You are on page 1of 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II.1. Single Parent II.1.1. Definisi Banyak tokoh yang dalam tulisan-tulisannya memberikan deskripsi mengenai pengertian dari single parent. Seiring dengan semakin meluasnya fenomena menjadi orangtua tunggal, maka semakin banyak pula lah deskripsi definisi dari single parent itu sendiri. Menurut Gunawan (2006) single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua (ayah atau ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager (dalam Duval & Miller,1985) orang tua tunggal ( single parent) adalah orang tua yang memelihara dan membesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya. II.1.2. Faktor-faktor pendorong Berdasarkan telaah UNESCO, para peneliti sosial menilai, faktor utama muncul dan berkembangnya fenomena single parents disebabkan oleh beberapa faktor seperti ;

13

14

a. berkurangnya pernikahan resmi b. c. d. e. maraknya gaya hidup bersama tanpa tali pernikahan individualisme radikal sikap lari dari tanggung jawab dan meningkatnya kasus perceraian di negara-negara Barat

II.1.3. Segi Positif dan Negatif Hidup Sendiri Setiap keputusan yang diambil oleh setiap orang tentu akan mengandung nilai positif-negatif, termasuk untuk menjalani kehidupan seorang diri, tanpa kehadiran pasangan. Dariyo (dalam Santrock, 2002) mengungkapkan segi-segi untung-rugi kehidupan sendiri. Dimana bila dilihat dari segi positif maka individu yang hidup sendiri akan memperoleh kebebasan serta kemandirian, seperti yang akan dijelaskan berikut ini : 1. Memperoleh nilai kebebasan. Individu merasa dapat menikmati kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas tanpa ada yang mengganggunya. Dengan hidup sendiri, seseorang secara bebas akan dapat mengembangkan diri demi peningkatan hidup di masa depan. 2. Kemandirian dalam pengambilan keputusan. Individu benarbenar merasakan kehidupan privasi. Sehingga dapat mengatur program kegiatan yang disukai dan menghindari kegiatan yang

15

tidak disukai tanpa harus mempertimbangkan keputusan atau usulan orang lain. Sementara itu, pilihan untuk menjalani hidup seorang diri juga memiliki segi negatif, yang mencakup : 1. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seksual. Setiap orang yang menginjak masa dewasa muda, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dipungkiri memiliki dorongan biologis yang bersifat alamiah. 2. Kesulitan ketika dalam keadaan menderita sakit. Tidak selamanya orang dalam keadaan sehat. Suatu ketika, tentu seseorang akan mengalami jatuh sakit. Oleh karena itu, memerlukan bantuan pertolongan, terutama orang terdekat. Bagi orang yang hidup sendiri, tidak mungkin meminta bantuan suami/istri sebab tidak memilikinya. Berdasarkan hasil wawancara awal, subyek mengakui bahwa dengan menjalani hidup seorang sendiri sebagai seorang ibu yang tidak menikah, informan memiliki sebuah kebebasan, diantaranya adalah kebebasan dalam menentukan arah kehidupannya, serta kebebasan dalam berkarir tanpa adanya status yang mengekang kreatifitas serta potensinya. Di sisi lain nilai kemandirian juga disebut-sebut sebagai hasil menjadi seorang ibu yang tidak menikah, karena dalam kehidupan sehari-hari S

16

dituntut untuk dapat menjalankan kodrat multi perannya, yaitu sebagai pencari nafkah, sebagai ibu, juga predikat lain yang ditanggungnya. II.2. Perempuan Bekerja II.2.1. Pengertian Sebelum masuk ke dalam pembahasan perempuan karir, perlu dibedakan terlebih dahulu antara pengertian berkarir dan bekerja. Menurut Vuuren (2004) yang dimaksud ibu bekerja adalah mereka yang bekerja di luar rumah berdasarkan jadwal-jadwal tertentu dan mendapat gaji setelah mengerjakan tugas-tugasnya, hal yang didapat dari bekerja antara lain : kedudukan, kepuasan, dan status sosial. Pengertian bekerja berbeda dengan karir, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Muniarti, 2004) karir adalah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Oleh karena itu karir selalu dikaitkan dengan uang dan kuasa. Dan definisi perempuan karir menurut Suryadi (dalam Anoraga, 2001) meliputi dua pengertian. Arti kata pertama dari perempuan karir jelas berhubungan dengan bekerja. Berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan uang. Arti yang kedua lebih cenderung kepada pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu peraturan, maka perempuan memperoleh perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan sebagainya.

