You are on page 1of 12

Peraturan Menteri Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Fri, 24/08/2007 - 09:48 | Pengunjung

Oleh: Mien Usihen A. Umum Dalam sistem hukum Indonesia, jenis dan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang dalam Pasal 7 menyebutkan: (1) a. b. c. d. e. (2) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Jika Pasal 7 tersebut tersebut dibaca seakan-akan jenis peraturan perundang-undangan bersifat limitatif, hanya berjumlah 5 (lima) yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Hal ini berarti di luar dari kelima jenis tersebut sepertinya bukan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Namun demikian Pasal 7 ayat (4) dan dalam Penjelasanya disebutkan bahwa Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat . Dari ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut, jika ditafsirkan secara gramatikal, berdasarkan interpretasi dan logika hukum, serta memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 tidak bersifat limitatif hanya yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) saja. Bahkan jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum . Lembaga/pejabat negara yang berwenang dalam hal ini adalah lembaga/pejabat negara baik di Pusat dan Daerah. Setiap lembaga/pejabat negara tertentu dapat diberikan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh Undang_undang Dasar maupun Undang-Undang. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. Kewenangan atributif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah kewenangan asli (orisinil) yang diberikan oleh UUD atau UU kepada lembaga atau pejabat tertentu, sedangkan kewenangan delegatif/derivatif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada pejabat atau lembaga tertentu dibawahnya, untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak bersifat limitatif. Artinya, di samping 5 (lima) jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1), terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama ini secara faktual ada dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Jenis peraturan perundang-undangan lain yang tidak ditempatkan pada Pasal 7 ayat (1) antara lain adalah : 1. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat pseudowetgeving); 2. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);

3. Peraturan Bank Indonesia;[1] 4. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan (regeling); 5. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) yang didasarkan pada kewenangan delegatif yang diberikan oleh Presiden, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. B. Peraturan Menteri Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah landasan formal dan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah, di dalamnya juga mengatur secara lengkap dan terpadu mengenai sistem, asas, jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang sering menjadi pertanyaan adalah kedudukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Jenis peraturan perundang-undangan lain termasuk Peraturan Menteri tersebut akan ditempatkan di mana, apakah kedudukannya di bawah Perda ataukah di atas Perda. Sebenarnya, kedudukan Peraturan Menteri bukan tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 7 ayat (4) ditegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan, selain yang terdapat di dalam hierarki tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Menteri serta peraturan lain yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara lain, termasuk dalam kategori ini. Menurut pendapat pakar ilmu perundang-undangan, Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, "Keputusan Menteri itu harusnya di bawah Keputusan Presiden karena menteri bertanggung jawab langsung kepada Presiden." Lebih lanjut menurut beliau, bahwa tidak dicantumkannya Peraturan Menteri atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan lainnya di dalam hierarki, tidak dapat kemudian ditafsirkan kedudukannya berada di bawah Perda. Tetapi, ia menyadari pula bahwa penafsiran seperti itu bisa menjadi pegangan oleh banyak orang karena memang terdapat ketidakjelasan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketidakjelasan ini, menurut Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, bisa menghambat upaya untuk mewujudkan tatanan hukum dan peraturan perundang-undangan yang tertib di masa yang akan datang. Ada dua alasan mengapa Peraturan Menteri disebutkan letaknya berada di antara Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pertama, jika Peraturan Menteri ditempatkan di bawah Peraturan Daerah akan bertentangan dengan asas hierarki. Yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, akan bertentangan dengan wilayah berlakunya peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku secara nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya mempunyai kedudukan yang lebih lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang lingkup berlakunya hanya bersifat lokal.

Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam membentuk Peraturan Menteri perlu diperhatikan landasan yuridis yang jelas. Peraturan Menteri yang dibentuk harus dapat menunjukkan dasar hukum yang dijadikan landasan pembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang-undangan terkait dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri. 1. Keberadaan Peraturan Menteri Peraturan menteri sebagai salah satu instrumen hukum masih diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Keberadaan Peraturan Menteri diperlukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya yang secara tegas memerintahkan atau mendelegasikan. Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tersebut tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, menteri dapat menetapkan peraturan yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Peraturan menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan, bersumber dari kewenangan diskresi (freies Emerssen). Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan guna mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya. Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan. Dalam pembentukan Peraturan Menteri, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah. Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Yang dapat

mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan. 2. Implementasi Peraturan Menteri Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas dapat dilaksanakan", yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Implementasi Peraturan Menteri terkait dengan kesiapan departemen secara nyata untuk melaksanakan Peraturan Menteri yang dibentuk. Pembentukan Peraturan Menteri jangan hanya didasarkan pada keinginan untuk melakukan tertib administrasi dan prosedural serta tertib lainnya yang sesungguhnya tidak perlu, tetapi juga bagaimana Peraturan Menteri tersebut dilaksanakan dan sekaligus ditegakkan. Pada saat Menteri mempunyai keinginan untuk mengatur sesuatu ke dalam Peraturan Menteri, maka hal pokok yang diperhatikan adalah sumber daya manusia (aparatur) dan sumber dana yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Menteri tersebut. Dalam hal SDM dan sumber dana belum tersedia, maka pembentukan Peraturan Menteri ditunda dulu atau jika Rancangan Peraturan Menteri telah dipersiapkan, maka pembahasannya yang ditunda. Kebutuhan pengaturan tidak dapat ditunda dalam hal pengaturan tersebut memang secara nyata diperintahkan langsung oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 3. Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri, Menteri Luar Negeri telah mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, yaitu Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Peraturan Menteri tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mendukung penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum. Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan Peraturan Menteri Luar Negeri sangat diperlukan guna memberikan acuan kepada daerah dalam mengadakan hubungan dan kerjasama luar negeri. Kebijakan Menteri Luar Negeri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya dalam penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri. Dalam Peraturan Menteri tersebut, yang dimaksud dengan Hubungan dan kerjasama Luar Negeri adalah segala kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. a. Tujuan disusunnya Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01

Adapun tujuan disusunnya Peraturan Menteri tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah adalah untuk: memberi arah, membantu, dan memfasilitasi daerah dalam melakukan hubungan dan kerjasama luar negeri; menunjang pelaksanaan pembangunan daerah;

mewujudkan kebijakan one door policy dalam hubungan dan kerjasama Luar Negeri Indonesia; dan mencegah timbulnya masalah dalam pelaksanaan kerjasama antara daerah dan pihak asing.

b. Peran dan Fungsi Departemen Luar Negeri dalam Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri disebutkan: (1) Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundangundangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah maupun non Pemerintah.

Lebih lanjut dalam Pasal 7 disebutkan bahwa: (1) Presiden dapat menunjuk pejabat selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri di bidang tertentu. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri. Di samping itu Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri . Di dalam ketentuan umum kedua undang-undang terbebut menyatakan Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri . Berkenaan dengan kepentingan daerah dalam melaksanakan hubungan dan kerjasama luar negeri, Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI berperan: a. memadukan seluruh potensi kerjasama darerah agar tercipta sinergi dalam peyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri (koordinator);

b. c. d. e. f. g.

mencari terobosan baru (inisiator); menyediakan data yang diperlukan (informator); mencari mitra kerja di luar negeri (promotor); memfasilitasi penyelenggaraan hubungan kerjasama luar negeri (fasilitator); memberi perlindungan kepada daerah (protektor); dan mengerahkan kerjasama agar efektif (konsultan/supervisor).

Bidang-bidang Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan hubungan dan kerjasama luar negeri, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional wajib dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan Menteri. Sebagaimana disebutkan di atas, hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional. Dan sesuai dengan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler, untuk melayani kepentingan negara RI (termasuk Pemerintah Daerah ) di luar negeri hanya dikenal Perwakilan Republik Indonesia. Pemerintah Daerah tidak dibenarkan membuka perwakilan tersendiri. Bidang-bidang hubungan dan kerjasama luar negeri oleh Daerah yang memerlukan konsultasi dan koordinasi dengan Departemen Luar Negeri antara lain: a. Kerjasama ekonomi: (perdagangan, investasi, ketenagakerjaan, kelautan dan perikanan, iptek, kehutanan, pertanian, pertambangan, kedudukan, pariwisata, lingkungan hidup, dan perhubungan); b. Kerjasama Sosial Budaya: (pendidikan, kesehatan, kepemudaan, kewanitaan, olah raga, dan kesenian); c. Bentuk kerjasama lain.

