Professional Documents
Culture Documents
Vinka Emilda
Manajemen Pendidikan kelas Soroako Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar Tahun 2010-2011
Bab 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolahsekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya. Dr Fasli Jalal, PhD Direktur Jendral Peningkatan Kualitas Guru dan Tenaga Pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia menyatakan bahwa ada dua jenis sekolah yang dibuat pemerintah untuk memenuhi kebutuahn warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus, yaitu 1) sekolah yang menyediakan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa 2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusi Siswa sekolah khusus di Indonesia meliputi tuna netra, tunarungu, tuna grahita ringan, tunagrahita sedang,tuna daksa ringan,tuna daksa sedang dan autisme. Adapun aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam
menyelenggarakan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut: 1) Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang beragam. 2) Guru menghargai semua anak di kelas 3)Guru berdialog dengan siswanya 4)Guru mendorong terjadinya interaksi di antara anakanak 5) Guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan 6)Guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya 7)Guru menyiapkan tugas yang disesuaikan untuk anak 8) Guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif untuk semua anak. Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak diskriminatif, menghargai semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari anak. Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Sejak tahun 1997 di Soroako mulai teridentifikasi anak yang menderita Autisme dan spektrumnya.Mula-mula terdeteksi tiga orang anak.Di mana ketiganya menderita autisme yang tidak sama tingkatannya. Berdasarkan teori yang ada autistic memiliki spektrum atau tingkatan yang berbeda sesuai dengan gangguan otak dan saraf yang dideritanya serta kemampuan intelektual yang dimilikinya. Sejak itulah diadakan sebuah kelas sebagai tempat terapi anak autis dan spektrum autis di dalam lingkungan sekolah Yayasan Pendidikan Soroako. Kelas ini dilengkapi dengan perlengkapa terapi,dokter
dengan koordinator sekolah khusus Pelita Mandiri Anak berkebutuhan Khusus (ABK) sebanyak 70 orang anak di Soroako anak berkebutuhan khusus degan beberapa jenis yaitu spektrum autis ADHD( Attention Deficit and Hyperactive Disorder ) Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif, dan SL (Slow
Learner). Yang meningkat jumlahnya beberapa tahun terkhir ini adalah jenis ADHD (Attention Deficit and Hyperactive Disorder ).
Anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan terapi di kelas khusus, mereka juga diberi kesempatan belajar bersama anak-anak normal di sekolah(kelas) reguler. Dengan tujuan supaya mereka dapat bersosialisasi dengan anak-anak normal,percaya diri serta dapat mengasah kemampuan/bakat yang mereka miliki. Anak Berkebutuhan Khusus ketika berada dan belajar di kelas reguler,mereka diperlakukan dan mendapat pelajaran dengan kurikulum sama dengan anak-anak normal.Hal ini tidak sesuai dengan keadaan yang seharusnya terjadi sesuai dengan teori manajemen pembelajaran inklusi. Dimana ABK belajar bersama anak-anak normal tetapi dalam menerima materi pelajaran yang sama,kurikulum seharusnya berbeda,sesuai dengan kekhususan yang diderita anak. Dari informasi yang peroleh ternyata guru yang mengajar ABK di kelas reguler di Yayasan Pendidikan Soroako pada umumnya tidak pengetahuan tentang ABK yang ada di dalam kelas tempat memiliki mereka
mengajar,kurangnya komunikasi antara guru kelas khusus Pelita Mandiri dengan guru kelas reguler,dan kebanyakan orang tua siswa berkebutuhan khusus, kurang bisa diajak bekerja sama dalam menindak lanjuti kemajuan perkembangan anak mereka. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian manajemen pembelajaran siswa berkebutuhan khusus(ADHD) yang ada di sekolah umum Yayasan Pendidikan Soroako khususnya di SD YPS Singkole. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses pelaksanaan manajemen pembelajaran bagi siswa yang dengan diagnosa ADHD, di SD YPS Singkole? C.Tujuan Penelitian 1. Mengetahui proses manajemen pembelajaran siswa dengan diagnosa ADHD, di SD YPS Singkole
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi guru : guru dapat belajar cara mengajar yang baru bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam memiliki keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan anak untuk memperoleh hasil yang positif. 2. Bagi orangtua : orangtua dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah dengan lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah, orangtua merasa dihargai dan menganggap dirinya sebagai mitra setara dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas untuk anaknya.