17

II.2.2. Problem Pekerja Perempuan Kehadiran kaum perempuan dalam dunia kerja besar manfaatnya dan diperlukan, sebagai partner kaum pria tidak hanya di rumah tetapi juga dalam bekerja dengan dengan menyalurkan potensi dan bakat-bakat mereka. Menurut Anoraga (2001), par a perempuan pekerja bagaimana pun tidak bisa lari dari kodrat mereka sebagai ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Kar enanya, dalam meniti karir, perempuan memiliki beban dan hambatan yang lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti, perempuan lebih dulu harus mengatasi urusan keluarga suami, anak, dan hal-hal lain yang menyangkut tetek bengek rumah tangganya. Pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi hambatan itu, sekali pun dia punya kemampuan teknis yang cukup tinggi. Karenanya, kalau perempuan tersebut tidak pandai-pandai menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya mereka akan kewalahan. II.3. Konflik Kerja Keluarga II.3.1. Pengertian Konflik Kerja Keluarga Sebelum masuk teori mengenai konflik-kerja keluarga, perlu diketahui terlebih dahulu teori mengenai konflik inter peran dan konflik peran. Greenhaus & Beutell (1985) membedakan area kerja dan keluarga menjadi dua, yaitu konflik peran dan konflik interperan. Kahn, et al (1964)

18

mendefinisikan konflik peran sebagai terjadinya dua tekanan yang berlangsung secara bersamaan, dimana pemenuhan pada satu sisi akan menyebabkan kesulitan pemenuhan sisi yang lain. Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan interperan sebagai suatu bentuk konflik peran dimana tekanan pada satu sisi timbul sebagai akibat partisipasi dalam peran yang lain. Tekanan peran dihubungkan dengan keanggotaan pada kelompok lain, dalam hal ini keluarga. Konflik tersebut dapat muncul antara peran seseorang sebagai seorang karyawan dan perannya yang lain sebagai seorang suami atau istri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa teori atau konsep mengenai konflik kerja-keluarga dari beberapa tokoh dan peneliti dari berbagai macam sudut pandang masing-masing dari mereka. Ranupandojo (dalam Handoko, 2000) menyatakan bahwa konflik kerja adalah ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam suatu organisasi yang timbul akibat perbedaan ide atau cara dalam melakukan aktivitas secara bersamasama. Menurut Greenhaus dan Beutell (dalam Kelloway et al, 1999) konflik kerja keluarga adalah suatu bentuk konflik inter peran yang muncul setiap kali ada tuntutan dari suatu peran yang menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan atau harapan dari peran yang lain. dapat juga dikatakan sebagai Spillover yaitu terjadi ketika tuntutan di suatu peran mempengaruhi atau dipengaruhi kemampuan untuk menyelesaikan peran yang lain. jadi konflik ini dapat muncul dari tempat

19

kerja yang mempengaruhi kehidupan keluarga ataupun konflik keluarga yang mempengaruhi pekerjaan. Kelly & Voy Danoff (dalam Duxbory & Higgins, 1991) menyatakan bahwa konflik kerja-keluarga terjadi ketika seorang individu harus melakukan berbagai macam peran: pekerja, pasangan, dan di beberapa kasus sebagai orang tua. Setiap peran tersebut membebankan tuntutan yang membutuhkan waktu, tenaga, dan komitmen. Banyaknya tuntutan dari berbagai peran dapat menghasilkan ketegangan peran dalam dua bentuk, yaitu beban yang berlebihan (overload) dan gangguan

(interference). Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik kerja-keluarga adalah konflik multi peran yang dialami oleh ibu bekerja akibat tuntutan yang saling bertentangan dalam beber apa tingkatan atau ketika satu peran mempengaruhi atau dipengaruhi oleh peran yang lain baik kehidupan keluarga maupun kehidupan pekerjaan. Menurut Ciabattari (2007), faktor dukungan sosial dapat menjadi salah satu pemicu dalam munculnya konflik kerja keluarga. Bahwa para ibu yang tidak menikah dan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi, akan dapat lebih sukses dalam menjalani kehidupan multi perannya dan mengatasi konflik multi peran yang muncul, dibandingkan yang kurang mendapat dukungan sosial.

20

II.3.2. Aspek-Aspek Konflik Kerja-Keluarga Menurut Greenhaus & Beutell (dalam Carlson, 2000), mengajukan tiga bentuk dari konflik kerja keluarga, antara lain adalah sebagai berikut. a. Time-Based Conflict

Konflik karena waktu merupakan suatu konflik yang dialami ketika tekanan waktu menuntut pemenuhan suatu peran dan menghambat pemenuhan peran yang lain. Waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas disuatu peran membuat seseorang tidak bisa memenuhi tugas peran yang lain. Terdapat dua bentuk konflik yang dikarenakan oleh waktu : 1. Tuntutan waktu di satu peran membuat seseorang secara fisik tidak dapat memenuhi harapan dari peran yang lain. Contoh: pegawai yang bekerja larut malam untuk menyelesaikan proyek, membuat ia tidak dapat meluangkan waktu untuk keluarga. 2. Tuntutan waktu juga bisa membuat seseorang mengalami kebingungan atau ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dengan satu peran meskipun seseorang tersebut telah berusaha seacara fisik untuk memenuhi tugas peran yang lainnya. Contoh: pegawai pulang kerumah untuk menghabiskan waktu untuk keluarga, namun masih memikirkan proyek. b. Strain-Based Conflict Konflik karena ketegangan merupakan suatu konflik yang terjadi ketika ketegangan atau kelelahan pada satu peran mempengaruhi kinerja

