You are on page 1of 36

Jurnal Ranying Bunu, Vol.2, No.

3, Nopember 2007
Analisis Putusan Mahkamah Agung...(Aristoteles) 78-88
Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum
atau
peraturan
Perundang- undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara
yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Menurut Pasal 20 AB Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang. Pasal 22 AB mewajibkan
Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau
tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya. Untuk mengatasinya dalam
pasal 28 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 menyebutkan :Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya seorang
Hakim harus memiliki kemampuan
dan
keaktifan
untuk
menemukan hukum (Recht vinding).
Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak
hukum lainnya
dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi
dasar baginya untuk mengambil keputusan. Untuk melihat bagaimana hasil konkrit penemuan hukum dapat
kita lihat dari putusan hakim yang telah menjadi yurisprudensi. Karena itulah penulis tertarik untuk
mempelajari sebuah yurisprudensi, yaitu putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1545 K/Pdt/1986 tanggal 18
Oktober 1989, yang memberikan putusan tentang hukum waris
Kasus Posisi Perkara Hukum Waris
Seorang pria keturunan Cina bernama Thio Kim Ho (Maskimuji Sutiono) selama hidupnya, yaitu:
1. Pada tahun 1938 telah menikah dengan wanita Yo Biskwit Nio (Bisani) pegawai
Catatan
Sipil.
Dalam
perkawinan ini tidak dilahirkan anak.
2. Pada tahun 1947 dengan seizin isterinya Yo Biskwit Nio, maka suaminya Thio Kim Ho telah hidup bersama
dengan seorang wanita keturunan Cina bernama Lim Tin Nio dengan harapan akan melahirkan anak. Akan
tetapi selama hidup bersama tersebut, mereka tidak melahirkan anak.
ISSN : 1904 - 4107
78
Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1545 K/Pdt/1986
Tanggal 18 Oktober 1989, Yang Memberikan Putusan Tentang Hukum Waris
Oleh : Aristoteles
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya
ANALISIS YURISPRUDENSI
di 20:53
TENTANG PERKARA GUGATAN WASIAT
PUTUSAN PA No.14/Pdt.G/1997/PA.Kp; PTA No.05/Pdt.G/1997/PTA-Kupang MA No :
145K/AG/1998
A. Pendahuluan
Wasiat menurut para ahli hukum Fikih Islam ialah pemberian hak (kepada seorang atau badan)
untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak tersebut setelah
pemiliknya meninggal, tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari pihak yang
menerima pemberian hak itu. Hukum membuat wasiat itu wajib, apabila bersangkutan dengan
tanggungan seseorang kepada Allah, misalnya zakat dan nazar.
B. Seputar Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Secara bahasa, wasiat artinya berpesan. Kata wasiat disebut dalam al-Quran sebanyak 9 kali.
Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2
kali. Seluruhnya disebut dalam al-Quran sebanyak 25 kali .
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan wasiat sebagai berikut : Pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia
(psl 171 huruf f KHI).
Didalam terminologi hukum perdata positif, sering disebut dengan istilah testatement. Namun
demikian, ada perbedaan-perbedaan prinsipal antara wasiat menurut hukum Islam dan
testatement, terutama menyangkut kriteria dan persyaratannya. Kompilasi mencoba mengambil
jalan tengah, yaitu meskipun wasiat merupakan transaksi tabarru, agar pelaksanaannya
mempunyai kekuatan hukum, perlu ditata sedemikian rupa, agar diperoleh ketertiban dan
kepastian hukum.
2. Dasar Hukum
a. al-Quran
. | ` # ? 8 ) #9, ` &
| ) # | , 3 ` ) ( /9, .
#{ %, / 9 ] 9 #9, .
#9, ) ] ?
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah, 2: 180).
6 ` ] ` #!% ]
` #9, ` )< . { ,
& , [% ] . ] ] | , `
] 1 4 ) # 8
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah, 2: 240).
b. al-sunnah
Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas r.a :
Rasullullah SAW bersabda : Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang
ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di
sisi-Nya.
c. Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan Rasul-Nya. Ijma
demikian didasarkan pada ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah seperti dikutip diatas .
3. Hukum Wasiat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat itu. Para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat
tidak fardu ain, baik kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan. Begitu
juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak mendapat bagian warisan . Alasannya,
pertama, andaikata wasiat itu diwajibkan, niscaya Nabi SAW telah menjelaskannya nabi tidak
menjelaskan masalah ini, lagi pula beliau menjelang meninggal, tidak berwasiat apa-apa. Kedua,
para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Namun menurut Sayyid Sabiq, para
sahabat mewasiatkan sebagian hartanya untuk taqarruq kepada Allah. Menurut Mayoritas Ulama,
kebiasaan semacam itu dinilainya sebagai ijma sukuti (konsensus secara tidak langsung) bahwa
wasiat bukan fardhu ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hak yang tidak wajib diserahkan pada
waktu yang berwasiat meninggal dunia. Tampaknya hemat penulis, argumentasi yang diajukan
Mayoritas Ulama, tidak cukup kuat meskipun rasional. Sebab bagaimanapun juga, tindakan
wasiat ini akan sangat tergantung pada saat ia meninggal, mempunyai cukup harta atau tidak.
Implikasi wasiat yang dipahami Mayoritas Ulama tersebut adalah kewajiban wasiat hanya
dipenuhi jika seseorang telah berwasiat. Tetapi apabila tidak berwasiat, maka tidak perlu
dipenuhi. Mereka beralasan, bahwa kewajiban wasiat seperti dalam ayat, berlaku pada masa awal
Islam. Ketentuan dalam QS. Al-baqarah, 2:180 telah dinasakh oleh surat an-nisa, 4:11-12. Oleh
karena itu kedua orang tua dan kerabat, baik yang menerima warisan atau tidak, telah tertutup
haknya untuk menerima wasiat.
4. Syarat-syarat dan Rukun Wasiat
a. Orang yang Berwasiat
Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafii dalam satu
pendapatnya. Dinyatakan dalam pasal 194:
1). Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta kepada orang lain atau lembaga.
2). Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3). Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia .
b. Orang yang Menerima Wasiat
Para ulama sepakat bahwa yang berhak menerima wasiat adalah yang bukan ahli waris, dan
secara hukum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki suatu hak atau benda.
c. Benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang dapat
digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut.
Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu
sendiri tetap menjadi pemiliknya atau keluarganya.
d. Redaksi (Sighat) Wasiat
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas
dengan kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran. Ini dapat ditempuh karena
wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan
jawaban secara langsung. Dalam konteks kehidupan sekarang ini, cara-cara tersebut di atas, tentu
akan mengurangi kepastian hukumnya untuk mengatakan tidak ada. Untuk itu perlu diatur agar
dapat dibuktikan secara otentik wasiat tersebut, yaitu dilakukan secara lisan dihadapan dua orang
saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris .
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada enam, yaitu :
1. Beragama Islam. Berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah orang Islam.
2. Sudah balig (sampai umur)
3. Orang yang berakal
4. Orang merdeka (bukan hamba sahaya)
5. Amanah (dapat dipercaya)
6. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat .
Yang tidak boleh menerima wasiat :
Uraian-uraian terdahulu secara implisit telah menunjukkan siapa yang tidak boleh menerima
wasiat. Intinya yaitu ahli waris yang telah menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima
wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun demikian, jika ahli warisnya
menyetujui, dapat dilaksanakan. Namun menurut hemat penulis, dengan memperhatikan
ketentuan hadis membatasi maksimal wasiat 1/3, maka selebihnya adalah pemberian yang bukan
wasiat .
Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan
kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan yang diketahui telah mempraktekkan
dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat.
Batalnya Wasiat :
Kompilasi mengatur maslah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197 :
1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, misalnya telah membunuh pewasiat.
2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu, salah satunya
adalah tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat.
3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah .
Pencabutan Wasiat :
Pencabutan Wasiat telah diatur dalam kompilasi pasal 199, yaitu :
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu di buat secara lisan.
3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan
disaksikan dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte
notaris .
Pengertian Anak Angkat :
Pertama, anak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diasuh dan di didik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri
tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
Kedua, aanak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak
kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta
peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya dalam Islam :
Nasab (keturunan pertalian darah) adalah pondasi ikatan keluarga yang paling kuat yang bias
menyatukan anggota keluarganya secara permanen dengan berdasarkan pada kesamaan darah,
gen dan turunan. Seorang anak adalah bagian dari bapaknya dan begitu pula seorang bapak
adalah bagian dari anaknya.
Ikatan nasab adalah ikatan keluarga yang sangat kokoh dan mempunyai ikatan yang sangat kuat
karena dengannya lahirlah perasaan sayang dan rasa memiliki antara anggotanya. Oleh karena
itu, Allah telah mengkokohkan keberadaan manusia dengan nasab sebagaimana disebutkan
dalam firmanNya :
0 | # 9, ! { , #!% .
% # / 7 . % 3 1 # | 7
] . # &
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu Maha Kuasa(Qs : al-Furqon : 54).
Oleh karena itu, Islam melarang seorang bapak untuk mengingkari penisbatan anaknya
kepadanya, dan melarang seorang Ibu untuk menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan
bapaknya. Begitu pula Islam melarang menisbatkan anak-anak kepada yang bukan bapaknya.
Hubungan Anak Angkat :
Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi,
yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak itu diambil dari intern kerabat
sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun
diambil dari luar lingkungan kerabat .
Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antar anak angkat dan orang tau angkat, sehingga
merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni,
dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua
angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung
tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian
hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup
lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogianya ahli waris orang tua
angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang
sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya,
bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atu wasiat
untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan
kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya
ahli waris anak angkat hendaknya mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat
untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.
Sikap orang tua angkat/ahli warisnya dan sebaiknya dengan pendekatan hibah atau wasiat
sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari
konflik antara orang tua angkat/ahli warisnya dan anak angkat/ahli warisnya, apalagi kalau
mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum
tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.
C. PEMBAHASAN
1. Tentang Duduk Perkaranya
Pengadilan Agama Kupang yang mengadili perkara perdata Gugatan Surat Wasiat dalam tingkat
pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara :
1. Yusuf Jafar alias La Subu, umur 55 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Poja Masjid Al-Ikhlas
Bonipoi, bertempat tinggal di Jalan Elang, Nomor 22, RT.04/RW 11 Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;
2. Ibrahim Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupanng disebut sebagai TERGUGAT I;
3. Rudiah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT II;
4. Saudah binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT III;
5. Asnawi bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT IV;
6. Gazali bin Husen La Yusuf, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT V;
7. Nona binti Husen La Yusuf, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi,
Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati II Kupang disebut sebagai TERGUGAT VI;
Dalam perkara ini para Tergugat memberikan Kuasa kepada :
1. Stefanus Matutina, SH
2. Henhany K. Ngebu, SH
Menimbang, bahwa Pengggugat berdasarkan gugatannya tertanggal 2 Mei 1997, yang
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Kupang dengan Nomor : 14/Pdt.G/1997/PA.KP
tanggal 2 Mei 1997, mengajukan hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa, pada tahun 1995, Penggugat diangkat oleh YUSUF NOOR (almarhum) menjadi anak
angkat almarhum;
- Bahwa, sebelum almarhum YUSUF NOOR, meninggal dunia, memberikan surat wasiat
penyeraha Hak Milik tertanggal 18 Maret 1968 yang diketahui oleh Kepala Desa Bonipoi dan
dikuatkan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Kupang kepada Penggugat (selaku
penerima wasiat terakhir yakni setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal);
Dan di antaranya isi surat wasiat adalah sebagai berikut :
Bahwa, bilamana saya meninggal dunia, maka rumah yang dibangunkan oleh jerih payah istri
saya FATMAH YUSUF NOOR yang kini didiami oleh pihak pertama dan pihak kedua terletak
dalam desa Bonipoi, Kecamatan Kota Kupang diatas tanah Negara beserta isinya menjadi milik
pihak kedua (FATMAH YUSUF NOOR);
- Bahwa, bilamana pihak ke satu dan kedua (FATMAH YUSUF NOOR) meningga dunia, maka
apa yang tersebut dalam surat wasiat penyerahan Hak milik menjadi milik YUSUF JAFAR alias
LA SUBU (Penggugat);
- Bahwa, setelah FATMAH YUSUF NOOR meninggal dunia, maka rumah tersebut diatas
dibongkar oleh Bapak ABD SYUKUR MUIN WARSO selaku wakil Imam Masjid Al-Ikhlas
Bonipoi Kupang pada tahun 1991, dengan maksud diperbaiki, tetapi dicegah oleh para Tergugat,
sehingga tidak dapat dilanjutkan;
- Bahwa, atas tindakan para Tergugat tersebut, maka Penggugat sangat menderita dan terlantar
karena tidak punya tempat tinggal sampai saat ini;
- Bahwa, berdasarkan keterangan yang pengggugat kemukakan diatas, Penggugat mohon kepada
Pengadilan Agama Kupang untuk memanggil para pihak dalam perkara ini untuk menyidangkan
selanjutnya memberikan keputusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum untuk menguatkan surat Wasiat Penyerahan Hak Milik kepada
Penggugat yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dikuatkan oleh Pengadilan Agama
Kupang;
3. Menyatakan bahwa Penggugat adalah benar-benar tidak mampu membayar ongkos biaya yang
timbul akibat perkara ini, berdasarkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/97,
tanggal 15 April 1997 yang di keluarkan oleh Kelurahan Bonipoi Kupanng;
4. Menghukum para Tergugat untuk membayar ongkos biaya yang timbul akibat perkara ini;
2. Pertimbangan
Bahwa, para Penggugat menyangkal semua dalil yang dikemukakan oleh pihak Penggugat dalam
gugatannya, kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya oleh para Tergugat sendiri;
Bahwa, Penggugat bukanlah anak angkat dari almarhum YUSUF NOOR, karena pengangkatan
seorang anak haruslah dibuktikan dengan akta Pengangkatan anak sebagaimana yang disyaratkan
oleh Hukum dan perundang-undangan;
Bahwa, surat wasiat sebagai obyek sengketa dalam perkara ini harus diduga sebagai palsu,
karena pemberi wasiat almarhum YUSUF NOOR semasa hidupnya tidak dapat membuktikan
tanda tangan apalagi tanda tangan yang mirip huruf Arab, karena ia tidak pernah bersekolah dan
satu-satunya anak almarhum YUSUF NOOR adalah HUSEIN LA YUSUF NOOR (ayah
kandung para Tergugat) yang berdiam di Kupang tidak pernah mengetahui tentang wasiat ini;
Bahwa, barang-barang yang disebutkan dalam surat wasiat adalah merupakan harta bersama
antara almarhum YUSUF NOOR dengan istri pertamanya yang bernama MAIMUNAH,
(almarhum Ibu Kandung Husein La Yusuf) maka harta bersama itu menjadi hak bersama dari
almarhum YUSUF NOOR dengan anaknya HUSEIN YUSUF NOOR, oleh karena itu maka jika
benar ada surat wasiat, maka surat itu tidak sah dan harus batal demi Hukum karena dibuat tanpa
sepengetahuan dari HUSEN LA YUSUF ayah dari para Tergugat;
Dan disebutkan dalam surat wasiat itu bahwa HUSEN LA YUSUF sebagai pihak ke-4, namun
mengapa tidak diikut sertakan menanda tangani surat wasiat itu sebagai para pihak? Hal ini
menunjukkan bahwa wasiat tersebut adalah rekayasa pihak tertentu untuk mengambil alih barang
milik almarhum YUSUF NOOR dan HUSEN LA YUSUF;
Bahwa, jika menyimak isi surat wasiat tersebut, maka barang yang diwasiatkan adalah sebuah
rumah darurat dan sama sekali tidak menyinggung tanah/tidak termasuk tanahnya, maka setelah
rumah tersebut tiada, tanah tersebut menjadi milik dari ayah para Tergugat HUSEN LA YUSUF
yang selanjutnya diuraikan kepada para Tergugat sekarang ini;
Menimbang, bahwa Penggugat menguatkan gugatannya dengan mengajukan alat-alat bukti
berupa :
1. Kartu Penduduk Nomor : 1098.03.71.1007 yang dikeluarkan oleh lurah Kelurahan Monipoi
(Bukti P1);
2. Surat Wasiat penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968 yang telah
diketahui oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Kupang (Bukti P2);
3. Surat tanda pembayaran IPEDA tahun 1982 (Bukti P3);
Menimbang, selain bukti-bukti berupa surat-surat, Penggugat juga telah menghadirkan dua orang
saksi di muka sidang dan telah memberikan keterangan sebagai berikut :
SAKSI I : ABDUL SYUKUR MUIN WARSO, Umur 69 tahun, Agama Islam, pekerjaan
Pensiunan PNS, bertempat tinggal di Kelurahan Bonipoi, Kecamatan Kelapa Lima, Kodya Dati
II Kupang, di bawah sumpah pada Pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan almarhum YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF
NOOR dan almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar di saat YUSUF NOOR masih hidup membuat surat wasiat Penyerahan Hak Milik
kepada FATMAH YUSUF NOOR, sebagai pihak kedua, dan kepada YUSUF JAFAR alias LA
SUBU sebagai pihak ketiga, yang dibuat pada tanggal 10 Maret 1968, yang diketahui oleh
Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala Desa Bonipoi, dan dikuatkan oleh Kepala
Kantor Pengadilan Agama Kupang, dan saksi juga memenarkan bahwa dia ikut serta
membubukan tanda tangan sebagai saksi kedua dalam surat wasiat tersebut;
SAKSI II : HAMZAH bin ISHAK, umur 55 tahun, Agama Islam, pekerjaan PNS, bertempat
tingga di Jalan Kampung Baru Nomor 1 Kelurahan Delete, Kecamatan Oebobo, Kodya Dati II
Kupang, di bawah sumpah pada pokoknya saksi menerangkan sebagai berikut :
Bahwa, benar saksi kenal dengan penggugat sejak lama dan kenal pula dengan almarhum
YUSUF NOOR, almarhum FATMAH YUSUF NOOR, almarhum HUSEN YUSUF;
Bahwa, benar saat alamrhum YUSUF NOOR masih hidup pernah membuat surat wasiat
penyerahan Hak Milik yang dibuat pada tanggal 16 Maret 1968, yang dimintakan pengesahannya
pada Kantor Pengadilan Agama Kupang atau Mahkamah Syariah Kupang;
Bahwa, saksi mengakui dan membenarkan tanda tangan saksi yang dibubuhkan dalam surat
wasiat selaku pejabat Kepala Kantor Pengadilan Agama Kupang/Mahkamah Syariah;
Bahwa, benar surat wasiat Penyerahana Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada
tanggal 16 Maret 1968 itu adalah sah dan mempunyai kekuatan Hukum, karena telah sesuai
dengan prosedur yang berlaku;
Bahwa, benar penyerahan terhadap surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF
NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sudah tepat, karena hal tersebut adalah merupakan
kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah sesuai dengan Stablat 1882;
Menimbang, bahwa kemudian Hakim memberikan kesempatan kepada kedua belah
bermusyawarah untuk menempuh jalan damai tetapi tidak berhasil dan memohon agar
Pengadilan Agama Kupang menjatuhkan Putusannya;
Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan lebih jauh dipersidangan semuanya telah
dicatat di dalam berita acara persidangan, sehingga untuk mempersingkat cukuplah kiranya
Hakim menunjuk kepada Berita Acara tersebut;
3. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam kewenangan Pengadilan Agama Kupang;
Menimbang, bahwa Penggugat yang mengajukan gugatan dengan Prodeo telah dapat
menunjukkan surat keterangan tidak mampu Nomor : 112/465/IV/1997, yang dikeluarkan oleh
Lurah Bonipoi dan telah disahkan oleh Camat Kelapa Lima dan pihak Tergugat menyatakan
tidak keberatan bahwa Penggugat beracara dengan Prodeo, maka permohonan perkara dengan
Prodeo tersebut dapat dikabulkan sesuai dengan ketentuan pasal 237, 239 ayat (3) HIR jonto
pasal 274 ayat (3) Rbg.;
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Pengggugat pada pokoknya adalah sebagaimana
telah diuraikan tersebut diatas;
Menimbang, bahwa tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam eksepsi yang
menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
perdata ini karena yang menjadi obyek sengketa merupakan perdata murni adalah tidak beralasan
maka haruslah ditolak, karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor : 7 tahun 1989;
Menimbang, bahwa Tergugat melalui Kuasanya memberikan jawaban dalam pokok perkara yang
pada dasarnya telah dapat mengakui adanya surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh
almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 tersebut;
Menimbang, berdasarkan keterangan-keterangan di bawah sumpah dari saksi-saksi yang
diajukan oleh Penggugat telah membuktikan kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh
Penggugat;
Menimbang, bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh YUSUF NOOR pada
tanggal 16 Maret 1968 adalah disaksikan lebih dari dua orang saksi, hal ini telah sesuai dengan
ketentuan pasal 195 ayat (1) yonto pasal 196 Instruksi RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam;
Mengingat dalil Hujah Syariah yang disebutkan di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 333
yang berbunyi :
Artinya : Dan tidak boleh tidak (harus) itibar Wasiat itu haruslah datang dua orang saksi yang
adil.
Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Hakim
berpendapat bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Memperhatikan pasal 237, 239 ayat (3) HIR Jo pasal 274 ayat (3) Rbg, pasal 49 ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dan pasal 195 ayat (1) jo pasal 196 Kompilasi Hukum
Islam;
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Hujjah Syariah yang
berkaitan dengan perkara ini;
Mengingat pula surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 1/TUADA-AG/III-UM/1996,
tanggal 15 April 1996 tentang perpanjangan Izin siding dengan Hakim Tunggal.
4. Menetapkan
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara Hukum bahwa surat wasiat Penyerahan Hak Milik yang dibuat oleh
almarhum YUSUF NOOR pada tanggal 16 Maret 1968 sah dan berharga;
3. Menetapkan bahwa penerima wasiat YUSUF JAFAR alias LA SUBU berhak sepenuhnya
terhadap isi wasiat tersebut di atas;
4. Membebaskan Penggugat dari biaya yang timbul akibat perkara ini;
5. Menghukum kepada para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dari akibat
perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 82.000,- (delapan puluh dua ribu rupiah).
5. Analisis Penulis
Kesimpulan
Dari penjabaran perkara perdata gugatan surat wasiat tersebut di atas dan berdasarkan apa yang
telah dipertimbangkan oleh putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang yang menyatakan bahwa
gugatan Penggugat (yaitu Yusuf Jafar alias La Subu) dapat dikabulkan seluruhnya. Dan
Pengadilan Agama juga menyatakan secara Hukum bahwa Surat Wasiat Penyerahan Hak Milik
yang dibuat oleh almarhum Yusuf Noor pada tanggal 16 Maret 1968 adalah sah dan berharga.
Maka kami (penulis) pun berpendapat bahwa putusan Hakim Pengadilan Agama Kupang adalah
benar dan menyetujui keputusan tersebut. Hal ini karena keputusan Hakim Pengadilan Agama
Kupang telah sesuai Hukum Islam dan Ketentuan-ketentuan yang berlaku. Meskipun pada
kenyataan para Tergugat lewat kuasa hukumnya telah mengajukan eksepsi penolakan dan
menyatakan banding terhadap keputusan tersebut dengan alasan bahwa Pengadilan Agama
Kupang tidak berhak mengadili perkara ini, karena objek perkara mengandung sengketa milik
(sebuah rumah yang berdiri di atas tanah Negara), dan bahwa Penggugat tidak dapat
membuktikan bahwa ia adalah benar anak angkat dari almarhum (Yusuf Noor) selain itu menurut
pihak Tergugat bahwa surat wasiat itu palsu karena menurut sepengetahuan mereka bahwa kakek
mereka tidak bersekolah. Selain daripada itu ayah mereka (Husen Yusuf) pun tidak mengetahui
tentang adanya wasiat tersebut, hal ini terbukti dengan tidak adanya tanda tangan beliau dalam
surat wasiat tersebut.
Sebenarnya wasiat menurut para ahli Hukum Fiqih Islam ialah pemberian hak (kepada orang
atau badan) untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu, yang ditangguhkan pemberian hak
tersebut setelah pemiliknya meninggal, dan tanpa disertai imbalan atau penggantian apapun dari
pihak yang menerima pemberian itu.
Sehubungan dengan kasus di atas, maka menurut penulis tindakan eksepsi (penolakan) dari ahli
waris (tergugat) dalam hal ini cucu-cucu dari si pemberi warisan (atas nama Yusuf Noor) adalah
tidak dapat dibenarkan. Tindakan almarhum Yusuf Noor (pemberi wasiat) maupun Yusuf Jaffar
alias La Subu (penerima wasiat) sebenarnya telah sesuai dengan rukun wasiat, yaitu :
- Adanya orang yang berwasiat dan atas kehendak sendiri juga tidak dengan jalan yang maksiat,
artinya atas dasar berbuat kebaikan,
- Adanya yang menerima wasiat (mausilah), untuk hal ini tidak tergantung kepada siapa dan
tidak mesti anak kandung atau pun anak angkat, karena berwasiat kepada badan atau lembaga
pun diperbolehkan,
- Adanya sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada
orang lain,
- Adanya lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Selain itu untuk lebih menguatkan dan terjaminnya wasiat tersebut maka sewaktu pengakad-an
wasiat tersebut telah pula dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil dan
terpercaya sehingga dapat membuktikan kebenarannya. Hal ini sesuai dengan dalil Hujah
Syariah yang disebutkan dalan kitab Tanwirul Qulub hlm. 333, yang artinya : Dan tidak boleh
tidak (harus) Itibar Wasiat it haruslah datang dari dua orang saksi yang adil.
Berdasarkan pernyataan para saksi pula dalam kasus ini, Sidang Pengadilan Tinggi Agama telah
menyatakan bahwa wasiat tersebut benar-benar telah terjadi dan si pewasiat (Yusuf Noor) benar
telah menanda tangani surat wasiat di rumahnya, mengingat almarhum pewasiat adalah orang
yang ahli ibadah dan pandai mengaji (membaca huruf al-Quran).
Demikian juga karena rukun dan syarat sahnya suatu wasiat menurut Hukum Islam tidak
mengharuskan adanya persetujuan pada ahli waris dan wasiat hanya ditujukan kepada orang
yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali apabila diridhoi oleh
semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat.
Selain itu sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih, kecuali
apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat itu meninggal. Sabda
Rasulullah saw, yaitu :
Dari Ibnu Abbas, Ia berkata, Alangkah baiknya jika Manusia mengurangi wasiat mereka dari
sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, Wasiat itu
sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dan dalam kasus ini harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta si pewaris. Hal ini
berdasarkan pada berita acara sidang Pengadilan Agama tingkat Pertama pada tanggal 7 Juni
1997, dan berdasarkan berita acara pemeriksaaan sidang Pengadilan Tinggi Agama Kupang
tanggal 23 Oktober 1997 dan berdasarkan pula pada surat wasiat tertanggal 16 Maret 1968
diperoleh bukti bahwa selain barang-barang perkakas rumah tangga, Yusuf Noor (pewasiat) juga
mewasiatkan rumah darurat di atas tanah pekarangan 5 x 6 m (rumah induk) dan di belakangnya
terdapat dapur di atas tanah ukuran 7 x 3 m di Desa/Kelurahan Bonipoi Kupang, dengan luas
tanah seluruhnya 51 m2. Sementara luas tanah seluruhnya dari Yusuf Noor(pewasiat) adalah 531
m2, sedangkan berdasarkan bukti Tergugat/Pembanding (atas nama Ibrahim Husein La Yusuf
sebagai anak pertama Husen Yusuf) telah menerima pembagian tanah seluas 78 m2, sementara
Tergugat/Pembanding-Pembanding lain mendapatkan sisa jatah tanah seluas 402m2 secara
berserikat (531 m2 (51 m2 + 78 m2 = 129 m2) = 402 m2). Sisa tanah tersebut berdasarkan
bukti (surat wasiat) telah diwariskan kepada Husin Yusuf Noor (ayah Tergugat/Pembanding)
beserta sebuah rumah untuk tempat tinggal bersama anak-anaknya.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka dalam kasus ini penulis membenarkan hasil keputusan
Pengadilan Agama Kupang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Barkah, Qadariah. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Fakultas Syariah IAIN Raden
Fatah: Palembang
Nur, Djamaan. 1993. Fiqh Munakahat. Dina Utama: Semarang
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Sinar Baru Algesindo: Bandung
Zuhdi, Mastjfuk.1993. Studi Muamalah. Cet. III. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
http://localhost.htm. Hukum Anak Angkat dan Status Kemuhrimannya Dalam Islam. Diakses :
22 Jan 08 : 06.05. Download : 10 Mei 2010
http://kafemuslmah.com. Hak dan Kewajiban Anak Angkat. Diakses : Senin, 26 Juli 2004.
Download : 10 Mei 2010
TINJAUAN ATAS :
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KUPANG No. 14/Pdt.G/1997/PA. Kp
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA KUPANG
No. 05/Pdt.G/1997/PTA KUPANG
DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO : 145K/AG/1998
TENTANG PERKARA GUGATAN WASIAT
urisprudensi
Tentang Uang Pengganti
05 May
Putusan MA No. 2631 K/Pid.Sus/2009 (Buyung Tedjohartono)
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, Judex Facti salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa Judex Facti tidak membebankan Terdakwa untuk membayar uang pengganti ;
- Bahwa Terdakwa telah menerima anggaran dari Pemda Kabupaten Magelang sebesar 100 %
dari harga pemesanan mobil oleh Pemda kepada Terdakwa dengan kualifikasi on the road, tetapi
ternyata Terdakwa hanya menyerahkan kendaraan-kendaraan kepada Pemda dalam keadaan off
the road, sehingga Pemda mengalami kerugian sebesar Rp. 79.500.000,- yang patut dibebankan
kepada Terdakwa sebagai uang pengganti ;
Majelis Hakim:
1. Djoko Sarwoko (Ketua)
2. I Made Tara
3. Mahdi Soroinda Nasution