Bab II KAJIAN TEORI DAN KERANGAKA PIKIR A.Kajian Teori Pembangunan pendidikan
menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan pendidikan mencakup berbagai dimensi yang luas dan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan secara faktual merupakan pengalaman belajar seseorang sepanjang hidup. Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan resmi Unesco tentang pendidikan untuk semua (education for all atau EFA) pada tahun 1990. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa setiap orang di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Artinya pendidikan dapat dilakukan dengan tanpa mengenal batas usia, ruang, dan waktu. Setiap warga negara berhak untuk mendap atkan pendidikan dan Pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang keberlangsungan proses pendidikan. Hal sesuai dengan apa yang telah digariskan pada Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2). Pendidikan juga tidak mengenal pembatasan bentuk dan kegiatan, dalam hal ini pendidikan dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah, pondok pesantren, perguruan-perguruan, dan lain sebagainya. Kesadaran masyarakat (global) terhadap hak azasi manusia (HAM) semakin tinggi. Hal ini menyebabkan meningkatnya apresiasi terhadap keberagaman atau perbedaan. Kesadaran tersebut secara tidak langsung mengubah paradigma penyeragaman dan penyemarataan menjadi sesuatu yang tidak lazim. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai sesuatu yang patut disyukuri. Karena dengan adanya perbedaan setiap manusia
dapat berinteraksi untuk saling melengkapi kekekurangannya. Oleh karena itu adanya perbedaan di antara manusia tidak harus diperlakukan ekslusif. Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sistem segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang membedakan antara sekolah reguler dan sekolah bagi an ak-anak yang memiliki kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Sistem segregasi dipandang tidak berhasil. Sistem ini tidak dapat mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat hidup secara mandiri. Menurut Budiyanto (2006), sistem segregasi tidak mampu lagi mengemban misi utama pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Sistem segregatif cenderung diskriminatif, eksklusif, mahal, tidak efektif dan tidak efisien, serta outputnya tidak menjanjikan sesuatu yang positif. Disebutkan pula oleh Reynolds dan Birch (1988), bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Upaya-upaya tersebut tidak terlepas dari berubahnya pandangan tentang layanan pendidikan bagi para penyandang cacat atas dasar pendekatan humanistik. Pendekatan ini sangat menghargai manusia sebagai manusia yang sama (equal) dan memiliki kesempatan yang sama besarnya (equity) dengan manusia lainnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini sesuai dengan deklarasi universal tentang hak azasi manusia tahun 1948, bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. Berikutnya konvensi PBB tentang hak anak pasal 28 yang menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua. Lebih lanjut konvensi tersebut menyatakan non diskriminasi, khususnya bagi penyandang cacat, hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, hak untuk mendapatkan yang terbaik, dan hak untuk dihargai pendapatnya.
Inklusi pada hakekatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang merupakan bagian yang berharga dari masyarakat dengan tanpa memandang perbedaan. Sopiah (2006) mengemukakan pendapatnya tentang falsafah inklusi bahwa: inklusi memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang sama sederajat walaupun berbeda-beda, manusia sebagai individu diciptakan untuk satu masyarakat, sehingga masyarakat yang normal ditandai dengan adanya keberagaman individu. Oleh karena itu keberagaman yang terjadi di satu masyarakat adalah sesuatu yang lumrah (normal). Keberagaman individu yang terjadi di masyarakat dapat berupa perbedaan sosial kultural, sosio-emosional, kelainan fungsi anggota tubuh, kelainan fungsi mental dan inteketual, dan sebagainya. Pendidikan Inklusi memerlukan berbagai dukungan dari berbagai aspek, antara lain pendidik (yang mampu memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan) dan tenaga kependidikan yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter, psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi, dan kondisi khusus pada siswa, sekolah perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa dilakukan, yaitu asesmen fungsional dan asesmen klinis. a. Asesmen Fungsional
Asesmen ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di sekolah. b. Asesmen Klinis
Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang : Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Permendiknas ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2009. Atas dasar semua inilah pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan inklusif dengan segala konsekuensi yang ada Bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama anak-anak normal lainnya karena orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum dan bukan di sekolah luar biasa (SLB). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Filosofi Inklusi adalah mengenai;kepemilikan, keikutsertaan dalam komunitas sekolah dan keinginan untuk dihargai. Lawan katanya adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan Pendidikan Inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengikuti program pendidikan, namun melihat pada guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu. (Els Heijnen, EENET asiaENABLING EDUCATION, Versi Bahasa Indonesia, EDISI 1 JUNI 2005 Sekolah berparadigma inklusif merupakan sekolah yang menghargai keragamanan semua anak, menggunakan metode, strategi, dan sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, dan adil, karena semua anak diuntungkan, termasuk anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah mereka yang mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara (temporer), yang disebabkan oleh kondisi sosial-emosi,
dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan oleh kelainan/ kecacatan/ keterbelakangan mental saja, tapi mencakup juga anak-anak autistik, anak dengan hambatan konsentrasi dan atensi (ADHD = Attention Deficite Hyperactivity Disorders), anak berkesulitan belajar(SlowLearner), anak yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa, dan sejumlah besar anak usia sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus. Lebih jauh lagi, Mastropieri dan Scruggs menyatakan bahwa meskipun dalam inklusi peserta didik berkebutuhan khusus dapat menerima instruksi di setting yang berbeda seperti di ruang sumber jika diperlukan, tetapi kelas umum tetap merupakan ruang utama peserta didik berkebutuhan khusus belajar. Dalam sistem inklusi, dikenal pula inklusi penuh (Full Inclusion), dimana semua peserta didik berkebutuhan khusus ditempatkan di sekolah umum yang dekat dengan rumah mereka dan mengikuti pendidikan bersama dengan peserta didik -peserta didik reguler secara penuh (tidak ada pemisahan atau perpindahan kelas sewaktuwaktu) dan guru kelas memiliki tanggungjawab utama dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus tersebut (Hallahan & Kauffman, 2006). Guru kelas
umum (reguler) dibantu oleh Guru Pembimbing Khusus (GPK) atau shadow pada waktu-waktu tertentu. Peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti semua kegiatan kelas umum (regular) dan menjadi bagian anggota kelas tersebut. Mendapat tugas yang sama dengan peserta didik reguler dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan anak. Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses pengaturan dan pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif meliputi perencanaan, pelaksanaan, menitoring dan evaluasi serta tindak
lanjut hasil evaluasi. Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses yang terkait erat dengan tujuan dan efektifitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anak, tanpa kecuali. Pada tataran mikro manajemen inklusif diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensinya secara optimal. Pengelolaan sumber daya pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif hampir tidak berbeda dengan pengelolaan sumberdaya pada satuan pendidikan lainnya. Sumber-sumber daya tersebut antara lain: (1) peserta didik, (2) kurikulum, (3) proses pembelajaran, (4) penilaian, (5) pendidik dan tenaga kependidikan, (6) sarana dan prasarana, (7) pembiayaan, dan (8) sumberdaya masyarakat. Menurut Hallahan dan Kauffman (2006) hal yang perlu diperhatikan dalam membantu partisipasi peserta didik berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah reguler adalah akomodasi dan adaptasi yang efektif, serta modifikasi dalam pengajaran dan asesmen bagi peserta didik berkebutuhan khusus termasuk pengajaran/pemberian instruksi yang efektif. Oefsted dalam Ainscow (Sue Stubbs: 40) menyatakan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusif. Susan Skipper (2006) dalam
http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/ skipper.doc menyatakan, penting untuk menggabungkan model sekolah yang efektif dengan model sekolah inklusif, karena dengan menggabungkan keduanya dapat diperoleh suatu gambaran (framework) untuk sekolah yang efektif bagi semua anak. Menurut Heneveld & Craig (1996) dalam Susan Skipper (2006), (http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/skipper.doc) ada empat faktor utama penting yang dapat mempengaruhi keluaran siswa, yaitu:
1)Masukan yang mendukung dari luar sekolah (supporting inputs
3) Iklim sekolah (school climate) 4) Proses belajar-mengajar (teaching/learning process) Menurut Larrivee dalam Mastropieri dan Scruggs (2000), guru di sekolah inklusi dapat membuat peserta didik berkebutuhan khusus memiliki prestasi
akademik yang tinggi harus : a) efisien dalam menggunakan waktu b) memiliki hubungan yang baik dengan peserta didik, c) memberikan sejumlah umpan balik yang positif d) mempertahankan nilai keberhasilan yang tinggi e) memberikan respon yang mendukung bagi peserta didik secara umum f) memberikan respon yang mendukung juga bagi anak yang berkemampuan rendah (low-ability student). Model pendidikan inklusif adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming,seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut: 1. Kelas reguler (inklusi penuh): Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2. Kelas reguler dengan cluster: Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3. Kelas reguler dengan pull out: Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out: Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian: Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. 6. Kelas khusus penuh: Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler Kompetensi Guru Kualifikasi yang diinginkan dan dibutuhkan oleh guru pendidikan kebutuhan khusus tergantung pada berbagai faktor kontekstual. Hasil dari suatu program yang mendidik guru pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh ideologi dan pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya serta jenis
kesempatan belajar yang mereka dapatkan melalui program dan mata kuliah yang tercantum dalam kurikulum. Adapun aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam
menyelenggarakan sekolah yang inklusif adalah sebagai berikut: 1) Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan kemampuan ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar
pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan mengeksplorasi/menggali sumber lain kemudian mempraktekkannya di dalam kelas. 2) Semua anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik,intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani semua Pemerintah di dunia termasuk Indonesia. 3) Guru menghargai semua anak di kelas, guru berdialog dengan siswanya; guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-anak; guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru menyiapkan
tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif untuk semua anak. 4) Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama. Merek yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak diskriminatif, menghargai semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari anak. 5) Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Di samping itu, di dalam pendidikan inklusif tidak ada kekerasan terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik. Lingkungan tersebut mendorong guru, pengelolah/ kepala sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas peserta didik beserta guru bertanggung jawab kepada pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi didalamnya. Belajar berkaitan dengan materi apa yang dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupannya. Lingkungan yang inklusif, ramah terhadap pembelajaran juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai guru. Ini berarti memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar bagaimana mengajar yang lebih baik. Jadi pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara khusus melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam kehidupan alami dan normal di sekolah atau masyarakat, serta memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan yang tidak kondusif.(Anita E Woolfol,2004)
ADHD Gangguan perilaku yang khas disebut dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH). ADHD adalah istilah psikiatrik yang dipakai untuk menyebut gangguan perilaku yang ditemukan pada anak. V. Mark Durand & David H. Barlow membagi dua gangguan ini yaitu, (1) perilaku hilang atau beralihnya perhatian, dan kesulitan mengorganisasi tugas-tugas. Inatensi ini juga sering disebut ADD (Attention Deficit Disorder). (2) Hiperaktif-impulsive, yaitu perilaku yang tidak terkendali, dan sikap impulsive atau terburu-terburu yang berlebihan ADHD merujuk kepada masalah perilaku anak yang berkaitan dengan gangguan pemusatan perhatian dan perilaku yang berlebihan atau sering diistilahkan dengan hiperaktif. Sampai saat ini belum jelas faktor apa yang dapat menyebabkan munculnya ADHD, meskipun banyak penelitian yang dilakukan dalam bidang neurologi dan ilmu genetika sepertinya menunjukkan sedikit titik terang. Banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis sebagai penyebab ADHD, meskipun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga membantu menentukan perilaku anak yang spesifik. Studi terhadap gambar otak menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan penyebab tidak berfungsinya disebabkan karena adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter atau penghantar sinyal-sinyal saraf pada lobus frontal (salah satu bagian otak besar), ganglia basal, dan cerebellum (otak kecil). Selain faktor genetik, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan memiliki kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur, konsumsi alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi, dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim bahwa zat aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat memunculkan ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang akurat (Barkley, 1998; NIMH, 1999). Secara umum masalah yang dialami oleh anak dengan gangguan ADHD adalah pengendalian perilaku, fungsi pelaksanaan perilaku, pengaturan jadwal dan kesadaran akan waktu, serta perilaku yang menetap dalam mencapai tujuan.
Penelitian terbaru oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA) yang dipublikasikan di jurnal American Medical Association, September 2008 lalu, belum berani memastikan penyebab gangguan ini, walau telah berhasil memetakan lokasi penyebab ADHD di bagian otak. Penelitian soal ADHD pertama kali dipublikasikan George F. Masih pada 1902 silam. Namun meski telah lebih dari 1 abad, penyebab pasti ADHD belum sepenuhnya dipahami. Hasil penelitian menunjukkan, ada banyak faktor mendasar dalam ADHD diantaranya kurangnya perhatian, impulsif dan hiperaktif. Penyebabnya dikaitkan dengan masalah genetik dan kerentanan neurobiologis. Tapi masalah dasar dianggap dalam gangguan neurotransmitter tertentu dalam otak. Hasil penelitian NIDA menunjukkan bahwa transmisi dopamin, yakni sejenis zat kimia yang diperlukan untuk fungsi normal dari sistem saraf pusat, terganggu dalam beberapa jalur otak pada orang dengan ADHD.
Kesimpulan itu diambil Dr. Nora Volkow dan rekan membandingkan 54 foto otak orang dewasa dengan ADHD dan 44 orang dew asa tanpa gangguan. Para peneliti menemukan bahwa otak dari orang-orang dengan ADHD, memiliki konsentrasi dopamin reseptor dan transporter yang berkurang, khususnya di daerah-daerah yang terlibat dengan imbalan dan motivasi, dan gangguan ini berhubungan langsung dengan keparahan kekurangan perhatian. Temuan ini dapat menjelaskan mengapa anak-anak dan orang dewasa dengan ADHD mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas, ketika tidak ada hadiah langsung, namun mampu berkonsentrasi saat kegiatan yang mereka sukai atau yang d apat diselesaikan dengan mudah. Para peneliti mengatakan hal itu mungkin juga menjelaskan mengapa pasien ADHD cenderung komplikasi dengan
penyalahgunaan narkoba dan obesitas. Jalur ini memainkan peran penting dalam penguatan, motivasi, dan dalam mempelajari bagaimana menghubungkan berbagai rangsangan dengan imbalan, kata Volkow.
