telah mukallaf; Bersifat adil; Bersifat dhabit. Keempat hal itu berkaitan langsung dengan syarat syahnya periwayat dan saksi. Adapun perbedaannya cukup banyak, menurut al-Ghazali enam diantarannya adalah sebagai berikut: periwayat boleh dilakukan oleh hamba sahaya, sedangkan kesaksian harus dilakukan oleh orang-orangyang merdeka;Periwayat syah sja dilakukan oleh laki-laki atau wanita, sedangkan kesaksian lebih diutamakan laki-laki; Periwayat asalkan pendengarannya baik, syah dilakukan oleh orang yang buta, sedangkan saksi tidak diperkenankan dari orang yang buta; Periwayat boleh memiliki hinungan kerabat dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakanya, sedang kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang memberikan kesaksian perkarannya; Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan syahnya periwayatan, sedang kesaksian untuk peristiwa-peristiwa tetentu haruslah lebih dari satu orang; Periwayat dapat mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedangkan kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disaksikan perkaranya. C. Syarat-Syarat Penerimaan Dan Penyampaian Pada umumnya ulama' memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anakanak, asalkan ketika meriwayatkannya ia telah masuk islam dan mukallaf. Menurut ulama syaratsyarat yang ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah: islam; balig;berakal; tidak fasik;terhindar dari tingkah laku yang mengurangi dan menghilangkan kehormatan;Mampu menyampaikan hadis yang telah di hapalkan; Jika periwayatan itu memiliki catatan, maka catatan itu dapat dipercaya; Sangat mengetahuai hal-hal yang merusak maksud hadis yang diriwayatkannya secara makna. D. Cara-Cara Penerimaan Hadits a. Al-Sima (mendengarkan hadits dari guru) Al-Sima adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhadditsin periode pertama untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad saw. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran bila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadits yang paling tinggi tingkatannya. Demikian menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan muhaditsin dan lainnya. Unsur yang dominan dalam cara ini adalah mendengarkan bacaan guru, baik dibacakan dengan selintas maupun dengan cara didiktekan; dan baik dibacakan dari hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. semua cara ini menurut muhaditsin disebut sima. b. Al-Ardh (membaca hadits dihadapan guru) Para muhadtisin menempuh cara ini setelah pembukuan hadits banyak dilakukan dan tersebar di berbagai tempat. Makna Al-Ardh menurut mereka adalah membaca hadits dihadapan guru berdasarkan hapalan maupun dengan melihat kitab. Cara penerimaan ini dibenarkan. dan periwayatan seperti ini menurut ijma boleh dilakukan. Akan tetapi mereka berselisih pendapat; apakah cara ini berada satu tingkatan dengan al-sima; apakah lebih tinggi apa lebih rendah. Kami dapatkan setelah kami menyatakan demikian al-hafidz ibnu abdi al-barr meriwayatkan dari malik bahwa ia ditanya apakah anda lebih suka bila orang pencari hadits membacakan hadits didepan anda ataukah anda lebih senang membacakan hadits kepadanya? ia menjawab bila si pencari hadits membacakan hadits dihadapanku apabila bacaanya tepat, karena boleh jadi dia salah atau lupa terhadap hadits yang dibacakan gurunya. pernyataan malik ini menunjukan bahwa bila pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka pembacaan hadits di depan guru itu tidak mengungguli Al-Sima. c. Al-ijazah al-ijazah adalah izin guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab hadits yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca hadits kitab tersebut dihadapaya. Jumhur ulama muhadditsin dan lainnya