Leave a comment
Posted by krupukulit on May 5, 2011 in Pidana Tambahan, Uang Pengganti, Yurisprudensi

Tags: djoko swarwoko, i made tara, korupsi, mahdi soroinda nasution
Contoh PK yang Tidak Diterima Karena Alasan Tidak
Diajukan oleh Terpidana
02 May
Perkara No. 74 PK/Pid.Sus/2010 dengan Terpidana/Terdakwa Setia Budi merupakan (salah
satu) contoh putusan PK dimana MA menyatakan tidak dapat menerima permohonan PK karena
diajukan bukan oleh Terpidana langsung melainkan oleh Kuasa Hukumnya dan Terpidana tidak
hadir dalam sidang pemeriksaan PK di Pengadilan tingkat pertama.
Alasan MA tidak menerima permohonan tersebut untuk menghindari terpidana yang melarikan
diri mengajukan PK.
Majelis Hakim:
1. Artidjo Alkotsar (Ketua Majelis)
2. MS Lumme (Hakim Ad Hoc pada MA)
3. Krisna Harahap (Hakim Ad Hoc pada MA)
4. Leopold Luhut Hutagalung (Hakim Ad Hoc pada MA)
5. Surya Jaya
Semoga bermanfaat.

1 Comment
Posted by krupukulit on May 2, 2011 in Acara Pidana, Peninjauan Kembali, Yurisprudensi

Contoh Beleid (Kebijakan) yang Tidak Dapat Dipidana
02 May
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 2 K/Pid.Sus/2010 merupakan contoh putusan MA yang
menyatakan bahwa suatu kebijakan (tertentu) tidak dipidana. Putusan ini merupakan putusan
kasasi atas permohonan kasasi atas putusan bebas yang diajukan oleh JPU. Resume lebih
lengkap akan segera menyusul.
Majelis Hakim:
1. Artidjo Alkotsar (Ketua Majelis)
2. Imam Haryadi (anggota)
3. Zaharuddin Utama anggota)
NB: (klik no reg putusan untuk mengunduh putusan tersebut)

Leave a comment
Posted by krupukulit on May 2, 2011 in Kasasi Atas Putusan Bebas, Yurisprudensi

Tags: artidjo alkotsar, beleid, imam haryadi, korupsi, zaharuddin utama
Hukuman Percobaan yang Dibatalkan Mahkamah Agung
27 Apr
No. 1600 K/Pid.Sus/2010 (dr. Bakri Abdullah, M. Kes bin Abdullah)
Link Putusan-> disini
Pertimbangan Putusan:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
1. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum, karena merubah
putusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan pidana 1 tahun penjara menjadi pidana
percobaan dengan tanpa didasari pertimbangan yang tepat dan benar ;
2. Bahwa menjatuhkan pidana percobaan dalam tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan
ketentuan pidana minimun khusus Pasal 3 UU Tipikor ;
3. Bahwa judex facti tidak dibenarkan merubah dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari
Dakwaan Subsidiaritas menjadi Dakwaan Alternatif ;
Resume Putusan
Read the rest of this entry

Leave a comment
Posted by krupukulit on April 27, 2011 in Hukuman Percobaan, Pidana, Yurisprudensi

Tags: artidjo alkotsar, hukuman percobaan, imam haryadi, korupsi, zaharuddin utama
Pencabutan Pengaduan yang Melampaui Waktu
10 Mar
No. Perkara: 1600 K/Pid/2009
Link putusan silahkan klik disini
Resume Perkara
Dalam perkara pidana ini Terdakwa didakwa secara alternatif dengan dakwaan Penipuan atau
Penggelapan, dimana yang menjadi korban/pelapornya adalah mertua terdakwa itu sendiri.
Permasalahan bermula ketika Terdakwa yang hendak mengembangkan usahanya mengajak
korban membantu terdakwa dengan memberikan tambahan modal dengan janji berupa
keuntungan berupa bunga atas modal yang diserahkannya. Untuk semakin meyakinkan korban,
Terdakwa menjanjikan bahwa setiap tambahan modal yang diberikan oleh korban terdakwa akan
menyerahkan Bilyet Giro (BG) dan Check yang dapat dicairkan 1 bulan setelahnya. Akan tetapi
ternyata setelah korban berusaha mencairkan BG dan Check-check tersebut terdapat beberapa
BG dan Check yang tidak dapat dicairkan, baik karena ternyata cek dan BG tersebut ternyata
kosong hingga tanda tangan yang tertera dalam cek dan BG tersebut berbeda dengan yang ada
dalam specimen yang ada di Bank.
Atas perbuatan terdakwa tersebut korban mengalami kerugian mencapai + 3,9 M. Korban
kemudian melaporkan perbuatan Terdakwa ke kepolisian. Namun dalam persidangan di tingkat
pengadilan negeri, korban menyatakan bahwa ia mencabut tuntutannya kepada terdakwa dengan
alasan bahwa terdakwa adalah juga merupakan menantunya yang memiliki 2 orang anak yang
masih kecil-kecil, dan korban sebagai pengadu telah memaafkan segala perbuatan terdakwa.
Atas dasar pencabutan pengaduan tersebut, walaupun sudah tidak lagi memenuhi syarat
pencabutan pengaduan sebagaimana diatur dalam pasal 75 KUHP, Pengadilan Negeri
menyatakan mengabulkan permohonan pencabutan Pengaduan yang diajukan Korban, dan
menyatakan penuntutan perkara tersebut tidak dapat diterima. Putusan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, dan oleh Pengadilan Tinggi diperintahkan agar Pengadilan
Negeri memeriksa kembali perkara tersebut.
Read the rest of this entry

2 Comments
Posted by krupukulit on March 10, 2011 in Restorative Justice, Yurisprudensi

Tags: harifin tumpa, i made tara, muchsin
Putusan Judex Jurist yang Mengubah Hukuman
04 Nov
No. 684 K/Pid/2010 (Winoto cs)
Link Putusan : Klik disini
Bahwa keberatan-keberatan memori kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidaklah dapat dibenarkan
karena Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, hanya atas pidana yang dijatuhkan
perlulah dipertimbangkan dengan pertimbangan:
1. perbuatan para Terdakwa tidak sesuai dengan program pemerintah yang sedang giat-
giatnya memberantas judi.
2. Bahwa pidana yang dijatuhkan tidak mencerminkan/sesuai dengan rasa keadilan yang ada
dalam masyarakat.
3. Tidak dapat dibenarkan Judex Factie tidak salah menerapkan hukum, namun demikian
tentang pidana perlu dipertimbangkan bahwa para Terdakwa dapat merusak moral
masyarakat dengan itu diantara para Terdakwa terdapat PNS Guru sehingga pidana perlu
diperbaiki
Majelis Hakim
1. Mansur Kartayasa
2. Imam Harjadi
3. M. Zaharuddin Utama
Catatan:
Dalam perkara para terdakwa sebanyak 10 orang di tingkat Pertama Pengadilan Negeri
menghukum para terdakwa 4 bulan penjara dengan hukuman percobaan karena terbukti bermain
judi kolok-kolok. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Di tingkat kasasi Mahkamah
Agung menolak permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum, namun memperbaiki hukuman
menjadi 3 bulan penjara tanpa hukuman percobaan.

Dalam putusan-putusan lainnya umumnya MA menyatakan bahwa mengenai berat ringannya
pidana yang dijatuhkan merupakan wewenang judex factie (lihat misalnya putusan No. 682
K/Pid/2010 dengan komposisi Majelis Hakim yang sama)

Leave a comment
Posted by krupukulit on November 4, 2010 in Yurisprudensi

Tags: imam haryadi, judi, mansur kartayasa, zaharuddin utama
Unsur Perencanaan dalam Pembunuhan Berencana
04 Nov
No. 621 K/Pid/2010 (Tarsum alias Alek Suyono)
Link Putusan: Klik disini
Bahwa ternyata unsur voorberachterade jika telah cukup waktu antara korban memberitahukan
istri Terdakwa dan Istri Terdakwa menganjurkan untuk nikah siri saja telah terjadi beberapa
waktu sebelumnya, jika tetap Terdakwa tidak mau melaksanakan nikah siri dengan alasan telah
berkeluarga, pada saat itulah timbul rencana Terdakwa dengan menyimpan tali rafia yang pada
hari pelaksanaan dilakukan dengan menjerat leher korban sampai meninggal dunia. Dan pada
kesempatan lain Terdakwa datang kembali untuk minta disaksikan oleh Anwar Ahmad bahwa
Riwayati meninggal dengan bunuh diri, hal tersebut telah dapat membuktikan perbuatan
Terdakwa telah direncanakan.
Majelis Hakim:
1. M. Zaharuddin Utama
2. Imam Harjadi
3. Mansur Kartayasa

Leave a comment
Posted by krupukulit on November 4, 2010 in Pembunuhan Berencana, Pidana, Yurisprudensi

Tags: imam haryadi, mansur kartayasa, voorberachterade, zaharuddin utama
Unsur patut harus dapat diduganya dalam
Pasal Penadahan
04 Nov
No. 245 K/Pid/2010 (Usep Syaefuding)
Link Putusan: Klik disini
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Negeri dalam perkara a
quo telah keliru dalam menafsirkan unsur delik dalam dakwaan yaitu bahwa Terdakwa yang
dalam pekerjaannya tentunya menanyakan asal-muasal, harga dari barang tersebut, sehingga dari
keterangan yang diperoleh tentang barang/produk tersebut dapat diduga bahwa barang/produk
tersebut apakah mengandung masalah.
Bahwa dengan demikian Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasinya telah berhasil
membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri adalah putusan bebas yang tidak murni karena
didasarkan pada perbedaan penafsiran terhadap tindak pidana yang didakwakan, dan Jaksa
Penuntut Umum telah dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana
penadahan.

Majelis Hakim
1. Abdurrahman
2. Mieke Komar
3. Samsul Maarif

Leave a comment
Posted by krupukulit on November 4, 2010 in Kesengajaan, Pidana, Yurisprudensi

Tags: abdurrahman, Mieke Komar, Penadahan, Samsul Ma'arif, unsur patut diketahui
Judex Factie yang Mengubah Hukuman
Tanpa Pertimbangan
04 Nov
No. Perkara : 1249 K/Pid/2010 (Arif Zainuri Yunus)
Link Putusan: Klik disini
Judex factie telah salah menerapkan hukum karena putusan judex factie yang memperberat
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa dari 1 tahun penjara menurut putusan Pengadilan
Negeri menjadi 1 tahun 6 bulan penjara tanpa disertai pertimbangan hukum yang tepat dan
benar, yaitu tanpa menyebutkan alasan-alasan yang memberatkan selain yang sudah disebutkan
dalam putusan Pengadilan Negeri. Pertimbangan memperberat pidana didasari alasan-alasan
memberatkan dan meringankan yang sudah disebutkan dalam putusan Pengadilan Negeri dan
dikaitkan dengan tujuan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan masyarakat,
dan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Majelis Hakim
1. Imam Harjadi
2. Salman Luthan
3. M. Zaharuddin Utama

Leave a comment
Posted by krupukulit on November 4, 2010 in Pengurang Hukuman, Pidana, Yurisprudensi