Dr Andrew Adesman, kepala pediatri perkembangan dan perilaku di Schneider Childrens Hospital di New York, menyetujui hasil studi tersebut. Ia menyebutkan, harus dilakukan penelitian lanjutan terhadap hubungan antara ADHD dan defisit dopamin di daerah tertentu dari otak pertengahan. Namun ia menyatakan, meskipun ada kemajuan identifikasi penelitian pada otak pasien dengan ADHD, diagnosis klinis ADHD tetap satu, ADHD tidak dapat didiagnosis dengan neuroimaging, ujarnya. Volkow mengatakan hasil penelitian mereka juga memperteguh kepercayaan untuk terus menggunakan obat stimulan dalam pengobatan ADHD, karena hal itu akan memperbaiki jalur dopamin dalam meningkatkan motivasi dan meningkatkan perhatian pada tugas-tugas kognitif. Tapi penelitian ini harusnya juga menggugah semua orang untuk lebih perduli pada ADHD, terutama para guru dengan murid yang ADHD, ujarnya. Ia menyebutkan, salah satu masalah pada anak dengan ADHD adalah masalah motivasi. Para guru, ujarnya, dapat mencari cara untuk meningkatkan daya tarik dan relevansi sekolah bagi anak-anak ini. Ini kesempatan besar untuk mengembangkan kurikulum yang jauh lebih menyenangkan dan menarik untuk anak-anak menderita ADHD, tandasnya. ADHD diperkirakan mempengaruhi tiga hingga tujuh persen dari anak-anak Amerika. Rata-rata, paling tidak satu anak di setiap kelas di Amerika Serikat membutuhkan bantuan untuk gangguan ini. Namun, lebih dari separuh anak-anak ADHD akan terus menampilkan karakteristik dari gangguan selama masa remaja dan dewasa. (*els/hn/bo) http://matanews.com/2009/10/08/adhd-bersumber-di-otak/ Selain itu disebutkan bahwa 20-60 % anak dengan ADHD juga mengalami kesulitan belajar (Sandra F. Rief, 2008). Hubungan antara ADHD dengan
kesulitan belajar sangat bisa dimengerti ketika anak dengan ADHD kehilangan perhatian dan konsentrasi pada pelajarannya, dan justru beralih perhatian pada situasi-situasi umum di lingkungan belajarnya, seperti gambar di dinding, suara kendaraan di lluar kelas, dan sebagainya. Pada siswa hiperaktif-impulsif, kecenderungan yang selalu bergerak dan berpindah tempat, serta perilaku yang terburu-buru dan tidak bisa dikendalikan tentunya juga menghambat proses
belajarnya. Secara umum gangguan belajar anak ADHD dalam membaca dan menulis adalah kehilangan konsentrasi dan tidak bisa fokus. Dalam matematika, anak ADHD ini seringkali kesulitan dalam membaca tanda operasi hitungan dan kesulitan dalam memahami dan mengerjakan soal cerita (Sandra F. Rief, 2008).
pemahaman
tentang
manajemen juga mengalami perkembangan secara luas. Manajemen diartikan sebagai mengelola orang-orang, mengambil keputusan dan mengorganisasi sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan yang telah ditentukan. Demikian definisi Ernest Dale dalam buku Manajemen Pendidikan Indonesia yang ditulis Prof. Dr. Made Pidarta. Pengertian yang lain ialah menekankan pengaturan orangorang yang tugasnya mengarahkan usaha ke arah tujuan-tujuan melalui aktivitasaktivitas orang lain atau membuat sesuatu dikerjakan oleh orang-orang lain.(Massie,1973). Sesuatu aktivitas menggerakkan oarang lain, suatu kegiatan memimpin, atas dasar sesuatu yang telah diputuskan terlebih dahulu (Siagian, 1979) Pada bagian lain buku tersebut Prof. Dr. Made Pidarta mengutip pandangan Robert N. Anthony yang mengatakan bahwa para pemimpin organisasi disebut para manajer, sedangkan secara kolektif mereka disebut manajemen (Anthony, 1976). Secara umum manajemen diartikan sebagai proses mengintegrasikan sumbersumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan (Johnson, 1973). Belajar adalah perubahan perilaku, sedangkan pembelajaran dipandang sebagai proses kegiatan menggerakkan orang-orang untuk belajar. Dalam kegiatan pembelajaran akan tercipta berbagai teknik-teknik yang bersifat kelembagaan, artinya disesuaikan dengan lembaga pendidikan tertentu, seperti 1) teknik menciptakan masyarakat belajar di sekolah, 2) teknik menciptakan masyarakat ilmiah di perguruan tinggi, 3) teknik mengadakan dan mengatur sumber belajar, 4) teknik meningkatkan partisipasi alumni dan masyarakat, 5) teknik meningkatkan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang
sejenis, dan 6) teknik ketatausahaan yang tepat waktu dan konsisten. Beberapa isu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar antara lain: 1) variasi aktivitas belajar cenderung kurang menyeluruh, dan hanya didasarkan pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang guru; 2) aktivitas pendidikan yang diperoleh siswa terbatas; 3) aktivitas siswa kurang berorientasi kepada gaya hidup di masa mendatang. Berdasarkan pemikiran tersebut manajemen pembelajaran dapat diartikan sebagai usaha ke arah pencapaian tujuan-tujuan melalui aktivitas-aktivitas orang lain atau membuat sesuatu dikerjakan oleh orang-orang lain berupa peningkatan minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang siswa (orang yang belajar), dengan memperluas cakupan aktivitas (tidak terlalu dibatasi), serta mengarah kepada pengembangan gaya hidup di masa mendatang. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan manajemen pembelajaran inklusif secara umum: 1. Sosial emosional Mengembangkan interaksi dan komunikasi yang bermakna yang merupakan dasar bagi semua hubungan sosial dan pembelajaran Mengembangkan hubungan pertemanan yang tulus Mengembangkan harga diri yang baik 2. Pembelajaran dan perkembangan keterampilan Mengembangkan keterampilan bahasa fungsional Memperoleh penguasaan dan kompetensi melalui hubungan teman sebaya 3. Penyiapan dan penataran para profesional yang bekerja dalam seting inklusif: Memperoleh pengalaman yang cukup Memperoleh pengetahuan baru Dapat berpartisipasi dalam memperkenalkan perubahan yang diperlukan dalam manajemen kelas dan sekolah agar proses inklusi dapat berjalan .