21

dalam peran yang lain, ataupun ketegangan disatu peran bercampur dengan pemenuhan tanggung jawab di peran yang lain. Sumber potensial yang mengakibatkan konflik antara lain masalah tuntutan emosional di tempat kerja. Indikator dari stres: depresi, sikap yang apatis, tegang, irritabilitas, kelelahan, dan kecemasan. Contoh dari konflik yang dikarenakan ketegangan, misalnya stres di tempat kerja menjadikan mereka sulit untuk menjadi pasangan yang penuh perhatian terhadap pasangannya atau menjadi orang tua yang kurang perhatian dan kur ang kasih sayang terhadap anak. Awalnya, hal ini didukung oleh penelitian Kelloway dan Barling (1994) dalam Kelloway (1999) yang menyatakan stres di tempat kerja dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan jika seseorang yang telah mengalami ketegangan yang tinggi di tempat kerja cenderung mengalami konflik ketika tanggung jawab keluarga mempengaruhi peran kerja, sejak mereka merasa dituntut lebih oleh pekerjaan itu sendiri. c. Behavior-Based Conflict Konflik karena perilaku merupakan suatu konflik yang dimana pola-pola pikiran dalam satu peran tidak sesuai dengan pola-pola perilaku peran yang lain. Konflik terjadi saat perilaku pada satu peran tidak mungkin dengan harapan-harapan untuk peran lain. Contoh: seorang manajer memerlukan stabilitas, agresivitas, dan objektivitas, karakteristik ini tidak selalu diperlukan dalam kehidupan keluarga.

22

Menurut Gutek et.al (dalam Carlson, 2000) Konflik kerja- keluarga dapat muncul dalam dua arah, yaitu. 1. Konflik dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga (WIF: Work Interfering With Family) 2. Konflik dari keluarga yang mempengaruhi pekerjaan (FIW: Family Interfering With Work)

Dimana jika dikombinasikan antara tiga aspek Work-Family Conflict dengan dua arah Work-Family Conflict akan menghasilkan enam kombinasi Work-Family Conflict sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. Time-based WIF Time-based FIW Strain-based WIF Strain-based FIW Behavior-based WIF

6. Behavior-based FIW Zedeck (1992) mendefinisikan tiga topik yang berkaitan dengan konflik kerja-keluarga, yaitu. 1. Efek kerja terhadap keluarga Berdasarkan penelitian umum ditemukan bahwa aspek kerja (stres kerja) dan jadwal kerja mempunyai efek negatif terhadap keluarga. 2. Efek keluarga terhadap kerja Memfokuskan pada apakah aspek struktural atau perkembangan keluarga memiliki dampak pada perilaku kerja. Ditemukan bahwa,

23

jika kehidupan keluarga posotif maka ini dapat mencegah ketidakpastian kerja. 3. Interaksi keluarga dan kerja Ditemukan tidak ada hubungan langsung yang ada diantara persoalan kerja dan keluarga. Pandangan lain menyatakan bahwa interaksi kerja-keluarga berkaitan dengan mampu tidaknya memenuhi atau menjalani relasi kerja-keluarga dan dampaknya pada proses lain seperti transisi antar peran.

II.3.3. Penyebab Konflik Kerja-Keluarga Greenhaus (dalam Tjahjono, 2006) membedakan dua hal untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik kerja-keluarga, yaitu lingkup pekerjaan dan keluarga. Tetapi, keduanya mempunyai kesamaan, yaitu saling memberi tekanan. a. Lingkungan pekerjaan, tekanan-tekanan tersebut adalah waktu kerja yang padat, tidak teratur dan tidak fleksibel, perjalanan kerja yang padat, pekerjaan yang berlebihan dan bentuk-bentuk lain dari stres kerja, adanya konflik interpersonal di tempat kerja, carrer transition , serta supervisor atau organisasi yang tidak mendukung. b. Lingkungan keluarga, tekanan-tekanan tersebut adalah kehadiran anak, masih mempunyai tanggung jawab utama pada anak usia balita dan remaja, mempunyai konflik dengan anggota keluarga, dan keberadaan anggota keluarga yang tidak mendukung.

24

II.3.4. Model Konseptual Konflik Kerja-Keluarga Menurut Muchinsky (1997) terdapat tiga model konseptual konflik antara kerja dan keluarga, yaitu. a. Model Spillover Dalam model ada kecemasan antara apa yang terjadi di lingkungan kerja dan apa yang terjadi di lingkungan keluarga bahwa pengalaman kerja seseorang mempengaruhi apa yang dilakukan orang tersebut diluar lingkungan kerja. Secara umum, spillover adalah suatu hubungan positif antara variabel kerja dan keluarga seperti kepuasan individual terhadap kerja meningkatkan kehidupan keluarga. Grzywarcz & Marks (2000) membagi model spillover ini sebagai berikut. 1. Negative Spillover (konflik kerja-keluarga) a. Negative Spillover dari kerja ke keluarga 2. b. Negative Spillover dari keluarga ke kerja Positive Spillover (peningkatan peran kerja-keluarga) a. Positive Spillover dari kerja ke keluarga b. Positive Spillover dari keluarga ke kerja b. Model Kompensasi Model ini menyatakan mengenai hubungan yang berkebalikan antara kerja dan keluarga, lebih jauh diasumsikan bahwa individu membuat pembedaan pada dua situasi sehingga apa yang dihasilkan oleh yang satu menutupi apa yang hilang disisi yang

