You are on page 1of 7

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan cenderung membentuk kelompokkelompok tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan kelompok individu, atau antara kelompok individu dengan kelompok individu lain. 1.2 Rumusan masalah Berkaitan dengan latar belakang di atas, penyusun merumuskan pembahasan mengenai relasi individu dengan individu dan juga membahas suatu perwujudan dari relasi antar individu yaitu cinta 1.3 Tujuan penulisan Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas Filsafat Sosial dan berharap akan dapat memberikan informasi kepada pembaca serta juga memberikan bahan pembelajaran yang dapat dikaji lebih dalam oleh para pembaca yang ingin melanjutkan studi ini. 1.4 Metode penelitian Metode yang kamu gunakan untuk merumuskan makalah ini adalah dengan cara mencari dan mengkaji data data menegnai relasi antar individu ini, baik dari buku maupun sumber yang lain. Selain itu mencoba menganalisis perwujudan tema relasi ini dari berbagai tokoh filsuf.

BAB II PEMBAHASAN
Relasi antara individu dengan individu menentukan struktur dari masyarakatnya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan cenderung membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubunganhubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Dalam kamus Bahasa Indonesia (KBBI) interaksi didefinisikan sebagai sesuatu hal yang saling melakukan aksi, berhubungan atau saling mempengaruhi. Jadi bisa di bilang, interaksi adalah hubungan timbal balik bisa berupa aksi saling mempengaruhi antara individu dengan individu, antara individu dan kelompok dan antara kelompok dengan dengan kelompok. Pandangan mengenai interaksi sosial juga di bahas oleh Herbert Blumer yang memandang interaksi itu pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Lalu makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi Pada dasarnya hubungan yang di bangun antar individu atau relasi-relasi sosial ini di dasarkan kepada komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, komunikasi menjadi dasar dari ekisistensi suatu individu. Komunikasi juga menjadi perhatian tersendiri oleh filsuf kontemporer yang bernama Habermas. Beliau memandang bahwa individeu itu sejatinya bersifat diskursif. Pandangan diskursif inilah yang mendasari pemikiran Habermas tentang masyarakat komunikatif di mana ruang diskursif menjadi tempat bagi manusia ideal. Habermas itu terpengaruh oleh Max Hommeir mengenai teori kritis dimana teori ini bertujuan untuk mengupas sejarah umat manusia sebagai sejarah penindasan social dan dengan menawarkan
2

konsep praktek emansipatif. Denagan mengupas sejarah manusia di harapkan teori ini berujung pada emansipasi yang mengembalikan hubungan antar manusia yang sesuai dengan cita cita manusia sendiri dan tidak lagi ditentukan oleh adanya mekanisme - mekanisme sistem pasar. Habermas di kenal sebgai tokoh penerus teori kritis karena memberi kan sebuah pandangan yang segar dan sangat berguna untuk meneruskan proyek Teori Kritis dengan memunculkan paradigma baru. Parndangan Habermas mengenai indvidu itu pun tak terlepas dari asumsiasumsi tentang siapa itu manusia. Komunikasi menjadi penekanan dari Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya. Dalam pendekatannya itu, Habermas memandang manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tindakan dasar yaitu praksis. Praksis inilah yang merupakan konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis menurut Habermas dilandasi oleh adanya kesadaran rasional. Komunikasi itu pun dilandasi oleh adanya rasio komunikatif yang mengarahkan suatau tindakan demi bertujuan pemahaman. Habermas mengedepankan hakekat manusia sebagai subjek-subjek yang melakukan tindak komunikasi demi pemahaman. Mekanismenya dalam komunikasi dan berujung adanya pemahaman melalui bahasa. Wilhem Dilthey juga mengkaji relasi individu denagn indvidu yang lain. Dilthey itu sangat mengagumi filsafat Kant, walaupun ia tak tergolongkan sebagai Neokantiantisme. Ia terkenal dengan sumbangan tentang kehidupan dan menwarkan gagasan mengenai geistewissenshaften. Dalam pandangannya, individu itu sejatinya berkerjasama dengan individu yang lain dalam membentuk suatu realitas sesial dan menciptakan adanya historis pada manusia. Kehidupan di muka bumi ini itu terdiri dari banyak sekali kehidupan setiap individu yang bergabung menjadi suatu realitas. Semua produk produk yang ada di kehidupan ini seperti agama, kesenaian, kesusasteraan, ilmu pengetahuan, maupun filsafat itu berasal dari adanya interaksi antar individu. Jadi Dilthey ini sanagan menekankan perlu adanya relasi anatar inidividu itu untuk menciptakan dunia.