Memobilisasi kreatifitas yang cukup sehingga dapat benar-benar memenuhi kebutuhan setiap siswa. Memastikan bahwa semua anak mengembangkan interaksi, khusus. komunikasi dan bahasa yang fungsional Memperoleh dukungan profesional. (Menuju Inklusi dan Pengayaan Miriam Donath Skjrten,2001) Seorang guru kelas reguler harus memahami bahwa bukan ABK tidak ingin mengikuti aturan, hanya pikiran mereka gagal menginternalisasikan konsekuensi dari perilaku yang tidak pantas mereka lakukan. Bila guru mendapati perilaku ABK seperti ini, penting untuk tetap tenang lalu lakukan pendekatan. Informasikan kepada mereka bahwa jika melakuka perbuatan tidak baik,ada konsekuensinya. Guru harus menetapkan standar dan aturan yang jelas di dalam ruang kelas. Anak dengan ADHD seringkali diperparah oleh perubahan dan gangguan struktur. Anda tidak harus membuat pengecualian khusus untuk anak dengan kondisi ini. Hal ini dimungkinkan untuk mengajari mereka benar dan salah, dan penegakan peraturan kelas adalah cara penting dan efektif untuk melakukan hal ini. Sistem manajemen kelas yang kuat membantu semua siswa mengembangkan perilaku kelas yang positif, kebiasaan belajar, dan keterampilan organisasi. Untuk siswa dengan gangguan kurang perhatian , manajemen perilaku sistem ini sering memberikan struktur yang mereka butuhkan untuk mengelola perilaku mereka sendiri setiap hari. Mengurangi gangguan anak-anak dengan ADHD harus dilakukan dengan hati-hati sehingga harga diri anak dapat dipertahankan,
terutama di depan orang lain. Mengembangkan "bahasa rahasia" dengan anak dengan ADHD dengan menggunakan gerak tubuh atau kata-kata bijaksana . Membuat kesepakatan supaya Mereka tidak menyela pembicaraan. Pujilah prbuatan baik yang mereka lakukan. Metode untuk mengelola perilaku impulsif yaitu, menegakkan aturan terhadap pelanggaran yang dilakukan dapat memebuat anak-anak dengan ADHD menumbuhkan kontrol perilaku
terhadap diri mereka. Beberapa metode tersebut adalah: 1.Aturan dibuat tertulis dan diletakkan dekat ABK. 2. Berikan konsekuensi segera setelah perilaku. Berikan penjelasan yang spesifik sehingga anak tahu bagaimana mereka bertingkah. 3. Berikan pujian jika anak berperilaku baik.
4. Tulis jadwal setiap hari di papan tulis atau pada selembar kertas dan mencoret setiap item sudah selesai dilakukani. ABK mendapat
dorongan kontrol terhadap perilaku dan merasa tenang ketika mereka tahu apa yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.
Di dalam ruang kelas tempatkan anak dengan ADHD jauh dari pintu dan jendela. Meja kursi belajar di kelas di posisikan berjajar,sendiri-sendiri tidak berkelompok. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan anak lain(normal) mengganggu ABK atau ABK yang mennganggu temannya. Menulis informasi penting di mana anak dapat dengan mudah membaca referensi itu. Ingatkan siswa di mana informasi dapat ditemukan.
Memberikan tugas pada anak ADHD dari yang mudah mereka pahami lalu meningkat lebih sulit. Guru membantu ADHD mengelola perilaku dengan cara memberi penguatan positif, penguatan negatif, dan kontinjensi respon sehingga ABK dapat mencapai potensi akademik yang memuaskan . Kuncinya adalah konsisten dalam menerapkan konsekuensi positif dan negatif. Orang tua dan pendidik, bersama konseling, dapat bekerja sama membantu siswa ADHD menjadi orang dewasa mandiri. Manajemen yang efektif harus mencakup beberapa komponen berikut:
1.Peningkatan pemahaman ADHD. Unsur paling mendasar yang efektif mengelola gangguan ini adalah pemahaman tentang ADHD kepada guru, orang tua, dan para siswa dengan ADHD sendiri. Rasa empati guru dan orang tua akan meningkatkan kemampuan mereka untuk menjadi efektif
dan
melihat
kesulitan siswa
daripada
kenakalan. Siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sikap positif tentang belajar kurangnya daripada bersandar pada label sebagai alasan untuk dan ketidak berdayaan yang dipelajari.