25

lain. Dengan demikian deprivasi yang dialami di tempat kerja ditutup dengan kegiatan yang bukan merupakan bagian dari pekerjaan. c. Model Segmentasi Menyatakan bahwa lingkungan kerja dan lingkungan bukan kerja adalah berbeda, seseor ang dapat menjadi sukses pada satu sisi tanpa ada pengaruh apapun dari sisi yang lain. Dua sisi tersebut berada samping menyamping dan tidak ada kaitan satu dengan yang lain, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengisi kehidupan secara efektif. Pandangan dominannya adalah bahwa keluarga adalah suatu kenyataan keintiman dan empati, sedangkan kerja adalah impersonal dan instrumental. II.3.5. Dampak-Dampak yang Ditimbulkan Konflik Kerja-Keluarga Secara sistematis dalam Allen, et al (2000) digambarkan dampakdampak yang ditimbulkan dari konflik kerja keluarga antara lain. a. Masalah-masalah yang berkaitan dengan kerja 1. Kepuasan kerja Dalam penelitian Allen, et al (2000) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu variabel dari dampak konflik kerja-keluarga yang menjadi fokus pengamatan utama. walaupun hasil-hasilnya telah digabungkan, pada studi ini

26

menemukan jika konflik kerja-keluarga meningkat maka kepuasan kerja akan menurun. 2. Komitmen Organisasi Komitmen organisasi juga merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan konflik kerja-keluarga. Hasil yang signifikan ditemukan dalam penelitian Netemeyer, et al (1996) dan Good, et al (1998) yang mendapatkan bahwa meningkatnya konflik kerja-keluarga menyebabkan menurunnya komitmen kerja. 3. Ketidakhadiran Dua studi yang telah dilakukan Thomas & Ganster (1995) dimana mereka menguji hubungan antara konflik kerjakeluarga dengan perilaku absen dan ketidakhadiran di tempat kerja. Dengan menggunakan responden dari pekerja dibidang kesehatan, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara konflik kerja-keluarga dengan keinginan seseorang untuk tidak hadir di tempat kerja. 4. Hasil kinerja Berdasarkan yang didapat dari Allen, et al (2000) dengan pengamatannya pada beberapa jurnal dan literatur yang menguji hubungan antara konflik kerja-keluarga dengan hasil kinerja ia mendapatkan hasil dengan menggabungkan hasil pengujian dari beberapa jurnal tersebut, hasilnya

27

antara lain Frone, Yardley, & Markel (1997) menemukan hubungan yang signifikan dengan menggunakan multipleitem self rated dengan mengukur role job performance. Aryee (1992) menggunakan empat item self-report untuk mengukur kualitas kerja dan menemukan bahwa hasil kinerja berhubungan dengan konflik orang tua bekerja, tetapi tidak berhubungan dengan pasangan bekerja atau jobhome maker conflict. Netemeyer, et al (1996) dengan menggunakan pengukuran multiple-item self-rated pada kinerja penjualan dan ternyata ditemukan tidak ada hubungan sama sekali dengan konflik kerja-keluarga. 5. Kepuasan karir Variabel-variabel yang berhubungan dengan karir juga menjadi target pada beberapa penelitian. Sangat menarik bahwa ternyata ada dua penelitian yang menemukan bahwa antara konflik kerja-keluarga dan kepuasan karir tidak ada hubungan. Sedangkan pada Aryee & Luuk (1996) maupun Parasuraman, et al (1996) menemukan hubungan yang signifikan antara konflik kerja-keluarga dengan kepuasan karir, dengan respondennya adalah pasangan bekerja di Hongkong.

28

6.

Kesuksesan karir Pellucette (1993) menjelaskan hubungan antara kesuksesan karir dan konflik kerja-keluarga dengan respondennya adalah anggota suatu fakultas yang bekerja full time.