Martin Buber menawarkan sebuah konsep relasi. Buber membuat relasi dalam diri manusia itu terbagi dalam relasi dengan benda benda (I and it), relasi dengan sesama individu (
3

I and thou), dan relasi dengan Allah (I and Thou). Martin Buber, menjadikan hubungan antara manusia dengan sesamanya sebagai batu sendi bagi sistem filsafatnya. Yang menjadi persoalan pokok Buber adalah: bagaimana aku berada dalam hubunganku dengan sesama?. Menurut Buber, setiap orang ditentukan oleh relasi terhadap sesamanya. Relasi itu dibangun adanya kasih yang menjadi kan hubungan menjdi I and thou. Lain hal nya dengan filsuf yang bernama Nietsche mengenai individu. Beliau percaya bahwa individu itu selalu berhadapan dengan konflik, maka manusia akan tertantang dan segala kemampuan yang dimilikinya dapat keluar dengan sendirinya secara maksimal, maka tidak mengherankan apabila Nietzsche sangat gemar seakali dengan kata-kata peperangan, konflik dan sebagainya yang dapat membangkitkan semangat manusia untuk mempunyai kehendak berkuasa. Gagasan utama dari Nietzsche sebenarnya kehendak untuk berkuasa (Will to Power), dimana salah satu cara untuk menunjukkah kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui gagasannya tentang bermensch. Konsep manusia super ini merupakan suatu tujuan hidup manusia didunia ini agar mereka kerasan. bermensch merupakan suatu bentuk manusia yang yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai bermensch ini adalah manusia mengafirmasikan hidupnya dan tanpa itu bermensch tidak mungkin akan tercipta. bermensch yang dibutuhkan adalah kebebasan dan aku ingin berkuasa dan yang menjadi ukuran keberhasilan adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebesaran manusia ini hanya dapat dialami oleh orang yang mengarahkan dirinya pada bermensc. Dalam kesempatan lain Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau atau persamaan antara bangasa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena manusia mempunyai cirri - ciri yang unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yang lemah, sehingga Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Di sini bisa di simpulakan bahwa dalam pandangan Nietzsche itu relasi antar individu dengan individu yang lain pasti terjadi konflik. Karena manusia berusaha mencapai kemampuan maksimal potensi nya yang terkadang pasti berseberangan dengan individu yang lain.

Cinta

Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya Dalam relasi antar individu pun dapat terlihat pada bentuk suatu perwujudan dari adanya interaksi yang di sebut cinta. Dalam relasi individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan atau stimulus kepada individu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam dalam bentuk berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap mungkin bertengkar bahkan cinta. Banyak filsuf yang telah mengkaji tentang hal ini salah seperti filsuf yang bernama Erich Fromm ataupun Jean Paul Sartre. Seorang pemikir Mazhab Frankfurt yang bernama Erich Fromm ini dalam bukunya yang berjudul The Art Of Loving menegaskan pentingnya relasi antara individu dengan individu lain harus berlandaskan adanya cinta untuk menjadi suatu solusi bagi masyarakat kapitalis modern yang telah membaur oleh ketimpangan sosial. Bagi Fromm, disintegrasi dalam sosial ini adalah gambaran dari eksistensi manusia yang tidak dapat mengatasi adanya keterpisahan ketika cinta itu sendiri pun tidak mungkin dibahas tanpa sebelumnya menganalisa eksistensi manusia itu sendiri. Menurut Fromm, sebenarnya teori apapun tentang cinta itu sejatinya harus mulai dengan teori tentang eksistensi manusia itu sendiri. Dalam pandangan Erich Fromm suatu peradaban yang baik itu harus ditentukan oleh hubungan manusia yang selalu dihiasi dengan adanya penuh perhatian (mutual understanding) dan penghormatan dalam antar individu. Fromm dalam data yang saya peroleh pernah memberikan suatu contoh mengenai hubungan dua orang yang sedang jatuh cinta. Tentunya mereka berdua saling memperhatikan dan memahami dan cinta mereka bisa menyatukan pikiran pikiran pada masing individu dalam sebuah integrasi sosial. Cinta itu sejatinya tidak membedakan agama, ras, suku bangsa maupun kelas sosial karena cinta membuat segalanya menjadi mungkin. Cinta itu berasal secara alamiah dalam diri manusia dan bisa menjadi suatu jawaban bagi masalah eksistensi manusia untuk mengatasi adanya keterpisahan dalam dirinya. Erich Fromm memandang penyatuan dalam cinta itu sebenarnya melebihi suatu simbiosis atau hubungan karena pada dasarnya cinta yang dewasa itu menjadi penyatuan di dalam kondisi tetap memelihara integritas individualitas seseorang. Cinta bisa menjadi kekuatan aktif dalam diri manusia dan bisa juga meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya. Jean Paul Sartre terkenal sebagai seorang satrawan dan filsuf. Sarte itu memandang cinta sebagai sebuah konflik. Maksud konflik ini adalah bahwa ketika suatu waktu saya mencintai seseorang, maka saya secra bersamaan berhadapan langsung dengan kemerdekaan individu yang
5