upaya
2. Peningkatan Keterampilan untuk Mengelola Siswa dengan ADHD Ketika pendidik memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang strategi manajemen ADHD, mereka dapat berhasil merencanakan dan memberikan suatu aktivitas. Selain belajar tentang pengelolaan gangguan ADHD, guru dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang lain yang telah bekerja dengan siswa ADHD. Hubungan antara seorang guru dengan siswa ADHD memberi pengaruh positif yang paling signifikan. Seringkali, siswa yang kurang memiliki kemampuan sosial dan mengalami kesulitan belajar menderita merasa kehilangan harga diri. Siswa ADHD sebaya. Beberapa kegiatan yang dapat meningkatkan harga diri siswa: perlu bantuan dengan masalah penerimaan teman
Partisipasi dalam aktivitas, terstruktur disiplin seperti karate, taruna atau balet, Keterlibatan dalam olahraga individu seperti berenang, berlari ataupermainan, Sebagai contoh kerjasama yang efektif antara guru dan orang tua siawa ADHD, sebuah buku komunikasi ditandatangani oleh orang tua dapat digunakan untuk memastikan bahwa orangtua menyadari masalah yang muncul di kelas dan guru menyadari masalah yang muncul di rumah. Keduanya harus memastikan ba hwa pesan-pesan positif dapat menumbuhkan semangat bagi siswa ADHD. Bagi siswa dengan kesulitan yang parah, laporan kemajuan harian atau mingguan untuk orang tua dapat membantu guru untuk melibatkan orang tua dalam memberi dukungan. Peran Orang Tua Sekolah menciptakan berbagai tantangan untuk anak-anak ADHD , tetapi dengan kesabaran dan rencana yang efektif, anak ADHD dapat berkembang di dalam kelas. Guru dapat membantu menyediakan dukungan tetapi dapat orang
tua bisa membuat memberi pengaruh terbesar dalam pendidikan anak menjadi sukses.Orang tua dapat bekerja sama dengan guru dalam menerapkan strategi praktis untuk belajar, baik di dalam dan di luar kelas. Dengan dukungan yang konsisten dari orang tua, strategi ini dapat membantu anak belajar memenuhi tantangan dan keberhasilan pengalaman di sekolah.Yang paling membuat frustrasi adalah sebagian besar anak-anak ini ingin dapat belajar dan berperilaku seperti rekan-rekan mereka . Defisit neurologis, yang menyebabkan keengganan belajar dan gangguan perhatian. Sebagai orang tua, dapat membantu anak mengatasi defisit ini dan memenuhi tantangan di sekolah. Orang tua dapat memberikan dukungan yang paling efektif yaitu berkomunikasi dengan guru bagaimanan strategi anak ADHD belajar di kelas . Hal ini sama pentingnya bagi orang tua untuk mendengarkan apa yang guru dan pegawai sekolah lainnya katakan. Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua yaitu: Rencana ke depan. Orang tua dapat mengatur untuk berbicara dengan guru sebelum tahun ajaran dimulai. Jika tahun telah dimulai, berencana untuk berbicara dengan guru atau konselor setidaknya setiap bulan. Membuat tujuan bersama-sama. Diskusikan harapan sebagai orang tua untuk keberhasila anak Memahami tantangan anak ADHD dengan mendengar apa yang anak katakan adalah kunci untuk menemukan solusi Orang tua memiliki banyak informasi tentang kesulitan pemahaman anak Pengamatan pengalaman orang tua, mendorong guru anak untuk melakukan hal yang sama. Komunikasi hanya dapat bekerja secara efektif jika jujur. Orang tua dapat membantu dengan mengembangkan rencana perilaku anak dan konsisten.Jika anakberperilaku baik berikan hadiah kecil untuk kemenangan kecil dan penghargaan yang lebih besar untuk prestasi yang lebih besar. Kurikulum inklusi
Di banyak negara, kurikulum dirancang secara terpusat, kaku, hanya sedikit ruang bagi guru untuk membuat adaptasi lokal dengan mencoba pendekatan baru. Isinya berbeda jauh dengan kenyataan dimana siswa tinggal,dan oleh karenanya kurang mengena dan tidak dapat memberikan motivasi. Kemungkinan juga karena bias jender, meremehkan atau mengasingkan kelompok sosial budaya tertentu, dan ini membatasi kemajuan dan pengakuan bagi semua siswa. Pendekatan responsif mengkritik pengajaran berdasarkan kriteria rata-rata. Pendekatan ini menempatkan siswa pada pusat pembelajaran berdasarkan apresiasi perbedaannya dalam pemahaman,perasaan, ketrampilan sosial dan persepsi, serta mendorong guru untuk kreatif, berbagi dan mencari solusi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa. Pengadaptasian kurikulum inklusif berdasarkan pada: Kebutuhan siswa Pengetahuan tentang teori belajar secara umum Pengetahuan tentang perlunya interaksi dan komunikasi untuk proses belajar Pengetahuan tentang apa yang harus dipertimbangkan ketika membuat penyesuaian Pengetahuan tentang bagaimana kondisi khusus dan kecacatan dapat mempengaruhi belajar Pengetahuan tentang pentingnya melakukan penyesuaian lingkungan Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian Kondisi lingkungan dan budaya setempat(Menuju Inklusi dan Pengayaan Miriam Donath Skjrten,2001)