Hasilnya menunjukkan bahwa secar a individual menunjukkan derajat yang tinggi pada konflik kerjakeluarga menyebabkan kecenderungan adanya level yang rendah pada kesuksesan karir seseorang. b. Masalah-masalah yang berkaitan dengan bukan kerja 1. Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah salah satu variabel yang sering dihubungkan dengan konflik kerja-keluarga pada doamin non - work. Secara keseluruhan, pada studi yang dilakukan oleh Allen, et al (2000) menunjukkan bahwa tingginya level konflik kerja-keluarga mempunyai hubungan dengan level yang rendah dari kepuasan hidup. 2. Kepuasan pernikahan Coverman (1989) menemukan bahwa tingginya konflik kerja-keluarga mempunyai hubungan dengan rendahnya kepuasan pernikahan pada laki-laki tetapi tidak terjadi pada perempuan. 3. Kepuasan keluarga

29

Konflik kerja-keluarga yang mempunyai hubungan dengan kepuasan keluarga, berdasarkan dua sampel yang berbeda. Kpelman, et al (1983) menemukan bahwa secara umum kepuasan keluarga mempunyai hubungan negatif terhadap konflik kerja-keluarga. 4. Kinerja keluarga Dari wawancara yang dilakukan oleh Allen, et al (2000) ternyata terdapat satu studi yang menunjukkan hubungan konflik kerja-keluarga mempunyai hubungan negatif dengan kinerja keluarga (Frone, Yardley, & Markel, 1997). 5. Kepuasan akan waktu luang Kepuasan pada waktu luang juga hanya ditemukan satu studi dimana studi tersebut menyatakan bahwa juga tidak ada hubungan antara konflik kerja-keluarga dengan aktivitas di waktu luang (Rice, et al, 1992). II.3.6. Work Family Guilt Menurut Kubany (dalam Korabik, 2005) rasa bersalah dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang berasal dari keyakinan bahwa seseorang seharusnya berpikir, merasa, atau bertindak didasarkan pada satu set standar yang telah diinternalisasi. Sementara itu dalam hal work family conflict, Korabik (2005) mengungkapkan munculnya work family guilt ( WFG) adalah ketika

30

seseorang memiliki ketidakseimbangan antara dua peran dan karenanya harus memilih satu peran atas yang lain, individu mungkin akan mengenali bahwa dia yang menyebabkan kerugian dan merasa bertanggung jawab. Menurut Duxbury & Higgins (dalam Korabik, 2005) masalah yang berkaitan dengan menyeimbangkan kehidupan kerja-keluarga merupakan masalah yang meningkat belakangan ini pada masyarakat, terutama bagi pasangan yang sama-sama bekerja, juga pada seorang single parent. Kurangnya keseimbangan dalam pengaturan antar peran ini kemudian dapat menimbulkan rasa bersalah, yang dapat memberikan dampak negatif dalam kualitas individu di kehidupan kerja maupun keluarga. Selain itu berkaitan dengan peran gender, Greenhaus dan Beutell (dalam Korabik, 2005) mengungkapkan bahwa sanksi seperti rasa bersalah mungkin muncul ketika individu tidak menjalankan perannya sesuai dengan norma-norma gender yang diajukan oleh masyarakat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kubany & Watson (dalam Korabik, 2005) menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dalam WFG ( work family guilt . Perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ) anggota masyarakat, dikekang oleh nilai-nilai atau patokan norma yang telah ditetapkan II.4. Dukungan Sosial II.4.1. Definisi Kahn (dalam Sarason, Sarason dan Pierce, 1990) mendefinisikan dukungan sosial sebagai transaksi interpersonal yang

31

melibatkan satu atau lebih hal-hal berikut : Perasaan (merupakan ekspresi rasa suka, cinta, kagum, menghargai), penegasan (merupakan ekspresi persetujuan), dan bantuan (berupa barang, uang, informasi, saran). Cohen dan Willis (dalam Bishop, 1994) mengatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada jenis pertolongan dan dukungan yang diterima dari orang lain. Sedangkan Sarason, Sarason dan Pierce (1990) berpendapat dukungan sosial dinyatakan sebagai bantuan untuk mengatasi suatu masalah yang mengurangi atau meringankan dampak negative dari sumber stres ditempat kerja dan ketegangan psikologis atau fisiologis. Menurut Shaffiro (dalam Hammer, 2003), dukungan yang

diperoleh dari pasangan sangat memberikan dampak positif dalam konteks apapun, terutama saat pasangan suami-istri mengalami konflik kerja keluarga seperti jika pasangan sakit, jika anak atau keluarga anggota keluarga lain sakit, jika pasangan suami punya masalah di tempat kerja, dsb. Khusus untuk konflik kerja keluarga, semakin banyak dukungan yang diperoleh seseorang dari pasangannya, akan mengecilkan dan meredam konflik yang ada berakibat pada baiknya motivasi dan kinerja seseorang di tempat kerja. Dari beberapa teori di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dukungan sosial adalah jaringan aktivitas, interaksi, dan hubungan diantara struktur sosial yang didalamnya ada proses pemberian

32

bantuan kepada anggota yang bersangkutan yang mengalami masalah berupa dukungan emosional, instrumental, informasi, penilaian.