24

memperbolehkan periwayatan hadits dengan cara al-Ijazah. Namun ahli ilmu hadits menemukan kesulitan dalam menentukan dalil tentang bolehnya Al-ijazah. Para ulama menyandarkan dalil tentang dibolehkannya Al-ijazah itu setelah hadits disusun dalam beberapa lembaran dan dikumpulkan jadi beberapa kitab. Kitab atau lembaran itu kemudian diriwayatkandari para penyusunnya dengan sanad yang dapat dipercaya berdasarkan pembacaan kitab atau mendiskusikan lembaran itu dihadapan guru berkenaan dengan naskahnya. Maka sangatlah berat tanggung jawab seorang alim manakala dating kepadanyya salah seorang pencari hadits untuk membaca kitab dihadapannya, lalu ia pulang dan berpendapat telah mendapatkan ijazah darinya. Jadi sesungguhnya ijazah itu identik dengan periwayatan atau pemberian secara global tentang suatu kitab atau beberapa kitab, bahwasannya semua itu adalah hadits-hadits yang diriwayatkannya. Ijazah itu sendiri berfungsi sebagai periwayatan seluruh isi kitab, mengingat ada berbagai naskah, karena para penulis hadits dalam suatu negara telah melakukan pengadaan seperti layaknya para penerbit buku sekarang. Oleh karena itu, orang yang menyandang hak ijazah tidak boleh meriwayatkan haditsmya sebelum ia mencocokan naskahnya dengan naskah penyusunannya atau dengan naskah yang telah dicocokkan dengannya dan begitu selanjutnya. Al-ijazah itu banyak ragamnya, sebagaimana dibahas oleh qadhi iyadh dengan pembahasaya ia menyebutkan enam ijazah. Kemudian dating Ibnu Sahalah menyimpulkan pendapat Qadhi dan menambah satu bentuk ijazah lagi, sehingga menjadi tujuh bentuk yakni: 1. Guru member ijazah kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan kitab atau kitabkitab yang telah disebutkan namanya. seperti saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku. Menurut jumhur ulama cara ini diperbolehkan. 2. Ijazah kepada orang tertentu dengan hadits yang tidak tertentu. Cara ini juga diperbolehkan oleh jumhur. 3. Ijazah umum seperti ungkapan saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orangorang yang hadir. 4. Ijazah kepada orang majhul atau dengan hadits majhul. Cara ini sama sekali tidak boleh. 5. Ijazah kepada orang yang tidak atau belum ada, seperti ijazah kepada nank-anak yang masih berada didalam kandungan. Cara ini tidak dibenarkan pula. 6. Memberi ijazah dengan hadis yang belum didenganr. seperti ungkapan saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya. Ijazah yang seperti ini menurut menurut pendapat yang shahih adalah batal 7. Ijazah dengan majaz. seperti perkataan guru saya ijazahkan kepadamu ijazahku. Cara ini diperbolehkan. Bentuk ijazah yang paling tinggi adalah guru mengijazahkan sesuatu kitab atau beberapa kitab tertentu kepada orang-orang tertentu, pada saat kedua pihak mengetahui kitab tersebut. Dalam ijazah seperti ini terpenuhi makna ikhbar dengan sempurna dan mantap. Oleh karena itu para ulama berkata,ijazah itu dipandang baik manakala pihak pemberi ijazah mengetahuai hadits yang diijazahkan, dan pihak yang diberi ijazah adalah orang berilmu, karena ijazah itu suatu kemudahan dan kemurahan dan mestinya ditarima oleh orag berilmu karena mereka sangat memerlukakannya. Ibn Abd al-Barr menyatakan bahwa ijazah itu tidak boleh diberikan kecuali kepada orang-orang mahir dalam seluk beluk hadits dan mengetahui cara menerimanya; disamping itu ijazah harus diberikan berkenaan dengan hadits yang tertentu dan dikenal, serta tidak terdapat persoalan dalam isnad-nya. d. Al-Munawalah Pengertian Al-Munawalah menurut muhaddisin adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembara catatan hadis kepada muridmya agar driwayatkan dengan sanad darinya. Dasar dilaksanakannya munawalah ini adalah hadits yang dikomentari oleh al-Bukhori dalam kitab al ilm bahwa Rasulullah saw pernah menulis surat kepada pimpinan prajurui Sariyah (pasukan peranga yang tidak disertai Nabi). Dalam surat itu beliau menyatakan janganlah kamu membacannya sebelum engkau sampai anu dan anu. Ketika ia sampai ke tempat yang ditujuk itu ia membacanya dhadapan para prajuritnya dan menyampaikan perintah nabia saw. Al-Baihaqi dan al-Thabari meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang bersambung dan baik. Al-Bukhori berhujjah dengan hadis ini atas keshahihan munawalah. Macam-macam Al-Munawalah