saya cintai itu. Dalam pandangannya saat pada proses mencintai ini, sebenarnya individu lain yang saya cintai itu memberikan kepada saya suatu being atau batasan bagi eksistensi saya. Menurut Sartre, sebenarnya cinta itu tidaklah cukup dengan suatu perjanjian dari pihak lain seperti lembaga pernikahan karena cinta itu merupakan ikatan pilihan bebas yang didasari kesetiaan pada diri sendiri. Konsep cinta Sartre sebenarnya bersifat paradoksal karena pandangan tetntang hal ini menggambarkan bahwa ketika individu mencintai individu lain, maka individu secara bersamaan mengganggu kebebasan individu lain, sementara Sartre itu sangat menekankan kebebasan pada diri setiap individu. Dalam cinta sebenarnya subjek yang mencintai itu berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai objek atau en-soi pemenuh hasrat cintanya. Sebaliknya pihak yang dicintai pun dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek atau en-soi pemenuh kebutuhanya untuk dicintai. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada subjek dalam cinta itu sendiri karena masing-masing pihak menjadi objek. Oleh karena itu menurut Sartre, sebenarnya di dalam cinta itu tidak pernah akan terjadi cinta sejati atau cinta tanpa pamrih sebab masingmasing pihak berusaha untuk saling mengobjekkan individu yang lain.

BAB III
Penutup
6

Manusia sebagai makhluk sosial atau zoon politicon itu pasti dalam hidupnya bertemu interaksi sosial. Interaksi sosial ini bisa dalam suatu hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya yang bersifat dinamis dan dalam interaksi pasti terdapat simbol simbol di dalamnya. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Dalam pandangan Habermas bahawa komunikasi melalui bahasa itu menjadi suatu penekanan yang sangat penting dalam relasi antar individu itu untuk menghasilakan individu yang diskursif sebagai perwujudan emansipasi individu dari mekanisme pasar. Dalam pandangan Dilthey individu itu berkolaborasi dengan individu yang lain dalam membentuk suatu realitas sosial. Menurut Buber, setiap orang ditentukan oleh relasi terhadap sesamanya yang di landasi kasih. Pada pandangan Nietzsche itu sebenarnya relasi antar individu dengan individu yang lain selalu di selimuti konflik. Dalam relasi antar individu pun menghasilkan adanya intrakasi dan makna simbol, salah satunya cinta. Erich Fromm memandang relasi antara individu dengan individu lain harus adanya cinta untuk menjadi suatu solusi penindasan pasar yang membelenggu kebebasan sehingga menghasilkan keterpisahan dalam diri individu. Suatu kehidupan yang baik itu dihiasi dengan adanya penuh perhatian (mutual understanding) dan penghormatan dalam relasi antar individu. Sartre memandang bahwa cinta selalu diselimuti konflik dalam diri individu dengan asumsi kebebasannya.

Daftar Pustaka
Bertens, Kees. 1983. Filsafat Abad XX Ingggris Jerman. PT Gramedia : Jakarta Hardiman, Budi. 2007. Filsafat Modern : dari Machiavelli sampai Nietzshe. PT Ikrar Mandiriabadi : Jakarta Herimanto dan Winarno. 2010. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Habermas, Jrgen, 2007, Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionalis (terj. Nurhadi), Kreasi Wacana: Yogyakarta Magnis-Suseno, Franz, 2005, Pijar-Pijar Filsafat, Kanisius: Yogyakarta.

You might also like