II.4.2 Bentuk-bentuk Dukungan Sosial Menurut Sarason (1990) Coping Asistance memiliki dua fungsi utama, yaitu: a. Dukungan emosional, ditandai dengan perhatian yang simpatik terhadap orang lain yang mengalami stres. Tujuannya adalah untuk mengurangi emosi negative dan ketegangan yang dihasilkan. b. Dukungan instrumental, ditandai dengan bantuan yang lebih nyata atau berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu individu yang stres secar a aktual mengubah lingkungan yang memicu stres. Misalnya, secara aktif menyelesaikan masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stres. Jika Sarason, et al (1990), menyatakan bahwa fungsi dukungan sosial hanya dua, yaitu dukungan emosional dan instrumental, menurut House (dalam Weiten, 1992) mengatakan tiap aspek dalam dukungan pasangan punya ciri tertentu, antara lain : 1. Dukungan penghargaan ( Esteem Support ), menggambarkan adanya penilaian dan penghargaan

33

positif dari individu untuk mendukung pekerjaan, prestasi dan perilaku seseorang dalam peranan sosial atau kerja melalui umpan balik, perbandingan sosial, persetujuan atau pengevaluasian dan membuktikan masalah yang dihadapi. 2. Dukungan informasional, disediakan agar dipakai individu untuk menanggulangi persoalan pribadi dan pekerjaan, bagaimana cara menangani masalah berupa nasehat, pengarahan dan informasi yang dibutuhkan serta dapat menyampaikan informasi kepada orang lain melalui diskusi. 3. Dukungan emosional, dimana individu butuh empati, cinta dan kepercayaan serta kebutuhan untuk didengarkan, sehingga individu merasa bahwa orang disekitarnya memberikan perhatian pada dirinya dan membantunya memecahkan masalah dan simpati terhadap masalah pribadi atau pekerjaannya. 4. Dukungan instrumental, melibatkan dukungan berupa fisik yang ber wujud pemberian atau pelayanan seperti pinjaman uang, tempat tinggal atau bantuan untuk mengambil alih tanggung jawab rumah tangga.

34

Menurut Cohen dan Willis (dalam Bishop, 1994, hal 170), dukungan sosial dapat berbentuk antara lain : a. Dukungan penghargaan (Esteem Support), yaitu dengan menolong orang yang merasa lebih baik terhadap dirinya dan orang lain. Hal ini dicapai dengan membuat orang mengetahui bahwa mereka dicintai dan diterima walau berbuat salah dan mempunyai kelemahan. Hal-hal seperti dorongan dan penerimaan yang kita terima dari teman, keluarga atau rekan kerja termasuk sebagai penghargaan. Dalam Sarason (1990, hal 17), dukungan penghargaan ini disebutkan juga sebagai dukungan emosional yang terdiri atas : a. Dukungan pada pengalaman dan kejadian yang negative maupun yang positif. b. b. Dukungan dalam memahami diri sendiri.

c. Peningkatan harga diri Dukungan Instrumental, terdiri dari bantuan konkret dalam bentuk

finansial, kebutuhan pelayanan atau sumber materi. c. Dukungan Informasi, yaitu bantuan yang diterima orang dalam bentuk pemahaman atau pendefinisian. Ketika suatu hal atau kejadian membingungkan atau kurang bisa dimengerti, orang lain bisa memberi kita informasi tentang bagaimana memahami atau menghadapi apa yang terjadi. Singkatnya, nasehat yang kita terima tentang bagaimana melakukan sesuatu.

35

d.

Dukungan Pendampingan atau kebersamaan, termasuk dukungan ini yaitu menghabiskan waktu dari kesulitan yang dihadapi atau dengan menghadirkan suasana yang positif.

II.4.3. Fungsi Dukungan Sosial Cohen dan Wills ( dalam Bishop, 1994 ) menyatakan bahwa dukungan sosial terhadap pasangan punya fungsi : 1. Menolong individu untuk merasa lebih baik. Esteem Support berfungsi untuk menunjukkan pada individu bahwa mereka dicintai dan diterima. 2. Dukungan Informasional mengacu pada pertolongan yang diterima individu untuk memahami situasi. Ketika muncul suatu masalah, orang

lain dapat memberi informasi bagaimana mengatasi masalah tersebut. 3. Dukungan Instrumental terdiri dari bantuan dana atau barang yang diperlukan. Adanya dukungan sosial dapat meningkatkan produktivitas dengan cara meningkatkan motivasi, moral, kualitas penalaran kognitif, kepuasan kerja, dan menurunkan stres yang berhubungan dengan pekerjaan. Dukungan sosial juga berhubungan dengan prestasi, penyelesaian masalah yang sukses, meningkatkan rasa kebersamaan dan cenderung meningkatkan kphesivitas kelompok. Melalui dukungan sosial, kesejahteraan psikologis akan meningkat. Karena adanya perhatian dan pengertian akan menimbulkan perasaan memiliki. Meningkatkan harga diri, dan kejelasan identitas diri, serta memiliki perhatian positif mengenai diri sendiri.