Tags: imam haryadi, salman luthan, sanksi, zaharuddin utama
Kasasi Demi Kepentingan Hukum (2)
15 Jul
Beberapa waktu yang lalu saya memposting pertanyaan mengenai apakah pernah ada putusan
Kasasi Demi Kepentingan Hukum (cassatie in het belang der wet), upaya hukum luar biasa
yang kewenangannya khusus dimiliki oleh Jaksa Agung (link). Beberapa hari yang lalu saya
mendapat kabar dari seorang kawan yang juga merupakan seorang dosen di UI yang
memberitahukan pada saya bahwa ia menemukan dalam bukunya MH Silaban SH yang berjudul
Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa pernah ada putusan KDKH.
Berikut Nomor-nomor putusan KDKH tersebut:
1. 4 K/Rup/1956
2. 13 K/Kr/1964
3. 25 K/Kr/1964
4. 186 K/Kr/1979
5. 1828 K/Pid/1989
Dari kelima putusan tersebut sejauh ini saya telah menemukan 3 di antaranya, yaitu 3 putusan
yang disebut terakhir. Secara berurutan 3 putusan tersebut dapat ditemukan di Himpunan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tahun 1969, 1978, dan 1992.
Namun dari ketiga putusan yang telah saya temukan tersebut sepertinya putusan No. 25
K/Kr/1964 sebenarnya tidak layak disebut sebagai KDKH oleh karena putusannya menimbulkan
akibat bagi terpidana, yang mana seharusnya hal itu tidak terjadi dalam KDKH. Sementara dua
putusan lainnya layak dan memang dimaksudkan sebagai permohonan KDKH.
Putusan No. 25 K/Kr/1964 ini dapat dibilang sekedar penyiasatan belaka dari Mahkamah Agung
pada saat itu untuk tetap dapat menerima permohonan Kasasi dari JPU. Perkara ini sendiri
merupakan perkara tindak pidana ekonomi dengan terdakwa Go Siang Jong. Dalam perkara ini
awalnya Pengadilan Ekonomi Makassar memutus bebas terdakwa. Atas putusan bebas tersebut
JPU kemudian mengajukan banding, namun permohonan banding tersebut dinyatakan tidak
dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi Ekonomi di Makassar. Dalam kutipan putusan yang ada
dalam Himpunan Yurisprudensi tersebut tidak dijabarkan pertimbangan hukum dari majelis
hakim banding tersebut, namun jika melihat pada UU Darurat No. 7 Tahun 1955 khususnya
pasal 43 sepertinya alasannya adalah oleh karena putusan tingkat pertama tersebut termasuk pada
putusan yang tidak dapat diajukan banding.
Atas putusan Banding tersebut JPU kemudian mengajukan permohonan Kasasi. Akan tetapi
tampaknya permohonan kasasi tersebut telah lewat waktu hingga 6 minggu. Seharusnya
permohonan kasasi tersebut menurut MA tidak dapat diterima, namun oleh MA kemudian
permohonan tersebut diperlakukan sebagai permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung
(KDKH) sehingga tidak terikat oleh batas waktu. Dalam putusannya kemudian MA
mengabulkan permohonan kasasi tersebut, membatalkan putusan banding, serta memerintahkan
Pengadilan Tinggi Ekonomi di Makassar membuka kembali persidangan atas permohonan
banding JPU yang sebelumnya dinyatakan tidak dapat diterima.
Mengenai deskripsi atas kedua putusan lainnya akan saya tulis dalam waktu dekat.
(Update 20 Juli 2010)
Putusan Kasasi No. 1828 K/Pid/1989 merupakan putusan atas Praperadilan atas masalah
Penyitaan. Dalam perkara ini di tingkat Praperadilan pemohon mempermasalahkan penyitaan
Kapal miliknya yang dilakukan oleh Kepolisian. Atas permohonan tersebut pengadilan negeri
kemudian mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan penyitaan yang dilakukan oleh
Kepolisian tersebut tidak sah. Putusan Praperadilan PN tersebut kemudian diajukan Kasasi Demi
Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung dengan alasan seharusnya penyitaan tidak termasuk
dalam obyek sengketa Praperadilan.
Atas permohonan KDKH tersebut kemudian MA mengabulkannya dan membatalkan putusan
praperadilan tersebut, namun menyatakan bahwa putusan MA ini tidak berdampak hukum, atau
dengan kata lain putusan praperadilan tetap berlaku. Putusan MA tersebut merupakan upaya
untuk meluruskan hukum semata yang berguna sebagai yurisprudensi. Putusan ini mempertegas
ketentuan dalam KUHAP yang menyatakan bahwa obyek praperadilan tidak termasuk masalah
penyitaan.

4 Comments
Posted by krupukulit on July 15, 2010 in Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Older posts
Newer posts
Categories
Yurisprudensi (78)
Blog Stats
84,512 hits
Tulisan Teratas
Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif
About Me
Alasan Pembenar Menjalankan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP)
Isi Surat Dakwaan
Melawan Hukum Materil Dalam Fungsi Positif (1)
Komentars
Pengertian Penjara dan/atau Denda KRUPUKULIT on Penafsiran Penjara
dan/atau Denda (2)
Penafsiran Penjara dan/atau Denda (2) KRUPUKULIT on Pengertian
Penjara dan/atau Denda
krupukulit on Uang Muka Atas Perjanjian Yang Dibatalkan Sepihak
Minah sarminah on Uang Muka Atas Perjanjian Yang Dibatalkan Sepihak
Melawan Hukum Materil Dalam Fungsi Postif (3) KRUPUKULIT on Melawan
Hukum Materil Dalam Fungsi Positif (2)
Archives
Login
Register
Log in
Entries RSS
Comments RSS
WordPress.com
My Tweets
kupret loe son, ini mah berita lama :)) RT @emerson_yuntho: Hakim "S"
ditembak orang tidak dikenal. http://bit.ly/ig0g4m 15 minutes ago
mending katrok lah dibanding galau #ngok 29 minutes ago
@lurino ditanya tuh, punya ide ga? 33 minutes ago
@UQUky boleh. kenapa? 1 hour ago
@BobbyManalu adanya di djpp.depkumham.go.id bob. 1 hour ago
Email Subscription
Top of Form
Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts
by email.
subscribe 5245432 http://krupukulit.w widget c4a564b2d4 /category/yurispr
Sign me up!
Bottom of Form
Tags
abbas said acara pidana Achmad Yamanie akta perdamaian Anotasi arbijoto artidjo alkotsar atja
sondjaja bagir manan bahaudin qoudry denda dirwoto djoko sarwoko djoko swarwoko Gadai german hudiarto Hakim Ad
Hoc harifin a tumpa harifin tumpa i made tara imam haryadi imam subechi imron anwari iskandar
kamil jual beli kasasi korupsi mansur kartayasa melawan hukum materil muchsin muhammad
taufik organisasi advokat parman suparman pembunuhan peninjauan kembali Peninjauan Kembali oleh Jaksa
perbuatan melawan hukum sanksi soedarno Surat Dakwaan Surya Jaya toton suprapto ultra petita
Yurisprudensi zaharuddin utama