25

Pertama, munawalah yang disertai dengan ijazah dan penjelasan tentang naskah. Seperti seorang guru menyerahkan sebuah kitab yang ia riwayatkan atau salinannya yang telah diteliti dengan cermat atau hadits-hadits pilihan yang ia tulis atau ditulis orang lain dan ia mengetahuinya, Atau seorang murid datang kepadanya membawa naskah yang shahih berisi riwayat-riwayat yang dibawa oleh gurunya, atau membawa sebagian hadisnya kemudian guru itu melihat mengenalnya serta membuktikan keahliannya lalu memberinya ijazah. Cara-cara demikian itu menurut Imam Malik dan sekelompok Ulama, sejajar dengan al-Sima'. Qodhi Iyad berkata cara yang demikian merupakan cara periwayatan yang shahih menurut menurut kebanyakan imam dan muhaddisin. Demikian pendapat seluruh ahli periwayatan dan hasil penelitian para pemikir. Kedua, munawalah yang disertai dengna ijazah namun tidak disertai dengan penyerahan naskah kitab. Bentuk munawalah yang kedua ini tidak memiliki kelebihan atas ijazah, akan tetapi para guru hadis berpendapat bahwa bentuk munawalah ini memiliki kelebihan atas ijazah. Ketiga munawalah yang tidak disertai ijazah. Bentuk munawalah yang ketiga ini adalah guru menyerahkan kitabnya kepada muridnya dan hanya disetai kata-kata. Bentuk munawalah seperti ini mengendung cacat, dan tidak boleh dijadikan sebagai sarana periwayatan hadis, menurut kebanyakan muhadditsin. Sedangkan sebagian ulama memperbolehkan dengan alasan yang akan kami ungkap dalam pembahasan peiwayatan dengan I'lam. e. Mukatabah Yang dimaksud dengan mukatabah adalah seorang muhadist menulis suatu hadist lalu mengirim lalu mengirimkannya kepada muridnya . Mukatabah terdiri atas dua macam, yaitu: Bentuk pertama, mukatabah yang disertai dengan ijazah. Mukatabah jenis ini dalam keshahihan dan validitasnya menyerupai munawwalah yang disertai dengan ijazah. Bentuk kedua, mukatabah yang tidak disertai ijazah. Pendapat yang sahih menurut kalangan muhadditsin membolehkan periwayatan hadits dengan mukatabah bentuk kedua ini. Karena cara ini tidak berbeda dengan ijazah, dalam hal banyaknya memberi faidah ilmu. Sering kita jumpai tindakan ulama salaf dan para guru hadits setelah mereka menyatakan , Fulan mengirimkan hadits kepadaku, dan ia berkata: Fulan mengabarkkan hadits kepadaku. Para muhadditsin sepakat atas kebenaran periwayatan hadits dengan cara demikian dan mengklasifikasikannnya sebagai hadits musnad. Cara periwayatan hadits seperti ini banyak terdapat dalam sanad-sanad hadits. f. Ilam Yakni pemberitahuan oleh seorang muhaddits kepada seorang pencari hadits bahwa hadits atau kitab yang ditunjuknya adalah hadits atau kitab yang telah didengarnya dari seseorang, tanpa disertai izin periwayatan kepadanya . Yaitu bahwa muhaddits itu pada saat yang sama tidak berkata, Riwayatkanlah hadits ini dariku, atau Aku izinkan kamu meriwayatkannya. Sebagian tokoh ulama ushul berpendapat bahwa periwayatan hadits yang didapat melalui alIlam tidak boleh. Pendapat ini dipilih oleh ibnu al-shalah. Alasannya dalam hadits atau kitab yang ditunjuk itu boleh jadi terdapat kekurangan yang menyebabkan hadits-haditsnya tidak boleh diriwayatkan begitu saja. Sebagian besar muhadditsin, fuqoha, dan ulama ushul memperbolehkan periwayatan hadits yang diterima melalui al-Ilam meskipun tidak disertai ijazah. Pendapat ini disepakati pula oleh alRamahurmuzi. Qadhi Iyad berkata, Pendapat ini benar dan tidak ada alternatif lain, karena melarang seseorang meriwayatkan hadits yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat atau ada keraguan, tidak dapat dibenarkan; karena ia benar-benar telah meriwayatkannya dan tindakan itu tidak dapat diralat kembali. Letak kebenaran pendapat Qadhi Iyad ini adalah bahwa penerimaan hadits dengan ijazah itu terdapat pemberitahuan secara global, sedang al-Ilam identik dengan ikhbar, bahkan lebih akurat darinya sebab disertai dengan isyarat terhadap kitab secara jelas dan guru yang menunjukkan itu berkata Ini adalah hadits yang aku dengar dari Polan. g. Al-Washiyah (wasiyat) Wasiyat merupakan salah satu bentuk periwayatan hadits yang dipandang lemah. Bentuk wasiyat dalam periwayatan adalah bahwa seorang muhaddits berwasiat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhaddits itu meninggal atau dalam bepergian. Sebagian ulama salaf memberi kelonggaran kepada orang yang ditunjuk dalam wasiyat itu untuk meriwayatkan kitab-kitab tersebut dari pemberi wasiyat sesuai dengan isi wasiyatnya, karena