Departemen Luar Negeri sebagai koordinator penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri memberikan saran dan pertimbangan politis/yuridis terhadap program kerjasama yang dilaksanakan oleh Daerah dengan Badan/Lembaga di luar negeri. Sedangkan departemen teknis memberikan saran dan pertimbangan mengenai subtansi dan program kerjasama. d. Kerjasama Luar Negeri Syarat-syarat melakukan kerjasama luar negeri: 1. dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan dalam kerangka NKRI;

2. sesuai dengan bidang kewenangan Pemda sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan RI; 3. mendapat persetujuan DPRD; 4. tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri; 5. tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri masing-masing negara; 6. berdasarkan asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak; 7. memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, memberikan manfaat dan saling menguntungkan bagi Pemda dan masyarakat; dan 8. mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional dan Daerah serta pemberdayaan masyarakat.

Di samping itu, pelaksanaan kerjasama luar negeri harus aman dari berbagai segi, yaitu: a. Politik (tidak bertentangan dengan politik LN dan kebijakan hubungan luar negeri Pemerintah Pusat pada umumnya); b. Keamanan (tidak mengganggu dan mengancam stabilitas negara); c. d. Yuridis (adanya jaminan kepastian hukum); Teknis (tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan departemen teknis terkait).

Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri dapat dilakukan atas prakarsa: 1. Pihak Indonesia; a. b. c. d. e. f. Departemen Luar Negeri; Perwakilan RI di luar negeri; Departemen Dalam Negeri; Departemen teknis; Pemerintah Daerah; Lembaga non-departemen di Pusat dan Daerah.

2. Pihak Asing;

a. b. c. d. e.

Pemerintah Daerah/ Pemerintah Negara Bagian; Badan/ Lembaga Internasional; Badan/ Lembaga Negara Asing; Lembaga Non Pemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat Asing; Badan Usaha Swasta Asing.

e. Mekanisme Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri 1) Yang diprakarsai oleh Pemerintah Daerah a. Pemda melakukan koordinasi dengan Deplu serta instansi terkait;

- mengajukan usulan program kerjasama yang berisikan latar belakang kerjasama, tujuan, sasaran, pertimbangan, potensi daerah, keunggulan komparatif dan profil pihak asing yang akan menjadi mitra kerja sama; koordinasi dapat dilakukan dengan komunikasi resmi surat menyurat. b. Pemda mengadakan rapat interdep dengan mengundang Deplu dan instansi terkait untuk membicarakan usulan program; c. d. Deplu memberikan pertimbangan politis/juridis sesuai dengan kebijakan Politik LN Indonesia; Deplu menyediakan informasi yang diperlukan (berdasarkan masukan dari Perwakilan RI)

e. Mengkomunikasikan rencana kerjasama dengan Perwakilan Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia dan Perwakilan RI di LN; f. Deplu memberitahukan hasil koordinasi kerjasama dengan pihak asing kepada instansi terkait di daerah dan Perwakilan RI di LN; g. Kesepakatan kerjasama antara pihak asing dan Daerah dituangkan dalam bentuk Perjanjian internasional yang lazim digunakan sesuai dengan pertimbangan Deplu. h. Pemantauan dan evaluasi atas tindak lanjut pelaksanaan kerja sama dilaksanakan oleh Deplu.