Pelanggaran-pelanggaran kode etik
profesi TIK
Posted on November 30, 2010 by hartantyob
PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI IT
Faktor penyebab pelanggaran kode etik profesi IT adalah makin merebaknya penggunaan
internet. Jaringan luas computer tanpa disadari para pemiliknya di sewakan kepada spammer
(penyebar email komersial) froudster (pencipta setus tipuan), dan penyabot digital
Terminal2 jaringan telah terinfeksi virus computer, yang mengubah computer menjadi zombie
contohnya di bandung banyak warnet yang menjadi sarang kejahatan computer. Factor lain yang
menjadi pemicu adalah makin merebaknya intelektual yang tidak beretika.
Factor penyebab pelanggaran kode etik profesi IT
1. tidak berjalannya control dan pengawasan dri masyarakat
2. organisasi profesi tidak di lengkapi denga sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk
menyampaikan keluhan
3. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi, karena buruknya
pelayanan sosialisasi dari pihak prepesi sendiri
4. belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi IT untuk menjaga
martabat luhur profesinya
5. tidak adanya kesadaran etis da moralitas diantara para pengemban profesi TI untuk menjaga
martabat luhur profesinya.
KESADARAN HUKUM
Soerjono Sokanto (1988) meyebutka bahwa ada lima unsure penegakan hukum artinya untuk
mengimplementasikan penegak hukum di Indonesia sangat dipengaruhi 5 faktor :
1. undang2
2. mentalitas aparat penegak hukum
3. perilaku masyarakat
4. sarana
5. kultur.
Apa yang dilakukan masyarakat akan berpengaruh besar terhadap potret penegakn hukum.
Ketika ada seseorang yang melanggar hukum, sama artinya dengan memaksa aparat untuk
mengimplementasikan law in books menjadi law in action.
Dalam implementasi ini akan banyak ragam prilaku masyarakat di antaranya ada yang mencoba
mempengaruhi aparat agar tidak bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, kalau sudah begitu,
maka prospek law etercement menjadi berat.
KEBUTUHAN UNDANG2
Undang2 yang digunakan untuk menjerat pada pelaku kejahatan komputer belum mengatur
secara spesifik sesuai dengan tidak kejahatan yang mereka lakukan. KUHP masih dijadikan
dasar hukum untuk menjaring kejahatan komputer, ketika produk ini dinilai belum cukup
memadai untuk menjaring beberapa jenis kejahatan komputer.
(SUMBER : http://mahrus.wordpress.com/2008/02/04/penyebab-pelanggaran-kode-etik-profesi-
it/ )
ASPEK-ASPEK TINJAUAN PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI IT
ASPEK TEKNOLOGI
Semua teknologi adalah pedang bermata dua, ia dapat digunakan untuk tujuan baik dan jahat.
Contoh teknologi nuklir dapat memberikan sumber energi tetapi nuklir juga enghancurkan kota
hirosima.
Seperti halnya juga teknologi kumputer, orang yang sudah memiliki keahlian dibidang computer
bias membuat teknologi yang bermanfaat tetapi tidak jarang yang melakukan kejahatan.
ASPEK HUKUM
Hokum untuk mengatur aktifitas di internet terutama yang berhubungan dengan kejahatan maya
antara lain masih menjadi perdebatan. Ada dua pandangan menganai hal tersebut antara lain:
1. Karakteristik aktiofitas di internet yang bersifat lintas batas sehingga tidak lagi tunduk pada
batasan2 teritorial
2. system hokum tradisiomal (The Existing Law) yang justru bertumpu pada batasan2 teritorial
dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan2 hukum yang muncul akibat aktifitas
internet.
Dilema yang dihadapi oleh hokum tradisional dalam menghadapi fenomena2 cyberspace ini
merupakan alas an utama perlunya membentuk satu regulasi yang cuku akomodatif terhadap
fenomena2 baru yang muncul akibat pemanfaatan internet. Aturan hokum yang akan dibentuk itu
harus diarahkan untuk memenuhi jebutuhan hokum (the legal needs) para pihak yang terlibat di
dalam transaksi2 lewat internet.
Hukum harus diakui bahwa yang ada di Indonesia sering kali belum dapat menjangkau
penyelesaian kasus2 kejahatan computer. Untuk itu diperlukan jaksa yang memiliki wawasan
dan cara pandang yang luas mengenai cakupan teknologi yang melatar belakangi kasus2
tersebut. Sementara hukum2 di Indonesia itu masih memiliki kemampuan yang terbatas didalam
penguasaan terhadap teknologi informasi.
ASPEK PENDIDIKAN
Dalam kode etik hacker ada kepercayaan bahwa berbagi informasi adalah hal yang sangat baik
dan berguna, dan sudah merupakan kewajiban (kode etik) bagi seorang hacker untuk membagi
hasil penelitiannya dengan cara menulis kode yang open source dan memberikan fasilitas untuk
mengakses informasi tersebut dan menggunakn peralatan pendukung apabila memungkinkan.
Disini kita bias melihat adanya proses pembelajaran.
Yang menarik dalam dunia haker yaitu terjadi strata2 atau tingkatan yang diberikan oleh
komunitas hacker kepada seseorang karena kepiawaiannya bukan karena umur atau
senioritasnya.
Untuk memperoleh pengakuan atau derajat seorang hacker mampu membuat program untuk
ekploit kelemahan system menulis tutorial/ artikel aktif diskusi di mailing list atau membuat situs
web, dsb.
ASPEK EKONOMI
Untuk merespon perkembangan di Amerika Serikat sebagai pioneer dalam pemanfaatan internet
telah mengubah paradigma ekonominya yaitu paradigma ekonomi berbasis jasa (From a
manufacturing based economy to service based economy). Akan tetapi pemanfaatan tknologi
yang tidak baik (adanya kejahatan didunia maya) bias mengakibatkan kerugian ekonomi yang
tidak sedikit di Indonesia ada 109 kasus yang merupakan predikat PRAUD (Credit Card)
korbannya 80% adalah warga AS.
ASPEK SOSIAL BUDAYA
Akibat yang sangat nyata adanya cyber crime terhadap kehidupan social budaya di Indonesia
adalah ditolaknya setiap transasi di internet dengan menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan
oleh perbankan Indonesia. Masyarakat dunia telah percaya lagi dikarenakan banyak kasus credit
card PRAUD yang dilakukan oleh netter asal Indonesia.
Cyber Crime : perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang
berbasis pada kecanggihan terhadap teknologi computer dan telekomunikasi.
(SUMBER : http://mahrus.wordpress.com/2008/02/04/aspek-aspek-tinjauan-pelanggaran-kode-
etik-profesi-it/ )
JENIS PELANGGARAN KODE ETIK BIDANG IT
Pembahasan
1. Hacker dan Cracker
2. Denial Of Service Attack
3. Piracy
4. Fraud
5. Gambling
6. Pornography dan Paedophilia
7. Data Forgery
1. Hacker dan Cracker
Terminologi hacker muncul pada awal tahun 1960an diantara para anggota organisasi mahasiswa
Tech ModelRailroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of
Technology ( MIT ). Kelompok mahasiswa tersebut merupakan salah satu perintis
perkembangan tehnologi computer dan mereka berkutat dengan sejumlah computer mainframe.
Kata hacker pertama kalinya muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang
memiliki keahlian dalam bidang computer yang lebih baik ketimbang yang telah dirancang
bersama.
Menurut Mansield, hacker didefinisikan sebagai seorang yang memiliki keinginan untuk
melakukan eksplorasi dan penetrasi terhadap sebuah system operasi dank ode computer
pengaman lainya tetapi tidak melakukan tindakan pengerusakan apapun tidak mencuri uang atau
informasi.
Sedangkan Cracker adalah sisi gelap dari hacker dan memiliki ketertarikan untuk mencuri
informasi , melakukan berbagai macam kerusakan dan sesekali waktu juga mekumpuhkan
seluruh system computer.
Penggolongan Hacker dan Cracker.
- Recreational Hackers, kejahatan yang dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk sekedar
mencoba kekurang handalan system sekuritas suatu perusahaan.
- Crackers/Criminal Minded hackers, pelaku memiliki motifasi untuk mendapat keuntungan
financial, sabotase dan pengrusakan data, type kejahatan ini dapat dilakukan dengan banyuan
orang dalam.
- Political Hackers, aktifis politis (hactivist) melakukan pengrusakan terhadap ratusan situs web
untuk mengkampanyekan programnya, bahkan tidak jarang dipergunakan untuk menempelkan
pesan untuk mendiskreditkan lawannya.
2. Denial of Service Attack
Didalam keamanan computer, Denial of Service Attack (DoS Attack) adalah suatu usaha untuk
membuat suatu sumber daya computer yang ada tidak bisa digunakan oleh para pemakai.
Denial of Service Attack mempunyai dua format umum :
1. Memaksa computer computer korban untuk mereset atau korban tidak bisa lagi menggunakan
perangkat komputernya seperti yang diharapkannya.
2. Menghalangi media komunikasi antara para pemakai dan korba sehingga mereka tidak bisa
lagi berkomunikasi.
Denial of Service Attack ditandai oleh suatu usaha eksplisit dengan penyerang untuk mencegah
para pemakai memberi bantuan dari penggunaan jasa tersebut.. Contoh :
1. Mencoba untuk membanjiri suatu jaringan, dengan demikian mencegah lalu lintas jaringan
yang ada.
2. Berusaha untuk mengganggu koneksi antara dua mesin., dengan demikian mencegah akses
kepada suatu service.
3. Berusaha untuk mencegah individu tertentu dari mengaksessuatu service.
4. Berusaha untuk menggangu service kepada suatu orang atau system spesifik.
3. Pelanggaran Piracy
Piracy adalah pembajakan perangkat lunak (software)
Contoh : pembajakan software aplikasi ( Microsoft, lagu MP3,MP4, dll)
Keuntungan : biaya yang harus dikeluarkan user relative murah.
Kerugian : merugikan pemilik hak cipta ( royalti)
Secara moral hal ini merupakan pencurian hak milik orang lain
Solusi : gunakan software aplikasi open source.
Undang undang yang melindungi HAKI : UU no 19 tahun 2002.
Lima macam bentuk pembajakan perangkat lunak :
1. Memasukan perangkat lunak illegal ke harddisk.
2. Softlifting, pemakaian lisensi melebihi kapasitas
3. Penjualan CDROM illegal
4. Penyewaal perangkat lunak illegal
5. Download illegal
Alasan pembajakan perangkat lunak :
1. Lebih murah ketimbang membeli lisensi asli
2. Format digiyal sehingga memudahkan untuk disalin kemedia lain
3. Manusia cenderung mencoba hal baru
4. Undang undang hak cipta belum dilaksanakan dengan tegas
5. Kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk menghargai ciptaan orang lain
4. Fraud
Merupakan kejahatan manipulasi informasi dengan tujuan mengeruk keuntungan yang sebesar
besarnya. Biasanya kejahatan yang dilakukan adalah memanipulasi informasi keuangan. Sebagai
contoh adanya situs lelang fiktif.
Melibatkan berbagai macam aktifitas yang berkaitan dengan kartu kredit.
5. Gambling
Perjudian tidak hanya dilakukan secara konfensional, akan tetapi perjudian sudah marak didunia
cyber yang berskala global. Dan kegiatan ini dapat diputar kembali dinegara yang merupakan
tax heaven seperti cyman islands yang merupakan surga bagi money laundering.
Jenis jenis online gambling antara lain :
1. Online Casinos
Pada online casinos ini orang dapat bermain rolet, blackjack dll
2. Online Poker
Online poker biasanya menawarkan texas holdem, Omaha dll
3. Mobil gambling
Merupakan perjudian dengan menggunakan wereless device, seperti PDAs, Wereless tabled PCs,
berapa casini online dan poker onlinemenawarkan pilihan mobil. GPRS,GSM data, UMTS, I-
Mode adalah semua teknologi lapisan data atas nama perjudian gesit tergantung , jenis perjudian
di Indonesia yaitu SDSB.com, jenis perjudian olah raga terlengkap di Indonesia dan Asia
Tenggara.
6. Pornography dan Paedophilia
Pornography merupakan jenis kejahatan dengan menyajikan bentuk tubuh tanpa busana, erotis,
dan kegiatan seksual lainnya dengan tujuan merusak moral.
Paedophilia merupakan kejahatan penyimpangan seksual yang lebih condong kearah anak anak
(child phornography)
7. Data Forgery
Kejahatan ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen dokumen penting yang
ada di internet.
Dokumen dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis
web database. Dokumen tersebut disimpan sebagai scriptless document dengan menggunakan
media internet. Kejadian ini biasanya diajukan untuk cokumen e-commerce.
(SUMBER : http://cipluk2bsi.wordpress.com/jenis-pelanggaran-kode-etik-bidang-it/)
PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI IT dan PERATURAN PERUNDANGAN January
13, 2010
Filed under: makalah sheetdicx @ 5:53 am
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang khususnya bidang teknologi
informasi. Kode etik sangat dibutuhkan dalam bidang IT karena kode etik tersebut dapat
menentukan apa yang baik dan yang tidak baik serta apakah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
IT-er itu dapat dikatakan bertanggung jawab atau tidak. Pada jaman sekarang banyak sekali
orang di bidang IT menyalahgunakan profesinya untuk merugikan orang lain, contohnya hacker
yang sering mencuri uang, password leat komputer dengan menggunakan keahlian mereka.
Contoh seperti itu harus dijatuhi hukuman yang berlaku sesuai dengan kode etik yang telah
disepakati. Dan banyak pula tindakan kejahatan dilakukan di internet selain hacker yaitu cracker,
dll. Oleh sebab itu kode etik bagi pengguna internet sangat dibutuhkan pada jaman sekarang ini.
. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas
dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas,mempertegas dan merinci
norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma terebut sudah
tersirat dalam etika profesi. Tujuan utama dari kode etik adalah memberi pelayanan khusus
dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian
kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta
terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan
perbuatan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah ini adalah :
1. Penulis ingin mengembangkan ilmu yang didapat selama kuliah di Bina Sarana Informatika
2. Untuk mengetahui sejauh mana penulis mendalami ilmu yang diperoleh dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai wawasan pengetahuan perkembangan kode etik profesional
2. Memberikan pengetahuan baru bagi pembaca,khususnya bagi penulis tentang pentingnya kode
etik profesi.
3. Berbagi informasi baru tentang pentingnya kode etik profesi.
1.3 RUMUSAN MASALAH
Makalah ini merumuskan tentang :