26

dalam penyerahan kitab-kitab itu terdapat satu bentuk izin dan sedikit menyerupai periwayatan melalui al-ardh dan al-munawalah. Jadi, al-washiyah mendekati al-Ilam. Akan tetapi, ibnu al-shalah tidak sependapat dengan hal ini. Beliau menganggap ada perbedaan yang sangat jauh antara wasiyat dan al-Ilam, dan beliau tidak membenarkan orang yang berpendapat memperbolehkan wasiyat dalam periwayatan hadits. Ia berkata: Pendapat ini sangat jauh. Barangkali hal ini merupakan kekeliruan seorang alim atau dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki ialah periwayatan melalui jalan al-wijadah seperti yang akan dijelaskan kemudian. Pernyataan ibnu al-shalah ini menurut hemat kami adalah pernyataan yang benar dan akurat, karena wasiat itu hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah. Jadi, seperti halnya jual beli; dan oleh karenanya wasiat tidak dapat diterima sebagai ikhbar terhadap isi naskah tersebut. h. Al-Wijadah Al-wijadah adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadits atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanadnya. Orang yang menemukan hadits itu boleh meriwayatkannya darinya dengan cara menceritakannnya, dan untuk itu ia berkata, Aku dapatkan pada tulisan Fulan bahwasannya Fulan menceritakan kepada kami Dapat pula ia berkata, Fulan berkata, bila padanya tidak terdapat penipuan (tadlis) dan ucapan itu mengesankan perjumpaan antara pemilik naskah dan orang yang menemukannya. Namun, sama sekali ia tidak boleh meriwayatkannya dengan berkata, haddatsana atau akhbaranaatau kata-kata lain yang menunjukkan ketersambungan sanadnya. Tidak pernah terjadi seorang ahli ilmu melakuan yang demikian dan mengkategorikannya sebagai hadits musnad, yang bersambung sanadnya. Kemudian para tokoh ulama hadits, fiqh, dan ushul berbeda pendapat sehubungan dengan hadits yang ditemukan itu bila berupa tulisan hasil penelitian seorang imam atau berupa salah satu kitab sumber yang dapat dipercaya, padahal mereka telah sepakat bahw aorang yang menemukan naskah hadits itu tidak boleh meriwayatkannya dengan kata-kata haddatsana atau akhbarana dan sebagainya. Kebanyakan muhadditsin dan fuqaha dari kalangan mazhab maliki serta kalangan mazhab lain tidak membolehkan pengamalan terhadap hadits yang diriwayatkan dengan cara demikian. Diriwayatkan dari al-Syafii bahwa ia membolehkan pengamalan terhadapnya, demikian pula pendapat sekelompok para pemikir diantara murid-muridnya serta para peneliti. Pendapat inilah yang bias diterima dan sesuai dengan petunjuk dalil, karena kita dituntut secara yuridis untuk mengamalkan hadits yang nyata-nyata sahih. Jadi bila kitab yang kita temukan itu ternyata sahih maka kita wajib mengamalkannya; lebih-lebih keadaan darurat akhir-akhir ini telah mengharuskannya. Sebab apabila pengamalan terhadap kitab-kitab atau hadits-hadits itu hanya boleh dilakukan berdasarkan periwayatan, niscaya pintu pengamalan hadits dalam kitab-kitab itu jadi tertutup, sebab syarat-syarat periwayatan pada masa kini sangat sulit terpenuhi. Dalam masalah ini ada hal baru yang harus diperhatikan, yakni perbedaan antara kesahihan riwayat dan kewajiban mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak sah periwayatan dengan wijadah. Yakni dalam penyampaian hadits yang terdapat dalam kitab yang ditemukan itu tidak boleh dikatakan akharani Fulan atau haddatsani Fulan dan sebagainya, karena tidak adanya cara penerimaan hadits yang dapat membenarkan penyampaian hadits dengan kata-kata itu. Akan tetapi, kandungan kitab itu wajib diamalkan bila ada bukti-bukti akurat bahwa kitab itu adalah milik penulisnya (atau salinannya yang sah) karena faktor keaslian itulah yang mewajibkan pengamalannya. Para ulama yang melarang periwayatan dengan al-Ilam juga berpendapat demikian. Dari keterangan ini dapatlah kami nilai bahwa Dr. Subhi al-Shalih memberi kelonggaran yang cukup leluasa dengan pernyataanya, Bahkan para ulama mutaakhirin tidak lagi memandang perlu mengadakan rihlah dengan segala konsekuensinya sejak mereka dibenarkan meriwayatkan setiap kitab atau manuskrip yang mereka dapatkan, baik mereka pernah bertemu dengan para penyusunnya maupun tidak. Namun, pernyataan ini tidak dapat menyelesaikan hukum wijadah, karena periwayatan hadits dengan wijadah itu sebagaimana kita ketahui tidak dapat dinilai sebagai periwayatan yang sahih dan bersambung sanadnya sampai kepada penyusunnya. Akan