kriteria evaluasi
yang dapat digunakan untuk menilai hasil belajar. Sebelum memutuskan jenis pendekatan instruksional yang akan digunakan siswa ADHD, terlebih dahulu mempertimbangkan tuntutan kognitif dan linguistik dari bidang kurikulum yang diajarkan. Selain itu, penting untuk menganalisis keduanya: isi dari setiap bidang kurikulum tugas-tugas yang digunakan dalam kegiatan belajar dan evaluasi kinerja Analisis tugas adalah sebuah metode yang digunakan untuk menilai secara sistematis komponen belajar dan tugas-tugas evaluasi. Oleh karena itu keputusan instruksional dapat dilakukan dengan memberi dukungan yang diperlukan untuk melakukan tugas lebih berhasil. Pertanyaan kunci untuk bertanya ketika merenungkan belajar dan tugas kinerja termasuk: Apa pengetahuan awal atau pra-keterampilan yang dibutuhkan untuk tugas tersebut? Bagaimana tugas yang disajikan? Apa saja persyaratan respon tugas? Anak-anak ADHD mengalami kesulitan dengan jenis kurikulum tertentu dan tugas belajar karena mereka defisit dalam pengolahan kognitif, memori kerja, dan kemampuan tingkat bahasa yang tinggi. Anak ADHD mengalami kesulitan dengan: Konsep-konsep abstrak dalam matematika Tugas-tugas yang membutuhkan pemprosesan bahasa yang kompleks dan panjang, baik lisan atau tertulis (misalnya, informasi teks ekspositoris dalam ilmu pengetahuan, sejarah, atau geografi)
tugas-tugas yang membutuhkan peraturan ( manajemen waktu) dan pemantauan diri tugas tertulis)
tugas-tugas yang melibatkan komponen dipercepat atau waktunya tugas-tugas yang memiliki beban kognitif tinggi ( mereka membutuhkan integrasi informasi atau pemeliharaan ide sekaligus)
Setelah menggambarkan akademik siswa, belajar, dan masalah perilaku, penting untuk mengidentifikasi tujuan khusus yang menangani perubahan positif pada kedua kinerja kelas dan produktivitas akademis. Dalam mengembangkan rencana tindakan, penting untuk: Identifikasi kebutuhan khusus siswa pembelajaran Pilih sistem pendukung tambahan untuk mendukung pencapaian Mengembangkan komponen siswa dari rencana. Komponen ini memungkinkan siswa untuk membuat pernyataan tujuan dan berpartisipasi dalam menentukan langkah kunci yang diperlukan untuk mencapai mereka ( daftar periksa diri dan strategi untuk mengatur dan tugas catatan). Mintalah orang tua siswa untuk sesi perencanaan kolaboratif di mana mereka saling bisa merencanakan strategi-strategi untuk mendukung kemajuan anak mereka menuju tujuan. Melibatkan siswa lain sebagai sumber daya untuk membantu siswa Melibatkan pendekatan tim (guru, orang tua, siswa lain) B. Kerangka Konsep
Manajemen Pembelajaran Inklusi siswa ADHD
Kompetensi guru
Siswa ADHD
BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian : kualitatif evaluatif Lokasi : SD YPS Singkole Soroako B. Fokus Penelitian (1) Kompetensi guru kelas reguler terhadap siswa ADHD (2) Pelaksanaan manajemen pembelajaran bagi siswa ADHD di kelas reguler (3) Peran guru dan orang tua dalam menindak lanjuti kemajuan siswa dengan diagnosa ADHD C. Informan diambil secara purposive(bertujuan) yaitu kepala sekolah,wakil kepala sekolah bidang kurikulum,guru-guru sekolah reguler,psikolog,shadow/guru pendamping ABK dan orang tua ABK. D. Teknik pengumpulan data: (1) wawancara (2) obsevasi (3) dokumentasi
E. Teknik analisis data : pengumpulan data,mereduksi data dan penyajian data F. Verifikasi dan penarikan kesimpulan : trianggulasi dan member check
BAB IV DAFTAR PUSTAKA Els Heijnen, EDISI 1 JUNI 2005 EENET asiaENABLING EDUCATION, Versi Bahasa Indonesia, Susan Skipper skipper.doc (2006) http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/
ABK,
jurnal
oktober
2009.
Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at Risk Students in the General Educational Classroom. Boston: Allyn Bacon. Morison, W.F., (2005). Penanganan Anak- anak ADD/ADHD, Dian Rakyat, Jakarta Skjrten, Miriam D. (ed). 2001 Introduction to History of Special Needs Education, Educational: An Introduction. Oslo, Unipub. Anupam Ahuja, EDISI 1 JUNI 2005ENABLING EDUCATION, Versi Bahasa Indonesia EENET asia, Befring, E. 2001. The Enrichment Perspective- A Special Educational Approach in a Inclusive School, In: Remedial and Special Education, Vol.18, no 3 1997:182187. Anita E Woolfilk,2004, Mendidik Anak-anak Bermasalah, Inisiasi Press, Jakarta
13