1. Pengertian kode etik profesi
2. Penyebab pelanggaran kode etik profesi
3. Upaya pencegahan kode etik profesi
4. Undang undang pencegahan kode etik profesi
5. Sanksi yang diberikan kepada pelanggaran kode etik profesi
6. Contoh pelanggaran kode etik IT dan cara mengatasinya
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari dan mengetahui isi makalah ini, penulis
memberikan uraian singkat mengenai gambaran pada masing masing bab melalui sistematika
penulisan yaitu :
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan
masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan
Pada bab ini penulis membahas tentang pengerian pelanggaran kode etik profesi, penyebab
pelanggaran kode etik profesi, upaya pencegahan kode etik profesi, undang undang
pencegahan kode etik profesi, sanksi yang diberikan kepada pelanggaran kode etik profesi,
contoh pelanggaran kode etik dan cara mengatasinya.
Bab III Penutup
Pada bab ini berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran dari masalah yang dibahas pada bab-
bab sebelumnya serta saran-saran yang diajukan guna perbaikan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pelanggaran Kode Etik profesi
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberitahukan suatu pengetahuan kepada
masyarakat agar dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, srhingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja.
Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :
1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan
3. Mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam
keanggotaan profesi.
Jadi pelanggaran kode etik profesi berarti pelanggaran atau penyelewengan terhadap system
norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan
baik bagi suatu profesi dalam masyarakat.
2.2 Penyebab Pelanggaran Kode Etik Profesi
Pelanggaran kode etik profesi merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok profesi
yang tidak mencerminkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.
Tujuan Kode Etik Profesi adalah :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejakteraan para anggota
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
4. Untuk meningkatkan mutu profesi
5. Meningkatkan layanan diatas keuntungan pribadi
6. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat
Idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di
sekitar para profesional , sehingga harapan terkadang sangat jauh dari kenyataan.
Memungkinkan para profesional untuk berpaling kepada kenyataan dan mengakibatkan
idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak
dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata mata berdasarkan kesadaran
profesional. Penyebab pelanggaran kode etik profesi IT organisasi profesi tidak di lengkapi
dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan terhadap suatu
kode etik IT.
Minimnya pengetahuan masyarakat tentang substansi kode etik profesi dan juga karena buruknya
pelayanan sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari
para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur masing masing profesi.
Alasan mengabaikan kode etik IT profesi antara lain :
1. Pengaruh sifat kekeluargaan
Misalnya yang melakukan pelanggaran adalah keluarga atau dekat hubungan kekerabatannya
dengan pihak yang berwenang memberikan sanksi terhadap pelanggaran kode etik pada suatu
profesi, maka mereka akan cenderung untuk tidak memberikan sanksi kepada kerabatnya yang
telah melakukan pelanggaran kode etik tersebut.
1. Pengaruh jabatan
Misalnya yang melakukan pelanggaran kode etik profesi itu adalah pimpinan atau orang yang
meiliki kekuasaan yang tinggi pada profesi tersebut, maka bisa jadi orang lain yang posisi dan
kedudukannya berada dibawah orang tersebut akan untuk enggan melaporkan kepada pihak yang
berwenang yang memberikan sanksi, karena kekawatiran akan berpengaruh terhadap jabatan dan
posisinya pada profesi tersebut.
1. Pengaruh masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia, sehingga menyebabkan pelaku
pelanggaran kode etik profesi tidak merasa khawatir melakukan pelanggaran.
2. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat
3. Organisasi profesi tidak dilengkapi denga sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk
menyampaikan keluhan
4. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi, karena buruknya
pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri
2.3 Upaya Pencegahan Pelanggaran Kode Etik Profesi
Kasus kasus pelanggaran kode etik akan ditindak lanjuti dan dinilai oleh dewan kehormatan
atau komisi yang terbentuk khusus untuk itu, karena tujuannya adalah mencegak terjadinya
perilaku yang tidak etis. Seringkali kode etis juga berisikan tentang ketentuan ketentuan
profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.
Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik.
Ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Beberapa alasan tersebut adalah
(Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) :
a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasionalsehingga individu-
individu dapat berperilaku secara etis.
b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan
perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya.
c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi,
dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.
d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai
pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan
membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut.
Seperti kode etik itu berasal dari dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi
untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari hari
kontrol ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota
anggota profesi, tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan diatas
kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan
yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan pertimbangan lain.
Masing masing pelaksanaan profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru
kemudian dapat melaksanakannya.
Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari
norma norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode
etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma norma tersebut sudah tersirat
dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang
ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang
benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan oleh seorang profesi.
2.4 Undang undang Pelanggaran Kode Etik Profesi
Setiap undang undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada
pelanggarnya.Pelanggaan kode etik profesi dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan undang
undang dan hukum yang berlaku. Hukum untuk menjerat pelanggaran kode etik ada 2 yaitu
hukum primer dan hukum sekunder.
Hukum primer berupa hukum positif yaitu peraturan perundang undangan yang berkaitan
dengan pelayanan publik. Sedangkan hukum sekunder meliputi buku literatur dalam bidang
hukum administrasi maupun bidang lainnya yang berkaitan dengan pokok masalah.
Apa yang dilakukan masyarakat akan berpengaruh besar terhadap potret penegakan hukum.
Ketika ada seseorang yang melanggar hukum, sama artinya dengan memaksa aparat untuk
mengimplementasikan law in books menjadi law in action. Dalam implementasi ini akan banyak
ragam prilaku masyarakat di antaranya ada yang mencoba mempengaruhi aparat agar tidak
bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, kalau sudah begitu, maka prospek law etercement
menjadi berat.
Menurut Soejono Sokanto (1988) menyebutkan 5 unsur penegakan hukum yaitu :
1. Undang undang
2. Mentalitas aparat penegakan hukum
3. Perilaku masyarakat
4. Sarana
5. Kultur
Menurut H. George Frederickson & David K.Hart sebagai aparat negara, para pejabat wajib
mentaati prosedur, tata kerja dan peraturan peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi
pemerintah. Dengan kata lain para pejabat harus memiliki kewaspadaan profesional dan
kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap
sederhana dan hemat, tanggung jawab serta akhlak dan perilaku yang baik.
Dalam undang undang No. 8 tahun 1974 pasal 28 kode etik pegawai negri adalah pedoman
sikap, tingkah laku dan perbuatan yang harus dilakukan oleh seriap pegawai negri sipil.maka
sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moril.
Dalam pasal 30 UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok
pokok kepegawaian tentang pembinaan korp, kode etik profesi dan peraturan disiplin ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. Sedangakan kewajiban dan larangan bagi PNS diatur dalam
peraturan pemerintah No. 30 tahun 1980 pasal 2 dan 3.
Untuk melaksanakn kode etik diperlukan moralitas yang tinggi bagi penyandang profesi tersebut.
Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional, ketaatan tenaga profesional
terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan
perilaku tenaga profesional. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan
lain kecuali taat, jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai
sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan baginya.
2.5 Sanksi Yang Diberikan Terhadap Pelanggaran Kode Etik Profesi
Sanksi pelanggaran kode etik yaitu :
1. Sanksi Moral
2. Sanksi di keluarkan dari organisasi
2.6 Contoh Pelanggaran Etika Profesi IT dan Cara Mengatasinya
Makin merebaknya penggunaan internet. Jaringan luas komputer tanpa disadari para pemiliknya
di sewakan kepada spammer (penyebar email komersial), froudster (pencipta situs tipuan ), dan
penyabot digital. Terminal terminal jaringan telah terinfeksi virus komputer, yang mengubah
komputer menjadi zombi. Faktor lain yang menjadi pemicu adalah makin banyaknya para
intelektual yang tidak ber etika.
Hukum untuk mengatur aktifitas di internet terutama yang berhubungan dengan kejahatan maya
antara lain masih menjadi perdebatan. Ada dua pandangan menganai hal tersebut antara lain:
1. Karakteristik aktifitas di internet yang bersifat lintas batas sehingga tidak lagi tunduk pada
batasan2 teritorial
2. System hukum tradisiomal (The Existing Law) yang justru bertumpu pada batasan batasan
teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan persoalan hukum yang
muncul akibat aktifitas internet.
Akibat yang sangat nyata adanya cyber crime terhadap kehidupan social budaya di Indonesia
adalah ditolaknya setiap transasi di internet dengan menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan
oleh perbankan Indonesia. Masyarakat dunia telah percaya lagi dikarenakan banyak kasus credit
card PRAUD yang dilakukan oleh netter asal Indonesia.
Cyber Crime : perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang
berbasis pada kecanggihan terhadap teknologi computer dan telekomunikasi.
Adapun kode etik yang diharapkan bagi para pengguna internet adalah :
1. Menghindari dan tidak mempublikasi informasi yang secara langsung berkaitan dengan
masalah pornografi dan nudisme dalam segala bentuk.
2. Menghindari dan tidak mempublikasi informasi yang memiliki tendensi menyinggung secara
langsung dan negatif masalah suku, agama dan ras (SARA), termasuk di dalamnya usaha
penghinaan, pelecehan, pendiskreditan, penyiksaan serta segala bentuk pelanggaran hak atas
perseorangan, kelompok / lembaga / institusi lain.
3. Menghindari dan tidak mempublikasikan informasi yang berisi instruksi untuk melakukan
perbuatan melawan hukum (illegal) positif di Indonesia dan ketentuan internasional umumnya.
4. Tidak menampilkan segala bentuk eksploitasi terhadap anak-anak dibawah umur.
5. Tidak mempergunakan, mempublikasikan dan atau saling bertukar materi dan informasi yang
memiliki korelasi terhadap kegiatan pirating, hacking dan cracking.
6. Bila mempergunakan script, program, tulisan, gambar / foto, animasi, suara atau bentuk materi
dan informasi lainnya yang bukan hasil karya sendiri harus mencantumkan identitas sumber dan
pemilik hak cipta bila ada dan bersedia untuk melakukan pencabutan bila ada yang mengajukan
keberatan serta bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
7. Tidak berusaha atau melakukan serangan teknis terhadap produk, sumber daya (resource) dan
peralatan yang dimiliki pihak lain.
8. Menghormati etika dan segala macam peraturan yang berlaku di masyarakat internet
umumnya dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap segala muatan / isi situsnya.
9. Untuk kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola, anggota dapat melakukan teguran
secara langsung.
Undang- undang yang digunakan untuk menjerat pada pelaku kejahatan komputer belum
mengatur secara spesifik sesuai dengan tidak kejahatan yang mereka lakukan. KUHP masih
dijadikan dasar hukum untuk menjaring kejahatan komputer, ketika produk ini dinilai belum
cukup memadai untuk menjaring beberapa jenis kejahatan komputer
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya maka dapat di simpulkan bahwa kode etik profesi merupakan
pedoman mutu moral profesi si dalam masyarakat yang di atur sesuai dengan profesi masing-
masing. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita di terima oleh profesi itu sendiri
serta menjadi tumpuan harapan untuk di laksanakan dengan tekun dan konsekuen. Kode etik
tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah karena tidak akan
di jiwai oleh cita-cita dan nilai hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
1. Saran
Agar dapat memahami dan memperoleh pengetahuan baru maka usaha yang dapat di lakukan
adalah :
1. Memperbanyak pemahaman terhadap kode etik profesi
2. Mengaplikasikan keahlian sebagai tambahan ilmu dalam praktek pendidikan yang di jalani.
3. Pembahasan makalah ini menjadikan individu yang tahu akan pentingnya kode etik profesi.
DAFTAR PUSTAKA
http://mahrus.wordpress.com/2008/02/04/penyebab-pelanggaran-kode-etik-profesi-it diakses