36

II. 5. Sexual Harassment (Pelecehan Seksual) di Tempat Kerja Dalam sejarah kehidupan manusia, penggolongan jenis kelamin laki-laki dan perempuan ternyata menyisakan pemahaman karakter spesifik kelelakian dan keperempuanan terkait perbedaan fisik dan mental. Kelebihan kekuatan fisik mendorong perkembangan rasa berkelebihan (sense of mastery) pada sisi lakilaki daripada perempuan sehingga perempuan sering ditempatkan dalam posisi lemah. Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Nurlini dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam Lokakarya Tripartit tentang Pelecehan Seksual di Tempat Kerja di Indonesia (2004), bahwa ditaksir sebanyak 90% pekerja per empuan menjadi korban pelecehan seksual. II.5.1. Definisi Yasar (2009) mendefenisikan pelecehan seksual sebagai perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya dan diraskan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Definisi pelecahan seksual menurut Lehman (2006) adalah tindakan yang tidak diinginkan, baik secara fisik, verbal ataupun visual, yang berorientasi pada perilaku seksual lainnya yang menyinggung atau tidak menyenangkan bagi pihak penerima.

37

Sementara itu pelecehan seksual di tempat kerja didefisikan oleh Sabitha (2008) sebagai perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, yang bersifat memalukan dapat mengintimidasi individu, dan dapat membawa dampak pada kinerja individu di tempat kerjanya, kesehatan, serta kelangsungan kehidupan karir dan pribadinya.

II.5.2. Jenis Till (dalam Supardi, 2009) membagi tindak pelecehan seksual ke dalam lima tingkatan, yang meliputi : 1. Gender harrasment , biasanya dalam bentuk kata- kata dan tingkah laku

yang sifatnya merendahkan seseorang berdasar pada jenis kelaminnya. 2. Seduction, ungkapan rayuan-rayuan seksual yang tidak senonoh dan merendahkan perempuan. 3. 4. 5. Bribery , upaya menyuap perempuan agar mau melakukan hubungan seksual dengan janji imbalan kenaikan pangkat atau hadiah lain. Sexual coercion atau ancaman, misalnya memaksakan berhubungan seksual dengan ancaman, pemutusan hubungan kerja (PHK). Sexual imposition , serangan seksual secara kasar.

38

II.6. Strategi Menghadapi dan Menyelesaikan Masalah Perjalanan hidup manusia selalu mengalami masalah. Demikian juga dengan perjalanan mencapi kesuksesan karir. Dengan jumlah persaingan mencari lapangan kerja yang tinggi. Sebagai individu yang tidak mengenyam pendidikan tinggi diharapkan mampu untuk menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam pekerjaan. Perilaku untuk menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan tersebut disebut coping . Perilaku coping merupakan upaya individu untuk mengatasi keadaan atau

situasi menekan, menantang atau mengancam yang berupa pikiran atau tindakan dengan menggunakan sumber dalam dirinya maupun lingkungannya yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan perkembangan individu. Korchin (dalam Odgen, 1996) melanjutkan bahwa coping behavior merupakan perkembangan ke arah fungsi yang lebih efektif karena seseorang tidak hanya mencegah atau menghindari adanya bahaya, tetapi juga menghadapi dan menyelesaikannya. Folkman (dalam Odgen, 1996), mendefinisikan coping sebagai perubahan

kognitif dan perilaku yang konstan untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang melebihi batas kemampuan seseorang. Coping adalah usaha untuk mengatasi stress dengan cara yang efektif.

39

II.6.1. Bentuk-bentuk Coping Lazarus (dalam Bishop, 1994) membedakan kelompok utama yang terdiri dari beber apa bentuk yaitu : 1. Problem Focused Coping Merupakan perilaku individu untuk mengatasi masalah, tantangan dengan mengubah kesulitan dalam berhubungan dengan lingkungan. Problem focused coping memiliki empat bentuk coping , antara lain : 1. Preparing Againts Harm Individu terlebih dahulu menyeleksi, mempertimbangkan dan mempelajari alternatif-alternatif yan dirasa paling menguntungkan untuk mengatasi masalah sebelum melakukan tindakan. 2. Attack (Agresi) Individu melakukan suatu tindakan agresi dengan memberi kesan permusuhan melindungi diri dari perasaan terluka dan keterbatasan kemampuan yang dirasakannya. coping menjadi dua

3.

Avoidance (Menghindar). Individu mengatasi masalah dengan melepaskan diri dari pikiran atau ingatan tentang kesulitan yang dihadapinya, serta menghindari diri dari sesuatu yang mendatangkan masalah.

40

4.

Apathy (In Action) Individu lebih bersikap pasrah atau menyerah tanpa mencoba alternatif-alternatif tertentu dalam menghadapi permasalahan dan keadaan yang ada. Individu bersifat pasif dengan hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu menolak atau menghindar.

2.

Emotion Focused Coping Merupakan bentuk coping yang ditujukan pada usaha untuk mengur angi tekanan dengan lebih berorientasi pada mekanisme pertahanan diri. Bentuknya antara lain : 1) Identifikasi Menemptkan dirinya sama dengan orang atau golongan yang diinginkan dengan meniru tingkah laku dan sikapnya. 2) Displacement Melepaskan emosi pada obyek yang tidak begitu berbahaya daripada obyek asli yang mendatangkan perasaan terkekang. 3) Represi Mencegah dan menekan pikiran yang tidak menyenangkan agar tidak masuk ke dalam alam sadar.