27

tetapi, wajib diamalkan kandungannya bila kitab itu dapat diandalkan. Yaitu bila suatu kitab itu telah ditinjau dari segi terpenuhi atau tridaknya syarat-syarat yang telah ditetapkan, manakala pengecekan dilakukan terhadap manuskrip. E. Kata-kata yang dipakai dalam periwayata hadis Kelompok pertamaadalah kata-kata samitu, haddatsana, haddatsani, akhbarana, qala lana dan dzakara lana. Para ualama hadis telah menetapkan apabila satu dari kata-kata tersebut dipakai oleh para periwayat dalam rangkaian para periwayat hadis yang ia riwayatkan maka metode penerimaan dan periwayatan hadits tersebut al-sama. Kelompok kedua adalah kata-kata qaratu ala fulanin, qaratu ala fulanin wa ana asmau fa aqrabahu. Para ulama sepakat bahwa pemakaian kata-kata ini telah menggambarkan cara metode periwayatan hadits dengan metode qiraah. Atau al-ardh. Kelompok ke tiga adalah kata-lata haddatsana ijazata, akhbarana ijazatan. Kata-kata ini menggambarkan suatu metoe penerimaan dan periwayatan hadits dengan metode ijazah. Kelompk keempat adalah kata-kata haddatsana munawalatan waaradhan, akhbarana muawalatan yang merekam suatu penerimaan dan periwayatan hadits dengan metode munawalah. Kelompok kelima kata-kata akhbarana ila fulanin, akhbarana mukatabatan, akhbarani bihi kitabatan, yang elukiskan metode mukatabah. Kata-kata akhbarana Ilaman dipakai periwayatan hadis karena menunjukan pengertian bahwa metode yang dipakai dalam kegiatan menerima dan meriwayatkan hadis itu adalah Ilam. Kelompok ketuju adalah kata-kata ausha ila fulanin melukiskan pengertian kepada metode ke tujuh yaitu metode al-wasiah. Kelompok kedelapan adalh kata-kata wajadtu fi kitabi fulanin atau qaratu bi khaththi fulanin an fulanin. Kata-kata ini menunjukan bahwa metode penerimaan dan periwayatan hadits yang ditempuh seorang periwayat hadis adalah wijadah. F. Bentuk-bentuk riwayat yang diasampaikan dengan lafal dan makna Bila disepakati bahwa kategori hadis nabi meliputi: sifat-sifat nabi, perbuatan dan akhlak nabi, perbuatan sahabat yang didiamkan/atau ditolak nabi, pendapat nabi terhadap masalah yang dihadapi sahabat, sabda nabi yang berkenaan dengan doa-doa dalam ibadah, hadis qudsi dan surat-surat nabi yang dikirimkankepada penguasa dan sebagainya. Maka tampak empat poin pertama diriwayatkan dalam bentuk makna, sedang tiga poin terakhir diriwaytkan dengan lafal. Riwayat bi al-lafzhi adalah meriwayatkan hadis dengan redaksi matan yang telah didengar tanpa perubahan, penambahan dan