2)

Yang diprakarsai oleh Pihak Asing

a. Setelah melalui pertimbangan politis/juridis Deplu secara resmi menyampaikan tawaran program kerjasama dari Perwakilan RI di LN atau pihak asing kepada Pemda atau instansi terkait; b. Selanjutnya Pemda menyampaikan tanggapan atas tawaran program kerjasama tersebut berupa usulan program kerja sama kepada Departemen Luar Negeri dan Departemen Dalam Negeri serta instansi yang terkait langsung dengan substansi dan materi kerjasama; c. Usulan program kerjasama dibahas dalam rapat interdep yang dikoordinasikan oleh Deplu atau instansi yang terkait langsung dengan substansi dan materi kerjasama dengan melibatkan Daerah; d. Deplu menyampaikan hasil rapat interdep kepada Perwakilan RI di luar negeri dan berkoordinasi dengan Perwakilan Diplomatik dan Konsuler pihak asing di Indonesia; e. Deplu memberitahukan hasil koordinasi kerjasama dengan Pihak Asing kepada instansi terkait di daerah; f. Kesepakatan kerjasama antara pihak asing dan Daerah dituangkan dalam bentuk Perjanjian Internasional yang lazim digunakan sesuai dengan pertimbangan Deplu.

f. Pembuatan Perjanjian Internasional Proses pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional harus mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Lembaga yang dapat membuat Perjanjian Internasional sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah: 1. 2. 3. 4. Lembaga Negara; Lembaga Pemerintah Departemen; Lembaga pemerintah Non Departemen; dan Pemerintah Daerah.

Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 menyebutkan: Lembaga Negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Dewan Pertimbangan Agung yang fungsi dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga Pemerintah adalah lembaga eksekutif termasuk presiden, departemen/instansi dan badanbadan pemerntah lain, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Tenaga Atom Nasional, yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Badan-badan independen lain yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu tidak termasuk dalma pengertian lembaga pemerintah.

Mekanisme konsultasi dengan Menteri sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelaksana hubungan dan politik luar negeri, dengan tujuan melindungi kepentingan nasional dan mengarahkan agar pembuatan perjanjian internasional tidak bertentangan dengan kebijakan politik luar negeri Republik Indonesia, dan prosedur pelaksanaannya sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Undangundang tentang Perjanjian Internaisonal. Mekanisme konsultasi tersebut dapat dilakukan melalui rapat interdep atau komunikasi surat-menyurat antara lembaga-lembaga dengan Departemen Luar Negeri untuk meminta pandangan politis/yuridis rencana pembuatan perjanjian internasional tersebut .

C. Penutup Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 ini dikeluarkan sama sekali tidak bermaksud untuk membatasi Pemerintah Daerah dalam melakukan hubungan dan kerjasama dengan luar negeri, namun lebih pada keinginan untuk mewujudkan tertib hukum dan tertib administrasi, sehingga diharapkan kerjasama yang diadakan oleh daerah dengan lembaga asing sejalan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Peraturan Menteri Luar Negeri ini memberikan acuan kepada daerah dalam mengadakan hubungan dan kerjasama luar negeri. Keinginan menegakkan Peraturan Menteri terkait dengan prinsip good governanceyang pada saat ini selalu diharapkan oleh masyarakat untuk segera diwujudkan, terutama dalam memberantas KKN. Dalam melakukan hubungan dan kerjasama luar negeri dengan semangat otonomi daerah, maka daerah tetap harus mencermati secara bijaksana beberapa hal khusus yang dapat mengakibatkan dampak politis yang besar, antara lain: - Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga segala bentuk hubungan dengan Israel tidak dapat dilakukan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia. - MoU antara Menteri Luar Negeri RI-RRC yang ditandatangani tanggal 8 Agustus 1990 menyatakan bahwa Indonesia hanya mengadakan hubungan ekonomi dan perdagangan yang bersifat nonpemerintah dengan Taiwan (Chinese Taipei). (Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan pada acara sosialisasi Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah yang dilesenggarakan oleh Departemen Luar Negeri pada bulan Juli 2007 di Medan)

DAFTAR BACAAN Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Ind. Hillco, Jakarta, 1995 Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar Pembentukannya _ kumpulan kuliah), Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Inge van der Vlies, Handboek van Wetgeving, Zwolle Seminar Hukum Nasional VII, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1999. Suhariyono, Makalah, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000 dan Tahun 2003 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

(Penulis adalah Kepala Subdirektorat Metodelogi Peraturan Perundang-undangan Ditjen. Peraturan Perundang-undangan Departemen HUkum dan Hak Asasi Manusia).

You might also like