hari selasa jam 18.00
http://aldoerianda.wordpress.com/2009/05/10/pentingnya-kode-etik-profesi/ diakses hari selasa
jam 18.07
www.mikroskil.ac.id/-erwin/etika%20profesi/03.ppt
(SUMBER : http://sheetdicx.wordpress.com/2010/01/13/pelanggaran-kode-etik-profesi-it-dan-
peraturan-perundangan/ )
ODE ETIK PROFESI HUKUM
Penegakan supremasi hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang sudah 10 tahun
berjalan. Apakah penegakan supremasi hukum yang diharapkan oleh masyarakat itu telah
tercapai ? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat mungkin memiliki tanggapan yang
beragam. Ada yang menjawab belum, lebih buruk, ada sedikit kemajuan, atau mungkin ada juga
yang menilai sudah lebih baik. Masing-masing jawaban tersebut merupakan out put dari kinerja
aparat penegak hukum yang langsung dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dalam aktivitas
sehari-hari yang berkaitan dengan hukum. Misalnya saat razia kendaraan, pembuatan SIM,
pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, sidang pengadilan dan lain-lain. Artinya penilaian
terhadap ada tidaknya reformasi hukum, salah satu indikatornya dapat dilihat dari penilaian setiap
orang ketika ia terlibat aktivitas hukum yang tentunya melibatkan aparat penegak hukum. Apabila
dalam aktivitas hukum tersebut justru keluar dari jalur hukum, seperti adanya suap menyuap,
pungli, tebang pilih, atau KUHP yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan lain-
lain, maka tidak salah apabila penilaian negatif diberikan terhadap kinerja aparat penegakan
hukum. Padahal yang melakukannya hanyalah oknum tertentu saja dari sekian banyak aparat
penegak hukum, namun berakibat pada citra buruk aparat penegak hukum secara keseluruhan.
Pada beberapa kasus kejahatan, seperti illegal logging, peredaran narkoba, dan terakhir kasus
perjudian, ada yang dilindungi, bahkan dimiliki langsung oleh oknum aparat penegak hukum.
Kemudian adanya dugaan suap dari tersangka atau terdakwa, yang diterima atau malah diminta
oknum penegak hukum agar perkaranya tidak diperiksa atau dapat segera ditutup. Dalam sidang
ada sepatu terdakwa yang melayang ke meja Hakim atau Jaksa. Adanya pengerahan massa di
pengadilan karena keputusan hakim yang dinilai tidak adil, dan terungkapnya komunikasi
Artalyta dengan petinggi Kejaksaan Agung, bahkan juga diduga menyeret oknum hakim di
Mahkamah Agung. Kesemunya itu merupakan indikasi adanya mafia peradilan dan semakin
turunnya kualitas dalam upaya reformasi hukum.
Kode Etik Profesi Hukum
Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, yang
seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan
ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap
kode etik profesi hukum yang mengikatnya.
Salah satu faktor penyebab adanya mafia peradilan adalah semakin hilang, bahkan tidak
bermaknanya lagi sebuah kode etik profesi hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam
berprofesi yang menuntut adanya pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan
masyarakat. Bertenns menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya
bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dimasyarakat. Apa
fungsi kode etik profesi ? Sumaryono mengemukakan tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol
sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan
konflik. Berdasarkan pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan
suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu
sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap
profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum.
Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain, yang kesemuanya
menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik
buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor kesadaran hukum masyarakat sebenarnya
juga sangat menentukan dalam upaya tersebut. Berikut ini beberapa kode etik profesi hukum,
yang apabila dipatuhi dan ditegakkan dapat menjadi upaya preventif keterlibatan aparat penegak
hukum dalam kasus kejahatan dan lingkaran mafia peradilan.
Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan bahwa setiap anggota Polri harus
menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori setiap tindakan mengatasi
kesulitan masyarakat sekelilingnya. Disamping itu, setiap insan Polri juga diharapkan mampu
mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan wewenang.
Sementara dalam korps Adhyaksa, diantaranya jaksa dilarang menerima atau meminta hadiah dan
tidak boleh menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain,
termasuk dalam merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara.Dalam kode etik hakim juga
diatur beberapa larangan, seperti dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan
dengan perkara yang akan dan sedang ditangani. Kemudian dilarang juga untuk menerima
sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
Advokad merupakan profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam pengadilan maupun
diluar pengadilan, yang kinerjanya juga mempengaruhi bagaimana kualitas penegakan hukum.
Kode etik advokad, khususnya dalam hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat
hukum tidak dibenarkan memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau menjamin
perkara kliennya akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai salah satu profesi hukum
juga memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya, karena notaris juga ikut serta
dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang hukum. Dalam kode etiknya diatur bahwa
notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur,
tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Apabila kita amati beberapa ketentuan dalam kode etik profesi hukum tersebut, kesemuanya
mewajibkan agar setiap profesi hukum itu dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada
penyalahgunaan wewenang. Namun demikian, dalam prakteknya, kode etik profesi hukum yang
mengandung pertanggungjawaban moral untuk menjaga martabat profesi, kini banyak dilanggar.
Oleh karena itu perlu ada reformasi internal aparat penegak hukum secara konsisten, profesional
dan berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika profesi hukum.
Tentang Asta Qauliyah
Asta Qauliyah aka Asri Tadda adalah seorang blogger lelaki yang aktif
berkecimpung di dunia bisnis online sejak tahun 2007. Ia juga founder AstaMedia
Group, perusahaan internet marketing dan blog advertising yang berpusat di
Makassar dengan sejumlah layanan global. Profil selengkapnya...
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of
Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu
itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter
yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates
yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter
dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah
dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional
berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan
kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip
moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian
disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam
membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan
latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy
(menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan
untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan
lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik
profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK
(Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di
tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya,
yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa
akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai
sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti
kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan
MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.
Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan
pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk
didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran
disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang
timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya,
yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan
adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan
perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan
disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana
dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku
pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula
diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya.
Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,
teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga
Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit,
hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan
dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum
pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya
bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian
keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula
yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing,
tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang
informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan
dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan
kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang
dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable
doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada
perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah
DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang
disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan
berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional
conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun
demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya
memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi
skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus
Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan
kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu
menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)
Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena berbagai
hal sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu untuk
menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %),
juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK
(bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa hukum
sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang eligible
sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.
Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada 24 kasus
diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus pengaduan) memang
telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa
pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula kasus-kasus pelanggaran
etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan
pasien (fenomena gunung es).
Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah
melanggar pasal 2 yang berbunyi Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi Setiap dokter harus
menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri, pasal 7 yang berbunyi Seorang
dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya, dan pasal 12 yang berbunyi Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal.
Apabila dilihat dari cabang keahlian apa yang paling sering diadukan oleh pasiennya adalah :
SpOG (24), SpB (17), DU (14), SpPD (10), SpAn (7), SpA (4), SpKJ (3), SpTHT (4), SpJP (2),
SpM (2), SpP (2), SpR (2) kemudian masing-masing satu kasus adalah SpBO, SpBP, SpBS, SpF,
SpRM, SpKK, SpS dan SpU. Mereka pada umumnya bekerja di rumah sakit atau klinik ( 90 % ),
bukan di tempat praktek pribadi.
Dan apabila dilihat dari sisi pengadunya, maka terlihat bahwa pada umumnya pengadu adalah
pasien atau keluarganya, tetapi terdapat pula kasus-kasus yang diajukan oleh rumah sakit tempat
dokter bekerja dan oleh masyarakat (termasuk media masa).
Dari sisi issue yang dijadikan pokok pengaduan, atau setidaknya terungkap di dalam
persidangan, dapat dikemukakan bahwa menduduki tempat teratas adalah komunikasi yang tidak
memadai antara dokter dengan pasien dan keluarganya. Kelemahan komunikasi tersebut muncul
dalam bentuk : kurangnya penjelasan dokter kepada pasien baik pada waktu sebelum peristiwa
maupun sesudah peristiwa, kurangnya waktu yang disediakan dokter untuk dipakai
berkomunikasi dengan pasien, komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien.
Ditinjau dari sisi sanksi yang diberikan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya diberikan
sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Terdapat dua kasus diberi sanksi reschooling.
Tidak ada yang memperoleh sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktek.
Dari sekian banyak yang ditolak oleh MKEK terdapat kasus-kasus sengketa antar dokter,
sengketa dokter dengan rumah sakit, dan surat kaleng; sedangkan mereka yang mencabut
kasusnya umumnya tidak diketahui alasannya, hanya sebagian yang menyatakan sebagai akibat
dari upaya damai.
Kesimpulan
Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa
adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan
pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar
manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan
sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.
Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik profesi
yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct), kepada para
dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program
berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum kedokteran,
pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak
dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan
Indonesia (termasuk adaptasi).

You might also like