41

4)

Denial Menyangkal atau menolak kenyataan yang menakutkan dan tidak menyenangkan dengan melarikan diri seperti menjadi sakit atau menyibukkan diri dengan hal-hal yang lain.

5)

Reaksiformal Melepaskan perasaan yang tidak menyenangkan dengan sesuatu yang sebaliknya.

6)

Proyeksi Mengalihkan atau memindahkan alasan kepada orang lain untuk melindungi diri dari rasa takut dan khawatir.

7)

Rasionalisasi Menutupi kesalahan dan kekurangan dengan alasan-alasan yang masuk akal.

II.6.2. Fungsi Coping Coping merupakan suatu proses yang dinamis yang didalamnya meliputi berbagai perilaku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan seseorang untuk mengatasi atau mengontrol efek-efek dari penasaran atau pengalaman dalam situasi yang menekan. McGhie (1996) yang memiliki perspektif psikososial menyatakan fungsi coping antara lain :

42

1.

Menghadapi tuntutan lingkungan sosial dan membentuk motivasi

untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut. 2. Mempertahankan keseimbangan keadaan Psikologi untuk menggerakkan energi. 3. Ketrampilan terhadap tuntutan eksternal.

II.6.3. Mekanisme Pembentukan Coping Setiap individu memiliki kebebasan untuk membentuk dan menentukan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi, karena coping merupakan suatu proses yang aktif dan dinamis serta senantiasa berubah. Folkman (dalam Ogden, 1996) menyatakan bahwa penilaian kognitif dan coping dapat menjadi perantara hubungan individu dengan lingkungannya. Penilaian kognitif, yaitu bagaimana seorang individu memandang lingkungan atau peristiwa-peristiwa di lingkungannya, yang akan membentuk respon-respon emosional dan perilaku individu tersebut selanjutnya. Persepsi mengenai lingkungan seharusnya memainkan peran sentral didalam proses coping . Penilaian selanjutnya kemudian terjadi ketika individu memutuskan apakah ia mempunyai sumber daya yang cukup untuk melakukan coping tersebut. Sumber-sumber coping tersebut antara lain :

43

1.

Kekuatan dan energi Individu yang memiliki keadaan yang baik dan sehat lebih mampu mengarahkan ener gi dan kekuatannya dengan tepat dalam menghadapi masalah yang sering dihadapi.

2.

Keyakinan positif Memandang diri sendiri secara positif dapat mempengaruhi proses coping.

3.

Ketrampilan memecahkan masalah Kemampuan dalam mendapatkan informasi, mengidentifikasikan suatu masalah serta mempertimbangkan alternatif tindakan sesuai dengan hasil yang diharapkan.

4.

Ketrampilan sosial Kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif, meningkatkan dukungan dan kerjasama dengan orang lain dalam menghadapi msalah khususnya yang berhubungan dengan orang lain.

5.

Dukungan sosial Dukungan dan perhatian dari orang lain akan dapat meningkatkan keyakinan individu dalam melakukan suatu coping.

6.

Sumber-sumber material

44

Adanya sumber material yang lebih dapat membantu seseorang dalam menghadapi suatu masalah melalui lembaga-lembaga bantuan seperti lembaga hukum dan lembaga profesional lainnya.

II.7. Self Acceptance II.7.1. Definisi Penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, ia dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekur angannya. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya (Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992). Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang positif, yang ketika individu menerima diri sebagai seorang manusia. Ia dapat menerima keadaan emosionalanya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, dapat menerima keadaan dirinya secara tenang dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, serta memiliki kesadaran dan pener imaan penuh terhadap siapa

45

dan apa diri mereka, dapat menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain, serta menerima keadaan emosionalanya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. II.7.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Acceptance Hurlock (1996) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan diri adalah : a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri Hal ini timbul adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Individu yang dapat memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya. b. Adanya hal yang realistik. Hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya dengan memiliki harapan yang realistic, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

46

c.

Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu

tersebut akan sulit tercapai. d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan Tidak menimbulkan prasangka, karena adanya penghar gaan terhadap kemampuan social orang lain dan kesedian individu mengikuti kebiasaan lingkungan. e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat Akan terciptanya individu yang dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya jika kegagalan yang dialami individu akan dapat mengakibatkan adanya penolakan diri. g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik yang mnimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik.

47

h.

Adanya perspektif diri yang luas. Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang diri perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi

seseorang untuk mengembangkan perspektif dirinya. i. Pola asuh dimasa kecil yang baik. Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri. j. Konsep diri yang stabil Sheerer (dalam Sutadipura, 1984) menyebutkan faktor-faktor yang dapat menghambat self acceptace, antara lain : a. b. Sikap anggota masyarakat yang tidak menyenangkan atau kurang terbuka. Adanya hambatan dalam lingkungan.

c. Memiliki hambatan emosional yang berat. d. Selalu berfikir negatif tentang masa depan.

You might also like