pengurangan. Redaksi matan itu ila diteliti sesuai denagan yang keluar dari ucapan nabi. Para ulama mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan secara mutlak mereka tidak membenarkan riwayat dengan makna. Jadi bila secara kukuh memegangi pendapat itu maka periwayatan hadis hanya dapat dilakukan terhadap hadis-hadis nabi yang sifatnya qaulan (ucapan saja), sedang hadis jenis lain tidak mungkin dapat diriwayatkan. Karena itu kebanyakan ulama hadis memperbolehkan periwayatan hadis denganmakna, dengan bebrapa ketentuan sebagai berikut: periwayat benar-benar memiliki pengetahuan bahsa yang mendalam, periwayatan secara makna dilakukan secara terpaksa, misalnnya lupa susunan lafal, bukan sabda nabi tentang bentuk bacaan ibadah, misalnya dzikir, doa azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda nabi dalam bentuk jawawi al-karim, periwayatnya itu atau yang lupa akan susunan lafalnya hendaknya ditambahkan kata aw kama qala atau aw nahwa dzalika atau yang semakna dengan itu, diriwayatkan dengan makna seperti ini hanya terbatas pada masa sebelu dibukukannya hadis-hadis nabi secara resmi. G. Hadis Muanan Dan Haits Muanan Jika seoran rawi meriwayatkan sesuatu hadis dengan lafad an (dari), hadisnya disebut dengan hadis muana, dan ia disebut muanin. dan jika seorang rawi meriwayatkan dengan lafad anna (bahwasannya), hadisnya disebut muannan, dan ia disebut muannin. Suatu hadis yang diriwayatkan dengan cara tersbut agar dapat dihukumi sebagaimana hadis muttashil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Menurut Bukhori, Ibnu Madiniy dan para muhaqqiqin , hendaknya: 1) Si muanin bukan seorang mudallis. 2) Si muanin harus pernah berjumpa dengan orangyang pernah memberinya.

28

Persyaratan ini disebut dengan isytiratul liqa. Menurut imam muslim hendaknya: si muanin itu harus hidup semasa dengan orang yang pernah memberiny. Persyaratan in disebut dengan isytiratul muasyarah Menurut sebagian ulama lain: Si muanin atau si muannin harus diketahui dengan yakin bahwa ia benar-benar menerima hadis tersebut dari gurunya. DAFTAR PUSTAKA Itr, Nurudin. Ulumul Hadits. Jilid I. Penerjemah Drs Mujiyo. Bandung: pt rosada rosda karya Rahman, Fatchur. 2006. Ikhtisar mushthalahul hadits. Bandung: pt almaarif Suryadilaga, AlFatih. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: teras Asy-Siddiqi, T.M. Hasybi. 1996. Ilmu-Ilmu Dirayah. Bandung: bulan bintang Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: amzah.

29

You might also like